The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku Sistem Manajemen Kinerja Tahun 2021

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by agus winarno, 2023-05-15 03:48:55

BUKU SISTEM MANAJEMEN KINERJA

Buku Sistem Manajemen Kinerja Tahun 2021

Keywords: Manajemen Kinerja

S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 83 BAB V PENGUKURAN KINERJA PEGAWAI Pengertian Pengukuran Kinerja 1. Konsep Pengukuran Kinerja Kegiatan pengukuran kinerja merupakan bagian dari proses panjang dalam sistem manajemen kinerja, yang terdiri dari perencanaan kinerja, pelaksanaan, pemantauan dan pembinaan kinerja; penilaian kinerja; tindak lanjut; dan sistem informasi kinerja. Pengukuran kinerja merupakan bagian yang sangat penting dan bisa dikatakan sebagai titik kritisnya. Hal ini disebabkan karena hasil dari pengukuran ini menjadi basis bagi pengambilan keputusan atas kompensasi bagi seorang ASN, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam hal ini yang dimaksud sebagai kompensasi adalah tunjangan, promosi maupun retensi, serta berbagai bentuk kompensasi lainnya. Pengukuran kinerja bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) sering dirasakan sebagai tindakan yang sulit dilakukan terutama terkait dengan outcome yang akan dihasilkan1 . Pengukuran Kinerja sendiri menurut peraturan pemerintah merupakan siklus manajemen kinerja pada tahapan setelah perencanaan kinerja dan pemantauan kinerja dilakukan. Untuk mengukur apakah kinerja pegawai telah tercapai? Apakah sudah memenuhi kategori tertentu yang menunjukkan bahwa seorang pegawai berprestasi atau tidak, maka Pegawai Negeri Sipil (PNS) wajib melakukan sistem pengukuran kinerja2 . Untuk mengukur kinerja PNS, setiap instansi pemerintah memerlukan suatu sistem pengukuran kinerja sebagai standar yang digunakan untuk mengetahui data atau informasi mengenai kemajuan kinerja yang telah dicapai pada setiap periodenya. Pengukuran dapat dilakukan setiap bulan, triwulan, semesteran, 1 Smith, P. (1993), “Outcome-related performance indicators and organizational control in the public sector”, British Journal of Management, Vol. 4, pp. 135-51. 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil, pasal 29


84 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N atau tahunan, serta didokumentasikan dalam dokumen pengukuran kinerja sesuai kebutuhan organisasi. Selain itu, didukung sebuah sistem pengukuran kinerja yang berlaku pada masing-masing instansi berrdasarkan data dukung mengenai kemajuan kinerja yang telah dicapai pada setiap pengukuran kinerja. Konsep pengukuran kinerja selama ini banyak mengadopsi dari berbagai sumber yang representatif. Robert Kaplan dan David Norton, mengembangkan konsep Balanced Scorecard (BSC) di awal tahun 1990-an, sebagai upaya untuk memantau pencapaian tujuan organisasi. Balanced Scorecard (BSC)3 adalah suatu instrumen dalam sistem manajemen strategis yang berbasis pada pengukuran (measurement), penetapan aktivitas-aktivitas dalam suatu strategi, dan memonitor kinerja strategi tersebut dalam upaya pencapaian tujuannya (Robert Kaplan dan David Norton). Penggunaan BSC dalam sektor publik kadang masih diragukan dan baru berjalan keberhasilannya di sektor swasta, dalam hal bagaimana perspektif mengelaborasinya dan menghasilkan kesesuaian dalam hasilnya. Namun BSC tampaknya memberikan manfaat yang lebih besar untuk sektor publik. Perbedaan yang mencolok dengan sektor swasta adalah bahwa permintaan konsumen tidak hanya terlihat pada laporan penjualan kuartal, tetapi juga secara langsung dari pasar walaupun tidak kentara dan sangat jarang. Persepktif BSC pada sektor swasta dan publik dapat dilihat pada tabel berikut: 3 Kaplan, Robert S. dan Norton, David P., 1996, Balanced Scorecard, Menerjemahkan Strategi Menjadi Aksi, Alih Bahasa : Peter R. Yosi Pasla, 2000, Jakarta : Erlangga.


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 85 Tabel 5.1. Perspektif Balance Scorecard pada Sektor Swasta & Publik Perspektif Organisasi Swasta Organisasi Publik Finansial Bagaimana memberikan nilai pada pemegang saham Bagaimana memberikan nilai pada masyarakat Pelanggan Bagaimana pelanggan menilai kinerja organisasi Bagaimana masyarakat menilai pelayanan publik yang diberikan Proses Internal Apa yang diunggulkan dari proses/produk Apakah program-program pembangunan memberikan hasil yang diharapkan Pembelajaran & Pertumbuhan Dapatkan organisasi meningkatkan dan menciptakan nilai pada pelanggan, karyawan, manajemen dan organisasi Dapatkan organisasi meningkatkan dan menciptakan nilai pada masyarakat, aparatur, manajemen dan organisasi Perspektif ini yang kemudian mendasari sektor publik mulai melakukan pendekatan BSC dalam mengukur kinerja dan menetapkan strategi. Masyarakat sebagai konsumen dari layanan pemerintah atau sektor publik menjadi faktor penentu bagaimana layanan yang dihasilkan oleh pemerintah akan menjadi lebih baik, efektif dan efisien. 2. Tujuan Pengukuran Kinerja Pegawai Pengukuran kinerja sangat penting dilakukan untuk melihat bagaimana hasil kerja yang telah dilakukan dan dicapai oleh seorang pegawai, serta apakah perlu perbaikan/intervensi di dalamnya. Dalam pengukuran kinerja pegawai tidak hanya berhenti dalam memberikan kategorisasi atas kinerja pegawai saja, dan berhenti dalam memberikan reward atau punishment atas kinerja individu yang dilakukan. Namun tujuan utamanya adalah bagaimana sebuah organisasi bisa melaksanakan kinerjanya dan sangat didukung oleh kinerja yang dilakukan pegawainya untuk sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu tertentu.


86 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N Selain itu, pengukuran kinerja juga memberikan beberapa manfaat (Papadopulos, 2018), antara lain: a. Mengidentifikasi poin kelemahan untuk perbaikan kinerja pegawai; b. Memahami efisiensi biaya (Return on Investment) atas kinerja pegawai, sehingga dapat membantu memberikan kompensasi; c. Menentukan dan mengevaluasi kinerja pegawai dan organisasi; d. Memotivasi karyawan untuk berkinerja lebih baik; dan e. Membuat keseimbangan pada tim kerja organisasi. 3. Kebijakan Pengukuran Kinerja Pegawai Manajemen Kinerja merupakan suatu proses untuk mengelola hasil kerja secara terukur untuk memastikan target yang ditetapkan di awal dapat tercapai dengan baik melalui perencanaan, penilaian, pelaksanaan, pemantauan, pembinaan dan tindak lanjut kinerja. Dalam implementasinya, manajemen kinerja merupakan kesatuan dalam memberikan input untuk proses pengembangan pegawai secara karier, model kompetensi yang perlu dikembangkan, pemberian kompensasi dan penegakan disiplin. Terbitnya Permenpan No 8 Tahun 2021 tentang Sistem Manajemen Kinerja merupakan langkah awal untuk perbaikan penataan Manajemen Kinerja ASN yang mana sebelumnya Penilaian Kinerja selalu dikaitkan dengan Proses Kenaikan Pangkat dan Penilaian Prestasi Kerja (DP3). Dalam Permenpan tersebut dijelaskan secara detail tentang Sistem Manajemen Kinerja ASN. Oleh karenanya penulis mencoba menuangkan dalam bahasa yang lebih sederhana dan aplikatif untuk memberikan gambaran yang lebih nyata kepada pembaca agar mudah untuk diimplementasikan di dalam pekerjaan, khususnya sebagai ASN. Keberadaaan Permenpan No 8 Tahun 2021 merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menggantikan PP Nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS, yang diharapkan dengan adanya peraturan ini penilaian prestasi kerja bisa lebih objektif dalam penilaiannya. Secara garis besar Perbandingan PP 46 tahun 2011 dengan PP 30 Tahun 2019 adalah sebagai berikut:


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 87 Tabel 5.2. Perbandingan Kebijakan Penilaian Kinerja PNS Substansi PP 46 Tahun 2011 Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil PP 30 Tahun 2019 Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil Ketentuan Umum PENILAIAN PRESTASI KERJA PNS Suatu proses penilaian secara sistematis yang dilakukan oleh pejabat penilai terhadap sasaran kerja pegawai dan perilaku kerja PNS. SISTEM MANAJEMEN KINERJA PNS Suatu proses sistematis yang terdiri dari perencanaan kinerja; pelaksanaan; pemantauan; dan pembinaan kinerja; penilaian kinerja; tindak lanjut; dan sistem informasi kinerja Ketentuan Umum PRESTASI KERJA Hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS pada satuan organisasi sesuai dengan sasaran kerja pegawai dan perilaku kerja. KINERJA PNS Hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS pada organisasi/ unit sesuai dengan SKP dan Perilaku Kerja. Ketentuan Umum SASARAN KERJA PEGAWAI (SKP) Rencana kerja dan target yang akan dicapai oleh seorang PNS SASARAN KERJA PEGAWAI (SKP) Rencana kinerja dan target yang akan dicapai oleh seorang PNS yang harus dicapai setiap tahun. Ketentuan Umum TARGET Jumlah beban kerja yang akan dicapai dari setiap pelaksanaan tugas jabatan. TARGET Jumlah hasil kerja yang akan dicapai dari setiap pelaksanaan tugas jabatan. Ketentuan Umum TIM PENILAI KINERJA PNS Tim yang dibentuk oleh PyB untuk memberikan pertimbangan kepada PPK usulan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam jabatan, pengembangan kompetensi, serta pemberian penghargaan bagi PNS. Ketentuan Umum PEMANTAUAN KINERJA Serangkaian proses yang dilakukan oleh Pejabat Penilai Kinerja PNS untuk mengamati


88 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N pencapaian target kinerja yang terdapat dalam SKP. Ketentuan Umum BIMBINGAN KINERJA Suatu proses terus-menerus dan sistematis yang dilakukan oleh atasan langsung dalam membantu PNS agar mengetahui dan mengembangkan kompetensi PNS, dan mencegah terjadinya kegagalan kinerja. Ketentuan Umum KONSELING KINERJA Proses untuk melakukan identifikasi dan membantu penyelesaian masalah perilaku kinerja yang dihadapi PNS dalam mencapai target kinerja. Ketentuan Umum PEMERINGKATAN KINERJA Perbandingan antara kinerja PNS dengan PNS lainnya dalam 1 (satu) unit kerja dan/atau instansi. Ketentuan Umum SISTEM INFORMASI KINERJA PNS Tata laksana dan prosedur pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian, pemanfaatan, dan pendokumentasian data kinerja PNS secara terintegrasi. Ketentuan Umum PENGELOLA KINERJA Pejabat yang menjalankan tugas dan fungsi pengelolaan kinerja PNS. Perencanaan Kinerja Pasal 5 Ayat (2) SASARAN KERJA PEGAWAI (SKP) Memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus dicapai dalam kurun waktu penilaian yang bersifat nyata dan dapat Pasal 9 Ayat (1) dan (2) SASARAN KINERJA PEGAWAI (SKP) Memuat kinerja utama yang harus dicapai seorang PNS setiap tahun dan dapat memuat kinerja tambahan. Pasal 10


