The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by shunnarirescue, 2023-01-09 19:59:19

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH_2

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH_2

masih bersifat kontrofesial di Indonesia. Metadon merupakan
opiat sintetik yang dipakai sebagai pengganti heroin secara
oral sehingga mengurangi kompikasi medik.
B. Program Antagonis Opiat
Program antagonis opiat bertujuan untuk mencegah keadaan
craving terhadap efek heroin. Program opium diberikan satu
kali sehari dalam dosis tunggal 50 mg per oral selama 3 – 6
bulan.
C. Program Orientasi Psikososial
Program ini menitikberatkan pada kegiatan terapi psikologis
serta meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal
pasien. Contoh: cognitive behaviour therapy, psycodrama, relaps
prevention training dan supportive expressive psychotherapy.
D. Terapi Komunitas
Merupakan program rehabilitasi terstruktur yang dilakukan
pada sekelompok pasien penyalahguna NAPZA. Terapi
dipimpin oleh mantan pengguna NAPZA yang telah memenuhi
syarat untuk menjadi konselor. Terapi ini berfungsi untuk
mengatasi keinginan kembali memakai NAPZA dan mencegah
relap.
E. Program Narkotik Anonymous
Merupakan salah satu metoda yang dipakai untuk mengatasi
kecanduan narkotika melalui tahapan 12 langkah pemulihan.

4.6 Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
Pada pengkajian pasien dengan ketergantungan NAPZA,
perawat perlu menggunakan berbagai macam teknik baik data
subjektif dengan menanyakan kepada pasien langsung maupun
keluarganya. Data objektif dapat diperoleh dengan
megobservasi kondisi klinis dan perilaku pasien. Hal-hal yang
harus dikaji meliputi identitas diri pasien, alasan masuk Rumah
Sakit, riwayat masalah penggunaan zat, faktor penyebab
kambuh, mekanisme kopiing, riwayat penyakit, riwayat
pengobatan, data psikososial, pengetahuan tentang NAPZA,
kondisi fsik dan status mental pasien. Perawat juga dapat

Siti Na’imah 41

mengkaji keparahan adiksi pasien dengan menggunakan
instrumen pengkajian ASI (Adiction Severity Index).
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien
dengan ketergantungan NAPZA berdasarkan Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Gangguan pola tidur
2. Gangguan Nutrisi
3. Ketidakberdayaan
C. Intervensi
1. Gangguan pola tidur

Tujuan:
a) Klien melaporkan perbaikan kualitas tidur, misalnya

jam berkurang, tidur bertambah dan klien dapat tidur
pada jam yang ditentukan.
b) Klien rnengungkapkan peningkatan kesegaran tubuh.
Intervensi:
a) Pantau pola tidur klien
b) Kurangi tidur seharian untuk rnendukung tidur lebih
tenang tidur malam hari
c) Dorong beberapa aktifitas fisik ringan selama siang
hari. Pastikan klien berhenti aktifitas beberapa jam
sebelurn tidur.
d) Bantu klien dengan tindakan yang dapat mendukung
tidur, misalnya minum susu hangat, mandi air hangat
atau pijat punggung.
e) Lakukan latihan relaksasi dengan musik yang lembut
sebelum tidur.
f) Batasi konsumsi kafein seperti teh, kopi. dan minuman
bersoda.
g) Hindari mengganggu tidur klien bila memungkinkan
walaupun untuk pemberian obat
h) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat tidur.
2. Gangguan Nutrisi
Tujuan:
a) Adanya peningkatan status nutrisi
b) Nilai laboratorium yang berhubungan dengan status
nutrisi dalam batas normal (misalnya hemoglobin,

Siti Na’imah 42

albumin, SGOT, SGPT, dan lain-lain) serta tidak ada
tanda malnutrisi.
c) Menunjukan perubahan gaya hidup untuk
meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang
ideal.
Intervensi:
a) Monitor intake dan output klien
b) Timbang berat badan klien setiap hari
c) Diskusikan dengan klien makanan yang disukai dan

