Kismis Putih Abu‐Abu Penulis: Lestari ISBN 978-602-5988-99-8 Editor: Murman Penata Letak: @timsenyum Desain Sampul: @kholidsenyum Copyright © Pustaka Media Guru, 2018 vi, 112 hlm, 14,8 x 21 cm Cetakan Pertama, September 2018 Diterbitkan oleh PT. Mediaguru Digital Indonesia Grup Penerbit Pustaka MediaGuru (Anggota IKAPI) Rukan Exclusive Mediterania Blok G No. 39 Kemal Muara, Penjaringan Jakarta Utara Dicetak dan Didistribusikan oleh Pustaka Media Guru Hak Cipta Dilindungi Undang‐Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, PASAL 72
Kismis Putih Abu‐Abu | iii Sambutan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Grobogan uku ini kumpulan cerita masa putih abu‐abu. Masa SMA adalah masa yang sangat istimewa bagi remaja. Masa yang tak akan terulang kembali. Masa yang sulit dilupakan karena masa itu remaja sedang mencari jati diri. Kismis adalah perumpamaan tentang kisah‐kisah manis yang terjadi kala SMA. Kisah ini ditulis berdasarkan pengalaman yang dialami masa putih abu‐abu. Profesi penulis sebagai guru mendasari penulisan kisah yang terjadi pada sekolah tempat penulis bekerja. Penulis merangkai cerita‐cerita ini menjadi kumpulan cerpen yang menarik untuk dibaca pembaca yang rindu suasana putih abu‐abu. Pernak‐ pernik romantika dan intrik cerita yang beraneka warna menjadikan buku ini layak dibaca. Pencarian jati diri dan jiwa petualang dalam berjuang meraih mimpi. Kisah sedih kehilangan guru dan teman melarutkan empati pembaca. Buku ini memiliki pesan moral yang baik untuk menumbuhkan karakter pembaca. Kisah persahabatan, percintaan, prestasi, dan perjuangan hidup sangat inspiratif bagi penikmat cerpen. B
iv | Lestari Semoga buku ini meramaikan dunia literasi yang dilaksanakan di Kabupaten Grobogan. Melalui buku ini penulis telah mendukung gerakan literasi baik di sekolah maupun di kabupaten. Salam literasi
Kismis Putih Abu‐Abu | v Selayang Pandang uji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah‐Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan buku yang berjudul Kismis Putih Abu‐Abu. Buku ini ditulis berdasarkan kisah nyata yang terjadi di SMA tempat penulis bekerja. Kisah putih abu‐abu memang sangat menyenangkan dan menarik untuk dibaca. Buku ini ditulis dalam bentuk kumpulan cerpen yang terinspirasi dari kisah remaja yang sedang mencari jati diri. Kebiasaan remaja yang yang memiliki rasa ingin tahu dan ego yang tinggi. Kisah ini sebagai gambaran kehidupan remaja selama mengenyam bangku pendidikan SMA. Cerita beraneka warna yang mampu membawa pembaca larut dalam cerita bahagia, sedih maupun baper (bawa perasaan). Penulis menyadari buku ini masih kurang sempurna. Untuk itu, penulis dengan senang hati siap menerima kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan buku ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Kabupaten Grobogan yang telah memberikan kesempatan penulis mengikuti Diklat penulisan buku “Sagusabu.” Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Semoga buku ini menginspirasi pembaca semua. Grobogan, Agustus 2018 Penulis P
vi | Lestari Daftar Isi Sambutan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Grobogan.. iii Selayang Pandang ..................................................................... v Daftar Isi.................................................................................... vi 1. Dila dan Chika .................................................................1 2. Pejuang Tangguh........................................................... 9 3. Kado Terakhir ...............................................................17 4. Pak Guru Killer ..............................................................23 5. Melompat Pagar...........................................................27 6. Piala untuk Bu Rose..................................................... 33 7. Qori sang Juara Kelas.................................................. 39 8. Selamat Jalan, Pak Guru.............................................. 45 9. Aku Mau Jadi Artis........................................................51 10. Bali in Love ....................................................................57 11. Dua Sahabat Hebat ..................................................... 63 12. Cinta di Pojok Literasi..................................................69 13. Maafkan Rian, Bu Guru ................................................75 14. Geng Syantik.................................................................81 15. Impian Dino.................................................................. 87 16. Thanks, My Teacher...................................................... 93 17. Gadis Angon Bebek .....................................................99 18. Cinta dan Persahabatan.............................................105 Profil Penulis............................................................................ 111
Kismis Putih Abu‐Abu | 1 Dila dan Chika dara pagi begitu sejuk. Kabut pekat menghalau pandangan Dila yang berkendara ke sekolah. Meski rumahnya dekat, Dila selalu ke sekolah naik motor si brown kesayangannya. Menembus pagi penuh semangat. Padahal jam baru menunjukkan pukul 06.15. Dila memasuki gerbang sekolah Mutiara. Tanpa banyak kata langsung memarkir motor. Kakinya melangkah masuk ke kelas X.IPS1 yang sepi. Belum ada tanda‐tanda kehidupan. Suasana senyap menghiasi ruangan kosong. Yang terdengar hanyalah detak jam dinding. Pelan‐pelan Dila membuka tas dan mengambil buku hariannya. Wajahnya mendadak kaget membaca tentang rencana Persami minggu depan. Teringat Sangga‐nya belum menentukan pentas seni yang akan ditampilkan. Tiba‐tiba Chika datang. Tanpa mengucapkan salam langsung duduk di sampingnya. Chika berdiri lalu menanyakan rencana pensi Sangga‐nya. Dila dengan nada ketus berkata, ”Santai saja. Masih lama kok. Gak usah lebay.” Dila tidak menanggapinya. Lalu dia berjalan ke luar kelas menuju kantin. Obrolan mereka tertutup tanpa sepakat. Bel berbunyi. Saatnya pelajaran bahasa Inggris, mapel favorit Dila. Miss Lies masuk ke ruang kelas menyampaikan materi menulis teks deskriptif tentang orang‐orang tercinta. Tanpa membuang waktu, Dila menulis tentang sahabat kesayangannya Chika. Tanpa hambatan, Dila menyelesaikan U
2 | Lestari tulisannya dalam hitungan menit. Dia fasih dalam menulis maupun berbicara bahasa Inggris. Miss Lies sering memberikan hadiah atas prestasinya yang bagus. Sebaliknya Chika tidak begitu suka bahasa Inggris. Ia berusaha menulis tentang Dila sahabatnya. Dengan jurus kucrut‐nya, ia menyelesaikan karangannya. Bel pergantian jam berdering. Miss Lies meminta semua siswa mengumpulkan tulisannya. Semua bergegas mengumpulkan hasil deskripsinya. Chika turut berlari mengikuti teman‐temannya. Dila dan Chika hanyut dalam lautan geografi bersama Pak Yo yang karismatik dan bijaksana. Seputar iklim, cuaca dan musim telah dijelaskan secara gamblang. Tak terasa jam istirahat berdering. Pak Yo mengakhiri kelas. Dila dan Chika melanjutkan obrolan mereka tentang pensi. Ke dua sahabat masih bersikukuh pada ide masing‐masing. Seperti serial kartun Tom dan Jerry yang tidak pernah akur. Mereka selalu beradu argumen untuk tidak sependapat. Terkadang temannya, Dona berusaha menengahi mereka. Tetapi mereka tetap saling berdebat tanpa solusi yang jelas. Sabtu siang, Dila dan Chika mengikuti kegiatan Persami di sekolahnya. Mereka sebetulnya telah bersahabat sejak SD. Kebetulan mereka satu kelas di SMA Mutiara. Sore itu mereka masih berdebat tentang pensi buat acara api unggun. Banyak perbedaan pendapat antara Dila dan Chika. Mereka saling bersikukuh pada pendirian masing‐masing. Chika yang manja dan pemarah selalu beradu argumen dengan Dila. Ketika mereka berseteru, Dona hadir menengahi mereka. Seperti sore itu, Chika ingin tampil menyanyi
Kismis Putih Abu‐Abu | 3 bersama namun Dila mengusulkan baca puisi berantai saja. Dona lalu mengajak mereka untuk duduk bersama demi suksesnya pensi malam nanti. Mereka mengikuti ajakan Dona. Dila meminta maaf pada Chika atas sikapnya yang kasar. Chika juga meminta maaf. Mereka saling berjabat tangan dan berpelukan seperti kartun Tinky Winky. Dona tersenyum melihat kedua sahabatnya rukun. Sahabat sejati tak pernah saling menyakiti karena sahabat mengajarkan untuk saling mengerti dalam suka serta duka. Mereka bersepakat untuk mementaskan drama musikal yang berjudul Sahabat Sejati yang diangkat dari kisah persahabat mereka. Dalam waktu yang singkat mereka berlatih saat istirahat. Mereka larut dalam perannya masing‐masing. Malam datang. Langit dihisai bintang. Membawa suasana hati peserta Persami siap menampilkan pensi sesuai Sangga‐ nya. Penampil pertama Sangga Pendobrak. Kelompoknya Dila. Dila menyiapkan yel‐yel kelompoknya. “Kami Sangga Pendobrak siap menghibur Anda,” teriak mereka. Dalam episode drama kali ini, mereka menjadi diri sendiri tanpa mengubah nama. Chika menghayati perannya sebagai sahabat yang egois dan suka marah. Dila sebagai tokoh yang cuek dan usil. Dona sebagai sahabat mereka yang lemah lembut dan penyayang. Semua begitu kental dengan peran masing‐masing, terutama ketika adegan bertengkar. Namun sebait pesan terlihat di akhir babak, ketika mereka saling meminta maaf dan berjanji sahabat selalu bersama dalam suka duka. Penampilan mereka mendapat tepukan yang gemuruh.
