Ajeng Maharani 91 menyebabkan infeksi pada tubafallopi atau ovarium, parametritis, peritonitis, menyebar ke pembuluh limfe yang kemudian akan menyebabkan septikemia jika masuk kealiran darah.Ini semakin diperumit dengan adanya syok septik dan koagulasi intravaskuler diseminata ( disseminated intravaskuler coagulation [DIC] ) yang dapat menimbulkan masalah perdarahan.Sepsis puerperalis dengan cepat akan berakibat fatal. Ibu di masa postpartum (masa nifas) memang rentam terhadap infeksi karena adanya faktor-faktor berikut: 1. Sisi perlengkatan plasenta merupakan tempat yang besar,hangat,gelap,dan basah.I ni memungkinkan bakteri tumbuh dengan sangat cepat.Tempat seperti ini merupakan suatu media yang ideal untuk pembiakan bakteri.Di laboratorium,kondisi-kondisi yang hangat,gelap,dan basah sengaja dibuat untuk membantu bakteri tumbuh dan berbiak. 2. Sisi plasenta memiliki persedian darah yang kaya,dengan pembuluhpembuluh darah yang besar yang langsung menuju sirkulasi vena utama.Hal ini memungkinkan bakteri di sisi plasenta untuk bergerak dengat sangat cepat kedalam aliran darah.Ini disebut septikemia.Septikimia dapat menyebabkan kematian dengan sangat cepat. 3. Sisi plasenta tidak jauh dari bagian luar tubuh ibu.Hanya panjang vagina (9-10 cm) yang memisahkan jalan masuk ke uterus dari lingkungan luar.Ini berarti bahwa bakteri yang biasanya hidup direktum ( seperti E.coli) dapat dengan mudah pindah kedalam vagina dan kemudian menuju uterus.Disini bakteri menjadi bahaya atau “patogenik” karena menyebabkan infeksi pada sisi plasenta. 4. Selama pelahiran,area serviks ibu,vagina,atau area perineumnya mungkin robek atau diepisiotomi.area jariangan yang terluka ini rentan terhadap infeksi,terutama jika teknik steril pada persalinan tidak digunakan.Infeksi biasanya terlokalisasi,tetapi pada kasus-kasus berat infeksi ini dapat menyebar ke jaringan dibawahnya.
Ajeng Maharani 92 8.4 Tanda-Tanda dan Gejala Sepsis Puerperalis Ibu biasanya mengalami demam tetapi mungkin tidak seperti demam pada infeksi klostridial. Ibu dapat mengalami nyeri pelvik, nyeri tekan di uterus, lokia mungkin berbau menyengat (busuk), dan mungkin terjadi suatu keterlambatan dalam kecepatan penurunan ukuran uterus. Di sisi laserasi atau episiotomi mungkin akan terasa nyeri, membengkak, dan mengeluarkan cairan bernanah. Faktor Resiko pada Sepsis Puerperalis 1. Usia Sebuah studi mengenai hubungan variasi penyakit dengan faktor usia akan memberikan gambaran tentang penyakit tersebut. Hal ini disebabkan karena usia menjadi faktor sekunder yang harus diperhitungkan dalam mengamati perbedaan frekuensi penyakit terhadap variabel lainnya. Selain itu, frekuensi penyakit menurut usia akan behubungan dengan adanya perbedaan tingkat paparan, perbedaan dalam patogenesis, serta perbedaan dalam pengalaman suatu penyakit (Putri, 2014). Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik dibandingkan usia tua. Lebih dari 60% pasien yang menderita sepsis berat di Amerika Serikat berusia > 65 tahun, dan insidensi sepsis pada populasi ini cenderung meningkat. Pada penelitian yang telah dilakukan di RSUP dr. Kariadi Semarang didapatkan data sebaran umur pasien dengan sepsis rata-rata berusia 49 tahun dengan standar deviasi ±17.399, dan sebaran umur pasien dengan infeksi lain rata-rata berusia 44 tahun dengan standar deviasi ± 20,495 (Timothy, dkk 2002). 2. Jenis Kelamin Adanya perbedaan secara anatomis, fisiologis dan sistem hormonal akan menyebabkan terjadinya perbedaan frekuensi penyakit menurut jenis kelamin. Perbedaan frekuensi ini dapat pula disebabkan terjadinya perbedaan peran kehidupan dan perilaku laki-laki dan perempuan dalam masyarakat seperti perbedaan pekerjaan, kebiasaan, dan lain-lain (Putri, 2014).
Ajeng Maharani 93 Menurut Putri (2014) Adapun faktor lain yang mepengaruhi kematian pada pasien sepsis adalah : a. Lama Perawatan Lama perawatan atau yang biasa disebut dengan Length of Stay (LOS)adalah durasi waktu seseorang ketika dirawat di rumah sakit dalam hitungan hari, terhitung mulai dari pasien masuk dan dirawat sampai pasien tersebut keluar dari rumah sakit. Adanya LOS yang semakin panjang maka risiko terjadinya paparan sumber infeksi pada pasien akan semakin tinggi. b. Tindakan Medik (Pengunaan Ventilator) Infeksi karena kuman di rumah sakit terutama disebabkan oleh infeksi dari pemasangan kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia. Dan beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan komplikasi kanula intravena dapat berupa jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui vena seksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipakai di bawah tungkai, tidak mengindahkan prinsip antisepsis, cairan infus yang hipertonik dan darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, dan manipulasi yang terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteriemia. Selain itu banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan risiko infeksi. Acinetobacter baumannii sering ditemukan dalam lingkungan rumah sakit, misalnya kantong ventilator atau ambu dan penyaring ventilasi. c. Derajat Sepsis Tingkat derajat sepsis sebelumnya tentu sangat berpengaruh terhadap angka kejadian kematian pada penderita sepsis itu sendiri. Pengkategorian derajat sepsis ini terbagi dua, yaitu derajat sepsis buruk dan derajat sepsis tidak buruk. Derajat sepsis tidak buruk/sepsis biasa seperti SIRS yang memiliki hasil positif infeksi. Sedangkan, sepsis berat ialah
Ajeng Maharani 94 sepsis yang disertai dengan MODS/MOF (Multi Organ Failure), hipotensi, oliguri, bahkan anuria. 3. Bakteri Penyebab Sepsis Menurut penelitian yang dilakukan oleh Monica Maulida (2016) hasil isolasi bakteri dari 48 sampel menunjukkan bahwa bakteri patogen penyebab sepsis adalah Pseudomonas sp.(21,81%), Klebsiella sp.(21,81%) , Seratia sp.(16,36%), Enterobacter sp (14,55%), Staphylacoccus epidermidis (14,55%), Serratia marcessens (3,64%), Klebsiella ozaenae (1,82%), Pseudomonas flouresens (1,82%), Staphylococcus saprohyticus (1,82%). Pseudomonas sp dan Klebsiella sp merupakan bakteri penyebab sepsis dengan persentase paling tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Ety, dkk (2013) pada 24 isolat juga menunjukkan Pseudomonas sp dan Klebsiella sp merupakan bakteri terbanyak penyebab sepsis di Unit Perinatologi RS Abdul Moeloek pada bulan November – Desember 2011 masingmasing sebesar 25%. Klebsiella sp termasuk bakteri gram negatif yang dapat mengakibatkan beraneka macam infeksi di rumah sakit salah atunya adalah sepsis. Pseudomonas sp banyak terdapat didaerah peralatan di rumah sakit seperti selang infus atau kateter. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Susan, dkk (2012) di RSUP DR M Djamil Padang, bahwa dari 290 pasien yang terdiagnosa sepsis 87,9% dilakukan pemeriksaan kultur darah dan 12,1% tidak dilakukan pemeriksaan kultur darah. Jumlah pasien dengan hasil kultur darah positif sebanyak 53 orang. Ditemukan bakteri penyebab sepsis terbanyak adalah Klebsiella sp sebanyak (79,2%) diikuti oleh Staphylacoccus aureus dan Pseudomonas aerogenosa masing-masing sebanyak (5,7%). E.coli (3,8%), Pproteus mirabilis, Staphylacoccus epidermidis, serta Streptococcus alfa hemoliticus masing-msing (1,9%). 8.5 Gejala Klinis Sepsis mempunyai gejala klinis yang tidak spesifik, seperti demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah atau kebigungan. Tempat terjadinya infeksi
Ajeng Maharani 95 paling sering adalah paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Gejala sepsis akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulosiopenia. Tanda-tanda MODS yang sering diikuti terjadinya syok septik adalah MODS dengan komplikasi ARDS, koagulasi intravaskuler, gagal ginjal akut, perdarahan usus, gagal hati, disfungsi sistem saraf pusat, dan gagal jantung yang semuanya akan menimbulkan kematian. Pada sepsis berat muncul dampak dari penurunan perfusi mempengaruhi setidaknya satu organ dengan gangguan kesadaran, hipoksemia (PO2 <75 mmHg), peningkatan laktat plasma, atau oliguria (≤30 ml / jam meskipun sudah diberikan cairan). Sekitar satu perempat dari pasien mengalami sindrom gangguan pernapasan akut dengan infiltrat paru bilateral, hipoksemia (PO2 <70 mmHg, FiO2 >0,4), dan kapiler paru tekanan <18 mmHg. Pada syok septik terjadi hipoperfusi organ (Weber & Fontana, 2007). 8.6 Tahapan Perkembangan Sepsis Menurut Putri (2014), Sepsis berkembang dalam tiga tahap: a. Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan rumah sakit. b. Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah mulai mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal, paru-paru atau hati. c. Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan darah turun ke tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan organ vital tidak mendapatkan oksigen yang cukup. Beberapa konferensi besar telah mendefinisikan sepsis, sepsis berat, dan syokberat adalah sepsis yang disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ, seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis dengan perfusi abnormal dan
Ajeng Maharani 96 hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg atau menurun >40 mmHg di bawah tekanan darah dasar (baseline)pasien tersebut atau tekanan arteri rata-rata <70 mmHg) selama sekurangkurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan yang adekuat, atau sepsis yang membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau tekanan arteri rata-rata ≥70 mmHg. Peningkatan laktat serum menjadi tanda hipoperfusi jaringan dan syok septik. (Hotchkiss, Levy, 2016). 8.7 Penatalaksanaan Sepsis Puerperalis Prioritas di dalam penatalaksanaan sepsis puerperalais,antara lain: 1. Kaji kondisi pasien 2. Resusitasi ibu,jika perlu 3. Isolasi ibu sesegera mungkin jika ada dugaan infeksi 4. Ambil spesimen untuk memeriksa organisme penyebab dan pastikan dianosis,dan 5. Mulai berikan terapi antibiotik berspektrum luas. Penatalaksanaan: 1. Isolasi dan batasan pada perawatan ibu Tujuan dari kegiatan ini adalah mencegah penyebaran infeksi pada ibu lain dan bayi mereka.prinsipprinsip keperawatan dasar adalah penting.perawat/bidan harus : a. Merawat ibu disuatu ruang terpisah ,atau jika hal ini tidak mungkin di pojok bangsal terpisah dari pasien lain. b. Memungkinkan gown dan sarung tangan pada saat mengunjungi ibu dan gown serta sarung tangan khusus ini hanya dipakai ketika berhadapan dengan ibu. c. Menyimpan satu set peralatan,alat makan ,dan peralatan dapur lainnya hanya digunakan untuk ibu dan memastikan bahwa peralatan ini tidak digunakan oleh orang lain. d. Mencuci tangan sampai bersih sebelum dan setelah mengurusi ibu.
