The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by PERPUSTAKAAN DPW MATRA SULSEL, 2020-12-16 11:40:33

SIPAKATAU, SIPAKALEBBI,SIPAKAINGE

DPW MATRA SULSEL

Keywords: Buku Budaya

Muh.Rizani.Sjamsu Alam
1

DAFTAR ISI

Kata pengantar…………….
BAB I
Sipakatau……………………………………….
I. Nilai nilai (SULAPA EPPA) dalam budaya u(SIPAKATAU)…………

1. (Lempu) Jujur………………
2. (Acca) “Cerdas……………..
3. (Warani) Berani……………
4. Getteng (Tegas)………………

II. Nilai nilai (PAPPASENG) dalam budaya u (SIPAKATAU)

BAB II

I. SIPAKALEBBI (Saling memuliakan)………………

a. “Najagai ada adanna” ( Senantiasa menjaga tutur katanya)
b. Naisengngi alena ( Tahu diri)
c. Naitai alena ( Lihat diri )
d. Mappogau angka sitinajae ( Berbuat berdasarkan kepatutan)
e. De’natunai asekkekeng, Tenna buruki alaboang (Tidak dihinakan oleh kepelitan,Tidak

bangkrut karena boros.
f. Najagai Siri’na (Selalu menjaga kehormatan dan martabat diri)
II. MANIFESTASI ‘SIRI’ DALAM ADAB SIPAKALEBBI……………
III. MANIFESTASI ‘PESSE’ DALAM ADAB SIPAKALEBBI

BAB III
SIPAKAINGE
Sipakainge ( Khilaf saling meng-ingat-kan,). …………………………
1. SIPAKAINGE ADALAH SEBUAH BENTUK NASEHAT…………………..

2

2. NILAI NILAI SIPAKAINGE YANG BERKAITAN DENGAN ACCA (CERDAS)……
3. NILAI – NILAI SIPAKAINGE YANG BERKAITAN DENGAN GETTENG (TEGAS)
4. NILAI – NILAI SIPAKAINGE YANG BERKAITAN DENGAN WARANI (BERANI)
5. Nilai-nilai Sipakainge yang berkaitan dengan etos Kerja
6. Nilai-nilai Sipakainge yang Berkaitan dengan Kegotongroyongan
7. Nilai-nilai yang berkaitan dengan keteguhan hati

3

KATA PENGANTAR

Setiap kali berbicara tentang kebudayaan, setiap kali pula kita merasa berhadapan dengan
sebentang peradaban yang dirumuskan dengan rapih. Dalam kaitan ini beberapa rumusan
tentang filsafah hidup dan kehidupan yang berlaku pada peradaban suku Bugis Makassar,
yang merupakan simbol dan petunjuk tentang bagaimana para warga masyarakat etnis Bugis
Makassar melihat, merasa, dan berpikir tentang dunia kehidupan mereka, dan bertindak yang
dilandasi dengan nilai-nilai “Siri” dan “Pesse”

Dalam budaya Bugis Makassar, dikenal adanya filsafah dalam kehidupan, baik interaksi secara
individual maupun bermasyarakat, dan berbangsa yang disebut “SIPAKATAU, SIPAKALEBBI,
dan SIPAKAINGE” yang merupakan implementasi dari prinsip hidup Bugis Makassar yang
disebut nilai ‘Siri” dan “Pesse” Sebagaimana diketahui bahwa dewasa ini, kita telah dihadapkan
pada era globalisasi dan informasi. Menyebabkan kehidupan saat ini, se-olah olah tanpa sekat
(World boardless), Sehingga hal ini berdampak pada budaya, yang bisa saja terggerus dan
punah apabila, tidak kembali memegang teguh budaya tersebut, dari kekuatan hegemoni
budaya luar yang terus menerus menerjang, sendi sendi kehidupan budaya yang diwariskan
oleh para leluhur. Dalam berbagai fenomena kehidupan moral, yang dialami saat ini, dimana
hampir setiap hari kita disajikan oleh media cetak maupun media electronic, berbagai macam
peristiwa seperti peperangan, Kekerasan Sex, Trafucking, Narkotika, dan pelanggaran Hak Asasi
Manusia, dan berbagai motif lainnya. Semuanya itu semakin menambah daftar panjang
bukti-bukti bobroknya akhlak sebagian manusia saat ini. Walaupun patut diakui bahwa, faktor
kemiskinan, kebodohan, pengangguran, ketertinggalan, yang juga merupakan sumber problem
tersebut diatas, yang sebenarnya merupakan tanggung jawab bersama. Dalam masa seperti
ini dimana warga masyarakat yang mengalami masalah stres, depresi, akibat kondisi dan
situasi yang sebenarnya dia ciptakan sendiri, ataupun tercipta akibat pengaruh globalisasi,
Karena itu salah satu solusi untuk meminimalisir kondisi seperti ini adalah, dengan kembali
merevitalisasi budaya ,seperti halnya budaya Bugis Makassar yang disebut “Sipakatau,
Sipakalebbi, dan Sipakainge”, sebagai sebuah ajaran moral berlandaskan prinsip “Siri” yang
diharapkan dapat menjiwai setiap individu Bugis Makassar ”.

Untuk itu guna melestarikan dan memberdayakan budaya Bugis Makassar, maka kami
menerbitkan buku yang berjudul ‘BUDAYA 3 S” sebagai bentuk kepedulian terhadap masalah
budaya. Dengan harapan agar generasi sekarang maupun mendatang, untuk tetap memegang
teguh nilai nilai luhur yang kami anggap selalu relevan sepanjang masa. Sebab saat ini sudah
nampak gejala dimana generasi kurang peduli terhadap budayanya yang seharusnya menjadi
pelestari budaya, sekaligus untuk tetap mempertahankan jatidirinya.

4

BAB I

SIPAKATAU (Saling memanusiakan)

Sipakatau ( Saling memanusiakan) Inilah bentuk dasar yang melandasi seluruh adab sopan
santun, artinya kita sebagai mmanusia, seharusnya saling memanusiakan dengan manusia
lainnya, apapun latar belakangnya. Sebagaimana sebuah filasafah Bugis tentang manusia (Tau)
sebagai berikut :

tau

TAU (Manusia)

sipaktawu i tweu w nsb twwu i

Sipakatauwwi tauwe nasaba tauwi
( Manusia Saling memanusiakan karena ia manusia)

sipaklbE i twuew nsb twwu i acjiGnE

Sipakalebbi tauwe nasaba tauwi ancajingenna.
( Manusia saling memuliakan , karena dari manusia asal kejadiannya).

siteraGi twuew sirni nsb gau spi ktau

Sitanrereangngi tauwe siri’na, Nasaba gau sipakatau
( Manusia saling mendukung karena Siri’nya .Karena perbuatan saling memanusiakan)

sipitGi tauew riedeceG

Sipitangngi tauwe ridecengnge
(Hendaknya manusia saling memperlihatkan pada kebaikan)

nsb aktaun
Nasaba Akkatauwanna
(Sebab kemanusiaannya)

psilaiGi tauew ripur aoron
Pasilaingngi tauwe ripura onrona

( Yang membedakan manusia pada tempatnya)

nsb pGisGE En
Nasaba pangissengenna

5

( Perbedaan itu karena pengetahuannya)

pterai alEbirnE
Patanrei alebbirenna tauwe
( Tinggikanlah kemuliaan manusia)

nsb aklE medec
Nasaba akkaleng madecengna

(Sebab akal baiknya)

nea erkua tauew newlaiwi spi ktau
Nae rekkuwa tauwe nawelaiwi sipakataue

(Apabila manusia sudah meninggalkan saling memanusiakan)

Cupni korti u sai skrE
Cumpa’ni koritu siassakkarenna appakatauwangnge.
(Maka muncullah saling menyangkal arti kemanusiaan)

lENEai gau spi ktau
Lenynyei gau sipakatauwe
(Maka hilanglah perbuatan saling memanusiakan)

nsb necekGi gau aolokolo
Nasaba naccekkengi gauk olo kolo’

(Sebab sudah ditunggangi perbuatan binatang)

(dikutip dari buku Pawalung)

Adagium tersebut diatas, bersumber dari episentrum prinsip hidup orang Bugis yang
disebut “Siri”. Sebab perilaku dan sopan santun harus selalu mencerminkan sifat sifat yang
terkandung dalam falsafah “Siri” . Manusia (Tau) dalam pandangan manusia Bugis Makassar,
tidak hanya ia melihat sebatas raganya saja tapi lebih dalam dari itu.

Manusia tidak hanya sebatas menjadi homo, tetapi harus meningkatkan diri menjadi homo
sapiens. Manusia harus memiliki prinsip, nilai,dan rasa kemanusiaan yang melekat pada dirinya,
karena. manusia memiliki akal budi yang bisa memunculkan rasa dan perikemanusiaan.

Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantiasa menghargai dan
menghormati harkat & derajat manusia lainnya. Memanusiakan manusia adalah, tidak
menghardik, tidak bersifat kasar, tidak menyakiti, dan prilaku-prilaku lainnya. Memanusiakan
manusia berarti memanusiakan antar sesama manusia. Dalam hal ini akan menunjukan harga
diri dan nilai luhur pribadinya sebagai manusia. Bagi orang lain memberikan rasa percaya,

6

hormat, kedamaian, dan kesejahteraan hidup. Sebaliknya, sikap yang tidak manusiawi
terhadap manusia lain hanya akan merendahkan harga diri dan martabatnya sendiri, sebagai
makhluk yang mulia.

Sejarah membuktikan bahwa perseteruan,pertentangan dan peperangan yang terjadi di
berbagai belahan dunia, disebabkan karena manusia belum mampu memanusiakan, manusia
lain dengan sikap dan perilaku manusia, yang didasarkan atas prinsip kemanusiaan yang
disebut sipktau (Sipakatau) atau saling memanusiakan.

Prinsip egaliterianisme tentang kemanusiaan yang tidak membeda-bedakan dalam
memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit, suku, agama, ras, dan status sosial, sebagai
makhluk tuhan dimana harkat dan martabatnya sama dihadapan Tuhan. Karena itu sudah
selayaknya kita bersikap manusiawi terhadap orang lain, apapun latar belakangnya.

Kelebihan manusia dengan akal budinya, juga memiliki kekurangan dibandingkan makhluk
lainnya. Begitulah indahnya kehidupan. Dengan hanya mengandalkan akalnya, manusia dapat
berdigdaya menundukkan alam ini. Manusia harus dimanusiakan. Seorang manusia berbeda
antara satu dengan lainnya. Namun sekali lagi manusia adalah manusia. Disamping memiliki
kekhasan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, terdapat pula kesamaan antara
seorang manusia dengan manusia lain.

Pada dasarnya unsur sifat sipktau Sipakatau dalam, budaya suku Bugis Makassar, guna
menjaga budaya dalam kehidupan, bermasyarakat dan berbangsa pada dasarnya berasal
dari, prinsip hidup yang disebut siri “Siri” dan pEes “Pesse” Yang merupakan aplikasi
kemanusiaan yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari hari, baik dalam interaksi secara
individu, bermasyarakat dan berbangsa, sebagai pegangan hidup. Karena itu setiap oarng
Bugis, selalu dituntut menjadikan “Siri” sebagai jiwanya. Karena jiwa siri “Siri” inilah yang
menunjukkan apakah ia masih pantas disebut manusia atau bukan. Sehingga ia harus patuh
dan taat terhadap :

1. adE “Ade’, (Hukum)
2. pGdErE “Pangadereng”, (Peradaban), dan
3. api kel “Ampi kale” ( Selalu menjaga diri dari sifat etika dan moral) .

” Pada prinsipnya siri “Siri” dan pEes “ Pesse “ bagi setiap manusia Bugis dituntut untuk
selalu menegakkan harga diri dan kehormatan baik bagi dirinya, keluarganya, serta bangsanya.
siri “Siri” dan pEes “Pesse” tidak hanya menyangkut dialektika tapi juga diwujudkan dalam
tindakan, secara umum.

Kehormatan dan kemuliaan yang menjadi tafsir umum sir “Siri’ tak hanya sekadar
menyangkut pada kehormatan diri setiap pribadi manusia. Namun juga pada saat yang sama
pEes “Pesse” atau rasa empati juga perlu dimanifestasikan untuk menjaga kehormatan orang
lain ataupun anggota masyarakat lainnya. Penghargaan untuk memuliakan terhadap sesama

7

manusia, dalam tatalaku pEes “Pesse”, atau rasa empati akan nasib sepenghidupan
masyarakat sekitarnya. siri Siri’ dan pEes “Pesse, adalah ibarat sebuah konstruksi bangunan
lahir dan bathin dalam tubuh manusia suku Bugis Makassar

Menurut Dr. Shelly Erringtong seorang ahli antnropologi bangsa Amerika dalam ceramahnya
di Universitas Hasanuddin pada tahun 1977 memaknai siri “Siri”, dimana ia mengatakan
“Untuk orang Bugis Makassar tidak ada tujuan atau alasan hidup yang paling tinggi nilainya
daripada menjaga sirNi Siri’nya dan kalau merasa dipermalukan ripksiri (Ripakasiri’) atau
nipksiri (Nipakasiri’), mereka lebih memilih mati dalam sebuah pertarungan dalam
menegakkan sirNi “Siri”nya (Menegakkan harga dirinya), daripada hidup tanpa siri “Siri”

Menurut Prof.Dr. Y.Leonard. Andaya sejarahwan yang pandai berbahasa Bugis dan membaca
Lontara’ yang mula menemukan dwi-konsep yaitu siri Siri” n na pEes“Pesse (Siri dan Pacce)
yang lebih luas pandangannya, menyatakan :“ Istilah siri “Siri” berisi makna yang nampaknya
saling bertentangan yaitu : penghargaan diri dan rasa hormat pada orang lain (Self respect)
Suatu situasi (maksudnya situasi penodaan siri “Siri’ ) terjadi apabila seorang individu merasa
bahwa kedudukannya atau prestise sosialnya didalam masyarakat atau rasa harga dirinya
dinodai oleh seseorang, yang telah dituduh melakukan sesuatu yang tercela, secara keliru dan
tidak adil, sedang ia tidak pernah melakukannya. Didalam masyarakat ini, rasa keadilan timbul
aksi yang serta merta dan sangat keras. Walaupun orang Bugis akan menerima tanpa
perlawanan sebuah perlakuan kejam, jika ia memang merasa bersalah. Akan tetapi sebaliknya
mereka akan memberikan reaksi keras dan merasa hebat terhadap apa yang dilakukan, karena
ia yakin bahwa ia dipihak yang benar. Dan apabila seseorang telah dinodai Siri’nya, maka ia
oleh masyarakat dituntut untuk mengambil langkah langkah guna memulihkan harkat dan
martabat dirinya, sesuai pandangan dan penilaian masyarakat. Masyarakat menghendaki
seseorang yang telah dinodai harkat dan martabatnya untuk menindak si pelanggar (Orang
yang menodainya) oleh karena menurut masyarakat Bugis bahwa, lebih baik mati dalam
mempertahankan dan menegakkan harkat dan martabatnya.

Kesimpulannya bahwa Siri adalah jiwa manusia atau yang menjiwai manusia Bugis Makassar
dengan memaknai “Siri” sebagaimana dikatakan bahwa :

sirei ami ntotau. nerko edgg sirni tau tau mni asEn.

“Siri’e mi nato tau. Narekko deggaga siri’na tau tau mani asengna”

Artinya : Hanya dengan adanya Siri’ kita disebut orang. Kalau sudah tidak ada Siri’
maka kita hanya disebut orang-orangan saja”.

sri iea mitu nto tuao rilni o

“Siri’e mitu nato tuo ri lino”

8

Artinya Hanya adanya Siri’ kita hidup di dunia.

nsb naiy sri iea njgaiwi adEt

- Nasaba naiya Siri’e najagaiwi adetta.

Artinya : Sebab hanya Siri’ yang dapat menjaga Adat istiadat kita.
naiy sri iea E ngir kri , Nw nrrE.

“Naiya Siri’e sunge na girang kirang, nyawa naranreng”

“Artnya : Siri itu Jiwa perkiraannya, nyawa imbalannya.”

Timbulnya sir“i Siri” karena adanya rangsangan dari luar dirinya, yang membuat seseorang
mengambil sikap atau reaksi untuk meng-implementasikan nilai nilai sir “Siri”

Ungkapan tersebut diatas menunjukkan betapa sir Siri merupakan motor dari kehidupan
manusia Bugis Makassar dan merupakan modus dari kehidupannya. Yang dapat menjadi
sumber inspirasi untuk mengembangkan potensi kreatifitas atau daya cipta manusia. Dan sir
‘Siri” juga dapat merupakan kekuatan untuk memperkuat daya juang seorang anak manusia
dalam menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan ini. Oleh karena itu jikalau ada
manusia lain yang bertanya apa etos dari manusia Bugis, maka jawabnya adalah sir “Siri” .

