KEPERAWATAN RESTORASI BAGI KELUARGA DENGAN STROKE STIKes Karya Husada Semarang Penerbit Dr. Fery Mendrofa, M.Kep, Sp.Kom
KEPERAWATAN RESTORASI BAGI KELUARGA DENGAN STROKE 142 hal + vi Cetakan I : 2021 Dr. Fery Mendrofa, M.Kep, Sp.Kom Penulis CV. CATUR KARYA MANDIRI Desain Sampul Dr. Fery Mendrofa, M.Kep, Sp.Kom Editor CV. CATUR KARYA MANDIRI Jl. Mangga VI No. 71, Semarang, Telp. (024) 841 9620 Dicetak Oleh Diterbitkan oleh: STIKes Karya Husada Semarang Jl. Kompol R. Soekanto No. 46, Telp. (024) 6724581 Hak Cipta @2020 pada penulis ISBN: 978-602-74336-6-3 ii
KATA PENGANTAR Puji Syukur Kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izin-Nya Kami dapat menyelesaikan Buku ini dengan judul “Keperawatan Restorasi Bagi Keluarga”. Semoga dengan adanya buku ini dapat menambah pengetahuan dan bisa mengaplikasikannya. Kami menyadari dalam penulisan buku ini, masih banyak kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu, Kami sangat mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyusun buku ini. Semarang, Januari 2021 Penulis iii
DAFTAR ISI Cover ...................................................................................................... i Halaman Pengesahan .............................................................................. ii Kata Pengantar........................................................................................ iii Daftar Isi................................................................................................. iv BAB I STROKE.................................................................................... 1 1.1 Stroke........................................................................................ 1 1.1.1 Definisi Stroke.......................................................................... 1 1.1.2 Jenis Penyakit Stroke................................................................ 3 1.1.3 Tanda dan Gejala...................................................................... 6 1.1.4 Patofisiologi.............................................................................. 6 1.1.5 Faktor Risiko Pada Stroke ........................................................ 9 1.1.6 Dampak Stroke ......................................................................... 10 1.1.7 Etiologi Penyakit Stroke ........................................................... 15 1.1.8 Faktor Risiko Penyakit Stroke .................................................. 16 1.1.9 Pencegahan Penyakit stroke ..................................................... 17 BAB II ASUHAN KEPERAWATAN PENDERITA STROKE ....... 19 1.1.10 Asuhan Keperawatan Penderita stroke ..................................... 19 1.1.11 Model Perawatan Penderita Stroke........................................... 21 2.1 Pelayanan Keperawatan Self Care............................................ 23 2.1.1 Pengertian Self Care ................................................................. 23 2.1.2 Konsep Pelayanan Self Care..................................................... 23 3.1 Komponen Pelayanan Self Care ............................................... 25 3.1.1 Dukungan Keluarga .................................................................. 27 3.1.1.1 Dukungan Informasi ................................................................. 27 3.1.1.2 Dukungan Instrumental ............................................................ 28 iv
3.1.1.3 Dukungan Penghargaan ............................................................ 28 3.1.1.4 Dukungan Emosional ............................................................... 29 3.1.2 Kebutuhan Self Care................................................................. 29 3.1.2.1 Kebutuhan Fisik........................................................................ 29 3.1.2.2 Kebutuhan Psikologis............................................................... 30 3.1.2.3 Kebutuhan Emosional............................................................... 30 3.1.2.4 Kebutuhan Spiritual.................................................................. 31 3.1.3 Self Care Agency...................................................................... 31 3.1.4 Asuhan Keperawatan................................................................ 32 3.1.4.1 Self Efficacy ............................................................................. 32 3.1.4.2 Self Management...................................................................... 37 3.1.4.3 Self Regulation ......................................................................... 38 3.1.5 Self Care ................................................................................... 41 BAB III KEPERAWATAN RESTORASI.......................................... 43 4.1 Keperawatan Restorasi ............................................................. 43 4.1.1 Pengertian Keperawatan Restorasi ........................................... 43 4.1.2 Asuhan Keperawatan Restorasi ................................................ 44 4.1.3 Model Keperawatan Restorasi.................................................. 49 4.1.4 Bentuk Keperawatan Restorasi................................................. 53 4.1.5 Indikator Perawatan Restorasi .................................................. 58 4.1.6 Perbedaan Perawatan Restorasi dan Rehabilitative pada penderita stroke......................................................................... 59 Materi 1 Training of Trainer Perawatan Restorasi Bagi Keluarga .. 63 Pokok Bahasan 1. Penyakit Stroke ......................................................... 65 Pokok Bahasan 2. Indikator dan Aktivitas Restorasi Penyakit Stroke.... 68 Pokok Bahasan 3: Indikator Out Put Perawatan Restorasi ..................... 80 Pokok Bahasan 4: Tenaga Terlibat Dalam Perawatan ............................ 81 v
Materi 2 Intervensi dan Alur Perawatan Restorasi........................... 82 Pokok Bahasan 1. Permasalahan dan Tujuan Intervensi Stroke Oleh Asisten Perawat (Keluarga). ................................................................... 83 Pokok Bahasan 2. Intervensi dan Bagan Alur Perawatan Oleh Perawat. 84 Materi 3 Asuhan Perawatan Restorasi Penderita Stroke................. 105 Pokok Bahasan 1 : Pengkajia Penderita Stroke ...................................... 107 Pokok Bahasan 2 : Tujuan Perawatan Restorasi..................................... 110 Pokok Bahasan 3 : Diagnosis Perawatan Restorasi ................................ 111 Pokok Bahasan 4: Rencana Intervensi Restorasi ................................... 113 Pokok Bahasan 5 Implementasi Restorasi .............................................. 115 Pokok Bahasan 6. Rencana Evaluasi Perawatan Restorasi..................... 123 Pokok Bahasan 7 : Dokumentasi Perawatan........................................... 124 Daftar Pustaka......................................................................................... 126 Lampiran................................................................................................. 130 vi
BAB I S T R O K E 1.1 Stroke 1.1.1 Definisi Stroke Stroke termasuk penyakit cerebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen disebabkan adanya sumbatan, penyempitan atau pecahnya pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2004). Data di Indonesia menunjukan kecenderungan peningkatan kasus pasca stroke baik dalam hal kematian, kejadian, maupun kecacatan. Data Riskesdas (2008) menunjukkan bahwa angka kematian berdasarkan umur adalah sebesar 15,9% (umur 45-55 tahun), 26,8% (umur 55-64 tahun), dan 23,5% (umur >65 tahun). Kejadian stroke (insiden) sebesar 51,6/100.000 penduduk, dan kecacatan; 1,6% tidak berubah, 4,3% semakin memberat (Soertidewi, 1998). Penderita laki – laki lebih banyak dari pada perempuan, dan profil usia dibawah 45 tahun sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun 54,2%, dan usia diatas 65 tahun sebesar 33,5% (Misbach, 2007). Stroke menyerang usia produktif dan usia lanjut, yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pembangunan kesehatan sevara nasional (Misbach, 2000). Rata-rata penderita stroke meninggal setelah dirawat di rumah sakit adalah 5 tahun (antara 1-20 bulan). Penderita stroke yang meninggal sering diiringgi dengan penyakit kanker, hipertensi, diabetes, penyakit paru, penyakit jantung). Perawatan pasien dirumah dipengaruhi oleh support social (Kelly et al 2010) 1
