The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Antologi Cerita Inspirasi : Istana Terindah adalah Keluarga

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Pahoa, 2022-07-13 20:36:48

Antologi Cerita Inspirasi : Istana Terindah adalah Keluarga

Antologi Cerita Inspirasi : Istana Terindah adalah Keluarga

Keywords: Cerita Inspirasi,Antologi Cerita

Antologi Cerita Inspirasi

ISTANA TERINDAH
ADALAH KELUARGA

Nurul Aini Huda, dkk.



Antologi Cerita Inspirasi

ISTANA TERINDA
ADALAH KELUARGA

Nurul Aini Huda, dkk.

Editor:
Dali Santun Naga
Maria Birgita Natalia Suwarli
Tantrini Andang

Penerbit Sekolah Terpadu Pahoa
iii

Antologi Cerita Inspirasi - “ISTANA TERINDAH
ADALAH KELUARGA”

Oleh: Nurul Aini Huda, dkk. Copyright ©Sekolah Terpadu Pahoa

Penerbit Sekolah Terpadu Pahoa

Jl. Ki Hajar Dewantara No.1 Summarecon Serpong, Tangerang

15810

Penyunting : Perpustakaan Sekolah Terpadu Pahoa

Ketua : Afiyon Kristiyan

Editor : 1. Dali Santun Naga

2. Maria Birgita Natalia Suwarli

3. Tantrini Andang

Layout & Cover : Agung Priambodo

Penulis : Nurul Aini Huda, dkk.

Ilustrasi : Ariston Toni, dkk.

Cetakan Pertama : Mei 2022

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip,
memperbanyak atau menyalin-balik secara menyeluruh maupun
sebagian-dalam bentuk elektronik, cetak, dan lain sebagainya tanpa
izin tertulis dari penerbit.

iv

DAFTAR ISI

PENGANTAR KEPALA UNIT PERPUSTAKAAN............ viii
Afiyon Kristiyan
SAMBUTAN WAKIL KEPALA BAGIAN BP4-NON 3M... x
Anik Pamungkas
Tak Perlu Menunggu........................................................ 1
Euprosinha S. Martini
Di Balik Ketidaksempurnaan Janda Bolong................... 3
Desi Mirajati
Siapa yang Menaruh Bunga-Bunga?............................... 6
Narendra Dewadji Kristy
Aku dan Duniaku............................................................. 10
Iing Sugianto
Istana Terindah adalah Keluarga.................................... 16
Nurul Aini Huda
Ujian Persahabatan......................................................... 19
Maria Birgita Natalia Suwarli
Bukan Salah Jurusan....................................................... 22
Eka Rachman Kurniawan
Pedagogi Hati................................................................... 25
Bona Ventura
Corat-Coret...................................................................... 29
Bambang Priantono

v

Hati Bercerita................................................................... 33
Agustina Hardianti

Nuraga.............................................................................. 36
Septya Danas Satya

Setiaku pada Pilihanku.................................................... 40
Wita Suciana Dewi

Kilauan Sang Tanah......................................................... 48
Anik Indayani

Dia Amadea, Siswa Favoritku.......................................... 52
Anik Pamungkasih

Surat kepada Niskala....................................................... 60
Dia Gloria Marty Sasia

Penang.............................................................................. 64
Pemil Baringin

Hidup Tak Semudah yang Dibayangkan......................... 70
Tri Wulandari

Buah Hasil Pengorbanan yang Tulus.............................. 73
Rianty Lusrimayshita

Semua Hanya Perlu Dilakukan........................................ 75
Meti Putriwati Zai

Menebar Kasih pada Kucing Liar.................................... 78
Lenny Wijayanti

Berjuang untuk Menggapai Mimpi................................. 82
Keiko Rahma Vindra

vi

Terima Kasih, Saya Sayang pada Kalian......................... 85
Fitri Dian Iriani Haryono
My Bestie, My Best Friend............................................... 88
Deni Ari Ningsih
Nara Sahabat Setiaku...................................................... 91
Astri Leoni Williem
Belajar Menulis................................................................ 94
Dali Santun Naga

vii

PENGANTAR

KEPALA UNIT
PERPUSTAKAAN

Afiyon Kristiyan

“Cerita yang tidak pernah dibaca, maka hanyalah sebuah
goresan tinta hitam yang tertuang di lembaran kertas.”

Profesi guru adalah panggilan mulia seseorang untuk
mengabdikan dirinya dalam mendidik generasi bangsa menjadi
manusia hebat. Membentuk manusia hebat tidak hanya sekedar
pintar dan cerdas, namun juga dapat bermanfaat untuk sekitarnya.
Bersyukur bahwa kali ini sekolah Pahoa telah menerbitkan buku
kisah inspirasi yang ditulis oleh para guru dari jenjang TK hingga
SMA.

Buku kisah inspirasi ini merupakan hasil pelatihan menulis
kreatif yang diadakan oleh perpustakaan dan kasie Bahasa Indonesia
(BP4) selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi
covid-19. Setiap kisah yang dituliskan oleh guru ini merupakan kisah
nyata yang di alami guru, baik kisah pribadi maupun kisah orang lain
yang mereka ingat. 

Saya mengucapkan selamat untuk para guru yang naskah
ceritanya telah diterbitkan ini. Kalian telah mengukir cerita abadi

viii

melalui kumpulan cerita singkat dan penuh makna. Selalu berkarya
dan menjadi guru yang menginspirasi. 

Menulis untuk pencerahan dunia.
Serpong, 30 Mei 2022

ix

SAMBUTAN

WAKIL KEPALA BAGIAN BP4-
NON 3M

Anik Pamungkas

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pemurah karena berkat
dan rahmat-Nya, buku kisah inspiratif ini bisa menemui pembaca.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, mulai dari pelatihan
menulis, pemberian motivasi para guru dan karyawan untuk
menuliskan kisah inspiratif hingga proses editing, akhirnya purnalah
buku kisah inspiratif ini.

Buku ini menyajikan berbagai kisah inspiratif dengan berbagai
tema, yaitu persahabatan, perjuangan, kesetiaan, pengorbanan, dan
kebersamaan. Buku ini ditulis oleh para guru dan karyawan dengan
cara masing-masing sehingga menampilkan berbagai gaya menulis
yang tentunya unik dan berbeda. Membaca kisah-kisah di dalam
buku ini seperti melihat pengalaman penulis yang beragam dan
bukan kisah fiktif semata. Amat menarik membaca pengalaman
hidup seseorang, bagaimana ia mengalami pengalaman terbaik,
dan menjadi pribadi versi terbaiknya.

Tentunya buku ini bisa menemui pembaca karena dedikasi
berbagai pihak. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Bapak
Dali Santun Naga, Ibu Maria Birgita, Bapak Afiyon, dan Ibu Tantrini
Andang yang berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk membaca dan memberi masukan pada tulisan para penulis.

x

Semoga pembaca menikmatinya.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada para

pembaca yang telah tertarik dan memilih buku ini untuk dibaca.
Semoga kisah-kisah ini juga menginspirasi dan memotivasi
pembaca untuk senantiasa melakukan yang terbaik. 

Akhir kata, saya sampaikan selamat membaca. Suatu
karya tidak akan sempurna tanpa masukan dan kritik dari
pembaca sekalian. Saya menyambut baik segala masukan demi
penyempurnaan buku ini.

Salam literasi.
Serpong, 30 Mei 2022

xi

xii

TAK PERLU MENUNGGU

Euprosinha S. Martini

Sabtu sore, keadaan rumahku begitu tenang. Anak-anakku
masih tidur siang dan begitu pun anjing peliharaanku. Selesai
menyiapkan makan sore, aku menuju ke depan komputer di ruang
tengah yang terkoneksi dengan internet. Aku tidak berminat untuk
mengerjakan tugas administrasi yang menumpuk saat itu, tetapi
aku sengaja masuk ke media sosial yang kupunya yaitu Facebook.
Dulu aku tidak mengira bahwa teman atau saudara yang lama tidak
bertemu dan berada jauh bisa terhubung dengan mudah melalui
Facebook. Ini hal yang pantas disyukuri dari teknologi.

Anjing peliharaan kami menyusul dan tertidur di dekat
kakiku. Rupanya ia merasa nyaman berada di dekatku. Awalnya aku
melihat beranda dan tidak ada yang aneh. Kubaca status teman-
temanku dan juga kenalanku di sana. Tetapi tak ada yang menarik
untuk dikomentari. Semua tampaknya biasa saja. Sampai akhirnya
ada pemberitahuan pesan muncul di sebelah kanan. Hal itu menarik
perhatianku.

“Halo, Mbak, apa kabar? Wah, sangat lama tidak pernah
ketemu, ya, Mbak. Aku sekarang tugas di Brasil,” ia menuliskan
pesannya lebih lanjut.

Aku amati namanya Ferry Asmorojati. Baru kuingat, Ferry,
adalah tetanggaku di desa. Ia masih kecil saat aku pergi merantau.
Kujawab sapaannya dengan hati-hati karena aku mendengar bahwa
ia telah menjadi Pastor sekarang.

1

“Halo Romo, berkah Dalem. Puji Gusti masih ingat,” balasku.
Ia kemudian menuliskan apa yang menurutnya terkesan dariku.