Pasalnya siri Siri’lah yang menjadi titik sentral dari kehidupan budaya manusia Bugis. Hal ini
bermakna pula bahwa siri Siri’ yang menjadi panduan bagi setiap manusia Bugis dalam semua
aspek kehidupannya. Manusia Bugis yang dapat memelihara siri Siri’nya dalam masyarakat
atau pergaulan sosial dimanapun ia berada. Hal ini sudah dapat dipastikan manusia tersebut
tidak akan dapat terpeleset hidupnya, karena siri Siri’ tidak saja menekankan unsur kewajiban
manusia untuk nait aeln “Naita alena” ( Melihat dirinya) hal ini untuk mengontrol
tingkah lakunya terhadap manusia lain, tetapi juga harus naisGE i aeln “Naissengngi
alena” (tahu dirinya siapa). Yang dapat memberi panduan diantaranya untuk mengabdi kepada
kebajikan dengan menempatkan unsur kemanusiaan pada level tertinggi. Disini juga
terkandung makna unsur kejujuran, kesetiaan, dan rendah diri terhadap orang lain.

sri i Siri’ merupakan pandangan hidup yang bertujuan untuk mempertahankan dan
meningkatkan harga diri dan harkat martabat manusia, baik sebagai individu, maupun secara
collective sebagai mahluk sosial.

Dari berbagai pandangan tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa siri “Siri” adalah
Jantung adat peradaban setiap manusia Bugis Makassar. Begitu luas dan mendalamnya makna
dan arti siri “Siri” bagi pengamalnya, sehingga dalam memahami dan menghayati siri “Siri”
tidak semua orang Bugis Makassar mampu mengaplikasikan dan meng-imlepementasikan
secara utuh.

9

Walaupun makna siri “Siri” secara umum dapat dipahami dan diamalkan sebagai bentuk
kesamaan pandangan dalam pGdErE Pangadereng (Adat istiadat) utamanya factor
kesantunan dalam ber-interaksi antara sesama manusia. pGdErE Adab Pangadereng (Adat
sopan santun) dalam peradaban manusia Bugis sebenarnya sudah mulai dibentuk sejak
manusia Bugis masih dalam kandungan dengan beberapa kaidah seperti :

“ pdoaGE”Paddoangeng (Doa doa),

“pjpi” Pajjappi (mantera)

“gau gauk”E Gau gaukeng (Perlakuan) dan

“sEnu snE ur”E Sennu sennureng. (cita cita yang diibaratkan).

Sehingga ada beberapa acara adat yang dilaksanakan ketika bayi sudah ber-umur 7 bulan
dalam kandungan dengan acara apa yang disebut meppulu “Mappepulu” untuk pertama
kali wanita mengandung. Hal ini dimaksudkan terutama agar anak dikandung bisa lahir dengan
selamat sehat rohani jasmani. Juga diharapkan kelak agar anak manusia tersebut ketika
dewasa, minimal tidak mengecawakan apalagi sampai memalukan atau dalam bahasa Bugis
ed nlaiwi sirei a De’ nalaiwi Siri’e, atau ed npksirsi iri De’ nappakasiri siri (Tidak
memalukan ).

Adapula keunikan dalam peradaban suku Bugis, ketika mereka meyadari bahwa walaupun
sebenarnya “Manusia terlahir bersama rasa takutnya. Namun rasa takut itu harus dihilangkan
dalam akal pikiran. Sesuatu akal yang mengendalikan naluri untuk berjuang guna
mempertahan hidup. Sebab rasa ketakutan membuat seseorang kehilangan kontrol, yang
dapat menjadi penyebab hilangnya jiwa jika rasa takut itu berlebihan. Namun bagi manusia
Bugis Makassar berusaha menghilangkan fitrah rasa takut yang alami itu sejak ia lahir, kecuali
rasa takut kepada Allah SWT.

Untuk meminimalisir rasa takut bagi setiap putra putri Bugis senantiasa dilakukan dengan
beberapa usaha seperti :

pdoaGE “Paddoangeng” (didoa'kan) dan gau gaukE “Gauk gaukeng” (Perlakuan yang
dilakukan dalam acara ritual)

Kedua hal tersebut diatas, dilakukan secara bersamaan ketika Ari ari bayi yang dianggap
sebagai saudara kembar bayi dimasukkan dalam belanga tanah dengan beberapa tambahan
perlakuan tersebut, ketika Ari ari akan ditanam atau dialirkan di sungai, agar rasa takutnya
tertanam atau hanyut bersama Ari-arinya.

Kemudian pada saat Ari ari tersebut sudah mau ditanam atau dialirkan maka seorang sro
“Sanro” ( dukun ) berkata dalam bentuk doa sebagai berikut :

10

laono tau sopEno bulsi musli opi kk earum,u tosirtu u paimE mloG
loGi ri wrEkE totomu u"Laono tau', sompe'no bulisaa', musialloping kaka irungmu,
tosiruntu' paimeng, mallongi-longi ri warekkeng totomu.."

(Berangkatlah wahai rasa takut, merantaulah wahai rasa gelisah, satu perahu dengan kakak
ari-arimu, semogalah kiranya kita bertemu lagi, pada derajat tinggi pada suratan takdirmu..),
demikian sro Sanro (Dukun Beranak) ketika menghanyutkan ari-ari bayi yang ditempatkan
pada perahu perahuaan di pinggir sungai atau dipinggir laut.

Hari demi hari, bayi itu pun diharapkan akan tumbuh menjadi seorang "manusia
berkepribadian" sebagaimana fitrahnya. Maka ditanamkanlah semboyan karakter pada dirinya
untuk membela siri "Siri" (Harga Diri). Kehormatan Agama, Bangsa, Kedua Orang Tua, Anak,
Istri dan orang yang meminta perlindungan beserta kehormatan diri adalah, hal-hal dalam
lembaga siri "Siri" yang mutlak dijadikan standar, nilai harkat yang harus dijaga olehnya,
melebihi jiwanya sendiri. Sebuah amanah yang jika jiwanya harus sirna dalam
mempertahankannya, maka ia akan disebut sebagai manusia yang mati secara jantan atau
met ri stGi "Mate ri Santangi" (Mati Mulia) atau met iri golai "Mate ri Gollai"
(Kematian yang manis). Maka setiap pribadi itu dipantangkan baginya untuk merasa gentar
terhadap ancaman kematian. mjEpu tnia augi mksr nerko aron mlo
"Majeppu tania Ugi Mangkasara', narekko tania arona maloo'" (Sesungguhnya bukanlah Bugis
Makassar jika bukan dadanya yang terluka..", demikian diwasiatkan oleh orang tua pada
seorang putera Bugis. Lalu kepada putera Makassar, diwasiatkan pula : etaai mksr pun
bokon loko "Teai Mangkasara punna bokona loko.." (Bukanlah orang Makassar jika
punggungnya yang terluka).

Kenapa harus dada yang terluka ?. Kenapa tidak boleh punggung yang terluka ?. Seseorang
yang mati dengan luka dibagian dada atau tempat lain dibagian depan tubuhnya, menandakan
ia telah melakukan perlawanan dengan berani hingga tarikan nafas terakhirnya. Adapun luka
yang terdapat pada punggung, besar kemungkinan ia melarikan diri dari perkelahian hingga ajal
menjemputnya. Kematian yang dinilai Matuna (hina) atau Mappaka siri siri (amat
memalukan) kaumnya. Taroko ikala rekko de'to mucauu, taroko mate rekko de'to mulari !
(Biarlah kau kalah, asalkan kau tidak gentar, biarlah kau mati, asalkan kau tidak lari !), kata
seorang ibu pada puteranya.

Dalam mengaplikasikan dan megimplementasikan siri “Siri” dan pEes“Pesse”setiap manusia
Bugis dituntut untuk memiliki sifat yaitu :

emtau ri edwt esaauaea “Metaui’i ri Dewata Seuwae” ( Takut kepada Tuhan
maha esa)

Sesungguhnya manusia berbuat sewenang wenang akibat tidak adanya rasa takut,
terhadap sesuatu yang dianggap absolut yaitu Tuhan. Bahwa sebelum masuknya Islam di

11

daerah Sulawesi selatan, masyarakat Bugis Makassar sudah mengenal sang pencipta yang
dapat melindungi manusia, mereka sebut Dewata seuwae (Tuhan yang esa). Mereka yakin
bahwa dengan memiliki sifat seperti Dewata seuwae yang biasanya juga mereka
sebut Langi’: (Langit). Pandangan terhadap langit memiliki keluasan yang tak
terbatas, sehingga hal ini mereka refleksikan kedalam jiwa mereka untuk mampu menerima
segala masalah yang datang padanya. Seorang To Deceng (Orang terhormat) hendaknya
memiliki wawasan berpikir yang luas serta jiwa yang tenang seperti langit dalam
mengendalikan diri untuk tidak berbuat hal hal yang dianggapnya buruk.

Dengan adanya kepercayaan manusia Bugis Makassar dahulu sebelum Islam masuk ke
wilayah Bugis Makassar, mereka menyebut Tuhannya yang disebut Dewata seuwae, juga
merupakan sandaran tempat ia mengharapkan perlindungan, dan keselamatan. Dalam
kepercayaan terhadap Dewata Seuwae juga telah melahirkan apa yang disebut falsafah

I. Nilai nilai sulp aEp (SULAPA EPPA) dalam budaya sipktau(SIPAKATAU)

sulp aEp“Sulapa’ ĕppa,” yang terdiri dari 4 sifat yang ada pada diri manusia yaitu
: Sifat tanah, sifat Air, Sifat Angin dan Sifat Api. Dari keempat sifat ini memiliki watak positif
dan negatif, seperti :

a. Sifat Air, memiliki kegigihan tetapi tidak jujur.

b. Sifat Api, memiliki keberanian, tidak mau kalah, dan tidak memikirkan akibat
tindakannya.

c. Sifat Angin, memiliki sifat perilaku kasar dan tidak memiliki ketulusan atau kejujuran.

d. Sifat Tanah, memiliki kejujuran, berpengetahuan dan lagi pemurah.

Kemudian keempat makna sifat ini dikemukakan oleh seorang raja yang bernama Arung Matoa
Wajo ke XI La Mungkace to Uddamang matinroe ri kananna (memerintah pada akhir abad
XVI atau permulaan abad XVII) bahwa individu yang cocok menjadi pemimpin haruslah memiliki
empat sifat, karena hanya pemimpin yang memiliki sifat inilah yang akan memperbaiki negeri,
yaitu sebagai berikut.:

1. Sifat Jujur, yaitu jika bersalah atau dipersalahkan, dia meminta maaf.

2. Cerdas, yaitu mampu melihat dan memahami kemungkinan akibat yang akan terjadi
dari suatu perbuatan atau tindakan yang akan diambilnya.

3. Berani yaitu tidak terkejut apabila mendengar berita buruk atau baik,

12

4. Tegas, adalah yang mampu menyatakan “ya” atau “tidak”. Seorang ( Orang terhormat)
wajib bagi dirinya untuk memiliki sifat berani dan tegas, keberanian saja tidak cukup.
Keberanian haruslah disertai dengan ketegasan dalam pendirian. Orang yang berani
tetapi tidak cendekia dan tegas dalam pendirian dapat terjerumus dalam kenekatan.

1. lEpu (Lempu) Jujur

Jujur adalah watak pribadi manusia yang paling mulia. Kejujuran adalah sifat kebaikan
yang telah diterima oleh semua orang didunia ini yang selalu mengedepankan achlak
mulia. Jadi, nilai kejujuran adalah nilai kebaikan yang bersifat universal. Dalam budaya
Bugis maka kejujuran dapat dibagi, yaitu :

a. mlEpuko rei dwt esauaea “Malempukko ri dewata seuwae ( Jujur
terhadap Tuhan yang maha esa )

b. mlEpuko rai elmu “ Malempokko ri alemu (J ujur terhadap diri sendiri )

c. mlEpuko rpi dmu rpu tau Malempukko ripadammu rupa tau. (Jujur
terhadap orang lain)

aa. mlEpuko riedwt esauaea. Jujur terhadap Tuhan adalah sebuah
bentuk keyakinan bahwa dalam melakukan berbagai tindakan atau perbuatan,
maka manusia tersebut akan selalu merasa diawasi oleh Tuhan yang maha esa.
Sehingga tindakan atau perbuatan yang akan diambil selalu ada pertimbangan
apakah tindakan atau perbuatan tersebut memiliki Nilai-nilai kejujuran.
Bilamana tidak memiliki nilai nilai kejujuran, maka manusia tersebut akan
membatalkan niatnya untuk melakukan hal tersebut.

bb. mlEpuko rai elmu.u Malempuko ri alemu (Jujur terhadap diri sendiri )

Sebenarnya merupakan modal utama yang sangat didambakan oleh setiap
manusia, yang memiliki akhlak yang mulia. Sebab dengan memiliki sifat jujur
akan dapat diterapkan dimana saja dan kapan saja karena dapat diterima oleh
siapa saja. Nilai ini dapat membentuk sikap yang didalamnya terkandung nilai-
nilai kejujuran. Sikap itu terbagi menjadi dua, yaitu sikap terbuka dan sikap
wajar. Sikap terbuka adalah sikap kita yang apa adanya tidak menipu diri
sendiri dan orang lain dengan bersikap seolah-olah menjadi orang lain. Sikap
wajar adalah sikap objektif dengan memperlakukan orang lain berdasarkan
ukuran-ukuran standar bagaimana kita menghargai hak orang lain
sebagaimana mestinya.

13

cc. mlEpuko ripdmu rup tau. Malempukko ripadammu rupa tau. (Jujur
terhadap orang lain)

Kejujuran terhadap orang lain, adalah suatu sikap untuk meyakinkan pada
orang lain, bahwa ia layak untuk dipercaya, sehingga dengan demikian orang
lain yang mengenalnya akan merasa aman, semakin kita jujur kepada orang
lain maka semakin banyak orang yang senang atau semakin banyak orang yang
percaya kepada kita. Dengan bersikap jujur pasti kita akan mendapatkan
teman banyak. begitu juga sebaliknya. Namun kadangkala dalam berkata
jujur, kadang membuat orang lain yang egois bisa tersinggung. Sebab tidak
jarang dijumpai dalam interaksi manusia dengan manusia lainnya, disisi lain
ada manusia yang berani berkata jujur, namun disisi lain juga tidak memahami
dan tidak mengerti, sehingga tidak jarang terjadi perseteruan. Namun
demikian apapun resiko yang dihadapi dalam berkata jujur, maka nilai
kejujuran tetap harus ditegakkan. Sebab kalau kita sudah mulai berbohong
maka akan seterusnya kebohongan tersebut akan ditutupi lagi dengan
kebohongan berikutnya, dan hal ini pasti orang lain akan menjauhi, Maka
usahakanlah untuk jujur dalam kehidupan supaya disetiap langkah kita selalu
menjadi kebahagiaan bagi orang lain. Maka dari itulah kita harus
menggunakan kejujuran kita untuk mencapai suatu tujuan yang kita inginkan.
Sebab kejujuran adalah kunci utama kesuksesan. Makna kejujuran dapat
dilihat dalam dialog To Ciung Maccae ri Luwu (penasehat Datu Luwu,) dengan
La Manussa To Akkaranggeng, calon Datu Soppeng

To Ciung Maccae ri Luwu yang memiliki pengetahuan luas, utamanya dalam hal pemerintahan),
sekitar abad ke 15, kepada La Manussa To Akkaranggeng, calon Datu Soppeng. Sebelum
memangku tahta kerajaan di Soppeng, La Manussa To Akkaranggeng memohon kepada para
pemangku adat Soppeng tersebut untuk diberikan keluasan selama 3 bulan, karena ia
bermaksud untuk pergi ke kerajaan Luwu, berguru kepada seorang cendekiawan paling
terkenal saat itu bernama To Ciung yang bergelar Tau Tongeng Maccae ri Luwu (Orang benar
cerdas di Luwu). Karena ia secara jujur melihat dirinya dan tahu diri, bahwa ia belum cerdas
untuk menjadi seorang raja. Sebab menurut ia, suatu negeri jika diperintah oleh raja yang
bodoh maka negeri tersebut akan hancur. Berdasarkan alasan tersebut maka permohonan La
Manussak To Akkarangeng diterima. Sehingga Tiga bulan lamanya Arung Bila yang ditugaskan
menjalankan tugas raja. Bahwa dalam Lontara’ Bugis seorang yang masih muda belia dipanggil
La Basok’ .

Setelah La Manussak to Akkarangeng tiba di kerajaan Luwu, maka bertemulah ia dengan
Cendekiawan Luwu To Ciung, dalam pertemuan tersebut terjadilah dialog diantara keduanya
sebagaimana halnya berikut ini :

14

“mkEda.i ”i Makkedai La Basok’ (La Manussak to Akkarangeng) ri Maccae ri Luwu “
ag gaum,u epkotogi gaumu nmraj tn luw.u”Aga gaukmu,
pekkotogi gaukmu namaraja tana Luwu.