Stroke adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi biokimia, yang dapat merusakkan atau mematikan sel-sel saraf di otak. Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan di otak (Jauch, 2005). Definisi stroke menurut kelompok studi serebrovaskuler dan neurogeriatri Perdossi (1999) stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian. Stroke merupakan penyakit peredaran darah otak yang diakibatkan oleh tersumbatnya aliran darah ke otak atau pecahnya pembuluh darah di otak sehingga persediaan darah ke otak berkurang (Smeltzer & Bare, 2004). Batasan yang dikemukakan olah WHO task force in stroke dan other cerebrovascular disease tahun 1989, stroke adalah disfungsi neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah dan timbul secara mendadak (dalam beberapa detik) atau cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal otaka yang terganggu (Bustan, 2007). Menurut WHO pada tahun 1995 definisi stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler (Richard, et al., 1999). Stroke merupakan penyakit peredaran darah otak yang diakibatkan oleh tersumbatnya aliran darah ke otak atau pecahnya pembuluh darah di otak, sehingga persediaan darah ke otak berkurang (Smeltzer & Bare, 2004). 2
1.1.2 Jenis Penyakit Stroke Berdasarkan klinis secara umum terdapat 2 jenis stroke, yakni stroke iskemik (non hemorhagik) dan hemorhagik. Jenis hemorhagik dapat terjadi sebagai perdarahan intracerebral ataupun subaraknoid. Berdasarkan jenis stroke adalah sebagai berikut (Bustan, 2007): 1. Transient Ischemic Attack (TIA) Merupakan stroke ringan, berupa serangan iskemik sepintas. Pada keadaan ini semua gejala neurologis yang timbul akau sembuh dalam 24 jam, sehingga pasien tidak mengalami ketergantungan dan sepenuhnya dapat mandiri setelah pulang dari rumah sakit. 2. Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND) Merupakan stroke yang ringan berupa gangguan saraf oleh iskemik yang dapat pulih dan gejalanya dapat sembuh sempurna dalam waktu 24 jam. Stroke ini termasuk ringan karena gejala neurologis yang timbul juga dapat menghilang dan pasien sembuh, namun waktu lebih dari 24 jam. Walaupun TIA dan RIND dapat sembuh sempurna, namun harus tetap diwaspadai karena kemungkinan kambuh cukup besar, sehingga faktor risiko harus diperbaiki dan apabila kambuh stroke yang terjadi lebih berat dan meninggalkan kecacatan. Pemulihan sempurna masih dapat diharapkan sampai pada akhir bulan pertama dengan peluang sebesar 25% (Hadinoto, Setiawan & Soetedjo 1992), sehingga apabila pasien mengalami defisit motorik perlu dilakukan intervensi rehabilitasi fisik. 3. Stroke Non Hemorhagica (Stroke tanpa pendarahan). Merupakan stroke infark iskemik, yang terjadi karena aliran darah berkurang atau terhenti pada sebagian daerah otak. Biasanya penderitanya masih sadar. Stroke adalah suatu kondisi dimana terjadi gangguan pada aktivitas suplai darah ke otak. Ketika aliran darah ke otak terganggu maka oksigen dan nutrisi tidak dapat dikirim ke otak. Kondisi ini akan mengakibatkan kematian 3
sel-sel otak (Diwanto, 2009). Kebanyakan kasus stroke yang terjadi merupakan stroke iskemik. Penyebab stroke iskemik adalah penyumbatan aliran darah. Penyumbatan dapat terjadi karena timbunan lemak yang mengandung kolesterol (disebut plak) dalam pembuluh darah besar (arteri karotis) atau pembuluh darah sedang (arteri serebri) atau pembuluh darah kecil (Sustrani, et al. 2004). Pada stroke iskemik, terjadi kekurangan suplai darah ke suatu area di jaringan otak. Iskemia berarti vaskularisasi ke suatu organ atau jaringan menjadi berkurang atau tidak ada. Keadaan ini dapat disebabkan karena bekuan darah, plak aterosklerosis, atau vasokontriksi. Sedangkan infark adalah kematian suatu daerah atau jaringan sebagai akibat iskemia. 4. Stroke Hemorrhgica (stroke dengan perdarahan). Merupakan stroke perdarahan yang terjadi karena dinding pembuluh darah otak robek. Biasanya kesadaran penderita menurun (Anies, 2006). Stroke merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir daya ingat, dan bentuk kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak. Jika dilihat dari klasifikasi stroke adalah sebagai berikut (Muttaqin,2008). 1. Berdasarkan manifestasi klinik a. Transient Ischemic Attack (TIA), serangan kurang dari 24 jam. b. Stroke in Evolution (SIE), hilang dalam 2 minggu. c. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND). d. Completed Stroke. Gejala neurologis yang ada sifatnya sudah menetap. Aktivitas sehari - hari pasien menjadi sangat tergantung kepada orang lain. Stroke infark atau iskemik disebabkan oleh pembuluh darah otak yang tersumbat oleh trombosis dan emboli, sehingga otak relatif 4
kekurangan darah. Trombosis terbentuk dalam pembuluh nadi otak (Thomas 1991; Chandra, 1994). Trombosis serebral ini terjadi akibat proses penyempitan atau arteriosklerosis pembuluh nadi otak dengan derajat yang sedang atau berat. Keadaan ini sangat berhubungan erat dengan usia, tetapi dapat pula ditimbulkan oleh tekanan darah tinggi dengan faktor risiko lainnya yang menyertai seperti diabetes dan kolesterol (Thomas, 1991). Oleh karena itu individu yang mempunyai faktor risiko terhadap terjadinya stroke perlu melakukan pencegahan dini dengan melakukan modifikasi terhadap faktor risiko ini melalui diet, olah raga, pemeriksaan berkala serta pengobatan secara rutin. Jika aliran darah ke setiap bagian otak terhambat karena trombosis atau emboli, maka mulai terjadi kekurangan oksigen pada jaringan otak. Kekurangan selama satu menit dapat mengarah pada gejala yang dapat pulih, seperti kehilangan kesadaran. Kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih lama dapat menyebabkan nekrosis mikroskopik pada neuron yang areanya disebut infark. Gejala dan tanda yang dapat ditunjukkan pada stroke infark yaitu serangan biasanya terjadi saat bangun tidur, kadang tidak disertai nyeri kepala, muntah dan kejang serta pasien sadar. 2. Berdasarkan proses patologik (kausal) a. Infark b. Perdarahan intra serebral. c. Perdarahan subarachnoidal. 3. Berdasarkan tempat lesi a. System karotis b. System vertebrobasiler. 5
1.1.3 Tanda dan Gejala Menurut Richard, et al., (2009) lima gejala umum yang ditemukan pada pasien stroke sebagian besar meliputi: 1. Tiba-tiba mati rasa atau kelemahan pada wajah, lengan, atau kaki, terutama pada satu sisi tubuh. 2. Tiba-tiba kebingungan, kesulitan berbicara atau memahami. 3. Tiba-tiba kesulitan melihat pada salah satu mata atau kedua mata. 4. Tiba-tiba kesulitan berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau koordinasi. 5. Mendadak sakit kepala parah dengan tidak diketahui penyebabnya. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat mengenai pentingnya mengenal gejala dari penyakit stroke ini, akan meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong mereka lebih awal membawa pasien stroke ke rumah sakit, karena mengetahui pentingnya evaluasi awal adalah tujuan dari setiap program stroke yang komprehensif. Berdasarkan etiologi stroke iskemik dapat disebabkan oleh oklusi vaskuler intrinsik (trombus) atau oklusi dari material intravaskuler yang berasal dari tempat lain (emboli). Pada infark aterosklorotik arteri besar, mungkin ada emboli arteri ke arteri, atau pembentukan trombus di tempat yang sebelumnya ada steosis yang mendahului. Sumber potensial terjadinya emboli, adalah jantung, aorta, sistem vena dapat merupakan sumber yang potensial bagi emboli (Love, 1999). 1.1.4 Patofisiologi Stroke timbul bila ada gangguan aliran darah serebral ke suatu bagian otak. Berbagai proses fisiologik pada otak sangat tergantung kesediaan energi untuk metabolisme. Tersedianya energi tergantung pada pasokan oksigen dan glukosa lewat aliran darah. Otak manusia 6
mengkonsumsi 20 - 25% oksigen dan hampir 70% glukosa tubuh. Proses pembentukan energi pada otak melalui oksidasi fosforilasi pada mitokondria menghasilkan 95% ATP otak, sehingga berkurangnya suplai !oksigen pada sel otak mengakibatkan gangguan pada fungsi otak. Stroke iskemik mempunyai beberapa penyebab, tetapi yang khas disebabkan oleh karena aterotrombosis atau emboli yang menggangu aliran darah otak (Cerebral Blood Flow (CBF)). Dalam keadaan normal, CBF adalah 5060 ml/100g jaringan otak permenit. Iskemia terjadi bila mana CBF kurang dari 30 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila mana drop dibawah 30 ml/ 100 gr jaringan otak permenit, akan terjadi kegagalan homeostastis, yang disusul influks kalsium yang cepat, aktivitas protease, keadaan eksitotoksik dan kematian neuronal (Schneck, 1998). Bila CBF terganggu tetapi masih diantara 15 dan 10 ml/100 g jaringan otak permenit, keadaan iskemia dapat pulih kembali asalkan pengobatan dimulai cukup cepat. Mekanisme patologis awal pada stroke adalah berkurangnya energi (ATP), yang sangat diperlukan dalam keseimbangan ionik dalam sitoplasma neuron dengan menyediakan energi untuk pertukaran ion melalui aktifitas enzim Na+K-ATPase. Dengan berkurangnya ATP akibat iskemia menyebabkan terjadinya depolarisasi membran dan terjadi pelepasan glutamat di ruang ekstraseluler. Glutamat berperan awal pada kerusakan otak akibat iskemia, pengaktifan reseptor glutamat secara berlebihan akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi yang terus menerus yang menimbulkan kematian neuron. Reseptor glutamat terdiri dari: 1) Reseptor metabotropik yang bergandengan dengan protein G dan memodulasi second messenger dalam sel seperti inositol -1,4,5-trifosfat (P3) dan diacylglycerol (DAG). Peningkatan kadar kalsium intrasel ditambah dengan peningkatan konsentrasi DAG merubah aktifitas enzim yang mengatur protein membran, mengakibatkan peningkatan kepekaan reseptor glutamat. Hal ini mengakibatkan adanya vicious circle sehingga 7
