The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

By Abd. Rozak A. Sastra, MA.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-04-18 00:14:38

Studi Islam

By Abd. Rozak A. Sastra, MA.

Keywords: Abd. Rozak A. Sastra,Studi Islam,Pendidikan agama islam

berkaitan dengan kewajiban para subjek hukum untuk mempercayai Allah, Malaikat-
malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari pembalsan, Kada dan Kadar,
(2)hukum-hukum kewajiban ahklak, yaitu hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan
kewajiban seseorang sunjek hukum untuk ”menghiasi” dirinya dengan sifat-sifat keutamaan
menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela, (3)hukum-hukum amaliyah yakni hukum-
hukum yang bersagkutan dengan perkataan, perbuatan, perjanjian, dan hubungan kerja sama
antara sesama manusia. Macam hukum yang ketiga ini dibagi l lagi ke dalam dua jenis yaitu:
(a) hukum ibadah yakni hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan allah dalam
mendirikan salat, melaksanakan ibadah puasa, mengeluarkan zakat dan melakukan ibadah
haji dan
(b) hukum-hukum muamalah, yakni semua hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia, baik hubungan antarprbadi maupun hubungan antar perorangan dengan
masyarakat.

Dilihat dari isi hukum muamalah dalam kategori ini, hukum-hukum muamalah
tidak hanya mengenai hukum perdata, menurut konsep dan hukum barat, tetapi termasuk
juga ke dalamnya apa yang disebut hukum pidana. Menurut pengertian hukum Alquran,
semua hukum dalam kategori hukum-hukum amaliah tersebut diatas selain hukum-hukum
yang berkenan dengan ibadah, adalah hukum muamalah. Hukum muamalah dalam
pengertian ini, menurut Abdul Wahab Khallaf, meliputi juga, selain hukum perdata, juga
hukum pidana, hukum tata negara, hukum internasional, hukum ekonomi, bahkan hukum
acara(Abdul Wahab Khallaf ,1980:44-46). Mengenai kelompok hukum muamalah tersebut
terakhir ini, yaitu hukum-hukum perdata (70ayat), pidana (30ayat), tata negara (10ayat),
internasional (25ayat), ekonomi keuangan (10ayat),dan hukum acara (13 ayat), ketentuan-
ketentuannya masih bersifat dasar dan umum.65
e. Bagian-Bagian Alquran

Alquran berdiri atas bagian-bagian yang disebut juz, yang kemudian dibagi lagi
kedalam ruku‟, tiap-tiap ruku terdiri atas beberapa ayat atau kalimat, baik yang panjang-
panjang maupun yang pendek-pendek. Dalam bentuk lain Alquran terdiri atas 30 juz

65 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2009), hlm. 84-87

44

(bagian), 114 surah (surat:bab), lebih dari 6000 ayat, 74.499 kata atau 325.345 huruf(atau
lebih tepat dikatakan 325.345 suku kata dilihat dari segi bahsa indonesia). Setiap surahnya
terdiri atas sejumlah ayat-ayat baik yang panjang maupun yang pendek. Surah yang
terpanjang adalah surah Al-Baqarah, sedangkan yang terpendek adalah Al-Kautsar.66

f. Isi Alquran
Alquran adalah sumber utama hukum dan ajaran Islam yang pada garis besarnya berisikan:
1. Ajaran tentang kepercayaan (akidah), yaitu ketauhidan (keesaan Allah), kebatilan

paham syirik, kemunafikan, kekafiran, dan sebagainya.
2. Sejarah tentang umat sebelum Nabi Muhammad SAW, sebagai cermin perbandingan

dan unuk menarik pelajaran, yakni bagaimana kesudahan umat yang durhaka dan
bagaimana keadaan umat yang yang bertakwa.
3. Informasi tentang hal-hal yang akan terjadi pada masa yag akan datang. Misalnya
tentang hari kiamat, hari kebangkitan, mahsyar, surga, dan neraka.
4. Ilmu pengetahuan, misalnya: tiap-tiap sesuatu mempunyai jodoh (pasangan)
diungkapan pada (QA. Adz-Dzariyat (51) ayat 49). Tentang kosmolog, Diungkapkan
pada (QS. An-Naml (27) ayat 60). Tentang astronomi, Diungkapkan pada (QS. Al-
Buruj (85) ayat 1). Tentang antropologi, Diungkapkan pada (QS. At-Thariq (86) ayat
57). Tentang psikologi, Diungkapkan pada (QS. As-Syams (91) ayat 7). Tentang
Botani, Diungkapkan pada (QS. An-Nahl (16) ayat 11). Tentang geografi,
Diungkapkan pada (QS. Al-Ghasyiyah (88) ayat 20). Tentang oceanografi,
Diugkapkan pada (QS. An-(16) ayat 14), Tentang meteorologi (cuaca), Diugkapkan
pada (QS. Ar-rum (30) ayat 46, QS. Al-Baqarah (2) ayat 164), tentang kimia
dikemukakan pada (QS.Ar-Ra‟ad (13) ayat 8 dan 17,QS. Al-Mu‟minun (23) ayat 18)
5. Hukum atau peraturan-peraturan yang menyangkut ibadah dan muamalah, yakni
prosedur yang mengatur antaran hubungan antara manusia dengan Khalik, anatar
manusia dengan manusia dan antara manusia dengan lingkunganya. 67

66 Mustofa, Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 11-12
67 Mustofa, Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 12-13

45

C. FUNGSI AL-QURAN DALAM SOSIAL MASYARAKAT
Al-Quran secara etimologis (bahasa) adalah bacaan, berbicara apa yang tertulis

padanya atau melihat dan menelaah.68 Al-Quran secara istilah adalah wahyu yang allah
berikan kepada berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat jibril agar dapat disampaikan kepada seluruh umat manusia sebaga pedoman hidup,
sebagai kabar gembira dan peringatan akan kehidupan di dunia dan di akhirat dan
membacanya merupakan ibadah. Al Qur‟an merupakan sumber hukum Islam yang utama.
Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di
dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala
perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya. Al Qur‟an memuat berbagai pedoman
dasar bagi kehidupan umat manusia, salah satunya adalah tuntunan yang berkalitan dengan
amal perbuatan manusia dalam bermasyarakat. Al-Qur'an juga disebut Al-Furqan69
(pembeda), Adz-Dizkra70 (pengingat), Asy-Syifa' (obat), Al-Huda (petunjuk) dan Al-Bayan
(penjelas).
Definisi al Quran menurut beberapa tokoh71 :
1. Syaltut, al Qur‟an adalah “lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

SAW, dinukilkan kepada kita secara mutawatir”.
2. Al Syaukani, al Qur‟an adalah “ kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad SAW, tertulis dalam mushaf, dinukilkan secara mutawatir ”.
3. Abu Zahroh, al Qur‟an adalah “ kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW

“.
4. Al Sarkhisi, al Qur‟an adalah “ kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,

ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan huruf yang tujuh yang mashur dan dinukilkan
secara mutawatir “.
5. Al Midi, al Qur‟an adalah “al kitab adalah al Quran yang diturunkan”.

68 Sejarah dan Pengantar ILMU AL-QURAN dan TAFSIR, PT.PUSTAKA RIZKI PUTRA, hal.3
69 Baca: ayat 1, Qs: al-furqon
70 Baca :ayat 25, Qs:Al-qomar
71 Sejarah dan Pengantar ILMU AL-QURAN dan TAFSIR, PT.PUSTAKA RIZKI PUTRA, hal.5

46

Di dalam Al-Quran terdapat hukum yang berkaitan dengan Amaliyah
(perbuatan/tindakan) atau amal kemasyarakatan (muamalah), yang mengatur hubungan
manusia dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar, meliputi72:
1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu

perkawinan dan warisan
2. Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual beli

(perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya agar hak
setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan
keputusan, persaksian dan sumpah
4. Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan
hukum atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
5. Hukum yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan
Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan
sedekah.

D. DALIL AL-QURAN FUNGSI SOSIAL MASYARAKAT
a. Berlaku adil pada sesama manusia

ْ‫إِفْاللوَْيَأُمُرْبِالَعدِؿَْواِْلح َسا ِفَْوإِيتَاِءِْذيْالُقرََبَْويػَنػَهىْ َع ِنْالَفح َشاِءَْوال ُمن َكِرَْوالبَْػغ ِيْيَعِظُ ُْكمْلََعل ُكم‬
‫تَ َذكُرو َْف‬

Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebijakan, memberi kepada
kamu kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (16: 90)

72 Sejarah dan Pengantar ILMU AL-QURAN dan TAFSIR,PT.PUSTAKA RIZKI PUTRA, hal.154

47

‫‪b. Menepati janji‬‬

‫يبػػَََ(وأيػَعنَ‪9‬لَوفُُُمك‪1‬واْ)مَْمْبِْاأََعْفتهَػْفتَِدَعُْكلاُلوولََِوففْْْأإُِ(مَذاةٌْ‪َِ1ْْ9‬عىا)ََيْىَْوأدََُلرتََْْبتََْوَُِمكلوْننُتَػْوأانػُمُْقٍةَكْاُضإلَِِّوناَاتْْاْيػَْنػَبػلََقلُْيَواَُكضَفُمْْتبػاَلْعلََغوُدْزَْبَِتلَػَِواوْْكَِِيوملَيُِدبَنػَِيّىػْانَبػَْعنَوِْدقَلَْدُقكُػْموةٍَْجيػََْعأَلونتَُـَْكُماالْثًاِاقليَلْاتَوَػَمتِْةَِعْخلََميُذاْوُكُكَفمنتُْْأََمكيَِْفافِينَيًَِوُكلْْمَإِتْْتَفَدلُِْفاَخلولًََوفَلْْْ‬

‫‪Artinya:‬‬
‫‪Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu‬‬
‫‪membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah‬‬
‫‪menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah‬‬
‫)‪mengetahui apa yang kamu perbuat. (16: 91‬‬
‫‪c. Manfaat diciptakan bersuku-suku‬‬

‫أيََتاػَْقأَايػُكَهامْْالنۚاْإُِسفْإِْانلالَْوَْخلََعلقِينَاٌمُْكْمَخْبِِميٌرنْ﴿ذَ‪َ١‬كٍر‪﴾َْ9‬وأُنػثَ ٰىَْو َجَعلنَا ُكمْ ُشعُوبًاَْوقَػبَائِ َلْلِتَػَعاَرفُواْْۚإِفْأَكَرَم ُكمْ ِعن َدْاللِوْ‬

‫‪Artinya:‬‬
‫‪“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang‬‬
‫‪perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling‬‬
‫‪kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah‬‬
‫‪orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetetahui lagi Maha‬‬
‫)‪Mengenal.” (Al-Hujurat: 13‬‬

‫‪d. Menjalin hubungan baik‬‬

‫إيتََِػػَََُوىَّلنغَواالْتَُميَْْْاتاَػٌللبلبسُْمِْظمَبَرػَخاُؤزِلِِعحمرواينُُمْْقوٌَأػُمضوَنػَفَوفُكُف﴿ـٌْإِْم﴿َ‪9‬سِمْخب‪9‬ػَ‪ُ9‬كَنوعةٌْ‪9‬م﴾قَْػًْضفََ﴾وْاوأٍََْـْليَْاصْتَلعَِْػۚأنََيْػاَُسحأَبػََهُٰوُااِزىيْْوْاابأػََلْببِفِذاَْييْْأَيَْلََأنلََحُكَْقَُآخداونََمُُكوينُِوابموْاُكْْْأَاَمخيۚفػْجًْْرتاَبِيَنِئْۚأبُِْمونُاػَكَواسُْتهػَْلَكاُقثْمِِيَْلواًَرلَاوَْْساَمللِمُلمْْأَنَْوَِناِْْلخَالسَُفيلاَعِولءٌظُسَُِّْْمكوِنميُْتمًإؽِناْْْتْفبػُػَنِفَْرعبُػَََسََكدحعاُِرٍْوءاىَْْتُفَِْلضَعُمْيَااولَسه﴿ُِفْٰظى‪ِّْْ١‬نأَۚ‪ْۚ9‬إِْْفَْْ﴾وْاَثٌويتَْػَْميَُقُاكنْۚواْأنَْْيَػَْاَولَلَهْلَلخايػَويَْػْتُاًَْرالتَِْذبِۚمسيْنْػفإََِنُُسأهُْفوواٰآلنَْْئِاَْملَنُولََوۚوَكالْْْْْ‬

‫‪48‬‬

Artinya:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan
kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan
pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan
itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),
karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.”

e. Saling menghormati

﴾٦٨﴿‫َوإِذَاْ ُحِيّيتُمْبِتَ ِحيٍةْفَ َحيواْبِأَح َس َنِْمنػَهاْأَوُْردوَىاْْۚإِفْاللوََْكا َفْ َعلَ ٰىُْك ِّلْ َشيٍءْ َح ِسيبًا‬

Artinya:
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu
(dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.”

