Oleh karena itu beliau mengatakan,
أَ َّن ِمن تَ َما ِم الاجتِ َما ِع ال ّسَم َع َوالطَّاعَ َة ِل َمن تَأَ َّم َر َعلَينَا
Bagi orang yang telah Allah takdirkan untuk menjadi
penguasa bagi kita, baik dia adalah orang yang shalih,
baik dia adalah seorang yang fajir (yang bermaksiat)
apabila Allah telah menjadikan dia sebagai seorang
penguasa, maka kewajiban kita adalah mendengar dan
taat.
Kemudian beliau mengatakan,
َولَو َكا َن عَب ًدا َح َب ِشيا
“Meskipun yang berkuasa tersebut adalah seorang budak
dari Habasyah.”
Seorang budak, seandainya dia menjadi seorang
penguasa maka kewajiban kita adalah mendengar dan
taat.
Padahal yang namanya penguasa kebanyakan adalah
orang yang merdeka, dan seandainya qadarullah yang
terjadi penguasa tersebut adalah seorang budak (bukan
seorang yang merdeka) maka kita tetap diwajibkan
mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut.
Habasyian (budak dari Habasyah) dan budak dari
Habasyah, ini dikenal oleh orang-orang Arab sebagai
budak yang di mata manusia adalah seorang yang rendah
(kedudukannya hina), akan tetapi apabila dia menjadi
seorang penguasa maka kewajiban kita, meskipun kita
adalah seorang yang merdeka, bukan seorang budak,
maka kita harus mendengar dan taat penguasa tersebut.
Dan ucapan beliau ini diambil dari hadits Nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam, ketika Beliau shallallāhu ‘alayhi wa
sallam memberikan nasehat kepada para sahabat di akhir
hayat Beliau.
Suatu hari setelah shubuh Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa
sallam) memberikan nasehat kepada para sahabat dengan
nasehat yang sangat dalam.
Kemudian salah seorang sahabat berkata kepada
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam,
َيا َر ُسو َل الَّلِ ! َكأَ َّن َها َمو ِعظَ ُة ُم َو ِّدع
“Ya Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat orang
yang akan berpisah.
(Nasehat yang sangat dalam yang penuh dengan makna
yang membuat gemetar hati para sahabat dan membuat
mata mereka menangis).
Maka hendaklah engkau memberikan wasiat kepada
kami.”
Nasehat orang yang berpisah, tentunya orang yang
berpisah tersebut akan memilih nasehat yang luas
maknanya, yang sangat penting bagi orang yang akan
ditinggalkan.
Apa yang Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) katakan?
ِأُو ِصيكُم ِبتَق َوى الَّل
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada
Allah.”
Nasehat pertama yang Beliau ucapkan kepada para
sahabat adalah nasehat untuk bertaqwa kepada Allah.
Kemudian apa yang Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam)
katakan?
وال ّسَم ِع َوالطَّا َعةَ ِل َمن تَأَ َّم َر َعلَيكم ولو كَا َن عَب ًدا َح َب ِشيا
“Dan hendaklah kalian mendengar dan taat kepada orang
yang telah menjadi amir (menjadi penguasa) bagi kalian
meskipun dia adalah seorang budak dari Habasyah.”
Ini adalah nasehat Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam
kepada para sahabat.
Setelah beliau berwasiat untuk bertaqwa kepada Allah,
maka wasiat beliau yang ke dua adalah mendengar dan
taat kepada pemerintah kita (kepada penguasa kita)
meskipun dia adalah seorang budak dari Habasyah.
Dan ini menunjukkan pentingnya mendengar dan taat.
Bahkan Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) menjadikan
mendengar dan taat kepada pemerintah nomor dua
setelah Beliau berwasiat dengan ketaqwaan kepada Allah
Subhānahu wa Ta’āla.
الله تعالى أعلم
Itu yang bisa kita sampaikan.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 11 | Penjelasan Pokok Ke Tiga Bagian 2
January 19, 2021Ummu Syifa
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
Halaqah yang ke sebelas dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan
Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah.
Beliau mengatakan,
َف َب َّي َن الله له َهذا َبيانًا شا ِئعًا كا ِف ًيا بِ ُو ُجوه ِمن أَنواعِ البَيَا ِن َشر ًعا َو َق َد ًرا
Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan perkara ini
dengan penjelasan yang cukup, dengan berbagai uslub
(cara) baik secara syar’iat maupun dengan takdir.
Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan pentingnya
mendengar dan taat kepada penguasa dengan penjelasan
yang sangat jelas di dalam Al Qur’an dan dijelaskan oleh
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam di dalam hadits-
hadits yang shahih, baik dengan tinjauan syari’at maupun
dari segi takdir.
Di dalam Al Qur’an diantaranya adalah firman Allah
Subhānahu wa Ta’āla,
َي ٰـٓأَيُّ َها ٱلَّ ِذي َن َءا َمنُ ٓوا أَ ِطي ُعوا ٱل َِّ َل َوأَ ِطيعُوا ٱل َّر ُسو َل َوأُو ِلى ٱْلَم ِر ِمنكُم
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada
Allah dan taatlah kalian kepada Rasul, dan ulil amri
diantara kalian.”
(QS. An-Nisa: 59)
Dan yang dimaksud dengan ulil amri di sini adalah para
ulama dan para pemerintah (para penguasa).
Allah mengatakan kepada orang-orang yang beriman,
“Wahai orang-orang yang beriman (yang merasa
bahhwasanya dia beriman kepada Allah, beriman kepada
malaikat, beriman kepada kitab-kitab, beriman kepada
para Rasul, beriman kepada hari akhir, beriman kepada
takdir) hendaklah kalian taat kepada Allah dan taat lah
kalian kepada Rasul dan orang yang memerintah diantara
kalian.”
Ulil amri sebagaimana disebutkan oleh para mufassirin
adalah para ulama dan juga para umara. Kita diperintah
untuk mentaati mereka dan ini menunjukkan tentang
wajibnya mentaati pemerintah dan juga penguasa, karena
Allah mengatakan, ( أَ ِطيعُواhendaklah kalian mentaati).
Namun ketaatan kepada seorang penguasa dan
pemerintah bukanlah ketaatan yang mutlak, berbeda
dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu ketika menyebutkan Allah dan juga
Rasul-Nya, didahului dengan kalimat أَ ِطي ُعوا.
َي ٰـٓأَ ُّي َها ٱ َّل ِذي َن َءا َمنُ ٓوا أَ ِطي ُعوا ٱل َِّ َل َوأَ ِطيعُوا ٱل َّر ُسو َل
Karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah
ketaatan yang mutlak.
Adapun ketika menyebutkan ulil amri, maka Allah
mengatakan ( َوأُو ِلى ٱْلَم ِر ِمن ُكمdan pemerintah diantara
kalian) karena ketaatan kepada pemerintah dan penguasa
bukanlah ketaatan yang mutlak, akan tetapi ketaatan
yang berada di dalam ketaatan. Ketaatan di dalam
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Apabila seorang pemerintah dan penguasa, memerintah
dengan perkara yang sesuai dengan syari’at, sesuai
dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya, maka perintah
tersebut harus ditaati.
Namun apabila dia memerintah dengan kemaksiatan
dengan sebuah dosa dengan sebuah perkara yang
bertentangan dengan syari’at Allah Subhānahu wa Ta’āla
maka perintah tersebut tidak boleh ditaati.
Adapun di dalam hadits, maka diantara dalil yang
menunjukkan pentingnya dan wajibnya kita mendengar
dan taat kepada pemerintah adalah ketika Beliau
shallallāhu ‘alayhi wa sallam berwasiat kepada para
sahabat.
1. Wasiat dengan ketakwaan
2. Wasiat mendengar dan taat kepada penguasa
meskipun yang berkuasa adalah seorang budak dari
Habasyah.
Dan diantara dalilnya dari sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi
wa sallam adalah ucapan Ubadah Ibnu Shamit ketika
beliau mengatakan,
َمَونعَشل ِطىَناأَثَ َوَر َمةك َ َعر َليِهنََناا، ِ ِرفنَاي،ا َوَع ُي ِةس،َبَايَعَ َنا رسول الله صلى الله عليه وسلم َعلَى السَّوم َععِس َ ِورالَنا ّط،
“Kami dahulu membai’at Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam untuk mendengar dan taat baik ketika kami dalam
keadaan semangat maupun dalam keadaan malas, baik
dalam kesusahan maupun dalam kemudahan.”
Mendengar dan taat meskipun harus diambil sebagian
dari hak kami, baik hak harta maupun yang lain.
Meskipun diambil sebagian hak kita, baik harta maupun
yang lain, maka tidak boleh ini menjadikan kita keluar
dari ketaatan kepada pemerintah.
Kemudian beliau mengatakan,
َُوأَن ل َا نُ َنا ِزعَ اْلَم َر أَه َله
“Dan kami telah membai’at Rasulullah shallallāhu ‘alayhi
wa sallam untuk tidak memberontak, untuk tidak
mengambil kekuasaan dari yang memiliki.”
Ini adalah isi dari bai’at para sahabat radhiyallāhu ‘anhum
kepada Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam,
diantaranya adalah supaya kita tidak mengambil
kekuasaan dari pemiliknya.