tidak di sukai oleh klien,
d) Pastikan tidak menerima makanan dalam porsi kecil

dan sering,
e) Berikan suplemen vitamin dan meneral sesuai

dengan terapi pengobatan.
f) Jika memungkinkan, anjurkan anggota keluarga atau

orang yang berarti bagi klien untuk membawa
makanan kesukaan klien.
g) Edukasikan tentang nutrisi seimbang.
h) Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menetapkan
jumlah kalori yang dibutuhkan dan menyediakan
makanan klien.
3. Ketidakberdayaan
Tujuan:
a) Klien mengungkapkan kalau dirinya memerlukan
pengobatan atau perawatandan menyadari tidak
mampu mengontrol adiksinya tanpa bantuan pihak
lain.
b) Klien akan aktif berpatisifasi dalam program
c) Klien menunjukan gaya hidup sehat sebagai usaha
untuk meningkatkan dan mempertahankan status
kesehatanya.
Intervensi:
a) Kaji sumbe dukungan yan dimiliki oleh klien
b) Bantu klien mengenal masalahnya, mengidentifikasi
tujuan berubah, mendiskusikan solusi altematif,
membantu memilih altematif yang tepat, serta
rnendukung keputusan yang dipilih.
c) Diskusikan bantuan yang diperlukan oleh klien.

Siti Na’imah 43

d) Diskusikan bagaimana dulu obat mempengaruhi
pekerjaan, kehidupan, dan hubungan interpesonal
klien.

e) Bantu klien untuk mempelajari aktifitas yang dapat
meningkatkan status kesehatanya seperti diet yang
seimbang, istirahat adekuat, akupuntur, olah raga,
menekuni hobi dan lain-lain.

f) Bantu klien untuk memperkuat aspek spritualnya

Siti Na’imah 44

DAFTAR PUSTAKA

Thoriq Maulana et all. Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Lap Akhir.
2015;1(201310200311137):78–9.

Badan Narkotika Nasional. Awas, Narkoba Masuk Desa. Vol. 1. 2018.
1-6 p.

DEPKES RI. Buku Pedoman Praktis Mengenai Penyalahgunaan
NAPZA Bagi Petugas Puskesmas. 2014;10–2.

RS Prof. HB. Saanin Padang. Asuhan Keperawatan Napza Yang
Menjalani Rehabilitasi. 2016. 14-16 p.

Siti Na’imah 45

BAB 5
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN
YANG MENGALAMI BENCANA

Oleh Arif Mulyadi

5.1 Pendahuluan

Bencana secara umum dikategorikan sesuai dengan
penyebabnya, seperti penyebab alamiah, manusia, teknologi
ataupun konflik. World Health Organization (WHO) mendefinisikan
bencana sebagai “suatu gangguan yang berdampak serius bagi
fungsi komunitas atau masyarakat yang menimbulkan kehilangan
dan kerugian besar dari segi manusia, materi, ekonomi, maupun
lingkungan, dimana gangguan tersebut melebihi kemampuan
komunitas atau masyarakat untuk mengatasinya dengan
menggunakan sumber dayanya sendiri” (Kurniati A, dkk., 2018).
Dalam pelayanan kesehatan bencana juga disefinisikan sebagai
“jumlah pasien yang ada dalam waktu tertentu, melebihi kapasitas
unit gawat darurat untuk memberikan pelayanan dan
mengakibatkan dibutuhkannya penambahan sumber daya manusia
dan alat/barang dari luar unit gawat darurat tersebut (WHO,
2010)

Indonesia termasuk negara yang sangat rentan terhadap
kemungkinan terjadinya bencana karena terletak di area lempeng
tektonik dan rangkaian gunung api yang aktif, memiliki jumlah
penduduk yang banyak dan perkembangan industri yang
menggunakan teknologi tinggi. Dalam pendekatan menghadapi
bencana, Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 24 tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana. Menurut undang-undang
tersebut bencana dinyatakan sebagai rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan baik faktor alam dan atau faktor non
alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis (Kurniati A, dkk., 2018).

Arif Mulyadi 46

Tahapan penaggulangan bencana menurut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (2011) terdiri dari tahap pencegahan,
tahap tanggap darurat dan tahap rehabilitasi rekonstruksi.
Kegiatan penaggulangan bencana dilakukan sesuai dengan tahapan
tersebut dengan penekanan pada pencegahan bencana. Tahapan
dan kegiatan penanganan bencana meliputi:
1. Tahap pencegahan bencana, merupakan kegiatan yang

dilakukan untuk menghilangkan dan atau mengurangi ancaman
bencana. Kegiatan ini dalam UU Bencana dibagi dalam;

pencegahan dan mitigasi, serta kesiapsiagaan bencana.
2. Tahap tanggap darurat, merupakan kegiatan yang dilakukan

dengan segera saat bencana untuk mengurangi dampak bencana
antara lain; evakuasi, penyelamatan, pengobatan korban
bencana, pengungsian serta pemulihan sarana dan prasarana.
3. Tahap rehabilitasi, merupakan kegiatan rehabilitasi untuk
pemulihan semua aspek pelayanan dan kondisi masyarakat
serta rekonstruksi untuk pembangunan kembali sarana dan
prasarana agar dapat berfungsi kembali.