“Lho, ya ingat, Mbak. Aku dulu diajari menyanyi, diceritain
cerita Alkitab, dan diajari berdoa tiap minggu, bahkan diberi permen
cocorico, mosok lupa?” tulisnya di chat disertai emoticon tertawa.

Aku tak memiliki ingatan yang khusus kepada anak itu.
Semua biasa saja. Aku sungguh sudah lupa pernah melakukan hal
itu. Hingga kucoba mengingat kembali kejadian puluhan tahun yang
lalu saat aku masih bekerja sebagai guru di SPG. Waktu itu aku suka
mengajar Sekolah Minggu di gereja desaku.

Perjumpaan melalui chat di Facebook itu membuatku tersadar
bahwa banyak hal di sekeliling kita yang tampaknya sangat biasa,
tetapi rencana Tuhan berkarya. Nyatanya anak kecil itu sekarang
telah menjadi Pastor dan tinggal di negara yang jauh di sana.
Namun, ia digunakan Tuhan untuk menyapaku dan menyadarkan
bahwa aku pernah ambil bagian dalam hidupnya pada masa kecil,
untuk mengenalkan dan mendekatkannya kepada Tuhan dan
gereja. Lalu apa yang akan kulakukan? Sesaat aku terdiam, entah
apa yang diinginkan Tuhan dengan sapaan itu.

“Maaa.” Panggilan dari anakku yang terkecil mengetuk
kesadaranku. Ya, aku tahu, akan kulakukan hal yang sama kepada
anakku sekarang seperti yang dulu kulakukan kepada Ferry kecil.
Kukumpulkan anak-anak kecil dan sekolah Sabtu sore kubuka.
Semua biasa saja. Namun benar Tuhan berkarya dalam hal-hal
sederhana itu. Niatku hanya ingin mengenalkan anak-anak kepada
Tuhan dan gereja karena aku percaya Tuhan hadir di sana. Tentu
tak perlu aku berteriak untuk mendisiplinkan mereka jika mereka
taat kepada Tuhan. Tuhan sungguh berkarya dan anakku masuk
seminari. Puji Tuhan, Dia berkarya dalam hal-hal yang sangat luar
biasa tanpa harus menunggu peristiwa besar dan ajaib datang
kepada kita.

2

DI BALIK
KETIDAKSEMPURNAAN

JANDA BOLONG

Desi Mirajati

Suatu ketika aku meringkuk di atas dipan kayu. Dari celah
anyaman bilik bambu, kulihat sebuah anyaman kepang bekas
menjemur padi berbentuk melingkar menyerupai sebuah kurungan.
Ukuran anyaman kepang tidak setinggi manusia. Menutut
perkiraanku hanya setinggi pusarku. Sepertinya, si empunya tidak
mau paruh maupun cakar ayam merusak sesuatu dalam anyaman
berbentuk melingkar itu. Mungkin juga, si empunya tidak ingin siapa
pun melihat dan menginginkannya lalu mengambilnya sebagai milik
pribadi. Semakin penasaran, kudekati anyaman kepang itu. Tiba-
tiba si empunya ke luar dari dalam rumahnya.

“Eh, jo diapa-apake iku!” (Jangan diapa-apakan itu!) seru
seorang wanita paruh baya. “Tanaman itu sudah susah payah Ibu
rawat dari kecil hingga besar.” Ia melanjutkan seruannya sembari
berjalan ke arahku. Aku menjadi penasaran karena belum sempat
kulihat isi dalam anyaman melingkar itu. Pikirku wanita paruh baya
itu bersikap berlebihan alias lebay. Aku menoleh ke arahnya seraya
berseru,

“Aku hanya penasaran, Bu! Aku ingin melihatnya saja.”
Akhirnya wanita paruh baya itu membuka anyaman melingkar itu.
Dengan cekatan, ia menyirami bagian dalam anyaman itu dengan
air dan pupuk kandang. Sekilas akhirnya aku bisa melihat apa isi

3

anyaman melingkar itu.

“Yaelah, Bu, gur godong lumbu!” (Yaelah, Bu, ini hanya daun
talas!). Wanita itu lalu menepuk pundakku agak keras.

“Iki jenenge janda bolong, Nduk.” (Ini namanya Janda
Bolong, Nduk). Tanaman itu terlihat seperti daun talas namun tidak
sesempurna daun talas. Ada beberapa bagian yang bolong. Dalam
satu daun saja, ada lebih dari enam bagian yang bolong, tergantung
banyaknya jumlah tulang daun. Yang unik, bagian yang bolong
terdapat di sela-sela antartulang daun. Tangkainya merambat.
Warna daunnya hijau tanpa ornamen warna lain. Bagiku itu tetap
saja ini tanaman daun talas. Bahkan, saat kecil dulu, aku sering
melihat tanaman ini tumbuh liar di daerah pekuburan. Heran,
wanita paruh baya itu merawatnya sampai titik darah penghabisan.

Menurut wanita pemilik janda bolong itu, setiap malam
tanaman itu akan dimasukkan ke dalam rumah. Katanya banyak
yang mengincar tanaman janda bolong ini karena harganya cukup
mahal. Harga bibit yang termurah 2-3 juta rupiah. Harga tanaman
ini dihitung per helai daun. Apalagi semenjak pandemi, tanaman
janda bolong ini menjadi trending di Indonesia.

Lambat laun, aku mulai memahami bahwa kadang sebuah
ketidaksempurnaan bisa menjadi sesuatu yang sangat istimewa.
Ketidaksempurnaan daun yang banyak bolongnya itulah menjadi
unik. Keunikan itu lantas memiliki nilai seni yang tinggi. Pada
akhirnya, ketidaksempurnaan itu justru yang berkembang menjadi
sesuatu yang berharga fantastis. Hal ini semakin mungkin terjadi
jika pemiliknya sabar dan tekun dalam merawat dan melihat sisi lain
dari sebuah ketidaksempurnaan.

Dari kenyataan yang terjadi pada janda bolong ini membuatku
berpikir bahwa semestinya kita tidak melihat segala sesuatu hanya
pada satu sisi, khususnya, kekurangannya. Namun kita juga bisa
melihatnya dari sisi lain. Ternyata dalam satu kekurangan tersimpan
banyak keistimewaan. Begitu pun yang terjadi pada manusia.

4

Tidak sepantasnyalah kita mudah menilai buruk seseorang hanya
dengan melihat sebagian kecil dari sisi seseorang itu. Kita harus
belajar memahami bahwa setiap orang juga selalu mempunyai sisi
kebaikan.

Akhirnya aku pun mengagumi sikap wanita pemilik janda
bolong itu. Anyaman melingkar pelindung janda bolong itu adalah
sebuah bukti bahwa wanita paruh baya itu melihat sisi istimewa dan
bernilai tinggi di balik ketidaksempurnaan janda bolong.

5

SIAPA YANG MENARUH
BUNGA-BUNGA?

Narendra Dewadji Kristy

Seperti biasanya, rumah itu tak pernah sepi dari kunjungan
tamu. Bahkan para tamu yang datang berkunjung bisa sampai pukul
1 atau 2 pagi. Jenis tamunya pun beragam dari berbagai kalangan.
Ada tua, muda, suami istri, lajang, orang kaya, pengangguran, polisi,
ataupun preman kelas kakap. Satu hal yang pasti, mereka membawa
permasalahan hidup masing-masing. Ada yang mempunyai sakit-
penyakit. Ada yang mempunyai permasalahan rumah tangga. Ada
yang minta dicarikan barang berharga yang hilang. Ada yang minta
kesaktian dan bahkan minta nomor togel. Ada yang minta tolong
agar rumahnya dijauhkan dari gangguan roh halus. Ada pula yang
hanya ingin bercengkerama sembari mencari makna kehidupan.

Orang-orang biasa memanggilnya dengan “Pak Werdo.” Ya,
ialah pemilik rumah yang selalu didatangi para pesakitan dan pencari
solusi kehidupan. Di balik guratan garis ketegasan di dahinya, Pak
Werdo selalu menyambut setiap tamu yang datang ke rumahnya
dengan ramah. Sepintas aktivitas yang dilakukan Pak Werdo seperti
seorang paranormal, tetapi Pak Werdo enggan disebut seperti itu.

“Panggil saya Pengabdi Masyarakat,” katanya waktu itu.
Selain itu ia tidak seperti paranormal pada umumnya yang
mematok tarif untuk setiap servisnya. Pak Werdo bersikeras
menolak bayaran untuk setiap jasa yang dilakukannya. Seperti
yang dikatakannya, ia adalah pengabdi masyarakat. Baginya, bakat

6

khusus yang dianugerahkan Tuhan kepadanya adalah sebuah media
untuk membantu sesame dan bukan untuk mencari uang.

Aku pernah mendengar bahwa bakat gaib dan metafisik
Pak Werdo sudah tampak ketika ia masih remaja. Kala itu
pamannnya yang pernah membawanya ziarah ke Makam Pangeran
Sambernyawa tiba-tiba memegang kening Pak Werdo remaja
sambil mengucapkan sesuatu.

“Kelak ketika engkau dewasa, engkau akan menjadi penolong
bagi banyak orang,” kata Paman Pak Werdo.

