Dalam hal ini masalah bicara pada umumnya orang Bugis tidak banyak bicara,
mereka merasa lebih baik diam daripada membicarakan sesuatu yang tidak berguna.
Sebab soal berbicara itu memiliki makna tersendiri, karena pada prinsipnya dalam
berbicara umumnya seseorang dituntut untuk menunjukkan sifat dan character
sebagai berikut : Salah satu bentuk naskah Lontarak Bugis yang berhubungan dengan
kearifan dan sarat dengan nilai dan karakter dikenal dengan istilah Pappaseng ‘Pesan-
pesan; nasihat; wasiat’
Selanjutnya orang Bugis Makassar dalam meng-implementasikan sifat unsur
Sipakatau atau dalam menjaga kehormatannya, harkat dan martabatnya, adalah
melaksanakan tuntutan fitrah manusia guna mencapai martabatnya, yaitu “Siri’. Dalam
adat istiadat factor “Siri” merupakan landasan utama dalam meng-implementasikan
pangadereng (Adat istiadat) Bila pangngadereng beserta aspek-aspeknya tidak ada lagi,
akan terhapuslah fitrah manusia, hilanglah “Siri’, dan hidup tidak ada artinya bagi orang
Bugis (Mattulada, 1985:64). Oleh karena itulah orang Bugis sangat patuh terhadap
pangngadereng demi “Siri’ atau harga diri. Orang yang memiliki rasa “Siri’ yang tinggi
berarti orang yang mempunyai sifat yang mulia dan tinggi nilai atau martabatnya di
tengah-tengah masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, maka perilaku setiap individu
harus didasarkan pada sifat “acca na lempu, warani na getteng, mappasanre ri Puang
SeuwaE,” artinya pandai mempertimbangkan dan jujur, berani dan teguh pendirian,
berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan ini menunjukkan bahwa esensi siri’
hanya mungkin diperoleh seseorang yang pandai dan jujur, berani dan teguh, serta
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsep “Siri’ yang sampai sekarang diyakini
secara konsisten oleh orang Bugis mempengaruhi tatanan kehidupan bagi masyarakat
pendukungnya. Pengaruh-pengaruh tersebut di antaranya ketaatan kepada
pangngadereng, penegakan harga diri atau martabat, identitas sosial, tradisi merantau
dan motivasi kerja, dan kontrol sosial. Konsep siri’ yang sampai sekarang diyakini secara
konsisten oleh orang Bugis mempengaruhi tatanan kehidupan bagi masyarakat
pendukungnya. Pengaruh-pengaruh tersebut di antaranya ketaatan kepada
pangngadereng, penegakan harga diri atau martabat, identitas sosial, tradisi merantau
dan motivasi kerja, dan kontrol sosial.
Tujuan hidup menurut pangngadereng adalah melaksanakan tuntutan fitrah manusia
guna mencapai martabatnya, yaitu “Siri’. Bila pangngadereng beserta aspek-aspeknya
tidak ada lagi, akan terhapuslah fitrah manusia, hilanglah “Siri’, dan hidup tidak ada
artinya bagi orang Bugis (Mattulada, 1985:64). Oleh karena itulah orang Bugis sangat
patuh terhadap pangngadereng demi “Siri’ atau harga diri. Orang yang memiliki rasa
“Siri’ yang tinggi berarti orang yang mempunyai sifat yang mulia dan tinggi nilai atau
martabatnya di tengah-tengah masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, maka perilaku
setiap individu harus didasarkan pada sifat “acca na lempu, warani na getteng,
mappasanre ri Puang SeuwaE,” artinya pandai mempertimbangkan dan jujur, berani
dan teguh pendirian, berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan ini
51
menunjukkan bahwa esensi siri’ hanya mungkin diperoleh seseorang yang pandai dan
jujur, berani dan teguh, serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsep “Siri’
yang sampai sekarang diyakini secara konsisten oleh orang Bugis mempengaruhi
tatanan kehidupan bagi masyarakat pendukungnya. Pengaruh-pengaruh tersebut di
antaranya ketaatan kepada pangngadereng, penegakan harga diri atau martabat,
identitas sosial, tradisi merantau dan motivasi kerja, dan kontrol sosial. Konsep siri’ yang
sampai sekarang diyakini secara konsisten oleh orang Bugis mempengaruhi tatanan
kehidupan bagi masyarakat pendukungnya. Pengaruh-pengaruh tersebut di antaranya
ketaatan kepada pangngadereng, penegakan harga diri atau martabat, identitas sosial,
tradisi merantau dan motivasi kerja, dan kontrol sosial.
Maka tepatlah pesan La mungkace to Uddamang Arung Matowa (Raja) Wajo ke XI yang
memerintah pada tahun ±1567-1607 yang menyatakan bahwa amar hukum yang
tertinggi dalam Pangadereng (Peradaban yang diper-adat-kan) bagi orang Bugis Wajo
adalah, Pangaja (Nasehat). Dalam mengaplikasikan Pangaja (Nasehat) maka setiap
manusia Bugis secara tidak langsung dituntut pada dirinya untuk selalu meng-intropeksi
diri dalam cara bertutur kata, cara berperilaku, sehingga tidak mudah dicela orang lain.
Disamping itu setiap orang Bugis Wajo agar setiap saat meng-ingatkan dirinya untuk,
selalu melihat dirinya apakah ia sudah sukses membina rumah tangga, apakah ia sudah
sukses mendidik anak anaknya, apakah hubungan dengan tetangganya selalu berjalan
dengan baik, apakah ia sudah berguna bagi masyarakat dan bangsanya. dan tahu diri,
artinya : Setiap orang Bugis Wajo agar setiap saat meng-ingatkan dirinya untuk, selalu
tahu diri dalam membina harmonisasi pergaulan, tidak merasa pintar, tapi pintar
merasa. Agar tidak menghalalkan segala cara dalam berdagang maupun ber-ambisi
untuk menjadi pemimpin masyarakat atau Raja. Sebab ada petuah leluhur yang
mengatakan “ Duami tempedding riala to mapparenta, iyanaritu tau masaro elo, na tau
masaro de’e elona”. Artinya : Hanya ada dua yang tidak boleh diangkat jadi pemimpin
yaitu orang yang sangat berambisi jadi pemimpin dan orang yang tidak mau sekali
ditunjuk sebagai pemimpin.
Karena itu wawasan cara pandang dalam pergaulan sehari hari atau kehidupan dalam
bermasyarakat setiap manusia sebenarnya juga dapat lebih arif dalam bersikap, yang
lebih terhormat dalam bertindak, dan lebih mulia dalam berperi laku.
Namun ada suatu pengertian dalam memanusiakan manusia, adalah dengan adanya
suatu pemahaman mereka yang bersifat hakikat, ketika ada satu filsafah hidup orang
Bugis Makassar, yang mengatakan : “Sitongenna siddimi tau, watanna’mi maega”
Artinya : “Sesungguhnya seluruh manusia dimuka bumi ini hanya satu, hanya tubuhnya
yang banyak”. Maknanya secara tersirat bahwa : Apa yang dalam diri kita, sama dengan
apa yang ada pada diri manusia lainnya, sehingga hal ini dapat melahirkan suatu
persaudaraan sejati. Seperti umpamanya, perasaan seorang manusia ketika merasa
bahagia, pasti perasaan itu sama dengan, semua manusia yang merasakan bahagia,
52
hal ini akan nampak ketika manusia tersebut merefleksikannya dalam bentuk tindakan.
Begitupula sebaliknya perasaan seorang manusia ketika merasa sedih, pasti sama
perasaannya dengan semua manusia yang merasakan sedih, hal ini juga akan nampak
ketika manusia tersebut merefleksikannya dalam bentuk tindakan. Dan seterusnya.
(Dari dari uraian tersebut diatas bila dicermati hanya merupakan dan berlandaskan
teori saja, sebab masih menghawatirkan adanya bahaya sifat Tirani, diktator dan
sebagainya dari seorang pemimpin. Sementara rakyat dikerajaan Wajo saat itu didalam
mnegakkan hak konstitusinya, maka Raja yang akan dipilih harus memiliki Kriteria yang
paling Jujur, Cerdas, Tegas dan Berani, diantara yang lainnya.
Bagi orang Bugis dalam adat sopan santun factor tata bicara seseorang juga sangat
penting artinya, karena setiap kata, memiliki makna hakikat tersendiri sebagaimana
Paseng (Pesan) yang mengatakan : Anging penru oni, Oni penru Sadda, Sadda penru
Ada, Ada adatta’mitu natoriaseng Tau artinya, Angin membentuk bunyi, Bunyi yang
membentuk Suara, Suara yang membentuk Kata. Maka hanya katalah yang
menunjukkan kita manusia atau bukan. Dengan kata lain bahwa seorang yang disebut
manusia, barulah ia dapat dikatakan manusia bilamana Kata dan Perbuatan sama.
Dalam bahasa Bugis dikatakan tro ad tro gau “Taro ada, taro gau”. (Kata
dan perbuatan sama)
“Siri” dalam adat sopan santun tidak boleh asal berkata, dan asal berbicara, sebab
kata kata yang sudah keluar dari mulut bukan lagi milik kita, orang Bugis tidak boleh
hanya asal mengeluarkan pendapat yang tidak bermakna sebagaimana yang dipesankan
sebagai berikut : Lebbi’mui ikafangnge bongngo nato mabbicara nariya pitangngi
abongngorenge. Artinya, “Lebih baik diam disangka bodoh daripada berbicara langsung
memperlihatkan kebodohan.”
Dalam hal ini masalah bicara pada umumnya orang Bugis tidak banyak bicara,
mereka merasa lebih baik diam daripada membicarakan sesuatu yang tidak berguna.
Sebab soal berbicara itu memiliki makna tersendiri, karena pada prinsipnya dalam
berbicara umumnya seseorang dituntut untuk menunjukkan sifat dan character
sebagai berikut : Salah satu bentuk naskah Lontarak Bugis yang berhubungan dengan
kearifan dan sarat dengan nilai dan karakter dikenal dengan istilah Pappaseng ‘Pesan-
pesan; nasihat; wasiat’
“Pappaseng” sebagai salah satu bentuk pesan pesan yang mengandung nilai etika dan
moral, baik sebagai sistem sosial, maupun sebagai sistem budaya dalam kelompok
masyarakat Bugis. Dalam pappaseng terkandung ide yang besar buah pikiran yang
luhur, pengalaman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang luhur
tentang sifat-sifat baik dan buruk.
53
Di kalangan masyarakat Bugis Makassar, banyak pappaseng (pesan pasan) yang yang
bersumber dari beberapa cendekiawan antara lain: Pappaseng dari La Meggu to Ciung
maccaé kerajaan Luwu, La Mellong Kajao Laliddong dari kerajaan Boné, Arung Bila
dari kerajaan Soppéng, La Tadampare Puang ri Maggalatung dari kerajaan Wajo, dan
La Pagala Nene’ Mallomo dari kerajaan Sidenreng. Tokoh tersebut dikenal sebagai
orang arif dan bijaksana, pada zamannya.
Adapun sifat berani dan tegas yang selanjutnya bersumber dari filsafah “Sulapa' Eppa'
dapat diproyeksikan terhadap asas kehidupan manusia yang terdiri atas empat asas,
yakni:
Asas tentang hakikat kelahiran manusia dimuka bumi.
Asas tentang hakikat hidup manusia dimuka bumi.
Asas tentang hakikat tugas manusia di bumi dan alam ini,
Asas tentang hakikat kematian manusia.
Asas tentang hakikat kelahiran manusia dimuka bumi.
Secara tersurat dalam budaya Bugis Makassar, tidak ditemukan adanya unsur hakikat
manusia lahir dimuka bumi ini. Namun secara tersirat tercermin dalam sebuah adagium
yang mengatakan :
siri eami ntotuao ri lni o nsb njgai adEt .
“ SIRI’EMI NATOTUO RILINO, NASABA NAJAGAINNA ADE’TA.
Artinya hanya karena “Siri” kita hidup didunia, karena dijagainya adat kita. Makna
yang terkandung dalam adagium ini hubungannya dengan hakikat manusia hidup di
dunia yaitu :
Manusia hidup di dunia harus memiliki harga diri, kehormatan dan martabat
sebagaimana adagium yang mengatakan :
sirei a mi ntoriasE tau nerko edni gg sirei a tau tau mni
asEn .
SIRI’E MI NATORIASENG TAU, NAREKKO DE’NI GAGA SIRI’E TAU TAU MANI ASENNA.
Artinya Hanya dengan “Siri” kita disebut orang, bila sudah tidak ada “Siri” hanya
namanya orang orangan saja.
54
Manusia harus bekerja keras yang tak kenal lelah demi mempertahankan hidupnya,
keluarga, dan orang lain. Hal ini terlihat dari sebuah adagium yang mengatakan :
RESOPA NA TINULU TEMMANGI’NGI MALOMO NALETEI PAMMASE DEWATA.Artinya
“Hanya dengan kerja keras dan rajin yang tak kenal lelah yang dapat menerima rachmat
dari Tuhan”
Adagium tersebut diatas menunjukkan adanya unsur pengabdian terhadap sesama
manusia, sehingga dapat dikatakan sejalan dengan ajaran Islam sebagaimana Allah SWT
berfirman :
َو َما َ َ قْ تُ قْا ِج َّن َو قْ ِجا ْق َ جِ نَّ اجٍَِ ْق تُ ُتو ِجو
( Tidaklah aku ciptakan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaku Ad-Dzriat ayat 56)
Berdasarkan ayat tersebut diatas, jelas bagi kita bahwa Allah menciptakan jin dan
manusia adalah semata-mata agar menyembah ( mengabdi ) kepada – Nya. Oleh karena
itu , apa pun yang dilakukan manusia seharusnya ditujukan untuk mengabdi kepada
Allah. Jika antum sedang belajar , atau sedang bekerja , maka niatkanlah mengabdi
kepada Allah. Begitu juga makan , minum , berteman, shalat , puasa , main-main, jalan –
jalan , dan sebagainya . Adapun pengertian mengabdi kepada Allah ada dua, sebagai
berikut :
Mengabdi dalam arti sempit, yaitu melakukan ibadah, yang telah diwajibkan dalam
rukun Islam atau sering disebut ibadah mahdhah. Misalnya , shalat , zakat , puasa , dan
haji.
Mengabdi dalam arti luas , melakukan amalan ( perbuatan ) yang diridhai Allah, baik
yang berhubungan dengan Allah , sesama manusia maupun alam sekitar. Misalnya ,
membantu teman , hormat kepada orang tua , menjaga kebersihan lingkungan
menengok orang sakit , membuang duri dijalan , dan sebagainya. Selain itu ,
meninggalkan semua perbuatan jahat yang dilarang oleh Allah , seperti menyakiti
teman , tidak sopan , malas , boros dan lain-lain, juga merupakan bentuk Pengabdian
kepada Allah dalam arti luas.
“Sipakatau” menurut ajaran Islam
Saat Allah Swt. merencanakan penciptaan manusia, ketika Allah mengatakan kepada
Malaikat bahwa ia akan menciptakan machluk yang namanya manusia Para malaikat l
seolah khawatir karena takut manusia akan berbuat kerusakan di muka bumi. Di dalam
Al-Quran, kejadian itu diabadikan dengan firman Allah SWT yang mengatakan
55
َوإِ ْذ َقا َل َر ُّب َك لِ ْل َم ََل ِئ َك ِة إِ ِّني َخالِ ٌق َب َش ًرا ِم ْن َص ْل َصا ٍل ِم ْن َح َمإ َم ْس ُنو ٍن
(29) َ ٌِ) َإِ َذا َس َّوو ْ ُ ُي َو َن َ ْخ ُ ِ ِي ِم ْن ُرو ِحي َ َ ُوا لَ ُي َا جِا ج28(
"...Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Sesungguhnya, Aku
akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan
telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud" (QS. Al Hijr: 28-29).
Firman inilah yang membuat malaikat bersujud kepada manusia, sementara iblis tetap
dalam kesombongannya dengan tidak melaksanakan firman Allah. Inilah dosa yang
pertama kali dilakukan oleh makhluk Allah yaitu kesombongan. Karena kesombongan
tersebut Iblis menjadi makhluk paling celaka dan sudah dipastikan masuk neraka.
Kemudian Allah menciptakan Hawa sebagi teman hidup Adam. Allah berpesan pada
Adam dan Hawa untuk tidak mendekati salah satu buah di surga, namun Iblis menggoda
mereka sehingga terjebaklah Adam dan Hawa dalam kondisi yang menakutkan. Allah
menghukum Adam dan Hawa sehingga diturunkan kebumi dan pada akhirnya Adam dan
Hawa bertaubat. Taubat mereka diterima oleh Allah, namun Adam dan Hawa menetap
dibumi. Baca Surat Al-Baqarah Ayat 33-39.