Setelah Terjadi Situasi Tidak
Bancana Terjadi Bancana

Saat Terjadi Situasi Terdapat
Bancana Potensi Bancana

Gambar 5.1 : Siklus Manajemen Bencana

(Sumber : Nurjanah, dkk (2011))

5.2 Keperawatan Bencana

Perawat sebagai tim kesehatan dalam situasi
penanggulangan bencana memiliki peran yang besar untuk
mengurangi risiko bencana. Perawat memiliki kemampuan dalam
memberikan pelayanan penatalaksanaan bencana pada semua
tahap bencana melalui kegiatan keperawatan, pelaksanaan

Arif Mulyadi 47

program pemerintah, dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait
penanganan bencana. Dalam setiap tahap kegiatan
penatalaksanaan bencana ini, perawat melakukan kegiatan
keperawatan bencana melalui perannya sebagai pemberi asuhan
keperawatan, educator kesiapsiagaan bencana, koordinator dan
pengembang program penanganan bencana serta sebagai peneliti
(Kurniati A, dkk., 2018).

Kegiatan edukasi terkait kesiapsiagaan bencana dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat antara lain tentang;
1. Peningkatan kewaspadaan dan pemahaman deteksi dini

bencana,
2. Persiapan evakuasi jika ada peringatan bencana,
3. Persiapan diri dan keluarga untuk barang cadangan; air minum,

makanan dan cara mengatasi masalah kesehatan dalam kondisi
bencana,
4. Persiapan diri dan keluarga untuk memiliki ketahanan kembali
secara optimal setelah bencana (ketahanan individu dan
keluarga menghadapi bencana).

Pada tahap respons tanggap darurat bencana, kegiatan
perawat lebih berpusat pada pemberian asuhan terhadap pasien
yang mengalami cedera fisik, penyakit dan respons emosional
terhadap kejadian tersebut. Waktu tanggap yang cepat (response
time) merupakan prinsip/faktor penting dikarenakan banyaknya
nyawa yang dapat diselamatkan lewat triase bencana dan
pembuatan keputusan cepat yang memungkinkan diberikannya
penanganan darurat pada pasien dengan kondisi atau cedera paling
parah/kritis. Prinsip melakukan penanganan terbaik terhadap
sebanyak-banyaknya korban bencana pada kondisi sumber daya
terbatas merupakan hal yang sering terjadi dalam keperawatan
saat menghadapi kejadian korban massal, bencana, atau kejadian
khusus berskala besar lainnya.

Pada tahap rehabilitasi, pemulihan individu dan keluarga
dapat dilakukan dengan bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan
fisik (makanan, minuman, perumahan) dan pemulihan kesehatan
individu yang sakit, dilanjutkan dengan pemulihan kondisi
psikologis agar mereka dapat kembali ke kehidupan normal
sebelum terjadi bencana. Pada daerah bencana sangat penting

Arif Mulyadi 48

diperhatikan kondisi lingkungan untuk mencegah terjadinya
wabah penyakit pasca bencana akibat sanitasi yang buruk.
Kelompok berisiko, seperti; anak-anak, lansia, orang dengan
kebutuhan khusus, ibu hamil dan penderita penyakit menahun
perlu mendapat pelayanan khusus agar kebutuhan spesifik mereka
dapat segera terpenuhi dengan lebih baik saat pemulihan pasca
bencana (Depkes RI, 2007).

5.3 Kompetensi Keperawatan Bencana

Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan bencana
dapat melakukan program-program untuk meningkatkan

ketahanan masyarakat (community resilience) terhadap bencana.
Community resilience dapat dijabarkan sebagai kapasitas
masyarakat/sistem untuk mengatasi gangguan, bergerak dinamis
terhadap perubahan, dan mempertahankan semua fungsi penting,

struktur, identitas, dan masukan. Ketahanan masyarakat dalam
menghadapi bencana adalah kemampuan dari masyarakat/institusi
untuk mengatasi gangguan yang terjadi akibat bencana, melakukan
adaptasi terhadap permasalahan dan keterbatasan yang ada dan
tetap mempertahankan fungsi sosial, spiritual, dan ekonomi

masyarakat/institusi tersebut. Ketahanan masyarakat terhadap
bencana juga berdampak pada semakin meningkatnya kemampuan
masyarakat/institusi dalam menghadapi bencana setiap saat
(Plough A, et al., 2013).

