The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Antologi Cerita Inspirasi : Istana Terindah adalah Keluarga

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan Pahoa, 2022-07-13 20:36:48

Antologi Cerita Inspirasi : Istana Terindah adalah Keluarga

Antologi Cerita Inspirasi : Istana Terindah adalah Keluarga

Keywords: Cerita Inspirasi,Antologi Cerita

MY BESTIE, MY BEST FRIEND

Deni Ari Ningsih

My bestie, my best friend. Ya, itulah sebutan kami untuk
memanggil satu sama lainnya. Sebut saja namanya Melati. Saya
dan Melati sudah berteman lama sekali. Kami selalu berbagi
kisah, pengalaman, kebersamaan, dan suka duka. Suatu saat, saya
tertimpa suatu masalah yang menurut saya saat itu, saya tidak kuat
untuk menjalaninya. Saat itu saya juga mengalami masalah ekonomi
karena kondisi saya belum stabil sebagai orang tua tunggal.

My bestie selalu ada di setiap suka duka kami. Ia memberikan
solusi dari setiap masalah yang saya alami hingga semuanya dapat
kami atasi bersama-sama. Pada saat itu saya diharuskan untuk
mengurus berkas ke Yogya dan saya tidak mempunyai bekal atau
uang sama sekali untuk perjalanan saya hingga akhirnya saya
menceritakannya kepada Melati.

”Melati, minggu depan saya harus pulang ke Yogya, tetapi
saya tidak ada uang sama sekali untuk pergi ke sana.”

Melati mendengarkan keluh kesah, perasaan sedih, dan
semua yang ada di hati saya.

“Tenang teman, nanti kita sama-sama usahakan agar kamu
bisa pulang.”

Benar saja tiba saatnya saya akan ke Yogya, Melati bekata
kepada saya, ”Besok kita ke Yogya bersama-sama. Kamu tidak usah

88

pikirkan biayanya. Saya ada uang untuk ongkos kita berangkat ke
Yogya bersama.”

Keesokan harinya saya dan Melati pergi bersama-sama ke
Yogya. Setibanya di Yogya, kami bermalam di rumah saudara saya.
Keesokan harinya saya segera mengurus berkas-berkas yang harus
saya selesaikan.

Akhirnya, setelah beberapa hari, semua berkas dapat
terselesaikan. Untuk mengurangi rasa penat setelah lelah berkerja,
ibarat sambil menyelam minum air, kami sekalian pergi berlibur di
Yogya. Kami pergi ke Goa Pindul di daerah Wonosari. Setelah itu,
kami pergi ke pantai Baron dan Indrayanti. Kami menghabiskan
beberapa hari di Yogya untuk berlibur. Dan yang tak kalah serunya
kami juga pergi ke Candi Borobudur dan Prambanan. Malamnya
kami menikmati kuliner Yogya yang khas dengan rasa masakannya
yang hemm yummy sambil menikmati suasana indahnya malam di
Malioboro.

Tak terasa sudah satu minggu lebih kami berada di Yogya
dan tiba saatnya kami pulang. Lelah dan senang kami lalui bersama.
Di sepanjang perjalanan kami menyanyi, bercerita, dan bersenda
gurau. Akhirnya, kami sampai di rumah, beristirahat sejenak
untuk memulihkan tenaga dan memulai kembali aktivitas kami
selanjutnya.

Ya begitulah persahabatan kami. Kami bukan saudara
kandung dan bukan adik kakak ataupun sepupu. Kami bertemu
dari pribadi lepas pribadi, beda suku, dan adat, tetapi kami menjadi
satu teman sepenanggungan. Meskipun kami bukan bersaudara
tetapi kami menjadi seperti bersaudara serta menjadi sahabat
yang bisa saling membantu dalam suka maupun duka. Kami saling
menyediakan diri saat dibutuhkan. Kami tidak berhitung-hitungan
dengan materi. Jika saya tidak mempunyainya maka ia akan
memberinya. Begitu juga sebaliknya, jika ia tidak mempunyainya
maka saya akan memberinya. Tidak hanya dari segi materi saja,

89

tetapi saling memberi dari segi tenaga dan lain-lain. Kami saling
mendukung satu sama lain. Itulah kami. My bestie, my best friend
forever. Semoga persahabatan ini akan terus berlanjut hingga nanti
kami lanjut usia.