Adam adalah ciptaan Allah yang memiliki akal sehingga memiliki kecerdasan, bisa
menerima ilmu pengetahuan dan bisa mengatur kehidupan sendiri. Inilah keunikan
manusia yang Allah ciptakan untuk menjadi penguasa didunia, untuk menghuni dan
memelihara bumi yang Allah ciptakan. Dari Adam inilah cikal bakal manusia diseluruh
permukaan bumi. Melalui pernikahannya dengan Hawa, Adam melahirkan keturunan
yang menyebar ke berbagai benua diseluruh penjuru bumi; menempati lembah,
gunung, gurun pasir dan wilayah lainnya diseluruh penjuru bumi. Hal ini dijelaskan
dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
َواَ َ قْ َك َنّر قْمنَا بَنِجً َ َا َ َو َ َ ْقنَااُت قْ فجًِ ْقا َ ِّرر َو ْقا َ ْق ِجر َو َ َ قْنَااُت قْ جِم َ الّنٍَرِّ َا جِا
َوفَ نَّ قْنَااتُ قْ َع َى َك جٍِ ٍرر ِجم َنّ ْق َ َ قْنَا َ قْ ِج ٍ ًالي
"...Dan sesungguhnya Kami muliakan anak-anak Adam; Kami angkut mereka didaratan
dan di lautan; Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyak makhluk yang telah Kami
ciptakan." (QS. al-Isra' [17]: 70)
Demikianlah dua pendapat tentang asal mula manusia. Tentang siapa sebenarnya
manusia pertama di bumi, mugkin kami lebih memilih bahwa Adam a.s adalah manusia
pertama sesuai dengan apa yang ada dalam Al-Quran. Apakah kalian setuju bahwa Nabi
56
Adam a.s adalah nenek moyang manusia? Tergantung pada kepercayaan kalian masing-
masing.
Tujuan Penciptaan Manusia
Tujuan penciptaan manusia adalah menyembah kepada penciptanya yaitu Allah.
Pengertian penyembahan kepada Allah tidak bisa di artikan secara sempit, dengan
hanya membayangkan aspek ritual yang tercermin dalam shalat saja. Penyembahan
berarti ketundukan manusia dalam hokum Allah dalam menjalankan kehidupan di muka
bumi, baik yamg menyangkut hubungan manusia dengan tuhan maupun manusia
dengan manusia.
Oleh kerena penyembahan harus dilakukan secara suka rela, karena Allah tidak
membutuhkan sedikitpun pada manusia karena termasuk ritual-ritual
penyembahannya. Penyembahan yang sempurna dari seorang manusia adalah akan
menjadikan dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dalam mengelolah alam
semesta. Keseimbangan pada kehidupan manusia dapat terjaga dengan hukum-hukum
kemanusiaan yang telah Allah ciptakan.
Fungsi dan Peran Manusia
Berpedoman pada Al-Quran surah al-baqarah ayat 30-36, status dasar manusia yang
mempelopori oleh adam AS adalah sebagai khalifah. Jika khalifah diartikan sebagai
penerus ajaran Allah maka peran yang dilakukan adalah penerus pelaku ajaran Allah
dan sekaligus menjadi pelopor membudayakan ajaran Allah Swt. Peran yang hendaknya
dilakukan seorang khalifah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah di antaranya
adalah:
1. Belajar
2. Mengajarkan ilmu
3. Membudayakan ilmu
Oleh karena itu semua yang dilakukan harus untuk kebersamaan sesama ummat
manusia dan hamba Allah, serta pertanggung jawabannya pada 3 instansi yaitu pada diri
sendiri, pada masyarakat, pada Allah SWT.
Mengapa Manusia Harus Dididik?
Usaha pengembangan hakekat manusia dalam dimensi keindividuan, kesosialan,
kesusilaan, & keberagamaan berangkat dari anggapan dasar bahwa manusia secara
potensial memiliki semua dimensi tersebut, yang memungkinkan dan harus dapat
dikembangkan secara bertahap, terarah dan terpadu melalui pendidikan, sehingga
dapat menjadi aktual.
57
Pengembangannya sebagai peserta didik diselenggarakan dalam lingkungan pendidikan
keluarga, sekolah, & masyarakat pengembangan self extence menyangkut aspek
jasmani-rohani, cipta-rasa-karsa sebagai dimensi keindividuan.
Pengembangan dimensi tersebut harus dimulai sejak di keluarga, sekolah dan
masyarakat, untuk itu nilai/norma/kaidah yang berlaku didalam keluarga juga perlu
dijunjung tinggi di sekolah dan masyarakat.
Pada hakekatnya manusia itu adalah animal educable (binatang yang dapat dididik)
,animal educandum (binatang yang harus dididik) dan homo educandus( makhluk yang
dapat mendidik) . Dari hakekat ini jelas bahwa pendidikan itu merupakan keharusan
mutlak bagi manusia. Oleh karena itu mengapa manusia perlu dididik maka dapat
ditinjau dari berbagai aspek.
Bayi/anak-anak mula-mula yang paling berperan adalah dari segi fisik, yang dalam
perkembangannya ditentukan oleh dua faktor yaitu maturation (kematangan) dan
learning (belajar). kemudian segi rohani berganti memegang peranan penting.
Ditinjau dari sisi lain hakekat manusia adalah sebagai makhluk indifidu dan sosial
makhluk dunia dan akhirat, terdiri dari unsur jiwa dan raga yang diciptakan oleh tuhan
lewat hubungan orang tua untuk hidup bersama secara sah lewat pernikahan, maka
orang tua harus mendidik anak-anaknya secara bertanggung jawab.
Faktor dari dalam yang mempengaruhi perkembangan manusia meliputi semua potensi
yang dibawa sejak lahir, potensi ini tetap terpendam apabila tidak dikembangkan
melalui pendidikan,inipun juga tergantung dari kemauan(aktivitet).Faktor dari luar yang
dapat mempengaruhi perkembangan manusia yaitu lingkungan alam.Artinya lingkungan
anak dengan anak ,anak dengan orang dewasa, orang dewasa dengan orang dewasa
yang saling berinteraksi.Lingkungan budaya berupa sopan santun,TV,majalah, dll.serta
lingkungan alam secara geografisnya, namun karena perkembangan iptek pengaruh
lingkungan alam dapat diatasi..
Dalam memanusiakan manusia maka diperlukan adanya suatu pemahaman khusus
tentang siapa dan apa itu manusia, sehingga tiba pada sebuah kesimpulan dan
keyakinan bahwa pada hakikatnya manusia hanya ada satu, sedang raganya saja yang
banyak. Disamping itu Siri sebagai aqidah manusia Bugis dahulu, bila kita simak
sebenarnya dalam pandangannya telah melihat manusia itu sangat mulia, sehingga
manusia ditempatkan diatas Siri, yang kemudian melahirkan sebuah adagium yang
mengatakan : Naiya Siri’e sunge nagirang kirang, nyawa naranreng, artinya demi
menegakkan dalam memanusiakan manusia, maka Siri laongngi atau jiwa adalah
taruhannya. Seperti halnya yang ditunjukkan Lamaddukkelleng dalam memerdekakan
58
Wajo dari penjajahan. Sehingga pantaslah beliau kalau bisa juga disebut sebagai
pahlawan kemanusiaan
Hakikat manusia itu, juga ada satu hal perlu diketahui bagi agamawan, bahwa “AGAMA
TANPA MANUSIA BUKAN AGAMA, TAPI MANUSIA TANPA AGAMA TETAP IA DISEBUT
MANUSIA”. Karena itu manusia hendaknya ditempatkan diatas segalanya termasuk
agama, jangan dengan dalih agama kemudian manusia didzalimi, oleh sesama manusia,
Namun demikian, “MANUSIA TANPA AKAL DAN BUDI PEKERTI YANG BAIK BUKANLAH
MANUSIA. sebagaimana firman Allah SWT yang mengatakan :
َ ٍاَ َ ْق َ َ قْنَا ْق ِجا قْ َا َو فجًِ َ ْق َ ِج َ ْق جٌِ تُ ّنَ َ َا قْا َااُت َ قْ َ َ َافجِ ِج
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
Karena itu apa itu dan siapa manusia sesungguhnya ?. Manusia sesungguhnya adalah
sesuatu tanpa wujud atau bersifat abstrak yang bersemayam dalam diri manusia, yang
hanya dapat disentuh dengan napas. Sementara raga manusia hanyalah sebuah casing
yang bisa bergerak kemana mana karena digerakkan oleh yang disebut nyawa. manusia
seutuhnya lahir bathin, yang memiliki akhlak yang mulia. namun didalam diri manusia
yang utuh itu, ada satu unsur abstrak yang mengendalikan perilaku manusia yaitu
HIDUP. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT yang mengatakan :
َ ٍَِو َما َ ْق َ ْقنَا َا ِج نَّ َ ْق َ الً اِج ْق َااَ ج
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.” (QS. Al-Anbiya: 107) dan juga sebagaimana sabda rasulullah yang mengatakan :
Sesungguhnya aku diutus semata mata untuk menyempurnakan akhlak manusia
Kalau kita membicarakan prihal manusia maka kita telah melibatkan diri kita sendiri
untuk dibicarakan, tentu secara subyektif. Hal ini akan menutupi diri manusia itu dari
segala kekurangan yang ada, dengan sengaja menampakkan segala kebaikannya.
Misalnya seorang yang mengisi buku hariannya, dia akan membuat kata-kata yang
indah atas kejadian yang pernah dialaminya, berkenalan dengan orang yang
terpandang, maka peristiwa itu akan berkesan di hatinya. Kisah itu dengan mudah
terukir dalam lembaran buku harian sebagai kenangan.
Tetapi bila seseorang berkenalan dengan orang yang biasa atau lebih rendah
derajatnya, atau dia ditabrak becak ketika berangkat ke pasar,sulitlah baginya untuk
menuliskannya pada lembaran kenangan atau akan dilupakannya. Itulah manusia yang
menilai dirinya tentulah yang baik-baik saja.
59
Allah sebagai Khaliq, Pencipta manusia maka Allah menampakkan sosok manusia apa
adanya secara obyektif. Manusia diciptakan dalam keadaan sebaik-baik kejadian, tetapi
Allah pula yang akan merendahkannya, tetapi semua itu karena ulah manusia sendiri.
Sebelum membicarakan manusia dengan segala sifatnya secara obyektif yang telah
disampaikan Allah melalui Al Qur’an, lebih baik diketahui terlebih dahulu siapa manusia
itu sebenarnya, sebab inilah pertanyaan hakiki yang harus menemukan jawabnya. Bila
manusia tidak menemukan jawab terhadap dirinya sendiri, maka dia berada dalam
lembah ketidak puasan, dia selalu ingin tahu, memang sifat manusia adalah ingin tahu.
Para ahli telah mengemukakan pendapatnya tentang manusia, baik ditinjau dari segi
psikologi maupn darei segi religi [agama]. Manusia adalah makhluk yang mempunyai bdi
atau akal [Homo Sapien], makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan
fikiran dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun [Homo Laquen], makhluk yang
pandai membuat perkakas [Homo Faber], makhluk yang biasa ketawa, makhluk yang
berorganisasi [Zoonpoliticon], makhluk yang suka main [Homo Ludens], makhluk yang
beragama [Homo Religius], makhluk yang menjadi Khalifah Allah [ Homo Divinans], dan
manusia adalah makhluk yang bisa menyerahkan kerja dan kekuasaannya kepada orang
lain [Homo Deleqous].
Sedangkan konsep Al Qur’an tentang manusia terjawab dalam surat Adz Dzariat ayat 56,
”Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk menyembah kepada-Ku”.
Manusia adalah hamba, pengabdi, budak dari Allah, tidak ada yang pantas dijadikan
Tuhan, tempat mengabdikan diri kecuali kepada Allah. Pengadian ini banyak caranya
dan bisa dilaksanakan dengan perantara makhluk Allah yang lain, bukan karena makhluk
tetapi karena Allah. Untuk manusia karena Allah, untuk negara karena Allah, untuk ibu
bapak karena Allah. Bila pengabdian ini dilaksanakan untuk manusia karena manusia,
untuk negara karena negara, untuk ibu bapak karena ibu bapak, maka manusia telah
keluar dari fungsinya dan telah keluar pula dari jawaban hakiki yang telah diberikan oleh
Allah.
Allah dalam Al Qur’an mengemukakan sifat manusia tersebut dalam dua segi, sifat
positif [baik] dan sifat negatif [buruk]. Sifat positif pada manusia disamping sifat
ketuhanan seperti pengasih penyayang, pengampun dan pemurah juga dilengkapi
dengan sifat khusus yaitu jujur, taqwa, tekun, ikhlas, tawakal, zuhur, rajin dan
sebagainya.
Sedangkan sifat negatif tidak kalah banyaknya dari sifat positif yang dimiliki manusia.
Manusia adalah makhluk yang lemah, zhalim dan ingkar, pembanh, melewati batas,
sombong, banyak tanya dan lain-lainnya, ”Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat
keluh kesah ” *Al Ma’arif;19+.
60
”Sesungguhnya manusia itu bersifat zhalim dan ingkar” *Ibrahim;34+.
”Dan bila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan
kembali bertaubat kepada-Nya, kemudian bila Tuhan mereka merasakan kepada
mereka sedikit rahmat dari padanya, tiba-tiba dari sebagian mereka menyekutukan-
Nya” *Ar Rum;33+.
Dengan mengetahui sifat negatif dan positif dari manusia yang dilibatkan Al Qur’an
kepada kita,maka hal itu merupakan perisai bagi kita untuk membentengi diri ini jangan
sampai memelihara sifat negatif tersebut dalam hidup ini, sebab sifat negatif tidak akan
membawa manusia kepada kesenangan, kebahagiaan dan kebaikan, ”Dan janganlah
kamu jerumuskan diri-diri kamu ke dalam kebinasaan dan baikkanlah, karena
sesungguhnya Allah kasih sayang kepada orang-orang yang membaikkannya” *Al
Baqarah;195].
Semua tingkah polah manusia baik yang positif maupun yang negatif akan diterimanya
dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, ”Siapa yang mengerjakan kebaikan
walaupun sebesar zarrah [debu] ia akan melihatnya, dan siapa yang mengerjakan
keburukan walaupun sebesar zarah ia akan melihatnya”*Al Zalzalah; 7-8+.”Pada hari ini,
lidah, tangan dan kaki mereka sendiri akan menjadi saksi atas perbuatan-perbuatan
yang telah mereka lakukan” *Yasin; 65+.
Senantiasalah dalam keadaan sadar kita singkirkan sifat negatif yang ada, jangan
terlanjur sampai mendarah daging, sehingga menjadi adat kebiasaan yang sukar
dihilangkan, lalu kita pupuk dengan suburnya secara terus menerus sifat positif untuk
kebaikan, keselamatan dan kebahagiaan kita sendiri baik di dunia maupun di akherat
kelak. [Metro, Januari 1987].
III. MANUSIA MENURUT FILSAFAT HUMANISME
* Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang berbeda yang
memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-masalah atau isu-isu yang
berhubungan dengan manusia. Humanisme telah menjadi sejenis doktrin beretika yang
cakupannya diperluas hingga mencapai seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan
sistem-sistem beretika tradisonal yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis
tertentu. Humanisme modern dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi
berakar dari tradisi Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen
garis tengah, dan para cendekiawan dalam kesenian bebas.
Pandangan mereka biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran dari
keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan umat manusia. Humanisme sekular
mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya kekuasaan agama.
Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan nilai seseorang dan kemampuan
untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika. Orang-orang yang masuk dalam
61
kategori ini menganggap bahwa mereka merupakan jawaban atas perlunya sebuah
filsafat umum yang tidak dibatasi perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat
dan agama.
Humanistik ditinjau dari segi historinya ialah berasal dari suatu gerakan intelektual dan
kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 masehi.
Pergerakan ini merupakan motor penggerak kebudayaan modern, khususnya di Eropa.
Sedangkan jika ditinjau dari segi filsafat, humanistik adalah faham atau aliran yang
menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, sehingga manusia menduduki posisi
yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam
praktis hidup sehari-hari. Maka dalam faham filsafat ini mengatakan bahwa segala
sesuatu ukuran penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi
dikembalikan kepada manusia itu sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan diluar
manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau alam).
Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada prinsipnya
merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.) tujuan gerakan
humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan Gereja dan membebaskan
akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka dalam batasan-batasan tertentu,
segala bentuk kekuatan dari luar yang membelenggu kebebasan manusia harus segera
dipatahkan. Kebebasan merupakan tema terpenting dari humanisme, tetapi bukan
kebebasan yang absolut, atau kebebasan yang hanya sebagai antitesis dari diterminisme
abad pertengahan yang dilakukan oleh orang-orang Gereja pada waktu itu, tapi bukan
berarti Humanisme pada waktu itu menentang tentang adanya kekuasaan Tuhan.
Namun, mereka percaya bahwa di balik kekuasaan Tuhan, masih banyak peluang bagi
manusia untuk menentukan jalan hidupnya, mengembangkan potensi dan memilih
masa depannya sendiri, tanpa terbelenggu oleh kodrat atau ketakutan terhadap murka
Tuhan.