Peran perawat harus selalu dilakukan dalam kondisi tidak
terjadi bencana, maka penekanan dilakukan untuk edukasi dan

pengembangan program/kebiajakan yang tepat. Ketika terjadi
bencana perawat memiliki kemampuan melakukan asuhan

keperawatan kepada individu, keluarga, kelompok berisiko, dan
masyarakat di daerah bencana serta melakukan koordinasi dengan
tim kesehatan atau pihak terkait lainnya. Pada tahap rehabilitasi
peran perawat ditujukan untuk mampu

mengembalikan/meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat di
daerah terkena bencana.
Kompetensi perawat bencana di Indonesia telah

dikembangkan berdasarkan kompetensi perawat bencana menurut

Arif Mulyadi 49

International Council of Nursing (ICN, 2009), yang terdiri dari
empat pilar:
1. Kemampuan melakukan tindakan pencegahan/mitigasi,
2. Kemampuan kesiapsiagaan,
3. Kemampuan melakukan pelayanan saat tanggap darurat, dan
4. Kemampuan melakukan rehabilitasi pada individu, keluarga dan

masyarakat.
Keempat pilar kompetensi perawat bencana menurut ICN

selanjutnya dijelaskan pada Gambar 5.2 di bawah ini.

Gambar 5.2 : Framework kompetensi perawat bencana menurut
ICN

(Sumber : Kurniati A, dkk (2011))

Keempat pilar kompetensi menurut ICN tersebut
selanjutnya dalam konteks Standar Kompetensi Perawat Indonesia
diintegrasikan dengan aspek:
1. Etika, legal dan peka budaya
2. Praktik asuhan keperawatan, dan
3. Profesionalisme yang sesuai dengan aturan Indonesia

5.3 Asuhan Keperawatan Pasien yang Mengalami
Bencana

Dampak fisik dari peristiwa bencana dapat bervariasi
tergantung pada jenis bencana, misalnya; kecelakaan transportasi,
bahan peledak, angin topan, atau banjir dapat mengakibatkan

Arif Mulyadi 50

trauma multipel, luka bakar dan cedera terlindas. Cedera akibat
bahan kimia atau infeksi yang muncul kembali (misalnya, pandemi
influenza) yang menyebabkan infeksi massal juga dapat
mengakibatkan berbagai masalah fisik tergantung pada agen
penyebabnya.

Peristiwa bencana juga dapat memperburuk kondisi
penyakit kronis seperti masalah jantung atau paru-paru, dan/atau

memicu kondisi darurat seperti kelahiran prematur, kejang, dan
kondisi kejiwaan, gangguan panik, dan pikiran untuk bunuh diri.
Oleh karena itu asuhan keperawatan yang holistik dan
komprehensif diperlukan guna membantu korban bencana
beradaptasi dengan situasi yang baru dan menjalani pemulihan
pasca bencana.
5.3.1 Pengkajian Pasien

Data bergantung pada cedera spesifik yang terjadi atau
adanya kondisi kronis yang dialami sebelumnya.
Aktifitas/Istirahat

Keluhan yang Gangguan tidur, mimpi yang berulang
mungkin tentang bencana yang dialami, mimpi
dilaporkan: buruk, kesulitan untuk tetap tertidur;
hipersomnia (pikiran yang mengganggu,
kilas balik)

Kelelahan, kelesuan

Sistem Sirkulasi

Keluhan yang Palpitasi atau takikardia
mungkin
dilaporkan: Berkeringat atau kedinginan/menggigil

Tanda yang Tangan dingin dan lembab

mungkin tampak Peningkatan tekanan darah
(kecemasan), penurunan tekanan darah
(dehidrasi/hipovolemi)

Arif Mulyadi 51

Integritas Ego Kekhawatiran berlebihan tentang
Keluhan yang peristiwa, menghindari keadaan/lokasi
mungkin yang terkait dengan bencana.
dilaporkan: Rasa gejolak batin
Mulut kering, sakit perut, benjolan di
Tanda yang tenggorokan
mungkin tampak Ancaman terhadap integritas fisik atau
konsep diri
Eliminasi Mempertanyakan tujuan / pengabaian
Tuhan
Keluhan yang
mungkin Ekspresi wajah sesuai dengan tingkat
dilaporkan: kecemasan (alis berkerut, wajah tegang,
Makanan/Cairan kedutan kelopak mata)

Keluhan yang Sering buang air kecil; diare
mungkin
dilaporkan: Kurangnya minat pada makanan;
perubahan pola makan.
Neurosensori Mual, muntah

