sekarang trauma itu sudah berkurang. Pengalaman trauma itu mulai
memudar hingga kini aku sudah bisa menikmati naik kereta. Namun
jika kuingat-ingat kejadian itu lagi, aku akan menangis.
Selama konseling dalam kelompok ini, aku belajar
mendengarkan sharing dari teman dan merefleksikan kepada diri
sendiri sampai aku bisa mendapatkan insight dari pengalaman-
pengalaman berharga mereka.
Ternyata dengan melakukan konseling kelompok secara rutin
dengan orang-orang yang bisa kupercaya dan memiliki kesamaan
pengalaman, aku merasa tidak sendirian. Perasaan sukacita
pun muncul. Rasanya begitu melegakan. Perasaan sungkan pun
menghilang. Aku menjadi lebih terbuka kepada orang lain untuk
menceritakan permasalahan yang sedang kuhadapi
Aku juga menyadari bahwa menerima kehadiran orang lain
dalam kehidupan kita dapat menghindari konflik dari kompetisi
yang saling menjatuhkan. Dengan begitu, kita juga bisa menghargai
pilihan-pilihan apa yang dianggap benar dan baik yang kadang
berbeda dengan anggapan orang lain. Meskipun banyak pandangan
teman-teman yang berbeda, kami bisa belajar untuk saling
menghargai.
Apa pun yang aku lakukan, teman-teman tidak menghalangi,
melainkan mendukungku. Aku sangat berhati-hati dalam berbicara,
terutama saat orang lain terlihat sedang dalam masalah supaya apa
yang kukatakan bisa diterima dan tidak menyinggung perasaan
orang tersebut. Karakter tiap orang berbeda. Orang lain yang kuajak
bicara ada yang pendiam, periang, terbuka, sensitif, mudah marah,
suka dipuji, humoris, dan lain-lain.
Satu semester telah berlalu lalu, aku terlalu menikmati
kebersamaan dengan teman-teman kelompok konseling. Mereka
layaknya seperti orang yang mengerti, memahami, dan juga merasa
sudah saling mengenal sangat lama. Muncul rasa saling memahami,
berbagi rasa, dan empati di antara kami. Wawasan tentang
38
perbedaan pun semakin meningkat. Keberagaman di antara diriku
dan teman lainnya semakin meningkat. Bersama dengan teman-
temanku, aku meningkatkan kualitas kedekatanku dengan Tuhan.
Amanat Tuhan untuk mengelola bumi dan alam semesta tidak
hanya dengan Tuhan, tetapi juga dengan manusia lainnya.
Aku merasa bertanggung jawab terhadap manusia lain yang
berbeda pandangan denganku. Aku paham bahwa semua manusia
adalah makhluk ciptaan Tuhan yang pasti disayang dan dikasihi
tanpa batas dengan cara-Nya. Jangan sampai kecintaan Tuhan itu
kita sakiti dan singkirkan. Level tertinggi bertoleransi dengan orang
lain adalah menerima perbedaan dan kebersamaan. Dan memang,
semua hal ada masanya sendiri
**Nuraga: Simpati dan Berbagi Rasa
39
SETIAKU PADA PILIHANKU
Wita Suciana Dewi
Tahun 2010 menjadi awal yang sangat baik untuk kelanjutan
karierku sebagai guru. Pada tahun itu aku memutuskan untuk
melamar bekerja di sekolah yang sedang naik daun. Sekolah itu
dianggap semua orang sebagai luar biasa. Luar biasa karena di awal
berdirinya sekolah itu sudah mendapatkan banyak siswa. Bukan
hanya ratusan siswa, setelah satu tahun berdiri, sekolah hebat ini
sudah mampu menerima kurang lebih seribuan siswa dari jenjang
Kelompok Bermain sampai dengan jenjang Sekolah Menengah.
Selain siswa yang banyak, sekolah ini memiliki fasilitas yang sangat
baik. Ruang kelas nyaman bertingkat, setiap ruangan ber-AC, serta
ada lapangan olahraga indoor dan outdoor, perpustakaan dengan
koleksi pustaka cukup lengkap, dan berbagai fasilitas belajar lainnya
yang setaraf dengan sekolah internasional.
Setelah melalui berbagai seleksi masuk untuk pendidik
di sekolah hebat ini, akhirnya aku diterima sebagai guru Bahasa
Indonesia di jenjang SMA. Sukacita luar biasa membuatku yakin
bahwa di sekolah ini segala kemampuanku menjadi pendidik akan
terasah dan berkembang lebih baik.
Sungguh luar biasa bahwa sekolah baruku ini bisa memberiku
banyak hal yang tak terduga. Sebagai sekolah umum yang
multiculture dan multiagama, sekolah ini memberikan wawasan
terbaik tentang arti menghargai perbedaan. Perbedaan etnis,
agama, dan budaya adalah spirit dari semua warga sekolah.
40
Sebagai guru muda, aku menjadi jembatan diskusi yang
menyenangkan buat siswa-siswiku. Tidak sedikit dari siswa-siswiku
yang sharing tentang keseharian mereka. Ada siswa yang bercerita
tentang kesulitan belajar. Ada siswa yang bercerita tentang
bagaimana usaha mereka masuk ke salah satu jurusan favorit dan
bahkan ada siswa yang bercerita tentang orang tua atau pengalaman
pertama mempunyai pacar.
Dari semua pengalaman mengesankan itu, ada beberapa hal
yang begitu membekas dalam ingatanku. Aku menjadi wali kelas
yang begitu dicintai dan melewati tahun-tahun bertambahnya
usia yang selalu senantiasa dirayakan oleh satu kelas. Setiap tahun,
siswa perwalianku akan menyiapkan kejutan yang tak terduga. Lagu
Selamat Ulang Tahun yang dinyanyikan ramai-ramai tak urung
membuat hatiku meleleh dan terharu.
Kisah lain yang tak kalah mengesankan adalah upayaku untuk
tidak hanya menjadi wali kelas, tetapi menjadi ibu bagi mereka.
Tersebutlah siswaku yang bernama Erren, anak yang lucu, pintar,
dan kreatif. Selain itu, ia adalah anak yang ceria dan menghidupkan
suasana kelas. Seisi kelas selalu dibuatnya ramai dengan tawa ketika
mendengar celetuknya yang khas.
Sampai suatu hari, saat teman-temannya beristirahat di
koridor kelas dan menyantap makanan bekal mereka, aku tidak
melihat Erren makan. Hari pertama aku melihat itu tetapi aku tidak
lantas bertanya mengapa ia tidak makan seperti temannya. Aku
memilih memperhatikannya setiap jam istirahat sampai beberapa
hari berikutnya. Hasilnya sama, ia tidak makan apa pun. Akhirnya,
aku memberanikan diri untuk bertanya pada Erren.
“Nak, kok kamu gak makan?”
“Gak bawa makan, Bu,” jawabnya lugu. Namun tak terlihat ia
murung dengan jawabannya.
“Mengapa tidak bawa makanan?”
“Mama tak sempat buatkan bekal.”
41
“Kalau lapar, kamu jajan?” Aku lanjut bertanya dengan
perasaan semakin heran.
“Tidak selalu,” jawabnya tetap dengan keceriaannya yang tak
berubah.
Keesokan hari aku mengonfirmasi kisah Erren kepada
beberapa orang yang tahu tentang dia. Banyak cerita tentang
kesehariannya. Entah masalah kesibukan atau keuangan, aku
tidak terlalu bisa menangkap keadaan sesungguhnya. Dengan
ketidakjelasan itu, aku memilih tidak bertanya lebih lanjut kepada
Erren. Akan tetapi, keesokan hari aku berdiri di tempat yang
biasanya didudukinya saat beristirahat. Aku sodorkan kepadanya
nsatu kotak bekal makan.
“Ini ibu masak pagi-pagi. Ibu mau kamu coba masakan ibu.”
Erren tampak terkejut, tetapi binar matanya karena kebahagiaannya
begitu memancar. Demikian setiap hari akhirnya, aku selalu
membawa bekal untuknya makan saat istirahat. Saat lulus, ia begitu
terharu memelukku dan lantas berkata sangat rindu akan bekal
dari ibu. Tahun-tahun setelahnya, apabila ia luang dari kuliah dan
bekerja, ia akan berkunjung ke rumahku.
Kisah tentang Erren berulang di tahun-tahun berikutnya
dengan orang dan kisah yang berbeda. Ada Randy yang memiliki
orang tua bercerai. Randy harus bersekolah nyaris tanpa bantuan
orang tua. Ia tinggal di rumah kos dengan bayaran kos yang kadang
terbayar dan kadang tidak. Belum lagi jarak rumah kosnya yang
lumayan tidak dekat dari sekolah. Randy selalu terlambat datang
ke sekolah. Akhirnya, aku menghadap pimpinan sekolah dan
memohon bantuan sepeda yang biasanya diperbantukan bagi guru.
Dengan bahagia aku bisa melihat Randy datang ke sekolah lebih
pagi menggunakan sepeda yang dipinjamkan sekolah.
Cerita lain adalah tentang seorang anak jago basket yang
sudah kehilangan ibunya karena sakit. Ia adalah Boby. Boby tumbuh
menjadi anak yang sangat iseng di sekolah. Namun demikian Boby
42
begitu hebat bermain bola basket. Kerap kali aku memanggilnya ke
ruanganku karena ia sering ikut bertanding bola basket tanpa izin
dari sekolah. Belum lagi laporan keisengannya yang tiada henti.
Akhirnya, aku membantu mengajukan proposal kepada pihak
sekolah untuk memfasilitasi Boby dan teman-temannya untuk
ikut di ajang pertandingan bola basket bergengsi. Tidak disangka
bahwa ia bahkan lolos menjadi wakil sekolah ketika berkunjung ke
klub basket di Amerika. Aku menangis terharu ketika teringat akan
ketabahannya tanpa ibu. Ia tetap menunjukkan kemauannya yang
keras walau kerap kali aku memarahinya karena ia tidak berdisiplin
dan sangat iseng di kelas.
Demikian aku mencintai siswa-siswiku. Aku begitu mencintai
pekerjaanku. Bila beberapa orang rekanku bertanya mengapa
aku begitu fokus pada siswa dan pekerjaanku sebagai guru, maka
aku selalu menjawab bahwa itulah bentuk kesetiaanku kepada
panggilanku sebagai guru, kepada profesiku, dan sekaligus kepada
siswa-siswiku.
Pada tahun-tahun berikutnya aku mendapat kepercayaan
dari sekolah untuk menjadi pembimbing kesiswaan. Tugas ini terasa
berat karena kupikir tugas seorang pembimbing kesiswaan terlalu
fokus kepada kedisiplinan dan tidak sejalan dengan karakterku
sebagai guru Bahasa dan Sastra yang terkadang “nyeleneh.” Akan
tetapi aku suka belajar akan hal-hal baru. Aku menerima tawaran
itu dan menjalankan tugas yang lumayan cukup berat.
Pada hari-hari berikutnya aku tampil sebagai orang yang
berupaya menanamkan kedisiplinan dengan tegas. Namun aku
selalu memberikan pengertian yang mudah diterima oleh siswa-
siswiku. Empat tahun telah berjalan dengan begitu penuh tantangan.
