puisi memang arsip yang berkilau
doa yang menerangi cakrawala
dan matahari yang dirahasiakan pagi
berulang kali menghapus jejak sunyi.
lalu lihatlah kerumunan kata-kata
menjelang ajal paragraf terakhir
seluruhnya semakin hadir
walau dunia dirahasiakan takdir.
Lebeng Barat, 2020
90
Sublim Ketiga
J. Akid Lampacak
dengan menyentuh lembut pipimu
berapa patah tulang hasratku
hidungmu yang mancung
pengembaraan gelap renung
kucurhatkan halus nafasmu
pada hujan sepanjang malam
rambutmu yang pirang
merupakan pesona kerinduan
saat hutan penuh daun hijau
dan embun-embun jatuh perlahan
menghapus sisa debu dalam ingatan
sedang jantungmu
dataran lenggang di jalan pulang
dengan jejak para pengembara
yang terbaca di puncak cakrawala
maka kupelihara riak kedipmu
seperti asap tembakau nan kedap
91
dihirup penuh kenikmatan
penyunting hidup yang sebentar.
Lebeng barat,2020
92
Di Lembar Ketujuh
J. Akid Lampacak
sebelum kau benar-benar membaca
carikan setangkai bunga muda
yang ikhlas diterpa hujan
di malam-malam para pengembara
sampai bulan berganti tujuh rupa.
di halaman itu
kau akan menemukan mayang
gugur menemui kekasihnya
walau ia kerap membawa gelap
walau kau sanggup membunuhnya
sebab hidup tak pernah tentu maknanya.
di halaman ketujuh
kau akan melihat jutaan seruh
dari sebagian orang
yang terlipat sisa halaman
dan kau akan menari
seperti angin membentur padi.
Lebeng Barat, 2020
93
Profil Penulis
J. Akid Lampacak, Lahir 03 Mei 2000 di Lebeng Barat
Pasongsongan Sumenep Madura, Jawa Timur. Menulis esai dan
puisi, sekarang sedang menempuh pendidikan di Pondok
Pesantren Annuqayah. Puisi-puisinya tersiar di berbagai media
cetak, seperti Republika, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Koran
Haluan, Padang Ekpres Riau Pos dan media lainnya. Menjadi
ketua komunitas Laskar Pena Lubangsa Utara dan pengamat
litrasi di sanggar Becak Sumenep.
94
Harga Sebuah Kedegilan
Kims Diwa
Di hujung siang
anak-anak ayam berkejaran,
mengais dedaun kering di pasir gersang
rama-rama menyedut madu
akar bunga mercun berlingkaran
merahnya bersemarak
menjentik bahagia
setiap satu ragam itu buat aku cemburu
Semua kusaksikan dengan mata lepas
hati pilu, jiwa kacau, minda menerawang, jauh!
kakiku ditambat rantai masa, langkahku terkunci,
lidahku bergumam di balik belahan bibir yang terkatup.
Di atas kamboja merah jambu,
kulihat dia melambai mesra
bawaku terbang, lalu
terlihatlah jutaan nisan
tak bernama,
95
dia cuma ketawa
'Inilah harga yang kau bayar.
nilai kedegilan adalah bunga kemboja yang gugur,
ketakaburan insan sepertimu, upahnya pusara tanpa nisan.
Tak akan ada penghormatan terakhir saudaramu, wahai
manusia!'
Aku terkesima
bagai mimpi lewat petang
kakiku masih berpijak di bumi nyata
lalu bertekuk aku dan berdoa sungguh-sungguh
'ampunilah kami ya Tuhan, enyahkanlah dia dari bumi ini!
Aku lihat di awal gelap
ada kemilau di langit kelam
tanda kembalinya harapan
selepas hujan wabak halimun
Kota Marudu, Sabah, 12 Juni 2020
96
Halimunan
Kims Diwa
Mengilai cengkerik sepagi ini
bunyi cicipan si kelicap
disahut pula oleh si punai
serta kokokan si ayam katik
hiasi damai alam di hujung malam
embun jantan baru saja kering
di rerumputan
udara nyaman santuni jiwa gelora
Sudah tiga puluh lapan hari
dikurung tak berdinding, kaki ditambat tak berantai.
mata dan minda walau masih bebas, jiwa tetap kacau depani
musuh halimun
jika nyata, bisa saja langkah seribu
berguru alam dipersembahkan,
Hanya Tuhan jadi mata hati
santuni atma kian tandus
disirami doa nan tulus
moga mereka yang berjuang
97
demi kelangsungan hidup kita
bisa diteruskan.