Yaitu memberontak kepada pemerintah, memberontak
kepada penguasa yang sah, maka ini diharamkan di dalam
agama kita.
Kemudian Beliau mengatakan,
ِعن َدكُم ِم َن الَّ ِل فِي ِه بُرهَان،وقال إِل ّاَ أَن تَ َروا كُف ًرا َب َوا ًحا
“Kecuali apabila engkau melihat kekufuran yang jelas,
kekafiran yang jelas, dari pemerintah tersebut dan
engkau memiliki dalil (memiliki burhan) yang sangat jelas
yang tidak ada kesamaran di dalamnya (maka dalam
keadaan seperti itu boleh seseorang memberontak).”
Yaitu apabila melihat kekufuran, dan di sini Beliau
mengatakan ( كُف ًرا َب َوا ًحاkekufuran yang jelas) artinya,
bukan hanya sekedar keragu-raguan atau kekufuran yang
samar, kekufuran yang jelas maksudnya adalah kekufuran
yang semua umat Islam bersepakat atas kekufuran
tersebut.
Dan di sana ada dalil yang jelas di dalam Al Qur’an
maupun hadits yang mengatakan bahwasanya ini adalah
sebuah kekufuran dan bukan hanya sekedar keraguan,
bukan hanya sekedar kemaksiatan. Engkau memiliki dalil
dari Allah Subhānahu wa Ta’āla atas masalah tersebut.
Dan para ulama menyebutkan ini adalah perkecualian,
dan ini menunjukkan kepada kita hanya sekedar melihat
kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang penguasa,
maka ini tidak menjadikan dan tidak membolehkan
seseorang untuk keluar dan memberontak kepada
pemerintah, karena Beliau mengatakan ُكف ًرا بَ َوا ًحا, sebuah
kekafiran yang sangat jelas.
Adapun hanya melihat kemaksiatan yang dilakukan oleh
pemerintah, maka ini tidak boleh menjadikan seseorang
keluar dan memberontak kepada pemerintah tersebut.
Yang dinamakan dengan korupsi, maka ini adalah sebuah
kemaksiatan dan bukan kekufuran. Tidak boleh
menjadikan seseorang memberontak dan keluar kepada
pemerintah.
Berbuat dholim adalah kemaksiatan. Kemaksiatan
tersebut akan ditanyakan oleh Allah Subhānahu wa
Ta’āla kepada penguasa di hari kiamat, kemaksiatan dia
adalah untuk dia sendiri dan kewajiban kita adalah
mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut, selama
perintah tersebut sesuai dengan syari’at Allah Subhānahu
wa Ta’āla.
Ucapan Beliau,
إِلاَّ أَن تَ َروا كُف ًرا َب َوا ًحا
Menunjukkan kepada kita bahwasanya kemaksiatan tidak
menjadikan seseorang keluar dari ketaatan kepada
pemerintah kita.
Dan di sini Beliau memberikan syarat-syarat yang ketat
sebuah kekafiran dan kekafiran tersebut adalah kekafiran
yang sangat jelas dan memiliki dalil yang sangat kuat.
الله تعالى أعلم
Itu yang bisa kita sampaikan.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 12 | Penjelasan Pokok Ke Tiga Bagian 3
January 20, 2021Ummu Syifa
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
Halaqah yang ke dua belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah
Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.
Para ulama menjelaskan apabila memang terjadi
kekufuran yang sangat jelas dari seorang penguasa (dari
seorang pemerintah), maka di sana ada syarat-syarat
yang lain yang harus dipenuhi dan ini disebutkan oleh
para ulama, (yaitu) (1) apabila tidak terjadi di sana
kerusakan yang lebih besar.
Apabila di sana justru terjadi kerusakan yang lebih besar,
apabila seseorang memberontak karena pemerintahnya
melakukan kekufuran, melakukan kekafiran yang jelas,
apabila di sana justru terjadi kerusakan yang lebih besar,
maka diharamkan seseorang untuk memberontak. Ini
disebutkan oleh para ulama di dalam kitab-kitabnya.
Dan (2) kaum muslimin memiliki ganti yang lebih baik.
Kalau misalnya bisa memberontak tetapi tidak memiliki
ganti yang lebih baik, maka tidak diperbolehkan untuk
melakukan pemberontakan.
Dan juga syarat-syarat yang lain.
Para ulama telah ketat di dalam masalah ini. Dan perkara
seperti ini dikembalikan kepada para pembesar ulama,
bukan hanya kepada seorang da’i, seorang ustadz, tetapi
dikembalikan kepada ulama-ulama besar yang mereka
mengetahui maslahat dan juga mudharat, mana yang baik
dan mana yang buruk bagi kaum muslimin.
Dalil yang lain yang menunjukkan tentang wajibnya
mendengar dan taat kepada pemerintah, Rasulullah
shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda, ”Bahwanya kita
diperintahkan untuk mendengar dan taat kecuali apabila
dia diperintahkan untuk kemaksiatan.
َفإِن أُ ِم َر ِب َمع ِص َية َفل َا سَم َع َول َا طَاعَ َة
“Apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak
ada mendengar dan tidak ada ketaatan.” (HR Muslim
3423/1839)
اس َمعُوا َوأَ ِطي ُعوا
Mendengarlah kalian dan taatlah kalian,
Namun apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat, َفَلا
َ َسم َع َولاَ َطاعَةmaka tidak ada mendengar dan tidak ada
ketaatan.
Artinya di dalam perintah tersebut, penguasa dan juga
pemerintah memiliki peraturan-peraturan. Di antara
peraturan tersebut ada yang sesuai dengan syari’at Allah
dan Rasul-Nya dan ada di antara peraturan tersebut yang
tidak sesuai.
Yang sesuai dengan syari’at Allah dan Rasul-Nya maka
kita diwajibkan untuk mendengar dan juga taat.
Disebutkan oleh para ulama, contohnya (misalnya)
peraturan lalu lintas.
Kita diharuskan memiliki SIM, kita diharuskan untuk
mengikuti rambu-rambu lalu lintas, dilarang parkir di
sebuah tempat, apabila lampu berwarna merah maka
harus berhenti, maka ini adalah peraturan-peraturan
yang dibuat oleh pemerintah untuk kemaslahatan
bersama.
Pada asalnya ini adalah kewajiban kita sebagai rakyat
untuk mendengar dan taat kepada penguasa tersebut di
dalam peraturan-peraturan ini, karena peraturan-
peraturan ini tidak bertentangan dengan syari’at Allah
dan juga Rasul-Nya.
Namun ketika membuat peraturan yang di situ ada
kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak
boleh seseorang untuk mendengar dan taat di dalam
peraturan tersebut dan dia masih diwajibkan untuk
mendengar dan taat pada peraturan-peraturan yang lain
yang sesuai dengan Al Qur’an dan juga hadits Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Kemudian Beliau mengatakan َو َق َد ًرا, demikian pula dari
segi takdir, Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan
baik dengan syari’at maupun dengan takdir.
Maksudnya dengan takdir adalah dengan apa yang kita
lihat di sekitar kita. Kita bisa bedakan antara sebuah
negara yang rakyatnya di situ mendengar dan taat
kepada penguasanya, dengan sebuah negara yang
rakyatnya tidak mendengar dan juga tidak taat kepada
pemerintahnya.
Beda antara dua negara ini, negara yang rakyatnya
melakukan ketaatan dan mendengar apa yang
diperintahkan oleh pemerintah, maka kita dapatkan
keamanan di dalam negara tersebut, ketenangan,
nyaman rakyatnya di dalam melakukan berbagai
kegiatan, baik kegiatan agama maupun kegiatan dunia,
dengan leluasa mereka beribadah, melakukan haji setiap
tahun, melakukan shalat lima waktu secara berjama’ah,
mendirikan shalat hari raya, juga syari’at syari’at yang
lain.
Dan dengan leluasa mereka melakukan kegiatan dunia,
berdagang, bepergian, karena rakyatnya mendengar dan
taat kepada pemerintahnya.
Lain dengan sebuah negara yang di situ rakyatnya tidak
mendengar dan tidak taat kepada pemerintah. Keamanan
tidak stabil, rakyatnya di dalam berbagai kegiatan mereka
merasa tidak aman, baik ketika beribadah maupun dalam
melakukan kegiatan-kegiatan dunia, banyak di antara
mereka yang tidak bisa melaksanakan haji, takut untuk
shalat berjama’ah, wanita yang muslimah takut untuk
menggunakan jilbab dan juga perkara-perkara yang lain.
Beda antara sebuah negara yang rakyatnya taat kepada
penguasa dengan sebuah negara yang rakyatnya tidak
taat kepada penguasa.
Oleh karena itu beliau mengatakan: َشر ًعا َوقَ َد ًراBaik secara
syari’at maupun takdir, taat kepada pemerintah adalah
sesuatu yang sangat penting bagi seorang muslim.
اللهم أعلم
Itulah yang bisa kita sampaikan.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 13 | Penjelasan Pokok Ke Tiga Bagian 4
January 21, 2021Ummu Syifa
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
Halaqah yang ke tiga belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah
Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.