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 89 diukur. Kinerja utama dan kinerja tambahan paling sedikit memuat: a. Indikator Kinerja Individu; dan b. Target kinerja. Perencanaan Kinerja Pasal 5 Ayat (1) PENYUSUNAN SKP Didasarkan pada rencana kerja tahunan instansi. Pasal 8 PENYUSUNAN SKP Memperhatikan: a. perencanaan strategis Instansi Pemerintah; b. perjanjian kinerja; c. organisasi dan tata kerja; d. uraian jabatan; dan/atau e. SKP atasan langsung. Perilaku Kerja Pasal 12 ASPEK a. orientasi pelayanan; b. integritas; c. komitmen; d. disiplin; e. kerja sama; dan f. kepemimpinan. Pasal 25 ASPEK a. orientasi pelayanan; b. komitmen; c. inisiatif kerja; d. kerja sama; dan e. kepemimpinan. Pasal 13 Ayat (1) dan (2) PENILAIAN Dilakukan melalui pengamatan oleh pejabat penilai dan dapat mempertimbangkan masukan dari pejabat penilai lain yang setingkat di lingkungan unit kerja masing-masing. Pasal 37 PENILAIAN a. Penilaian Perilaku Kerja dilakukan oleh Pejabat Penilai Kinerja PNS, dan dapat berdasarkan penilaian rekan kerja b. setingkat dan/atau bawahan langsung. Penilaian Kinerja Pasal 15 BOBOT PENILAIAN § Unsur SKP 60% § Perilaku kerja 40% Pasal 41 Ayat 2 BOBOT PENILAIAN § Unsur SKP 70% dan perilaku kerja 30% § Unsur SKP 60% dan perilaku kerja 40%* *) bagi Instansi Pemerintah yang menerapkan penilaian 360˚


90 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N Pasal 8 Ayat (2) REALISASI KERJA Jika melebihi target maka penilaian SKP dapat lebih dari 100 Pasal 41 Ayat (2) REALISASI KINERJA Realisasi kinerja PNS yang melebihi Target kinerja, nilai capaian kinerja paling tinggi pada angka 120. (Sumber: Kementerian PANRB, 2020) Selanjutnya, dalam Permenpan Nomor 8 tahun 2021 diperjelas bahwa penilaian kinerja PNS dilakukan dengan pengukuran kinerja yang dilakukan dalam suatu sistem pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja dilakukan terhadap capaian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dengan membandingkan realisasi dan target kinerja, dan perilaku kerja pegawai yang diukur dengan Penilaian 360 Degree Feedback. Dalam hal pelaksanaan kebijakannya, setiap instansi pemerintah dalam mengupayakan penilaian kinerja pegawainya melakukan penetapan periode pengukuran kinerja yang berlaku dilingkungan instansinya. Selain itu, pengukuran didasarkan atas bukti atau dokumentasi. Mekanisme Penilaian Kinerja PNS, diberlakukan hal-hal sebagai berikut dalam proses penilaiannya: Dilakukan setiap akhir bulan Desember pada tahun berjalan dan paling lama akhir bulan Januari tahun berikutnya Dilakukan oleh pejabat penilai kinerja atau pejabat lain yang diberi pendelegasian kewenangan. Dalam hal penugasan atau tanggung jawab diberikan oleh pejabat pimpinan tinggi pada unit kerja lain, pejabat yang bersangkutan dapat memberikan rekomendasi penilaian atas rencana kinerja pegawai yang berkaitan dengan penugasan kepada Pejabat Penilai Kinerja. Penilaian kinerja bagi pegawai yang diperbantukan/dipekerjakan pada negara sahabat, lembaga internasional, organisasi profesi, dan badanbadan swasta yang ditentukan oleh Pemerintah baik di dalam maupun di luar negeri dilakukan berdasarkan bahan yang diperoleh dari instansi tempat yang bersangkutan bekerja. Penilaian kinerja pejabat pimpinan tinggi dan pimpinan unit kerja beserta tindak lanjutnya menyesuaikan dengan waktu dikeluarkannya hasil


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 91 penilaian SKP (apabila diukur oleh instansi lain dan tidak sesuai periode penilaian). Penilaian kinerja bagi pegawai yang mengalami rotasi, mutasi dan/atau penugasan lain terkait dengan tugas dan fungsi jabatan selama tahun berjalan dilakukan dengan menggunakan metode proporsional berdasarkan periode SKP. Penilaian kinerja bagi pegawai yang menjalani tugas belajar hanya berdasarkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) dan ketepatan waktu lulus. Gambar 5.1. Penilaian Kinerja PNS (Sumber: Kementerian PANRB. 2021) Dalam Penilaian Kinerja ada ketentuan yang berlaku bagi Penilaian SKP Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) dan bagi Jabatan Administrasi (JA) dan Jabatan Fungsional (JF) yang dilakukan dalam kinerja tahunan. Adapun langkah-langkah Penilaian Sasaran Kinerja Pegawai bagi Jabatan Pimpinan Tinggi dengan model dasar berdasarkan Pengukuran Kinerja tahunan, dilakukan sebagai berikut:


92 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N Gambar 5.2. Penilaian SKP bagi JPT (Sumber: Kementerian PANRB. 2021) Sedangkan langkah-langkah Penilaian SKP bagi JA dan JF dengan Model Dasar, sebagai berikut: Gambar 5.3. Penilaian SKP bagi JA dan JF (Sumber: Kementerian PANRB. 2021) 4. Waktu Pelaksanaan Pengukuran Kinerja Dalam Permenpan 8 Tahun 2021, sistem pengukuran kinerja pelaksanaanya dapat dilakukan bulanan, triwulanan atau semesteran atau tahunan sesuai dengan kebijakan instansi pemerintah. Gambaran pelaksanaan pengukuran kinerja yng dilakukan secara triwulan (sumber: Kementerian PANRB4 ) bisa disimulasikan seperti ini: 4 Anantha, Devi. 2021. Permenpanrb Nomor 8 Tahun 20021 tentang Sistem Manajemen Kinerja PNS dalam rangka Sosialisasi. Kementerian PANRB: Jakarta


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 93 Gambar 5.4. Siklus Manajemen Kinerja PNS (Sumber: Kementerian PANRB. 2021) 5. Indikator Pengukuran Kinerja Pegawai Sasaran Kinerja Pegawai yang selanjutnya disingkat SKP adalah rencana kinerja dan target yang akan dicapai oleh seorang PNS yang harus dicapai setiap tahun5 . Dalam penyusunan SKP terdiri atas penyusunan dan penetapan SKP dengan memperhatikan perilaku kerja. Proses penyusunan SKP memperhatikan: a. Perencanaan strategis pemerintah; b. Perjanjian kinerja; c. Organisasi dan tata kerja; d. Uraian jabatan; dan/atau e. SKP atasan langsung. Setelah disusun oleh PNS dan Pejabat Penilai Kinerja PNS dan/atau Pengelola Kinerja, selanjutnya disepakati oleh pegawai yang bersangkutan dengan Pejabat Penilai Kinerja PNS setelah direviu oleh Pengelola Kinerja. Perilaku Kerja adalah setiap tingkah laku, sikap atau tindakan yang dilakukan oleh PNS atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya 5 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil, Pasal 1


94 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perilaku Kerja meliputi aspek: a. orientasi pelayanan; b. komitmen; c. inisiatif kerja; d. kerja sama; dan e. kepemimpinan. 6. Tim Penilai Kinerja Pegawai Tim Penilai Kinerja PNS adalah tim yang dibentuk oleh Pejabat yang Berwenang (PyB) untuk memberikan pertimbangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian atas usulan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam jabatan, pengembangan kompetensi, serta pemberian penghargaan bagi PNS. Penilaian Kinerja PNS dilakukan oleh Pejabat Penilai Kinerja, yang terdiri: a. Pejabat Penilai Kinerja PNS yaitu atasan langsung PNS atau pejabat lain yang diberi pendelegasian kewenangan. b. Pejabat Penilai Kinerja PNS memberikan penilaian terhadap unsur SKP dan unsur Perilaku Kerja. c. Pejabat Penilai Kinerja PNS apabila berhalangan, Penilaian Kinerja PNS dilakukan oleh atasan dari Pejabat Penilai Kinerja PNS secara berjenjang. d. Atasan dari Pejabat Penilai Kinerja PNS dapat mendelegasikan kewenangan penilaian kinerja PNS kepada Pelaksana Tugas (PLT) atau Pelaksana Harian (PLH). e. Penilaian perilaku PNS terdiri atas: 1) atasan langsung; 2) pejabat yang ditugaskan menjadi atasan langsung PNS; 3) rekan kerja setingkat; dan/atau bawahan langsung. f. Rekan kerja setingkat dan/atau bawahan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dan huruf d memberikan penilaian terhadap unsur Perilaku Kerja. g. Tim Penilai Kinerja PNS terdiri dari PNS yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan, berasal dari:


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 95 1) Unit Kerja yang membidangi kepegawaian; 2) Unit Kerja yang membidangi pengawasan internal; dan 3) Unit Kerja lain yang dipandang perlu oleh PyB. 7. Metode dan Kategorisasi Hasil Penilaian Kinerja Pegawai Sesuai dengan Permenpan Nomor 8 Tahun 2021, Hasil pengukuran SKP dan perilaku kerja diintegrasikan dan ditandatangani oleh Pejabat Penilai Kinerja dalam format berikut ini: Gambar 5.5. Format Penilaian Kinerja a. Definisi Penilaian 360 Degree Feedback Umpan Balik 360 Derajat dalam dunia human resources menjadi salah satu alternatif penilaian pegawai yang telah dipakai dalam dunia bisnis dan perusahaan. Menurut Karmawidjaja (2007) metode 360 Degree Feedback adalah proses penilaian kinerja dengan sumber penilaian berdasarkan perilaku seseorang atas individu serta perilaku terhadap atasan, rekan kerja, bawahan dan anggota-anggota lain suatu tim proyek, para customer, maupun supplier. Penerapan metode ini dalam sektor publik/bagi PNS menjadi sesuatu model baru yang sebelumnya belum pernah ada dalam penilaian kinerja pegawai.


96 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N Penggunaan penilaian dengan 360 Degree Feedback sangat berperan penting dalam memberikan umpan balik dari pimpinan, rekan kerja maupun tingkatan dibawahnya atas kinerja yang dilakukan. b. Manfaat Penilaian 360 Degree Feedback Tidak dipungkiri penilaian 360 Degree Feedback memberikan banyak aspek yang bersifat positif untuk kemanfaatan organisasi maupun pegawai. Jack Zenger (2016)6 , seorang ahli pada Perilaku Organisasi (Organizational Behavior) menyatakan bahwa penilaian 360 Derjat Feedback sebagai bagian utama dalam program pengembangan kepemimpinan untuk mendapatkan sekelompok besar pemimpin organisasi secara praktis, yang tidak berkeberatan dan merasa nyaman mendapatkan feedback apapun dari bawahan langsung, rekan kerja, pimpinan (bos) dan kelompok lain. Bahkan Zenger sangat menyarankan penggunaan feedback ini sebagai landasan dari keseluruhan pengembangan kepemimpinan. Susan M. Heathfiled7 (2021) menambahkan juga bahwa setiap individu akan semakin memahami bagaimana efektivitasnya sebagai seorang pegawai, rekan kerja atau anggota staf lainnya, jika dilihat dalam prespektif orang lain. Beberapa hal lain sebagai manfaat penggunaan penilaian 360 Degree Feedback, yakni: 1) Meningkatkan kompetensi organisasi karena mempermudah dalam melihat posisi organisasi untuk menghadapi tantangan baru. 2) Memberi peningkatan atas kesadaran karyawan untuk berprestasi dalam bekerja. 3) Perubahan perilaku karyawan yang disesuaikan dengan perubahan lingkungan. 6 Zenger, Jack. 2016. How Effective Are Your 360-Degree Feedback Assessments? Forbes. https://www.forbes.com/sites/jackzenger/2016/03/10/how-effective-are-your-360-degreefeedback-assessments/?sh=5004e97aa690 7 Heathfield, Susan M. 2021. 360 Degree Feedback: See the Good, the Bad and The Ugly. The Balance Careers. https://www.thebalancecareers.com/360-degree-feedback-information1917537#citation-1


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 97 4) Memberikan wawasan dan penyelarasan tentang keterampilan dan perilaku yang diinginkan dalam organisasi untuk mencapai misi, visi, dan tujuan serta menghayati nilai-nilai. c. Kelebihan Penilaian 360 Degree Feedback 1) Input performance appraisal merupakan feedback dari berbagai sumber yang dapat memberi gambaran yang lebih lengkap tentang kinerja karyawan. 2) Evaluasi dari berbagai sumber lebih objektif, valid dan dapat mengurangi bias. 3) Perumusan pengembangan kemampuan karyawan dan perusahaan yang berkelanjutan karena mempermudah proses identifikasi kekuatan yang berkelanjutan. 4) Mengidentifikasi peluang pengembangan yang berfokus pada Kompetensi Inti. d. Kekurangan Penilaian 360 Degree Feedback 1) Bukan merupakan feedback yang sangat informatif, karena terlalu banyak pengawasan manajerial. Sehingga feedback tidak sepenuhnya jujur. 2) Perlu dukungan penuh senior, sehingga proses penilaian tidak berantakan. 3) Melibatkan jauh lebih banyak data dan informasi dibandingkan metode umpan balik satu sumber. 4) Pendekatan ini menggunakan skala penilaian, sehingga dirasa kurang spesifik untuk membantu karyawan mengetahui apa yang diperlukan untuk meningkatkan diri. 5) Masih ada kecenderungan penilaian secara “dendam”, tidak banyak reviewers terlibat dan hanya fokus pada hal yang negatif.