Ajeng Maharani 97 Jika memungkinkan, seorang bidan/perawat khusus harus ditempatkan untuk merawat ibu dan bayinya.kalau ada kerabat yang mau membantu merawat pasien itu,hal ini sangat menolong.Jika begitu,kerabat tersebut harus diajurkan tentang prinsip-prinsip dasar pencegahan penularan penyakit.Selain itu,penunjang juga harus dibatasai. 2. Pemberian Dosis Tinggi Antibiotik Berspektrum Luas Kegiatan ini biasanya diresapkan oleh dokter,petugas kebidanan harus mengetahui cara meresepkan dan memberikan obat-obatan yang tepat.jika secara hukum tidak memungkinkan,peraturan tersebut harus dikaji kembali. a. Pilihan Antibiotik Jika ibu tidak sangat sakit (mis, tidak demam atau hanya demam ringan ,denyut tidak sangat tinggi,status kesadaran normal). b. Tidak Lanjut Jika ibu tidak membaik setelah 48 jam atau laporan laboratorium menyatakan bahwa bakteri resisten terhadap anti biotik yang diberikan,antibiotik harus diganti. c. Tetanus toksoid Jika ada kemungkinan ibu terserang tetanus (mis.akibat kotaran sapi,lumpur,atau ramu-ramuan dimasukan kedalam vagina) dan ada keraguan tentang riwayat vaksinasinya,maka berikan tetanus toksoid. 3. Pemberian Cairan yang Banyak Tujuan pemberian cairan ini adalah memperbaiki atau mencegah dehidrasi dan membantu menurunkan demam. 4. Pengeluaran Fragmen Plasenta yang Tertahan Fragmen plasenta yang tertahan dapat menjadi penyebab terjadinya sepsis puerperalis curigai keadaan ini jika uterus lunak dan membesar dan jika lokea berlebihan dan mengandung bekuan darah.Ibu harus segera di rujuk.
Ajeng Maharani 98 5. Pemberian Asuhan Kebidanan yang Terlatih Hal ini memerlukan perhatian yang seksama baik untuk kenyamanan ibu maupun untuk melaksanakan instruksi dokter. Berikut ini adalah hal yang penting : a. Menganjurkan ibu untuk beristiraht di tempat tidur b. Memantau tanda-tanda vital c. Mengukur asupan dan pengeluaran d. Menjaga agar catatan tetap akurat,dan e. Mencegah penyebaran infeksi dan infeksi silang. Masalah praktik yang mungkin muncul,meliputi: a. Fasilitas tidak memungkinkan untuk melakukan isolasi yang layak b. Kurangnya staf menyebabkan tidak mungkin untuk mengalokasikan seorang bidan/perawat untuk memberikan perawatan. Bidan juga harus akurat dalam semua obsevasi, catatan dan juga pelaporannya. 8.8 Predisposisi Faktor Predisposisi yang penting pada waktu nifas adalah: 1. Keadaan yang dapat menurunkan daya tahan penderita seperti perdarahan banyak, pre-eklampsia, juga adanya infeksi lain seperti pneumonia, penyakit jantung dan sebagainya. 2. Partus lama terutama ketuban pecah lama 3. Tindakan bedah vagina yang menyebabkan perlukaan pada jalan lahir 4. Tertinggalnya sisa plasenta, selaput ketuban dan bekuan darah 5. Setelah kala III, daerah bekas insersio plasenta merupakan sebuah bekas luka dengan diameter 4cm, permukaan tidak rata, berbenjol-benjol karena banyakknya vena yang tertutup trombus. Daerah ini merupakan tempat yang baik
Ajeng Maharani 99 bagi tumbuhnya kuman-kuman dan masuknya jenis-jenis yang patogen dalam tubuh wanita. Serviks sering mengalami perlukaan dalam persalinan begitu juga pulva, vagina, dan perineum, yang semuanya merupakan tempat masuknya kuman patogen, proses radang dapat terjadi terbatas pada luka tersebut atau dapat menyebar keluar luka asalnya. 6. Penanganan Komplikasi a. Peritonitas Peritonitas menyeluruh adalah peradangan pada semua bagian peritonium.ini berarti baik peritoneum parietal,yaitu membran yang melapisi dinding abdomen,maupaun peritoneum viseral,yang terletak di atas vasera atau organ-organ internal meradang. Diagnosis : Penting untuk mengetahui cara mengenali peritonitis peritonitis dan/ abses multipel didalam abdomen dapat muncul setelah secsio sesaria atau ruptur uterus boleh jadi merupakan suatu komplikasi dari sepsis puerperalis. Selain demam, dan tanda – tanda gejala berikut ini juga muncul : a) Nyeri lepas b) Nyeri abdomen c) Abdomen berdistensi 3 – 4 hari d) Muntah e) Bising usus lemah f) Diare Penanganan peritonitis menyeluruh : Obati secara aktif jika diduga, tanpa menunggu kepastian diagnosis. Mulai dengan antibiotik seperti: benzil penisilin ditambah dengan gentamisin dan metronidazol,cairan 4 dan analgesik (seperti petidin 50-100 mg secara IM setiap 6 jam). Jika tersedia, pasang selang nasogastrik (NGT) dan aspirasikan isi lambung. Pastikan bahwa ibu segera di bawa ketingkat rujukan yang lebih tinggi yang memiliki pertolongan medis/ beda terampil.
Ajeng Maharani 100 b. Salpingo-ooforitis dan Parametritis Adalah infeksi pada ovariun dan tuba fallopi. Parametritis adalah infeksi pada parametrium. Parametrium adalah jaringan renggang yanmg ditemukan disekitar uterus.Jaringan ini memanjang sampai kesisi servik dan kepertengahan lapisan- lapisan ligamen besar. Diagnosa salpingo-ooforitis: a) Demam b) Nyeri bilateral c) Nyeri tekan bawah abdomen Diagnosa parametritis : 1) Demam 2) Nyeri atau nyeri tekan pada kedua sisi abdomen 3) Nyeri tekan yang cukup terasa pada pemeriksaan vagina Penanganan dari salpingo- ooforitis atau parametritis : Mulai dengan antibiotik seperti: benzil penisilin ditambah gentamisin dan metrodinazol. Jika perlu berikan obat pereda nyeri seperti : petidin 50 – 100 mg secara IM setiap 6 jam. Jika ibu tidak membaik dalam 2 – 3 hari iya harus segera di bawa kerumah sakit. c. Septikemia Adalah ada dan berkembangbiaknya bakteri di dalam aliran darah. Diagnosa : 1. Demam 2. Menggigil 3. Denyut nadi cepat 4. Dan ibu sangat sakit Penatalaksanaannya : Mulai dengan antibiotik, misalnya benzilpenisilin tambah gentamisin dan metronidazol. Segera rujuk ibu ke rumah sakit bila perlu dipertimbangkan untuk memberikan heparin jika diduga terjadi disseninatet intravascular coagulation. d. Abses Diagnosa : Masa yang menonjol dan berfluktuasi pada pemeriksaan vagina, nyeri yang hebat dan nyeri tekan, demam tidak menurun meskipun diberikan antibiotik Penatalaksaannya :
Ajeng Maharani 101 Rujuk ibu ke rumah sakit untuk kolpotomi posterior ( insisi bedah kedalam dinding posterior vagina).laparatomi untuk abses di abdomen. Pencegahan dan Pengobatan 1. Pencegahan Pencegahan dilakukan dengan memperhatikan pemakaian jarum atau alat tajam lainnya sekali pakai. Pemakaian proteksi di setiap tindakan, termasuk sarung tangan, masker, baju, kacamata debu. Tangan dan kulit yang terkena darah atau cairan tubuh lainnya segera dicuci (Pusponegoro, 2000). 2. Pengobatan Menurut Guntur (2008), sepsis dapat dengan cepat berkembang menjadi syok septik dan kematian jika tidak diobati. a. Antibiotik langsung disuntikkan ke pembuluh darah untuk melawan infeksi. Pengobatan dengan antibiotik harus dimulai segera, dalam waktu enam jam pertama. Awalnya akan diberikan antibiotik spektrum luas, yang efektif terhadap berbagai bakteri. Setelah mempelajari hasil tes darah, dokter mungkin beralih ke antibiotik yang berbeda yang lebih tepat terhadap bakteri penyebab infeksi. b. Obat vasoaktif untuk meningkatkan tekanan darah. Disebut juga sebagai agen vasopresor. Jika tekanan darah tetap begitu rendah bahkan setelah menerima cairan infus, maka mungkin akan diberi obat-obat vasopressor ini yang bekerja dengan cara menyempitkan pembuluh darah dan membantu meningkatkan tekanan darah. c. Insulinuntuk menstabilkan gula darah. d. Kortikosteroiduntuk mengurangi peradangan. e. Obat penghilang rasa sakit.