Kemudian beliau mengatakan,
ثُ َّم َصا َر َه َذا اْلَص ُل لَا ُيع َر ُف ِعن َد أَكثَ ِر َمن َي َّد ِعي ال ِعل َم فَ َكي َف العَ َم ُل ِبه
Kemudian berlalulah masa, sehingga perkara ini tidak
diketahui oleh sebagian besar orang yang mengaku
berilmu, apalagi beramal dengan perkara ini.
Dengan berlalunya waktu dan umat Islam tertimpa
dengan kejahilan, dengan syubhat, dengan syahwat,
sehingga perkara ini, yaitu pentingnya taat kepada
pemerintah dan penguasa tidak diketahui oleh sebagian
besar orang yang mengaku memiliki ilmu.
Maka bagaimana dengan beramal dengannya? Kalau
mengetahui saja tidak, apalagi mengamalkan perkara ini.
Dan ini yang terjadi di zaman beliau rahimahullah,
demikian pula di zaman kita, banyak orang yang mengaku
berilmu, memiliki kecerdasan akan tetapi di dalam
masalah ketaatan kepada waliyul amr (ketaatan kepada
pemerintah, kepada penguasa) ternyata mereka jauh dari
tuntunan agama, bahkan menganggap bahwasanya
memberontak kepada pemerintah, membicarakan
kejelekan pemerintah disebut sebagai sebuah keberanian
atau dipolesi dengan amar ma’ruf nahi munkar.
Dianggap ini adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar.
Dan mereka menganggap bahwasanya orang yang
mendengar dan taat kepada pemerintah dianggap
sebagai seorang yang pengecut, dianggap sebagai
seorang yang mencari muka di hadapan penguasa. Maka
ini adalah semuanya karena seseorang tidak mengetahui
tentang pentingnya mendengar dan taat kepada
pemerintah.
Dan bukan berarti mendengar dan taat kepada
pemerintah kemudian kita tidak memberikan nasihat. Di
dalam Islam, nasihat diperuntukan bagi rakyat biasa,
demikian pula kepada pemerintah kaum muslimin.
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda,
ِل َمن؟ قَا َل لل ِه َو ِل ِكتَابِ ِه َو ِل َرسُو ِل ِه َو ِْلَئِ َّم ِة ال ُمس ِل ِمي َن َوعَا َّم ِت ِهم: ال ِّدي ُن ال َنّ ِصي َحةُ قُلنَا
“Agama ini adalah nasihat. Para sahabat bertanya, Ya
Rasulullah, untuk siapa?”
للهِ َو ِل ِكتَابِ ِه َو ِل َرسُو ِل ِه َو ِْلَ ِئ َّم ِة ال ُمس ِل ِمي َن َو َعا َّم ِت ِهم
Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) mengatakan,
َو ِْلَ ِئ َّم ِة ال ُمس ِل ِمي َن َوعَا َّمتِ ِهم
“Nasehat bagi pemerintah kaum muslimin demikian pula
orang-orang yang awam diantara mereka.”
(Hadits shahih riwayat Muslim nomor 55)
Dan bahwasanya menasihati pemerintah harus memiliki
adab yang baik.
Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan,
َمن أرا َد أن َين َص َح ِلذي ُسلطان فلا يُب ِد ل ُه َعلانيةً و ِليأخ ُذ بي ِدهِ فإن قب َل منهُ فذا َك
وإلَّا قد أ َّدى ما علي ِه
“Barangsiapa diantara kalian yang ingin menasihati
kepada pemerintah (penguasa) maka janganlah
menampakkan nasihat tersebut.”
Artinya jangan sampai menasihati seorang penguasa dan
seorang pemerintah di depan khalayak ramai (di depan
orang banyak).
“Dan hendaklah mengambil tangannya (dan hendaklah
berkhalwat dengannya).”
Artinya bersendirian, tidak dilihat oleh rakyatnya, tidak
didengar oleh rakyatnya, tetapi nasihat tersebut adalah
nasihat secara pribadi antara dirinya dengan penguasa
tersebut.
Karena seorang penguasa dan pemerintah ini memiliki
wibawa di depan rakyatnya, di depan bawahannya.
Apabila seseorang menasehati pemerintah, menyebutkan
kesalahannya diantara rakyatnya atau di depan rakyatnya
tentunya ini akan menimbulkan perkara yang tidak baik.
Wibawa seorang pemerintah menjadi turun, dan apabila
turun maka rakyat akan enggan untuk mendengar dan
taat kepada pemerintah tersebut.
Dan kalau mereka tidak mau mendengar, tidak mau
mentaati, maka yang terjadi adalah kerusakan di sebuah
daerah.
“Apabila diterima nasihatnya, maka itulah yang kita
inginkan. Kalau tidak diterima maka dia telah melakukan
kewajibannya.”
Artinya apabila diterima nasihat kita maka itulah yang
kita inginkan, kebaikan bagi penguasa adalah kebaikan
bagi rakyatnya.
Tapi kalau tidak diterima oleh pemerintah tersebut (oleh
penguasa tersebut) maka kita sudah melaksanakan
kewajiban kita sebagai seorang muslim, sebagai seorang
rakyat, yaitu memberikan nasihat kepada pemerintah dan
penguasa kita. Adapun dia tidak menerima nasihat kita,
maka ini urusan dia dengan Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Ini adalah petunjuk Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam di dalam menasihati pemerintah, bukan
menunjukkan kesalahan pemerintah dan mengobralnya
di depan umum ketika khutbah-khutbah, ketika ceramah-
ceramah, maka ini semua melanggar petunjuk Rasulullah
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
الله تعالى أعلم
Itulah yang bisa kita sampaikan, semoga yang sedikit ini
bermanfaat.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 14 | Penjelasan Pokok Ke Empat Bagian 1
January 22, 2021Ummu Syifa
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
Halaqah yang ke empat belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah
Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.
Beliau mengatakan,
َوبَيَا ُن َمن تَشَ َبّهَ ِب ِهم َو َلي َس، َوال ِفق ِه َوال ُف َق َها ِء، َبيَا ُن ال ِعل ِم َوال ُع َل َما ِء: اَْلَص ُل ال َّرابِ ُع
ِمن ُهم
Perkara pokok yang keempat adalah tentang:
Penjelasan makna dari ilmu dan para ulama dan makna
dari fiqih dan juga para fuqaha’ dan menjelaskan tentang
orang-orang yang menyerupai mereka, padahal dia bukan
termasuk ulama dan bukan termasuk fuqaha’.
Hal ini juga termasuk perkara yang penting seperti yang
dikatakan oleh pengarang, karena banyak di zaman kita
orang yang tidak mengetahui apa itu sebenarnya ilmu.
Yang telah datang keutamaannya di dalam Al Qur’an dan
juga hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Yang kita diperintahkan untuk menuntutnya.
yang dengannya seseorang mendapatkan derajat yang
tinggi di sisi Allah.
Yang dengannya dia bisa selamat di dunia dan juga di
akhirat.
Banyak diantara saudara-saudara kita yang belum
mengetahui apa sebenarnya ilmu tersebut.
Dan para ulama menjelaskan yang dimaksud dengan ilmu
yang ada di dalam Al Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yang kita didorong dan
dianjurkan untuk menuntutnya, yang barangsiapa
menuntutnya maka akan dimudahkan jalan menuju surga,
dan bahwasanya orang yang menuntutnya berarti Allah
Subhānahu wa Ta’āla telah menginginkan kebaikan
darinya.
Yang dimaksud dengan ilmu tersebut adalah:
ما قال الله و قال الرسول
“Apa yang dikatakan oleh Allah dan apa yang dikatakan
oleh Rasul-Nya.”
Apabila di situ disebutkan ilmu, maka yang dimaksud
dengan ilmu tersebut adalah ilmu syar’i, ilmu yang
bersumber (berdasar) dari Al Qur’an dan juga hadits-
hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang shahih.
Di dalam ayatnya, Allah Subhānahu wa Ta’āla
mengatakan,
ۚ يَرفَ ِع ٱل َِّ ُل ٱلَّ ِذي َن َءا َم ُنوا ِمن ُكم َوٱلَّ ِذي َن أُوتُوا ٱل ِعل َم َد َر َج ٰـت
“Allah Subhānahu wa Ta’āla akan mengangkat orang-
orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang
yang diberikan ilmu beberapa derajat.” (QS. Al Mujadilah:
11)
Di sini Allah Subhānahu wa Ta’āla berjanji akan
mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan juga
orang-orang yang diberikan ilmu, diangkat oleh Allah
Subhānahu wa Ta’āla beberapa derajat.
Yang dimaksud dengan ilmu di dalam ayat ini adalah ilmu
agama, apa yang dikatakan oleh Allah dan apa yang
dikatakan oleh Rasul-Nya.
Demikian pula firman Allah Subhānahu wa Ta’āla
menceritakan tentang perintah Allah Subhānahu wa
Ta’āla kepada Nabi-Nya untuk meminta tambahan ilmu
sebagaimana firman Allah,
َو ُقل َّر ِّب ِزد ِنى ِعل ًما
Dan katakanlah wahai Muhammad, “Wahai Rabb-ku,
tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Thaha: 114)
Maka yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah apa yang
dikatakan Allah dan Rasul-Nya.