98 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N BAB VI TINDAK LANJUT PENILAIAN KINERJA Urgensi Tindak Lanjut Penilaian Kinerja Langkah selanjutnya dalam pelaksanaan manajemen kinerja setelah dilakukan penilaian kinerja dan menghasilkan nilai kinerja pegawai adalah tindak lanjut. Tindak lanjut ini mencakup tindakan apa yang mesti dilakukan oleh pengelola kepegawaian setelah pegawai melaksanakan pekerjaannya dan mendapat nilai kinerja. Tindak lanjut penilaian kinerja ini, sebagaimana disebutkan didalam PP Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS, khususnya di Pasal 2 adalah bertujuan untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan pada sistem prestasi kerja dan sistem karier. Selain itu, sesuai Pasal 29 dimana penilaian kinerja pegawai menyangkut 2 (dua) aspek, yaitu sasaran kinerja pegawai (SKP) dan perilaku, maka tindak lanjut penilaian kinerja semestinya juga menyangkut dua aspek tersebut. Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya bahwa hasil dari penilaian kinerja pegawai dipetakan ke dalam 9 (sembilan) kotak. Sementara di dalam PP Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS disebutkan bahwa penilaian kinerja dinyatakan dalam 5 (lima) kategori, yaitu: 1. Sangat Baik, dengan nilai 110-120 atau berhasil menciptakan ide baru dan/atau cara baru dalam peningkatan kinerja yang memberi manfaat bagi organisasi atau negara, 2. Baik, dengan nilai 90-120, 3. Cukup, dengan nilai 70-90, 4. Kurang, dengan nilai 50-70, 5. Sangat Kurang, dengan nilai kurang dari 50. Hasil penilaian kinerja tersebut selanjutnya dipetakan dalam bentuk distribusi kinerja pegawai. Distribusi kinerja dibagi dalam tiga kelompok, yaitu pegawai dengan kinerja di atas ekspektasi, sesuai ekspektasi dan di Tindak lanjut penilaian kinerja bertujuan untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan pada sistem prestasi kerja dan sistem karier.


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 99 bawah ekspektasi. Distribusi ini sangat penting karena pada prinsipnya semua pegawai diharapkan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai harapan atau ekspektasi. Sehingga pegawai di kelompok ini distribusinya paling besar, yaitu ditetapkan 60%-70% dari seluruh pegawai. Sementara pegawai yang “super” atau kinerjanya diatas harapan ditetapkan distribusinya sebesar 20% dari seluruh pegawai, demikian juga pegawai yang kinerjanya kurang atau dibawah harapan ditetapkan distribusinya sebesar 20% dari seluruh pegawai. Laporan dokumen kinerja pegawai yang lengkap, di dalam PP Nomor 30 Tahun 2019 disebutkan paling kurang terdiri dari: nilai kinerja, predikat kinerja, permasalahan kinerja dan rekomendasi kinerja pegawai. Dokumen kinerja pegawai yang sudah lengkap inilah yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh pengelola kepegawaian. Tindak lanjut penilaian kinerja ini sangat penting karena terkait dengan apa yang mesti diberikan kepada pegawai sebagai konsekuensi atas capaian kinerjanya. Baik berupa pencapaian SKPnya, maupun perilaku kinerjanya. Tindak lanjut pada dasarnya dapat berupa penghargaan atau reward (kalau kinerja pegawai baik, memenuhi atau bahkan melebihi standar yang disepakati) dan sanksi atau sanction/punishment (kalau kinerjanya kurang baik, tidak memenuhi standar yang disepakati). Namun demikian, pengertian sanction/punishment tidak melulu berarti memberikan hukuman tetapi lebih bagaimana membina pegawai supaya dapat meningkatkan atau memperbaiki kinerjanya. Sehingga akan lebih tepat apabila disebut sebagai pembinaan. Tujuan dilakukannya tindak lanjut penilaian kinerja ini adalah untuk memberikan dampak positif bagi pegawai. Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa penilaian kinerja pegawai adalah untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan pada sistem prestasi kerja dan sistem karier. Sehingga seorang PNS dapat meniti karier sesuai prestasi kerjanya. Karena tujuan utama dari manajemen kinerja adalah mengelola kinerja pegawai supaya dapat berkontribusi secara maksimal pada upaya pencapaian tujuan organisasi. Bagi pegawai yang hasil penilaian kinerjanya baik (good performer), diharapkan akan semakin baik, bagi yang penilaian kinerjanya kurang baik (poor performer), diharapkan akan menjadi lebih baik.


100 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N Sehingga tindak lanjut penilaian kinerja pegawai dapat memotivasi pegawai untuk selalu meningkatkan kinerjanya. Selain itu juga memberikan kejelasan bagi pengelola kepegawaian untuk memberikan tindak lanjut yang tepat, sesuai dengan hasil penilaian kinerja pegawai. Dalam bab ini akan dibahas secara mendalam landasan peraturan yang berlaku saat ini, landasan konseptual yang berkembang serta model tindak lanjut kinerja yang ditawarkan supaya tujuan manajemen kinerja dapat tercapai. Kebijakan terkait Tindak lanjut Penilaian Kinerja Dalam Subbab berikut disampaikan peraturan yang terkait dengan tindak lanjut penilaian kinerja. Dari peraturan tertinggi, yaitu UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, sampai beberapa peraturan pelaksana baik peraturan pemerintah, maupun peraturan menteri. Berikut penjelasannya: 1. UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN Lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai bagian dari reformasi birokrasi telah mengubah berbagai pendekatan dalam pengaturan manajemen SDM aparatur di Indonesia. Salah satunya adalah prinsip yang mendasari kebijakan dan manajemen SDM aparatur atau yang sekarang disebut ASN yaitu sistem meritokrasi. Meritokrasi adalah kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur atau kondisi kecacatan (Pasal 1 ayat 22 UU No.5 Tahun 2014). Penerapan prinsip meritokrasi yang mengutamakan kualifikasi, kompetensi dan kinerja diharapkan dapat menjamin keadilan dan objektivitas dalam berbagai tahapan manajemen ASN. Khusus untuk hasil penilaian kinerja PNS, misalnya, digunakan untuk menjamin objektivitas dalam pengembangan PNS, dan dijadikan sebagai persyaratan dalam pengangkatan jabatan dan kenaikan pangkat, pemberian tunjangan dan sanksi, mutasi, dan promosi, serta untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan (Pasal 77 ayat (5) UU No.5 tahun 2014). Sedangkan bagi PPPK yang merupakan bagian baru dari ASN, digunakan untuk menjamin


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 101 objektivitas perpanjangan perjanjian kerja, pemberian tunjangan, dan pengembangan kompetensi (Pasal 100 ayat (8) UU No.5 Tahun 2014). Pentingnya penilaian kinerja ditekankan dengan cara diterapkannya sanksi bagi ASN yang tidak mencapai target kinerja. PNS yang penilaian kinerjanya tidak mencapai target kinerja dikenakan sanksi administrasi sampai dengan pemberhentian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 77 ayat (6) UU No.5 tahun 2014). Sedangkan PPPK yang dinilai oleh atasan dan tim penilai kinerja PPPK tidak mencapai target kinerja yang telah disepakati dalam perjanjian kerja diberhentikan dari PPPK (Pasal 100 ayat (9) UU No.5 Tahun 2014). 2. PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS dan PP No. 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK Pengaturan tentang penilaian kinerja juga disinggung dalam PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS dan PP No. 49 tahun 2018 tentang Manajemen PPPK. Dalam PP No. 11 Tahun 2017 diuraikan beberapa kriteria sistem meritokrasi dimana salah satunya adalah memberikan penghargaan dan mengenakan sanksi berdasarkan pada penilaian kinerja yang objektif dan transparan (Pasal 134 ayat (2) huruf e PP No. 11 Tahun 2017). Selanjutnya unsur penilaian kinerja kembali disebut dalam beberapa tahapan manajemen PNS dan PPPK. Misalnya untuk PNS disebutkan dalam tahap persyaratan dalam pengangkatan jabatan dan kenaikan pangkat, pemberian tunjangan dan sanksi, mutasi, dan promosi, serta pengembangan kompetensi. Sedangkan untuk PPPK penilaian kinerja menjadi dasar perpanjangan perjanjian kerja, pemberian tunjangan, dan pengembangan kompetensi. 3. PP No. 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS Sebagai salah satu tahapan dalam manajemen ASN, penilaian kinerja dijabarkan secara khusus ke dalam peraturan turunannya. Untuk PNS pengaturannya dituangkan dalam PP No.30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS. Pengaturan ini menggantikan PP No. 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS yang sudah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.


102 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N Dalam PP No. 30 Tahun 2019, penjelasan tentang tindak lanjut penilaian kinerja PNS dibagi ke dalam beberapa bagian yaitu: a. Pelaporan Kinerja; b. Pemeringkatan Kinerja; c. Penghargaan Kinerja; d. Sanksi; dan e. Keberatan. Pelaporan kinerja yang dimaksud di sini adalah proses pelaporan hasil penilaian kinerja PNS secara berjenjang dari Pejabat Penilai Kinerja PNS kepada Tim Penilai Kinerja PNS dan Pejabat yang Berwenang (PyB). Prosedurnya adalah Pejabat Penilai Kinerja PNS menandatangani dokumen penilaian kinerja, kemudian dokumen tersebut disampaikan secara langsung kepada PNS yang bersangkutan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak ditandatangani. Selanjutnya, PNS yang dinilai dan telah menerima hasil penilaian kinerja wajib menandatangani serta mengembalikan dokumen penilaian kinerja tersebut kepada Pejabat Penilai Kinerja PNS paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya. Jika melewati batas waktu tersebut, maka dokumen penilaian kinerja ditetapkan dan ditandatangani oleh atasan dari Pejabat Penilai Kinerja PNS dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja (Pasal 49 & 50 PP No. 30 Tahun 2019) Proses pelaporan hasil penilaian kinerja PNS secara berjenjang dari Pejabat Penilai Kinerja PNS kepada Tim Penilai Kinerja PNS dan Pejabat yang Berwenang (PyB) ini paling lambat dilakukan pada akhir bulan Februari tahun berikutnya. Laporan dokumen penilaian kinerja paling kurang terdiri dari: a. Nilai kinerja PNS; b. Predikat kinerja PNS; c. Permasalahan kinerja PNS; dan d. Rekomendasi. Selanjutnya PyB menggunakan laporan dokumen penilaian kinerja PNS untuk dijadikan acuan dalam: a. Mengidentifikasi dan merencanakan kebutuhan pendidikan dan/atau pelatihan, b. Mengembangkan kompetensi, c. Mengembangkan karier,