Artinya “ Bertanya La Baso’ (La Manussak to Akkarangeng) kepada Maccae ri Luwu Apa
perbuatanmu dan bagaimana perbuatanmu sehingga kerajaan Luwu menjadi besar?.

“mkEdai.”i Makkedai To Maccae : aolku wkolki sibw wtutuain
pGdEreE G. “ Olakku wakkolaki sibawa watutuinna pangaderengnge” . Artinya ; To
Maccae ri Luwu menjawab : Saya menakar dengan takaranku sendiri,(maknanya “Aku
melihat orang lain seperti diriku sendiri, sehingga kuperlakukan orang lain seperti diriku
sendiri”) dan aku selalu berhati hati supaya tidak melanggar hukum adat, dan menjaga
agar orang lain tidak melanggarnya.

mkEda.i “Makkedai” La Basok (La Manussak to Akkarangeng) : epkogi tkEd
olku wkolki ntutuai pGdERE lmi ea. “Pekkogi takkeda olakku
wakkolaki, natutui pangadereng limae.

Artinya : Bertanya La Basok (La Manussak to Akkarangeng). Bagaimana anda berkata,
takaranku saya pakai menakar, serta berhati hati untuk tidak melanggar adat Lima.

mkEda.i “Makkedai” To Maccae : ed kupwwai tauea ri tEeGlon.
Edto kupwwai tauea tEnauelew tiwi. Edto aupkEnaiwi dua
dodoso. edto aupktEniwi dua alu, naiy riasEeG pGdErE lim
puwwGi, aiynritu adE mr, adE pur aoro, tupu, wri rp. “De’
kupawawai tauwe ri teng-elona, detto kupawawai taue tenna-ullewe tiwi, detto
upakkennaiwi, dua doddosok, detto upakkatenniwi dua alu, naiya riasengnge
pangadereng lima puwangengngi, iyanaritu Ade maraja, Ade’ pura onro, Tuppu, Wari,
Rapang.

Artinya : Menjawab To Maccae “Aku tidak membebani pekerjaan orang lain yang tidak
dikehendakinya, atau tidak mampu dilakukan. Aku juga tidak mau menyuruh orang lain
untuk membawa barang yang ia tidak mampu membawanya atau tidak mau
membawanya. Akupun tidak akan mengenakan orang lain dua balok rumah (Dua jenis
kewajiban berat) Aku tidak akan memaksakan orang lain untuk memegang dua antan
(Aku tidak akan menjatuhkan dua macam hukuman kepada orang lain, tetapi cukup 1
macam saja). Adapun yang disebut prihal adat yang berlaku bagi raja dan para pejabat
adalah yang disebut adat raja, tidak berlaku bagi rakyat biasa. Dan adat yang tidak boleh
diubah, adat turun temurun yang bersifat tetap, peraturan tentang jenjang dan tingkat
hukum adat. Peraturan tentang hal hal memang patut dibedakan, yaitu peraturan yang
berlaku bagi bangsawan dan orang merdeka, antara yang tinggi dan rendah , yang
panjang dengan yang pendek, antara yang baik dan buruk, antara yang jujur dan yang
curang, dengan kata lain yang membedakan yang memang patut dibedakan dan dapat
diterima orang banyak yang disebut Rapang (Yurisprudensi), ialah mempersamakan

15

dan memperserupakan hal hal yang pernah diterapkan oleh pemangku adat yang
senantiasa dijadikan perbandingan dan pedoman untuk hal hal yang belum diatur.

mkEdai. “Makkedai” La Basok : ag ngEtEGE bEci enen. “Aga
naggettengeng becci’ nenek.”

Artinya : Terhadap siapakah alat pelurus atau hukum yang bersanksi diterapkan atau
digunakan wahai nenek.

mkEdai. “Makkedai” Maccae : aEpai tau ritroGE bEci to mwteG, to
mejkoea, to mcea, nEnia to boGoea.“ Eppa tau ritarongeng becci,
To Mawatangnge, To Majekkoe, To Maccae, nennia To Bongngoe.”

Artinya : Menjawab Maccae terhadap empat macam hukum bersanksi itu ditujukan,
terhadap orang kuat yang suka menggunakan kekerasan, Orang yang curang dan culas,
orang yang pintar tapi licik, dan orang bodoh yang bandel.

mkEdai. “Makkedai” La Basok : ag ploro ewlrE enen. Aga
palorong welareng nene’.

Artinya Bertanya La Basok, apa yang memanjangkan umur, memanjangkan jabatan,
memanjangkan kenang-kenangan akan kebaikan seseorang nenek?

mkEdai.”Makkedai” Maccae : aipriaj riajea, aiprialauai
alauea, aipriatGi ri ateG aipriawGi riaweG. “Ipariaja
riajae, Iparilau’ alau’e, Ipariattangngi ri attangnge, Ipariawangngi riawangnge. “

Artinya : Ditempatkan di-barat kalau memang tempatnya di barat, ditempatkan di timur
kalau memang tempatnya di timur, ditempatkan di selatan kalau memang tempatnya di
selatan, ditempatkan di utara kalau memang tempatnya di utara (Sesuatu ditempatkan
pada tempatnya dengan adil atau dalam bahasa Inggeris dikatakan the man bihind the
gun)

mkEdai. Makkedai La Basok (La Manussak to Akkarangeng) : ag lepri
suGeE a. “Aga lamperi sunge’e.”

Artinya : Bertanya La Basok apa yang dapat memanjangkan umur

mkEdai. “Makkedai” Maccae : lEpuea. “Lempu’e”

Artinya berkata Maccae “kejujuran.”

mkEdai. “Makkedai” La Basok : ag gaun lEpuea. Aga gaukna lempu’e
nene’

Artinya : Berkata La Basok, apakah perbuatan atau kandungan kejujuran nenek?.

16

mkEdai. “Makkedai” To Maccae : aEpai gaun lEpuea, riaslaiGGE i
ndpEGGE i, riprEnuaGi ned nmecko, riseirs tEn pbEela,
tEmGowGEGi i tnia aolon, tEnsEs edec nerko ee riaeln
aiami nsE edec nerko nedecGi mnE tauea. Eppa gaukna lempu’e,
riasalaingengngi naddapengengngi, riparennuangi na dek namaceko, risanresi
tennapabbeleang, temmangoangengngi tania olona, tennasengssak deceng, rekko
deceng rialena, iami naseng deceng narekko nadecengi maneng tauwe. .

Artinya berkata To Maccae bahwa ada 4 kandungan kejujuran, yaitu selalu memaafkan
terhadap orang yang memperlakukan dirinya dengan tidak baik, Orang diberi
kepercayaan tidak hianat, Orang yang tidak merakusi hal hal yang bukan haknya, Ia
tidak mengatakan itu kebaikan kalau hanya untuk dirinya, Baru ia katakan itu kebaikan
kalau itu kebaikan bersama.

Singkat riwayat, setelah 3 bulan lamanya La Manussa to Akkarangeng di kerajaan Luwu,
ia pun bersegera akan kembali ke kerajaan Soppeng dan akan dilantik menjadi Datu
Soppeng. Namun sebelum ia kembali ke kerajaan Soppeng, To Ciung maccae ri Luwu
berpesan kepada La Manussa to Akkarangeng yaitu :

“Bila kelak cucunda diangkat menjadi Datu Soppeng,(Raja Soppeng) maka janganlah
engkau bersikap terlalu manis, terhadap rakyat Soppeng, sebab engkau akan ditelan
bulat bulat. Dan jangan pula bersikap terlalu pahit, sebab engkau akan dimuntahkan
oleh rakyat Soppeng. Bilamana ada orang yang selalu datang ke rumahmu berbicara,
maka engkau harus dengarkan, dan jangan juga dengarkan.Sebab banyak bohong yang
dikatakannya. Panggil juga para cendekiawan yang jarang kerumahmu, dan engkau
tanyai, sebab banyak kebenaran yang akan disampaikan”

Petuah tersebut berarti bahwa orang orang Bugis tidak boleh diperlakukan terlalu
lunak,karena mereka akan mempermainkan pemerintah. Mereka juga tidak boleh
diperlakukan terlalu kasar dan keras, karena mereka akan membenci dan melawan
pemerintah. Perkataan orang orang yang suka menjilat dan menjelek jelekkan orang
lain tidak boleh terlalu diperhatikan, karena perkataan mereka itu banyak bohong. Yang
harus didengarkan ialah orang pandai yang tidak suka menjilat, karena apa yang
dikatakan itu pada umumnya benar.

Begitu pula makna kejujuran bagi La Mellong Kajaolalido dapat dilihat dalam dialog
dengan Mangkau’e ri Bone (Raja Bone).

Kajao Laliddong adalah cendekiawan besar yang pernah hidup di masa kekuasaan Raja
Bone, La Tenrirawe Bongkange di pertengahan pertama Abad XVI. Beliau adalah
penasehat Kerajaan Bone yang bicara dan nasehatnya termuat dalam lontara dan
dijadikan sebagai prinsip dasar kebijaksanaan Raja dalam memerintah dan menjalankan
kekuasaannya. Salah satu bagian dari tanya jawab Raja Bone dengan Kajao Laliddong
tersebut akan penulis hadirkan disini, sebagaimana yang terkumpul dan dikumpulkan

17

pada Perpustakaan “Yayasan Matthes” yang berjumlah sekitar 300-an banyaknya
naskah. Soal jawab antara Arumpone dengan Kajaolaliddo dibawah ini termuat pada
halaman 60 sampai 62, yang bunyinya adalah sebagai berikut :

pslE pnEseaGi. Passaleng Pannessaengngi. (Pasal yang menjelaskan)

mkEdai. Makkedai Kajaolaliddo ri Arumpone, : ag epaEsrE iwi alEbirmE u
ptokopulnaiwi arjmu, aj nttEer tEer tau tEbEmu aj nkua
wErE pGpo wrpr mubokoriea. “Aga peesseriwi ale’biremmu,
patokkompulanai arajammu, aja natatterre – terre tau tebe’mu aja nakkua were’
pangngampo’ waramparang mubokorie.”.

Artinya : “Apa yang menguatkan kehormatanmmu, membangkitkan kerajaanmu,
(supaya) jangan bercerai berai rakyatmu, jangan merupakan beras yang ditaburkan
harta benda yang engkau tinggalkan.

(Arumpone ialah gelar / sebutan yang ditujukan kepada Raja Bone ; kata Arumpone
merupakan asimilasi dari kata Arung dan Bone yang berarti Raja Bone, sedangkan kata
Makkedai artinya Maka Berkatalah).

mkEdai. “Makkedai” Arumpone : lEpuea kjao siloa ac. “Lempu’,
Kajao, silaong acca.

Artinya : ” Berkatalah (menyahutlah) Arumpone : Lurus hati (Kejujuran), beserta
pandai.”.

mkEda”i “Makkedai” Kajaolaliddo : aiatoritu arupoen, tniato ap
aiy wrpreG tEtroeaGi tatEerai tau tEbEea esauwni erko
aEk npogau tEmtiropi mtn riaEso riwEni, mtutuai gauea erko
mcai aru mkauea piru ad mcai dupi ad. tElu ripd pd
ad toGEeG “Iatoritu, Arumpone, taniato, apa’ ia waramparange’ tettaroengngi
tatterre’ tau te’be-e’ : Seuani, rekko engka napogau’ temmatinropi matanna ri esso
riwenni, matutuiwi gau’e, rekko maccai Arung – mangkau’e mpinru’ ada, maccai duppai
ada. Tellu rippappada-pada ada tongengnge’.” , sedangkan Pangngissengeng = pa’
dissengeng, artinya : pengetahuan.

Artinya :

Maka berkatalah Kajaolaliddo : “Itulah Dia, Arumpone dan bukan juga itu, karena harta
benda yang menyebabkan rakyat tidak bercerai berai, Pertama, kalau ia melakukan
sesuatu ia tak tidur siang dan malam memperhatikan (menyiasati) perbuatan itu, kalau
raja yang memerintah pandai berkata – kata, pandai menerima kata – kata. Tiga
pengetahuan disamakan dengan Kata – kata benar.”

18

mkEda.”i Makkedai Arumpone : ag apoGEn acea kjao?. “Aga
appongenna accae’ Kajao ?”

(Berkatalah Arumpone : “Apa pokoknya kepintaran, Kajao ?”)

mkEda.i “Makkedai” Kajaolaliddo : lEpuea apoGEn acea.“Lempu’e
appongenna accae”.

(Maka berkatalah kajaolaliddo : “Lurus (hati) pokoknya kepintaran.”)

mkEdai.Makkedai Arumpone : ag sbin lEpuea kjao.“Aga sa’binna
lempu’e, Kajao ?”

(Berkatalah Arumpone : “Apa kesaksian dari lurus (hati) itu, Kajao ?”)

mkEda. “Makkedai” Kajaolaliddo : aobi sbin lEpuea.“O’bi’e sa’binna
lempu’e.”

(Maka berkatalah Kajaolaliddo : "Panggilan (seruan) kesaksian dari lurus (hati) itu.”)

mkEdai. “Makkedai” Arumpone : ag riaobir?E “Aga rio’ bbireng, ?”

(Berkatalah Arumpone : “Apa yang diserukan itu, Kajao ?”.)

mkEda.i “Makkedai” Kajaolaliddo :aiy riaobir,E aj mualai
wrpara tnia wrparamu, aj mualai etdo tnia
etdomu, aj mualai tnE tnE tnia aiko tnEG,i aj mualai
anu ripser nerko tnia aiko pserai “Ia rio’ bireng, aja muala
waramparang Tania waramparammu ; aja muala tedong Tania tedommu ; aja muala
tanettaneng, tanni iko ttanengngi ; aja’to muala anu ripasaranre, taniko ppasanre’i.

(Maka berkatalah Kajaolaliddo : “Adapun yang diserukan itu ialah : jangan hendaknya
mengambil harta benda sekiranya bukan harta bendamu, jangan mengambil kerbau
sekiranya bukan kerbaumu, jangan mengambil tanaman, sekiranya bukan engkau yang
menanamnya, dan jangan pula mengambil barang yang disandarkan, sekiranya bukan
engkau yang menyandarkannya.” )

mkEda.i “Makkedai” Arumpone : ag sbin lEpuea.“Aga sa’binna lempu’e,
Kajao ?”

(Berkatalah Arumpone : “Apa kesaksian dari kepintaran itu, Kajao ?”)

mkEda.i “Makkedai” Kajaolaliddo : gauea silao ac. “Gau’e silaong
accae”.

(Maka berkatalah Kajaolaliddo : “Perbuatan bersama dengan kepintaran”.)

19

mkEda. “Makkedai” Arumpone : ag ripogau kjao?.“Aga ripogau’,
Kajao ?”

(Berkatalah Arumpone : “Apa yang dilakukan itu, Kajao ?”.)

mkEdai. “Makkedai” Kajaolaliddo : iaiyn ripogau ad medeceG ad
mjea. “Iana ripogau’, ada madecengnge, ada maja’e.”

(Maka berkatalah Kajaolaliddo : “Adapun yang dilakukan itu ialah kata – kata yang baik
(benar) dan kata – kata yang buruk (salah).)

mkEdai “Makkedai” Arumpone : ag tr cinea metn tn mrjea.
“Aga tanra cinna-matena, tana marajae, Kajao ?”

( ” Berkatalah Arumpone : “Apa tandanya bahwa kerajaan akan mengalami bahaya
(kehancuran), Kajao ?”

(Yang dimaksud dengan Cinna-mate, yaitu tanda – tanda yang menyatakan seseorang
atau sesuatu disangka menghendaki (mengharapkan) kematiannya).

mkEdai “Makkedai” Kajaolaliddo : limai trn cin met tn mrjea
eswni erko etani ripkaiGE aru mkauea mduan edn gg tau
mc riwnuwea mtElnu neaerkiwi wrpr pbicrea maEpn
meag gau rillpE nua mlimn tEnmesaiwi atn aru
mkauea. “Limai tanranna cinna – matena tana marajae. Seuani, rekko teani
ripakainge Arung mangkau’e. Maduanna, de’na gaga tau macca ri wanuae. Matelluna,
rekko naenrikiwi waramparang Pabbicarae. (Pa’bicara, yaitu suatu gelaran hakim di
tanah Bugis), Maeppa’na, maega gau’ rilalempanua, Malimana, tennamaseiwi atanna
arung mangkau’e”. ?”

(Maka berkatalah Kajaolaliddo : “Lima tandanya, bahwa Kerajaan itu akan mengalami
bahaya (kehancuran). Pertama, kalau raja yang memerintah itu tak suka diperingati
(dinasehati). Kedua, kalau tak ada orang pandai (ahli) di dalam suatu negeri. Ketiga,
sekiranya hakim menjadi kaya (bertambah – tambah harta bendanya) . Keempat,
sekiranya banyak perbuatan (kejadian – kejadian) dalam negeri. Kelima, raja yang
memerintah itu tidak sayang kepada rakyatnya. ”)

mkEdai “Makkedai” Arumpone : ag tr mrjn tn mrjea“Aga tanra
marajana tana-marajae ?”