4 | Lestari Ketiga sahabat tos bersama dalam lingkaran sangganya. Mereka terlihat plong membius peserta Persami dalam acting. Sorot obor bambu melingkari peserta unggun. Suara musik dukplek Sangga Penegas membuyarkan lamunan Chika. Dila menepuk punggungnya lalu mengajaknya masuk ke tenda karena malam semakin larut. Pensi telah berlalu. Saatnya semua lelap dalam mimpinya. Suasana sepi. Sayup‐ sayup terdengar jangkrik dan angin malam yang menusuk tulang. Angin malam dingin bertiup ke dalam tenda. Membius seluruh peserta Persami tenggelam dalam mimpinya. Bulan terang memantulkan cahayanya pengganti lampu yang sengaja dimatikan tuk menenangkan alam bawah sadar. Pukul 03.00 Kak Wid membangunkan mereka untuk shalat malam bersama di masjid Al Ikhlas. Dila, Dona dan Chika bergegas mengambil air wudu. Meski mereka remaja yang usil, tapi urusan akhirat tetap mereka prioritaskan. Shalat malam tetap ditegakkan demi menggapai surga. Selepas shalat tahajut, mereka diminta memakai seragam pramuka lengkap untuk mengikuti perjalanan di pagi buta. Masing‐masing sangga diminta membawa makanan dan minuman. Berbekal sebuah peta, mereka menuju titik kumpul di Waduk Sanggeh, Buper Kabupaten Grobogan. Dinginnya pagi menghujam tubuh Dila yang resah memikirkan ibunya yang bertarung melawan kanker. Dia mencoba tegar dan tidak pernah membicarakan dengan sahabatnya. Hatinya cukup tangguh menyimpan rahasia tentang keluarganya.
Kismis Putih Abu‐Abu | 5 Waktu berjalan cepat. Ibarat air mengalir menuju muara tanpa hambatan. Semua sangga tiba di buper dengan selamat. Penat dan lelah menghiasi wajah‐wajah pencari jejak. Mereka beristirahat sambil memakan bekal yang dibawanya. Tiba‐tiba Dila jatuh tersungkur di samping Chika. Chika tersontak kaget dan berusaha menolong Dila. Dona dan Chika memapah Dila menuju tenda kesehatan untuk mendapat pertolongan dari tim PMR yang sigap. Lima menit berlalu, Dona dan Chika mengkhawatirkan keadaan Dila. Sayup‐sayup Dila bersuara memanggil ibunya. “Ibu, ibu, ibu?,” rintihnya. Sontak Dona dan Chika membangunkan Dila perlahan‐lahan. Mereka berharap Dila baik‐baik saja karena Dila anaknya ceria tak pernah sedih. Dila membuka matanya dan menanyakan apa yang terjadi padanya. Mereka menceritakan kalau Dila pingsan di lapangan. Mereka berusaha menenangkannya lalu memintanya minum teh panas penghangat tubuhnya. Dila sadar lalu bercerita tentang kondisi ibunya. Kedua sahabat meneteskan air mata sambil memeluk Dila. “Kenapa kamu merahasiakan ini, Dila?” tanya Chika. Dila menjawab, “Maaf, aku tidak ingin merepotkan kalian. “Sepulang persami kita jenguk ibumu ya, Dil,” kata Dona. “Baiklah, terima kasih sahabat,” dengan pelan Dila menjawab. “Lain kali jangan ada rahasia lagi, ya,” ujar Dona dan Chika. Dila mengangguk sambil meminum teh hangat penambah energi tubuhnya yang lemah. Perjalanan masih panjang. Seusai giat pagi di buper, seluruh peserta persami kembali ke sekolah mengikuti
6 | Lestari upacara penutupan. Dila bahagia memiliki sahabat yang peduli padanya. Dia menyadari sahabat tak selamanya menyakiti. Tetapi sahabat juga bisa membantu kesulitan yang dihadapinya. Persami menyadarkan dia untuk tetap menghargai persahabatan. Selepas asar, Dona menjemput Chika menjenguk ibunya Dila. Mereka tak lupa membeli buah segar sebagai buah tangan. Sesampai di rumah Dila, mereka berbincang dengan ibunya yang terlihat pucat dan lemah. Ibunya bernama Bu Zaenab, tetapi biasa dipanggil Bu Zen. Wajahnya terlihat senang karena teman Dila mau menengoknya. Mereka bercakap‐cakap. Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Mereka pamitan dan mendoakan semoga Bu Zen cepat sembuh. Bu Zen berpesan agar mereka menyayangi Dila, putri semata wayangnya. Mereka berjanji akan terus bersahabat, saling menyayangi dan mendukung demi persahabatan sejati. Dona mengendarai motornya untuk mengantar Chika pulang. Chika sangat berterima kasih padanya telah mengantarnya sampai rumah. Senin pagi, Chika berangkat sekolah seperti biasanya naik motor buntutnya. Dia memarkir motornya dekat kelasnya lalu dia melangkah menuju kelas. Di dalam kelas, dia bertemu Dona yang asyik menulis tugas Matematika. Chika berbisik pada Dona tenang idenya menggalang dana untuk membantu ibunya Dila. Dona menyetujui ajakannya. Lalu dia memberitahukan wali kelasnya agar semua siswa berpartisipasi demi kesembuhan ibunya Dila. Bu Fina menganggukkan kepala tanda persetujuannya. Kelasnya mulai mengumpulkan dana secara sukarela tanpa
Kismis Putih Abu‐Abu | 7 sepengetahuan Dila. Kebetulan Dila izin tidak masuk sekolah karena ibunya sedang opname. Dona dan Chika berencana memberikan dana sumbangan kepada Dila untuk membantu pengobatan ibunya di rumah sakit. Selepas sekolah, Dona dan Chika serta perwakilan kelasnya bergegas menengok Bu Zen. Melihat kondisi Bu Zen, Chika serasa disayat hatinya. Tangannya yang penuh jarum infus dan trasfusi darah serta selang makanan lewat hidung pasca‐kemoterapi yang dijalani Bu Zen. Chika berusaha tegar dan dia menenangkan Dila agar dia kuat serta sabar dalam merawat ibunya. Dila senang ternyata sahabatnya sangat perhatian pada ibunya. Tak lupa Chika membawakan buku catatan mapel hari Senin agar Dila tidak ketinggalan pelajaran. Bu Zen juga terlihat kuat dan tabah dalam bergulat dengan penyakit yang dideritanya. Dia selalu mengingatkan agar mereka hidup rukun dan jaga kesehatan. Dia tak lupa mengucapkan terima kasih atas perhatian dan uluran tangan semua teman sekelasnya. Mereka lalu pamit pulang dan berjanji akan datang lagi keesokan harinya. Dila benar‐benar kuat bersama sahabat yang hebat. Dia bisa melalui situasi yang berat bersama sahabat sejatinya. Serasa dia temukan dunia yang semula gelap tiba‐tiba terang benderang dipenuhi kerlip cahaya bintang. Ketabahan hatinya menguatkan semangat ibunya untuk terus bertahan dari kanker yang dideritanya. Penyakit datangnya dari Allah. Bu Zen telah berikhtiar mencari obat penyembuh sakitnya. Tetapi semua dapat terlaksana atas izin dan kehendak Allah. Umur seseorang tak dapat ditebak semua rahasia Ilahi.
