The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al- Ushulu Sittah

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by lavettakristiyono, 2022-06-08 01:54:21

Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al- Ushulu Sittah

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 1 | Muqaddimah Ushulu As-Sittah Bagian 1

January 5, 2021Ummu Syifa

‫السلام عليكم ورحمة الله وبركاته‬
‫الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه‬

Halaqah yang pertama dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan
Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi Rahimahullah.

Kita akan bersama-sama mempelajari tentang sebuah
kitab yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab bin Sulaiman At Tamimi Rahimahullah yaitu kitab
yang berjudul Al-Ushulu As-Sittah yang artinya enam
kaidah.

Dan ini adalah termasuk karangan beliau yang sangat
bermanfaat. Dan dia meskipun ringkas akan tetapi
mengandung banyak faedah. Yang hendaknya seorang
muslim mengetahui faedah-faedah ini.

Beliau menyebutkan di dalam kitab ini, enam perkara
yang sangat penting.

Beliau adalah seorang ulama yang bernama Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman At Tamimi.
Beliau lahir pada tahun 1115 Hijriyyah dan menimba ilmu
agama ini semenjak kecil. Dan diantara gurunya adalah
bapak beliau sendiri, demikian pula ulama-ulama besar
yang lain di zaman beliau, seperti Asy Syaikh Muhammad
Al Hayah As Sindi, dan juga yang lain.

Dan di dalam mencari ilmu, beliau telah pergi ke
beberapa daerah, diantaranya adalah ke Basrah, demikian
pula ke daerah-daerah di Hijaz seperti Mekkah dan juga
Madinah dan menimba ilmu dari para ulama yang tinggal
di sana.

Dan hampir-hampir beliau menuju ke kota Syam (daerah
Syam) untuk menimba ilmu di sana, hanya karena ada
rintangan dan halangan tertentu akhirnya beliau
mengurungkan niatnya.

Dan beliau termasuk ulama yang gigih di dalam
menghidupkan Al Qur’an, menghidupkan As Sunnah,
mengajak manusia kembali kepada Allah, bertauhid
kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Dan beliau meninggal pada tahun 1206 Hijriyyah. Dan
telah meninggalkan karangan yang sangat banyak, yang
sangat bermanfaat.
Diantaranya adalah:
– Al Ushul Ats-Tsalatsah
– Al Qawa’idul Arba’
– Ushulul Iman
– Kasyfusy Syubuhat
– Kitabut Tauhid

Dan diantaranya adalah kitab yang Insya Allah akan kita
pelajari yaitu Al-Ushulu As-Sittah.

Beliau berkata,
‫بسم الله الرحمن الرحيم‬

Memulai kitabnya dengan basmalah.

Meniru dan mengikuti apa yang Allah lakukan di dalam Al
Qur’anul Karim, karena Allah Subhānahu wa Ta’āla
memulai kitabnya dengan basmalah.
Demikian pula mengikuti apa yang dilakukan oleh
Rasulullah ‫ ﷺ‬ketika Beliau menulis surat yang isinya
adalah dakwah kepada raja-raja yang ada di zaman Beliau
‫ﷺ‬. Beliau memulai kitabnya dengan basmalah.

Oleh karena itu di sini pengarang memulai kitabnya
dengan basmalah.

‫بسم الله الرحمن الرحيم‬

Dan ‫ ب‬di sini adalah ‫ ب‬al-isti’anah yaitu ‫ ب‬yang fungsinya
untuk memohon pertolongan.

Orang yang mengatakan ‫ بسم الله‬pada hakikatnya dia telah
memohon pertolongan kepada Allāh Subhānahu wa
Ta’āla.

Ismillah dengan nama Allah.
Kalimat yang mufrad, yang tunggal, yaitu ism dan dia
disandarkan kepada kalimat lafdzul jalalah dan ini
maknanya adalah mencakup seluruh nama Allah
Subhānahu wa Ta’āla.

Orang yang mengatakan ‫ بسم الله‬berarti dia telah
beristi’anah (memohon) pertolongan dengan seluruh
nama Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Allah (lafdzul jalalah) adalah nama Allah yang paling
a’dham (paling besar) yang disandarkan kepadanya nama-
nama Allah yang lain.

Oleh karena itu setelahnya disebutkan Ar-Rahman Ar-
Rahim. Dan Ar-Rahman Ar-Rahim adalah nama diantara
nama-nama Allah.
Diambil dari Ar-Rahmah yang artinya kasih sayang.

Dan perbedaan antara Ar-Rahman dengan Ar-Rahim
disebutkan oleh para ulama diantaranya adalah:

Ar-Rahman adalah kasih sayang Allah yang lebih umum
mencakup orang yang beriman dan mencakup orang
yang kafir kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Orang kafir juga mendapatkan bagian dari kasih sayang
Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Allah memberikan rezeki kepada mereka, memberikan
makan kepada mereka, memberikan minum kepada
mereka, memberikan kesehatan kepada mereka,
memberikan anak, memberikan istri, memberikan harta,
dan ini semua adalah termasuk kasih sayang Allah
Subhānahu wa Ta’āla.

Adapun Ar-Rahim, maka mengandung rahmat,
mengandung kasih sayang yang lebih khusus yaitu kasih
sayang yang Allah berikan kepada orang-orang yang
beriman.

Berupa hidayah kepada jalan yang lurus, berupa
keimanan, berupa rasa tenang ketika dzikrullah.

Ini semua adalah termasuk kasih sayang Allah Subhānahu
wa Ta’āla akan tetapi dikhususkan oleh Allah Subhānahu

wa Ta’āla kepada orang-orang yang beriman dengan
Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Itu yang bisa kita sampaikan, semoga yang sedikit ini
bermanfaat.

‫وبالله التوفيق و الهداية‬
‫والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته‬

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 2 | Muqaddimah Ushulu As-Sittah Bagian 2

January 5, 2021Ummu Syifa

‫السلام عليكم ورحمة الله وبركاته‬
‫الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه‬

Halaqah yang ke dua dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan
Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Kemudian beliau mengatakan,

‫ َوأَك َب ِر الآيَا ِت ال َّدالَ ِة عَ َلى قُد َر ِة ال َم ِل ِك ال َغ َّلا ِب ِستَّ ُة أُ ُصول َب َيّ َن َها‬، ‫ِمن أَع َج ِب ال ُع َجا ِب‬
‫الل ُه تَ َعالَى بَيَانًا َوا ِض ًحا ِللعَ َّوام َفو َق َما ي ُظنُّ ُه ال َّظا ُنّو َن‬

“Termasuk sesuatu yang paling mengherankan, yang
paling menakjubkan, dan termasuk tanda-tanda
kekuasaan Allah yang paling besar yang menunjukkan
tentang kekuasaan Allah, Dzat yang Maha Menguasai.
Perkara-perkara atau pokok-pokok yang dijelaskan oleh
Allah Subhānahu wa Ta’āla dengan penjelasan yang
sangat jelas bahkan dipahami oleh orang-orang awam,

orang-orang yang biasa di dalam kecerdasannya di atas
dari apa yang disangka oleh orang-orang yang
menyangka.”

‫ث َّم بَع َد هَذا غَ ِل َط فيها كَثير ِمن أَذ ِكيا ِء العَالَـم‬

“Kemudian setelah itu salahlah kebanyakan dari orang-
orang yang cerdas diantara manusia ini.”
‫َو ُعقَ َلا ُء اب ِن آ َد َم‬

“Dan orang-orang yang berakal dari anak-anak Adam.”
‫ِإلَّا أَ َق َّل القَ ِلي ِل‬

“Kecuali sedikit saja diantara mereka.”

Maksud dari ucapan beliau rahimahullah di dalam
muqaddimah kitab beliau ini,
“Bahwasanya di sana ada perkara-perkara (yang
maksudnya adalah enam perkara yang selalu akan beliau
sebutkan) yang telah Allah jelaskan di dalam Al Quranul
Karim dengan penjelasan yang sangat jelas. Sampai
saking jelasnya, perkara-perkara ini dipahami oleh orang-
orang yang awam sekalipun atau kasarannya orang yang
bodoh, orang yang jahil. Akan tetapi ternyata banyak
diantara orang-orang yang cerdas salah di dalam
memahami perkara ini.”

Dipahami oleh sebagian orang, bahkan orang yang awam,
akan tetapi di sana ada orang yang cerdas atau bahkan
dianggap pintar dan ulama oleh sebagian manusia, akan
tetapi ternyata dia salah di dalam memahami enam
perkara ini.

Ini adalah maksud dari ucapan beliau rahimahullah di
dalam muqaddimah kitab ini.

Sebelum beliau menyebutkan enam perkara ini, beliau
ingin menyampaikan kepada kita, mengingatkan kepada
kita, bahwasanya perkara-perkara yang akan beliau
sebutkan, dipahami oleh orang awam akan tetapi banyak
orang yang cerdas dan mengaku dia adalah mengemban
ilmu agama ternyata dia salah di dalam memahami
perkara tersebut.

Dan ini menunjukkan kepada kita bahwasanya hidayah
dan taufiq adalah di tangan Allah Subhānahu wa Ta’āla,
tidak berkaitan dengan kecerdasan seseorang.

Terkadang Allah Subhānahu wa Ta’āla menunjukkan Al
Haq (kebenaran) kepada seorang yang mungkin diantara
manusia dianggap sebagai orang yang awam. Namun
Allah mengharamkan kebenaran ini dari sebagian orang
yang dianggap sebagai orang yang cerdas.

Dan ini menunjukkan bahwasanya hidayah dan taufiq
(petunjuk) adalah di tangan Allah Subhānahu wa Ta’āla.