D. HUBUNGAN AL-QURAN DENGAN MUAMALAH
Muamalah merupakan hubungan antara manusia dengan sesama atau lebih sering

dikenal dengan Hablumminannas73 .
Didunia ini manusia tidak dapat mencukupi hidupnya sendiri, karena Allah SWT

telah menciptakan seluruh umatnya dengan kelebihan masing-masing, selain itu hakikatnya
manusia merupakan makhluk social, maksud makhluk social adalah membutuhkan manusia
lainnya dalam menyeimbangi baik sandang, pangan, papan. Manusia tidak dapat
memanfaatkan seluruh tubuhnya kecuali ada interksi dengan manusia lainnya. Interaksi
manusia akan menghasilkan bentuk masyarakat yang luas.

73 Hablumminannas adalah sinonim dari muamalah

49

Alquran, sebagai kitab suci umat Islam, memberikan petunjuk mengenai ciri-ciri dan
kualitas suatu masyarakat yang baik, walaupun semua itu memerlukan upaya penafsiran dan
pengembangan pemikiran. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang
perorangan atau kelompok–kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara untuk
mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dsb. Oleh karena itu interaksi
sosial merupakan dasar dari proses sosial.

Di samping itu Alquran juga memerintahkan kepada umat manusia untuk
memikirkan pembentukan suatu masyarakat dengan kualitas-kualitas tertentu. Dengan
begitu, menjadi sangat mungkin bagi umat Islam untuk membuat suatu gambaran
masyarakat ideal berdasarkan petunjuk Alquran.

Di dalam al-quran dijelaskan bahwa hubungan manusi dengan manusia lainnya
bukan umat muslim dengan umat muslim lainnya, karena didalamnya juga telah dijelaskan
bahwa kehidupan bermasyarakat itu dibutuhkan oleh setiap manusa bukan hanya umat
muslim, apalagi hidup di Indonesia memang mayoritas islam tapi sesuai dengan “BHINEKA
TUNGGAL IKA” yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu

E. KESIMPULAN
Al-Quran merupakan salah satu sumber hukum islam yang disepakati, maka dari itu

ajaran yang ada didalamnya merupakan keharusan diamalkan agar kita dapat
melaksanakannya sesuai dengan ketentuan yang telah Allah tetapkan di dalam al-quran dan
mendatangkan syafaatnya kepada yang melaksanakannya.

Manusia memang diciptkan untuk saling membutuhkan agar seluruh anggota tubuh
dapat menjalankan fungsinya, hakikatnya manusia tanpa manusia lainnya bukanlah apa-apa
karena allah menciptakan bumi beserta isinya dengan manfaatnya masing-masing, maka dari
itu manusia dapat menjadi manusia seutuhnya ketika dia dapat memanfaatkan segala sesuatu
pada tempatnya. Ada salah satu hadist nabi yang shahih menjelaskan bahwa sebaik-baiknya
manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

50

DAFTAR PUSTAKA
- Ali, Muhammad Daud. 2009. Hukum Islam. Jakarta: Grafindo Persada
- Ali, Zainuddin.2013. Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
- Hasbi M. ash-Shiddeqi. 1993. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: PT. Al-

Maarif
- http://idaayri.blogspot.co.id/2013/11/keutamaan-al-quran-sebagai-sumber-utama.html
- Mustofa. 2013. Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
- Nasution. Harun. 2012. islam ditinjau dari berbagai aspeknya jilid II. Jakarta: UI Press
- Ujaj. Muhammad al Khotib. 1992. Ushul al Hadits Ulumuhu wa Mushtholahuhu. Libanon:

Bairut
- www.sanrawijayabsa.blogspot.co.id,
- Zainudin, Ali. P. 2013. HUKUM ISLAM Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia.

Jakarta: Sinar Grafika

51

BAB 4
IJTIHAD DAN TA‟RIF (PENGERTIAN) HADITS, SUNNAH,

KHABAR, DAN ATSAR

A. IJTIHAD
a. Pengertian Ijtihad

Secara etimologis kata “ijtihad” merupakan bentuk masdar dari lafadz “ijtihada-
yajtahidu-ijtihadan”, yang diambil dari akar kata “jahada-yajhadu-jahdan”, yang berarti:
mengarahkan segala kemampuan atau menanggung beban. Oleh karena itu, “ijtihad”
menurut bahasa adalah pengarahan seluruh daya upaya yang dimiliki secara optimal dan
maksimal.74

Ijtihad menurut ulama‟ ushul ialah usaha seorang yang ahli fiqih yang menggunakan
seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-
dalil yang terperinci.

Imam Syafii menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu
terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari
sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan
tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam
Syafii hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-
sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek kriteria
seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak.

Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut sehingga
definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga
Imam Syaukani memberi komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu
keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut
ijtihad menurut istilah.

74 Dr.KH.Ahmad mukri Aji, MA, Rasionalis Ijtihad Ibn Rusyd, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), Hal. 1-20.

52

Sementara itu, sebagian ulama‟ yang lain memberikan definisi ijtihad merupakan
usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan
hukum-hukum syara‟ maupun untuk mengamalkan dan menetapkannya.75
Jenis-jenis Ijtihad sebagai berikut:
1. Ijma' (kesepakatan): Pengertian ijma adalah kesepakatan para ulama untuk menetapkan

hukum agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadist dalam perkara yang terjadi. Hasil dari
Ijma berupa Fatwa artinya keputuan yang diambil secara bersama para ulama dan ahli
agama yang berwenang untuk diikuti oleh seluruh umat.
2. Qiyas: Pengertian qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan
hukum dalam suatu perkara baru yang belum pernah masa sebelumnya namun memiliki
kesamaan seperti sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dalam perkara sebelumnya
sehingga dihukumi sama. Ijma dan Qiyas adalah sifat darurat dimana ada yang belum
ditetapkan sebelumnya.
3. Maslahah Mursalah: Pengertian maslahah mursalah adalah cara menetapkan hukum
yang berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.
4. Sududz Dzariah: Pengertian sududz dzariah adalah memutuskan suatu yang mubah
makruh atau haram demi kepentingan umat.
5. Istishab: Pengertian istishab adalah tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan
sampai ada alasan yang mengubahnya.
6. Urf: Pengertian urf adalah tindakan dalam menentukan masih bolehkah adat-istiadat
dan kebebasan masyarakat setempat dapat berjalan selama tidak bertentangan dengan
aturan prinsipal Al-Qur'an dan Hadist.
7. Istihsan: Pengertian istihsan adalah tindakan dengan meninggalkan satu hukum kepada
hukum lainnya disebabkan adanya suatu dalil syara‟ yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.

75 Muhammad Abu Zahrah, Ushl Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012), Bab1-3.

53

Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan

sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode
bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan kaidah itu dapat
diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari tingkatan ini contohnya
seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal
dengan sebutan Mazhab Empat.
2. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan
mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid
muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai
sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri.
Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-
kaidah tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari
madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama
menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid mazhab/fatwa, yaitu
ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada
prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya,
demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah dihasilkan imamnya. Ijtihad
mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya,
men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil
dari imamnya, mana yang shahih dan mana yang lemah. Contohnya seperti Imam
Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi'i.
4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari
beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun
dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling
kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan
tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan
Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat

54

ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu
mereka menjadikannya satu tingkatan.

b. Kedudukan Ijtihad
Imam Syafii dalam bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-

Quran menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu peristiwapun pada seorang pemeluk agama
Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurutnya,
hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan
itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya Allah SWT
mewajibkan kepada hambaNya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari
sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah SWT menguji ketaatan seseorang
untukmelakukan ijtihad,sama halnya seperti Allah SWT menguji ketaatan hambaNya dalam
hal-hal yang diwajibkan lainnya. Pernyataan Imam Syafii diatas, menggambarkan betapa
pentingnya kedudukan ijtihad disamping Al-Quran dan sunnah Rasulullah.

Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan pada Al-Quran dan sunnah
adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk
kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat
atau hadits yang barang kali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan
menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Quran dan sunnah Rasulullah
saw.

Ijtihad sangat diperlukan sepanjang masa karena manusia terus berkembang dan
permasalahan pun semakin kompleks, sehingga perlu adanya tatanan hukum yang sesuai
dengan perkembangan zaman tetapi tetap mengacu pada Al-Quran dan As-Sunnah. Tentang
kedudukan hasil ijtihad dalam masalah fiqih terhadap dua golongan, yaitu:
1. Golongan pertama berpendapat bahwa setiap mujtahid adalah benar, dengan demikian

alasan karena masalah tersebut Allah SWT. Tidak menentukan hukum tertentu sebelum
diijtihadkan. Oleh karena itu, wajib mengikuti hasil ijtihad para mujtahid.
2. Golongan kedua berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu yaitu hasil ijtihad yang
cocok jangkauannya dengan hukum Allah SWT. Sedangkan yang tidak cocok dengan
jangkauan hukum Allah telah meletakkan hukum tertantu pada salah satu masalah

55

sebelum diijtihadkan, hanya saja terkadang mujtahid dapat menjangkaunya dan terkadang
tidak.

Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadits yang tidak sampai ke
tingkat hadits mutawir seperti hadits yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung
dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip
hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan sunnah seperti qiyas, istihsan, dan masalah
mursalah.

Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum dalam Al-
Quran dan As-Sunnah adalah penting. Karena dengan itu ayat-ayat dan hadits-hadits hukum
yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak
terbatas jumlahnya.76

c. Fungsi Ijtihad
Meski Al-Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti

semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al-Quran maupun Al-Hadist.
Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al-Quran dengan kehidupan modern.
Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan
turunan dalam melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran atau Al-Hadist.
Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada
sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran atau Al-Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut
merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran dan Al-
Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan ijtihad. Tapi yang berhak
membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al-Quran dan Al-Hadist.

76 Prof.Dr.H.Satria Effendi, M.Zein MA, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005). Cet.1. Hal.
150-280

56

d. Kriteria Mujtahid
Kriteria menjadi ijtihad (Mujtahid)
1. Mengetahui ayat dan sunnah yang berhubungan dengan hukum
2. Mengetahui masalah-masalah yang telah di ijma‟kan oleh para ahlinya
3. Mengetahui Nasikh dan Mansukh
4. Mengetahui bahasa arab dan ilmu-ilmunya dengan sempurna
5. Mengetahui ushul fiqh
6. Mengetahui dengan jelas rahasia-rahasia tasyrie‟ (Asrarusyayari‟ah)
7. Menghetahui kaidah-kaidah ushul fiqh
8. Mengetahui seluk beluk qiyas.

e. Dasar-dasar Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar ijtihad ialah Al-Qur‟an dan Al-Sunnah. Diantara ayat

Al-qur‟an yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya
kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-
orang yang berkhianat.(Q.S. an-Nisa [4]:105).

Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya hadits „Amr bin al-„Ash yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad bersabda :

ْ‫اذاْحكماَْلاْكمفاْجتهدْفاْصاْبفلهاْجراْنوْاذاْحكمفْاجتهدثماْخطأْفلوْاجروا‬

Artinya: apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian benar maka
ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah
maka ia mendapatkan satu pahala.( Muslim,II, t.th:62)

f. Dasar Hukum Ijtihad
Atas dasar wahyu yang sudah diturunkan itulah Nabi menyelesaikan persoalan-

persoalan yang timbul dalam masyarakat Islam pada waktu itu. Tetapi ada kalanya timbul
persoalan yang cara penyelesaiannya belum disebut oleh wahyu yang sudah diterima Nabi.

57

Dalam hal serupa ini Nabi memakai ijtihad atau pendapat yang dihasilkan pemikiran
mendalam. Kalau ijtihad yang dijalankan Nabi benar, ketentuan atau hukum yang beliau
keluarkan itu tidak lagi mendapat tantangan dengan turunnya ayat Al-Qur‟an untuk
memperbaikinya. Tetapi kalau ijtihad itu tidak benar, ayat turun untuk menjelaskan hukum
yang sebenarnya. Oleh karena itu, ijtihad Nabi dipandang mendapan lindungan dari Allah
dan tidak bisa salah. Ijtihad yang dibuat Nabi diturunkan kepada generasi-generasi
selanjutnya melalui sunnah atau tradisi Nabi. Sunnah itu terkandung dalam hadis.

Ulama berpendapat bahwa jika seorang muslim dihadapkan pada suatu peristiwa,
atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara‟ , maka hukum
ijtihad bagi orang tersebut bisa wajib „ain, wajib kifayah,sunah, atau haram, tergantung pula
kapasitas orang tersebut.

Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang begitu saja
tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri yang mengalami peristiwa yang tidak jelas
hukumnya dalam nash, maka hukum ijtihadnya menjadi wajib „ain.

Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtihad yang diminta fatwa
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa itu hilang dan
selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihadnya menjadi wajib kifayah.

Ketiga, hukum ijtihad menjadi sunah jika dilakukan atas persoalan-persoalan yang
tidak ada atau belum terjadi.

Keempat, hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang
sudah jelas hukumnya secara qathi‟ , baik dalam Al-Quran maupun al-Sunah atau ijtihad
yang hukumnya telah ditetapkan secara kesepakatan ijma‟. (Wahbah Al Juhaili 1978:498-9
dan Muhaimin dkk, 1994:189)

g. Implementasi Ijtihad
1) Ijtihad Sahabat-sahabat Rasulullah

Mengenai ijtihad sahabat pada waktu Rasulullah masih hidup, menurut
pengklasifikasian Hasan Ahmah Mar‟i dalam bukunya yang khusus membahas Al-Ijtihad fi
Syari‟ah al-Islamiyyah terdapat tidak kurang dari enam pendapat yang berkembang

58

dikalangan „Ulama. Keenam pendapat itu ditinjau dari sudut kemungkinannya secara „aqli
(teoritis).
1. Pendapat yang didukung oleh sebagian besar „Ulama dari berbagai mazhab, mengatakan

bahwa Ijtihad sahabat dimungkinkan (al-jawaz) secara mutlak, baik di hadapan
Rasulullah maupun di belakangnya.
2. Bertolak belakang dengan pendapat pertama. Pendapat ini didukung oleh sekelompok
kecil „Ulama yang dikemukakan oleh Hasan Ahmad Mar‟i, mengatakan bahwa Ijtihad
sahabat terhalang (al-man‟a) sama sekali pada waktu hidup Rasulullah. Alasannya ialah
bahwa para sahabat dianggap mampu untuk berhubungan langsung dengan Rasulullah
untuk mendapatkan keyakinan dengan adanya ketegasan (nash) dari Rasulullah. Dan
selama ada yang yakin (mutlak atau absolut) tidak boleh berpindah kepada yang zhan
(relatif).
3. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Amidi dan dianggap sebagai salah satu pendapat
yang berkembang tentang kebolehan ijtihad sahabat, yang mengatakan bahwa Sahabat
boleh berijtihad manakala mereka berjauhan dengan Rasulullah, dengan syarat ada
penunjukan atas diri mereka sebagai qadi atau wali (penguasa). Sahabat-sahabat yang
ternyata tidak mendapat mandate untuk jabatan seperti itu tidak boleh berijtihad.
4. Ibnu Subki menyatakan pendapat suatu kaum yang memandang bahwa kebolehan
ijtihad bagi sahabat yang berjauhan dengan Rasulullah berlaku secara mutlak, artinya
tanpa dibatasi oleh adanya penunjukan dari Rasulullah. Orang-orang yang berjauhan
dengan Rasulullah dianggap sebagai orang yang tidak bisa sampai ke tingkat yakin,
karena sulit untuk berjumpa dengan Rasulullah.
5. Pendapat yang dipilih oleh Abu al-Husein al-Bashri dan Abu al-Khathib dari
Hanabilah ialah kebolehan ijtihad bagi sahabat baik di hadapan atau di belakang
Rasulullah dalam kondisi-kondisi tertentu. Mereka boleh berijtihad setelah ada
permintaan atau izin dari Rasulullah atau dalam kasus yang memerlukan keputusan
hukum sesegera mungkin, sementara waktu yang tersedia relatif singkat untuk
berhubungan dengan Rasulullah.
6. Pendapat yang terakhir ini juga menekankan harus ada keizinan Rasulullah. Bagi
mereka yang telah mendapat izin boleh melakukan ijtihad di mana dan kapan saja.

59

Karena ijtihad tanpa ada keizinan khusus dari Rasulullah dapat diartikan sebagai
pendapat liar yang tidak mempunyai alas an, yang pada gilirannya akan melahirkan
berbagai fatwa atas nama Nabi. Tindakan yang terakhir ini jelas tidak dapat ditolerir
sama sekali.

Dari keenam pendapat yang berkembang dikalangan „Ulama itu dapat
disederhanakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memandang bahwa ijtihad
sahabat-sahabat tidak mungkin ada pada waktu hidup Rasulullah dan pendapat semacam ini
didukung oleh sekelompok kecil „Ulama. Sedangkan kelompok kedua memandang adanya
peluang bagi sahabat-sahabat untuk berijtihad pada masa Rasulullah kendatipun dengan
berbagai persyaratan dan pembatasan yang mereka buat.

2) Perlunya Ijtihad di Zaman Sekarang
Apabila ijtihad itu dibutuhkan di setiap zaman, maka pada zaman kita sekarang

inilah yang lebih membutuhkan lagi ijtihad bila dibandingkan dengan zaman-zaman
sebelumnya karena adanya perubahan yang terjadi dalam kehidupan dan perkembangan
sosial yang amat pesat setelah adanya revolusi industri yang terjadi di dunia ini.oleh karena
itu, suatu kebutuhan mendesak pada masa sekarang ini untuk membuka kembali pintu
ijtihad. Pintu ijtihad ini telah dibukakan oleh Rasulullah SAW, maka tiada seorangpun yang
berhak menutupnya, dalam artian kita tidak hanya sekedar mendeklarasikan ijtihad tersebut.

Selayaknya ijtihad di zaman sekarang ini merupakan ijtihad jama‟i (ijtihad kolektif)
dalam bentuk lembaga ilmiah yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kemampuan
tinggi di bidang fiqih, dan hendaknya lembaga ilmiah tersebut mampu menetapkan hukum
dengan berani dan bebas serta lepas dari pengaruh dan tekanan sosial dan politis. Walaupun
demikian, kita tetap memerluka ijtihad fardi (ijtihad individu) sebab ijtihad individu inilah
yang menyinari jalan kea rah ijtihad kolektif dengan berbagai topangan yang diberikan
dalam bentuk studi yang mendalam atau hasil penelitian yang murni bersih. Bahkan proses
ijtihad itu merupakan aktivitas individu terlebih dahulu.

Ijtihad hendaknya mengarah kepada pembahasan, masalah-masalah baru dan
problema-problema modern serta berusaha mencari penyelesaiannya berdasarkan nash-nash
hukum yang pokok dan yang masih bersifat umum. Di samping itu perlu juga meninjau

60

kembali pendapat-pendapat lama guna meluruskannya atau mengubahnya dan
membubuhinya dengan suatu niali baru sesuai dengan kondisi dan situasi zaman sekarang
serta kebutuhan-kebutuhannya. Tinjauan kembali ini tidak terbatas pada hukum-hukum
yang ditetapkan dengan pendapat yakni hukum-hukum hasil ijtihad dalam hal-hal yang
tidak ada nash hukumnya tapi yang berlandaskan atas tradisi atau maslahat temporal yang
sekarang telah tiada. Tetapi juga bisa mencakup sebagian hukum yang ditetapkan oleh nash-
nash yang bersifat dzanni ketetapan hukumnya seperti hadits ahad atau hukum-hukum yang
ditetapkan oleh nash-nash yang bersifat dzanni indikasi hukumnya. Sebab nash-nash al-
Qur‟an dan Hadits mayoritas bersifat dzanni.

3) Ijtihad di Zaman Modern
Kebutuhan kita terhadap ijtihad merupakan kebutuhan abadi selama masih ada

kejadian baru yang muncul, kondisi masyarakat yang selalu berubah dan berkembang dan
selama syariat Islam masih cocok di setiap masa dan tempat serta masih harus menetapkan
hukum setiap perkara manusia. Terutama zaman sekarang ini, lebih membutuhkan lagi
ijtihad dibandingkan zaman sebelumnya, karena terjadi perubahan luar biasa dalam
kehidupan sosial setelah terjadinya revolusi industri, perkembangan teknologi dan
kontinuitas materialis internasional yang menjadikan negara besar seakan-akan merupakan
negara kecil saja.
Dua bidang baru untuk ijtihad :

1. Bidang ekonomi
Abad kita sekarang ini sungguh telah penuh dengan aneka problematika bisnis dan

perseroan-perseroan baru dalam bidang ekonomi dan keuangan yang belum pernah terjadi
pada zaman orang-orang terdahulu, bahkan belum pernah terjadi pula pada zaman orang-
orang yang hidup paling dekat dengan zaman kita. Sebagai contoh; perserikatan modern
dengan berbagai bentuknya seperti, perserikatan saham, perseroan terbatas dan sebagainya
juga perserikatan modern dengan berbagai lapangannya, seperti asuransi yang beraneka
ragam bentuknya, bank dengan berbagai bentuknya, bank dengan berbagai usahanya yang
kadang-kadang menjadi sebab halalatau haramnya berhubungan dengan bank.

61

Mayoritas dari muamalah di atas adalah bentuk-bentuk masalah baru. Apakah
hukum dari muamalah dan perseroaperseroan di atas? Suatu penyelesaian yang terbaik,
hendaknya macam-macam muamalat dan perseroan baru tersebut dibahas dengan serius dan
dipelajari dengan teliti dan hendaknya para ahli fiqih mencurahkan semua kemampuannya
untuk mengambil konklusi hukum yang sesuai untuk masalah-masalah tersebut menurut
dalil-dalil syara‟, apakah hukumnya boleh atau haram.

2. Bidang kedokteran
Sudah pasti, ilmu-ilmu modern dengan penemuan-penemuan heban dan teknologi

modernnya serta kemampuan yang dimiliki manusia yang hamper serupa dengan hal-hal luar
biasa yang ada di zaman dulu, terutama dalam bidang kedokteran, akan menimbulkan
banyak problematika yang memerlukan penyelesaian hukum syara‟ dan menimbulkan aneka
pertanyaan yang meminta jawaban dari fiqih islam serta menuntut seorang mujtahid
kontemporer untuk mencurahkan semua kemampuannya guna mengambil konklusi hukum
yang cocok untuk problematika tersebut. Transplantasi anggota badan, salah satu contoh
dari beberapa objek yang ditimbulkan oleh ilmu kedokteran modern dan yang memerlukan
adanya ijtihad bari dari ahli-ahli fiqih Islam.

B. HADITS
a. Menurut bahasa
Hadits menurut bahasa adalah:
a. Jadid, lawan qadim: yang baru, hidats, hudatsa‟, dan huduts.
b. Qarib: yang dekat, yang belum terjadi seperti dalam perkataan hadistul ahdi bil islam

(orang yang baru memeluk agama islam).
c. Khabar: warta atau berita, yakni ma yatahaddatsu bihi wa yunqalu (sesuatu yang

dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang) sama maknanya
dengan hiditsta dari makna inilah diambil perkataan hadits rasulullah.

Kata hadits yang bermakna khabar di isytiqaq kan1 dari kata tahdits yang bermakna
riwayat atau ikhbar atau mengabarkan. Apabila dikatakan haddatsana bi haditsin, maka

62

maknya akhbarana bihi haditsun (dia mengabarkan sesuatu kabar kepada kami).77
Ringkasanya, kata hadits bukan sifat musyabbahah (yang disamakan), walaupun sewazan
karim. Jamaknya, hudtsan atau hidtsan, juga terhadap hadits.

b. Menurut istilah
Hadits menurut istilah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW

baik berupa perkataan, perbuataan, ketetepannya, sifat jasmani atau sifat akhlak, perjalanan
setelah diangkat menjadi nabi, dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits disini
semakna dengann sunnah. Hadits memiliki perluasaan makna sehingga disinonimkan dengan
sunnah maka pada saat ini bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuataan, ketetapan,
maupun persetujuan dari Nabi Muhammad yang dijadikan ketetapan hukum.78

Lalu hadits mempunyai 3 struktur yang terdiri dari sanad, matan, dan rawi.
1) Sanad, menurut bahasa adalah sesuatu yang dijadikan sandaran secara istilah mata rantai

persambungan riwayat yang bersambung bagi matan hadits
2) Matan, secara bahasa matan adalah sesuatu yang menjulang tinggi diatas tanah secara

istilah matan adalah suatu kalimat tempat berakhirnya sanad
3) Rawi, orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadits adapun nama nama yang

meriwayatkan hadits antara lain; Abdullah bin Yusuf, Malik, Ibnu Syihab, Muhammad
bin Jubair bin Muth‟im dan Bukhari.

C. KHABAR
Menurut Bahasa dan Istilah

Berita yang disampaikan dari seseorang untuk seseorang. Orang yang banyak
menyampaikan kabar dinamakan khabir, menurut istilah khabar meliputi warta dari Nabi
Muhammad SAW maupun dari sahabat, ataupu dari tabi‟in. ada juga yang mengatakan,

77 Yakni isim (kata benda) bagi al-hadits, tahdis, memberitahukan, maka yang diberikan itu
dinamakan “Hadits”.
78 Diasal-katakan-ed. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Prof. Dr., Sejarah dan pengantar
ilmu hadits, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2012, hlm. 2-3.