8 | Lestari Satu bulan berlalu, Bu Zen mengalami drop dan harus opname di RS. Dila tetap kuat dan tegar merawat ibunya. Detak jantung ibunya mendadak berhenti. Dokter dan perawat memberikan tindakan pertolongan padanya. Di luar ruang IGD, Dila dan ayahnya berdoa. Tanpa disadari, wajahnya mandi air mata. Dila tak rela kehilangan ibunya secepat ini. Dila memejamkan mata. ”Ya Allah, jangan ambil ibuku. Aku belum bisa membahagiakan ibuku. Tapi kalau Allah lebih sayang ibu, aku rela melepas kepergiannya dari pada melihatnya kesakitan.” Dila menyeka air matanya sambil berdoa untuk kesembuhan ibunya. Dokter keluar dari IGD sambil meminta maaf. Usaha penyelamatan tidak berhasil karena kondisi fisik Bu Zen yang sangat drop. Dila lari ke dalam sambil berteriak. ”Ibu, bangun, Bu. Jangan tinggalin Dila sendiri.” Jenazah ibunya tertutup selimut dan terbujur kaku di ranjang. Ayahnya memegang bahunya sambil memintanya mengikhlaskan kepergian ibunya. Mereka pulang ke rumah untuk persiapan pemakaman ibunya. Sementara sahabatnya berdatangan ke rumah Dila. Chika dan Dona berusaha menghibur Dila agar tak larut dalam kesedihan. Prosesi pemakaman telah selesai. Para pelayat pulang ke rumah masing‐masing. Dona dan Chika masih setia menemani Dila. Mereka memeluk Dila. ”Sabar ya, Dil. Jangan bersedih. Kami akan selalu ada untukmu. Doakan saja Allah menempatkan ibu di surga‐Nya.” Dila sangat berterima kasih pada sahabatnya yang mendukungnya dalam suka dan duka.
Kismis Putih Abu‐Abu | 9 Pejuang Tangguh ejuang tangguh adalah julukan Arjuna yang berjuang demi kemenangan tim futsal SMA Sejahtera. Arjuna, siswa kelas X.IPA1 yang selalu berpenampilan cool. Dia selalu rapi dalam berpenampilan. Sifatnya yang ramah dan supel menjadikannya memiliki banyak teman dan penggemar dari kakak kelasnya. Setiap kali dia lewat depan kelas lain selalu dilirik dan bahan omongan anak‐anak perempuan. Biasa, perempuan hobinya bikin gosip dan membicarakan sesuatu yang terkadang tak masuk akal, hanya waste of time saja. Arjuna kapten tim futsal sekolahnya. Bulan Agustus timnya mengikuti turnamen futsal antar SMA se‐kabupaten. Dia berusaha mengumpulkan timnya yang kehilangan strikernya karena pindah ke sekolah lain. Dia belum mendapat ganti striker yang layak untuk timnya. Dia mencoba membahas masalahnya dengan pelatihnya, Pak Eko. Beliau menyarankan agar Arjuna mencari striker baru dari kelas lain. Arjuna mulai bergerilya mencari striker yang bisa diandalkan. Selepas pulang sekolah, tim futsal latihan persahabatan. Arjuna mencoba pemain cadangan sebagai strikernya. Didit namanya, dia adalah teman sekelasnya. Mulanya Didit merasa kurang mampu, tetapi dia mencoba melakukan yang terbaik. Di lapangan, dia dapat bertanding dengan baik dan mampu mencetak gol. Arjuna sangat senang dengan aksi heroik Didit. Dia selalu mendukung timnya agar berlatih keras demi P
10 | Lestari kemenangan timnya. Permainan usai dengan skor 3‐2. Tim Arjuna menang tipis. Arjuna tidak lagi canggung. Ternyata timnya bisa menang meski tanpa striker yang lama. Arjuna move on dari bayang‐bayang striker lamanya. Dia mulai mempercayai Didit. Latihan keras pun dilakukan tim Arjuna untuk persiapan perlombaan futsal. Sore hari, mereka selalu pemanasan lari lapangan lima kali dan bermain dengan tim lain untuk training agar timnya terbiasa bermain solid. Semua anggota mengikuti latihan sungguh‐sungguh tanpa kenal lelah. Semangat Arjun dan rekannya mendapat dukungan penuh dari sekolah. Mereka difasilitasi tempat latihan dan komsumsi selama berlatih. Semua itu memicu antusiasme mereka untuk mengibarkan bendera sekolah Mutiara di lapangan futsal. Hasil tak memungkiri usaha yang telah dilakukan. Pertandingan babak penyisihan dimulai. Tim Arjuna bermain melawan Tim Pancasila. Di babak awal, tim kalah 1‐0. Mereka merasa kalah. Tetapi sebagai kapten, Arjuna mengajak teman‐ temannya bermain dengan baik. Energi pemicu semangat datang bersamaan suporter rewo‐rewo yang membakar antusiasme tim mengubah kedudukan menjadi 2‐4. Kemenangan dua poin menjadikan tim penuh berapi‐api dalam menantikan pertandingan berikutnya. Babak demi babak dilewati penuh perjuangan dan menguras energi. Tim Arjuna masuk final bertemu dengan tim unggulan dari sekolah kota. Tanpa kenal lelah tim penuh persiapan menghadang lawan, tanpa perlu takut kalah karena kemenangan terwujud berkat usaha keras.
Kismis Putih Abu‐Abu | 11 Pertandingan final berlangsung seru. Kedua tim sama‐ sama tangguh. Babak pertama skor 0‐0 sampai babak awal berakhir. Saat istirahat, Arjuna mendapat wejangan dari pelatih agar strategi permainan diubah. Mereka mencoba permainan dengan ritme yang berbeda. Usaha menyerang dan bertahan dilakukan agar dapat mengubah kedudukan. Keberuntungan berpihak pada tim Arjuna. Gol pertama dicetak sehingga menyulut adrenalin pemain. Mereka menyerang tanpa henti sampai skor akhir 4‐5 kemenangan untuk tim futsalnya. Arjuna menangis bahagia. Dia tidak pernah bermimpi jika timnya akan mencapai kemenangan. Mereka pulang dengan membawa tropi juara 1 dan hadiah uang pembinaan. Pada upacara hari Senin, Arjuna dengan bangga menyerahkan tropi kemenangan kepada kepala sekolah. Tim mendapatkan tali asih dari sekolah untuk pengembangan tim futsal. Seluruh peserta upacara memberi tepukan yang gemuruh padanya. Dia bangga sekolahnya bisa meraih prestasi gemilang berkat kerjasama tim yang hebat. Kepala sekolah juga berterima kasih atas perjuangan tim futsal dan memberikan apresiasi yang setinggi‐ tingginya. Diharapkan tahun depan tim futsal dapat berjuang mempertahankan juara lagi. Tanpa kerja keras dan sungguh‐sungguh, Arjun dan tim futsal tidak akan mencapai puncak. Untuk itu, mereka terus berlatih dan mengikuti kompetisi lain. Arjuna selalu mencoba meyakinkan timnya untuk selalu kompak dalam bermain. Tidak boleh meremehkan lawan dan menjaga permainan
12 | Lestari yang sportif. Sekolah memerlukan pejuang tangguh untuk melanjutkan perjuangan Arjuna. Ketika Arjuna duduk di kelas XI, dia masih dipercaya menjadi kapten tim futsal. Akan tetapi, Arjuna saat mengikuti turnamen antar klub di kecamatan. Dia mengalami cedera kaki kanannya. Keceriaan tidak nampak di wajahnya. Yang ada hanya murung dan galau. Dia merasa dunia futsalnya berakhir dengan tragis. Kaki kanannya tidak dapat berjalan. Dengan bantuan tongkat dia mencoba berjalan perlahan. Awalnya dia tidak yakin kakinya akan normal kembali. Pertandingan musim ini tanpa Arjuna, dia digantikan Sandi kakak kelasnya. Tim terpaksa menelan kekalahan 3‐0. Arjuna merasa bersalah karena timnya kalah tanpa kehadirannya. Di sekolah, Arjuna menjumpai Sandi, sang kapten tim. Dia meminta maaf atas kekalahan yang harus dialami timnya. Sandi justru yang meminta maaf karena tidak dapat mengemban amanat Arjuna. Mereka duduk di gazebo asoka sambil berbincang‐bincang. Sebagai anggota tim, Sandi meminta Arjuna agar dia fokus dalam penyembuhan kakinya. “Yakinlah, Jun, badai pasti berlalu,” ungkap Sandi. Dia menyemangati dan membakar api yang bergelora di dada Arjuna. “Aku akan berusaha agar cepat pulih. Terima kasih, San,” ujar Arjun. Bel masuk pergantian jam membubarkan obrolan mereka. Selama tiga bulan Arjun mengikuti terapi dan pengobatan. Kakinya mulai bisa berjalan tanpa bantuan tongkat. Dia harus tetap hati‐hati karena jika kakinya cedera kembali akan fatal akibatnya. Dia belum boleh main futsal,