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 103 d. Pemberian tunjangan, e. Pertimbangan mutasi dan promosi, f. Memberikan penghargaan dan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan/atau g. Menindaklanjuti permasalahan yang ditemukan dalam penilaian SKP dan Perilaku Kerja (Pasal 51 PP No. 30 Tahun 2019). Berdasarkan laporan dokumen penilaian kinerja tersebut, selanjutnya PyB melakukan penetapan pemeringkatan kinerja tahunan. Pemeringkatan kinerja dilakukan dengan membandingkan nilai kinerja dan predikat kinerja pada dokumen penilaian kinerja antar-PNS setiap tahunnya. Pemeringkatan kinerja dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan prioritas pengembangan kompetensi dan pengembangan karier (Pasal 52 PP No. 30 Tahun 2019). Dari hasil pemeringkatan tersebut, maka tahapan selanjutnya adalah pemberian penghargaan atau sanksi. Penghargaan kinerja dapat diberikan dalam bentuk: a. Prioritas untuk diikutsertakan dalam program kelompok rencana suksesi (talent pool) pada instansi yang bersangkutan bagi PNS yang menunjukkan penilaian kinerja dengan predikat Sangat Baik berturutturut selama 2 (dua) tahun. b. Prioritas untuk pengembangan kompetensi bagi PNS yang menunjukkan penilaian kinerja dengan predikat Baik berturut-turut selama 2 (dua) tahun. c. Pembayaran tunjangan kinerja. d. Penghargaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 53 s.d. Pasal 55 PP No. 30 Tahun 2019). Sedangkan sanksi dapat diberikan dalam bentuk sanksi administrasi sampai dengan pemberhentian. Para pejabat pimpinan tinggi yang tidak memenuhi target kinerja (penilaian kinerja Cukup, Kurang atau Sangat Kurang) dan pejabat administrasi serta pejabat fungsional yang mendapatkan penilaian kinerja dengan predikat kurang dan sangat kurang diberi kesempatan 6 (enam) bulan untuk memperbaiki kinerjanya. Jika tidak bisa menunjukkan perbaikan kinerja, maka harus mengikuti uji kompetensi kembali. Selanjutnya yang bersangkutan akan dipindahkan


104 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N pada jabatan lain yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki atau ditempatkan pada jabatan yang lebih rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Khusus untuk pejabat administrasi dan pejabat fungsional, jika tidak tersedia jabatan lain yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki atau ditempatkan pada jabatan yang lebih rendah yang lowong, maka yang bersangkutan ditempatkan sementara pada jabatan tertentu dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, dan jika masih belum tersedia juga, maka yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat (Pasal 56 s.d. Pasal 58 PP No. 30 Tahun 2019). Terakhir jika PNS yang dinilai merasa keberatan atas hasil penilaian kinerja yang diberikan, maka PNS tersebut diberikan kesempatan untuk menyampaikan keberatan. Keberatan tersebut disampaikan kepada atasan dari Pejabat Penilai Kinerja PNS disertai dengan alasan-alasannya paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterima. Selanjutnya atasan dari Pejabat Penilai Kinerja PNS akan melakukan pemeriksaan dengan meminta penjelasan dari Pejabat Penilai Kinerja PNS dan PNS yang dinilai. Dari hasil pemeriksaan itu, maka atasan Pejabat Penilai Kinerja PNS dapat mengubah dan menetapkan hasil penilaian kinerja yang bersifat final (Pasal 59 PP No. 30 Tahun 2019). 4. Permenpan RB No. 8 Tahun 2021 tentang Sistem Manajemen Kinerja PNS Peraturan ini merupakan peraturan teknis atau turunan dari PP No. 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS. Sebagaimana dalam PP nya, penjelasan mengenai tindak lanjut penilaian kinerja PNS dalam Permenpan RB No. 8 Tahun 2021 ini juga dibagi ke dalam 5 bagian yaitu: a. Pelaporan Kinerja; b. Pemeringkatan Kinerja; c. Penghargaan; d. Sanksi; dan e. Keberatan Sebagai peraturan teknis, maka peraturan ini juga memuat beberapa instrumen atau format dokumen yang dapat digunakan dalam tahap tindak lanjut penilaian kinerja. Beberapa format dokumen yang diberikan


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 105 dalam proses pelaporan kinerja adalah format laporan dokumen penilaian kinerja yang ditandatangani Pejabat Penilai Kinerja dan PNS yang dinilai, format laporan dokumen penilaian kinerja yang tidak ditandatangani Pejabat Penilai Kinerja dan/atau PNS yang dinilai, serta format laporan dokumen penilaian kinerja yang diubah oleh atasan Pejabat Penilai Kinerja setelah adanya pengajuan keberatan atas hasil penilaian kinerja dari pegawai yang dinilai. Selanjutnya dalam proses pemeringkatan kinerja, dalam peraturan ini disebutkan bahwa setiap instansi pemerintah wajib menyampaikan hasil penetapan pemeringkatan kinerjanya kepada Menteri PANRB paling lambat 1 (satu) bulan sejak ditetapkan. Selanjutnya data ini akan digunakan Menteri PANRB untuk menyusun profil kinerja PNS nasional dan evaluasi kebijakan terkait: a. Manajemen kinerja PNS b. Pengembangan kompetensi c. Pengembangan karier, dan/atau d. Manajemen PNS lainnya. 5. PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS Dalam PP No. 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS dan Permenpan RB No. 8 Tahun 2021 tentang Sistem Manajemen Kinerja PNS disebutkan bahwa pemberian sanksi atas hasil penilaian kinerja dilakukan berdasarkan pertimbangan tim penilai kinerja PNS sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hingga saat ini PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS masih dijadikan rujukan utama terkait pengaturan disiplin PNS. PP ini masih berlaku karena dianggap masih relevan dan peraturan baru sebagai turunan dari UU ASN tentang disiplin PNS memang belum ada. Isi PP ini mencakup berbagai kewajiban dan larangan bagi PNS, hukuman disiplin atas pelanggarannya, upaya administratif yang dapat ditempuh PNS yang tidak puas terhadap hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya, hingga tahap berlakunya hukuman disiplin dan pendokumentasian keputusan hukuman disiplin. Hukuman disiplin merupakan hukuman yang dijatuhkan kepada PNS karena melanggar peraturan disiplin PNS yang diatur dalam PP tersebut. Ada banyak sekali daftar kewajiban dan larangan yang harus ditaati oleh


106 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N PNS yang disampaikan dalam PP ini. Beberapa diantaranya termasuk ke dalam kategori kinerja bagi PNS. Sebagaimana disampaikan dalam PP 30 Tahun 2019 bahwa nilai kinerja PNS terdiri dari 2 unsur yaitu nilai SKP dan nilai perilaku kerja. Nilai SKP adalah nilai yang diperoleh dari hasil pengukuran kinerja dengan cara membandingkan realisasi SKP dengan target SKP sesuai dengan perencanaan kinerja yang telah ditetapkan. Sedangkan nilai perilaku kerja diberikan oleh pejabat penilai kinerja PNS dengan membandingkan standar perilaku kerja dalam jabatan dengan penilaian perilaku kerja dalam jabatan. Beberapa aspek yang dinilai dalam penilaian perilaku kerja adalah: a. Orientasi pelayanan, b. Komitmen, c. Inisiatif kerja, d. Kerja sama, dan e. Kepemimpinan. Memperhatikan unsur-unsur dan aspek-aspek yang memengaruhi nilai kinerja PNS, ternyata ini semua telah diatur dalam peraturan disiplin PNS. Misalnya terkait nilai SKP dalam Pasal 3 Angka 12 PP No. 53 Tahun 2010 dinyatakan bahwa PNS wajib mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan. Selanjutnya terkait nilai perilaku kerja, masih dalam Pasal 3 PP No. 53 Tahun 2010 terdapat beberapa kewajiban PNS yaitu: ● Angka 5. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab. ● Angka 7. mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang dan/atau golongan. ● Angka 8. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus dirahasiakan. ● Angka 9. bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan negara. ● Angka 11. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja. ● Angka 14. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. ● Angka 15. membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas.


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 107 ● Angka 16. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier. PNS yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban tersebut tentunya akan dijatuhi hukuman disiplin sesuai dengan tingkatan kesalahannya. Dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 dinyatakan bahwa hukuman disiplin terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu hukuman disiplin ringan, sedang dan berat. Hukuman yang diberikan kepada PNS yang melanggar kewajiban atau tidak dapat mencapai target SKP tahunan adalah berkisar pada tingkatan hukuman disiplin sedang sampai dengan berat. Apabila pencapaian SKP pada akhir tahun hanya 25%-50% maka PNS akan dijatuhi hukuman disiplin sedang (Pasal 9 angka 12). Namun, jika pencapaian SKP pada akhir tahun dibawah 25%, maka PNS tersebut akan dijatuhi hukuman disiplin berat (Pasal 10 angka 10). Sedangkan untuk PNS yang melanggar kewajiban yang terkait dengan perilaku kerja akan dijatuhi hukuman disiplin ringan sampai berat tergantung dampak negatif yang ditimbulkannya. Misalnya jika pelanggarannya berdampak negatif bagi unit kerja maka akan dijatuhi hukuman disiplin ringan (Pasal 8), jika berdampak negatif bagi instansi maka akan dijatuhi hukuman disiplin sedang (Pasal 9), dan jika berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara maka akan dijatuhi hukuman disiplin berat (Pasal 10). Jenis-jenis hukuman disiplin ringan yang dapat diberikan kepada PNS melakukan pelanggaran yang memberikan dampak negatif bagi unit kerja terdiri dari: a. Teguran lisan, b. Teguran tertulis, dan c. Pernyataan tidak puas secara tertulis. Sedangkan jenis-jenis hukuman disiplin sedang yang dapat diberikan kepada PNS yang pencapaian SKP tahunannya hanya 25%-50% atau melakukan pelanggaran yang memberikan dampak negatif bagi instansi terdiri dari:


108 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N a. Penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun, b. Penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun, dan c. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun. Terakhir, jenis-jenis hukuman disiplin berat yang juga dapat diberikan kepada PNS yang pencapaian SKP tahunannya dibawah 25% atau melakukan pelanggaran yang memberikan dampak negatif pada pemerintah dan/atau negara terdiri dari: a. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun; b. Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; c. Pembebasan dari jabatan; d. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan e. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Tindak Lanjut Penilaian Kinerja Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, bahwa hasil penilaian kinerja menurut PP Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS, dikategorikan dalam 5 (lima) kategori, yaitu: 1. Sangat Baik, dengan nilai 110-120 atau berhasil menciptakan ide baru dan/atau cara baru dalam peningkatan kinerja yang memberi manfaat bagi organisasi atau negara, 2. Baik, dengan nilai 90-120, 3. Cukup, dengan nilai 70-90, 4. Kurang, dengan nilai 50-70, 5. Sangat Kurang, dengan nilai kurang dari 50. Tindak lanjut penilaian kinerja bagi pegawai yang kinerjanya sangat baik, baik, cukup, kurang dan sangat kurang tentu saja berbeda-beda. Tindak lanjut yang berbeda ini akan memotivasi pegawai untuk terus meningkatkan kinerjanya. Berdasarkan peraturan yang berlaku, banyak sekali tindak lanjut penilaian kinerja yang sudah diatur oleh pemerintah. Di dalam PP Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS, khususnya di Pasal 51 (4) disebutkan bahwa dokumen penilaian kinerja yang lengkap dan sudah disepakati atau disetujui kedua belah pihak (atasan langsung dan pegawai


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 109 yang bersangkutan) dapat digunakan sebagai acuan dalam berbagai tindakan kepegawaian. Tindakan kepegawaian tersebut misalnya: 1. Mengidentifikasi dan merencanakan kebutuhan pendidikan dan/atau pelatihan, 2. Mengembangkan kompetensi, 3. Mengembangkan karier, 4. Pemberian tunjangan, 5. Pertimbangan mutasi dan promosi, 6. Memberikan penghargaan dan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan/atau 7. Menindaklanjuti permasalahan yang ditemukan dalam penilaian SKP dan perilaku kerja. Dengan dasar tersebut, artinya konsekuensi dari hasil penilaian kinerja pegawai akan berdampak pada karier PNS kedepannya. Tindakan-tindakan kepegawaian tersebut dapat dipahami sebagai tindak lanjut hasil penilaian kinerja pegawai. Penggolongan hasil penilaian kinerja pegawai dapat disederhanakan menjadi 2 (dua), yaitu pegawai yang hasil penilaian kinerjanya masuk kategori Sangat Baik, Baik dan Cukup dapat digolongkan sebagai good performer, sedangkan yang hasil penilaian kinerjanya kurang dan sangat kurang digolongkan sebagai poor performer. Demikian juga dengan bentuk tindak lanjut kinerjanya, juga dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu berupa penghargaan (reward) yang diberikan kepada pegawai yang masuk golongan good performer dan sanksi atau pembinaan (punishment/sanction) yang diberikan kepada pegawai yang masuk golongan poor performer. Hal ini sesuai dengan konsep tindak lanjut penilaian kinerja, yaitu untuk meningkatkan kinerja pegawai, baik yang masuk kriteria good performer maupun poor performer. Tindak lanjut kinerja berupa penghargaan (reward) yang diberikan kepada pegawai golongan good performer, dan sanksi atau pembinaan (punishment/sanction) yang diberikan kepada pegawai golongan poor performer.


