The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

By Abd. Rozak A. Sastra, MA.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-04-18 00:14:38

Studi Islam

By Abd. Rozak A. Sastra, MA.

Keywords: Abd. Rozak A. Sastra,Studi Islam,Pendidikan agama islam

Sepeninggal Sulaiman Al-Qanuni, Kerajaan Usmanu di perintah oleh sultan-sultan yang
lemah, baik dalam kepribadian, terutama dalam kepemimpinannya. Akibatnya, pemerintahan
menjadi kacau. Kekacauan itu tidak pernah diatasi secara sempurna, bahkan semakin lama
semakin parah.
4. Budaya Pungli
Pungli merupakan perbuatan yang sudah umum terjadi dalam Kerajaan Usmani. Setiap
jabatan yang hendak diraih oleh seseorang harus “dibayar”denga sogokan kepada orang
orang yang berhak memberikan jabatan tersebut.123. berjangkitnya budaya pungli ini
mengakibatkan dekadensi moral kian merajalela yang membuat pejabat semakin rapuh.
5. Pemberontakan tentara Jenissari
Kemajuan ekspansi Kerajaan Usmani banyak di tentukan oleh kuatnya tentara Jenissari.
Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana kalau tentra ini memberontak.
Pemberontakan tentara Jenissari terjadi sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1525 M,
1632M, 1727 M, dan 1826 M.
6. Merosotnya Ekonomi
Akibat perang yang tak pernah berhenti perekonomian negara merosot. Pendapatan
berkurang, sementara belanja negara sangat besar termasuk biaya untuk perang.
7. Terjadinya Stagnasi dalam lapagan Ilmu dan Teknologi
Kerajaan Usmani kurang berhasil dalam pengembangan ilmu dan teknologi, karena hanya
mengutamakan pengembangan militer. Kemajuan militer yang tidak diimbangi oleh
kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kerajaan ini tidak sanggup menghadapi
persenjataan musuh dari eropa yang lebih maju. Sebagaimana disebutkan pada bab
teradahulu.

Demikianlah proses kemunduran kerajaan besar Usmani. Pada masa selanjutnya,
kelemahan kerajaan ini menyebabkan kekuatan-kekuatam Eropa tanpa segan-segan menjajah
dan menduduki daerah-daerah muslim yang dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Usmani, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara.

123 Ahmad Syalabi, op, cit, hlm.50.

94

DAFTAR PUSTAKA
- A. Hasymy. 1989. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia. Percetakan offset.
- Ahmad, Syalabi. 1988. Sejarah dan Kebudayaan Islam: Imperium Turki Usmani . Jakarta,

Kalam Mulia.
- Amin, Samsul Munir. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: AMZAH
- Brockkmann, Carl History Of Islamic Peoples, (London: Routldege de Kegan Paul, 1982),

328.
- Hamka. 1975. Sejarah Umat Islam IV. Jakarta: Bulan Bintang.
- Hassan, Ibrahim Hassan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Penerbit Kota

Kembang
- Holt, P.M. dkk, (ed.) The Cambridge History Of Islam, vol. I A, (London: Cambridge

Universty Press, 1970),
- http://jagosejarah.blogspot.co.id/2015/02/sejarah-masuknya-islam-ke-indonesia.html#
- https://jagoips.wordpress.com/2013/04/24/teori-teori-masuknya-islam-ke-indonesia/
- https://tatangjm.wordpress.com/sejarah-peradaban-islam/
- Ikram S.M., Muslum Civilization in India, (New York: Columbia Universty Press),
- Nasution, Harun. 2013. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid I. Jakarta: UI Press
- Panikar, K.M. A Survey Of Indian History, (Bombay: Asia Publishing, 1957),
- Sunarto dan Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. PT Persada.
- Tholhah Hasan, Muhammad. 2005. Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman.

Lantabora Press.
- Yatim, Badri. 2013. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: RajaGrafindo

Persada

95

BAB 6
USHUL FIQH

A. PENGERTIAN USHUL FIQH
124 ‫(اصول الفقه) دليل الفقه علي سبيل الاجمال‬

Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara etimologi berarti
“sesuatu yang dasar bagi yang lainnya”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ushul fiqh
itu adalah ilmu yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara‟ dari dlilnya yang
terinci. Atau dalam artian sederhana: kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara
mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.125 Sebagai contoh didalam kitab-kitab fiqh
terdapat ungkapan bahwa “mengerjakan salat itu hukumnya wajib”. Wajibnya mengerjakan
salat itulah yang disebut “hukum syara”. Tidak pernah tersebut dalam Al-Quran maupun
hadis bahwa salat itu hukumnya wajib. Yang ada hanyalah redaksi perintah mengerjakan
salat. Ayat Al-Qur‟an yang mengandung perintah salat itulah yang dinamakan “Dalil syara‟”.
Dalam merumuskan kewajiban salat yang terdapat dalam dalil syara‟ ada aturan yang harus
menjadi pegangan. Kaidah dalam menentukannya, umpamanya “setiap perintah itu
menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang kaidah merumuskan cara mengeluarkan hukum
dari dalil-dalil syara‟ tersebut, itulah yang disebut dengan „Ilmu Ushul Fiqh”. Dari
penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan ushul fiqh dan fiqh adalah, jika ushul
fiqh itu pedoman yang membatasi dan menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang
fakih dalam usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara‟ dari dalilnya. Sedangkan
fiqh itu hukum-hukum syara‟ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil menurut aturan
yang sudah ditentukan itu.126

124 Abdul hamid hakim, al-bayan. Hal 3-4
125 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 41
126 Ibid.. Hal. 42

96

B. RUANG LINGKUP USHUL FIQH
a. Pokok Pembahasan Ushul Fiqh

Bertitik tolak dari definisi ushul fiqh diatas, maka bahasan pokok dari ushul fiqh itu
adalah :

1. Dalil-dalil atau sumber hukum syara‟
2. Hukum-hukum syara‟ yang terkandung dalam dalil itu; dan
3. Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum sayra‟ dan dalil atau

sumber yang mengandungnya.127
Dalam membicarakan sumber hukum dibicarakan pula kemungkinan terjadinya
benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula tentang orang-orang
yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metode dalam melahirkan hukum
syara‟ tersebut.hal ini memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid. Kemudian
membahas mengenai tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang yang tidak
mempunyai kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan tentang taklid dan
hal-hal lain yang berhubungan denganya.
Dalam sistematika penyusunan pokok-pokok bahasan terdapat perbedaan yang
disebabkan perbedaan arah dan penekanan diri beberapa pokok bahasan tersebut.

b. Objek Kajian Ushul Fiqh
Berdasarkan kedua definisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh di atas,

Muhammad al-Zuhaili (ahli fiqh dari Syiria), menyatakan bahwa yang menjadi objek kajian
ushul fiqh yang membedakan dari kajian fiqh, antara lain adalah :

1. Sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara‟
baik yang disepakati (seperti kehujahan Al-Qur‟an dan sunnah), maupun yang
diperselisihkan (seperti kehujahan istihsan dan mashlahah al-mursalah)

2. Mencarikan jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zhahir dianggap bertentangan,
baik melalui al-jam‟u wa al-taufiq (pengkompromian dalil), tarjih (menguatkan
salah satu dari dalil-dalil yang bertentangan), naskh, atau tasaqaut al-dalilain

127 Ibid. Hal. 49

97

(pengguguran kedua dalil yang bertentangan). Misalnya, pertentangan ayat dengan
ayat, ayat dengan hadist, atau pertentangan hadis dengan pendapat akal.
3. Pembahasan ijtihad, syarat-syarat, dan sifat-sifat orang yang melakukannya
(mujtahid), baik yang menyangkut syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat khusu
keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
4. Pembahasan tentang hukum sayar‟, yang meliputi syarat-syarat dan macam-
macamnya, baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan
suatu perbuatan, memilih anatar berbuat atau tidak, maupun yang berkaitan dengan
sebab, syarat, mani‟, batal/fasad, azimah dan rukhsah.
5. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya
dalam meng-istinbath-kan hukum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa
maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash.

c. Tujuan dan Kegunaan Ushul Fiqh
Para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa tujuan utama ushul fiqh adalah

mengetahui dalil-dalil syara‟ yang menyangkut persoalan aqidah, ibadah mu‟amalah, „uqubah,
dan akhlak.oleh sebab itu,para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh bukan
merupakan “tujuan”, melainkan sebagai “sarana” untuk mengetahui hukum-hukum allah
pada setiap kasus yang diperoleh melalui kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut.

Secara sistematis para ulama fiqh mengemukakan kegunaan ilmu ushul fiqh yaitu
antara lain untuk:128

1) Mengetahui kaidah-kaidah dan cara-cara yang digunakan mujtahid dalam
memperoleh hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun.

2) Memberikan gambaran mengenai syarat- syarat yang harus dimiliki seoramg
mujtahid , sehingga adngan tap[at dia dapat menggali hukum-hukum syara‟ dan
nash; Disamping itu, bagi masyarakat awam, melalui ushul fiqh mereka dapat
mengerti bagaimana para mujtahid menetapkan hukum sehingga dengan mantap
mereka dapat mempedomani dan mengamalkannya.

128 Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid I, 1986, hal. 30-31

98

3) Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid,
sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahirbelum ada dalam nash; dan belum
ada ketetapan hukumnya.

4) Memelihara agama dari penyalagunaan dalil yang mungkin terjadi.dalam
pembahasan ushul fiqh, sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad,
statusnya tetap mendapat pengakuan syara‟. Melalui usul fiqh juga para peminat
hukum Islam mengetahui mana sumber hukum Islam yang asli yang hasrus
dipedomani, dan mana yang merupakan sumber hukum islam yang bersifat sekunder
dan berfungsi untuk mengembangkan syariat sesuai dengan kebutuhan masyarakat
islam.

5) Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum
dari berbagai persoalan sosial yang terus berkembang. Mengetahui kekuatan dan
kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad,
sehingga para peminat hukum islam dapat melakukan tarjih (penguatan) salah satu
dalil atau pendapat tersebut dengan mengemukakan alasannya.

C. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH
Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam

penyusunannya ilmu fiqh lebih dahulu dilakukan ketimbang ilmu ushul fiqh. Seharusnya
fiqh itu harus didahului oleh ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah dasarnya dan fiqh itu
adalah hasilnya. Namun dalam penyusunannya ushul fiqh datang belakangan.

Perumusan fiqh sebenarnya sudah ada pada masa sahabat. Para sahabat diantaranya
Umar bin Khattab, Ibnu Mas‟ud, „Ali bin Abi Thalib umpamanya, dalam mengemukakan
pendapatnya tentang hukum sebenarnya sudah menggunakan aturan atau pedoman dalam
merumuskan hukum, meskipun tidak secara jelas mereka mengemukakan demikian.

Pada saat Ali bin Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali
terhadap peminum khamar, beliau berkata, “Bila ia minum ia akan mabuk dan bila ia
mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar; maka kepadanya diberikan
sanksi tuduhan berzina.” Dari pernyataan Ali tersebut ternyata menggunakan metode
menutup pintu kejahatan atau yang dikenal dengan “sad al-dzar‟ah”.

99

„Abdullah bin Mas‟ud sewaktu mengemukakan pendapatnya tentang wanita hamil
yang ditinggal mati suaminya idahnya adalah sampai melahirkan anak. Mengemukakan
argumennya dengan firman Allah , surah at-Thalaq: 4, meskipun dalam surah Al-Baqarah:
234 menjelaskan bahwa istri yang ditinggal mati suaminya idahnya adalah empat bulan
sepuluh hari. Dalam menetapkan hukum ini beliau menggunakan metode nasakh-mansukh.
Dari kedua contoh tersebut para sahabat telah menggunakan metode ijtihad sesuai dengan
pedoman walaupun pada waktu itu belum dirumuskan secara jelas.

Pada masa tabi‟in lapangan istinbath semakin meluas dan perkembangannya cukup
cepat. Meskipun dalam perjalanannya terdapat perbedaan metode sehingga menimbulkan
beberapa aliran dalam ushul fiqh.

Abu Hanifah dalam usaha menetapkan hukum menggunakan metodenya tersendiri.
Ia menerapkan Al-Qur‟an sebagai sumber pokok dibarengi dengan hadis Nabi, dan fatwa
sahabat. Abu Hanifah tidak mengambil fatma ulama tabi‟in karena ia berpendapat bahwa
dirinya satu ranking dengan mereka. Metodenya adalah menggunakan qiyas dan istihsan
yang terlihat nyata.

Imam Malik lebih banyak menggunakan hadis ketimbang Abu Hanifah; mungkin
karena begitu banyaknya hadis yang dia temukan. Metode yang digunakan Imam Malik
dalam merumuskan hukum syara‟ merupakan pantulan dari aliran Hijaz, sebagaimana
metode yang digunakan Abu Hanifah merupakan pantulan dari aliran Irak.

Setelah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, tampil Imam Syafi‟i yang menemukan
dalam masany perbendaharaan fiqh yang sudah berkembang semenjak periode sahabat,
tabi‟in, dan imam-imam yang mendahuluinya. Imam Syafi‟i menelaah setiap perdebatan
antara berbagai kubu sehingga dapat menggali pengalamannya di tengah pendapat yang
berbeda itu. Ia juga menimba ilmu dari Imam Malik dan Muhammad ibn Hasan al-Syaibani
(murid Abu Hanifah). Hasil akhir dari pengetahuannya itu memberikan petunjuk kepada
Imam Syafi‟i untuk meletakan pedoman dan neraca berpikir yang menjelaskan langkah-
langkah yang harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum dalilnya. Metode
berpikir yang dirumuskan Imam Syafi‟i itulah yang kemudian disebut “ushul fiqh”.