Kota Marudu, Sabah, 28 April 2020
98
Sebuah Mimpi Menyusuri
Jalan Berdebu
Kims Diwa
Aku ingin pulang
setelah berkurun abad di perantauan
mengusung mimpi di siang hari
sudah agak lama aku susuri perjalanan berdebu
angin tidak lagi memahami sepoi bahasa
debu menggelutinya mengelabui pandangan
seperti suatu kemungkaran
di balik daun-daun kenangan
ada duka menguliti rongga hati
menusuk terus ke kalbu mematahkan tangkai-tangkai rindu
bernama perubahan
apa kan daya aku hanya serindit merah
di antara lalang dan rumput
hadir bersama sebuah mimpi
menyusuri jalan berdebu
hilang kala ditiup silir
99
ketika bintang berserakan di dada langit
limpahan cahayanya hujani kita
lalu terserahlah segala cinta
di dusta
Telupid, Sabah, 25 Maret 2019
100
Profil Penulis
Kims Diwa atau Rukimah Binti Pandawa lahir di Kota Marudu,
Sabah pada 12 Januari 1976, berkelulusan Ijazah Sarjana Muda
Pendidikan dan bekerja sebagai guru di SMK Penangah, Tongod
(Telupid), Sabah.
Pengalaman Penulis : Menulis dalam genre puisi, cerpen dan
mula berjinak-jinak dalam penulisan novel remaja. Karya-karya
penulis pernah tersiar di akhbar tempatan seperti Harian
Ekspres, New Sabah Times, Utusan Borneo, Majalah Wadah
DBPCS, Majalah Siswa DBPCS, dan Majalah Pendidik, Malaysia.
Penulis merupakan ahli Persatuan Karyawan Sastera Utara
Sabah (PKSUS).
101
Sepucat Kabisat (1)
Kurnia Effendi
Ingin kularung dosa-dosa ini
pada arus pertama sungai
menuju kuala pengampunan-Mu
(Menjelang komari menggambar
sepertiga garis tepi wajahnya:
tipis dan samar)
Namun, tangan-Mu lebih dulu
memercikkan renik mahkota yang
tak mampu kami pindai wujudnya
Sekaligus nasib kami dihamparkan
pada kaldera maha luas. Seolah Engkau
memberi isyarat: bukan kasta, bukan
marka, bukan mantra, yang membentuk
manusia
Ingin aku tunduk dalam segala takut
Berharap sebelum habis waktu
102
ada yang gugur dari jelaga jiwaku
Biarlah aku sepucat kabisat dan
pingsan sebelum tiba di beranda-Mu
Jakarta, 2020
103
Sepucat Kabisat (2)
Kurnia Efendi
Kami bukan Adam yang tak pernah punya
dendam. Kauajari nama-nama benda sampai
pada pohon kehidupan. Pesan rahasia
untuk membuka ladang dunia
(Menemukan, membiakkan, melenyapkan
Membangun, menelantarkan, menghancurkan)
Kami bukan Nuh yang tekun dan patuh
Puluhan tahun membuat bahtera
Menyambut datang bah–air yang ruah
Selanjutnya digelar peta baru
dan kembali diputar dadu
(Ikatan darah lepas dari risalah. Kelak
dipertengkarkan bentuk dan batas atlas)
Kami bukan Muhammad yang ummi dan al-amin
Mendengar getar di hening Hira. Sepanjang
malam demam menjalar, jeri dianggap dusta
104
(Kabar itu mungkin kekal: bacalah setiap muasal!