Kismis Putih Abu‐Abu | 13 tetapi dia sosok yang tegar dan tidak gampang menyerah. Tiap sore dia berlatih menggiring bola di halaman rumahnya tanpa sepengetahuan orangtuanya. Dia optimis dapat menggunakan kakinya kembali untuk bermain bola. Sebulan berlalu. Arjuna yakin jika di siap masuk tim futsal sekolahnya. Dia berencana ikut latihan sore nanti sepulang sekolah. Pak Eko, pelatihnya menyarankan agar Arjuna meminta izin pada orangtuanya agar sekolah tidak disalahkan. Arjun lalu menelpon ayahnya untuk bermain futsal bersama timnya. Ayahnya melarangnya dan dia meminta Arjun pulang ke rumah saja selepas sekolah. Arjun tampak sedih, lalu dia pamit pulang. Sesampainya di rumah, dia tidak makan. Hatinya kacau serasa pikirannya dipenuhi beban berat. Dia memutar musik rock untuk menghibur hatinya. Namun tetap saja di benaknya hanya ada futsal. Seolah pikirannya mengembara kakinya menari‐nari menghujani gawang dengan bola. Angannya buyar saat terdengar suara pintu diketuk. “Tok,tok,tok, Jun ayo makan biar gak sakit,” rayu ibunya. Arjun membuka pintu danm mengatakan dia tidak ingin makan. Ibunya merayu dan membujuk agar dia segera makan. Tetapi pintu kamar keburu dikunci anak semata wayangnya. Malam harinya Arjun masih bengong dalam kamarnya. Dia masih belum bisa menerima keputusan ayahnya. Dunia tanpa futsal bagai hidup hampa tanpa tujuan karena futsal adalah dunianya. Tiba‐tiba ayahnya ingin mengajaknya berbicara. Sebenarnya ayahnya tidak melarang dia ikut futsal tetapi ayahnya takut kalau kakinya cedera lebih kembali. Arjun menangis dan dia meminta maaf karena sikapnya yang
14 | Lestari kurang dewasa. Arjun bertekad dia menunggu tiga bulan recovery kakinya. Dia sadar ayahnya sangat menyayanginya. Mereka akhirnya berdamai lalu makan malam bersama dengan menu spesial masakan ibunya. Keesokan harinya, Arjun berangkat sekolah naik angkutan umum. Dia terbiasa hidup sederhana meski ayahnya telah membelikannya motor. Dia selalu memakai trasportasi umum. Di dalam angkot dia bertemu Intan, cewek yang ditaksirnya namun dia tidak berani mengungkapkan perasaannya. Dia terlihat nervous dan canggung untuk menyapa. Dia menyapa dan mengajak bicara tentang materi ulangan bahasa Inggris. Tak terasa angkot sampai di depan gerbang sekolah. Intan turun dan membayar ongkosnya tetapi Arjun telah lebih dahulu membayarnya. Intan berterima kasih padanya. Mereka jalan berdua menuju kelasnya. Kebetulan mereka satu kelas jadi Arjun sangat beruntung bareng Intan meski hanya 10 menit. Seperti angin surga menerpa wajah Arjuna. Dia bernyanyi sambil berjalan menuju kelasnya Sandi. Dia menyampaikan info pada Sandi kalau ayahnya mengizinkannya bermain futsal kembali setelah masa recovery. Sandi menyambut gembira dan memberi semangat padanya agar Arjun bersabar menunggu waktu yang tepat. “Ternyata semua indah pada waktunya,” ujar Sandi. Arjun yakin dirinya bisa mengukir prestasi kembali dengan futsal bersama timnya yang tangguh. Tuhan memang Maha Adil dan Bijaksana. Tiap ujian adalah jalan menuju titik yang lebih baik. Seperti Arjun yang berjuang dalam recovery akhirnya bisa turun ke lapangan
Kismis Putih Abu‐Abu | 15 futsal. Timnya menyambut dengan gembira. Terlebih Intan ikut dalam tim cheerleaders sekolah yang biasanya ikut suporter menyemangati mereka berlaga. Bagai gayung bersambut, Arjun bermain menguras energinya dan terbukti mereka dapat menumbangkan lawan‐lawannya. Akhirnya Arjun berani mengekspresikan cintanya pada Intan dengan puisi cinta yang dibaca saat pelajaran bahasa Indonesia. Romantika cinta dua remaja yang sedang dilanda asmara. Langit cerah tanpa awan, angin semilir mengiringi langkah Arjuna menuju perpustakaan sekolah. Dia ingin meminjam buku kumpulan puisi. Sejak dia dekat dengan Intan dia selalu menulis kata‐kata romantis. Andai karyanya dikumpulkan dapat dibukukan menjadi buku kumpulan puisi. Arjuna tumbuh dewasa seiring perubahan sifatnya yang mandiri dan bertanggung jawab. Dia bertambah semangat karena hari‐harinya dilalui bersama Intan, cewek yang dia sayangi dan kagumi sejak masuk SMA.
16 | Lestari
Kismis Putih Abu‐Abu | 17 Kado Terakhir ia, Nita, Indah dan Irfan bersahabat sejak kelas 1 SMA. Mereka kebetulan satu kelas. Mereka senang berpetualang sama‐sama gemar mengikuti ekskul pramuka. Dalam setiap kegiatan selalu bersama saling membantu. Irfan berteman dekat dengan Joe. Mereka selalu bekerja sama dalam mengerjakan tugas sekolah dan mereka sama‐sama anggota tim adiwiyata. Mereka bertugas menanam, menyiram, memupuk dan menjaga kebersihan sekolah. Sekolah mutiara sebagai sekolah adiwiyata maka siswa yang tergabung pada tim adiwiyata akan melaksanakan tugas sesuai gugus tugasnya masing‐masing. Sesi latihan pramuka dilakukan setiap Jumat siang dari pukul 13.00‐16.00. Irfan selalu mengikuti kegiatan penuh disiplin dan tanggung jawab. Dia merupakan penegak bantara, dia membimbing adik kelasnya yang baru menjadi anggota ambalan Patimura dan Dewi Sartika. Dia tegas dalam bertindak tak kenal lelah selalu menunjukkan sikap yang berwibawa dan santun. Keramahannya menjadi magnet bagi siswa perempuan kelas X yang tertarik padanya. Tah heran kalau dia menjadi idola dalam kegiatan pramuka. Siang itu cuaca mendung gelap. Irfan dan kawannya mengikuti kegiatan latihan pramuka. Angin bertiup kencang mengacak‐acak pohon‐pohon di sekitar sekolah. Irfan mengajak semua adik kelas masuk ke aula menuju hujan reda. Tiba‐tiba suara petir gemuruh, semua terlihat ketakutan. L
18 | Lestari Sebagai kakak Irfan dan Joe menenangkan adik‐adiknya. Mereka mengajak bershalawat bersama sambil menunggu hujan reda. Satu jam berlalu hujan pun reda tapi langit masih mendung. Semua kegiatan dihentikan dan adik‐adik dipulangkan. Menembus jalanan yang licin, Irfan memacu kendaraannnya menuju rumah. Di perempatan jalan dekat rumahnya dia nyaris jatuh karena roda motor selip. Dia bersyukur karena tidak luka hanya detak jantungnya yang cepat kaget tergelincir. Sementara Lia menelpon Indah untuk membuat pesta kejutan ulang tahun Irfan yang ke 16 tahun. Indah mengajak Nita dan Joe untuk menyiapkan pernak‐pernik pesta yang rencana diadakan di rumah Joe. Mereka merahasiakan kejutan ini demi sahabat mereka yang tercinta. Lia dan Indah membuat kue ulang tahun minggu pagi di rumah Lia. Nita dan Joe menata ruang untuk pesta yang dipenuhi hiasan bunga dan balon. Tiba‐tiba Irfan menelpon Joe untuk diajak pergi ke mini market membeli perlengkapan persami. Joe menolak dan mengatakan bahwa dia sedang ada acara dengan orang tuanya. Irfan mengirim WA pada Lia dan Nita untuk diajak pergi namun mereka menolak dengan alasan sibuk. Rencana pesta kejutan akan diberikan minggu malam jam 19.00. Joe menyiapkan kado dan kue ulang tahun di ruang tamu yang telah dihiasi pita‐pita cantik rangkaian tangan lentik teman‐ temannya. Selepas magrib, Joe menelpon Irfan untuk datang ke rumahnya. Irfan menyetujuinya dan berencana akan datang tepat pukul 19.00. Ketiga sahabat sudah berkumpul di rumah Joe. Mereka berharap Irfan senang dengan pesta kejutan
Kismis Putih Abu‐Abu | 19 yang mereka siapkan. Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00, tapi tanda‐tanda kedatangan Irfan belum nampak. Mereka galau dan berpikir kalau Irfan tidak akan hadir. Dua jam mereka menunggu tetapi tidak ada kabar Irfan. Nita, Lia dan Indah pamit pulang dan rencananya mereka akan membawa kue ultah ke sekolah untuk kejutan Irfan. Pesta kejutan batal karena Irfan tidak datang tanpa ada kabar berita. Sementara malam itu Irfan bersiap datang ke rumah Joe. Tetapi nahas, dia mengalami kecelakaan di pertigaan dekat rumahnya. Orang‐orang yang melihat peristiwa itu langsung menolong dan membawanya ke rumah sakit. Orang tua dan kakaknya Irfan menunggu di ruang IGD. Dokter jaga mengatakan bahwa Irfan harus segera dioperasi karena pendarahan di otak belakang. Keluarga menyetujuinya demi menyelamatkan nyawanya. Di rumah Lia, dia gelisah karena tidak bisa menghubungi Irfan. Tepat pukul 24.00 dia tidak bisa memejamkan matanya. Entah apa yang terjadi dia seperti galau menanti sang pacar sampai dia tertidur di sofa ruang tamu. Hp‐nya di‐silence. Dia tidak dapat mendengar panggilan dan WA dari teman‐ temannnya yang mengabari bahwa Irfan meninggal dunia. Lengkingan suara merdu azan subuh membangunkan Lia. Dia langsung berwudu lalu shalat Subuh. Tiba‐tiba dia ingat HP‐ nya di atas meja belajar. Dia ingin mengirim pesan pada Irfan untuk bertanya alasan Irfan tidak datang semalam. Bagai disengat lebah, Lia lunglai membaca WA teman‐ temannya yang mengabari bahwa Irfan telah menghembuskan nafas terakhirnya tadi malam tepat pukul