Ajeng Maharani 102 DAFTAR PUSTAKA Akunga D, Diana M, Kabue M. Determinants of postnatal care use in Kenya. AfricanPopulation Studies. 2014;28(3):1447-59. Ambrawati, R.E., Wulandari, D. (2014) Asuhan Kebidanan Nifas. Jakarta: EGC. Ari, S. (2015) Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Jogjakarta: Andi Offset. Asmijati. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja puskesmas Tiga Raksa Kecamatan Tiga Raksa DATI II Tangerang. Tesis. Depok: Program Studi Pasca Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Bahiyatun. (2015). Buku Ajar Kebidanan Asuhan Nifas Normal. Jakarta: EGC.Bandung: Bina Pustaka. Kemenkes RI. (2015). Profil kesehatan IndonesiaTahun 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Continuum of Care in a Maternal, Newborn and Child Health Program in Ghana: LowCompletion Rate and Multiple Obstacle Factors. PLoS One. 2015;10(12):142849. Kenya National Bureau of Statistics. Kenya Demographic and Health Survey 2008-2009.Kenya: Kenya National Bureau of Statistics; 2010. M.A. Momoh, O.J. Ezugworie and H.O. Ezeigwe (2010) Causes and Management of Puerperal Sepsis: The Health Personnel View Point Advances in Biological Research. Am J Soc Nephrol. 4 (3): 154-158. Yeji F, Shibanuma A, Oduro A, Debpuur C, Kikuchi K, Owusu AS, Gyapong M, et al.
Nur Rahmatillah 103 BAB IX ASPHYKSIA NEONATORUM Oleh Nur Rahmatillah 9.1 Pendahuluan Angka kematian bayi sering dianggap sebagai parameter kesejahteraan masyarakat atau negara. Angka kematian bayi juga tidak hanya memberikan gambaran perkembangan sosioekonomi tetapi juga memiliki implikasi terhadap kebijakan (Gonzalez&Gilleskie, 2017). Secara global tahun 2018, 85 % kematian di dunia terjadi pada masa anak-anak dimana 47 % terjadi pada usia 0 – 1 bulan dan 29 % terjadi pada usia 1 bulan sampai 1 tahun. Hal ini menempatkan bayi menjadi kelompok yang paling rentan untuk mengalami kematian (Alfandi, Aryawati and Yanti, 2022). WHO melaporkan komplikasi intrapartu, termasuk asfiksia, sebagai penyebab tertinggi kedua kematian neonatus (23,9%) setelah prematuritas dan berkontribusi sebagai 11 % penyebab kematian balita di seluruh dunia. Di Asia Tenggara, asfiksia merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga (23%) setelah infeksi neonatal (36%) dan prematuritas / bayi berat lahir rendah (BBLR) (27%) (Sumarni, Prabandari and Sofiana, 2022). Beberapa penelitian mengenai faktor risiko asfiksia neonatorum telah dilakukan dalam lingkup global maupun nasional. Suatu penelitian di Etiopia melaporkan bahwa dari 311 bayi baru lahir terdapat 41.2 % mengalami asfiksia neonatorum. Dilingkup Nasional, penelitian tentang Asfiksia Neonatorum salah satunya pernah dilakukan di Propinsi Jawa Timur, dimana dari total populasi sebanyak 67 ibu yang bayinya lahir sebesar 77,2 % mengalami asfiksia neonatorum (Mamo et al., 2022).
Nur Rahmatillah 104 9.2 Definisi Asfiksia neonatorum merupakan kondisi yang ditandai dengan hipoksia dan asidosis metabolik pada bayi baru lahir. Hal ini terjadi akibat gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida yang tidak segera diatasi, sehingga menimbulkan penurunan PaO2 darah (hipoksemia), peningkatan PaCO2 darah (hiperkarbia), asidosis, dan berlanjut pada disungsi multiorgan. Kondisi ini dapat dicegah dengan mengetahui faktor risiko ibu dan bayi dalam kehamilan. Apabila asfiksia tidak dapat dihindari, maka tatalaksana dengan teknik resusitasi yang optimal sangat diperlukan (Kemenkes RI, 2019). Asfiksia Neonatorium adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami asfiksia pada saat dilahirkan (Rosdianah, 2019). 9.3 Manifestasi Klinis Menurut Tim pokja SDKI DPP PPNI (2017) data mayor untuk masalah gangguan pertukaran gas yaitu: 1. Dispnea atau sering disebut sesak napas, napas pendek, breathlessness atau shortness of breath. Dispnea adalah gejala subyektif berupa keinginan penderita untuk meningkatkan upaya mendapatkan udara pernapasan, karena sifatnya subyektif, dispneu tidak dapat diukur (namun terdapat gradasi sesak napas). Meskipun sifatnya subyektif, dispneu dapat ditentukan dengan melihat adanya upaya bernafas aktif dan upaya menghirup udara lebih banyak. 2. Meningkat atau menurunnnya PCO2. PCO2 adalah tekanan yang dikeluarkan oleh karbondioksida yang terlarut di dalam plasma darah arteri. PCO2 menggambarkan gangguan pernafasan. Tingkat metabolisme normal PCO2 sepenuhnya dipengaruhi oleh ventilasi. Pada kondisi gangguan metabolisme PCO2 dapat menjadi tidak normal karena sebagai kompensasi keadaan metabolik. Nilai
Nur Rahmatillah 105 normal PCO2 adalah 35-45 mmHg, nilai PCO2 (>45 mmHg) disebut dengan hipoventilasi, nilai PCO2. 3. Kadar PO2 yang rendah menggambarkan hipoksemia dan pasien tidak mampu bernafas secara adekuat. PO2 dibawah 60 mmHg mengindikasikan perlunya mendapatkan terapi oksigen tambahan. Kadar normal PO2 dalam darah adalah 80-100 mmHg. Kadar PO2 60-80 mmHg disebut dengan hipoksemia ringan. Kadar PO2 40-60 mmHg disebut dengan hipoksemia sedang dan kadar PO2. 4. Takikardi yaitu suatu kondisi dimana kecepatan denyut jantung lebih cepat dari jantung orang normal dalam kondisi beristirahat. Detak jantung dikontrol oleh sinyal listrik yang berasal dari area kecil, disebut nodus atrioventrikuler yang berada diantara ruang atas dan bawah jantung. Takikardi terjadi ketika sinyal elektrik tersebut terganggu. 5. Meningkat atau menurunnya pH pada arteri. Jika nilai pH darah menurun disebut asidemia yaitu keadaan kelebihan asam di dalam darah. Jika nilai pH darah meningkat disebut alkalemia yaitu kekurangan asam di dalam darah. Asidemia maupun alkalemia dapat bersifat respiratorik maupun metabolik. Adanya mekanisme metabolik mengupayakan adanya suatu kompensasi, baik terhadap suasana asidema maupun dalam keadaan alkalemia agar pH darah tetap dalam rentang normal yaitu 7,4 mmHg. Jika terjadi perubahan asam basa darah namun suasana telah terkompensasi sehingga pH mendekati nilai 7,4 mmHg, keadaan ini sudah tidak digolongkan kedalam asidemia dan alkalemia tetapi asidosis yaitu asidemia yang sudah terkompensasi dan alkalosis yaitu alkalemia yang sudah terkompensasi. Kadar pH normal 7,35-7,45 mmHg. Kadar pH < 7,35 disebut asidosis dan kadar pH >7,45 disebut alkalosis. 6. Terdapat bunyi nafas lain yang disebut suara nafas tambahan (adventitious sounds atau added sounds) pada kondisi gangguan pertukaran gas. Bunyi napas lain hanya didapatkan dalam suatu keadaan yang tidak normal. Bunyi nafas tambahan disebut juga bunyi nafas tidak normal
Nur Rahmatillah 106 (abnormal breath sounds). Suara ini disebabkan karena adanya sumbatan jalan napas atau obstruksi. (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). 9.4 Klasifikasi Asfiksia Neonatorum Tabel 8. Penilaian Asfiksia Neonatorum Berdasarkan APGAR Score Tanda 0 1 2 A (Apperarance) Warna Kulit Biru/Pucat Tubuh Kemerahan, Ekstremitas Biru Tubuh dan Ekstremitas Kemerahan P (Pulse) Frekuensi Jantung Tidak Ada <100 x/ menit >100x/menit G (Grimace) Reflek Tidak Ada Gerak Sedikit Gerakan kuat / Melawan A (Activity) Tonus Otot Lumpuh / Tidak ada respon Ekstremitas agak Fleksi Gerakan Aktif R (Respiration) Usaha Bernapas Tidak ada Lambat / Tidak Teratur Menangis Kuat Sumber : (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017) Keterangan: a. Bayi normal atau tidak asfiksia : Skor APGAR 8-10. Bayi normal tidak memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen secara terkendali. b. Asfiksia Ringan : Skor APGAR 5-7. Bayi dianggap sehat, dan tidak memerlukan tindakan istimewa, tidak memerlukan pemberian oksigen dan tindakan resusitasi. c. Asfiksia Sedang : Skor APGAR 3-4. Pada Pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100 kali/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada dan memerlukan tindakan resusitasi serta pemberian oksigen sampai bayi dapat bernafas normal. d. Asfiksia Berat : Skor APGAR 0-3. Memerlukan resusitasi segera secara aktif dan pemberian oksigen terkendali, karena selalu disertai asidosis, maka perlu diberikan natrikus dikalbonas 7,5 % dengan dosis 2,4 ml/kg berat