Mereka berpedoman bahwa, kebebasan manusia itu ada, dan perlu dipertahankan dan
di expresikan. Di depan sudah dijelaskan bahwa manusia adalah pusat dari Realitas,
sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalam realitas harus dikembalikan lagi pada
manusia. Dengan demikian, tidak dibenarkan adanya penilaian atau interpretasi tentang
kejadian atau
Jika humanisme diartikan seperti itu, maka aliran filsafat seperti marxisme,
pragmatisme, dan existensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme.
faham marxisme pada dasarnya mendudukkan manusia (masyarakat / kaum buruh)
pada pusat kehidupan. Secara teoritis, paling tidak menjunjung tinggi martabat dan
kemanusiaan masyarakat buruh.
62
Pragmatismepun adalah humanisme, karena paham inipun menempatkan manusia
pada posisi yang sentral dalam realitas. Segala sesuatu yang ada pada realitas selalu
dihubungkan dengan kegunaannya bagi manusia dalam menuju hidup yang lebih baik.
Existensialismepun juga termasuk humanisme. Menurut paham ini, tidak ada dunia
diluar dunia manusia, dan di dalam dunianya itu manusia berada dalam posisi yang
paling sentral.[1]
Paham humanisme dalam perkembangannya tidak lagi mengacu pada gerakan
pembebasan pada zaman Renaisance dan dari doktrin-doktrin yang membelenggu
manusia, melainkan berkembang dalam ilmu-ilmu pengetahuan. Misalnya kita sering
mendengar tentang ilmu-ilmu pengetahuan humanistik. Tetapi apakah artinya itu?
Wilhelm Dulthey (1833-1911) dalam gagasannya tentang Geisteswissenchaften, yang
akan kita jadikan ancang-ancang untuk menjawab tentang pertanyaan di atas. Istilah
Geisteswissenchaften bisa kita terjemahkan sebagai “ilmu-ilmu tentang manusia”.
Disiplin keilmuan yang menurut Dilthey menggunakan metode ini adalah apa yang
biasanya kita sebut ilmu-ilmu sosial, misalnya ekonomi, psikologi, antropologi budaya,
sosiologi, ilmu hukum, ilmu politik. Pertanyaan berikutnya adalah di manakah letak
humanistiknya Geisteswissenchaften, atau dalam hal apakah Geisteswissenchaften
dikatakan sebagai humanistik?
Konsep Dilthey tentang manusia memang berbau humanisme. Menurut dia, gejala
manusia adalah unik dengan tidak berhingga, sehingga tidak dapat disejajarkan begitu
saja dengan gejala-gejala alam yang lain. Manusia adalah subyek, bukan obyek. Jawaban
tentang pertanyaan yang tepat untuk pertanyaan di atas adalah dengan melihat ciri
humanistik Geisteswissenchaften. Yakini, tekanannya pada keunikan, subjektivitas, dan
kerohanian manusia. Dalam Geisteswissenchaften manusia ditinggikan nilai dan
martabatnya. Namun ada juga kalangan yang tidak setuju dengan teorinya Dilthey
tentang Geisteswissenchaften yang seolah-olah meniadakan Naturwissenchaften (alam
fisik yang natural).
Seperti halnya Sosiologi Humanistiknya Max Webber, tidak lalu menghilangkan peran
statistik. Demikian pula dengan Psikolog Humanistiknya Abraham Maslow, yang tidak
mengabaikan arti pentingnya Behaviorisme dan Psikoanalisa. Satu hal yang tampaknya
menjadi trade mark mereka adalah: Manusia yang menjadi “obyek” telaah ilmu-ilmu
mereka, diperlakukan secara hormat sebagai “subyek”. Maka sah saja bagi kita untuk
mendefinisikan ilmu-ilmu humanistik sebagai ilmu-ilmu yang menempatkan manusia
sebagai subyek, sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan
martabat kemanusiaannya.
63
BAB II
sipklEbi
SIPAKALEBBI
(Saling memuliakan)
Prinsip dasar sipklEbi “SIPAKALEBBI” (Saling memuliakan) dalam interaksi antara
sesama manusia ialah :
pklEbia ipdmu ruptau ,ntErerko mloGiloGi “Pakalebbi’i padammu
rupa tau, natanrereko mallongi longi. (Muliakanlah sesamamu manusia, agar engkau
dijunjung se-tinggi tingginya.
Bahwa makna sipklEbi Sipakalebbi dalam hubungan inter-aksi antara manusia
dengan manusia lainnya tidaklah hanya sekedar adab sopan santun, tapi lebih dari itu,
sebab Sipakalebbi artinya saling memuliakan yang kemudian melahirkan bentuk sifat
Alebbireng” artinya “Kemuliaan”, bahwa manusia oleh Tuhan diberi beberapa kelebihan
seperti, akal, hati, dan Panca indera, hal ini untuk membedakan dirinya sebagai manusia
dengan machluk hidup lainnya, seperti binatang. Karena itu Tuhan memberi petunjuk
lewat nabinya agar manusia dapat berperilaku dan bertutur kata yang sopan dan
santun, hal ini tiada lain agar manusia dapat mengatur hidupnya secara harmonis antara
sesama manusia, dan machluk ciptaan lainnya. sipklEbi “Sipakalebbi” berasal dari
kata lbi “lebbi” dalam bahasa Bugis yang artinya : lebih, juga berarti : mulia. Dua arti
kata ini sebenarnya memiliki hubungan saling menerangkan. Artinya manusia baru
dapat dianggap memiliki ke-lebih-an, kalau ia memiliki sifat mulia atau manusia baru
dapat dikatakan mulia kalau ia memiliki sifat ke-lebih-an dari manusia lainnya, seperti :
Sopan dalam berperilaku, santun dalam bertutur kata , Menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda, disamping itu juga memiliki sifat Jujur, memiliki ilmu
pengetahuan yang cukup memadai, memiliki jiwa yang tegas dan berani, namun arif.
Inilah makna dan arti Alebbireng dalam tradisi adat orang Bugis, yang saat ini mulai
luntur. Karena makna kemuliaan itu tidak dapat dinilai dari kekayaan, keturunan dan
kebangsawanan, nama, gelar, jabatan maupun status, yang akan membuat serta merta
seseorang dimuliakan, disenangi, dicintai oleh orang-orang di sekitarnya.
Bahwa terbentuknya tradisi dan adat istiadat orang Bugis, utamanya menyangkut
alEbirE “Alebbireng” (Kemuliaan) tidak lepas dari pengaruh adanya kepercayaan
kepada Dewata seuwwae (Tuhan yang maha esa) sebelum Islam masuk di tanah Bugis.
Keyakinan dan kepercayaan orang Bugis terhadap Tuhan yang maha esa, telah
menumbuhkan rasa takut untuk berbuat sesuatu yang tidak dikehendaki oleh “Dewata
seuwwae” (Tuhan yang esa) Karena itu pendidikan budi pekerti memiliki arti penting
dalam membangun secara dini akan nilai nilai akhlak, moral dan etika berdasarkan
64
kearifan lokal yang dimiliki dan sudah ter-uji, yang diharapkan terwujudnya manusia
Indonesia yang bermoral, berkarakter, berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur
merupakan tujuan dari pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
sipklEbi“SIPAKALEBBI”( saling memuliakan) adalah cermin “PANGADERENG” (adat
istiadat) orang Bugis
Saling memuliakan pada hakekatnya merupakan nilai dan norma yang berlaku pada
suatu suku bangsa yang dituangkan dalam bentuk budaya dan menjadi pedoman
dalam bertutur kata dan berperilaku sehari-hari. Dengan kata lain saling memuliakan
adalah kemampuan menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya
setempat. Oleh karena itu, saling memulakan sangat menentukan harkat dan martabat
manusia dalam lingkungannya. Salah satu bentuk kebudayaan orang Bugis apa yang
disebut Pangadereng.
Makna “pGdEr”E Pangadereng dalam budaya Bugis adalah keseluruhan norma, etika
bertutur kata, berperilaku dalam kehidupan secara perorangan maupun dalam
bermasyarakat, yang telah ditetapkan dan diatur dalam adE abias “ade’
abiyasang,” (adat istiadat yang sudah berlaku turun temurun) adE asitursu E “Ade
Assituruseng” (Adat yang disepakati yang belum diatur dalam adE abias ade
abiyasang) dan adE mrj Ade Maraja (Adat istiadat yang mengatur raja2 dan para
pemangku adat.
Sifat alEbirE Alebbireng merupakan manifestasi dari sifat sipklEbi “Sipakalebbi”
dapat menciptakan hubungan manusia dengan manusia secara harmonis tanpa
memandang Suku (Etnis) Agama, Ras, dan kedudukan sosial. Karena pada prinsipnya
Seddimi Tau dalam pemahaman orang Bugis adalah bahwa, apa yang ada pada diri kita
sama dengan apa yang ada pada seluruh Manusia lainnya. Sehingga dengan demikian
dapat melahirkan persaudaraan yang kuat untuk dapat menciptakan, hubungan
manusia dengan sesama manusia guna membina kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa maupun dalam menciptakan perdamaian didunia. Oleh karena itu dalam
budaya Bugis Makassar, makna Saudara atau persaudaraan memiliki makna tersendiri,
sebagaimana kata “Saudara” kalau dalam bahasa Bugis disebut silsE urE “Silessureng”
artinya “Satu keluaran”, ibaratnya Satu Industri yang memproduksi Satu merk mobil.
Silessureng atau Satu asal tempat keluar, memiliki arti bahwa kita manusia Satu
keluaran dari perut seorang Ibu. Begitupula dalam bahasa Makassar disebut Sarebattang
artinya Satu perut. Satu perut artinya bahwa kita semua manusia bersaudara karena kita
berasal dari Satu perut seorang Ibu. Oleh karena itu di daerah Bugis Makassar dahulu,
apabila seseorang dikenal atau belum dikenal datang bertamu dirumah orang Bugis
Makassar, dan dijamu oleh tuan rumah maka tuan rumah akan mengatakan bahwa
karena anda sudah meminum air dirumahku maka secara tidak langsung kita telah
mengikat persaudaraan. Dan menurut seorang ahli anthropologi bangsa Amerika
65
bernama Dr. Shelly Errington dalam buku karangannya yang mengatakan sirei amitu
nto tuao nerko edni gg sirei a tau tau mni asEn “ Siri’e mitu
nato tau, narekko de’ni gaga siri’na tau tau mani asenna“ Artinya bahwa hanya dengan
menjaga siri “Siri” atau pGdErE “Pangadereng” kita disebut orang . Jika kita tidak
memiliki siri “Siri,” atau pGdEr “Pangadereng” maka kita bukan lagi orang. Kita
hanya disebut orang-orangan. Ungkapan Dr. Shelly Errington ini terkenal di Sulawesi
Selatan. Dalam Pangadereng ada yang disebut sifat semangat asmElrE E Assimelereng
(Saling menjalin kebaikan) sebagaimana petuah leluhur yang mengatakan : mau mElE
meblea tEspi dtosih mblibolea. “Mau’melle mabelae, tesipada
tosiha mabbali bolae” artinya : Bagaimanapun baiknya keluarga yang jauh, masih lebih
baik tetangga.
Sifat sipklEbi “Sipakalebbi” (Saling memuliakan) Hanya orang orang merdeka yang
dapat merealisasikan adanya unsur hubungan sipklEbi “Sipakalebbi” (saling
memuliakan) atau dengan kata lain bahwa hanya dalam alam demokrasi dapat tumbuh
unsur hubungan sipklEbi “Sipakalebbi” (saling memuliakan) Sebab bagaimana kita
dapat saling memanusiakan apabila dalam masyarakat masih ada tingkat status sosial.
Karena itu unsur hubungan sipklEbi “Sipakalebbi” (saling memuliakan) adalah
bagaimana kita sebagai manusia untuk lebih menegaskan secara afirmasi bahwasanya
saling memanusiakan saja rupanya belum cukup, tanpa bentuk sebuah bangunan
tatakrama yang lebih bermartabat. Hal ini rupanya lebih dikemas lagi dalam bentuk
sebuah petuah yang menyatakan : pklEbia ipdmu ruptau ,ntErerko
mloGiloGi “ Pakalebi’i padammu rupa Tau, bara’ natanrereko mallongi longi”
Artinya : “Muliakanlah sesama manusia, maka engkau dijungjung setinggi
tingginya”.Begitupula dalam ungkapan bahasa Bugis lainnya, disebutkan bahwa :
nlitutuai alEbirnE nEnia mcai mpkrj/ mpklEbi “Nalitutui
alebbirenna nennia maccai mappakaraja/ mappakkalebbi artinya : Ia selalu
memelihara dan menjaga kemuliaanya serta ia cerdas menghormati dan memuliakan
orang. Dalam ungkapan lain juga bagaimana memuliakan kehidupan sebagaimana
disebutkan : mlEbi muaitu met mdrea n mkpopeG “Malebbi’mui mate
maddarae na Makkapopangnge” arti petuah leluhur memiliki makna bahwa : Lebih
mulia mati berdarah dari pada tidak makan., atau dengan kata lain bahwa lebih mulia
bekerja keras daripada mau makan tidak ada makanan.
Karena itu kedua unsur tersebut diatas, semuanya bersumber dari episentrum
prinsip hidup orang Bugis yang disebut siri i“SIRI”. Sebab perilaku dan sopan santun
harus selalu mencerminkan sifat sifat yang terkandung dalam falsafah siri “SIRI” . Orang
Bugis dalam menjaga perilakunya dan sopan santun yang sudah mapan dengan adat sir
“SIRI”. Di kampungnya seperti di Kerajaan Wajo, kala itu setiap orang Wajo selalu
dituntut dan dinilai oleh orang per orang atau masyarakat terhadap seseorang, untuk
selalu berlaku sopan santun yang dijiwai oleh sir “SIRI”. Sebab orang yang tidak dapat
66
menjaga perilaku dan sopan santun dikampungnya, maka ada satu sanksi adat (Hukum)
yang dikenakan yang disebut ripopGi tn “Ripoppangi tana “ (Dipersona non
gratakan) artinya orang tersebut harus meninggalkan kampungnya. Ia harus pergi entah
kemana, yang penting ia harus pergi dari kampung. Bagi orang Bugis Makassar, yang
hidup diperantauan, ia tetap diwajibkan untuk selalu menjaga perilaku dan sopan
santun berdasarkan sir “SIRI”. Kalau tempat diperantauan ia tidak bisa menegakkan
perilaku dan sopan santun yang berkenaan dengan sir “SIRI” maka orang, atau orang
orang tersebut, wajib bagi dirinya untuk meninggalkan daerah tersebut dan mencari
tempat yang lain dimana ia bisa tetap menegakkan dan menjaga sir “SIRI”.
Adapun adat istiadat orang Bugis, dilukiskan pada berbagai Lontara (Buku yang ditulis
dalam aksara dan bahasa Bugis) Ada beberapa jenis Lontara yang dikenal dalam budaya
Bugis seperti, Lontara’ Ade (adat-istiadat), Lontara’ Ulu Ada (perjanjian), Lontara’
Penguriseng (silsilah), Lontara’ Attoriolong (sejarah), Lontara’ Allopi-lopiang
(pelayaran), Lontara’ Pallaongruma (pertanian),
Pangadereng dalam budaya dan falsafah hidup orang Bugis, memiliki 4 (empat) unsur
sebagai tiang guna menegakkan Pangadereng yakni:
1. Unsur mpsilsea Mappasilasae, yaitu : Adab untuk mewujudkan Ade’ dalam
sikap berperilaku, yang sopan dan bertutur kata yang santun sebagai unsur
keserasian hidup dalam memperlakukan dirinya dalam pangadereng ;
2. Unsur mpsisauea Mappasissau’e, yakni diwujudkan sebagai manifestasi ade’
untuk menimpahkan deraan pada tiap pelanggaran Ade’ yang dinyatakan dalam
bicara. Azas ini menyatakan pedoman legalitas dan represi yang dijalankan dengan
konsekuen
3. Unsur mpsirpu ea Mappasinrupa’e , yakni mengamalkan ade’ bagi kontinuitas
pola-pola terdahulu yang dinyatakan dalam rapang;
4. Unsur mplaisE Mappallaiseng yakni manifestasi Ade’ dalam memilih dengan jelas
batas hubungan antara manusia dengan institusi-institusi sosial, agar terhindar dari
masalah dan instabilitas lainnya. Hal ini dinyatakan dalam wari untuk setiap variasi
perilakunya manusia Bugis. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam filsafat hidup
orang Bugis tersebut, menarik dihubungkan dengan etos kerja orang Bugis di jazirah
Selatan pulau mewujudkan azas mappalaiseng, seseorang penutur bahasa Bugis perlu
mengetahui atau memahami strata dan status masing-masing pihak agar dapat
digunakan kata atau bentuk sapaan yang sitinaja (pantas) diucapakan pada lawan tutur.
Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat
67
istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain. Dalam pangadereng
(adat istiadat bugis) terdiri atas 5 dasar pokok yang membangunnya yaitu:
Ade’, aspek pangadereng yang mengatur pelaksanaan sistem norma dan aturan-aturan
adat dalam kehidupan orang bugis,
bicr Bicara, semua keadaan yang berkaitan dengan masalah peradilan.
rp Rapang, yaitu contoh, misal, ibarat atau perumpamaan, persamaan/ kias.
wri Wari, penjenisan yang membedakan saru dengan yang lain, suatu perbuatan yang
selektif menata atau menertibkan.
siri Siri’, yaitu daya pendorong untuk melenyapkan dan untuk membunuh,
mengasingkan, mengusir kepada siapa yang menyinggung perasaan (Mattulada, 1985).
Kelima unsur pangadereng tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain yang
merupakan kesatuan dalam pikiran dan tindakan orang bugis. Seluruh aspek
pangadereng tersebut memberikan ajaran moralitas yang membentuk prilaku seluruh
masyarakat baik yang bersifat pribadi maupun kelompok.
Dalam, Lontarak Sukkukna tanah Wajo’. memuat uraian-uraian mengenai sumber, sifat
dan fungsi adat sebagai berikut :.
naia reabuea adE mcinoeG mrikti i kiti medec nto pd
molai mpaolGi nriakitGi ri edwt esauwea.
(Naia, riebbuk-e adek macinnongnge maritikitik, madeceng, malebbang, nato pada,
molai, mappaolangngi nariakkitangi ri Dewata Seuae) .
Terjemahan : (Adapun yang dibuat sebagai landasan adat, ialah dari hal yang jernih dan
bercahaya, kebaikannya dapat menyebar luas, yang kita sama jalani, dan dapat
dijalankan oleh orang lain. Serta disaksikan oleh Dewata seuwwae (Tuhan yang maha
esa)
naia adEea sponai wnuwea. tnautmai gau mj psEsnrit
tau meagea. pruju tEttEernai tau tbEea. adkrEnai tau
mdodoeG nmlEpu. atbuturnE ai tau mwteG nmejko. Erkau
rislE ukwi i ntErkE i.erkua riajuelkai ntokki.
(Naiya adek-e sapponai wanuae tennauttamai gauk majak,passessaknaitu tau
maegae, parujung tettaterenai tau tebbek-e, addakkarennai tau maddodongnge
namalempuk atabbutturennai tau mawatangnge namajekko. Rekkua risellukiwi
natenrekkik rekkua riajulekkaiwi natongkangngik)
68
Terjemahan : Adapun Adat itu adalah pagar bagi negeri, agar tidak dimasuki
perbuatan jahat, pensuci orang banyak, penghimpun dan pemersatu orang banyak agar
tak cerai berai, tempat berlindungnya si lemah yang jujur, tempat tertumbuknya si kuat
yang curang jika diselinapi akan dihimpit, jika dilangkahi kita di tendangnya.
naia adEea ad ptuju naekgun nripoad gau ptujuea
nekgun nripogau.
(Naia adek-e ada patuju nakkeguna, naripoada, gauk patujue, nakkeguna, naripegauk.)
Terjemahan : Adapun adat itu ialah kata yang benar dan berguna, lalu dikatakan;
perbuatan yang benar dan berguna, kemudian dikerjakan.
Dalam membangun pangadereng sipklEbi Sipakalebbi, maka setiap manusia agar,
senantiasa memelihara sikap perbuatannya sebagai manusia yang memiliki bawaan hati yang
baik, dari bawaan hati yang baik itulah terbitnya kejujuran, perkataan yang benar dan memiliki
kecerdasan serta keberanian yang semuanya disandarkan pada siri “SIRI” maka menjadilah
ia seorang yang bagaikan permata yang bercahaya(La Toa hal. 81)
Niat hati yang baik, akan menimbulkan perbuatan baik, yang menjadikan masyarakat penuh
tata tertib, terletak pada kemampuan seseorang untuk berbuat segala kebajikan itu sebagai
kebiasaannya. (La Toa hal. 41).
Karena itu membiasakan diri melakukan perbuatan dengan tertib dan jujur akan mengundang
semua hal hal yang baik lainnya, membawa seseorang kepada martabat yang tinggi.
Membiasakan diri berbuat kebajikan adalah sesuatu yang sulit dan berat, Tetapi ia akan
menjadi mudah, kalau ia sudah menjadi kebiasaan (La Toa hal.52)
Dengan kebiasaan berbuat kebajikan maka terhindarlah seseorang dari kemungkinan dicela
oleh adE pur aoro Ade pura onro (Adat yang sudah ditetapkan) ditertawakan oleh wri
Wari (Tatakrama) dicibir oleh rp Rapang ( Keteladanan) dan dihina oleh bicr Bicara( Kata
kata). (La Toa hal.53)
Bukanlah yang sikap baik bagi seseorang yang se-mata mata hanya besandar kepada
kecerdasan, kekayaan, keturunan, serta keberanian . barulah seseorang dinaggap baik bila
semua disandarkan kepada kekuasaan Tuhan (Allah Ta’ala) (La.Toa hal.54) lotr Lontara'
petuah La Mellong Kajaolalliddo mengatakan :
a. wri u edecGi ad adea.
b. ptrkai aep aep mlEbiea.
c. pritGE ai gau gau llo tEGea.
d. pdiaoloai ri loea,.
e. primuri rmi urei a.
69
a."Winru decengngi ada-adae,
b. Patarakkai ampe-ampe malebbie,
c. Paritengngai Gau'-gau' lalo tengngae,
d. Paddioloi ri oloe,
Terjemahan :
a. Perbaiki cara bicara jika berbicara,
b. Perbaiki tingkah laku mulia dan terhormat,
c. Gerak langkah sederhana atau tidak angkuh dan tidak sombong,
d. Tempatkan di tengah untuk pembicaraan di tengah,
e. Tidak melebihi, tidak memihak sebelum mengetahui posisi kebenarannya”.
Orang Bugis Makassar dalam menjaga adab sopan santun menyangkut beberapa hal yaitu :
a. njgai ad and.
b. naisGE i aeln.
c. naitai aeln.
d. mpogau ak sitinjea.
e. ed ntunai aesekkE, tEnburku i alboa
a. Najagai ada adanna ( Senantiasa menjaga tutur katanya)
b. Naisengngi alena ( Tahu diri)
c. Naitai alena ( Lihat diri )
d. Mappogau angka sitinajae ( Berbuat berdasarkan kepatutan)
e. De’natunai asekkekeng, Tenna buruki alaboang (Tidak dihinakan oleh
kepelitan,Tidak bangkrut karena boros.
a. njgai ad and “Najagai ada adanna” ( Senantiasa menjaga tutur katanya)
ad ad (Ada ada) artinya kata kata, dalam filsafat leluhur Bugis Makassar yang
mengatakan :
aGi epru aoni, aoni epru sd, sd epru bicr eami ptEtuai
esdiea rup tau ai iyerg ntnia.
(“ Anging penru oni, Oni penru sadda, Sadda penru bicara, Bicara’e mi pattentui seddie
rupa tau iyaregga natania.
70
Terjemahan : Angin yang membentuk bunyi, Bunyi yang membentuk suara, Suara yang
membentuk bicara, Hanya bicara yang menentukan seseorang apakah iya manusia atau
bukan.
Dalam menjaga tutur kata yang dilandasi konsep sir“i Siri” merupakan tuntutan budaya
terhadap setiap individu untuk mempertahankan kesucian pangngadereng. Dalam
tatalaksana pangadereng telah dijumpai yang namanya Bicara adalah tuntunan adab
untuk senantiasa memaafkan bilamana ada kata kata yang menyinggung perasaan.
Penegakan harga diri dan martabat. siri “Siri’ pada diri manusia Bugis dapat dilihat dari
tutur kata dalam berintraksi berbagai realitas sosial dan kehidupan sehari-hari. Jika
seseorang telah dibuat tersinggung oleh kata-kata atau tindakan orang lain yang
dianggapnya tidak sopan, maka seluruh anggota keluarganya akan ikut merasa
tersinggung dan melakukan pembalasan terhadap orang itu demi menegakkan harga
diri keluarga. Karena siri “Siri’ yang mendorong seseorang atau rumpun keluarga
untuk memberikan reaksi membalas. Sebab siri “Siri” bagi orang Bugis adalah unsur
yang sangat prinsipil. Hidup seseorang dianggap berarti jika pada dirinya terdapat unsur
siri “Siri’ atau martabat dan harga diri. Menurut mereka, tak ada satu nilai yang paling
berharga untuk dibela dan wajib dipertahankan selain daripada “Siri’ , karena hanya
untuk siri “Siri’-lah kita hidup di bumi ini siri eami ri aoroa ri lino(siri’
emmi ri onroang ri lino).
Dalam realitas kehidupan orang Bugis, dimana pengertian siri “Siri’ tidak selalu bersifat
ingin membalas dalam artian melakukan penebusan-penebusan demi tegaknya harga
diri seseorang, tetapi siri “Siri’ juga dapat dimaknai sebagai perasaan halus dan suci.
Jadi, siri Siri’ dapat menjadi sebuah kontrol sosial bagi setiap individu maupun
masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari sehingga pelanggaran-pelanggaran
adat, hukum, maupun tata kesopanan berbicara dapat terjaga dengan baik.
b. naisGE i aeln Naisengngi alena ( Tahu diri)
Sikap dan sifat tahu diri, dalam peradaban Bugis Wajo, biasanya muncul dari adanya
pemilihan pemimpin. Karena dalam pemilihan pemimpin dikerajaan Wajo yang
menganut sistim demokrasi, dimana tidak ada satupun tokoh masyarakat yang ingin
mengsjukan diri sebagai pemimpin karena mereka tahu diri dan merasa tokoh lain lebih
tepat. Masalah tahu diri juga dapat dilihat pada sosok seorang bernama La Tadangpare
Puang ri Maggalatung, ketika ia berhasil memakzulkan Raja kerajaan Wajo yang
bernama La Pateddungi To Samallangi, bergelar Batara Wajo III, akibat perbuatannya
yang selalu memperkosa wanita. Setelah La Tadangpare berhasil membunuh La
Pateddungi To Samallangi, maka dilakukanlah reformasi kerajaan Wajo dari era Batara
Wajo, ke era Arung Matoa Wajo. Dimana rakyat beserta tokoh adat lainnya, mengajak
La Tadangpare untuk memangku jabatan Arung Matowa Wajo yang I, namun oleh La
Tadangpare menolaknya dengan alasan bahwa, nanti orang lain berkata bahwa, ia
71
berani memakzulkan raja karena ia ingin jadi raja. Hal ini dapat dinilai bahwa La
Tadangpare, tidak ada ambisi untuk menjadi raja, karena ia tahu diri.
Begitupula dalam tata krama tud sipulu Tudang sipulung (duduk bersama) maka
orang orang yang ikut dalam acara tersebut, akan tahu diri, dimana layaknya ia harus
duduk, jangan sampai ia disebut sebagai orang yang tak tahu diri.
Karena itu tahu diri dapat menjadi alat instopeksi diri sendiri dalam kaitannya dengan
diri sendiri, masyarakat dan lingkungan sosial. Tahu diri juga berlaku dalam ajaran Islam
yang membuat setiap muslim selalu sadar bahwa kita adalah makhluk ciptaan Allah, dan
senantiasa bersandar kepada Allah. Lebih dari itu, tahu diri sebagai makhluk bertuhan
juga menuntut setiap muslim untuk menjalankan perintah-perintahnya. Tahu diri
sebagai anggota masyarakat dan lingkungan sosial amatlah penting, sebagai makhluk
sosial, Oleh karena itu, sudah sewajarnya sebagai manusia untuk tahu diri karena kita
tidak bisa hidup tanpa orang lain. Kita manusia akan selalu memerlukan orang lain. Tahu
diri diwujudkan dengan menghargai sesama, dan berusaha untuk memahami keadaan
orang lain.
Sikap tak tahu diri kadang tidak sadar ada bayangan pertanyaan “Bagaimana kalau”
seperti bagaimana kalau sikap kita sudah terbilang keterlaluan atau tidak tahu diri.
Begitu sadar betapa tidak tahunya diri ini, betapa selama ini kurang memperhatikan
perilaku yang kurang baik terhadap orang lain yang selama ini baik terhadap kita. Dan
kitapun langsung ingat akan kebaikan-kebaikan yang pernah dirasakan tapi tidak
pernah berterima kasih. Apalagi terhadap kebaikan saudara saudara, sahabat keluarga
dan lain lain yang selama ini berbuat baik terhadap kita tanpa pamrih terhadap diri kita.
. Namun kini kebaikan itu mulai kita renungkan dan apresiasi. Sikap dan sifat tahu diri
memang butuh mental yang kuat atau keberanian lebih untuk selalu meminta maaf bila
merasa bahwa kita tidak tahu diri.. Dalam mengaplikasikan tahu diri, manusia harus
mengesampingkan ego atau harga diri. Dengan selalu memohon maaf, karena
memohon maaf sama sekali tidak membuat derajat diri jadi hina. Tapi begitulah hikmah
ketika kita sadar betapa tidak tahunya diri ini, kita jadi sudi untuk mengakui kesalahan
dan bahkan meminta maaf. Kesadaran akan tahu diri, menyebabkan diri akan
termotivasi untuk lebih tahu diri. Tentunya segala sesuatu bisa dipandang dari arah
positif. Namun dari semua itu selalu ada hikmah dari segala tindakan, termasuk ketika
kita sedang tidak tahu diri.
c. naitai aeln Naitai alena ( Lihat diri )
Dalam hal melihat diri, kita harus selalu menempatkan diri pada tempatnya
sebagaimana pesan leluhur yang mengatakan ptudGi tudmu puaoroai
aoromu “Potudangngi tudangemmu, puonroi onrongmu” , artinya Duduklah
pada kedudukanmu, dan tempatkan dirimu pada tempatmu. Menempatkan diri
72
sesuai dengan kedudukan, maka penghargaan terhadap diri kita akan datang. Sebab
menempatkan diri melampaui sepatutnya maka kita akan dianggap sombong.
Sebaliknya menempatkan diri dibawah selayaknya, maka diri kita akan dipandang
rendah.Oleh karena itu ukuran untuk melihat diri, adalah bagaimana kita dapat dan
senantiasa untuk memantaskan diri. Selain itu, dalam interaksi antar pribadi sehari-
hari, sering juga kita cenderung merasa lebih baik daripada orang lain dan sulit
melihat diri kita secara lebih objektif. Kita melihat diri kita melalui kacamata yang
membias dan menghasilkan gambaran yang cenderung menyimpang dari sosok diri
kita yang sebenarnya. Bila tidak segera disadari kondisi ini dapat membuat kita
terjebak dalam perangkap sikap yang berpusat pada diri sendiri dan menjadikannya
sebagai kebiasaan diri, hal ini akan sulit untuk merubah diri. Hal ini sebagaimana
pesan leluhur yang mengatakan elel bulu tEelel abias, elel
mua abiaseG abias top pelelai “ Lele Bulu Tellele Abiyasang,
Lele mua Abiyasangnge, Abiyasang tofa palelei” artinya : Gunung dapat dipindahkan
atau berubah, tapi kebiasaan tidak dapat dipindahkan atau dirubah, Kebiayasaan
dapat berpindah atau berubah tapi kebiasaan pula yang dapat memindahkan atau
merubahnya Sebab bagaimanapun juga faktor kebiasaan buruk sangat
mempengaruhi dalam hidup ini.
Meskipun secara alami, kita sulit melihat diri ke dalam diri kita secara jelas namun
dalam sanubari terdalam kita, terdapat cahaya lembut yang menerangi mata jiwa
kita. Cahaya itu terletak dalam tataran pembedaan intuitif antara baik dan buruk.
Cahaya itu adalah nurani kita. Melalui cahaya nurani kita dapat menelaah diri kita
sendiri dan sedikit demi sedikit mulai mengenali kelemahan-kelemahan kita, lalu
melakukan perubahan yang diperlukan.
Bila kita membiarkan berbagai nafsu pribadi menguasai diri kita, lambat laun cahaya
tersebut akan meredup dan akan semakin memburamkan mata jiwa kita. Sebaliknya
bila kita terus berupaya agar kehidupan kita tetap berada di ranah kebaikan, cahaya
itu lambat laun akan semakin berpendar hingga mencapai setiap sudut yang
tersembunyi dalam ruang batin kita. Nurani yang bersih membantu kita untuk
melihat diri kita secara lebih jujur dan apa adanya.
Kemampuan untuk melihat diri kita sendiri secara apa adanya adalah penting bagi
pertumbuhan kepribadian kita. Kualitas hubungan kita dengan orang lain dipengaruhi
oleh seberapa baik kita mengenali diri kita sendiri. Introspeksi adalah cara yang baik
bagi kita untuk mengenali kelemahan diri dan melakukan perbaikan. Introspeksi
dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan korektif kepada diri
sendiri.
Melakukan evaluasi terhadap diri sendiri memang tidak mudah. Kita harus berani
untuk menyingkirkan egoisme serta keangkuhan pribadi kita dan dengan rela
73
menggunakan cermin kejujuran dalam menelaah hati kita. Kita harus mampu
melawan kecenderungan penolakan dari dalam untuk mengakui kelemahan diri
sendiri. Kecuali kita telah merasa puas dengan apa adanya diri kita saat ini, dan tidak
lagi melihat adanya ruang bagi peningkatan kualitas pribadi, maka introspeksi adalah
sebuah kebutuhan mutlak.