20 | Lestari 24.00 sebelum tindakan operasi. Lia menangis dan berteriak dalam kamarnya. Dia menyesal kenapa tidak mengatakan tentang pesta dan kado kejutan buat Irfan. Dia menghubungi Joe agar mereka berempat datang ke rumah Irfan. Joe sedih mendengar berita lelayu itu. Mereka lalu takziah bersama menemui kakaknya Irfan untuk bertanya tentang kejadian yang menimpa Irfan. Kak Novi menjelaskan bahwa Irfan kecelakaan tunggal, kepalanya menghantam batu karena tidak membawa helm. Mereka menceritakan bahwa hari ini ultahnya Irfan makanya tadi malam mereka menyiapkan pesta kejutan tetapi Irfan tidak datang. Kak Novi meminta mereka mengikhlaskan dan memaafkan kesalahan yang diperbuat Irfan selama mereka bersahabat. Jenazah Irfan tiba di rumah duka. Semua warga membantu memindahkan dari ambulan menuju ke dipan yang telah disediakan. Kemudian mereka memandikan dan menyalatkan jenazah. Selang berapa menit dilakukan adat blusukan. Jenazah pun diantar kerabat, sahabat, tetangga dan keluarga menuju peristirahatan terakhir. Keempat sahabatnya turut mengantarnya sampai ke pusaranya. Lia tak kuat membendung air mata yang meleleh membasahi pipinya. Indah berusaha menenangkannya dengan memegang pundaknya. Setelah pemakaman usai, mereka kembali ke rumah duka untuk berpamitan pulang ke rumah masing‐masing. Lia merasa sangat terpukul atas kepergian sahabatnya. Dia mencoba melupakan tetapi bayangan senyuman Irfan selalu ada di hadapannya.
Kismis Putih Abu‐Abu | 21 Selama tujuh hari, ke empat sahabat selalu hadir di acara tahlilan sahabatnya. Mereka turut berdoa semoga Irfan khusnul khotimah. Keluarga Irfan juga senang dengan kehadiran mereka yang membantu terlaksananya tahlil. Mereka berharap Allah menempatkan Irfan di surga. Meski Irfan telah tiada namun semangatnya akan selalu ada di hati sahabatnya. Tiada yang dapat menyangka kapan maut akan datang. Semua rahasia ilahi. Manusia hanya berusaha Allah yang menentukan. Kun Fayakun.
22 | Lestari
Kismis Putih Abu‐Abu | 23 Pak Guru Killer agi itu, kelas XII.IPA3 belajar PKn bersama Pak Ali. Pada waktu Pak Ali mengajar, kelas sangat tenang dan tidak gaduh. Semua siswa takut pada Pak Ali. Beliau adalah sosok guru yang disiplin dan tegas. Tiap pelajaran tak ada siswa yang berani pinjam penghapus atau alat tulis lain. Pak Ali tidak senang jika ada siswa yang tidak fokus di kelas atau bikin keributan. Pak Ali menyampaikan informasi hari ini ulangan tentang HAM. Semua siswa diminta mengeluarkan kertas lalu menulis nama dan kelas di pojok kiri atas. Tiara yang duduk sebangku dengan Yuni nampak ketakutan karena semalam tidak belajar. Mereka mengikuti perintah Pak Ali. Pak Ali meminta semua menulis 5 soal yang didiktenya. Waktu mengerjakan 30 menit. Mereka fokus mengerjakan soal‐soal. Tiba‐tiba, Nina, bersuara meminjam pulpen pada Tiara. Tiara tegang dan takut kalau Pak Ali akan marah padanya. Karena Tiara sahabat yang baik maka dia meminjami pulpen pada Nina. Pak Ali melihat Tiara sedang berbicara pada Nina langsung mengingatkan mereka. Mereka ditanya nomor absen dan ditandai nomornya di buku penilaian siswa. Semua diam tak bersuara seperti malam yang hening tanpa bintang dan bulan. Pak Ali dengan ketat mengawasi dalam menjawab soal‐soal yang cukup menguras energi. Doni yang duduk di pojok berusaha meminta jawaban soal no. 2 pada Bagas. Waktunya tidak tepat. Pak Ali yang P
24 | Lestari telah mengawasi gerak gerik Doni tanpa banyak tanya langsung memberi nilai 0 pada kertas ulangannya. Doni kaget. Dia pasrah bagai tikus terjebak dalam trap. Dia meminta maaf pada Pak Ali tentang perbuatannya yang tidak disiplin. Dia memohon diberikan ulangan susulan agar nilainya dapat berubah baik. Pak Ali memintanya mengikuti ulangan di kantor. Satu minggu berlalu, saatnya jam pelajaran PKn kembali bersama sang guru killer. Semua siswa siap duduk dibangku masing‐masing. Tak ada seorang pun yang berbicara. Mereka serasa mati gaya dan terkotak dalam lingkaran permainan tak berujung. Pak Ali menerangkan tentang hukum di Indonesia. Tiba‐tiba pandangan Pak Ali tertuju pada Imron dan Ferdi yang sedang asyik berdiskusi. Mereka diberi pertanyaan yang lumayan berbobot. Mereka tidak bisa menjawab karena tidak memperhatikan penjelasan di kelas. Pak Ali mencatat nama keduanya dan meminta siswa lain untuk memperhatikan materi dengan cermat. Dua jam terasa berjam‐jam dan menguras pikiran semua penghuni kelas. Kelas berakhir. Semua bernapas lega bak kejatuhan setetes air di tengah padang pasir yang tandus. Kedisiplinan Pak Ali dirasakan semua siswa kala mengikuti tes semesteran. Waktu itu Pak Ali mengawasi diruang 4 di mana Tiara dan kawan‐kawannya berada. Mereka terlihat takut kalau mereka mendapat teguran dan dicatat namanya dalam berita acara tes. Dua puluh menit tes berlangsung, Tiara tampak kurang siap dalam tes Matematika. Dia mencoba mengerjakan sendiri tetapi dia tak dapat menemukan jawabannya. Dia bingung mau bertanya takut
Kismis Putih Abu‐Abu | 25 ketahuan pengawas. Dia hampir saja meneteskan air mata karena belum selesai mengerjakan sedangkan waktu tinggal 15 menit. Dia tetap berusaha memutar otak untuk menemukan jawaban. Tak disangka teman depannya mengangkat lembar jawaban dan Tiara dapat melihat jawaban tersebut. Tanpa basa basi dia menyalin jawaban temannya itu. Tanpa disangka, ternyata pengawas memperhatikan gerak geriknya. Pengawas mencatat namanya di berita acara. Siswa yang tercatat dalam berita acara pun dibacakan Pak Ali. Mereka adalah Tiara, Nanik, Imro, Duta dan Doni. Nama mereka tercatat sebagai peserta tes yang beker jasama sehingga layak mendapat nilai 0. Ke lima siswa tampak pucat dan malu pada teman‐temannya karena sudah curang dalam tes. Mereka mendapat sanksi mengerjakan tes ulang di ruang guru. Tiara menangis tetapi semua sia‐sia ibarat nasi telah menjadi bubur. Dia mengaku salah karena semalam tidak belajar dengan sungguh‐sungguh. Andai saja dia mau belajar keras pasti dia dengan mudah melahap soal Matematika. Dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya yang tidak terpuji. Ke lima siswa meminta maaf pada Pak Ali dan Bu Eko yang mengampu mapel Matematika. Di lain pihak, Tari yang menjabat sebagi pradana putri di ambalan Dewi Sartika paham betul dengan Pak Ali. Menurutnya, Pak Ali adalah figur guru yang tegas. Beliau merupakan pembina pramuka yang disiplin dan baik hati. Dia tidak pernah marah saat mengikuti perkemahan baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hampir semua pengurus ambalan menyukai gaya pembimbingannya. Beliau sering
26 | Lestari mengajak pramuka agar selalu siap dan tanggap dalam menghadapi era globalisasi. Kami diminta tekun belajar dan pantang menyerah. Generasi muda harus dapat mengatur waktu secara cermat. Organisasi adalah sarana latihan dalam bersosialisasi sebagai modal kehidupan bermasyarakat. Pesan Pak Ali selalu tergiang dalam benak semua yang mendengarnya. Tari khususnya, belajar menjadi orang yang disiplin dalam segala hal. Dia selalu datang ke sekolah tepat waktu. Mengerjakan tugas mandiri dan mengumpulkan sesuai batas waktunya. Dia juga disiplin dalam latihan PBB untuk melatih konsentrasi dalam belajar. Dia menganggap disiplin itu harus dipaksakan agar semua dapat berjalan sesuai harapan. Tanpa disiplin, mustahil orang dapat sukses dalam menjalani usaha meraih mimpinya. Sebenarnya Tari mengenal Pak Ali tidak hanya sebagai guru yang disiplin. Dia juga mengenal beliau di dalam kegiatan pramuka. Ketika Tari sakit maag saat acara renungan malam, Pak Ali memintanya minum obat. Terlihat sifat kebapakan dari figur Pak Ali yang killer. Bahkan ketika Tari sembuh, beliau masih menanyakan kesehatannya. Tak lupa beliau berpesan agar Tari tidak telat makan. Teman‐teman Tari boleh mengatakan Pak Ali guru killer. Tetapi Tari tetap menganggap Pak Ali adalah guru hebat yang membentuk karakter disiplin padanya. Sehebat apa pun guru itu, pasti tiap guru mempunyai impian agar semua anak didiknya menjadi orang hebat yang akan memimpin Indonesia di masa mendatang.