Setiap minggu aku wara-wiri menggunting rambut anak-anak yang
gondrong. Pada minggu berikutnya aku fokus pada kelengkapan
seragam. Pada bulan baru, aku menertibkan anak-anak yang belum
terbiasa mengucapkan salam kepada guru dan warga sekolah yang
43
lebih tua, serta sederet program untuk mendisiplinkan siswa yang
lambat laun begitu kusukai.
Pada titik ini aku melihat diriku sebagai guru bahasa yang
dirindukan sekali pada satu sisi dan sebagai motor kedisiplinan yang
disegani pada sisi lain. Pada titik ini juga aku kukuh dalam prinsipku.
Inilah nilai kesetiaanku kepada pilihan hidupku. Aku mengabdikan
diri untuk dunia pendidikan melalui sekolah yang begitu kucintai.
Tibalah saatnya aku hamil anak keempat. Kehamilan ini
terjadi di usiaku yang tidak semuda dulu. Kehamilanku kali ini
tidak terlalu selancar kehamilan sebelumnya. Apabila kelelahan
karena aktivitas, padaku sering muncul flek yang mengharuskan
aku beristirahat. Bayi dalam kandunganku pun cenderung kecil
karena aku bermasalah dengan nafsu makan. Urusan kehamilanku
mulai sedikit-sedikit mengganggu aktivitas kerja. Banyak pekerjaan
yang tertunda atau tidak maksimal karena beberapa kali dokter
mengharuskanku istirahat.
Karena pekerjaan yang tidak maksimal, aku sendiri mulai tidak
puas akan pekerjaanku dan menyalahkan diriku sendiri. Hormon
yang tidak seimbang pun mulai membuat aku menjadi sentimental
terhadap banyak hal. Beberapa kali aku merasa teman-teman
jengah akan keadaanku. Bahkan aku merasa beberapa teman
menjauh dan membentuk kelompok mereka sendiri. Aku mulai
kurang bisa menguasai keadaan.
Sampai pada akhirnya aku melahirkan dan bermunculan
masalah baru. Aku tidak berhasil mendapatkan suster yang mampu
menjaga anakku saat aku bekerja. Terpaksa aku membawa anakku
ke sekolah dan menitipkannya di day care sekolah. Menitipkan anak
di day care sekolah semakin membuatku kewalahan karena aku
harus menyiapkan segalanya sejak pagi buta. Lebih repot lagi, jam
kerjaku sebagai guru dan pembimbing kesiswaan bersaing dengan
keharusanku pumping asi.
Semuanya mulai terasa begitu berat. Beberapa malam
44
aku mulai mengigau dalam tidurku. Hal itu membuat suami dan
keluargaku begitu cemas. Lebih mencemaskan lagi, suatu hari
atasanku memanggilku. Beliau mempertanyakan laporan dari HRD
yang menyebut di data presensi bahwa selama tujuh hari aku tidak
melakukan finger print. Jelas aku selalu masuk kerja, dan aku tidak
ingat sama sekali bahwa aku tidak melakukan presensi selama
seminggu. Hal itulah yang membuat keluargaku semakin cemas.
Atas saran dari semua pihak, aku memutuskan untuk mundur dari
jabatanku sebagai pembimbing kesiswaan.
Tidak serta merta semuanya selesai. Rasa cemas mulai
sering menghantui justru setelah aku berhenti dari aktivitas sebagai
pembimbing kesiswaan. Di sekolah aku merasa bingung karena
merasa tidak sibuk lagi. Aktivitas di sekolah yang biasanya sangat
padat sekarang terasa longgar. Banyak waktu yang seharusnya bisa
kugunakan sebagai sarana kontemplasi diri tetapi tidak kugunakan.
Alih-alih digunakan untuk kontemplasi diri, aku menjadi lebih
banyak meratapi mengapa aku berada dalam keadaan yang tidak
menyenangkan. Aku tidak sibuk. Aku tidak dipercaya lagi. Aku dijauhi
teman-teman. Aku tidak lagi menjadi pusat perhatian. Perasan-
perasaan itulah yang kerap kali muncul dalam keseharianku.
Aku mulai tidak puas akan diriku sendiri. Aku mencari
perhatian teman-teman dengan ruminasi atau mengulang-ulang
kisah sedih yang kualami, entah tentang rumah atau hal-hal lainnya.
Kerap kali dalam rapat dewan guru saat aku kebetulan tidak sedang
mendapat kesempatan berbicara, aku merasa tidak dipandang
dan tidak berguna. Beberapa teman mengatakan mungkin aku
mengalami post power syndrome. Aku sendiri menganggap diriku
terkena post partum yakni sebuah keaadan mental yang tidak stabil
akibat melahirkan dalam situasi yang mungkin banyak beban. Semua
asumsi yang tidak pasti itu kian hari kian memuncak. Puncaknya
ketika di rumah, aku menangis sejadi-jadinya dan meminta seluruh
anggota keluarga mengizinkan aku berhenti bekerja. Dengan semua
kekhawatiran yang ada, suami dan seluruh keluargaku mengabulkan
45
permohonanku.
Aku telah lupa akan kebahagiaanku ketika berhasil lolos tes
kerja di sekolah hebat ini. Aku juga telah lupa bahwa bertahun-
tahun aku puas dengan prinsip kesetiaan pada dunia pendidikan.
Lebih dahsyat lagi aku melupakan bahwa ada siswa-siswiku yang
selalu membutuhkanku. Aku hanya fokus pada kesedihan yang
sesungguhnya tidak jelas entah apa sebabnya.
Kuumumkan kepada teman-teman sejawat serta siswa-
siswiku bahwa aku tidak akan bersama mereka lagi dalam waktu
sebulan ke depan. Kukatakan kepada mereka bahwa aku harus
mengurus urusan lain di kampungku. Beberapa teman membujukku
untuk mengurungkan niatku. Siswa-siswiku begitu sedih dan
berusaha menahanku. Keputusanku sudah bulat. Aku tidak akan
bersama mereka lagi.
Pada suatu siang saat istirahat, siswiku Fei menghampiriku.
Ia mengatakan bahwa siswa perwalianku akan menggelar malam
perpisahan untukku. Aku mulai bingung dengan perhatian mereka
yang begitu besar. Akhirnya, aku berjanji akan datang malam itu.
Pada malam yang telah ditentukan aku mendatangi pesta
perpisahan yang dibuat oleh siswa-siswiku. Aku takjub. Di sana
mereka telah menyiapkan semuanya dengan begitu sempurna.
Mereka memasak penuh sukacita. Berbagai hidangan dibuat khusus
untuk menjamuku. Aku hanya diminta duduk dan mengobrol
ringan dengan mereka. Tiba-tiba tanpa kuduga, salah satu siswiku
membacakan puisi tentang arti penting kehadiranku untuk mereka.
Puisi itu begitu melankolis sehingga membuatku menangis. Tidak
hanya itu, mereka menyanyikan lagu bersama-sama dengan lagu
yang bertajuk bunda.
Zahra, salah satu siswiku yang begitu manis, maju ke depan
memberiku sebuah bingkisan berupa sajadah dan mukena. Aku
membuka hadiah itu dengan sangat terharu. Nuraniku terdalam
berbicara tentang betapa anak-anak mencintaiku apa adanya.
46
Hadiah mukena dan sajadah itu seperti sebuah simbol cinta tanpa
syarat. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku begitu dicintai oleh siswa-
siswiku di tengah perbedaan yang juga begitu besar. Perbedaan itu
bukan hanya perbedaan sederhana, tetapi perbedaan suku, agama,
dan bahkan kebiasaan.
Selesai dengan itu semua, satu persatu mereka maju dan
memelukku erat dan mengatakan bahwa aku begitu berarti untuk
mereka. Mereka menegaskan betapa mereka butuh kehadiranku
ketika melewati hari-hari di sekolah. Pesta selesai. Aku pulang
dengan satu pertanyaan besar yang menghantuiku. Pantaskah
mereka kutinggalkan padahal mereka adalah esensi terbesar
mengapa aku memilih setia menjadi seorang guru.
Pada tengah malam yang sunyi, kuambil air wudhu. Kudekap
mukena dan sajadah pemberian siswa-siswiku. Dari semua waktu
luangku yang telah kubuang percuma untuk pertama kalinya aku
kontemplasi diri. Kutanyakan kepada Allah Rabbku tentang semua
perjalanan dan keputusanku. Kutanyakan kepada diriku, ego yang
mana yang telah merampas nuraniku sebagai guru. Lebih dalam aku
bertanya, kepada siapa saat ini kutambatkan kesetiaanku. Kepada
atasanku? Kepada popularitasku? Kepada jabatanku? Akhirnya,
sampailah aku pada jalan terang keputusanku. Keputusan yang
telah melalui pertarungan besar antara dua keinginan, bertahan
atau lepaskan?
Inilah jawabannya. Pada pagi yang indah di suatu hari yang
cerah, kusampaikan kepada pimpinanku, izinkan aku kembali
menambatkan kesetiaanku kepada duniaku, kepada dunia siswa-
siswiku yang juga begitu tulus mencintaiku. Izinkan aku kembali
menambatkan kesetiaanku kepada sekolah yang setiap sudutnya
begitu kucintai. Aku bertahan.
47
KILAUAN SANG TANAH
Anik Indayani
Ini adalah kisahku. Kisah tentang seorang ibu rumah tangga
dengan dua sahabat karib. Sahabatku yang pertama adalah
seorang istri dari nahkoda kapal pesiar yang tinggal di Jakarta.
Namanya Rani. Sahabatku yang kedua adalah Retno. Ia seorang
istri pengusaha batu bara asli Medan. Aku seorang emak-emak yang
berpenampilan sederhana dan apa adanya. Aku berbeda dengan
dua sahabatku yang selalu tampil paripurna di mana pun dan kapan
pun mereka berada. Meski kami memiliki watak dan latar belakang
yang berbeda, kami selalu kompak tanpa memandang status dan
harta.
Pada hari perayaan tahun baru Imlek tahun ini kami bertiga
menyempatkan diri untuk bertemu, meskipun kami memiliki
kesibukan masing-masing. Karena jarangnya kami bertemu maka
kami berencana bisa berkumpul pada tahun baru ini.
Dari sinilah kisahku dimulai. Pertemuan ini adalah pertemuan
yang istimewa untuk kami. Namun sepertinya sahabat-sahabatku
sudah mulai berubah cara pikirnya. Entah mengapa mereka tidak
sebijak dahulu. Di pertemuan yang sudah kami tunggu-tunggu ini
mereka berdua asyik membicarakan pencapaian yang berupa harta
benda. Mereka bicara seolah memandang rendah aku yang hanya
istri seorang guru honorer di sebuah sekolah dasar.
Mereka tertawa lepas mengkritik penampilanku yang katanya
kampungan, jadul, dan tidak glowing.
48
“Anik, lihatlah dirimu sudah menikah bertahun-tahun tidak
tambah glowing malah tambah kusam,” ucap Rani dengan senyum
tipisnya.
“Iya, Nik, berbenahlah, mempercantik diri biar dihargai orang.
Miskin tidak harus tampil gembel, kan,” tambah Ratna. Seketika aku
tersenyum lebar mendengar perkataan dua sahabatku yang hebat
ini. Aku hanya mengatakan kepada mereka.
“Aku punya sebuah kisah yang ingin kuceritakan untuk kalian.