Empat belas abad kemudian, kami kembali buta tuli)
Jakarta, 2020
105
Sepucat Kabisat (3)
Kurnia Efendi
Segala yang kami bangun: kini ngungun
Hikayat panjang manusia ini bagai sedang
menghadapi juru koreksi. Dia tidak membaca
alinea pembuka, mengesampingkan tokoh yang
banyak bicara, mencoret konflik yang sia-sia,
dan menghapus sekuel tentang kemegahan
lupa diri
Lalu, kerumunan ditafsir ulang sebagai lamunan
Kabisat dibentangkan serupa cagar alam, kami
terkurung dalam gua dengan listrik menyala
Kami kembali menggunakan lambang dan tanda
untuk bicara dengan peranti yang mampu
menempuh jarak jauh tanpa piuh
Akhirnya, segala jenis epos akan menjadi mitos
: Ketika umat pasca kami melihat kenangan tentang
pesta di sebuah kafe, kampanye di alun-alun, jemaah
yang memenuhi tempat ibadah, pasar pagi yang
pecah di tepi jalan raya, bursa keuangan yang sibuk
106
dengan angka, antrean panjang wahana permainan
menantang, konser superstar dengan ribuan penggemar,
piala dunia dalam sorak bahana, dan ciuman mendalam
pada berbagai kencan
Jakarta, 2020
107
Profil Penulis
Kurnia Effendi lahir di Tegal, 20 Oktober 1960. Menulis puisi
dan cerpen di media massa sejak tahun 1978. Telah
menerbitkan 25 buku dalam aneka genre (puisi, cerpen, esai,
novel, dan memoar). Kumcer Kincir Api terpilih daftar pendek
Khatulistiwa Literary Award (2006), kumcer Anak Arloji meraih
penghargaan sastra dari Badan Bahasa (2013), dan buku
Mencari Raden Saleh mendapatkan anugerah pustaka terbaik 3
bidang puisi dari Perpusnas RI (2019). Pada 2017 mengikuti
program residensi penulis dan memilih Negeri Belanda untuk
riset novel tentang Raden Saleh yang terbit Februari 2020.
Tinggal dan bergiat di Jakarta. WA: 0811 859603. Alamat email:
[email protected]
108
Lelaki Tua di Simpang Raya
M. Raudah Jambak
Seorang lelaki tua terduduk sendiri di simpang sepi
Tubuhnya mematung membeku detik-detik pagi
Menyimpan dingin embun-embun tiang besi
Sementara lampu merah, kuning, hijau
Terus berganti
Orang-orang masih bergelut mimpi
Di kamar-kamar yang menyelipkan lemari besi
Pada sudut-sudut tersembunyi diawasi CCTV
Memerdekakan diri, memanjakan hati
Lelaki tua itu pernah membingkai cita-cita
Membangun tangga sejahtera untuk keluarga
Berbahagia di dunia, sejati di surga
Mencatat europhia masa ke masa
Receh itukah suara riangnya
Menahan loncatan kosa kata-kata
Berhamburan dari jendela mobil
Yang tak jua terbuka
109
Atau deru knalpot memekakkan
Rasa merdeka entah di mana
Seorang lelaki tua terduduk sendiri di simpang hati
Doanya seakan habis kehilangan cahaya matahari
Mengarahkan sepanjang perjalanan menuju Tuhan
Di sinilah ia bertahan
Menghirup debu jalanan
Dan hujan kehilangan pesan
20-13
110
Portibi
M. Raudah Jambak
sesekali kutelusuri bilik sempit
sudut kusam, cagar sejarah
dan relief dingin memaknai kediamanmu
yang berdebu dan gosong pengetahuan
tak ada catatan yang tertinggal
selain kegalauan merubung dada
dan kanak berebut benang putus layang
serta sorak kegembiraan yang menyusup
di dinding-dinding senyap
13-20
111
Sajak Sayang Na Sipuang
M. Raudah Jambak
Tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri
Tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki
Kami gualkan
Kami tarikan
Untukmu kekasih hati
O, Na sipuang, Na sipuang
(Sonaha ... i huda-hudai do namatei ....)
Engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan kasih
Engkau adalah ibu yang tak pernah kehilangan sayang
Melalui kibasan enggang doa-doa dilayangkan
Melalui hembusan angin harapan diterbangkan
Adakah yang lebih indah dari cinta seorang ibu
Sejak kandungan harapan ditasbihkan
Setelah lahir kasih mengalir seperti air
Ketika dewasa menggudang segala cita
O, Na sipuang, Na sipuang
(Sonaha ... i toping-toping do namatei ....)