(Berkatalah Arumpone : “Apa tanda kebesaran dari kerajaan ?”.)

mkEda. “Makkedai” Kajaolaliddo : duw tr mrjn tnea esauwni
erko tEssi l slai tau tEbEea rillpE nua. Dua tanra marajana tanae.
Seuani, rekko malempu’i arung mangkau’e namacca. Maduanna, rekko tessisala – salai
tau’ te’be’e rilalempanua”.

20

(Maka berkatalah Kajaolaliddo : “Dua tanda kebesaran dari kerajaan, yaitu : Pertama,
raja yang memerintah itu lurus hati dan pandai (berpengetahuan) ; Kedua, kalau orang
banyak (rakyat) tak berselisih (bermusuh – musuhan) dalam negeri.”)

mkEdai. “Makkedai” Arumpone : ag mj akruGE kjao.“Aga maja’
akkarungeng, Kajao ?”

(.” Berkatalah Arumpone : Apa yang memburukkan kerajaan, Kajao ?” )

mkEdai “Makkedai” Kajaolaliddo : tElu mj akruGE esauwni erko mter
cinai aru mkauea mduan naeaerkiwi wrpr pbicrea
mtElnu erko sisl slai tau tEbEea rillpE nua. “Tellu maja’
akkarungeng. Seuani, rekko matanre cinnai arung mangkau’e ; maduanna, naenrekkiwi
waramparang pa’bicarae, matelluna, rekko sisala – salai tau te’be’e ri lalempanua.”.

(Maka berkatalah Kajaolaliddo : “Tiga hal yang memburukkan kerajaan, Pertama, kalau
raja yang memerintah itu terlampau tinggi keinginannya ; Kedua, kalau hakim
bertambah – tambah kekayaannya ; Ketiga, kalau rakyat di dalam negeri selalu
berselisih. ”)

mkEdai “Makkedai” Arumpone : ag trna sew aes kjao“Aga
tanranna sawe ase’, Kajao ?”

(Berkata Arumpone : "Apa tandanya (tanaman) padi akan jadi, Kajao ?” )

mkEdai “Makkedai” Kajaolaliddo : tElu trn sew aesew, esauwni
erko mlEpuai aru mkauea mduan erko mepmliwi pbicrea
mtElnu mtau esauwai tau tEbEea rillpE nua. Nerko aEk
psiaji sipnpuai pd psiajiG.E situdgpE i pd msiaji npd mitai
auGn. Nerko siturau i tEmti ai auGn n siturnu pwai ri boen.
ripuan insitursu iea. npoadai riboentu nribicrai nbcrn boen
mcuekai soroni ri wanuan. Ncuekai rGEn ap iaiy boen
npoadGi pesajiGnE msillG bol nlipuGi awo. npobicrai
bicrna npoadEai adEn adEn risrE imnu i tErei lerai tron
aitop adE arolt ri boen psiajiGeeG risru oae npogauai
riaobiea nmEet, riealao neber. Naekto arol poadE
adEn arol riplEbGi erewni paimE anu nealauew.
ayi top nlEb boien mkEdea ntGai erko npkdtnai mkEd
mkEd tnni aiy ntEpErei a boen. aiy adEt msiaji
psiajiaeGGi tEstotoriwi tEsli aoa mbicr tEski dokdoki tEsri Eb
siptokoGi mli siprpE tEsni orEki ri lopo tEsei lerGi ri bul.u
Ribicrai. Eswai bicr tsitursu iea msiaji. Nerko aEkn tGursu i
tGursu i nko ritnt moro mubicr. tErti w erko meta wrprmu,
nerko mbuwptkelai sipoadGi siturpu i buaGi. erko ali aoa
ripsiajiGeE n tnea siajit tsuroai erewauplloGi bicr
tEmkeu lao ntro. nerko an tGursu i msiaji. Naiap

21

tsitursu iea msiaji tpogau. pdpibuaGi pdpi wrprGiwi.

aiatop adEt msiaji erko aEkai tpusai, edec pgkai.

aitop adEt msiaji tro pua riaolot tpd mn. tEsei lko

tEdGu i tEspi oautn tomwt tEsgi au bw. aiytop ai dEt

msiaji tron pua riaolot tpd mnai ttumlGi iwi siloloGpE i

anu nsuro gsEGi siajit nko ttumlGi iwi koniro tron E

esajin peletni kuani moro pua riaolot tesiadolo

tmna ap tEsai doloGi ri boen. siturpi i msiaji. A p aia

arolt ri boen lesitmua mrol kliaotmua EtEmbusu tEkpi rep

rep

“Tellu tanranna sawe asewe. Seuani, Rekko malempu’I Arung Mangkaue’. Maduanna,
rekko mappemmaliwi pa’bicarae. Matelluna, mattau seuai tau-te’be’e ri lalempanua.
Narekko engka passiajingeng, sipannampu’i pada passiajingeng ; situdangeppi pada
massiajingeng napada mmitai unganna ; narekko situru’i temmitai unganna, na
situru’na mpawai ri Bone, ripuanna, nassiturusie ; napoadai ri Bonetu, naribicarai,
nabicaranna Bone ; ripalete’ni, kuani mmonro mallise’, naccuke’ Bone’. Rekko purani
Bone maccuke, soro’ni riwanuanna. Nacukei rangenna, apa’ ia Bone napoadangngi
passiajingenna, massilalengnge bola, nalipungi awo’ ; napobicarai bicaranna, napoade’i
ade’na. Aade’na riasserimuni, tenrilerei tarona. (Taro, artinya ketetapan atau
keputusan). Iatopa Ade’ arolatta ri Bone passiajingengnge’, risuroe’ napogau’I, rio’ bi’e
nammette’, riellouie na’bere’. Naengkato arolang poade’ ade’na, arolang
ripalle’bangnge nrewe’ni paimeng anu naellaue. Iatopa napalle’bang Bone, makkedae :
natangnga’i rekko napekkadatanai, makkeda tanani ia natepperrie Bone. Ia ade’ta
massiajing, passiajingengnge’ tessitotoriwi, tessilaoang ma’bicara, tessi kado-kadoki’,
tessire’ba sipatokkongngi’, mali’ siparappeki’, tessinorengngi’ rilompo’, tessilerengngi’ ri
bulu’.” “Seua bicara tassiturusi massiajing, narekko engkana tangngurusi, nakko ri
tanata mmonro mubicara ; tenritawa rekko matea waramparammu, narekko
ma’buampatakkalei, sipoadangngi’, situ’ru’pi ‘buangngi ; rekko ilaoi ripassiadjingenna
tanae siadjitta, tasuroi nrewe, uappalaloangi bicara, temmakkulleo nataro.” “Narekko
ana’ tangngurusi, massiajing ; naiapa tassiturusie massiajing tapogau ; padapi’
‘buangngi, padapi’ waramparangiwi.” “Iatopa ade’ta massiajing, taro puang riolota,
tapada mmana’ : tessilekko te’dungngi, tessipouttamang tomawatang, tessiga’u-
bawang.” “Iatopa ade’ta massiajing, rekko engka tapusai, deceng pa’gangkai.” “Iatopa
ade’ta massiajing, tarona puang riolota, tapada mmana’i : tatumalingiwi, silolongeppi
anu nasuro nggasengngi’ siajitta, nakko tatumalingiwi, koniro tarona puang riolota’I
tessia’diolong, tamana’I, apa’ tessiadiolongngi’ di Bone, situruppi’ massiajing ; apa’ ia
arolatta ri Bone. Lessitamua marola, kaliaotamua temmabusung tekkiparampe –
rampe.”

(.Artinya : Maka berkatalah Kajaolaliddo : “Tiga tandanya padi akan menjadi. Pertama,
kalau raja yang memerintah itu lurus hati. Kedua, hakim melakukan pemali. Ketiga,
kalau orang banyak dalam negeri itu bersatu padu.” “Kalau ada hubungan kekeluargaan

22

haruslah ia seia sekata dengan hubungan kekeluargaan yang lain, harus bersidang
sesama hubungan kekeluargaan untuk melihat (mempertimbangkan) bagaimana
kesudahan duduknya sesuatu hal, maka haruslah mereka itu sepakat membawa hal itu
kepada Bone, raja mereka itu ; maka disampaikanlah hal itu kepada Bone, dan
dibicarakan hal itu menurut Hukum – hukum yang berlaku (terpakai) di Bone ;
dilaksanakanlah dan disanalah memperoleh keputusan ; maka Bone mengambil cukai ;
kalau Bone telah mencukai, kembalilah mereka ke negerinya. Maka dicukainyalah
bawahannya (dibawah perintahnya), karena adalah Bone itu mengumumkan
(mengeluarkan perintah) pada hubungan kekeluargaannya, yang terjadi dari
sekelompok rumah yang dikelilingi rumpunan bambu, bahwa mereka bisa menghukum
menurut Hukum dalam negerinya sendiri, dan menjalankan Adat – adat dalam
negerinya sendiri ; adalah adat – adatnya itu dikuatkan (oleh Bone), dan tidaklah
diabaikan (direnungkan) ketetapannya (keputusannya). Inilah pula adat pengikutan
kekeluargaan kita di Bone. Bila disuruh, ia melakukanlah, bila dipanggil ia, menyahutlah
dan bila dimintai, ia memberi.” “Ada pula pengikutan mengadatkan adatnya, ialah
pengikutan yang diumumkan kembalinya pula apa yang dimintanya. “ “Ini pula yang
diumumkan oleh Bone, bahwa bila soal negeri dibicarakan, dipikirkannya, soal negeri
yang dapat dipercayai oleh Bone. Adat kita berkeluarga, perkeluargaan itu tidak boleh
(melakukan) tuntut menuntut, tidak diperbolehkan adu mengadukan, tidak
diperbolehkan ia mengadatkan, tidak diperbolehkan runtuh meruntuhkan bila hanyut
hendaklah mendamparkan satu sama lain, tidak diperbolehkan satu sama lain
menurunkan ke lumpur, tidak diperbolehkan satu sama lain bawa – membawa mendaki
gunung.” “Satu bicara yang kita sepakati berkeluarga, yakni kalau telah ada yang kita
sepakati, dimana hal itu terjadi di negeri kita, tidak harus kau bicarakan lagi ; tidak
dihalangi (dicukai) sekiranya Barang – barang kepunyaanmu mati (habis). Kalau (salah
seorang) menyerahkan diri bulat – bulat, hendaklah diketahui satu sama lain, dan atas
persepakatan kita bersama baharulah dapat dijatuhi (keputusan). Kalau keluarga kita
pergi pada hubungan kekeluargaan Negara kita, suruh ia kembali, kami tidak bicarakan,
jangan engkau suruh ia tinggal. ” “Kalau soal anak yang disepakati, harus
memberitahukan satu sama lain kepada hubungan kekeluargaan kita. Apa yang kita
sepakati berkeluarga, itulah yang dilakukan, bersama kita (berkeluarga) memutuskan,
bersama kita (berkeluarga) menjadikan harta. Adat kita pula berkeluarga, yang
ditinggalkan oleh raja dahulu, yang kita pusakai, tidak diperbolehkan menghancurkan
satu sama lain, tidak diperbolehkan satu sama lain memasukkan orang kuat (kekuatan
dari luar), tidak diperbolehkan melakukan perbuatan sewenang – wenang satu sama
lain. Adat kita pula berkeluarga, kalau ada yang memusingkan kita, kebaikan yang
mengakhirinya.” “Adat pula kita berkeluarga, kita menaikkan ke rumah satu sama lain
mengenai suruhan keluarga kita, dan kita layani dengan baik, sampai selesai yang
disuruhkan keluarga kita itu, demikianlah pesanan raja kita dahulu, kita harus pusakai,
kikta tidak dahulu mendahului, kita harus pusakai hal itu, karena di Bone, kita tak boleh
dahulu mendahului, kalau kita tak bersepakat berkeluarga lebih dahulu, karena

23

pengikutan kita di Bone itu, bahwa hanyalah tombak kita yang mengikut dan perisai kita
yang tidak busung (karena durhaka) dan janganlah hendaknya kita sebut hal itu ”. Tanya
jawab antara Raja Bone dengan penasehatnya ini didalamnya banyak terkandung
kearifan local khas Bugis, khususnya dalam memberi warna dan nuansa dalam
berpemerintahan dan menjalankan kekuasaan.

2. ac (Acca) “Cerdas” , yaitu mampu melihat dan memahami kemungkinan akibat
yang akan terjadi dari suatu perbuatan atau tindakan yang akan diambilnya.

Makna Cerdas bagi orang Bugis, dimana dikatakan bahwa : aiyp nriysE tau
mc aiynritu mjEpueaGi cpn esdiaea pkauk.E Iyapa nariaseng
tau Macca iyanaritu Tau majeppuiengngi cappana seddie pangkaukeng.” Artinya ; (Baru
dapat dikatakan orang cerdas apabila ia mampu mengerti betul akibat dari perkataan
atau perbuatan yang akan dilakukan.)

Selanjutnya berkatalah Arung Bila, ada Empat tanda tanda bagi yang dianggap orang
cerdas, yaitu :

1. esauwni psu ad npsau “Seuani, passu'i ada napatuju”. (Pertama ketika ia
mengeluarkan perkataan maka ia benar)

2. mduan mtuaoai ad ntuken “Maduanna, matuoi ada nattukenna.” ( Kedua
ketika ia berkata maka ada manfaatnya.)

3. mtElnu dupai ad npsau “Matellunna duppai ada napasau”. ( Ketiga
menghadapi pertanyaan ia tangguh menjawabnya)

4. maEpn molai ad npdpi “Maeppa'na, molai ada napadapi”. ( Keempat,
mengejar dengan pertanyaan dan mampu mendapat jawaban yang diinginkan ") -

Disamping tuntutan akan Moral dan Etika yang tinggi, juga yang tak kalah pentingnya
adalah faktor kecerdasan. Sebab manusia yang kurang cerdas akan selalu
mengedepankan faktor emosional. Oleh karena itu pandangan orang Bugis tentang
pentingnya kecerdasan adalah merupakan sebuah kewajiban. Sebab ada sebuah
pandangan mereka terhadap orang bodoh, seperti adagium Bugis mengatakan bahwa :
aiyro to boGoea cain bw ntuw. (“ Iyaro to Bongngo’e cai’nami
bawang nattuang)” artinya : Orang bodoh itu cuma emosinya saja yang menjadi
andalannya. Kesimpulannya bahwa kecerdasan bagi manusia sangatlah penting artinya,
karena kecerdasanlah yang dapat menuntun manusia untuk berpikir jernih, penuh
kearifan dan bijaksana dalam bertindak. Dan terdapat sederetan nama nama orang
cerdas Bugis Wajo seperti : La Mungkace to Uddamang, La Tiringeng to Tabba, La

24

Tadangpare Puang ri Maggalatung, La Maddukkelleng, La Sangkuru Patau Mulajaji ,
dan lain lain.
Selanjutnya makna ac (Acca) juga disebutkan sebagai berikut :
 aEpai trn tau eknw nwea.
a. emlori gau ptuju.
b. emloriwi ad ptuju.
c. moloai roporopo nerew paiem.
d. moloaiea llE nmtik.E

Eppai tanranna tau kenawa nawae :

a. Melori gau patuju
b. Meloriwi ada patuju
c. Moloi roppo roppo narewe paimeng
d. Moloi laleng namatike

(Catatan To Maccae ri Luwu (To Ciung) dari kumpulan A.Pabarangi)

Terjemahan :

Ada Empat ciri orang cerdas :

a. Menyenangi perbuatan benar
b. Menyenangi kata benar
c. Menghadapi semak ia surut langkah
d. Menempuh jalan ia berhati hati.

Maknanya :
Pada umumnya orang yang betul betul berpikiran cerdas, adalaha. Seorang budiman
lebih banyak memikirkan kesalahan yang ada pada dirinya, daripada apa yang terjadi
pada orang lain. Berdasarkan pengetahuan atas kekurangan kekurangannyaia berusaha
meningkatkan diri, karena itu ia menyenangi perbuatan dan kata benar.
Orang cerdas berani surut langkah untuk menghindari kesalahan bukanlah suatu
kekalahan, lebih baik menghindari kesalahan daripada melakukannya. Makanya orang
cerdas selalu berhati hati, sebab ia memperhitungkan tiap langkahnya.

25

 aEpai trn tauea nmc

a. mlEpuai nmtEtE.
b. mkur cai.
c. :mrdEn rigau sti injea.
d. mkur pauwi rpi dn tau.