Allah Subhānahu wa Ta’āla menyuruh Nabi-Nya untuk
meminta tambahan, bukan meminta tambahan dunia
atau kekuasaan atau yang lain, akan tetapi disuruh untuk
meminta tambahan ilmu, dan ilmu di sini adalah ilmu
agama.
Demikan pula ilmu yang datang di dalam hadits-hadits
Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, maka yang dimaksud
adalah ilmu agama.
Sebagaimana sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam,
َمن سَلَ َك َط ِريقًا يَلتَ ِم ُس فِي ِه ِعل ًما سَ َّه َل الَّ ُل لَ ُه ِب ِه َط ِريقًا إ َلى ال َج َنّ ِة
“Barangsiapa yang menuntut atau menempuh sebuah
jalan di dalam jalan tersebut dia ingin mencari ilmu
agama, maka Allah Subhānahu wa Ta’āla akan
memudahkan dia jalan menuju surga.” (Hadits shahih
riwayat Muslim)
Dan jalan di sini, bisa jalan haqiqi seseorang bepergian
jauh dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan
atau yang dimaksud dengan jalan di sini adalah jalan
maknawi yaitu cara untuk mendapatkan ilmu. Seperti
seseorang membaca atau mendengarkan, maka ini juga
termasuk jalan menuntut ilmu agama. Pahalanya maka
Allah Subhānahu wa Ta’āla akan memudahkan dia jalan
menuju Surga.
Karena orang yang menuntut ilmu maka dia akan
mengetahui yang benar, sehingga dia bisa mengamalkan
kebenaran tersebut. Dan orang yang menuntut ilmu
maka dia akan mengenal yang bathil, sehingga dia
dengan mudah meninggalkan kebathilan tersebut.
Apabila seseorang istiqomah dengan ilmu yang dia miliki,
mengetahui kebenaran dan mengamalkannya, dan
mengetahui kebathilan kemudian meninggalkannya,
sampai dia meninggal dunia maka diharapkan orang yang
demikian akan dimudahkan oleh Allāh Subhānahu wa
Ta’āla masuk ke dalam surga.
الله تعالى أعلم
Itulah yang bisa kita sampaikan.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 15 | Penjelasan Pokok Ke Empat Bagian 2
January 22, 2021Ummu Syifa
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
Halaqah yang ke lima belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah
Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.
Demikian pula sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam,
َمن ُي ِر ِد اللهُ ِب ِه َخيـ ًرا يُـفَـ ِقـههُ ِفي ال ِّدي ِن
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, maka Allah
Subhānahu wa Ta’āla akan menjadikan dirinya faqih
(memahami) agamanya.”
Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan kepada
dirinya, diinginkan oleh Allah menjadi orang yang
beruntung.
Ciri-cirinya apa? Allah akan jadikan dia memahami
agamanya.
Yang dimaksud dengan fiqih di sini adalah ilmu agama
dan ini menunjukkan tentang keutamaan menuntut ilmu
agama.
Dijadikan dia semangat menuntut ilmu, dijadikan dia
mudah untuk memahami agamanya, inilah orang yang
dikehendaki kebaikan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Dan sebaliknya orang yang tidak Allah kehendaki
kebaikan maka dijadikan dia tidak memahami agamanya.
Dan dalil-dalil yang lain apabila kita menemukan lafadz
ilmu di dalam Al Qur’an maupun hadits-hadits Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam, maka ketahuilah
bahwasanya ilmu tersebut maksudnya adalah ilmu
agama, bukan ilmu yang lain.
Karena sebagian, apalagi di zaman sekarang menganggap
semua pengetahuan dinamakan dengan ilmu, sehingga
ilmu-ilmu dunia pun dianggap itu ilmu yang dimaksud di
dalam Al Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam.
Padahal para ulama telah menjelaskan bahwasanya ilmu
agama itulah yang dimaksud di dalam Al Qur’an dan juga
hadits. Adapun ilmu-ilmu dunia meskipun dinamakan
ilmu oleh sebagian manusia maka itu bukan yang
dimaksud di dalam Al Qur’an dan juga hadits.
Ilmu dunia ini, apabila digunakan untuk kebaikan,
manfaat bagi manusia, maka seseorang diharapkan
mendapatkan pahala. Namun apabila ilmu dunia
digunakan untuk mudharat (merusak), maka tentunya
orang yang menyebarkannya (mengajarkannya) bukan
mendapatkan pahala akan tetapi justru mendapatkan
dosa.
Ini perbedaan antara ilmu agama yang dimaksud di dalam
Al Qur’an dan juga hadits dengan ilmu-ilmu dunia.
Dan yang dimaksud dengan ulama adalah orang yang
berpegang teguh dengan Al Qur’an dan juga sunnah Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan mengilmui keduanya.
Setelah kita mengetahui apa itu ilmu, berarti kita
mengetahui siapa itu ulama, yaitu orang yang membawa
Al Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi
wa sallam.
Merekalah para ulama dan merakalah yang telah dipuji
oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla di dalam Al Qur’an,
bahwasanya mereka adalah orang-orang yang takut
kepada Allah Subhānahu wa Ta’āla karena ilmu yang dia
miliki, ilmu yang ada di dalam Al Qur’an dan juga hadits-
hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Merekalah yang paling mengetahui dan mengenal Allah.
Merekalah yang paling takut dengan Allah Subhānahu wa
Ta’āla.
Oleh karena itu Allah berfirman,
إِنَّ َما يَخشَى ٱل َِّلَ ِمن ِعبَا ِد ِه ٱل ُعلَ َم ٰـٓ ُؤا
“Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah diantara
hamba-hambanya adalah para ulama.”
(QS. Fathir: 28)
Kenapa demikian?
Karena mereka paling mengenal apa yang ada di dalam Al
Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa
sallam.
Mengenal siapa Allah dan apa hak-Nya.
Mengenal siapa Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam
dan apa haknya.
Mengenal tentang agama Islam ini.
Mengenal pondasi agama ini dan apa cabangnya,
sehingga merekalah yang disifati oleh Allah Subhānahu
wa Ta’āla sebagai hamba-hamba-Nya yang sangat takut
dengan Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Dan di dalam hadits, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa
sallam mengatakan,
ال ُعلُ َما ُء َو َرثَةُ اْلَنبِيَا ِء
“Para ulama adalah pewaris para nabi.”
(Hadits shahih riwayat At Tirmidzi)
Ini menunjukkan bahwasanya ulama adalah orang yang
mengetahui apa yang datang dari para nabi.
Apa yang datang dari mereka?
Yang datang dari mereka adalah,
ما قال الله و قال الرسول
“Apa yang dikatakan oleh Allah dan apa yang dikatakan
oleh Rasul-Nya.”
Dan para ulama, tugas mereka adalah mewarisi apa yang
datang dari para nabi, artinya mewarisi (mengambil dari
mereka) apa adanya dan menyampaikan kepada yang
setelahnya.
Jadi tugas ulama bukan menambah apa yang datang dari
para nabi dan bukan mengurangi apa yang datang dari
nabi atau merubah-rubah maknanya. Tapi tugas mereka
adalah mewarisi para nabi.
Inilah yang dinamakan dengan ulama yang datang di
dalam Al Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi shallallāhu
‘alayhi wa sallam.
Dan ini terkadang samar bagi sebagian orang, sehingga
mereka tidak bisa membedakan siapa ulama dan siapa
yang bukan ulama.
Karena berlalunya masa, berlalunya waktu, banyaknya
fitnah, banyaknya syubhat, sehingga sebagian saudara
kita tidak bisa membedakan mana yang disebut dengan
ulama dan mana yang bukan ulama.
الله تعالى أعلم
Itulah yang bisa kita sampaikan.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 16 | Penjelasan Pokok Ke Empat Bagian 3
January 26, 2021Ummu Syifa
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
Halaqah yang ke enam belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah
Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.
Kemudian beliau mengatakan,
َوبَيَا ُن َمن تَشَ ّبَهَ بِ ِهم َو َلي َس ِمن ُهم
Dan penjelasan siapa orang yang menyerupai mereka
(para ulama).
Baik menyerupai pakaiannya misalnya, atau menyerupai
ucapannya, atau menyerupai perilakunya, atau
menyerupai karena mereka memiliki pengikut yang
banyak. Padahal mereka bukan termasuk ulama.
Kata beliau ini perlu dijelaskan dan ini adalah termasuk
perkara yang penting, menjelaskan kepada umat tentang
siapa ulama dan siapa yang bukan ulama.
Apalagi di zaman sekarang hanya sekedar seseorang
berani untuk berpidato atau berani untuk tampil ke
depan atau dibesar-besarkan oleh media, atau dia bisa
menghapal satu ayat atau dua ayat, atau sekedar
memiliki pakaian yang berbeda dengan yang lain,
memakai pakaian yang biasa dipakai oleh para ulama, dan
dia berani untuk tampil ke depan kemudian dianggap dan
diyakini bahwasanya dia seorang yang ‘alim atau seorang
ulama.
Dan ini adalah termasuk usaha iblis untuk menyesatkan
manusia, dan orang yang seperti ini, apa yang dia rusak,
ini lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.