112
Ditalun-talun kisahmu tersiar
Ditalun-talun kisahmu terkabar
Di tanah ini kami mengobar mandillo tonduy
Di tanah ini kami senandungkan urdo-urdo i
Adakah yang lebih sedih dari tetes tangis ibu
Yang tak sempat tasbihkan harapan
Yang tak sempat mengalirkan kasih
Yang tak sempat membaca cita-cita
O, Na sipuang, na sipuang
Kami tabuh gonrang
Demi menjeput
Segala riang
Tetabuh gonrang sipitu-pitu, Pada mandiguri
Tetabuh gonrang sidua-dua, Pada mangililiki
Kami gualkan
Kami tarikan
Untukmu kekasih hati
Komunitas home poetry, 06-12-20
113
Profil Penulis
M. Raudah Jambak, lahir di Medan, 5 Januari 1972. Beberapa
karyanya masuk dalam beberapa antologi, seperti Tanah Pilih
(antologi puisi Temu Sastrawan Indonesia I, Jambi) dan Jalan
Menikung ke Bukit Timah (antologi cerpen Temu Sastrawan
Indonesia II, Bangkabelitung), Pulau Marwah (TSI Tanjung
Pinang), Akulah Musi (Temu Penyair Nusantara, Palembang).
Sinetron, Film, maupun IKLAN. Kegiatan yang di kuti selain di
Medan-Sumatera Utara, PEKSIMINAS III di TIM Jakarta (1995),
work shop cerpen MASTERA, di Bogor (2003), Festival Teater
Alternatif Gedung Kesenian Jakarta Awards, di Jakarta (2003)
dan workshop teater alternatif, di TIM Jakarta (2003), Pameran
dan Pergelaran Seni Se-Sumatera, di Taman Budaya Banda
Aceh-Monolog (2004). Menyutradarai monolog "Indonesia
Undercover" dalam seleksi Monolog 2005, di Taman Budaya
Sumatera dalam rangka monolog nasional di Graha Bakti,
Taman Ismail Marzuki, Panggung Idrus Tintin, Riau, Taman
Budaya Banda Aceh, Taman Budaya Lampung, Solo, Panggung
Penyair Se-Asia Tenggara, Tanjung Pinang, dll. Karyanya selain
di Medan juga pernah dimuat di Surat Kabar/Majalah
Nasional/buku di Malaysia, Radio Nederland, Cyber sastra, dll.
Sering menjuarai berbagai lomba selain lomba baca/cipta puisi,
cerpen, lawak, dongeng, proklamasi dan juga Teater lokal,
114
nasional maupun Asia tenggara. Tarung Penyair Asia Tenggara
dinobatkan sebagai unggulan I. Termasuk lima besar Lomba
Cipta Puisi Nasional, Bentara Bali Post. Selain masuk sebagai
pengurus di beberapa organisasi seni, sastra dan budaya, ia aktif
juga dalam kegiatan lainnya termasuk dunia politik. Sering
didaulat sebagai Sutradara, juri dan pembicara, atau
narasumber terkait. Terakhir mengikuti Temu Sastrawan
Nusantara, di Pasaman (2019). Saat ini bertugas di beberapa
sekolah sebagai staf pengajar, juga sebagai Koordinator Omong-
Omong Sastra Sumatera Utara (2010-2015 )dan Direktur di
Komunitas Home Poetry.
Alamat kontak-Taman Budaya SumateraUtara, Jl.Perintis
Kemerdekaan No. 33 Medan.
HP. 081304691967
Mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
115
Catatan di Ujung Desember
Mady Lani
Ingin kurobek kalender
Pada ujung Desember
Aku lupa melumat setiap kata
Pada gigir angin di ujung daun
Yang biasa kusebut cinta
Lalu tembangkan
Selyrik langgam
Tentang duka seribu unggas
Yang terserang rindu
Pada tumpuan api di pendapuran
Kucing berbulu kelabu
Menggesekkan tangannya
Mengharap seberkas cinta.
Pagaralam, Desember 20
116
Surat dari Burung Gereja
Mady Lani
Ibu,
Selembar surat kutulis untukmu
Terpenggal tak selesai
Juga tak akan pernah sampai
Paruhku memudar
Lidahku kelu
Untuk mengeja kata-kata
Pada sebuah dusun
Tempat kita menanti panen
Dan menumpuk tangkai padi
Membangun sebuah istana
Dengan irama sendu lagumu
Mata terlelap
Menanti matahari
Yang terhalang gedung
Hangatnya memolusi waktu
Pada negeri
Yang ramai akan kolusi
Potongan padi pun
Tak pernah sampai
117
Mungkin terbawah arus
Keruhnya sungai
Yang bertumpuk limbah
Mengarus
Menjadi buliran air mata
Ibu,
Mungkin kami tak akan pulang
Pada istana potongan tangkai padi.