Kismis Putih Abu‐Abu | 27 Melompat Pagar asa putih abu‐abu adalah pencarian jati diri remaja, seperti yang dialami Fitria dan teman sekelasnya. Fitria bersekolah di SMA pinggiran yang jauh dari perkotaan. Teman‐temannya banyak yang berasal dari pedesaan. Rata‐rata mereka berasal dari ekonomi kelas menengah ke bawah. Penampilannya juga sederhana dan perbedaan antara mereka tak nampak. Fitria biasa berangkat ke sekolah naik bis bersama teman‐ temannya. Pukul 06.15 dia dan kawan‐kawan tiba di sekolah. Suasana masih sepi. Yang terlihat hanya pak Bon yang membersihkan halaman sekolah. Fitria berjalan menuju kelasnya. Tiba‐tiba Andi menghentikan langkahnya. Andi memberikan informasi kalau teman‐teman sekelas akan menonton pertandingan sepak bola di stadion pas pelajaran Biologi. Fitria tidak menyetujuinya karena itu tindakan yang melanggar aturan. Tetapi Andi dan kawannya telah bertekad untuk menjadi suporter saat pertandingan tim sekolahnya melawan tim sekolah lain. Waktu berjalan cepat. Tepat pukul 07.00 teman sekelas Fitria benar‐benar melakukan aksi yang nekat. Kelas dibiarkan kosong. Anak laki‐laki melompat pagar belakang menggunakan tangga dekat kantin sekolah. Ternyata Heni dan kelompok anak perempuan juga ikutan melompat pagar demi menjadi suporter bola. Sementara Fitria dan Nisa sembunyi di perpustakaan. M
28 | Lestari Pada jam itu terlihat Pak Joe masuk ke dalam kelas lalu duduk sambil membaca buku. Di kelas tak terlihat satu siswa pun yang hadir. Kelas kosong mlompong, tinggal bangku tanpa penghuni. Akan tetapi, Pak Joe tidak beranjak dari kelas sampai jam Biologi selesai. Bel pergantian pelajaran berdering. Pak Joe baru beranjak dari tempat duduknya tanpa mengucapkan sepatah kata dan beliau tidak melaporkan peristiwa ini pada guru BP. Fitria dan Nisa yang tidak ikut dalam aksi lompat pagar masih sembunyi di ruang perpustakaan. Mereka takut jika masalah ini diketahui BP. Mereka tetap sembunyi sampai teman sekelasnya kembali ke sekolah. Aksi lompat pagar ini dilakukan karena sekolah tidak mengizinkan siswanya menjadi suporter di stadion. Sekolah melarang dengan alasan keselamatan mereka. Saat tanding bola seringkali terjadi tawuran antar suporter. Sejak itu sekolah melarang siswa ikut suporter di stadion. Tetapi kelasnya Fitria memang kelas ternekat yang berani mengambil resiko. Bahkan perbuatan mereka yang melanggar aturan sekolah dengan melompat pagar setinggi dua meter. Fitria dan Nisa terciduk guru BP yang melihat mereka duduk di pojok perpus. Bu Heni menanyakan alasan mereka di perpus. Awalnya Fitria takut bercerita tentang kelasnya yang kabur ke stadion. Tetapi demi kebaikan kelasnya, dia menjelaskan masalah yang dihadapi kelasnya. Fitria meminta maaf kepada guru BP karena telah menutupi perbuatan nekat mereka. Bu Heni kemudian mengajak Fitria dan Nisa menuju ke ruang BP untuk menceritakan tragedi lompat pagar.
Kismis Putih Abu‐Abu | 29 Pukul 11.30 WIB, teman‐teman Fitria kembali ke sekolah melewati pintu utama. Mereka adalah siswa yang bertanggung jawab dengan moto berani berbuat berani menanggung resiko. Itulah hebatnya dunia putih abu‐abu. Mengandalkan otot bukannya otak. Pak Tardi selaku guru BP meminta semua siswa berbaris di lapangan depan. Kemudian beliau menanyakan beberapa alasan kabur dari sekolah. Tiap siswa menulis dalam buku kasus nama dan alasan mengikuti tindakan kabur lewat pagar belakang. Mereka tertunduk malu dan mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya ilegal. Sekolah memberikan sanksi kepada mereka untuk membersihkan toilet sekolah. Pak Tardi membagi tugas pada masing‐masing siswa. Semua mengaku bersalah dan berjanji tak akan mengulangi lagi. Lalu mereka melaksanakan hukuman yang diberikan Pak Tardi tanpa protes. Sementara Fitria dan Nisa berdua menunggu penuh was‐ was dan gelisah. Mereka ingin mengajak teman sekelasnya meminta maaf pada pak Joe. Udara panas tanpa hembusan angin, sesekali Fitria menyeka peluh yang berjatuhan bak kembang jambu di musim buah. Saat teman‐teman masuk ke ruang kelas, dia langsung menyampaikan idenya tadi yang dibahas bersama Nisa. Semula Zian menolak tapi teman yang lain menyetujuinya. Kesepakatan akhir kelas menunjuk Fitria dan Nisa sebagai perwakilan kelas. Mereka datang ke rumah Pak Joe untuk meminta maaf. Mereka ditunjuk karena mereka tidak ikut aksi nekat. Demi kebaikan kelasnya, sepulang sekolah mereka mendatangi rumah Pak Joe. Mereka memberanikan diri bertemu Pak Joe. Setiba di depan pintu masuk, mereka
30 | Lestari bertemu istri Pak Joe. Fitria mengucapkan salam dan mengutarakan niat mereka bertemu Pak Joe. Bu Joe mempersilahkan mereka masuk ke ruang tamu. Detak jantung Fitria berdegup kencang. Keringat dingin bercucuran di lehernya. Rasa takut menggelayuti pikirannya. Dia mempersiapkan diri jika Pak Joe marah. Ternyata apa yang dibayangkan tidak terjadi. Pak Joe terlihat santai. Mereka menyalami Pak Joe lalu mengutarakan tujuan mereka menemui beliau. Dengan nada lembut dan sopan Fitria mengatakan bahwa mereka adalah perwakilan kelas yang tadi pagi kabur menjadi suporter di stadion. “Kami mohon maaf, Pak, atas perbuatan yang indisipliner,” ungkap Fitria. “Semoga Bapak berkenan memaafkan teman‐teman kami dan Bapak bersedia mengajar kembali di kelas kami,” kata Nisa. Pak Joe tersenyum tipis dan menyampaikan bahwa beliau akan mengajar lagi jika yang meminta maaf adalah yang berbuat kabur. Mereka diminta pulang karena hari telah sore. Matahari mulai masuk peraduan. Mereka pamitan dan mohon diri pulang ke rumah masing‐masing. Keesokan harinya, Fitria menyampaikan pesan Pak Joe. Mereka setuju akan minta maaf pada Pak Joe ketika istirahat jam pertama. Tiba waktu istirahat, mereka menemui Pak Joe di kantor dan meminta maaf secara bergantian. Mereka berjanji untuk tak mengulanginya lagi. Pak Joe menambahkan agar mereka meringkas materi tentang sel yang seharusnya dipelajari kemarin. Mereka harus mengumpulkan tugas
Kismis Putih Abu‐Abu | 31 keesokan harinya. Lalu mereka kembali masuk ke ruang kelas dengan perasaan plong. Tragedi lompat pagar adalah bentuk protes siswa pada sekolah yang melarang siswa izin menjadi suporter bola. Sejak saat itu sekolah mulai memperketat pengamanan dengan memasang pecahan kaca pada tembok sekolah. Kejadian itu menjadikan pelajaran yang berharga bagi kelas nekat. Jika siswa ingin melakukan tindakan apa pun, seharusnya mereka memberitahu pada pihak sekolah yang berkompeten. Sekolah akan menanggung kesalahan jika terjadi tragedi yang menimpa mereka. Fitria dan teman sekelas membuat resolusi bahwa mereka akan menjadi siswa yang lebih bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Apabila mereka memilliki masalah mereka akan mendiskusikannya dengan wali kelasnya, Bu Yanti. Sebagai wali kelas, Bu Yanti berharap agar kelas yang dibimbingnya menaati peraturan sekolah. Sejak saat itu diberlakukan laporan absensi kelas di awal dan di akhir pembelajaran. Kelas mulai membenahi diri, mulai dari menjaga kebersihan, keindahan dan kekompakan kelas.Terbukti pada lomba class meeting, kelas mereka menjadi juara umum dalam berbagai perlombaan. Bu Yanti bahagia dapat mendampingi langkah mereka menuju kemenangan. Di bidang akademik, Bu Yanti mengimbau agar semua siswa belajar keras demi mengukir prestasi. Tak selamanya hitam itu kelam. Lembaran putih berawal dari ikhtiar yang tulus.