Eppa’I tanranna tauwe na macca :

a. Malempui namatete.
b. Makurang cai.
c. Maraddena rigau sitinajae.
d. Makurang pauwi ripadanna tau.

(Dari Lontara Hj.Andi Ninnong)

Terjemahan :

Ada Empat tandanya orang cerdas :

a. Teguh dalam kejujuran.
b. Kurang marah.
c. Selalu berbuat yang patut.
d. Kurang bicara sesama manusia.

Maknanya :

a. Orang cerdas menyadari dan meyakini kebenaran yang terkandung dalam kejujuran,
maka ia teguh mengamalkannya, dan akhirnya menjelma dalam kebiasaan.

b. Demikian pula orang cerdas, mampu menguasai diri, menempatkan dan mengerti
akibat buruk dari kemarahan. Marah adalah cara dari orang yang tidak mampu lagi
menempuh jalan yang lebih baik.

c. Orang cerdas akan selalu berbuat patut sebab mengetahui harga dirinya dan dapat
memisahkan perbuatan baik dan buruk.

d. Yang dimaksud dengan kurang bicara disini ialah mengenai hal hal yang tidak
bermanfaat. Sebab kalau terlalu banyak berbicara sampai tak terkendalikan,
kemungkinan pembicaraannya tidak baik.

 riasEeG mc aEpai :

26

a. naitai riaolon gauea njEpuaiwi mru in.
b. mpsitinjai ad mpsirt ewru.
c. sroai mes risli snea pkutnai aeln.
d. poadai ad ad mtuju aEreE G ad mlEm.

Riasengnge macca eppa’I :

a. Naitai riolona gau’e najeppui rimonrinna.
b. Mappasitinajai ada mappasiratang wenru
c. Saroi mase risilasanae pakkutanai alena.
d. Powadai ada ada mattuju enrengnge ada malemma.

(Arung Matoa La Mungkace To Uddamang (1567-1607) dari kumpulan A.Pabarangi

Terjemahan :

a. Ia menyelami masalah sebelumnya, kemudian ia dapat memahami sesudahnya
b. Melayakkan kata dan memantaskan sesuatu
c. Merendahkan diri selayaknya selaras dengan harga dirinya.
d. Dapat mengucaokan kata tegas dan lemah lembut.

Maknanya :

1). Orang cerdas selalu menyelami latar belakang sesuatu agar dapat pula
memperhitungkan akibatnya

2). Orang cerdas selalu bertindak bijaksana, baik dalam kata kata maupun dalam tindak
tanduknya.

3). Menghormati orang lain tanpa melupakan harga dirinya, karena ia mengerti
kehormatan akan datang dengan sendirinya kalau kita bersedia memberikannya
pula pada orang lain.

4). Disamping mengetahui persoalan yang dihadapi , iapun menyadari bahwa orang
cakap harus tahu menempatkan kelembutan dan ketegasan.

 aj nslaiyo ac sibw lEpu.

a. naiy rai seG ac edgg msus npogau.
b. Edto ad msus nbli ad ad medec mlEmea.
c. mtEpEai rpi dn tau nEnia riasEeG lEpu.

27

d. mkEsGi i gaun.
e. Ptujuai nwnwn.
f. medec aepn nemtau ri edwt esauwea.

Aja nasalaiyo acca sibawa lempu :

a. Naiya riasengnge acca de’ggaga masussa napogau.
b. Detto gaga ada masussa nabali ada ada madeceng malemmae.
c. Mateppei ripadanna tau nennia riasengnge lempu
d. Makessingngi gau’na.
e. Patujui nawa nawanna.
f. Madeceng ampena na metau ri Dewata seuwae.
(Catatan : La Tenritau Maddanreng Majauleng dari kumpulan Andi. Pabarangi)

Terjemahan :
Jangan ditinggalkan oleh kecerdasan dan kejujuran

1). Yang dinamakan cerdas tidak ada yang sulit dikerjakan .
2). Tidak ada pembicaraan yang sulit ia jawab dengan kata kata baik dan lembut.
3). Percaya kepada sesamanya manusia.
4). Yang dinamakan jujur perbuatannya baik
5). Pikirannya benar,
6). Tingkah lakunya baik dan takut pada Tuhan.
Maknanya :
Kecerdasan dan Kejujuran adalah dua hal sebaiknya seiring dan saling tunjang
menunjang. Kecerdasan tanpa kejujuran ibarata kapal tanpa nakhoda., sedang kejujuran
tanpa kecerdasan ibarat nakhoda tanpa kapal.
Kejujuran adalah landasan pokok dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia,
sedang kecerdasan melancarkan hubungan tadi.

3. wrni (Warani) Berani yaitu tidak terkejut apabila mendengar berita buruk atau baik,

Pengertian Berani bagi orang Bugis, adalah orang yang berani melawan terhadap dirinya
sendiri. Karena seseorang yang dianggap penakut, sebenarnya ia adalah orang yang
takut pada dirinya. Disamping itu makna Keberanian bagi orang Bugis, minimal
memenuhi 2 unsur yaitu “pEr”E Pereng (daya tahan yang kuat) dan acAcca (Cerdas),

28

keberanian bagi orang Bugis Bukan berarti mana dadamu ini dadaku, bukan seperti yang
sering ditunjukkan para preman, juga tidak seperti yang ditunjukkan oleh para teroris
dengan keyakinan Jihad fi sabilillah, Karena apa yang diperlihatkan kaum teroris
seperti bom bunuh diri, hanya disebut Warani namo (Berani Nyamuk) artinya, berani
seperti Nyamuk menerjang api, dimana keberanian seperti ini tidak memiliki dua unsur
yaitu daya tahan yang kuat untuk bertahan hidup, juga tidak memiliki kecerdasan untuk,
melakukan perlawanan secara kecerdasan pula. Seperti halnya keberanian yang
ditunjukkan orang Bugis jaman dahulu, tidak hanya memenuhi kedua unsur tersebut
tapi lebih dari itu, seperti mereka selalu menunjukkan dengan sifat kesatria dan herois,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh seorang La Maddukkelleng yang kisahnya sebagai
berikut :
Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo
La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang)
puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan
pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas
memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja
Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan
sambung ayam (mappabbitte).
Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati
dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-
orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal
tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng
turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih
banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontara Sukunna Wajo menyatakan bahwa
pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang
Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh
lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka
orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae.
Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja
Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggung
jawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa
La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone
itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo,
namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo
di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai.

La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan
Dewan Pemerintah Wajo (Arung Bettengpola) untuk berlayar meninggalkan daerah
Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat
penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di
tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju)

29

berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu La
Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa : aek
tElu cp modlku “Engka Tellu Cappa modalakku” ( Ada TIGA UJUNG bekal )
yang akan dibawa serta yaitu:

“mesdin cp gjku” Maseddinna Cappa Lilaku (pertama Fasihnya ujung lidah-ku
dalam berdiplomasi),

“mduan cp gjku” Maduanna Cappa Gajangku ( kedua tajamnya Ujung Badik-
ku dalam berperang)

“mtElnu cp lsoku” Matellunna Cappa Lasoku ( ketiga Ujung Kemaluan-ku
lawan yang tidak bisa ditakulukan dengan kedua unsur tersebut diatas maka jalan
menikahi keluarganya)
Makna dari Tellu Cappa ( Tiga bekal ) tersebut diatas adalah sebagai berikut :
Cappa Lila. Fasihnya Ujung Lidah, artinya dalam perjalanan La Maddukkelleng menuju
perantauan, tentunya tidak semua daerah yang didatangi, sama peradabannya dan
pertahanannya. Olehnya itu dalam perjalanan tersebut apabila ia tiba pada suatu
daerah, maka ia terlebih dahulu mempelajari situasi dan kondisi daerah tersebut. Jika
lembutnya Ujung Lidah atau diplomasi, sebagai jalan yang dapat ditempuh, untuk
mendapatkan sambutan dan simpati dari masyarakat setempat, maka jalan itulah yang
akan ditempuh.

Cappa Gajangku. (Ujung Badik). Bilamana jalan pertama sudah ditempuh, akan tetapi
masyarakat setempat belum mau memperlihatkan rasa persahabatan atau rasa
persudaraan, maka jalan kedua yang akan ditempuh yaitu tajamnya Ujung Badik.
Artinya ia telah siap untuk melakukan kekerasan dan perang guna menaklukan daerah
setempat.

Cappa Lasoku. (Ujung kemaluan) Bilamana bekal kedua atau Ujung Badik ia rasa tidak
tepat untuk dilakukan, maka jalan terakhir adalah mengawini anak kepala suku atau
anak raja daerah setempat. Hal sebagaimana apa yang dilakukan terhadap kerajaan
Pasir. Ia mengawini anak perempuan Raja Pasir, sehingga pada saatnya ia diangkat
menjadi Raja Pasir sekaligus cucunya sebagai raja Kutai Kartanegara.
Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan
menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukkuna Wajo
memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya
bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa
lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh kenegeri orang.

30

Selanjutnya wrni (Warani) “Keberanian” juga memiliki arti tersendiri yang berkaitan
dengan prinsip hidup Bugis Makassar, sebagaimana apa yang disebut “Siri”
sebagaimana dikatakan :
 metmua mptea metp dua tElu msolsolea.
msol sol metto tEmsol sol metto, lEbini met msol
solea.
agpi rai tGri nrieljn cEem aptEtiknE pbju eajea.

Matemua mapata’e matepi dua tellu massolla sollae.:

a. Massolla solla mateto, temma sslla solla mateto, lebbini sia mate massolla sollae.
b. Agapi riattangngareng narilejjana cemme apatettikenna pabbaju ejae.

(Catatan : Dari kumpulan Haji Andi Nonong)

Terjemahan :

Mati jua yang waspada, tapi dua tiga lagi yang mati karena mengamuk.

a. Yang nekat mati juga, yang waspada mati juga, lebih mati mengamuk.
b. Apalagi yang dipertimbangkan kalau sudah kalau badan sudah berlumpur, kalau

baju sudah bersimbah darah.

Maknanya :

Disini terdapat 3 kalimat, kalimat pertama menganjurkan untuk mempertimbangkan
dengan tenang setiap persoalan. Sebab berakibat besar kalau kurang pertimbangan
yang menyertainya. Kalimat kedua menggambarkan bagaimanapun keduanya pun
akan mati jua, dari itu lebih mati dengan mengamuk. Mati dengan mengamuk setidak
tidaknya meninggalkan kesan , bahwa pengorbanannya berdiri diatas kebanggaannya,
sebagai seorang laki laki yang membela kehormatannya, apabila menyangkut seperti
yang disebut kalimat ketiga . Kalimat ketiga adalah kias yang menyangkut harga diri.0

4. “gEtE” Getteng (Tegas) yaitu berani berkata ya atau tidak

Adalah orang yang mampu menyatakan “ya” atau “tidak”. Seorang ( Orang terhormat)
wajib bagi dirinya untuk memiliki sifat berani dan tegas, keberanian saja tidak cukup.
Keberanian haruslah disertai dengan ketegasan dalam pendirian. Orang yang berani
tetapi tidak cendekia dan tegas dalam pendirian dapat terjerumus dalam kenekatan.

Makna Getteng.( Tegas)

31

Tegas dalam bahasa Bugis disebut Getteng, namun arti sebenarnya Getteng adalah
tarik, terminologi getteng dalam hal ini adalah bagaimana seseorang dapat menarik
kesimpulan kemudian mengambil keputusan dengan cepat, itulah makna dari Getteng.
Sebagaimana kalimat filsafat orang Bugis yang bersifat pertanyaan yang biasanya
dituntut untuk mencari jawabannya, sebagai berikut : “Kegi atatumpukenna to larie,
singkeruangna to ranggaselae” artinya “Dimana tempat larinya orang yang sudah
tertumbuk tidak ada jalan lagi, dan bagaimana mengambil kesimpulan bagi orang yang
ragu.” Jawabannya adalah pada titik dimana ia harus mengambil keputusan dengan
tegas. Sebagai contoh adalah ketika seorang manusia Bugis dihadapkan pada masalah
perseteruan yang dia tidak bisa hindari, maka saat itulah ia harus mengambil ketegasan
dengan meyakinkan dirinya dengan kata kata seperti : “De’ nalabu matanna essoe
ritengngana bitarae” artinya : “Tidak akan terbenam matahari ditengah hari, atau
dengan kata lain tidak akan mati seseorang kalau belum waktunya.”
Sifat tegas juga oleh orang Bugis sering mengambil perumpamaan (Rapang) seperti
Benang Sutera, Sutera adalah adalah serat benang yang paling lembut dan terkuat dari
seluruh serat benang lainnya yang terbuat dari proses alam. Oleh karena itu seorang
manusia Bugis dituntut untuk senantiasa selalu mengedepankan kelembutan dalam
ketegasan mengambil keputusan. Dari filsafah Sutra inilah yang menjadikan kemudian
seluruh pakaian adat Bugis terbuat dari Sutra, dan barangkali tidaklah berlebihan bila
dikatakan bahwa satu satunya Suku bangsa di Nusantara ini yang menjadikan Sutra
sebagai pakaian adat.

Berani dan tegas sesungguhnya hanya memiliki 2 unsur yaitu :

“aklE” Akkaleng (Akal)
“pEr”E Pereng (Tahan)

“aklE” Akkaleng (Akal)

Orang berani tanpa disertai akal hanya bisa disebut orang nekat. Sementara orang
berani tanpa disertai daya tahan hanya bisa disebut orang emosional.

Manifestasi keberanian yang diwujudkan dalam Akkaleng (Akal) dapat dilihat
sebagaimana penuturan seorang kakek yang mengatakan :

Dahulu ada dua laki laki bersaudara adik kakak. Pada suatu hari kakaknya dipukul dan
tidak melawan. Namun adiknya mengetahui hal itu, lalu didatanginya kakaknya dan
berkata ; Saya dengar kakak pernah dipukul oleh bapak A, dan kakaknya mengakui hal
itu.

32

Adiknya berkata : Kenapa tidak melawan ?. Apa tidak malu ?.

Dijawab kakaknya : Justeru saya menggunakan akkalengku (akal) berupa “Siri” (malu).
Sebab apa kata orang kalau saya sebagai anak muda melawan seorang yang sudah tua.
(Aku ini bukan kalah tapi hanya mengalah)

Kemudian adiknya berkata : Kalau begitu Sudah mempermalukan (Ta Pakasirinitu)
keluargae.

Kakaknya berkata : Hal ini tidak perlu dijadikan sebagai alasan dipermalukan
(Ripakasiri). Karena saya tidak merasa tidak bisa melawan, bahkan bagi saya satu kali
saja saya tinju orang tua sudah pasti jatuh. Justeru saya sebagai anak muda yang
memiliki rasa “Pesse” atau kasihan melihat kelakuan orang tua itu, sudah tua masih
saja seperti kekanak kanakan. Karena itu dia yang harus malu melihat perbuatannya.

Kemudian adiknya berkata : Tapi nanti keluarganya mengatakan kita orang penakut ?.

Kakaknya berkata : penakut ?. sebenarnya takut dan berani itu, harus pada
tempatnya, kapan kita harus takut dan kapan kita harus berani. Dalam hal ini saya
mengambil sikap takut, sebab apa kata orang kalau saya memukul orang, saya bisa
dianggap sebagai anak yang tidak tahu menghargai seorang yang sudah tua.

Selanjutnya Kakak itu berkata : Perlu adik ketahui bahwa sebagaimana pesan (Paseng)
leluhur kita yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Takut” atau “Berani”
hanya ada dua factor yang perlu jadi pegangan yaitu “Pereng” (Tahan atau Tabah) dan”
“Akkaleng (Akal). Kalau kita berpegang pada kedua unsur ini kita tidak akan pernah
Tabbe Siri” (Kehilangan harga diri)

Sang adik bertanya : Apa makna “Pereng” (Tahan, atau tabah) ?

Kakak menjawab : “Pereng” atau tahan, tabah adalah tingkat perjuangan yang paling
berat dan paling mulia untuk melawan diri sendiri, hal ini sebagaimana sabda
Rasulullah nabi Muhammad yang mengatakan bahwa :

Kita baru kembali dari perang yang kecil yaitu perang Badar yang dahsyat itu, menuju
ke perang yang lebih besar.

Para sahabat heran semua, dalam hati mereka berkata : perang apalagi yang lebih
besar dari perang ini, kemudian salah satu sahabat bertanya “ Perang apa itu ya
Rasulullah” ?.

Rasulullah menjawab : Yaitu perang melawan diri sendiri.

33

Selanjutnya adik bertanya : Kalau yang dimaksud akal (Akkaleng) dalam hal
menghadapi lawan itu bagaimana ?.