mengakibatkan akumulasi ion kalsium berkelanjutan dan peningkatan pelepasan glutamat dari terminal sinap. 2) Reseptor ionotropik, yang terdiri atas reseptor yang mempunyai hubungan langsung dengan saluran ion membran. Reseptor ini terbagi lagi menjadi reseptor N-methyl-d-aspartate (NMDA), reseptor a-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionate (AMPA) dan kainat. Reseptor NMDA menyebabkan masuknya ion kalsium dan natrium kedalam sel. Reseptor ini paling banyak teraktifkan pada iskemia fokal, kekhususan reseptor ini terletak pada kemampuannya memasukkan ion kalsium dan adanya ion magnesium ekstraseluler yang menutup saluran ion pada keadaan hiperpolarisasi membran. Pada keadaan depolarisasi MG2+ terlepas dan menyebabkan terbukanya saluran ion. AMPA dan Kainat terutama untuk memasukkan ion natrium. Peranan reseptor ini dengan masuknya ion natrium akan menyebabkan terjadinya depolarisasi jangka pendek pada membran post sinap, yang akan menambah masuknya ion kalsium. Masuknya ion natrium dan klorida (Cl-) diikuti H2O mengakibatkan pembengkakan pada dendrit apikal dan lisis neuronal. Kadar ion kalsium yang tinggi intra sel dan transformasi dalam bentuk aktif dengan ikatan pada reseptor kalmodulin intra sel menyebabkan aktifasi enzim enzim intraseluler tergantung kalmodulin seperti: fosfolipase, protein kinase dan endonuklease. Enzim tersebut merupakan picu dari berbagai rangkaian reaksi enzimatik, mengakibatkan kerusakan biomakromolekuler dan akhirnya terjadi kematian sel, seperti pada diagram gambar 2.4 sebagai berikut: 8
Gambar 2.1: Diagram mekanisme hubungan antara ischemik dan kenatian sel 1.1.5 Faktor Risiko Pada Stroke Faktor risiko pada stroke adalah faktor yang memperbesar kemungkinan seseorang untuk menderita stroke. Ada 2 kelompok utama faktor risiko stroke. Kelompok pertama ditentukan secara genetik atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal sehingga tidak dapat dimodifikasi. Yang termasuk kelompok ini adalah: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat stroke dalam keluarga dan serangan Transient Ischemic Attack atau stroke sebelumnya. Kelompok yang kedua merupakan akibat dari. Gaya hidup seseorang dan dapat dimodifikasi. Faktor risiko utama yang termasuk kelompok kedua atau dapat diubah adalah hipertensi, penyakit jantung, kolesterol tinggi, diabetes mellitus, obesitas, merokok, hiperlipidemia, dan intoksikasi alcohol (Bounameaux, et al., 1999). 9
Adanya faktor risiko stroke ini membuktikan bahwa stroke adalah suatu penyakit yang dapat diramalkan sebelumnya dan bukan merupakan suatu hal yang terjadi begitu saja, sehingga istilah cerebro vascular accident telah ditinggalkan. Penelitian epidemiologis membuktikan bahwa pengendalian faktor risiko dapat menurunkan risiko seseorang untuk menderita stroke (Hankey, 2002), mencegah terjadinya stroke pada kelompok orang yang memiliki risiko untuk menderita stroke, misalnya pada penderita hipertensi, perokok, penderita diabetes mellitus, penderita penyakit jantung koroner dll. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah modifikasi faktor risiko, prevensi medik misalnya dengan pemberian anti platelet atau anti koagulan, prevensi bedah misalnya carotid endarterectomy, dan sosialisasi/kampanye kesehatan masyarakat. Upaya prevensi sekunder ditujukan untuk mencegah terjadinya serangan stroke berulang pada kelompok orang yang sudah pernah mengalami stroke. Ke dalam kelompok ini termasuk pengontrolan faktor risiko, peningkatan faktor protektif, prevensi medik maupun prevensi bedah (Wilterdink and Easton, 2001; Sarti, 2003). 1.1.6 Dampak Stroke Dampak yang ditimbulkan dari stroke pada setiap pasien berbeda- beda tergantung dari bagian otak yang terkena injuri, keparahan injuri, dan status kesehatan seseorang. Keparahan yang ditimbulkan berdasarkan dari ukuran dan letak terjadinya perdarahan dan infark yang terjadi dalam otak, sehingga dapat diketahui seberapa besar gangguan fungsional yang diderita oleh pasien. Berdasarkan Thomas, (1991); Lumbantobing, (2000); Smetltzer dan Bare, (2004) stroke menyebabkan berbagai defisit neurologi. Defisit neurologi yang terjadi tergantung dari pembuluh darah mana yang tersumbat dan ukuran area otak yang mengalami ketidakadekuatan perfusi sehingga dampak yang dapat diketahui adalah: 10
1. Gangguan motorik Pada awal serangan, anggota gerak yang terkena cenderung terlihat lemas dengan tonus otot yang jelek dan adanya gangguan pada gerakan tangan atau jari-jari kaki, sementara gerakan siku, balm dan panggul belum menunjukkan kelumpuhan. Gangguan motorik atau defisit neurologis yang dapat terjadi kebanyakan berupa hemiparese atau hemiplegi. Hemiparese merupakan kelemahan otot pada satu sisi tubuh yang pada umumnya disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak pada sisi yang berlawanan (Poernomo, 1996). Hemiplegi adalah kelumpuhan atau paralisis pada salah satu sisi, tergantung lesi dan bertentangan dengan otak yang terkena. Untuk mengetahui derajat kelemahan otot dapat diketahui dengan menggunakan skala tingkat: 0 = tidak ada kontraksi otot 1 = ada tanda kontraksi otot 2 = bergerak tetapi tidak mampu untuk menahan gaya gravitasi 3 = bergerak melawan gaya gravitasi tetapi tidak dapat melawan tahanan pemeriksa 4 = bergerak dengan lemah terhadap tahanan dari pemeriksa 5 = kekuatan dan regangan yang normal Melalui pemeriksaan fisik yang dilakukan dan berdasarkan skala tingkatan ini, dapat diketahui apakah pasien mengalami hemiplegi atau hemiparesis. Kurang lebih dua sampai tiga minggu setelah serangan stroke, refleks - refleks pada sisi yang mengalami kelemahan akan pulih dan tonus otot kembali meningkat. Tonus otot pada anggota gerak biasanya meningkat sehingga menjadi kaku atau spastisitas. Kekakuan yang terjadi pada otot - otot tungkai dapat bermanfaat secara terbatas karena berfungsi sebagai suatu bentuk pembidaian internal yang membuat tungkai lebih stabil ketika pasien berdiri dan berjalan (Hudak 11
& Gallo, 1994). Untuk mencegah terjadinya kontraktur dan atrofi pada ekstremitas yang mengalami hemiplegi atau hemiparese, maka perawat dapat melakukan latihan rehabilitasi sedini mungkin yang di mulai secara bertahap pada saat pasien masuk rumah sakit sampai pasien berada kembali di rumah. 2. Masalah komunikasi/bahasa. Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan berupa afasia ekspresif dan afasia reseptif (Hudak & Gallo, 1994). Afasia ekspresif adalah ketidakmampuan pasien dalam mengubah suara menjadi pola - pola bicara yang dapat dipahami, namun pasien dapat berbicara dengan menggunakan satu kata. Afasia ekspresif terjadi apabila daerah otak yang mengalami trauma terjadi pada area atau dekat area broca's kiri, sehingga memori pola bicara akan terpengaruh. Pasien memahami bahasa yang didengar tetapi tidak mampu menggunakannya dengan baik. Afasia reseptif adalah kerusakan kelengkapan kata yang diucapkan, namun pasien mampu untuk bicara walaupun menggunakan kata - kata secara tidak tepat dan pasien tidak sadar tentang kesalahan ini. Afasia reseptif terjadi akibat cedera pada area wernicke's kiri, yang merupakan pusat kontrol untuk pengenalan bahasa yang diucapkan. Akibatnya pasien tidak mampu memahami bahasa yang diucapkan. Perawat mempunyai peran penting untuk menjelaskan kepada keluarga bahwa pasien yang mengalami afasia bukan berarti pasien mengalami kerusakan intelektual. Kommukasi harus tetap diupayakan untuk dilakukan apakah dengan menulis, menunjuk chart alfabet, atau menggunakan isyarat tubuh. Intervensi ini dapat dilakukan dengan cara menuliskan nama - nama benda dan meminta pasien untuk mengulang nama - nama dari benda tersebut, mengulang bunyi masing - masing alfabet, berbicara dengan jelas dan dalam kalimat yang sederhana sambil menggunakan isyarat tubuh. 12