Bercermin pada orang lain dapat menolong kita untuk mengenali diri kita sendiri
dengan berbagai kekurangan atau pun kelebihan yang ada pada diri kita. Meskipun
demikian, bercermin pada orang lain tidaklah berarti sebagai upaya inventarisasi atas
seluruh kelemahan atau kelebihan pribadi antara diri kita sendiri dan orang lain.
Demikian pula itu tidak berarti sebagai upaya untuk tampil sebagai tiruan dari
kepribadian orang yang kita jadikan panutan. Bercermin pada orang lain lebih
sebagai cara untuk meningkatkan kualitas tulen pribadi kita melalui pengaruh dari
keteladanan orang lain. Dalam upaya pengembangan pribadi seperti ini, menjadi diri
sendiri adalah penting tanpa mengesampingkan perlunya belajar dari teladan orang
lain.
d. mpogau ak sitinjea Mappogau angka sitinajae ( Berbuat berdasarkan
kepatutan)
Sebuah adagium orang Bugis Wajo yang mengatakan ; mredk to wjoea
npogau gaun ak sitinjea (“Maradeka to Wajo’e napogau gau’na
angka sitinajae”) Artinya : Orang Wajo adalah orang merdeka, ia merdeka untuk
melakukan perbuatan sampai batas kepatutan, bukan sampai betas kemampuannya.
Bahwa masyarakat bangsa Indonesia secara umum memiliki akar budaya santun yang
berlandaskan nilai-nilai kepatutan. Pijakan kepatutan tersebut mungkin tidak sama
untuk setiap wilayah dengan budaya yang berbeda, namun esensi kepatutan
tersebut semua mengacu pada nilai yang sama, yakni tenggang rasa, saling
menghormati, saling menghargai, saling memaklumi, jika menegur atau melarang, ia
akan menggunakan kiasan atau simbol-simbol, karena kuatir niat baik akan
menimbulkan kesan buruk. Namun dari keberagaman nilai bentuk kepatutab yang
terkandung dalam kearifan lokal lainnya, untuk saat ini dimana tidak sedikit orang
atau kelompok masyarakat lainnya menganggap nilai kepatutan sebagai pemikiran
dan sikap yang telah usang dan permisif.
astinj Asitinajang yang merupakan salah satu prinsip budaya orang Bugis,
dalam
Lontara dikatakan : ptudGi tudmu puaoroai aoromu Tudangngi
tudangemmu, puonroi onrongmu” ”Duduk pada kedudukanmu, tempati tempatmu.
Hal ini diatur dalam apa yang disebut wri “Wari’ (pembeda) yang mengatur agar
segala sesuatu berada pada tempatnya. Mengambil sesuatu dari tempatnya dan
meletakkan sesuatu pada tempatnya. Nilai kepatutan ini erat hubungannya dengan
74
nilai kemampuan seseorang untuk melihat diri dan tau diri, sebagaimana kisah
Lataddampare Puang ri Maggalatung yang pernah berkali-kali menolak tawaran
Ketua adat atas nama rakyat Wajo, untuk diangkat menjadi Arung Matoa Wajo,
setelah ia berhasil memakzulkan Batara Wajo ke III La Patenddungi To Samallangi’
bukan karena beliau tak mampu memangku jabatan itu. Tetapi yang menjadikan
beliau tidak menerima tawaran tersebut adalah nilai kepatutan dalam dugaan atau
persangkaan orang terhadapnya. Dimana beliau mengatakan : Aku tidak berani
menerima tawaran untuk menjadi Arung Matowa Wajo, karena nanti saya dikatakan,
saya memakzulkan raja Batara Wajo ke III, karena saya bermaksud menjadi raja
dengan gelar Arung Matowa Wajo. Tentunya penolakan ini untuk menangkal fitnah
pada dirinya sehingga sifat moralistik-religius, yang tercermin dalam diri La
Tadampare Puang Ri Maggalatung, menandai pemahaman dan pendalamannya
mengenai, prinsip asitinj Asitinajang (Kepatutan).
Bahwa pemahaman terhadap prinsip Asitinajang, harus dilandasi dengan Hati yang
bersih (Ati mapaccing), Niat baik nia medec (Nia’ madeceng) dan pikiran positif
( Ininnawa madeceng). Bawaan hati yang baik dari seseorang harus senantiasa
dilandasi dengan niat baik atau itikad baik nia medec (nia madeceng). Dalam
Lontara' disebutkan :
atutuai aGolon atimu aj muamnsGi ri jea pdmu rup tau
nsb mtEtuai iko mti nerewki jn. riturGu EGi ritu gau medecEeG
ri ati mjea na eds nriturEGu E ati medeceG rig au mjea.
naiy tau mj aklE atiea lEtu rimori jn.
Atutuiwi anngolona atimmu; aja' muammanasaianngi ri ja'e padammu rupa tau
nasaba' mattentui iko matti' nareweki ja'na apa' riturungenngi ritu gau' madecennge
riati maja'e nade'sa nariturungeng ati madecennge ri gau' maja'e. Naiya tau maja'
kaleng atie lettu' rimonri ja'na.
Artinya “Jagalah arah hatimu; jangan menghajatkan yang buruk kepada sesamamu
manusia, sebab pasti engkau kelak akan menerima akibatnya, karena perbuatan baik
terpengaruh oleh perbuatan buruk. Orang yang beritikad buruk akibatnya akan
sampai pada keturunannya keburukan itu. Pesan dalam Lontara' tersebut diatas
telah memberikan makna bahwa betapa pentingnya seseorang untuk memelihara
kesucian hatinya, baik terhadap Tuhannya, terhadap dirinya maupun terhadap
sesama serta alam lingkungannya.
e. ed ntunai aesekkE, tEn buruki alboa
De’natunai asekkekeng, Tenna buruki alaboang
(Tidak dihinakan oleh kepelitan,Tidak bangkrut karena boros.
75
Pesan leluhur tersebut diatas, sejalan dengan firman Allah SWT yang mengatakan :
َم ْح ُسو ًرا َملُو ًما َف َت ْق ُع َد ا ْل َب ْس ِط ُك َّل َت ْب ُس ْط َها َو ََل ُع ُن ِق َك إِلَ ٰى َم ْغلُولَ ًة ٌَ َد َك َت ْج َع ْل َو ََل
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (Surat Al-Isra' Ayat 29)
Begitupula dalam tulisan Aip Hanifatu Rahman, 2009:- disebutkan bahwa perbuatan kikir
disebabkan oleh beberapa faktor:
1. Karena hartanya merasa milik sendiri
2. Karena takut harta mereka berkurang. Hal ini sebagai mana tercantum dalam firman Allah
SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 268“setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan
kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan
dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui”
3. Tidak punya rasa kasih sayang
4. Merasa drinya lebih dari orang lain.
Oleh karena itu, sifat kikir hendanya ditiadakan untuk menegakkan harkat dan martabat
manusia sesuai dengan kodratnya, agar ia tidak diombang-ambingkan oleh segala macam,
nafsu dan pikiran picik. Dan tidak membiarkan dirinya digerakkan oleh nafsu, perasaan, dan
pikiran yang cenderung menjerumuskan manusia dalam lembah kehinaaan.
Selanjutnya Perbuatan boros adalah gaya hidup gemar berlebih-lebihan dalam
menggunakan harta, uang maupun sumber daya yang ada demi kesenangan saja. Dengan
terbiasa berbuat boros seseorang bisa menjadi buta terhadap orang-orang membutuhkan di
sekitarnya, sulit membedakan antara yang halal dan yang haram, mana boleh mana tidak
boleh dilakukan, dan lain sebagainya. Alloh SWT menyuruh kita untuk hidup sederhana dan
hemat, karena jika semua orang menjadi boros maka suatu bangsa bisa rusak/hancur.
Arti Al-Israa' ayat 26-27 :
"Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan".
Beberapa Contoh Sifat Boros dalam Kehidupan Sehari-Hari :
Senang membeli barang yang tidak perlu
Suka menyisakan dan membuang-buang makanan
Boros listrik, air, pulsa telepon, bensin, gas, dan lain-lain
76
Memiliki hobi yang mahal biayanya
Oleh sebab itu mari kita hindari sifat boros dalam hidup kita agar kita bisa hidup
bahagia tanpa harta yang banyak bersama seluruh anggota keluarga kita. Ada
peribahasa hemat pangkal kaya, sehingga dengan menjadi orang yang bergaya hidup
sederhana walaupun kaya raya maka hartanya akan berkah dan terus bertambah dari
waktu ke waktu. (Disunting dari : Situs web belajar online)
f. njgai sirni Najagai Siri’na (Selalu menjaga kehormatan dan martabat diri)
to edec To Deceng (Orang terhormat) dalam menjaga siri Siri atau dalam
menjaga kehormatan, harkat dan martabatnya, selalu mengedepankan sifat kesatria
dan santun, sebagaimana pesan leluhur yang mengatakan pklEbiai pdmu rup
tau n ntererko mloGi loGi “Pakalebbi’i padammu rupa tau, na
natanrereko mallongi longi” artinya : “ Hormati sesama manusia agar engkau
diangkat setinggi tingginya. Karena itu sikap terhadap orang lain akan menentukan
sikap orang lain terhadap kita. Tidak sedikit orang yang enggan menghormat orang
lain, tetapi ia ingin dihargai,dan, keinginan seperti inilah yang sering melahirkan
watak egois dan sombong pada diri seseorang. Padahal, dengan watak ini ia tidak
akan pernah dihormat dan diperlakukan dengan baik oleh orang lain. Dalam pesan
leluhur dikatakan bahwa nerko mea loko ripklEbi pklEbi riolo
aelmu “Narekko maelokko rifakalebbi, pakalebbi’i riolo alemu” Artnya : Kalau
kamu mau dihormati maka lebih dahulu kamu harus hormati dulu dirimu. Dalam
Islam dikenal pula konsep ibda’ binafsik, mulailah dengan diri sendiri. Dengan
memulai dari diri sendiri, orang lain akan mudah berprilaku baik dan menghormat
kepada kita. Tunjukkan kepada orang lain bahwa kita memang pantas untuk
dihormat dan dimuliakan. Mulailah dengan memuliakan diri kita sendiri, orang lain
pun akan ikut memuliakan diri kita. Pun berprilaku baiklah kepada orang lain, mereka
pun akan bersikap baik pada kita. Bahkan, terkadang lebih baik daripada yang kita
lakukan pada mereka. Hilangkan sikap egois dan ujub yang tertanam dalam diri kita.
Tak ada untungnya kita memeliharanya. Sikap itu justru yang akan membuat kita
terhina dan nista di hadapan munusia dan Tuhan alam semesta. Maka, bersikaplah
tawaduk, rendah diri dan rendah hati. Rendah diri bukan berarti menghinakan diri.
Rendah diri adalah menyadari bahwa apa yang kita punya bukanlah milik kita;
menyadari bahwa kita adalah manusia yang diliputi oleh kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan; menyadari bahwa yang Maha Sempurna hanya Tuhan yang memiliki
segalanya.
Tujuan hidup menurut paGdErE pangngadereng adalah melaksanakan tuntutan
fitrah manusia guna mencapai martabatnya, yaitu siri “Siri’. Bila pangngadereng
beserta aspek-aspeknya tidak ada lagi, akan terhapuslah fitrah manusia, hilanglah
“Siri’, dan hidup tidak ada artinya bagi orang Bugis (Mattulada, 1985:64). Oleh karena
77
itulah orang Bugis sangat patuh terhadap pGdErE pangngadereng demi siri “Siri’
atau harga diri. Orang yang memiliki rasa siri “Siri’ yang tinggi berarti orang yang
mempunyai sifat yang mulia dan tinggi nilai atau martabatnya di tengah-tengah
masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, maka perilaku setiap individu harus
didasarkan pada sifat :
a. ac n lEpu (“acca na lempu,)
b. wrni n mgEtE (warani na getting,)
c. mpser ri pua esauwea (mappasanre ri Puang SeuwaE,”)
d. artinya pandai mempertimbangkan dan jujur, berani dan teguh pendirian,
berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan ini menunjukkan bahwa esensi
siri siri’ hanya mungkin diperoleh seseorang yang pandai dan jujur, berani dan
teguh, serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Konsep siri “Siri’ yang
sampai sekarang diyakini secara konsisten oleh orang Bugis mempengaruhi
tatanan kehidupan bagi masyarakat pendukungnya. Pengaruh-pengaruh tersebut
di antaranya ketaatan kepada pGdErE pangngadereng, penegakan harga diri
atau martabat, identitas sosial, tradisi merantau dan motivasi kerja, dan kontrol
sosial. Konsep siri siri’ yang sampai sekarang diyakini secara konsisten oleh
orang Bugis mempengaruhi tatanan kehidupan bagi masyarakat pendukungnya.
Pengaruh-pengaruh tersebut di antaranya ketaatan kepada pangngadereng,
penegakan harga diri atau martabat, identitas sosial, tradisi merantau dan
motivasi kerja, dan kontrol sosial.
Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego
manakala instink, intuisi, dan intelegensi - ditambah dengan petunjuk wahyu bagi
orang beragama- bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa
memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego
yang liar dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan
hakikat manusia itu sendiri.
Sebagai kesimpulan dapatlah diterangkan bahwa kualitas manusia berada diantara
naluri dan nurani. Dalam rentetan seperti itulah manusia berperilaku, baik perilaku
yang positif maupun yang negatif. Fungsi intelegensi dapat menaikkan manusia ke
tingkat yang lebih tinggi. Namun intelegensi saja tidaklah cukup melainkan harus
diikuti dengan nurani yang tajam dan bersih. Nurani (mata batin, akal budi) dipahami
sebagai superego, sebagiconscience atau sebagai nafsu muthmainnah (dorongan
yang positif). Prof. Dr. Fuad Hasan mengatakan bahwa bagi manusia bukan sekedar
to live (bagaimana memiliki) dan to survive (bagaimana bertahan), melainkan juga to
exist (bagaimana keberadaannya). Untuk itu, maka manusia memerlukan
pembekalan yang kualitatif dan kuantitatif yang lebih baik daripada hewan.
78
Manusia bisa berkulitas kalau ia memiliki kebebasan untuk berbuat dan kehendak.
Tetapi kebebasan disini bukanlah melepaskan diri dari kendali rohani dan akal sehat,
melainkan upaya kualitatif untuk mengekspresikan totalitas kediriannya, sambil
berjuang keras untuk menenangkan diri sendiri atas dorongan naluriah yang negatif
dan destruktif. Jadi kebebasan yang dimaksudkan disini adalah upaya sadar untuk
mewujudkan kualitas dan nilai dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi secara
bertangung jawab.
Kualitas dan nilai manusia akan terkuak bila manusia memiliki kemampuan untuk
mengarahkan naluri bebasnya itu berdasarkan pertimbangan aqliah yang dikaruniai
Allah kepadanya dan dibimbing oleh cahaya iman yang menerangi nuraninya yang
paling murni.
(http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/28/pendidik-dalam-filsafat-pendidikan/
IV. MANIFESTASI ‘SIRI’ DALAM ADAB SIPAKALEBBI
Adapun pengertian umum “Sopan santun”. Dalam interaksi sosial di masyarakat
adalah : salah satu konsep peradaban atau budaya yang dianggap terbaik untuk
menciptakan prilaku guna menjalin hubungan yang baik antara sesama manusia
ditengah masyarakat.
Sifat ini sudah menjadi adab kebiasaan yang diterapkan terhadap perilaku dan cara
berbicara dalam masyarakat. Setiap orang yang menamakan dirinya sebagai machluk
yang beradab, akan menampilkan perilaku dan tata bicara yang dianggap terbaik
bagi dirinya, maupun bagi orang lain.
Sifat ini erat kaitannya dengan nilai moral dan norma etika yang ada pada
masyarakat pada umumnya. Bahkan sopan santun dapat diartikan dalam berbagai
hal, tergantung pada cara bagaimana seseorang menginterpretasikan apa itu moral,
etika dan bagaimana sebuah budaya masyarakat dapat dijalankan dengan baik.
Namun demikian tergantung pada ruang dan kondisi dimana seseorang tersebut
berada, tumbuh dan berkembang.
Hak kemerdekaan yang menyangkut Hak Asasi Manusia di kerajaan Wajo, bila
disandingkan dengan pengertian Hak Asasi Manusia secara umum dan berlaku
secara Universal atau Universal Declaration of human RightsI Istilah hak asasi
manusia sebagaimana hal tersebut dibawah :
Menurut UU No 39/1999, yang mengatakan bahwa, HAM adalah seperangkat hak
yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara,
79
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
Dengan akal budinya dan nuraninya, manusia memiliki kebebasan untuk
memutuskan sendiri perbuatannya. Disamping itu, untuk mengimbangi
kebebasannya tersebut manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas
semua tindakan yang dilakukannya.