110 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N 1. Penghargaan Penghargaan adalah tindak lanjut kinerja yang diberikan kepada pegawai yang masuk kriteria good performer. Pegawai dengan kriteria good performer adalah pegawai yang hasil penilaian kinerjanya Sangat Baik, Baik dan Cukup. Penghargaan bagi pegawai yang masuk good performer dapat berupa penghargaan yang sifatnya materi atau nonmateri. Namun, untuk penghargaan berupa materi sudah diatur dan diberikan kepada pegawai dalam bentuk tunjangan kinerja sehingga tidak perlu diberikan kembali. Namun apabila ada peluang bagi instansi pemerintah (K/L/D) untuk memberikan tambahan penghasilan yang didasarkan pada hasil penilaian kinerja -diluar gaji pokok dan tunjangan yang sudah diatur dalam peraturan yang berlaku- maka dapat diberikan. Namun dalam pembahasan bab ini tidak akan dibahas penghargaan yang berupa materi. Penghargaan yang nonmateri adalah penghargaan yang diberikan tidak berupa uang dengan nominal tertentu, tetapi berupa pengembangan karier dan pengembangan kompetensi. Penghargaan nonmateri ini sangat penting karena terkait masa depan pegawai yang bersangkutan selama bekerja sebagai ASN. a. Pengembangan karier Penghargaan berupa pengembangan karier adalah penghargaan yang diberikan kepada pegawai good performer dalam meniti atau menjalani karier jabatan mereka di instansi pemerintah sebagai ASN. Penghargaan berupa pengembangan karier adalah penghargaan dengan memberikan beban tugas, fungsi dan kewenangan yang berbeda dengan yang diemban pegawai saat ini. Ada tiga bentuk pengembangan karier yang dapat diberikan sebagai penghargaan bagi pegawai yang masuk kriteria good performer, yaitu: (1) pengembangan karier secara vertikal (promosi), (2) pengembangan karier secara horizontal (mutasi) dan (3) pengembangan karier secara zig-zag (peralihan jabatan). Masingmasing dijelaskan sebagai berikut: Penghargaan dalam tindak lanjut penilaian kinerja diberikan kepada pegawai good performance, diberikan berupa: pengembangan karier dan pengembangan kompetensi.


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 111 1) Vertikal, adalah penghargaan dengan memberikan beban tugas, fungsi dan kewenangan yang lebih tinggi dari jabatan yang diemban saat ini. Penghargaan ini diberikan dengan melakukan promosi jabatan yang lebih tinggi dari saat ini. Promosi ini berlaku baik bagi JPT, JA maupun JF. Promosi dapat diberikan berupa promosi atau kenaikan jenjang jabatan maupun kenaikan jenjang pangkat/ golongan. Kenaikan jenjang jabatan, misalnya dari JPT Pratama dipromosikan menjadi JPT Madya, JPT Madya dipromosikan menjadi JPT Utama. Untuk JF Pengawas dipromosikan menjadi JA Administrator. Untuk JF Pertama dipromosikan menjadi JF Muda, JF Muda dipromosikan menjadi JF Madya dan JF Madya dipromosikan menjadi JF Utama. Sedangkan untuk kenaikan jenjang pangkat/golongan, misalnya pegawai dengan pangkat/golongan I/a dipromosikan ke I/b dan seterusnya, pegawai dengan pangkat/golongan II/a dipromosikan ke II/b dan seterusnya, pegawai dengan pangkat/golongan III/a dipromosikan ke III/b dan seterusnya, pegawai dengan pangkat/golongan IV/a dipromosikan ke IV/b dan seterusnya. Untuk penghargaan berupa pengembangan karier dengan promosi ini, untuk JF semestinya sudah memperhatikan peraturan yang berlaku bagi masing-masing JF, khususnya terkait dengan pemenuhan angka kredit minimal kenaikan jenjang jabatan dan jenjang pangkat/golongan. 2) Horizontal, adalah penghargaan dengan memberikan beban tugas, fungsi dan kewenangan yang berbeda dari jabatan yang diemban saat ini tapi masih di jenjang jabatan, pangkat/golongan yang sama. Penghargaan ini diberikan dengan melakukan mutasi pegawai ke unit kerja lain tapi dalam jenjang jabatan dan pangkat/golongan yang sama. Mutasi atau perpindahan jabatan ini dilakukan untuk memberikan pengalaman yang lebih beragam kepada pegawai sehingga menjadi lebih profesional dan lebih lengkap pengalaman jabatannya.


112 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N Untuk penghargaan berupa pengembangan karier dengan mutasi ini, semestinya dengan memperhatikan kesesuaian kompetensi nyata yang dimiliki pegawai dengan standar kompetensi jabatan yang akan diduduki. Jangan sampai terdapat gap atau kesenjangan yang terlalu besar, baik untuk kompetensi manajerial maupun teknis. Karena pada prinsipnya tujuan penghargaan berupa mutasi ini selain untuk memberikan pengalaman jabatan juga untuk mengakselerasi kinerja unitnya. Misalnya seorang JA Pengawas di unit kepegawaian Dinas Kependudukan dipindahkan ke Dinas Pertanian dengan jabatan yang sama, dalam contoh ini tugas, fungsi dan kewenangan yang ditangani tetap sama yaitu terkait dengan kepegawaian tetapi di unit kerja yang berbeda. Seorang JPT Pratama sebagai Kepala Pusat Inovasi Manajemen ASN dimutasikan menjadi Kepala Pusat Inovasi Administrasi Negara, dalam contoh ini tugas, fungsi dan kewenangan yang ditangani tetap sama yaitu terkait dengan inovasi tetapi dengan bidang yang berbeda. Namun untuk mutasi JF perlu kehati-hatian, karena JF mempunyai kompetensi teknis serta kepakaran yang khusus dan berbeda-beda. Sebagai contoh seorang JF Peneliti semestinya apabila dimutasi tetap di unit yang melakukan kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, penerapan (litbangjirap) dan bidang tugasnya semestinya tetap sesuai dengan kepakaran yang dimiliki JF Peneliti. 3) Zig-zag, adalah penghargaan dengan memberikan beban tugas, fungsi dan kewenangan yang berbeda dari jabatan yang diemban saat ini. Penghargaan ini diberikan dengan melakukan perpindahan jabatan dari jabatan saat ini ke jabatan lain, bisa lebih tinggi, sama atau rendah jenjang jabatan atau pangkat/golongannya. Meskipun penghargaan pengembangan kariernya ternyata lebih rendah jenjang jabatan atau pangkat/golongannya, namun dari sisi yang lain khususnya pengembangan kompetensi ini justru akan memperluas pengalaman jabatan. Hal yang membedakan dengan mutasi adalah dalam zig-zag terjadi peralihan jabatan ASN (antar-JPT, JA maupun JF).


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 113 Misalnya seorang JF Peneliti Madya dialihkan menjadi JA Administrator di unit kelitbangan, atau menjadi JPT Pratama di unit kelitbangan. Disatu sisi saat dialihkan menjadi JA, jenjang jabatan dan pangkat/golongan akan turun namun dari sisi kompetensi manajerial akan berkembang. Sebaliknya saat dialihkan menjadi JPT Pratama, jenjang jabatan dan pangkat/golongan akan naik. Dalam peralihan jabatan dengan bentuk zig-zag semestinya tetap dengan memperhatikan kesesuaian kompetensi nyata yang dimiliki pegawai dengan standar kompetensi jabatan yang akan diduduki. Sehingga tidak ada gap atau kesenjangan kompetensi yang terjadi. b. Pengembangan kompetensi Penghargaan berupa pengembangan kompetensi adalah penghargaan yang diberikan kepada pegawai good performer berupa peningkatan atau pengembangan kompetensi yang dimiliki, baik melalui jalur pendidikan atau pelatihan. Pengembangan kompetensi yang diberikan juga mencakup untuk kompetensi manajerial, teknis maupun sosiokultural. Ada dua bentuk pengembangan kompetensi yang dapat diberikan kepada pegawai sebagai bentuk tindak lanjut penilaian kinerja, yaitu (1) pengembangan kompetensi dalam rangka karier kedepan, untuk jabatan yang lebih tinggi atau untuk mengisi gap positif dan (2) pengembangan kompetensi dalam jabatan saat ini atau untuk mengisi gap negatif. Berikut penjelasan masing-masing: 1) Gap positif, pengembangan kompetensi untuk mengisi gap positif pada dasarnya bertujuan untuk menyiapkan kompetensi pegawai dalam jabatan setingkat diatasnya. Penghargaan ini diberikan kepada pegawai yang mempunyai potensi atau peluang untuk naik jenjang kariernya, baik berupa kenaikan jenjang jabatan, pangkat atau golongan. Kenaikan jenjang perlu dipahami sebagai bertambahnya tanggung jawab, kewenangan yang menuntut adanya peningkatan kapasitas atau kompetensi pegawai. Sehingga penghargaan berupa pengembangan


114 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N kompetensi untuk mengisi gap positif ini akan ditindaklanjuti dengan melakukan promosi atau kenaikan jenjang kariernya. Namun dalam tindak lanjut ini tetap harus memenuhi persyaratan atau ketentuan yang berlaku, misalnya untuk PNS yang menjabat sebagai JF maka harus memenuhi persyaratan kenaikan jenjang jabatan yang berlaku di JF, yaitu sudah memenuhi angka kredit yang dipersyaratkan. Misalnya seorang JF Peneliti Pertama menunjukkan hasil penilaian kinerja yang bagus, dan dari hasil pengumpulan angka kreditnya memenuhi syarat untuk kenaikan jenjang jabatan ke JF Peneliti Muda. Maka dalam rangka mempersiapkan kompetensinya, yang bersangkutan dapat diikutkan pelatihan terkait dengan kebutuhan sebagai peneliti muda. 1) Gap negatif, pengembangan kompetensi untuk mengisi gap negatif bukan berarti pegawai dinilai tidak bisa bekerja maksimal sesuai jabatannya, namun dimungkinkan karena ada kompetensi tertentu yang perlu penguatan sesuai tugas fungsinya. Dengan kata lain, secara umum hasil penilaian kinerjanya menunjukkan hasil yang bagus, namun ada secara khusus ada kompetensi yang perlu dikembangkan. Pengembangan kompetensi yang dilakukan adalah untuk memperkuat kompetensi pada jabatan yang dijabat saat ini. Misalnya seorang JF Peneliti Pertama menunjukkan hasil penilaian kinerja yang bagus, namun dari hasil penilaian atasan ada kompetensi yang perlu dikembangkan terutama menyangkut metodologi riset. Maka pegawai yang bersangkutan dikembangkan kompetensinya khusus bidang metodologi riset, sehingga kinerjanya sebagai peneliti semakin bagus. Bentuk pengembangan kompetensi sebagai sebuah penghargaan dan sebagai tindak lanjut hasil penilaian kinerja dapat dilakukan melalui bentuk pendidikan maupun pelatihan. Pelatihan pun dapat dilakukan melalui bentuk klasikal maupun nonklasikal. Pengembangan kompetensi juga dapat dilakukan dengan melibatkan semua unit dan semua stakeholders terkait. Pengembangan kompetensi tidak melulu dilakukan di unit pelatihan tetapi juga bisa dilakukan di unit teknis atau unit kerja dengan melibatkan atasan atau rekan kerja.