Ini adalah kisah persahabatan antara Tanah, Emas, dan Perak.”
Rani dan Retno tampak tertarik. Mereka mendekatkan kursinya ke
arahku.
“Gimana ceritanya?” tanya Rani. Lalu mereka mendengarkan
dengan saksama.
“Suatu ketika terjadilah percakapan antara Emas, Perak, dan
Tanah.” Aku memulai ceritaku.
“Tanah lihatlah dirimu, begitu dekil, jelek, dan tidak bercahaya,
berbeda denganku begitu cantik dan berkilauan,” ujar Emas dengan
sombong.
“Ya, benar apa kata Emas. Kamu terlihat kotor dan kusam
bahkan kamu diam saja jika orang merusakmu dan mengotorimu.
Belajarlah seperti kami yang selalu tampil sempurna dan berkilauan
sehingga tidak diremehkan orang lain,” tambah Perak.
“Jangan pernah mau diremehkan dan diinjak-injak orang lain,
Tanah. Kita itu berharga. Tunjukkan bahwa kamu punya nilai, bahwa
kamu itu tidak selemah yang dipikirkan orang lain. Bagaimana
kamu bisa berteman dengan kami jika kamu tidak menampakkan
cahayamu di depan orang-orang? Kami itu berharga. Banyak orang
yang rela mati demi kami,” timpal Emas dengan suara meninggi.
“Teman-teman, mungkin aku tidak secantik dan semenarik
seperti kalian. Tetapi apakah kalian pernah berpikir bahwa hidup
tidak hanya sekadar berpenampilan menarik untuk mendapatkan
pujian dan simpati yang menghasilkan kepuasan diri? Tidak teman-
49
teman. Hidup itu bukan seberapa banyak kita dipuji dan diagungkan
namun seberapa besar kebermanfaatan kita terhadap sesama.
Perlu kalian ketahui aku bisa memberikan kehidupan bagi bunga,
buah, rumput, dan dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan
manusia. Aku tidak hanya mementingkan kebahagiaanku sendiri
karena sejatinya hidup itu adalah saling berdampingan dan saling
melengkapi. Wahai, Emas dan Perak, apakah kalian bisa?” jawab
Tanah dengan tenang dan bersahaja.
Aku lalu terdiam sejenak memperhatikan reaksi dua
sahabatku. Mereka masih terlihat tertarik dengan ceritaku.
“Lalu gimana akhir dari kisahmu itu?” tanya Rani penuh ingin
tahu.
“Nah, teman-teman akhirnya Si Emas dan Perak menyadari
kesalahannya bahwa bersikap sombong dan hanya melihat
seseorang dari penampilan adalah sikap yang kurang bijaksana,”
jawabku. Rani dan Retno masih terdiam. Mereka terlihat sedang
merenungi kisahku. Lalu aku melanjutkan lagi kata-kataku.
“Teman-teman, kisah yang kuceritakan tadi hampir mirip
dengan persahabatan kita. Sadarkah kalian bahwa selama ini
manusia mengira bahwa apa yang berharga dalam hidup adalah
kekayaan dan fisik yang rupawan? Segalanya tentang materi saja.
Sedikit orang yang memiliki kesadaran seperti Si Tanah. Ia sederhana
tetapi dapat memberi manfaat bagi lingkungan sekitar. Jadi, bukan
seberapa mewahnya penampilan kita, tetapi seberapa bermanfaat
kita pada orang lain dan lingkungan sekitar.” Aku mengakhiri kata-
kataku.
Sesaat kami masih terdiam. Aku memandang kedua
sahabatku. Rani menundukkan kepalanya. Retno menatapku
dengan mata berkaca-kaca.
“Anik, maafkan kami, ya,” ujar Retno sambil meraih tanganku
dan menggenggamnya. Rani juga mendekatiku lalu memelukku.
Aku tersenyum sambil menganggukkan kepalaku. Persahabatan
50
memang jauh lebih indah jika saling menghargai dan tidak saling
menghakimi. Aku yakin untuk selanjutnya persahabatan kami akan
lebih menyenangkan dan membahagiakan.
51
DIA AMADEA, SISWA
FAVORITKU
Anik Pamungkasih
Aku menatap anak perempuan di depanku yang sedang
terpekur. Kulihat ia meremas tangannya dan menjentik-jentikkan
kuku jemarinya. Itu adalah tanda kegelisahan dan kekhawatiran
yang sedang melanda dirinya. Mirella Amadea Guswanto, nama
siswi kelas XII MIPA 1 yang mengalami kesulitan dalam pelajaran
yang kuampu, Matematika. Memang sejak kelas X nilai Matematika
Dea selalu di bawah ketuntasan.
Kini ia akan menghadapi Ujian Akhir sekolah dan Ujian
Nasional. Kulihat daftar nilai persiapan ujian kelas XII MIPA
1, ternyata sudah ada empat nilai ujiannya yang nmerah. Ia
mendapatkan nilai 20, 40, 30, 38. Kukatakan kepadanya bahwa
masih ada kesempatan untuk memperbaiki nilai karena masih akan
ada empat penilaian persiapan ujian. Asalkan fokus dan tekun ia
pasti bisa. Aku berusaha membesarkan hatinya dan menghidupkan
cahaya harapan di dalam dirinya.
“Tapi nilai saya sangat jauh di bawah syarat kelulusan Bu
Christy,” ucap Dea sambil terisak-isak.
“Jangan putus asa. Kita masih bisa berusaha. Kita upayakan
saja strategi yang tepat supaya Dea bisa memenuhi kriteria
kelulusan. Dea mau dibantu, bukan? Dea mau mengikuti arahan Bu
Christy?” kataku kepadanya sambil menatapnya penuh kasih.
Dea mendongakkan kepalanya. Matanya beradu dengan
52
mataku yang sedang menatapnya dengan penuh keyakinan. Aku
melihat ketenangan mulai terlihat di matanya. Aku meyakinkannya
bahwa ketika seseorang selalu bangkit saat terjatuh, maka yang
terlihat adalah ia berdiri tegak dan bukan terpuruk. Ketika pensil
patuh pada tangan yang menggenggamnya, akan ada tulisan yang
indah dari hasil goresannya.
“Kalau Dea mau menuruti kata-kata Bu Christy, Ibu jamin
Dea akan mendapat hasil yang lebih bagus,” ucapku mantap.
Dea mengangguk. Aku membeberkan strategi yang
kumaksud kepada Dea.
“Dea, kita memiliki sepuluh bab untuk dikuasai. Tapi untukmu,
cukup enam bab saja yang perlu kaupelajari dan kuasai, sedangkan
empat bab terakhir tidak usah kauhiraukan. Tidak usah kamu lihat.
Kalau bisa, kamu lupakan saja. Jangan bebani pikiranmu dengan
materi–materi sulit itu. Kamu fokus pada enam bab pertama saja.
Latih serta kuasai dengan baik!” kataku.
Dea memandangku dengan tatapan ragu seakan-akan tidak
percaya pada perkataanku.
“Tapi kalau soal di antara bab tujuh sampai sepuluh itu
muncul, saya jadi tidak tahu apa-apa, Bu, dan pasti saya akan
menjawab salah,” kata Dea ragu memberikan argumen.
“Tidak apa-apa, Dea. Kamu hanya akan salah menjawab
beberapa nomor saja,” kataku menegaskan dan berkata lagi
kepadanya.
“Dalam hidup tidak mengapa jika kita tidak bisa melakukan
semuanya, tidak perlu khawatir. Kita tidak perlu menjadi sempurna.
Kita lakukan yang terbaik sudah cukup. Kita juga tidak perlu
memaksa diri melakukan hal yang kita tidak bisa. Lebih baik kita
fokus pada hal yang kita kuasai. Itu akan lebih menyenangkan dan
membuat kita lebih semangat. Ingat fokus pada hal yang kamu
bisa, Dea,” kataku panjang lebar menasihati Dea. Dea mengangguk
mantap.
53
Setelah berdiskusi, aku memberikan beberapa latihan soal
bab satu dan dua. Dea mengikuti dengan tekun. Ia juga banyak
bertanya kalau tidak menegrti. Aku membimbingnya dengan sabar.
Meskipun untuk hal yang sama, aku harus mengulangnya beberapa
kali. Memang aku membutuhkan perjuangan dari aku sebagai
gurunya.
Kemampuan dasar Matematika Dea memang lemah. Aku
sampai menggunakan cara bodoh untuk mengajari Dea. Aku minta
dia menghafal tipe soal. Aku tidak lagi memegang idealisme bahwa
siswa harus memahami konsep dasar dan sistematika berpikir
Matematika. Aku mengajarinya tips dan triknya supaya Dea bisa
lebih ringan mempelajari enam bab.
Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pk 16.00. Sudah
dua jam lebih kami berkutat dalam latihan soal, tetapi Dea belum
menunjukkan tanda-tanda jemu dan lelah.
“Cukup, ya, Dea belajar kita sore ini. Ibu senang kamu
sangat semangat dan tidak mudah bosan ataupun lelah,” kataku
kepadanya dengan senyum.
“Bu Christy saja semangat maka Dea yang sedang
diperjuangkan harus lebih semangat lagi. Terima kasih banyak, ya,
Bu. Ibu sudah meluangkan waktu untuk membantu saya,” ucap
Dea.
“Boleh minta beberapa soal lagi untuk saya latihan di rumah,
Bu?” katanya lagi dengan sangat sopan.
Dengan senang hati kuulurkan satu lembar soal latihan bab
satu dan dua. Dea menerimanya dengan gembira dan langsung
memasukkannya ke dalam map Matematikanya.
“Besok Ibu ada waktu, tidak? Saya ingin berlatih lagi
mengerjakan soal,” tanya Dea sambil menatapku penuh harap.
Tentu saja aku langsung mengiyakan. Hatiku penuh syukur
karena Dea sangat bersemangat dan mau mengikuti strategi yang
aku rencanakan. Dea tersenyum lebar dan matanya bercahaya.
54
Ketika aku melihat mata Dea, hatiku menghangat. Aku berdoa
semoga Tuhan berkenan membantu kami berdua melewati masa
yang penuh perjuangan ini. Bagiku tidak ada saat yang lebih
membahagiakan daripada melihat anak yang sudah putus asa
kemudian timbul semangat untuk bangkit kembali.
Aku tidak berharap banyak. Bagiku menyelamatkan satu
anak saja sudah cukup untuk menjadi alasan bagiku untuk terus
menekuni profesiku sebagi guru Matematika, mata pelajaran yang
sering menjadi momok di sekolah.
Setelah Dea pulang, aku pergi ke ruang kepala sekolah dan
memberikan lembaran laporan pendampingan siswa. Aku bertemu
dengan Ibu Deswita, kepala sekolahku. Aku mulai menuturkan
bahwa aku sedang membimbing Dea. Aku menjelaskan strategi
yang kuterapkan. Setelah menyimak penuturanku, Bu Deswita
menyampaikan bahwa beliau akan memanggil orang tua Dea untuk
menjelaskan bahwa sekolah sedang memberikan bimbingan khusus
kepada Dea sehingga kemungkinan Dea akan pulang lebih sore dan
untuk minta kerja sama orang tua agar kondisi di rumah mendukung
Dea dalam persiapan ujian.