Benar saja ketika beranjak dewasa Pak Werdo semakin
giat mengasah bakat khususnya dengan berkeliling Pulau Jawa,
Sumatera, dan Kalimantan. Ia belajar dari satu guru ke guru yang
lain, dari satu padepokan ke padepokan yang lain, dari satu makam
ke makam yang lain, hingga pada akhirnya ia membuka sebuah
padepokan atau paguyuban di rumahnya di Semarang.

Seiring dengan banyaknya orang di Semarang yang mendengar
nama dan kiprahnya, makin banyak juga orang yang ingin berguru
kepadanya. Sabtu malam wage adalah hari yang biasanya dijadikan
Pak Werdo dan murid-muridnya untuk berkumpul. Pada setiap
Sabtu malam wage tersebut, sering kulihat atraksi-atraksi gaib
berupa sebilah keris yang bisa berdiri dan bertumpu pada ujungnya.
Ada para pria yang bertelanjang dada dan dipukuli orang-orang
dengan bambu tetapi tidak merasa kesakitan hingga ada seseorang
yang tiba-tiba bertingkah seperti seekor harimau.

Namun tidak jarang pula aku melihat Pak Werdo sedang
memarahi murid-muridnya karena Pak Werdo merasa bahwa
murid-murid tersebut datang hanya untuk mencari kesaktian.

“Kalau kalian ke sini dengan tujuan mencari kesaktian atau
mendapatkan pusaka, maka kalian salah tempat. Aku ini bukan orang
sakti ataupun orang hebat. Aku ini hanya mengajarkan keikhlasan
dan pengorbanan. Maka dari itu jika kelak ada orang miskin atau
nenek renta datang meminta pengobatan kalian dengan tangan

7

hampa maka terimalah dan tolonglah. Itulah kesaktian sejati. Itulah
jurus yang paling hebat,” katanya waktu itu.

Betul saja, beberapa kali aku melihat istri Pak Werdo
mengomel seusai Pak Werdo mengobati orang sakit. Istri Pak
Werdo mengatakan bahwa mereka seharusnya saat ini sudah
menjadi orang kaya seandainya jasa-jasa Pak Werdo kepada orang
banyak tidak digratiskan. Aku juga pernah melihat salah satu anak
Pak Werdo, Mas Dewo, menggerutu karena ayahnya tidak mampu
membelikannya motor Kawasaki Ninja, padahal, terkadang tamu
atau pasien ayahnya adalah orang-orang berduit.

Ya, Pak Werdo bukan orang kaya dan rumahnya biasa
saja. Pendapatan tidak tetapnya adalah berwiraswasta mulai dari
berjualan beras hingga tanaman hias. Gaji istrinya sebagai guru
PNS digunakan untuk menyambung hidupnya, istrinya, dan anak-
anaknya.

Terkadang aku sendiri berpikir bahwa keikhlasan dan
pengorbanan Pak Werdo adalah keterlalulan dan berlebihan.
Ya, termasuk ia mengorbankan waktu dan kesehatannya untuk
mengobati orang lain hingga dini hari. Hal ini dilakukannya hingga
penyakitnya sendiri akhirnya tidak dapat diobatinya. Dengan gaya
hidupnya yang selalu begadang dengan ditemani rokok dan kopi
selama berpuluh-puluh tahun akhirnya ia pun tumbang. Ia divonis
menderita kanker hati stadium 4. Tiga bulan kemudian ia tiada. Ia
telah memilih jalan hidupnya sendiri dan berkorban dengan caranya
sendiri.

Pada hari pemakamannya, istri dan anak-anak Pak Werdo
baru tersadar bahwa suami dan ayah mereka adalah orang yang
hebat. Ribuan orang datang melayat dan mengantarkan jenazah
Pak Werdo ke tempat peristirahatan terakhir. Salah satu murid Pak
Werdo yaitu Om Joko saat itu mengatakan sesuatu kepada Mas
Dewo.

“Yang cinta sama Bapak banyak banget ya, Mas,” kata Om

8

Joko. Saking cintanya orang-orang ini dan menganggap Pak Werdo
seperti Bapak mereka sendiri, mereka juga menganggap Ibu dan
Mas Dewo kayak ibu dan adik mereka sendiri,” lanjut Mas Joko.

“Maksudnya?” tanya Mas Dewo.
“Iya, karena Bapak ga pernah mau menerima imbalan dari
mereka yang hidupnya pernah ditolong oleh Bapak, maka beberapa
dari mereka ada yang akhirnya membalas jasa Bapak melalui cara
yang lain yaitu membayar pengobatan saraf kejepit ibu, membayar
biaya sekolah Mas Dewo, dan lain-lain,” jawab Om Joko.
Seketika itu juga tubuh Mas Dewo bergetar hebat dan air
mata semakin mengucur deras dari matanya. Setelah itu Mas
Dewo tidak pernah lagi meremehkan kekuatan sebuah keikhlasan
dan pengorbanan. Setiap Mas Dewo berziarah ke makam ayahnya,
ia masih bisa merasakan kekuatan keikhlasan dan pengorbanan
ayahnya. Makam ayahnya tak pernah terbengkalai. Selalu rapi,
bersih, dan dipenuhi dengan bunga-bunga segar. Tentu saja, bukan
istri Pak Werdo atau anak-anak Pak Werdo yang melakukannya. Lalu
siapa yang membersihkan dan merapikannya? Siapa yang menaruh
bunga-bunga? Entah siapa, terlalu banyak yang mencintainya.

9

AKU DAN DUNIAKU

Iing Sugianto

Cemoohan dan hinaan seakan-akan akrab dan menjadi
sarapan pagiku setiap hari. Aku hanya ingat orang-orang begitu rajin
menyapa dan menertawaiku, lebih-lebih pada setiap kali ketika aku
melintas di depan mereka. Bahkan tak jarang mereka menyiram dan
mengusirku dari warung ke warung hingga ke emperan jalan. Aku
tak tahu apa salahku. Tetapi aku hanya tertawa saja. Tiap kali aku
diusir, aku melihat mereka selalu mendapatkan uang dari seorang
wanita yang berkerudung hitam. Ini adalah satu hal yang tidak bisa
aku pahami.

Aku selalu menurut saja saat wanita itu kemudian
menggandeng tanganku. Aku pikir ia adalah satu-satunya orang
waras yang mungkin kukenal. Selain wanita itu yang menggandengku,
kupikir orang-orang yang menyapaku pasti tidak waras. Mereka
selalu mengurusiku, menanyaiku, bahkan tak jarang aku menampar
muka mereka agar kapok karena mengurusi kehidupanku. Aku
hanya ingin berjalan lurus semauku.

Tiap menjelang maghrib tiba, samar-samar aku ingat, wanita
itu selalu menggandeng tanganku. Bahkan tak jarang ia memberiku
pakaian agar aku tidak lagi kedinginan. Seringkali ia menasihatiku
sambil meneteskan air matanya. Kadang aku pun merasa sedih,
tetapi kepalaku terasa berat jika aku mengingat wajah wanita itu.

“Mas, bajunya dipakai to. Apa ndak malu, luntang-lantung,
telanjang. Dzikir, Mas, ingat Allah, nyebut. Ingat, aku ini istrimu,

10

Mas,” ucap wanita asing itu.

Aku tak pernah ingat jika aku mempunyai istri. Aku hanya
ingat kalau aku orang bebas maka mau seperti apapun aku sudah
tidak peduli. “Tuhan saja sejak lahir tidak memberikanku pakaian,”
gumamku sambil mencopot kembali baju yang sudah diberikan
tadi.

”Allahu Akbar, Allahu Akbar, hahahahha,” pekikku dengan
gegap gempita. Lalu aku melenggang pergi ke tengah pasar di
tempat kesukaanku.

Aku sangat senang bisa pergi ke mana-mana. Aku merasa
sebagai orang paling bahagia. Aku juga sudah lupa sebenarnya aku
ini apa. Beberapa orang menyebut aku ini dedemit. Banyak juga
orang yang menyebutku gila. Tetapi aku tidak pernah merasa gila,
aku hanya orang bebas. Beberapa kali aku juga sering memberikan
petunjuk kepada orang-orang di warung dekat Pasar Mergan itu.
Sejak aku memberikan petunjuk kepada orang-orang itu, sekantung
rokok di tanganku tak pernah habis. Bahkan mereka juga sering
membelikanku makanan.

Tetapi lama-lama aku jengkel juga dengan orang-orang
itu. Mereka itu memang orang gila. Kadang jika kepalaku sedang
pusing, aku melemparnya dengan batu. Lalu aku tertawa terbahak-
bahak melihat mereka lari kocar-kacir. Lagi-lagi wanita itu datang
menyambut tanganku. Pernah aku melempar kepalanya hingga
berdarah. Lalu aku meminta maaf kepadanya. Aku menyesal. Tetapi
memang salahnya karena mengganggu kesenanganku mengusir
orang-orang gila dari pasar itu.

Pernah pada suatu hari aku kencing di sebuah musala dekat
pasar. Aku marah karena musala buat sholat malah dibuat tidur para
pedagang. Orang-orang ini benar-benar sudah kelewatan. Mereka
sudah tidak menghargai Tuhan.