‫يُ ِض ُّل َمن َي َشآ ُء َويَه ِدى َمن َي َشآء‬

“Allah Subhānahu wa Ta’āla menyesatkan siapa yang
dikehendaki, dan memberikan hidayah kepada siapa yang
dikehendaki.”
(QS. An Nahl: 93/QS. Fathir: 8)

Meskipun dia adalah orang yang awam, dianggap
terbelakang oleh sebagian orang, tetapi kalau Allah

Subhānahu wa Ta’āla berkehendak memberikan hidayah
kepadanya niscaya dia termasuk orang yang
mendapatkan petunjuk.

Dan ini menjadikan kita untuk senantiasa merendahkan
diri kita di hadapan Allah Subhānahu wa Ta’āla, meminta
hidayah kepada-Nya.

Dan kita jangan bertawakal dengan ilmu yang kita miliki,
kecerdasan yang kita miliki, meminta kepada Allah
Subhānahu wa Ta’ala petunjuk supaya Allah
menunjukkan kepada kita kebenaran dan menjauhkan
kita dari syubhat dan juga kebathilan.

Itu yang bisa kita sampaikan, semoga yang sedikit ini
bermanfaat.

‫وبالله التوفيق و الهداية‬
‫والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته‬

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 3 | Penjelasan Pokok Pertama Bagian 1
January 6, 2021Ummu Syifa

‫السلام عليكم ورحمة الله وبركاته‬
‫الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه‬

Halaqah yang ke tiga dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan
Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Kemudian beliau menyebutkan perkara yang pertama
yang dipahami oleh orang-orang awam di kalangan kaum
muslimin akan tetapi banyak orang-orang cerdas yang
tidak memahami perkara ini.

Beliau mengatakan,

‫ َو َبيَا ُن ِض ِّد ِه ال ِذي‬، ‫ ِإخ َلا ُص ال ِّدي ِن ِلِ ِل تَ َعا َلى َوح َدهُ لَا َش ِري َك ل ُه‬: ‫اَْلَص ُل اْلَ َّو ُل‬
‫ُه َو ال ِشّر ُك ِبالل ِه‬

Perkara yang pertama adalah:
Mengikhlaskan agama untuk Allah Subhānahu wa Ta’āla,
tidak ada sekutu baginya, dan menjelaskan lawan dari
keikhlasan ini yaitu syirik kepada Allah Subhānahu wa
Ta’āla.

Diantara perkara yang sudah Allah jelaskan di dalam Al
Qur’an dengan penjelasan yang gamblang (penjelasan
sangat jelas) adalah masalah mengikhlaskan agama ini
hanya untuk Allah dan bahwasanya tidak ada sekutu bagi
Allah Subhānahu wa Ta’āla, juga menjelaskan tentang
bahaya syirik kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Ini semua Allah sebutkan dengan jelas di dalam Al
Qur’an.

‫َو َكو ُن أَكثَ ِر القُرآ ِن فِي بَيَا ِن هَذَا اْلَص ِل ِمن ُو ُجوه شَتَّى بِ َك َلام َيف َه ُمهُ أَب َل ُد ال َعا َّم ِة‬

Dan bahwasanya sebagian besar ayat-ayat Al Qur’an
adalah untuk menjelaskan tentang:
1. Ikhlas kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla di dalam
ibadah.

2. Menjelaskan tentang bahayanya kesyirikan di dalam
beribadah kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.

‫ِمن ُو ُجوه شَتَّى‬

“Dalam bentuk-bentuk yang sangat berbeda, dengan cara
yang berbeda.”

Artinya Allah Subhānahu wa Ta’āla di dalam Al Qur’an
menjelaskan tentang perkara ini dalam berbagai cara
(penjelasan).

‫ِب َك َلام َيف َه ُمهُ أَبلَ ُد ال َعا َّم ِة‬

“Dengan ucapan yang dipahami oleh bahkan orang yang
paling bodoh diantara orang-orang awam.”

Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan Al Qur’an ini
sebenarnya semuanya adalah tauhid dari awal sampai
akhir.

Dan diantara buktinya, surat yang pertama, demikian
pula surat yang terakhir isinya adalah tentang masalah
tauhid.

Al Fatihah penuh dengan makna tauhid.

ُ‫ٱۡل َح ۡم ُد ِل َِّ ِل َر ِّب ٱۡلعَ ٰـ َل ِمي َن۞ ٱل َّر ۡح َم ٰـ ِن ٱل َّر ِحي ِم ۞ َم ٰـ ِل ِك يَ ۡو ِم ٱل ِّدي ِن ۞ إِ َيّا َك نَ ۡع ُبد‬
‫َوإِيَّا َك َن ۡستَ ِعي ُن‬

Di dalamnya ada:
• Tauhid Asma’ wa Shifat
• Tauhid rububiyah
• Tauhid al uluhiyyah

‫ِإ َيّا َك نَ ۡعبُدُ َو ِإيَّا َك نَ ۡستَ ِعي ُن‬

“Hanya kepada-Mu lah Ya Allah, kami menyembah dan
hanya kepada-Mulah Ya Allah, kami memohon
pertolongan.”

Demikian pula surat An Naas,

( ‫) ُق ۡل أَ ُعو ُذ ِب َر ِّب ٱل َّنا ِس ۝ َم ِل ِك ٱل َّنا ِس ۝ ِإلَ ٰـ ِه ٱل َّنا ِس‬

Ini semua adalah tauhid kepada Allah Subhānahu wa
Ta’āla (meminta perlindungan kepada Allah Subhānahu
wa Ta’āla) Raja manusia, sesembahan manusia.

Semua surat di dalam Al Qur’an isinya adalah tentang
tauhid.

Penjelasan tentang bagaimana keutamaan tauhid,
bagaimana cara bertauhid, penjelasan tentang bahaya
kesyirikan, apa bentuk kesyirikan, penjelasan tentang
pahala bagi orang yang bertauhid dan adzab bagi orang
yang berbuat syirik.

Bahkan kisah-kisah yang ada di dalam Al Qur’an banyak
diantaranya yang berkaitan dengan masalah tauhid.

Bagaimana kisah nabi Nuh alayhissallam?
Kisahnya adalah bagaimana beliau berdakwah dan
mendakwahi umatnya kepada tauhid.

Demikian pula kisah nabi Shalih, nabi Hud, nabi Syu’aib
dan juga nabi-nabi yang lain.

Kalau kita tadabburi ternyata Al Qur’an semuanya adalah
masalah tauhid. Masalah (mengikhlaskan ibadah untuk
Allah Subhānahu wa Ta’āla) dan tentang bahaya
kesyirikan.
Namun ternyata banyak diantara manusia yang tidak
memahami tentang perkara ini.

Bahkan termasuk orang yang cerdas diantara mereka.
Kenapa demikian?
Diantara sebabnya adalah:
1. Al I’rodh (seseorang berpaling dari agama Allah
Subhānahu wa Ta’āla).
Tidak mau mempelajari agama Allah, sibuk dengan yang
lain (sibuk dengan dunianya, sibuk dengan hobinya).
Dan dia berpaling tidak mau menekuni dan tidak mau
mempelajari agama Allah Subhānahu wa Ta’āla.
2. Al Kibr (sombong).
Dia mengetahui kebenaran akan tetapi dia tidak mau
mengamalkan dan menerima kebenaran tersebut.
Sebagaimana dilakukan oleh iblis ketika diperintahkan
oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla melakukan sujud
penghormatan kepada nabi Adam alayhissallam akan
tetapi enggan dan sombong, dan dia adalah termasuk
orang-orang yang kafir.

Al Qur’an diturunkan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla
tujuan utamanya adalah untuk diamalkan, ditadabburi,
dipahami dan bukan hanya sekedar dibaca atau
diperbaiki tajwidnya atau diambil berkahnya ketika
membaca.
Semua itu adalah termasuk kebaikan, akan tetapi bukan
tujuan utama diturunkannya Al Qur’an.

Tujuan utama diturunkannya Al Qur’an adalah untuk
ditadabburi kemudian setelah itu diamalkan di dalam
kehidupan kita sehari-hari.

‫ِكتَ ٰـب أَن َزلنَ ٰـهُ إِ َلي َك ُمبَ ٰـ َرك ِلّيَ َّدبَّ ُر ٓوا َءايَ ٰـتِ ِهۦ َو ِليَتَذَ َكّ َر أُولُوا ٱْلَل َب ٰـ ِب‬
(QS. Sad: 29)

Sebuah Kitab (Al Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu
yang berbarokah supaya mereka manusia mentadabburi
ayat-ayat Allah Subhānahu wa Ta’āla, memikirkan,
membaca, kemudian memahami maknanya dan
memikirkan makna tersebut. Dan supaya orang-orang
yang cerdas dan berakal mengingat Allah Subhānahu wa
Ta’āla dengan membaca ayat-ayat tersebut.

Itu yang bisa kita sampaikan, semoga yang sedikit ini
bermanfaat.

‫وبالله التوفيق و الهداية‬
‫والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته‬

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 4 | Penjelasan Pokok Pertama Bagian 2

January 7, 2021Ummu Syifa

‫السلام عليكم ورحمة الله وبركاته‬
‫الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه‬

Halaqah yang ke empat dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan
Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Kemudian beliau mengatakan,

ِ‫ُصو َرة‬ ‫في‬ ‫لَـ َو ُهأَ ُمظا َله َرّشَيلَ ُهطاُم ُنالا ِلّشإرخ َلكا ِباللَ ِهص‬،‫َاواْللُتَّ َّمق ِةصَميا ِر فصاي َر؛ُحقأَوظقِ َهِه َمر‬ ‫َلـ َّما صا َر َعلى أَكثَ ِر‬ ‫ث َّم‬
ِ‫ُصو َرة‬ ‫في‬ ‫تَنَ ّقُ ِص ال َّصا ِلحي َن‬
‫َمح ّبَ ِة ال َّصا ِلحي َن َوا ِتّبا ِع ِهم‬

Kemudian ketika menimpa umat ini apa yang
menimpanya berupa kejahilan dan lain-lain, maka
syaithan menampakkan kepada mereka, bahwasanya
keikhlasan dan tauhid ini adalah sebagai bentuk
penghinaan dan peremehan terhadap orang-orang yang
shalih.