Keluhan yang Antisipasi kemalangan/musibah untuk
mungkin diri sendiri atau orang lain.
dilaporkan: Tidak ada gangguan mental
Ketegangan motorik, gugup, gemetar,
Tanda yang mudah terkejut
mungkin tampak Perasaan khawatir, melamun
Kewaspadaan berlebihan, kesulitan
berkonsentrasi, cepat marah, kurang
sabar

Arif Mulyadi 52

Nyeri/Ketidaknyamanan

Keluhan yang Nyeri otot, sakit kepala, nyeri dada
mungkin (selain nyeri yang berhubungan dengan
dilaporkan: cedera fisik)
Pernapasan

Keluhan yang Sesak nafas, seperti tercekik
mungkin
dilaporkan:

Tanda yang Peningkatan frekuensi pernapasan
mungkin tampak

Seksualitas

Keluhan yang Penurunan libido
mungkin
dilaporkan:
Interaksi sosial

Keluhan yang Kepedulian terhadap kesejahteraan
mungkin orang lain hidup diri
dilaporkan:
Mempertanyakan
tindakan/kelangsungan
sendiri

Kesulitan berpartisipasi dalam
lingkungan sosial, keengganan untuk
terlibat dalam kegiatan/pekerjaan

Mengajar/Belajar

Pertimbangan Tergantung pada situasi individu,
rencana tingkat dukungan dan sumber daya yang
pemulangan tersedia.
(Discharge

planning):

Pemeriksaan penunjang
Bergantung pada agen pencedera fisik dan ketersediaan

sumber daya dan sarana untuk dilakukan pemeriksaan penunjang
Prioritas Keperawatan
1. Mencegah/mengobati kondisi yang mengancan jiwa,

Arif Mulyadi 53

2. Mencegah cedera/penyebaran infeksi lebih lanjut,
3. Mendukung upaya untuk mengatasi situasi,
4. Memfasilitasi integrasi/koordinasi kegiatan,
5. Membantu masyarakat dalam mempersiapkan kejadian yang

akan datang.

Tujuan Pemulangan/Pelepasan yang dapat
1. Bebas dari komplikasi yang dapat dicegah,
2. Kecemasan/ketakutan berkurang ke tingkat

dikendalikan,
3. Dapat mengatasi situasi secara efektif,
4. Dapat merencanakan kebutuhan setelah pulang,
5. Kesiapsiagaan masyarakat meningkat.

5.3.3 Diagnosis dan Intervensi Keperawatan
DIAGNOSIS KEPERAWATAN: Cedera, risiko/aktual
(trauma, keracunan)
Faktor risiko
Biologis (tingkat imunitas, keberadaan mikroorganisme)
Kontak dengan polutan kimia, agen beracun
Paparan api/bahan yang mudah terbakar
Gaya akselerasi/deselerasi
Kontaminasi makanan atau air
KRITERIA HASIL/EVALUASI: Pasien/Perawat akan;
Status Keamanan: Cedera Fisik (NOC)
Meminimalkan/mencegah cedera lebih lanjut
Perilaku Keselamatan: Pribadi (NOC)
Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi/kebutuhan
khusus.
Mengidentifikasi intervensi yang sesuai dengan situasi.
Menunjukkan perilaku yang diperlukan untuk melindungi
diri dari cedera lebih lanjut.
Menerima tanggung jawab untuk perawatan sendiri dan
tindak lanjutnya

Arif Mulyadi 54

INTERVENSI

Triase: Bencana (NIC)
Independen
Berikan informasi tentang kedaruratan, kecelakaan atau
bencana
Siapkan area dan peralatan, periksa dan isi kembalin

persediaan barang/bahan
Berikan bantuan dalam memprioritaskan pengobatan

pasien. Lakukan tindakan dan pemantauan pada cedera
yang mengancam jiwa.
Tentukan kebutuhan primer/ keluhan spesifik pasien.
Periksa catatan peringatan medis.
Dapatkan informasi medis tambahan termasuk kondisi yang
sudah ada sebelumnya, alergi dan pengobatan saat ini.
Lakukan penilaian yang lebih mendalam selama waktu
dan kondisi memungkinkan.
Tentukan tingkat perkembangan pasien, kemampuan
pengambilan keputusan, tingkat pengetahuan dan
kompetensi.
Evaluasi respon individu terhadap situasi, mood,
kemampuan koping, dan kerentanan pribadi

Kolaboratif
Kerjasama dengan lembaga lain (misalnya: penegak hukum,

pemadam kebakaran, palang merah, ambulans/EMT)
sesuai indikasi, berdasarkan peran yang diatur
sebelumnya saat berpartisipasi dalam rencana
penanggulangan bencana komunitas.
Identifikasi/kelola situasi yang mengancam jiwa (gangguan
jalan napas, perdarahan, penurunan kesadaran)