Karena apabila seorang dianggap oleh manusia sebagai
seorang ulama kemudian dia berfatwa, maka fatwa yang
datang darinya dikhawatirkan adalah fatwa yang tidak
berdasarkan ilmu, tidak berdasarkan Al Qur’an, tidak
berdasarkan hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
َف َمن أَظلَ ُم ِم َّم ِن ٱفتَ َر ٰى َعلَى ٱل َِّلِ َك ِذ ًبا ِّل ُي ِض َّل ٱل َّنا َس ِبغَي ِر ِعلم
“Siapa yang lebih zhalim daripada orang yang membuat
kedustaan atas nama Allah Subhānahu wa Ta’āla.”
Allah menghalalkan, kemudian dia mengatakan haram
diantara manusia.
Allah mengatakan ini disunnahkan, kemudian dia
mengatakan ini adalah sesuatu yang tidak disunnahkan.
ِلّيُ ِض َّل ٱل ّنَا َس ِبغَي ِر ِعلم
“Untuk menyesatkan manusia tanpa dasar ilmu.”
Oleh karena itu hendaklah seorang muslim dan juga
muslimah waspada di dalam masalah ini.
Ilmu yang akan kita ambil adalah agama kita. Oleh karena
itu kita melihat dari siapa kita mengambil agama ini,
sebagaimana ucapan sebagian salaf.
فَانظُ ُروا عَ َّمن تَأ ُخذُو َن ِدينَ ُكم، ِإ َّن هَ َذا ال ِعل َم ِدين
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka hendaklah
kalian melihat dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Seseorang ketika ingin mencari pengetahuan-
pengetahuan dunia maka dia akan melihat dari siapa dia
mengambil pengetahuan tersebut.
Seseorang ingin mahir dalam komputer, maka dia akan
mencari orang yang mahir (yang benar-benar paham)
yang dikenal tentang ilmunya di dalam masalah
komputer.
Maka bagaimana dengan ilmu agama yang berkaitan
dengan kebahagiaan kita di dunia maupun di akhirat.
Kemudian beliau mengatakan,
َٰيبَ ِن ٓي ِإ ۡس ٰ َٓر ِءي َل: البَ َق َرةِ ِمن قَو ِله ٱ ۡذ َكُوقَُردوابَيَّ ِن َۡنع َمالتِلهُ َيتَٱلََّع ِات َل ٓيىأَ ۡن َه َعذَۡام ا ُْتلَعَلَصۡي َلكُ ۡم ِف ِإ َلي أَى َّوقَ ِلو ِل ِهسُوَقب َر َلِة
َيا: { ِذك ِر إِب َرا ِهي َم عَلَي ِه السَّ َلا ُم
الآية. … َبنِي ِإس َرائِي َل
Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan
perkara ini di dalam awal surat Al Baqarah, yaitu dari
firman Allah,
َٰيبَ ِن ٓي ِإ ۡس ٰ َٓر ِءي َل ٱ ۡذ ُك ُروا ِن ۡع َمتِ َي ٱ َّل ِت ٓي أَ ۡن َع ۡم ُت َعلَ ۡيكُ ۡم
Sampai firman Allah Subhānahu wa Ta’āla sebelum
menyebutkan Ibrahim alayhissallām ٰيَ َبنِ ٓي إِ ۡس ٰ َٓر ِءي َل
Beliau rahimahullah ingin menjelaskan kepada kita
tentang makna ilmu dengan mengambil dalil dari awal
surat Al Baqarah, yaitu ketika Allah Subhānahu wa Ta’āla
menceritakan tentang Bani Israil, yang telah diturunkan
kepada mereka Al Kitab, yaitu kitab Taurat dan telah
diutus kepada mereka para Rasul.
Jadi mereka adalah orang-orang yang berilmu, oleh
karena itu dinamakan dengan ahlul kitab, diturunkan
kepada mereka Al Kitab, Al Munazzal. Akan tetapi
ternyata Bani Israil, mereka tidak mengamalkan apa yang
mereka ilmui.
Mengenal Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam akan
tetapi tidak beriman dengan Beliau.
يَع ِرفُو َن ُه كَ َما َيع ِرفُو َن أَبنَا َء ُهم
“Mereka mengenal Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa
sallam sebagaimana mereka mengenal anak-anak
mereka.”
Mengenal anaknya, kapan lahirnya, bagaimana sifatnya,
namun mereka tidak beriman dengan Rasulullah
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Mengenal bahwasanya Muhammad adalah Nabi yang
hak yang dikabarkan di dalam kitab mereka, akan tetapi
tidak mengikuti Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
َولَ َّما َجآ َءهُم ِكتَ ٰـب ِّمن ِعن ِد ٱل َِّ ِل ُم َص ِّدق ِلّ َما َم َع ُهم َوكَا ُنوا ِمن َقب ُل َيستَف ِت ُحو َن عَ َلى
ٱلَّ ِذي َن َكفَ ُروا َفلَ َّما َجآ َء ُهم َّما عَ َر ُفوا َك َف ُروا بِ ِهۦ ۚ َفلَعنَ ُة ٱل َِّلِ َع َلى ٱل َك ٰـ ِف ِري َن
“Dan ketika datang kepada mereka (orang-orang Bani
Israil) ( ِكتَ ٰـب ِّمن ِعن ِد ٱل َِّلِ ُم َص ِّدق ِّل َما َمعَ ُهمsebuah kitab dari sisi
Allah Subhānahu wa Ta’āla yang membenarkan apa yang
ada pada mereka) setelah datang Al Qur’an yang dibawa
oleh Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang isinya
adalah membenarkan apa yang ada di dalam kitab
mereka.”
َوكَا ُنوا ِمن قَب ُل َيستَفتِ ُحو َن َعلَى ٱلَّ ِذي َن كَ َف ُروا
“Dan sebelumnya orang-orang Yahudi, orang-orang Bani
Israil, mereka mengancam orang-orang kafir dari
musyrikin, yaitu orang-orang musyrikin yang ada di kota
Madinah ini.”
Orang-orang Yahudi dahulu tinggal di sini, di kota
Madinah, berdampingan dengan orang-orang musyrikin
sebelum mereka masuk Islam.
Orang-orang Yahudi sering mengancam dan mengatakan
kepada orang-orang musyrikin, sebentar lagi akan datang
seorang nabi dan kami akan memerangi kalian bersama
nabi tersebut.
Kami akan beriman dengan nabi tersebut dan kami akan
memerangi kalian bersama nabi tersebut.
Tetapi ketika datang apa yang mereka ketahui, datang
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersama Beliau Al
Qur’an, tiba-tiba mereka kufur dan mengingkari
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Mengatakan bahwasanya Beliau adalah seorang
pendusta.
Mengatakan bahwasanya dia adalah bukan nabi yang
dimaksud, karena kesombongan mereka.
Padahal mereka sangat tahu bahwasanya itu adalah
seorang nabi dan itu adalah nabi yang dimaksud di dalam
kitab mereka.
Bahkan sebagian mereka mengutus seseorang ke kota
Mekkah saat itu untuk menanyakan kepada Beliau
shallallāhu ‘alayhi wa sallam tiga perkara, dimana tiga
perkara ini tidak mungkin menjawabnya kecuali seorang
nabi.
Ditanyakan kepada beliau tentang:
1. Ashabul kahfi
2. Dzulqarnain
Setelah Allah Subhānahu wa Ta’āla menurunkan surat Al
Kahfi, Beliau bisa menjawab itu semua.
Tidak mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut,
kecuali seorang nabi yang diutus oleh Allah Subhānahu
wa Ta’āla.
Mereka tahu bahwasanya itu adalah seorang nabi atau
nabi yang diutus dan yang dimaksud olah Allah
Subhānahu wa Ta’āla di dalam kitab mereka.
Tapi mereka mengingkari dan kufur karena
kesombongan.
Allah Subhānahu wa Ta’āla mengatakan,
ٰيَبَنِ ٓي ِإ ۡس ٰ َٓر ِءي َل ٱ ۡذكُ ُروا ِن ۡع َمتِ َي ٱلَّ ِت ٓي أَ ۡنعَ ۡم ُت َع َل ۡيكُ ۡم
“Wahai Bani Israil hendaklah kalian mengingat
kenikmatanku yang telah aku berikan kepada kalian.”
(QS. Al Baqarah: 40)
Kalian telah diberikan kitab, diutus kepada kalian Rasul,
dan disebutkan di dalam ayat-ayat selanjutnya
bagaimana kenikmatan yang Allah berikan kepada Bani
Israil.
Dahulu mereka dalam cengkraman Fir’aun kemudian
diutus Musa ‘alaihissalam dan diselamatkan dari Fir’aun,
dan mereka melihat bagaimana Fir’aun ditenggelamkan
oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Kemudian diberikan mereka Al Ardhu Al Muqaddasah
(tanah yang suci) dan mereka diperintahkan untuk masuk
ke dalamnya, dan kenikmatan-kenikmatan yang lain yang
banyak, yang Allah berikan kepada Bani Israil.
Supaya apa? Ketika mereka mengingat kenikmatan
tersebut mereka mau beriman dengan Rasulullah
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Cara bersyukurnya adalah dengan cara beriman dengan
Rasul yang terakhir yang Allah utus kepada mereka.