Desember 20
118
Hujan Buat Eda
Mady Lani
Tak ada lukisan pada dinding pasar
Hanya gelap berbaur bau pengap
Apa yang engkau tunggu, Da?
Di setiap lorong pesing
Yang memberimu mimpi saja
Selembar kardus
Kau bentang tak ada bintang
Hujan bulan Desember
Menyengat dingin
Kecoa bermain
Di atas helai rambutmu
Sepotong gincu berwarna malam
Yang engkau dapat di tong sampah
Tak lagi beronah merah
Berhentilah, Da
Bermimpi pada mimpi yang sama.
Pagaralam, Desember 20
119
Profil Penulis
Mady Lani nama pena dari Asmadi, lahir di Pagaralam 09-
September-1970, ikut menulis di 23 Antologi puisi bersama
nasiona,wakil balai bahasa Sumatera Selatan sebagai tenaga
Bimtek Literasi Nasional di Santika TMII, 2018. Tiga kali
berturut-turut mewakili balai bahasa di pekan sastra regional
Sumatera. Tiga kali kebagian juara dendang syair Balai Bahasa
Sumsel. Dua kali diundang di Sawah Lunto Poetry Reading
Festival se-Asean di SumBar, sebagai peserta baca puisi di
perang puisi Ambarawa 2017, dan jumpa penyair menolak
korupsi di Jember 2017. Catatan untuk Ais merupakan antologi
puisi tinggal, dan beberapa cerpen.
Email:[email protected]
120
Selamat Ulang Tahun Istriku
23 Maret 1992 – 23 Maret 2021
Muhammad Lefand
Selamat ulang tahun
Engkau adalah embun
Lebih dari sekadar daun
Aku adalah pohon rimbun
Melewati hari-hari ke tahun
Angin kehidupan makin ubun
Tak ada mesra menjelma pikun
Untuk persembahan
Lebih utuh dari kenangan
Aku menulis sajak-sajak ringan
Niat mengabadikan sebuah ucapan
Genapi kebahagiaan kado di hari kelahiran
Terimalah persembahan ini
Aku tulis dengan sepenuh hati
Hidup memberikan tanda dan arti
Ungkapan tulus tak ‘kan mengingkari
Nafas kita jadi saksi usia kita satu janji
121
Istriku sekali lagi kuucapkan
Selamat ulang tahun; kelahiran
Tetaplah bahagia pada kehidupan
Resah buang luka jadikan senyuman
Istriku semoga kita tetap seteguh iman
Karena perjalanan hidup butuh perjuangan
Untuk jadi dewasa seutuhnya di masa depan
Jember, 23 Maret 2021
122
Panorama Alam Jember
Muhammad Lefand
Menjulang tinggi di batas paling timur
Gunung raung terlihat gagah dan menawan
Di sela-sela pegunungan Ijen yang mendunia
Kebun-kebun kopi menghijau di lereng-lereng
Orang-orang Madura senggama dengan alam
Di penghujung sebelah paling selatan
Pantai-pantai sambung menyambung
Keindahan tak bisa ditukar dengan kata
Rimbunnya alas Meru Betiri yang luas
Membuat tenang penyu-penyu berbiak
Pasir putih dan irama ombak penuh kenangan
Di teluk Bandealit terbingkai dalam ingatan
Dari Payangan ke Papuma hingga ke Puger
Keindahan menjelma pasir yang selalu berbisik
Pada tubuh yang tak pernah kehilangan rindu
Aroma ikan bakar di pantai Watu Ulo
Barisan perahu-perahu yang tertambat
123
Dan langkah sapi yang menarik Pegon
Di jalan yang kanan-kiri sawah terhampar
Orang-orang Jawa selalu setia pada tanah
Di batas tanah sebelah yang paling barat
Kebun-kebun tebu sedang menghijau
Dari Semboro kita mengenal jeruk manis
Hingga salak pondoh yang tumbuh berbaris
Alam memberi yang terbaik untuk tanah ini
Di sebelah utara eksotika pegunungan yang
Puncak Argopuro yang tak asing di telinga
Menjulang perkasa sebagai simbol masa lalu
Kebun karet dan kakao bersebelahan tanpa iri
Orang Madura dan Jawa saling menyatu tradisi
Aroma dan rasa tembakau terbaik di dunia
Tumbuh subur seperti lestarinya tradisi luhur
Tanah yang menyimpan berkah semesta
Panoramanya tak bisa dilukis atau dibaca
Kita hanya bisa menikmatinya dengan bahagia
Di pusat kota lampu-lampu menerangi taman
Gedung-gedung dan masjid-masjid megah berdiri
124
Orang yang datang tak akan pernah merasa luka
Ingatan dan kerinduan untuk kembali abadi
Terpatri dalam hati kepada Jemberku ini
Jember, 2019
125
Selamat Pagi Puisi
Muhammad Lefand
Orang-orang yang tersenyum kepada pagi
Langit dan matahari mengirim salam
Langkah pelan atau cepat di atas bumi
Doa-doa akan selalu mengiringi dalam
Selamat pagi puisi yang di baitnya ada senyum
Tak ada kebahagiaan bagi yang selalu gundah
Kalam diucapkan dengan mesra yang harum
Semesta raya menghampar tanah yang berkah
Jember, 31012019
126
Profil Penulis
Muhammad Lefand lahir di Sumenep, Jawa Timur, 22 Februari
1989. Namanya dikenal melalui karyanya berupa puisi, cerita
pendek, dan pantun yang dipublikasikan di berbagai surat
kabar.