Sepeninggal Imam Syaf‟i‟i ushul fiqh menjadi pokok pembicaraan yang menarik
pada waktu itu. Dan kemudian disempurnakan sebagian ulama yang kebanyakan pengikut

100

Imam Syafi‟i mengembangkannya dengan cara, antara lain: mensyarahkan, memerinci yang
bersifat garis besar, mempercabangkannya pokok pikiran Imam Syafi‟i, sehingga ushul fiqh
Syafi‟iyyah menemukan bentuk sempurnanya.129

Kemudian kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar-dasarnya
diletakan Imam Syafi‟i, mereka menambahkan pemikiran tentang istihsan dan „urf yang
diambl dari imam mereka. Kelompok ulama Malikiyyah, di samping mengikuti beberapa
dasar yang diletakan Imam Syafi‟i dengan tidak mengikuti pendapat Syafi‟i yang menolak
ijma‟ I ahli Madinah dan memasukan tambahan berupa maslahat mursalah serta prinsip
penetapan hukum berdasarkan sad al-dzara‟i.

Pada prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda dengan dasar yang
ditetapkan Imam Syafi‟i tentang penggunaan dalil yang empat, yaitu: Al-Quran, Hadis,
Ijma‟, dan Qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya terdapat perbedaan. Sepeninggalnya
imam-imam mujtahid yang empat dinyatakan bahwa kegiatan ijtihad terhenti, namun
sebenarnya yang terhenti adalah kegiatan ijtihad mutlaq sedangkan ijtihad terhadap ushul
mazhab yang tertentu masih tetap berlangsung yang masing-masing mengarah kepada
menguatnya ushul fiqh yang dirintis para imam terdahulu.

Sesudah melembaganya mazhab-mahab fiqh, maka arah pengembangan ushul fiqh
terlihat dalam dua bentuk yang berbeda.

Pertama, arah pemikiran murni, yaitu penyusunan kaidah ushul yang tidak
terpengaruh kepada furu‟ mazhab mana pun menurut arahnya sendiri disebut ushul fiqh
Syafi‟iyyah atau fiqh aliran Mutakallimin. Kedua, mengarah pada penyusunan ushul fiqh
yang terpengaruh pada furu‟ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu‟ dan berusaha
mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Ulama fuqaha yang lebih
banyak mengguankan metode ini adalah kelompok Hanafiyah.

Setelah dua metode ini berjalan dan berkembang dengan baik menurut aliran
masing-masing, banyak bermunculan dari alirannya sendiri maupun gabungan kedua aliran
seperti kitab Jam‟ul Jawami‟ dan al-Tahrir.130

129 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 46
130 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 47-48

101

D. FIQH
Menurut bahasa, fiqh berasal dari “faqiha yafqahu-fiqhan” yang berarti paham atau

mengerti.131 Paham yang dimaksudkan adalah upaya aqliyah dalam memahami ajaran-ajaran
islam yang bersumber dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Fiqh menurut bahasa adalah
mengetahui sesuatu dengan mengerti (al-„ilmbisyai‟i ma‟a al-fahm). Ibnu Al-Qayyim
mengatakan bahwa fiqh lebih khusus daripada paham, yakni pemahaman mendalam
terhadap berbagai isyarat Al-Qur‟an, secara tekstual maupun kontekstual.

Rasyid Ridha mengatakan pula bahwa dalam Al-Qur‟an banyak ditemukan kata-
kata fiqh yang artinya paham yang mendalam dan amat luas terhadap segala hakikat, yang
dengan fiqh itu, seorang „alim menjadi ahli hikmah (filosof), pengamal yang memiliki sikap
yang teguh. Al-Qur‟an menggunakan kata fiqh dalam pengertian “memahami” secara umum
sebanyak 20 kali.132 Rasulullah SAW telah memerintahkan beberapa diantara para sahabat
untuk memahami secara mendalam (tafaqquh) atau telah memilih mereka sebagai ahli fiqh
atau fuqaha (bentuk jamak dari faqih).
Menurut istilah fiqh adalah:

ْْْْْْْْْْْْْ‫العِلمْاْلَح َكاُـْالشرِعيةُْالَع َملِيةُْالمُكتَ ِسبَةُِْمنْاَِدلتَِهآْالتَػف ِصيلِيِة‬

Artinya:.
“Ilmu tentang hukum-hukum syara‟ yang bersifat amali yang diambil dengan dalil-dalil yang
terperinci”.133

Abdul Wahab Khalaf kembali menegaskan bahwa fiqh adalah kumpulan hukum
syara‟ yang bersifat amali yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Menurut pengertian
fuqaha (ahli hukum islam), fiqh merupakan pengertian zhanni (sangkaan=dugaan) tentang
hukum syariat yang berhubungan dengan tingkah laku manusia. Ahli fiqh disebut faqih atau
jamaknya fuqaha, sebagaimana orang-orang yang banyak ilmunya disebut ulama, yang jika
seorang diri disebut „alim.

131 Saebani, Beni Ahmad dan Januri. 2009. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia. Cet I. Hal
13.
132 Salim, Hasan Basri dan Sastera, Abdul Rozak. 2010. Studi Islam 2. Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Cet I. Hal 9.
133 Saebani, Beni Ahmad dan Januri. 2009. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia. Cet I. Hal
16.

102

a. Pembidangan Ilmu Fiqh
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan

yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek
tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur.

Manakala fiqh islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari‟atkan
kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah
timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqh islam datang memperhatikan aspek
tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukumnya.
Pembagian fiqh menurut objeknya adalah sebagai berikut:
1. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Sang Pencipta seperti sholat,

puasa, haji, zakat dan lainnya disebut sebagai ibadah muadhah atau fiqh ibadah.
2. Hukum-hukum yang mengatur pembentukan dan pembinaan rumah tangga, seperti

masalah perkawinan, talak, rujuk, nafkah, nasab dan waris disebut al-ahwal asy-
syahsiah.
3. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia satu sama lain, baik yang
menyangkut harta kekayaan maupun hak-hak, disebut al-mu‟amalah.
4. Hukum-hukum yang mengatur hubungan hakim (penguasa) dan rakyatnya secara
timbal balik. Hal ini oleh sebagian ulama disebut dengan al-ahkam ash-shulthaniyah
atau as-siyasah asy-syar‟iyah.
5. Hukum-hukum yang mengatur sanksi hukum bagi penjahat („uqubah) yakni mengatur
ketertiban dan ketentraman manusia. Yang tergolong ke dalam kajian Hukum Pidana
Islam atau al-Jinayah.
6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negara dengan negara, seperti masalah
perjanjian, perdamaian dan peperangan disebut as-siyar atau as-siyasah ad-dauliyah, al-
huquq ad-dauliyah.
7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan,
serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh,
pencuri, pemabuk, dan yang lainnya disebu sebagai Fiqh Al „Ukubat.

103

8. Hukum-hukum yang mengatur norma-norma (al-akhlaq) masalah baik buruk dan
sebagainya disebut al-adab.134
Dengan demikian kita dapati bahwa fiqh dengan hukum-hukumnya meliputi semua

kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat
yang kemudian pembidangan ilmu fiqh dapat dikembangkan dengan kesimpulan sebagai
berikut:

1. Bidang ibadah atau fiqh ibadah yaitu hubungan manusia dengan Allah, mengkaji
materi yang berkaitan dengan thaharah (bersuci), shalat, puasa dan ibadah haji.

2. Bidang muamalat yang disebut fiqh muamalat yaitu hubungan manusia dengan
sesame manusia yang berkaitan dengan masalah duniawi, mengkaji maslah
perniagaan atau jual beli, masalah perkawinan, masalah kewarisan, masalah pidana,
masalah perdata, dan masalah politik.
Dalam menetapkan prinsip umum yang berkaitan dengan masalah ibadah dan

muamalah, dalil-dalil dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah terbagi pada dua macam sifat dalil,
yaitu:

1. Qath‟iyyah dilalah yaitu dalil-dalil yang menunjukkan makna dan kandungan
hukum yang jelas, kuat dan pasti sehingga tidak diperlukan penafsiran lagi atas dalil
tersebut.

2. Zhanniyyah dilalah yaitu dalil-dalil yang kandungan dan hukumnya belum pasti
sehingga membutuhkan penafsiran.

b. Fungsi Fiqh
1. Mengetahui alat dan cara bersuci dari kotoran dan najis, adab buang air, istinja‟ dan
berwudhu
2. Mengetahui tata cara melaksanakan puasa dan dapat mengamalkannya.
3. Mengetahui tata cara sholat dan mempraktikannya sehari-hari.
4. Mengetahui pokok-pokok syariat islam tentang zakat, shadaqah, infaq dan waqaf.
5. Mengetahui pokok-pokok syariat islam tentang ibadah haji.

134 Saebani, Beni Ahmad dan Januri. 2009. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia. Cet I. Hal
58.

104

6. Mengetahui pokok-pokok syariat islam tentang hukum makanan dan minuman.
7. Mengetahui pokok-pokok syariat islam tentang binatang yang halal dan haram serta

cara penyembelihannya.
8. Mengetahui pokok-pokok syariat islam tentang jual beli.
9. Terlaksananya ibadah dan muamalat secara benar serta meraih kebahagiaan dunia

dan akhirat yang merupakan anugrah terbesar dari Allah SWT.
10. Mengetahui, memahami dan menghayati hukum-hukum islam serta

melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
11. Untuk menghindari kesalahan dalam menjalankan perintah Alla SWT dan menjauhi

larangan-Nya.
12. Meneguhkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta menanamkan

akhlak mulia seoptimal mungkin,

c. Sumber-Sumber Fiqh
Semua hukum yang terdapat dalam fiqh kembali kepada empat sumber yakni :

1. Al-Qur‟an
Al-Qur‟an adalah wahyu Allah SWT yang merupakan mu‟jizat yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad saw. Sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk
islam, jika dibaca menjadi ibadat kepada Allah SWT.135

Al-Qur‟an mempunyai nama-nama lain seperti Al-Kitab, Kitabullah, Al-Furqan yang
artinya membedakan antara yang haq dan yang batil dan Adz-Dzikru yang artinya
peringatan.
Pokok-pokok isi Al-Qur‟an ada lima yaitu:

a. Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para
Rasul-Nya, hari kemudian, Qadla dan Qadar yang baik dan buruk.

b. Tuntunan ibadah sebagai perbuatan yang menghidupkan jiwa tauhid.

135 Rifai, Moh. 1978. Ilmu Fiqh Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra. Hal 17.

105

c. Janji dan ancaman, Al-Quran menjanjikan pahala bagi orang yang mau menerima
dan mengamalkan isi Al-Qur‟an dan mengancam mereka yang mengingkarinya
dengan siksa.

d. Hukum yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan
akhirat.

e. Inti sejarah orang-orang yang tunduk kepada Allah SWT, yaitu orang-orang yang
shaleh seperti nabi dan rasul, juga sejarah mereka yang mengingkari agama Allah dan
hukum-hukum-Nya.136

2. Sunnah
Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara.137 Sedangkan

Sunnah menurut istilah syara‟ ialah perkataan Nabi Muhammad saw, perbuatannya dan
keterangannya yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh
Nabi tiada ditegurnya sebagai bukti bahwa perbuatan itu tidak terlarang hukumnya.
Berikut adalah pembagian-pembagian Sunnah:

a. Sunnah Qauliyah
Sunnah qauliyah yaitu perkataan Nabi saw yang menerangkan hukum-hukum agama dan
maksud isi Al-Qur‟an. Sunnah qauliyah atau ucapan ini dinamakan juga dengan hadist Nabi
saw.

b. Sunnah Fi‟liyah
Sunnah fi‟liyah yaitu perbuatan Nabi saw yang menerangkan cara melaksanakan ibadah,
misalnya cara berwudhu, shalat dan sebagainya.

c. Sunnah Taqririyah
Sunnah taqririyah yaitu apabila Nabi saw mendengar sahabat mengatakan sesuatu perkataan
atau melihat mereka memperbuat sesuatu lalu ditetapkan dan dibiarkan oleh Nabi saw dan
tidak dilarangnya atau ditegurnya maka yang demikian dinamakan Sunnah ketetapan Nabi.

3. Ijma
Ijma menurut bahasa adalah sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut

istilah adalah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad umat Muhammad, sesudah wafatnya

136 Rifai, Moh. 1978. Ilmu Fiqh Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra. Hal 18.
137 Rifai, Moh. 1978. Ilmu Fiqh Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra. Hal 26.

106

pada suatu masa tentang suatu perkara atau hukum.138 Ijma itu menjadi pegangan dengan
sendirinya ditempat yang tidak didapati dalil (nash), yakni Al-Qur‟an dan Al-Hadist.