Kakak menjawab : Yang dimaksud dengan Akal (Akkaleng) dalam hal ini adalah
sebaiknya sebelum berbuat atau bertindak maka pikirkanlah terlebih dahulu,
sebagaimana pesan (Paseng) yang mengatakan : “Attangako lao riolo ekka siseng,
muinappa mattanga lao rimunrinna ekka seppulo muinappa mappangkaukeng” Artinya
: Pikirkan dahulu apa yang akan terjadi nanti kedepan satu kali, baru kemudian pikirkan
akibatnya sampai sepuluh kali, baru engkau berbuat atau bertindakan.

apakah memang sesuatu reaksi atau tindakan yang akan diambil sudah memenuhi
unsur “Siri” ataukah unsur “Pesse” kalau sekiranya belum mengandung salah satu
diantara unsur tersebut yah, jangan lakukan, emosi itu kita tahan, agar kita tidak
terkena malu.

Adik selanjutnya bertanya : Bagaimana kalau sudah memenuhi salah satu dari kedua
unsur tersebut, sementara kita dihadapkan tidak ada pilihan lain ?

Kakak menjawab : Sebagaimana yang sering dipertanyakan ahli tarekat terhadap
seseorang yang ingin belajar tarekat mengatakan : Kegi atabbuturenna to lari’e
singkeruanna to ranggaselae” artinya “ Dimana larinya orang yang sudah tertumbuk,
dan kesimpulannya orang yang ragu.

Apa jawabannya kak ?.sang adik bertanya

Kakak menjawab : “Toddopuli temmalara” . Artinya : Tancap yang tidak lekang. Yang
maknanya adalah “ Tancapkanlah dalam hatimu sebuah keyakinan tanpa ragu”. Bahwa
“De’ nalabu matanna esoe ri tengngana bitarae” artinya : Tidak akan tenggelam
Matahari di tengah langit atau disiang hari. Maknanya adalah : Tidaklah seseorang akan
mati kalau belum sampai ajalnya.

Nah kalau adik sudah mengambil kesimpulan demikian maka usahakanlah sebagaimana
pesan leluhur yang mengatakan ‘ Akkekelleangngi bettai lecca’i cappana aletengnge
lao ri manipi”. Artinya : “ Usahakan sedapat mungkin mendahului menginjak ujung
titian menuju kematian”

Sang adik bertanya selanjutnya : Maksudnya ?.

Sang kakak menjawab : Ini masih memerlukan uraian yang panjang, karena makna
sebenarnya sudah jauh lebih mendalam dan ini sudah menyangkut ilmu Bugis Makassar
yang disebut ilmu “Pappejeppu”, (ilmu pemahaman).

Demikanlah kakak tersebut menutup pembicaraannya.

34

Dengan menyimak pembicaraan adik kakak tersebut diatas, makanya orang Bugis
Makassar dahulu, dalam mengambil sikap selalu mengedepankan kedua unsur tersebut
sebagaimana pernah dituturkan Drs, Ishak Ngelyaratan bahwa : Orang Bugis dahulu
walaupun ia sudah pegang gagang badiknya dipinggang dan setiap emosinya naik ia
tarik baiknya sedikit keluar, tapi kalau ia berpikir secara sadar, kemudian iya pun
turunkan kembali badiknya, muncul lagi emosinya tarik lagi, sampai berulang kembali
hingga ia mengambil kesimpulan ia harus menahan emosinya dan tidak perlu
mengambil kekerasan, dengan menggunakan badiknya untuk menghajar seseorang.

Begitupula didalam sebuah pertarungan, mereka tidak pernah kehilangan kesadaran
akal pikirannya (Akkaleng). Artinya : Walaupun ibaratnya ia sudah menghadapi
Malaikatul maut.ia masih sadar, artinya ia dituntut untuk menjadi kesatria berdarah
dingin, dimana akal pikirannya masih jalan terus agar ia tidak kehilangan kontrol. Hal ini
dapat dibuktikan ketika terjadi dua laki laki baku tikam dalam satu sarung (Sigajang
laleng lifa) .

Sebab ada satu budaya ditanah Bugis dalam menyelesaikan masalah diujung Badik maka
dua orang laki laki masuk dalam gelanggang yaitu satu sarung untuk berdua, tentunya
hal ini dapat dibayangkan betapa sulitnya bergerak untuk saling baku bunuh dalam satu
sarung, dan tentunya kedua laki laki tersebut sadar kalau keduanya sedang menghadapi
maut dan salah satu diantaranya harus mati atau bisa saja kedua duanya mati, tapi ada
juga semacam ilmu yang mereka miliki yaitu ilmu kebal tubuh dari senjata tajam. Dalam
hal ini kedua laki laki tersebut akan memperlihatkan siapa diantaranya yang paling
unggul dalam kekebalan tubuh, disamping itu Badik yang ada ditangannya juga sebagi
penentu apakah badik ditangannya itu bertuah untuk menembus tubuh lawannya.

Dari keempat asas tersebut diatas, merupakan rangkuman tentang kehidupan manusia
hingga ia meninggal, termasuk didalamnya masalah keberanian dan ketegasan
(Awaraningeng nennia Getteng) .Warani” nennia Getteng berani dan tegas adalah sifat
ideal yang patut dimilki To Deceng (Orang terhormat) pada prinsipnya makna sifat
berani dan tegas itu salah satunya adalah tidak takut mendengar berita buruk dan
berita baik, Tidak takut menghadapi segala macam risiko. Keberanian dan ketegasan
hanya dapat ditegakkan apabila seseorang memiliki watak “Lempu” (Jujur), karena
orang jujur selalu mengedepankan faktor kebenaran, sebagaimana adagium yang
mengatakan “ Berani karena benar, takut karena salah” Hal ini juga seiring dengan
petuah leluhur yang mengatakan : “Tellui somperenna lino: “Lempu, Getteng, Ada
Tongeng na Appasikua. Artinya : Ada tiga hal yang menjadi bekal hidup untuk
mengarungi dunia yaitu : Jujur, tegas, dan Ikhlas menerima kenyataan. Sifat pemberani
pada hakekatnya mengandung empat unsur yakni ;Temmetaui ipariolo (tidak takut
ditempatkan digaris depan), Temmetau’i ipariboko (tidak takut berdiri di belakang) ,
kabar baik atau buruk serta Temmetau’i mita bali (Tidak takut menghadapi lawan atau

35

musuh).Temmetau’i marengkalinga kareba deceng sibawa kareba maja’ (tidak takut
mendengar

II. Nilai nilai ppsE (PAPPASENG) dalam budaya sipktau (SIPAKATAU)

ppsE “Pappaseng” sebagai salah satu bentuk pesan pesan yang mengandung nilai etika dan
moral, baik sebagai sistem sosial, maupun sebagai sistem budaya dalam kelompok masyarakat
Bugis. Dalam pappaseng terkandung ide yang besar buah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa
yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat baik dan buruk.

Di kalangan masyarakat Bugis Makassar, banyak ppsE (pappaseng) pesan pasan) yang
bersumber dari beberapa cendekiawan antara lain: Pappaseng dari La Meggu to Ciung
maccaé kerajaan Luwu, La Mellong Kajao Laliddong dari kerajaan Boné, Arung Bila dari
kerajaan Soppéng, La Tadampare Puang ri Maggalatung dari kerajaan Wajo, dan La Pagala
Nene’ Mallomo dari kerajaan Sidenreng. Tokoh tersebut dikenal sebagai orang arif dan
bijaksana, pada zamannya. Seperti halnya ppsE (Pappaseng) yang menyangkut masalah
sipktau (Sipakatau) yaitu :

 ppern rup tau lmi ai .
(Pappanrena rupa tauwe lima’i)
Makanan manusia ada lima :

- mesdin perai mtn.
(Maseddinna panrei matanna)
Beri makan matanya.
- mduan perai atin.
(Maduanna panrei atinna)
Beri makan hatinya

- mtElnu pera docilni .
(Matellunna panrei doccilinna)
Beri makan telinganya

- maEpn perai bbuwn.
(Maeppana panrei babuana)
Beri makan perutnya

- mlimn perai epnEdni .
(Malimanna panrei penedinna)

36

Beri makan perasaannya.

naiy riasEeG perai mtn aiynritu perai ekdo medec. aep
medec. gau medec.

(Naiya riasengnge panrei matanna yanaritu panrei kedo madecenna, ampe madeceng,
gau madeceng.)

Beri makan matanya ialah beri makan dengan gerak gerik, tingkah laku baik, perbuatan
baik.
naiy riaseE G perai atin yinritu perai ekdo medec. gau
medec.

(Naiya riasengnge panrei atinna yanaritu, panrei kedo madeceng, gau madeceng)

Beri makan hatinya ialah beri makan dengan I’tikad baik, sangkaan/anggapan baik
keyakinan baik.
naiy riasEeG perai docilin yinritu perKliGaiwi ad ad
medec ad ad ptuju. A d ad mekgun.

(Naiya risengnge panrei dauccilinna iyanaritu, parengkalingaiwi ada ada madeceng, ada
ada patuju ada ada makkeguna.)

Beri makan telinganya ialah perdengarkan kata kata baik, kata kata benar, kata kata
berguna.
naiy rai seE G perai bbuwn yinrit perai sibw cEni ati.

(Naiya riasengnge panrei babuana iyanaritu, panrei sibawa cenning ati)
Beri makan perutnya ialah beri makan dengan ikhlas.

naiy riaseE G perai epenedin ynrti u psitru ueaGi sl aian npujiea
pdt ta urmi edeceG.
(Naiya riasengnge panrei peneddinna yanaritu pasituruengngi slla iyanna napojie
padatta tau rimadecengnge.)
Beri makan perasaannya, ialah menyesuaikan segala sesuatu yang disenangi sesama
manusia dalam hal baik
( Catatan : Dari kumpulan Andi Palloge Petta nabba)
Maknanya :

37

Lima makanan untuk manusia yang dicernakan kearah dua tujuan, yaitu satu bagian
jasmaniah melalui perut dan empat bagian untuk rohania melalui mata, telinga, dan
perasaan. Dengan demikian makanan rohaniah lebih banyak dibanding dari makanan
jasmaniah, sehingga tidaklah mengherankan jika usuru rohaniah banyak menentukan
arah hidup manusia.
Dalam budaya sipktau “Sipakatau” faktor hubungan kekeluargaan sangat penting
artnya,untuk membina harmonisasi dalam bermasyarakat. Bahkan dalam budaya Bugis
Makassar memandang bahwa tetangga itu adalah keluarga yang paling dekat, sehingga ada
adagium yang mengatakan :
 mau mlE E meblea tEpd mblibolea.

(Mau melle mabelae teppada mabbali bolae.)

Artinya : Bagaimanapun baiknya keluarga yang jauh, namun jauh lebih baik tetangga.

Karena itu makna sipktau “Sipakatau” hubungannya dengan keluarga sebagaimana
disebutkan dalam adagium seperti :

 aepai rpu n epedecGi aesajieG .
mesdin sialureu seG siames mesaji.
mdian siadpEGE pulnai mesaji.
mtElnu tEsci rinaiyGi wrpr mesaji rei sesn sitinjea.
maEpn sipkaiGE pulnai mesaji rei sesn gau ptujuea.
(Eppai rupanna pedecengi asseajingnge :

1). Sialurusengngi siamaseang masseajing.

2). Siaddampengeng pulanai masseajing.

3). Tessicarinnaiyangngi warang parang masseajing risesena gau sitinjae.

4). Sipakainge pulanae masseajing risesena gau patuju’e sibawa wenru madeceng

Catatan dari Lontara Andi Makkaraka Ranreng Bettempola

Terjemahan :

Ada empat hal yang meng-eratkan hubungan kekeluargaan :

1). Senantiasa kasih mengasihi sekeluarga.

2). Maaf memamaafkan sekeluarga

38

3). Rela merelakan harta benda sekeluarga dalam batas batas yang layak.

4). Ingat memperingati sekeluarga demi kebenaran dan tjuan yang baik.

Maknanya :

1). Senantiasa kasih mengasihi dalam keluarga, merupakan simpul ikatan bathin yang
mempertautkan hati dengan hati dan pikiran dengan pikiran.

2). Memaafkan adalah sifat hati yang penuh pengertian baik atas kesalahan orang lain yang
menjauhkan kecurigaan, dendam, kemarahan, sehingga hubungan kekeluargaan tetap
dapat dipertahankan. Maaf adalah perhiasan paling indah dari seorang budiman.

3). Tolong menolong memperkecil jarak kedudukan sosial , maka perasaan senasib terpupuk
dalam lingkungan keluarga.

4). Sumber utama dalam pertentangan ialah kesalahan kesalahan dan kurang pengertian
bersama. Kesalahan dapat diperkecil dengan ingat memperingati kejalan yang benar dan
tidak menitik beratkan sesuatu atas kepentingan diri sendiri. Selain dari itu, ingat
memperingati akan menghingdari dan mengakhiri kesalahan pengertian.

Selanjutnya, disebutkan pula hal yang dapat memperbaiki kekeluargaan, sebagaimana
disebutkan bahwa :

 limai pslE epedecGi aesajieG .
1). siars rsGE nsiames mesai.
2). sipkriao riao
3). tEsci irni aieG risti injea
4). sipkaiGE rigau ptujuea
5). siadpEGE pulnea

Limai passaleng pedecengngi Asseajingnge.
1). Sianrasa rasangnge nasimase masei
2). Sipakario rio.
3). Tessicarinnaiangnge ri sitinajae.
4). Sipakainge rigau patujue
5) Siaddampengeng pulanae
(Catatan : La Paturusi To Maddualeng Ranreng Bettempola dari kumpulan Andi
Pabarangi)
Terjemahan :
1). Sependeritaan dan kasih mengasihi

39

2). Gembira mengembirakan
3). Rela merelakan harta benda dalam batas kewajaran
4). Ingat memperingati dalam hal hal yang benar.
5). Selalu maaf memaafkan

Maknanya :
Sependeritaan dapat meng-eratkan hubungan kekeluargaan karena perasaan
menghargai kebaikan serta kebajikan hidup didunia. Kegembiraan perlu dalam hidup
sekalipun didalam penderitaan, karena melapangkan dada, meluaskan pandangan dan
mempererat jalinan kekeluargaan.Seorang yang betul betul menghargai hidup tidak
akan mempersulit hubungannya dengan orang lain karena tahu bahwa dunia terlalu
singkat untuk dinikmati, oleh itu hidup sebaiknya diidsi dengan hal hal yang bermanfaat.
Dan berilah kegembiraan kepada hati agak sejenak agar tidak menjadi buta.

 aj nslaiyo toGE sibw NmEkni inw. tEp silaieGGi esajin
nkmaesa mnE. nsprE edec tEnealore mj. eEmtauai ri
edwt esauwea.

(Aja nasalaiyo tongeng sibawa nyameng kininnawa, teppasilaingengngi seajinna
nakamaseang maneng. Nasappareng deceng tennaelorengngi maja, nakarena metaui ri
Dewata seuae.)
(Catatan : La Mattareng Maddanreng Takkalalla , kumpulan Andi Pabarangi)

Terjemahan :

Janganlah engkau meninggalkan kebenaran dan kebaikan hati, tidak membedakan
sanak keluarga serta mengasihinya, mengusahakan kebaikan tanpa menghendaki
keburukannya, takut kepada Tuhan .

Maknanya :

Kalau seorang sudah beriman kepada Tuhan, terhidarlah dari perbuatan yang sesat,
Bertambah terjun dalam kebenaran dan kebaikan , bertambah jauhlah pula dari
kesesatan. Manakala kebaikan dan kebenaran bersemi dilubuk hati, akan terpancar
keluar meyelubungi sekelilingnya dalam bentuk amal.

Selanjutnya orang Bugis Makassar, dalam meng-implementasikan sifat unsur Sipakatau
atau dalam menjaga kehormatannya, harkat dan martabatnya, adalah melaksanakan
tuntutan fitrah manusia guna mencapai martabatnya, yaitu “Siri’. Dalam adat istiadat
factor “Siri” merupakan landasan utama dalam meng-implementasikan pangadereng

40

(Adat istiadat) Bila pangngadereng beserta aspek-aspeknya tidak ada lagi, akan
terhapuslah fitrah manusia, hilanglah “Siri’, dan hidup tidak ada artinya bagi orang Bugis
(Mattulada, 1985:64). Oleh karena itulah orang Bugis sangat patuh terhadap
pangngadereng demi “Siri’ atau harga diri. Orang yang memiliki rasa “Siri’ yang tinggi
berarti orang yang mempunyai sifat yang mulia dan tinggi nilai atau martabatnya di
tengah-tengah masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, maka perilaku setiap individu
harus didasarkan pada sifat “acca na lempu, warani na getteng, mappasanre ri Puang
SeuwaE,” artinya pandai mempertimbangkan dan jujur, berani dan teguh pendirian,
berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan ini menunjukkan bahwa esensi siri’
hanya mungkin diperoleh seseorang yang pandai dan jujur, berani dan teguh, serta
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsep “Siri’ yang sampai sekarang diyakini
secara konsisten oleh orang Bugis mempengaruhi tatanan kehidupan bagi masyarakat
pendukungnya. Pengaruh-pengaruh tersebut di antaranya ketaatan kepada
pangngadereng, penegakan harga diri atau martabat, identitas sosial, tradisi merantau
dan motivasi kerja, dan kontrol sosial. Konsep siri’ yang sampai sekarang diyakini secara
konsisten oleh orang Bugis mempengaruhi tatanan kehidupan bagi masyarakat
pendukungnya. Pengaruh-pengaruh tersebut di antaranya ketaatan kepada
pangngadereng, penegakan harga diri atau martabat, identitas sosial, tradisi merantau
dan motivasi kerja, dan kontrol sosial.