Triase: Perawatan Darurat (NIC)
Lakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi

Arif Mulyadi 55

Berikan intervensi terapeutik yang sesuai secara individual
(lihat keluhan spesifik; misalnya luka bakar, fraktur,
trauma kepala, infark miokard, COPD, bantuan nafas
dengan ventilator)

Berikan instruksi tertulis/daftar sumber daya yang ada
untuk dilakukan tinjauan

Identifikasi sumber daya masyarakat termasuk tempat
tinggal, tetangga/ teman, dan lembaga pemerintah yang
tersedia untuk memberikan bantuan

Rujuk ke pihak lain sesuai indikasi (mis.,
konseling/psikiater)

DIAGNOSIS KEPERAWATAN: Infeksi, risiko

Faktor risiko

Paparan lingkungan

Kekebalan didapat yang tidak adekuat

Trauma/kerusakan jaringan, prosedur invasif

Kurangnya pengetahuan untuk menghindari paparan
patogen

KRITERIA HASIL/ EVALUASI: Pasien akan;

Pengendalian Risiko (NOC)

Mengungkapkan pemahaman tentang paparan
individu/faktor risiko infeksi

Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/mengurangi
risiko infeksi

Status Infeksi (NOC)

Bebas dari/menunjukkan resolusi infeksi

Arif Mulyadi 56

INTERVENSI

Pengendalian infeksi (NIC)
Independen
Catat faktor risiko terjadinya infeksi (mis., paparan lingkungan,

kelemahan fisik, cedera traumatik/kehilangan integritas kulit.
Observasi tanda dan gejala agen infeksi dan sepsis (infeksi

sistemik); demam, menggigil, diaforesis, perubahan tingkat
kesadaran, kultur darah positif. selidiki adanya ruam.
Ajarkan dan demonstrasikan teknik cuci tangan yang benar.
Berikan tindakan pencegahan/isolasi infeksi sesuai indikasi (mis.,
penggunaan gaun/sarung tangan/pelindung wajah atau kaca
mata pelindung; masker/filter pernapasan; ruang bertekanan
negatif).
Kelompokkan individu dengan diagnosis/paparan yang sama
sesuai dengan sumber daya yang dibutuhkan
Pantau pengunjung/petugas untuk mencegah penularan penyakit
Kaji kebuthan nutrisi individu, program latihan, dan kebutuhan
istirahat
Instruksikan pasien/orang terdekat tentang teknik untuk
mencegah penyebaran infeksi, melindungi integritas kulit, dan
merawat luka/lesi.
Tekankan perlunya minum antibiotik sesuai petunjuk (mis., dosis
dan lama terapi).
Melibatkan masyarakat dalam program pendidikan yang
diarahkan untuk meningkatkan kesadaran akan
penyebaran/pencegahan penyakit menular.

Kolaboratif
Dapatkan spesimen yang sesuai untuk observasi dan uji

kultur/sensitivitas (misalnya, usap hidung/tenggorokan,
sputum, darah, urin, dan feses).
Bantu dengan prosedur medis (mis., insisi dan drainase abses,
bronkoskopi, perawatan luka) sesuai indikasi.
Berikan/pantau program pengobatan (mis., antimikroba,
antibiotik topikal) dan catat respons pasien.
Berikan perlindungan pasif (misalnya, imunoglobulin),
perlindungan aktif (misalnya, vaksinasi), atau kemoprofilaksis
yang sesuai.
Peringatkan otoritas yang tepat untuk keberadaan agen infeksi
tertentu dan jumlah kasus.

Arif Mulyadi 57

DIAGNOSIS KEPERAWATAN: Kecemasan
(panik)/Ketakutan

Mungkin berhubungan dengan

Krisis situasional; paparan toksin

Ancaman nyata atau yang dirasakan terhadap
kesejahteraan fisik; ancaman kematian

Kekhawatiran/ketakutan interpersonal

Ketidaksadaran terhadap konflik tentang nilai-nilai
(keyakinan)

Kebutuhan yang belum terpenuhi

Mungkin dibuktikan dengan

Perasaan khawatir dan gelisah yang terus-menerus

Kewaspadaan; atau kurangnya kesadaran akan lingkungan
sekitar

Stimulasi simpatis; gerakan asing (gelisah, menyeret kaki,
tangan/lengan gemetar)