Dan tidak menjadi ijma kecuali telah disepakati oleh segala umat islam, dan selama
tidak menyalahi nash yang qath‟i. Ijma tidak dipandang sah kecuali mempunyai sandaran
yang kuat, sebab ijma itu bukan dalil yang berdiri sendiri. Sandaran ijma adakala dalil yang
qath‟i yaitu Al-Qur‟an dan hadist mutawatir dan adakalanya berupa dalil dzanni yaitu hadist
ahad dan qiyas. Ijma sendiri dibagi menjadi dua yaitu:
a. Ijma qauli yaitu ijma dimana para ulama ijtihad menetapkan pendapatnya baik dengan

lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain
dimasanya.
b. Ijma sukuti yaitu ijma dimana para ulama ijtihad berdiam diri tidak mengeluarkan
pendapatnya atas mujtahid lain dan diamnya itu bukan karena takut atau malu.
4. Qiyas

Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan lainnya dan
mempersamakannya. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan sesuatu perbuatan yang
belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum yang sudah ditentukan oleh
nash, disebabkan adanya persamaan diantara keduanya.139 Pada qiyas inilah kita meruju‟
apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik
dalam Al-Qur‟an, Sunnah maupun ijma. Qiyas merupakan sumber rujukan keempat setelah
Al-Qur‟an, as Sunnah dan ijma.

d. Prinsip-prinsip Fiqh
Prinsip fiqh islam adalah titik tolak pelaksanaan terhadap ketetapan Allah yang

berkaitan dengan mukalaf, baik yang berbentuk perintah, larangan, maupun pilihan. Prinsip
yang paling utama adalah ketauhidan, keadilan, dan kemanusiaan. Prinsip ketauhidan
diartikan oleh Hasbi Ash-Shidiqie (1993:99) sebagai tolak ukur perbuatan manusia.140

138 Rifai, Moh. 1978. Ilmu Fiqh Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra. Hal 36.
139 Rifai, Moh. 1978. Ilmu Fiqh Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra. Hal 40.
140 Saebani, Beni Ahmad dan Taufiqurrahman Encep. 2015. Pengantar Ilmu Fiqh. Bandung: CV
Pustaka Setia. Hal 73.

107

Dengan prinsip ketauhidan, semua manusia memiliki hak yang sama untuk dapat
berhubungan dengan Allah tanpa perantara.

Prinsip keadilan berpijak pada pandangan bahwa seluruh makhluk Allah SWT
tercipta dengan keseimbangan. Manusia diberikan alat untuk mempertahakankan
keseimbangannya dengan akal dan hati. Nilai-nilai kemanusiaan membangun prinsip
persamaan di mata Allah SWT dan sesama manusia. Evaluasi tentang derajat manusia
bergantung pada hak prerogative Allah yaitu ketakwaannya.

Prinsip kemanusiaan membangun al-musawwah141 antara kaum fakir dan kaum yang
kaya. Hukum islam tidak membenarkan upaya diskriminatif antara kaum borjuis dan
proletar.

e. Tujuan Fiqh
Tujuan fiqh yang utama adalah tergalinya pesan-pesan hukum yang termuat dalam

nash Al-Qur‟an dan as-sunnah sehingga memudahkan umat islam mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan adanya fiqh, dalil-dalil yang berkaitan dengan syariat mudah
dimengerti sehingga umat islam yang awam tidak mengalami kesulitan melaksanakan perinta
Allah dan Rasulullah saw dalam pengamalan ibadah maupun muamalah.

f. Kaidah Fiqh
Ada lima kaidah fiqh yang disebut pancakaidah142. Kaidah-kaidah tersebut adalah

sebagai berikut:
1. Al-umur bimaqasidih yaitu segala urusan bergantung pada tujuannya.
2. Al-dharar yuzal yaitu kemudaratan harus dihilangkan.
3. Al-„adah muhakkamah yaitu kebiasaan dapat menjadi hukum.
4. Al-yaqin layazul au layuzal bi al-syak yaitu keyakinan tidak dapat hilang karena
adanya keraguan.
5. Al-masyaqah tajlib al-taisir yaitu kesukaran mendatangkan kemudahan.

141 Al-Musawwah adalah kesetaraan, kesejajaran. Artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi
dari yang lain, sehingga dapat memaksakan kehendaknya.
142 Saebani, Beni Ahmad dan Taufiqurrahman Encep. 2015. Pengantar Ilmu Fiqh. Bandung: CV
Pustaka Setia. Hal 81.

108

g. Objek Fiqh
Objek fiqh ada lima, yaitu sebagai berikut:
1. Pembuat hukum islam (Al-Hakim) yakni Allah SWT, yang telah menjadikan para nabi

dan rasul, terutama Nabi Muhammad saw yang menerima risalah-Nya berupa sumber
ajaran islam yang tertuang dalam kitab suci Al-Qur‟an dan as- Sunnah.
2. Sumber ajaran hukum islam, terutama yang berkaitan dengan kalamullah yang tertulis
atau Qur‟aniyah.
3. Orang yang menjadi objek sekaligus subjek dari kalam-kalam ilahi, yaitu mukalaf atau
orang dewasa yang diperintah atau dilarang atau diberi kebebasan untuk memilih.
4. Tujuan hukum islam sebagai landasan amaliah para mukalaf dan balasan yang berupa
pahala dari pembawa perintah.
5. Berbagai metode yang dipergunakan oleh para ulama untuk mengeluarkan dalil-dalil
dalam sumber hukum islam.

h. Subjek Fiqh
Subjek fiqh adalah orang yang memenuhi hak dan tanggung jawab atas hukum yang

berlaku. Apabila dengan keadaan fisik dan psikisnya seseorang telah layak menerima hak dan
menjalankan kewajibannya dapat dikategorikan sebagai subjek hukum fiqh.

Dari uraian yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa fiqh adalah ilmu
yang sangat penting untuk diajarkan karena berisi tentang hukum syariat bersifat praktis
yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci dengan cara istinbath guna membimbing manusia
melaksanakan kewajibannya kepada Allah SWT dengan baik dan benar.

E. EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM
Menelaah aspek epistemologi143 hukum islam menurut filsafat syariah dapat

menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan kefilsafatan dan pendekatan empiris
historis ilmu syariat itu sendiri. Secara empiris historis, dijumpai tiga pilar utama ilmu
syariat sebagai ilmu murni dan satu pilar ilmu syariat terapan. Tiga pilar utama itu ialah

143 Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme, yakni knowledge dalam bahasa Inggris yang
berarti pengetahuan, dan logos, yaitu logy atau theory dalam bahasa Inggris yang berarti teori.

109

filsafat ilmu syariat, metodologi ilmu syariat, dan ilmu syariat atau ilmu fiqh. Satu pilar
lainnya ialah ilmu syariat terapan yaitu al-siyasah al-syar`iah. Filsafat ilmu syariat meliputi
filsafat teoritis (al-hikmah al-nazariyyah), dan filsafat praktis (al-hikmah al-amaliyah).
Metodologi ilmu syariat melahirkan ilmu Ushul al-Fiqh.144

Kata syara secara etimologi berarti jalan-jalan yang bias ditempuh oleh air,
maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia menuju Allah SWT. Syariatt Islamiyah adalah
hukum atau peraturan islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat muslim. Selain
berisi hukum, aturan dan panduan peri kehidupan, syariat islam juga berisi kunci
penyelesaian seluruh masalah manusia baik didunia maupun diakhirat.

Syariah berasal dari kata bahasa Arab yang berarti jalan yang harus diikuti. Secara
harfiah ia berarti “jalan ke sebuah mata air”. Ia bukan hanya jalan menuju keridhaan Allah
yang maha agung, melainkan juga jalan yang diimani oleh seluruh kaum muslimin sebagai
jalan yang dibentangkan oleh Allah sang pencipta itu sendiri, melalui utusannya Nabi
Muhammad SAW. Dalam islam, hanya Allah yang maha kuasa dan dia sematalah yang
berhak menetapkan jalan sebagain petunjuk hidup bagi umat manusia. Dengan demikian
maka hanya Syariat semata yang membebaskan manusia dari perhambaan kepada selain
Allah. Inilah sebabnya mengapa kaum muslimin diwajibkan berusaha untuk
mengimplementasikan jalan tersebut dalam kehidupannya, bukan yang selainnya.

Tak satupun kelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan paripurna mutlak
yang diperlukan untuk menggelarkan jalan petunjuk bagi kehidupan manusia. Menurut
Sayyid Qutb, “Mereka dihimpun dengan kehampaan dan angan-angan serta tak tahu apa-
apa bila mereka mengemban tugas yang sebenarnya bukan bidang keahlian mereka dan
bukan pula mereka. Maka bila mereka menuntut salah satu hal dan wewenang milik Tuhan,
jelas itu merupakan suatu dosa yang besar dan kejahatan yang tak berampun.”
Petunjuk agar berlaku adil

Banyak ayat Al-quran yangb memerintahkan kaum muslimin agar berlaku adil.
Terus menerus sejak awal, Allah menyuruh para rasul-nya dengan tiga perintah yang
ditujukan untuk menegakkan keadilan dan member petunjuk seluruh umat manusia menuju

144 Imran Ahsan Nasyee, Islamic Jurisprudence (Ushul al-Fiqh), The Other Press, Petaling Jaya,
Malaysia, 2003, 37-41.

110

petunjuk jalan keselamatan. Ada tiga hal yang disebutkan sebagai karunia Allah, yaitu Al-
Kitab, Timbangan dan Kekuasaan yang merupakan lambang dari tiga hal yang
mengendalikan kehidupan masyarakat, yaitu wahyu yang mengandung perintah berbuat baik
dan melarang kejahatan. Adil mengandung suatu pengertian yang menyeluruh dan boleh jadi
meliputi semua norma tingkah laku yang baik. Namun agama islam menuntut hal yang lebih
mendalam dan manusiawi lagi, yaitu agar mengerjakan berbagai kebaikan sekalipun mungkin
itu tidak dituntut sepenuhnya oleh rasa keadilan itu sendiri, seperti membalas dengan
kebaikan atas perbuatan jahat, atau membantu orang yang sebenarnya dalam bahasa dunia
ini “tak berhak” menuntut pertolongan darimu, dan tentu saja memenuhi berbagai tuntutan
orang-orang yang mana tuntutan mereka diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Demikian
pula sebaliknya dalam hal-hal yang harus dicegah. Semua hal yang dianggap memalukan dan
tidak baik serta segala bentuk pengingkaran terhadap hukum Allah baik secara nyata
maupun tersembunyi di dalam batin dalam hal-hal yang sangat mendasar.

F. SUMBER-SUMBER SYARIAT ISLAM
Pada hakikatnya, syariat islam itu hanya mempunyai satu sumber hukum, yaitu

wahyu illahi. Wahyu illahi itu dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu pertama wahyu
yang berupa Al-quran dan yang kedua adalah wahyu yang berupa sunah. Allah SWT
menurunkan satu sumber hukum kepada umat islam. Meski demikian, dalam satu sumber
hukum tersebut termaktub firman dan janji-janji Allah untuk umat manusia agar mereka
selamat dari pengadaan hukum yang tidak ada dasar pijakan atau sumbernya, atau agar
mereka tidak menyeleweng, menambah bahkan mengurangi ketentuan hukum yang telah
dinaskan. Ketentuan tersebut termaktub dalam kitab suci Al-quran yang tidak terdapat
kebhatilan sedikit pun di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA
- Amir, Syarifuddin. 2011. ushul fiqh. Jakarta: Kencana Perdana Media Group.
- Buku Hukum Islam (Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia)
- Hasan, Ahmad. 1985. Ijma. Bandung: Penerbit Pustaka.