Tujuan hidup menurut pangngadereng adalah melaksanakan tuntutan fitrah manusia
guna mencapai martabatnya, yaitu “Siri’. Bila pangngadereng beserta aspek-aspeknya
tidak ada lagi, akan terhapuslah fitrah manusia, hilanglah “Siri’, dan hidup tidak ada
artinya bagi orang Bugis (Mattulada, 1985:64). Oleh karena itulah orang Bugis sangat
patuh terhadap pangngadereng demi “Siri’ atau harga diri. Orang yang memiliki rasa
“Siri’ yang tinggi berarti orang yang mempunyai sifat yang mulia dan tinggi nilai atau
martabatnya di tengah-tengah masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, maka perilaku
setiap individu harus didasarkan pada sifat “acca na lempu, warani na getteng,
mappasanre ri Puang SeuwaE,” artinya pandai mempertimbangkan dan jujur, berani
dan teguh pendirian, berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan ini
menunjukkan bahwa esensi siri’ hanya mungkin diperoleh seseorang yang pandai dan
jujur, berani dan teguh, serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsep “Siri’
yang sampai sekarang diyakini secara konsisten oleh orang Bugis mempengaruhi
tatanan kehidupan bagi masyarakat pendukungnya. Pengaruh-pengaruh tersebut di
antaranya ketaatan kepada pangngadereng, penegakan harga diri atau martabat,
identitas sosial, tradisi merantau dan motivasi kerja, dan kontrol sosial. Konsep siri’ yang
sampai sekarang diyakini secara konsisten oleh orang Bugis mempengaruhi tatanan
kehidupan bagi masyarakat pendukungnya. Pengaruh-pengaruh tersebut di antaranya
ketaatan kepada pangngadereng, penegakan harga diri atau martabat, identitas sosial,
tradisi merantau dan motivasi kerja, dan kontrol sosial.

41

Maka tepatlah pesan La mungkace to Uddamang Arung Matowa (Raja) Wajo ke XI yang
memerintah pada tahun ±1567-1607 yang menyatakan bahwa amar hukum yang
tertinggi dalam Pangadereng (Peradaban yang diper-adat-kan) bagi orang Bugis Wajo
adalah, Pangaja (Nasehat). Dalam mengaplikasikan Pangaja (Nasehat) maka setiap
manusia Bugis secara tidak langsung dituntut pada dirinya untuk selalu meng-intropeksi
diri dalam cara bertutur kata, cara berperilaku, sehingga tidak mudah dicela orang lain.
Disamping itu setiap orang Bugis Wajo agar setiap saat meng-ingatkan dirinya untuk,
selalu melihat dirinya apakah ia sudah sukses membina rumah tangga, apakah ia sudah
sukses mendidik anak anaknya, apakah hubungan dengan tetangganya selalu berjalan
dengan baik, apakah ia sudah berguna bagi masyarakat dan bangsanya. dan tahu diri,
artinya : Setiap orang Bugis Wajo agar setiap saat meng-ingatkan dirinya untuk, selalu
tahu diri dalam membina harmonisasi pergaulan, tidak merasa pintar, tapi pintar
merasa. Agar tidak menghalalkan segala cara dalam berdagang maupun ber-ambisi
untuk menjadi pemimpin masyarakat atau Raja. Sebab ada petuah leluhur yang
mengatakan “ Duami tempedding riala to mapparenta, iyanaritu tau masaro elo, na tau
masaro de’e elona”. Artinya : Hanya ada dua yang tidak boleh diangkat jadi pemimpin
yaitu orang yang sangat berambisi jadi pemimpin dan orang yang tidak mau sekali
ditunjuk sebagai pemimpin.

Karena itu wawasan cara pandang dalam pergaulan sehari hari atau kehidupan dalam
bermasyarakat setiap manusia sebenarnya juga dapat lebih arif dalam bersikap, yang
lebih terhormat dalam bertindak, dan lebih mulia dalam berperi laku.

Namun ada suatu pengertian dalam memanusiakan manusia, adalah dengan adanya
suatu pemahaman mereka yang bersifat hakikat, ketika ada satu filsafah hidup orang
Bugis Makassar, yang mengatakan : sitoGEtoGEn esdimi tau wtnmi meag
“Sitongenna siddimi tau, watanna’mi maega” Artinya : “Sesungguhnya seluruh manusia
dimuka bumi ini hanya satu, hanya tubuhnya yang banyak”. Maknanya secara tersirat
bahwa : Apa yang dalam diri kita, sama dengan apa yang ada pada diri manusia lainnya,
sehingga hal ini dapat melahirkan suatu persaudaraan sejati. Seperti umpamanya,
perasaan seorang manusia ketika merasa bahagia, pasti perasaan itu sama dengan,
semua manusia yang merasakan bahagia, hal ini akan nampak ketika manusia tersebut
merefleksikannya dalam bentuk tindakan. Begitupula sebaliknya perasaan seorang
manusia ketika merasa sedih, pasti sama perasaannya dengan semua manusia yang
merasakan sedih, hal ini juga akan nampak ketika manusia tersebut merefleksikannya
dalam bentuk tindakan. Dan seterusnya.

Sebab menurut pandangan salah satu pakar budaya Bugis Makassar Prof. Dr. Abu
Hamid yang mengatakan : “Siri” itu adalah manusia itu sendiri,. Makna manusia (Tau),
itu sendiri dalam pemahaman dalam budaya Bugis ialah, ketika mereka berdiri pada
sebuah keyakinan dengan memegang sebuah prinsip bahwa ;

42

“Seddimi Tau, Watanna mi maega” artinya, “Pada hakikatnya manusia hanya satu,
hanya raganya yang banyak.

Rupanya pemahaman inilah yang kemudian melahirkan sebuah bentuk ilmu hakikat
sebenarnya tentang Manusia, yang disebut Ilmu Pappejeppu. Pengertian Seddimi Tau
atau Manusia hanya satu, hanya dapat dipelajari dan dipahami oleh orang orang yang
mau mengenal dan mendalami salah satu ilmu yang disebut ilmu Pappejeppu
(Pemahaman). Mungkin saja ada bentuk pemahaman dan keyakinan atau filsafat yang
juga mengatakan bahwa Manusia hanya Satu, bagi suku bangsa atau bangsa lain,
namun bentuk aplikasi dan implementasinya didalam ilmu ini, dimana penulis yakin
akan berbeda. Karena Ilmu Pappejeppu bukanlah ilmu filsafat atau ilmu tasawuf,
walaupun didalam ajaran ini banyak mengadung nilai nilai filsafat dan tasawuf, yang
hanya digunakan untuk meng-ibaratkan sesuatu, guna lebih memudahkan pengertian
ilmu ini. Sebab ilmu ini sebagaimana dikatakan bahwa ;

“tEnaaoki kl tEn lEpai lil tEn airGi i aGi, tEn ewruai
nwnw” “ Tennaoki kalla, tennaleppai lila, tenna iringngi anging, tennawenrui nawa
nawa.” Artinya : “ Ilmu ini tidak ditulis dengan kalam, tidak diucapkan oleh lidah, tidak
disentuh oleh angin, dan tidak dibentuk oleh pikiran.”

Oleh karena itu setiap manusia yang ingin mendalami ilmu Pappejeppu maka ia terlebih
dahulu mencari orang orang yang telah memahami ilmu ini untuk mendapatkan
bimbingan, itupun kalau manusia mau berbagi ilmu. Oleh karena itu dengan melihat
masalah ini, dimana semakin hari semakin berkurang orang yang mengetahuinya, tentu
pada akhirnya ilmu ini akan menghilang, sebab itu penulis memberanikan diri untuk
menulis tentang ilmu ini dan kharasteristiknya, agar ilmu ini tidak ditelan bumi. Dan
sebagai langkah awal, bagi yang ingin mendalami ilmu ini, wajib memahami dan
meyakini bahwa dalam diri manusia, disamping raganya, juga terdapat ROH dan
NYAWA, didalam ilmu Pappejeppu, dipahami bahwa ROH adalah percikan cahaya yang
terpolarisasi dari Nur Ilahi, sedang NYAWA adalah seberkas percikan cahaya yang
terpolarisasi dari NUR Muhammad, polarisasi kedua cahaya tersebut kemudian
bersinergi, yang melahirkan letupan yang disebut Napas. Peranan dan manifestasi
Napas inilah yang kemudian menjadi inti ajaran ilmu Pappejeppu. Dari napas tersebut
kemudian memancarkan lagi polarisasi ke berbagai cakrawala, dari segala penjuru alam
pemikiran manusia, yang kemudian melahirkan cabang cabang tempat bertenggernya
ilmu pengetahuan (Science), Filsafat, Ilmu Metafiska Ilmu Mistik, dan Ilmu mantera.
Khusus untuk ilmu mistik, dan ilmu mantera, semuanya tidak terlepas dari peranan
Napas. Walaupun hal ini nampaknya luput dari perhatian, baik yang mendalami Ilmu
Tasawuf atau Sufisme, ataupun ilmu Pappejeppu itu sendiri. Korelasi napas yang
terpolarisasi, kedalam bentuk ilmu Mistik, dan ilmu mantera, juga memberikan inspirasi,
dan analisa, bahwa peranan napas pada setiap, manusia telah memberikan keyakinan
prinsip Seddimi Tau atau hanya satu manusia, bagi pengamal ilmu Pappejeppu, hal ini

43

oleh penulis mencoba mengungkap, pada buku bagian lainnya. Rupanya prinsip
Seddimi Tau atau manusia hanya satu, kurang disosialisasikan pada masyarakat umum,
padahal ilmu ini memiliki prinsip nilai filosofi tentang, hidup yang sangat mendalam.
Sehingga dapat meciptakan hubungan manusia dengan manusia yang harmonis tanpa
memandang Suku (Etnis) Agama, Ras, dan kedudukan sosial. Karena pada prinsipnya
Seddimi Tau adalah bahwa apa yang ada pada diri kita sama dengan apa yang ada pada
seluruh Manusia lainnya. Sehingga dengan demikian dapat melahirkan persaudaraan
sejati yang dapat menciptakan, hubungan manusia dengan sesama manusia guna
membina harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa maupun dalam
menciptakan perdamaian didunia. Oleh karena itu dalam budaya Bugis Makassar makna
Saudara atau persaudaraan memiliki makna filosofi yang mendalam sebagaimana
Saudara kalau dalam bahasa Bugis disebut Silessureng artinya : Satu keluaran,
ibaratnya Satu Industri yang memproduksi Satu merk mobil. Silessureng atau Satu asal
tempat keluar, memiliki arti bahwa kita manusia Satu keluaran dari perut seorang Ibu.
Begitupula dalam bahasa Makassar disebut Sarebattang artinya Satu perut. Satu perut
artinya bahwa kita semua manusia bersaudara karena kita berasal dari Satu perut
seorang Ibu. Oleh karena itu di daerah Bugis Makassar dahulu, apabila seseorang
dikenal atau belum dikenal datang bertamu dirumah orang Bugis Makassar, dan dijamu
oleh tuan rumah maka tuan rumah akan mengatakan bahwa karena anda sudah
meminum air dirumahku maka secara tidak langsung kita telah mengikat persaudaraan.
Dan menurut seorang Ahli Anthropologi budaya Bugis berkebangsaan Australia yang
bernama Leonard Y. Andaya mengatakan bahwa : Belum pernah saya melihat suku
bangsa yang memiliki tingkat persaudaraan yang begitu tinggi seperti yang dimiliki oleh
suku Bugis Makassar, karena apabila ada orang lain yang sudah dianggap saudara oleh
orang Bugis Makassar mengalami masalah, maka selain isteri dan anaknya, maka apa
yang ada pada dirinya ia akan berikan bahkan bila perlu nyawanyapun ia pertaruhkan.
(Orang Bugis Makassar dahulu). Secara Ontologis bahwa Ilmu Pappejeppu ini telah
dikenal dikalangan orang Bugis, jauh sebelum ajaran Islam masuk ke wilayah daerah
Bugis, masuknya ajaran Islam, khususnya di tanah Wajo (Kabupaten Wajo Sulawesi
Selatan sekarang). Ajaran tasawuf ataupun dari Sufisme, juga banyak mewarnai Ilmu
Pappejeppu dalam berbagai kesamaan pandangan, namun disisi lain juga banyak
perbedaannya. Ketika Ilmu Tasawuf Sufisme, menuntut manusia untuk hidup penuh
kepasrahan, dan hidup Zuhud, maka orang Bugis dengan ilmu Pappejepu yang
dimilikinya, justru ia harus bangkit, dan berjuang, untuk melawan kepasrahan dan nasib,
“(Sebagaimana dalam ajaran Islam berdasarkan Firman Allah SWT). Yang menyatakan
Inna Laha La yugayirru ma bi kaomeng, hatta yugayiru ma bi anfusihim, artinya,
Tidaklah berubah nasib seseorang atau kaum kecuali ia yang merubahnya,) “ hal ini
guna meningkatkan kwalitas hidupnya di dunia, dan kwalitas hidup (ROH) yang ada
pada dirinya ketika ia kembali kepada Tuhannya. Bangkitnya orang Bugis untuk
menentukan nasib ditangannya, tidak terlepas dari sebuah prinsip hidup yang menjiwai
mereka sebagaimana tertuang dalam satu adagium yang mengatakan , Resopa na

44

tinulu temmangingngi malomo naletei pammase Dewata artinya : Hanya dengan kerja
keras dan rajin tak kenal lelah , yang hanya akan mendapatkan Rachmat dari Tuhannya.
Oleh karena itu ilmu Pappejeppu bagi orang Bugis bukanlah ilmu Tasawuf yang
menghanyutkan manusia masuk kedalam meditasi untuk bermediasi dengan Tuhannya,
sebagai tujuan hidup, yang tidak memiliki rasa kepedulian terhadap kehidupan
disekelilingnya. Sebaliknya dalam ilmu Pappejeppu justru ber-meditasi dengan
Tuhannya bukanlah tujuan, tapi ia merupakan pegangan dan bekal manusia Bugis dalam
menjalani kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.

Salah satu pengertian ilmu Pappejeppu tidak hanya berada dalam alam gaib, yang tidak
memiliki wujud realita tertentu, dan hanya dapat dihayati dan direnungkan dalam
aktivitas narasi manusia, tapi juga yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana
mewujudkan dari alam ghaib ke alam nyata menjadi sesuatu yang bermanfaat, atau
sesuatu yang dapat dipetik hasilnya, dari hasil Pappejeppu yang bersumber dari
pemahaman, interaksi antara manusia dengan Tuhannya. Perbedaan lain antara ilmu
tasawuf atau Sufisme dengan ilmu Pappejepu, dimana sebelum memasuki ajaran ilmu
Tasawuf atau Sufisme,terlebih dahulu seseorang harus masuk kedalam salah satu
aliran Tariqat, katakanlah salah Satu aliran Tariqat yang dikenal di Indonesia, adalah
aliran Tarekat Naqsyabandiah. Bahwa seseorang yang masuk kedalam aliran Tariqat ini,
terlebih dahulu ia harus di bay’at atau disumpah , sebagai bentuk kesetiaan dan
kepatuhan yang mengikat dirinya terhadap Mursyid atau syaikh, maupun terhadap
aliran itu. Sedang dalam menuntut ilmu Pappejeppu, seorang murid, tidak ada suatu
keterikatan baik terhadap Guru pembimbing maupun terhadap aliran. Karena ilmu
Pappejeppu tidak memiliki aliran, hanya satu hal yang menjadi Sumpah seseorang murid
terhadap Gurunya adalah sang murid dilarang keras mengajarkan ilmu tersebut kepada
siapapun tanpa ada izin dari Guru pembimbing. Dalam ilmu Pappejeppu, sebenarnya
tidak dikenal Guru dan Murid, seseorang yang mengajarkan dengan menunjukkan jalan
tentang tata cara Mappejepu (Memahami), itu hanya sebuah panggilan, untuk berbagi
ilmu. Dari uraian tersebut diatas bila ditinjau dari segi filsafat Ontologi, ILMU ini tidak
didapatkan satupun dalam bentuk sebuah naskah tulisan, karena hal ini sifatnya sangat
sakral. Dan hanya dapat dibuktikan dan dirasakan serta diyakini sebagai sebuah bentuk
kebenaran oleh pengamal pengamal ilmu Pappejeppu, secara turun temurun, dari
dahulu oleh orang orang Bugis, sebelum mereka menganut Islam. Dan keyakinan inilah
sehingga semakin menambah keyakinan mereka yang mengamalkan Ilmu Pappejeppu
akan kebenaran ajaran Islam, baik dari sisi Syariat maupun sisi Tasawuf (Filsafat) Islam.