90

NARA SAHABAT SETIAKU

Astri Leoni Williem

Saya mempunyai seekor sahabat bulu yang selalu menemani
saya ke mana pun saya pergi. Sahabat saya ini sangat lucu. Ia berkaki
empat. Sahabat saya ini seekor anjing. Namanya Nara. Saya dan
Nara sudah bersahabat lebih dari sepuluh tahun.

Nara selalu mengerti apa yang saya rasakan. Pernah suatu
hari saya sedang merasa sangat lelah dengan semua rutinitas
yang ada. Tugas akhir kuliah seperti tidak ada akhirnya. Ditambah
pekerjaan yang menguras tenaga, membuat saya merasa sangat
lelah dan tidak bersemangat. Namun setibanya saya di rumah,
saya disambut oleh Nara dengan penuh bersemangat. Ia melonjak-
lonjak kegirangan seolah mengungkapkan rasa rindunya pada saya
karena tak bertemu seharian.

“Nara kamu ngapain di sana?” ucap saya kepadanya. Seakan
mengerti apa yang saya ucapkan, Nara menghampiri saya dengan
sangat gembira. Ekornya yang mengibas ke kiri ke kanan menandakan
bahwa ia sangat gembira akan kedatangan saya. Seketika semua
rasa lelah saya hilang dan terganti dengan rasa gembira.

Setiap hari rasanya sangat menyenangkan, mengingat kalau
saya di rumah, ada sahabat saya yang selalu setia menunggu
kepulangan saya. Saya pun merasa lebih bersemangat untuk
menyelesaikan tugas kuliah dan pekerjaan yang ada. Saya tidak
sabar untuk cepat-cepat pulang dan bermain bersama Nara.

Hari berganti hari dan tanpa terasa sahabat saya ini sudah

91

semakin tua. Nara yang tadinya selalu bersemangat menyambut
saya, kini hanya memandang saya dari jauh. Nara yang semakin
lemah karena penyakit tua, sudah tidak mau makan lagi. Saya masih
bisa melihat ekornya yang bergoyang-goyang dengan bersemangat.
Namun Nara sudah tidak kuat lagi untuk bermain bola bersama
saya seperti dulu lagi. Sekarang giliran saya yang harus selalu siap
ada jika Nara membutuhkan saya. Kini Nara dan saya berbicara
hanya dengan tatapan mata saja. Meskipun demikian, saya bisa
mengerti apa yang diinginkan Nara.

Saya teringat dulu sewaktu Nara masih muda dan penuh
semangat. Nara pernah menyelamatkan saya dan keluarga saya.
Waktu itu ada seekor ular hitam yang masuk ke taman rumah saya.
Nara dengan sigapnya menggonggong ke arah kami. Nara memberi
tahu kami ada bahaya yang mendekat. Kalau tidak ada Nara saat
itu, mungkin seorang dari kami sudah terpatuk cobra tersebut.
Kejadian ini membuat kami lebih waspada lagi terhadap lingkungan
di sekeliling kami.

Sedih rasanya melihat kondisi sahabat saya yang satu ini. Nara
yang selalu bersemangat menanti kepulangan saya, yang selalu
bersemangat bermain bersama saya, yang selalu bisa menghibur
saya dengan tingkah lucunya, dan mengembalikan semangat saya
yang hilang, kini hanya sanggup berjalan pelan di samping saya.
Hati saya semakin sedih melihatnya semakin lemah setiap harinya.
Namun yang membuat saya kagum adalah ia tetap tersenyum
gembira melihat saya.

Sekarang semuanya itu hanya tinggal kenangan saja berupa
kenangan manis yang tidak bisa digantikan dengan apa pun di dunia
ini. Kehilangan sahabat terbaik yang hadir di hidup saya, membuat
saya semakin kuat untuk berjuang menjalani hidup saya. Seperti
Nara sahabat saya yang selalu gembira dengan kehadiran saya,
saya pun harus gembira dan bersyukur dengan apa yang saya miliki
sekarang ini.