Ketika menimpa umat ini kebodohan, dan
mereka jauh dari ilmu agama, jauh dari bimbingan para
ulama, jauh dari petunjuk Al Qur’an dan juga hadits, maka
syaithan menampakkan kepada mereka, bahwasanya
tauhid (meng-Esa-kan Allah Subhānahu wa Ta’āla) itu
artinya adalah meremehkan orang-orang yang shalih dan
meremehkan hak-hak meraka. Dan ini adalah salah satu
bentuk talbis dari syaithan dalam usaha menyesatkan
manusia.

Syaithan menampakkan di mata manusia bahwasanya
orang yang bertauhid berarti dia adalah orang yang tidak
menghormati orang yang shalih, tidak menghormati Nabi,
tidak menghormati wali.

Dan untuk memperjelas perkara ini kita terangkan
kembali bagaimana kisah nabi Nuh alayhissallam bersama
kaumnya dan bagaimana awal terjadinya kesyirikan di
permukaan bumi ini.

Di zaman nabi Nuh alayhissallam, ada lima orang yang
shalih yang dikenal oleh kaumnya dengan ibadahnya,
dengan amalannya, dengan keshalihannya.
Ketika mereka berlima ini meninggal dunia, datanglah
syaithan dan mewahyukan kepada mereka (kaum nabi
Nuh) supaya mereka membuat patung-patung, kemudian
dinamakan dengan nama orang-orang yang shalih
tersebut.

Tujuannya adalah supaya ketika mereka merasa malas di
dalam beribadah, ketika mereka melihat orang-orang
shalih tersebut berada di hadapan mereka di majelis
mereka, meskipun sebagai patung, diharapkan mereka
bisa bersemangat kembali, mengingat tentang keshalihan
mereka dan semangat di dalam beribadah kepada Allah
Subhānahu wa Ta’āla.

Ketika generasi ini meninggal dunia, datang kembali
syaithan dan mengatakan kepada orang-orang tersebut,
bahwasanya bapak-bapak kalian dahulu membuat
patung-patung ini, tujuannya adalah untuk diibadahi,
disembah.

Dan telah dilupakan ilmu, maka akhirnya mereka
menyembah orang-orang shalih tersebut yang dibuat
simbolnya berupa patung. Ini adalah awal terjadinya
kesyirikan di permukaan bumi.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫َو َقا ُلوا لَا تَ َذ ُر َّن َءا ِل َهتَكُم َولَا تَ َذ ُر َّن َودا َولَا سُ َواعًا َولَا يَ ُغو َث َو َي ُعو َق َو َنس ًرا‬

Dan mereka berkata, “Janganlah kalian tinggalkan
sesembahan-sesembahan kalian, dan janganlah kalian
tinggalkan Waddan, Suwa’an, Yaghuts dan Ya’uq dan
juga Nasr.”
(QS. Nuh: 23)

Mereka ini adalah lima nama orang yang shalih. Ini adalah
nama orang-orang shalih yang meninggal yang kemudian
disembah oleh kaumnya nabi Nuh alayhissallam.

Ketika terjadi kesyirikan pertama kali di permukaan bumi
yang dilakukan oleh kaumnya nabi Nuh alayhissallam,
akhirnya Allah Subhānahu wa Ta’āla mengutus nabi Nuh
yang merupakan rasul yang pertama.

Allah mengutus nabi Nuh alayhissallam kepada mereka
untuk mengajak mereka kembali kepada tauhid dan
menjauhi kesyirikan ini.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫َو َلقَ ۡد أَ ۡرسَۡلنَا نُو ًحا ِإلَ ٰى َق ۡو ِم ِهۦ فَ َقا َل ٰيَ َق ۡو ِم ٱ ۡعبُدُوا ٱل َِّلَ َما لَكُم ِّم ۡن ِإ َٰله َغ ۡي ُر ُه‬

Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada
kaumnya, maka beliau berkata, “Wahai kaumku!
Sembahlah Allah, tidak ada sesembahan yang berhak
disembah oleh kalian selain Dia.”
(QS. Al Mu’minun: 23)

Beliau mengingatkan umatnya siang dan malam dalam
keadaan rahasia maupun terang-terangan selama 950
tahun, mengajak mereka untuk kembali kepada Allah.
Mengingatkan mereka bahwasanya ini adalah termasuk
perbuatan syirik yang tidak diridhai oleh Allah Subhānahu
wa Ta’āla. Meskipun yang disembah adalah orang-orang
shalih. Mengajak mereka untuk bertauhid dan meng-Esa-
kan ibadah ini hanya untuk Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Namun ternyata yang mengikuti dakwah beliau dan
ajakan beliau adalah orang yang sangat sedikit dan
menganggap bahwasanya apabila kita hanya menyembah
Allah Subhānahu wa Ta’āla, seakan-akan kita ini telah
meremehkan orang-orang yang shalih. Ini adalah
termasuk talbis dari iblis laknatullah).
Menganggap (menunjukkan) di mata manusia
bahwasanya ikhlas kepada Allah berarti kita harus
meremehkan dan merendahkan kedudukan orang-orang
yang shalih.
Oleh karena itu banyak diantara mereka yang menolak
dakwahnya nabi Nuh alayhissallam.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫…… َو َقا ُلوا لَا تَ َذ ُر َّن َءا ِل َهتَكُ ۡم‬..
(QS. Nuh: 23)

Mereka saling berwasiat diantara mereka, “Janganlah
kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian.”
√ Kita harus menghormati orang yang shalih
√ Kita harus menjunjung tinggi kedudukan mereka
Apabila diminta dan diseru hanya menyembah kepada
Allah, hati mereka resah, hati mereka gelisah.

‫َو ِإذَا ذُ ِك َر ٱل َِّ ُل َو ۡح َدهُ ٱ ۡش َمأَ َّز ۡت ُق ُلو ُب ٱ َلّ ِذي َن لَا ُي ۡؤ ِم ُنو َن بِٱ ْۡلٓ ِخ َرةِ َوإِ َذا ذُ ِك َر ٱ َّل ِذي َن ِمن‬
‫دُو ِن ِهۦٓ ِإ َذا هُ ۡم يَ ۡستَ ۡب ِش ُرو َن‬
(QS. Az-Zumar: 45)

Apabila hanya disebutkan Allah saja, ketika diminta
hanya bertauhid kepada Allah, hati orang-orang yang
tidak beriman kepada akhirat menjadi resah, gelisah,
tidak tenang hatinya ketika disebutkan hanya Allah
Subhānahu wa Ta’āla saja.
Tapi ketika disebutkan bersama Allah yang lain, maka
tiba-tiba hati mereka menjadi sangat gembira, bahagia.
Oleh karena itu di sini beliau mengatakan,
“Syaithan menampakkan kepada mereka, bahwasanya
ikhlas dan tauhid berarti kita harus meremehkan orang-
orang yang shalih.”

Dan ini sekali lagi adalah termasuk talbis syaithan yang
sudah berjanji dari awal di hadapan Allah Subhānahu wa
Ta’āla untuk menyesatkan manusia dan menghias-hiasi
diantara mereka yang bathil menjadi benar, yang benar
menjadi bathil dengan berbagai cara. Bagaimana supaya
mereka menyimpang dari shirathal mustaqim, dari jalan
yang lurus. Entah menyimpangnya ke kanan, atau ke kiri,
atau ke atas, atau ke bawah, yang jelas mereka

menyimpang dari jalan yang lurus. Dari mana bisa digoda,
maka mereka akan menggodanya.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫ثُ َّم َْلٓ ِتيَنَّ ُهم ِّمن َب ۡي ِن أَ ۡي ِدي ِه ۡم َو ِم ۡن َخۡل ِف ِه ۡم َو َع ۡن أَ ۡي ٰ َم ِن ِه ۡم۞ َوَْلَعَ ۡقن ُع َد َشَّن َملَآئِ ُهِل ۡمِه ۡم ِ َصو ٰلََراطَتَ ِ َجك۞دُٱۡلأَ ٰ ۡشَُمك ِثكَۡس َِتَرر ِقي ُيه ََۡممن‬
(QS. Al A’raf: 16-17)

(Iblis) berjanji untuk menyesatkan mereka dari shirathal
mustaqim, dan akan didatangi baik dari kanannya, dari
kirinya, dari atasnya, dari bawahnya, sehingga mereka
menjadi orang-orang yang tidak bersyukur kepada Allah
Subhānahu wa Ta’āla.
Diantaranya adalah seperti yang disebutkan oleh Syaikh
di sini, menghias-hiasi di mata manusia bahwasanya
orang yang bertauhid berarti dia meremehkan orang-
orang yang shalih.

Itu yang bisa kita sampaikan, semoga yang sedikit ini
bermanfaat.