Dalam hal ini pula yang menyangkut masalah manusia oleh Prof.DR.Mr.Andi Zainal
Abidin Farid,SH, pernah berkisah bahwa, beberapa tahun lalu ada seorang yang
membunuh iparnya yang sudah punya anak Dua orang, karena i Pakasiri, (
Dipermalukan ) . Kebetulan hakimnya orang Batak yang tidak mengerti apakah itu “Siri”
Hakim anggotanya juga tidak mengerti apa itu “Siri”

45

Hakim mengatakan kepada terpidana : kamu dituduh membunuh.

Di jawab Betul !

Ditanya lagi kenapa kamu membunuh, dijawab ; Untuk mengembalikan martabat saya
dari Anjing ke martabat sebagai Manusia. Sebab bagi orang Bugis , Makassar, Mandar,
Toraja pada prinsipmya menyatakan bahwa : “naiy to edea sirni
aolokolo asumi mdup tau” “ Naiyya to de’e Siri’na olokolo Asumi
maddupa Tau” artinya : Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, yang tidak memilki
“SIRI” itu sama hal nya binatang Anjing yang hanya berwujud Manusia. ‘ Sepuluh tahun
saya jadi Anjing, saya merantau , saya cari dia dalam perantauan. Setelah saya bunuh,
barulah saya kembali jadi Manusia. Sekarang terserah kepada Tuhan apa saya
dimasukkan kedalam neraka saya terima. Karena neraka hanya menerima manusia dan
tidak menerima Anjing. Kalau saya jadi Anjing nerakapun menolak saya. Tidak ada
tempatnya.

Hakim kemudian mengatakan : Kamu bisa bisa dihukum mati dan dijawab, Silahkan.
Pokoknya yang penting bagi saya, saya sudah kembali jadi Manusia. Terserah Ibu mau
hukum berapa lama .

Hakim bertanya : Ada Pembela?

Dijawab tidak ada. Saya tidak mau pakai pembela, juga tidak mau naik banding.

Ketika hakim pulang, Hakim menanyakan apa itu “Siri” sebuah balas dendam ?.

Dijawab bukan, tapi “Siri” adalah pemenuhan kewajiban adat untuk menegakkan
martabat sebagai manusia.

Celaka kata Hakim. Hukum Belanda mengatakan mesti dihukum mati. Hukum Adat
bilang ia harus dibebaskan, tapi yang berlaku hukum Belanda. Inilah hukum modern
mengalahkan hukum adat. Tapi orang tidak mau mengerti.

Orang Bugis dalam menjaga perilakunya dan sopan santun yang sudah mapan dengan
adat “Siri”. Di kampungnya seperti di Kerajaan Wajo, kala itu setiap orang Wajo selalu
dituntut dan dinilai oleh orang per orang atau masyarakat terhadap seseorang, untuk
selalu berlaku sopan santun yang dijiwai oleh “Siri”. Sebab orang yang tidak dapat
menjaga perilaku dan sopan santun dikampungnya, maka ada satu sanksi adat (Hukum)
yang dikenakan yang disebut “Ripoppangi tana “ (Dipersona non gratakan) artinya
orang tersebut harus meninggalkan kampungnya. Ia harus pergi entah kemana, yang
penting ia harus pergi dari kampung. Bagi orang Bugis Makassar, yang hidup
diperantauan, ia tetap diwajibkan untuk selalu menjaga perilaku dan sopan santun
berdasarkan “Siri”. Kalau tempat diperantauan ia tidak bisa menegakkan perilaku dan
sopan santun yang berkenaan dengan “Siri” maka orang, atau orang orang tersebut,

46

wajib bagi dirinya untuk meninggalkan daerah tersebut dan mencari tempat yang lain
dimana ia bisa tetap menegakkan dan menjaga “Siri”.

Hal ini juga sebagaimana dikisahkan orang Bugis, ketika harkat dan martabatnya harus
diturunkan atas perlakuan dan peraturan yang dikenakan oleh Belanda, ketika Belanda
dengan kekuatan militernya yang besar berhasil memukul kekuatan Orang Bugis di
Kepulauan Riau dan semenanjung Malaka. Dengan kekalahan orang Bugis tersebut,
meyebabkan mereka tidak diperkenankan lagi oleh pemerintah Belanda memangku
jabatan politik. Dan perilaku mereka selalu diawasi ketat oleh penguasa. Dengan
demikian etnik Bugis Makassar yang masuk dalam kelompok “The Rolling Class” dicopot
kedudukannya dan tidak lagi diperkenankan memegang jabatan apapun. Dengan
demikian , secara formal telah menjadi kelompok sosial yang dicabut haknya.
Bagaimana sikap kelompok etnik Bugis utamanya kelompok elit menghadapi masalah
ini ?.

Pada akhir abad XVIII yaitu selepas perjanjian atau Tractaat van Altoos Durende
Getrouwe Vriend an Bondgeneetschap. Dua kelompok besar keturunan Bugis Makassar
masing masing dipimpin oleh Tok Awaluddin dan Tok Srilah berlayar dengan perahu
Bugis menuju daratan semenanjung Malaka. Kepergian mereka sebagai bentuk protes
langsung Mallekke Dapureng ( meninggalkan daerahnya,) terhadap pemerintah
Belanda, yang mendiskriminatif orang, dengan menurunkan derajatnya menjadi
dinomor duakan kedudukan sosialnya. Dalam masyarakat. Namun bila disimak adalah
bahwa tindakan mereka itu merupakan lanjutan perlawanan terhadap Belanda
dikemudian hari, sebagaimana yang dilakukan para leluhur mereka.

Rombongan Tok Awaluddin dan Tok Srilah akhirnya tiba di kawasan Penajis, Rembau
Negeri Sembilan. Menurut Gullick, kelompok etnis Bugis Makassar datang dengan
maksud damai untuk memulai kehidupan baru. Lepas dari tekanan politik Belanda.
Namun dikawasan ini mereka menghadapi masalah baru. Masalah adat dengan etnik
Minangkabau yang lebih dahulu berdomisili di kawasan itu. Kemudian terjadilah konflik
adat antara etnik Minangkabau dengan etnik suku Bugis Makassar. Pasalnya etnik
Minangkabau yang menganut sistim matrilinear atau adat perpatih, berusaha
memaksakan adat yang dianutnya dalam kehidupan sosial budaya terhadap etnik Bugis.
Perlakuan ini ditolak dengan tegas oleh kelompok etnis Bugis Makassar. Sebab walau
bagaimana mereka adalah kelomp[ok yang juga telah memiliki adat yang telah mapan,
dan telah manunggal dalam hidup dan kehidupan mereka. Karena itu mereka berusaha
agar tidak ditelan oleh adat perpatih, dan memperlihatkan dengan tegas sebagaimana
yang dikatakan Gullick sebagai berikut :

“They come in peace but they can hardly have been po[ulair, Kampong Penajis was a
stronghold of Minangkabau feeling, to wich Raja Malawar had comeon his first arrival in
negeri Sembilan five year before. There was a long tradition of hostility between the
Bugis and the Sumatran Malays wich was exacerbarted by the difference in their

47

customs. On occation the Bugis married relatives on their mother side ( Nikah beranak
ibu atau sepupu). Wich was incest among the Minangkabau communities , so Dato
Awalauddin and his partly decided to move away to a sttlement on their on”

Dari kampong penajis, Rembau, Dua kelompok etnis Bugis tersebut mencari kawasan
baru yang lepas dari intervensi adat alain. Akhirnya To Aaluddin dan Tok Srilah serta
anak buahnya sampai di kawasa Linggi. Setelah mempelajari kondisi kawasan ini, maka
mereka memutuskan untuk menetap di Linggi. Pada waktu kelompok etnik Bugis
Makassar tersebut tiba di Linggi, kawasan Linggi masih merupakan hutan “perawan
sungai sungainya masih penuh ilalang dan belum dapat dilayari. Kecuali itu manusia lain
belum pernah ada yang menetap disitu. Jadi Tok Awaluddinlah dan Tok Srlah beserta
anak buahnya yang pertama kali mendiami kawasan Linggi. Hutan yang lebat dan ilalang
mereka bersihkan kemudian membangun perkampungan baru, kemudian akhirnya
membentuk msyarakat Bugis Makassar yang baru di Linggi.

Pada tahun 1800 kawasan Linggi praktis telah berjaya dibangun oleh etnis Bugis
Makassar, menjadi kawasan otonom atau mempunyai menentukan dirinya sendiri,
termasuk sistim budayanya yang sepenuhnya ber-orientasi kepada Budaya adat leluhur
mereka, di Sulawesi Selatan. Kelompok etnik Bugis makassar yang bermukim di Linggi
itu, merupakan “Kotak” kebudayaan Bugis Makassar, yang hidup dan berkembang di
Semenanjung .

Kemudian pada awal abad XIX. Linggi yang berada dibawah pimpinan Saudagar Bugis
Abdul Rahman dari Belawa kerajaan Wajo, telah muncul sebagai kawasan yang
memegang peranan dalam bidang perdagangan. Mereka manusia Bugis tampil sebagai
pengusaha pengusaha timah yang memiliki monopoli perdagangan. Kawasan Linggi
merupakan tempat yang strategis di kawasan Sungai Ujong yang sekaligus dapat
berhubungan langsung dengan selat Melaka. Setelah itu, fungsinya tidak saja sebagai
pusat perdagangan, tetapi juga merupakan pusat perdagangan barter, dimana Newbold
melukiskan posisi linggi sebagai berikut :

“ Tha etrade of sungai Ujong os principally in tin, wich is got at Sala, Maraboh, Battu
lobong, Kayu arra, and Tamong, Thence it is brought down to Linggie, and landed at
Palacalangs Cundang, Durian and Manggis. It is here deposited in warehouses, and
generally bartered for rice, opium, salt, tobacco, clothes, oil and shells for making line
brought up by boats, from one half to one and a half coyansthen. Wich cannot easily
ascend higher than the part of the river.

Kejayaan penguasa Linggi kemudian dilanjutkan oleh Moh. Attas, telah menjadikan
kawasan ini terkenal dan diperhitungkan. Manusia Bugis, pemilik kawasan ini
membentuk unit politik, dan kekuatan militer untuk melindungi perdagangan mereka,
hingga jatuhnya Linggi, oleh Inggeris dengan kekuatan militer yang jauh lebih besar
dibawah pimpinan Raffless “Kisah sejarah ini sengaja kami tampilkan untuk disimak

48

bagaimana orang Bugis Makassar mempertahankan harga dirinya dan kemudian bangkit
berjaya walaupun pada akhirnya harus mengalamai kekalahan dari pasukan Inggeris
dibawah pimpinan Raffles, dimana Raffles kemudian mengklaim bahwa dirnyalah yang
membangun Singapura, namun dibantah oleh sebuah buku yang berjudul The Prince of
Pyrate yang diterbitkan oleh Institut of Singapura. (Disunting dari berbagai sumber dan
buku The Prince of Pyrate)

Sifat “Sipakatau” ini juga sejalan dengan pengertian hak asasi manusia dalam alam
demokrasi. Dalam alam demokrasi yang berlaku pada pemerintahan di kerajaan Wajo,
walaupun tidak mengenal hak asasi manusia, namun yang dikenal adalah hak
kemerdekaan seorang manusia.

Hak kemerdekaan yang menyangkut Hak Asasi Manusia di kerajaan Wajo, bila
disandingkan dengan pengertian Hak Asasi Manusia secara umum dan berlaku secara
Universal atau Universal Declaration of human RightsI Istilah hak asasi manusia
sebagaimana hal tersebut dibawah :

Menurut UU No 39/1999, yang mengatakan bahwa, HAM adalah seperangkat hak yang
melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.

Dengan akal budinya dan nuraninya, manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan
sendiri perbuatannya. Disamping itu, untuk mengimbangi kebebasannya tersebut
manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang
dilakukannya.

( Hal ini bila disandingkan dengan Hak Asasi Manusia yang berlaku di Kerajaan Wajo,
maka ada perbedaan fundamental yang menyangkut pengertian Kebebasan dan
Kemerdekaan. Orang Wajo dalam menegakkan hak konstitusinya, tidak mengenal arti
Kebebasan, karena kebebasan tidak memilik batasan batasan apa itu kebebasan,
sehingga kebebasan memiliki potensi besar untuk melanggar Hak Azasi Manusia itu
sendiri. Sementara di Kerajaan Wajo Rakyat Wajo tidak mengenal Kebebasan, orang
Wajo hanya mengenal Kemerdekaan, karena Hak Kemerdekaan yang berlaku pada
setiap orang Wajo ada Hukum yang mengikat, ada Filsafah hidup moral dan etika yang
mengikat yang dinamakan “Siri”

Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut Hak Asasi Manusia yang secara
kodratnya melekat pada diri manusia sejak manusia dalam kandungan yang membuat
manusia sadar akan jatidirinya dan membuat manusia hidup bahagia. Setiap manusia

49

dalam kenyataannya lahir dan hidup di masyarakat. Dalam perkembangan sejarah
tampak bahwa Hak Asasi Manusia memperoleh maknanya dan berkembang setelah
kehidupan masyarakat makin berkembang khususnya setelah terbentuk Negara.
Kenyataan tersebut mengakibatkan munculnya kesadaran akan perlunya Hak Asasi
Manusia dipertahankan terhadap bahaya-bahaya yng timbul akibat adanya Negara,
apabila memang pengembangan diri dan kebahagiaan manusia menjadi tujuan.

Berdasarkan penelitian hak manusia itu tumbuh dan berkembang pada waktu Hak Asasi
Manusia itu oleh manusia mulai diperhatikan terhadap serangan atau bahaya yang
timbul dari kekuasaan yang dimiliki oleh Negara. Negara Indonesia menjunjung tinggi
Hak Asasi Manusia dan kewajiban dasar manusia. Hak secara kodrati melekat dan tidak
dapat dipisahkan dari manusia, karena tanpanya manusia kehilangan harkat dan
kemanusiaan. Oleh karena itu, Republik Indonesia termasuk pemerintah Republik
Indonesia berkewajiban secara hukum, politik, ekonomi, social dan moral untuk
melindungi, memajukan dan mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya Hak
Asasi Manusia dan kebebasan dasar manusia.

(Dari dari uraian tersebut diatas bila dicermati hanya merupakan dan berlandaskan
teori saja, sebab masih menghawatirkan adanya bahaya sifat Tirani, diktator dan
sebagainya dari seorang pemimpin. Sementara rakyat dikerajaan Wajo saat itu didalam
mnegakkan hak konstitusinya, maka Raja yang akan dipilih harus memiliki Kriteria yang
paling Jujur, Cerdas, Tegas dan Berani, diantara yang lainnya. Tidak berdasarkan pada
pencitraan, retorika, apalagi yang menggunakan cara cara yang tidak bermoral, seperti
Money politik, penipuan penggelembungan suara dan lain lain. Bahkan Orang Wajo
atau Kerajaan lainnya sering memilih dan mendatangkan pemimpin dari luar yang
memang pantas dan dianggap memenuhi kriteria yang berlaku. Dan hal ini memang
memungkinkan, karena Kerajaan Kerajaan di tanah Bugis adalah Satu rumpun juga. )

Bagi orang Bugis dalam adat sopan santun factor tata bicara seseorang juga sangat
penting artinya, karena setiap kata, memiliki makna hakikat tersendiri sebagaimana
Paseng (Pesan) yang mengatakan : Anging penru oni, Oni penru Sadda, Sadda penru
Ada, Ada adatta’mitu natoriaseng Tau artinya, Angin membentuk bunyi, Bunyi yang
membentuk Suara, Suara yang membentuk Kata. Maka hanya katalah yang
menunjukkan kita manusia atau bukan. Dengan kata lain bahwa seorang yang disebut
manusia, barulah ia dapat dikatakan manusia bilamana Kata dan Perbuatan sama.
Dalam bahasa Bugis dikatakan “Taro ada, taro gau”. (Kata dan perbuatan sama)

“Siri” dalam adat sopan santun tidak boleh asal berkata, dan asal berbicara, sebab
kata kata yang sudah keluar dari mulut bukan lagi milik kita, orang Bugis tidak boleh
hanya asal mengeluarkan pendapat yang tidak bermakna sebagaimana yang dipesankan
sebagai berikut : Lebbi’mui ikafangnge bongngo nato mabbicara nariya pitangngi
abongngorenge. Artinya, “Lebih baik diam disangka bodoh daripada berbicara langsung
memperlihatkan kebodohan.”

50


Click to View FlipBook Version