“He, wong gendeng, tangi o kabeh iki lho wudhu o!” kataku
sambil air seniku mengalir deras di tengah-tengah karpet musala.

11

Tiba-tiba banyak orang mengeroyok dan memukuliku. Darah
mengalir deras di pelipis kananku. Lalu suasana menjadi gelap dan
kepalaku pusing. Saat aku sadar, aku sudah berada di pangkuan
wanita asing itu. Rupanya hanya ia yang betul-betul memahami
bahwa musala memang tempat untuk ibadah dan bukan untuk
tidur.

Wanita itu kembali datang membopongku. Mungkin ia
benar-benar seorang wali karena bisa memahami jalan pikiranku.
Kupandangi wajah wanita asing itu. Bahkan ia adalah satu-satunya
orang yang selalu menyelamatkanku dari semua orang gila itu.

Sejak peristiwa itu, tangan dan kakiku diikat dengan tali. Aku
tidak tahu apa salahku hingga diperlakukan seperti ini. Aku hanya
duduk diam seharian. Mataku terpejam, tetapi tak sedikit pun aku
tidur. Aku bisa tidak tidur selama berhari-hari. Banyak hal yang
kupikirkan, tetapi sedikit saja yang bisa aku ingat. Tepat di tengah
malam rupanya tali di tangan dan kakiku dilepaskan oleh wanita itu.
Mungkin ia sudah menyadari kesalahannya. Besoknya wanita itu
dan beberapa orang membawaku ke sebuah pedesaan kecil.

Aku tidak ingat sudah berapa lama aku di desa itu. Wanita
yang membawaku pertama kali ke sini mengatakan bahwa desa
ini cocok untuk orang-orang sepertiku. Aku hanya merasa desa ini
membuatku lebih betah daripada duduk mengawasi orang-orang
di pasar seharian. Lalu seseorang yang biasa memijat kepalaku
atau yang biasa dipanggil Mbah Tiban datang menjengukku.
Suaranya sangat sejuk di telingaku. Ia bercerita kepadaku sambil
memijat tengkukku. Anehnya, saat ia bercerita, aku merasa suara
orang tua itu seperti menjalar dan memasuki pikiranku. Aku tidak
merasa mendengarkan cerita tetapi seperti menonton sebuah film.
Anehnya semua pemain dalam film itu sangat aku kenal.

Orang tua itu mulai bercerita. Tepatnya 3 tahun lalu, ada
sepasang suami istri yang sangat beruntung. Mereka baru saja
menikah dan tepat setelah satu tahun pernikahannya mereka

12

mendapatkan bayi laki-laki yang lucu. Namun sayangnya bayi
itu sakit-sakitan. Bahkan sakitnya yang parah membuat ayahnya
terpaksa menjual beberapa usaha untuk biaya perawatannya. Mulai
dari usaha percetakan, mesin percetakan, mobil satu-satunya
peninggalan keluarga, hingga rumah akhirnya tergadaikan untuk
membiayai perawatan bayi tersebut.

Usaha demi usaha sudah dilakukan semuanya. Hingga pada
suatu malam, tiba-tiba bayi mungil itu mengalami kejang-kejang
sehingga harus segera di rawat di IGD selamat seharian penuh.

“Pak, mohon maaf berdasarkan diagnosis laboratorium, anak
bapak tidak bisa dirawat di rumah sakit ini. Perlengkapan di rumah
sakit kami tidak ada yang mendukung untuk perawatan tersebut,”
kata dokter itu sambil memberikan alamat rumah sakit yang
disarankannya.

“Dok, terus bagaimana nasib anak saya? Saya janji akan
berikan apa saja asal anak saya selamat, Dok,” pinta lelaki itu dengan
suara terbata-bata.

“Satu-satunya fasilitas yang mendukung perawatan putra
bapak di Indonesia hanya ada di RSCM Jakarta, Pak,” jawab dokter
dengan tegas. “Sebaiknya Bapak segera mengirimnya sekarang
juga. Saya khawatir akan lebih sulit, jika dibiarkan. Jangan sampai
lebih dari 8 jam, ya, Pak. Sebaiknya menggunakan pesawat, Pak!”
tambah dokter.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Benar saja,
siang itu di Bandara Abdurahman Saleh hanya melayani dua kali
penerbangan. Itu pun pesawat telah berangkat siang hari dan akan
kembali di keesokan hari.

Akhirnya, lelaki itu bergegas hari itu juga meminjam uang ke
sanak saudara dan menjual motor serta perabotan rumah untuk
menyewa pesawat Hercules milik TNI AU. Namun baru saja bayi
malang itu lepas landas, di tengah perjalanan rupanya Allah lebih
menyayangi bayi tersebut. Tepat 20 menit setelah lepas landas,

13

bayi itu diam tak bergerak dan badannya sedingin es.

Tangisan ayah bayi itu meledak sejadi-jadinya. Napasnya
menjadi tersengal-sengal. Tubuhnya lemas dan tak berdaya. Tiba-
tiba semuanya menjadi gelap. Kepalanya mulai terasa ringan.
Sayup-sayup di matanya, ia melihat jelas wajah Mbah Tiban. Lalu
ia tersadar itu bukanlah sekadar cerita, tetapi adalah sepenggal
ingatan akan masa lalunya. Ia sekilas melihat wajah lelaki dalam
cerita itu. Wajah itu amat dikenalnya.

“Le, coba sekarang diingat baik-baik siapa yang Mbah
ceritakan tadi,” pinta orang tua itu yang terngiang-ngiang di dalam
kepalanya.

Setelah kuingat-ingat, aku seperti melihat bayanganku
sendiri. Tak terasa air mata sudah membasahi dadaku. Kulihat
kulitku penuh dengan goresan-goresan tanah yang hitam. Lekukan
pipiku terlihat jelas. Lalu aku melihat pantulan diriku di pintu kaca.

“Astaghfirullah, mengapa aku hanya mengenakan celana
dalam saja?”

Kedua kakiku terasa lumpuh. Aku tak mampu menahan
keherananku. Pantas saja semua orang menertawaiku. Tubuhku
lusuh tidak karuan. Bahkan kedua kaki dan tanganku nyaris hitam
seperti aspal jalan. Orang tua itu memberikan aku sebuah sarung
dan menyuruhku mandi di pinggir sungai itu. Rupanya aku sudah
sebulan berada di desa itu. Aku sengaja dititipkan jauh dari kota
demi keselamatanku.

“Setelah ini, pulanglah. Keluargamu sudah lama menunggumu,
Le,” perintah orang tua itu sambil memberikan baju koko berwarna
hijau.

“Ojo, kakean mikir, Le. Yang lalu biarlah berlalu Le, kamu masih
muda. Jalanmu masih panjang. Semoga kamu bisa bermanfaat bagi
banyak orang.“

Kucium tangan orang tua itu. Berkali-kali air mata menetes
di wajahku. Tak terhingga ucapan terima kasihku kepadanya. Tak

14

terasa aku begitu hina hidup di dunia ini. Dengan langkah malu aku
pulang untuk menemui seseorang yang tidak pernah meragukan aku
dan mungkin ia satu-satunya orang yang telah lama merindukanku.

15

ISTANA TERINDAH
ADALAH KELUARGA

Nurul Aini Huda

“Nduk, pekan ini pulang ndak?”
“Aku akan kabari mungkin Kamis, ya, Bu”
Tut. Sambungan telepon terputus setelah 30 menit terhubung.
Aku menatap corak-corak langit kamar indekos yang dihasilkan oleh
bocoran ketika hujan turun. Namun aku menginfokan saat ini kamar
sudah tidak bocor karena aku takut mereka mengkhawatirkanku.
Aku berpikir sejenak dan merenung mengapa akhir-akhir ini aku
sangat enggan kembali ke kampungku yang berjarak hanya 60 km
dari indekos yang kutempati saat ini. Padahal jujur sebenarnya aku
merasa rindu akan kampungku. Namun perasaan enggan itu selalu
membatalkan niatku untuk mudik. Akhirnya aku mulai menyadari
sesuatu. Rupanya aku merasa jenuh. Aku ingat akan perasaan
kesepian yang selalu menyergapku saat aku tiba di kampung
halamanku. Semua itu terjadi saat kulihat seisi rumah memiliki
kesibukan masing-masing. Harapanku untuk bisa bercengkerama
dengan seluruh anggota keluarga tidak terjadi.
Kuakui bahwa aku tersiksa dengan perasaan yang berlawanan
ini. Perasaan rindu dan enggan yang tarik-menarik membuat
pikiranku kacau. Kerinduanku terutama adalah pada saat ibu
membangunkanku dengan nasi goreng buatannya.
“Mbak, ayo sarapan nih sudah dibuatkan nasi goreng,” begitu
kata ibu saat membangunkanku hanya untuk makan. Sepulang dari

16

dinas pagi, kadang ibu juga membangunkanku sambil membawa
bungkusan berisi makanan ndeso. Ibuku memiliki usaha berupa
susu kedelai yang diproduksinya sendiri setiap hari. Selain itu,
aku juga merindukan pijatan tangan ibu di tubuhku ketika aku
mengeluh pegal. Beliau dengan sigap memijat bagian tubuh yang
aku keluhkan. Walau terkadang aku merasa, apakah tidak terbalik
seharusnya aku yang memijit beliau yang semakin renta? Ckck, aku
adalah anak muda jompo yang ke mana pun berpergian berbekal
freshcare karena mudah masuk angin.