Aku sangat mengapresiasi Bu Deswita yang senantiasa
bertindak cepat menanggapi informasi yang diberikan guru. Beliau
juga sangat mendukung upaya-upaya guru dalam memajukan
siswa. Tidak mengherankan bahwa sejak ibu Deswita menjadi
kepala sekolah, sekolahku mengukir banyak prestasi.
Aku menyalami dengan senyum anak-anak kelas XII di
pintu gerbang. Hari itu hari pertama ujian. Siswa kelas XII hadir ke
sekolah lebih awal dari biasanya. Itu memang hal yang dituntut oleh
Ibu Deswita dari para siswa ketika ujian ataupun penilaian akhir
semester berlangsung. Siswa tiba di sekolah paling lambat 15 menit
sebelum jam kehadiran di sekolah. Aku melihat anak-anak langsung
duduk bersama teman-temannya yang sudah hadir lebih dahulu.
Mereka duduk di lantai hall sekolah.
55
Siswa yang menjadi koordinator kelompok membagikan
kartu ujian ke teman yang baru saja hadir. Semua dikerjakan
secara tertib dan rapi. Masih banyak anak yang membaca
catatan, berdiskusi dengan teman, atau sekadar mengobrol untuk
mengurangi ketegangan. Ada pula siswa yang sedang menikmati
sarapan sambil membaca. Suasana masih riuh dengan suara para
siswa. Guru koordinator ujian meminta para siswa untuk berada di
barisan kelompok masing-masing. Para siswa mengatur diri mereka
masing-masing.
Kemudian aku melihat Ibu Deswita maju ke depan para
siswa. Seketika suasana sunyi senyap. Sungguh luar biasa memang
kharisma Ibu Deswita. Kehadirannya saja sudah membuat para
siswa tertib, patuh, dan hormat. Bu Deswita menyampaikan
motivasi, mengingatkan siswa akan hal-hal teknis, dan berpesan
kepada para siswa untuk percaya diri dan jujur, dan mengerjakan
ujian dengan kekuatan sendiri. Pesan ini tidak pernah terlewat.
Sekolah kami memang sangat menekankan kejujuran. Nilai
utama sekolah sangat kami junjung tinggi. Dengan komando Bu
Deswita para siswa bergiliran berjalan menuju ruang ujian. Mereka
bergerak cepat, berjalan dengan tertib, dan tenang menuju aula,
tempat ujian dilaksanakan.
“Bu Christy, jawabanku banyak yang sama dengan jawaban
Levina,” kata Dea dengan gembira bukan kepalang. Ia melompat-
lompat riang sambil menggenggam tanganku ketika siang itu ia
bertemu denganku di selasar kelas setelah ujian Matematika selesai.
“Kok bisa tahu jawabanmu sama kan soalnya diacak dan
lagipula kertas coretan dikumpulkan,” kataku tanpa bermaksud
mengurangi antusiasmenya dan mengecewakan hatinya.
“Kami tadi mengingat-ingat stimulus soalnya terus aku
jawab apa dan Levina jawab apa. Memang tidak semuanya, Bu. Tapi
jawabanku banyak yang sama dengan jawaban Levina. Doakan,
ya, Bu, supaya hasilnya benar-benar baik,” kata Dea menjelaskan
56
maksudnya.
“Tentu saja tanpa kamu minta pun Ibu sudah pasti mendoakan
kamu, siswa favorit Ibu,” kataku membesarkan hatinya.
“Masa, sih, Bu siswa favorit? Ibu ngeledek saya ya,” kata
Dea tidak percaya sambil pura-pura memberengut.
“Siswa favorit tuh Levina, pintar Matematika, selalu mendapat
nilai sangat bagus di semua mata pelajaran, ketua kelompok
kaderisasi, pengurus OSIS, pemain orkestra. Kok, ada anak kayak
Levina, ya, Bu paket komplit dan ada saya yang terseok-seok untuk
mendapat nilai sebatas KKM,“ keluh Dea.
Ada kesedihan di dalam suaranya.
“Dea, setiap orang memiliki kekuatan dan kelemahan
masing-masing. Tuhan menciptakan kita unik dan setiap dari diri
kita adalah karya terbaik Tuhan. Kita mesti syukuri itu. Setiap orang
juga memiliki jalan kehidupan sendiri-sendiri dan memiliki persolan
dan tantangan masing-masing. Jangan membanding-bandingkan
dirimu dengan orang lain karena kita tidak pernah tahu apa yang
dihadapi setiap orang. Jangan sampai kamu membandingkan
dirimu dengan orang lain dan kemudian menjadi iri. Itu sumber dosa
yang bisa membuatmu jadi dengki, membenci, dan mengharapkan
hal buruk terjadi pada orang itu. Kita harus menerima diri kita apa
adanya, mengenal diri kita, dan melakukan hal yang terbaik, to be
the best version of us. Jangan sibuk memikirkan hidup orang lain, ya.
Hati kita, kita upayakan bersih,” nasihatku panjang lebar kepada
Dea.
“Terima kasih, Bu. Ibu baik sekali. Ibu tidak hanya
mengajarkan Matematika kepada saya, tetapi Ibu juga menunjukkan
kepada saya hal-hal yang baik. Kebaikan Ibu tidak akan pernah saya
lupakan,” kata Dea terharu dan penuh rasa terima kasih.
Aku dapat merasakan kesungguhan Dea dengan ucapannya.
Tiada henti aku mendoakan Dea agar dia berhasil dalam
perjuangannya dan agar jiwanya tetap segar bersemangat serta
57
penuh harapan. Aku bersyukur kepada Tuhan karena bunga yang
nyaris patah tangkainya dan hampir mati layu, kini tegak kembali
segar memberikan keindahannya dan tentu saja lebih enak
dipandang.
“Ibu juga berterima kasih kepadamu Dea karena darimu Ibu
belajar kesabaran dan ketekuanan serta berjuang untuk pantang
menyerah,” ujarku membesarkan hatinya.
Dea tersenyum dan memelukku dengan sangat erat. Aku
membalas pelukannya sama eratnya dan hatiku penuh rasa haru.
Kuusap lembut rambutnya dan kubisikkan di telinganya,
“Sukses selalu, ya, Dea. Raih apa yang menjadi impianmu. Doa Ibu
selalu untukmu dalam setiap langkahmu.”
“Terima kasih banyak, Ibuku,” jawab Dea sambil menangis.
Semakin kurasakan bahwa pekerjaanku memiliki tanggung
jawab besar. Saya bukan hanya mengajarkan Matematika
dan mengupayakan kesuksesan akademik, tetapi bagaimana
menghadirkan keselamatan bagi anak didikku serta membantu
mereka menemukan jati dirinya dan menjadi diri sendiri yang
memiliki kepercayaan diri.
Mataku melihat daftar nilai ujian anak didikku. Aku bangga
karena nilai rata-rata untuk Matematika adalah 96,88. Tetapi
mataku langsung menelusuri daftar nama dan mencari nama
Mirella Amadea Guswanto. Aku melihat setengah tidak percaya di
situ tertera 85.
Spontan aku berteriak, “Wow, Dea. Fantastik.”
Memang sangat fantastik buat seorang Dea. Bisa aku
bayangkan reaksi Dea kalau ia tahu nilai nhasil ujian Matematikanya.
Dea pasti akan melonjak kegirangan dan pasti menangis. Aku mulai
mengenali sensitivitas Dea. Aku bersyukur kepada Tuhan karena
memberkati usaha kami. Tidak sia-sia setiap sore aku membimbing
Dea belajar berkutat dengan soal Matematika. Latihan, latihan, dan
latihan lagi tanpa jemu dan tanpa lelah selama dua jam berdiskusi
58
dan tentunya aku selalu memotivasi Dea.
Sore itu kurasakan udara sangat segar memenuhi paru-
paruku. Dadaku lega luar biasa. Kebanggaan dan kebahagiaan
membuncah. Hasil tidak pernah mengkhianati proses. Ketika kita
fokus kepada pendidikan nilai karakter maka nilai akademis akan
mengikutinya. Itu kata-kata Ibu Deswita yang lekat dalam pikiranku.
“Syukurku kepada-Mu, Allah, karena Engkau sungguh baik,”
bisikku lirih.
59
SURAT KEPADA NISKALA
Dia Gloria Marty Sasia
Niskala, apa kabar? Kuharap kamu diberkati oleh semesta
dan hidup dalam kebahagiaan. Niskala, ini adalah pertama kali aku
mengirimkan suratku kepadamu. Perkenalkan aku Wlingsang. Aku
tinggal di sebuah rumah kecil di daerah Tanjung Priok. Daerah ini
termasuk daerah terapung yang kumuh yang di bawahnya dikelilingi
air kotor dan sampah plastik. Hidup di daerah ini mengharuskanku
untuk menimba air bersih yang aku dapatkan dengan berjalan
kaki terlebih dulu sejauh kurang lebih 500 meter. Aku menimba
air setiap pagi dan sore hari. Aku mengisi ember-ember itu hingga
penuh dengan berulang-aling beberapa kali. Masa kecilku diisi oleh
memori indah tentang luka, keringat, dan air mata.
Sewaktu kecil, aku selalu bertengkar dengan orang tuaku.
Pendapatku tidak pernah didengar dan juga mereka tidak mau
mendengar. Tiap kali bertengkar, seringkali aku dipukul, baik
dengan gantungan baju ataupun dengan gesper. Lelahnya mereka
dan kesulitan kami dalam finansial membuatku menjadi anak
yang tumbuh dalam kepahitan yang mendalam. Aku tidak mampu
mengembangkan rasa kepercayaan akan diriku dan bahkan akan
orang tuaku sendiri. Aku pernah bertanya-tanya mengapa aku
dipukul padahal aku anak kandung mereka? Aku ingat betul saat
terakhir kali aku dipukul. Ibuku melemparkan gelas ke belakang
kepalaku. Kepalaku berdarah, tetapi hatiku lebih sakit daripada luka
60
yang kuderita.
Menjelang dewasa, aku hidup jauh lebih baik. Kuputuskan
untuk hidup dan berdiri dengan kakiku sendiri. Tetapi ternyata
aku masih hidup di dalam ketakutan dan penderitaan.
Ketakutanku adalah dalam menghadapi hidup dan penderitaan
dalam menjalaninya. Meskipun begitu, waktu memberikan aku
kesempatan untuk jatuh cinta. Dalam hati yang rapuh dan dengan
berani aku jatuh cinta kepada sahabatku. Kami bersahabat selama
empat tahun dan kemudian memutuskan untuk menjalin kasih
lebih dalam. Aku selalu berpikir bahwa waktu yang kulewati selama
empat tahun itu cukup bagiku untuk mengenal pria ini. Waktu tidak
pernah berubah, selalu maju, dan tidak akan mungkin berjalan
mundur. Namun manusia bisa berubah ketika waktu berjalan.
Suatu ketika, ia dan teman-temannya pergi ke Pantai Selatan
untuk mengatur sebuah acara selama satu bulan. Sebelum pergi,
hubungan kami baik dan kami masih berkomunikasi selama satu
minggu. Minggu kedua, ia sudah jarang menghubungiku dengan
alasan sibuk dengan acara. Minggu-minggu selanjutnya ia tidak
lagi memberi kabar. Tidak tahu secara insting atau memang sifatku
yang tidak mudah percaya pada orang lain membuatku merasakan
ada hal yang tidak seharusnya terjadi. Tetapi kuputuskan untuk
menunggu.