‫وبالله التوفيق و الهداية‬
‫والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته‬

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 5 | Penjelasan Pokok Pertama Bagian 3
January 8, 2021Ummu Syifa

‫السلام عليكم ورحمة الله وبركاته‬
‫الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه‬

Halaqah yang ke lima dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan
Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Kemudian beliau mengatakan,

‫َوأَظ َه َر َل ُه ُم ال ِّشر َك بِالل ِه ِفي ُصو َر ِة َم َح َّب ِة ال َّصا ِل ِحي َن َوا ِتّ َبا ِع ِهم‬

Dan mereka (syaithan) menjerumuskan manusia ke dalam
kesyirikan kepada Allah.
Dengan dipoles seakan-akan itu adalah termasuk
mencintai orang-orang yang shalih dan mengikuti
mereka.
Dan ini adalah termasuk makar dan juga tipu daya
syaithan.
Tidak langsung mengatakan asyrikbillah (hendaklah
engkau menyekutukan Allah), tidak!
Tapi menjerumuskan manusia ke dalam kesyirikan dan
dipoles dengan mengatakan, “Ini adalah termasuk
mencintai orang yang shalih.”
Semoga Allah Subhānahu wa Ta’āla memudahkan kita
memahami agama ini, dan menampakkan kebenaran itu
kebenaran dan menampakkan bahwasanya yang bathil
adalah sesuatu yang bathil.

Di dalam agama Islam tidak ada pertentangan antara
tauhid dan mencintai orang-orang yang shalih, ikhlas
kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla, yang sesuai
amalannya dengan Al Qur’an dan juga hadits-hadits
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yang shalih baik
dhahirnya maupun bathinnya.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki kedudukan di

sisi Allah Subhānahu wa Ta’āla, dengan ketaqwaan
mereka.

‫إِ َّن أَك َر َم ُكم ِعن َد ٱل َِّلِ أَت َق ٰىكُم‬

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah
Subhānahu wa Ta’āla diantara kalian adalah orang-orang
yang paling bertaqwa diantara kalian.”
(QS. Al Hujurat: 13)

Orang-orang yang shalih dan mereka bertingkat-tingkat
ketaqwaannya. Kita diperintahkan untuk menghormati
mereka.

‫ِإ َّن َما َيخشَى ٱل َِّ َل ِمن ِع َبا ِد ِه ٱل ُع َل َم ٰـٓ ُؤا‬

“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah
diantara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.”
(QS. Fathir: 28)

Dan Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,

‫إِ َّن العُ َل َما َء َو َرثَةُ اْلَن ِبيَا ِء‬

“Para ulama adalah pewaris para nabi.”

Mewarisi ilmu mereka, mengajak manusia untuk
berpegang teguh dengan warisan para nabi, para ulama
jelas memiliki keutamaan yang tinggi di sisi Allah
Subhānahu wa Ta’āla.
Dan kita diperintahkan untuk mencintai, mengikuti,
meneladani mereka di dalam keshalihan ini.

Ini adalah cara untuk mencintai orang-orang yang shalih,
yaitu dengan mencintai mereka dengan hati kita sesuai
dengan kadar keimanan mereka, demikian pula mengikuti
mereka dan meneladani mereka di dalam ibadah mereka
kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Menghormati orang yang shalih dan mencintai mereka
adalah diperintahkan, namun penghormatan ini memiliki
batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syar’iat.
Ada batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Allah
dan Rasul-Nya dan tidak boleh penghormatan kita
kepada orang-orang yang shalih melebihi dari batasan-
batasan ini.
Kalau sampai melebihi maka berarti masuk di dalam apa
yang dinamakan dengan Al Ghuluw (berlebih-lebihan)
terhadap orang-orang yang shalih.
Dan ghuluw terhadap orang-orang yang shalih adalah
sebab terjadinya kesyirikan pertama kali di permukaan
bumi ini seperti yang terjadi pada kaumnya nabi Nuh
alayhissallām.

Oleh karena itu Allah Subhānahu wa Ta’āla mencela ahlul
kitab karena mereka berlebih-lebihan terhadap nabi Isa
alayhissallam.
Beliau adalah seorang Rasul, seorang hamba, tetapi
mereka saking ghuluw-nya (berlebih-lebihan),
mengatakan bahwasanya Nabi Isa adalah anak Allah
Subhānahu wa Ta’āla.

‫يَ ٰـٓأَه َل ٱل ِكتَ ٰـ ِب لَا تَغلُوا فِى ِدينِكُم َولَا تَ ُقو ُلوا َع َلى ٱل َِّلِ ِإلَّا ٱل َح َّق ِإ َّن َما ٱل َم ِسي ُح ِعي َسى‬
‫ٱب ُن َمر َي َم َر ُسو ُل ٱل َِّ ِل َوكَ ِل َمتُهُۥٓ أَلقَ ٰى َهآ إِلَ ٰى َمر َي َم َو ُروح ِّمن ُهفَـَٔا ِم ُنوا ِبٱل َِّلِ َو ُرسُ ِل ِه‬
(QS. An Nisa: 171)

Wahai Ahlul Kitab, janganlah kalian ghuluw di dalam
agama kalian dan janganlah kalian mengatakan atas nama
Allah kecuali yang Haq (kecuali yang memang ada
dalilnya). Sementara ucapan mereka, Isa adalah anak
Allah, ini adalah suatu yang tanpa ada dalil dari Allah.
Sesungguhnya Isa bin Maryam adalah seorang Rasulullah,
bukan seorang anak Allah dan kalimat Allah yang Allah
tiupkan pada Maryam, yaitu dengan ucapan Allah kun
fayakun.
Allah Subhānahu wa Ta’āla mencela orang-orang ahlul
kitab, orang-orang Nashrani karena mereka ghuluw
terhadap orang yang shalih, para nabi adalah pemukanya
orang-orang shalih.
Demikian pula Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam
dan beliau adalah sebaik-baik Rasul namun beliau
mencela umatnya untuk ghuluw terhadap beliau
shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan melarang mereka untuk
ghuluw terhadap beliau.

Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan,

‫لَا تُط ُرونِي َك َما أَط َر ِت ال َّن َصا َر ِى ِعي َسى اب َن َمريَ َم‬

“Janganlah kalian berlebih-lebihan terhadapku
sebagaimana orang-orang Nashrani berlebih-lebihan
terhadap Isa ibnu Maryam.”

Larangan dari beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada
kita semua meskipun kita mencintai beliau shallallāhu
‘alayhi wa sallam.

‫لا يُؤ ِم ُن أَ َحدُكُم َحتَّى أَكُو َن أَ َح َّب إِ َلي ِه ِمن َولَ ِد ِه َو َوا ِل ِد ِه َوال َّنا ِس أَج َم ِعي َن‬

Dan tidak akan dinamakan seseorang beriman sampai
mencintai beliau lebih dari anaknya, lebih dari orang
tuanya, lebih dari semua manusia.
Akan tetapi beliau melarang kita berlebih-lebihan
terhadap beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

‫إنما أنا عبد فقولوا عبدالله ورسوله‬

“Sesungguhnya aku adalah seorang hamba, bukan
sesembahan, bukan seorang Tuhan, tapi aku adalah
seorang hamba yang menyembah kepada Allah.
Maka katakanlah oleh kalian bahwasanya aku adalah
seorang hamba Allah dan juga seorang Rasul.”

Maka di dalam syahadat ‫ واشهد ان محمدا عبده ورسوله‬dan aku
bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba Allah
dan juga Rasul-Nya.

Pertama kita bersaksi bahwasanya beliau adalah seorang
hamba, artinya tidak disembah.
Dan ke dua kita bersaksi bahwasanya beliau adalah
seorang Rasul, artinya harus dibenarkan dan diikuti
syar’iatnya.

Kalau kita dilarang untuk berlebih-lebihan kepada beliau
shallallāhu ‘alayhi wa sallam tentunya kepada yang lain
lebih dilarang.
Tidak ada yang lebih mulia kedudukannya di sisi Allah
daripada beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Dan diantara bentuk ghuluw terhadap orang-orang yang
shalih di zaman sekarang adalah diantaranya:
• Berdo’a kepada orang-orang yang shalih yang sudah

meninggal atau dinamakan dengan tawasul.
• Demikian pula membangun kuburan mereka,
menghias-hiasi kuburan mereka.
• Demikian pula ber’itikaf berdiam diri di kuburan
mereka.
Ini semua adalah termasuk bentuk diantara ghuluw
terhadap orang-orang shalih.

Berdo’a adalah termasuk ibadah yang tidak boleh
diserahkan kecuali kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Itu yang bisa kita sampaikan, semoga yang sedikit ini
bermanfaat.

‫وبالله التوفيق و الهداية‬
‫والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته‬

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 6 | Penjelasan Pokok Ke Dua Bagian 1

January 11, 2021Ummu Syifa

‫السلام عليكم ورحمة الله وبركاته‬
‫الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه‬

Halaqah yang ke enam dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan
Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Beliau mengatakan,

‫التَّ َف ُّر ِق في ِه؛ فَبَيَّ َن الل ُه َهذا‬ ‫َعن‬ ‫َونَ َهى‬ ،‫ال ِّدي ِن‬ ‫في‬ ‫بِالاجتِما ِع‬ ‫الل ُه‬ ‫أَ َم َر‬: ‫الثَّاني‬ ‫اْلَص ُل‬
‫بَيا ًنا شافِ ًيا تَف َه ُمهُ ال َعوا ُّم‬

Pokok yang ke dua:
Bahwasanya Allah Subhānahu wa Ta’āla telah
memerintahkan kita untuk bersatu, berkumpul di dalam
agama, dan melarang kita untuk saling berpecah belah.
Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan
perkara ini, yaitu perintah untuk bersatu, berkumpul, dan
larangan berpecah belah di dalam Al Qur’an dengan
penjelasan yang sudah cukup, yang sangat jelas dipahami
oleh orang awam sekalipun.

Artinya apa yang Allah perintahkan tersebut bukanlah
sesuatu yang sulit untuk dipahami.
Ayat-ayat yang menjelaskan tentang perintah untuk
bersatu adalah ayat-ayat yang jelas dipahami oleh
seorang yang awam, seorang yang cerdas, semuanya
memahami tentang perintah Allah Subhānahu wa Ta’āla
ini.