127
Usirana Katakanlah Aku
Muhammad Husein Heikal
suatu malam di musim hujan yang lalu
Usirana aku adalah tubuh: merintih pada cinta yang letih
telah kukais kenangan pedih dan kubakar dalam sebuah kamar
seketika aku meleleh pada sebuah tragedi kisah imajinasi
ah, Usirana darahku bergetah cinta padamu
katakanlah aku seperti bangkai anjing berdarah
katakanlah aku menjerit bagai derit pagar berkarat
katakanlah aku badai meluluh lantak angkasa
jangan ragu Usirana
jambak seluruh rumah rinduku
tikam semua kisah piluku
sayat tiap dari ragaku
reguh rasa cintaku
ah, Usirana
aku tak lekang dibakar waktu
aku adalah tubuh, Usirana
mencinta mati padamu
128
Saint Kimberly
Muhammad Husein Heikal
masa di mana tiada lagi laga
kehidupan sirna layaknya sedia kala
sangkakala telah mendendangkan rintih
jerit tragedi kerasukan manusia
serpihan daging menyantap tubuh-tubuh
masa di mana tiada lagi cinta
luapan rasa telah terlupa
Saint Kimberly berkaca pada wajah
memercikkan parfum pada hidungnya
wangi kamboja membenam alam fana
masa takdir menentukan segala getir
Saint Kimberly tidak percaya takdir
akan tetapi ia percaya getir
apakah di awal purnama yang ke-11
ia akan kembali mengunjungimu
merayu dan menyetubuhimu, Kimberly
kau yang meronta hingga purnama lekang
129
dan suara kokok ayam hilang
masa di mana tiada lagi luka
waktu demi waktu mengalir liku-liku
sampai pada musim salju yang membeku
pada lidahmu, Kimberly yang lincah
menjilat ludah dan strawberry
rekah pada bibirmu
Saint Kimberly ke mana lagi
purnama ke-11 telah berlalu
telah mengeras menjadi batu
menyadari tubuh yang tak lagi utuh
130
Opplausha
Muhammad Husein Heikal
masih terasakah getar bibir
saat menatap takdir yang getir
Opplausha,
sebuah memoar tua
tergeletak tak mampu berkata
hanya ia tahu
yang sirna tak ‘kan pernah kembali
yang mati, tak ‘kan nyata kembali
masih terasakah?
luka menjalar pada dirimu
hampir memisahkan ruh dari tubuh
Opplausha,
riwayat tak tercatat dalam hikayat
padahal kisahnya begitu menyayat
kisah risau yang menjadi pisau
menghujamkan lara yang lebuh
tak tertangguh
131
masih perihkah?
hamparan cinta yang membakar dada
mereguh rasa, hingga semua alpa
bahkan ayah, ibu, Tuhan pun lupa
walau kau,
Opplausha
tahu bahwa
yang sirna telah pernah ada
yang mati telah pernah nyata
132
Profil Penulis
Muhammad Husein Heikal, lahir di Medan, 11 Januari 1997.
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera
Utara. Selain menulis puisi, ia juga menulis esai, cerpen dan
opini yang dipublikasikan koran dan majalah seperti Analisa,
Waspada, Medan Bisnis, Mimbar Umum, Riau Pos, Sumut Pos,
Suara Karya, Haluan, Tanjungpinang Pos, Koran Madura, Koran
Pantura, Horison dan Jurnal Sastra Aksara serta di berbagai
media online.