Nur Rahmatillah 107 badan, dan cairan glukosa 40 % 1-2 ml/kg berat badan, diberikan lewat vena umbilikus. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100 kali/menit, tonus otot buruk,sianosis berat, dan kadang- kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada. Pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7, penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis (bukan 1 menit seperti penilaian skor apgar) (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017). 9.5 Etiologi dan Faktor Risiko Asfiksia Neonatorum Etiologi dan faktor Resiko Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilical maupun plasenta hampir selalu akan menyebabkan asfiksia (Mamo et al., 2022). Penyebab asfiksia neonatorum menurut Anik & eka (2013:297) dalam Rosdianah, dkk (2019) adalah: 9.5.1 Asfiksia dalam kehamilan: 1. Penyakit infeksi akut 2. Penyakit infeksi kronik 3. Keracunan oleh obat-obat bius 4. Uremia dan toksemia gravidarum 5. Anemia berat 6. Cacat bawaan 7. Trauma 9.5.2 Asfiksia dalam persalinan: 1. Kekurangan O2: a. Partus Lama (Rigid serviks dan atonia / insersi uteri)
Nur Rahmatillah 108 b. Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus terusmenerus mengganggu sirkulasi darah ke plasenta. c. Tekanan terlalu kuatdari kepala anak pada plasenta. d. Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepala dan panggul. e. Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya. f. Perdarahan banyak: plasenta previa dan solusio plasenta. g. Kalau plasenta sudah tua: postmaturitas (serotinus, disfungsi uteri). 2. Paralisis pusat pernafasan: a. Trauma dari luar seperti tindakan forceps. b. Trauma dari dalam seperti akibat obat bius. 9.5.3 Faktor Ibu, Tali Pusat, dan Bayi Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir, Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu,tali pusat dan bayi (Diana, Widyawaty and Kholidah, 2021). 1. Faktor Ibu a. Pre-Eklamsi dan Eklamsi b. Perdarahan abnormal (plasenta previa atau solusioplasenta) c. Partus lama atau partus macet) d. Demam selama persalinan e. Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV) f. Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan) 2. Faktor Tali Pusat a. Lilitan Tali Pusat b. Tali Pusat Pendek c. Simpul Tali Pusat d. Prolapsus Tali Pusat
Nur Rahmatillah 109 3. Faktor Bayi a. Bayi Prematur (sebelum 37 minggu kehamilan) b. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep) c. Kelainan bawaan (kongenital) d. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan). 9.6 Patofisiologi Asfiksia Neonatorum Hampir setiap proses kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara, proses ini dianggap perlu sebagai perangsang kemoreseptor pusat pernafasan agar terjadi primary gasping yang kemudian berlanjut dengan pernafasan teratur. Pada Asfiksia Neonatorum seperti ini tidak memiliki efek buruk karena diimbangi dengan reaksi adaptasi pada neonatus. Namun, pada penderita asfiksia berat usaha napas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya dalam periode apneu. Apneu atau kegagalan pernafasan mengakibatkan berkurangnya oksigen dan meningkatkan karbondioksida, pada akhirnya mengalami asidosis respiratorik. Pada tingkat ini disamping penurunan frekuensi denyut jantung (bradikardi) ditemukan pula penurunan tekanan darah dan bayi nampak lemas (flasid). Pada asfiksia berat bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukan upaya bernapas secara spontan. Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas / transport O2 (menurunnya tekanan O2 darah) mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik, tetapi bila gangguan berlanjut maka akan terjadi metabolisme anaerob dalam tubuh bayi sehingga terjadi asidosis metabolik, selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler (Rosdianah, 2019). Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang beberapa keadaan diantaranya: 1. Hilangnya sumber glikogen jantung berpengaruh pada fungsi jantung. 2. Kurang adekuat pengisian udara alveolus berakibat tetap tingginya resistens pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah menuju paru dan sistem sirkulasi tubuh lain mengalami gangguan.
Nur Rahmatillah 110 3. Asidosis metabolik mengakibatkan turunnya sel jaringan otot jantung berakibat terjadinya kelemahan jantung. Dari proses patofisiologi tersebut sehingga fase awal asfiksia ditandai dengan pernafasan cepat dan dalam selama tiga menit (periode hiperapneu) diikuti dengan apneu primer kira-kira satu menit dimana pada saat itu pulsasi jantung dan tekanan darah menurun. Kemudian bayi akan mulai bernafas (gasping) 8-10 kali/menit selama beberapa menit, gasping ini semakin melemah sehingga akhirnya timbul apneu sekunder. Pada asfiksia berat bisa terjadi kerusakan pada membran sel terutama sel susunan saraf pusat sehingga mengakibatkan gangguan elektrolit, akibatnya menjadi hiperkalemia dan pembengkakan sel. Kerusakan sel otak terjadi setelah asfiksia berlangsung selama 8-15 menit. Menurun atau terhentinya denyut jantung akibat dari asfiksia mengakibatkan iskemia. Iskemia akan memberikan akibat yang lebih hebat dari hipoksia karena menyebabkan perfusi jaringan kurang baik sehingga glukosa sebagai sumber energi tidak dapat mencapai jaringan dan hasil metabolisme anaerobik tidak dapat dikeluarkan dari jaringan.
Nur Rahmatillah 111 9.6.1 Pathway
Nur Rahmatillah 112 9.7 Komplikasi Komplikasi yang dapat muncul pada Asfiksia Neonatorum antara lain (Rosdianah, 2019): 1. Edema otak dan Perdarahan otak Pada penderita asfiksia neonatorum dengan gangguan jantung yang telah berlarut-larut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun, keadaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak. 2. Anuria atau Oliguria Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini dikenal dengan istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit. 3. Kejang Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tidak efektif. 4. Koma Apabila pada pasien asfiksia berat tidak segera ditangani akan menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan otak. 9.8 Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum Menurut Vidia dan Pongki (2016:365) dalam (Rosdianah, 2019), penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum meliputi: 1. Tindakan Umum a. Bersihkan jalan nafas 1) Kepala bayi diletakkan lebih rendah agar lendir mudah mengalir, bila perlu digunakan laringoskop
Nur Rahmatillah 113 untuk membantu penghisapan lendir dari saluran nafas yang lebih dalam. 2) Rangsang refleks pernafasan: dilakukan setelah 20 detik bayi tidak memperlihatkan bernafas dengan cara memukul kedua telapak kaki menekan tanda achilles. 3) Mempertahankan suhu tubuh. 2. Tindakan Khusus a. Asfiksia Berat Berikan O2 dengan tekanan positif dan intermenten melalui pipa endotrakeal. Dapat dilakukan dengan tiupan udara yang telah diperkaya dengan O2. O2 yang diberikan tidak lebih 30cm H 20. Bila pernafasan spontan tidak timbul lakukan massage jantung dengan ibu jari yang menekan pertengahan sternum 80-100 x/menit. b. Asfiksia Sedang/Ringan 1) Pasang Relkiek pernafasan (hisap lendir, rangsang nyeri) selama 30- 60 detik. Bila gagal lakukan pernafasan kodok (Frog Breathing) 1-2 menit yaitu kepala bayi ekstensi maksimal beri O2 1-2 L/menit melalui kateter dalam hidung, buka tutup mulut dan hidung serta gerakkan dagu ke atas bawah secara teratur 20 x/menit. 2) Penghisapan cairan lambung untuk mencegah regurgitasi. 9.9 Cara Resusitasi Terdapat faktor utama yang perlu dilakukan agar resusitasi dapat dilakukan dengan cepat dan efektif: 1. Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirnya bayi dengan depresi dapat terjadi tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau asfiksia dapat diantisipasi dengan meninjau riwayat antepartum dan intrapartum. 2. Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan trampil. Persiapan minimum antara lain: a. Alat pemanas siap pakai (Neo Puff)