Diantaranya adalah firman Allah Subhānahu wa Ta’āla:
1. Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫ٰيَٓأَيُّ َها ٱ َّل ِذي َن َءا َم ُنوا ٱتَّقُوا ٱل َِّلَ َح َّق تُ َقاتِ ِهۦ َولَا تَ ُموتُ َّن إِلَّا َوأَنتُم ُّم ۡس ِل ُمو َن‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian
kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah
kalian meninggal dunia kecuali kalian dalam keadaan
sebagai seorang yang Muslim (menyerahkan dirinya
kepada Allah).”
(QS. Ali Imran: 102)

2. Kemudian Allah berfirman,

‫…… َوٱ ۡعتَ ِص ُموا ِب َح ۡب ِل ٱل َِّ ِل َج ِمي ٗعا َولَا تَ َف َّر ُقوا‬

“Dan hendaklah kalian semua berpegang teguh dengan
hablullah (dengan Al Qur’an, berpegang teguh dengan As
Sunnah), kalian semuanya (baik laki-laki maupun wanita)
dan janganlah kalian saling berpecah belah.”
(QS. Ali Imran: 103)

Jelas ayat ini menunjukkan kepada kita tentang perintah
dari Allah Subhānahu wa Ta’āla supaya kita semuanya
bersatu di dalam berpegang teguh dengan Al Qur’an,
berpegang teguh dengan As Sunnah, berpegang teguh
dengan agama ini.
Dan jelas menunjukkan tentang larangan berpecah belah
di dalam agama karena Allah berfirman,
‫َولَا تَفَ َّرقُوا‬

“Dan janganlah kalian saling berpecah belah.”
Orang yang awam pun memahami tentang firman Allah
Subhānahu wa Ta’āla ini.

3. Dan di dalam ayat lain Allah mengatakan,

‫َولَا تَ ُكو ُنوا َكٱلَّ ِذي َن تَ َف َّر ُقوا َوٱختَ َل ُفوا ِمن َبع ِد َما َجآ َء ُه ُم ٱلبَيِّنَ ٰـ ُت ۚ َوأُو َل ٰـٓ ِئ َك َل ُهم‬
‫َع َذاب َع ِظيم‬

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang saling
berpecah belah, saling ber-ikhtilaf, setelah datang kepada
mereka Al Bayyinat (keterangan yang jelas, dalil yang
jelas). Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan
adzab yang pedih.
(QS. Ali Imran: 105)

Orang yang berpecah belah dan berselisih, padahal sudah
mengetahui dalilnya maka ini mendapatkan ancaman
adzab dari Allah Subhānahu wa Ta’āla.

4. Di dalam ayat yang lain Allah mengatakan,

ٓ‫ِب ِهۦ‬ ‫َو َّص ۡينَا‬ ‫َو َما‬ ‫أَأَ ۡقِيو ُم َح ۡيواَنآٱلِإ َلِّدۡيي ََكن‬ ‫ُن َوو ِٗعحياسَ َوٰٓٱىّلَ ِذأَ ۡ ٓني‬ ‫ٱل ِّدي ِن َما َو َّص ٰى بِ ِهۦ‬ ‫ِّم َن‬ ‫لَ ُكم‬ َ‫َش َرع‬
‫فِي ِه‬ ‫تَتَ َف َّرقُوا‬ ‫َولَا‬ ‫إِ ۡب ٰ َر ِهي َم َو ُموسَ ٰى‬

“Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla telah mensyari’atkan
bagi kalian dari agama ini, apa yang Allah wasiatkan
kepada Nuh dan telah diwahyukan kepadamu wahai
Muhammad dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa, dan Isa, hendaklah kalian menegakkan
agama ini dan janganlah kalian saling berpecah belah di
dalam agama ini.”
(QS. Asy Syura: 13)

Perintah dari Allah Subhānahu wa Ta’āla dan ini yang
diwahyukan oleh Allah kepada Nuh, kepada Ibrahim,
Musa, dan Isa, kepada Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam supaya kita menjalankan agama ini dan supaya
kita tidak saling berselisih dan berpecah belah diantara
kita.

5. Di dalam ayat yang lain Allah mengatakan,

‫إِ َّن ٱ ّلَ ِذي َن َف َّر ُقوا ِدينَ ُه ۡم َو َكانُوا ِش َي ٗعا َّل ۡس َت ِم ۡن ُه ۡم فِي شَ ۡيء ِإ ّنَ َمآ أَ ۡم ُر ُه ۡم إِ َلى ٱل َِّ ِل‬

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah
agamanya dan mereka saling berkelompok kelompok
dalam golongan-golongan, Engkau wahai Muhammad
tidak termasuk golongan mereka. Dan urusan mereka

(perkara mereka) dikembalikan kepada Allah Subhānahu
wa Ta’āla.”
(QS. Al An’ām: 159)

Ayat yang banyak, yang menunjukkan tentang perintah
Allah Subhānahu wa Ta’āla kepada kita untuk bersatu di
dalam agama Allah, bersatu di dalam hak, bersatu di
dalam berpegang teguh dengan Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan larangan
untuk berpecah belah di dalam agama ini.
Orang yang awam sekalipun mereka memahami tentang
perkara ini.
Oleh karena itu beliau mengatakan,
“Ayat-ayat ini dipahami oleh orang-orang awam
sekalipun apalagi oleh para ulama dan para penuntut
ilmu.”

Kemudian beliau mengatakan,

‫َو َن َها َنا أَن َنكُو َن كَال ِذي َن تَ َف َّرقُوا َواختَلَ ُفوا َقبلَ َنا فَ َه َلكُوا‬

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla telah melarang kita
menjadi orang-orang sebelum kita yang berselisih
(berpecah belah) seperti orang-orang sebelum kita, yaitu
orang-orang Yahudi dan Nashrani, yang mereka
berpecah belah, berselisih di dalam agama mereka, maka
akhirnya mereka hancur dan dihancurkan oleh Allah
Subhānahu wa Ta’āla karena sebab perselisihan mereka.

Dan di dalam hadits Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam menerangkan bahwasanya, “Orang-orang Yahudi
telah berselisih dan berpecah belah menjadi 70 golongan,
dan orang-orang Nashrani telah berpecah belah menjadi

72 golongan, dan ummatku (kata beliau) akan berpecah
belah menjadi 73 golongan.”
Dan kita dilarang untuk mengikuti jalan-jalan orang-
orang Yahudi dan Nashrani.

Tidaklah beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam
menerangkan dan mengabarkan kepada kita tentang
perpecahan orang-orang Yahudi dan Nashrani kecuali
diantaranya adalah untuk mengingatkan kita, jangan
sampai kita terperosok di dalam apa yang mereka sesat
di dalamnya.

Orang-orang Yahudi dan Nashrani berpecah belah di
dalam agamanya dan kita dilarang untuk mengikuti
kesesatan mereka di dalam berpecah belah ini.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini,
semoga apa yang kita sampaikan bermanfaat dan sampai
bertemu kembali pada pertemuan yang akan datang.

‫والله تعالى أعلم‬
‫والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته‬

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 7 | Penjelasan Pokok Ke Dua Bagian 2
January 12, 2021Ummu Syifa

‫السلام عليكم ورحمة الله وبركاته‬
‫الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه‬

Halaqah yang ke tujuh dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan
Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.

Beliau mengatakan,

‫َو َذكَ َر أَنَّهُ أَ َم َر ال ُمس ِل ِمي َن ِبالاج ِت َماعِ فِي ال ِّدي ِن َونَ َها ُهم عَ ِن التَّفَ ُّر ِق فِي ِه‬

Dan Allah menyebutkan bahwasanya Allah
memerintahkan orang-orang muslimin untuk bersatu di
dalam agama dan melarang mereka untuk berpecah
belah di dalamnya.

‫َويَ ِزيدُ ُه ُو ُضو ًحا َما َو َر َدت ِب ِه السُّ ّنَةُ ِم َن العَ َج ِب العُ َجا ِب ِفي َذ ِل َك‬

Dan kejelasan ini menjadi lebih jelas dengan apa yang
ada dan datang di dalam sunnah Rasulullah Shallallāhu
‘alayhi wa sallam, yang semakin menambah keheranan
kita kepada orang-orang yang berpecah belah di dalam
agamanya.

Di dalam hadits-hadits yang shahih, Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa sallam juga menerangkan tentang perintah
bersatu di dalam agama dan larangan untuk berpecah
belah di dalam agama.

Sebagaimana sabda Beliau Shallallāhu shallallāhu ‘alayhi
wa sallam,

‫تَعتَ ِص ُموا‬ ‫ َوأَن‬،‫شَيئًا‬ ‫أََولَناتَتَعفَ ُب َّردُ ُقو ُوها َوَولَأَانتُتَشَناِر ُِكصواُح بِواِه‬ ‫ثَ َلاثًا يَر َضى َلكُم‬ ‫َلكُم‬ ‫يَر َضى‬ ‫الله‬ ‫ِإ َّن‬
‫الَّ ُل أَم َركُم‬ ‫َمن َول ّاَهُ ُم‬ ‫ِب َحب ِل الَّ ِل َج ِميعًا‬

“Sesungguhnya Allah telah meridhai untuk kalian tiga
perkara, Allah meridhai untuk kalian supaya kalian
menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan Allah
dengan apapun.

Kemudian yang ke dua, hendaklah kalian berpegang
teguh dengan tali Allah (dengan Al Qur’an) dan supaya
kalian jangan berpecah belah.”

Allah Subhānahu wa Ta’āla ridha apabila kita saling
bersatu di atas hak (di atas Al Qur’an).