Fokus pada diri sendiri; terlalu bersemangat

Fungsi yang terganggu; ekspresi verbal tidak memiliki
kendali/pengaruh atas situasi, hasil atau perawatan diri

KRITERIA HASIL/ EVALUASI: Pasien akan;

Mengontrol Kecemasan/Ketakutan (NOC)

Mengakui dan mendiskusikan perasaan

Mengungkapkan pengetahuan secara akurat tentang situasi
saat ini dan potensi hasilnya

Mengidentifikasi cara sehat untuk berhasil mengatasi stres

Keluhan kecemasan berkurang ke tingkat yang dapat
dikelola

Menunjukkan keterampilan pemecahan masalah yang
sesuai untuk situasi individu

Menggunakan sumber daya/support systems secara efektif

Arif Mulyadi 58

INTERVENSI

Intervensi Krisis (NIC)
Independen
Tentukan tingkat kecemasan/ketakutan yang ada, perilaku

terkait (misalnya, tawa, menangis, tenang atau agitasi,
perilaku bersemangat/histeris, ekspresi tidak percaya
dan/atau menyalahkan diri sendiri), dan realitas
ancaman yang dirasakan.
Perhatikan tingkat/derajat disorganisasi.
Pertahankan dan hormati batas ruang pribadi pasien
(sekitar 1 meter di sekitar pasien).
Ciptakan suasana yang tenang. pertahankan sikap tenang
dan percaya diri. bicaralah dengan nada datar
menggunakan kalimat pendek dan sederhana.
Bina hubungan saling percaya dengan pasien.
Identifikasi apakah insiden/bencana telah mengaktifkan
kembali situasi yang sudah ada sebelumnya
(fisik/psikologis).
Tentukan adanya gejala fisik, (misalnya, mati rasa, sakit
kepala, sesak di dada, mual, dan jantung berdebar)
Identifikasi respons psikologis (misalnya, kemarahan, syok,
kecemasan akut, panik, kebingungan, penyangkalan).
catat perubahan emosional.
Diskusikan dengan pasien tentang apa yang menyebabkan
kecemasan/panik.
Bantu pasien untuk mengatasi kebingungan yang dialami.
Berbagi persepsi dengan pasien
Kaji bersama pasien/orang terdekat tentang cara pasien
mengatasi kejadian yang menimbulkan kecemasan
sebelum mengalami trauma
Libatkan pasien dalam mempelajari perilaku koping baru
(misalnya, relaksasi otot progresif, mengalihkan pikiran)
Tunjukkan/dorong penggunaan teknik untuk
mengurangi/mengelola stres dan melampiaskan emosi
seperti marah atau permusuhan.

Arif Mulyadi 59

Berikan umpan balik positif ketika pasien menunjukkan
cara yang lebih baik untuk mengelola kecemasan dan
mampu dengan tenang dan/atau menilai situasinya
sendiri secara realistis.

Kolaboratif
Berikan obat sesuai indikasi, mis., anti-kecemasan:

diazepam (valium), buspirone (buspar), alprazolam
(xanax), oxazepam (serax); antidepresan: fluoxetine
(prozac), paroxetine (paxil), buprepion (wellbutin).
Rujuk untuk terapi tambahan, misalnya hipnosis; Eye
Movement Desesitization/Reprocessing (EMDR) atau
terapi lain yang sesuai.
Koordinasikan pelepasan/pemulangan ke keluarga, teman,
atau layanan darurat sesuai indikasi.
Edukasi korban dan masyarakat tentang risiko dan langkah-
langkah yang diambil untuk menangani masalah.
sertakan anggota tim perawatan kesehatan lainnya,
dengan menekankan risiko pada diri mereka sendiri.

DIAGNOSIS KEPERAWATAN: Distres Spiritual
Mungkin berhubungan dengan
Stres fisik/psikologis; kecemasan yang menghabiskan
energi
Situasi, kehilangan/penderitaan hebat
Pemisahan dari ikatan budaya/agama
Keyakinan dan sistem nilai yang ditentang
Mungkin dibuktikan dengan
Ungkapan keprihatinan tentang bencana, makna

hidup/mati dan/atau sistem kepercayaan
Konflik batin tentang hilangnya normalitas saat ini dan
dampak bencana; kemarahan kepada Tuhan, menyalahkan
diri sendiri
Mencari bantuan spiritual, atau memilih untuk tidak
berpartisipasi

Arif Mulyadi 60

Menunjukkan gejala somatik
KRITERIA HASIL/ EVALUASI: Pasien akan;
Kesejahteraan Spiritual (NOC)
Mengungkapkan peningkatan rasa konsep diri dan harapan

untuk masa depan
Mendiskusikan keyakinan/nilai tentang masalah spiritual
Mengungkapkan penerimaan diri sebagai sesuatu yang
berharga.