Sepulangnya ia dari acara itu semua tampak biasa dan
tidak ada hal asing. Sampai satu minggu setelahnya aku melihat
ia pergi dengan perempuan lain sambil berpelukan. Singkat cerita
ia mengakui pengkhianatannya. Ya, ia membuang perasaannya
kepadaku di Pantai Selatan saat ia bersama perempuan itu.
Ternyata perasaan dan logikaku sejalan. Manusia selamanya sulit
dipercaya bahkan setiap perkataannya yang keluar dari mulutnya
selalu mengucapkan kebohongan. Semakin bertambahlah rasa
ketidakpercayaanku kepada manusia.
Aku tidak dapat menerima kenyataan bahwa orang-orang
61
yang aku cintai adalah orang-orang yang paling mungkin untuk
mengkhianati dan menyakitiku. Aku tidak dapat memahami apa
tujuanku hidup dan mengapa harus aku yang mengalami hal-hal
buruk? Ketika aku kehilangan akal sehatku, jalanku buntu. Hatiku
rapuh dan jalan paling cepat adalah menyerah. Kuputuskan untuk
mengakhiri hidupku pertama kali pada tanggal 13 Februari 2008
dengan harapan aku bisa mati dan mengakhiri penderitaanku.
Akan tetapi, Tuhan berkehendak lain. Aku masih tetap hidup dan
bertahan.
Sebulan setelah percobaan bunuh diri pertamaku, adikku
ditangkap polisi karena obat-obatan terlarang. Ia dipenjara selama
dua tahun akibat perbuatannya. Aku merasa gagal menjadi seorang
kakak yang hadir dan menjaga adikku saat ia merasa kesepian dan
kehilangan arah. Pada bulan yang sama, adik kandung dari ibuku
meninggal dunia karena sakit yang dialaminya. Pamanku yang
turut merawatku dari kecil, mengenalkanku kepada Tuhan. Beliau
mengajarkan untuk setia mencintai-Nya sepenuh hati. Niskala,
aku masih ingat betul kering kulitnya dan matanya yang lebar saat
terakhir kami mendoakannya. Setitik air menetes dari mata itu.
Aku merasa seperti mati dan kehilangan diriku padahal aku
hidup. Apa yang diinginkan Tuhan dariku? Aku bertanya dan terus
bertanya. Tetapi tidak ada yang menjelaskan dan tidak ada yang
mendengar jeritanku. Dan yang paling menyakitkan dari semuanya
adalah aku harus hidup dengan kenangan dari memoriku. Aku harus
melihat dan merekam semuanya ke dalam ingatanku dan pura-pura
bersyukur karena masa lalu yang sudah lewat.
Aku menyerah dan mempersiapkan kematian setiap hari.
Kemudian kulakukan percobaan bunuh diriku untuk yang kedua
kali. Kali ini kupastikan mati dengan penyesalan dan dendamku
terhadap takdir. Tetapi lagi-lagi Tuhan tetap berkehendak lain dan
aku tetap hidup. Aku menangis setiap hari dan tidak bisa bangkit
dari keterpurukanku. Sekuat apa pun aku melawan kuasa lain di luar
dari kuasa diriku sendiri, aku tidak akan pernah menang.
62
Satu hal yang pada akhirnya aku sadari adalah aku tidak
perlu bunuh diri karena semua orang akan mati pada waktunya.
Aku ini hanya perlu menerima dan berbalik memahami orang
lain. Kesalahan terbesar yang aku lakukan adalah percaya kepada
manusia. Harusnya aku percaya kepada Tuhan yang berkenan dan
menuliskan garis hidupku.
Tetapi tahukah kamu Niskala, bagaimana aku menyadarinya?
Hari ini aku ke rumah sakit. Tempat ini penuh dengan orang-orang
yang berjuang untuk hidup. Ada dua tipe keluarga di tempat ini, yang
satu menangis bahagia karena sebuah kelahiran dan yang satunya
menangis pedih karena ditinggalkan. Begitu pun aku. Ibu bapakku
tersenyum saat aku lahir. Keluargaku menantikan kehadiranku di
dunia. Aku adalah bukti dari cinta kasih orang tuaku dan Tuhan
yang memberkatinya.
Pada akhirnya, kujalani hidup sehari-hari dengan penuh
syukur dan kembali bangkit. Kesadaran pada akhirnya memberi aku
harapan untuk hidup. Ketika kita terpuruk, yang bisa menyelamatkan
hanyalah diri kita sendiri. Ketika semua orang meninggalkanmu,
hidupmu sulit, orang tuamu mungkin bercerai dan selalu bertengkar
setiap hari, datanglah kepada Tuhan dan lihatlah sekelilingmu, maka
kamu akan menemukan jawaban.
Semoga aku dan kamu tetap berjuang meski kita tidak
berada di rumah sakit. Terima kasih Niskala, aku akan menunggu
balasanmu.
Aku masih hidup dan akan terus hidup sampai Tuhan
menjemputku.
63
PENANG
Pemil Baringin
Sepuluh tahun silam, ada sebuah rencana Tuhan bagi keluarga
kecilku. Seorang bayi mungil lahir dari perut istriku. Si bayi tertawa
dan pertama kali melihat dunia. Kehadirannya di dunia membuat
kami sangat bahagia karena ia sudah lama ditunggu.
“Terima kasih Tuhan,” kata yang pertama kali keluar dari
mulutku setelah jagoanku lahir.
Beberapa bulan setelah kebahagiaan itu, ada rencana
Tuhan untuk istriku. Sesuatu itu tidak disangka dan tidak pernah
terpikirkan sama sekali. Istriku begitu cemas dan takut memikirkan
itu. Keluarga juga cemas dan takut sebab bingung untuk mencari
solusinya.
“Bagaimana kondisinya, Dokter?” tanyaku dengan harap-
harap cemas.
“Kondisi istri bapak baik-baik saja, tetapi ada yang sangat
krusial untuk diambil tindakan secepatnya,” jawab dokter. Bumi
seakan hancur ketika aku mendengar kata ‘tindakan secepatnya’
“Jika tidak dilakukan dengan cepat, dikhawatirkan akan pecah
dan menyebar ke bagian dalam tubuh. Satu hal lagi, istri bapak
tidak boleh stres sebab stres akan berpengaruh kepada benjolan.
Semakin istri bapak sering stres dan banyak pikiran, benjolan itu
akan cepat bereaksi. Usahakan istri bapak dibuat bahagia. Langkah
64
pertama yang harus kami lakukan adalah dengan menyuntik
benjolan tersebut. Setelah itu, kami akan membawa hasil suntikan
itu ke laboratorium untuk diteliti. Dalam istilah rumah sakit namanya
biopsi. Jika pihak Bapak setuju, kita akan lakukan,” kata dokter lagi
dengan mimik serius.
Restoran Pizza Hut ramai sekali pada sore hari. Aku, istri,
dan anakku yang masih bayi, duduk di sofa pojok sambil memotong
pizza yang lezat. Setelah dari rumah sakit, kami singgah di restoran
tersebut. Kami tidak setuju dengan anjuran pihak rumah sakit
atau dokter terkait biopsi. Selama di restoran itu, istriku mencoba
mencari di internet apa saja dampak jika dilakukan biopsi. Banyak
pendapat yang meragukan yang dilontarkan dalam internet. Istriku
bingung sejadi-jadinya.
Suara panggilan telepon membuyarkan pikiran malam itu.
Dua hari setelah dari restoran itu, kami berdiskusi dengan keluarga
terkait tentang hal tersebut. Kami memberitahukan bahwa
benjolan itu ada di dalam payudara si istri. Keluarga besar kurang
setuju dengan biopsi sehingga kami harus banyak berdoa akan hal
ini. Setiap malam kami berdoa agar Tuhan berkenan memberikan
petunjuk terkait dengan hal ini.
“Saya dulu berobat ke salah satu rumah sakit di Penang,
Malaysia. Peralatan di sana sangat canggih dan bagus. Pelayanannya
sangat baik dan kita puas jika berobat ke sana. Menurutku, biaya
berobat juga tidak terlalu mahal,” ujar seorang wanita yang berbicara
via telepon yang masih saudara istriku.
Berbekal informasi tersebut, wajah istriku langsung
sumringah. Kami semangat mencari tahu tentang rumah sakit yang
di Penang tersebut. Kami membaca ulasan-ulasan yang terkait
dengan rumah sakit tersebut dan secara umum ulasan masyarakat
sangat positif terhadap rumah sakit tersebut.
Besoknya kami menelepon rumah sakit tersebut tentang apa
yang harus dilakukan sebab kami orang awam yang baru pertama
65
kali ke rumah sakit di luar negeri. Informasi yang kami terima sangat
akurat dari telepon tersebut, mulai dari jadwal dokter, jadwal tiba
di Penang, hingga jadwal pihak rumah sakit menjemput pasien dari
Bandara Internasional Penang menuju rumah sakit. Jadi, setiap
pasien yang akan berobat ke rumah sakit tersebut, jika jadwal kami
tiba di pagi hari di Bandara Internasional Penang, maka kami akan
dijemput oleh pihak rumah sakit secara gratis asalkan kami sudah
mengkonfirmasinya satu hari sebelum keberangkatan.
Jam berganti jam, hari berganti hari, dan akhirnya Tuhan
memberikan petunjuk. Juni 2013, tepatnya libur sekolah, kami
memutuskan untuk pergi ke Penang, Malaysia. Karena anak masih
bayi, kami menitipkannya kepada mertua di Medan. Kebetulan juga
jarak dari Medan ke Penang sangat dekat.
Pagi-pagi pukul 4.30 subuh, kami, saya dan istri, sudah tiba
di Bandara Polonia Internasional. Tahun 2013, bandara itu masih
terletak di pusat kota Medan yang bernama Polonia, sebelum
akhirnya tahun 2014 dipindahkan ke Deli Serdang dengan nama
Bandara Kuala Namu Internasional. Ternyata penumpang
sudah sangat ramai. Kami memasuki ruang tunggu penerbangan
internasional setelah melewati berbagai macam pemeriksaan. Pada
pagi hari, penumpang sudah ramai di keberangkatan internasional.
Tepat pukul 06.45 WIB, pesawat terbang dari landasan dengan kursi
penumpang terisi penuh. “Mungkin karena musim libur sekolah,”
gumamku dalam hati.
Berada di dalam pesawat tidak terasa sebab penerbangan
dari Medan ke Penang tidak sampai 60 menit. Wajah Bandara
Internasional Penang sangat bagus dan bersih. Kami melewati
berbagai pemeriksaan hingga kami bertemu pihak rumah sakit
yang menjemput di bandara. Kami memasuki mobil tersebut dan
ternyata bukan hanya kami saja yang dijemputnya, melainkan juga
ada penumpang lain yang sama-sama menuju rumah sakit tersebut.
Hiruk pikuk terdapat di rumah sakit tersebut. Setelah tanya
66
sana-sini, akhirnya kami berhasil duduk di ruang tunggu pasien
ke dokter yang telah kami telepon sebelumnya. Selama di ruang
tunggu, kami berbicara dengan pasien lainnya. Ada 90 persen
lebih pasien di ruang tunggu tersebut berasal dari Indonesia, mulai
dari daerah Padang, Aceh, Bandung, Jakarta, Tangerang, sampai
Medan. Dari pembicaraan di ruang tunggu, kami juga mengetahui
bahwa dokter tersebut sangat hebat dan pintar yang membuat
kepercayaan diri istriku semakin kuat.