Namun aku tidak merasa sepenuhnya durhaka. Ibuku sudah
memasuki usia 50 tahun. Yang sering beliau keluhkan adalah kulit
kepalanya yang gatal dikarenakan tumbuh rambut-rambut berwarna
putih itu. Ketika ibuku memintaku untuk mencabut rambut-rambut
kecil berwarna putih di kepalanya, aku bergegas mengambil pinset
dan sisir. Biasanya aku lalu duduk berada di bawah sang surya agar
mataku tidak jereng mencari rambut-rambut kecil berwarna putih
di kepala ibuku.

Selain ibu, aku juga merindukan adik-adikku. Mereka selalu
menanyakan kapan aku bisa pulang melalui pesan singkat. Memang
ketika sedang bertemu, kami tidak melakukan sesuatu yang luar
biasa. Namun mereka selalu merindukanku ketika aku tidak ada.
Lebih tepatnya, mereka merindukan omelanku. Aku mengomel
karena setelah makan mereka terus bermain atau tidak mencuci
piring

Rasa rindu untuk pulang ke kampung halaman semakin
menguat saat kusadari bagaimana kehidupan keseharianku di
indekos. Setiap harinya aku baru bisa makan ketika hari sudah
menjelang siang. Orang mengistilahkan itu dengan brunch. Padahal
sebenarnya aku sedang berhemat. Pada saat itulah aku semakin
merindukan nasi goreng buatan ibu. Aku juga rindu makan cumi
hitam. Biasanya ayahku selalu sigap untuk pergi ke pasar ketika
mengetahui aku akan pulang Jumat sore. Di pasar ayah akan
membeli cumi hitam sebagai lauk mewah kami bersama.

17

Saat ini aku sudah bersiap dengan tas mungilku menuju
pemberhentian shuttle menuju kampung halaman. Aku sadar bahwa
selama orang tua masih ada sudah selayaknya aku mengunjungi
mereka. Jika keadaan tidak memungkinkan untuk berkunjung,
paling tidak aku bisa menekan nama kontak “Ibu” pada telepon
genggamku untuk mengungkapkan kerinduan dan cintaku.

Sungguh aku yakin ketika aku mengucapkan kalimat singkat
itu, ibuku akan merasa bahagia dan terharu. Semua kelelahan
yang beliau rasakan lenyap seketika hanya karena tahu aku selalu
mengingat dan mencintainya. Aku meyakini hal ini karena aku
merasakan sendiri saat aku mencoba menjadi ibu satu hari saja.
Rasanya tubuh ini seperti memikul karung beras saat menjalani
peran sebagai ibu. Hal ini membuatku semakin sadar bahwa
kesibukanku tidak ada artinya dibanding dengan kelelahan ibuku.
Kelelahan ibuku terbayar lunas hanya dengan kehadiranku di
dekatnya.

Langkahku semakin ringan saat pulang menuju kampung
halaman. Terbayang nasi goreng buatan ibu, dekapan hangat ayah,
dan senyum adik-adikku. Ternyata tidak ada yang lebih indah dari
itu. Kesibukan kami masing-masing seharusnya tidak akan mampu
melenyapkan rasa bahagia saat kami bisa berkumpul bersama.
Tidak ada yang lebih indah dari kebersamaan keluarga, bukan?

18

UJIAN PERSAHABATAN

Maria Birgita Natalia Suwarli

Aku mempunyai seorang sahabat saat duduk di bangku SD.
Kami selalu melakukan kegiatan bersama. Sepulang sekolah, kami
juga belajar di bimbingan belajar (bimbel) yang sama. Kami belajar
di sana hanya untuk menyelesaikan PR dan melakukan tanya jawab
jika ada ujian keesokan harinya. Setelah itu, kami diperbolehkan
untuk bermain.

Masa itu sangat menyenangkan sampai seorang guru
baru mulai mengajar di bimbel tersebut. Ia seorang perempuan
yang berusia sekitar 23 tahun. Ia menerapkan aturan baru. Saat
melakukan tanya jawab, kami akan mendapat satu cubitan untuk
satu kesalahan jawaban. Oleh karena itu, kami harus berusaha
menghafal dan berhasil menjawab pertanyaan dalam satu kali
kesempatan jika tidak ingin mendapatkan cubitan. Tidak hanya itu,
jika nilai ujian di bawah 90, kami pun akan dicubit.

Saat itu, aku tidak sendiri mengikuti bimbel tersebut. Adikku
juga didaftarkan di bimbel yang sama. Adikku turut merasakan
aturan tersebut. Setelah terjadi beberapa kali, cubitan itu ternyata
menimbulkan bekas lebam di bagian lengan adikku. Mengetahui
hal ini karena ibuku menanyakannya kepada pemilik bimbel tentang
penyebab luka lebam tersebut. Namun pihak bimbel menyatakan
bahwa hal itu tidak pernah terjadi. Ibuku percaya kepada anak-
anaknya, tetapi tidak ingin mempermasalahkannya lagi.

Beberapa hari kemudian aku, adik, serta ibuku dipanggil

19

oleh pihak bimbel. Pihak bimbel seolah-olah mengadakan sidang.
Guru bimbel tersebut hadir di sana. Aku dan adikku diminta untuk
menceritakan kejadiannya. Ternyata sahabatku juga turut hadir
sebagai saksi. Aku pun merasa bahwa fakta akan terungkap. Aku
berharap agar tidak ada lagi aturan yang melukai siswa secara fisik.

Namun tak kusangka sahabatku memberikan keterangan
bahwa aturan tersebut tidak ada. Ia tidak pernah tahu akan hal
itu. Aku sangat terkejut dan kecewa mendengarkan kesaksiannya.
Aku tahu pasti bahwa ia pun termasuk siswa yang sering mendapat
cubitan. Kasus ditutup. Kami pun mungkin dianggap seperti
pembohong. Aku sangat sedih. Akhirnya ibuku mengeluarkan kami
dari tempat bimbel tersebut.

Semenjak kejadian itu, aku tidak pernah berbicara lagi
dengan sahabatku. Aku tidak bermaksud menjauhinya. Namun
entah mengapa kami tidak berteman lagi. Mungkin saja jauh di
dalam hatiku masih terdapat luka yang mengingatkanku akan
kesaksiannya. Bagaimana mungkin seorang sahabat bersaksi dusta
dalam kasus temannya sendiri? Aku ingin berteman kembali, tetapi
ada rasa takut dan kecewa yang terus menghantui.

Beberapa minggu kemudian, aku ditunjuk untuk mewakili
kelas sebagai peserta lomba cerdas cermat. Ada tiga siswa yang
ditunjuk sebagai perwakilan kelas. Sahabatku juga ikut terpilih.
Kami pun otomatis harus bekerja sama dalam satu tim. Meskipun
demikian, kami tetap tidak berbicara satu sama lain hingga hari
pelaksanaan lomba pun tiba.

Sebelum lomba dimulai, seluruh peserta dipanggil untuk
meninggalkan kelas terlebih dahulu. Kami ditempatkan di meja
tim masing-masing. Aku dan sahabatku duduk bersebelahan.
Tiba-tiba sahabatku menyodorkan jari kelingkingnya. Pada
masa itu jari kelingking berarti ajakan untuk berteman kembali
setelah bermusuhan. Ia meminta maaf kepadaku dan aku pun
memaafkannya. Kami pun mengikuti perlombaan itu dengan baik.

20

Apakah setelah kejadian itu, hubungan kami membaik?
Tentu saja membaik karena kami sudah berteman kembali. Namun
pertemanan kami tidak pernah kembali seperti semula. Kami saling
bertegur sapa, tetapi hanya berbicara seperlunya. Kami tetap
berteman, tetapi tidak pernah menjadi akrab kembali.

21

BUKAN SALAH JURUSAN

Eka Rachman Kurniawan

Beberapa saat sebelum lulus SMA, saya sempat bingung
akan melanjutkan pendidikan ke mana. Ada tiga pilihan jurusan
yang saya suka, tetapi saya belum bisa memutuskannya. Ketika saya
membaca buku manual pemilihan jurusan, saya baru tahu bahwa
ada jurusan Ilmu Perpustakaan. Maka saya pun memasukkan
jurusan tersebut sebagai salah satu alternatif jurusan yang akan
saya pilih. Seorang teman sekolah sempat menanyakan kepada
saya perihal jurusan yang saya pilih. Ketika saya jelaskan bahwa saya
memilih jurusan Ilmu Perpustakaaan, teman saya itu pun terkejut.
Sepertinya ia juga baru tahu bahwa ada pilihan jurusan tersebut.
Biasanya teman yang lain memilih jurusan Ekonomi, Akuntansi,
Teknik Komputer, dan beberapa jurusan familiar lainnya. Teman
saya itu juga menanyakan perihal jenis pekerjaan yang sesuai untuk
seorang lulusan Ilmu Perpustakaan.