Sampai firman Allah,
قَب َل ِذك ِر ِإب َرا ِهي َم
Yaitu sebelum ayat,
َو ِإ ِذ ٱبتَ َل ٰٓى ِإب ٰ َر ِه ۧـ َم َر ُّب ُهۥ ِبكَ ِل َم ٰـت َفأَتَ َّم ُه َّن
َي ٰـبَنِ ٓى إِس ٰ َٓر ِءي َل ٱذكُ ُروا ِنع َم ِت َى ٱ َلّتِ ٓى أَن َعم ُت َع َلي ُكم َوأَ ِنّى فَ َّضلتُ ُكم َع َلى ٱل َع ٰـلَ ِمي َن
“Wahai Bani Israil, ingatlah kenikmatan yang telah aku
berikan kepada kalian dan sesungguhnya aku telah
memuliakan kalian di atas alam ini (di atas manusia yang
lain).” (QS. Al Baqarah: 47)
Allah Subhānahu wa Ta’āla mengingatkan Bani Israil
tentang kenikmatan-kenikmatan yang Allah berikan
kepada mereka dengan harapan mereka mau beriman
dan bersyukur dan mengikuti Rasulullah shallallāhu
‘alayhi wa sallam.
الله تعالى أعلم
Itulah yang bisa kita sampaikan
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 17 | Penjelasan Pokok Ke Empat Bagian 4
January 26, 2021Ummu Syifa
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
Halaqah yang ke tujuh belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah
Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.
Kemudian beliau mengatakan,
َو َي ِزي ُدهُ ُو ُضو ًحا َما َص َّر َحت ِب ِه السُّ َّن ُة فِي َهذَا ال َك َلا ِم الكَ ِثي ِر البَ ِّي ِن ال َوا ِض ِح
ِلل َعا ِّم ّيِ البَ ِلي ِد
Dan perkara ini menjadi jelas (yaitu tentang masalah
makna ilmu dan siapa ulama).
Menjadi jelas dengan apa yang datang di dalam hadits-
hadits Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang
dipahami oleh seorang yang bodoh sekalipun.
ثُ َّم َصا َر َهذَا أَغ َر َب اْلَش َيا ِء َو َصا َر ال ِعل ُم َوال ِفق ُه هُ َو البِ َدعُ َوال َّض َلالَا ِت
“Kemudian setelah itu jadilah ini perkara yang aneh.”
Seseorang apabila ceramah atau berbicara hanya
berdasarkan Al Qur’an dan hadits, maka ini dianggap
sesuatu yang aneh dan bahwasanya ini adalah tidak
lumrah (berbicara hanya berdasarkan Al Qur’an dan juga
hadits-hadits Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam).
“Kemudian jadilah yang dinamakan dengan ilmu adalah
bid’ah dan juga kesesatan.”
Inilah yang dimaksud dengan ilmu menurut sebagian
manusia, apabila seseorang memiliki kemahiran di dalam
bid’ah, pengetahuan yang banyak tentang bid’ah-bid’ah,
amalan-amalan yang tidak berdasarkan Al Qur’an dan
hadits, maka dia dikatakan sebagai orang yang memiliki
ilmu. Demikian pula kesesatan-kesesatan, ini dianggap
sebagai ilmu agama.
Kemudian beliau mengatakan,
َو ِخ َيا ُر َما ِعن َد ُهم لَب ُس ال َح ِّق بِالبَا ِط ِل
“Dan apa yang terbaik di dalam mereka adalah
mencampuri (membolak balik) kebenaran dengan
kebathilan.”
َو َصا َر ال ِعل ُم ال ِذي َف َر َض ُه اللهُ تَعَالَى َع َلى ال َخل ِق َو َم َد َح ُه لَا يَتَفَ َّو ُه بِ ِه أَِإلَّوا َم ِزجن ُنِديوقن
Kemudian menurut sebagian manusia bahwasanya ilmu
yang tadi kita sebutkan yang telah diwajibkan oleh Allah
atas makhluk-makhluknya dan telah Allah puji, mereka
mengatakan, “Tidak menyampaikan ilmu ini kecuali zindiq
atau seorang yang majnun (seorang pendusta atau orang
yang gila).”
Dianggapnya orang yang ketika menyampaikan hanya قال
الله قال الرسول, dianggapnya ini adalah seorang yang zindiq
atau seorang yang majnun (orang yang tidak waras).
َو َصا َر َمن أَن َك َرهُ َو َعا َداهُ َو َص ّنَ َف ِفي التَّح ِذي ِر ِمنهُ َوال َّنهيِ عَن ُه ُه َو الفَ ِقيهُ ال َعا ِل ُم
“Dan jadilah orang yang mengingkari cara seperti ini, dan
memusuhi cara seperti ini, bahkan mengarang karangan-
karangan yang isinya adalah mengingatkan manusia dari
menuntut ilmu dengan cara seperti ini dan melarang
darinya disebut sebagai seorang yang faqih, sebagai
seorang yang ‘alim.”
Yaitu orang-orang yang mengingatkan manusia dari
ceramah-ceramah yang isinya adalah apa yang datang
dari Allah dan Rasul-Nya, dengan pemahaman para
sahabat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum.
Dan ini semua termasuk talbis iblis, yaitu supaya manusia
jauh dari para ulama, jauh dari Al Qur’an, jauh dari hadits,
jauh dari pemahaman para sahabat radhiyallāhu ‘anhum.
Dan supaya mereka dekat dengan imam-imam kesesatan,
dekat dengan ulama su’, ulama-ulama yang tidak benar,
yang tidak baik. Itulah yang ingin disampaikan oleh
pengarang pada perkara yang ke empat ini.
Semoga apa yang kita sampaikan bisa dipahami dan juga
bermanfaat dalam kehidupan kita sehari-hari.
الله تعالى أعلم
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 18 | Penjelasan Pokok Ke Lima Bagian 1
January 27, 2021Ummu Syifa
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
Halaqah yang ke delapan belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah
Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.
Beliau rahimahullah mengatakan,
اَْلَص ُل ال َخا ِم ُس:
ِبَ َيا ُن اللهِ ُسب َحانَهُ ِْلَو ِليَا ِء اللهِ َوتَف ِريقُهُ َبينَ ُهم َو َبي َن ال ُمتَشَ ِبّ ِهي َن بِ ِهم ِمن أَع َدا ِء الله
ال ُمنَافِ ِقي َن َوال ُف َّجا ِر
Perkara yang penting yang ke lima:
Penjelasan dari Allah Subhānahu wa Ta’āla tentang wali-
wali Allah dan pembedaan Allah antara wali-wali Allah
dengan orang-orang yang menyerupai mereka dari
musuh-musuh Allah baik dari kalangan orang-orang
munafik maupun dari orang-orang yang fajir.
Ini adalah perkara yang ke lima yang sangat penting yang
hendaknya diketahui oleh seorang muslim.
Yaitu tentang penjelasan Allah tentang siapa wali-wali
Allah Subhānahu wa Ta’āla dan apa perbedaan antara
wali-wali Allah dengan wali-wali syaithan yang mereka
menyerupai atau berusaha untuk serupa dengan wali-
wali Allah baik dari kalangan orang-orang munafik
maupun orang-orang yang fajir.
Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla di dalam Al Qur’an
demikian pula di dalam sunnah Nabi-Nya telah
menjelaskan sifat-sifat wali-wali Allah.
Yang barangsiapa bersifat atau memiliki sifat tersebut
maka dia termasuk wali Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Adapun yang tidak memiliki sifat tersebut dan
bertentangan dengan sifat tersebut maka dia bukan
termasuk wali Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Telah dijelaskan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla di dalam
Al Qur’an dan telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallāhu
‘alayhi wa sallam di dalam hadits-hadits yang shahih.
Namun ternyata masih banyak di kalangan kaum
muslimin yang samar baginya perkara ini, sehingga tidak
bisa membedakan antara wali Allah dengan wali syaithan.
Terkadang wali Allah mereka anggap sebagai wali
syaithan dan sebaliknya wali syaithan dianggap sebagai
wali Allah.
Sebagian berkeyakinan bahwasanya wali Allah harus
memiliki kemampuan yang luar biasa, memiliki kesaktian,
memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh manusia
yang lain, bisa menghilang, bisa terbang, bisa berjalan di
atas air, bisa bergerak dengan cepat dari satu tempat ke
tempat yang lain, kebal dari senjata tajam.
Dan sebagian meyakini bahwasanya wali Allah, mereka
harus berasal dari keturunan tertentu.
Dan sebagian meyakini bahwasanya yang dinamakan
dengan wali Allah harus memiliki pakaian tertentu, yang
berbeda pakaian tersebut dari yang lain.
Dan sebagian mempercayai bahwasanya yang dinamakan
dengan wali adalah orang yang tidak berkewajiban untuk
melakukan syari’at, tidak perlu shalat, tidak perlu puasa,
tidak perlu berhaji.
Dan sebagian meyakini bahwasanya seorang wali berarti
dia boleh untuk melakukan segala perkara yang dilarang.
Boleh berzina, boleh minum khamr, boleh berdusta.