3. Gangguan persepsi sensori Pasien mengalami ketidakmampuan dalam menginterpretasikan sensasi. Pasien kehilangan sensori atau hilang respon terhadap sensasi superficial yaitu kesulitan dalam merasakan sentuhan ringan atau berat, nyeri, panas, dingin dan kehilangan kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh (proprioresepsi) serta kesulitan dalam menginterpretasikan taktil dan auditorius. Gangguan penglihatan atau gangguan persepsi visual dapat berupa kehilangan setengah lapang pandang. Pasien juga mengalami kesulitan dalam menafsirkan atau menginterpretasikan apa yang dilihat. Hal ini dapat menyulitkan dalam program rehabilitasi yang dilakukan. 4. Kerusakan fungsi kognitif dan psikologis Apabila kerusakan terjadi di lobus bagian frontal, maka akibat yang ditimbulkan berupa perhatian menjadi terbatas, kesulitan dalam pemahaman, mudah lupa, kurang motivasi yang berakibat pasien menjadi sering frustrasi dalam program rehabilitasi. Pasien pasca stroke dapat memperlihatkan masalah emosional dan perilaku yang mungkin berbeda dari keadaan sebelum mengalami stroke. Emosi pasien dapat labil, toleransi terhadap stress kemungkinan dapat menurun, dan kadang - kadang keluarga tidak dapat memahami kondisi pasien (Hudak & Gallo, 1994). Peran perawat pada kondisi ini adalah membantu keluarga agar memahami perubahan perilaku pasien. Perawat dapat memodifikasi perilaku pasien dengan mengendalikan stimulasi lingkungan, memberikan waktu istirahat untuk mencegah pasien dari kelelahan yang berlebihan, memberi umpan balik positif apabila pasien berusaha untuk belajar ketrampilan yang baru. 13
5. Gangguan eliminasi Inkontinensia dapat terjadi apabila pasien tidak mampu mengkomunikasikan apa yang dirasakan atau karena gangguan motorik. Kadang - kadang setelah terjadi serangan stroke, kandung kencing menjadi atonia karena kerusakan sensasi terhadap pengisian kandung kencing atau kehilangan kontrol sfingter urinarius eksternal. Hal ini yang mengakibatkan pasien sering mengalami berkemih. Kehilangan kemampuan untuk mengendalikan buang air besar jarang terjadi dan ditemukan kurang dari 10% pada pasien stroke (Hudak & Gallo, 1994). Kerusakan fungsi usus pada pasien stroke adalah akibat dari penurunan tingkat kesadaran dan immobilisasi, sehingga terjadi konstipasi karena adanya pengerasan feses. Pada kondisi yang demikian peran perawat adalah mengembangkan pelatihan usus dengan memberikan makanan yang diketahui dapat menstimulasi defekasi, seperti jus atau makanan yang mengandung serat serta menggunakan laksatif. 6. Gangguan kesadaran Serangan stroke pada hemisfer serebri, biasanya tidak langsung mengakibatkan penurunan kesadaran, namun serangan stroke yang sangat parah pada bagian otak ini mungkin menurun kesadarannya sebagai akibat terjadinya edema serebral. Perubahan terjadi dalam otak dan batang otak kemungkinan terdesak sehingga kesadaran berangsur- angsur terus menurun. Namun demikian, sebagian pasien yang mengalami stroke pada hemisfer serebri tetap sadar selama perjalanan penyakitnya. Apabila kesadaran pasien sejak awal sudah terganggu, kerusakan terjadi pada batang otak tempat terletaknya sel - sel syaraf yang berhubungan dengan kesadaran seseorang. Sebagian pasien tidak pernah sadar kembali tetapi sebagian lagi cenderung pulih secara perlahan - lahan dalam beberapa hari. Beberapa pasien tetap tidak sadar selama seminggu atau lebih dan 14
kemudian kesadarannya pulih kembali. Tetapi, kemungkinan kesadaran pulih kembali semakin kecil apabila kehilangan kesadaran semakin lama (Thomas, 1991). Kesadaran pasien yang mengalami stroke memperlihatkan kondisi yang beragam. Sebagian pasien benar - benar menyadari apa yang terjadi pada dirinya, sehingga pasien dapat merasakan sejak awal. Pasien seperti ini dapat segera mengikuti program rehabilitasi. Sebagian lagi tampak kesadarannya menurun, mengalami disorientasi dan pada umumnya belum mampu berpikir jernih sehingga upaya rehabilitasi belum banyak memberikan hasil. 1.1.7 Etiologi Penyakit Stroke Stroke adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi biokimia, yang dapat merusakkan atau mematikan sel-sel saraf di otak. Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan seperti kelumpuhan pada anggota badannya, hilangnya sebagian ingatan atau kemampuan bicaranya. Strok adalah penyebab kematian yang ketiga di Amerika Serikat dan banyak negara industri di Eropa (Jauch, 2005). Stroke timbul bila ada gangguan aliran darah serebral ke suatu bagian otak. Berbagai proses fisiologik pada otak sangat tergantung kesediaan energi untuk metabolisme. Stroke iskemik dapat disebabkan oleh oklusi vaskuler intrinsik (trombus) atau oklusi dari material intravaskuler yang berasal dari tempat lain (emboli). Pada infark aterosklorotik arteri besar, mungkin ada emboli arteri ke arteri, atau pembentukan trombus di tempat yang sebelumnya ada steosis yang mendahului. Sumber potensial terjadinya emboli, adalah jantung, aorta, sistem vena dapat merupakan sumber yang potensial bagi emboli (Love, 1999). 15
1.1.8 Faktor Risiko Penyakit Stroke Faktor risiko penyakit stroke adalah faktor yang memperbesar kemungkinan seseorang untuk menderita stroke. Ada 2 kelompok utama faktor risiko stroke. Kelompok pertama ditentukan secara genetik atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal sehingga tidak dapat dimodifikasi. Yang termasuk kelompok ini adalah usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat stroke dalam keluarga dan serangan Transient Ischemic Attack atau stroke sebelumnya. Kelompok yang kedua merupakan akibat dari. gaya hidup seseorang dan dapat dimodifikasi. Faktor risiko utama yang termasuk kelompok kedua atau dapat diubah adalah hipertensi, penyakit jantung, kolesterol tinggi, diabetes mellitus, obesitas, merokok, hiperlipidemia, dan intoksikasi alcohol (Bounameaux, et al., 1999). Adanya faktor risiko stroke ini membuktikan bahwa stroke adalah suatu penyakit yang dapat diramalkan sebelumnya dan bukan merupakan suatu hal yang terjadi begitu saja. Penyakit stroke dapat menyebabkan berbagai macam gangguan terutama gangguan pada kelumpuhan saraf yang terjadi akibat pembekuan darah di otak. Penelitian tentang dampak dari serangan stroke diperoleh hasil bahwa serangan stroke dapat mengakibatkan kelumpuhan motorik 33%, gangguan tidur > 33%, jatuh 30%, gangguan memori 9% (Divani et al, 2011) Penelitian epidemiologis membuktikan bahwa pengendalian faktor risiko dapat menurunkan risiko seseorang untuk menderita stroke. upaya intervensi keperawatan yang terkait dengan penderita stroke diutamakan terhadap 7 domain aktivitas sehari-hari yaitu berjalan, makan, mengunakan baju, jalan, bagun dari tempat tidur, BAB, bergerak (Aguilar, 2011). 16
1.1.9 Pencegahan Penyakit stroke Upaya pencegahan penyakit stroke didasarkan pada perjalanan alamiah penyakit yang meliputi pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tersier (Bustam, 2007). 1. Pencegahan primer a. Gaya hidup: reduksi stres, makan rendah garam, lemak dan kalori, exercise, no smoking, dan vitamin. b. Lingkungan: kesadaran atas stress kerja, kemungkinan gangguan PB, (lead). c. Biologi: perhatian terhadap faktor risiko biologis (jenis kelamin, riwayat keluarga), efek aspirin. d. Pelayanan kesehatan: health education dan pemeriksaan tensi. 2. Pencegahan sekunder: a. Gaya hidup: manajemen stroke, makanan rendah garam, stop smoking, penyesuaian gaya hidup. b. Lingkungan: penggantian kerja jika diperlukan, family counseling. c. Biologi: pengobatan yang patuh dan cegah efek samping. d. Pelayanan kesehatan: pendidikan pasien dan evaluasi penyebab sekunder. 3. Pencegahan tersier: a. Gaya hidup: reduksi stress, exercise sedang, stop smoking. b. Lingkungan: jaga keamanan dan keselamatan (rumah lantai pertama, pakai wheel-chair) dan family support. c. Biologi: kepatuhan berobat, terapi fisik dan speech therapy. d. Pelayanan kesehatan: emergency medical technic, asuransi. 17
Upaya pencegahan dapat melalui pendidikan kesehatan kepada masyarakat mengenai pentingnya mengenal tamda dan gejala dari penyakit stroke. Adanya pendidikan kepada masyarakat akan meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong lebih awal membawa pasien stroke ke rumah sakit. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat untuk mengetahui pentingnya evaluasi awal kondisi yang terjadi sebelum serangan stroke sehingga intervensi dapat diberikan secara dini. Pendidikan kesehatan pada masyarakat dapat mendukung upaya program stroke yang komprehensif. 18
BAB II ASUHAN KEPERAWATAN PENDERITA STROKE 1.1.10 Asuhan Keperawatan Penderita stroke Pelayanan keperawatan penderita stroke merupakan pemberian pelayanan kepada penderita stroke secara holistik dalam upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Penyakit stroke yang berlangsung lama menyebabkan terjadinya cidera bagi penderita stroke. Pelayanan yang diberikan kepada penderita stroke di utamakan dalam upaya menangani cidera yang diderita. Penderita stroke yang telah berlangsung 2 tahun berpotensi mengalami jatuh, mengalami cidera, dan kelumpuhan anggota gerak dan hanya 2.1% yang dapat mengalami pemulihan (Divani et al, 2009). Penderita stroke yang berkepanjangan berdampak terhadap psikologis penderita seperti cemas, ketakutan akibat penyakit dan depresi. Untuk menghindari dari kondisi kecemasan dan depresi diperlukan koping individu, perawatan diri dan manajemen kecemasan. Upaya pelayanan penderita stroke ditujukan untuk mengatasi gangguan yang terjadi akibat stroke yang diderita seperti gangguan kesehatan secara umum, nyeri, kelemahan motorik, masalah psikiatrik, gangguan urinary (Divani et al, 2009). Pelayanan yang diberikan kepada penderita stroke meliputi pelayanan keperawatan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan, buang air besar, bergerak, mengunakan baju, berjalan, mandi. Pelayanan terhadap penderita stroke setelah pulang dari rumah sakit mempertimbangkan kondisi ekonomi sehingga alternatif pemilihan jenis pelayanan yang diberikan dapat berupa pelayanan dirumah dengan upaya pelayanan restorasi (Noyes et al, 2008). Pertimbangan pemilihan pelayanan didasarkan pada kondisi penyakit akibat stroke dan kondisi keuangan keluarga. 19