Nur Rahmatillah 114 b. Alat penghisap lendir (dilee) c. Alat sungkup dan balon resusitasi d. Oksigen e. Alat intubasi f. Obat-obatan. 9.10 Prinsip-prinsip Resusitasi Tenaga kesehatan yang siap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus merupakan tim yang hadir pada setiap persalinan. 1. Tenaga kesehatan dikamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang harus dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif dan efisien. 2. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerjasama sebagai satu tim yang terkoordinasi. 3. Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan berikutnya ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien. 4. Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia dan siap pakai. 9.11 Tatalaksana Resusitasi Resusitasi neonatus merupakan suatu alur tindakan yang berkesinambungan, diawali dengan melakukan evaluasi, mengambil keputusan, dan melakukan tindakan resusitasi. Sekitar 10% dari 120 juta kelahiran bayi memerlukan bantuan untuk memulai napas dan hanya 1% bayi membutuhkan resusitasi lebih lanjut. Resusitasi dilakukan apabila bayi tidak bernapas secara spontan dan adekuat saat lahir dengan menilai komponen klinis bayi. Berikut ini merupakan penjelasan dari masing-masing komponen penilaian. 1. Pernapasan, merupakan komponen terpenting dalam menilai kondisi bayi saat lahir. Pernapasan yang teratur merupakan tanda keberhasilan bayi melakukan adaptasi dari kehidupan intrauterin ke ekstrauterin. Bayi yang lahir dalam keadaan asfiksia dapat mengalami apneu atau pernapasan megap-megap, namun dapat pula bernapas
Nur Rahmatillah 115 spontan disertai tanda gawat napas atau mengalami sianosis persisten. Tanda gawat napas meliputi napas cuping hidung, retraksi dinding dada, atau suara merintih. Tanda klinis ini menunjukkan bayi mengalami kesulitan untuk mengembangkan paru. Sianosis persisten (dengan FiO2 100%) juga dapat disebabkan oleh kelainan di luar paru. Keadaan yang berbeda tersebut membutuhkan tata laksana ventilasi yang berbeda pula. 2. Tonus dan respons terhadap stimulasi. Bayi asfiksia memiliki tonus otot yang lemah dan gerakan otot terbatas, sehingga memerlukan berbagai stimulasi ringan. Stimulasi termal dengan mengeringkan bayi dan stimulasi mekanik dengan menepuk telapak kaki bayi akan membantu merangsang pernapasan bayi serta meningkatkan LJ. Rangsangan berlebihan seperti memukul bokong dan pipi tidak perlu dilakukan karena dapat mencederai bayi. Bila bayi tidak memperlihatkan respons perbaikan terhadap stimulasi ringan maka langkah selanjutnya dalam resusitasi harus dilakukan. 3. Laju jantung (LJ), berkisar antara 100 - 160 kali permenit. Penilaian LJ dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu meraba denyut nadi perifer atau sentral, meraba denyut pembuluh darah umbilikus, mendengarkan LJ dengan stetoskop atau dengan menggunakan pulse oxymetri. Penggunaan pulse oxymetri dianggap paling akurat untuk menilai LJ. Namun, fungsi pulse oxymetri sangat dipengaruhi oleh cardiac output dan perfusi jaringan. Bila LJ sangat lemah dan perfusi jaringan sangat buruk, pulse oxymetri tidak dapat berfungsi dengan baik. Pada kasus ini, pemantauan LJ lebih baik dilakukan dengan monitor EKG. Bila LJ menetap < 100 x per menit, oksigenasi jaringan akan menurun sehingga mengakibatkan hipksemia dan berakhir dengan asidosis. 4. Oksigenasi jaringan, dinilai menggunakan pulse oxymetri. Penilaian dengan pulse oxymetri cenderung lebih akurat dibandingkan berdasarkan warna kulit. Penggunaan pulse oxymetri sangat direkomendasikan jika terdapat antisipasi resusitasi, VTP diperlukan lebih dari beberapa kali pompa,
Nur Rahmatillah 116 sianosis menetap dengan intervensi, dan bayi mendapat suplementasi oksigen. Pemantauan ini diperlukan agar oksigen yang diberikan tidak berlebihan dan membahayakan bayi. Sensor pulse oxymetri sebaiknya dipasang pada lokasi preduktal (pergelangan atau telapak tangan kanan) untuk mencegah pengaruh shunting selama periode transisi sirkulasi bayi. Pembacaan saturasi oksigen umumnya dapat dilakukan mulai dari 90 detik setelah bayi lahir, namun perlu diingat bahwa nilai saturasi oksigen tidak dapat dipercaya pada curah jantung (cardiac output) dan perfusi kulit yang buruk. Saturasi normal saat lahir bervariasi tergantung pada usia kehamilan bayi. Makin muda usia gestasi makin lama bayi mencapai target saturasi normal. Berikut ini merupakan target saturasi oksigen bayi selama resusitasi. Tabel 9. Target saturasi sesuai usia bayi Waktu Setelah Lahir Saturasi target (%) bayi baru lahir selama resusitasi 1 menit 60-65 2 menit 65-70 3 menit 70-75 4 menit 75-80 5 menit 80-85 10 menit 85-95 Sumber: Textbook of neonatal resuscitation. Foundations of neonatal resuscitation; 2016 dalam Kemenkes RI 2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Asfiksia. 5. Nilai Apgar, merupakan penilaian obyektif kondisi bayi baru lahir, namun tidak digunakan untuk menentukan kebutuhan, langkah, dan waktu resusitasi pada bayi baru lahir. Nilai Apgar, yang umumnya ditentukan pada menit ke-1 dan ke-5, merupakan penilaian respons terhadap resusitasi. Neonatal Resuscitation Program (NRP), ACOG, dan AAP mengemukakan apabila pada menit ke-5 nilai
Nur Rahmatillah 117 Apgar ditemukan < 7, maka penilaian terhadap bayi harus dilanjutkan dan diulang setiap 5 menit sampai menit ke 20. 6. Algoritma Resusitasi Neonatus Sumber: (Tim Proyek Fokus Utama Pedoman AHA, 2020)
Nur Rahmatillah 118 DAFTAR PUSTAKA Alfandi, Z., Aryawati, W. and Yanti, D.E. (2022) ‘Hubungan Antara Capaian Indikator Kesehatan Bayi Dengan Kematian Bayi’, Jurnal Ilmiah Kesehatan, 11(1), pp. 133– 143. doi:10.52657/jik.v11i1.1605. Diana, A.N., Widyawaty, E.D. and Kholidah, L.N. (2021) ‘FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Kejadian Asfiksia Di Ruang Perinatologi RSUD Bangil Kabupaten Pasuruan Provinsi Jawa Timur’, pp. 110–119. Ikatan Dokter Anak Indonesia (2017) Kiat membuat anak sehat, tinggi, dan cerdas. Jakarta. Available at: http://fk.ui.ac.id/wp-content/uploads/2017/05/BukuPKB-Jaya-XIII-Nov-2016.pdf. Kemenkes RI (2019) ‘Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Asfiksia’. Available at: https://yankes.kemkes.go.id. Mamo, S.A. et al. (2022) ‘Perinatal asphyxia and associated factors among neonates admitted to a specialized public hospital in South Central Ethiopia: A retrospective crosssectional study’, PLoS ONE, 17(1 January), pp. 1–14. doi:10.1371/journal.pone.0262619. Rosdianah, D. (2019) Buku Ajar Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Edited by Daeng Kembong. Makassar: Percetakan CV. Cahaya Bintang Cemerlang. Sumarni, S., Prabandari, F. and Sofiana, J. (2022) ‘Effect of Maternal Disease and Antepartum Hemorrhage on Asphysia’, 1(1), pp. 15–22. Available at: http://ejournal.stikesmuhgombong.ac.id. Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. 1st edn. Jakarta: DPP PPNI. Tim Proyek Fokus Utama Pedoman AHA (2020) ‘Pedoman CPR dan ECC’, Cardiology (Switzerland) [Preprint]. doi:10.1159/000165558. Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. 1st edn. Jakarta : DPP PPNI. Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2019) Standar Luaran Keperawatan Indonesia. 1st edn. Jakarta : DPP PPNI.
Nur Rahmatillah 119 Vidia, Pongki (2016). Asuhan kebidanan pada Neonatus, Bayi, Balita dan Anak Pra Sekolah. Jakarta : Trans Info Media.