Di dalam hadits qudsi disebutkan bahwasanya Allah
mengatakan,

‫ َوكُو ُنوا ِع َبا َد الَّ ِل إِخ َوا ًنا‬،‫ َولَا تَبَا َغ ُضوا َول َا تَ َدا َب ُروا‬،‫ل َا تَ َحاسَ ُدوا‬

“Janganlah kalian saling berhasad, janganlah kalian saling
memutus, janganlah kalian saling membelakangi, dan
jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang saling
bersaudara.”

Jelas, dijelaskan Beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam,
perintah untuk menjadi hamba-hamba Allah yang
bersaudara, tidak saling hasad, tidak saling memutus.

Dan beliau mengatakan,

ُ‫ َولا َيخ ُذ ُله‬،‫ َولا َيح ِق ُر ُه‬،‫لا يَظ ِل ُمه‬: ‫ال ُمس ِل ُم أَ ُخو ال ُمس ِلم‬

“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, tidak
mendholiminya, tidak menghinanya, tidak
meninggalkanya ketika dia butuh pertolongan.”

Ini adalah perintah-perintah dari Nabi Shallallāhu ‘alayhi
wa sallam supaya kita saling bersatu dan tidak berpecah
belah.

Oleh karena itu di dalam Islam, Allah Subhānahu wa
Ta’āla melarang perkara-perkara yang kira-kira
menjadikan permusuhan diantara kita.

Kita dilarang ghibah (membicarakan kejelekan orang lain),
dilarang mengadu domba, bahkan dilarang minuman
keras demikian pula perjudian, diantara hikmahnya
adalah untuk ini.
Karena dua perkara ini menjadi wasilah (perantara) bagi
syaithan untuk memecah belah diantara kaum muslimin
dengan sebab khamr dan juga dengan sebab perjudian.

‫إِ َّن َما يُ ِريدُ ٱل ّشَي َط ٰـ ُن أَن يُوقِ َع َبي َن ُك ُم ٱلعَ ٰ َد َوةَ َوٱلبَغ َضآ َء فِى ٱل َخم ِر َوٱل َمي ِسر‬

“Sesungguhnya syaithan menginginkan untuk
menimbulkan permusuhan diantara kalian di dalam
minuman keras, demikian pula di dalam perjudian.”
(QS. Al Maidah: 91)

Ini adalah dalil-dalil dari As Sunnah yang semakin
memperjelas bagi kita tentang pentingnya bersatu di
dalam agama dan juga larangan di dalam berpecah belah.

Dan yang dimaksud dengan bersatu di sini adalah bersatu
di atas hak (bersatu di atas kebenaran) dan larangan
berpecah belah, apabila seseorang sudah jelas datang
baginya dalil yang benar dari Al Qur’an dan juga Sunnah
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Dan ini bukan berarti seseorang dilarang untuk beramar
ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan kepada yang
ma’ruf dan melarang dari kemungkaran).
Bersatu bukan berarti kita tidak beramar ma’ruf nahi
munkar.
Kita diperintahkan untuk bersatu, satu di dalam akidah,
satu di dalam ibadah, satu di dalam bermuamalah, dan
dilarang kita saling berpecah belah, akan tetapi kita juga
diperintahkan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla untuk
saling beramar ma’ruf nahi munkar.

Jadi bersatu bukan berarti tidak boleh saling menasehati
antara satu dengan yang lain, bukan berarti tidak boleh
kita saling beramar ma’ruf nahi munkar.
Bahkan persatuan umat Islam diantara wasilahnya adalah
dengan ber’amar ma’ruf nahi munkar.

Oleh karena itu ketika Allah Subhānahu wa Ta’āla di
dalam ayat menyebutkan tentang perintah bersatu,

‫َوٱ ۡعتَ ِص ُموا ِب َح ۡب ِل ٱل َِّلِ َج ِمي ٗعا َولَا تَ َف َّر ُقوا‬

“Hendaklah kalian berpegang teguh dengan hablullah (Al
Qur’an) dan jangan saling berpecah belah.”
(QS. Ali Imran: 103)

Di dalam ayat setelahnya, Allah Subhānahu wa Ta’āla
memerintahkan kita untuk beramar ma’ruf nahi mungkar.
Allah mengatakan,

‫ۚ َولتَ ُكن ِّمنكُم أُ َّمة َيد ُعو َن ِإلَى ٱل َخي ِر َو َيأ ُم ُرو َن بِٱل َمع ُرو َِفوأُ َوو َليَ ٰـٓنئِ َه َكو َنهُ ُمعَٱلِن ُمٱف ِلل ُم ُحنوكَ َِرن‬

“Dan hendaklah ada diantara kalian golongan yang dia
mengajak kepada kebaikan dan beramar ma’ruf nahi
munkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Ali Imran: 104)

Itulah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini,
semoga apa yang kita sampaikan bermanfaat dan sampai
bertemu kembali pada pertemuan yang akan datang.

‫والله تعالى أعلم‬
‫والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته‬

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 8 | Penjelasan Pokok Ke Dua Bagian 3
January 14, 2021Ummu Syifa

‫السلام عليكم ورحمة الله وبركاته‬
‫الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه‬

Halaqah yang ke delapan dari Silsilah ‘Ilmiyyah
Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.

Bersatu bukan berarti kita meninggalkan amar ma’ruf
nahi munkar.
Ber-amar ma’ruf nahi munkar adalah sifat orang yang
beriman.
‫َوٱۡل ُم ۡؤ ِم ُنو َن َوٱۡل ُم ۡؤ ِم ٰنَ ُت َب ۡع ُض ُه ۡم أَ ۡو ِليَآ ُء َب ۡعض يَ ۡأ ُم ُرو َن بِٱۡل َم ۡع ُرو ِف َو َي ۡن َه ۡوٱۡل َنُمنعَكَ ِ ِرن‬

“Dan orang-orang yang beriman, yang laki-laki dan juga
yang wanita, sebagian mereka adalah wali bagi sebagian
yang lain. Mereka saling ber-amar ma’ruf nahi munkar.”
(QS. At Tawbah: 71)

Menunjukkan bahwasanya diantara sifat orang yang
beriman adalah ber-amar ma’ruf nahi munkar.

Dan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar bukan berarti
kita berpecah belah di dalam agama.

Tentunya yang dimaksud dengan amar ma’ruf nahi
munkar di sini adalah amar ma’ruf nahi munkar yang
mengikuti batasan-batasan syar’iat, adab-adab yang telah
ditentukan oleh syar’iat.
Bukan hanya sekedar amar ma’ruf nahi munkar yang
didasari oleh semangat, akan tetapi tidak beraturan.
Jadi amar ma’ruf nahi munkar adalah perintah Allah
Subhānahu wa Ta’āla dan Rasul-Nya. Dan caranya, adab-
adabnya, dan hukum-hukumnya telah ditentukan oleh
Allah dan Rasul-Nya.

Diantaranya adalah tidak ada pengingkaran di dalam
masalah ijtihadiyah (yaitu) masalah yang masih menerima
ijtihad di dalamnya karena tidak ada naskh di dalam
perkara tersebut.

Sebagian ulama (sebagian imam yang empat) mengatakan
demikian, sebagian imam yang lain mengatakan
demikian, maka di dalam perkara ini tidak ada
pengingkaran.

Seperti misalnya, sebagian menganggap bahwasanya
menyentuh lawan jenis adalah membatalkan wudhu,
sebagian yang lain mengatakan tidak membatalkan
wudhu.

Atau dalam masalah yang lain, makan daging unta
membatalkan wudhu, sebagian yang lain mengatakan
tidak membatalkan wudhu.
Maka ini adalah termasuk masalah-masalah ijtihadiyah
yang menerima ijtihad di dalamnya, karena tidak ada
naskh yang sharih.
Dalam masalah seperti ini tidak ada pengingkaran.

Namun di dalam perkara yang jelas di sana ada naskh
yang sharih, dan perkara ini tidak ada diantara sahabat
yang berselisih di dalamnya, maka tidak sepantasnya
seorang muslim dan juga muslimah berselisih di dalam
perkara tersebut.
Seperti misalnya, ada sebagian yang meyakini adanya
nabi setelah nabi Muhammad. Dan ada sebagian yang
mengatakan tidak ada nabi setelah nabi Muhammad
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Di dalam perkara seperti ini, tidak boleh diantara kita
saling berselisih karena jelas di dalam Al Qur’an, Allah
mengabarkan bahwasanya nabi Muhammad Shallallāhu
‘alayhi wa sallam adalah penutup para nabi (‫)خاتم النبين‬
Demikian pula di dalam hadits,

‫ لَا َنبِ َّي بَع ِدي‬، ‫وأَ َنا َخاتَ ُم النَّ ِبيِّي َن‬

“Dan aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi
setelahku.”

Dan tidak ada diantara sahabat Radhiyallahu ‘anhum,
para tabi’in, para tabiut tabi’in yang mereka meyakini ada
nabi setelah nabi Muhammad Shallallāhu ‘alayhi wa
sallam.

Bahkan setiap orang yang mengaku menjadi nabi setelah
itu, maka dia adalah seorang pendusta yang harus
diperangi. Tidak boleh ada diantara orang Islam yang
meyakini bahwasanya ada nabi setelah nabi Muhammad
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Perkara yang seperti ini harus diingkari dan ini bukan
termasuk perkara ijtihadiyah.

Demikian pula orang yang meyakini bahwasanya Al
Qur’an ini telah ditambah atau telah dikurang, atau
orang-orang yang mencela para sahbat Rasulullah
Shallallāhu ‘alayhi wa sallam maka ini adalah perpecahan
yang tercela.

Tidak boleh seorang muslim mengatakan bahwasanya Al
Qur’an telah dirubah, telah ditambah, telah dikurangi,
dan tidak boleh mengatakan bahwsanyaa para sahabat,
mereka adalah orang-orang yang tercela atau orang-
orang yang murtad.
Karena Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan di
dalam Al Qur’an bahwasanya Allah telah menjaga Al
Qur’an.