“Jangan-jangan nantinya pekerjaanmu jagain dan bersihin
buku, ya? Kamu cuma bawa kain lap dan kemoceng?” Teman saya
yang satu ini memang selalu visioner dan suka bercanda. Saya
hanya tersenyum. Pikir saya, kuliah saja belum, sudah kepikiran
mau kerjanya bagaimana.

“Yang penting kuliah saja dulu, lulus saja dulu. Tidak ada yang
tahu ke depannya nanti seperti apa dan bagaimana,” jawab saya.

Sejak itu, setiap pagi hari selama tiga hari saya mencari
informasi kelulusan dari jurusan yang saya pilih di koran terbaru

22

karena pada saat itu jaringan internet belum memadai seperti
sekarang. Setelah mencari-cari, akhirnya ada nama saya yang
tercantum di salah satu koran. Ternyata saya masuk sebagai
kandidat calon mahasiswa jurusan perpustakaan di Universitas
Negeri Jakarta.

Akhirnya saya datang ke kampus untuk menyelesaikan
proses administrasi. Ada salah satu proses masuk yang unik yaitu
saya diminta untuk menuliskan nama sendiri menggunakan bahasa
Arab. Saya juga diminta untuk membaca huruf gundul bacaan
Alquran. Waktu itu saya hanya garuk-garuk rambut sendiri.

Selama kuliah banyak cerita dan kisah pengalaman yang saya
alami. Saya harus mencari sumber informasi dan berkeliling untuk
mencari perpustakaan apa saja yang ada di sekitar Jakarta. Pada
saat kuliah, teknologi informasi belum secanggih sekarang. Jadi
saya mesti ke sana kemari mencari buku referensi. Saya juga harus
membuat proyek perpustakaan dengan teman kuliah. Asyiknya
waktu itu adalah susah senang kami lalui bersama dalam proses
membuat perpustakaan dari nol.

Di perkuliahan semester akhir ada PKL dan KKN (Kuliah Kerja
Nyata). Selama PKL ada banyak keseruan yang dilalui. Begitu pun
saat KKN ada banyak kisah cerita seru dan lucu. Saat KKN anggota
kelompok harus lintas jurusan sehingga saya bertemu orang baru
dengan beda jurusan dan ilmu. Jurusan perpustakaan mengusulkan
program kerja membuat perpustakaan desa dan perpustakaan saung
ilmu untuk Sekolah Madrasah Ibtidaiyah. Selama proses membuat
dua perpustakaan, teman-teman kelompok KKN membuat saung
untuk tempat menyimpan buku-buku dan membuat proposal
pengadaan buku kerja sama dengan sebuah penerbit. Waktu itu
kami berhasil mendapatkan hibah berupa buku-buku baru.

Kelompok KKN kami pun membawa buku-buku tersebut
dengan 4-5 kardus besar. Kami menggunakan kendaraan bermotor
dari Pulogadung Jakarta Timur ke Cisauk Tangerang. Dari awal PKL

23

dan KKN, kami membuat perpustakaan. Akhirnya saya merasakan
serunya kuliah di jurusan Ilmu Perpustakaan.

Setelah KKN berlalu dan perkuliahan hampir selesai, kami
semua bersiap untuk wisuda. Adapun persyaratan yang harus
dipenuhi adalh memenuhi nilai standar TOEFL dan TOAFL. Untuk
TOEFL alhamdulillah saya bisa menjalaninya dengan lancar. Dalam
satu kali ujian saya bisa langsung lulus. Permasalahannya ada di
TOAFL. Hal ini karena memang saya berasal dari sekolah umum dan
bukan lulusan pesantren atau memang sudah mahir dalam bahasa
Arab. Tes TOAFL ini mirip seperti TOEFL tetapi dalam bahasa
Arab. Sudah bisa dibayangkan bukan bagaimana mengerjakannya?
Dalam tes TOAFL sebanyak tiga kali saya gagal terus. Akhirnya
dosen pun memberikan ujian lain dengan cara meminta saya
membaca Alquran untuk mendapat nilai ujian TOAFL. Untunglah
akhirnya saya berhasil sehingga bisa mengikuti wisuda.

Akhirnya saya mulai menjajaki dunia baru yakni dunia kerja.
Saya memulai karir sebagai pustakawan. Selama bekerja bertahun-
tahun di bidang perpustakaan, banyak pengalaman yang didapat
dan dilalui. Dari menegur dan memperingatkan pemustaka yang
selalu berisik di perpustakaan, shelving buku setelah dibaca dan
dipinjam oleh pemustaka, memperbaiki buku rusak, mengolah dan
mendata buku-buku baru, melayani pemustaka mencari sumber
informasi, hingga mengikuti seminar dan pelatihan perpustakaan.

Tak disangka saya bahkan bertemu jodoh tidak jauh-jauh dari
dunia perpustakaan. Kami sama-sama dari lulusan perpustakaan.
Seru rasanya mendapatkan istri sekaligus pustakawan dan menteri
keuangan pribadi (namanya sama seperti Menteri Keuangan
RI sekarang). Kami dapat saling tukar pikiran dan pendapat,
menyelesaikan persoalan, keluh kesah, dan perkembangan seputar
perpustakaan.

24

PEDAGOGI HATI

Bona Ventura

Desir angin bertukar tempat dengan para pelayat. Makam
berangsur sepi. Kami, barisan pelayat, berangsur pulang. Pada
tanggal 5 Mei 2009 kami mengantarkan jasad dosen dan penulis
yang amat kami kagumi dan amat menginspirasi. Beliau pernah
berada di antara kami. Beliau telah mengajari dan mendidik kami
sepenuh hati.

Sebelumnya, kami alumni FBS (Fakultas Bahasa dan Seni)
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dikejutkan oleh kabar pada 1
Mei 2009, pukul 10.55 WIB. Kabar tersebut tersiar lewat sandek
(sms) dan Facebook. Dalam berita duka itu dikabarkan bahwa
telah berpulang salah seorang ahli linguistik terbaik dari Indonesia,
Drs. J.D Parera, Dosen Purna Bakti Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta.

Kami mengenal beliau sebagai guru dan pendidik serta
penulis yang penuh dedikasi. Pedagogi Hati Pak Parera hadir
dalam setiap kelas dengan api bara semangat berkobar. Kelas yang
diajarnya menjadi bergairah. Dia tak menganggap dirinya sebagai
satu-satunya sumber ilmu.

Pak Parera tak hanya memindahkan pengetahuan kepada
kami. Setiap kali kami bertanya tentang suatu topik maka ia akan
membimbing kami untuk membuka buku. “Bertanyalah kepada
buku, isinya akan mencerahkan,” ujarnya. Buku-buku karyanya
menghiasi beragam perpustakaan di fakultas bahasa, baik dalam

25

maupun luar negeri, terutama beberapa kampus di negara Jerman
yang memiliki Pusat Studi dan Budaya Indonesia.

Hal yang membanggakan, ada beberapa judul buku beliau
yang menjadi buku pegangan wajib di program pascasarjana, seperti
UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret), UGM (Universitas Gajah
Mada) dan UNJ. Ketekunannya dalam menulis sudah berawal
dengan membuat buku-buku teks perkuliahan.

Beberapa judul bukunya yang telah disebutkan sebelumnya
sebagian besar berawal dari buku teks pembelajaran di kampus.
Tiga penerbit yang berjodoh dengan beliau adalah: Gramedia,
Grasindo, dan Erlangga. Buku-bukunya yang diterbitkan oleh
penerbit Gramedia antara lain: Morfologi Bahasa, Menulis Tertib dan
Sistematik, Dasar-Dasar Analisis Sintaksis, Belajar Mengemukakan
Pendapat, Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi
Struktural, Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa.

Buku-bukunya yang diterbitkan oleh penerbit Erlangga antara
lain: Teori Semantik, Linguistik Edukasional, Dasar-Dasar Analisis
Sintaksis. Sedangkan buku, Kurikulum 1994: Bahasa Indonesia:
Pedoman Kegiatan Belajar Mengajar Bahasa Indonesia Landas Pikir
Landas Teori diterbitkan oleh penerbit Grasindo.

Tetesan bermakna kisah suksesnya dalam menulis amat
menyenangkan. Kami pun semakin termotivasi untuk suatu saat
mengikuti jejaknya dalam menulis dan lalu menerbitkan buku. Di
sekolah tempatku mengajar ada ekstrakurikuler jurnalistik. Melalui
ekskul tersebut aku menyebarkan virus menulis kepada siswa.

Perlahan namun pasti para siswa mulai mencintai aktivitas
menulis. Menulis bukan lagi sebagai aktivitas membosankan.
Kecintaan mereka dalam menulis terwujud dalam proses
penerbitan buku. Sudah tiga buku yang diterbitkan sekolah kami
(antologi cerpen, pantun, dan puisi). Ketiga buku yang telah terbit
tak menghentikan langkah kreativitas para siswa dalam bidang
menulis.

26

Salah satu prestasi membanggakan saat dua murid di
sekolahku berhasil menjuarai AstroPoetry Blog dari Amerika Serikat.
Puisi yang berjudul Shooting Star oleh Griselda dan Sky oleh Jane
Gabriella berhasil mendapat gelar Honorable Mention Young Adult
Division 2013 yang diselenggarakan oleh Astronomers Without
Borders.