Muhammadong 120 BAB X SYOK OBSTETRI Oleh Muhammadong Secara umum pengertian syok adalah suatu keadaan klinis yang akut pada penderita, dimana berkurangnya darah dalam peredaran darah umum dengan disertai gangguan perfusi dalam jaringan pada tingkat pembuluh-pembuluh darah kapiler jaringan tubuh. Syok Obstetri adalah syok yang dijumpai dalam kebidanan yang disebabkan baik oleh perdarahan, trauma, atau sebab-sebab lainnya. Gejala klinik syok pada umumnya sama yaitu tekanan darah menurun, nadi cepat dan lemah, pucat, keringat dingin, sianosis jari-jari, sesak nafas, pengelihatan kabur, gelisah, dan akhirnya oliguria/anuria. Klasifikasi syok antara lain syok hipovolemik, syok sepsis (endatoxin shock), syok kardiogenik, dan syok neurogenik. Ada beberapa penanganan kebidanan dalam menghadapi klien yang mengalami syok – syok tersebut, dimana penanganan tersebut dapat mengurangi angka kematian ibu dan anak dalam proses persalinan. Syok adalah suatu keadaan serius yang terjadi jika sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang memadai; syok biasanya berhubungan dengan tekanan darah rendah dan kematian sel maupun jaringan. Syok merupakan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital. Syok merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa dan membutuhkan tindakan segera dan intensif. Syok terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan berkurangnya aliran darah, termasuk kelainan jantung (misalnya serangan jantung ), volume darah yang rendah (akibat perdarahan hebat atau dehidrasi) atau perubahan pada pembuluh darah (misalnya karena reaksi alergi atau infeksi).Syok sulit di definisikan, Hal ini berhubungan dengan sindrom klinik yang
Muhammadong 121 dinamis, yang di tandai dengan perubahan sehubungan penurunan sirkulasi volume darah yang menyebabkan ketidaksadaran jika tidak di tangani dapat menyebabkan kematian. 10.1 Pengertian Syok adalah suatu keadaan yang disebabkan gangguan sirkulasi darah kedalam jaringan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan dan tidak mampu mengeluarkan hasil metabolisme. (Taber, Ben-zion. 2012). Syok ditandai oleh perfusi jaringan tidak adekuat dan hipofungsi sel. (Mark A. Graber, 2003). Gejala klinik syok pada umumnya yaitu tekanan darah menurun, nadicepat dan lemah, pucat, keringat dingin, sianosis jari-jari, sesak nafas, penglihatan kabur, gelisah, dan akhirnya oliguria/ anuria. Syok obstetri adalah keadaan syok pada kasus obstetri yang kedalamannya tidak sesuai dengan perdarahan yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa syok yang terjadi karena kombinasi akibat perdarahan dan akibat nyeri. Syok adalah ketidakseimbangan antara volume darah yang beredar dan ketersediaan sistem vascular bed sehingga menyebabkan terjadinya: 1. Hipotensi 2. Penurunan atau pengurangan perfusi jaringan atau organ. 3. Hipoksia sel. 4. Perubahan metabolisme aerob menjadi anaerob. Dengan demikian, dapat terjadi kompensasi peningkatan detak jantung akibat menurunnya tekanan darah menuju jaringan. Penyebab terjadinya syok dalam kebidanan yang terbanyak adalah perdarahan, kemudian neurogenik, kardiogenik, endotoksi/ septik, anafilaktik, dan penyebab syok yang lain seperti emboli, komplikasi anestesi, dan kombinasi. Komplikasi akibat penanganan yang tidak adekuat dapat menyebabkan asidosis metabolic akibat metabolisme anaerob
Muhammadong 122 yang terjadi karena kekurangan oksigen. Hipoksia/iskemia yang lama pada hipofise dan ginjal dapat menyebabkan nekrosis hipofise dan gagal ginjal akut. Koangulasi intravaskular yang luas disebabkan oleh lepasnnya tromboplastin dari jaringan yang rusak. Kegagalan jantung akibat berkurangnya darah koroner. Dalam fase ini kematian mengancam. Transfusi darah saja tidak adekuat lagi dan jika penyembuhan fase akut terjadi, sisa-sisa penyembuhan akibat nekrosis ginjal dan/atau hipofise akan timbul. Penanganan syok terdiri atas 3 garis utama, yaitu pengembalian fungsi sirkulasi darah,dan oksigenasi, eradikasi infeksi, serta koreksi cairan dan elektrolit. Akibat kematian ibu karena perdarahan dalam kebidanan dapat mencapai 13,4% di USA. 10.2 Etiologi Peristiwa-peristiwa kebidanan yang menimbulkan syok antara lain : 1. Perdarahan Perdarahan merupakan penyebab utama syok dalam kebidanan. Perdarahan sampai syok antara lain : abortus, kehamilan ektopik, Mola hidatitosa, gangguan pelepasan plasenta, Atonia uteri, plasenta previa, rupture uteri. 2. Infeksi berat Infeksi berat sebagai penyebab syok masih sering ditemukan diantaranya adalah syok septik atau syok endotoksik dengan kuman terseringnya yaitu gram negatif. Peristiwa infeksi yang dapat menimbulkan syok adalah : abortus infeksiosus, febris puerperalis yang berat, piolenefritis. 3. Solusio plasenta Solusio plasenta yang berat selain karena perdarahan syok juga terjadi karena inversio uteri, syok terjadi disamping karena perdarahan juga bersifat neurogen karena tarikan kuat pada peritoneum, kedua ligamentum infudibulo pelvikum, serta ligamentum rotundum.
Muhammadong 123 4. Emboli air ketuban Syok karena emboli air ketuban berlangsung sangat mendadak dan berakhir dengan kematian. Penderita mendadak gelisah, sesak nafas, kejang dan meninggal. Emboli air ketuban terjadi pada his yang kuat dan ketuban telah pecah. Karena his yang kuat, air ketuban bersama mekonium, rambut lanugo dan vernik kaseosa masuk kedalam sinus-sinus dalam dinding uterus dan dibawa ke paru-paru. 5. Supine hipotensive syndrome Supine hipotensive syndrome terjadi karena adanya tekanan vena cava oleh rahim, sering terjadi pada kehamilan kembar, hidramnion dan kehamilan trimester akhir. 6. Abortus 7. Luka jalan lahir 8. Inversio uteri 9. Syok postular 10. Kolaps Vasomotor postpartum 11. Fakta predisposisi timbulnya syok 10.3 Tanda dan Gejala Syok 1. Nadi cepat (>100/menit) 2. Temperatur turun < 36℃ 3. Menurunnya tekanan darah (diastolic < 60 mmHg) 4. Pernapasan cepat (Respirasi >32/menit 5. Nafas dangkal dan kadang tidak teratur 6. Kesadaran penderita menurun 7. Kulit terasa dingin dan lembab 8. Pucat (terutama pada konjungtiva palpebra, telapak tangan, bibir) 9. Urine sedikit < 30 ml/jam
Muhammadong 124 10.4 Klasifikasi Syok 1. Syok Hemoragik Syok yang disebabkan oleh perdarahan yang banyak. Akibat perdarahan pada kehamilan muda, misalnya abortus, kehamilan ektopik dan penyakit trofoblas (molahidatidosa), perdarahan antepartum seperti plasenta previa, solusio plasenta, rupture uteri, dan perdarahan pasca persalinan karena atonia uteri dan laserasi jalan lahir. Pada syok yang ringan gejala-gejala dan tanda tidak jelas tetapi adanya syok yang ringan diketahui dengan “ tilt test” yaitu bila pasien didudukan terjadi hipotensi dan takikardia, sedangkan dalam keadaan terbaring tekanan darah dan frekuensi darah masih normal. Klasifikasi Perdarahan : Kelas Jumlah Perdarahan Gejala Klinis I 15% (ringan) Tekanan darah dan nadi normal Test Tilt (+) II 20 – 25 % (Sedang) Takikardi-Takipnea Teakanan Nadi < 30/menit Tekanan darah sistolik rendah Pengisian darah kapiler lambat III 30 – 35 % (Berat) Kulit dingin, berkerut, pucat Tekanan darah sangat rendah Gelisah Oliguria (30ml/jam) Asidosis Metabolic (pH < 7,5) IV 40 – 45%(Sangat berat) Hipertensi Berat Hanya nadi karotis yang teraba Syok ireversibel
Muhammadong 125 2. Syok Neurogenik Syok yang akan terjadi karena rasa sakit yang berat disebabkan oleh kehamilan ektopik yang terganggu, solusia plasenta, persalinan dengan forceps atau persalinan letak sungsang dimana pembukaan serviks belum lengkap, versi dalam yang kasar, firasat/tindakan crede, rupture uteri inversion uteri yang kuat, pengosongan uterus yang terlalu cepat (pecah ketuban pada polihidramnion), dan penurunan tekanan tiba-tiba daerah splanknik seperti pengangkatan tiba-tiba tumor ovarium yang sangat besar. 3. Syok Kardiogenik Syok yang terjadi karena kontraksi otot jantung yang tidak efektif yang disebabkan oleh infark otot jantung dan kegagalan jantung. Sering dijumpai pada penyakit-penyakit katup jantung. 4. Syok Endotoksik (Syok septik) Suatu gangguan menyeluruh pembuluh darah disebabkan oleh lepasnya toksin. Penyebab utama adalah infeksi bakteri gram negatif. Sering di jumpai pada abortus septik, infeksi pasca persalinan, sisa plasenta, sepsis puerperalis, dan pielonefritis akuta. 5. Syok Anafilaktik Syok yang terjadi akibat alergi/hipersensitif terhadap obat-obatan. Penyebab syok yang lain seperti emboli air ketuban, udara atau thrombus, komplikasi anastesi dan kombinasi seperti pada abortus inkompletus (Hemoragik dan Ensotoksin) dan kehamilan ektopik terganggu dan rupture uteri (Hemoragik dan Neurogenik). 10.5 Fase – Fase Syok Perempuan hamil normal mempunyai toleransi terhadap perdarahan 500-1000 ml pada waktu persalinan tandaa bahaya oleh kareena daya adap0tasi fisiologi kardiovaskuler dan hematologi selama kehamilan. Jika perdarahan terus berlanjut akan timbul fase-fase syok sebagai berikut :