Ini adalah keyakinan sebagian saudara kita, yang
dinamakan dengan wali adalah demikian. Atau
berkeyakinan bahwasanya seorang wali adalah seseorang
yang kuburannya dibangun di atasnya bangunan, dibuat
kubah yang besar, dibuat rumah, dikunjungi oleh orang
banyak, maka ini dinamakan dengan wali diantara wali-
wali Allah.
Demikianlah kenyataannya ukuran manusia di dalam
menilai wali. Padahal Allah Subhānahu wa Ta’āla di dalam
Al Qur’an, demikian pula Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam telah menyebutkan sifat-sifat wali Allah
Subhānahu wa Ta’āla.
Oleh karena itu di sini pengarang menyebutkan beberapa
ayat Al Qur’an yang berisi tentang sifat-sifat wali Allah
Subhānahu wa Ta’āla.
Beliau mengatakan,
﴿قُل إِن كُنتُم: آيَة في ُسو َرةِ آ ِل ِعمرا َن؛ َو ِه َي قَولُ ُه تَعالَى: َو َيك ِفي في هَذا
]31: تُ ِح ُّبو َن الل َه َفاتَّبِعُونِي يُحبِب ُك ُم الل ُه﴾ [آل عمران،
Dan cukup di dalam masalah ini, sebuah ayat di dalam
surat Ali Imran yaitu firman Allah Subhānahu wa Ta’āla
yang artinya,
“Katakanlah kalau kalian benar-benar mencintai Allah,
maka hendaklah kalian mengikuti aku, niscaya Allah
Subhānahu wa Ta’āla akan mencintai kalian.” (QS Ali
Imran: 31)
Tanda bahwasanya seseorang mencintai Allah adalah
mencintai Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan
mengikuti Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Orang yang mencintai Allah, maka dia akan
mengucapkan, akan mengamalkan apa yang dicintai oleh
Allah Subhānahu wa Ta’āla. Kalau kita mengaku
mencintai Allah, maka kita tidak akan melakukan
perbuatan, tidak akan mengucapkan ucapan yang akan
membuat marah Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Karena kita mengaku mencintai Allah Subhānahu wa
Ta’āla, kita sebagai seorang makhluk apabila mencintai
makhluk yang lain tentunya kita tidak ingin keluar dari
diri kita ucapan atau perbuatan yang akan membuat
marah makhluk tersebut.
Demikian pula seorang muslim yang mengaku mencintai
Allah Subhānahu wa Ta’āla. Dia ingin mengucapkan
segala ucapan yang dicintai oleh Allah Subhānahu wa
Ta’āla supaya Allah ridho dengannya dan dia ingin
mengamalkan segala amalan yang dicintai dan diridhoi
oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla sehingga dia
mendapatkan kecintaaan dari Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Dari mana kita tahu bahwasanya ucapan dicintai oleh
Allah dan bahwasanya perbuatan dicintai oleh Allah
Subhānahu wa Ta’āla?
Tidak ada jalan untuk mengetahui bahwasanya ucapan
atau perbuatan dicintai oleh Allah kecuali dengan melihat
bagaimana Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Kalau kita ingin mencari ucapan yang dicintai oleh Allah,
akhlak yang dicintai Allah, ibadah yang dicintai oleh Allah,
maka kita melihat bagaimana Rasulullah shallallāhu
‘alayhi wa sallam berucap, beramal, beribadah.
Maka kita akan dapatkan di sana berbagai ucapan yang
dicintai oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla, berbagai ibadah,
dan amalan yang dicintai oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Mengikuti syari’at-ku yang isinya tentang akidah, tentang
akhlak, tentang ibadah. Janganlah menyelisihi aku karena
yang dibawa oleh Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam
semuanya dicintai oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Untuk mendapatkan kecintaan Allah Subhānahu wa
Ta’āla caranya adalah dengan mengikuti Rasulullah
shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
ۚ َويَغ ِفر لَكُم ُذنُوبَ ُكم
“Dan Allah akan mengampuni dosa kalian.”
Ini adalah balasan, ganjaran, dan juga pahala bagi orang
yang mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Ini adalah salah satu diantara ciri-ciri wali-wali Allah
Subhānahu wa Ta’āla, bahwasanya dia mengikuti
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Mengikuti Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam di dalam
akidahnya, di dalam tauhidnya, di dalam dakwahnya, di
dalam ibadahnya, di dalam akhlaknya, di dalam
muamalahnya.
Adapun orang yang tidak mengikuti sunnah Beliau,
beramal dengan amalan yang diada-adakan, mengajak
kepada kesyirikan, beribadah dengan ibadah yang tidak
pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa
sallam maka yang demikian tidak dinamakan dengan wali
Allah.
الله تعالى أعلم
Sampai bertemu kembali pada kesempatan yang akan
datang.
والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 19 | Penjelasan Pokok Ke Lima Bagian 2
January 28, 2021Ummu Syifa
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
Halaqah yang ke sembilan belas dari Silsilah ‘Ilmiyyah
Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.
Kemudian beliau mengatakan,
َيا أَ ُّي َها ا َّل ِذي َن آ َم ُنوا َمن يَرتَ َّد ِمنكُم،َوآ َية فِي سورة المائدة َو ِه َي قَو ُل ُه تَعالَى
َُعن ِدي ِن ِه َفسَو َف يَأتِي الّلُ بِقَوم يُ ِح ُّب ُهم َو ُي ِحبُّو َنه
Dan satu ayat di dalam surat Al Maidah, yaitu firman
Allah Subhānahu wa Ta’āla yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman barangsiapa diantara
kalian yang murtad dari agamanya, maka Allah
Subhānahu wa Ta’āla akan mendatangkan sebuah kaum
yang dicintai oleh Allah dan mereka juga mencintai
Allah.”
Dan ayat selanjutnya,
أَ ِذلَّة عَ َلى ٱل ُمؤ ِمنِي َن أَ ِع َّزة عَلَى ٱلكَ ٰـ ِف ِري َن يُ َج ٰـ ِه ُدو َن ِفى َس ِبي ِل ٱل َِّلِ َولَا يَ َخافُو َن
لَو َمةَ لَآئِم
“Yang mereka merendahkan diri mereka di hadapan
orang-orang yang beriman, yang mereka memiliki izzah
(memiliki wibawa) di atas orang-orang yang kafir, mereka
berjihad di jalan Allah dan mereka tidak takut dengan
celaan orang-orang yang mencela.”
Ini ada di dalam surat Al Maidah (ayat 54).
Dan disebutkan di dalam ayat yang mulia ini beberapa
sifat yang dimiliki oleh wali-wali Allah:
1. Mereka dicintai oleh Allah dan mereka pun mencintai
Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Kenapa dicintai oleh Allah?
Karena mereka mengikuti Rasulullah shallallāhu ‘alayhi
wa sallam.
Mengikuti Beliau dengan sebaik-baiknya, baik dalam
aqidahnya, dalam ibadahnya, dalam akhlaknya, dan
mereka juga mencintai Allah Subhānahu wa Ta’āla, lebih
dari cintanya kepada hartanya, kepada jabatannya,
daripada keluarganya, mencintai Allah lebih dari segala-
galanya.
2. Mereka merendahkan dirinya terhadap orang-orang
yang beriman, mencintai orang-orang yang beriman, yang
mereka adalah saudaranya.
ِإنَّ َما ال ُمؤ ِمنُو َن ِإخ َوة
“Sesungguhnya orang-orang beriman adalah saudara.”
المسلم أخو المسلم
“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain.”
Mereka merendahkan dirinya di hadapan orang-orang
beriman, tidak menyombongkan dirinya.
Inilah diantara sifat wali-wali Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Adapun bersama orang-orang kafir maka mereka
memiliki izzah (memiliki wibawa), membenci orang-orang
kafir tersebut.
3. Mereka adalah orang-orang yang berjihad di jalan
Allah Subhānahu wa Ta’āla dalam rangka meninggikan
kalimat Allah.
4. Dan mereka tidak takut celaan orang-orang yang
mencela.
Ketika mereka beramar ma’ruf nahi munkar, menegakkan
agama Allah, tentunya di sana ada orang yang tidak
senang. Namun seorang wali Allah Subhānahu wa Ta’āla
mereka tidak takut dengan celaan orang-orang yang
mencela tersebut.
Inilah diantara sifat-sifat wali-wali Allah Subhānahu wa
Ta’āla.
Kemudian yang ke tiga,
َوآيَة فِي ُيو ُن َس َوهي قولُهُ تعالى َولَا عَلَي ِهم َخوف َلا الّ ِل أَو ِليَا َء إِ َّن أَلَا
{ال ِذي َن آ َمنُوا َوكَانُوا. هُم يَح َزنُو َن
} َيتَّ ُقو َن
Dan satu ayat di dalam surat Yunus (ayat 62-63), yaitu
firman Allah Subhānahu wa Ta’āla yang artinya:
“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah,mereka tidak
takut dan mereka tidak bersedih. Mereka adalah orang-
orang yang beriman dan mereka adalah orang-orang
yang bertakwa.”
Jelas di dalam ayat ini, Allah menyebutkan kepada kita
tentang sifat wali-wali Allah Subhānahu wa Ta’āla.