Aku percaya bahwa apa yang telah aku lakukan terhadap
pada siswaku adalah karena pengaruh besar Pak Parera dalam
membimbingku. Kegigihan dan ketekunannya dalam berbagi ilmu
melalui dunia kepenulisan membangkitkan semangatku untuk juga
berperan aktif dalam dunia yang sama.

Beliau hadir dalam setiap kelas dengan api semangat. Kelas
yang diajarnya bukan kelas yang kaku. Ia tak menganggap dirinya
sebagai satu-satunya sumber ilmu. Lebih sering ia menunjukkan
kepada kami bahwa yang disampaikannya di kelas sudah ada
terlebih dulu penulis yang menulis dalam buku.

Secara tak langsung, ia mengajak kami untuk lebih banyak
membuka mata bahwa kaum terdidik bukan seperti katak dalam
tempurung. Terkadang sikap jumawa secara intelektual dapat
menjadi bumerang karena dapat menghentikan sikap rendah hati
dan siap menerima pengetahuan dari beragam pihak.

Berkat menulis buku pula, beliau diundang ke beragam
seminar kebahasaan, menjadi dosen tamu, dan memenangkan
proyek buku dari Bank Dunia. Dari kemenangannya menulis proyek
buku Bank Dunia, beliau mampu membeli mobil sedan mahal pada
kala itu. Kisah suksesnya dalam menulis amat menyenangkan.

Kami pun semakin termotivasi untuk suatu saat mengikuti
jejaknya dalam menulis dan lalu menerbitkan buku. Pak Parera
selalu bersemangat saat menceritakan beragam kisah mengenai
dunia perbukuan. Gurat wajahnya yang sudah setengah abad, nyaris
tak tampak saking bersemangat membagikan kisah dan memotivasi
kami untuk mencintai buku dan dunia menulis.

27

Ia mengungkapkan bahwa menulis adalah sebuah
keberanian. Kutipan dari penulis tetralogi Pulau Buru, Pramoedya
Ananta Toer yang kerap diucapkannya ketika mengajar. Kalimat
penyemangat ini singkat tetapi bermakna mendalam. Pak Parera
mampu menggerakkan kami untuk memulai dan mencintai dunia
tulis-menulis. Ia mengungkapkan bahwa menulislah dengan
menggunakan hati dan bukan hanya sekadar merangkai kata tak
bermakna.

Kami diajak menemukan tema-tema penulisan melalui
peristiwa sehari-hari. Selain itu kami mendapat pemahaman baru
dalam menemukan tema penulisan ketika memfotokopi beragam
buku-buku teks yang dijadikan referensi perkuliahan. Namun kami
hanya menerima daftar isi dari semua buku tersebut.

Ternyata metode tersebut merupakan metode pemetaan
daftar isi buku. Metode tersebut merupakan cara cepat dalam
menentukan tema dalam penulisan karena kami langsung
dihadapkan kepada daftar isi buku yang sudah diterbitkan.

Guru sejati adalah guru yang mampu membangunkan
“raksasa” dalam diri para muridnya dan mampu membantu mereka
mengepakkan “sayap “ dirinya agar mampu berkreasi dan siap
terjun dalam kehidupan dengan bekal ilmu aplikatif dan reflektif.

28

CORAT-CORET

Bambang Priantono

Corat-coret bak renjana. Corat-coret bak obat jiwa. Saya
sangat menyukai corat-coret semenjak saya bisa memegang pensil
dan krayon. Saya masih ingat ketika masih anak-anak, saya suka
menggambar objek yang saya lihat. Media menggambar saya bisa
di kertas, buku gambar, tembok, sampai buku-buku milik keluarga
besar. Walhasil tangan saya menjadi sasaran cubitan dan omelan
kedua orang tua saya karena suka mencorat-coret bukan pada
tempatnya.

Saat masih duduk di bangku SD, saya suka menggambar
sesuatu yang out of the box. Ketika disuruh menggambar
pemandangan lengkap dengan mataharinya, saya malah
menggambar pemandangan tetapi saat gerhana matahari.
Mengapa? Karena saat itu sedang heboh-hebohnya gerhana
matahari total. Ketika di kelas I SD, saya pernah ditertawakan
teman sekelas karena menggambar berbeda dengan teman lainnya.
Guru menggambar saya pun menasihati saya cara menggambar
pemandangan sesuai dengan aturan.

Karena hobi mencorat-coret itu, saya pun sering ikut
beberapa lomba menggambar. Saya menggambar aktivitas
petani dari menanam hingga panen. Bahkan pernah saya hanya
menggambar pagar tanpa embel-embel. Jadi wajar kalau akhirnya
saya tidak dapat apa-apa, alias kalah!

Menggambar bagi saya adalah seni walaupun saya sering

29

tidak mengikuti aturan yang berlaku. Saya suka sekali mencorat-
coret secara acak. Biasanya objek kesukaan saya adalah pakaian
adat dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Hobi mencorat-coret
itu tetap saya lanjutkan sampai sekarang, walau sering saya bosan
dan berganti kegiatan lain karena perubahan hobi dan selera. Tetapi
untuk hal yang satu ini tidak ada perubahan sama sekali.

Apa hobi ini bermanfaat bagimu? Apa yang kaudapat dari
mencorat-coret ini? Dua pertanyaan itu kerap menggayut dalam
pemikiran saya kalau saya sedang merenung sendiri. Seiring waktu
juga, saya lebih suka menggambar objek manusia dalam pakaian
tradisional, baik dalam negeri maupun luar negeri, mulai dari
yang sederhana hingga lambat laun imajinasi saya makin bermain
berdasarkan apa yang saya lihat dan tonton.

Seringkali saya menirukan pola-pola busana yang saya ambil.
Prinsip saya kalau gambaran tidak detail maka rasanya sangat
kurang. Contoh saja, ketika saya menggambar busana tradisional
Jawa, saya berusaha melihat dulu gambar contoh terlebih pola
batiknya. Awal mulanya saya memilih bentuk yang mudah untuk
ditiru, lalu nanti sedikit demi sedikit saya akan naik ke corak yang
lebih rumit.

Saya jadikan hobi corat-coret ini sebagai kompensasi dari
segala kesibukan dan penat selepas kerja. Ketidaksempurnaan
dalam menggambar itu adalah suatu keniscayaan karena semua
hal pasti ada prosesnya. Saya tetap setia menjalani proses itu dari
tahun ke tahun hingga mengenal proses menggambar secara digital
yang dulu sempat saya takutkan.

Mengapa saya takut? Karena saya mengajar penggunaan
komputer untuk anak-anak. Dalam materi yang saya ajarkan
ada menggambar, tetapi dengan aplikasi sesuai dengan materi.
Nah, saya berpikir, bagaimana kalau kesetiaan saya pada hobi
mencorat-coret nanti beralih ke arah digital? Ingat saya hal itu
sangat dibutuhkan oleh anak-anak dalam mengasah kemampuan

30

motoriknya. Tuxpaint? Iya! MS Paint? Iya juga!

Setelah selesai mengajar anak-anak tentang cara menggambar
secara digital ini, saya tetap melanjutkan tradisi corat-coret saya.
Kali ini corat-coret itu saya alihkan ke dalam bentuk digital dan
saya tetap menggambar dengan pola sama: busana tradisional
berbagai suku bangsa di tanah air. Hasil menggambar ini kadang
saya tunjukkan ke anak-anak di saat sela mengajar secara daring.

Intinya, apa pun itu jika saya merasa ada inspirasi atau ide,
saya mengungkapkannya dengan menggambar. Menggambar
atau mencorat-coret ini, meskipun bagi sementara orang hanya
sekadar hobi, tetapi saya sangat menyukainya dan setia sampai
detik ini. Buktinya, dari kecil hingga sekarang ini saya masih terus
menggambar ataupun sekadar mencorat-coret, baik di kertas
maupun kanvas digital. Semuanya terkait dengan kesukaan saya
yang lain yakni budaya nasional kita.

Dari sini saya diajarkan untuk sabar pada diri saya sendiri
dan setia akan proses yang dijalani. Walau sering jatuh bangun dan
enggan untuk melanjutkannya, tetapi saya teringat akan betapa
bahagianya saya kalau sudah menggambar. Jika teringat hal itu, saya
pasti akan kembali bersemangat menggambar dan menggambar
lebih banyak.

Saat ini hampir setiap saat saya menggambar secara digital.
Selain busana tradisional, sekarang saya juga belajar membuat
peta bahasa, Hal ini karena saya sangat suka mengetahui sebaran
bahasa yang ada di seluruh penjuru tanah air. Sebaran bahasa dari
beberapa daerah sudah saya kerjakan. Begitu pun untuk busana
tradisional yang saya buat dari aplikasi pun, banyak yang telah saya
selesaikan. Mengapa? Saya sangat suka dan setia kepada hobi ini.

Saya teringat akan satu kutipan yaitu carilah hobi yang
membuatmu sehat dan bahagia. Ternyata sebenarnya saya sudah
melakukannya sejak dulu dan nyaman hingga detik ini.