Alexander & Staggers (2009) efektivitas perawatan penderita dapat dilihat dari kegunaan pelayanan yang diberikan dan keamanan pelayanan yang diberikan terhadap penderita. Efisiensi pelayanan dapat dilihat dari produktivitas pelayanan, harga pelayanan dan bagaimana pelayanan merupakan media pembelajaran. Kepuasan pelayanan dapat dilihat dari penerimaan effektivitas dan efisiensi pelayanan. Pelayanan keperawatan yang diberikan kepada penderita strok melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti tenaga perawat, fisioterapi, psikologi, okupasi dan spiritual. Upaya pelayanan keperawatan terhadap penderita stroke didasarkan pada diagnosis keperawatan yang dapat berupa (Doenges, 2002): 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan tidak adekuatnya suplai darah serebral, gangguan oklusif, haemoragik, vasospasme serebral, edema serebral. 2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromoskuler, kelemahan, paralisis. 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia, kesulitan menelan dan menurunnya nafsu makan. 4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan sensorik, immobilisasi, inkontinensia, perubahan status nutrisi. 5. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral, kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus/kekuatan otot, kelemahan/kelelahan umum. 6. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi sensori, transmisi, integritas, stress, psikologis. 7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan kerusakan kognitif, nyeri, depresi. 20
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan pengetahuan, tidak mengenal sumber-sumber informasi. 1.1.11 Model Perawatan Penderita Stroke Model perawatan penderita stroke mempertimbangkan aspek pemberi pelayanan dan faktor dari individu tersebut seperti umur, jenis kelamin, pendapat keluarga, status sosial ekonomi, kepuasan keluarga dan kondisi penyakit yang diderita. Ketersediaan pelayanan dapat juga mempengaruhi kondisi model perawatan bagi penderita seperti kemampuan provider (perawat) dalam upaya delegasi terhadap penderita dan keluarga (Song et al, 2008). Model perawatan penderita stroke di Negara Australia seperti terlihat pada gambar berikut: Gambar 2.2 Mekanisme penanganan penderita stroke (Sumber: Department of Health, Western Australia. Model of Stroke Care 2012) 21
Pelayanan keperawatan menekankan pada aspek perawatan setelah pulang dari rumah sakit. Perawatan lebih cenderung mengatasi masalah pasien pada aspek pelayanan medis. Perawatan lebih ditekankan pada penderita stroke yang bersifat severity (stroke berat). Pada penderita stroke berat banyak menghadapi kendala medis seperti intervensi saraf, luka akibat jatuh, intervensi penyebab stroke seperti hipertensi. Keadaan ini membutuhkan tenaga medis dan paramedis meskipun dilakukan perawatan di rumah (Department of Health, Western Australia, 2012). Ketersediaan pelayanan kesehatan disuatu tempat dan fasilitas pelayanan yang memadai mempengaruhi masyarakat dalam mengunakan pelayanan. Berbagai kondisi penyakit yang dialami oleh penderita juga dapat mempengaruhi pengunaan pelayanan. Adanya pelayanan yang mungkin diberikan oleh keluarga, provider dan masyarakat memungkinkan untuk dilakukan pelayanan di rumah dengan monitoring oleh provider. Pelayanan penyakit stroke membutuhkan provider seperti dokter, perawat, fisioterapi, telewicara, dan psikolog sehingga kondisi emergensi dapat segera ditanggani. Aktivitas perawatan dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga paramedis sehingga beberapa keputusan tentang kondisi penderita harus menunggu instruksi tenaga medis dan para medis (Goldswain, 2008). Modin et al (2009) memberikan kesimpulan bahwa pasien yang mendapatkan perawatan kesehatan tidak mampu mengambil keputusan dalam inervensi keperawatan. Untuk perawatan kesehatan dirumah diperlukan tenaga para medis untuk memberikan treatmen medis. 22
2.1 Pelayanan Keperawatan Self Care 2.1.1 Pengertian Self Care Self care adalah fungsi regulasi manusia yang berdasarkan pada kemampuan individu untuk melakukan perawatan dirinya. Self care digambarkan dalam hubungan antara self care, self care agency dan therapeutic demand. Penderita tidak mampu melakukan perawatan diri sehingga deficit perawatan diri terjadi dan perawat berperan membantu klien untuk melakukan tugas perawatan dirinya (Wang and Laffrey, 2004). Self care adalah tindakan mematangkan orang lain yang mempunyai potensi untuk berkembang, atau mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar dapat digunakan secara tepat, nyata dan valid untuk mempertahankan fungsi dan berkembang dengan stabil dalam perubahan lingkungan. Self care digunakan untuk mempengaruhi aktivitas seseorang untuk menjalankan fungsinya dan berproses untuk mencapai kesejahteraannya. Komponen yang membangun self care untuk perawatan mandiri terdapat 3 aspek yaitu: a. Agen (orang yang mengambil tindakan) b. Self care agent (penyedia perawatan mandiri). c. Dependent care agent (penyelenggara perawatan yang tidak mandiri) Nursing agency merupakan upaya keperawatan untuk dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri individu dan mencapai kemandirian yang dapat dilakukan dengan cara: mengenali kebutuhannya, memenuhi kebutuhan, melatih kemampuannya. 2.1.2 Konsep Pelayanan Self Care Konsep yang mendasari pelayanan kemandirian pelayanan seperti terlihat pada gambar berikut: 23
Gambar 2.3 Model perawatan diri Sumber: Song et al, 2008 Konsep model yang mendasari self care terkait faktor dari penderita dan faktor agen pemberi pelayanan. Faktor dari penderita seperti umur, jenis kelamin, pendapatan keluarga, tingkat sosial ekonomi keluarga, kesejahteraan keluarga dan tingkat keparahan penyakit. Faktor dari agen pemberi pelayanan seperti kompetensi petugas, tingkat pengetahuan dan dukungan dari organisasi pemberi pelayanan (Song et al, 2008). Konsep pelayanan keperawatan pada model self care menekankan aspek kemandirian perawatan bagi penderita sehingga penderita mampu melakukan perawatan secara mandiri di rumah. Konsep dasar yang digunakan dalam perawatan self care berdasarkan teori Orem’s yang menekankan beberapa aspek utama dalam pemenuhan kebutuhan pasien antara lain self care agency, self care deficit, self care, nursing agency, therapeutic self care. Konsep self care yang dikembangkan oleh WHO (2009) menekankan pada aspek kemandirian individu, keluarga dan masyarakat. Adapun konsep yang dikembangkan oleh WHO seperti terlihat pada gambar berikut: Age Gender Family Income Family Socioeconomy Status Egocentric Thought Satisfaction with Family Severity of Illness Sense of Coherence General Intelligence Power Components Universal SelfCare Health-Deviation Self-Care BASIC CONDITIONING FACTORS SELF-CARE AGENCY SELF-CARE Theoretical model 24
Gambar 2.4 Konsep self care pada pelayanan dasar pada masyarakat Sumber: WHO (2009). Konsep dasar yang dikembangkan oleh WHO meliputi dari dua aspek yaitu aspek kesehatan pada masyarakat dan aspek pada klinis. Aspek pada kesehatan masyarakat upaya kemandirian dilakukan melalui promosi kesehatan, pencegahan dan monitoring kondisi penyakit. Aspek pada klinis upaya kemandirian dilakukan melalui kemandirian perawatan dan upaya pemulihan. Adanya upaya kemandirian pada aspek kesehatan masyarakat dan aspek klinis menumbuhkan kemandirian baik pada individu, keluarga dan masyarakat sehingga derajat kesehatan semakin meningkat (WHO, 2009). 3.1 Komponen Pelayanan Self Care Komponen pelyanan self care menekankan pada konsep perawatan orem’s yang meliputi kebutuhan self care, self care agency, asuhan keperawatan dan self care. Komponen self care yang dikembangkan oleh orem’s seperti terlihat pada gambar berikut: 25