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 115 2. Sanksi Sanksi atau pembinaan adalah tindak lanjut yang diberikan kepada pegawai yang masuk kriteria poor performance. Pegawai dengan kriteria poor performance adalah pegawai yang hasil penilaian kinerjanya kurang dan sangat kurang. Apabila dilihat di PP Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS, khususnya di Pasal 56 disebutkan Pejabat Pimpinan Tinggi, Pejabat Administrasi dan Pejabat Fungsional yang tidak memenuhi target kinerja dapat dikenakan sanksi administrasi sampai dengan pemberhentian. Sanksi administrasi ini apabila dikaitkan dengan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, diatur Pasal 3 terkait dengan kewajiban yang harus dipenuhi PNS, dimana salah satunya adalah mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan. Sanksi di dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 diartikan sebagai hukuman disiplin. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 bahwa tingkatan hukuman disiplin terdiri dari: hukuman disiplin ringan, sedang dan berat. Terkait dengan kewajiban memenuhi capaian sasaran kerja pegawai diatur di Pasal 9. Apabila PNS tidak mencapai sasaran kerja sebagaimana yang ditetapkan, yaitu sebesar 25% sampai 50% maka diklasifikasikan sebagai pelanggaran disiplin dan diberikan sanksi berupa hukuman disiplin tingkat sedang. Namun dalam pembahasan buku ini, tidak akan dibahas pemberian sanksi dalam pengertian hukuman disiplin, tetapi lebih pada fungsi pembinaan. Sehingga sebagai tindak lanjut penilaian kinerja, khususnya bagi pegawai yang masuk kriteria poor performance akan diberikan pembinaan kinerja, berupa coaching, mentoring dan terakhir hukuman disiplin sesuai dengan peraturan yang berlaku. Masing-masing akan dibahas berikut ini. a. Coaching, masuk dalam bentuk pelatihan nonklasikal, yaitu dengan melakukan pembimbingan peningkatan kinerja melalui pembekalan kemampuan memecahkan permasalahan dengan mengoptimalkan Sanksi dalam tindak lanjut penilaian kinerja bermakna “pembinaan” diberikan bagi pegawai poor performance, diberikan berupa: coaching, mentoring dan terakhir hukuman disiplin sesuai dengan peraturan yang berlaku.


116 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N potensi diri (PerkaLAN Nomor 10 Tahun 2018). Pembinaan berupa coaching diberikan bagi PNS yang kesenjangan kinerjanya kecil disebabkan oleh kurangnya motivasi atau terjadi kejenuhan. b. Mentoring, masuk dalam bentuk pelatihan nonklasikal, yaitu dengan melakukan pembimbingan peningkatan kinerja melalui transfer pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dari orang yang lebih berpengalaman pada bidang yang sama (PerkaLAN Nomor 10 Tahun 2018). Pembinaan berupa mentoring diberikan kepada PNS yang kesenjangan kinerjanya tinggi karena kurang keterampilan atau keahlian dan pengalaman. c. Penegakan disiplin, merupakan tindak lanjut kinerja yang lebih bersifat hukuman bukan pembinaan. Pemberian sanksi berupa penegakan disiplin diberikan bagi PNS yang sudah tidak dapat dibina sehingga harus diberikan hukuman disiplin. Tingkatan hukuman disiplin terdiri dari tiga tingkatan, yaitu hukuman disiplin ringan, sedang dan berat. Hukuman disiplin ringan terdiri dari: teguran lisan, teguran tertulis dan pernyataan tidak puas secara tertulis. Sedangkan hukuman disiplin sedang terdiri dari: penundaan kenaikan gaji berkala selama setahun, penundaan pangkat selama setahun, dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama setahun. Dan hukuman disiplin berat terdiri dari: penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Pemberian sanksi dalam bentuk penegakan disiplin pada dasarnya mengikuti PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 117 Gambar 6.1. Penghargaan dan Pembinaan bagi ASN


118 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N BAB VII MANAJEMEN KINERJA DENGAN MODEL FWA (FLEXIBLE WORKING ARRANGEMENT) Konsepsi FWA Pemilihan cara kerja yang efektif menjadi bagian dari manajemen kinerja yang tidak kalah pentingnya dalam memengaruhi kinerja organisasi. Untuk itu, cara kerja memerlukan penyesuaian dengan dinamika lingkungan strategisnya. Membangun keselarasan frekuensi antara organisasi dengan dunia sekitarnya. Di era digitalisasi ini, kemajuan teknologi dengan demikian perlu di-inject ke dalam ekosistem kerja. Hal ini dibutuhkan untuk mendefinisikan kembali cara kerja dan mengubah cara pandang bahwa bekerja dapat dilakukan di mana pun Anda berada. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai Flexible Work Arrangements (FWA) atau fleksibilitas pengaturan kerja. Fleksibilitas pengaturan kerja (FWA) menurut Feldman mulai banyak diterapkan di Amerika Serikat semenjak tahun 1963, dengan pertimbangan adanya keseimbangan antara waktu kerja dengan tanggung jawab dalam mengurus keluarga (Margaretha dan Mildawani, 2017). Sementara itu, Sullivan & Lussier (1995) dalam Faza Dhora Nailufar (2020) menyebutkan bahwa FWA populer pada awal tahun 1970-an sebagai solusi untuk mengurangi kepadatan di jalanan akibat keluarnya sejumlah orang secara bersamaan untuk menuju tempat kerja mereka. Mengatasi inefisiensi waktu yang terbuang dalam perjalanan. Gambaran tersebut menyiratkan bahwa FWA muncul sebagai harapan bagi pekerja untuk mendapatkan peningkatan kualitas hidup di samping pekerjaan yang ditekuninya. Di Indonesia, FWA muncul sebagai budaya baru dalam bekerja semenjak kehadiran bisnis startup pada tahun 2010-2011 dengan model Coworking Space dan Virtual Office sebagai tempat kerja (Ruth Berliana, 2020). FWA kemudian berkembang seiring dengan perkembangan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi/era 4.0), menjadi sebuah benefit yang 70% generasi milenial memandang organisasi yang menerapkan FWA memiliki daya tarik yang tinggi dibandingkan dengan organisasi yang masih menganut prinsip kerja 9” to 5


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 119 memberikan daya tarik tersendiri bagi para milenial. Annette Blokland (2018) dalam Erna Irawati (2020) menyatakan sebanyak 70% generasi milenial memandang sebuah organisasi atau institusi yang menerapkan FWA memiliki daya tarik yang tinggi sebagai tempat berkarya dibandingkan dengan institusi yang masih menganut prinsip kerja “nine to five”. Cakupan penerapan FWA akhirnya meluas (Bank BTPN, Wirajaya, HM Sampoerna, dan Surabaya Plaza Hotel), bahkan menarik instansi pemerintah untuk mulai menerapkannya (BPK dan BAPPENAS). FWA itu sendiri secara sederhana dapat dimaknai sebagai: “Suatu bentuk praktik kerja yang fleksibel, seperti job share, telecommuting, flex time, dan sejenisnya (Rahmawati Hanny Yustrianthe, 2008)”, Lebih lanjut, Atkinson dan Hall, (2011) mengartikan WFA sebagai: “Kemampuan pekerja mengendalikan sendiri lamanya bekerja, tempat bekerja jauh dari kantor, penjadwalan kerja yang ditawarkan perusahaan” Senada dengan pengertian di atas, Rau & Hyland, (2002) mendefinisikan FWA sebagai sebuah alternatif pilihan yang diberikan oleh organisasi kepada pegawainya untuk menentukan jadwal dan tempat bekerja. Pendefinisian lain dari Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN sebagai: “Sistem pengaturan kerja yang memberi lebih banyak kebebasan kepada pegawai untuk dapat mengatur jam kerjanya, sepanjang akumulasi atau ketentuan waktu (per jam, per minggu, atau per bulan) yang ditetapkan organisasi dapat dipenuhi” Definisi ini memberi penekanan fleksibilitas pada terpenuhinya ketentuan waktu yang ditetapkan organisasi. Sistem pengaturan tersebut menurut BKN juga memberikan ruang kepada pegawai untuk bekerja dimana saja. Dengan kata lain, melalui penerapan FWA, setiap pegawai dapat memilih waktu dan tempat kerja sesuai kebutuhan mereka. FWA lebih berfokus kepada output atau hasil daripada prosedur kerja.


120 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N Pendeskripsian WFA yang serupa juga disampaikan oleh Erna Irawati (2020), dimana FWA digambarkan secara umum sebagai: “Alternatif bekerja yang memungkinkan pegawai memilih berbagai bentuk fleksibilitas bekerja, diantaranya yaitu: waktu kerja, jumlah pekerjaan, dan tempat kerja”. FWA dengan demikian mencakup setidaknya 3 (tiga) aspek, yaitu fleksibilitas waktu kerja, fleksibilitas tempat kerja, dan fleksibilitas jumlah pekerjaan. Dalam kenyataannya, berbagai bentuk fleksibilitas tersebut dapat digabungkan dan saling melengkapi sesuai dengan kebutuhan (Possenried dan Plantenga, 2011). Menurut Spreitzer, Cameron, & Garrett (2017) dalam Dida Daniarsyah & Nova Dwi Rahayu (2020), FWA lebih berfokus kepada output atau hasil daripada prosedur kerja. Dalam praktiknya, flextime (fleksibilitas waktu kerja) dan telecommuting (fleksibilitas tempat kerja) merupakan dua pilihan yang relatif banyak digunakan. Ayuna (2019) dalam Oswar Mungkasa (2020), menyebutkan beberapa model dalam penerapan sistem flexitime yaitu fixed working hours, flexible working hours, variable working hours). 1. Fixed working hours Sistem kerja yang memungkinkan pegawai untuk dapat memilih sesi kerjanya setiap hari -sesuai ketetapan perusahaan- sepanjang memenuhi jumlah minimal 40 (empat puluh) jam seminggu. Sebagai contoh, perusahaan memberi kebebasan kepada karyawan untuk memilih jam kerja dengan ketentuan: a. 25% karyawan bekerja pada jam 07.00-15.00; b. 25% karyawan bekerja pada jam 08.00-16.00; c. 25% karyawan bekerja pada jam 09.00- 17.00; dan d. 25% terakhir dari karyawan bekerja pada jam 10.00-18.00. 2. Flexible working hours Sistem kerja yang memungkinkan pegawai bekerja secara fleksibel dengan mengikuti aturan pemenuhan jumlah waktu minimal selama 40 jam per minggu. Sistem ini juga tidak mensyaratkan jumlah jam kerja yang sama setiap harinya.