111

- http://nuraini-forchadd.blogspot.co.id/2010/11/ruang-lingkup-ushul-fiqh.html
- https://id.wikipedia.org/wiki/Syariat_Islam
- Membumikan Syariat Islam (Dr.Yusuf Al-Qardhawi)
- Nasrun, Haroen.1996. ushul fiqh : Wacana ilmu dan pemikiran. Jakarta: Logos Publishing

House.
- Rachmat, Syafe‟I. 2010. ilmu ushul fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
- Rasjid, Sulaiman. 2013. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo
- Rifai, Moh. 1978. Ilmu Fiqh Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra.
- Saebani, Beni Ahmad dan Januri. 2009. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia.
- Saebani, Beni Ahmad dan Taufiqurrahman Encep. 2015. Pengantar Ilmu Fiqh. Bandung:

CV Pustaka Setia.
- Salim, Hasan Basri dan Sastera, Abdul Rozak. 2010. Studi Islam 2. Jakarta: Lembaga

Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

112

BAB 7
MAZHAB-MAZHAB DALAM ISLAM SERTA TAQLID, I‟TIBA

A. PENGERTIAN MAZHAB, PERKEMBANGAN MAZHAB, LATAR BELAKANG
a. Timbulnya mazhab

Menurut bahasa, Mazhab “mazhab” berasal dari shigah mashdar mimy (kata sifat)
dan isim makan (kata yang menunjukan tempat) yang diambil dari fiil madhi “dzahaba”
yang berarti “pergi” yang bisa juga berarti “Pendapat”
Sedangkan menurut istilah ada beberapa istilah antara lain :
1. Menurut Said Ramadhany al-buthy, mazhab adalah jalan pikiran (paham/pendapat)

yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum islam dari
alquran dan hadits.
2. Menurut K.H.E Abdurahman, mazhab dalam istilah islam berate pendapat,paham atau
aliran seoarang alim besar dalam islam yang digemari imam seperti mazhab imam abu
hanifah, mazhab imam ahmad ibn hanbal, azhab imam syafii, mazhab imam malik, dll.
3. Menurut A.Hasan,mazhab adalah sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang
alimbersar dalam urusan agama,baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mazhab
menurut istilah, meliputi 2 pengertian yaitu:
a. Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid
dalam menetapkan hukum suatu persitiwa berdasarkan kepada alquran dan hadits.
b. Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang imam mujtahid tentang hukum suatu
peristiwa yang diambil dari alquran dan hadist.
Jadi mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid
dalam memcahkan masalah atau mengistinbathkan hukum islam.
Munculnya mazhab-mazhab menunjukan betapa majunya perkembangan hukum islam
pada waktu itu. Hal ini terutama disebabkan adanya 3 faktor yang sangat menentukan
bagi perkembangan hukum islam sesudah wafatnya rasulullah saw.145

145 Huzaemah Tahido yanggo, pengantar perbandingan mazhab, (Jakarta:Logos, 1996.) hal. 71-72

113

1. Semakin luasnya daerah kekuasan islam, mencakupi wilayah-wilayah disemenanjung
arab,Irak,Mesir,Syam,Parsi,dll.

2. Pergaulan kaum muslimin dengan bangsa yang ditaklukannya. Mereka terpengaruh oleh
budaya adat istiadat serta tradisi bangsa tersebut.146

3. Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukan itu dengan ibu kota khalifah
(pemerintahan) islam,membuat para gubernur,para hakim dan para ulama harus
melakukan ijtihad guna memberikan jawaban terhadap problem dan masalah-masalah
baru yang dihadapi.
Perkembangan mazhab itu tidaklah sama. Ada yang mendapat sambutan dan

memiliki pengikut yang mengembangkan serta meneruskannya,namun adalakanya suatu
mazhab kala pengaruhnya oleh mazhab-mazhab lain yang datang kemudian,sehingga
pengikutnya menjadi surut. Mereka hanya disebut saja pendapatnya disela-sela kitab-kitab
para imam mazhab bahkan ada yang hilang sama sekali. Mazhab yang dapat berkembang
sampai sekarang serta banyak diikuti leh umat islam diseluruh dunia hanya 4 mazhab yaitu :
1. Mazhab hanafi,pendirinya imam abu hanifah
2. Mazhab maliki,pendirinya imam malik.
3. Mazhab syafii,pendirinya imam syafii
4. Mazhab hambali,pendirinya imam Ahmad bin Hanbal

Perkembangan keempat mazhab ini ditentukan oleh beberapa faktor menurut khudari
bek adalah:
a. Pendapat mereka dikumpulkan dan dibukukan hal ini tidak terjadi pada ulama salaf.
b. Adanya murid-murid yang berusaha menyebar luaskan pendapat

mereka,mempertahankan dan membelanya.
c. Adanya kecendrungan jumpur ulama yang menyarankan agar keputusan yang

diputuskan oleh hakim berasal dari suatu mazhab,sehingga dalam berpendapat,tidak
ada dugaan yang negative,karna mengikuti hawa nafsu
b. Pembagian Mazhab

Mazhab-mazhab fiqh dari golongan sunni:

146 ibid

114

1) Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi merupakan mazhab fiqh islam yang pertama muncul dari kalangan

sunni, dan bercorak rasional yang berkedudukan di kufah. Mazhab fiqh ini dibentuk oleh
nu‟man bin tsabit bin zutha (80 - 150 H), yang popular dengan nama Abu Hanifa.
Gelarnya ini diberikan oleh masyarakat kufah karena ketekunannya dalam beribadah
kejujuran serta kecenderungannya pada kebenarannya.147

Mazhab hanafi adalah mazhab yang resmi dipakai oleh kerajaan Usmani dan di
zaman Bani Abbas banyak dianut di Irak. Sekarang penganut mazhab itu banyak terdapat di
turki Suria, Afganistan, Turkistan dan India. Beberapa Negara masih memakai mazhab ini
sebagai mazhab resmi seperti Suria, Lebanon, dan Mesir.148
Dasar-dasar mazhab hanafi dalam menentukan hukum adalah :

a) Al-quran
Abu hanifah berprinsipbahwa Al-quran adalah sumber segala ketentuan syariah. Al-

quran memaparkan berbagai ketentuan syariah, baik ketentuan-ketentuan yang langsung bisa
dipahami operasionalnya, maupun yang memerlukan penjelasan lebih lanjut dari al-Sunah.
Kemuadian, al-quran sebagai hukum ashal yang dijadikan rujukan dalam proses kajian
analogis, atau legislasi terhadap berbagai metode hukum yang dirumuskan oleh mujtahid.

b) Al-Sunah
Al-sunah merupakan sumber hukum kedua setelah al-quran, dan berperan sebagai

penjelasan terhadap berbagai ketentuan hukum dari Al-quran yang masih belum jelas
maksud-maksudnya.

c) Perkataan sahabat
Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah,

karena menurutnya mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasul kepada generasi
sesudahnya.

d) Qiyas
Kalau Al-quran dan al-Sunah tidak menyatakan secara eksplisit tentang ketentuan

hukum bagi persoalan-persoalan yang dihadapinya, Abu Hanifah mengkajinya lewat qiyas,

147 Studi islam 2, cet.1, 2010, hal 37-39
148 Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Harun nasution. Cet.5, hal 9

115

yakni menghubungkan persoalan-persoalan (furu‟) tersebut kepada sesuatu yang telah
ditetapkan hukumnya oleh nash (ashal), dengan melihat kesamaan-kesamaan ilat, maka
hkum furu‟ sama dengan hukum ashal.

e) Istihsan
Kalau hasil qiyas itu terlihat kurang sesuai dengan kebutuhan social dilihat dari sisi

mashahahnya, maka abu hanifah akan mencari ilat lain yang akan mengalihkan furu‟ pada
ashal yang lain yang akan melahirkan ketentuan hukum sebaliknya, dan sesuain dengan
tuntutan mashlahah dalam kehidupan social.

f) Urf
Urf atau tradisi masyarakat sejauh tidak bertentangan dengan nash, dan sejalan

dengan semangat syariah dapat diangkat sebagai ketentuan-ketentuan hukum.

2) Mazhab Maliki
Mazhab maliki dibentuk oleh imam malik bin anas bin malik bin abi ‟amir bin

„amar (93-179H). beliau adalah seorang faqih kelahiran madinah dari ras Arabia selatan,
karena kedua orang tuanya berasal dari yaman.149 Mazhab maliki banyak dianut di hejaz,
marokko, tunis,Tripoli, mesir selatan, sudan, Bahrain dan Kuwait, yaitu di dunia islam
sebelah barat dan kurang di unia islam sebelat timur.150
Dasar – dasar mazhab maliki dalam menentukan hukum adalah:

a) Al – Quran
Sebagaimana Abu Hanifah, Maliki menjadikan al-quran sebagai sumbe hukum yang

pertama dan berada di atas yang lainnya, karena dalam al-quranlah tertuang semua ketentuan
hukum syara‟ bagi orang-orang mukallaf, yang ditetapkan langsung oleh syari‟.

b) Al – Sunah
Al-sunah merupakan sumber hukum ke dua setelah al-quran, karena fungsi

utamanya adalah menjelaskan ayat-ayat al-quran yang mujmal, kendati dalam beberapa hal,
al-sunah merupakan hukum tersendiri tanpa terkaitAl-quran.

149 Studi islam 2, cet.1, 2010, hal 41-43
150 Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Harun Nasution. Cet. 5, hal 10.

116

Dalam pemakaian al-sunah ini, malik lebih mengutamakan sunah mutawatir, kemudian yang
masyhur.

c) Tradisi masyarakat madinah
Tradisi masyarakat madinah adalah norma adat yang ditaati seluruh masyarakat

kota itu. Oleh sebab itu, tradisi tersebut juga disebut sebagai kesepakatan (ijma) masyarakat
madinah.

d) Fatwa sahabat
Sebagaimana abu hanifah, malik juga meunjuk fatwa-fatwa sahabat. Bahkan menurut

abu Zahra, malik melihatnya sebagai hadis. Namun konsekuensinya, hadis seperti itu lemah,
karena sanadnya terhenti pada sahabat. Oleh sebab itu, kalau bertentangan dengan hadis
marfu‟, otomatis hadis-hadis tersebut tertolak.

e) Qiyas, mashlahah al-mursalah dan istihsan
Metodologi qias malik tidak berbeda dengan abu hanifah, hanya saja konsep

istihsannya berlainan. Kalau abu hanifah melakukan istihsan dengan mengalihkan furu‟ pada
ashal yang lain yang ilatnya lemah tapi hasil hukumnya lebih baik, maka konsep istihsan
malik adalah beralih dari hasil qias pada hasil kajian maslahah. Sementara maslahah al-
mursalah sendiri menurutnya adalah menetapkan hukum untuk berbagai persoalan temporer
dengan mempertimbangkan maqashid al-syariahnya, yakni memelihara agama, jiwa, akal,
harta dan keturunan, yang proses analisanya lebih baik ditentukan oleh nalar mujtahid
sendiri.

f) Al-dzari‟ah
Secara semantik kata al-dzari‟ah berarti sarana. Sedang menurut istilah ahli ushul

fiqh adalah sarana atau jalan untuk sampai pada suatu tujuan.

3) Imam Syafi‟i
Imam Syafii ra adalah muhamad bin Abbas'-al bin Idris bin Muhammad adalah

‫رحمو الله‬i' Syafi-asy Imam 'Utsman bin Syaffi'i bin as-Saib bin 'Ubaid bin 'Abdu Yazid bin
Hasyim bin al-Muththalib bin 'Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab
bin Luay bin Ghalib, Abu 'Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi'i al-Makki, .pamannya putra dan

117

‫صلى الله عليو وسلم‬Rasulullah dekat keluarga Al-Muththalib adalah saudara Hasyim, ayah dari
'Abdul Muththalib. berkumpul ‫رحمو الله‬i'Syafi-asy Imam kakek dan ‫صلى الله عليو وسلم‬
Rasulullah Kakek (bertemu nasabnya) pada 'Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah
.ketiga yang ‫صلى الله عليو وسلم‬adalah ‫ر حمو الله‬i'Syafi-asy Imam" :berkata ‫رحمو الله‬Nawawi-
an Imam Qurasyi (berasal dari suku Quraisy) dan Muththalibi (keturunan Muththalib)
berdasarkan ijma' para ahli riwayat dari semua golongan, sementara ibunya berasal dari suku
Azdiyah". 1 bernama yang kakeknya kepada dinisbatkan ‫رحمو الله‬i'Syafi-asy Imam Syafi' bin
as-Saib, seorang Sahabat kecil yang sempat bertemu dengan .muda masih ketika ‫صلى الله عليو‬

‫وسلم‬Rasulullah sebuah di berada ‫صلى الله عليو وسلم‬Nabi hari suatu pada bahwa
Diriwayatkan tempat yang bernama Fusthath. Kemudian, datanglah kepadanya asSaib bin
„Ubaid beserta putranya yaitu, Syafi' bin as-Saib. "Suatu kebahagiaan bila seseorang mirip
dengan ayahnya," As-Saib bin 'Ubaid sendiri mirip dengan Rasulullah, ia memegang
bendera Bani Hasyim bersama pasukan musyrikin. Setelah tertawan, ia menebus dirinya dan
masuk Islam. Ketika ia ditanya: "Mengapa engkau tidak memeluk Islam sebelum engkau
menebus dirimu?" Ia menjawab: "Tidak patut aku menghalangi kaum Mukminin (untuk
menerima tebusan dariku) karena keinginan mereka yang begitu besar (agar aku menebus)
diriku."3 i„Syafi Manaaqibusy dalam meriwayatkan ‫رحمو الله‬Hakim-al Imam dengan
sanadnya bahwa as-Saib suatu ketika jatuh sakit. Maka Umar bin al-Khaththab ‫ر ي الله ع‬
‫ه‬ara Sahabat untuk menjenguknya. "AsSaib adalah orang Quraisy yang paling murni
nasabnya," ucap Umar , ‫رضً الله عنو‬Abbas-al dengan bersama ‫صلى الله عليو وسلم‬Nabi151

4) Mazhab hambali
Imam ahmad adalah tokoh pendiri mazhab hambali. Beliau bernama ahmad bin

Muhammad bin hambal bin hilal, kelahiran Baghdad tahun 164 H, meninggal tahun 241 H,
juga di Baghdad. Kedua orang tuanya keturunan arab dari kabilah syaiban, dan berjumpa
nasab dengan nabi pada nazar. 152

151 Al-Ishaabah oleh Ibnu Hajar (II/11) dan Tawaalit Ta-siis (37). Didha'ifkan oleh

Syaikh al-Albani dalam Dha'iful-Jaami' (no.5301).
152 Studi islam 2, cet.1, 2010, hal 49-52

118

Penganut mazhab hambali terdapat di irak,mesir, suria, palestina dan Arabia. Di
Saudi Arabia mazhab ini merupakan mazhab resmi dari Negara. Di antara keempat mazhab
yang ada sekarang, mazhab hambalilah yang paling kecil penganutnya.153
Dasar-dasar mazhab hambali dalam menentukan hukum adalah :

a) Nash-nash al-quran dan al-sunah
Ahmad bin hambal, dalam proses kajian hukumnya, senantiasa bersumber pada

nash-nash al-quran dan al-sunah yang marfu‟, dan senantiasa mengutamakan nash-nash
tersebut dari perkataan sahabat, termasuk pemahaman mereka terhadap nash tersebut.

b) Perkataan-perkataan sahabat
Selain dengan nash-nash di atas, ahmad juga menerima fatwa-fatwa sahabat yang

tidak terbantah oleh fatwa sahabat lainny, yang dalam pandangan ulama lainnya disebut juga
sebagai ijma‟.

c) Hadis mursal
Ahmad tergolong orang yang amat berani. Tanpa ragu dia mengangkat hadis mursal

sebagai rujukan dalam penyelesaian persoalan-persoalan furu yang dihadapinya.
d) Qiyas
Dalam keadaan terpaksa, yakni dalam keadaan semua rujukan di atas tidak

menyatakan langsung tentang ketentuan-ketentuan hukum persoalan-persoalan yang
dihadapinya, ahmad melakukan kajian qias.