Gambar.2.5 Komponen perawatan yang membangun self care Pada perawatan penderita stroke diperlukan sebuah upaya perawatan yang melibatkan anggota keluarga. Keterlibatan keluarga penting dalam upaya mengurangi kecacatan penderita stroke dan meningkatkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Indikator yang digunakan dalam upaya pelayanan self care menekankan pada aspek kemandirian penderita dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pada penderita stroke aspek self care menekankan pada pemenuhan kebutuhan makan dan minum, berjalan, pindah tempat tidur, buang air besar dan kecil, memakai baju, mengunakan celana, mandi dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari termasuk didalamnya kebutuhan berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat (Hamilton and Granger, 1994). Upaya self care pada prinsipnya menekankan pada tingkat mikro yaitu individu dan level makro yaitu keluarga, masyarakat dan sosial. Kemandirian yang diupayakan pada level individu menekankan pada aspek kemampuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Kemandirian pada aspek keluarga meliputi kemandirian Self-care Self-care agency Self-care demands Deficit Nursing agency R R R R R Conditioning Factors Conditioning Factors Conditioning Factors 26
dalam memberikan perawatan dan support kepada penderita termasuk didalamnya pemenuhan financial, kemandirian pada aspek sosial meliputi kemandirian dalam membentuk kelompok yang menerima penderita stroke (WHO, 2009). Penyakit stroke yang diderita individu berdampak terjadinya gangguan pada berbagai aspek kehidupan seperti gangguan self care, gangguan spingter, fungsi sensori dan motorik, sensorik, gangguan bicara, gangguan daya ingat, gangguan sosial kognitif. Indikator yang pada aspek self care antara lain makan, minum, mengunyah, mandi, memakai pakaian, buang air besar dan kecil. Indikator pada aspek gangguan spingter antara lain gangguan buang air besar dan buang air kecil. Indikator gangguan sensoris dan motoris antara lain berjalan, berpindah tempat tidur, pindah duduk, komunikasi, gangguan interaksi sosial, gangguan kognitif atara lain kelemahan daya ingat, gangguan sosial kognitif (Hamilton and Granger, 1994). 3.1.1 Dukungan Keluarga Penderita stroke membutuhkan perawatan yang bersifat holistic guna untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. kebutuhan tidak saja pada aspek kebutuhan fisik, tetapi pada kebutuhan psikis, emosional dan spiritual (Acello, 2009). Keadaan ini yang menyebabkan insan penderita stroke membutuhkan dukungan dari berbagai pihak dalam upaya pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Dukungan diutamakan terhadap dukungan dari keluarga yang dapat berupa dukungan informasi, dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dukungan emosional dan dukungan spiritual. 3.1.1.1 Dukungan Informasi Insan penderita stroke membutuhkan berbagai informasi mengenai pelayanan perawatan yang diberikan. Sehingga peran perawat difokuskan terhadap kebutuhan penderita secara holistik baik dari penderita, keluarga 27
baik perawatan fisik, psikologi, kognitif, emosi, agama dan sosial. Chau et al (2009) upaya promosi dapat melalui integrasi berbagai profesi yang dapat melibatkan peran keluarga dan masyarakat. 3.1.1.2 Dukungan Instrumental Upaya perawatan yang tepat bagi penderita stroke difokuskan pada upaya perawatan diri bagi penderita stroke dalam mencapai kemandirian penderita stroke (Lynch et al, 2008). Gangguan baik fisik maupun psikologis pada penderita stroke diperlukan bantuan dari berbagai pihak seperti masyarakat, profesi keperawatan, anggota keluarga atau kombinasi dari profesi keperawatan dan keluarga seperti perawatan penderita stroke dirumah oleh anggota keluarga yang telah terlatih (Cowman et al, 2010). Keluarga dapat memberikan dukungan dalam bentuk instrumental seperti penyediaan kebutuhan untuk penderita dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Adanya peningkatan kemampuan diri pada penderita stroke dapat mengurangi ketergantungan pada orang lain (Acello, 2009). 3.1.1.3 Dukungan Penghargaan Pemberian reward bagi insan penderita stroke merupakan hal penting dalam upaya memberikan dukungan semangat untuk tetap menjalani kehidupan seperti individu normal. Morris et al (2012) yang melakukan review dari berbagai artikel menyimpulkan bahwa faktor sosial berperan penting dalam kemandirian termasuk didalamnya peran anggota keluraga. Dukungan anggota keluarga memberikan semangat bagi penderita stroke dalam upaya kemandirian penderita stroke. Bantuan dari berbagai fihak dapat berupa dukungan sosial, koping mekanisme, komunikasi, fungsi fisik dan kemandirian dalam menjalankan aktivitas sehari-hari (Lynch et al 2008). 28
3.1.1.4 Dukungan Emosional Penderita stroke memerlukan upaya pemulihan terhadap kondisi gejala yang telah dideritanya. Pemberian motivasi terhadap pasien dapat meningkatkan upaya pemulihan penderita terhadap kemampuan diri penderita dalam upaya aktivitas pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Penanganan pelayanan keparawatan diutamakan kepada kondisi emosi dan strestor yang dialami oleh penderita stroke (Jones & Riazi, 2010). 3.1.2 Kebutuhan Self Care Kebuthan self care pada insan penderita stroke terjadi akibat penyakit stroke yang diderita. Dampak penyakit stroke dapat berdampak terhadap fisik, psikologis, emosional dan spiritual. Keadaan ini yang menyebabkan insan penderita stroke mengalami gangguan pada aspek fisik, psikologis, emosional dan spiritual. Kebutuhan kemandirian perawat yang rendah menyebabkan kurangnya kesadaran insan penderit stroke tentang kebutuhan kemandirian perawatan. Kesadaran yang rendah pada penderita stroke terkait dengan rendahnya pengetahuan yang dimiliki oleh insan penderita stroke. Kesadaran akan kebutuhan mendapatkan pengetahuan dan kemampuan untuk mencari pengetahuan akan mempengaruhi tindakan yang diambil oleh seorang individu (Taylor & Renpenning, 2011). 3.1.2.1 Kebutuhan Fisik Smetltzer dan Bare (2004) stroke menyebabkan berbagai defisit neurologi seperti gangguan motorik. Gangguan motorik atau defisit neurologis yang dapat terjadi kebanyakan berupa hemiparese atau hemiplegi. Dampak dari penyakit stroke menyebabkan penderita membutuhkan kemandirian dalam aspek fisik seperti berjalan, pindah tempat duduk, dan gangguan motorik lainnya seperti bicara. Hudak & Gallo (1994) menyebutkan bahwa penderita stroke mengalami masalah komunikasi/bahasa. 29
3.1.2.2 Kebutuhan Psikologis Penyakit yang diderita oleh insan penderita stroke dapat menyebabkan berbagai dampak psikologis penderita stroke. Hudak & Gallo (1994) menyebutkan bahwa penderita stroke mengalami masalah kerusakan fungsi kognitif dan psikologis. Menurut National Health Scotland (2010) Peran psikologis dalam intervensi penderita stroke meliputi upaya pemberia support mental, pengkajian terhadap neuropsikologikal, perbaikan perilaku penderita, dan dukungan emosi. Intervensi yang dilakukan oleh profesi psikologi bertumpu pada aspek perkembangan psikologi, emosi penderita stroke. 3.1.2.3 Kebutuhan Emosional Hudak & Gallo (1994) menyebutkan bahwa pasien pasca stroke dapat memperlihatkan masalah emosional dan perilaku yang mungkin berbeda dari keadaan sebelum mengalami stroke. Emosi pasien dapat labil, toleransi terhadap stress kemungkinan dapat menurun, dan kadang - kadang keluarga tidak dapat memahami kondisi pasien. Penderita stroke yang berkepanjangan berdampak terhadap psikologis penderita seperti cemas, ketakutan akibat penyakit dan depresi. Untuk menghindari dari kondisi kecemasan dan depresi diperlukan koping individu, perawatan diri dan manajemen kecemasan (Divani et al, 2009). Emotional management berkaitan dengan menghadapi segmen emosional dari penyakit yang dihadapi. Emosi seperti kemarahan, ketakutan, rasa frustasi dan depresi umum dialami oleh seseorang dengan penyakit kronis, dengan demikian belajar untuk mengelola emosi ini menjadi bagian dari usaha untuk mengelola kondisinya. 30
3.1.2.4 Kebutuhan Spiritual Insan penderita stroke membutuhkan spiritual karena terjadi kerusakan terjadi di lobus bagian frontal. Akibat kerusakan bagian frontal menyebabkan penderita perhatian menjadi terbatas, kesulitan dalam pemahaman, mudah lupa, kurang motivasi yang berakibat pasien menjadi sering frustrasi dalam program rehabilitasi (Hudak & Gallo, 1994). Kebutuhan spiritual penting bagi penderita stroke karena dampak buruk yang ditimbulkan sehingga dalam upaya meningkatkan kemandirian perlu dukungan spiritual untuk menurunkan risiko kecacatan pada penderita stroke. 3.1.3 Self Care Agency Self care agency adalah kemampuan atau kekuatan yang dimiliki oleh seorang individu untuk mengidentifikasi, menetapkan, mengambil keputusan dan melaksanakan self care. Self care agency perlu ditingkatkan oleh individu karena self care membutuhkan pembelajaran, pengetahuan, motivasi dan skill (Taylor & Renpenning, 2011). Self care agency mengacu pada kemampuan kompleks dalam melaksanakan self care. Pada insan penderita stroke kemampuan atau kekuatan yang dimiliki oleh insan penderita stroke meliputi kemampuan fisik, psikologis, emosional dan spiritual. Orem (2001), mengidentifikasi sepuluh faktor dasar yang mempengaruhi self care agency (basic condition factors) yaitu usia, gender, tahap perkembangan, sistem keluarga, tingkat kesehatan, pola hidup, sistem pelayanan kesehatan, dan lingkungan eksternal (Callaghan, 2006). Perawat mengidentifikasi self care therapeutic dan perkembangan serta tingkat self care agency dari seorang individu karena self care therapeutic demand dan self care agency berubah secara dinamis (Parker, 2001). Ketidakseimbangan antara self care therapeutic demand dengan self care agency berdampak self care deficit pada seorang individu (Richardson, 1992). 31