Setiap saat orang akan berubah, baik cara hidup maupun

31

hobinya. Saya pun demikian adanya. Namun untuk hal yang satu
ini yakni mencorat-coret baik di kertas maupun digital, saya tetap
setia menjalaninya dan mungkin pada suatu masa akan bermanfaat
bagi banyak orang.

32

HATI BERCERITA

Agustina Hardianti

Suatu waktu saya pernah mengikuti pelatihan bersama
sebelas rekan kerja saya dari jenjang SD, SMP, dan SMA. Ini
adalah pelatihan paling berkesan selama dua tahun saya bekerja di
sekolah sebagai guru Bimbingan dan Konseling. Dalam pelatihan
tersebut, kami diajak untuk mendalami Appreciative Inquiry. Di
awal pelatihan kepada kami dijelaskan mengenai kondisi prasyarat
selama mengikuti pelatihan. Pemateri mengingatkan setiap peserta
untuk menjaga hati dan pikiran tetap positif agar pelatihan ini dapat
memberikan dampak baik bagi setiap peserta.

Appreciative Inquiry adalah suatu sistematika belajar yang
bertujuan untuk mengembangkan kemampuan para pembelajar
berdasarkan kekuatan diri, bersandar pada pengalaman terbaik
selama hidup, menitikberatkan hal-hal yang bisa dilakukan, dan
mendorong pembelajaran untuk fokus pada hal-hal yang baik.
Selaras dengan manfaat yang diterima, baik untuk perkembangan
diri maupun kinerja tim, semua rangkaian kegiatan dalam pelatihan
ini sangat menyenangkan. Pemateri menyampaikannya dengan
sangat baik sehingga makna dari kegiatan ini mampu diserap
maksimal oleh para peserta.

Saya mau bercerita tentang bagian paling berkesan dari
pelatihan ini. Satu kesempatan yang paling berharga untuk saya
pada saat itu adalah kesempatan untuk bercerita. Jujur saja pada
beberapa waktu sebelum pelatihan itu suasana hati saya sedang

33

dalam keadaan kurang baik. Saya senang sekali diberi kesempatan
untuk mengikuti pelatihan yang sesuai dengan apa yang saya
butuhkan.

Pada sesi bercerita, semua peserta dibagi ke dalam kelompok.
Satu kelompok berisi dua orang. Saya berada dalam satu kelompok
dengan salah satu guru Bimbingan dan Konseling jenjang SD. Pada
giliran pertama, saya yang mendapat kesempatan untuk bercerita.
Saya bercerita tentang segala hal, mulai dari cerita receh tentang
dunia permotoran, trauma menyetir di jalan berbatu, kebiasaan
yang tidak biasa, hingga frustasi dunia perdietan yang tak kunjung
membuat saya kurus. Rasanya ingin saya peragakan semua cerita
itu. Mungkin ini yang disebut dengan katarsis. Dengan bercerita
saya seperti membuang semua perasaan buruk dalam hati.

Giliran kedua adalah rekan saya yang bercerita. Saya
mendapatkan banyak cerita inspiratif darinya. Ia bercerita tentang
kegiatan sosial yang dilakukannya untuk anak-anak kurang mampu
di dekat tempatnya berkuliah dulu. Bersama komunitasnya, ia
mengajak anak-anak tersebut berjalan-jalan ke mal dan Taman
Safari untuk pertama kalinya. Membayangkannya seru sekali. Rasa
lelah perjalanan hingga tengah malam tergantikan oleh senyum
bahagia anak-anak tersebut. Selain itu, ia juga bercerita tentang
pengalamannya bekerja di Jakarta dan anjingnya di rumah.

Sesi bercerita ini membuat saya paham akan betapa
dahsyatnya efek mendengarkan dan didengarkan secara empatik.
Bagi saya, sesi ini adalah hadiah sekaligus obat. Mendengarkan dan
didengarkan dengan penuh kasih bisa memulihkan luka. Mendengar
untuk menjadi tahu, mengerti dan memahami, kemudian menjadi
sebuah pembelajaran. Fokusnya adalah pada pertumbuhan diri.
Fokus pada hal baik di dalam cerita.

Dari seluruh proses pelatihan ini, saya belajar bahwa pada
dasarnya manusia memiliki tanggung jawab untuk berusaha. Dalam
usaha, selalu ada dua kemungkinan: berhasil dan gagal. Jika gagal,

34

coba lagi. Hasil bukan sepenuhnya urusan manusia. Setiap upaya
yang dikerjakanlah yang akan dipertanggungjawabkan. Kita tidak
perlu saling menyalahkan karena setiap orang tidak bisa dinilai
hanya dari pengalaman buruk selama hidupnya.

Appreciative Inquiry mengajarkan kita untuk menilai
seseorang bukan dari hal buruk tetapi dari pengalaman terbaiknya
selama hidup. Semua orang belajar. Semua orang ingin menjadi
lebih baik dan berubah. Dunia ini adalah tempatnya untuk belajar
sesuai dengan peranan masing-masing. Mengelola pikiran dan
hati adalah pelajaran seumur hidup. Saya berharap agar setiap
pribadi masih mempunyai waktu untuk memperbaiki dan tumbuh
bersama. Semoga kita bisa terus belajar dan berjalan karena masih
ada harapan dan terang menunggu jauh di depan.


35

NURAGA

Septya Danas Satya

Hari ini aku mendapatkan tugas Konseling Kelompok dalam
salah satu tugas kuliahku. Satu kelompok tersebut terdiri dari lima
orang. Mereka adalah Bapak Deni, Bapak Adi, Ibu Rika, dan Ibu
Sila. Dosen meminta pertemuan konseling kelompok sebanyak dua
puluh kali pertemuan yang dilakukan selama satu semester.

Kebetulan area tempat tinggalku dan teman-teman lain tidak
terlalu berjauhan. Aku dan Ibu Rika bermukim di BSD. Bapak Adi
tinggal di Lippo. Ibu Sila menetap di Bekasi. Walaupun jauh, ibu Sila
menawarkan diri untuk bergabung dalam kelompokku. Sedangkan
Bapak Deni yang berkediaman di Puri, Jakarta juga ikut bergabung
dalam kelompok kami. Bahkan beliau menawarkan gereja tempat
menggembala sebagai sentra selama konseling kelompok.

Semula aku sempat khawatir nantinya kami akan bosan
karena harus melakukan konseling berkali-kali. Ada perasaan
enggan saat akan bertemu setiap minggunya dengan teman-
teman yang sama selama dua puluh kali pertemuan, apalagi aku
sedang hamil empat bulan. Ah, semoga rasa malas menjauh dariku.
Banyak sekali kekhawatiran yang membuatku enggan melakukan
pertemuan. Malu rasanya kalau harus bercerita kepada orang
lain yang tidak terlalu kukenal. Aku sadar bahwa aku ini orang
yang tertutup dan cukup pendiam. Aku hanya akan terbuka jika
sudah mengenal orang tersebut. Oleh karena itu, cukup sulit bagi
saya untuk mengekspresikan perasaan dan pikiranku terhadap

36

orang lain, misalnya teman, saudara, pasangan, dan orangtua. Jika
ada masalah yang mengganjal, biasanya aku hanya berdiam dan
memendamnya dalam hati. Kalau marah, maka perasaanya hanya
kupendam sendiri saja. Aku enggan menyampaikannya langsung
kepada orang yang membuatku marah.

Pertemuan pertama pun dimulai. Bapak Deni yang
mempunyai jiwa kepemimpinan tinggi otomatis langsung
memimpin pertemuan pertama tersebut. Aku masih menyimak dan
memperhatikannya tanpa banyak bicara. Akhirnya, aku dan teman
kelompokku memutuskan tema-tema yang akan didiskusikan tiap
minggunya. Tema berisi kehidupan masing-masing pribadi mulai
dari diri sendiri, keluarga, dan segi-segi kehidupan lainnya. 

Akhirnya, kami selesai menentukan tema-tema yang akan
dibahas. Tema-tema itu adalah siapa saya, aku dan orang tuaku,
aku dan kepribadianku, kecemasanku dalam hal ketidakstabilan
ekonomi, hal positif dan hal negatif dari pasangan kita, barang
peninggalan orangtuaku, bekerja sama dengan orang-orang yang
membuat kita tidak nyaman, aku dan ibuku dan ibu mertuaku,
siapakah Tuhan dalam hidupku, hal positif yang kudapat dari
kuliah konseling selama ini, anger management, kekecewaanku dan
harapanku, kegagalanku, kekhawatiranku terhadap pasanganku,
perjalanan hidup, harapanku di tahun baru, dan permasalahan
remaja yang dihadapi.

Aku mulai menceritakan pengalaman-pengalaman hidupku
di setiap pertemuan. Tersendat rasanya ketika aku harus sharing luka
hati, kekecewaan, dan kejadian traumatis dalam kehidupanku. Aku
pun sempat menitikkan air mata untuk pengalaman-pengalaman
dari teman yang mempunyai pengalaman yang sama atau bahkan
lebih memilukan dari pengalaman kehidupanku. 

Pengalaman traumatik dengan kereta api membuatku laksana
merasakan ada monster yang masuk ke dalam telinga saat kudengar
suara klakson kereta api. Untunglah setelah berjalannya waktu,

37


Click to View FlipBook Version