“Pasien dengan nomor 48 dipersilakan masuk,” ujar seorang
suster berparas manis. Senyum dokter menyambut kami begitu
hangat.
Istriku menceritakan apa yang dialami selama ini. Istriku juga
menunjukkan hasil pemeriksaan di Indonesia. Setelah beberapa
saat, dokter menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan saat itu
juga dengan alat mereka yang canggih.
Tidak sampai tiga puluh menit, pemeriksaan selesai dan
hasilnya membuat istriku bahagia. Benjolan istriku tidak diperiksa
dengan istilah biopsi.
“Sakit ibu ini merupakan sakit yang tidak serius dan tidak
perlu dipikirkan. Setelah kami melakukan pengecekan, isi dalam
benjolan si ibu bukan berupa cairan susu, melainkan isinya adalah
daging yang lama-kelamaan akan menjadi tumor. Benjolan si ibu ini
belum menyatu ke payudara sebab masih sebesar jari ibu sehingga
tidak perlu dicemaskan,” ujar dokter.
Luar biasa, pemeriksaannya sangat akurat dalam waktu tidak
samapai 30 menit, gumamku dalam hati.
“Apa yang harus kami lakukan selanjutnya, Dokter?” tanyaku
bersemangat.
“Pihak rumah sakit tidak boleh menyarankan untuk operasi
sebab operasi membutuhkan uang. Nah, semua tergantung dari
Bapak dan Ibu. Jika Bapak dan Ibu berkenan untuk operasi, akan
kami lakukan.”
67
“Kami setuju dokter untuk operasi,” sahutku langsung.
Dokter memberitahu tentang operasi, di antaranya, bahwa
operasi benjolan ini merupakan operasi kecik (bahasa melayu
dari kecil). Padahal pikiranku ini sudah merupakan operasi besar.
Selanjutnya kata dokter bahwa operasi dilaksanakan hari Kamis dan
setelah operasi boleh pulang sebab operasi dilakukan sangat cepat.
Ucapan terima kasih mengakhiri pembicaraan dengan dokter.
Perawat mengarahkan kami untuk pergi ke bagian pendaftaran
operasi dan ke bagian pembayaran.
Pukul 14.10 waktu Penang (dua jam lebih cepat dibandingkan
dengan waktu di Medan atau Jakarta) semua urusan selesai, mulai
dari antre di ruang tunggu, ruang dokter, hingga urusan pembayaran.
Kami memutuskan untuk makan di kantin rumah sakit. Makanan
di rumah sakit ternyata enak dan bersih. Sambil makan, aku
memperhatikan orang-orang yang ada di kantin. Orang-orang di
situ, setelah selesai makan, tempat makannya ditaruh ke tempat
bagian yang kotor. Semua orang yang makan di sana ternyata
melakukan hal yang sama yakni setelah selesai makan, piring kotor
ditaruh sendiri ke tempatnya. Ini sebuah pengalaman menarik
bagiku, walaupun hal itu sudah dilakukan di tempat kerja saya di
Sekolah Pahoa.
Kami pergi ke apartemen untuk menginap. Kami mendapat
informasi tentang apartemen yang disewakan dekat rumah
sakit saat kami berbincang-bincang di ruang tunggu pasien tadi.
Ternyata benar bahwa kami hanya berjalan kaki dari rumah sakit
ke apartemen. Lantai 28 menjadi tempat menginap kami selama
beberapa hari.
Tibalah hari Kamis untuk operasi. Ternyata setiap hari Kamis,
dokter tersebut tidak melayani pasien untuk berobat. Dokter
tersebut hanya melakukan operasi untuk pasien-pasiennya. Nah,
ini juga menjadi pengalaman bagiku. Menurutku, setiap pasien
harus benar-benar tahu jadwal dokter agar kita sebagai pasien,
68
terutama pasien yang datang dari negara lain, tahu jadwal dokter.
Benar sekali seperti yang dikatakan dokter. Ini adalah operasi
kecil sebab operasinya sangat cepat. Istriku masuk ruang operasi
pukul 08.30 dan selesai pukul 09.30 dan sudah diperbolehkan
pulang. Setelah operasi, benjolan di dalam payudara istriku sudah
tidak ada tanpa harus biopsi terlebih dahulu. Mungkin benar kata
orang-orang tua zaman dahulu, mintalah petunjuk Tuhan sebelum
kamu melangkah. Aku, istriku, dan seluruh keluarga begitu bahagia
setelah operasi yang berjalan lancar. Wajah sumringah istriku
terlihat cerah. Setelah operasi, kami masih sempat berjalan-jalan
mengelilingi Kota Penang sebelum pulang ke Indonesia. Terima
kasih Penang dengan pengalaman yang menarik.
69
HIDUP TAK SEMUDAH YANG
DIBAYANGKAN
Tri Wulandari
Hidup akan terasa sangat menyenangkan apabila tanpa
adanya masalah. Semua hal bisa berjalan baik dan lancar. Namun
apakah ada manusia yang tidak memiliki masalah? Mungkin saja
ada, tetapi tidak padaku.
Aku berasal dari keluarga yang sederhana, tetapi tidak
kekurangan. Aku bisa diterima di kampus negeri di kotaku. Itu
adalah suatu kebanggaan karena tidak semua orang bisa masuk.
Bukan hanya itu alasannya, tetapi kalau aku tidak berhasil
masuk, aku yakin orang tuaku pun tidak akan mampu membiayai
pendidikanku. Sebenarnya mereka bisa saja mencari uang lebih
untuk biaya kuliahku, tetapi alangkah baiknya uang itu untuk biaya
kebutuhan sehari-hari.
Waktu terus berlalu. Sebentar lagi pendidikanku di
universitas segera berakhir. Namun ternyata, maksudnya berakhir
adalah tidak hanya pendidikanku, tetapi kebahagiaanku pun nyaris
akan berakhir.
“Dina, ayah masuk rumah sakit. Segera pulang!” perintah
kakakku. Aku bergegas mencari seseorang yang bisa mengantarku
segera pulang ke rumah karena saat itu aku sedang berada di
kampus. Air mata mengalir deras mendengar orang yang kusayang
70
terkena stroke.
Setelah kejadian itu, hidupku berubah. Tidak ada lagi yang
namanya kepala keluarga. Tidak ada lagi orang yang mencari
nafkah. Kami hanya mengandalkan uang pensiun ayah yang tidak
seberapa. Maklum ayah hanya pegawai swasta dan tugasnya hanya
sebagai pengantar barang. Mengapa ini terjadi bertepatan saat
pendidikanku di universitas hampir selesai? tanyaku dalam hati.
Saat itu, aku sangat membutuhkan banyak uang untuk persiapan
seminar dan menyelesaikan skripsi.
Aku memutuskan untuk berhenti kuliah, tetapi ibuku
bersikeras memintaku untuk menyelesaikannya. Ia akan mencari
uang dengan cara meminjam ke orang lain. Sayangnya, meminjam
uang tidak semudah itu. Ibuku mencoba meminjam uang kepada
saudara, tetapi jawabannya menyakitkan.
“Untuk apa belajar tinggi-tinggi, ujung-ujungnya
pengangguran. Kalau tidak ada uang, tidak usah kuliah,” kata
saudaraku. Mendengar ucapan itu, rasa sedih, marah, dan kesal
muncul bersamaan. Dari situ, aku bertekad untuk segera mencari
pekerjaan dan berusaha keras untuk dapat segera lulus. Aku
berhasil lulus dalam waktu tiga tahun enam bulan dengan predikat
cumlaude.
Dengan berbekal doa dari seorang ibu dan semangat
yang membara, aku terus berusaha untuk mendapatkan sebuah
pekerjaan. Aku keluar masuk dari gedung satu ke gedung yang lain.
Aku diwawancara ke sana ke sini. Belum lagi aku harus mendengarkan
omongan tetangga dan saudara yang selalu merendahkan.
Akhirnya, semua itu membuahkan hasil. Aku diterima di salah satu
perusahaan swasta dan mendapatkan gaji yang cukup besar. Satu
tahun bekerja, aku sudah bisa membeli mobil.
Perubahan kehidupanku ini terdengar sampai ke rumah
saudaraku itu. Semenjak itu, ia sering mengunjungiku. Ia bertanya-
tanya tentang pekerjaanku dan bagaimana bisa mendapatkannya.
71
Padahal sebelumnya, mana pernah ia datang ke rumah. Saat orang
tuaku dulu ingin meminjam uang untuk biaya kuliahku, bukannya
memberi pinjaman, ia malah mengejek.
Aku sadar kalau kita tidak boleh mengandalkan orang
lain. Kita harus berusaha dan bekerja keras. Aku menganggap
ucapannya dahulu itu adalah motivasi untuk menjadi sukses. Itu
terbukti. Sekarang aku sukses dan aku tidak membencinya. Kalau ia
kesusahan pun, aku akan dengan senang hati untuk membantunya.
72
BUAH HASIL PENGORBANAN
YANG TULUS
Rianty Lusrimayshita
Cerita ini terjadi sekitar tahun 2004 dan berawal dari
kisah seorang anak perempuan yang ingin mencari jati dirinya.
Sebelumnya anak perempuan itu selalu ingin membahagiakan
orang tua dan orang lain di sekitarnya.
Kebahagiaan yang dirasakan bersama orang yang dikasihinya
ternyata tidak mendapatkan restu dari orang tuanya. Alasannya
karena ada perbedaan umur yang terpaut jauh yaitu 10 tahun.
Namun ia tetap menerimanya karena ia ingin berbakti dan tidak
ingin mengecewakan orang lain di sekitarnya.
Untuk melupakan kebahagiaannya yang tidak mendapat
restu dari orang tuanya, ia pun pergi ke kota lain. Ia berharap dengan
kepergiannya itu ia bisa melupakan kekasihnya dan belajar mandiri.
Ia pun tinggal di rumah budenya di Yogyakarta. Di sana ia tinggal
bersama adiknya.
Di awal perjalanan memang tidak mudah baginya untuk
menjalaninya. Namun dengan dukungan adiknya, ia bisa bertahan.
Di sana ia bekerja sebagai guru pada pagi hari. Sore harinya ia bekerja
sebagai waitress di hotel bintang lima. Ini sungguh pekerjaan yang
sangat berbeda 360 derajat. Namun semua itu dilakukannya meski
terkadang banyak godaan dan cibiran dari teman kerjanya.
Ketika mengajar terkadang ia mengantuk. Ketika bekerja
menjadi waitress, banyak teman yang mencoba mempengaruhinya
73
untuk berbuat yang tidak baik. Atau terkadang ada lelaki-lelaki
hidung belang yang berusaha menggoda.
Mungkin jika bukan karena didikan orang tua dan agama yang
kuat, ia sudah jatuh ke lubang yang salah. Ia percaya doa orang tua
selalu menjaganya di mana pun ia berada.