Pada insan penderita stroke mengalami defisit pada aspek fisik, defisit aspek psikologi, defisit pada aspek emosional dan defisit pada aspek spiritual. Adanya defisit pada insan penderita stroke menyebabkan perlunya kemandirian self care agency insan penderita stroke. Interaksi antara perawat dengan klien akan dapat terjadi jika klien mengalami self care deficit, disinilah muncul suatu nursing agency (DeLaune & Ladner, 2002). 3.1.4 Asuhan Keperawatan Asuhan keperawatan yang diberikan kepada penderita menekankan pada kemandirian dalam perawatan insan penderita stroke untuk merawat dirinya. Pemberian asuhan keperawatan mengali pada aspek kemampuan yang dimiliki oleh insan penderita stroke dan keluarga melalui self efficacy, self management dan self regulation. Self efficacy bertumpu pada kemampuan meyakini akan mampu melakukan aktivitas. Self management bertumpu pada kemampuan mengelola kognitif, perilaku dan emosi, self regulation bertumpu pada kemampuan membuat aturan dalam diri sehingga tercapai apa yang diinginkan oleh insan penderita stroke. Berdasarkan aspek self efficacy, self management dan self regulation makan muncul indikator yang membangun asuhan keperawatan yang meliput kemampuan insan penderita stroke untuk mengambil keputusan, kemandirian insan penderita stroke, melatih kedisiplinan, kemampuan keluarga, kemampuan lingkungan sekitar insan penderita stroke dan kemampuan membuat suasana. 3.1.4.1 Self Efficacy Menurut Bandura (1997), self efficacy akan mempengaruhi proses dalam diri manusia melalui proses kognitif, motivasi, afektif dan seleksi, yaitu: 32
1. Proses kognitif Self efficacy mempengaruhi bagaimana pola pikir yang dapat mendorong atau menghambat perilaku seseorang. Self efficacy yang tinggi mendorong pembentukan pola pikir untuk mencapai kesuksesan, dan pemikiran akan kesuksesan akan memunculkan kesuksesan yang nyata, sehingga akan semakin memperkuat self efficacy seseorang. 2. Proses motivasional Kemampuan untuk mempengaruhi diri sendiri dengan mengevaluasi penampilan pribadinya merupakan sumber utama motivasi dan pengaturan dirinya. Self efficacy merupakan salah satu hal terpenting dalam mempengaruhi diri sendiri untuk membentuk sebuah motivasi. Kepercayaan self efficacy mempengaruhi tingkatan pencapaian tujuan, kekuatan untuk berkomitmen, seberapa besar usaha yang diperlukan, dan bagaimana usaha tersebut ditingkatkan ketika motivasi menurun. 3. Proses afektif Self efficacy berperan penting dalam mengatur kondisi afektif. Self efficacy mengatur emosi seseorang melalui beberapa cara, yaitu seseorang yang percaya bahwa mereka mampu mengelola ancaman tidak akan mudah tertekan oleh diri mereka sendiri, dan sebaliknya seseorang self efficacy yang rendah cenderung memperbesar risiko, seseorang dengan self efficacy yang tinggi dapat menurunkan tingkat stress dan kecemasan mereka dengan melakukan tindakan untuk mengurangi ancaman lingkungan, seseorang dengan self efficacy yang tinggi memiliki kontrol pemikiran yang lebih baik, dan self efficacy yang rendah dapat mendorong munculnya depresi. 4. Proses seleksi Proses kognitif, motivasional, dan afektif akan memungkinkan seseorang untuk membentuk tindakan dan sebuah lingkungan yang 33
membantu dirinya dan bagaimana mempertahankannya. Dengan memilih lingkungan yang sesuai akan membantu pembentukan diri dan pencapaian tujuan. Menurut Bandura (1986) self efficacy adalah kepercayaan pada individu terhadap kemampuan mereka untuk tampil secara maksimal dalam mengerjakan berbagai tugas atau berperilaku dan tindakan untuk kedepannya. Menurut Bandura (1986) Ada 4 komponen yang membangun self efficacy antara lain personal accomplishment (mastering of a task), vicarious experiences (comparison with others), social persuasion (persuasion by others), physiological & emotional states (influence of arousal states). Adapun masing-masing komponen menempatkan pada fungsinya sebagai berikut: 1. Personal accomplishment (mastering of a task) Mastery of task menekankan pada aspek pengalaman dari penderita sebelumnya yang telah berhasil dan dapat dijadikan narasumber bagi penderita lain. Penderita yang telah berhasil dapat memberikan tugas atau pengalamannya kepada penderita sehingga penderita yakin akan keberhasilan perawatan yang diberikan (Jones & Riazi, 2010). 2. Vicarious experiences (comparison with others) Aspek vicarious experiences menekankan pada aspek model lain yang dapat meningkatkan pengetahuan penderita melalui diskusi dan simulasi. Pemberian pelayanan menekankan kepada petugas kesehatan yang dapat memberikan pelayanan kepada penderita stroke (Jones & Riazi, 2010). 3. Sosial persuasion (persuasion by others) Verbal persuasion menekankan pada aspek informasi individu satu ke individu lain. Pemberian informasi antara satu penderita ke penderita yang lain sehingga dapat menemukan perawatan yang tepat dalam 34
penanganan penderita stroke (Jones & Riazi, 2010). Bandura (1990) mengatakan bahwa meningkatkan fungsi sebagai manusia yang utuh, harus menempatkan peran sosial yang sangat efeketif. 4. Physiological & emotional states (influence of arousal states) Physiological feedback menekankan pada aspek emosi dan perasaan penderita tehaadap persepsi penyakit. Penanganan pelayanan keparawatan diutamakan kepada kondisi emosi dan strestor yang dialami oleh penderita stroke (Jones & Riazi, 2010). Berdasarkan konsep model self efficacy yang dikembangkan Shaughnessy and Resnick (2009) menekankan pada aspek self efficacy kemandirian dalam latihan fisik. Pada umumnya penderita stroke terjadi gangguan aktivitas fisik sehingga mengalami keterbatasan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Adapun model self efficacy seperti terlihat pada gambar berikut: Gambar 2.5 Model intervensi pada fase rehabilitasi penderita stroke Sumber: Shaughnessy and Resnick, 2009 35
Menurut teori Wood & bandura (1989) komponen yang membangun self efficacy mengacu pada segi tiga paradigma antara lain agen self efficacy, kognitif dan lingkungan eksternal seperti terlihat pada gambar berikut: Gambar 2.6 Komponen pembentuk self efficacy Sumber: Wood & Bandura, 1989 Tiga hal penting yang mendasari self efficacy menurut teori bandura antara lain 1). Agen penyebab perilaku 2). kognitif dan faktor personal dan 3). lingkungan eksternal. Tiga konsep ini yang mendasari terjadinya self efficacy (kemandirian) penderita (Wood & Bandura, 1989). Faktor yang membentuk self efficacy pada aspek agen yang terkait perilaku adalah persepsi atau keyakinan dalam diri individu yang terkait sehingga harapan kemandirian akan terujud. Aspek yang mendasari pada faktor kognitif adalah pengetahuan yang dimiliki pada individu sehingga menimbulkan suatu keyakinan akan kebenaran sebuah tindakan. Aspek lingkungan yang mendasari self efficacy adalah faktor eksternal seperti lingkungan keluarga. 36
3.1.4.2 Self Management Nalagawa-Kogan, Garber, Jarrett, Egan dan Hendershot (1988), mendefinisikan self management sebagai suatu perawatan yang mengkombinasikan teknik intervensi biologis, psikologis dan sosial dengan tujuan memaksimalkan fungsi proses regulasi. Long (1993) kemudian mendefinisikan self management sebagai kemampuan belajar dan berperilaku yang diperlukan untuk melanjutkan hidup secara aktif serta sejahtera dalam menghadapi penyakit kronis. Gruman dan Von Korff (1996) mendefinisikan self management sebagai tindakan m3elakukan suatu perilaku tertentu yang memiliki kemampuan untuk mengurangi dampak fisik dan emosional dari penyakit, berdasarkan pada derajat partisipasi individu dalam pendidikan/ perawatan atau tipe pendidikan/perawatan yang diterima. Adam, Greiner, dan Corrgan (2004) mendefinisikan self management sebagai berikut: "self management relates to the tasks that an individual must undertake to live well with one ore more chronic conditions. These tasks include gaining confidence to deal with medical management, role management, and emotional management". Dengan mengacu pada semua definisi diatas, pada penelitian ini self management didefinisikan sebagai serangkaian tindakan yang ditujukan untuk mensejahterakan individu dengan penyakit kronis (contoh: Diabetes Mellitus), melalui pelaksanaan dengan medical management, role management dan emotional management. Loriq & Holman (2003) menyatakan ada tiga aspek tujuan self management yang dijabarkan sebagai berikut: 1. Medical atau behavioral management (manajemen medis) Manajemen medis berkaitan dengan perilaku individu dalam menjalani pengobatan, mengikuti suatu diet, atau menggunakan alat kesehatan terkait lainnya. Pada dasarnya manajemen medis terkait dengan asupan informasi medis individu terkait dengan penyakitnya. 37