( Hal ini bila disandingkan dengan Hak Asasi Manusia yang berlaku di Kerajaan Wajo,
maka ada perbedaan fundamental yang menyangkut pengertian Kebebasan dan
Kemerdekaan. Orang Wajo dalam menegakkan hak konstitusinya, tidak mengenal
arti Kebebasan, karena kebebasan tidak memilik batasan batasan apa itu kebebasan,
sehingga kebebasan memiliki potensi besar untuk melanggar Hak Azasi Manusia itu
sendiri. Sementara di Kerajaan Wajo Rakyat Wajo tidak mengenal Kebebasan, orang
Wajo hanya mengenal Kemerdekaan, karena Hak Kemerdekaan yang berlaku pada
setiap orang Wajo ada Hukum yang mengikat, ada Filsafah hidup moral dan etika
yang mengikat yang dinamakan siri “Siri”
Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut Hak Asasi Manusia yang
secara kodratnya melekat pada diri manusia sejak manusia dalam kandungan yang
membuat manusia sadar akan jatidirinya dan membuat manusia hidup bahagia.
Setiap manusia dalam kenyataannya lahir dan hidup di masyarakat. Dalam
perkembangan sejarah tampak bahwa Hak Asasi Manusia memperoleh maknanya
dan berkembang setelah kehidupan masyarakat makin berkembang khususnya
setelah terbentuk Negara. Kenyataan tersebut mengakibatkan munculnya kesadaran
akan perlunya Hak Asasi Manusia dipertahankan terhadap bahaya-bahaya yng timbul
akibat adanya Negara, apabila memang pengembangan diri dan kebahagiaan
manusia menjadi tujuan.
Berdasarkan penelitian hak manusia itu tumbuh dan berkembang pada waktu Hak
Asasi Manusia itu oleh manusia mulai diperhatikan terhadap serangan atau bahaya
yang timbul dari kekuasaan yang dimiliki oleh Negara. Negara Indonesia menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia dan kewajiban dasar manusia. Hak secara kodrati melekat
dan tidak dapat dipisahkan dari manusia, karena tanpanya manusia kehilangan
harkat dan kemanusiaan. Oleh karena itu, Republik Indonesia termasuk pemerintah
Republik Indonesia berkewajiban secara hukum, politik, ekonomi, social dan moral
untuk melindungi, memajukan dan mengambil langkah-langkah konkret demi
tegaknya Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar manusia.
(http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/28/pendidik-dalam-filsafat-pendidikan/
(Dari dari uraian tersebut diatas bila dicermati hanya merupakan dan berlandaskan
teori saja, sebab masih menghawatirkan adanya bahaya sifat Tirani, diktator dan
80
sebagainya dari seorang pemimpin. Sementara rakyat dikerajaan Wajo saat itu
didalam mnegakkan hak konstitusinya, maka Raja yang akan dipilih harus memiliki
Kriteria yang paling Jujur, Cerdas, Tegas dan Berani, diantara yang lainnya. Tidak
berdasarkan pada pencitraan, retorika, apalagi yang menggunakan cara cara yang
tidak bermoral, seperti Money politik, penipuan penggelembungan suara dan lain
lain. Bahkan Orang Wajo atau Kerajaan lainnya sering memilih dan mendatangkan
pemimpin dari luar yang memang pantas dan dianggap memenuhi kriteria yang
berlaku. Dan hal ini memang memungkinkan, karena Kerajaan Kerajaan di tanah
Bugis adalah Satu rumpun juga. )
siri “Siri” dalam adat sopan santun tidak boleh asal berkata, dan asal
berbicara, sebab kata kata yang sudah keluar dari mulut bukan lagi milik kita, orang
Bugis tidak boleh hanya asal mengeluarkan pendapat yang tidak bermakna
sebagaimana yang dipesankan sebagai berikut :
lEbi muaitu aki peG boGo nto mbicr nriapitGi aboGoroeG.
(Lebbi’mui ikafangnge bongngo nato mabbicara nariya pitangngi abongngorenge.)
Artinya, “Lebih baik diam disangka bodoh daripada berbicara langsung
memperlihatkan kebodohan.”
Dalam hal ini masalah bicara pada umumnya orang Bugis tidak banyak bicara,
mereka merasa lebih baik diam daripada membicarakan sesuatu yang tidak
berguna. Sebab soal berbicara itu memiliki makna tersendiri, karena pada
prinsipnya dalam berbicara umumnya seseorang dituntut untuk menunjukkan sifat
dan character sebagai berikut : Salah satu bentuk naskah Lontarak Bugis yang
berhubungan dengan kearifan dan sarat dengan nilai dan karakter dikenal dengan
istilah ppsE Pappaseng ‘Pesan-pesan; nasihat; wasiat’
ppsE “Pappaseng” sebagai salah satu bentuk pesan pesan yang mengandung nilai
etika dan moral, baik sebagai sistem sosial, maupun sebagai sistem budaya dalam
kelompok masyarakat Bugis. Dalam pappaseng terkandung ide yang besar buah
pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-
pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat baik dan buruk. Sebagaimana ppsE
pappaseng yang mengatakan :
tEssi pow aori, tEssi EbokE pmutu.
Tessismpoang oring, tessisebokeng pamuttu.
(Catatan : Dari kumpulan Andi Palloge Petta Naba)
Terjemahan :
Tidak saling menutupkan belanga, tidak saling membocorkan kuali
81
Maknanya :
Tolong menolong dan bantu membantu dengan ikhlas, sebagai manifestasi dari
Sipakalebbi. Biarkan keinginan menolong itu keluar dari lubuk hati, yang mencari
kenikmatan, dan kepuasannya dalam menolong orang lain. Karena itulah jalan untuk
menghilangkan kehausan hati yang mencari kebaikan dan kebenaran.
tEsri Eb tG, tEswi Eela jci
Tessi rebba tangnga, Tessiweleang janci.
(Catatan : Dari kumpulan Andi Palloge Petta Naba)
Terjemahan :
Tidak saling membatasi dalam pertimbangan, tidak saling ingkar mengingkari janji.
Maknanya :
Supaya dalam menjalin saling memuliakan maka diperlukan jalinan yang erat untuk
mencapai kerjasama yang lebih tinggi. Dperlukan perimbangan pertimbangan bersama,
guna saling mengisi keurangan masing masing. Dan saling memuliakan akan lebih kuat
lagi bila masing masin saling menepati janji. Seperti halnya Mutiara bertambah indah
karena diuntai menjadi perhiasan, seindah hidup bila dijalin dengan pengertian untuk
saling memuliakan.
tEsai EeckE tigrE o. tEsci lkE tGE .
(Tessi eccekeng tigero, Tessilacakeng tange)
(Catatan dari kumpulan Andi Palloge Petta Naba)
Terjemahan :
Tidak saling mencekik leher, Tidak saling menutupkan pintu.
Maknanya :
Hendaknya dalam saling memuliakan tidak saling tidak saling menutup jalan, dengan
melapangkan hati,. Tolong menolong dalam mencari rezeki. Sebab nilai kita bukan
ditentukan seberapa banyak yang kita ambil,tetapi seberapa banyak yang kita dapat
berikan.
mtulu prjo tEpEtu sri rE pdpi mpEtu aia tulu.
Mattulu parajo tempettu siranreng, padapi mappettu iya tellu.
(Catatan Dari kumpulan Achmad Musa)
Terjemahan :
Berjalin tali bajak tak putus berkait, kecuali putus ketiganya.
82
Maknanya :
Tali bajak terbuat dari kulit kerbau, dijalin tiga yang kuat sekali, artinya akalu ikrar tetap
kuat selama semua pihak mentaatinya, dan baru berakhir kalau semua pihak
melepaskannya.
sai ti lmi . sitor aol. tEsbi Eela.
Siatting lima, Sitonra ola, Tessibelleang.
(Catatan : Dari kumpulan Andi Palloge Petta Naba)
Terjemahan :
Bergandenga tangan, Bergandengan takaran, Tidak saling menghianati
Maknanya :
Kekuatan dari persatuan adalah :
a. Bergandengan tangan, yang berarti bantu membantu dan saling member petunjuk
kejalan yang benar.
b. Bergandeng takaran, Takaran orang dahulu terdiri dari 2 buah yang diikat menjadi
satu, yang berarti bersatu padu, bersusun bahu.
c. Tidak saling menghianati, berarti hubungan dijalin atas kesadaran dan keikhlasan.
Di kalangan masyarakat Bugis Makassar, banyak pappaseng (pesan pasan) yang
yang bersumber dari beberapa cendekiawan antara lain: Pappaseng dari La Meggu
to Ciung maccaé kerajaan Luwu, La Mellong Kajao Laliddong dari kerajaan Boné,
Arung Bila dari kerajaan Soppéng, La Tadampare Puang ri Maggalatung dari
kerajaan Wajo, dan La Pagala Nene’ Mallomo dari kerajaan Sidenreng. Tokoh
tersebut dikenal sebagai orang arif dan bijaksana, pada zamannya.
V. MANIFESTASI ‘PESSE’ DALAM ADAB SIPAKALEBBI
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa makna “Pesse” adalah
kemuliaan (Malebbi) . Salah satu bentuk hubungan manusia dengan manusia dalam
budaya manusia Bugis dalam bentuk adalah “Pesse” adalah :
“Sipakalebbi” (Saling memuliakan) adalah bagaimana kita sebagai manusia untuk
lebih menegaskan secara afirmasi bahwasanya saling memanusiakan saja rupanya
belum cukup, tanpa bentuk sebuah bangunan tatakrama yang lebih bermartabat.
Hal ini rupanya lebih dikemas lagi dalam bentuk sebauah adagium yang menyatakan :
pklEbiai padmu rup tau br ntererko mloGi loGi “
83
Pakalebi’i padammu rupa Tau, bara natanrereko mallongi longi” Artinya :
“Muliakanlah pada sesama manusia, maka engkau dijungjung setinggi tingginya”.
Pengertian umum “Sopan santun”. Dalam interaksi sosial di masyarakat sebagai
salah satu konsep peradaban atau budaya yang dianggap terbaik untuk meciptakan
prilaku dan menjalin hubungan yang baik antara sesama manusia ditengah
masyarakat.
Sifat ini sudah menjadi adab kebiasaan yang diterapkan terhadap perilaku dan cara
berbicara dalam masyarakat. Setiap orang yang menamakan dirinya sebagai machluk
yang beradab, akan menampilkan perilaku dan tata bicara yang dianggap terbaik
bagi dirinya, maupun bagi orang lain.
Sifat ini erat kaitannya dengan nilai moral dan norma etika yang ada pada
masyarakat pada umumnya. Bahkan sopan santun dapat diartikan dalam berbagai
hal, tergantung pada cara bagaimana seseorang menginterpretasikan apa itu moral,
etika dan bagaimana sebuah budaya masyarakat dapat dijalankan dengan baik.
Namun demikian tergantung pada ruang dan kondisi dimana seseorang tersebut
berada, tumbuh, dan berkembang.
Sifat sipklEbi “Sipakalebbi” adalah sifat yang mengandung dua sisi pandang,
yaitu satu sisi ia selalu menjaga kehormatannya dengan menjalankan amanat yang
diemban dengan bersungguh-sungguh di jalur yang benar, dan di sisi lain ia juga
memuliakan sesama manusia dengan membangun empati sejati, tak peduli kawan
atau lawan, elit atau jelata.
Kemuliaan yang bersendikan pEes“Pesse” juga dapat melahirkan manusia yang
berkarakter humanis. Tak hanya piawai menegakkan kehormatan siri “Siri’, tapi
mereka juga setia merawat pEes “Pesse” (empati kemanusiaan)
pEes “Pesse” yang erat kaitannya dengan budaya pEes “Pesse” adalah rasa iba yang
pedis se-olah olah hati tersayat. Hal ini dapat dibuktikan yang terdapat dalam
ungkapan :
nerko edgg sirmi u airkE o eced siri ri tau laieG
“Narekko deggaga siri’mu inreng inrengkko cedde’ siri’ ri tau laingnge, narekko
de’gaga maelo pinrengngiko engka mopatu kapang pessemu”
Artinya : Kalau kamu tidak mempunyai siri “Siri” lagi, maka usahakan meminjam
sedikit “Siri” pada orang lain. Dan kalau tidak ada yang mau beri pinjam maka
mungkin masih ada pEesmu “Pesse”mu. pEes “Pesse’ ini disebut pEes “Pesse”
individual,. Juga terdapat pEes “Pesse” kolektif. Umpamanya seseorang sangat iba
dan kasihan melihat penderitaan kawannya yang dipermalukan oleh orang lain atau
menyaksikan nasib malang yang menimpa kawannya, haruslah memberi bantuan
84
dalam bentuk pEes “Pesse”. Dimana pEes “Pesse” ini dapat menimbulkan rasa
solidaritas yang mendorong orang untuk bersatu dalam rasa kesetiakawanan mesdi
siri (Massedi siri’).
Bilamana orang yang dipermalukan itu sangat lemah kekuatan atau kedudukannya
dan menghadapi lawan yang kuat atau kuasa, maka adat memberinya kelonggaran
untuk tidak melawan, tetapi memberinya kesempatan untuk kemudian (setelah ia
kuat) menegakkan sirni “Siri’nya. Kalau ia tak mampu melakukannya, maka
kewajiban itu jatuh pada anaknya, dan seterusnya sampai keturunan ketujuh.
Hal ini juga telah ditunjukkan oleh pahlawan nasional La Maddukelleng. bahwa ia
mengurungkan niat menyusuri sungai Walanae dengan bala tentara perangnya di
bulan April 1736 hanya karena menghargai Batari Toja Daeng Talaga, penguasa
perempuan yang memerintah Bone. , tak elok seorang panglima perang memasuki
daerah kekuasaan seorang perempuan, meskipun ia adalah seteru perangnya.
La Maddukelleng, yang saat itu masih berstatus “buronan Bone” dan bermaksud
pulang ke kampung halamannya di Peneki memilih untuk memutar menghindari
tanah kekuasaan maharatu Batari Toja daeng Talaga, penguasa tiga kerajaan besar
bugis kala itu: Bone, Soppeng dan Luwu. Akhir kisah perang di pertengahan abad 18
M itu menyebutkan bahwa Wajo- sekutu setia Gowa dalam perang Makassar,
kembali merengkuh kemerdekaannya dari telapak kaki kolonial VOC, pun tak lagi
menjadi bawahan Bone. La Maddukelleng sendiri kelak ditasbihkan sebagai Arung
Matoa Wajo ke-31 dan bergelar terhormat: ”Petta Pamaraddekai Tana Wajo” – yang
memerdekakan tanah Wajo.
Dari sejumput kronik La Maddukelleng di atas cukup memberi pelajaran penting
untuk kita yang hidup di masa modern. Bahwa kemenangan dan tegaknya harga diri
tak akan ada nilainya jika tak dibarengi dengan pemuliaan terhadap perilaku ke
sesama, baik kepada kawan maupun lawan, elit maupun jelata. Meski dalam suasana
perseteruan, La Maddukelleng memilih menegakkan pEes “Pesse” tanpa perlu
mendudukkan siri “Siri’. Ia mengedepankan pemuliaan terhadap harkat sang ratu
Bone, dengan tak memaksakan armadanya menginjak-injak tanah seterunya itu.
Walaupun Lamaddukkelleng mampu melakukan itu.
PENDIDIKAN SIPAKALEBBI DALAM RUMAH TANGGA
Adat istiadat dalam kaitannya pendidikan budi pekerti akan kemuliaan, sipklEbi
(Sipakalebbi)) dalam rumah tangga, memiliki peran sangat penting dalam
membangun perilaku, tata krama dalam usia dini. Ada beberapa aspek Pendidikan
alEbirE “Alebbireng” dalam rumah tangga yang perlu mendapat perhatian
diantaranya adalah :
85
Membiasakan Adab bertutur kata yang santun. Dilarang keras mengucapkan kata
kata tidak senonoh dan kata kata kotor.
Membiasakan adab berperilaku yang sopan. Artinya : seorang anak wajib
memuliakan kedua orang tua, menghormati yang lebih tua, dan menyayangi yang
lebih muda.
Membiasakan tata cara duduk.
Membiasakan tata cara makan.
Membiasakan Adab bertutur kata yang santun. Dilarang keras mengucapkan kata
kata tidak senonoh atau kata kata kotor.
Berbahasa adalah cermin tingkat kesantunan seseorang. Orang bertutur kata yang
lembut akan terlihat lebih anggun dan memiliki pesona tersendiri, sehingga orang
yeng mendengarkan akan merasa nyaman, yang dapat menumbuhkan rasa
persahabatan yang dalam. Bahwa orang dengan cara bertuturnya tertata, serta
lemah lembut, bisa dipastikan bahwa orang tersebut adalah orang yang tahu sopan
santun.
Dalam berbahasa kita memang dituntut untuk berbahasa secara benar dan tepat
namun bersopan santun dalam berbahasa pun harus diperhatikan agar pandangan
orang yang diajak bicara tidak memandang kita sebagai orang yang tidak sopan.