Hampir satu tahun lamanya ia berada di sana. Segala cerita
dialami hingga akhirnya berkat kesabarannya, cinta pertamanya
itu datang menyusulnya. Ya, cinta pertamanya yang akhirnya
mendapat restu. Cinta pertama yang ternyata bisa membuktikan
kesetiaannya. Walaupun ia butuh waktu untuk membuka kembali
hatinya, tetapi akhirnya ia bisa menikah dengan cinta sejatinya itu
lalu hidup bahagia.
Tak hentinya ia bersyukur kepada Tuhan atas segala kisah
yang dijalaninya. Ia percaya jika restu dari orang tua mampu
melengkapi kebahagiaannya meski harus dilalui dengan perjalanan
yang penuh warna. Meskipun bukan berjodoh dengan orang yang
selama ini dicintainya, tetapi Tuhan memberikan jodoh dengan
mempertemukannya kembali dengan cinta pertamanya yang
direstui oleh orang tuanya.
74
SEMUA HANYA PERLU
DILAKUKAN
Meti Putriwati Zai
Pagi itu suasana mobil bagaikan tempat pemanggangan
batu bata. Padahal pendingin ruangan mobil sudah diatur di angka
terendah. Aku dan dia bagai patung hidup dengan tatapan mata
penuh kekesalan. Sudah 10 menit berlalu, kami saling mendiamkan.
Ocehanku tiada henti karena aku begitu cemas akan terlambat
tiba di tempat kerjaku. Sementara ia dengan kekesalannya karena
bangun pagi untuk mengantarku kerja. Kami saling adu pendapat
dengan durasi yang tak sempat aku hitung.
Hari itu aku memang bangun sedikit lebih terlambat
dari biasanya. Setelah bangun aku berkutat di dapur untuk
mempersiapkan bekalku ke tempat kerja dan sarapan untuknya.
Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Kulihat jam sudah
menunjukkan pukul 05.20 WIB. Aku buru-buru mandi setelah
meletakkan bekalku di dalam tas makananku. Tak lupa kupanggil
namanya dengan berteriak agar ia segera bangun. Selesai mandi
aku segera menuju kamar dan kulihat ia belum juga bangun. Aku
menggoyang-goyangkan badannya agar cepat bangun. Tetapi ia
hanya menjawab dengan bermalas-malasan. Kupakai seragam
kerjaku dengan tergesa-gesa dan kubangunkan ia lagi dengan
menarik kakinya berulang kali.
Akhirnya ia bangun dengan berlengah-lengah. Sambil
menunggunya dengan rutinitas bangun tidurnya, aku meletakkan
75
semua keperluanku ke dalam mobil. Kulihat waktu sudah
menunjukkan pukul 05.45 dan ia belum juga keluar dari kamar
mandi. Aku memanggil kembali namanya terus-menerus dan ia
pun muncul dari pintu rumah.
Bergegas ia menyalakan mobil dan melaju. Tiba-tiba ia
mengumpat dengan kesal karena lampu tanda bahan bakar mobil
yang sudah berkedip. Aku pun mulai mengoceh karena waktu
sudah menunjukkan pukul 05.55 WIB. Jika mengantre mengisi
bahan bakar maka aku sudah pasti terlambat ke tempat kerja. Aku
tidak ingin terlambat kedua kalinya dalam bulan itu. Aku harus
tiba sebelum pukul 06.45 WIB. Aku terus menyalahkannya karena
ia tidak bangun cepat dan mengisi mobil dengan bahan bakar di
malam sebelumnya.
Mengantre dan mengisi bahan bakar mobil membutuhkan
waktu 15 menit. Ia kembali melajukan mobil untuk mengantarku.
Tanpa jeda aku menumpahkan kekesalanku bagai kereta api yang
tiada henti melintas di depan kami. Mobil berhenti melaju dan
jalanan semakin padat, tetapi aku tak menghentikan kicauanku
yang tak merdu.
Ia pun mulai menyahut dengan alasan sakit kepala karena
durasi tidurnya yang sedikit. Ia memang baru tidur pukul 03.00 dini
hari karena harus menyelesaikan pekerjaannya sepanjang malam.
Aku seolah tak ingin berempati karena itu pilihannya. Ia telah
menunda pekerjaan untuk berkumpul bersama rekan-rekannya.
“Loh, itu, kan pilihanmu. Siapa suruh menghabiskan waktu
berkumpul dengan teman-temanmu tanpa menyelesaikan
pekerjaanmu lebih dulu? Tidak bisa mengorbankan kesenangan
sedikit saja sehingga tidak membuatku datang terlambat,” sahutku.
“Semalam, kan aku sudah sampaikan. Kamu berangkat pagi
ini pakai gojek atau grab, mengapa harus ngotot untuk diantar?
Aku juga butuh istirahat. Tiap hari harus mengantarmu pagi hari
sedangkan jam masuk kantorku saja pukul 09.00. Pulang kerja harus
76
bermacetan lagi untuk menjemputmu. Aku juga butuh hiburan
bersama teman-temanku setelah semua rutinitas melelahkan.
Kamu tidak bisa berkorban sedikit dengan berangkat sendiri?” Ia
membalas dengan nada kesal.
Tak mau kalah, kubeberkan kepadanya setiap hal yang
kulakukan setiap hari. Mulai mempersiapkan makanan hingga
menghemat pengeluaran bulanan. Semua itu berakhir dengan
saling diam dalam luapan emosi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 06.30. Aku semakin
kesal karena perjalanan masih panjang. Ia mengencangkan sabuk
pengamannya dan juga milikku. Mobil melaju dengan begitu cepat
dan aku hanya terus diam menatap jalanan dari jendela mobil.
Beruntungnya setiap perempatan yang kami lewati selalu disambut
oleh lampu hijau. Perjalanan semakin lancar hingga aku tiba di
gerbang tepat pukul 06.40 WIB.
Sebelum turun dari mobil, ia mengelus kepalaku. Aku tidak
lupa menyalaminya sebelum berlarian mengantre melakukan
presensi. Ia membalasnya dengan mengecup keningku. Kudengar
ia mengucapkan maaf padaku.
“Aku juga minta maaf, ya,” balasku. Entah mengapa rasanya
lega bisa mengucap kata itu. Tidak mudah mengucap kata maaf.
Namun ia telah melakukannya dengan tulus. Sudah selayaknya aku
juga membalas dengan tindakan serupa. Pengorbanan tak harus
selalu disebutkan, tetapi dilakukan. Menurunkan keegoisan adalah
pengorbanan untuk memperkuat cinta.
77
MENEBAR KASIH PADA KUCING
LIAR
Lenny Wijayanti
Saya seorang perantau dari sebuah kabupaten di kota kecil
di daerah Jawa Timur. Di sini saya tinggal seorang diri di rumah
kontrakan sederhana di sebuah kampung yang berdampingan
dengan Summarecon Serpong. Kampung ini padat penduduk
dan dihuni oleh penduduk asli dan kaum pendatang termasuk
saya. Rumah-rumah berdempetan, termasuk rumah induk dan
rumah-rumah kontrakannya. Kepadatannya menimbulkan
menggunungnya masalah sampah. Di mana ada sampah, di situ
pula banyak tikus got dan kucing liar yang beranak-pinak sampai
puluhan, ratusan mungkin, yang datang dan pergi.
Ketika negara kita sedang hebat-hebatnya diterpa badai
virus korona dan semua murid, guru, dan karyawan diwajibkan work
from home, saya pun mengalaminya. Di rumah kontrakan saya yang
kecil, saya melakukan semua tugas dan kewajiban saya semaksimal
mungkin. Mungkin ada yang berkata mengapa saya tidak pindah
ke tempat yang lebih baik dan lebih ‘bermartabat’. Sekali lagi, saya
seorang perantau. Saya bergaji bukan untuk menyenangkan diri
saya sendiri. Ada tanggung jawab saya untuk keluarga di kampung
sehingga saya harus bisa menabung, sekecil apa pun jumlahnya.
Kembali ke permasalahan saya. Selama saya bekerja dari
78
rumah, masalah yang sebelumnya tidak nampak di depan mata
saya, mulai terlihat nyata di hadapan saya. Kucing-kucing liar
mengais makanan di tong-tong sampah di depan rumah-rumah
kontrakan. Anak-anak kucing mengeong berhari-hari karena
kehilangan induknya di teras-teras rumah orang maupun di depan
masjid besar. Ada juga kucing yang tersangkut di atap rumah. Ada
induk kucing yang beranak di bawah semak-semak di pinggir jalan.
Ada kucing yang sekarat di pinggir jalan. Bahkan, secara sengaja,
ada orang yang membuang anak-anak kucing yang baru lahir di
tempat sampah. Tidak ada orang yang tergerak hatinya untuk
sekadar melihat dan apalagi menolongnya. Saya merasa terguncang
dan teriris melihat pemandangan yang bagi saya itu memilukan.
Barangkali manusia sudah terlalu sibuk dengan kehidupan
mereka sendiri. Mereka hanya peduli pada urusan mereka masing-
masing. Hal ini membuat mereka kehilangan rasa peka terhadap
keberadaan makhluk lain. Padahal makhluk-makhluk ciptaan Tuhan
yang malang itu sangat membutuhkan perhatian.
Saya pun merasa menjadi salah satunya. Sebagai contoh, saya
sering mengeluh kepanasan saat musim panas datang dan berharap
akan musim hujan yang berlebihan ketika tiba musimnya. Betapa
saya merasa diri saya sangat egois. Sekarang saya melihat sendiri
para makhluk tidak bertuan itu tidak ada tempat untuk sekadar
membuat badan mereka kering saat hujan dan hangat saat dingin
datang. Betapa manusia sudah sangat terobsesi untuk memikirkan
kebahagiaan mereka sendiri, termasuk keluarga mereka, atau
kelompoknya sendiri. Betapa saya mengenal ajaran agama saya,
ajaran Konfusius, sekadar dari sampulnya saja tanpa memaknainya
dengan perbuatan.
Saya sendiri merasa tidak mampu membuat orang lebih
peduli dan peka dengan lingkungannya. Kalau mereka bisa berkata
‘kasihan memang’, apa itu cukup untuk membuat keadaan menjadi
lebih baik? Apakah itu sudah bisa mengubah keadaan? Namun
tidak. Saya pun tidak tega. Saya tidak sanggup membuat diri saya
79
sendiri merasa kenyang ketika ada makhluk di sekitar saya yang
kelaparan. Saya berkeliling kampung pagi dan sore untuk sekadar
memberi makan dan menolong sebisanya kalau ada kucing yang
sakit. Di dalam tas tenteng saya, selalu ada makanan kering kucing
yang saya siapkan untuk digunakan pada saat mendesak bila saya
bertemu kucing kelaparan di mana pun saya berada.
Kadang saat saya tahu dan saya tidak bisa berbuat lebih
baik lagi untuk mereka maka saya hanya bisa menangis seorang
diri. Mungkin memang kelihatan lebai karena saya kurang teman
dan spekulasi lainnya. Namun itulah yang terjadi. Saya bersyukur
mendapat dukungan dari teman kerja saya. Hal itu terlepas dari
kata sumbang yang seolah ingin memadamkan niat baik saya. Saya
hanya tidak ingin melihat mereka kelaparan dan sakit sendirian.
Pastinya saya tidak sanggup melakukannya seorang diri.
Sungguh saya butuh kalian semua. Bagi orang-orang di sekitar
saya tinggal, keberadaan mereka mengganggu pemandangan.