Muhammadong 126 1. Fase Kompensasi Rangsangan/refleks simpatis : Respon pertama terhadap kehilangan darah adalah fase kontriksi pembuluh darah perifer untuk mempertahankan pasokan darah ke organ vital. Gejala klinik : pucat,takikardia, takipnea 2. Fase Dekompensasi Perdarahan lebih dari 1000 ml pada pasien normal ataukurang karena faktor-faktor yang ada Gejala klinik : sesuai gejala klinik di atas Terapi yang adekuat pada fase ini adalah memperbaiki keadaan dengan cepat tanpa meninggalkan efek samping 3. Fase Kerusakan Jaringan dan Bahaya Kematian Penanganan perdarahan yang tidak adekuat menyebabkan hipoksia jaringan yang lama dan kematian jaringan dengan akibat berikut ini : Asidosis metabolik disebabkan metabolisme anaerob yang terjadi karena kekurangan oksigen Dilatasi anterior akibat penumpukan hasil metabolisme selanjutnya menyebabkan penumpukan dan staknasi darah di kapila dan keluarnya cairan ke dalam jaringan ekstra vaskular, Koagulasi intravaskular yang luas (DIC) disebabkan lepasnya tromboplastin dari jaringan yang rusak Kegagalan jantung akibat berkuraangnya tekanan darah coroner Dalam fase ini kematian mengancam. Tranfusi darah saja tidak adekuat lagi dan jika penyembuhan dari fase akut terjadi, sisa-sisa penyembuhan akibat nekrosis ginjal atau hipofise akan tumbuh 10.6 Penanganan Prinsip pertama dalam penanganan kedaruratan medic dalam penanganan kedaruratan medic dalam kebidanan atau setiap kedaruratan adalah ABC yang terjadi atas menjaga fungsi saluran napas (Aiway). Pernapasan (Breathing) dan sirkulasi
Muhammadong 127 darah (Circulation). Jika situasi tersebut terjadi diluar rumah sakit, pasien harus dikirim ke rumah sakit segera dan aman. Prinsip dasar penanganan syok: Tujuan utama pengobatan syok adalah melakukan penanganan awal dan khusus untuk: Menstabilkan kondisi pasien Memperbaiki volume cairan sirkulasi darah Mengefisienkan system sirkulasi darah Setelah pasien stabil tentukan penyebab syok Penanganan awal 1. Mintalah bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan siapkan fasilitas tindakan gawat darurat. 2. Lakukan pemeriksaan secara cepat keadaan umum ibu dan jalan napas bebas. 3. Pantau tanda-tanda vital (nadi,tekanan darah, pernapasan, dan suhu tubuh). 4. Baringkan ibu tersebut dalam posisi miring untuk meminimalkan resiko terjadinya aspirasi jika ia muntah dan untuk memastikan jalan napasnya terbuka. 5. Jagalah ibu tersebut tetap hangat 6. Naikan kaki untuk menambah jumlah darah yang kembali ke jantung(jika memungkinkan tinggikan tempat tidur pada bagian kaki). Penanganan khusus 1. Mulailah infus intravena 2. Segera berikan cairan infus (garam fisiologik atau ringer laktat) awalnya dengan kecepatan 1 liter dalam 15-20 menit. 3. Berikan paling sedikit 2 liter cairan ini pada 1 jam pertama. Jumlah ini melebihi cairan yang dibutuhkan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang berjalan. 4. Setelah kehilangan cairan dikoreksi, pemberian cairan infus dipertahankan dalam kecepatan 1 liter per 6-8 jam. 5. Catatan: Infus dengan kecepatan yang lebih tinggi mungkin dibutuhkan dalam penatalaksanaan syok akibat
Muhammadong 128 perdarahan. Usahakan untuk mengganti 2-3 kali lipat jumlah cairan yang diperkirakan hilang. 6. Pantau terus tanda-tanda vital setiap 15 menit. 7. Lakukan katerisasi kandung kemih dan pantau cairan yang masuk dan jumlah urine yang keluar. Produksi urin harus diukur dan dicatat. 8. Berikan oksigen dengan kecepatan 6-8 liter per menit dengan sungkup atau kanula hidung. Penentuan dan penangan penyebab syok 1. Syok hemoragik a. Jika perdarahan hebat dicurigai sebagai penyebab syok: b. Ambil langkah-langkah secara berurutan untuk menghentikan perdarahan. c. Transfusi sesegera mungkin untuk menggantin kehilangan darah. Pada kasus syok karena perdarahan, transfusi dibutuhkan jka Hb <8 g% d. Tentukan penyebab perdarahan tatalaksana e. Nilai ulang keadaan ibu dalam waktu 20-30 menit setelah pemberian cairan, nilai ulang keadaan ibu tersebut untuk melihat tanda-tanda perbaikan. 2. Syok Septik Jika infeksi dicurigai menjadi penyebab syok: a. Ambil sampel secukupnya darah, urine, pus untuk kultur mikroba sebelum mulai terapi antibiotika, jika fasilitas memungkinkan. b. Antibiotika harus diperhatikan apabila diduga atau terdapat infeksi, misalnya pada kasus sepsis, syok septik, cedera intra abdominal, dan perforasi usul. Catatan jangan diberikan antibiotika melalui mulut pada ibu yang sedang shyok. c. Berikan kombinasi antibiotika untuk mengobati infeksi aerob dan anaerob dan teruskan sampai ibu tersebut bebas demam selama 48 jam. 1) Penisilin 2 juta unit atau ampicillin 2 gr I.V sampai 6 jam 2) Di tambah gentamicin 5 mg/KK.I setiap 24 jam 3) Di tambah metronidazole 500mg IV setiap 8 jam
Muhammadong 129 d. Nilai ulang keadaan ibu untuk menilai adanya tandatanda perbaikan. e. Jika trauma dicurigai sebagai penyebab syok, lakukan persiapan untuk tindakan pembedahan. f. Perubahan kondisi sepsis sulit diperkirakan, dalam waktu singkat dapat memburuk. Tanda – tanda bahwa kondisi pasien sudah stabil atau ada perbaikan adalah: 1. Tekanan darah mulai naik, sistolik mencapai 100 mmHg 2. Denyut jantung stabil 3. Kondisi maternal membaik, ekspresi ketakutan berkurang 4. Produksi urin bertambah. Diharapkan produksi urin paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 ml/jam. Penilaian ulang: a. Nilai ulang respon ibu terhadap pemeriksaan varian dalam waktu 30 menit untuk menentukan apakah kondisinya membaik. Tanda- tanda perbaikan meliputi: Nadi yang stabil (90 menit atau kurang) Peningkatan tekanan darah (100 mmHg atau lebih) Perbaikan status mental (Berkurangnya kebingunan dan kegelisahan) Meningkatnya jumlah urin (30 ml per jam atau lebih) b. Jika kondisi ibu tersebut membaik Sesuaikan kecepatan infuse menjadi 1 liter dalam 6 jam Teruskan penatalaksanaan untuk penyebab syok c. Jika kondisi ibu tersebut tidak membaik, berarti ia membutuhkan penanganan selanjutnya. 10.7 Komplikasi Syok yang tidak dapat segera diatasi akan merusak jaringan di berbagai organ, sehingga dapat menjadi komplikasi – komplikasi seperti gagal ginjal akut, nekrosis hipofise, dan koagulasi intravaskuler diseminata (DIC).
Muhammadong 130 10.8 Mortalitas Perdarahan 500 ml pada partus spontan dan 1000 ml pada seksio sesarea pada umumnya masih dapat ditoleransi. Perdarahan karena trauma dapat menyebabkan kematian ibu dalam kehamilan sebanyak 6-7 % dan solusio plasenta 1-5%. Di USA perdarahan obstetric menyebabkan angka kematian ibu (AKI) sebanyak 13,4 %.
Muhammadong 131 DAFTAR PUSTAKA Billington, Mury dan Mandy Sterenson. 2009. Kegawatan Dalam Kehamilan-Persalinan. Jakarta : EGC Feryanto, Achmad dan Fadlan. 2012. Asuhan Kebidanan Patologi. Jakarta : EGC Hanifa, dkk, 2006. Ilmu Kebidanan. YPSP. Jakarta Kemenkes, Buku Kesehatan Ibu dan Anak, Saifuddin, Abdul Bari,2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan dan Kesehatan Maternal dan Neonatal. YPSP. Jakarta. Sarwono. 2002. Pengantar Ilmu Acuan Nasional. Jakarta:Yayasan Pustaka. Sarwono. 1991. Pengantar Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Pustaka. Taber, Ben-zion. 2012. Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : EGC
Titi Purwitasari 132 BAB XI DISTOSIA BAHU Oleh Titi Purwitasari Handayani Distosia bahu adalah kegawatdaruratan obstetrik dan dapat menyebabkan trauma dan bahaya pada ibu dan bayi. (Santoso Budi Iman et al. 2017)Insidensi terjadinya distosia bahu sangat bervariasi, pada bayi berat lahir 2.500 gram s.d 4.000 gram sekitar 0,6 - 1,4 persen. Bayi dengan berat 4.000 gram sampai dengan 4.500 gram tanpa ada riwayat diabetes sekitar 5-9 persen. Sekitar 60% kejadian distosia bahu tidak dapat diduga sebelumnya. 11.1 Distosia Bahu 11.1.1 Definisi Distosia bahu merupakan suatu kondisi kegawatdaruratan obstetrik pada persalinan pervaginam yang terjadi karena kegagalan lahirnya bahu secara spontan setelah kepala janin lahir. (Akbar et al. 2017). Persalinan normal mekanisme persalinan yang terjadi ketika kepala janin akan dilahirkan bahu memasuki panggul dalam dengan posisi oblique. Bahu posterior memasuki panggul terlebih dahulu dan kepala melakukan putaran paksi luar. Bahu posterior berada di tulang sacrum atau disekitar spina ischiadica, sehingga memberikan ruang cukup bagi bahu anterior memasuki panggul melalui belakang os symphysis pubis atau berotasi dari foramen obturatorium. Jika bahu berada di posisi anteroposterior ketika hendak memasuki pintu atas panggul, maka bahu posterior dapat tertahan di promontorium dan bahu anterior tertahan os symphysis pubis. Berdasar hal tersebut pada saat kepala lahir tidak melakukan putaran paksi luar dan tertahan akibat tarikan bahu posterior dengan kepala disebut turtle sign).(Prawirohardjo Sarwono 2008).