Dengan berbahasa sopan, baik, dan benar bisa memcerminkan siapa kita
sesungguhnya apakah kita termasuk orang yang beradab atau orang tak beradab.
Krisis moral yang banyak terjadi pada masyarakat saat ini sudah tidak lagi
memandang umur, mulai dari lingkungan anak-anak hingga orang tua, mulai dari
yang kurang pendidikan sampai yang berpendidikan tinggi. Sikap saling hormat
menghormati antara sesama manusia tidak lagi dipandang sebagai suatu budaya
yang bermartabat. Seperti sering dilihat keharian dimana tidak jarang seorang anak
berlaku kasar kepada orang tua sendiri, dengan sikap dan perilaku marah,
membentak, mengatur-mengatur dan bahkan mengancam. Di tambah lagi dengan
sikap dan tutur kata keseharian yang jauh dari nilai-nilai ke sopanan dan kesantunan.
Tentunya hal ini menjadi sebuah peringatan khususnya bagi para orang tua unuk
mengingatkan, mengajarkan serta mendidik anak-anaknya untuk ber-akhlak yang
baik, tutur kata yang indah serta berprilaku yang sopan dan santun Namun memang
disisi lain sering sekali disaksikan di media elektronik para orang tua berdebat
bertengkar dengan emosiional. Bahkan pada lembaga yang menamakan dirinya
lembaga terhormat atau DPR, tidak jarang terjadi pukul meja, saling mengata ngatai.
Tentunya hal ini turut juga mempengaruhi generasi muda dalam berperilaku, dan
bertutur kata.
86
Memberi dan Menerima sesuatu selalu dengan tangan kanan.
Pada keluarga yang mengerti Pangadereng akan selalu mengajarkan pada anaknya
sejak kecil kalau memberi atau menerima sesuatu harus dengan tangan kanan,
karena tangan kanan lakan menunjukkan kesopanan pada diri kita sementara
memberi atau menerima dengan tangan kiri, adalah suatu perilaku tidak terpuji,
bahkan dapat menimbulkan ketersinggungan dan memandang perbuatan itu adalah
perbuatan tidak ber-adab. Oleh karena itu biasakanlah memberi dan menerima
dengan tangan kanan.
-, Tidak berkata-kata kotor, kasar, dan sombong.
Sebenarnya berkata kata kotor, kasar, dan sombong, bagi seseorang, adalah sebuah
kebiasaan merupakan cermin tidak adanya pendidikan bertutur yang santun dalam
rumah tangga. Dalam agama pun hal ini tidak diperbolehkan, karena ini dapat
menimbulkan efek yang cukup tidak baik. Apalagi berkata kotor, kasar, sombong. Hal
ini yang sangat dibenci oleh allah.
Tidak meludah di sembarang tempat.
Meludah disembarang tempat, secara umum adalah sesuatu perilaku yang sangat
tidak terpuji, karena bukan saja perilakunya tapi juga ditinjau dari sudut kesehatan
tidak diperbolehkan, sebab dapat menimbulkan penyakit baik bagi dirinya maupun
terhada orang lain. Didalam etika sopan santun, memang ini sangat tidak sopan.
Bahkan hal ini sudah melanggar etika sopan santun. Maka hal ini patut kita jauhkan.
Berbicaralah dengan sopan.
Didalam bertutur kata atau berbicara dengan orang lain, hendaknya perlu dijaga agar
suara tidak keras atau tidak kecil sehingga tidak dapat didengaar oleh lawan bicara.
Karena berbicaralah dengan suara yang lembut namun dapat didengar dengan baik
oleh orang lain, dan ingatlah bahwa dengan suara keras orang yang diajak bicara bisa
tersinggung, karena dirinya disangka tuli. Hindarilah menggunakan bahasa gaul.
Jangan membicarakan sesuatu yang tidak sopan di depan umum, seperti gosip, lelucon
kotor, kata-kata umpatan, atau apapun yang tidak sedap didengar. Jangan menyela
atau menyanggah orang lain ketika ia sedang berbicara. Berlatihlah menjadi pendengar
yang baik, dan berbicaralah pada giliran Anda.
Keteladanan dari para orang tua kepada anak adalah cara mendidik anak terbaik dalam
bersikap dan bertutur kata. Tunjukkan kepada anak bagaimana cara menghormati orang
tua melalui sikap dan tutur kata . Sebab jika dilihat ternyata tak sedikit juga para orang
tua yang tidak memiliki etika kepada orang tua, sesama orang tua, dengan berkata
yang kasar dan menyakitkan kepada sesamanya apakah itu kepada keluarga dirumah
atau mungkin kepada tetangganya, sehingga anak meneladani sikap-sikap dari para
87
orang tuanya. Karena itu bertutur katalah yang baik, sopan dan santun. dan selalulah
berusaha menyenangkan orang lain dalam hal bertutur kata.
Banyak sekali pepatah dan ungkapan bijak para leluhur Bugis Makassar yang
mengingatkan untuk lebih berhati-hati dalam bertutur kata agar tidak terlibat dalam
pembicaraan yang mengandung dosa. Seperti halnya :
psicpi Eai lli mu nbetlmu.
(Pasicippei lilamu na batelamu)
(Catatan Dari kumpulan Andi Macca Amirullah)
Terjemahan :
Selaraskan lidahmu dengan jejakmu.
Maknanya :
Nilai seseorang ditentukan pula oleh caranya menyelaraskan ucapannya dengan
perbuatannya. Bertambah selaras keduanya bertambah tinggi nilai seseorang.
siedec edecn ad edea riaolon aEk rimorni . sij jn ad
aEk raolon edea rimrni .
Sideceng decengna ada de’e riolona engka rimunrinna. Sija’ja ada engkae riolona de’e
rimunrinna
(Catatan : Dari catatan Andi Tomanggong Ngewa)
Terjemahan :
Sebaik baik bicara tidak ada yang mendahuluinya, sejelek jelek bicara ada
mendahuluinya tapi tidak ada kenyataanya.
Maknanya
Bicara yang benar bila diiringi dengan kenyataan sebagai bukti kebenaran yang
dibiarakan . Sebaliknya, bicara tanpa arti bila tidak diiringi dengan kenyataan. Lebih
berarti satu kenyataan daripada seribu bicara tanpa kenyataan.
aj mumtEb E ad. ap aiytu adea meag bEtuan. muwtutuai
lilmu. ap aiy lli ea pwEer wEer.
Aja mumatebbe bicara afa iaytu bicarae mega bettuanna. Muatutuiwi lilamu, afa ia lilae
pawere were
(Catatan Arung Matoa La Sangkuru Patau Mulajaji kumpulan Andi pabarangi)
Terjemahan :
88
Jangan bicara besar, sebab bicara itu banyak artinya. Jagalah lidamu sebab lidah itu
pengiris iris.
Maknanya :
Bicara dapat menimbulkan banyak hal :
a. Dapat memburukkan yang baik dan menyalahkan yang benar, Sebaliknya dapat pula
membaikkan yang buruk, dan membenarkan yang salah.
b. Dapat lebih memburukkan yang buruk dan lebih menyalahkan yang salah.
Begitupula sebaliknya.
c. Dapat menimbulkan perbedaan pengertian akibat karena salah paham
Ungkapan yang sama dengan diatas ialah :lilea aoronai rcueG sibw
tpea. Artinya Lidah adalah tempatnya racun dan penawar. Itulah sebabnya lidah
perlu dijaga, karena tergantung kearah mana.
Dalam budaya orang Bugis Makassar yang terkait dengan masalah sipklEbi “Sipakalebbi”
juga sangat menaruh perhatian tentang apa saja yang harus dilakukan oleh laki laki dan wanita
dalam menjaga tatakrama sipklEbi “Sipakalebbi” seperti halnya :
aEpai spi n mkuraiey.
a. msip aruG.i
b. msip tau sogai i.
c. msip annai.
d. msip asuai
Eppa’I sipa’na makkunraiye.
a. Massipa Arungngi.
b. Masipa tau sogi’i
c. Massipa anana’i
d. Massipa Asu’i
(Catatan : Dari kumpulan Andii Palloge Petta Naba.)
89
Terjemahan :
Ada Empat sifat Wanita.
a. Bersifat orang Bangsawan.
b. Bersifat orang kaya.
c. Bersifat seperti anak anak
d. Bersifat seperti Anjing.
Maknanya :
a. Watak umum seorang raja kehendaknya jua yang jadi,Dari itu turutilah kehendaknya
yang wajar.
b. Keinginan orang kaya pada umumnya selalu terpenuhi. Jadi kabulkanlah
permintaannya seseuai kemampuan.
c. Seorang anak kecil mudah tersinggung, atau marah, tetapi gampang terbujuk, Jadi
bujuklah kalau ia marah
d. Kalau seekor sedang makan tulang, meskipun tanpa daging lagi, akan marah kalau
didekati oleh Anjing lain. Maksudnya mementingkan diri sendiri. Jadi janganlah
melakukan hal hal yang bertentangan dengan kepentingan atau yang tidak
disenangi. Kalau ditilik diatas dimiliki pula oleh kaum laki laki. Namun watak
tersebut lebih menonjol pada wanita.
aEkkti u mGuju mElE iyp nmedec pdpi mklitutuwi ptim riawn
bkwE nipae.
Engka kitu manguju melle, iyapa namadeceng padapi makalitutui pttimang riawana
bakkaweng nipae.
(Catatan : Dari Kumpulan Haji Andi Ninnong).
Terjemahan :
Kendati anda datang dengan maksud baik, namun barulah baik apabila kita saling
menenggangnya.
Maknanya :
Pelimpahan atap nipa dalam bahas Bugis disebut psiri “Passiring”. psiri Kata
passiring mirip dengan kata sir “Siri” yakni rasa malu atau harga diri. Kata kata ini
diucapkan oleh orang tua seorang perempuan yang dilamar,, sebagai tambahan
persetujuan yang telah disepakati.
Maksudnya ialah bahwa hubungan kekeluargaan lebih sempurna. Jika dijalin atas dasar
hormat menghormati, harga menghargai, dan saling menjaga kehormatan.
90
Eea mkurai spoai aelmu nsb sirmi u. eEa worowen spoai
aelmu asbrkE.
Eh, makkunrai sappoi alemu nasaba, eh worowane sappoi alemu nasaba asabbarakeng.
( Catatan dari : Andi Palloge Petta Naba)
Terjemahan :
Hai perempuan pagari dirimu demi kehormatanmu demi “Siri”. Hei Pria pagari dirimu
demi kesabaranmu.
Maknanya :
Karena “Siri” seorang wanita menjaga perilakunya dan kehormatannya.Sehingga
terhindarlah dari celaan. Demikian pula halnya seorang pria akan menahan diri dari
tindakan tercela karena kesabaran.
ilmi ai rpu n alwEGeE G .
a. mlwE ati .
b. mlwE ad ad .
c. mlwE cer cer .
d. mlwE tudGE .
e. mlwE pKaukE .
Limai rupanna malawengengnge.
a. Malaweng ati.
b. Malaweng ada ada.
c. Malaweng care care.
d. Malaweng tudangeng.
e. Malaweng pangkaukeng.
(Catatan dari kumpulan Haji Andi Ninnong)
Terjemahan :
Ada lima bentuk perbuatan penistaan.
a. Menistakan hati
b. Menistakan bicara.
c. Menistakan pakaian.
91
d. Menistakan tempat duduk.
e. Menistakan perbuatan
Maknanya :
a. Suka menghayalkan hal hal menyangkut hubungan antara pria dan wanita.
b. Kurang membatasi diri dalam pembicaraan masalh yang berhubungan antara pria
dan wanita.
c. Suka memimjamkan dan memimjam pakaian (misalnya Sarung) lawan jenisnya,
meskipun bukan keluarga dekatnya.
d. Duduk seenaknya tanpa memperhitungkan jarak tempat duduk lawan jenisnya
e. Sudah melakukan penistaan dengan melakukan hubungan badan dengan lawan
jenisnya.
Jadi yang dimaksud dengan penistaan disini ialah yang menyangkut dengan hal hal
yang tidak patut dalam hubungan antara pria dan wanita.
troai marilau aGin pjlea erwEn mutjE.
a. purn muplipuGi pGuju .
b. mutedwE elwiaiy ppoji.
c. mutron poslipu dGi i.
d. lEtu rai elael tEmdrr.i
e. anu iai rti u nipiea.
f. ptiwi bEelbEel ptro mewew.
g. aj mauniai nipiae.
h. teped aiymau aiymau mpsismu GE.
i. nipipasi nto siNEl.i
j. auidi elru psi tosipopkwru.
k. cokomua minsea.
l. neklo puaeG naiy mdpu .
m. mtejG rimeatea mmgmi gwi rpi riy mea.
n. tErti jE maitea.
o. tErti row lies lwu lwuea.
Taroi marilau angina pajjalae rewe’na mutajeng.
a. Puranna mupalippui panguja.
b. Mutadewe lewoa pappuji.
92
c. Mutaro’na posalipu dinging.
d. Mananrang tona posalipu solareng.
e. Dinging memeng mupobiasa.
f. Lettung riale ale temmadararing.
g. Unoi ritu nippe pattiwi belle belle.
h. Aja mu’unoi nippi’e teppede iya mappasisumange.
i. Nippi pasi to sinyili
j. Uni lerungpasi tosipoppakawaru.
k. Cokkong mua minasae .
l. Nakkelo puangnge naiya maddupa.
m. Mattanjengnga rimaittae mammagi magi ripariamae.
n. Tenritajeng maittae.
o. Tenritaroang lse mallawa lawae.
(Catatan ; Dipetik dari sebuah syair, dari : kumpulan Andi Palloge)
Biarkanlah ke Timur angin bahtera meniup, ditunggu membalik pulang.
a. Setelah diliputi cemohan dan celaan,
b. Kembali dikelilingi sanjungan dan pujian.
c. Itinggalkan aku berselimut dingin.
d. Terbiasa pula berselubung baju.
e. Dingin jua engkau biasa.
f. Terlentang sendirian tanpa keluhan.
g. Bunuh mimpi itu, Membawa kedustaan
h. Menimbulkan keseganan.
i. Jangan bunuh mimpi itu
j. Sering ia menjadi penghubung sukma.
k. Di mimpi nanti kita bersua
l. Dikicau Murai kelak saling berdampingan.
m. Bepucuk jua harapan, berlaku kehendak Tuhan lalu itu yang jadi.
n. Aku menanti sampai lama, teguh harapan namun berabad
o. Tidak dirunggu yang lama, tidak diharapkan lagi yang tidak berketentuan.
Maknanya.
93
Perpisahan memang menyedihkan, tetapi menanti kekasih yang tak kunjung kembali,
dengan penuh penderitaan sangat menggelisahkan. Tapi bila kehendak Tihan sudah
berlaku, tak dinanti lagi yang lama, tak diharapkan lagi yang tak berketentuan.
Selanjutnya masalah bicara bagi orang mlEbi (Malebbi) dalam budaya Bugis Makassar,
tidaklah begitu banyak bicara bila tidak ada gunanya, atau jika tidak terlalu penting , lebih baik
diam sebagaimana dalam ungkapan bahasa Bugis yang mengatakan : aulwE mmEkoea slk
mnenea “Ulaweng mammekko’e, Salaka manenna’e” . Artinya Diam itu adalah emas, Suka
berbicara itu adalah perak. Karena itu dalam ungkapan lain mengatakan : lebi muaitu mmekoea
ntorikp mtoko nto mbicr nrai pit atokoGEeG . “Lebbi muitu mammekko’e
natorikafang matongko, nato mannenna nariappitangngi atongkongengnge.” Artinya : Lebih baik
diam disangka kita bodoh, daripada berbicara memperlihatkan kebodohan. “
Sejalan dengan itu dalam ajaran Islam sebagaimana sabda Rasulullah yang mengatakan : “Kata-
kata yang baik adalah sedekah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia tidak menyakiti tetangganya. Dan barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Dan barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata-kata yang baik atau
hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari & Muslim).
Diantara etika atau akhlak yang baik adalah etika dalam bertutur kata atau berbicara. Allah
SWT bahkan menjadikannya sebagai “perintah” yang wajib untuk dilakukan oleh setiap hamba-
Nya, dimanapun dan kapanpun, bahkan terhadap siapapun. Apakah di rumah terhadap
keluarganya, di kantor terhadap rekan kerja, atasan atau bawahannya, di masyarakat terhadap
tetangganya, dsb. Artinya bahwa bertutur kata yang baik, seharusnya menjadi jati diri bagi
setiap muslim. Apabila diibaratkan dengan sebuah pohon, maka bertutur kata yang baik adalah
seperti buahnya, yang memberikan manfaat kepada siapapun. Allah SWT berfirman (QS. Al-
Ahzab : 70 – 71):
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang
benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-
dosamu. Dan barangsiapa menta`ati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah
mendapat kemenangan yang besar.
Inilah 1-2 ajaran islam yang mulia, selalu mengajak kepada kebaikan, dan berusaha jadi insan
yang berakhlak mulia.