Mereka ditendang dan diusir saat mereka cuma ingin sekadar
makan sisa-sisa makanan dan remah-remahnya. Padahal kalau
mereka memberi sedikit welas asihnya saja, sekecil apa pun yang
mereka lakukan, pasti akan sangat menolong mereka. Misalnya
dengan menaruh air bersih di depan rumah untuk minum mereka.
Apa susahnya?
Beberapa orang menganggap mereka hewan menjijikkan.
Mari kita tanya diri sendiri. Bukankah mereka ada, bukan kehendak
mereka? Mereka seperti kita, sama-sama makhluk pengisi bumi
yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa untuk saling melengkapi dan
menolong.
Saya sedih, kecewa, dan marah saat orang berkata ini masalah
saya. Bukankah kalian juga melihat dan mendengarnya? Masihkah
ini cuma menjadi masalah saya? Saya berharap kita semua bisa
kembali kepada nurani kita. Kita asah kembali agar kepekaan kita
pada lingkungan menjelma nyata. Dengan demikian, akan tercipta
80
keharmonisan di bumi ini.
Seandainya saja kita bisa bersama, bahu-membahu, dan
saling mendukung untuk kebaikan bersama, pasti semua baik
adanya. Akan lebih baik jika kita tidak menimpakan tanggung jawab
bersama ini menjadi tanggung jawab seseorang atau kelompok
tertentu. Saya hanya bisa berharap bahwa kita bisa berubah
menjadi pribadi lebih mawas diri agar ajaran Konfusius tidak
terhenti sebatas teori. Sebab berawal dari profesi guru, kita pasti
mampu menempatkan posisi kita sebagai ‘guru’ bagi generasi masa
depan agar ilmu tidak sekadar menjadi awan yang berlalu.
81
BERJUANG UNTUK
MENGGAPAI MIMPI
Keiko Rahma Vindra
Aku sekarang berumur 22 tahun. Aktivitasku adalah
seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupku aku berjualan secara online
dan live, baik di Tik-tok, Shopee, dan berbagai platform daring
lainnya. Dari hasil kerja kerasku itu sekarang aku memiliki rumah
dan mobil serta beberapa karyawan yang membantuku berjualan
online. Akan tetapi, di balik semua itu aku juga pernah merasakan
hal pahit dalam hidupku.
Dua puluh dua tahun yang lalu, ada seorang perempuan
yang membuang anaknya di dalam sebuah plastik. Anak tersebut
hanya dibalut oleh kain bedong. Perempuan itu menelantarkan
anaknya di sudut jalan dan meninggalkannya begitu saja. Engkau
tahu siapa perempuan itu? Ia adalah ibuku. Ketika itu untung saja
aku belum bisa berbicara. Jika aku sudah berbicara, ada banyak hal
yang ingin aku tanyakan kepada ayah dan ibuku? Mengapa kalian
tega membuangku begitu saja?
Beberapa waktu kemudian, akhirnya aku pun ditemukan
oleh warga setempat dan dibawa ke sebuah rumah sakit. Di sana
aku dipertemukan kepada seorang perawat yang mau merawatku
sebagai anaknya. Perawat itu bernama Ibu Sulastri. Menurutku, ia
adalah malaikat kecilku. Walaupun kondisi keluarga Ibu Sulastri dan
suaminya pas-pasan, mereka tetap merawat dan menyayangiku
82
seperti anak mereka. Akan tetapi, ketika usiaku 17 tahun, Pak
Ahmad, suami Ibu Sulastri meninggal dunia dikarenakan kecelakaan
beruntun yang mengakibatkan beberapa pengendara terluka
bahkan meninggal dunia.
Semenjak kejadian tersebut, tampaknya Ibu Sulastri
kehilangan arah karena merasakan kehilangan belahan jiwa yang
selama ini mendampingi hidupnya. Ibu Sulastri sering sakit-sakitan
sehingga tidak bisa mengurus aku dan adik-adikku. Akhirnya,
dengan alasan kesehatan pihak rumah sakit tempat Ibu Sulastri
bekerja pun memberhentikan beliau dari pekerjaannya.
Oh ya, aku belum memperkenalkan kepada kalian kalau
aku memiliki dua saudara yang merupakan anak kandung dari Ibu
Sulastri dan suaminya. Adikku yang kedua bernama Fajar yang
berumur 12 tahun dan Intan berumur 5 tahun. Semenjak Ibu Sulastri
tidak bekerja, aku yang menjadi tulang punggung keluarga. Aku
bekerja apa pun yang penting halal. Bagiku jika ibu serta adik-adikku
bisa makan saja, itu sudah cukup. Aku mencoba dari bekerja satu
pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Aku pun mencoba berjualan online.
Pada awalnya susah sekali. Cukup lama aku tidak mendapatkan
pembeli. Sekalinya ada pembeli, barang diretur kembali. Namun,
pada saat itu aku terus berjuang. Aku belajar bagaimana berjualan
yang baik dan jujur. Aku juga belajar bagaimana manajemen
berjualan yang baik. Dari kegagalan dan tuntutan hidup, aku belajar
bagaimana membahagiakan Ibu Sulastri dan adik-adikku.
Sampai akhirnya banyak endorse yang berdatangan dan
pelanggan tokoku bertambah banyak. Aku bersyukur karena
keadaan yang membuatku bisa belajar banyak hal serta mandiri.
Aku juga akan membuktikan kepada orang tua kandungku bahwa
aku bisa mandiri tanpa mereka. Barangkali mereka menyesal
karena membuangku dulu. Tetapi satu hal yang harus mereka tahu
bahwa aku tidak membenci mereka. Aku justru berterima kasih
telah dilahirkan ke dunia ini dan Tuhan telah mempertemukan aku
dengan keluarga Ibu Sulastri. Dengan demikian, aku bisa belajar
83
banyak hal tentang pengorbanan, cinta, dan kasih sayang yang
sebenarnya sehingga aku bisa menjadi seperti sekarang ini.
84
TERIMA KASIH, SAYA SAYANG
PADA KALIAN
Fitri Dian Iriani Haryono
Siang itu, saya termenung sendiri di dalam kelas. Setelah
acara usai, saya bergegas merapikan kembali toga hitam yang baru
saja dikenakan oleh para murid. Namun, entah mengapa tiba-tiba
air mata ini membasahi pipi. Siang itu di tengah kesunyian saya
menangis seorang diri di dalam kelas ketika melihat sekeliling kelas
yang begitu sunyi. Meskipun matahari memeluk punggung saya dan
memberikan kehangatan, air mata masih saja terjatuh membasahi
pipi. Meskipun burung gereja berusaha menghibur dengan hinggap
di jendela dan memandang saya yang seolah berkata “Jangan sedih,
Bu Dian,” namun tetap saja saya menanggis. Bahkan saya menangis
seperti seorang anak kecil yang sedang meraung kesakitan. Ini
bukan karena aku terjatuh, tetapi karena hati saya sedih harus
melepas semua murid-murid yang setiap hari menemani saya di
kelas ini.
Di sekolah ini banyak sekali kenangan kebersamaan saya
bersama murid-murid. Saat saya melihat pintu, saya melihat
mereka berbaris dengan wajah mereka yang polos, lugu, lucu,
menggemaskan yang membuat saya lupa bahwa saya adalah
manusia biasa yang memiliki beban hidup yang begitu berat. Saat
berjumpa mereka seakan-akan beban itu hilang entah ke mana dan
wajah mereka mengalihkan dunia saya.
Kemudian saya berpaling ke belakang kelas. Di sana adalah
85
tempat biasa mereka meletakan botol minum mereka. Di sana saya
mendengar suara mereka minta tolong, “Ibu Dian tolong bantu
saya.” Hal itu selalu terngiang. Suara mereka terdengar merdu dan
terkadang juga kencang.
Saat saya duduk di bangku mereka, saya merasakan kembali
pelukan mereka saat mereka memeluk saya erat dengan jari-
jemari mereka yang kecil. Di ambang pintu pun saya menyambut
mereka dan memberikan pelukan hangat. Saat mereka menangis,
saya senang memberikan pelukan hangat kepada mereka dan
mengingatkan saya kepada pelukan seorang ibu yang membawa
kehangatan dan ketenangan dengan berkata bahwa semua akan
baik-baik saja.
Kemudian saya bergegas keluar dari kelas dan berada di
depan kelas tepat di bagian loker tempat mereka meletakkan tas-
tas mereka. Saya melihat kebersamaan bersama mereka. Saya akan
merapikan uraian rambut mereka yang berantakan dan membuat
mereka cantik kembali.
Saya bergegas meninggalkan kelas karena saya tak ingin larut
dalam kesedihan. Namun ketika menaiki anak tangga, lagi-lagi saya
melihat bayang-bayang mereka menaiki anak tangga untuk menuju
ke roof garden sekolah. Mereka begitu santun jika bertemu dengan
seseorang. Mereka memberikan salam dan berjalan dengan hati-
hati. Begitu saya sampai di lantai dua, saya melihat kebun sekolah.
Di sanalah kami bercocok tanam, menyirami tanaman, mendoakan
tanaman, berbincang-bincang dengan tanaman, dan mengambil
dedaunan bersama. Kami juga berjemur, tertawa bersama, seakan
dunia hanya milik kami. Saat saya memalingkan wajah ke arah yang
berbeda, saya melihat kembali dan ingat akan tenda yang kami
gunakan bersama untuk bermain menghabiskan waktu bersama.
Namun hari ini kebersamaan itu tidak akan lagi terulang
kembali. Saya harus merelakan mereka, padahal baru saja saya
memeluk mereka. Saya harus melepaskan mereka untuk pergi ke
86
tempat yang lebih baik untuk mereka meraih cita-cita mereka.
Jauh di relung hatiku saya bertanya, apakah kelak mereka kembali?
Walau hanya sekadar menyapa?
Atau apakah mereka akan ingat nama saya saat kami bertemu
kembali di tempat yang berbeda?
Namun ujar saya bahwa tak penting mereka mengingat saya
atau tidak. Doa dan harapan saya adalah agar mereka bisa meraih
mimpi dan cita-cita mereka menjadi kebanggaan bagi orang tua
dan negara, bisa menolong orang banyak, dan berhati mulia. Ini
yang belum sempat saya katakan kepada mereka.
Tak peduli kalian mengingat nama saya atau tidak, karena
waktu itu usia kalian masih kecil. Mungkin kini kalian mengalami
banyak masalah dalam hidup kalian. Namun pesan saya adalah
jangan pernah menyerah. Kalian jangan pernah menyerah apapun
yang terjadi. Tetap berjuang, sama seperti ketika kalian belum bisa
menggenggam pensil dengan benar. Sama ketika kalian belum
mengingat huruf B dan D, I dan J , P dan Q. Sama ketika kalian
belum bisa membaca sehingga kini lihat bahwa kalian sudah bisa
membaca, bukan? Lihat kalian telah berjuang sejak dini sehingga
kini tulang dan otot kalian lebih kuat, kan? Kalian pun harus berjuang
untuk tetap berusaha dan tidak menyerah terhadap apa pun juga.
Jadilah hebat, melebihi guru kalian.
Dan terima kasih karena kalian telah menemani saya hari
demi hari dan membuat saya lupa akan beban yang ternyata selalu
saya pikul. Terima kasih anak-anak. Saya sayang pada kalian.
87