133
Mata Gandhari
Rai Sri Artini
Cahaya yang lahir dari mataku
Akan membuatmu hidup
Seribu tahun lagi
Kumuntahkan firman ke dalam tubuhmu
Tubuh yang diberkati doa-doa
Namun tak bisa kugenapkan seluruh tubuhmu
Sebab deras luka di dadaku serupa lenguhan-lenguhan
bukan lenguhan panjang di musim kawin
Tak ada suara gerimis di luar sana
Tak ada derap kuda atau denting senjata
Hanya kita berdua
Masihkah kau putraku?
Di mataku mengalir tujuh mata air
Tertiup angin kelamin yang malu menampakkan rupanya
Tak apa
Biarlah darmaku menjadi genap di antara puing-puing
peperangan
134
Mungkin aku hanya ingin dicatat di harum tanah Hastinapura
Ke sinilah putraku
Biarlah mataku dengan seribu air mata
Memandang matamu
Sebentar lagi seribu doa menyentuh tubuhmu
Agar seribu senjata tak mampu menembusnya
Maka seribu cahaya akan bersinar menjelma baju zirah
Kecuali desis ular yang sembunyi dalam bentangan kain
O Madawa
Mahkota yang dihiasi bulu merak
Muslihatmu telah menjelma cadar kelamin
Membenamkan lentera mata tua ini
Hanya tinggal kerut-kerut
Legam, sembab
Membawa putraku pergi jauh
terasing dari tanah ibu
terasing dari dirinya sendiri
Maret 2021
135
Tubuhmu
Rai Sri Artini
Tubuhmu, jalan penuh kelok
Lubang yang memeram lapar
Celah waktu yang misteri
Kusesatkan aroma narwastu di lipatan bibirmu
Kujeritkan laparku yang lindap
Kurekatkan gairahku yang liar
Tubuhmu, kastil tua
Setengah abad di tengah Medan Khuruksetra
Menyimpan rahasia-rahasia pelangi
Menyimpan pergulatan, peperangan panjang
Pedang-pedang yang terhunus
Ceceran darah dan air mata
Daging yang koyak
Tubuhmu, senja yang mengirim doa-doa
Rimbun belukarnya tak pernah tanak
Meletupkan birahi
136
Demikianlah aku memujamu
Menapaktilasi labirin tubuhmu sepenuh diri
Tidurlah di sini
aku hanya mau meramumu menjadi puisi
Januari 2021
137
Profil Penulis
Nama Rai Sri Artini. Beralamat di Jalan Raya Tuka no.31 Banjar
Tuka Desa Dalung Kec. Kuta Utara 80361 Kab. Badung-Bali.
Puisi-puisinya tergabung dalam beberapa antologi: Klungkung;
Tanah Tua Tanah Cinta, Mengunyah Geram Seratus Puisi
Melawan Korupsi, Ketika Kata Berlipat Makna, Lumbung Puisi,
Progo 4 Temanggung dalam puisi, Banjar Baru Rainy Day
Literary Festival 2019 dan 2020, Payakumbuh Poetry Festival
2020, Antologi Puisi Bogor, Ning, Saron, Seutas Tali Segelas
Anggur, dll. Puisi-puisi pernah dimuat di Bali Post, Denpost,
Tribun Bali, Litera.co, Tatkala.Co, Jendela sastra, Riau Realita,
Kurungbuka.com, Linikini Linifiksi, Borobudur Writers And
Culture Festival.
138
Rindu
Nor Azizah Ismail
Aku rindu
Pada redup alam
Yang senantiasa tenang menyapa
Tatkala jiwa gelisah dengan hiruk pikuk kota
Angin hadir memberi nyaman
Dengan caranya sendiri.
Aku rindu
Pada nyanyian semilir angin
Melagukan irama tak berbahasa
Namun bisa membekas pada jiwa
Terasa alam seakan berbisik
Memujuk setiap duka yang menghiris
Agar kulupa pada setiap sengketa.
Aku rindu
Pada pada senyum sang angin
Walau tak bisa aku lihat
Aku tahu angin sedang memujuk
Pada manusia yang bersamanya
Kerna angin juga makhluk
Sama seperti kita.
139