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 121 3. Variable working hours Sistem kerja yang mengharuskan pegawai hadir pada jam tertentu di kantor dan pegawai dapat menetapkan sendiri waktu selebihnya. Sebagai contoh, karyawan diwajibkan masuk setiap hari jam 09.00- 13.00, dan selebihnya dapat bekerja jarak jauh sampai memenuhi minimal 40 jam seminggu. Jika melihat variant model di atas, FWA pada dasarnya masih terikat pada aturan pemenuhan jam kerja tertentu (40 jam per Minggu dalam contoh di atas). Dengan demikian, ruang fleksibilitas FWA adalah bagaimana mengatur pemenuhan jam kerja tersebut dalam kinerja harian. Selain itu, fleksibilitas waktu ini juga dapat dikombinasikan dengan fleksibilitas tempat kerja dan fleksibilitas lainnya sepanjang memungkinkan. Beberapa penelitian mengungkap keuntungan penerapan FWA antara lain berhubungan dengan peningkatan komitmen organisasi, motivasi, kepuasan kerja, loyalitas walaupun pekerja bekerja dari jarak jauh serta pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat turnover pegawai (Erna Irawati, 2020). Namun demikian, FWA juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya: koordinasi yang menjadi lebih sulit untuk dilakukan, batasan antara kantor dan rumah yang cenderung menjadi kabur, dan menurunnya tingkat pengawasan. Untuk itu, penerapan FWA perlu dilakukan secara cermat dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan organisasi berikut dampak yang mungkin ditimbulkan dari penerapannya. Pada intinya, melalui penerapan FWA bekerja diharapkan dapat menjadi proses yang “menyenangkan” (bentuk aktualisasi diri pegawai). Selain itu, dengan terwujudnya work life balanced bagi pegawai -di satu sisi-, kinerja organisasi -pada sisi lain- diharapkan mengalami peningkatan. Urgensi Penerapan FWA dalam Manajemen Kinerja ASN Wacana penerapan FWA dalam Manajemen Kinerja ASN di Indonesia muncul dan berkembang pada tahun 2019 seiring dengan rencana pilot project implementasi PP No. 30 tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja PNS pada 7 (tujuh) Instansi Pusat dan 10 (sepuluh) Instansi Daerah. Model penerapan FWA yang diwacanakan terdiri dari kemungkinan tambahan libur bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) selain hari Sabtu dan Minggu,


122 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N flexi working time atau waktu kerja fleksibel, hingga flexible working space atau pemilihan tempat kerja bagi PNS. Sebagaimana kemunculannya pada sektor privat, wacana penerapan FWA dalam sektor publik (manajemen kinerja ASN) juga didasari oleh berbagai situasi yang mendorong diadaptasinya FWA sebagai modernisasi cara kerja. Berdasarkan beberapa referensi dan analisis situasi, penerapan FWA setidaknya didasari oleh 5 (lima) pertimbangan berikut ini: Pertama, kebutuhan untuk menghadirkan work-life balanced (FWA sebagai non-monetary insentives) yang dipandang dapat meningkatkan produktivitas kinerja pegawai. Hal ini didasarkan pada munculnya berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kualitas hidup pegawai, seperti: akses menuju kantor yang costly (jarak, waktu tempuh, dan biaya), kondisi geografis, kebutuhan untuk terlibat lebih intensif dalam mengurus anak, kekurangan waktu bersama keluarga, sosialisasi, dan rekreasi yang berpotensi menyebabkan stres tingkat tinggi. Isu-isu gender seperti hilangnya kesempatan yang signifikan bagi perempuan untuk pertumbuhan yang lebih tinggi dan kesejahteraan bersama salah satunya terjadi akibat cara bekerja yang tidak fleksibel (Puslatbang PKASN, 2020). Melalui FWA, partisipasi pegawai perempuan yang menurun atas pekerjaan mereka setelah menikah dan melahirkan dan tumbuhnya tren peningkatan pekerjaan rumah tangga terutama dalam hal pengasuhan anak dapat teratasi. Mereka yang memiliki putra-putri usia balita dan sekolah dasar dapat memaksimalkan pemantauan tumbuh kembang dan pembelajaran jarak jauh dengan lebih baik. Moore (2007) dalam Hendrik Pandiangan (2018) mengemukakan bahwa work-life balance dapat menciptakan budaya kerja yang produktif sehingga potensi ketegangan antara pekerjaan dan lainnya dapat diminimalkan. Kedua, kebutuhan untuk mengakselerasi penggunaan TIK secara masif dalam setiap lini pemerintahan. Di era industri 4.0 -yang mungkin akan segera beranjak menuju 5.0 ini-, penerapan e-government atau Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) secara menyeluruh merupakan salah satu kondisi yang ingin diwujudkan pemerintah melalui Perpres No. Work-life balance dapat meminimalisir potensi ketegangan antara pekerjaan dan lainnya


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 123 95/2018 tentang SPBE. Dalam konteks ini, FWA juga dapat mendorong pemanfaatan TIK secara luas. Hal ini dapat dilihat misalnya pada saat instansi pemerintah dipaksa untuk bekerja dari rumah akibat pandemi Covid-19. Dengan kata lain, sudah saatnya gaya bekerja birokrasi untuk menyesuaikan diri dengan tren yang sedang mendunia ini. Bertransformasi ke arah pelayanan yang bersifat digital friendly, output-based dan flexibile. Ketiga, kebutuhan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya di instansi pemerintah (perampingan birokrasi). Dengan perkembangan TIK yang demikian pesat, setiap organisasi pemerintah bergerak menuju organisasi berbasis AI dan aplikasi yang notabene mengurangi kebutuhan pegawai untuk berada di kantor secara regular. Kinerja dan koordinasi dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja (kecuali pada kondisi tertentu yang mengharuskan pegawai datang ke kantor). Demikian juga dengan sebagian pelayanan publik. Dalam kondisi seperti ini, penerapan sistem kerja melalui kehadiran pegawai secara regular menjadi hal yang tidak efisien. Dengan pola kerja fleksibel, kebutuhan akan gedung, ruangan dan sarana kerja, bahkan SDM menjadi berkurang. Anggaran pun akan mengalami re-shaping. Keempat, kebutuhan untuk menarik SDM terbaik (talent), khususnya dari kalangan milenial. Hal ini didasarkan pada konsepsi umum yang telah digambarkan sebelumnya, dimana sebagian besar generasi milenial memandang sebuah organisasi atau institusi yang menerapkan FWA memiliki daya tarik yang tinggi sebagai tempat berkarya dibandingkan dengan institusi yang masih menganut prinsip kerja “9 to 5”. Sejalan dengan itu, sebuah survei internasional (Global Talent Competitiveness Index) menunjukkan bahwa pada tahun 2018 negara-negara top performer dengan daya saing talent terbaik memiliki 4 (empat) faktor pengungkit utama, yang salah satunya adalah lingkungan kerja dimana para pegawai memiliki flexible working (Erna Irawati, dkk, 2020). Hal ini menunjukkan sentralnya posisi FWA dalam pengembangan talenta, bahkan pada level negara. Memperkenalkan pengaturan kerja yang fleksibel dalam konteks seperti itu memberikan kesempatan unik untuk menanggapi perubahan demografis ini, mengatasi tantangan terus-menerus dari partisipasi angkatan kerja sekaligus


124 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N meningkatkan produktivitas pekerja, perusahaan, pemerintah, dan ekonomi. Kelima, kebutuhan untuk melakukan modernisasi manajemen kinerja pegawai, membawa profesionalisme pegawai dan budaya organisasi ke level yang lebih tinggi. Melalui penerapan FWA, aspek independensi dalam bekerja menjadi naik, seiring menurunnya tingkat pengawasan formal pegawai. Kondisi ini menjadi ujian bagi terwujudnya profesionalisme dan budaya kerja yang menekankan pada trust and responsibility, tidak lagi bersandar pada pengaturan yang rigid. Pembangunan sistem yang mendukung ke arah sana tentu menjadi prasyarat mutlak. FWA akhirnya menjadi sebuah tren yang patut dilalui untuk membawa birokrasi pada tingkat peradaban yang lebih tinggi. Melalui FWA, sumber daya organisasi diharapkan dapat dikelola secara optimal untuk mencapai tujuan bersama (organisasi dan pegawai). Pegawai dapat menunjukkan kinerja dengan level yang lebih tinggi kepada organisasi dan memberikan pelayanan yang lebih baik terhadap mitra dan/atau penerima layanannya. Dengan kata lain, FWA diharapkan dapat menjadi salah satu pintu masuk untuk mewujudkan ASN berkinerja tinggi. Untuk itu, kebijakan mengenai FWA menjadi salah satu yang dinanti dalam perjalanan reformasi birokrasi dan adaptasi baru menuju revolusi industri kedepan (4.0-5.0), khususnya pada aspek manajemen kinerja ASN. Hal ini juga sejalan dengan visi pemerintah Indonesia untuk mendorong pembangunan ekonomi melalui investasi yang lebih besar pada sumber daya manusia, daya saing, dan reformasi birokrasi. Kebijakan dan Tahapan Implementasi FWA Meskipun telah menjadi wacana sejak 2019 melalui rencana implementasi PP No. 30/2019 tentang Penilaian Kinerja PNS secara pilot project, akan tetapi FWA dalam format khusus yang diatur melalui kebijakan nasional pada kenyataannya belum dapat direalisasikan. Namun demikian, saat ini, terdapat beberapa kebijakan umum terkait dengan implementasi FWA di instansi pemerintah, seperti: FWA akhirnya menjadi sebuah trend yang patut dilalui untuk membawa birokrasi pada tingkat peradaban yang lebih tinggi.


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 125 1. Peraturan Pemerintah Nomor 30/2019 tentang Penilaian Kinerja PNS, 2. Peraturan Pemerintah Nomor 53/2010 tentang Disiplin Pegawai, 3. Keputusan Presiden Nomor 68/1995 tentang Hari Kerja di Lingkungan Lembaga Pemerintah. Implementasi FWA dengan demikian harus memperhatikan berbagai peraturan di atas. Dengan kata lain, implementasi FWA tidak boleh bertentangan dengan PP No. 30/2019 dan kebijakan terkait lainnya. 1. Mengukur kesiapan organisasi Selain memperhatikan regulasi terkait, implementasi FWA perlu memperhatikan berbagai kondisi berikut ini (Erna Irawati, dkk, 2020, dengan modifikasi): Pertama, maturity organisasi. Maturity organisasi dapat dilihat dari penerapan sistem meritokrasi dan manajemen kinerja yang baik. Terdapat beberapa kriteria penilaian penerapan sistem meritokrasi yang menempatkan instansi pemerintah pada tingkat buruk, kurang, baik, dan sangat baik (PermenPAN-RB No.40/2018 tentang Pedoman Sistem Merit Dalam Manajemen Aparatur Sipil Negara). Penerapan FWA lebih mungkin dilakukan pada instansi yang memiliki tingkat penerapan sistem meritokrasi sangat baik. Sementara untuk manajemen kinerja, organisasi setidaknya perlu memiliki target kinerja yang jelas dan terukur, instrumen untuk mengukur pencapaian kinerja, dan mekanisme reward and punishment yang memiliki titik berat pada kinerja (bukan kehadiran). Oleh karena itu, maturity organisasi perlu diperhatikan dalam mempersiapkan organisasi untuk melakukan FWA. Kedua, budaya organisasi. Budaya organisasi akan memengaruhi kinerja, inovasi, kelincahan, keterikatan, dan daya saing sebuah organisasi. Penentuan jenis FWA yang akan diterapkan pada instansi pemerintah dapat didasarkan pada budaya organisasinya. Organisasi tipe dinamis misalnya, akan memiliki treatment yang berbeda dengan tipe structured control culture, dimana organisasi dinamis perlu memperhatikan peraturan terkait yang berlaku, sementara organisasi structured control culture perlu melakukan reengineering proses dan melakukan perubahan mindset. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kesiapan budaya suatu organisasi antara lain: berorientasi pada hasil berdasarkan target-target tertentu, pembentukan kelompok kerja berorientasi output dan/atau penyelesaian