63

khabar dan hadits di-ithlaq-kan kepada yang sampai dari nabi Muhammad SAW saja yang
diterima dari sahabat dinamai atsar

D. ATSAR
Menurut Bahasa dan Istilah

Atsar menurut bahasa adalah bekasan sesuatu atau sisaan sesuatu. Sesuatu doa
umpamanya yang dinukilkan dari Nabi SAW dinamai doa ma‟tsur. Jamaknya: atsar dan
utsur adapula menurut istilah jumhur ulama atsar sama artinya dengan khabar dan hadits.
Ada yang mengatakan bahwa atsar lebih umum dari pada khabar.

E. KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS
a. Kedudukan

Hadits sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Quran, dan umat islam wajib
melaksanakan isinya. Banyak ayat yang mewajibkanumat islam untuk mengikuti rasulullah
dengan cara melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya
Allah berfirman dalam surat Al Imron ayat 132:

‫وأطيعواْاللهْْوالرسْوؿْلملكمْترُحوف‬

Artinya: “Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” Bahkan Allah
mengancam orang-orang yang menyalahi rasul seperti dalam firman-Nya (An – Nuur:63)

ْ‫لَتملوْدعاءْالرسوؿْبىنكمْكدعاءْبمضكمَّْنضْفدْيلمْاللهْالذينْيتسللوفْنكمْلواذاْفاُيذدْالذين‬
ْ ‫يجاْلفوفْعنْامدهْافْتصيبهمْفتنوْاوْيصيبهمْاذابْاليم‬

Artinya:”Hendaklah berhati-hati mereka yang menyalahi rasul bahwa mereka akan
ditimpa fitnah atau cobaan yang berat atau akan ditimpa adzab yang pedih”.

64

b. Fungsi
Adapun sumber hadits sebagai sumber hukum islam ada 3 yaitu:

1) Penguat (muakkadah)
Yaitu menguatkan bagi sesuatu yang sudah tertera dalam Al-Quran. Al-Quran

sebagai penetap sedangkan hadits sebagai penguat. Hadits yang menerangkan wajib puasa,
sholat, zakat, haji dan hadits yang melarang untuk mempersekutukan Allah.

2) Penafsiran (mubayyinah)
Kedudukan hadits dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran ini dibagi 3:
1) Menjelaskan ya mujmal dari Al-Quran
2) Mengkhususkan yang umum dari Al-Quran
3) Memberi batasan (qayyid) bagi ayat Al-Quran yang mutlak.
4) Mendatangkan hukum-hukum yang tercantum dalam Al-Quran

Hal ini tidak menunjukan Al-Quran itu teradapat kekurangan karena pada
hakikatnya hadits juga digolongkan dalam firman Allah. Diantara hukum-hukmu yang tidak
tercantum dalam Al-Quran dan sudah didatangkan oleh hadits.

F. SEJARAH DAN KODIFIKASI HADITS
a. Sejarah dan kodifikasi hadits

Pada masa Rasulullah, periwayatan hadits umumnya hanya dilakukan melalui
hafalan dari satu sahabat ke sahabat lain, bukan melalui tulisan, karena khawatir akan
tercampur dengan ayat-ayat al-Qur‟an. Meskipun al-Qur‟an sendiri pada awalnya juga sama,
bukan untuk dibukukan. Tetapi secara tegas, Rasulullah memberikan izin kepada sahabt
supaya mencatat Al Quran dengan alat tulis. Sehingga pengumpulan dan penulisan ayat-ayat
al-Qur‟an lebih mudah di bandingkan dengan kondisi hadits

b. Masa Sahabat
Sebetulnya, kodifikasi hadits telah dilakukan sejak jaman para sahabat. Namun,

hanya beberapa orang saja diantara mereka yang menuliskan dan menyampaikan hadits dari
apa yang mereka tulis. Disebutkan dalam shahih al-Bukhari, di Kitab al-ilmu, bahwa
Abdullah bin „Amr biasa menulis hadis. Abu Hurairah berkata, “Tidak ada seorang pun dari

65

sahabat Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam yang lebih banyak hadisnya dari aku kecuali
Abdullah bin „Amr, karena ia biasa menulis sementara aku tidak.”

c. Hadits Masa Abad kedua
Pada abad kedua hijrah terdapat dua generasi, yaitu generasi shighar al-tabi‟in dan

generasi atba‟u al-tabi‟in. Generasi pertama, mereka yang hidup sampai setelah tahun 140
Hijriah.

Sedangkan generasi kedua, mereka yang hidup setelah periode sahabat dan tabi‟in,
dalam tingkatan periwayatan hadits dan penyebaran agama Islam kepada umat, generasi ini
mempunyai peranan sangat besar dalam menghadapi ahl al-bida‟ wa al-ahwa‟, dan berusaha
sekuat tenaga dalam menghalau segala bentuk kebohongan hadits (al-wadl‟u fi al-hadits)
yang dipelopori oleh kelompok al-Zanadiyah. Umumnya, mereka sangat berhati-hati ketika
melakukan seleksi hadits untuk dibukukan dan sekaligus disusunnya dalam bentuk susunan
bab. Selain itu, keberhasilan mereka adalah menyusu ilm al-rijal, yang ditandai dengan
adanya buku-buku yang ditulis oleh al-Laits ibn Sa‟ad, Ibn al-Mubarak, Dlamrah ibn
Rabi‟ah dan lain-lain.

Selain itu, abad kedua juga terkenal dengan banyaknya ulama yang muncul yaitu:
a. Di Mekah ada Ibnu Juraij (w 150 H) dengan kitab “as-sunan”, “at-Thaharah”, “as-

shalah”, “at-tafsir” dan “al-Jaami”.
b. Di madinah Muhammad bin Ishaq bin Yasar (w 151 H) menyusun kitab “as-sunan”

dan “al-Maghazi”, atau Malik bin Anas (w 179 H) menyusun “al-Muwaththa”.
c. Di Bashrah Sa‟id bin „Arubah (w 157 H) menyusun “as-sunan” dan “at-tafsiir”,

Hammad bin Salamah (w 168 H) menyusun “as-sunan”.
d. Di Kufah Sufyan ast-Tsauri (w 161 H) menyusun “at-Tafsir”, “al-Jami al-Kabir”, al-

Jami as-Shaghir”, “al-Faraaidh”, “al-Itiqad”
e. Al-„Auza‟I di Syam, Husyaim di Washith, Ma‟mar di Yaman, Jarir bin Abdul hamid di

ar-Rai, Ibnul Mubarak di Khurasan.

66

d. Hadits Masa Abad ketiga Hijrah
Ada abad ketiga hijrah, kondisinya jauh berbeda dengan abad sebelumnya. Abad ini

sampai dikenal dengan the golden age bagi perkembangan ilmu pengetahuan Islam, terutama
yang berkaitan dengan Hadits.

Para ulama bangkit mengumpulkan hadits, mereka memisahkan hadits dari fatwa-
fatwa itu. Mereka bukukan hadits saja dalam buku-buku hadits berdasarkan statusnya.

Akan tetapi satu kekurangan pula yang harus kita akui, ialah mereka tidak
memisah-misahkan hadits. Yakni mereka mencampurkan hadits shahih dengan hadits hasan
dan dengan hadits dla‟if. Segala hadits yang mereka terima, dibukukan dengan tidak
menerangkan keshahihannya.

Perkembangan semacam itu akibat tumbuhnya semangat untuk mengadakan rihlah
ilmiah dalam rangka mencari hadits, Imam Al Bukhary lah yang mula-mula meluaskan
daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maroko, Naisabur,
Baghdad, Makah, Madinah dan masih banyak lagi kota yang ia kunjungi.

Beliau membuat langkah mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar diberbagai
daerah. 16 tahun lamanya al Bukhary menjelajah untuk menyiapkan kitab shahihnya.

Pada abad ini banyak beredar buku-buku kumpulan hadits seperti, al-Kutub al-
Sittah, dan al-Masanid, yang sampai sekarang menjadi rujukan dalam bidang hadits. Semua
buku tersebut merupakan sumbangan besar dalam perkembangan ilmu hadits dari ulama
yang mempunyai wawasan keilmuan yang luas, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal, Ali ibn al-
Madini, al-Bukhari, Imam Muslim, Ishaq ibn Rahwaih dan lain-lain.79

DAFTAR PUSTAKA
- Abu Zahrah, Muhammad. 2012. Ushl Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus)
- al-Qardlawy, Yusuf. 1987. Ijtihad dalam Syari‟at Islam. Jakarta : Bulan Bintang
- Djamil, H. Fathurrahman. 1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta :

Logos Publishing House
- Ebdulhamed.blogspot.com/2013/07/fungsi-hadits.

79 https://gpaicimenyan.wordpress.com/2013/07/07/sejarah-kodifikasi-hadits-2/

67

- Effendi, Satria dan M.Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
- Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad. 2012. Sejarah dan pengantar ilmu hadits.

Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.
- http/Wikipedia.org/wiki/hadits.
- https://gpaicimenyan.wordpress.com/2013/07/07/sejarah-kodifikasi-hadits-2/
- Mukri Aji, Ahmad. 2010. Rasionalis Ijtihad Ibn Rusyd. Bogor: Pustaka Pena Ilahi.
- Nasution, Harun. 1985. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia
- Roudhotul.blogspot.com/2008/5/kedudukan-hadits.
- Wahhab Khallaf, Abdul. 2012. Ijtihad dalam Syariat Islam. Pustaka Al-Kautsar

68

BAB 5
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM DI INDONESIA : MASA KEMAJUAN DAN

KEMUNDURAN ISLAM

A. SEJARAH ISLAM KE INDONESIA
Kapan Islam masuk ke Indonesia? Jawabannya pasti tetap beraneka ragam, ada yang

mengatakan sejak awal abad Hijriya atau abad keenam/ ketujuh masehi. Juga masih menjadi
perselisihan pendapat, apaka Islam yang masuk ke Indonesia itu langsung dari Arab, atau
dari India, atau juga dari Cina? Malah belakangan ini ada beberapa pendapat bawa Islam
masuk melalui Kurdistan. 80

Islam masuk ke Indonesia, bukan dengan peperangan ataupun penjajahan. Islam
berkembang dan tersebar di Indonesia justru dengan cara damai dan persuasif berkat
kegigihan para ulama. Karena memang para ulama berpegang teguh pada prinsip Q.S. al-
Baqarah ayat 256 yaitu

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(Al-
Baqarah: 256).81

Pada umunya orang berpendapat, bahwa agama Islam yang datang ke Indonesia
setelah melewati saringan pengalaan religius (keagamaan) di India, dan telah dipengaruhi ole
unsur unsur mistik yang menjadikannya mudah diterima dalam lingkungan masyarakat
Indonesia. Sebelumnya sudah menjadi pangkalan rohaniyah agama Hindu dan Budha, dari
mulai abad ke 7 sampai abad ke 15.

a. Masuknya Islam lewat Wali Songo
Di Pulau Jawa, Islam mulai aktif memasuki arena kehidupan masyarakat pada masa

perluasan kerajaan Majapahit. Hubungan niaga antara Majapahit dengan India menjadi
peluang kondisi Islamisasi ditanah Jawa. Raffles menyatakan, bahwa cukup lama para

80 Prof A.Hasymy, Sejarah Masuknya Islam di Indonesia, percetakan offest, 1989, hlm. 100
81 http://jagosejarah.blogspot.co.id/2015/02/sejarah-masuknya-islam-ke-indonesia.html#

69

penganut agama Islam di Pulau Jawa hidup sebagai Islam tetapi pengetahunnya tentang
Islam sangat minim dan masih dipengaruhi dengan tradisi yang kuat sebelum Islam. Mereka
percaya adanya Allah Yang Maha Esa dan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya
tetapi tentang syariat Islam dan Hukum-hukum muamalahnya sangat terbatas. Tasawuf
Islam rupanya lebih cepat terserap oleh mereka, karena lebih dekat dengan pengalaman
mereka sebelumnya, mereka kerap kali disebut sebagai musli heterodok.

Pada abad ke 14 M, ada kontak kontak antara Islam di pulau Jawa dengan negara-
negara luar, terutama negara Arab. Mulai ada beberapa orang datang ke Mekkah,
menjalankan ibadah Haji, memahami Islam sebagai syari‟ah lebih luas. Mengatur kehidupan
sosial dengan hukum dan akhlaq Islam. Tradisi-tradisi diIslamkan (Islamisasi budaya), yang
berarti mengebangkan kualitas umat Islam yang heterodok menjadi ortodok yaitu mentaati
ketetapan syari‟ah Islam. Perubahan inilah yang sangat besar berpengaruh terhadap
kehidupan bangsa Indonesia. Dalam hal ini peranan Wali Songo sangat menonjol.