32 | Lestari
Kismis Putih Abu‐Abu | 33 Piala untuk Bu Rose u Rose adalah guru bahasa Indonesia di SMA Gemilang. Postur tubuhnya tinggi dan berisi. Beliau selalu terlihat kuat dan tegar. Pada jam kerja, beliau tidak pernah mengeluh. Kebiasaannya yaitu suka membuat segelas kopi ketika jam istirahat, sebagai teman makan ketela goreng. Dalam keseharian, beliau tak pernah menunjukkan sakit yang telah lama dideritanya. Beliau tipe ibu yang peduli dan murah senyum. Tia dan Reni sering berbincang dengan Bu Rose, karena beliau adalah wali kelas X.IPA4. Mereka konsultasi tentang kelas dan materi pelajaran. Bu Rose selalu sabar membimbing mereka. Namun Bu Rose kadang kesal menghadapi kelasnya, terutama siswa laki‐laki yang cuek dan tidak menghiraukan nasihatnya. Bu Rini, guru bahasa Inggris biasanya mengajak Bu Rose untuk sabar. “Orang sabar disayang Tuhan,” ungkap Bu Rini. Setiap mengajar di kelas X.IPA4, Bu Rose menyempatkan melihat tanaman bunga di teras kelas. Terdapat bunga mawar, anggrek, cocor bebek, lidah mertua, kaktus, dan bunga krokot yang menghiasi taman kelas. Hidroponik yang berisi sayuran kangkung terlihat segar. Bu Rose mengajak semua siswa menjaga kebersihan dan keindahan kelas. Merry, bendahara kelas X.IPA4 rajin berkomunikasi dengan teman‐temannya. Hanya ada satu komunitas laki‐laki yang kurang peduli. Mereka sering B
34 | Lestari bermain HP di pojok kelas. Merry sering melaporkan perbuatan Arif dan kawan‐kawan pada wali kelasnya. Bu Rose berusaha tegar dalam menghadapi kelasnya. Anak‐anak yang bermasalah diberikan teguran dan nasihat agar menyadari kesalahannya. Namanya juga remaja yang baru mencari sensasi dalam hidup, mereka hanya mendengarkan petuah yang disampaikan wali kelasnya. Mereka mengakui kesalahannya, tetapi ada kalanya mereka juga mengulang perbuatan yang sama tanpa disengaja. Seperti pada saat jam pelajaran sejarah. Ketika Bu Muna menerangkan materi sejarah Indonesia, tiba‐tiba Bu Muna mendekati Arif yang asyik bermain HP. Teman‐temannya kaget karena mereka fokus mendengarkan penjelasan Bu Muna. Beliau meminta HP milik Arif, lalu menyimpannya dalam diskripnya. Arif adalah anak bandel yang kurang peduli dalam KBM. Dia selalu asyik bermain HP. Semua teman berusaha mengingatkannya, tetapi Arif ya tetap Arif yang santai dan gak peduli. Kelas sejarah selesai. Bu Muna keluar dari kelas menuju kelas berikutnya. Arif, remaja desa yang gaul dan nyantai berdiskusi dengan Banu. Arif ingin menemui Bu Muna untuk meminta HP Banu yang dipakainya bermain saat pelajaran. Arif tak tega jika HP Banu harus disita gara‐gara kecerobohannya. Dia meminta maaf pada Banu, tapi Banu tak mau komentar apa pun. Lalu mereka pergi menemui Bu Muna untuk meminta maaf. Ketika bertemu Bu Muna, Arif langsung mengutarakan niatnya meminta maaf. Bu Muna ingin agar Arif menyadari kesalahannaya. Untuk itu, beliau memintanya membuat surat pernyataan agar dia tidak mengulangi perbuatannya.