126 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N pekerjaan, terdapat kebiasaan berbagi dan challenging ide, dan jumlah inovasi yang dihasilkan. Ketiga, kesiapan TIK dan sarana prasarana pendukung. Keberadaan FWA jelas tidak dapat dipisahkan dari aplikasi, sistem informasi digital, dan berbagai perangkat TIK beserta sarpras pendukung lainnya (khususnya dalam konteks bekerja dan berinteraksi dengan rekan kantor atau pimpinan). Oleh karena itu, kesiapan TIK menjadi salah satu ukuran kesiapan instansi pemerintah untuk menerapkan FWA. Sementara kesiapan sarpras pendukung adalah seperti ketersediaan co-working space di kantor, ketersediaan fasilitas kerja di rumah, dan sejenisnya. Keempat, kesiapan SDM. Keberadaan TIK dan sarana prasarana pendukung menjadi useless jika SDM yang dimiliki belum mendukung ke arah sana. Organisasi yang sebagian besar pegawainya tidak terbiasa dengan pola bekerja digital/virtual misalnya akan mengalami kesulitan dalam menerapkan FWA. Selain itu, instrumen hasil penilaian kinerja dan kompetensi dalam bentuk 9 (sembilan) kuadran (nine box) dapat menjadi pilihan untuk menunjukkan kesiapan organisasi untuk menerapkan FWA, yaitu dengan melihat sebaran pegawai pada nine box-nya. Semakin banyak pegawai yang berada pada boks 7, 8, 9, semakin memungkinkan organisasi melakukan FWA. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa FWA merupakan tindak lanjut dari kegiatan penilaian kinerja, dimana FWA dapat menjadi opsi reward bagi para pegawai yang berhasil menunjukkan kinerja dan kompetensi yang mumpuni. Hal mendasar dalam implementasi FWA adalah melakukan identifikasi jabatan untuk melihat ruang implementasi FWA yang dimungkinkan


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 127 Gambar 7.1. Kotak Manajemen Talenta FWA dengan demikian bukan suatu sistem yang dapat diadopsi begitu saja. Terdapat berbagai hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menerapkan FWA dengan baik di instansi pemerintah. Jika tidak, FWA justru dapat menjadi kontraproduktif dengan tujuan awalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya pada pernyataan Kepala BKN yang menyebutkan bahwa di masa pemberlakuan WFH, terdapat 20% pegawai yang merasa overload pekerjaan, akibat peralihan beban pekerjaan dari pegawai lainnya. Implementasi FWA dengan demikian sebaiknya didasari oleh 2 (dua) hal, yaitu kebutuhan dan kesiapan instansi pemerintah. 2. Melakukan Identifikasi Jabatan Hal mendasar lainnya dalam implementasi FWA adalah melakukan identifikasi jabatan untuk melihat ruang implementasi FWA yang dimungkinkan. Menentukan pada jabatan apa FWA dapat diterapkan dan sejauh mana kemungkinan level penerapannya (dengan memahami pola kerjanya). Dengan kata lain, pelaksanaan FWA pada setiap organisasi juga harus disesuaikan dengan karakteristik jabatan yang terdapat oleh organisasi tersebut. Karena itu, organisasi kemudian harus melakukan identifikasi jabatan sesuai rumpun jabatan yang ada dengan menggunakan beberapa kriteria. Adapun kriteria yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi antara lain (Erna Irawati, dkk, 2020): a. Pekerjaan dapat dilakukan secara mobile dengan bantuan teknologi, b. Komunikasi tentang pekerjaan dapat dilakukan secara fleksibel (bantuan teknologi), c. Membutuhkan sedikit physical meeting,


128 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N d. Tidak membutuhkan instruksi/asistensi langsung dari pimpinan dalam melaksanakan pekerjaan, e. Pekerjaan yang jika dilakukan secara fleksibel akan menjadi lebih produktif. Berikut contoh instrumen sederhana yang dapat digunakan dan contoh penggunaannya pada beberapa jabatan: Tabel 7.1. Identifikasi Jabatan untuk Penentuan Jenis FWA Sumber: Erna Irawati, dkk (2020) dengan modifikasi Tabel di atas menunjukkan kemungkinan penerapan FWA berikut level penerapannya. Jika karakteristik jabatan dapat diidentifikasi dengan baik, maka jenis WFA yang sesuai dengan masing-masing jabatan pun akan lebih mudah ditentukan. 3. Memilih Model yang sesuai FWA mencakup hal yang cukup luas, yang mana merupakan perubahan model kerja konvensional ke cara kerja yang lebih modern dan fleksibel dalam hubungannya dengan waktu, tempat dan bagaimana melakukan pekerjaan. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, FWA sempat diwacanakan akan diujicobakan dalam kerangka implementasi PP No.30/2019 tentang Penilaian Kinerja PNS. Adapun pilihan model yang rencananya akan diterapkan di instansi pemerintah terpilih (pilot project) adalah sebagai berikut: a. Kemungkinan tambahan libur bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) selain hari Sabtu dan Minggu, b. Flexible working time atau waktu kerja fleksibel, c. Flexible working space atau pemilihan tempat kerja bagi PNS.


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 129 Format tersebut dipandang sebagai pilihan tersendiri ataupun kombinasi yang memungkinkan untuk diterapkan di instansi pemerintah, dengan tetap memperhatikan jumlah jam kerja yang harus dipenuhi. Dengan memperhatikan model di atas dan model flexible time yang disampaikan oleh Ayuna (2019), pilihan flexi yang tersedia diantaranya yaitu: a. Sistem 4 (empat) hari kerja (penambahan jam kerja) dengan pemilihan waktu libur yang fleksibel (selain Sabtu dan Minggu), b. Sistem sif, yang memungkinkan pegawai untuk dapat memilih sesi kerjanya setiap hari sesuai ketetapan sif kerja instansi, c. Sistem kerja yang memungkinkan pegawai bekerja secara fleksibel dengan mengikuti aturan pemenuhan jumlah waktu minimal per minggu dan tidak mensyaratkan jumlah jam kerja yang sama setiap harinya, d. Variable working hours atau sistem kerja yang mengharuskan pegawai hadir pada jam tertentu di kantor, e. Sistem kerja yang memungkinkan pegawai bekerja kapan saja dan dimana saja secara fleksibel. Pelaksanaan flexible place dalam pilihan model di atas memiliki berbagai alternatif, antara lain: Ruang kerja bersama (open space) di lingkungan organisasi, Rumah/tempat tinggal pegawai (work from home), Lokasi lain sepanjang memungkinkan untuk melaksanakan pekerjaan. Fleksibilitas tempat bekerja bagi pegawai dalam hal ini adalah pengaturan pola kerja pegawai yang memberikan fleksibilitas lokasi bekerja selama periode tertentu dengan memaksimalkan TIK untuk meningkatkan dan menjaga produktivitas pegawai serta menjamin keberlangsungan pelaksanaan pekerjaan. Dengan pendekatan yang lebih sederhana, terdapat 3 (tiga) alternatif dalam menerapkan FWA. Konsep Flexible Work Arrangement (FWA) dimana pengaturan kerja yang fleksibel memberdayakan karyawan untuk memilih jam berapa mereka mulai bekerja, di mana harus bekerja, dan kapan mereka akan berhenti bekerja.


130 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N Tabel 7.2. Jenis / Metode Flexible Work Arrangement (FWA) Sumber: (Erna Irawati, dkk, 2020) Selain substansi FWA, dari segi ruang lingkup penerapannya dalam organisasi, FWA dapat dijalankan melalui 3 (tiga) cara (Erna Irawati, dkk, 2020), yaitu: 1. FWA bagi seluruh organisasi, dimana FWA dapat diberlakukan bagi seluruh bagian jika organisasi memiliki tingkat kesiapan yang tinggi. Tentu saja dengan tetap mempertimbangkan karakteristik jabatan yang dimiliki untuk menentukan model FWA mana yang sesuai,


S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N | 131 2. FWA sebagai reward, dimana pilihan FWA dapat diberikan bagi pegawai yang termasuk kedalam top talent (boks 7,8,9), dengan tetap memperhatikan pilihan model WFA yang sesuai dengan jabatan pegawai, 3. Cara kombinasi, dimana organisasi dapat menentukan jenis FWA kepada beberapa jabatan dan memberi keleluasaan untuk memilih FWA bagi jabatan yang lain. Berbagai pendekatan, model, dan cara dalam menerapkan FWA di atas dapat menjadi alternatif dalam mengimplementasikan FWA (secara tersendiri atau kombinasi) sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan organisasi. Setiap organisasi perlu memperhatikan dan menilai secara cermat tingkat kesiapan organisasi dalam menerapkan FWA untuk kemudian mengaitkannya dengan pilihan model yang dianggap paling memungkinkan berdasarkan kondisi organisasinya. 4. Integrated Digital Work Untuk mendukung fleksibilitas kerja, maka model monev dalam FWA harus didukung oleh suatu sistem digital, yang memungkinkan pimpinan untuk tetap terhubung dengan bawahannya. Mulai dari sistem absensi yang harus mampu menunjukkan lokasi pegawai berada, sistem koordinasi, pelaporan kinerja, dan lain sebagainya yang didesain untuk dapat dilakukan tanpa sekat ruang dan waktu. Konsep Integrated Digital Work (IDW) merupakan sistem yang diterapkan untuk menunjang produktivitas dalam pelaksanaan tugas dalam penerapan FWA. Sistem ini didesain untuk mendukung kinerja pegawai secara aktif menyelesaikan pekerjaannya dengan tetap menjaga konektivitas di antara rekan kerja dan pimpinan, melaksanakan tugas secara proporsional hingga melaporkan setiap pelaksanaan kerja secara berkala dan berkualitas. Konsep ini tentunya dapat dilaksanakan sesuai dengan substansi FWA yang akan diterapkan pada organisasi tersebut. Dalam pelaksanaan konsep ini, tentu perlu dilakukan penyesuaian kebijakan baik karena akan berdampak pada implementasi mulai dari tata cara penilaian kinerja pegawai, pengaturan jam kerja pegawai, bentuk FWA harus didukung oleh suatu sistem digital, yang memungkinkan pimpinan untuk tetap terhubung dengan bawahannya.


132 | S i s t e m M a n a j e m e n K i n e r j a A S N pelaporan, hingga penerapan monitoring dan evaluasi kinerja sehingga dapat tetap produktif bekerja dengan berbagai situasi dan kondisi. 5. Monitoring dan Evaluasi Aspek kunci dalam implementasi FWA adalah monitoring dan evaluasi FWA (monev). Dalam konteks ini, monev menjadi penting untuk memastikan pelaksanaan FWA tetap berada pada jalurnya sekaligus sebagai dasar untuk menentukan langkah korektif yang dibutuhkan. Pelaksanaan monitoring dapat dilakukan dengan melaporkan hasil kerja harian bagi pegawai yang melaksanakan Konsep IDW substansi FWA yang akan diterapkan pada organisasi tersebut. Monitoring ini dapat dilaksanakan dengan melakukan pengisian report harian yang disampaikan pegawai kepada pimpinan unit kerja. Laporan dapat disusun secara manual maupun melalui aplikasi yang telah ada. Bentuk laporan kinerja harian dapat berupa contoh formulir dibawah ini atau disesuaikan dengan kebutuhan organisasi. Tabel 7.3. Contoh Laporan Kinerja Harian LAPORAN PELAKSANAAN BEKERJA DI RUMAH/TEMPAT TINGGAL (Work From Home/WFH) Nama : Jabatan : Unit Kerja : TANGGAL PEKERJAAN HARIAN TARGET OUTPUT KENDALA (1) (2) (3) (4) (5) Keterangan: 1. : diisi mulai tanggal diterapkannya FWA 2. : diisi pekerjaan harian yang dilakukan sesuai dengan uraian jabatan 3. : diisi target dari pekerjaan 4. : diisi output dari pekerjaan 5. : diisi kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pekerjaan Sementara itu, evaluasi dapat dilakukan dengan melihat tingkat ketercapaian target/output kerja yang telah disepakati melalui laporan pegawai yang bekerja dengan sistem FWA. Media komunikasi menjadi kunci utama ketercapaian target/output kerja untuk mengoptimalkan kinerja pegawai. Dalam prosesnya, atasan mengevaluasi kinerja pegawai,


Click to View FlipBook Version