Para santrinya adalah pengikut Islam Sunny (Ahlussunnah wal Jama‟ah) dan
bermadzhab Syafi‟i. Menang waktu itu, baik di Mesir maupun di Arab Saudi/Mekah yang
berlaku umum adalah Madzhab Syafi‟i.

Ada beberapa hal penting yang perlu direnungan kembali, yakni mengenai
pendekatan da‟wah yang mereka lakukan ternyata beragam. Dapat disimpulkan sebagai :

1. Pendekatan Teologis
Seperti yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Ampel. Disini yang

digarap pertama kali adalah rakyat bawah (kasta Waica dan Syudra), mereka yang mudah
diubah keyakinannya, karena tidak dihalangi berbagai kepentingan, dan mereka mayoritas
penduduk.

2. Pendekatan Ilmiah
Seperti yang dilakukan Sunan Giri. Dengan pondok pesantren diajarkan lah ilmu-

ilmu ke Islaman, didalamnya juga diadakan pengkaderan dan pelatihan dakwah dan sekaligus
penugasan da‟i. Sunan Giri barangkali yang pertama kali mengorganisir para da‟i ke
beberapa daerah. Sebagai pendidik, Sunan Giri banyak mengembangkan da‟wah secara

70

sistematis, metodologis, seperti permainan anak- anak, tembang dolanan dan lain sebagainya.
Semua itu mengandung makna dan nilai pendidikan yang Islami.

3. Pendekatan Kelembagaan
Seperti yang dilakukan Sunan Demak, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati dengan

mendirikan pemerintahan atau kekuasaan, lembaga peribadatan seperti Masjid – masjid, dan
lain sebaginnya. Pengaruh besar diterima kalangan pedagang.

4. Pendekatan Sosial
Seperti yang dilakukan Sunan Drajat dan Sunan Murya, yang lebih senang tinggal

ditengah rakyat-rakyat kecil di pedasaan dan jauh dari keramaian, membina mereka dala
meningkatkan kualitas keagamaan dan kehidupan sosialnya.

5. Pendekatan Kultural
Seperti yang dilakukan Sunan Kalijogo, Sunan Bonang. Dengan kemampuan

intelektualnya dan kedalaman penghayatannya terhadap Islam, melakukan Islamisasi budaya
dan mengembangkan wawasan budaya baru tentang Islam.

b. Teori Masuknya Islam Ke Indonesia
Menurut para ahli sejarah, masuk dan penyebaran islam di indonesia terdapat tiga

teori, yaitu teori Gujarat, teori Saudi, teori Cina dan teori Persia, yaitu :
1. Teori Mekah
Teori Mekah mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah

langsung dari Mekah atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad
ke-7 M. Tokoh yang memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah
atau Hamka salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka mengemukakan
pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan pada dies natalis Perguruan
Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia menolak seluruh anggapan para sarjana Barat
yang mengemukakan bahwa Islam datang ke Indonesia tidak langsung dari Arab. Bahan
argumentasi yang dijadikan bahan rujukan Hamka, adalah sumber lokal Indonesia dan
sumber Arab. Menurutnya, motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilai
nilai ekonomi, melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam

71

pandangan Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh
sebelum tarikh masehi.

2. Teori Gujarat
Menurut teori Gujarat. Islam masuk wilayah Indonesia dari anak benua India seperti

Gujarat, Bengali, dan Malabar. Menurut Snouck Hurgronje, Islam masuk dari daerah
Doccon di India, berdasarkan fenomena sosial bahwa ajaran tasawuf yang dipraktikkan oleh
orang-orang muslim di India bagian selatan mirip dengan ajaran islam di Indonesia.
Termasuk munculnya syi‟ah di daerah Sumatera atau Jawa, dugaan itu juga muncul dari
dearah India. Sebab saat itu kerajaan islam Deccon (salah satu kerjaan di India) telah
memiliki hubungan baik dengan Iran negeri pusat penyebaran paham Syi‟ah.

3. Teori Persia
Teori Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari

daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein
Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan argumentasinya, Hoesein lebih
menitik beratkan analisisnya pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara
masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10
Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, cucu
Nabi Muhammad, seperti yang berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera
Barat. Istilah “tabut” (keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa
Parsi. Tradisi lain adalah ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara ajaran Syekh
Siti Jenar dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan,
keduanya mati dihukum oleh penguasa setempat karena ajaran-ajarannya dinilai
bertentangan dengan ketauhidan Islam (murtad) dan membahayakan stabilitas politik dan
sosial. Alasan lain yang dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada
kesamaan seni kaligrafi pahat pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di
Indonesia. Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mahzab Syafei,
sama seperti kebanyak muslim di Iran.

72

4. Teori Cina
Menurut teori China. Teori yang menyatakan bahwa masuknya islam di Indonesia

langsung dari Mekah atau Madinah. Menurut teori ini bahwa islam masuk ke Indonesia
sekitar abad 7 atau 8 M. Atau abad ke 2 H, yaitu pada masa Khulafaur Rosyidin. Ekspedisi
islam ke Indonesia dibawa langsung oleh para pedagang dari Arab sejak awal abad hijriyah
atau abad ke 7 M. Menurut sumber literatur Cina pada awal abad ke 2 hijrah telah muncul
perkampungan-perkampungan muslim Arab dipesisir pantai Sumatera. Diperkampungan ini
orang-orang muslim Arab bermukim dan menikah dengan penduduk setempat serta
membentuk komunitas-komunitas muslim. Teori ini adalah yang paling kuat dan diterima
para sejarahwan masa kini.

B. Perkembangan Seni Budaya Islam Indonesia
Kesenian Islam Indonesia sebenarnya sangat minim bila dibandingkan dengan

kesenian Islam di negara lain, sebut saja Kerajaan Mughal di India yag sampai sekarang
masih memiliki simbol – simbol kebesaran arsitektur Islam seperti Taj Mahal. Umat Islam
Indonesia dalam hal seni Islam memang hanya menjadi pengikut, belum pernah menjadi
pemimpin. Kekuatan himmah seperti yang mendorong Muslim dinegara lain untuk
menciptakan pekerjaan besar, tidak muncul di Indonesia. Kalau pun muncul, biasanya
berasal dari pengaruh luar atau peniruan tidak lengkap. Walaupun demikian, Islam datang
ke Indonesia membawa tamaddun (kemajuan) dan kecerdasan.

C. Kemajuan dan Kecerdasan Islam di Indonesia
1) Islam yang datang ke Indonesia secara besar-besaran, kira-kira abad ke-13 M, adalah

akibat arus balik dapak kehancuran Baghdad. Demikian umat Islam yang datang pada
hakikatnya adalah para pedagang atau elit bangsawan atau ulama- ulama penyebar
agama Islam.
2) DiIndonesia terutama Jawa, ketika Islam datang sudah memiliki peradaban asli yang
dipengaruhi Hindu-Budha, maka seni Islam harus menyesuaikan diri.
3) Umat Islam yang datang ke Indonesia mayoritas adalah pedagang yang tentunya hanya
datang sementara untuk mencari keuntungan unutk dibawa ke negerinya.

73

4) Ketika sudah ada umat Islam pribumi, kebanyakan keturunan pedagang atau sufi
pengembara yang kemudian menjadi raja Islam di Indonesia dan mulai membagun
kebudayaan Islam, datang bangsa Barat yang sejak awal kedatangannya sudah bersikap
memusuhi umat Islam (sisa sisa dendam Perang Salib), sehingga raja- raja Islam
pribumi belum sempat membangun.

5) Islam datang ke Indonesia coraknya adalah Islam tasawuf yang lebih mementingkan
olah rohani daripada masalah duniawi

6) Indonesia adalah negeri yang merupakan jalur perdagangan Internasional, sehingga
penduduknya lebih mementingkan masalah perdangan daripada kesenian.

7) Islam datang ke Indonesia dengan jalan damai, maka terjadilah asimilasi,yaitu tidak
melanggar aturan-aturan agama. Oleh karena itu, tidak heran jika aspek seni budaya
Islam Indonesia tidak hebat seperti di negara Islam yang lain.82

D. Kesenian Islam yang ada di Indonesia
a. Batu Nisan
Kebudayaan Islam dalam bidang seni, mula-mula masuk ke Indonesia dalam bentuk

nisan. Di Pasai Batu Nisan makam Sultan Malik al-Saleh yang wafat tahun 129283. Batunya
terdiri dari pualam puti diukir dengan tulisan Arab yang sangat indah berisikan ayat Al-
Quran dan keterangan tentang orang yang dimakamkan serta hari dan tahun wafatnya.
Makam-makam yang serupa dijumpai pula di Jawa, seperti makam Maulana Malik Ibrahim
di Gresik.

Bentuk makam dari abad permulaan masuknya agama Islam menjadi contoh model
bagi makam Islam kemudian. Karena sebelumnya Islam tidak ada makam. Orang Hindu
Budha jenazahnya dibakar.

Nisan itu umumnya didatangkan dari Gujarat sebagai barang pesanan. Bentuknya
Lunas (bentuk badan kapal terbalik) yang mengesankan pengaruh Persia. Bentuk- bentuk
nisan kemudian hari tidak selalu demikian. Pengaruh kebudayaan setempat sering
mempengaruhi, sehingga ada bentuk teratai

82 Sunarto dan Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, PT Persada, 2005, hlm. 92-93
83 Hamka, Sejarah Umat Islam IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hlm. 78

74

b. Arsitektur (Seni Bangun)
Seni bangun yang berjiwa Islam Indonesia amat miskin. Hampir tidak ada bangunan

Islam yang menunjukan keagungan Islam setaraf dengan bangunan bersejarah di negara
Islam lain.

Pada abad ke-16 agama Islam sudah tersebar luas di Indonesia, terutama di Jawa
dan Sumatera. Kegiatan keagaman diadakan di masjid atau mushalla. Model masjidnya
berbeda dengan bentuk masjid negara lainnya, mungkin karena Indonesia dipengaruhi seni
bangun Indonesia – Hindu

Setelah Indonesia merdeka dan dapat berhubungan dengan negara lain, maka unsur
lama secara ber angsur angsur hilang. Misalnya Masjid Kurtaraja yang didirikan Belanda
taun 1878 sebagai pengganti masjid lama yang terbakar. Kemudian yang menyerupai masjid
Taj Mahal India adalah Masjid Syuhada di Yogyakarta dan Masjid Al-Azhar di Jakarta, dan
yang terpengaruh Ottoman style (Byzantium) pada Masjid Istiqlal. Terakhir gaya India
adalah Masjid At-Tiin di TMII.

c. Seni Sastra
Bidang sastra Indonesia banyak pengaruhnya dari Persia, antara lain buku – buku

kemudian disadur ke dalam bahasa Indonesia Kalila wa Dimna, Bayam Budiman, Abu
Nawas dan Kisah Seribu Satu Malam. Hampir semua cerita salinan itu dinamakan hikayat
dan mulai dengan nama Allah dan shalawat nabi.

Kaligrafi Arab merupakan bagian dari seni khath, khath di Indonesia tidak begitu
menonjol. Pernah pada awal kedatangan digunakan untuk mengukir dan menulis ayat Al-
Quran di makam-makam terkenal, seperti Makam Maulana Malik Ibrahim.

Muncul juga seni tari dan seni musik, itupun tidak dapat dipisahkan pula dari
pengalaman tasawuf di Indonesia.

d. Seni Ukir
Dalam agama Islam, ada hadis yang melarang melukiskan makhluk yang hidup,

apalagi manusia. Meskipun hal itu di Persi dan India tidak dihiraukan, di Indonesia ternyata
larangan itu diikuti. Dengan kata lain, masalah itu masalah khilafiyah. Didalam Al-Quran
sebenarnya tidak ada larangan, tetapi di dalam hadis ada didapati sesuatu yang menyinggung

75

soal ini. Hadis tersebut artinya sebagai berikut. Berkata Said ibn Hasan “Ketika saya
bersama dengan Ibn Abbas datang seorang laki-laki, ia berkata:

”Hai Ibn Abbas, aku hidup dari kerajinan tanganku membuat arca seperti ini” Lalu
Ibn Abbas menjawab “Tidak aku katakan kepadamu kecuali apa yang telah ku dengar dari
Rasululla SAW” beliau bersabda “Siapa yang telah melukis sebuah gambar maka dia akan
disiksa Tuhan sampai dia dapat memberi nyawa tetapi selamanya dia tidak akan mungkin
meberinya nyawa”.84

Menurut mafhum hadis itu, menggambar (seni lukis) dibolehkan dalam agama
Islam, dalam hal ini ulama sepakat. Mengatakan, boleh saja membuat gambar makhluk
bernyawa dengan syarat bentuknya tidak dapat diraba. Foto tidak dilarang,yang dilarang
yang berupa arca.85

E. Periodisasi Sejarah dalam Islam
Menurut Nourouzzaman Shiddiqie, periodisasi sejarah Islam dapat disusun sebagai

berikut.86
1) Periode Klasik (±650-1258). Periode ini sejak kelahiran Nabi Muhammad SAW

sampai didudukinya Baghdad oleh Hulagu Khan.
2) Periode Pertengahan (dari jatuhnya Baghdad sampai ke penghujung Abad ke-17). Ciri

periode ini adalah bahwa tanpa menghilangkan kenyataan adanya Dinasti Umayyah di
Andalusia, wilayah Islam lainnya telah terpecah berada di bawah tiga kekuasaan yang
saling bermusuhan.
3) Periode Modern (mulai Abad ke-18). Ciri periode ini ialah seluruh wilayah kekuasaan
Islam, baik langsung ataupun tidak langsung telah berada di bawah cengkeraman
penjajah Barat, sampai kemudian setelah Perang dunia Kedua kembali memperoleh
kemerdekaannya.