Titi Purwitasari 133 11.1.2 Faktor Risiko Kasus Distosia bahu pada persalinan sampai saat ini belum ditemukan penyebab pasti. Penolong persalinan perlu mengidentifikasi faktor risiko dan mengomunikasikan akibat yang dapat terjadi pada ibu dan keluarga.(Baxley Elizabeth G and Gobbo Robert W 2004; Santoso Budi Iman et al. 2017). Faktor Risiko Maternal : Abnormal Anatomi Panggul Riwayat Diabetes pada kehamilan Postterm Riwayat distosia bahu pada persalinan sebelumnya Faktor Risiko Fetal : Suspect macrosomia Faktor Risiko yang berhubungan dengan persalinan : Persalinan dengan vacum atau forceps Persalinan Kala I memanjang Persalinan Kala II memanjang Kasus distosia bahu sebagian besar dapat terjadi pada janin dengan berat lahir normal dan hal ini tidak terduga.(Santoso Budi Iman et al. 2017). 11.1.3 Diagnosis Diagnosis atau tanda untuk memprediksi terjadinya distosia bahu adalah sebagai berikut :(Prawirohardjo Sarwono 2008; Santoso Budi Iman et al. 2017). 1. Kala II persalinan yang memanjang 2. Sebelum kepala lahir, kepala bayi seperti akan lahir saat ibu meneran kuat tetapi masuk lagi ke vagina saat kontraksi dan meneran berhenti. Pipi bayi menonjol keluar, seperti kura-kura yang menarik kepala kembali kecangkangnya. (Turtle‘s sign). 3. Setelah kepala bayi lahir, dagu bayi melekat di perineum. 4. Bahu tertahan, ketika melakukan traksi ke arah bawah tidak dapat dilahirkan
Titi Purwitasari 134 11.1.4 Prognosis Prognosis distosia bahu treadi pada matenal dan fetal diantarany sebagai berikut (Baxley Elizabeth G and Gobbo Robert W 2004; Santoso Budi Iman et al. 2017). 1. Dapat terjadi kompresi pada tali pusat kasus distosia bahu yang mengakibatkan asfiksia berat karena terhubung dengan lamanya persalinan kala II akibat distosia bahu. 2. Komplikasi distosia bahu pada ibu : a. Perdarahan Postpartum (11 %). b. Laserasi perineum derajat tiga dan empat dengan atau tanpa episiotomi (3,8%). c. Fistula rectovaginal. d. Pemisahan simfisis pubis dengan atau tanpa terjadinya femoral neuropahty . e. Ruptur uteri. 3. Komplikasi distosia bahu pada janin:(Santoso Budi Iman et al. 2017) a. Kerusakan (dengan pemulihan atau menetap) pleksus brakhialis (10%). b. ErbDuchenne Palsy : kerusakan nervus servikal V dan VI setinggi tulang belakang. c. Paralisis Klumpke’s : kerusakan ada syaraf servikal VIII dan Thorakal I yang mengakibatkan paralisis. d. Fraktur klavikula dan atau humerus (4 – 15%). e. Asfiksia dengan atau tanpa kerusakan syaraf permanen. f. Kematian janin. Hampir semua kelumpuhan sembuh dalam enam hingga 12 bulan, dengan kurang dari 10 persen mengakibatkan cedera permanen. 11.1.5 Penatalaksanaan Penatalaksaan distosia bahu diadaptasi dari AAFP (American Academy Family Physician)dengan tindakan yang disebut dengan yaitu sebagai berikut:(Baxley Elizabeth G and Gobbo Robert W 2004; Jenkins Louise 2014).
Titi Purwitasari 135 1. Help. Call for help Hal ini mengaktifkan protocol tindakan yang telah diatur sebelumnya atau meminta tenaga kesehatan yang tepat untuk merespons dengan peralatan yang diperlukan pertolongan persalinan.(Politi Salvatore et al. 2010a) 2. Evaluate for episiotomy Episiotomi harus dipertimbangkan selama pertolongan persalinan dengan distosia bahu distosia diperlukan untuk membuat lebih banyak ruang jika maneuver rotasi diperlukan. Episiotomi tidak menjamin keberhasilan pertolongan persalinan karena sebagian besar kasus distosia bahu dapat dikurangi dengan manuver McRoberts dan tekanan suprapubik.(Baxley Elizabeth G and Gobbo Robert W 2004) 3. Legs. McRobert’s position Prosedur ini melibatkan fleksi dan abduksi pinggul ibu, posisikan paha ibu sampai ke bagian paha ibu sampai ke perut ibu. Perawat dan anggota keluarga yang hadir ada saat persalinan dapat memberikan bantuan untuk manuver ini.(Jenkins Louise 2014) 4. Pressure. Suprapubic pressure Tangan asisten harus diletakkan suprapubik di atas bahu anterior janin, menerapkan tekanan untuk resusitasi cardiopulmonary dengan gaya gerakan kearah bawah dan lateral pada bahu posterior janin. Manuver ini harus dicoba sambil melanjutkan traksi ke bawah.(Hill and Cohen 2016) 5. Enter maneuvers. Perform rotational maneuvers Manuver ini mencoba untuk memanipulasi janin dengan memutar bahu anterior bahu menjadi bidang miring dan di bawah simfisis ibu. Manuver ini bisa sulit dilakukan ketika anterior bahu terjepit di bawah simfisis.(Baxley Elizabeth G and Gobbo Robert W 2004) 6. Remove the posterior arm Melepaskan lengan posterior dari jalan lahir sehingga memperpendek diameter bisacromial, memungkinkan janin untuk masuk kedalam sakrum, membebaskan impaksi. Siku kemudian harus ditekuk dan lengan bawah dilahirkan dalam gerakan menyapu dada anterior janin. Menggenggam
Titi Purwitasari 136 dan menarik langsung pada lengan janin dapat mematahkan humerus.(Baxley Elizabeth G and Gobbo Robert W 2004) 7. Roll the patient onto all four Pasien berganti posisi menjadi merangkak, perubahan posisi membntu gaya gravitasi sehingga memudahkan disimpaksi dari bahu janin.(Baxley Elizabeth G and Gobbo Robert W 2004) Penatalaksanaan yang bisa dilakukan dibagi menjadi dua (Setyarini Didien Eka and Suprapti 2016; Akbar et al. 2017) a. Penatalaksanaan Umum a) Meminta pertolonga atau bantuan pada keluarga, bidan atau tenaga kesehatan lainnya, untuk menolong persalinan dan mempersiapkan resusitasi neonatus. b) Episiotomi dilakukan dengan tujuan memperluas jalan lahir yang membantu impaksi bahu pada proses persalinan. c) Manuver Mc Robert, yang dilakukan dengan mengkondisikan ibu untuk menekuk kedua tungkainya dan lututnya ke arah dada ibu. Manuver Mc Robert memiliki tingkat keberhasilan 90% dan tingkat komplikasi yang rendah. d) Manuver Massanti dengan meminta pertolongan tenaga kesehatan lainnya melakukan tekanan ringan secara simultan ke arah lateral bawah pada suprasimfisis. Kemudian penolong melakukan tarikan biparietal kearah aksial (searah tulang punggung bayi)
Titi Purwitasari 137 Gambar 7. Manuver Mc Robert dan Tekanan Suprapubic (Sumber : Baxley Elizabeth G and Gobbo Robert W 2004) b. Penataaksanaan secara khusus Apabila bahu masih belum dapat dilahirkan, Tindakan lainnya yang bisa digunakan untuk melakukan pertolongan persalinan pada kasus distosia bahu : a) Manuver Rubin (1964). Bahu yang paling mudah dijangka ditekan oleh tangan penolong kea rah depan atau mendorongnya ke permukaan dada bahu anterior dengan sudut 45 derajat. Hal ini menyebabkan abduksi kedua bahu kemudian diameter bahu mengecil dan impaksi bahu depan bebas.
Titi Purwitasari 138 Gambar 8. Manuver Rubin (Sumber : Setyarini Didien Eka and Suprapti, 2016) b) Manuver Woods Corkscrew (1943) Penolong melakukan rotasi pada jalan lahir dengan melakukan dorongan pada bahu anterior atau posterior menjadi bahu posterior dirotasikan 180 derajat dari posisi semula. Rotasikan bahu ke diameter oblik untuk membebaskan distosia bahu. Gambar 9. Manuver Woods Cokscrew (Sumber : Setyarini Didien Eka and Suprapti, 2016)
Titi Purwitasari 139 c) Teknik Pelahiran Bahu Posterior / Manuver Schwartz Dickson : Penolong memasukkan tangan ke jalan lahir untuk meraih humerus dari bahu posterior. Selanjutnya penolong menjaga lengan untuk tetap fleksi pada siku, pindahkan lengan ke arah dada. Kemudian meraih pergelangan tangan bayi dan tarik lurus ke arah vagina. Manuver Schwartz Dickson memberikan ruangan untuk bahu anterior agar dapat melewati bawah simfisis pubis. Gambar 10. Pelahiran Bahu Posterior (Sumber : Setyarini Didien Eka and Suprapti, 2016) d) Posisi Merangkak (Manuver Gaskin’s /All-Fours), Penolong meminta ibu untuk mengganti posisinya menjadi posisi merangkak, dan selanjutnya penolong melakukan tarikan perlahan pada bahu anterior ke arah atas dengan hati-hati
Titi Purwitasari 140 DAFTAR PUSTAKA Akbar, H., Arif, Y. and Prabowo, R. 2017. KEHAMILAN ATERM DENGAN DISTOSIA BAHU. Baxley Elizabeth G and Gobbo Robert W 2004. Shoulder Dystocia - American Family Physician. Available at: www.aafp.org/afp. Hill, M.G. and Cohen, W.R. 2016. Shoulder dystocia: Prediction and management. Women’s Health 12(2), pp. 251–261. doi: 10.2217/whe.15.103. Jenkins Louise 2014. Managing shoulder dystocia: Understanding and applying RCOG guidance. British Journal Of Midwifery 2(5) Politi Salvatore, D’Emidio Laura, Cignini Pietro, Maurizio Giorlandino and Giorlandino Claudio 2010a. Shoulder dystocia: an Evidence-Based approach. Journal of Prenatal Medicine 4(3), pp. 35–42. Politi Salvatore, D’Emidio Laura, Cignini Pietro, Maurizio Giorlandino and Giorlandino Claudio 2010b. Shoulder dystocia: an Evidence-Based approach. Journal of Prenatal Medicine 4(3), pp. 35–42. Prawirohardjo Sarwono 2008. Ilmu Kebidanan. keempat. Saifuddin Abdul Bari, Rachimhadhi Trijatmo, and Wiknjosastro Gulardi H eds. Jakarta: PT Bina Pustaka. Santoso Budi Iman et al. 2017. Asuhan Persalinan Normal . Adriaansz ed. Jakarta: JNPKKR. Setyarini Didien Eka and Suprapti 2016. Praktikum Asuhan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal.