The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-01-26 19:37:43

Sisi Lain Diponegoro

by Peter Carey

Keywords: by Peter Carey,Sisi Lain Diponegoro,Biografi

bacaan-indo.blogspot.com Babad Kedung Kebo
dan Historiografi Perang Jawa

PETER CAREY

bacaan-indo.blogspot.com

bacaan-indo.blogspot.com

bacaan-indo.blogspot.com Undang-Undang Republik Indonesia
N o m o r 2 8 Tah u n 2 0 14 te n tan g H ak Cip ta
Lin gku p H ak Cip ta
Pasal 1
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang tim bul secara otom atis berdasarkan prinsip deklaratif
setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa m engurangi pem batasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak m elakukan pelanggaran hak ekonom i sebagaim ana dim aksud

dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana penjara
paling lam a 1 (satu) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10 0 .0 0 0 .0 0 0 (seratus juta
rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/ atau tanpa izin Pencipta atau pem egang Hak Cipta
m elakukan pelanggaran hak ekonom i Pencipta sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
c, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk Penggunaan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana
penjara paling lam a 3 (tiga) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp50 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (lim a
ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/ atau tanpa izin Pencipta atau pem egang Hak Cipta
m elakukan pelanggaran hak ekonom i Pencipta sebagaim ana dim aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggunaan Secara Kom ersial dipidana dengan pidana
penjara paling lam a 4 (em pat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0
(satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang m em enuhi unsur sebagaim ana dim aksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pem bajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lam a 10 (sepuluh) tahun dan/ atau
pidana denda paling banyak Rp4.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (em pat m iliar rupiah).

bacaan-indo.blogspot.com Babad Kedung Kebo
dan Historiografi Perang Jawa

PETER CAREY

J akarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

bacaan-indo.blogspot.com Sisi Lain Diponegoro:
Babad Kedung Kebo dan Historiograi Perang Jawa
© Peter Carey

KPG 59 17 01405

Cetakan Pertama, September 2017

Penulis
Peter Carey

Penyunting
Candra Gautama
Robertus Rony Setiawan

Perancang Sampul
Wendie Artswenda

Penata Letak
Leopold Adi Surya

CAREY, Peter
Sisi Lain Diponegoro:
Babad Kedung Kebo dan Historiograi Perang Jawa
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2017
xv+ 277; 13,5 cm x 20 cm
ISBN: 978-602-424-680-8

Keterangan gambar sampul: Gambar pertemuan antara Residen Yogyakarta A.H. Smissaert, Patih Yogyakarta
Raden Adipati Danurejo IV, dan komandan pasukan kawal Sultan, Mayor Tumenggung Wironegoro, di Wisma
Residen Yogyakarta. Gambar ini mungkin menunjukkan mereka sedang merencanakan serangan ke permukiman
Diponegoro di Tegalrejo pada 20 Juli 1825. Diambil dari KITLV Or 13 (Babad Kedung Kebo), f. 51r. Foto seizin
Universiteitsbibliotheek Leiden.

Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta.
Isi di luar tanggung jawab percetakan.

DAFTAR ISI

Daftar Singkatan vii
Pr a k a t a ix

Bagian I: Ekologi Kebudayaan Jaw a 1
Pentingnya Peranan Wayang dalam Kebudayaan J awa 10
Babad Diponegoro (Manado) 15
15
• Arjuna sebagai Inspirasi dalam Babad Diponegoro
• Sang Teladan: Sultan Agung, Sunan Kalijogo, 21

dan W ali Songo 30
• Konsep Ratu Adil dan Gelar Erucokro dalam 39
44
Pandangan Diponegoro 58
• Peran Islam dan Suatu Kesim pulan 66
71
Babad Kedung Kebo
Babad Diponegoro versi Keraton Surakarta
Kesim p u la n
Catatan Akhir

bacaan-indo.blogspot.com Bagian II: Babad Kedung Kebo 113

Membandingkan Sumber-sumber Rujukan Babad Kedung Kebo 122
• Kata Pengantar untuk LOr 2163 123
• Kata Pengantar untuk Koninklijk Instituut KITLV Or 13 127
• Kata Pengantar untuk Naskah Panti Budoy o PB A 282 132

vi Sisi Lain Diponegoro

Riwayat Hidup Cokronegoro (1779-1862) 142
Penutup 159
Riwayat Hidup Basah Haji Ngabdullatip Kerto Pengalasan 163
Kesim p u la n 174
Catatan Akhir 178

Ep ilo g 19 5
Asal Usul Nama 'Purworejo' 198
Laporan Lawick van Pabst dan Sejarah Awal Administrasi
202
di Purworejo
Infrastruktur, Pendidikan, dan Budaya Sastrawi; Warisan 206
223
Cokronegoro I dan Keluarga Cokronegaran kepada Purworejo 227
Kesimpulan dan Sebuah Ramalan
Catatan Akhir

Daftar Pustaka 231
Lam piran 1 Surat dari Basah Pengalasan kepada Kol. Cleerens 246
Lam piran 2 Laporan Van Pabst tentang Urusan Daerah Kerajaan 262
Indeks 267
Tentang Penulis 276

bacaan-indo.blogspot.com

DAFTAR SINGKATAN

bacaan-indo.blogspot.com AJ Anno J avanico, tahun J awa
ANRI Arsip Nasional Republik Indonesia, J akarta
ANU Australian National University (Canberra, ACT)
AN Archief Nationaal, Den Haag—Arsip Nasional (Belanda),
BG Den Haag
Bataviaasch Genootschap [van Kunsten en Wetenschap-
BKI pen]—Perhimpunan Batavia [untuk Kebudayaan dan Ilmu
P en get a h u a n ]
dK Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde—
J SEAH Sumbangan bagi ilmu-ilmu pengetahuan bahasa, geograi
KBG dan etnograi [Jurnal ilmiah, Leiden]
KITLV Koleksi Hendrik Merkus de Kock, Nationaal Archief, Den
Haag
KITLV Or Journal of Southeast Asian History —J urnal Sejarah Asia
Tenggara (Singapura)
Koninklijk Bataviaasch Genootschap (Batavia)
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde—
Lembaga Kerajaan untuk ilmu-ilmu Bahasa, Geograi dan
Etnograi, Leiden
Idem . MS Orientalis (Bahasa Asia/ Timur J auh)

viii Sisi Lain Diponegoro

KITLV H Idem . MS Bahasa Belanda (H = Hollands)
LOr Leiden University Oriental MS. Naskah Orientalis
NA Universitas Leiden
NBG Nationaal Archief (Arsip Nasional Belanda, Den Haag
SB Nederlands Bijbel Genootschap MS (Naskah Perhimpunan
TBG Perinjilan Belanda di Perpustakaan Universitas Leiden)
Son ob u d oyo Mu seu m , Yogya ka r t a (P er p u st a ka a n
TNI Museum Sonobudoyo, Yogyakarta)
Not. KBG Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en W etenschappen—J urnal dari Perhim punan
UBL Kebudayaan dan Ilmu-ilmu Pengetahuan Batavia
VBG Tijdschrift voor Nederlandsch-Indiё—J urn al H in dia-
Bela n d a
Notulen van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap—
Catatan-catatan singkat dari perkumpulan panitia direksi
Perhimpunan Batavia
Universiteitsbibliotheek Leiden, Perpustakaan Universitas
Leiden
Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap—
Monograf Perhimpunan Batavia untuk Kebudayaan dan
Ilmu-Ilmu Pengetahuan (Batavia)

bacaan-indo.blogspot.com

bacaan-indo.blogspot.com PRAKATA

WAKTU saya tiba di Yogyakarta pada Desem ber 1971 sebagai
peneliti m uda dari Universitas Oxford untuk m em ulai studi
lapangan tentang Pangeran Diponegoro (1785-1855) dan Perang
J awa (18 25-30 ), saya sem pat bertem u beberapa kali dengan
guru besar sejarah Indonesia di UGM (Universitas Gadjah
Mada), Profesor Sartono Kartodirdjo. Saya sangat menghormati
jasa Pak Sartono sebagai seorang sejarawan dan pribadi manusia
yang bermoral tinggi. Integritas beliau sebagai akademisi selama
periode Orde Baru (1966-1998 ) teruji den gan keputusan n ya
menjauhkan diri dari tugas sebagai pemimpin redaksi untuk
jilid VI Sejarah Nasional Indonesia (zaman J epang, 1942-1945,
dan era pascam erdeka, 1945-1975) yan g pen uh kon troversi
itu. Sikap ini berbeda dengan jurusan sejarah di Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia di bawah pimpinan
pendukung Orde Baru, Profesor Nugroho Notosusanto, di mana
ruang gerak intelektual para sejarawan UI dipersempit oleh
politik m em ihak sang Rektor. Profesor Sartono dengan tegas
dan bijaksana mempertahankan objektivitas sivitas akademika

bacaan-indo.blogspot.com x Sisi Lain Diponegoro

UGM dan m enjauhkan jurusan sejarahnya dari kepentingan
politik rezim militer Soeharto.

Kendati dem ikan, ada sesuatu yang m em buat saya pena-
saran selama dua tahun mengadakan penelitian di Yogyakarta
(1971-1973). Ini dipicu oleh releksi Profesor Sartono tentang
guna sejarawan (the historian’s craft). Suatu hari saya sempat
bertanya kepada Profesor Sartono tentang jenis sejarah yang ia
dukung di kalangan mahasiswa pascasarjana calon master (S2)
dan doktor (S3) di UGM. Dengan gamblang beliau menjawab:
“Ya, begini, waktu saya kem bali dari Universitas Am sterdam
sebagai guru besar setelah selesai disertasi doktoral saya pada
tahun 1968, saya melihat bahwa kebanyakan mahasiswa jurusan
sejarah di sini sedang membuat skripsi tentang babad, hikayat,
dan syair. Saya bilang kepada m ereka, ‘Itu bukan sejarah, itu
dongeng!’ Dengan cepat, saya memberhentikan semua peneli-
tian yang kolot itu.” Untuk mengganti haluan intelektual maha-
siswanya, Profesor Sartono menganjurkan bahwa ilmu sejarah
bukan sekadar ‘narasi’ atau ‘tuturan’: “J angan melulu dari ilmu
sejarah saja,” Pak Sartono sering menasihati muridnya, “tetapi
kamu harus memanfaatkan bantuan ilmu antropologi, sosiologi,
dan disiplin terkait seperti ilmu ekonomi dan demograi!” Pada
akhirnya, guru besar lulusan Amsterdam itu memperingatkan
mahasiswa untuk jangan sampai terpesona dengan aneka ragam
kisah raja-raja atau orang besar. Sebab rakyat—petani dan wong
cilik—juga punya peran sangat penting yang juga ikut memben-
tuk sejarah.1

Saya setuju seratus persen dengan pandangan Profesor
Sartono, tapi toh saya harus m engakui bahwa saya m erasa
sedikit sedih juga. Dengan m enyingkirkan babad dan hikayat
dari proses penulisan sejarah pasti ada sesuatu yang unik

1 Atiqoh Hasan, ‘Proil: Sartono Kartodirdjo’, https://m.merdeka.com/proil/
indonesia/s/sartono-kartodirdjo/, diunduh 20 Februari 2017.

bacaan-indo.blogspot.com Prakata xi

yan g hilan g. Bagaim an a m en gerti J awa dan pan dan gan n ya
terhadap sejarah kalau kita tidak mempelajari sumber asli
sastra sejarah J awa sendiri? Sebagai calon sejarawan riwayat
Pangeran Diponegoro dan Perang J awa, saya m erasa tidak
mungkin saya melupakan babad. Saya ingat di sini kesimpulan
sejarawan m iliter Belan da, P.J .F. Louw (18 56-1924), yan g
m enjadi penulis m itra m ahakarya tentang Perang J awa: De
Java-Oorlog van 1825-30 (enam jilid, 1894-190 9). Dia dengan
tegas membantah apa yang dianjurkan Profesor Sartono di bab
pertama mahakarya itu: “Tanpa keraguan kita harus menghargai
Babad Diponegoro begitu tinggi sehingga dengan gamblang kita
bisa mengatakan bahwa suatu tulisan sejarah tentang Perang
J awa yang tidak m enggunakan babad sebagai sum ber utam a
harus dicap sangat kurang lengkap” (Louw dan De Klerck 1894-
190 9, I:84).

J adi, otobiografi yang ditulis sang Pangeran sendiri di
Manado (1831-32), yang sekarang diakui sebagai naskah Ingatan
Dunia (Mem ory of the W orld) dan terdaftar di MoW Interna-
tional Register dari UNESCO (20 13), adalah suatu sumber yang
tidak bisa dihindari kalau kita berniat menulis tentang Perang
J awa.

Demikian pula dengan babad bupati perdana Pur-
wor ejo pascaper an g, Raden Adipati Cokr on egor o I (1779-
18 6 2, m en jabat 18 31-18 56 ), yan g d iken al sebagai Bu k u
Ked u n g Kebo (set er u sn ya Ba ba d Ked u n g Kebo) (18 43).
Babad in i adalah sesuatu yan g am at lan gka: sebuah sum -
ber lokal yang ditulis dua pelaku Perang J awa: Cokronegoro
sen diri dan pan glim a Dipon egoro, Basah Abdullatip Kerto
Pen galasan (sekitar 1795-pasca 18 66), yan g pern ah m en jadi
kom andan lapangan di Bagelen tim ur (hlm . 163-172). Inilah
naskah yang disusun di Purworejo yang menceritakan Perang
J awa dari pihak putra daerah Bagelen.

bacaan-indo.blogspot.com xii Sisi Lain Diponegoro

Lebih menarik lagi adalah kisah pribadi putra daerah itu,
yang sebelum perang bertugas sebagai mantri gladhag (mantri
gilda kuli panggul) di Keraton Surakarta dengan gelar Raden
Ngabehi Resodiwirio, pernah menjadi murid dari guru tarekat
Satariyah yang sam a dengan sang Pangeran. Guru tarekat ini
adalah Kiai Taptojani, pradikan ageng (ulama besar yang meng-
urus tanah wakaf atau pondok pesantren) di Mlangi, barat-laut
Yogya yang masih hidup ketika berlangsung Perang J awa, dan
pernah terlibat dalam negosiasi damai di pesantrennya.

Nasib dua tokoh Perang J awa yang pernah sama-sama be-
lajar tasawuf Islam Sui dengan guru terkondang itu pada akh-
irnya m enjadi berbeda secara diam etral: Diponegoro m enjadi
Sultan Erucokro dan pemimpin Perang J awa melawan Belan-
da, sementara Cokronegoro diangkat menjadi wakil komandan
hulptroepen (pasukan cadan gan pribum i) Keraton Surakar-
ta di Bagelen dan m em bela daerah Surakarta di tanah Bagel-
en dari pasukan sang Pangeran. Babad yang dia tulis bersama
Pengalasan pada awal 1840 -an m engisahkan riwayatnya sela-
ma perang dan memberi pandangan yang amat kritis terhadap
Diponegoro, yang dianggap telah m elaksanakan perang pada
waktu yang tidak tepat dan didorong oleh nafsu (pam rih) dan
keangkuhan (kagepok takabur). Pandangan kritis ini bisa dili-
hat dari contoh wayang yang dipakai dan sasmita berupa wang-
sit dan penampakan yang diterima oleh sang Pangeran sebelum
peran g. Ketim ban g figur Arjun a yan g digem ari Dipon egoro
dalam babadn ya sebagai perlam ban g pribadi, Cokron egoro
m enam pilkan Prabu Suyudana sebagai contoh wayang yang
m engisahkan pem im pin yang hebat tapi m em iliki cacat fatal,
kesombongan (lihat hlm. 116).

Karena itulah Babad sang bupati perdana Purworejo itu
m em beri perspektif sejarah yang penting. Suatu antitesis ter-
hadap kisah kepahlawanan yang diceritakan dalam babad
otobiografi san g Pan geran . Men urut Cokron egoro, m em an g

bacaan-indo.blogspot.com Prakata xiii

belum waktunya untuk mengusir Belanda. Daripada menentang
m ereka, lebih baik m enerim anya dan bekerja sam a sebagai
sekutu politik un tuk m em ban gun n egara H in dia Belan da.
Bila kita kembali kepada pandangan Profesor Sartono, babad,
hikayat, dan kitab pada dasarnya bukan sesuatu yang kolot
atau ketinggalan zaman, melainkan suatu tradisi sastra sejarah
yang amat hidup. J angan sampai kita menghindar dari tradisi
historiograi lokal Jawa ini hanya sebab kita merasa kurang
sesuai den gan n orm a sejarah yan g ‘ben ar’ atau ‘scien tific’
menurut pandangan ilmuwan Barat.

Buku kecil ini lahir dari perspektif ini, khususnya dari dua
artikel yang saya pernah tulis sebagai peneliti m uda sewaktu
saya melamar sebagai dosen peneliti di Magdalen College tahun
1974. Yan g pertam a, artikel berjudul “The Cultural Ecology
of Early Nineteenth Century J ava” yang diterbitkan Institute
of Sou th east Asian Stu dies (ISEAS) di Sin gapu r a sebagai
‘Occasional Paper’(no. 24). Kedua, artikel “Buku Kedhung Kebo;
Its Authorship and Historical Importance” yang saya terbitkan
pada jurnal terbitan Leiden yang memfokuskan kajian mengenai
Indonesia, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.

Dua artikel tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dengan judul Ekologi Kebuday aan Jaw a dan
Kitab Kedung Kebo oleh sebuah penerbit yang sudah lam a
tidak ada, PT Pustaka Azet, sebagai jilid II dalam suatu seri
mengenai Perang J awa yang terbit tahun 1986. Sayang sekali,
m utu publikasi dan kualitas terjem ahannya sam a sekali tidak
memuaskan. Begitu berantakan sehingga saya merasa terdorong
untuk membuat terjemahan dan edisi baru.

Di sini saya harus m engakui banyak berutang budi.
Pertam a-tam a kepada editor Kepustakaan Populer Gram edia
(KPG), Can dra Gautam a, yan g telah m en doron g saya un tuk
mengkaji kembali tulisan awal saya supaya bisa disajikan dalam
bahasa yang lebih populer bagi generasi muda Indonesia kini.

xiv Sisi Lain Diponegoro

Saya juga berterim a kasih kepada m antan bupati Purworejo,
Drs Suharto AH (menjabat 1967-1975) dan Pak Wiryo Ratmoko
(m en jabat 19 6 6 -19 6 7) (alm .) (lih at h lm . 113 cat at an 1),
serta kepada Mas Ilhan Erda, wartawan-penulis penggemar
sejarah lokal Purworejo, yang banyak m enolong saya dengan
m enyediakan foto-foto orisinal dan rujukan artikel lam an.
Saya juga menyampaikan terima kasih kepada asisten peneliti
saya, Reza Alam , yang telah m em buka jalan bagi penerbitan
dengan membuat suatu kajian ulang dari teks bahasa Indonesia
yang asli, dan kepada m ahasiswa S3 saya di FIB UI, Achm ad
Sunjayadi, yang telah melacak semua bahan mengenai asal-usul
Purworejo di ANRI. A big thank y ou untuk Mas Wendie atas
desain sam pul buku yang bagus. J uga kepada Robertus Rony
Setiawan sebagai penyunting pendamping buku ini dan Leopold
Adi Surya yang telah menata letak buku ini dengan cantik.

Tentu semua teman ini tidak bertanggung jawab atas
klenta-klentuning yang telah saya buat, baik sengaja maupun
tidak sengaja yang masih melekat pada edisi baru ini.

Peter Carey

Serpong, malam 22 Februari 20 17.
HUT ke-186 pengukuhan Kabupaten Purw orejo dan
Cokronegoro I sebagai bupati perdanany a oleh beslit
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, tahun 1831.

bacaan-indo.blogspot.com

bacaan-indo.blogspot.com Raden Adipati Danurejo IV (menjabat 1813-1847) ditampar dengan selop
oleh Diponegoro akibat suatu pertengkaran mengenai penyewaan tanah
kerajaan di Rojowinangun pada 20 Juni 1820. Seorang sentana (anggota
keluarga Sultan) menyaksikan. Gambar diambil dari Koninklijk Instituut voor
Taal-, Land- en Volkenkunde (Leiden), Oriental MS 13 (Babad Kedung Kebo),
f.55v. Foto seizin Universiteitsbibliotheek Leiden (UBL).

bacaan-indo.blogspot.com

bacaan-indo.blogspot.com BAGIAN I

Ekologi Kebudayaan Jawa

DALAM buku kecil ini saya ingin m em bahas beberapa babad
atau hikayat (naskah sejarah) J awa untuk mempelajari riwayat
Pan geran Dipon egoro (178 5-18 55) dan Peran g J awa (18 25-
1830 ). Saya juga ingin membuat sejumlah saran tentatif untuk
menganalisis babad tersebut berdasarkan konteks budayanya.
Dalam suatu karan gan Profesor An thon y J ohn s, ahli Islam
Indonesia dari ANU, mengenai suisme sebagai suatu kategori
sastra dan sejarah Indonesia, ia menyarankan sejarawan asing
untuk memikirkan kembali konsep-konsep sejarah mereka
dalam m em pelajari sejarah Nusan tara (J oh n s 1961:10 -23).
Secara khusus, ia mengajak sejarawan asing untuk menggunakan
pengertian yang bermakna bagi masyarakat yang dipelajari. J adi,
menurut J ohns, konsep sejarah tidak boleh dipaksakan dari luar,
m elainkan harus dilandasi oleh ciri kebudayaan m asyarakat
yang sedang dipelajari. Dengan demikian para sejarawan asing

bacaan-indo.blogspot.com 2 Sisi Lain Diponegoro

bisa melihat ke luar dari masyarakat atau budaya yang mereka
pelajari daripada melihat ke dalam dari perspektif serba asing.

Yang menjadi perhatian saya dalam buku kecil ini adalah
sejum lah ciri budaya yang m em punyai hubungan dengan
kesusastraan babad atau naskah sejarah J awa bagian tengah-
selatan. Saya akan m engam bil sebagian kecil dari literatur
sejarah tersebut, yaitu naskah yang menceritakan kejadian pada
awal abad XIX. Fokus saya adalah serangkaian babad mengenai
Pangeran Diponegoro (1785-1855) dan perjuangannya selam a
Perang J awa (1825-1830 ) yang secara um um dikenal sebagai
Babad Diponegoro. Selain Babad Kedung Kebo, yang ditulis
di Purworejo1a sekitar 18 43, dan dibah as den gan terperin ci
pada bagian kedua buku pendek ini, saya tidak akan membahas
latar belakang dan sosok pengarang babad tersebut. Walaupun
masih amat banyak penelitian mendasar yang harus dilakukan
di bidang palaeograi—pengkajian cara penulisan naskah untuk
menentukan penanggalan dan data mengenai pengarangnya—
tidak ada cukup ruang untuk dimuat dalam buku ini.

Secara singkat ada tiga kelompok Babad Diponegoro:
(1) naskah yang ditulis oleh Diponegoro sendiri dan kerabat
dekatnya, seperti putra sulungnya, Pangeran Diponegoro
Muda (sekitar 180 3-pasca Maret 1856);1b (2) babad yang ditulis
pascaperang atas perintah bupati pertama Purworejo, Raden
Adipati Cokron egoro I (m en jabat 18 31-18 56), yan g diken al
dengan judul Babad Kedung Kebo; dan (3) babad yang ditulis
di keraton Yogyakarta dan Surakarta. Untuk keperluan buku ini,
ketiga jenis naskah tersebut akan ditonjolkan dalam tiga seksi:
ketiganya merupakan babad paling asli yang telah ditulis oleh
orang yang masih sezaman dengan Diponegoro.

Yan g pertam a adalah babad otobiografi san g Pan geran
sen diri, yaitu Babad Dipon egoro. Babad in i ditulis atau
didiktekan di Manado dalam kurun waktu sembilan bulan
(13 Novem ber 18 31-3 Februari 18 32).² Dengan panjang 1.151

bacaan-indo.blogspot.com Bagian I Ekologi Kebudayaan Jawa 3

halaman folio, Diponegoro sempat menceritakan sejarah J awa
dan riwayatnya sampai pengasingan (Carey 1981:xxiv-xxvii, lix
catatan 72-73). Sepertiga dari Babad ini m enyangkut sejarah
J awa dari Prabu Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) (wafat 1478)
h in gga sebelu m kelah ir an Dipon egor o pada 11 Novem ber
178 5. Sisan ya m en ggam barkan kehidupan n ya serta keadaan
zamannya sampai awal masa pengasingannya di Manado (1830 -
18 33). Kita bisa m en duga bahwa Dipon egoro m en ceritakan
riwayat hidupnya kepada seorang juru tulis yang menulis babad
asli dalam bentuk tembang macapat (Carey 20 12:862, catatan
212). Salin an n ya yan g palin g asli disim pan di Perpustakaan
Nasional di J akarta dan ditulis dalam huruf pegon, bahasa
J awa yang menggunakan huruf Arab, suatu sistem aksara yang
dipakai secara luas di kalangan kaum agama yang lebih saleh di
J awa pada zaman Pangeran Diponegoro itu.3

Babad Diponegoro merupakan sumber sejarah J awa yang
paling terkenal dan sekarang sudah diakui sebagai Warisan
Dunia (Mem ory of the W orld) oleh UNESCO (18 J uni 20 13).
Salah satu sebab, babad ini telah diterjemahkan serta diterbitkan
menggunakan aksara J awa oleh penerbit di Surakarta sebelum
Perang Dunia I.4 Namun sampai sekarang belum ditemukan
naskah aslinya, dan semua referensi yang digunakan di dalam
buku pendek ini berasal dari salinan yang belakangan dibuat di
Surakarta dan yang sekarang dapat ditemukan di Perpustakaan
Universitas Leiden, LOr 6547a-d (Koleksi G.A.J . Hazeu).5

Naskah yang kedua, Babad Kedung Kebo, yang agaknya
ditulis pada awal 1840 -an dan satu salinannya sekarang dapat
ditem ukan di Perpustakaan Un iversitas Leiden (LOr 2163).
Rupanya seluruh penyalinan naskah kitab tersebut berhasil
diselesaikan pada 1843.6 Babad tersebut ditulis atas perintah
Cokronegoro I, salah seorang lawan utama Diponegoro di daerah
Bagelen. Ada pula kemungkinan besar bahwa seorang mantan
kom an dan pasukan Dipon egoro, Basah Pen galasan (sekitar

bacaan-indo.blogspot.com 4 Sisi Lain Diponegoro

1795– pasca-18 66) juga ikut m en yusun kitab tersebut (Carey
1974b:259-28 8 ; hlm . 134-139). Naskah yang terakhir, Babad
Keraton Surakarta (selanjutnya: Babad Surakarta), yang
menceritakan kejadian menjelang dan pasca Perang J awa pada
20 J uli 1825, sudah diterbitkan sebagai edisi asli dengan huruf
romawi dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan Melayu
Indonesia oleh penulis sewaktu menyiapkan disertasi doktoral
di Oxford pada 1975 (Carey 1981). Walaupun Babad ini hanyalah
sebagian dari satu naskah keraton yang lebih panjang, ia tetap
m erupakan dokum en yang paling sesuai dengan m asanya.
Salinan Babad ini bisa ditemukan di Perpustakaan Universitas
Leiden (LOr 2114) dan agaknya dibuat untuk sekolah bahasa
J awa yang didirikan oleh ahli bahasa J awa dan m isionaris
Kristen berkebangsaan J erman, J .F.C. Gericke (1798-1857), di
Surakarta pada 1832.7

Tiga naskah ini mempunyai nilai sejarah yang penting sebab
ditulis oleh orang yang hidup sezam an dengan Perang J awa.
Dua dari tiga babad tersebut—yaitu babad otobiografi san g
Pangeran yang ditulis di Manado (1831-32) dan Babad Kedung
Kebo (1843)—justru ditulis oleh pemimpin utama Perang J awa.
Meskipun demikian, mereka tidak dapat dipandang dengan
persepsi sejarawan Barat terhadap kenang-kenangan ataupun
otobiografi tokoh-tokoh sejarah penting seperti m em oar
terkondang raja Prusia (J erman), Frederik der Große (Frederik
Yang Besar) (bertakhta 1740 -178 6)—Histoire de M on Tem ps
(Sejarah dari Zam anku) (1746). Pertam a, karena babad J awa
tersebut pada dasarnya m erupakan karya sastra dan bukan
narasi atau kronologi sejarah. Kita ingat di sini bahwa babad
J awa ditulis dalam bentuk sanjak (tembang atau kidung)—
berbeda dengan cara penulisan prosa—dan juga menggunakan
banyak kata-kata puitis yang jarang digunakan dalam bahasa
sehari-hari. Babad tersebut terdiri atas beraneka ragam bagian
dan m asing-m asing m em punyai iram a sanjaknya sendiri.

bacaan-indo.blogspot.com Bagian I Ekologi Kebudayaan Jawa 5

Irama yang berbeda-beda itu berguna untuk meningkatkan efek
pem entasan babad itu kalau dibacakan dalam forum publik
sebagai sastra. Biasanya babad dikidungkan atau dinyanyikan
pada pertem uan besar dan iram a sanjaknya disesuaikan
dengan topik yang dibahas. Karena itu, iram a sanjak Durm a
dan Pangkur dengan iram a staccato-nya lebih sesuai untuk
menggambarkan pertempuran, sedangkan irama sanjak
Asm aradana dan Sinom , yang lemah lembut dan agung, lebih
cocok untuk menggambarkan suasana istana, hubungan cinta,
serta pembicaraan politik. Kunci dalam perubahan irama sanjak
biasanya terjalin di dalam kuplet terakhir pada bagian sanjak
sebelumnya yang terdapat kata kunci tertentu.

Sering kali keteram pilan pujangga yang bersangkutan
dapat dinilai dari kehalusan dalam m enyam arkan perubahan
irama sanjak sehingga tidak mengurangi kehalusan dan
kelancaran pengidungnya. Nam un, sang pelantun babad
tersebut akan mengetahui bahwa perubahan irama di dalam
sanjak yang tengah dikidungkannya akan mengubah suaranya,
sesuai dengan tuntutan yang terdapat. Pem bacaan babad—
m acapatan—biasanya dilakukan, baik di lingkungan istana atau
keraton, maupun di desa-desa, di mana sering kali pembacaan
tersebut dilakukan pada perayaan yang berlangsung sepanjang
malam (lèklèkan) dalam rangka kehamilan, kelahiran, ataupun
perkawinan.8 Babad Keraton Yogy akarta yang dipandang
begitu diisi dengan kekuatan ghaibnya—kram at dalam istilah
J awa—mengandung kisah tragis mengenai peristiwa-peristiwa
yang terjadi di keraton Yogyakarta, sehingga sam pai saat ini
saja hanya boleh dikidungkan oleh kerabat keluarga Sultan yang
terdekat.

Kedua, terlepas daripada fungsi kesusastraannya, Babad ini
penting sebagai pelambang legitimasi atau otorisasi kekuasaan
dalam konteks m asyarakat J awa. Ini berlaku bagi suatu
dinasti yang sedang berkuasa atau bahkan bagi suatu keluarga

bacaan-indo.blogspot.com 6 Sisi Lain Diponegoro

sekalipun. Karena itu, banyak babad m em punyai kedudukan
pusaka bagi keluarga dan keraton. Kata kerja m babad dalam
bahasa J awa, yan g berarti ‘m em bersihkan hutan atau alam
liar’, dari m ana kata benda babad itu berasal, m enggam bar-
kan pula fungsinya. Ini sebabnya sering sekali penulisan babad
disaksikan bersam aan, secara fisik, dengan pem bangunan
sebuah keraton, penghimpunan pusaka, serta pembentukan
sebuah pemerintahan atau pengusahaan. Pendek kata, babad
difungsikan sebagai sesuatu yang penting dalam m endirikan
suatu kerajaan yang baru (Berg 1957:50 6-32; Ricklefs 1974a:176-
226).

Demikianlah kewajiban seseorang pujangga istana untuk
menuliskan kembali atau memperbarui babad istana dari zaman
ke zaman. Dalam babad keraton, pujangga sering menjelaskan
silsilah keluarga sang raja, mengaitkan dinasti yang baru dengan
tokoh mitologi J awa—bahkan terkadang dengan para nabi. Ini
yang disebut sejarah kiw a dan tengen—sejarah sisi kiri (yang
m em bahas raja J awa) dan kanan (yang m enuturkan riwayat
para n abi)—dan keduan ya m em pun yai peran pen tin g dalam
tradisi historiografi J awa. Ini m enunjukkan bahwa babad
m em punyai arti yang sangat penting dalam m elegitim asikan
suatu dinasti. Mungkin inilah yang m enjadi salah satu alasan
mengapa kesusastraan sejarah J awa berkembang di lingkungan
keraton di J awa bagian tengah-selatan setelah penandatanganan
Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.9 Perjanjian Giyanti
membagi J awa bagian tengah dan selatan menjadi daerah
Yogyakarta dan daerah Surakarta, dan belakangan dua istana
junior: Mangkunegaran (1757) dan Pakualaman (1812). Ini ada
akibat bahwa masing-masing istana senior ingin membuktikan
legitim asinya sebagai penguasa tunggal di J awa (Ricklefs
1974a:176-226).

Dalam naskah Babad Diponegoro, paling tidak dalam
kaitannya dengan babad otobiografi Diponegoro dan Babad

bacaan-indo.blogspot.com Bagian I Ekologi Kebudayaan Jawa 7

Kedung Kebo, permasalahan legitimasi dan otorisasi kekuasaan
pribadi selalu m erupakan tem a yang penting. Perm asalahan
pam rih (kepentingan diri sendiri atau m otif-m otif pribadi
yang terselubung) m erupakan pertim bangan sentral di dalam
ilsafat Jawa mengenai kekuasaan (Anderson 1972:39-43). Hal
ini sering dibahas di kedua babad yang bersangkutan. Pada
bagian awal kedua Babad ini, para penulis menekankan bahwa
mereka membuat naskah untuk kepentingan keturunan dan
keluarga dari para pengarangnya. Karena itulah, Babad tersebut
mempunyai kualitas sebagai suatu pusaka keluarga yang unik.
Dalam Babad Diponegoro yang ditulis di Manado, tema ini ada
dalam bentuk spiritual, yang bersifat sangat pribadi. Di dalam
kata pengantarnya, Diponegoro menekankan bahwa ia menulis
tentang riwayat hidupnya sendiri untuk m eredakan duka
mendalam yang dialami saat ditangkap melalui pengkhianatan
di Magelan g (28 Maret 18 30 ) dan diasin gkan ke Sulawesi
(30 April 18 30 ). Ia juga m en gakui m em buat Babad un tuk
m em ohon pengam punan Tuhan atas segala dosa, baik yang
telah dilakukannya sendiri, maupun yang telah dikerjakan oleh
kelu a r ga n ya .10

Dalam banyak segi, Babad Diponegoro ini m erupakan
sebuah dokum en pribadi yang m engharukan. Tulisan sang
Pangeran juga menjadi bukti kesungguhan serta ketulusan
hatinya dalam beragam a baik untuk dirinya sendiri m aupun
untuk keturunannya. Ini disebabkan tem a sentral babadnya
yang m em bahas persoalan m engapa ia sam pai m enuntut
kekuasaan dan atas otoritas siapa? Sedangkan dalam Babad
Kedung Kebo, tujuannya secara esensial juga sam a, tetapi
terselubung dalam konteks yang bersifat lebih duniawi:
Cokronegoro ingin m enyediakan hak dasar bagi dinasti para
bupati yang telah ia dirikan di Purworejo (Bagelen timur); maka
hal-hal yang dilakukannya selam a Perang J awa m erupakan
sesuatu yan g sen tral bagi pen egakan kekuasaan n ya (Carey

bacaan-indo.blogspot.com 8 Sisi Lain Diponegoro

1974b:261). Babadn ya in i juga m em bahas perm asalahan ke-
kuasaan dan pam rih dalam kaitannya dengan m engapa
Cokr on egor o m em utuskan un tuk ikut ber per an g m elawan
Diponegoro walaupun dua-duanya m erupakan m urid dari
kiai terkon dan g yan g sam a, Ki Taptojan i, yan g dalam pra-
18 0 5 p er d ik a n a g en g (kep ala p esan t r en ) Mlan gi d ekat
Yogya. Sang bupati perdana Purworejo, m enceritakan dalam
Babad, m engapa ia, seorang keturunan kiai—seseorang yang
berpengaruh di sebuah desa kecil di Bagelen—dapat bangkit dan
menanjak sebelum meletusnya Perang J awa sehingga akhirnya
mencapai kedudukan bupati. Itulah sebabnya mengapa Babad
merupakan barang pusaka bagi keluarga Cokronegoro. Babad ini
mempunyai nilai yang sama pentingnya dengan pembangunan
kabupaten baru yang terletak di Purworejo itu, dan penerimaan
gelar baru Raden Adipati Cokronegoro dari kom isaris untuk
urusan daerah kerajaan, P.H. Baron van Lawick van Pabst (1780 -
1846; menjabat 1830 -1833), pada malam 26-27 Februari 1831.11
Sem ua langkah ini telah m engonsolidasikan kekuasaannya,
sesuai dengan pengertian budaya J awa.

Pencarian akan legitimasi serta pembahasan pamrih
dalam Babad Diponegoro telah dipostulasikan dalam
kebudayaan tradision al dan kosm ik J awa. Beberapa kon sep
akan dibahas dalam buku pendek ini. Di dalam masing-
m asing babad tersebut dapat ditem ukan bagian tulisan yang
membahas lakon dan igur dari wayang.12 J uga dalam kedua
babad yang utam a ini terdapat bagian lain yang m em bahas
mimpi dan ‘wahyu’ serta penafsirannya. Bisa dikatakan bahwa
ini bukan hanya kesusastraan yang tum buh dengan subur
ataupun penyim pangan ke dunia yang tidak m asuk akal,
m elainkan bagian tulisan yang penting. Secara langsung atau
tidak, tulisan ini membahas peran kekuasaan. Pendek kata,
bagaim ana m asyarakat J awa sezam an akan m elihat diri
mereka sendiri ataupun lawan mereka. J adi, walaupun mereka

Bagian I Ekologi Kebudayaan Jawa 9

tidak akan diklasiikasikan sebagai bagian dari ‘sejarah yang
ilmiah (scientiic history)’ oleh sejarawan Barat, mereka tetap
m em berikan petunjuk yang dapat m em perlihatkan gam baran
penting dalam bahan sejarah. Gambaran ini terdapat di babad
tersebut. Suatu pembahasan mengenai hal berikut dapat
m enghasilkan sejum lah konsepsi kebudayaan yang m ungkin
harus dipertimbangkan oleh sejarawan asing kalau ingin
membahas babad J awa ini.

Nam un, suatu subjek yang tidak dapat dibahas secara
terinci dalam buku pendek ini adalah peran Islam, baik sebagai
kekuatan yang m elegitim asikan kerangka kebudayaan J awa
tradisional, m aupun sebagai suatu kekuatan inovatif pada
perm ulaan abad XIX (lihat Ricklefs 20 0 6). In i m erupakan
suatu pertim bangan sentral bagi setiap orang yang ingin m e-
mahami budaya J awa pada masa transisi dari era prakolonial
Perserikatan Dagan g H in dia Tim ur (VOC) ke zam an H in dia
Bela n d a (18 18 -19 4 2 ) ya n g m em b en t a n g d a r i p u lih n ya
keku asaan Belan d a setelah Per an g Napoleon (18 0 3-18 15)
sam pai penaklukan Belanda oleh J epang pada 8 Maret 1942.
Tetapi dalam buku ini topik Islam tersebut hanya akan dikaji
sejauh mana Islam itu sendiri mempengaruhi tema pokok yang
dibahas.

bacaan-indo.blogspot.com

bacaan-indo.blogspot.com Pentingnya Peranan Wayang dalam
Kebudayaan Jawa

SEBELUM tema historiograi Jawa dibahas secara terinci dalam
naskah babad tentang Perang J awa, mungkin perlu didahului
oleh sebuah catatan singkat tentang pentingnya arti wayang
dalam budaya tradisional J awa. Pengaruh simbol dan mitologi
wayang, terutam a contoh yang diam bil dari siklus Ram a dan
kisah Pandawa lima, yang merupakan landasan bagi kebanyakan
lakon wayang, mempunyai peranan penting dalam kehidupan
masyarakat J awa sampai sekarang.13 Banyak cerita wayang, yang
semula diilhami oleh epik Hindu Ram ay ana dan Mahabharata,
m em berikan kesem patan yang luas bagi seorang individu
Jawa untuk mengidentiikasi beraneka ragam kepribadian dan
keadaan (Anderson 1965:25-27). Mereka juga mencerminkan,
pada tingkat yang jauh lebih dalam , esensi dari perlawanan
antara baik dan buruk yang berlangsung di dalam jiwa manusia.
Pandangan m istik ini bisa m em buka rahasia tersem bunyi di
balik kehidupan seseorang (Mangkoenagoro 1933:79-97).

Peranan penting sentral yang dipegang oleh wayang
ini dalam pandangan hidup m asyarakat J awa tam paknya

bacaan-indo.blogspot.com Bagian I Ekologi Kebudayaan Jawa 11

dipaham i dan diakui sepenuhnya oleh para wali. Orang suci
J awa beragama Islam tradisional ini, menurut legenda J awa,
m enggunakan cerita wayang tersebut sebagai suatu alat
untuk m enyam paikan dan m enyebarkan doktrin Islam di
J awa. Con toh n ya, Sun an Kalijogo, wali yan g palin g efektif
dalam memanfaatkan peranan yang dipegang oleh wayang. Ia
dilaporkan pernah mengatakan kepada Sultan Demak bahwa
“sesu n ggu h n ya p er tu n ju kan wayan g itu ad alah bayan gan
[cermin] dari Yang Tunggal, seseorang dapat saja menamakan
itu sebagai pencerminan undang-undang. Oleh karena itu
wayang berlaku untuk seluruh um at m anusia dan dalang-nya
dapatlah dipersam akan dengan Allah, Pencipta seluruh Alam
Sem esta in i […]” (Rin kes 1912:145). Mun gkin sekali, secara
sebagian, dalam hal inilah Diponegoro memahami makna dari
wayan g, sebab dalam pertem uan n ya den gan Ratu Adil yan g
begitu penting, pada 19 Mei 1824, ia pun telah menggunakan
persam aan wayang yang dem ikian untuk m enggam barkan
Tuhan seakan-akan ia menggenggam dan menjalankan ‘lakon’
hidupnya.14 Nam un, walaupun ada upaya untuk m em asukkan
konsep Islam ke dalam wayang, bisa dikatakan bahwa wayang
itu tetap m erupakan cara pengungkapan m istik J awa yang
paling m urni. Wayang m em buka penekanannya kepada pen-
carian kebenaran dalam jiwa serta pengenalan diri sendiri yang
akhirnya akan mengantarkan manusia kepada penyatuan mistik
dengan Tuhan.15

Kalau simbolisme dan mitologi wayang tetap mempunyai
pengaruh yang kuat dalam menentukan langkah dan tindakan
politisi J awa modern, maka betapa jauh lebih penting lagi dalam
m asyarakat J awa pada perm ulaan abad XIX saat Diponegoro
hidup. Pada waktu itu J awa m erupakan sebuah m asyarakat
yang terbenam dalam pelukan hikayat dan cerita wayang.
Babad Keraton Yogy akarta, m isalnya, m engandung banyak
sekali pengacuan-pengacuan kepada beraneka ragam jenis

bacaan-indo.blogspot.com 12 Sisi Lain Diponegoro

pertunjukan wayang yang diselenggarakan di keraton pada
zaman sultan keempat (1812-1814) dan kelima (1822-26/ 1828-
55). Dari semua pertunjukan tersebut, wayang wong-lah yang
paling populer.16 Sebuah laporan Belanda bahkan mengatakan
bahwa penyebab utama dari keluhan terhadap Patih Yogya yang
korup dan am bisius itu, Dan urejo IV (m en jabat 18 13-18 47),
adalah bahwa ia telah menguasai hak untuk menyelenggarakan
suatu pertunjukan wayang wong di tempat kediamannya tepat
sebelum meletusnya Perang J awa dalam bulan J uli 1825.17 Pada
13 Mei 1816, waktu berlangsungnya perayaan pernikahan Sultan
H am en gkubuwon o IV (18 14-18 22) den gan an ak perem puan
Patih Danurejo II (m enjabat 1799-1811), yang dicekik m ati di
keraton, tiga buah pertunjukan wayang kulit diselenggarakan
di keraton . Ada juga sebuah pem en tasan wayan g won g dan
tu ju h jen is per tu n ju kan wayan g yan g ber bed a.18 Nan tin ya
seoran g Patih Yogyakarta pasca-Peran g J awa, Dan urejo V
(sekitar 180 3-1884; m enjabat 1847-1879), m antan kom andan
(Basah) Diponegoro, m em peroleh kem ajuannya yang dini
itu, selama masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono
V (18 22-18 26/ 18 28 -18 55), ber kat keter am pilan n ya d alam
m en yajikan pertun jukan wayan g won g di istan a.19 Naskah -
naskah pertunjukan yang paling populer di keraton Yogyakarta
pada permulaan abad yang ke-19 itu adalah Arjuna Sasrabau
(Arjunaw ijay a), Serat Ram a, Serat Bharatay uda dan
Arjunawiwāha (Mintaraga) dan mungkin inilah yang menjadi
dasar dari begitu banyak lakon wayang yang dipentaskan pada
m asa itu (Babad N gay ogy ak arta, I, XCV.27, hlm . 38 8 ; II,
XVIII.28-29, hlm. 75).

Sebuah laporan Belan da m en yebutkan ten tan g Ratu
Kencono (sekitar 180 2– 1827), janda Sultan Hamengkubuwono
IV, waktu jatuh sakit pada awal tahun 18 25, ia sam a sekali
tidak tidur selama dua malam berturut-turut dan meng-
habiskan waktunya dengan m em baca cerita wayang secara

bacaan-indo.blogspot.com Bagian I Ekologi Kebudayaan Jawa 13

terus-menerus.20 Di Surakarta, Sunan Pakubuwono IV
(bertah kta, 178 8 -18 20 ), seseoran g yan g san gat peduli ter-
hadap kehidupan kesenian, dipandang sebagai sosok yang ge-
m ar dengan pertunjukan wayang kulit dan wayang wong di
keraton Surakarta. Sehingga kadang-kadang ia sendirilah yang
berperan sebagai dalang dan ia pun juga mendorong kerabat
dan anggota keluarganya untuk menjadi penari wayang topeng
(Hagem an 1856:24). Di daerah pedesaan pun bisa dipastikan
bahwa terdapat m inat yang cukup besar terhadap wayang,
sebab banyak dalang istana yang berasal dari daerah-daerah
pedesaan . Beberapa dari m ereka ten tu telah m en em puh
kehidupan mengembara sambil mengadakan pertunjukan-
pertunjukan dari satu desa ke desa lainnya (Pigeaud 1938:35-
37). Sebuah laporan resmi pemerintah Belanda yang diedarkan
kepada sem ua Residen, sesudah berakhirnya Perang J awa
(18 25-30 ), m em bah as ten tan g pen gar uh wayan g ter h adap
‘orang menumpang’ (para pekerja yang tidak memiliki tanah).
Laporan ini m enggam barkan bagaim ana angan dan khayal
m ereka berkobar karena cerita wayang tentang petualangan,
yang, karena perbuatan m ereka, dapat m encapai kedudukan
seperti para pangeran (Louw dan De Klerck 1894-190 9:I, 26;
TNI 1861:67).

Seperti banyak bangsawan J awa pada masa itu, Diponegoro
sendiri m em punyai perhatian dan m inat kepada wayang. Ia
juga mempunyai seperangkat gamelan lengkap di kediamannya
di Tegalrejo.21 Budaya kejawen itu tidak bertentangan dengan
keim anan sang Pangeran sebagai seorang Islam yang saleh.
Seorang tamu Belanda yang datang mengunjungi puing-puing
kediam an Diponegoro setelah Perang J awa, m enyam paikan
kom entarnya tentang pringgitan (selasar pem isah) dan
pendopo, yang tentunya sangat cocok sebagai tem pat m e-
n yelen gga r a ka n p er t u n ju ka n wa ya n g (Br u m u n d 18 53 -
54:18 5).22 Terdapat pula bukti bahwa Dipon egoro m en gen al

14 Sisi Lain Diponegoro

baik kesusastraan Jawa. Di dalam babad otobiograi dan Babad
Keraton Yogy akarta ia digambarkan sebagai sosok yang gemar
m em baca cerita Arjunaw ijay a, Serat Ram a, Arjunawiwāha
serta Bhom a Kaw y a (Bhom ántaka), di lingkungannya di
Tegalrejo (Carey 2012:122-23, mengutip Babad Ngay ogy akarta,
II, XXXVI.19; KITLV Or 13:IV.37). Ia juga menganjurkan agar
adiknya, Sultan Hamengkubuwono IV (bertahkta, 1814-1822),
yang masih di bawah umur, mau membaca cerita tersebut demi
pendidikannya (Carey 20 12:479).

Di dalam babad otobiografinya, Diponegoro m eng-
gam bar kan bagaim an a pada 19 Desem ber 18 22, ketika ia
diangkat menjadi wali atas keponakannya, sultan yang kelima
itu, tanpa m em inta pendapat serta nasihatnya dan bahkan
tanpa diundang untuk m enghadiri upacara penobatannya di
Yogyakar ta, ia m em er in tah kan p en giku tn ya d i Tegalr ejo,
yang bernam a Sostrowinangun, untuk m em bacakan cerita
Arjunaw ijay a. Pengikut itu disuruh memulainya dengan bagian
yan g m elukiskan kem arahan serta pen ebusan dosa Arjun a;
suatu bagian yan g san gat cocok un tuk keadaan tersebut.23
Oleh karena itu, kemungkinan besar Diponegoro, serta orang-
orang yang hidup sezamannya, mempunyai pengetahuan baik
m engenai naskah cerita J awa yang terkem uka. Pengetahuan
yang demikian ini memberikan kita titik awal yang bermanfaat
untuk dapat memahami Babad Diponegoro itu, di mana begitu
banyak contoh yang diambil dari dunia pewayangan.

bacaan-indo.blogspot.com

bacaan-indo.blogspot.com Babad Diponegoro (Manado)

Arjuna sebagai Insp irasi d alam Babad Diponegoro
DI dalam babad yang ditulis oleh Diponegoro sendiri di Manado
(18 31-18 32), terdapat berbagai bagian dari tulisan n ya yan g
m em berikan petunjuk bahwa sesungguhnya ia sendiri sadar
akan contoh yang diberikan oleh Arjuna. Saudara ketiga dari
lim a bersaudara keluarga Pan dawa, Arjun a diken al den gan
kegagahan serta kekuatan spiritualnya (Ricklefs 1974b:229-30 ;
Van Praag 1947:20 2).24 Karena inilah saat Diponegoro membuat
ziarah ke pan tai Laut Kidul waktu m uda pada sekitar 18 0 5,
ia menggambarkan bagaimana ia dikasih sebuah anak panah,
Sarotomo, yang segera tam pak olehnya berupa selarik kilatan
cahaya yang m enem bus batu sandarannya begitu ia bangkit
dari lim bungnya (Carey 20 12:174). Kejadian ini setelah sang
Pangeran bermalam di Parangkusumo ketika ia menerima
wangsit dari Sunan Kalijogo, wali yang sangat dim uliakan di
J awa sebagai penasihat raja-raja J awa, tentang tugasnya di
masa depan. Di kemudian hari, pusaka ini dibentuknya menjadi
sebuah belati kecil atau cundrik untuk istri keempatnya, Raden

bacaan-indo.blogspot.com 16 Sisi Lain Diponegoro

Ayu Maduretno (sekitar 1798-1827) (Ricklefs 1974b:247; Carey
20 12:178).

Sarotom o adalah nam a senjata yang digunakan oleh
Arjun a dan cara Dipon egoro m en erim a an ak pan ah itu dari
tangan sang wali yang m enyebarkan agam a Islam di J awa
bagian tengah-selatan m engingatkan kita kepada cara Arjuna
m enerim a sebuah anak panah lainnya, Pasopati, dari tangan
Siwa, sebagaim ana yang diceritakan di dalam Arjunawiwāha
(Poerbatjaraka 1926:263). Kelak, dalam babad otobiograinya,
ketika Diponegoro m enceritakan tentang pernikahannya
pada akhir Septem ber 18 14 dengan putri yatim piatu Raden
Ronggo Prawirodirjo III dari Madiun (m enjabat 1796-18 10 ),
Raden Ayu Maduretno (sekitar 1798-1827), ia menggambarkan
perkawinannya seperti perkawinan antara Batara Wisnu dengan
Dewi Sri. Sem entara, ayahnya, Sultan H am engkubuwono
III (18 12-18 14), disebutkan sebagai Batara Guru dan para
istri permaisuri sultan sebagai Ratih, Suprobo dan Tilotomo
(Tilottamā) (Carey 2012:470). Penggam baran tersebut
dilukiskan dengan istilah-istilah yang tradisional, tetapi hal ini,
sekali lagi, mengingatkan kita kepada tokoh Arjuna. Ini karena
Dewa Wisnu dianggap menjadi titisan Arjuna dan telah hidup
kembali dalam diri saudara ketiga Pandawa lima di bumi ini
(Hardjowirogo 1965:142).

Tema ini dirujuk lebih eksplisit lagi dalam pertemuan
Diponegoro dengan Ratu Adil pada 19 Mei 1824. Dalam kondisi
sam a seperti digunakan oleh Arjuna kepada Kresna sebelum
pertem puran n ya den gan Karn a dalam cerita Bharatay uda,
Dipon egor o ber m oh on kepada San g Ratu Adil agar dapat
dibebaskan dari keharusan untuk berperang, karena ia tidak
dapat berkelahi dan tak tahan melihat maut (Carey 20 12:667;
Rusche 190 8-190 9, I:10 1-2). Akhirnya, tem a tersebut m uncul
kembali pada bagian akhir Perang J awa, ketika Diponegoro
berkelana di hutan-hutan dari pegunungan daerah Gowong

bacaan-indo.blogspot.com Bagian I Ekologi Kebudayaan Jawa 17

di Kedu Selatan sam pai Bagelen dan Ban yum as pada bulan
terakhir (11 Novem ber 18 29-9 Februari 18 30 ) peran g han ya
dengan diiringi dua orang punakawannya. Pengikut khusus ini
bernama Bantengwareng (gudel banteng) dan Roto (singkatan
dari J oyosuroto) dan yang pertam a digam barkan di dalam
babad otobiografi sebagai seoran g an ak ban del (“bajin gan
muda”) yang penuh dengan kenakalan dan juga seorang cebol
(Carey 20 12:471; Rusche 190 8-190 9, II:149-50 ). Penggambaran
mengingatkan kita pada cacat para pelayan Arjuna dan anggota
lain Pandawa bersaudara, yang bernam a Sem ar, Gareng, dan
Petruk, yang mengikuti para majikan mereka mengembara ke
hutan -hutan setelah Yudistira kehilan gan kerajaan Ngastin a
karena main dadu lawan Kurawa. Persamaan ini dibuat bahkan
lebih jelas lagi dalam babad karya Diponegoro ketika nam a-
nama Semar, Gareng dan Petruk diberikan kepada tiga orang
bekel (kepala pemungut pajak tanah di desa) dari daerah sekitar
yang selam a beberapa waktu bergabung dengan golongan
pendukung Pangeran tersebut. Diponegoro menambahkan
bahwa nama-nama tersebut cocok dengan tampang para bekel
itu dan m ereka pun sen an g m en erim an ya (Carey 20 12:471;
Rusche 190 8-190 9, II:150 ).

Dari sem ua naskah yang dibaca oleh Diponegoro dan
orang-orang sekelilingnya di Tegalrejo, sepertinya cerita
Arjunawiwāha-lah yang m em berikan pengaruh yang paling
besar kepadanya. Perbandingan penting dapat dilihat dalam
bagian Babad in i. Adapula h al yan g m en arik bah wa buku
Arjunawiwāha itu m erupakan bagian dari sejum lah kecil
naskah-naskah yang selam at dari m alapetaka penjarahan
perpustakaan keraton Yogyakarta yan g dilakukan oleh ten -
t ar a Sep oy-In ggr is p ad a 20 J u n i 18 12.25 Sekar an g lakon
wayang Arjunawiwāha—yang biasanya lebih dikenal dengan
judul m odern n ya, M in taraga—dipan dan g oleh m asyarakat
J awa sebagai salah satu dari sejumlah kecil lakon mistik dan

bacaan-indo.blogspot.com 18 Sisi Lain Diponegoro

sebagai pasangan untuk lakon Bim a Suci. Tem a cerita yang
disebutkan belakangan itu adalah pencarian dan upaya Bim a
untuk menemukan air kehidupan serta pengetahuan diri
kosmik. Sedangkan Arjunawiwāha membahas persiapan yang
ditem puh oleh Arjun a, m elalui cara-cara pertapaan , un tuk
bisa mendapatkan kekuatan yang tidak dapat dikalahkan agar
ia dapat m enguasai dunia dan berjaya atas sem ua kekuatan
jah at (Man gkoen agoro 1933:92-93). Pada m asa yan g lebih
dini, menurut keterangan dan pendapat ahli Sastra J awa, Dr.
Pigeaud, cerita Arjunawiwāha itu sangat populer di kalangan
pengarang muda J awa pada abad XVIII dan XIX yang “melihat
di dalam sanjak-sanjak naskah cerita yang bersangkutan sebuah
kiasan yang merujuk kepada sebuah perjuangan yang jauh lebih
tinggi di dalam kehidupan manusia, kemenangan manusia di
dalam menaklukkan kekuatan setan serta penjelmaannya yang
terakhir […]” (Pigeaud 1967-1980 , I:181).

Ad a kem u n gkin a n , b a ik d i d a la m p a n d a n ga n d a n
pengertian para pengarang muda J awa itu, maupun dalam
pengertian asli yang terkandung di dalam naskah cerita tersebut,
bahwa segala m acam persiapan yan g ditem puh oleh Arjun a
untuk dapat melaksanakan pemerintahan yang benar dan adil
di bumi ini, mempunyai koneksi dengan Diponegoro. Ini bisa
dilihat dari cara ia menggambarkan dirinya sendiri dalam babad
yang ditulisnya. Antara lain, cara ia m engasingkan diri untuk
melakukan pertapaan dan kemudian tampil kembali dalam
keadaan yang sudah disucikan untuk menjalankan peperangan
yang ditugaskan kepadanya. Kelakuan ini sangat mirip dengan
cara Arjuna mempersiapkan dirinya untuk mendirikan sebuah
pemerintah yang adil-palamarta sebagaimana diceritakan dalam
naskah Arjunawiwāha itu.

Oleh karena itulah seluruh bagian dini dari babad oto-
biogr afin ya sebelu m pecah n ya Per an g J awa (18 25-18 30 ),
kerap kali ditemukan perujukan kepada masa pertapaan.

bacaan-indo.blogspot.com Bagian I Ekologi Kebudayaan Jawa 19

Tujuan pertapaannya adalah untuk m enyucikan diri agar di
kemudian hari dapat menjalankan suatu pemerintahan spiritual.
Pam an Dipon egoro, Pan geran Man gkubum i (sekitar 178 1-
1850 ), berkomentar dalam babad yang ditulis oleh keponakan,
bahwa bahkan sebagai anak muda, Diponegoro sering sekali
m em perlihatkan kegem arannya untuk pergi m engem bara
sendirian di dalam hutan.26 Diponegoro sendiri, secara panjang
lebar menggambarkan kunjungan ke tempat suci tradisional
di daerah Mataram serta wangsit atau penam pakan yang
diterimanya dalam peziarahan antara Yogyakarta dan Samudera
Selatan (Ricklefs 1974b: Carey 20 12:149-82). Kunjungan yang
jarang dilakukannya ke keraton Yogyakarta juga ditekankan di
dalam babad yang ditulisnya (Carey 20 12:10 2):

XIV.59. […]
dadya aw is sow anèki
m ung garebeg puniku kang pesthi ana

XIV.59. […]
J adi jarang sowan [ke keraton];
hanya untuk [upacara] Grebeg itu yang pasti ada.27

Hadir dalam acara-acara tersebut—yang diselenggarakan tiga
kali setahun untuk m erayakan hari lahir Nabi SWT (Mulud),
akhir bulan Puasa (Lebaran) dan Idul Adha yang juga merayakan
Hari Raya Haji—digam barkan oleh Diponegoro sebagai “dosa
besar” barangkali karena Grebeg itu lebih bersifat J awa daripada
Islam murni (Carey 20 12:10 2 catatan 65).

Di dalam babad yang lain juga terdapat gam baran ten-
tang pertapaan yang sering dilakukannya, baik di tem pat
peristirahatannya sendiri di sebelah tim ur laut Tegalrejo,
Selorejo (Car ey 20 12:10 1-2; KITLV Or 13 [Kedun g Kebo],
II.38-41), maupun di Gua Secang yang berada di dalam daerah
tanah jabatan atau “dudukan” (lungguh) yang dibuat di bukit

bacaan-indo.blogspot.com 20 Sisi Lain Diponegoro

Selarong. Gua ini terletak di areal Bantul di selatan Yogyakarta
dan menjadi tanah lungguh Diponegoro pada J uli 1812 waktu ia
diangkat sebagai pangeran oleh ayahnya, sultan ketiga (Carey
1981:7-9; 20 12:10 1-2). Tingkah laku yang demikian itu, di dalam
pengertian J awa tradisional, disebut dengan istilah “tirakat”,
yaitu penarikan dan pengasingan diri dari segala kesibukan
dun ia. Cara asketism e in i, m en urut pan dan gan oran g J awa,
m enandai seseorang yang m erenungkan atau m erencanakan
sesuatu perbuatan yang sungguh besar, seperti menjadi seorang
pemberontak (kram an). Dengan cara mengundurkan diri dari
dunia—seperti dilakukan Diponegoro—ada kesem patan untuk
m em pertanyakan dirinya sendiri m engenai m otif-m otif di
lubuk hati paling dalam serta membersihkan dirinya dari segala
macam pamrih atau ambisi terselubung (Winter 190 2:87).

Namun, dalam kaitannya dengan Diponegoro sendiri, masa
persiapan dan pensucian diri tersebut dilakukan untuk sesuatu
tindakan yang jauh lebih luas dan penting dari pada sekadar
pemberontakan atau makar. Ini bisa dilihat dalam pertemuan
sang Pangeran dengan Ratu Adil di Gunung Rosomuni di lereng
Gun un g Kidul pada Mei 18 24. Seperti Arjun a dalam cerita
Arjunawiwāha (Poerbatjaraka 1926:252-255), Diponegoro juga
m enggam barkan bagaim ana seringnya ia harus m enghadapi
godaan -godaan perem puan (Carey 20 12:138 ).28 Persam aan
demikian itu lebih jauh dijelaskan dalam berbagai bagian tulis-
an , di m an a ia m en ggam barkan istrin ya sebagai Suprobo,29
nama istri cantik Arjuna dalam Arjunawiwāha (Poerbatjaraka
1926:269-93).

Dalam hal tampang, Diponegoro tidak bisa disebut
ganteng seperti Arjuna, pahlawan dalam wayang yang sering
dianggap simbol kerupawanan menurut selera J awa kuno
(Carey 20 12:138). Sampai seorang Residen Belanda—A.M. Th.
de Salis (m enjabat 18 22-18 23)—telah m engisyaratkan badan
sang Pangeran sebagai ‘berat’ dan ‘lam ban’.30 Babad Kedung

bacaan-indo.blogspot.com Bagian I Ekologi Kebudayaan Jawa 21

Kebo, yang cukup kritis terhadap Pangeran, juga m em uat
sebuah kisah sardonis dari seorang gundik yang seolah sangat
kecewa atas gairah Diponegoro di tempat peraduan.31 Semua ini
seolah menunjukkan bahwa pemimpin Perang J awa tidak dapat
m eniru patokan-patokan standar keras yang telah ditetapkan
oleh Arjun a sebagai seoran g kekasih. Tetapi bagaim an apun
juga, boleh jadi sang Pangeran punya daya tarik pribadi yang
kuat yang membuat dia tampil menawan bagi perempuan dan
meningkatkan karismanya.

Tema persiapan spiritual dan penolakan akan kekuasaan
duniawi oleh Diponegoro sebelum Perang J awa, memang
m enim bulkan persam aan yang dekat sekali dengan tokoh
Arjun a dalam cerita Arjunawiwāha. Pem an ggilan dan per-
tem u an Dipon egor o d en gan Ratu Ad il d i kem u d ian h ar i,
m em punyai sejum lah persam aan dengan pertem uan yang
terjadi an tara Arjun a den gan In dra. Kita bisa m en yaksikan
ini dengan cara keduanya dipanggil oleh seseorang tua yang
mengenakan pakaian keagamaan, yang kemudian menghilang.
In i m em ber ikan kesem patan kepada Ratu Adil dan In dr a
un tuk m em perlihatkan diri m ereka. Am an at yan g diterim a
oleh Dipon egoro dan Arjun a juga m em perlih atkan sebuah
persamaan, karena mereka berdua ditampilkan dari tempat
pertapaan masing-masing untuk menerima surat perintah demi
m enjalankan peperangan (Carey 20 12:664-68 ; Rusche 190 8 -
190 9, I:10 1-2; Poerbatjaraka 1926:257-58).

Sang Teladan: Sultan Agung, Sunan Kalijogo, dan
W ali Songo

Tem a Ar ju n a yan g ter d apat d i d alam Babad Dip on egoro
itu jelas m em punyai arti yang penting, tetapi ia tetap hanya
m erupakan satu dari sekian banyak tem a yang ada. Mungkin
paling baik bila tema ini dapat dilihat di dalam hubungannya

bacaan-indo.blogspot.com 22 Sisi Lain Diponegoro

dengan tem a lainnya yang juga sam a pentingnya di dalam
babad tersebut. Demikianlah kenapa Diponegoro terlihat se-
lalu m enyadari m akna serta peranan para wali tersebut. Dan
mengapa ia selalu mengambil peranan leluhurnya Sultan Agung
(bertakhta 1613-1646) sebagai contoh teladan? Relevansi Agung
untuk Diponegoro adalah dua: pertama sang Pangeran merasa
ada kemiripan dengan keadaan yang sedang dihadapinya; dan
kedua ia sangat mengagumi kedudukan sang raja Mataram
sebagai pelindung spiritual J awa. Demikian pulalah, di dalam
pengembaraan yang dilakukannya pada masa yang lebih dini—
yaitu ziarah ke Samudera Selatan pada musim kemarau 180 5—
Diponegoro menggambarkan bagaimana ia pada suatu waktu
mendapatkan ‘wangsit’ dari Sunan Kalijogo yang meramalkan
bahwa kelak ia akan menjadi seorang raja. Tetapi bukan sebagai
raja biasa tapi lebih sebagai seorang pengawas spiritual bagi
semua penguasa duniawi di J awa.32

Perbedaan ini di kemudian hari dibuat menjadi lebih
jelas lagi di dalam babad otobiograi ketika Ratu Ageng, ibu
tiri Diponegoro, pernah bermimpi melihat Diponegoro sebagai
seorang w ali w udhar (wali yang mempunyai jabatan rangkap).
Man tan Pen ghulu Yogyakarta, Kiai Rahm an udin (m en jabat
18 12-18 23), seor an g tem an baik Dipon egoro, m en jelaskan
kepada Pangeran mengenai makna dari seorang wali yang mem-
punyai dua jabatan itu. Menurut Penghulu, jabatan rangkap
menjadi jelas karena Allah SWT telah memberikan kepadanya
kekuasaan untuk menjalankan kebenaran dan keadilan di
ranah spiritual dan duniawi. Sebagai contoh sejarah, Penghulu
mengutip riwayat Sunan Giri, wali besar dari daerah J awa Timur
pada akhir abad XVI dan awal abad XVII yang telah mendirikan
dinasti pemuka agama yang kondang.

Menurut penegasan Penghulu, Sunan Giri serta Sultan
Agung telah m em angku dua jabatan serta m erupakan orang-

bacaan-indo.blogspot.com Bagian I Ekologi Kebudayaan Jawa 23

orang yang dicintai oleh Allah (Rusche 190 8-190 9, I:10 6-7; LOr
6547b, XX.42-43):

XX.42. […]
pan tegesé w ali w udhar kang say ekti
inggih w ali ngiras

43. cinepengan adil m ring Hy ang W idhi […]
42. […]

J adi tegasnya wali wudhar itu sebenarnya
ya wali yang sesungguhnya
43. berpegangan adil kepada Yang Maha Kuasa. […]

“J abatan rangkap” ini m enunjuk kedudukan sebagai seorang
wali—orang spiritual yang dicintai oleh Allah SWT—dan sebagai
orang yang harus menjalankan hukum Islam dengan kekuasaan
keduniaan. Karena inilah, Diponegoro mengetengahkan Sultan
Agung sebagai “seorang alim seperti saya yang berkelana ke
mana-mana” dan “seorang raja yang sungguh-sungguh Islami
yang telah m enegakkan lim a rukun Islam ” (Louw dan De
Klerck 18 94-190 9, V:744).33 Di dalam babad otobiografin ya,
Diponegoro m enggam barkan bagaim ana keterangan yang di-
berikan oleh Penghulu itu menyebabkan ia bisa menerangkan
secara mendalam makna pertemuannya dengan Ratu Adil yang
telah terjadi (19 Mei 1824). Ia juga mulai mengerti bagaimana
ia kini telah ditugaskan untuk m em im pin prajurit Ratu Adil
di J awa dengan melandaskan kekuasaannya kepada Al Quran
(Carey 20 12:667; Rusche 190 8-190 9, I:10 7).

Kelih atan n ya seakan -akan Dipon egoro m em an g telah
m em persiapkan dirinya, secara spiritual, dan kini harus m e-
nerima kekuasaan sebagai pemimpin agama Islam di J awa serta
melaksanakan kekuasaan duniawi. Pemikiran yang demikian itu

bacaan-indo.blogspot.com 24 Sisi Lain Diponegoro

nampaknya diungkapkan dalam kata-kata Diponegoro sendiri
yang disampaikannya kepada Penghulu Rahmanudin tersebut
(LOr 6547b, XX.45-46; Rusche 190 8-190 9, I:10 7):

XX.45. […]
Kaki alham dulillah!

46. pan w ong urip punapa dènanti
lam un kaki datan angantiy a
pakary a kang luw ih abot

45. […]
“Alhamdulillah, kakek!

46. Apa gerangan yang orang nantikan dalam hidup ini
jika, wahai kakek,
bukan tugas yang luar biasa penting?”

Sebagaimana hubungan dengan para wali, hampir dapat
dipastikan bahwa Diponegoro m elihat dirinya sendiri dipilih
untuk menjadi salah seorang dari para wali tersebut. Memang
tidak lam a kem udian m uncul di dalam ‘im pian’-nya delapan
laki-laki yang dipim pin oleh seorang laki-laki yang dipanggil
dengan sebutan “Panembahan”. Ini memperingatkan kita atas
Panembahan Ageng Giri, yang membacakan sebuah surat yang
m enyatakan dan m enetapkan sang Pangeran sebagai Sultan
Ngabdulkam it, Erucokro (raja yang adil), Sayidin (pem im pin
Agam a), Pan atagam a (pen gatur agam a), Kalifat Rasulullah
ing Tanah J awi (Khalifah Rasul Allah SWT untuk tanah J awa)
(Carey 20 12:677-79).

Penam pilan delapan orang tersebut dalam m im pinya
dapat dipersamakan dengan kedelapan orang wali, sedangkan
pemunculan mereka menunjukkan bahwa Diponegoro me-
m andang dirinya sendiri sebagai yang terpilih untuk m enjadi
anggota wali yang kesembilan. Ini merupakan jumlah tradisional
orang-orang suci yang terdapat dalam agama Islam di J awa yang

bacaan-indo.blogspot.com Bagian I Ekologi Kebudayaan Jawa 25

biasanya disebut sebagai ‘Wali Songo’ (kesembilan orang wali).34
Gelar yang diberikan kepadanya itu juga m em perlihatkan
bahwa Diponegoro memandang dirinya sendiri sebagai seorang
pemimpin Islam di J awa dan bahwa semua gelar itu, terkecuali
gelar Ngabdulkamid dan Erucokro, telah dipakai oleh raja-raja
Yogyakarta dan Surakarta. Hal ini menjadi penyebab gagalnya
perundingan perdam aian di Magelang yang diselenggarakan
panglima pasukan Belanda, J enderal Hendrik Merkus de Kock
(1779-1845), dengan Diponegoro pada 28 Maret 1830 (Carey
20 12:820 -22).

Gelar Erucokro, yang menandai seorang “Ratu Adil” atau
J uru Selamat orang J awa, mengandung makna yang jauh lebih
luas, yaitu bahwa Diponegoro m em andang dirinya sendiri
sebagai seseorang yang akan m em enuhi ram alan J oyoboyo.
Ram alan ini yang dibuat m enurut tradisi oleh seorang raja
Kedir i, Pr abu J oyoboyo (ber takh ta 1135-1179), pada abad
XII, m engatakan bahwa akan datang seorang pangeran yang
akan m enegakkan sebuah pem erintahan yang benar dan adil.
Pem erintahan ini akan m engawali suatu zam an em as setelah
J awa melalui masa penuh kebingungan, kekacauan, dan
kem erosotan (Wiselius 18 72:18 6-9; Cohen Stuart 18 72:28 5-
88; Brandes 1889:368-430 ). Aspek khusus yang m enyangkut
gelar Erucokro akan dibahas lebih mendalam kemudian. Tetapi
terkait pribadi Diponegoro ada suatu hal yang m enarik. H al
ini seiring dengan tem a yang m enyangkut para wali. Sebuah
laporan mengenai ramalan J oyoboyo, menyebutkan bahwa yang
dim aksudkan dengan orang yang akan m enjadi Erucokro itu
adalah salah seorang ‘keturunan dari para wali’. Keturunan itu
akan dibesarkan sebagai seorang pandita-raja. Pada ramalan
lainnya pribadi pandita-raja itu digambarkan sebagai seorang
w aliy ullah atau utusan khusus Allah SWT (Wiselius 1872:188;
Brandes 1889:386-7). Hal ini memang bisa dihubungkan dengan
contoh-contoh yang telah diberikan oleh para wali tentang gelar

bacaan-indo.blogspot.com 26 Sisi Lain Diponegoro

Erucokro. Tetapi tidak ada satu pun bukti bahwa Diponegoro
sendiri sampai memahami hubungan ini.

Namun, terdapat bukti di dalam Babad Diponegoro
bahwa contoh-contoh para wali m erupakan sesuatu yang
penting bagi sang Pangeran dan penasihat utam anya selam a
Perang J awa. Dem ikian, perselisihan yang akhirnya tim bul
di antara Diponegoro dan Kiai Mojo pada 1827, seperti yang
dilaporkan di dalam babad otobiograinya, terutama bersumber
kepada upaya Mojo untuk m enentang kekuasaan m utlak
Diponegoro. Daripada kekuasaan absolut seorang pandita-
raja, Mojo menganjurkan untuk membagi pemerintahan ke
dalam kekuasaan (1) ratu (raja), (2) wali (utusan keagamaan),
(3) pandita (ahli hukum) serta (4) mukmin (orang-orang yang
percaya dan yakin akan kebenaran agam a Allah SWT). Mojo
m enyarankan kepada Diponegoro agar m em ilih salah satu
dari empat jabatan itu. Ini berarti, jika Diponegoro memilih
kedudukan ratu, maka Mojo sendiri dapat mengambil gelar wali
dan dengan dem ikian m enikm ati kekuasaan keagam aan yang
mutlak. Tentu saja Diponegoro menolak pemikiran demikian.
Menurut babad otobiografinya, sang Pangeran m enuduh
Mojo berkeinginan untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih
besar daripada dia sendiri. Untuk menguatkan pendapat, ia
menarik persamaan antara Mojo dan Sunan Giri, yang menurut
Diponegoro, memanfaatkan kekuasaannya atas Sultan Demak
pada akhir abad XVI (LOr 6547c, XXX.129-30 ; Rusche 190 8-
190 9, I:312):

XXX.129. [...]
ingsun w eruh karepira
apan jaluk w isèsa
kay a Sunan Giri iku
dadi ingsun sira karya

130 . kay a Sultan Dem ak dhingin

bacaan-indo.blogspot.com Bagian I Ekologi Kebudayaan Jawa 27

ingsun dudu m uridira
[…]
129. […]
“Aku tahu maksudmu:
kau ingin meminta kekuasaan
seperti Sunan Giri itu.
J adi kamu memperlakukan saya
130 . seperti Sultan Demak dahulu!
Saya bukan muridmu!”
[…]

Di kemudian hari, Diponegoro berusaha untuk mengekang
am bisi Kiai Mojo. Ia m en yaran kan agar san g kiai bersedia
untuk diangkat m enjadi penghulunya dengan m engganti
pen ghulu yan g lam a, H aji Im am roji (m en jabat 18 26-18 28 ).
Untuk mengukuhkan saran, Diponegoro mengambil contoh
Sun an Kudus, seoran g wali, yan g m en urut san g Pan geran ,
telah bertindak sebagai penghulu Sultan Demak dan jauh lebih
menurut dalam menjalankan perintah-perintah Sultan Demak
daripada Sun an Giri.35 Kali in i Kiai Mojo m en olak den gan
mengatakan bahwa bagaimanapun juga ia tidak berasal dari
keluarga para penghulu dan ia menginginkan agar ia dapat
diakui sebagai seorang Im am Besar (pem im pin dari seluruh
masyarakat Islam).36 Tuntutan penuh ambisi ini ditolak mentah-
mentah oleh Diponegoro, yang menetapkan bahwa bagaimana-
pun juga perdebatan m engenai garis batas yang tegas antara
berbagai m acam fungsi terlalu luas untuk dapat ditarik. Lagi
pula Tuhan telah memilih hanya dirinya sendiri untuk menjadi
khalifah di tanah J awa, dan hanya dia dijuluk oleh sang Ratu
Adil sebagai pem im pin tunggal dalam perang suci (pangirid
sabil) yang akan berlangsung antara orang-orang Muslim dan
wong kair itu.37

bacaan-indo.blogspot.com 28 Sisi Lain Diponegoro

Dalam konlik panjang antara Diponegoro dan Kiai Mojo
pada tahun ketiga Perang J awa, yang pada akhirnya m e-
n yebabkan pen yer ah an Kiai Mojo kepad a Belan d a pad a
12 Novem ber 18 28 (Carey 20 12:751-53), dapat dilihat suatu
perbedaan pen dapat yang m endalam tentang siapakah yang
sebenarnya mempunyai kekuasaan keagamaan yang tertinggi.
Con toh yan g telah diber ikan oleh par a wali ser ta ben tu k
pemerintahan yang telah pernah m ereka jalankan, dipandang
san gat pen tin g oleh Dipon egoro. Adalah juga h al m en arik
mengenai keluarga Pangeran Serang II (sekitar 1794-1852). Ia
adalah salah satu keturunan dari Sunan Kalijogo yang sangat
berpen garuh di areal Gun un g Ken den g (gun un g kapur) di
Blora dan Grobogan -Wirosari sekaran g. Ia san gat disegan i
dan berhasil m enarik banyak pengikut untuk berjuang di
pihak Diponegoro pada awal peperangan (Louw dan De Klerck
18 94-190 9, I:361-63; Carey 198 1:28 4 catatan 20 5; 20 16:30 -
32). Kedudukan Pan geran Seran g, yan g oleh para pen guasa
b a n gsa Bela n d a d ip a n d a n g seb a ga i seor a n g ‘p a n ger a n
spiritual yang bebas serta m erdeka’ (onafhankelijk geestelijk
Prins), m ungkin sekali telah digunakan sebagai contoh oleh
Diponegoro dan pengikutnya. Setelah Perang J awa, misalnya,
adik san g Pan geran , Pan geran Abdul Sam su (Suryon egoro),
pernah menuntut agar ia diakui dengan gelar yang sama dengan
Pangeran Serang II, tapi Belanda menolak.38

Nam un, Diponegoro m em punyai tujuan yang jauh lebih
besar daripada seoran g ‘pan geran spiritual’ itu. Walaupun
Pangeran Serang II memiliki hamparan tanah dan sebuah
kharism a besar yang terkandung di dalam nam anya, ia sam a
sekali tidak m em iliki kekuasaan keagam aan di luar wilayah
Gunung Kendeng (gunung kapur). Dalam laporan terperinci
tentang rencana perdamaian Diponegoro pada Desember
18 29, yan g d itu lis oleh p an glim a m ilit er n ya d i Bagelen ,
Basah Pengalasan (lihat Lam piran 1), tam paknya Diponegoro

bacaan-indo.blogspot.com Bagian I Ekologi Kebudayaan Jawa 29

m em punyai am bisi untuk m enguasai sebagian tanah m ilik
kerajaan -kerajaan Solo dan Yogya. Ia juga m en un tut bahwa
ia diperbolehkan m em erintah sebagai seorang pangeran yang
bebas dan merdeka. Pemerintahan daerah pedalaman adalah,
dan hanya, untuk Diponegoro, dengan sunan dan sultan di
bawahnya. Kalau Belanda m asih m au tinggal di J awa sebagai
warga swasta, m ereka hanya bisa berniaga sebagai saudagar.
Mereka tidak akan diperbolehkan m em punyai kewenangan
politik atas raja-raja J awa. Apalagi kalau m ereka m au m em -
pertahan kan agam a Kristen n ya, m ereka diharuskan tin ggal
di dua kota (Batavia dan Sem arang) di daerah pesisir (Carey
20 12:78 1). San g pan glim a pern ah m en eran gkan bah wa in i
artinya sang Pangeran akan m endapatkan kekuasaan untuk
melakukan campur tangan dalam setiap pemerintahan raja
J awa lainnya yang tidak mematuhi serta menjalankan peraturan
agam a Islam secar a ben ar d an tep at (lih at Lam p ir an 1).
Tuntutan yang dikemukakannya itu, seandainya dipenuhi, akan
menjadikan Diponegoro sebagai seorang penerus para wali.
Bahkan kewenangan yang diberikan akan melebihi kekuasaan
yang dimiliki oleh para pemuka agama—seperti raja Giri—pada
abad XVI.

Mungkin sekali bahwa contoh yang telah diberikan oleh
Sultan Agung tepat di sini. Raja besar Mataram itu, yang dapat
m engekang kekuasaan para raja Giri serta menjadi perwaris
jubah kebesaran para wali, tetap merupakan sumber ilham
utam a bagi Diponegoro. Dem ikianlah pertem uannya yang
penting dengan Ratu Adil berlangsung di Gunung Rosom uni,
sebuah bukit yang terletak di daerah lereng sebelah barat kaki
daerah Gunung Kidul yang m em punyai hubungan tradisional
yang erat dengan Sultan Agung (Carey 20 12:671-72).39 Terdapat
juga sejum lah bukti bahwa Diponegoro m asih m em punyai
hubungan erat dengan Tem bayat, daerah pem akam an Sunan
Bayat, sebuah tem pat suci yan g m en ikm ati hubun gan akrab

bacaan-indo.blogspot.com 30 Sisi Lain Diponegoro

d en gan Su ltan Agu n g pad a m asa akh ir pem er in tah an n ya
(1613-1646).40 Oleh karena itu, suatu laporan yang diserahkan
kepada Patih Yogyakarta, Dan urejo IV, m en jelan g pecahn ya
Perang J awa, menyatakan bahwa Diponegoro berencana pergi
ke daerah perbukitan Majasto dekat Tem bayat. Maksudnya
untuk mengibarkan panji-panji pemberontakan dalam bulan
Sura (15 Agustus-12 September 1825) dan bahwa ia juga telah
mengirim seorang pejabat untuk memanggil semua penduduk
dari Tembayat.41 Kelihatannya, ibu Diponegoro sendiri, Raden
Ayu Mangkorowati (sekitar 1770 -1852), mungkin juga berasal
dari daerah Majasto42 dan kelak, pada bulan pertama perang
tersebut, seoran g yan g disebut ‘pan dita Arab’, Mas Lurah
Majasto, yang mempunyai sebuah pondok (sekolah keagamaan
yang kecil) di Majasto, bergabung dengan Diponegoro di
Selarong (Carey 20 12:738, 941).43

Konsep Ra tu Ad il d a n Gela r Erucokro d a la m
Pandangan Diponegoro

Ada juga kem un gkin an , bahwa aspek Sultan Agun g sebagai
seorang raja arif dan bijaksana (pandita-ratu) dalam sejarah
J awa itulah m em punyai m akna besar bagi Diponegoro.
Mem ang banyak tingkah laku sang Pangeran sebagai seorang
pem im pin selam a berlangsungnya Perang J awa, yang m e-
nyam ai pandangan yang diidealisir tentang seseorang raja
arif dan bijaksana yang dim iliki oleh orang J awa. Di dalam
istilah J awa tradisional, raja ideal itu adalah seorang raja yang
akan selalu mencari petunjuk dan tuntunan batin dari Tuhan.
Ia akan bermeditasi serta merenung keinginan-keinginan
pribadinya kepada Roh Yang Maha Suci. Demikianlah di dalam
sebuah penggam baran tentang m editasi yang dilakukan oleh
Diponegoro di Gua Secang di tanah pelungguh di Selarong
sebelum perang, tirakat sang Pangeran digambarkan dengan

bacaan-indo.blogspot.com Bagian I Ekologi Kebudayaan Jawa 31

istilah-istilah yang tepat sam a dalam versi J oyoboyo dari
Babad Diponegoro.44 Petun juk dan tun tun an Tuhan yan g
akan terungkap dalam kaw icaksanan (pandangan serta kearif-
bijaksanaan yang bersifat kosmis) yang diperlihatkan oleh raja
yang bersangkutan (Moertono 1968:40 -42).

Persis, sebagaimana sebelum Perang J awa Diponegoro
mempersiapkan dirinya, sesuai dengan cara-cara yang dilakukan
Arjuna untuk menerima perintah dari Yang Maha Suci. Maka
dem ikian juga, selam a berlangsungnya perang tersebut, m asa
bermeditasi sendirian serta pertapaan dilanjutkan, agar ia tetap
mampu menjalankan kaw icaksanan sang Ratu Adil itu. Masa
penyendirian ini m erupakan tem a yang secara terus-m enerus
muncul kembali dalam kegiatan Pangeran selama berlangsung-
nya peperangan. Bahkan pada bulan yang pertama dari Perang
J awa (Agustus 18 25) sebuah laporan Belan da m en yebutkan
bahwa para pengikut Diponegoro membangun sebuah tem-
bok, setinggi badan manusia, untuk menutupi sebuah taman
pengasingan diri di Selarong.45 Dan sekali lagi, sebelum
m elakukan penyerbuan ke Surakarta di m edio Oktober 1826,
Diponegoro pun m engundurkan dirinya untuk berm editasi di
dekat telaga milik Sunan yang terletak di Pengging.46 Demikian
juga ketika istrin ya, Raden Ayu Maduretn o (waktu peran g
bergelar Ratu Kedaton) jatuh sakit kritis pada awal November
1827, ia pun berm editasi di sebuah padepokan kecil—tem pat
pen gasin gan dir i un tuk ber tapa—yan g ter letak di ten gah -
ten gah sebuah an ak sun gai Kali Progo dekat Ban yum en en g,
Kecam atan Ban yu r oto, Kabu paten Ku lon Pr ogo. Dalam
Babadnya, Diponegoro m enggam barkan tem pat pengasingan
diri itu seperti tem pat pertapaannya seorang pandita (lir
pratapaning pandhita) serta mengemukakan bagaimana
burun g-burun g perkutut m en em an in ya.47 Kem udian setelah
kekalahan di pertem puran terakhir di Siluk (17 Septem ber
18 29), ketika Diponegoro m enerim a wahyu dari Tuhan yang

bacaan-indo.blogspot.com 32 Sisi Lain Diponegoro

menyatakan bahwa segala usahanya akan menjadi sia-sia dan
menemui kegagalan belaka, maka ia pun memutuskan untuk
m elakukan pengem baraan dengan hanya ditem ani beberapa
pengikut. Setelah sergapan mematikan oleh pasukan gerak
cepat ke-11 di bawah komando Mayor Michiels dengan serdadu
melacak dari Manado dan Ternate di pegunungan di Gowong (11
November 1829), pengikut sang Pangeran menjadi lebih minim
lagi. Selama tiga bulan (11 November 1829– 9 Februari 1830 ),
ia hanya diiringi dua orang punakawannya, Roto (J oyosuroto)
dan Bantengwareng (sekitar 1810 – 1858). Waktu itu Diponegoro
memutuskan untuk mencari serta menemukan tanda-tanda
lebih lanjut dari Yang Maha Kuasa.48

Gam baran yang ditam pilkan oleh Diponegoro m engenai
dirinya dalam babad otobiograinya yang ia tulis adalah gam-
baran seorang pandita-ratu (raja arif dan bijaksana) J awa yang
tradisional. Itu artinya bahwa ia tetap ikut berperan dalam
permasalahan politik dan administrasi sehari-hari, tetapi juga
kerap kali mengasingkan diri untuk mencari tuntunan dan
petunjuk dari Tuhan. Gam baran tersebut juga m em punyai
banyak persam aan dengan gam baran orang J awa tentang
Erucokro. Sang Ratu Adil itu dilihat umum sebagai seorang raja
dan pem uka agam a yang akan m em bangkitkan rasa horm at
dalam hati rakyatnya (Wiselius 1872:187).

Konsep Diponegoro, tidak hanya sebagai seorang pertapa,
tetapi juga sebagai seorang guru juga muncul dalam babadnya.
Ini bisa dilihat jelas ketika ia m endidik adik laki-lakinya
yang bernam a Pangeran Ngabdurrahim (pra-18 25, Pangeran
Adisuryo, 180 0 -1829) mengenai ilmu tasawuf Islam. Adiknya itu
mengemukakan bagaimana ia selalu melihat Diponegoro dalam
tiga aspek, yaitu sebagai seorang ayah (sudarm a), seorang
pendidik (guru), serta seorang raja (ratu).49 Sub-tema lain yang
menarik juga dapat kita lihat dalam gambaran yang diberikan
oleh Diponegoro m engenai tem pat-tem pat bertapanya.


Click to View FlipBook Version