5) Mazhab-mazhab yang tidak berkembang lagi
Selain empat mazhab diatas, dikalangan sunni pernah muncul mazhab-mazhab lain yang kini
sudah tidak berkembang lagi, yaitu mazhab dzahiri, auza‟I dan laits.

153 Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Harun Nasution. Cet.5, hal 13

119

Mazhab-mazhab fiqh dari kalangan syi‟ah
1) Mazhab zaidiyah
Mazhab zaidiyah dikembangkan olehzaid bin abi ali zainal abiding, bin husein, bin ali bin
abi thalib. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H dan meninggal dalam peperangan melawan
rezim amawy pada tahun 122 H.
2) Mazhab ja‟fariyah
Mazhab ja‟fariyah dikembangkan oleh ja‟far al shadiq ibnu Muhammad al-baqir (80 -148
H). sebagaimana zaid, ja‟far mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dari kakeknya yaitu ali zainal
abiding. Namun setelah kakeknya meninggal dunia (94H), dia terus dibina oleh ayahnya
sendiri Muhammad al-baqir.

Sebab-sebab perbedaan mazhab
Perbedaan-perbedaan antara satu mazhab dengan yang lainnyaitu disebabkan oleh beberapa
factor, yaitu:
a) Corak kajian fiqh yang berbeda dasar pijakannya antara aliran tradisional dengan aliran

rasional.
b) Pemahaman makna ayat yang berbeda.
c) Berbeda dalam pemakaian al-sunah.
d) Perbedaan dalam pemakaian kaidah ushul.154

B. TAQLID
Secara terminologis taqlid berasal dari bahasa arab berupa kata kerja, yaitu

“Qallada”, yaqallidu‟, “taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya. Menurut
istilah ushul fiqh yang dimaksud dengan taqlid adalah :

ُْ‫قَػبُػوُؿْقَػوِؿْالَقائِِلَْوأَن َتْ ْلَْتَػعلَ ُمِْمنْأَي َنْقَالَو‬

“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan
perkataannya itu.”

154 Studi islam 2, cet.1, 2010, hal 53-59

120

Ada juga ulama lain memberi definisi, seperti Al-Ghazali, yakni :

ْ‫قَػبُػوُؿْقَػوِؿْالَقائِِلْالغَيِرْ ُدوَفْ ُحجتِِو‬

“Menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”
Dapat di simpulkan bahwa, taqlid adalah menerima atau mengambil perkataan

orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur‟an Hadis, Ijma‟ dan Qiyas.
Dalam buku Fikih Kita di Masyarakat antara teori dan parktek dikatakan, taqlid telah
dirumuskan oleh ulama ushul fiqh, yaitu mengikuti pendapat seorang tanpa mengetahui
dasar-dasarnya. Dalam islam, taqlid dibagi menjadi dua:

Pertama, taqlid dalam persoalan teologi (ushuludin/keyakinan pokok), seperti
meyakini (iman) keberadaan tuhan dan menyakini bahwa alam semesta merupakan benda
yang bermulia (baru). Keyainan semacam inin, tidak boleh sekedar ikut-ikutan, tidak
dilandasi dengan dalil (al-qur‟an-Hadist) atau dengan proses berfikir (nazhar) yang
mengatar dirinya menyakini kebenran ini. jadi, taqlid dalam persoalan akidah semacam ini
tidak dibenarkan. Menurut pendapat yang terpilih (al qalw al-mukhtar), iman yang hanya
berlandasan taqlid di anggap tidak sah. Namaun ada pendapat lain (qil) yamg menyatakan
sudah dianggap cukup.

Kedua, taqliq dalam urusan ibadah, seperti ngeikuti salah satu pendapat ulama
(mujtahid) yang pendapatnya sudah dibuka dan beredar (mudawwan) dengan tanpa
mengetahuin dalil aslinya, baik yang merupakan alquran maupun Hadist. Taqlid semacam
ini, seperti yang telah disepakati oleh ulamah empat mazhab, merupakan sebuah keharusan
bagi setiap orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menggali hukum fiqih dari
teksalquran dan hadist155

a. Hukum Ber-taqlid
Hukum taqlid yang dinyatakan oleh beberapa ulama ialah seagai berikut :
a. Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur‟an dan As-

Sunah, taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya, dan taqlid kepada
pendapat seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat orang itu salah.

155 Pondok pesantren sidogiri, Fikih Kita di Masyarakat , pustaka sidogiri,2000, 12 s/d 19

121

b. Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan selalu
berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid
seperti ini sifatnya hanya sementara.

c. Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan
hujjah, yaitu Rasulullah saw.156
Seperti yang telah disanggung di atas orang yang belom masih belum mencapai

tingkat mujtahid, ia harus mengikuti salah satu ulamayang sudah masuk dalam kategori
musjtahid mutlaq, seperti imam abu anifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi‟i dan Imam
bin Hanbal.

Sebagai ulama ushul fiqih ada yang menyataan bahwa mayoritas ulama sepakat
bahwa mujtahid itu sudah tidak ditemukan pada periode sekarang. Pendapat ini senada
dengan apa yang telah di tegas kan oleh Ibnu Hajar bahwa setelah periode Imam Syafi‟i
sudah tidak pernah ditumukan lagi seorang mujtahid mustaqil.
Dalil yang menunjukan bahwa orang awam wajib Ber-taqlid kepada sengorang mujtahid
adalah firman allah dalam surat al-Nisa‟ ayat 83:
Artinya: dan kalau merka menyerahkannya kepada Rosul dan ulil-amri dari kalangan mereka
maka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenaran (istinban) dapat mengetahui
dari mereka.

Orang yang metapkan kesimpulan (istinbat) hanyalah orang-orang yang punya
keahlian berijhithad.

Menurut pendapat yang paling bener (qawlashah), seorang yang sudah mengikuti
madzhad tertentu. Ia harus menyakini kenggulan mazhab yang diikuti di banding mazhab
yang lain. Atau paling tidak ia menyakini bahwa mazhab yang diikuti tidak kalah unggul di
bamding mazhab yang lain. Meski demikian, seorang yang sudah mengikuti mazhab tertentu
ia tetap diperbolehkan berpindah dari mazhab asalnya kemazhab yang lain, asal ia mengikuti
prosudur dan aturan perpindah mazhab. 157

156 Ibnu, 2014, op.cit
157 E-mail: [email protected] website: http://www.sidogiri.com

122

b. Syarat taqlid
Dalam buku Fikih Kita di Masyarakat antara teori dan praktek dikatakan orang

yang Ber-taqlid kepada mazhab tertentu diharuskan mengikuti ketentuan sebagai berikut:
1. Harus mengetahui secara utuh berbagai ketetapan (tehknik) imamnya dengan
masalah yang diikuti, seperti sebagai berikut: misalnya, Bila ada seseorang yang
hendak mengikuti madzhab Hanifi bahwa persentuhan ilit lawan jenis yang bukan
mahkrom tidak membatalkan wudhu‟ sekalipun syahwat, maka orang tersebut harus
mengetahuiberbagai kewajiban yang telah ditetapkan oleh Imam Hanifi dalam Bab
wudhu‟, seperti mengusap kepala seukuran ubun-ubun, tidak boleh ada darah yang
mengalir dari tubunya dan beberapa syarat yang lain.
2. Taklid tidak dilakukan setelah pelaksanaan. Misalnya: amin adalah orang yang
bermadzhab syafi‟i. Di sebuah siang bulan ramdhan, ia ingat malam harinya ia tidak
berniat berpuasa, padahal niat pada watunya menurut mazdham syafi‟i adalah wajib.
3. Tidak mengambil pendapat yang murah-murah. Artinya, muqallid (orang yang
taqlid) tidak boleh mengambil pendapat yang murah-murah dari berbagai madzhab.
Misalnya: pada saat tidak menemuan sarana bersuci (tidak ada air dan debu/ yang
ada hanya adalah batu), sufyan meninggalkan tayamum karena berdasarkan
pendapat imam syafi‟i. Dan kasus itu, menurut madzhab syafi‟i , tidak usah
melakukan wudhu/tayamum, karema menurut imam syafi‟i sarana bersuci itu adalah
air dan batu.
4. Iman yang dikuti harus mujtahid, baik mujtahid mutlaq seperti nahifi, mailiki,
Maliki Syafi‟I dan Hanbili, atau mujtahid muntasib ( mujtahid yang masih yang
berafiliasi kepada madzhab tertentu) seperti Imam Rafi‟I, Imam Nawawi, Imam
Ramli dan Ibnu Hajar, kecuali jika pendapat mereka sangat dha‟if sekali.
5. Tidak boleh tlfiq, yaitu mencampur 2 pendapat iamam dalam sau persoalan
hokum(qadliyya(, yang pada akhirnya, apa yang dilakukan itu sama-sama tidak
diakui oleh masing-masing iman. Misalnya: dalam berwudhu‟, muiz mengikuti
mazhab syafi‟I yang menyatakan cukup mengusap sebagian kepala. Setelah itu, muiz
menyentuh perempuan yang bukan mahramnya tanpa syahwat, mengikuti imam

123

malik. Setelah itu muiz solat. Taqlid semacam ini, hukumnya tidk diperbolehkan,
karna menurut syafi‟I menyentuh perempuan yang bukan mahramnya dapar
membatalkan wudhu‟, sementara menurut Malikiwudhu, harus mengusap seluruh
bagian kepala(rambut). Jadi, baik menurut syafi‟I dan Maliki, muiz sama-sama tidak
boleh sholat.
6. Hukum yang ikuti tidak berupa pendapat yang tidak boleh dijadikan keputusan
hokum oleh qodhi. Artinya, seandainya qodhi memutuskan suatu permasalahan
dengan hokum tersebut maka keputusan itu harus dibatalkan, karna menyalahi nash,
ijma dan qiyas jail. Contoh: mentapkan suatu kebijakan dengan mengikuti pendapat
dawudal-zhahiri dalam hal bolehnya memaikan alat al-malahi (alat music yang
dilarang), atau kawin tanpa wali dan saksi, maka kita tidak diperbolehkan mengikuti
pendapat tersebut, karna menyalahi nash.158

C. ITTIBA
a. Pengertian ittiba

Ittiba‟ secara bahasa berarti iqtifa‟ (menelusuri jejak), qudwah (bersuri teladan) dan
uswah (berpanutan). Adapun secara istilah ittiba‟ berarti mengikuti seseorang atau suatu
ucapan dengan hujjah dan dalil.
b. Kedudukan ittiba dalam islam

Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh
ittiba‟, diantaranya adalah:

- Ittiba‟ kepada Rasulullah SAW adalah salah satu syarat diterima amal.
- Ittiba‟ merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya.
- Ittiba‟ adalah sifat yang utama wali-wali Allah.