Sesungguhnya wali-wali Allah, mereka tidak takut, yaitu
tentang apa yang akan mereka hadapi di masa yang akan
datang ketika hari kiamat.
Karena Allah Subhānahu wa Ta’āla akan memberikan
keamanan kepada mereka, memberikan rasa tenang,
memberikan rasa aman, di masa ketika manusia yang lain
dalam keadaan takut.
ٱلَّ ِذي َن َءا َم ُنوا َولَم َيل ِبسُ ٓوا ِإي َم ٰـ َن ُهم بِ ُظلم أُو َل ٰـٓئِ َك َل ُه ُم ٱْلَم ُن َوهُم ُّمهتَدُو َن
“Orang yang beriman dan tidak mencampuri
keimanannya dengan kedholiman (yaitu dengan
kesyirikan), maka merekalah yang akan mendapatkan
keamanan.” (QS. Al An’am: 82)
Karena di dunianya mereka menunaikan hak-hak Allah
Subhānahu wa Ta’āla.
َولَا ُهم يَح َزنُو َن
“Dan mereka tidak akan bersedih (dengan apa yang
sudah mereka tinggalkan dari dunia dan seisinya).”
Dan mereka yakin bahwasanya apa yang akan mereka
dapatkan di sisi Allah adalah lebih baik daripada dunia
dan seisinya.
Siapa mereka?
Allah mengatakan,
Mereka wali-wali Allah. Mereka adalah orang yang
beriman dan mereka adalah orang-orang yang bertakwa.
Apabila Allah Subhānahu wa Ta’āla menyebutkan di
dalam sebuah ayat dua kalimat ini (yaitu iman dan
taqwa), maka iman dan taqwa ini memiliki makna yang
berbeda.
• Iman adalah menjalankan perintah.
• Taqwa adalah menjauhi larangan.
Menjalankan perintah, dan perintah Allah Subhānahu wa
Ta’āla sangat banyak. Dan perintah yang paling besar
adalah perintah untuk bertauhid (meng-Esa-kan Allah
Subhānahu wa Ta’āla) yang dengan sebab inilah diutus
para Rasul, diturunkan kitab-kitab, bahkan tidak
diciptakan jin dan juga manusia kecuali untuk
menunaikan, mewujudkan, mentauhidkan Allah
Subhānahu wa Ta’āla.
َو َما َخلَق ُت ٱل ِج َّن َوٱل ِإن َس ِإلَّا ِل َيعبُدُو ِن
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan juga manusia kecuali
untuk beribadah kepadaku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Dan perintah pertama yang ada di dalam Al Qur’an yang
Allah sebutkan adalah perintah untuk bertauhid (meng-
Esa-kan Allah Subhānahu wa Ta’āla) di dalam ibadah.
يَ ٰـٓأَيُّ َها ٱل َّنا ُس ٱع ُبدُوا َر َّب ُك ُم ٱ َلّ ِذى َخ َل َقكُم َوٱ َّل ِذي َن ِمن قَب ِلكُم َل َع ّلَ ُكم تَتَّ ُقو َن
“Wahai manusia hendaklah kalian beribadah kepada
Rabb kalian.” (QS. Al Baqarah: 21)
Siapa Rabb kalian?
ٱلَّ ِذى َخ َل َقكُم َوٱلَّ ِذي َن ِمن َقب ِلكُم َل َعلَّ ُكم تَتَّ ُقو َن
“Dia adalah yang menciptakan kalian dan menciptakan
orang-orang sebelum kalian supaya kalian bertakwa.”
Ini adalah perintah pertama yang Allah sebutkan, adalah
perintah untuk bertauhid.
Sebelum menyebutkan perintah-perintah yang lain,
seorang wali Allah Subhānahu wa Ta’āla adalah orang
yang bertauhid, meng-Esa-kan Allah, mengajak manusia
untuk beribadah hanya kepada Allah, bukan beribadah
kepada dirinya dan tidak mengajak manusia untuk
menyembah kepada selain Allah, memuja selain Allah,
mengagungkan selain Allah. Inilah seorang wali Allah
Subhānahu wa Ta’āla.
Dan yang dimaksud dengan At-Taqwa adalah
meninggalkan larangan. Dan larangan yang paling besar
adalah larangan untuk melakukan kesyirikan kepada
Allah Subhānahu wa Ta’āla.
ِإ َّن ٱل ِشّر َك لَ ُظلم عَ ِظيم
“Sesungguhnya kesyirikan adalah kedholiman yang
sangat besar.” (QS. Luqman: 13)
Ditanya Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam oleh
seorang sahabat,
أَ ُّي ال َّذن ِب أَعظَ ُم ِعن َد الله؟
“Ya Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah
Subhānahu wa Ta’āla?”
Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan,
َو ُه َو َخلَ َق َك،أَن تَج َع َل ِلِ ِل نِدا
“Engkau menjadikan sekutu bagi Allah, padahal Allah
Subhānahu wa Ta’āla yang telah menciptakan dirimu.”
Allah yang menciptakan kamu, kemudian engkau
menyembah kepada selain Allah, menyerahkan ibadah
kepada selain Allah Subhānahu wa Ta’āla atau sebagian
ibadah kepada selain Allah.
Seorang yang menjadi wali Allah adalah orang yang
meninggalkan kesyirikan.
الله تعالى أعلم
Sampai bertemu kembali pada kesempatan yang akan
datang.
والسلام عليكم ورحمة الّل وبركاته
HSI Silsilah Pembahasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah –
Halaqah 20 | Penjelasan Pokok Ke Lima Bagian 3
January 29, 2021Ummu Syifa
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه
Halaqah yang ke dua puluh dari Silsilah ‘Ilmiyyah
Penjelasan Kitab Al-Ushulu As-Sittah yang dikarang oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi
rahimahullah.
Kemudian beliau mengatakan,
ِامل ُّنر ُسهُ َدلا ِة َوا َلم َخنلتَ ِقِب َع َوُهمُح ّفَ َفا َلي ِظ َاسل َِّشمنر ُهمِع َوأَ ّنَ ُه ال ِعل َم اْلَم ُر ِعن َد أَكثَ ِر َمن يَ َّد ِعي َصا َر ثُ َّم ،
ِا ِتّبَاع تَر ِك أَ َّن اْلَو ِليَا َء لَا ُب َّد ِفي ِهم ِمن ِإ َلى
Kemudian setelah itu kata beliau,
“Menurut sebagian besar orang yang mengaku berilmu
dan bahwasanya dia adalah termasuk da’i, seorang juru
dakwah, dan penjaga syari’at, menurut mereka
bahwasanya wali-wali, dia harus meninggalkan mengikuti
para Rasul alayhimussallām.”
َو َمن تَبِعَ ُهم َفلَي َس ِمن ُهم
“Barangsiapa yang mengikuti Rasul, maka dia bukan
termasuk wali.”
Jadi dibalik, artinya amalannya harus tidak sesuai dengan
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Maka inilah yang
dinamakan wali menurut mereka.
Berkebalikan dengan apa yang difirmankan oleh Allah
Subhānahu wa Ta’āla,
ُُقل إِن ُكنتُم تُ ِح ّبُو َن ٱل َِّ َل فَٱتَّبِعُو ِنى يُحبِب ُك ُم ٱل َِّل
“Kalau kalian benar-benar mencintai Allah maka
hendaklah kalian mengikuti aku.” (QS. Ali Imran: 31)
Seorang wali adalah orang yang mengikuti Rasulullah
shallallāhu ‘alayhi wa sallam, namun sebagian orang
membalik dan mengatakan bahwasanya seorang wali
adalah orang yang tidak shalat, orang yang tidak zakat,
orang yang tidak puasa, artinya yang tidak mengikuti
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Inilah yang dinamakan wali karena dia sudah sampai
hakikat, derajat yang paling tinggi, sehingga dia tidak
perlu mengikuti syari’at ini.
Wali dianggap adalah orang yang tidak mengikuti syari’at
Rasulullah shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ini menurut
sebagian manusia, bertentangan dengan apa yang Allah
kabarkan di dalam Al Qur’an.
فَ َمن جا َه َد فَلَي َس ِمن ُهم،َولا ُب َّد ِمن تَر ِك ال ِجها ِد
Dan menurut sebagian orang, yang namanya wali adalah
orang yang meninggalkan jihad.
Adapun orang yang berjihad fii sabilillah maka dia bukan
termasuk wali.
Padahal diantara sifat wali-wali Allah, ِيُ َج ٰـ ِه ُدو َن فِى سَبِي ِل ٱل َِّل
mereka berjihad fii sabilillah.
فَ َمن تَ َع َّه َد بِالإيما ِن َوالتَّقوى َف َلي َس ِمن ُهم،َولا ُب َّد ِمن تَر ِك ال ِإيما ِن َوالتَّق َوى
Kemudian kata mereka, orang yang dinamakan wali
adalah orang yang meninggalkan iman dan taqwa. Maka
barangsiapa yang beriman dan bertaqwa maka dia bukan
termasuk wali.
Ini adalah keyakinan sebagian manusia, yang dinamakan
wali adalah orang yang tidak beriman dan tidak
bertaqwa.
Berkebalikan dengan apa yang Allah sebutkan di dalam
ayat,