Menurut Ahmad al-Usairy dalam at-Tarikh al-Islami, menyebut periodisasi sejarah
Islam secara lengkap dibagi dalam periode-periode sebagai berikut.87

84 Shaih Bukhari, 230
85 Sunarto dan Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, PT Persada, 2005, hlm. 92-93
86 Drs. Nourouzzaman Shiddiqie, M.A, Pengantar Sejarah Muslim, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983,
hlm. 65

76

1) Periode Sejarah Klasik (masa Nabi Adam - sebelum diutusnya Nabi Muhammad
SAW).

2) Periode Sejarah Rasulullah (570-632 M). Di dalamnya diungkapkan tentang
berdirinya negara Islam yang dipimpin langsung oleh Rasulullah yang menjadikan
Madinah al-Munawarah sebagai pusat awal dari semua aktivitas negara yang kemudian
meliputi semua jazirah Arabia.

3) Periode Sejarah Khulafaur Rasyidin (632-661 M).
4) Periode Pemerintahan Bani Umayyah (661-749 M). Pada masa ini Islam mengalami

perluasan yang sangat signifikan.
5) Periode Pemerintahan Bani Abbasiyah (749-1258 M). Periode ini memiliki karakter

yang khusus ditandai dengan kemunculan beberapa pemerintahan dan kerajaan yang
independen, dimana sebagiannya telah memberikan kontribusi yang besar terhadap
Islam.
6) Periode Pemerintahan Mamluk (1250-1517 M). Pada masa ini kaum muslimin
semakin jauh dari agama mereka.
7) Periode Pemerintahan Usmani (1517-1923 M).
8) Periode Dunia Islam Kontemporer (1922-2000 M). Periode ini merupakan masa
sejarah umat Islam sejak berakhirnya masa Dinasti Turki Usmani hingga perjalan
sejarah umat Islam pada masa sekarang.

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, sejarah Islam dapat dibagi ke dalam tiga
periode yaitu, periode klasik, periode pertengahan, dan periode modern.88

F. Sejarah Peradaban Islam
a. Masa Kemajuan Islam

Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi, dan keemasan Islam.89 Dalam hal
ekspansi, sebelum Nabi Muhammad SAW wafat di tahun 632 M seluruh semenanjung

87 Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Terjemahan dari at-
Tarikh al-Islami), cetakan keempat, Jakarta: Akbar, 2006, hlm. 4-8
88 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI Press, 1985, hlm.50
89 Samsul Munir Amin, SEJARAH PERADABAN ISLAM, Jakarta: AMZAH, 2014, hlm. 20

77

Arabia telah tunduk ke bawah kekuasaan Islam. Ekspansi ke daerah-daerah di luar Arabia
dimulai di zaman khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq.

1) Khulafaur Rasyidin
Sebagai pemimpin umat Islam setelah rasul, Abu Bakar disebut khalifah. Khalifah

adalah pemimpin yang diangkat sesudah nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan
tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.90

Abu Bakar menjadi khalifah di tahun 632 M, tetapi dua tahun kemudian
meninggal. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama
tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada
pemerintahan Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang mereka buat dengan
Nabi Muhammad SAW dengan sendirinya tidak mengikat lagi setelah beliau wafat. Karena
sikap keras kepala dan penentangan mereka dapat membahayakan agama dan pemerintahan,
Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan Perang Riddah (perang melawan
kemurtadan). Khalid bin Walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam perang ini.
Setelah menyelesaikan urusan dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar
Arabia.

Usaha-usaha yang telah dimulai Abu Bakar dilanjutkan oleh khalifah kedua, Umar
bin Khattab. Di zaman Umar gelombang ekspansi pertama terjadi kota Damaskus jatuh di
tahun 635 M dan pada tahun 636 M setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran
Yarmuk daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Pada masa Umar, wilayah kekuasaan
Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi secara cepat, Umar segera mengatur administrasi yang sudah
berkembang terutama di Persia. Umar juga mendirikan Baitul Mal, menempa mata uang,
dan menciptakan tahun hijriah.91 Masa jabatan Umar berakhir dengan kematiannya, dia
dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu‟luah.

90 Badri Yatim, SEJARAH PERADABAN ISLAM, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2013, hlm. 35
91 Ibid., hlm. 38

78

Di masa pemerrintahan Utsman ekspansi Islam pertama berhenti sampai disini.
Pada masa khalifahnya ini muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat yang kecewa adalah kebijaksanaannya
mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Setelah banyak anggota keluarganya yang
duduk dalam jabatan-jabatan penting, Utsman laksana boneka dihadapan kerabatnya.
Meskipun demikian, Utsman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir
yang besar dan mengatur air ke kota-kota. Dia juga memperluas Masjid Nabawi di
Madinah. Dia berhasil menyusun al-Quran dalam bentuk bacaan yang sebelumnya memilik
banyak versi. Akhirnya, pada 35 H Utsman dibunuh oleh kaum pemberontak yang tidak
puas atas kebijakan politiknya yang cenderung nepotisme.

Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan dan
tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya dikatakan stabil. Ali memecat para
gubernur yang diangkat oleh Utsman, dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan
terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan
Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara dan
memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana
pernah diterapkan Umar.92

Tidak lama setelah itu, Ali menghadap pemberontakan Thalhah, Zubair, dan
Aisyah. Alasan mereka adalah menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah
ditumpahkan secara zalim. Sebenarnya Ali ingin menghidnari perang dan mengirimkan surat
agar mau berunding, namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran ini berkobar,
perang ini dikenal dengan Perang Jamal (Unta). Pada perang ini Zubair dan Thalhah
terbunuh dan Aisyah dikembalikan ke Madinah. Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan Ali
juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur Damaskus yaitu Mu‟awiyah yang
didukung oleh bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan. Pasukan Ali
bertemu dengan pasukan Mu‟awiyah di Shiffin, pertempuran terjadi di sini dan dikenal
dengan Perang Shiffin. Perang ini di akhiri dengan tahkim (arbitrase) tapi ternyata tahkim

92 Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang,
1989, hlm. 34

79

tidak menyelesaikan masalah. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali umat Islam
terbelah menjadi tiga kekuatan politik yaitu, Mu‟awiyah, Syi‟ah (pengikut Ali), dan al-
Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali).93 Munculnya kelompok al-Khawarij
menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu‟awiyah semakin kuat.
Akhirnya Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.

Kedudukan Ali kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan.
Namun, karena Hasan ternyata lemah dan Mu‟awiyah semakin kuat maka Hasan membuat
perjanjian damai yang menyebabkan Mu‟awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam.
Dengan demikian, berakhirlah masa Khulafaur Rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani
Umayyah dalam sejarah politik Islam.

2) Khilafah Bani Umayyah
Memasuki masa kekuasaan Mu‟awiyah, pemerintahan yang bersifat demokrasi

berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan turun
temurun dimulai ketika Mu‟awiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia
terhadap anaknya, Yazid. Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu
kota negara dipindahkan dari Madinah ke Dammaskus, tempat ia berkuasa sebagai gubernur
sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dari dinasti ini adalah Mu‟awiyah bin Abi Sufyan (661-
680 M), Abdul Malik bin Marwan (685-705 M), Khalid bin Abdul Malik (705-715),
Umar bin Abdul Aziz (717-720 M), dan Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M).

Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali dilanjutkan kembali
oleh dinasti ini. Ekspansi ke Barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid bin
Abdul Malik. Tentara Spanyol dapat dikalahkan, ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat
dapat dikuasai. Pasukan Islam dapat memperoleh kemenangan dengan mudah karena
mendapat dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman
penguasa. Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di Timur maupun Barat,
wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah itu
meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil,

93 Badri Yatim, op.cit., hlm. 40

80

Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Uzbekistan, dan Kirgis di Asia
Tengah.94 Ekspansi yang dilakukan inilah yang membuat Islam menjadi negara besar di
zaman itu. Dari persatuan berbagai bangsa di bawah naungan Islam, timbullah benih-benih
kebudayaan dan peradaban Islam yang baru, walaupun lebih banyak memusatkan perhatian
kebudayaan Arab.

Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa
politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Mu‟awiyah tidak menaati isi perjanjiannya
dengan Hasan ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian
pemimpin setelah Mu‟awiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi
pengangkatan Yazid sebagai putra mahkota menyebabkan munculnya pergerakan-pergerakan
oposisi dikalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan
berkelanjutan. Tetapi, hubungan pemerintahan dengan golongan oposisi membaik pada
masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ketika dinobatkan sebagai khalifah, dia
menyatakan bahwa memperbaiki dan meningkatkan negeri yang berada dalam wilayah Islam
lebih baik daripada menambah perluasannya.95

Sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang
tampil bukan hanya lemah tapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan
oposisi saat itu. Akhirnya pada tahun 750 M, Bani Umayyah digulingkan Bani Abbasiyah
yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah
terakhir Bani Umayyah melarikan diri ke mesir kemudian ditangkap dan dibunuh di sana.

3) Bani Abbasiyah
Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini

adalah keturunan Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Diansti ini didirikan oleh
Abdullah Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas.96 Masa pemerintahan
Abu Abbas sangat singkat, karena itu Pembina sebenarnya dari dinasti ini adalah al-Mansur.

94 Harun Nasution, op. cit., hlm. 62
95 Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, cetakan pertama, Bandung: CV Rusyda, 1987, hlm.104
96 Badri Yatim, op. cit., hlm. 49

81

Al Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya,
Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Cteisphon pada 762 M. Dasar-dasar pemerintahan
dibangun oleh Abu Abbas dan al-Mansur tetapi puncak keemasan dinasti ini berada pada
tujuh khalifah selanjtunya yaitu, al- Mahdi, al-Hadi, Harun ar-Rasyid, al-Ma‟mun, al-
Mu‟tasim, al-Watsiq, dan al-Muttawakkil.97 Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai
meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian, dan juga peningkatan hasil
pertambangan.

Pada zaman Harun ar-Rasyid dinasti Abbasiyah mengalami puncak kejayaan.
Kekayaan banyak dimanfaaatkan untuk keperluan sosial. Ia mendirikan rumah sakit, lembaga
pendidikan dokter, dan membangun farmasi. Pada masa inilah negara Islam menempatkan
dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Anaknya al-Ma‟mun, meningkatkan
perhatian pada ilmu pengetahuan. Al-Ma‟mun mendirikan Baitul Hikmah, pusat
penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Pada masa inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.98
Khalifah terakhir dinasti ini adalah al-Mu‟tasim Billah. Di masa pemerintahannya ini
Baghdad dihancurkan oleh Hulagu dari Mongol pada tahun 1258 M.

Dengan demikian, apabila Bani Umayyah dengan Damaskus sebagai ibu kotanya
mementingkan kebudayaan Arab, Bani Abbasiyah dengan memindahkan ibu kota ke
Baghdad agak jauh dari pengaruh Arab. Perbedaan lainnya antara kedua dinasti tersebut,
yaitu jika masa Bani Umayyah merupakan masa ekspansi daerah kekuasaan Islam. Masa Bani
Abbasiyah adalah masa pembentukan dan perkembangan kebudayaan dan peradaban Islam.99

Cendekiawan-cendekiawan Islam bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan dan
filsafat yang mereka pelajari dari buku-buku Yunani, tetapi menambahkan kedalamnya
hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan filsafat. Dengan
demikian muncullah ahli-ahli ilmu pengetahuan dan filsuf-filsuf Islam. Karya mereka bukan
hanya sebatas dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Al-
Fazari dikenal sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolabe. Al-fargani

97 Ibid, hlm. 52
98 W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Yogyakarta: Tiara
Wanaca Yogya, 1990, hlm. 68
99 Samsul Munir Amin, op. cit., hlm. 28

82

yang dikenal di Eropa dengan nama al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis.100
Dalam kedokteran dikenal ar-Razi yang membedakan antara penyakit cacar dan masles dan
Ibnu Sina yang berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Dalam bidang
optika Abu Ali al-Hasan bin al-Haythami yang terkenal sebagai orang yang menentang
pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat, padahal ia membuktikan
sebaliknya. Di bidang kimia terkenal nama Jabir bin hayyan yang berpendapat bahwa logam
bisa diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Dibidang
matematika terkenal al-Khawarizmi yang menciptakan ilmu aljabar, ia juga ahli dalam ilmu
geografi.

Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafatantara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan
Ibnu Rusyd atau lebih dikenal dengan nama Averroes. Pada periode inilah ilmuilmu yang
bersangkutan dengan keagamaan dalam Islam disusun. Dalam bidang penyusunan hadis-
hadis nabi menjadi buku terkenal nama Imam Muslim dan Imam Bukhari; dalam bidang
fiqih atau hukum-hukum Islam terkenal Malik bin Ana, asy-Syafi‟i, Abu Hanifah dan
Ahmad bin Hambal; dalam bidang ilmu kalam atau teoligi Wasil bin Ata‟, Ibnu al-Huzail,
al-Allaf dan lain-lain dari golongan Mu‟tazillah. Perguruan tinggi didirikan di zaman ini
antara lain Baitul Hikmah di Baghdad dan al-Azhar di Kairo.

Periode ini adalah periode peradaban Islam yang tertinggi dan yang memiliki
pengaruh, walaupun tidak secara langsung pada tercapainya peradaban modern di Barat
sekarang. Periode kemajuan Islam ini menurut Cristopher Dawson, bersamaan dengan masa
abad kegelapan di Eropa. Pada abad ke-11 M, Eropa mulai sadar akan peradaban Islam yang
tinggi di Timur dan melalui Spanyol, Sicilia, dan Perang Salib peradaban itu sedikit demi
sedikit ditransfer ke Eropa. Kemudian dengan diterjemahkannya buku-buku ilmu
pengetahuan dan filsafat karangan para ahli dan filsuf Islam ke dalam bahasa Eropa,
mulailah Eropa mengenal filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Dari Islam-lah Eropa
mempelajari semua pengetahuan itu. Jadi, tidak mengherankan kalau Lebanon mengatakan,

100 Harun Nasution, op. cit., Jilid I, hlm. 71

83

(orang Arablah) yang menyebabkan kita mempunyai peradaban, karena mereka adalah imam
kita selama enam abad.101

Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan
Islam pada masa klasik. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiriring dengan kemajuan
peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan dan kejayaan.
b. Masa Kemunduran Islam
1. Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Syafawi

Sepeninggal Abbas I Kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu
Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husain
(1692-1722 M), Tamasp (1722-1732 M), dan Abbas III (1733-1736 M). Pada masa raja-
raja tersebut, kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, tetapi
justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran.

Safi Mirza, cucu Abbas I, adalah seorang pemimpin yang lemah, Ia sangat kejam
terhadap pembesar-pembesar kerajaan, karena sifat pencemburunya. Kemajuan yang pernah
dicapai oleh Abbas I segera menurun, Kota Qandahar (sekarang termasuk wilayah di
Afghanistan) lepas dari kekuasaa Kerajaan Safawi, diduduki oleh Kerajaan Mughal yang
ketika itu diperinta oleh Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh Kerajaan
Usmani, Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman keras, sehingga ia jatuh sakit dan
meninggal. Meskipun demikian, dengan bantuan wazir-wazirnya pada masa kota Qandahar
dapat direbut kembali. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertindak
kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya, rakyat bersikap masa bodoh
terhadap pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husein yang alim. Pengganti Sulaiman ini
memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi‟ah yang sering memaksakan
pendapatnya terhadap aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan Sunni
Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri Kekuasaan Dinasti
Safawi.102

Pemberontakan bangsa Afgahan tersebut terjadi pertama kali pada tahun 1709 M
dibawah pimpinan Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar. Pemberontakan

101 Hadarat al-Arab, hlm. 579
102 Hamka, Sejarah Umat Islam, III, (Jakarta; Bulan Bintang, 1981), hlm. 71-73

84

lainnya terjadi di Herat, suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays
diganti oleh Mir Mahmud sebagai penguasa Qandahar. Ia berhasil mempersatukan
pasukannya dengan pasukan Ardabil. Dengan kekuatan gabungannya dengan merebut
negeri-negeri Afghan dari kekuasaan Safawi. Ia bahkan berusaha menguasai Persia.

Karena desakan dan ancaman dari Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya mengakui
kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya sebagain gubernur di Qandahar dengan gelar
Husein Quli Khan (Budak Husein). Dengan pengakuan ini, Mir Mahmud menjadi leluasa
bergerak. Pada tahun 1721 M, ia dapat merebut Kirman. Tak lama kemudian, ia dan
pasukannya menyerang Isfahan, mengepungnya selama enam bulan dan memaksa Shah
Husein untuk menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M, Shah Husein
menyerah dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki Kota Ishafan dengan penuh
kemenangan.103

Salah seorang putra Husein, bernama Tahmasp III, dengan dukungan penuh suku
Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia
dengan pusat kekuasaannya di Kota Astarabad. Pada tahun 1726 M Tahmasp II bekerja
sama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan
yang menduduki Ishafan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Ishafan
digempur dan diakalahkan oleh pasukan Nadhir Khan tahun 1729 M. Asyaraf sendiri
terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun,
Pada bulan Agustus 1732 M Tahmasp II dipecat oleh Nadhir Khan dan digantikan oleh
Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu,
tepatnya, 8 Maret 1736 M, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan
Abbas III, dengan demikian berakhirlan dinasti Safawi di Persia.104

Diantara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan Safawi adalah konflik
berkepanjangan dengan Kerajaan Usmani. Bagi Kerajaan Usmani, berdirinya Kerajaan Safawi
yang beraloran Syi‟ah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaannya. Konflik
antara dua kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun pernah berhenti sejenak ketika

103 P.M.Holt, dkk, (ed.) The Cambridge History Of Islam, vol. I A, (London: Cambridge Universty
Press, 1970), hlm. 426.
104 Ibid, hlm. 428-429.

85

tercapa perdamaian pada masa Shah Abbas I. Namun, tidak lama kemudian, Abbas
meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tidak adalagi perdamaian
antara dua kerajaan besar Islam itu.105

Penyebab lainnya adalah dekadensi moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaan
Safawi. Ini turut mempercepat proses kehancuran kerajaan tersebut, Sulaiman, disamping
pecandu berat narkotik, juga menyenangi, kehidupan malam beserta harem-haremnya selama
tujuh tahun tanpa sekali pun menyempatkan diri menangani pemerintahan. Begitu pun juga
Sultan Husein.

Penyebab penting lainnya adalah karena pasukan ghuliz (budak-budak) yang dibentuk
oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qizilbash .Hal ini
disebabkan karena pasukan tersebut tidak dipersiapkan secara terlatih dan tidak melalui
proses pendidikan rohani seperti yang dialami oleh Qizilbash. Sementara itu, anggota
Qizilbash yang baru ternyata tidak memiliki militansi dan semangat yang sama dengan
anggota Qizilbash sebelumnya.

Tidak kalah penting dari sebab-sebab diatas adalah seringnya terjadi konflik intern
dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan istana.

2. Kemunduran dan Runtuhnya Kerajaan Mughal
Setelah satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelanjut

Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh sultan-sultan
sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa kemunduran. Kekuasaan
politiknya mulai merosot, suksesi kepemimpinan ditingkat pusat menjadi ajang perebutan,
gerakan separatis Hindu di India Tengah, Sikh di belahan utara dan Islam di bagian timur
semakin lama semakin mengancam. Sementara itu, para pedagang Inggris untuk pertama
kalinya diizinkan oleh Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh
kekuatan bersenjata semakin kuat menguasai wilayah pantai.

Pada masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah
muncul, tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan Aurangzeb

105 Ibid. hlm. 417.

86

yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Setalah ia wafat, penerusnya rata-
rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang ditinggalkannya.

Sepeninggal Aurangzeb 1707 M, tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua
Aurangzeb yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul.106 Putra Aurangzeb ini kemudian
bergelar Bahadur Syah (1701-1712 M). Ia menganut aliran Syi‟ah. Pada masa
pemerintahannya yang berjalan selama lima tahun, ia dihadapkan pada perlawanan Sikh
sebagai akibat dari tindakam ayahnya. Ia juga dihadapkan pada perlawanan penduduk
Lahore karena sikapnya yang terlampau memaksakan ajaran Syi‟ah kepada mereka.107

Setelah Bahadur Syah meninggal, dalam jangka waktu yang cukup lama, terjadi
perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana. Bahadur Syah diganti oleh anaknya,
Azimus Syah. Akan tetapi pemerintahannya ditentang oleh Zulfiqar Khan, putranya, Azad
Khan, wazir Aurangzeb. Azimus Syah meninggal tahun 1712 M dan digantikan oleh
putranya, Jhandar Syah, yang dapat tantangan dari Farukh Siyar, adiknya sendiri. Jihandar
Syah dapat disingkirkan Farukh Siyar tahun 1713 M.

Farukh Siyar berkuasa sampai tahun 1719 M dengan dukungan kelompok sayyid, tapi
tewas ditangan para pendukungnya sendiri (1719 M). Sebagai penggantinya, diangkat
Muhhamad Syah (1719-1748 M). Namun, ia dan pendukungnya terusir oleh suku Asyfar
dibawah pimpinan Nadir Syah yang sebelumnya berhasil melenyapkan kekuasaan Safawi di
Persia. Keinginan Nadir Syah untuk menundukan kerajaan Mughal terutama karena
menurutnya kerajaan ini banyak sekali memberikan bantuan kepada pemberontak Afghan di
daerah Persia.108 Oleh karena itu, pada tahun 1739 M, setelah dua tahun menguasai Persia,
ia menyerang Kerajaan Mughal. Muhammad Syah tidak dapat lagi bertahan dan mengaku
tunduk kepada Nadir Syah. Muhammad Syah kembali berkuasa di Delhi setelah ia bersedia
memberi hadiah yang sangat banyak kepada Nadir Syah. Kerajaan Mughar baru dpaat
melakukan restorasi kembali, terutama setelah jabatan wazir di pegang Chin Qilich Khan
yang bergelar Al-Mulk (1722-1732 M) karena mendapat dukungan dari Marathan. Akan
tetapi, tahun 1732 M, Nizam Al-Mulk meninggalkan Delhi menuju Hiderabad dan

106 S.M. Ikram, Muslum Civilization in India, (New York: Columbia Universty Press), hlm.254.
107 Ibid,. hlm. 255.
108 Hamka, op, cit,. hlm. 161-162.

87

menetap disana.109 Konflik-konflik yang berkepanjangan mengakibatkan pengawasan
terhadap dareha lemah, Pemerintah daerah satu persatu melepaskan loyalitasnya dari
pemerintahan pusat, bahkan cenderung memperkuat posisi pemerintahannya masing-masing.
Hiderabad dikuasai Nizam Al-Mulk, Marathas dikuasai Shivaji, Rajput menyelenggarakan
pemerintahannya sendiri dibawah pimpinan Jai Sigh dri Amber, Punjab dikuasai oleh
kelompok Sikh. Oudh dikuasai oleh Sadat Khan, Bengal dikuasai oleh Syuja‟ Al-Din,
menantu Murzyid Qulli, penguasa Bengal yang diangkat Aurangzeb. Sementara itu wilayah-
wilayah pantai banyak yang dikuasai oleh para pedagang asing, terutama EIC dari Inggris.110

Disintegrasi wilayah kekuasaan Mughal ini semakin di perburuk oleh sikap daerah yang
disamping melepaskan loyalitas terhadap pemerintah pusat, juga mereka senantiasa menjadi
ancaman serius bagi eksistensi dinasti Mughal itu sendiri.

Setelah Muhammad Syah meninggal, tahta kerajaan dipegang oleh Ahmad Syah (1748-
1754), kemudian, diteruskan oleh Alamghir II (1754-1759), dan kemudian dilanjutkan
oleh Syah Alam (1761-1806) Pada tahun 1761 M, Kerajaan Mughal diserang oleh Ahmad
Khan Durrani dari Afghan. Kerajaan Mughal tidak dapat bertahan dan sejak itu Mughal
berada dibawah kekuasaan Afghan, meskipun Syah Alam tetap diizinkan memakai gelar
Sultan.