158 pondok pesantren sidogiri, 2000, lop.cit

124

DAFTAR PUSTAKA
- Tahido yanggo, Huzaemah. 1996. pengantar perbandingan mazhab. Jakarta: Logos.
- Djamil, Faturrahman. 1995.Metode Ijtihad. Jakarta: Logos Publishing House.
- „Abd al-Wahhab Khallaf. Rasionalitas Ijtihad ibn Rusyd.
- Nasution, Harun. 2013. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid I. Jakarta: UI Press
- Ibnu, 2014, diakses dari http://makalah-ibnu.blogspot.co.id/2014/08/madzhab-dan-

taqlid-dalam-islam.html
- Pondok pesantren sidogiri, Fikih Kita di Masyarakat, pustaka sidogiri , 2000, 12 s/d 19 .
- Ibnu,2014, lop.cit
- E-mail: [email protected] website: http://www.sidogiri.com
- pondok pesantren sidogiri, 2000, lop.cit
- https://id.wikipedia.org/wiki/Ijtihad
- http://members.tripod.com/abu_fatih/Ijtihadhosen.htm

125

BAB 8
TEOLOGI ISLAM DAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA‟AH

A. TEOLOGI ISLAM
a. Pengertian

Teologi, pengertian teologi secara umum adalah ilmu yang mempelajari segala
sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang
berhubungan dengan Tuhan.159

Teologi dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu theologia. Yang terdiri
dari kata theos yang berarti Tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi
adalah pengetahuan ketuhanan

Sehingga islam dalam bahasan teologi Islam, adalah agama yang menuntut sikap
ketundukan dengan penyerahan dan sikap pasrah, disertai sifat batin yang tulus, sehingga
intisari yang terkandung dalam Islam itu sendiri.

b. Sejarah Timbulnya Teologi Dalam Islam
Dalam agama Islam persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang

politik dan bukan dalam bidang teologi. Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan
ajaran-ajaran Islam yang beliau terima dari Allah SWT di mekkah, kota ini mempunyai
sistem kemasyarakatan yang terletak di bawah pimpinan suku bangsa Quraisy.160

Dalam sejarah, selama di Mekkah Nabi Muhammad SAW hanya mempunyai fungsi
sebagai kepala agama, dan tidak mempunyai fungsi sebagai kepala pemerintahaan, karena
kekuasaan politik yang ada di sana belum dapat dijatuhkan pada waktu itu. Di Madinah
sebaliknya, Nabi Muhammad SAW, di samping menjadi kepala agama juga menjadi kepala
pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini.Ketika
beliau wafat tahun 632 M masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti beliau untuk
mengepalai negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua

159 https://id.wikipedia.org/wiki/Teologi
160 Harun Nasution, Teologi Islam, UI press (1984), hlm.3

126

bagi mereka. Timbulah masalah khilafah161, soal pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai
kepala negara. Sebagai Nabi atau Rasul, Nabi tentu tidak dapat digantikan.162

Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar-lah yang disetujui oleh masyarakat Islam
pada waktu itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam mengepalai negara mereka.
Kemudian Abu Bakar digantikan oleh „Umar Ibn al-Khattab oleh „Usman Ibn „Affan oleh
Ali Ibn Tholib. „Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum
keluarganya terdiri dari orang aristokrat Mekkah yang karena pengalaman dagang mereka,
mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam
memimpin administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang bertambah banyak
masuk ke bawah kekuasaan Islam. Ahli sejarah menggambarkan „Usman sebagai orang yang
lemah dan tidak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh
itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaaan
Islam. Gubernur-gubernur yang diangkat oleh „Umar Ibn al-Khattab, khalifah yang terkenal
sebagai orang kuat dan tidak mementingkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh
„Usman.163

Tindakan-tindakan politik yang dijalankan „Usman ini menimbulkan reaksi yang
tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong
„Usman, ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang
ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah atau yang ingin calonnya
menjadi khalifah mulai pula menanggukan di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan
tidak senang muncul di daerah-darerah. Dari Mesir, sebagai reaksi dijatuhkannya „Umar Ibn
al-„As yang digantikan oleh Abdullah Ibn Sa‟d Ibn Abi Sarah, salah satu kaum keluarga
„Usman, sebagai Gubernur Mesir, lima ratus pemberontak kumpul dan kemudian bergerak
ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa kepada pembunuhan
„Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir ini.

Setelah „Usman wafat „Ali, sebagai calon terkuat menjadi khalifah yang keempat.
Tetapi segera ini mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin menjadi khalifah,

161 Menurut bahasa, Khalifah (‫ خ ل ي فة‬Khalīfah) merupakan mashdar dari fi’il madhi khalafa , yang
berarti : menggantikan atau menempati tempatnya.
162 Ibid2.,hlm.3-4
163 Ibid2.,hlm.5-6

127

terutama Tolhah dan Subeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari „Aisyah. Tantangan
dari „Aisyah, Talhah dan Zubeir ini dipatahkan „Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak
tahun 656. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan „Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.164

Tantangan kedua datang dari Mu‟awiyah, Gubernur Damaskus dan keluargaa dekat
dari Usman, mereka menuntut untuk menghukum para pembunuh-pembunuh Usman
termasuk Ali itu sendiri yang dituduhnya bersalah.

Terjadilah pertempuran Siffin, yaitu antara Mu‟awiya dan Ali beserta para
pengikutnya. Namun akhirnya Amr Ibn Al-„as maminta damai dengan mengangkat Al-quran
ke atas dan Amr Ibn Al-„as ini dikenal sebangai tangan kanan Mu‟awiya yang dikenal licik.
Ali beserta kaumnyapun mendapat tipu musliat dari para kaum Mu‟awiyah dan merugikan
serta menjatuhkan martabat kaum Ali, kaum Ali pun mamandang bahwa Ali telah berbuat
salah atas persetujuan perdamaian tersebut dan akhirnya kaum Ali meninggalkan barisannya.
Golongan inilah dalam sejarah islam yang dikenal sebagi kaum Al-Khawarij yang keluar dan
memisahkan diri karna memandang Ali yang salah, dan Ali pun menghadapi 2 musuh yaitu
Khawarij dan Mu‟awiyah.165

Dan dari apa yang telah dijelaskan, itulah terjadinya teologi islam berawal yang
diakibatkan karna masalah perpolitikan islam sejak Rasul wafat.

c. Aliran-Aliran Dalam Teologi Islam
1) Khawarij
Khawarij termasuk aliran pertama kali masuk dalam teologi islam. Sebutan Khawarij

berasal dari kata kharaja yang berarti “keluar” yang ditujukan bagi setiap orang yang keluar
dari imam yang hak dan telah disepakati oleh jamaah, baik ia keluar pada masa Al-khulafa
Al-Rasyidun maupun pada masa tabi‟in secara baik-baik. Khawarij ini merupakan kaum para
pengikut Ali yang meninggalkan barisannya karena tidak setuju terhadap Ali yang menerima
tawaran gencatan senjata lewat arbitrase atau takkim dari Mu‟awiyah.166

164 Ibid2.,hlm.6
165 Ibid2.,hlm.8
166 Supiana dan M.Karman,Materi Pendidikan Agama Islam,Remaja Rosda Karya, hlm.171

128

Penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase bukanlah penyelesaian menurut apa
yang diturunkan Tuhan, dan oleh karena itu pihak-pihak yang mnyetujui arbitrase dianggap
kafir oleh para kaun Khawarij. Dengan demikian Ali,Mu‟awiah,Abu Musa Al-asy‟ari, dan
Amr Ibn Al-„As menurut mereka telah menjadi kafir yang berarti keluar dari islam atau
murtad, dan orang itu wajib dibunuh.167 Dan menganggap bahwa orang yang tidak sepaham
atau tidak mengikuti kaumnya mereka dianggap kafir pula oleh kaum Khawarij.

Dalam perkembangan selanjutnya kaum Khawarij berpecah beberapa golongan,
karna terlalu radikal bagi beberapa kaumnya atas konsep kekafiran, dan konsep kekafiran itu
sendiri turut pula mangalami perubahanlebih lanjut.

Golongan pertama ialah “Muhakkimah”, mereka barpandangan atau menganggap
bahwa orang yang melingkupi orang kafir itu ialah yang melakukan dosa besar, terdapt pada
surat An-Nisa ayat 31 dan hadits yang membahasnya. Sehingga mereka beranggapan bahwa
orrang yang melakukan syirik, perzinahan, sihir, membunuh manusia tanpa sebab, memakan
harta anak yatim, riba, meninggalkan medan pertempuran, dan memfitnah perempuan baik-
baik, bahwa mereka semua berada pada golongan kafir.

Yang kedua adalah golongan “Azariqah” term kafir mereka ubah ke dalam term
musyrik atau menduakan Allah atau polities. Sebagai dilihat dosa syirik merupakan dosa
yang tidak dapat diampuni dosanya, bagi golongan Azariqah yang menjadi orang musyrik
bukan hanya orang islam yang melakukan dosa besar, bahkan semua orang yang tidak
menganut golongan mereka atau sepaham dengan mereka, mereka juga dianggap musyrik.
Dalam pendapat mereka hanya orang Azariqah yang irang islam, tetapi orang yang tidak
menganut paham Azariqah bukanlah orang islam, melainkan polities dan mereka tidak
segan-segan membunuh orang yang demikian.

Ketiga yaitu golongan “Najdah” mereka moderat sedikit dari golongan Azariqah.
Orang islam lain bukanlah kafir atau musyrik, tetapi dosa kecil dan paham mereka kalau
dikerjakan terus-menerus akan membuat orang yang melakukannya menjadi musyrik.

Keempat adalah golongan”Sufriah” yang membagi dosa besar ke dalam dua bagian,
dosa yang hukumnya ada di dunia seperti zina dan dosa yang tidak ada hukumnya di dunia,

167 Harun Nasution, ISLAM Ditinjau Dari Berbagai Aspek, UI-press (2012), hlm.26

129

seperti meninggalkan puasa. Pelaku dosa besar golongan pertama tidak menjadi kafir. Yang
membuat orang islam menjadi kafir ialah dosa kedua.

Yang kelima ada golongan “ibadah”, yang merupakan golongan yang paling
moderat dalm kalangan Khawarij. Mereka tidak mamandang orang islam yang tidak
sepaham dikatakan musyrik168, tetapi tidak pula mu‟min169, tatapi pelaku dosa besar bukan
pula mu‟min. mereka baranggapan bahwa kafir terbagi menjadi dua, kafir al-ni‟mah, orang
yang tidak bersyukur terhadap nikmat yang Tuhan berikan dan kafir al-millah yaitu orang
yang keluar dari agama. Term kafir yang mereka pakai untuk golongan islam ialah dalam arti
pertama hal yang tidak membuat orang keluar dari islam170

Karna kaum Khawarij yang sangat radikal ini, banyak dari mereka yang hilang dari
sejarah kecuali golongan ibadah

2) Murji‟ah
Nama Murji‟ah berasal dari kata arja‟a yang berarti menunda atau mamberi

pengharapan. Mereka disebut Murji‟ah karena ajaran mereka menunda permaslahatan soal
dosa besar, mereka tidak mengambil putusan sekarang juha di dunia ini dengan manghukum
pelaku menjadi kafir, bagi mereka pelaku dosa besar akan masih masuk surga. Ajaran mereka
dengan demikian memberi harapan bagi pelaku dosa besar untuk diberi ampun agar dapat
masuk surga.171

Murji‟ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat (netral) dalam
upaya kafir-mengkafirkan terhadap orang islam yang melakukan dosa besar seperti yang
dilakukan Khawarij.mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat
dalam arbirase di hadapan Tuhan, karena hanya Dia-lah yang mengetahui keadaan iman
seseorang. Orang mukmin yang melakukan dosa besar, dalam pandangan mereka masih
mukmin selama ia masih bersyahadat172

168 orang yang mempersekutukan Allah
169 seorang muslim yang sudah istiqamah atau konsisten dalam berpegang kepada nilai-nilai
kebenaran,
170 Ibid9.,hlm.27-29
171 Ibid9.,hlm.29
172 Ibid8.,hlm.175-176

130

Lambat laun, sama sepertihalnya dengan kaum Khawarij, kaum Murji‟ah sudah
tidak memiliki wujud lagi. Paham mereka dalam bentukmoderatnya diambil kemudian oleh
Ahli Sunnah yang juga berpendapat bahwa orang islam yang melakukan dosa besar bukanlah
kafir,tetapin tetap orang islam.173

3) Mu‟tazilah
Dalam sejarahnya, Mu‟tazilah timbul berkaitan dengan kisah seorang teolog yang

bernama Washil Ibn „Ata di tahun 700M atau 80-131H. Pada saat di Bashrah ia mendengar
kuliah-kuliah yang biberikan Al-Hasan Al-Basri di masjid Basrah, dalam kuliahnya itu juga
dibahasnya soal dosa besar dalam kaum Khawarij, dan pada suatu waktu Washil menyatakan
pendapatnya yang tidak sepaham atas pandangan Khawarij maupun oleh kaum Murji‟ah
yang berlawanan paham namun tetap sepaham dengan Murji‟ah. Menurut Washil orang
islam yang bebuat dosa besar tidaklah kafir, namun tidak juga termasuk golongan mu‟min,
tetapi berada di antara keduanya. Kalau orang demikian bertaubat sebelum meninggal ia
masuk surge, dan bila orang yang demikian belum sampat bertaubat maka masuk neraka.174

Dari apa yang telah dijelaskan itulah sejarah awal timbulnya Mu‟tazilah yang
berpaham bahwa jika orang berbuat dosa besar berarti mereka berada diantara orang
mu‟min dan kafir, dan setelahnya aliran ini dikembangkan sendiri oleh murid-murid Washil.

175

Pada akhirnya kaum Mu‟tazilah ini juga hilang dari peradaban sejarah, yang
dikarenakan tentangan keras dari umat islam setelah berusaha di abad Sembilan untuk
memaksakan paham-paham mereka dengan kekerasan pada umat islam pada masa itu.

4) Qodariah
Qodariah berasal dari kata qodara yang berarti nama yang digunakan untuk sebuah

aliran yang memberikan penekanan terhadan kebebasan dan kekuatan manusia dalam
menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qodariah, manusia dipandang

173 Ibid9., hlm.31
174 Ibid9.,hlm.32
175 Ibid8.,hlm.181

131

mempunyai kemampuan berkehendak untuk melakukan kemauannya sendiri, mereka
menolak adanya qodho176 dan qodar177.178

Mengenai kapan paham Qodariah ini muncul, tidak dapat diketahui secara pasti.
Namun, ada sebagian pendapat yang menghubungkan paham ini dengan Khawarij. Namun,
pada intinya mereka menegaskan tentang pemahaman Qodariah telah maletakkan manusia
pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya. Jika orang
melakukan perbuatan baik, maka ia mendapat pahala kebaikan dan masuk kedalam surga.
Namun jika jika sebaliknya, maka mendapat siksa di neraka.179

5) Jabariyah
Jabariya berasal dari kata jabara yang berarti memaksa, maksud memaksa disini ialah

penolakan atas perbuatan yang hakikatnya berasal dari manusia. Paham ini marupakan
penentangan atau kebalikan dari paham sebelumnya yang dianut oleh Qodariyah, paham ini
memposisikan manusia tidak amamiliki kebebasan dan ini siatif sendiri, tetapi mutlak
kehendak Tuhan dan mereka barpandangan atas paham ini melakukan perbuatan namun
dalam keadaan terpaksa.180

Menurut catatan sejarah, paham jabariyah ini diduga telah ada sejak sebalum agama
Islam datang kemasyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir
sahara telah memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang
sangat tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari mereka
untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebabkan mereka semata-mata tunduk dan patuh
kepada kehendak tuhan. Dalam dunia yang demikian, mereka tidak banyak melihat jalan
untuk merubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka
merasa dirinya lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang
ditimbulkan suasana padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak tergantung
pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalistis. Oleh karena itu, ketika

176 ketentuan atau ketetapan Allah SWT dari sejak zaman azali meliputi baik dan buruk, hidup dan
mati, dan seterusnya.
177 perwujudan ketetapan (qadha) terhadap segala sesuatu
178 Ibid8.,hlm.176
179 Ibid8.,hlm.177
180 Ibid8.,hlm.178

132

paham Qodariya dibawa kekalangan mereka, hal itu menimbulakan kegoncangan dalam
pemikiran mereka dan menganggap bertentangan dengan ajaran islam.181

6) Asy‟ariyah
Asy‟ariyah adalah salah satu nama sebuah aliran dimana namanya disandarkan

kepada pendirinya,yaitu Abu Hasan al-Asy‟ari.beliau lahir di Bashrah pada tahun 260 H/
873M.Ketika beliau berumur 40 tahun, beliau melakukan hijrah ke Baghdad dan wafat
disana pada tahun 324H/ 935M. Menurut Ibn Assakir, ayah Asy‟ari adalah seorang yang
berfaham Ahl-sunnah dan beliau juga seorang ahli hadits.Namun setelah sepeninggal
ayahnya, ibunda Asy‟ari menikah lagi dengan seorang tokoh Mu‟tazilah yaitu Abu Ali Al-
Jubba‟i. Sejak kecil Asy‟ari di didik oleh ayah tiri sekaligus gurunya yang berfaham
Mu‟tazilah, sehingga Asy‟ari menjadi salah satu tokoh Mu‟tazilah.Asy‟ari juga berguru
kepada ulama lain tentang hadits, fiqh, tafsir, bahasa serta beliau juga belajar fiqh syafi‟i
kepada seorang ahli fiqh, yaitu Abu Ishaqal Maruzi, seorang tokoh Mu‟tazilah di Bashrah.

Asy‟ari mengikuti faham Mu‟tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun, setelah itu ia
keluar dari Mu‟tazilah, karena ia merasa ragu dengan faham tersebut dan pada akhirnya ia
keluar dari paham ajaran itu. Setelah beliau keluar dari Mu‟tazilah, beliau merumuskan
ajaran- ajaranya kembali berdasarkan Manhaj Salafus Shalih, dengan mendasarkan pada nash
Al-Qur‟an dan Hadits, tetapi menerangkannya dengan metode scholastic yang rasional
sebatas memperkuat dan menjelaskan pemahaman nash dan ternyata perumusan ajaran
tersebut dapat diterima oleh mayoritas Umat Islam.

Namun, pada intinya perbedaan dasar antara aliran Asy‟ariyah dan mu‟tazilah
terletak pada pendapat tentang kekuatan akal. Kaum Mu‟tazilah amat menghargai akal dan
berpendapat bahwa akal manusia dapat sampai kepada dua ajaran dasar dalam agama yaitu
adanya Tuhan dan masalah kebaikan dan kejahatan. Kaum Asy‟ariyah, sebaliknya
baerpendapat bahwa akal tidak begitu besar daya kekuatannya. Diantara masalah yang telah
disebutkan akal hanyalah dapat sampai pada adanya tuhan. soal kewajiban manusia
terhadap Tuhan, soal baik dan buruk dan kewajiban beruat baik dan kewajiban menjauhi

181 Ibid8.,hlm.178

133

yang buruk, itu tidak sampai pada akal manusia. Sehingga kaum Asy‟ariah bergantung
kepada apa yang telah diwahyukan. Sikap Mu‟tazilah ialah mempergunakan akal dan
kemudian memberi interpretasi pada teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal.
Kaum Asy‟ariyah sebaliknya, pergi terlebih dahulu pada teks wahyu dan kemudian membawa
argumen-argumen rasional untuk teks itu. Pada kaum Mu‟tazilah banyak memakai ta‟wil
atau interpretasi dalam memahami teks wahyu, kaum Asy‟ariyah banyak berpegang pada arti
lafzi atau lettelek dari teks wahyu, dengan kata lain Mu‟tazilah membaca yang tersirat,
sedangkan Asy‟ariah membaca secara tersurat. Sehingga kaum Asy‟ariah lebih dekat kepada
paham Jabriah dari pada Qodariah, karenan mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan
pada hokum alam atau sunnatullah(yang telah ditetapkan Allah).182

Hal-hal itulah yang membuat aliran Asy‟ariyah kurang sesuai dengan kaum oelajar
kita sekarnag yang mendapat pendidikan barat dan dalam suasana inilah paham-paham
rational berkembang yang dibawa oleh kaum Mu‟tazilah sehingga corak hidup Asy‟ariysh
yang mempunyai corak tradisional itu kurang sesuai dengan pandangan hidup mereka.
Namun, pada periode abad 19M ajaran Asy‟aripun berkembang kembali.

7) Maturidiyah
Nama Maturidiyah diambil dari pendiriannnya yaitu Abu Mansur Muhammad Al-

Maturidi, yang lahir di Maturid, Samarkand dipertengahan abad ke-3H. riwayat hidup
Maturid ini tidak banyak diketahui seperti halnya ajaran dan aliran yang lain yang tidak
banyak ditulis dan dibukukan orang. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham
teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah.
Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi
ahli sunnah dan dikenal dengan al-Maturidiah.183

Aliran Maturidiah diperkirakan muncul ketika popularitas Mu‟tazilah menurun.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, aliran ini muncul sebagai reaksi keras terhadap aliran

182 Ibid9.,hlm.37-38
183 https://bundahomepage.wordpress.com/aliran-maturidiyah/

134

Mu‟tazilah, dan tidak heran jika aliran ini banyak memiliki persamaan terhadap kaum
Asy‟ariah walaupun tidak menutup kemungkinan ada perbedaan terhadap keduanya.184

B. ASPEK TEOLOGI
Persoalan pertama yang timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah masalah

keyakinan, melainkan masalah politik. Saat Nabi mulai menyiarkan dakwahnya, Mekkah di
pegang oleh kaum pedagang Quraisy yang kuat, sehingga kaum Nabi yang saat itu lemah
kedudukannya tidak sanggup menentang kaum Quraisy yang kuat. Akhirnya Nabi dan
Sahabat pindah ke kota Yasrib, yang sekarang di kenal dengan kota Madinah. Di kota
Madinah ini, keadaan Nabi dan Umat Islam mulai berubah. Kalau sebelumnya mereka
adalah kaum yang lemah, di Madinah mereka mempunyai kedudukan yang kuat dan dapat
berdiri sendiri.185

Saat Nabi wafat, harus ada yang menggantikan beliau untuk mempimpin umatnya.
Akhirnya di angkatlah Abu Bakr sebagai pengganti beliau yang pertama, kemudian setelah
Abu Bakr wafat, beliau di gantikan oleh Umar Ibn Al Khattab, kemudian di gantikan lagi
oleh Usman Ibn Affan. Pada saat pemerintahan Usman Ibn Affan, mulailah timbul
permasalahan-permasalahan politik. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang
lemah dan tidak kuat untuk menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan
berpengaruh pada masa itu. Usman mengangkati mereka menjadi gubernur-gubenur di
daerah-daerah yang tunduk pada Islam. Gubernur-gubernur yang di angkati oleh Umar yang
di kenal orang kuat dan tidak mememikirkan kepentingan sendiri di jatuhkan oleh Usman.
Akhirnya, sahabat Nabi yang tadinya menyokong Usman menjadi berpaling. Di daerah-
daerah, mulai timbul rasa tidak senang. Di Mesir, Amr Ibn Al-Aas di gantikan dengan Ibn
Abi Sarh, anggota keluarga Usman. Akhirnya, 500 pemberontak bergerak dari arah Mesir
menuju Madinah, dan berujung pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka
pemberontak dari Mesir.

184 Ibid8.,hlm.188
185 Harun Nasution, Islam Ditijau Dari Berbagai Aspek Jilid 1, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2013), hal 88-90

135

Setelah Usman wafat, Ali Ibn Abi Thalib menjadi khalifah ke 4. Tetapi, ia segera
mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama
Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Dalam peperangan
yang terjadi, Talhah dan Zubeir mati terbunuh, sedang Aisyah di kirim kembali ke Mekkah.

Tantangan kedua datang dari Mu‟awiah, Gubernur Damaskus sekaligus keluarga
terdekat Usman.Beliau juga tidak mengakui juga Ali seorang khalifah, beliau bahkan
menuduh Ali terlibat dalam pembunuhan Usman, karena salah satu dari pemuka
pemberontak adalah anak angkat Ali. Terjadilah peperangan antara kedua golongan di
Siffin, Irak. Tentara Ali dapat mendesak tentara Mu‟awiah dan akhirnya bersedia untuk lari.
Tetapi tangan kanan Mu‟awiah, Amr Ibn Al-Aas, yang terkenal licik minta berdamai dengan
mengangkat Al Qur‟an ke atas. Imam-imam yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya
menerima tawaran tersebut dan dengan demikian di carilah perdamaian dengan mengadakan
hakam, yaitu arbitrase.

Dalam pertemuan mereka berdua, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu
Musa. Sejarah mengatakan bahwa antara keduanya terdapat kemufakatan untuk
menjatuhkan Ali dan Mu‟awiah. Dan tradisi menyebut bahwa Abu Musa sebagai yang
tertua, berbicara lebih dahulu dan mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan
kedua pemuka yang bertentangan itu. Tetapi Amr, mengumumkan hanya menyetujui untuk
menjatuhkan Ali dan tidak menjatuhkan Khawarij. Peristiwa ini jelas-jelas menguntungkan
Khawarij, hingga akhirnya Khawarij menjadi khalifah tidak resmi. Ali yang tidak menerima
keputusan ini tidak mau memberikan jabatannya hingga ia mati terbunuh. Tetapi ia tidak
dapat lagi melawan Mu‟awiah, bukan hanya karena telah mempunyai saingan dalam
kedudukannya sebagai khalifah, tetapi juga karena kekuatan militernya melemah.

Penyelesaian sengketa antara Ali Ibn Abi Thalib dan Mu‟awiah Ibn Abi Sufyan
dengan jalan Arbitrase oleh kaum Khawarij di pandang bertentangan dengan islam. Oleh
karena itu, pihak-pihak yang menyetujui arbitrase tersebut telah menjadi kafir dalam
pandangan kaum Khawarij. Kafir adalah orang yang tidak percaya dan lawannya ialah
mu‟minin, orang yang terpercaya. Dengan kata lain, kafir di pakai untuk golongan di luar
Islam. Tetapi kaum Khawarij, kata kafir itu di pakai dalam agama Islam itu sendiri.
Kemudian, kaum Khawarij terpecah dalam beberapa golongan:

136

a. Muhakkimah
Muhakkimah adalah orang Islam yang melakukan dosa besar. Ada yang mengatakan

dosa besar ialah mempunyai keyakinan bahwa Tuhan lebih dari 1 (politeisme). Tetapi ada
juga hadist yang mengatakan dosa besar bukan hanya syirik, tapi juga bisa zina, sihir,
membunuh manusia, memakan harta yatim piatu, riba, dan menfitnah.
b. Azariqah

Term kafir di ubah menjadi term musyrik (polities). Bagi golongan Azaqirah, yang
musyrik bukan hanya orang Islam yang melakukan dosa besar, bahkan semua orang yang tak
sepaham dengan mereka. Orang yang tidak menganut Azariqah bukanlah orang Islam, tapi
orang polities. Dan mereka tidak segan-segan membunuh orang tersebut.
c. Najdah

Menurut Najdah, orang Islam lain bukanlah orang kafir. Tetapi bermula dari dosa
kecil dan jika di lakukan terus menerus akan menjadi dosa besar dan membuat pelakunya
menjadi musyrik.186
d. Surfiah

Golongan Surfiah menggolongkan dosa besar menjadi 2 bagian, yaitu dosa yang
mendapat hukumannya di dunia seperti zina dan dosa yang tidak ada hukumnya di dunia
seperti meninggalkan puasa. Yang membuat seseorang menjadi kafir menurut golongan
Surfiah adalah orang-orang yang melakukan dosa golongan kedua.
e. Ibadiah

Golongan Ibadiah adalah golongan paling moderat. Menurut pandangan mereka, orang
yang tidak sepaham dengan mereka tidak musyrik, tidak pula mu‟min. Mereka membagi
golongan kafir menjadi 2 bagian.
- Kafir Al-Ni‟mah: orang yang tidak bersyukur atas nikmat yang di berikan Tuhan.
- Kafir Al-Millah: Orang yang keluar dari agama.