2. Role management Role management berkaitan dengan mempertahankan, mengubah dan menciptakan perilaku atau peran sehari-hari. Role management dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan cognitive behavioural therapy seperti perumusan tujuan (goal setting), serta pembuatan rencana tindakan (action plan) 3. Emotional management Emotional management berkaitan dengan menghadapi segmen emosional dari penyakit yang dihadapi. Emosi seperti kemarahan, ketakutan, rasa frustasi dan depresi umum dialami oleh seseorang dengan penyakit kronis, dengan demikian belajar untuk mengelola emosi ini menjadi bagian dari usaha untuk mengelola kondisinya. 4. Self-management sebagai proses dan hasil pelatihan Self management dapat menjadi proses atau hasil. Pelatihan self management dapat dilakukan dengan basis pendekatan one to one, antara individu dengan penyedia layanan kesehatannya, ataupun dalam suatu group setting yang dipimpin oleh penyedia layanan kesehatan. Pelatihan diharapkan dapat mendorong individu untuk mengidentifikasi masalah, menemukan faktor penghambat dan faktor pendorong, menciptakan solusi, dan membangun tujuan jangka panjang dan jangka pendek. 3.1.4.3 Self Regulation Self regulation adalah kapasitas atau kemampuan seseorang untuk merubah perilakunya (Baumeister & Vohs, 2007). Istilah self regulation secara luas digunakan untuk menjelaskan usaha perubahan pemikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan yang dilakukan oleh individu untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi (De Ridder & De Wit, 2006). Self regulation memandang individu sebagai agen yang aktif dan pengambil 38
keputusan karena kedua hal tersebut merupakan aspek penting dari adaptasi manusia terhadap kehidupan (Baumeiter, 2005). Self regulation muncul ketika seseorang memotivasi dan memandu tindakan mereka secara proaktif sesuai dengan harapan yang mereka miliki. Setelah seseorang mencapai tujuan atau harapan yang mereka inginkan maka orang dengan self efficacy tinggi akan meningkatkan tujuan yang lebih besar. Self efficacy dalam konteks self care agency merupakan komponen dasar atau foundational cafability and dispositions (Taylor & Renpenning, 2011). Model self regulation sebenarnya mengacu pada proses pemecahan masalah. Pemecahan masalah kesehatan masyarakat pada dasarnya tidak berbeda dengan pemecahan masalah lain. Dalam model self regulation terdapat proses interpretasi masalah, koping, dan appraisal atau penilaian keberhasilan koping (Ogden, 2004). Model regulasi diri yang dikenalkan oleh Leventhal tentang suatu penyakit adalah sebagai berikut: 1. Pengenalan sakit (illnees cognition) Pada setiap fase kehidupan manusia selalu mengalami dua hal, yaitu keadaan sehat dan sakit. Individu memiliki penilaian tersendiri terhadap kondisi sehat dan sakit yang dideritanya. Oleh sebab itu, diperlukan suatu upaya bagaimana mengukur penilaian sehat dan penilaian sakit yang dialami oleh individu, salah satunya dengan metode pengenalan sakit (Ogden, 2007). Leventhal at al (1997), mendefinisikan pengenalan sakit (illness cognition) sebagai “keyakinan implisit pasien tentang sakit mereka.” Leventhal mengidentifikasi dimensi kognitif dari keyakinan, yaitu: 1. Identitas, hal ini mengacu pada label yang diberikan ke sakit (diagnosis medis) dan gejala yang dialami. 2. Sebab sakit yang dirasakan, sebab ini dapat bersifat biologis, seperti virus atau lesi, atau psikososial, seperti perilaku saat stress atau sehat. 39
Selain itu pasien dapat mempertahankan presentasi sakit yang merefleksikan berbagai model kausal yang berbeda. Model regulasi diri (self regulation model) ini melibatkan tiga proses yang saling berhubungan, berkelanjutan dan dinamis. Leventhal (1997), menggabungkan deskripsinya tentang pengetahuan sakit dalam model regulasi diri dari perilaku sakit. Model yang menggambarkan pemecahan masalah dalam tiga tahap yaitu: 1) Interpretasi (penafsiran permasalahan), 2) Koping (mengelola masalah untuk mencapai status keseimbangan), 3) Penilaian (mengkaji seberapa sukses tahap koping yang diterapkan). Tahapan model yang dikembangkan Leventhal (2003), adalah sebagai berikut: 1. Tahapan 1: lnterpretasi Individu dapat dikonfrontasikan dengan masalah sakit potensial melalui dua cara atau penyaluran yaitu persepsi gejala ("saya merasakan sakit pada dada saya") atau pesan sosial ("dokter saya telah mendiagnosis sakit ini sebagai angina"). Representasi kognitif dari masalah memberi arti masalah dan membuat individu dapat mengembangkan dan mempertimbangkan strategi penanganan yang tepat. Identifikasi masalah sakit juga akan menghasilkan perubahan pada keadaan emosional. 2. Tahapan 2: Koping Tahapan berikutnya dalam model regulasi diri (self regulation) adalah pengembangan dan identifikasi strategi koping yang tepat. Koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secarakonstan dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu. Ini bisa mengkoreksi atau mengangkat masalah, atau bisa termasuk rnengubah cara seseorang berpikir tentang masalah atau belajar 40
untuk menoleransi dan menerimanya. 3. Tahapan 3: Penilaian Tahapan ketiga dari model regulasi diri adalah penilaian. Hal ini melibatkan individu yang mengevaluasi efektivitas strategi koping dan menentukan apakah akan menggunakan strategi ini atau apakah akan memilih strategi yang lain. 3.1.5 Self Care Model perawatan self care diterapkan pada penderita yang mengalami ketergantungan pelayanan terhadap tenaga para medis sehingga penderita dapat terhindar dari ketergantungan pelayanan di rumah sakit. Adanya ketergantungan pelayanan medis dan paramedis berdampak terhadap semua aspek kehidupan penderita seperti ekonomi, keluarga dan masyarakat. Orem (2001) mengidentifikasi tiga klasifikasi nursing system yaitu: 1. Wholly compensatory system Suatu situasi dimana individu tidak dapat melakukan tindakan self-care, dan menerima self-care secara langsung serta ambulasi harus dikontrol dan pergerakan dimanipulatif atau adanya alasan medis tertentu. Ada tiga kondisi yang termasuk dalam kategori ini yaitu: (1) tidak dapat melakukan tindakan self-care misalnya koma; (2) dapat membuat keputusan dan membuat pilihan self-care tetapi tidak dapat melakukan ambulasi dan pergerakan manipulatif; dan (3) tidak mampu membuat keputusan yang tepat tentang self care-nya. 2. Partly compensatory nursing system Suatu situasi dimana antara perawat dan klien melakukan perawatan atau tindakan lain dan perawat atau pasien mempunyai peran yang besar untuk mengukur kemampuan melakukan self care. 41
3. Supportive educative system Pada sistem ini orang dapat membentuk atau dapat belajar membentuk self-care internal maupun eksternal tetapi tidak dapat melakukannya tanpa bantuan. Hal ini juga dikenal dengan supportive developmental system. Berdasarkan konsep nursing system yang dapat diberikan kepada pasien meliputi wholly compensatory system, partly compensatory nursing system, supportive educative system. Maka indikator yang digunakan dalam self care mengacu pada konsep nursing system yang didasarkan pada permasalahan insan penderita stroke. Self care pada insan penderita stroke ditujukan pada kemampuan insan penderita stroke dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari antara lain makan, mandi, berhias, berpakaian, BAB, BAK, toilet, dan transfer. 42
BAB III KEPERAWATAN RESTORASI 4.1 Keperawatan Restorasi 4.1.1 Pengertian Keperawatan Restorasi Keperawatan restorasi merupakan bentuk program perawatan yang diberikan kepada pasien yang menekankan pada aspek kemampuan yang dimiliki oleh penderita (Acello, 2011). Upaya kemandirian pasien melalui perawatan restorasi dapat dilakukan di rumah. Upaya perawatan dirumah dapat menghemat dari berbagai aspek seperti aspek ekonomi, provider dan keluarga. Perawatan restorasi menekankan penderita dapat terhindar dari kondis komplikasi akibat penyakit stroke (Song et al, 2008). Upaya perawatan dirumah diperlukan sebuah perencanaan dalam intervensi terhadap penderita stroke. Adanya perencanaan lebih memungkinkan adanya sustainable pelayanan yang diberikan bagi penderita stroke. Program intervensi perawatan dirumah tanpa perencanaan dan bersifat kebutuhan menyebabkan kondisi pemulihan mengalami hambatan (Cowman et al. 2010). Acello (2011) hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan restorasi antara lain: a. Keberlangsungan dalam perencanaan buang air besar b. Menurunkan aktivitas kebutuhan sehari-hari (belajar berjalan, makan bergerak, buang air besar) c. Jatuh d. Gangguan emosi Upaya pelayanan restorasi mengutamakan pola kemandirian penderita, keluarga dan masyarakat. Upaya kemandirian dapat dilakukan melalui pendidikan kepada penderita, keluarga atau komunitas. Bentuk 43