Ketika kerajaan Mughal memasuki keadaan yang lemah seperti ini, pada tahun itu juga,
perusahaan Inggris (EIC) yang sudah semakin kuat mengangkat senjata melawan pemerintah
Kerajaan Mughal. Peperangan berlangsung berlarut-larut. Akhirnya Syah Alam membuat
perjanjian damai dengan menyerahkan Oudh, Bengal, dan Ourisa kepada Inggris.111
Sementara itu, Najib Al-Daula, wazir Mughal dikalahkan oleh aliansi Sikh-Hindu, sehingga
Delhi dikuasai Sindhia dari Marathas. Akan tetapi, Sindhia dapat dihalau kembali oleh
Syah Alam dengan bantuan Inggris (1803 M).112

Syah Alam meninggal taahun 1806 M. Tahta kerajaan selanjutnya dipegang oleh Akbar
III (1907-1837). Pada masa pemerintahan Akbar memberi konsesi kepada EIC untuk
mengembangkan usahanya di anak benua India, sebagaimana yang diinginkan Inggris, tapi

109 S.M. Ikram, op, cit., hlm. 258.
110 K.M. Panikar, A Survey Of Indian History, (Bombay: Asia Publishing, 1957, hlm. 187.
111 Hamka, op,cit, hlm. 163.
112 S.M. Ikram, op,. Cit, hlm 268.

88

pihak perusahaan harus menjamin kehidupan raja dan keluarga istanaa. Dengan demikian,
kekuasaan sudah berada di tangan Inggris, meskipun kedudukan dan gelar Sultan
dipertahankan. Bahadar Syah (1837-1858), penerus Akbar, tidak menerima isi perjanjian
antara EIC dengan ayahnya itu, sehingga terjadi konflik antara dua kekuatan tersebut.

Pada waktu yang sama, pihak EIC mengalami kerugian karena penyelenggaraan
administrasi perusahaan kurang efisien, padahal mereka harus tetap menjamin kehidupan
istana, Untuk menutupi kerugian dan sekaligus memenuhi kebutuhan istana, EIC
mengadakan pungutan yang tinggi terhadap rakyat secara ketat dan cenderung kasar. Karena
rakyat merasa ditekan, maka mereka, baik yang beragama Hindu maupun Islam, bangkit
mengadakan pemberontakan. Mereka meminta kepada Bahadur Syah untuk menjadi
lambang perlawanan itu dalam rangka mengembalikan kekuasaan Kerajaan Mughal di India
terhadap kekuasaan Inggris pada bulat Mei 1857 M.

Perlawanan mereka dapat dipatahkan dengan mudah, karena Inggris mendapat
dukungan dari beberapa penguasa lokal Hindu dan Muslim. Inggris kemudia menjatuhkan
hukuman yang kejam terhadap para pemberontak, Mereka diusir dari kota Delhi, rumah-
rumah ibadah banyak yang dihancurkan, dan Bahadur Syah, raja Mughal terakhir, diusir dari
istana (1858 M).113 Dengan demikian, berahirlah sejarah kekuasaan dinasti Mughal di
daratan India dan tinggallah disana umat Islam yang harus berjuang mempertahankan
eksistensi mereka.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal itu mundur pada
satu setengah abad terakhir dan membawa kepada kehancuran pada tahun 1858 M, yaitu:
1. Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di
wilayah-wilayah pantai tidak dapat dipantau oleh kekuatan maritim Mughal. Begitu juga
pasukan darat. Bahkan, mereka kurang terampil dalam mengoperasikan persenjataan buatan
Mughal sendiri.
2. Kemerosotan moral dan hidup mewah dikalangan elit politik, yang mengakibatkan
pemborosan dalam penggunaan keuangan negara.

113 Ibid, hlm. 277.

89

3. Pendekatan Aungzeb yang terlampau “kasar” dalam melaksanakan ide-ide puritan dan
kecenderungan asketisnya, sehingga konflik antaragama sangat sukar diatasi oleh sultan-
sultan sesudahnya.

4. Semua pewaris tahta kerajaan pada paruh terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang
kepemimpinan.

3. Kemunduran Kerajaan Usmani
Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani mulai

memasuki fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan
kuat, kemuduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman Al-Qanuni, diganti oleh Salim
II (1566-1573 M). Dimasa pemerintahannya, terjadi pertempuran armada laut Kerajaan
Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari angkatan laut Spanyol, angkatan laut
Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan sebagian kapal pendeta Malta, yang dipimpin Don
Juan dari Spanyol. Pertempuran itu terjadi diselat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran
ini Turki Usmani mengalami kekalaha yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh
musuh. Baru pada masa sultan berikutnya, Sultan Murad III, pada tahun 1575 M Tunisia
dapat direbut kembali.

Walaupun Sultan Murad III (1574-1595 M) berkepribadian jelek dan suka
memperturutkan hawa nafsunya, Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu
Kauskasus dan menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabris, ibu
kota Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia dan
mengalahkan gubernur Bosnia pada tahun 1592 M.114 Namun, kehidupan moral sultan yang
jelek menyebabkan timbulnya kekacauan dalam negeri. Kekacauan ini makin menjadi dengan
tampilnya Sultan Muhammad III (1595-1602 M) sebagai pengganti Murad III, yang
membunuh saudara laki-lakinya berjumlah 19 orang dan menenggelamkan janda-janda
ayahnya sejumlah 10 orang demi kepentingan pribadi.115 Dalam situasi yang kurang baik itu,
Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani. Meskipun Sultan Ahmad I (1603-1617 M),

114 Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogayakarta: Kota Kembang, 1989),
hlm. 339.
115 Carl Brockkmann, History Of Islamic Peoples, (London: Routldege de Kegan Paul, 1982), hlm.
328.

90

pengganti Muhammad III, sempat bangkit untuk memperbaiki situasi dalam negeri, tetapi
kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa eropa sudah mulai memudar. Sesudah
Sultan Ahmad I, situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I (masa
pemerintahannnya yang pertama (1617-1618), dan kedua (1622-1623), karena gejolak
politik dalam negeri tidak bisa diatasinya. Syaikh Al-Islam mengeluarkan fatwa agar ia turun
tahta dan diganti oleh Usman II (1618-1622 M). Namun yang tersebut terakhir ini juga
tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian, bangsa Persia bangkit
mengadakan perlawanan merebut wilayahnya kembali, dan terpaksa melepaskan wilayah
Persia tersebut. Langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad
IV (1623-1640 M). Pertama-tama, ia mencoba menyusun dan menertibkan pemerintahan.
Pasuka Jenissasri yang pernah menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan tetapi,
masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi negara secara
keseluruhan.Situasi politik yang sudah mulai membaik itu kembalik merosot pada masa
pemerintahan Ibrahim (1640-1648), karena ia termasuk orang yang lemah. Pada masanya
ini, orang-orang Venetia melakukan peperangan laut melawan dan berhasil mengusir orang
orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu membawa
Muhammad Koprlulu (berasal dari Kopru dekat Amasia di Asia Kecil) paada kedudukan
sebagai wazir atau shadr al-a‟zham (perdana menteri) yang diberi kekuasaan absolut.116 Ia
berhasil mengemblikan peraturan dan mengkonsolidasikan stabilitas keuangan negara.
Setelah Koprululu meninggal, jabatannya di pegang oleh anaknya, Ibrahim. Ibrahim
menyangka bahwa kekuatan militernya sudah pulih sama sekali. Karena itu ia menyerbu
Hongaria dan mengancam Vienna. Namun peritungan Ibrahim meleset, ia kalah dalam
pertempuran itu secara berturut turut. Pada masa selanjutnya, wilayah Turki Usmani yang
luas sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya, direbut oleh negara-negara eropa yang
baru mulai dibangun. Pada tahun 1699 M, terjadi “Perjanjian Karlowith” yang memaksa
Sultan untuk menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia, dan Croasia kepada
Hapsburg dan Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia kepada

116 Hassan Ibrahim Hassan, loc, cit.

91

orang0orang Venetia.117 Pada tahun 1770 M, tentara Rusia mengalahkan armada Kerajaan
Usmani di sepanjang pantai asia kecil. Akan tetapi tentara Rusia dapat dikalahkan kembali
oleh Sultan Mustafa III (1757-1774 M) yang segera dapat megkonsolidasi kekuatannya.

Sultan Mustafa III diganti oleh saudaranya, Sultan Abd Al-Hamid (1774-1789 M),
seorang yang lemah. Tidak lama setelah naik tahta, di Kutchuk Kinarja, ia mengadakan
perjanjian yang dinamakan “Perjajian Kinarja” dengan Cathirine II dari Rusia. Isi perjanjian
itu antara lain: (1) Kerajaan Usmani Harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di
Laut Hitam kepada Rusia dan memberi izin armada Rusia untuk melintasi selat yang
menghubungkan Laut Hitam dengan laut Putih, dan (2) Kerajaan Usmani mengakui
kemerdekaan Kirman (Crimea).118

Demikianlah proses kemunduran yang terjadi di Kerajaan Usmani selama dua abad
lebih setelah ditinggal Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Tidak ada tanda-tanda membaik sampai
paruh abad pertengahan abad ke-19. Oleh karena itu, satu per sstu negeri-negeri di Eropa
yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya negeri-negeri Eropa yang
memang sedang mengalami kemajuan yang memberontak terhadap kekuasaan Kerajaan
Usmani, tetapi juga beberapa daerah di Timur Tengah mencoba untuk bangkin dan
memberontak. Di Mesir, kelemahan-kelemahan Kerajaan Usmani membuat Mamalik
bangkit kembali, dibawah kepemimpinan Ali Bey, pada tahun 1770 M, Mamalik kembali
berkuasa sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari Perancis thun 1798 M.119 Di Libanon
dan Syiria, Fakhr Al-Din seorang pemimpin Druze, berhasil menguasai Palestina pada tahun
1610 dan merampas Ba‟albak dan mengancam Damaskus.Fakhr Al-Balbak baru menyerah
tahun 1635 M. Di Persia, Kerajaan Safawi ketika masih jaya beberapa kali mengadakan
perlawanan terhadap Kerajaan Usmanidan beberapa kali juga ia keluar sebagai pemenang.
Sementara itu, di Arabia bangkit kekuatan baru yaitu aliran baru antara pemimpin agama
Muhammad ibn Abd Al-Wahhab yang dikenal sebagai gerakan Wahhabiyah dengan
penguasa lokal yaitu Sa‟ud. Mereka berhasil menguasai beberapa daerah di jazirah Arab dan

117 Ibid., hlm 340.
118 Carl Brocklemann, op. cit., hlm. 336.
119 Hasan Ibrahim Hassan, op., cit., hlm. 342.

92

sekitarnya di awal paroh kedua abad ke-18.120 Dengan demikian, pemberontakan
pemberontakan yang terjadi di Kerajaan Usmani ketika ia sedang mengalami kemunduran,
buka terjadi didaerah yang beragama Islam, tetapi juga di daerah yang berpenduduk Muslim.
Gerakan-gerakan seperti itu terus berlanjut dan bahkan menjadi lebih keras pada masa
sesudahnya yaitu abad ke 19 dan ke 20 M. Ditambahkan dengan gerakan pembaharuan
politik di pusat pemerintahan, Kerajaan Usmani berakhir berakhir dengan berdirinya
Republik Turki pada tahun 1924 M.

Banyak faktor yang menyebakan Kerajaan Usmani itu mengalami kemunduran,
diantaranya adalah:
1. Wilayah Kekuasaan yang Sangat Luas
Administrasi pemerintahan bagi suatu negara yang amat sangat luas wilayahnya sangat rumit
dan kompleks, sementara itu administrasi pemerintahan Kerajaan Usmani tidak beres. Di
pihak lain, para penguasa sangat berambisi menguasai wilayah yang sangat luas, sehingga
mereka terlibat perang terus menerus dengan berbagai bangsa. Hal ini tentu menyedot
potensi yang seharusnya daoat digunakan untuk membangun negara.121
2. Heterogenitas Penduduk
Sebagai kerajaan besar, Turki Usmani menguasai wilayah yang sanagat amat luas, mencakup
Asia Kecil, Armenia, Irak, Syiria, Hejaz, dan Yaman. Di Asia: Mesir, Libia, Tunis, dan
Aljazair. Di Afrika: dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria dan Rumania di
Eropa.122 Wilayah yang luas didiami oleh penduduk yang beragam, baik dari segi agama, ras,
etnis, maupun adat istiadat. Untuk mengatur penduduk yang beragam dan tersebar di
wilayah yang sangat luas itu, diperlukan suatu organisasi pemerintahan yang teratur. Tanpa
didukung oleh administrasi yang baik. Kerajaan Usmani hanya akan menanggung beban
yang berat akibat heterogenitas tersebut. Perbedaan bangsa dan agama acap kali
melatarbelakangi terjadinya pemberontakan dan peperangan.
3. Kelemahan Para Penguasa

120 Ibid, hlm. 343-350.
121 Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam: Imperium Turki Usmani(Jakarta, Kalam Mulia,
1988), hlm 49.
122 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta; UI Press, 1979, cetakan
kelima), hlm. 84.

93


Click to View FlipBook Version