Kaum Murji‟ah, yang timbul atas reaksi terhadap kaum Khawarij, membawa paham
yang sangat bertentangan dengan pendapat Khawarij. Menurut mereka, orang Islam yang
berdosa besar bagi mereka tidak menjadi kafir, tetapi tetap mu‟min. Nama Murji‟ah berasal

186 Harun Nasution, Islam Ditijau Dari Berbagai Aspek Jilid II, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2013), hal 27-28

137

dari kata arja‟a, yang berarti menunda atau memberi pengharapan. Mereka disebut kaum
Murji‟ah karena mereka memang menundakan soal dosa besar yang di lakukan umat Islam
pada Tuhan di hari Kiamat. Ajaran mereka memberi harapan bagi pelaku dosa besar untuk
di beri ampun oleh Tuhan dan bisa masuk surga.187

C. AHLUS SUNNAH WAL JAMA‟AH
Ahlus Sunnah wal Jama‟ah adalah mereka yang menempuh seperti apa yang pernah

ditempuh oleh Rasulullah dan para Sahabatnya. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya
(mereka) berpegang dan berittiba‟ (mengikuti) Sunnah Nabi dan para Sahabatnya. As-
Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk.

Sedangkan menurut ulama „aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk yang
telah dilakukan oleh Rasulullah dan para Sahabatnya, baik tentang ilmu, i‟tiqad (keyakinan),
perkataan maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang yang
mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan dicela.

“Ahlus Sunnah” pertama tama dipakai untuk aliran Asy‟aryah, jadi aliran Teologi
Islam. Akan tetapi kemudian sebutan itu diperluas arti kandungannya, sehingga meliputi
mazhab mazhab fiqh dan bidang bidang ilmu keislaman lainnya yang tidak terangkut
dengan paham paham ke-Mu‟tazilaham atau lain-lain aliran.188

Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat 795 H): “As-Sunnah
ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang
dilaksanakan Nabi dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i‟tiqad
(keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu
generasi Salaf terdahulu tidak menamakan As-Sunnah kecuali kepada apa saja yang
mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat th.
110 H), Imam al-Auza‟i (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin „Iyadh (wafat th. 187 H).

Disebut al-Jama‟ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau berpecah-
belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para Imam (yang berpegang

187 Harun Nasution, Islam Ditijau Dari Berbagai Aspek Jilid II, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2013), hal 27-28
188 A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003), hal 162-163

138

kepada) al-bagg (kebenaran), tidak mau keluar dari jama‟ah mereka dan mengikuti apa yang
telah menjadi kesepakatan Salaful Ummah. Al-Jama‟ah menurut ulama „aqidah (terminologi)
adalah generasi pertama dari ummat ini, yaitu kalangan Sahabat, Tabi‟ut Tabi‟in serta orang
orang yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di atas
kebenaran.

Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama‟ah adalah orang orang yang mempunyai sifat dan
karakter mengikuti Sunnah Nabi dan menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid‟ah dalam
agama. Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba‟ (mengikuti) kepada Sunnah
Rasulullah dan mengikuti Atsar (jejak Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul
Hadits, Ahlul Atsar dan Ahlul Ittiba‟. Disamping itu, mereka juga dikatakan sebagai ath-
Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang selamat), Ghurabaa‟ (orang asing).189

a. Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah wal Jama‟ah
Penamaaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam pada

kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi‟in, dan Tabi‟ut Tabi‟in.
Kemudian istilah Ahlus Sunnah wal Jama‟ah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf di
antaranya:

1. Ayyub as-Sikhtiyani (wafat th. 131 H), ia berkata: “Apabila aku dikabarkan
tentang meninggalnya seseorang dari Ahlus Sunnah seolah olah hilang salah satu
anggota tubuhku.”

2. Sufyan ats-Tsaury (wafat th. 161 H) berkata: “aku wasiatkan kalian untuk tetap
berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik, karena mereka adalah al-ghurabaa‟.
Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama‟ah.

3. Fudhail bin „Iyadh (wafat th. 187 H) berkata: “... Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu
keyakinan, perkataan, dan perbuatan.”

4. Abu „Ubaid al-Qasim bin Salam (hidup th. 157-224 H) berkata dalam
muqaddimah kitabnya, al-limaan: “...Maka sesunguhnya apabila engkau bertanya
kepadaku tentang iman, perselisihan umat tentang kesempurnaan iman, bertambah

189 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘AQIDAH Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (Jakarta:Pustaka
Imam Asy-Syafi’i, 2006), hal 36-38

139

dan berkurangnya iman dan engkau menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan
sekali untuk mengetahui tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”
5. Imam Ahmad bin Hanbal (hidup th. 164-241 H), beliau berkata muqaddimah
kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul „ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus
Sunnah, yang mereka dikenal sebagai pengikut asaunnah Rasul dan para Sahabatnya,
dari semenjak zaman para Sahabat hingga pada masa sekarang ini...”
6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (wafat th. 310 H) berkata: “...Adapun yang benar dari
perkataan tentang keyakinan bahwa kaum Mukminin akan melihat Allah pada hari
Kiamat, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal Jama‟ah berpendapat bahwa
penghuni Surga akan melihat Allah sesuai dengan berita yang shahih dari
Rasulullah.
7. Imam Abu Ja‟Far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi (hidup th. 239-321 H).
Beliau berkata dalam muqaddimah kitab „aqidahnya yang masyhur (al-„Aqiidatuth
Thahaawiyyah): “...Ini adalah penjelasan tentang „aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama‟ah.”
Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus Sunnah
sudah dikenal dikalangan Slaf (generasi awal ummat ini) dan para ulama sesudahnya. Istilah
Ahlus Sunnah merupakan istilah yang mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid‟ah. 190

b. Kaidah Dan Prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah
1. Sumber „aqidah adalah Kitabullah (Al-Qur-an), Sunnah Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam yang shahih dan ijma‟ Salafush Shalih.
2. Setiap Sunnah yang shahih yang berasal dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
wajib diterima, walaupun sifatnya ahad.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫َوَماْآتَا ُك ُمْالر ُسوُؿْفَ ُخ ُذوهَُْوَماْنػََها ُكمْ َعنوُْفَانػتَػ ُهوا‬

190 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘AQIDAH Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (Jakarta:Pustaka
Imam Asy-Syafi’i, 2006), hal 41-43

140

“Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia. Dan apa-apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkan-lah.” [Al-Hasyr: 7]

3. Yang menjadi rujukan dalam memahami Al-Qur-an dan As-Sunnah adalah nash-

nash (teks Al-Qur-an maupun hadits) yang menjelaskannya, pemahaman Salafush
Shalih dan para Imam yang mengikuti jejak mereka, serta dilihat arti yang benar dari
bahasa Arab. Jika hal tersebut sudah benar, maka tidak dipertentangkan lagi dengan
hal-hal yang berupa kemungkinan sifatnya menurut bahasa.

4. Prinsip-prinsip utama dalam agama (Ushuluddin), semua telah dijelaskan oleh Nabi

Shallallahu „alaihi wa sallam. Siapa pun tidak berhak untuk mengadakan sesuatu
yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya, apalagi sampai mengatakan hal
tersebut bagian dari agama. Allah telah menyempurnakan agama-Nya, wahyu telah

terputus dan kenabian telah ditutup, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa

Ta‟ala :

‫اليَػوَـْأَك َمل ُتْلَ ُكمِْدينَ ُكمَْوأَْتَم ُتْ َعلَي ُكمْنِع َمِتَْوَر ِضي ُتْلَ ُك ُمْاِْلسَلَـِْدينًا‬

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [Al-Maa-idah: 3]

Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

.ْ‫َمنْأَح َد َثِْفْأَمِرنَاْ َى َْذاَْماْلَي َسِْمنوُْفَػ ُهَوَْرد‬

“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian
darinya, maka amalannya tertolak.”[3]191

5. Berserah diri (taslim), patuh dan taat hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, secara
lahir dan bathin. Tidak menolak sesuatu dari Al-Qur-an dan As-Sunnah yang
shahih, (baik menolaknya itu) dengan qiyas (analogi), perasaan, kasyf (iluminasi
atau penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghaib), ucapan seorang syaikh, ataupun
pendapat imam-imam dan lainnya.192 Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:

191 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘AQIDAH Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (Jakarta:Pustaka
Imam Asy-Syafi’i, 2006), hal 47-49
192 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘AQIDAH Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (Jakarta:Pustaka
Imam Asy-Syafi’i, 2006), hal 49-50

141

‫فََلَْوَرِبّ َكَْلْيػُؤِمنُوَفْ َحَّٰتُْيَ ِّك ُموَؾْفِي َماْ َش َجَرْبػَيػنَػ ُهمُْْثَْلْيَِجْ ُدواِْفْأَنػُف ِسِهمْ َحَرًجا‬

“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.” [An-Nisaa': 65]

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta‟ala:

‫َوَماْآتَا ُك ُمْالر ُسوُؿْفَ ُخ ُذوهَُْوَماْنػََها ُكمْ َعنوُْفَانػتَْػ ُهواَْْۚواتػُقواْاللوَْْۚإِفْاللوَْ َش ِدي ُدْالعَِقا ِْب‬

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukuman-Nya.” [Al-Hasyr: 7]

6. Dalil „aqli (akal) yang benar akan sesuai dengan dalil naqli (nash yang shahih).

Sesuatu yang qath‟i (pasti) dari kedua dalil tersebut, tidak akan bertentangan

selamanya. Apabila sepertinya ada pertentangan di antara keduanya, maka dalil naqli

(ayat ataupun hadits) harus didahulukan.

7. Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam adalah ma‟shum (dipelihara Allah dari

kesalahan) dan para Sahabat Radhiyallahu anhum secara keseluruhan dijauhkan

Allah dari kesepakatan di atas kesesatan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu

„alaihi wa sallam:

.ْ‫إِفْاللهَْتَػَعاَلْقَدْأَ َجاَرْأُمِتِْمنْأَفَْتتَ ِم َعْ َعلَىْ َضَلَلٍَة‬

“Sesungguhnya Allah Ta‟ala telah melindungi ummatku dari berkumpul (bersepakat) di atas
kesesatan.”[4]
Namun secara individu, tidak ada seorang pun dari mereka yang ma‟shum. Jika ada
perbedaan di antara para Imam atau yang selain mereka, maka perkara tersebut dikembalikan
kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam dengan memaafkan
orang yang keliru dan berprasangka baik bahwa ia adalah orang yang berijtihad.

8. Bertengkar dalam masalah agama itu tercela, akan tetapi mujadalah (berbantahan)
dengan cara yang baik itu masyru„ah (disyari‟atkan). Dalam hal yang telah jelas (ada
dalil dan keterangannya dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah) dilarang berlarut-larut

142

dalam pembicaraan panjang tentangnya, maka wajib mengikuti ketetapan dan
menjauhi larangannya. Dan wajib menjauhkan diri untuk berlarut-larut dalam
pembicaraan yang memang tidak ada ilmu bagi seorang Muslim tentangnya
(misalnya tentang Sifat Allah, qadha‟ dan qadar, tentang ruh dan lainnya, yang
ditegaskan bahwa itu termasuk urusan Allah Azza wa Jalla). Selanjutnya sudah
selayaknya menyerah kan hal tersebut kepada Allah.
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

ْ‫َْماْ َضَربُوهُْلَ َكْإِلْ َج َدًل‬:َ‫ُْْثْتََل‬،‫َماْ َضلْقَػوٌـْبػَع َدْ ُى ًدىَْكانػُواْ َعلَيِوْإِلْأُوتُواْاْلََد َؿ‬

“Tidaklah sesat suatu kaum setelah Allah memberikan petunjuk atas mereka kecuali mereka
suka berbantah-bantahan, kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan ayat:
„...Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud
membantah saja...‟” [Az-Zukhruf: 58][5]

9. Kaum Muslimin wajib senantiasa mengikuti manhaj (metode) Al-Qur-an dan As-
Sunnah dalam menolak sesuatu, dalam hal „aqidah dan dalam menjelaskan suatu
masalah. Oleh karena itu, suatu bid„ah tidak boleh dibalas dengan bid‟ah lagi,
kekurangan tidak boleh dibantah dengan berlebih-lebihan atau sebaliknya.[6]

10. Setiap perkara baru yang tidak ada sebelumnya di dalam agama adalah bid„ah. Setiap
bid„ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:

.ْ‫ُكلْبِد َعٍةْ َضَلَلَةٌَْوُكلْ َضَلَلٍَةِْفْالنا ِر‬

“Setiap bid„ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.”193

c. Kitab-Kitab Penting Dalam Lingkungan Kaum Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah
Kitab- kitab sekitar i‟itiqad Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah ini sudah banyak dikarang dari dulu
sampe sekarang oleh ulama ulama sunni, diantaranya untuk diketahui baik kami buatkan
daftarnya dibawah ini:

193 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Syarah ‘AQIDAH Ahlus Sunnah wal Jama’ah, (Jakarta:Pustaka
Imam Asy-Syafi’i, 2006), hal 50 - 51

143


Click to View FlipBook Version