Ada banyak etika, adab dan sopan santun dalam berbicara yang diketahui dan dianut oleh
masyarakat. Salah satu acuan yang dapat kita pedomani adalah adab berbicara
94
Selain adab dan pemilihan kata dalam berkomunikasi, perhatikan juga materi atau isi
pembicaraan kita. Berikut ini ada beberapa materi yang suka dijadikan topik dalam
pembicaraan dan dikhawatirkan dapat menjerumuskan kita pada pembicaraan yang berpotensi
dosa.
Membicarakan kelebihan diri sendiri
Pembicaraan jenis ini disatu sisi diyakini bisa meningkatkan rasa percaya diri/self esteem. Dan
baik juga untuk meningkatkan citra positif yang bisa memacu semangat dalam beraktifitas.
Namun harus diwaspadai jika pembicaraan ini terlalu berlebihan bisa menimbulkan
kesombongan.
Membicarakan kekurangan diri sendiri
Pembicaraan jenis ini berguna untuk introspeksi diri sehingga dengan menyadari kekurangan
kita bisa mengupayakan perbaikan diri untuk meningkatkan kualitas hidup selanjutnya. Namun
jika berlebihan dan sampai pada penyesalan-penyesalan yang keterlaluan apalagi meratapi
nasib akan berakibat buruk terhadap tingkat percaya diri yang bisa membuat kehilangan
semagat hidup.
Membicarakan kelebihan orang lain
Kelebihan orang lain dapat memotivasi kita untuk berbuat hal yang sama jika kita dan
lingkungan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dan layak ditiru. Tapi jika terlalu
berlebihan dan sampai mengidolakan apalagi sampai mengkultuskan seseorang akan berakibat
tidak sehat untuk jiwa.
Membicarakan kekurangan orang lain
Topik ini merupakan yang paling senang dibicarakan orang dimana. Infotainment yang memuat
berbagai skandal dan kebobrokan moral sangat digemari dan mempunyai rating yang tinggi.
Pembicaraan ini yang lebih populer disebut gosip, gunjing atau ghibah sering menjadi topik
sehari-hari dan sebagian dari kita sangat senang dan bahkan menikmati pembicaraan ini.
Alangkah bijaksananya jika kita menyikapi fenomena ini sebagai ajang introspeksi bukannya
malah menu utama untuk dijadikan pembicaraan hangat setiap harinya.
Banyak sekali pepatah dan ungkapan bijak yang mengingatkan kita untuk lebih berhati-hati
dalam bertutur kata agar kita tidak terlibat dalam pembicaraan yang mengandung dosa. Jika
tidak terlalu penting lebih baik diam sebagaimana dalam ungkapan bahasa Bugis yang
mengatakan : “Ulaweng mammekko’e, Salaka manenna’e” . Artinya Diam itu adalah emas,
Suka berbicara itu adalah perak. Karena itu dalam ungkapan lain mengatakan : “Lebbi muitu
mammekko’e natorikafang matongko, nato mannenna nariappitangngi atongkongengnge.”
Artinya : Lebih baik diam dsiangka kita bodoh, daripada berbicara memperlihatkan kebodohan.
95
“Silent is Gold” sangat bijak diterapkan. Ataupun kalau harus ada kata-kata yang hendak
disampaikan pilihlah kata-kata yang tepat, jangan sampai menyakiti perasaan orang lain yang
mendengarnya karena “Kata-kata bisa lebih tajam dari pedang”. Komunikasikanlah sesuatu
dengan kata-kata yang tepat dan dengan cara yang baik jangan sampai menjadi bumerang bagi
diri sendiri sebagaimana ungkapan “Mulutmu harimaumu akan menerkam kepalamu”. Apalagi
kalau kata-kata yang diucapkan merupakan ucapan yang tidak benar atau berupa kebohongan
dan sampai menimbulkan fitnah karena “Fitnah lebih kejam dari pembunuhan”. Alangkah besar
dampak suatu kebohongan yang dituduhkan pada orang lain bahkan lebih buruk dari
menghilangkan nyawa sekalipun. Jadi, walau “lidah tak bertulang” tapi pengaruhnya sangat
besar pada keharmonisan hubungan antar sesama manusia. Jagalah lisan, perhatikan etika
ketika berbicara, semoga kita semua menjadi lebih bijaksana karenanya.
Membiasakan adab seorang anak memuliakan kedua orang tua, menghormati yang lebih tua,
dan menyayangi yang lebih muda.
Kedua orang tua kita adalah mereka yang senantiasa memberikan apapun untuk anak-anaknya.
Sabar dan ikhlas nya kedua orang tua ketika memelihara dan memenuhi kebutuhan kita di
waktu kita masih belia, rasanya kata-kata seindah apapun tidak akan dapat menggambarkan
sepenuhnya betapa besar kesabaran serta keikhlasan mereka. Sabar dan Ikhlas merupakan
salah satu sifat yang mulia dalam Islam. Betapa pentingnya sebagai seorang anak untuk
berbakti kepada kedua orang tua. Salah satu cara kita untuk berbakti kepada mereka adalah
dengan senantiasa memanjatkan doa untuk orangtua kita. Berbuat baik kepada orang tua
merupakan kewajiban bagi setiap anak. Di dalam islam dijelaskan dengan panjang lebar
tentang hak-hak seorang Ibu maupun seorang ayah yang harus ditunaikan oleh anak-anaknya
(kita). Kewajiban kita untuk berbuat baik kepada ayah dan ibu kita terus berlanjut sedari kita
mudah, mulai menua, bahkan sampai kita renta pun kita masih diharuskan berbuat baik kepada
mereka. Karena itu dalam ajaran Islam mengatakan : Mentaati kedua orang tua wajib
hukumnya atas setiap Muslim. Haram hukumnya mendurhakai keduanya. Tidak diperbolehkan
sedikit pun mendurhakai keduanya.
Diantara bakti kepada kedua orang tua adalah:
- Menjauhkan ucapan dan perbuatan yang dapat menyakiti kedua orang tua
walaupun dengan isyarah atau ucapan "ah"
- Senantiasa membuat mereka ridha dengan melakukan apa yang mereka inginkan.
- Tidak mengeraskan suara melebihi suara kedua orang tua atau di hadapan mereka
berdua.
- Tidak boleh berjalan di depan mereka, atau mendahului mereka, atau masuk dan
keluar mendahului mereka, atau mendahului urusan mereka berdua.
3. Berbicara dengan Lembut di Hadapan Mereka
96
Firman Allah Ta'ala :
َوقَ َضى َرُبّ َك أََاّل تَ ْعبُُدوا إَِاّل إِيااهُ َوبِالَْوالَِديْ ِن إِ ْح َسانًاإِاما يَْبلُغَ ان ِعْن َد َك الْ ِكبََر أَ َح ُدُُهَا أَْوكَِلُُهَا
فََل تَُق ْل ََلَُما أُ ٍّف َوَّل تَْن َهْرُُهَا َوقُ ْل ََلَُما قَْوًَّل َكِريمًا
"..... maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"
dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia. ". (Q.S. Al-Isra';23).
4. Menyediakan Makanan untuk Mereka
Sepantasnya disediakan untuk mereka makanan dan minuman yang terbaik dan lebih
mendahulukan mereka berdua daripada dirinya, anaknya, dan isterinya.
5. Meminta Izin kepada Mereka Sebelum Berjihad dan Pergi untuk Urusan Lainnya
Izin kepada orang tua diperlukan untuk jihad yang belum ditentukan. Seorang lelaki
datang menghadap Rasulullah saw. dan bertanya: "Ya Rasulullah, apakah aku boleh
ikut berjihad ?" Beliau balik bertanya:'Apakah kamu masih mempunyai kedua orang
tua?" Laki-Laki itu menjawab: "masih". Beliau bersabda: "Berjihadlah (dengan cara
berbakti) kepada keduanya." [3]
6. Memberikan Harta kepada Orang Tua Menurut Jumlah yang Mereka Inginkan
Rasulullah saw. pernah bersabda kepada seorang laki-laki ketika ia berkata: "Ayahku
ingin mengambil hartaku." Nabi saw. bersabda: "Kamu dan hartamu milik ayahmu."
Oleh sebab itu hendaknya seseorang jangan bersikap bakhil (kikir) terhadap orang
yang menyebabkan keberadaan dirinya, memeliharanya ketika kecil dan lemah, serta
telah berbuat baik kepadanya.
7. Membuat Keduanya Ridha dengan Berbuat Baik kepada Orang-Orang yang Dicintai
Oleh Mereka
Yakni dengan cara berbuat baik kepada para saudara, karib kerabat, teman-teman
dan selain mereka. Memuliakan mereka, menyambung tali silaturahim dengan
mereka, menunaikan janji-janji (orang tua) kepada mereka.
8. Memenuhi Sumpah Kedua Orang Tua
Apabila kedua orang tua bersumpah kepada anaknya untuk suatu perkara tertentu
yang di dalamnya tidak terdapat perbuatan maksiat, maka wajib bagi seorang anak
memenuhi sumpah keduanya karena itu termasuk hak mereka.
9. Tidak Mencela Orang Tua atau Tidak Menyebabkan Mereka Dicela Orang Lain.
97
Orang-orang sering bergurau dan bercanda dengan melakukan perbuatan yang
tercela ini, sadar atau tidak mereka terjerumus kepada saling membangga-
banggakan orang tuanya/keturunannya hingga akhirnya saling mencela orang tua
mereka. Rasulullah saw. bersabda: "Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela
orang tuanya. " Para sahabat bertanya: "Ya Rasulullah, apa ada orang yang mencela
orang utanya?" Beliau menjawab: "Ada. Ia mencela ayah orang lain kemudian orang
itu membalas mencela orang tuanya. Ia mencela ibu orang lain lalu orang itu
membalas mencela ibunya." [5].
10. Mendahulukan Berbakti kepada Ibu daripada Ayah
Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw. :"Siapa yang paling berhak
mendapatkan perlakuan baik dariku?" Beliau menjawab: "Ibumu." Laki-laki itu
bertanya lagi: "Kemudaian siapa lagi?" Beliau kembali menjawab: "Ibumu." Laki-laki
itu kembali bertanya: "Kemudian siapa lagi?" Beliau menjawab: "Ibumu." Lalu siapa
lagi?" Tanyanya. "Ayahmu" Jawab beliau." [6].
Maksud lebih mendahulukan berbuat baik kepda ibu, yaitu lebih bersikap lemah-
lembut, lebih berperilaku baik, dan memberikan sikap yang lebih halus daripada
ayah. Hal ini apabila keduanya berada di aatas kebenaran.
AKHLAK TERHADAP ORANG YANG LEBIH TUA DALAM AJARAN ISLAM
Akhlaq yang di perintahkan oleh Islam dalam menghormati seseorang yang lebih tua
adalah,
Penghormatan
Nabi Muhammad Shallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Bukanlah dari kami siapa yang
tidak menghormati yang tua, dan tidak menyanyangi yang muda” .(Hr. Tirmdizi).
Di dalam hadist ini terdapat kalimat yang besar maknanya dimana orang tua harus di
hormati dan disayangi, karena menghormati orang yang lebih tua adalah hak mereka
. Dan penghormatan yang lebih muda terhadap yang lebih tua adalah akhlak yang
paling di tekankan dalam hal ini.
Memuliakan
Nabi Shallahu alai wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya termasuk dalam
penganggungan terhadap Allah adalah memuliakan seorang muslim yang telah tua”.
(HR. Abu Dawud, di hasankan oleh Sheikh Al Albani)
Kata “memuliakan” disini maknanya adalah berbicara dengan baik dan sopan
kepadanya, juga memperlembut muamalah terhadapnya, dan akhlak akhlak baik
lainnya yang patut di berikan kepada yang lebih tua.
98
Memulai mengucapkan salam kepadanya
Rasulullah bersabda,
ع لى ال ص غ ٌر ٌ س لم،ال ما شً ع لى ال راك ب و ال ك ب ٌر. ال بخاري رواه
“Yang lebih kecil memberikan salam kepada yang lebih tua, dan orang yang memakai
kendaraan memberikan salam kepada yang berjalan kaki”. (HR. Bukhari).
Maka jika kamu bertemu seorang yang lebih tua darimu maka janganlah menunggu
mereka memberi salam kepadamu, justru yang lebih muda harus segera memberikan
salam kepadanya dengan penuh penghormatan, adab yang baik, serta kelembutan.
Juga seorang yang lebih muda harus bisa melihat kondisi seseorang yang lebih tua
darinya, jika orangtua ini mempunyai pendengaran yang baik maka ucapkanlah salam
dengan suara yang dapat dia dengar tanpa menganggunya, dan jika orangtua
tersebut telah lemah pendengarannya maka seseorang yang lebih muda harus
memberikan salam sesuai dengan kondisi orang tua tersebut.
Jika engkau berbicara kepadanya maka panggilah dengan panggilan yang lembut.
Panggilah orang yang lebih tua darimu dengan sebut sebutan yang sopan, seperti
Paman, Kakak, Abang atau yang semisalnya, dalam rangka penghormatan terhadap
mereka.
Di riwayatkan dari Abi Umamah bin Sahl, dia berkata, “ Kami pernah sholat dzuhur
bersama Umar bin Abdul Aziz kemudian kami keluar, kemudian kami masuk lagi
kedalam masjid,lalu kami melihat Anas bin Malik sedang sholat asar, maka aku
berkata, “ Wahai Paman, Shlolat apa yang kau kerjakan?”, dia berkata, “ Sholat Asar,
dan ini adalah sholatnya Rasulullah yang dulu kami sholat bersamanya”. (HR.
Bukhari)
Di riwayatkan dari jalan Abdurahman bin Auf, dia berkata, “ Aku pernah berdiri di
barisan pada saat perang badr, kemudian aku melihat sebelah ke kanan dan kiriku,
aku mendapati ada dua orang anak kecil dari kaum Ansor, Mereka masih sangat
muda, dan aku berharap bisa lebih kuat dari mereka, lalu satu dari mereka
memanggilku, “ Wahai Paman, apakah engkau tahu yang mana Abu Jahl?”, Aku
berkata, “iya, aku tahu apa yang kau inginkan darinya?”, anak itu berkata, “Aku di
kabarkan bahwa dia menghina Rasulullah, Aku bersumpah dengan Dzat yang jiwa aku
ada ditanganNya, jika aku bertemu dengannya maka aku tidak akan melepaskannya
samapai ada di salah satu dari kami yang mati dahulu”. (HR. Bukhari)
Dari dua hadist diatas, kita dapatkan bahwa yang lebih muda memanggil orang yang
lebih tua darinya dengan sebutan yang baik dan sopan.
99
Mendahuluinya di segala hal yang baik
Termasuk akhlaq yang baik adalah mendahulukan orangtua dalam berbicara,
memberikan tempat kepadanya di dalam majelis, mendahulukan memberi makan
kepada orangtua, dan ini termasuk hak hak mereka.
Di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam kitabnya, bahwasanya
Abdurahman bin Sahl serta Muhiyisoh dan Huwayisoh pergi menemui Nabi Shallahu
Alaihi wa sallam, kemudian setelah sampai ke pada Nabi, berbicaralah yang paling
muda diantara mereka yaitu Abdurahman bin Sahl, , maka Nabi Muhammad Shallahu
Alahi wa Sallam memotong perkataanya seraya berkata, “yang tua dulu yang
berbicara”, maksudnya adalah Muhiyisoh dan Huwayisoh.
Merawatnya
Sudah kita ketahui bahwa seseorang yang telah tua, maka akan lemah badannya,
akan lemah penglihatannya serta pendengarannya dan lain lain. Oleh sebab itu kita
harus selalu benar benar merawat mereka, karena kelak kitapun akan berada di masa
yang mereka rasakan sekarang.
Allah berfirman,
َُو َش ٌْ َب ًة َض ْع ًفا قُ َّو ٍة َب ْع ِد ِم ْن َج َع َل ُث َّم ُق َّو ًة َض ْع ٍف َب ْع ِد ِم ْن َج َع َل ُث َّم َض ْع ٍف ِم ْن َخلَ َق ُك ْم الَّ ِذي ََّّلل
(ال روم:54) ا ْل َعلٌِ ُم َو ُه َو ٌَ َشا ُء َما ٌَ ْخلُ ُق ا ْل َق ِدٌر
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan
(kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu)
sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. Ar- Rum
54)
Juga Allah berfirman,
Dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang
dipanjangkan umurnya sampai pikun. (QS. Al Haj:5)
Dari ayat tadi kita dapatkan bahwa merupakan hak orangtua atas yang lebih muda
adalah mengetahui tentang kesehatannya, kemudian merawatnya. Bahkan sebagian
orangtua karena badannya yang melemah, serta kemampuan otaknya pun menurun
akhirnya menjadikan dia seperti anak yang masih kecil.
Maka jika seseorang tidak mengetahui tentang masalah kesehatan dan lemahnya
seseorang yang telah tua maka dia akan tidak sabar dalam mengurusnya, akan buruk
muamalahnya, dikarena dia tidak merasakan apa yang dialami seorang yang telah
menua. Lain halnya jika seseorang merasakan atau membayangkan dirinya seperti
100