92

“Nara sahabat saya, saya sayang sekali padamu. Semangat
yang kamu ajarkan pada saya akan saya ingat selamanya. Meskipun
kini kamu tidak ada di sisi saya lagi namun saya akan tetap menjalani
hidup dengan bersemangat. Saat lelah datang menghampiri saya
sehingga saya akan mengingat semangatmu yang selalu membuat
saya bahagia,” begitu ungkapan batin saya untuk Nara.

93

BELAJAR MENULIS

Dali Santun Naga

Perang Dunia Dua membuat pendidikan saya cukup
terlambat. Menjelang berusia sepuluh tahun, pada tahun 1944,
saya masih duduk di kelas I Sekolah Rakyat. Saya belajar membaca,
menulis, berhitung, dan menyanyi, dari kelas I sampai kelas III.
Setiap hari sekolah, sekolah itupun hanya berlangsung di waktu pagi
selama sekitar dua sampai tiga jam.

Empat mata pelajaran itu adalah seluruh isi kurikulum di
sekolah yang hanya memiliki tiga kelas dari kelas I sampai kelas III.
Sekolah itu terletak di desa berpenduduk jarang di Sulawesi Tengah
sehingga dengan murid dari beberapa desa sekitarnya, jumlah
mereka dalam sekelas hanya sepuluhan anak.

Sekolah hanya mempunyai dua ruangan. Satu ruangan
untuk kelas I dan II dipakai bergantian dan ruang lainnya untuk kelas
III. Ruang kelas sangat bersahaja sementara di sebelah menyebelah
dan di seberang jalan di depan sekolah terdapat hamparan lahan
yang luas berisikan pohoh-pohon kelapa. Di belakang sekolah
terdapat lapangan rumput yang ada kalanya digunakan untuk
permainan sepak bola dan digunakan oleh murid-murid untuk taiso
(gerak badan) di pagi hari.

Guru pun hanya dua orang. Guru bantu mengajar di kelas I dan
II dan kepala sekolah mengajar di kelas III. Para murid berpakaian
seadanya dan semuanya tidak beralas kaki alias bertelanjang kaki
ke sekolah sambil membawa botol kecil berisi air untuk penghapus

94

tulisan di batu tulis.

Saya belajar menulis huruf Latin di atas batu tulis yang
disediakan di kelas. Kemudian saya belajar menulis huruf Jepang
dalam bentuk katakana. Dan terakhir, setelah perang usai, saya
belajar menulis huruf Arab dalam bahasa Melayu sebagai pengganti
huruf Jepang. Pada waktu itu, dengan ejaan van Ophuijsen, bahasa
di sekolah lebih dikenal sebagai bahasa Melayu daripada bahasa
Indonesia.

Sampai sekarang saya masih ingat bahwa saya baru belajar
membaca dan menulis huruf g yang berbentuk aneh, g g g, ketika
saya duduk di kelas dua menjelang usia saya sebelas tahun. Selain
bentuknya aneh, bersanding dengan huruf n, huruf ng memiliki
suara sendiri yang tidak lagi melibatkan suara huruf g.

Kemudian baru saya ketahui bahwa sekolah desa tempat
saya belajar itu adalah jenis sekolah kelas dua (tweede inlandsche
school) yang disediakan oleh pemerintah Belanda untuk kaum
bumiputra dengan hanya belajar membaca, menulis, berhitung,
dan menyanyi. Pemerintah Jepang meneruskan sekolah itu dengan
menambahkannya pelajaran bahasa Jepang dan taiso. Setelah
perang usai, sekolah itu bernama Bestuur Volkschool.

Itulah pengalaman saya ketika belajar menulis huruf
Latin di atas batu tulis. Lain lagi pengalaman saya ketika belajar
mengarang. Sejak duduk di SMP saya sudah tertarik kepada bahasa
Indonesia. Selain membaca buku, saya juga berlangganan majalah
Pembina Bahasa Indonesia asuhan Sutan Takdir Alisjahbana. Selain
pelajaran bahasa Indonesia, di kelas terdapat pelajaran mengarang.
Dalam hal mengarang ini saya memiliki pengalaman yang tidak saya
lupakan sampai sekarang.