‫ِإنَّا َنح ُن نَ َّزل َنا ٱل ِّذك َر َو ِإ َّنا َلهُۥ لَ َح ٰـ ِفظُو َن‬

“Sesungguhnya kami telah menurunkan Al Qur’an dan
sesungguhnya kami akan menjaganya.”
(QS. Al Hijr: 9)

Menjaga Al Qur’an baik dari lafadznya maupun dari
maknanya.

‫لَّا يَأتِي ِه ٱلبَ ٰـ ِط ُل ِمن بَي ِن َي َدي ِه َولَا ِمن َخل ِف ِه‬

“Tidak akan datang ke dalam Al Qur’an sebuah
kebathilan, baik dari depannya maupun dari
belakangnya.”
(QS. Fussillat: 42)

Allah Subhānahu wa Ta’āla telah berjanji untuk menjaga
Al Qur’an. Tidak boleh ada seorang yang mengaku
dirinya muslim mengatakan bahwasanya Al Qur’an telah
ditambah atau dikurangi.
Seandainya ada seseorang di atas gunung dan dia di
dalam gua berusaha untuk menambah satu huruf pun di
dalam Al Qur’an, niscaya Allah Subhānahu wa Ta’āla akan
menampakkan itu di tengah-tengah manusia.

Tidak boleh ada seorang yang mengaku dirinya muslim
mencela para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, mencela
mereka, atau bahkan mengkafirkan mereka, karena di
dalam Al Qur’an Allah Subhānahu wa Ta’āla jelas-jelas
memuji para sahabat Radhiyallahu ‘anhum dalam ayat
yang banyak.

‫ُّم َح َّمد َّر ُسو ُل ٱل َِّلِ ۚ َوٱ َّل ِذي َن َمعَهُ ٓۥ أَ ِش َّدآ ُء َع َلى ٱل ُكفَّا ِر ُر َح َمآ ُء َبي َن ُهم ۚ تَ َر ٰى ُهم ُر َّك ًعا‬
‫سُ َّج ًدا‬

“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-
orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu
melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah

dan keridhaan-Nya”
(QS. Al Fath: 29)

Di dalam ayat yang lain, Allah mengatakan,

ُ‫َوٱل ٰ َّسبِ ُقو َن ٱ ْۡلَ َّولُو َن ِم َن ٱ ۡل ُم ٰ َه ِج ِري َن َوٱ ْۡلَن َصا ِر َوٱلَّ ِذي َن ٱتَّبَ ُعو ُهم بِعَ ۡإِن ۡ ُهح ۡم ٰسَ َون َر َّر ُضِضوا َي ٱَع ۡلن َِّ ُله‬

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-
tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan
Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada Allah.”
(QS. At Tawbah: 100)

Allah meridhai para sahabat Radhiyallahu ta’ala ‘anhu.
Bagaimana seseorang mengatakan bahwasanya para
sahabat kafir padahal Allah Subhānahu wa Ta’āla telah
meridhai mereka dan mereka pun ridha kepada Allah
Subhānahu wa Ta’āla.

Perbedaan pendapat seperti ini adalah perbedaan
pendapat yang tercela, harus diingkari dan dijelaskan
kepada umat.
Adapun perselisihan pendapat yang berdasarkan dalil,
sebagian Imam mengatakan pendapat A dan Imam yang
lain mengatakan pendapat B, dan masing-masing
memiliki dalil dan berusaha untuk mengikuti Al Qur’an,
berusaha untuk mengikuti sunnah, berusaha untuk
mengikuti ijma’, akan tetapi akhirnya memiliki pendapat
yang berbeda padahal sudah berusaha untuk mengikuti
Al Qur’an dan Sunnah, maka perselisihan pendapat yang
seperti ini diperbolehkan.

Dan sikap seorang muslim, masing-masing berusaha
untuk mencari kebenaran dengan melihat dalil. Dan
apabila dia sudah menguatkan sebuah pendapat maka
hendaklah dia bertoleransi di dalam masalah ini dan tidak
memaksakan kehendaknya kepada yang lain.
Dan ini yang dilakukan oleh para Imam yang empat
(Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam
Ahmad bin Hambal) mereka adalah imam-imam Ahlus
Sunnah wal Jamaah.

Saling berguru antara satu dengan yang lain.
• Imam Syafi’i adalah murid dari Imam Malik bin Anas
• Imam Ahmad bin Hambal adalah murid dari Imam
Syafi’i rahimahullah
(atau dengan kata lain)
• Imam Ahmad berguru kepada Imam Syafi’i
• Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik bin Anas.
Akan tetapi tidak pernah terdengar bahwasanya mereka
saling mencela satu dengan yang lain, bahkan sebagian
berimam kepada imam yang lain, menjadi makmum
kepada yang lain.
Karena mereka memiliki manhaj yang satu, jalan yang
satu, yaitu berusaha di dalam ibadahnya sesuai dengan Al
Qur’an, sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallāhu
‘alayhi wa sallam dengan pemahaman para sahabat
Radhiyallahu ‘anhu.
Apabila setelah itu terjadi perselisihan, maka
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam,

‫ وإذا اجتهد فاخطأ فله أجر واحد‬،‫إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران‬

“Apabila seorang hakim, seorang ulama, berijtihad
kemudian dia benar maka dia mendapatkan dua pahala.”
Dua pahala, yaitu:
1. Pahala berijtihad, bersungguh-sungguh dengan melihat
dalil.
2. Pahala ishabatul Haq, yaitu bisa mendapatkan
kebenaran tersebut.

Akan tetapi apabila dia berijtihad kemudian dia salah di
dalam ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala,
yaitu pahala berijtihad, pahala bersungguh-sungguh di
dalam mencari kebenaran. Ini di dalam masailu al
ijtihadiyah.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini,
semoga apa yang kita sampaikan bermanfaat dan sampai
bertemu kembali pada pertemuan yang akan datang.

‫والله تعالى أعلم‬
‫والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته‬

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 9 | Penjelasan Pokok Ke Dua Bagian 4

January 14, 2021Ummu Syifa

‫السلام عليكم ورحمة الله وبركاته‬
‫الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه‬

Halaqah yang ke sembilan dari Silsilah ‘Ilmiyyah
Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.

Kemudian beliau mengatakan,

‫ثُ َّم َصا َر اْلَم ُر ِإ َلى أَ َّن الافتِ َرا َق ِفي أُ ُصو ِل ال ِّدي ِن َو ُف ُرو ِع ِه هُ َو ال ِعل ُم َوال ِفق ُه‬
‫فِي ال ِّدي ِن‬

Kemudian setelah itu di zaman beliau di zaman sekarang
jadilah bahwasanya berpecah belah di dalam agama, baik
di dalam ushul agama (pokok-pokok) agama maupun di
dalam cabang-cabangnya dinamakan dengan ilmu dan
fiqih di dalam agama.
Di zaman sekarang kata beliau,
Sebagian mengatakan bahwasanya berpecah belah di
dalam agama adalah termasuk pemahaman (fiqih).
Artinya orang yang mengatakan, “Boleh kita berpecah
belah, kita memiliki kebebasan untuk berakidah,
kebebasan untuk beribadah, kebebasan untuk menganut
kepercayaannya masing-masing.” Dianggap ucapan ini
sebagai bentuk pemahaman terhadap agama.

Orang yang paham terhadap agama, maka dia akan
membebaskan manusia untuk berakidah, untuk memiliki
kepercayaan masing-masing.

Kemudian beliau mengatakan,

‫َو َصا َر اْلَم ُر بِالاج ِت َما ِع في دين لَا َيقُولُهُ ِإلَّا ِزن ِديق أَو َمج ُنون‬

Perintah untuk berkumpul dan bersatu di dalam agama,
sebagian mengatakan bahwasanya ini adalah tidak
diucapkan kecuali oleh seorang yang zindiq, seorang
pendusta, atau orang yang gila.
Jadi dianggapnya, orang yang mengajak manusia untuk

bersatu padu di dalam hak, di dalam kebenaran, dianggap
orang yang zindiq atau orang yang gila.

Tidak mungkin kita semua bersatu, tidak boleh kita
mengajak orang lain untuk mengikuti kebenaran.
Mereka berkata, “Biarkan masing-masing memiliki
kepercayaan masing-masing, tidak boleh saling
menganggu satu dengan yang lain.”
Apabila ada sebagian yang mengajak untuk bersatu di
dalam kebenaran, meninggalkan akidah yang bathil,
meninggalkan kepercayaan yang tidak benar,
dianggapnya orang yang seperti ini adalah orang gila atau
orang zindiq.
Dan ini yang terjadi di zaman beliau, demikian pula di
zaman kita.
Orang yang ber-amar ma’ruf nahi munkar, mengajak
orang lain untuk memiliki akidah yang benar, memiliki
tauhid yang benar, melarang mereka untuk memiliki
akidah yang salah, kepercayaan yang salah, dianggapnya
ini adalah orang yang majnun (orang gila) atau orang yang
zindiq.

Adapun orang yang membiarkan kepercayaan-
kepercayaan tersebut, membiarkan akidah-aqidah
tersebut tersebar diantara masyarakat, maka ini dianggap
sebagai orang yang paham tentang agamanya.

Dan ini tentunya kebalikan dari apa yang sudah Allah
jelaskan di dalam Al Qur’an dan telah dijelaskan oleh
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam di dalam hadits-
hadits yang shahih.

Ini adalah pokok yang ke dua yang ingin dijelaskan oleh
pengarang di dalam kitab ini, yaitu kesimpulannya:
• Perintah dari Allah Subhānahu wa Ta’āla pada kita
semua kaum muslimin untuk saling bersatu di dalam al
haq (kebenaran)
• Larangan bagi kita untuk saling berpecah belah di
dalam agama kita.

Dan apabila terjadi perselisihan diantara kita, diantara
kaum muslimin baik dalam masalah akidah, baik dalam
masalah ibadah, baik masalah halal dan juga haram, maka
Allah dan Rasul-Nya telah memberikan jalan keluar.

Di dalam Al Qur’an, Allah Subhānahu wa Ta’āla
mengatakan,

‫ٱَول َّأَِ ِل ِط َيوٱعُلوَّرا ُسٱلو َّر ِل ُس ِإون َلكُ َنوأُتُ ۡمو ِلتُ ۡيؤ ِٱم ُۡنْلَوۡم َنِربِٱِملنَِّلِ ُك ۡمَوٱۡفَلإَِي ۡون ِمتَ َٰنٱ َْۡزلٓ ِۡعختُ ِۡمر‬ ‫ٱل َِّ َل‬ ‫أَ ِطيعُوا‬ ‫ٱلَّ ِذي َن َءا َمنُ ٓوا‬ ‫َٰيٓأَيُّ َها‬
‫ِإ َلى‬ ُ‫َف ُر ُّدوه‬ ‫ِفي شَ ۡيء‬

“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian taat
kepada Allah, dan hendaklah kalian taat kepada Rasul,
dan juga pemerintah kalian (penguasa kalian). Maka
apabila kalian saling berselisih di dalam satu perkara, baik
dalam masalah akidah, masalah ibadah, masalah yang
lain, maka hendaklah kalian kembalikan kepada Allah, dan
juga kepada Rasul-Nya.”
(QS. An-Nisa: 59)

Dikembalikan kepada Allah, dikembalikan kepada Al
Qur’an, dilihat apakah sesuai dengan Al Qur’an atau tidak
pendapat kita.
Kembalikanlah kepada Rasul, kembalikan kepada hadits
Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, apakah pendapat kita

sesuai dengan hadits Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam atau tidak.
Kalau sesuai, maka kita amalkan dan kalau tidak sesuai
maka harus kita tinggalkan.
Dan ini kata Allah,
“Apabila kalian benar-benar beriman kepada Allah dan
beriman kepada hari akhir hendaklah kalian
mengembalikan perselisihan kita kepada Allah dan juga
Rasul-Nya.”

Apabila diantara dua orang saling berselisih, satunya
mengatakan sunnah, satunya mengatakan tidak
disunnahkan, maka masing-masing harus mengembalikan
kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kalau Allah dan Rasul-Nya mengatakan Sunnah, maka
semuanya harus sami’na wa atha’na (mendengar dan
taat) tidak boleh ada diantara kita yang memiliki pilihan
yang lain di dalam perpecahan ini.

Apabila Allah mengatakan A, dan Rasul-Nya mengatakan
A, maka semuanya harus mengatakan A tersebut.

Di dalam hadits Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam
mengatakan,

‫ فَ َع َلي ُكم بِ ُس َّنتِي َوسُ َّن ِة ال ُخلَ َفا ِء‬،‫َفإِ َنّهُ َمن يَ ِعش ِمنكُم فَسَيَ َرى اخ ِتلاَ فًا َكثِي ًرا‬
‫ال َّرا ِش ِدي َن‬

“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup diantara kalian
setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang
banyak. Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan
Sunnah-ku dan Sunnah para khulafaur rasyidin.”
(Hadits riwayat Abu Dawud dan At Tirmidzi)

Ketika melihat perselisihan yang banyak, perpecahan
yang banyak diantara umat, maka petunjuk Beliau
shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita kembali kepada
sunnah beliau dan juga kepada sunnah para khulafaur
rasyidin.
Ini adalah petunjuk Allah dan Rasul-Nya ketika terjadi
perselisihan.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini,
semoga apa yang kita sampaikan bermanfaat dan sampai
bertemu kembali pada pertemuan yang akan datang.

‫والله تعالى أعلم‬
‫والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته‬

HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 10 | Penjelasan Pokok Ke Tiga Bagian 1
January 16, 2021Ummu Syifa

‫السلام عليكم ورحمة الله وبركاته‬
‫الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه‬

Halaqah yang ke sepuluh dari Silsilah ‘Ilmiyyah
Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.

Beliau mengatakan,

‫ اَْلَص ُل الثَّا ِل ُث‬:
‫أَ َّن ِمن تَ َما ِم الاج ِت َما ِع ال َسّم َع َوالطَّاعَةَ ِل َمن تَأَ َّم َر َع َلينَا َولَو كَا َن عَب ًدا َح َب ِشيا‬

Perkara pokok yang ke tiga:
Sesungguhnya termasuk diantara kesempurnaan bersatu
adalah mendengar dan taat kepada orang yang telah
berkuasa atas kita (pemerintah atau para penguasa kita).
Beliau mengatakan ini adalah termasuk kesempurnaan
persatuan, setelah beliau membahas tentang masalah
bersatu di atas hak (diatas Al Qur’an, di atas hadits )
dengan pemahaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
maka beliau menyebutkan pada perkara yang ke tiga ini
bahwasanya diantara yang menyempurnakan persatuan
diantara kaum muslimin adalah apabila mereka mau
mendengar dan taat kepada penguasanya.
Dan ucapan ini adalah ucapan yang hak.

Beliau mengatakan,
“Ini adalah kesempurnaan dari makna persatuan.”
Tidak mungkin kaum muslimin bisa bersatu, kecuali
apabila di sana ada penguasa, ada pemerintah yang dia
akan memberikan hak kepada yang berhak, melindungi
orang yang terdholimi, ber-amar ma’ruf nahi munkar,
menegakkan syar’iat dan melakukan perkara-perkara
yang lain, baik yang berhubungan dengan dunia maupun
yang berhubungan dengan ibadah yang tidak mungkin
dilakukan kecuali apabila di sana ada penguasa.

Dan tidak bermanfaat adanya seorang penguasa dan
pemerintah kecuali apabila rakyatnya, mereka mau
mendengar dan taat kepada penguasa.
Seandainya di sana ada seorang penguasa, pemerintah di
sebuah negara, akan tetapi rakyatnya tidak mau
mendengar dan tidak mau mentaati apa yang datang
darinya, baik berupa perintah maupun larangan, maka

keberadaan penguasa tersebut sama dengan tidak
adanya.
Oleh karena itu, ini pentingnya kita mendengar dan taat
kepada pemerintah, tidak akan bersatu umat Islam
kecuali dengan adanya penguasa, baik penguasa tersebut
adalah penguasa yang shalih maupun penguasa yang
tidak shalih.
Dan tidak bermanfaat yang dinamakan dengan penguasa
atau pemerintah kecuali kita mau mendengar dan taat
kepada pemerintah tersebut.

Oleh karena itu Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
(diriwayatkan dari beliau).
Bahwasanya beliau mengatakan,

‫ َولَا ِإ َما َرةَ ِإلَّا بِطَا َعة‬، ‫ َولَا َج َما َعةَ ِإلَّا ِبإِ َما َرة‬، ‫لا ِإس َلا َم ِإلَّا ِب َج َماعَة‬

“Tidak ada Islam kecuali dengan berjam’ah, kecuali
dengan bersatu. Dan tidak ada persatuan kecuali apabila
di sana ada penguasa. Dan tidak ada kekuasaan kecuali
dengan ketaatan.”

Islam tidak akan tegak kecuali dengan adanya persatuan
diantara kaum muslimin. Karena banyak ibadah atau
syar’iat di dalam agama Islam yang tidak mungkin
ditegakkan kecuali dengan persatuan diantara kaum
muslimin (persatuan antara rakyat dengan pemerintah
dan diantara kaum muslimin).
Tidak mungkin kaum muslimin bersatu kecuali apabila di
sana ada pemimpinnya.
Karena apabila sebuah kelompok, sekecil apapun,
seandainya tidak ada pemimpin maka masing-masing
merasa tidak dikuasai oleh orang lain, sehingga

melakukan apa yang dia inginkan.
Tidak ada yang berhak untuk memerintah dia, tidak ada
yang berhak untuk melarang dia, membuat peraturan
sendiri, tidak mungkin sebuah kelompok sekecil apapun
bisa bersatu kecuali apabila di sana ada pemimpinnya.

Oleh karena itu di dalam Islam, ketika seseorang safar
bersama yang lain, ketika dalam bepergian, maka
diperintahkan untuk mengangkat seorang pemimpin.
Apalagi di dalam keadaan seseorang dalam keadaan
muqim.
Tidak mungkin kelompok apapun, sekecil apapun bisa
bersatu kecuali apabila memiliki pemimpin.
Oleh karena itu beliau mengatakan (radhiyallahu ‘anhu),
“Tidak ada persatuan kecuali apabila di sana ada imarah,
ada kekuasaan. Dan tidak ada kekuasaan kecuali dengan
ketaatan.”

Tidak bermanfaat (tidak berfaedah) yang dinamakan
dengan kekuasaan kecuali apabila anggotanya, rakyatnya
mentaati penguasa tersebut.
Di sini kita memahami hubungan yang erat antara Islam
dan ketaatan kepada pemerintah.

Hubungan antara Islam dengan ketaatan kepada
pemerintah adalah sangat erat, dan ini diucapkan oleh
seorang khulafa’ur rasyidin yang kita diperintahkan untuk
mengikuti sunnahnya.

‫َعلَي ُكم ِبسُ َّنتِي َوسُ َّن ِة ال ُخ َل َفا ِء ال َّرا ِش ِدي َن‬

Menunjukkan tentang pentingnya di dalam Islam, taat
kepada penguasa dan juga pemerintah kita.


Click to View FlipBook Version