Kismis Putih Abu‐Abu | 35 Bu Rose ternyata mengidap kanker servik dan dokter memvonis kalau hidupnya tinggal beberapa bulan. Beliau menjalani operasi pengangkatan kandungan yang terdapat gumpalan darah. Pasca operasi, beliau harus mengikuti kemoterapi dan penyinaran selama 26 kali. Saat kemoterapi, badanya mengalami penurunan daya tahan tubuh. Kaki lemas, badan loyo dan kurang nafsu makan. Keluarga Bu Rose memberi tambahan asupan gizi. Tiap pagi jus buah bit dan sari buah merah menjadi minuman pokoknya. Selama kemoterapi, Bu Rose selalu mengeluhkan sakit di sekujur badan. Dengan kesabaran level 10 membawanya sehat melebihi vonis dokter. Beliau rajin kontrol di rumah sakit Semarang. Bahkan beliau harus berangkat kontrol sendiri dengan naik kereta api. Semuanya dilakukannya demi kesembuhannya. Beliau tak pernah mengeluh dan selalu semangat dalam pengobatan. Merasa badannya telah pulih sehat, beliau lupa waktu. Kontrol yang seharusnya tiga bulan sekali tidak dijalaninya. Badannya terasa enteng dan sehat, Bu Rose gak merasakan sakit yang selama ini menggerogotinya. Tiga bulan tidak kontrol, tiba‐tiba beliau merasakan kesakitan di perut bawah sebelah kiri. Atas inisiatif keluarganya, beliau diantar berobat ke Semarang. Bagai petir di siang bolong menyambar ubun‐ubunnya. Dokter mengatakan agar Bu Rose melakukan tes laboratorium. Dokter melakukan serangkaian tindakan laboratorium guna mendeteksi penyakitnya. Dokter akan mengetahui hasilnya satu minggu mendatang. Pagi cerah. Mentari memancarkan kilau emasnya menembus cakrawala pagi. Tak secerah raut wajah Bu Rose
36 | Lestari yang tak tentu menunggu konsultasi dokter Mirza. Tiba giliran nama Bu Rose dipanggil perawat agar beliau masuk ke dalam ruang priksa. Dokter Mirza menjelakan bahwa kanker yang diderita Bu Rose berkembang menjadi kanker ganas. Serasa lepas seluruh tulang dalam tubuhnya. Mulutnya kaku tak bisa bertutur mendengar berita yang mengenaskan. Dokter menyarankan agar Bu Rose mengikuti kemoterapi kembali. Sebagai manusia biasa, Bu Rose hanya bisa pasrah pascausaha keras untuk bertahan hidup. Setibanya di rumah, Bu Rose menangisi nasibnya yang kian menderita. Kanker itu menggerogoti tubuhnya. Dalam benaknya hanya menanti keajaiban Allah. Umurnya tak akan lama lagi. Semangat hidupnya mulai bangkit bersama dukungan keluarga, saudara, sahabat dan orang‐orang yang mendoakannya. Ketika opname pertama pascakemoterapi, Bu Rose harus bedrest. Hanya doa yang mampu dipanjatkan seluruh rekannya. Kelas X.IPA4 juga turut prihatin atas kondisi Bu Rose yang menurun drastis. Perwakilan kelas menengok Bu Rose di Semarang. Beliau terbaring lemah dan tak bertenaga terlihat di wajahnya. Merry menyuapi Bu Rose sambil menyampaikan salam dari kelasnya. Bu Rose berterima kasih atas perhatian dan mohon maaf jika merepotkan selama sakit. Merry menguatkan semangat Bu Rose dan memintanya untuk bersabar. Allah tidak akan memberikan beban yang melebihi kemampuan manusia. Doa dan usaha telah dilakukan namun Allah lebih menyayangi Bu Rose. Seluruh warga sekolah kehilangan sosok guru yang humble ini, terutama kelas X.IPA4 yang
Kismis Putih Abu‐Abu | 37 bandel selama Bu Rose menjadi walinya. Semua melepas kepergian Bu Rose di pusara terakhir. Langit redup. Awan menggantung. Angin berhenti seolah turut melepas insan tercinta menuju peristirahatan terakhir. Bu Rose telah tiada. Tetapi semangatnya tak pernah padam di kelas X.IPA4. Kelas mengikuti lomba kebersihan antar kelas X. Bersama wali kelas baru, Bu Rita, mereka ingin mewujudkan impian Bu Rose yaitu kelas yang bersih dan nyaman. Dengan komando Bu Rita, semua bekerja keras. Usaha tak pernah membohongi hasil. Kelas X.IPA4 memperoleh juara 3 lomba kebersihan kelas. Piala dan bingkisan diterimakan pada acara dies natalis sekolah. Bu Rita bangga pada kelasnya yang meski hanya 6 bulan bersama tetapi mereka mampu berprestasi. Merry menyatakan bahwa piala kemenangan itu untuk Bu Rose. Semoga Bu Rose tenang di surga‐Nya Tersenyum bahagia Kami mencintai Bu Rose Meski alam kita berbeda Piala kemenangan teruntuk Bu Guru Damailah di sisi‐Nya
38 | Lestari
Kismis Putih Abu‐Abu | 39 Qori sang Juara Kelas ori, gadis cantik tinggi semampai yang terkenal di SMA 1 Tunas. Dia tergolong siswa yang aktif dan pandai di kelasnya. Hobinya membaca buku, baik fiksi maupun non‐fiksi. Dia sering berkunjung ke perpus di jam istirahat. Semua siswa seagkatannya segan terhadapnya. Meski dia berasal dari keluarga kaya tetapi dia tidak pernah sombong. Justru dia sering membantu temannya yang kesulitan dalam pembayaran administrasi sekolah. Sejak kelas X, dia selalu berada di peringkat pertama dalam kelasnya. Rendah hati dan suka menolong sifat yang diwariskan orangtuanya sejak lahir. Ayah dan ibunya juga termasuk orang yang ramah dan dermawan. Mereka juga terkenal suka menolong masyarakat di lingkungannya. Qori gadis remaja yang ceria dan periang. Dia tergabung dalam ekskul English Conversation di sekolahnya. Telling story menu favorit dalam program klub pencinta Speaking. Dia juga pernah menang lomba telling story waktu dia masih duduk di bangku SMP. Qori sering mempraktikkan Speaking bersama teman dan guru bahasa Inggrisnya, Miss Alin. Dia selalu mencoba, meski kadang banyak salah dalam bertutur. Dia percaya ungkapan ’practice makes perfect’. Di mana pun dia berada, dia selalu berlatih demi meraih cita‐citanya menjadi seorang pramugari. Impiannya ingin keliling dunia dengan profesinya. Dia mengasah speaking‐nya setiap hari. Bahkan dia gunakan Q
40 | Lestari waktu liburan dengan mengikuti English Camp. Bukan ketenaran yang dicarinya melainkan impian masa depan dalam hidupnya. Di Bulan Bahasa, Qori mengikuti lomba story telling antar SMA. Miss Alin mengadakan seleksi antarkelas. Qori terpilih menjadi pemenang. Dia sangat senang dan berjanji akan menampilkan yang terbaik. Latihan selama lima hari di depan ruang guru menambah kekuatan mentalnya. Pelatihnya sangat disiplin dan tegas. Intonasi suara dan ekspresi benar‐ benar menguras energi Qori. Berbekal latihan dan semangat, dia bertekad menampilkan yang terbaik. Senin pagi, Qori, didampingi Miss. Alin, berangkat menuju tempat lomba. Awalnya Qori grogi melihat lawannya dari sekolah lain, tetapi Miss. Alin membakar gelora di dadanya. Qori membawa kotak ajaibnya yang berisi gambar tokoh‐ tokoh yang akan diceritakan. Dia perkenalkan dirinya dan menyampaikan judul ceritanya “Situ Bagendit” penuh penjiwaan. Tokoh Nyai Bagendit yang kemayu, kikir dan angkuh sangat kental. Penonton serasa masuk dalam alur ceritanya. Dia mampu berperan ganda dalam cerita yang dibawakannya. Suara dan intonasi sesuai perannya menjadikan penonton gemes. Miss Alin yang menyimak story telling bangga. Ternyata dia tidak salah pilih. Qori bagai mutiara yang senantiasa berkilau dalam lumpur. Bakatnya yang fantastik dan penampilannya yang santun membuat orang yang memandang terpesona. Pronounciation yang renyah bak krupuk yang baru dikemas. Gesture tubuhnya
Kismis Putih Abu‐Abu | 41 yang gemulai bagai pemain teater. Semua memikat orang yang melihat penampilannya. Tokoh Nyi Bagendit yang sangat sombong dilahapnya habis‐habisan, membuat penonton kesal dan benci Nyi Bagendit. Qori juga punya keunikan dalam bercerita. Di akhir cerita dia selalu menutup ending dengan sebuah lagu yang merdu, menghanyutkan angan semua yang melihat. Seperti siang itu, dia menyanyikan lagu Let It Go. Semua yang berada di ruangan memberikan applause yang sangat meriah. Miss. Alin langsung berdiri memeluk Qori bagai putrinya sendiri. Perlombaan selesai. Tiba waktunya pengumuman. Juri membacakan juara 1, 2, dan 3. Juri tak pernah salah pilih, prediksi penonton juga hebat. Qori dinobatkan sebagai juara 1. Kegembiraan terpancar di raut wajahnya. Latihan keras yang dijalaninya membuahkan kesuksesan. Dia mendapatkan piala dan hadiah uang pembinaan. Miss. Alin mengajak Qori makan bakso langganannya. Qori tak lupa mengucapkan terima kasih atas bimbingan Miss. Alin. Mereka merayakan kemenangan dengan berswafoto di warung bakso. Perlombaan telah usai tidak berarti Qori lepas latihan. Dia tetap praktik bercerita, berpidato dan membaca puisi untuk melancarkan speaking‐nya. Antusias dan semangatnya menjadikan dia selalu berusaha meraih prestasi. Dalam benaknya terpatri “Jangan minta apa yang sekolah berikan padamu tetapi apa yang sudah kau berikan pada sekolah.” Melalui partisipasinya dalam ajang lomba, dia membuktikan kalau dirinya bertalenta. Qori senang menulis puisi. Dia bisanya menulis puisi untuk majalah sekolah. Siang itu, cuaca cukup panas. Qori
42 | Lestari berjalan menuju gazebo di ujung sekolah. Dia menulis puisi tentang suasana hatinya yang sedang galau ditinggal ibunya pergi ke luar kota urusan bisnis. Penggalan puisi untuk ibunya: Puisi buat Bunda Siangku sepi Malamku kelam Hatiku rindu Padahal baru sehari Tak ada nasgor Pisang goreng kipas Bahkan teh manis Bunda Bukan hanya makanan Duniaku sepi Tanpa pangkuanmu Terasa rindu Bunda, jangan lama ya I miss you, Mom Usai menulis puisi, dia melihat Robby, temannya, baru latihan teater. Dia ingin juga bermain teater namun dia belum pernah mencobanya. Robby asyik menjiwai perannya. Robby lalu mengajak Qori berperan antagonis melawannya. Awalnya dia ragu, tetapi dia mencoba membaca skrip dan mempraktikkan dengan gayanya yang alami.