Pada suatu ketika dalam tugas mengarang di SMA, guru
bahasa Indonesia memberi nilai kepada karangan bahasa Indonesia
para siswa sekelas. Saya tidak ingat siapa yang menjadi juara, tetapi
saya masih ingat karangan siapa yang terburuk dan kedua terburuk.

95

Karangan teman sebangku saya memperoleh nilai terburuk. Nilai
terburuk kedua adalah karangan saya. Namun kemudian di antara
siswa sekelas, sayalah salah satu siswa sekelas yang paling banyak
menulis karangan di dalam bahasa Indonesia di samping seorang
teman sekelas yang menjadi wartawan di Lembaga Kantor Berita
Nasional Antara.

Di kemudian hari, karangan saya dalam bahasa Indonesia
tidak terjadi dengan begitu saja. Ternyata menulis karangan itu
bukan hanya sekadar pengetahuan melainkan juga sebagian besar
adalah keterampilan. Itupun perlu digabung dengan pengetahuan
bahasa yang betul agar tulisannya menjadi baik dan betul. Bagi saya
usaha ini memerlukan waktu yang panjang sampai bertahun-tahun
lamanya.

Pemicu pertama adalah ayah teman saya. Ketika kemudian
saya berkunjung ke rumah mantan teman sekelas saya di rumahnya,
saya temukan ayahnya yang sudah pensiun itu setiap hari berada
di kursi malas tanpa mengerjakan apa-apa. Saya pun berpikir apa
yang harus saya lakukan jika saya telah seusia ayah mantan teman
sekelas saya itu, ketika badan sudah tidak kuat untuk melakukan
pekerjaan fisik. Pada waktu itulah muncul dalam pikiran saya untuk
menjadi penulis karangan. Itulah mulanya saya menulis karangan
secara rutin.

Bagi saya belajar menulis karangan tidak asal jadi begitu
saja. Selain latihan menulis, saya memerlukan isi tulisan. Kebetulan
setiap malam menjelang tidur secara teratur saya membaca
berbagai buku sehingga banyak buku yang telah saya baca. Dengan
demikian saya dapat menulis tentang banyak bidang pengetahuan.

Sayamengajaktemanuntukmembuatmajalahsehinggasaya
dapat menulis di dalam majalah itu. Sudah beberapa majalah yang
saya adakan di beberapa tempat. Saya juga sering memperlihatkan
tulisan saya kepada teman baik saya sesama dosen, Muzayanah
Sutikno. Jika ia mulai bertanya kepada saya tentang isi tulisan saya

96

maka pada saat itulah saya sadar bahwa tulisan saya perlu saya
perbaiki. Daripadanyalah saya banyak belajar menulis karangan
yang isinya tidak perlu ditanya-tanya lagi oleh pembacanya.

Kemudian saya belajar menulis karangan secara intensif
ketika saya menjabat sebagai Ketua Lembaga Penelitian di
IKIP Jakarta. Rektor memanggil saya dan berkata bahwa ia
sering menerima majalah dari perguruan tinggi lain tetapi tidak
bisa mengirim majalah sebagai imbalan. Pada waktu itu saya
menyanggupi permintaan Rektor untuk membuat majalah di
lembaga saya.

Setelah berunding dengan sekretaris saya di Lembaga
Penelitian, Jos Daniel Parera, kami bersepakat untuk menebitkan
majalah bulanan Parameter. Mula-mula banyak tulisan yang masuk
tetapi dari tahun ke tahun, makin sedikit orang yang menyumbang
tulisan sehingga sebagian besar tulisan harus saya lakukan sendiri.
Sepuluh tahun lamanya, setiap bulan saya menulis berbagai jenis
karangan untuk majalah Parameter. Namun dengan demikian maka
saya berkesempatan belajar menulis karangan.

Itulah pengalaman saya ketika saya belajar menulis huruf
Latin dalam bahasa Indonesia serta belajar menulis karangan dalam
bahasa Indonesia. Saya memerlukan waktu yang cukup lama dan
banyak latihan untuk dapat menulis karangan. Berkat latihan itulah
maka sampai sekarang pun secara rutin saya masih dapat menulis
karangan.

97

98


Click to View FlipBook Version