INTERVENSI

Dukungan Spiritual (NIC)
Independen
Tentukan orientasi agama/spiritual pasien, keterlibatan

saat ini dan adanya konflik
Tetapkan lingkungan yang mendorong ekspresi perasaan

dan kekhawatiran secara bebas. sediakan suasana yang
tenang dan damai bila memungkinkan.
Dengarkan laporan/ekspresi pasien/orang terdekat tentang
kemarahan, kekhawatiran, keterasingan dari tuhan,
keyakinan bahwa situasi adalah hukuman atas
kesalahan, dan sebagainya.
Perhatikan adanya rasa kesia-siaan, perasaan putus asa dan
tidak berdaya, kurangnya motivasi untuk menolong diri
sendiri.
Dengarkan ekspresi ketidakmampuan untuk menemukan
makna dalam hidup. Evaluasi adanya keinginan bunuh
diri.
Tentukan support system yang tersedia untuk pasien/orang
terdekat
Tanyakan bagaimana anda bisa sangat membantu.
Sampaikan penerimaan keyakinan/kekhawatiran
spiritual pasien.
Luangkan waktu untuk diskusi yang tidak menghakimi
tentang masalah/pertanyaan filosofis tentang dampak
spiritual dari peristiwa/situasi terkini.

Arif Mulyadi 61

Diskusikan perbedaan antara kesedihan dan rasa bersalah
dan bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menangani
masing-masing, memikul tanggung jawab atas
tindakannya sendiri, mengungkapkan kesadaran akan
konsekuensi dari bertindak karena kesalahan yang salah.

Gunakan keterampilan komunikasi berupa refleksi dan
menjadi pendengar aktif.

Diskusikan penggunaan/berikan kesempatan kepada
pasien/orang terdekat untuk mengalami meditasi, doa
dan pengampunan. berikan informasi bahwa marah
kepada tuhan adalah bagian normal dari proses berduka

Bantu pasien untuk mengembangkan tujuan untuk
menghadapi situasi kehidupan.

Kolaboratif
Identifikasi dan rujuk ke sumber daya yang dapat

membantu (misalnya, perawat pastoral/paroki atau
konselor agama, konselor krisis, psikoterapi, pecandu
alkohol/narkotika anonim)
Dorong partisipasi dalam kelompok pendukung

DIAGNOSIS KEPERAWATAN: Sindrom Pasca Trauma,
Risiko
Faktor risiko
Peristiwa di luar jangkauan pengalaman manusia
Ancaman serius atau cedera pada diri sendiri/orang yang

dicintai; menyaksikan peristiwa tragis
Rasa tanggungjawab/peran penyintas yang berlebihan
Dukungan sosial yang tidak memadai; lingkunag yang tidak
mendukung; perpindahan dari rumah (mengungsi).
KRITERIA HASIL/ EVALUASI: Pasien/Perawat akan;
Mengontrol Kecemasan/ketakutan (NOC)
Mengekspresikan perasaan/reaksi diri, menghindari
penolakan
Menunjukkan kemampuan untuk mengontrol reaksi

Arif Mulyadi 62

emosional dengan cara yang sesuai secara individual
Melaporkan tidak adanya manifestasi fisik (nyeri, mimpi

buruk, kelelahan) yang terkait dengan kejadian yang
dialami.

INTERVENSI

Konseling (NIC)
Independen
Tentukan keterlibatan dalam peristiwa (misalnya, korban,

orang terdekat, petugas penyelamat/bantuan, penyedia
layanan kesehatan, anggota keluarga).
Evaluasi faktor kehidupan/stres yang sedang atau baru
terjadi, seperti perpindahan dari rumah karena peristiwa
bencana (misalnya, sakit/cedera, bencana alam,
serangan teroris). identifikasi bagaimana pengalaman
masa lalu pasien dapat mempengaruhi situasi saat ini.
Dengarkan komentar tentang mengambil tanggungjawab
(mis., “Saya seharusnya lebih berhati-hati/kembali untuk
menjemputnya”).
Identifikasi mekanisme koping pasien saat ini.
Tentukan ketersediaan/kegunaan sistem pendukung
(support system) pasien (mis., keluarga, sosial, komunitas
dan sebagainya)
Berikan informasi tentang tanda/gejala respon pasca
trauma, terutama jika individu terlibat dalam pekerjaan
berisiko tinggi.
Identifikasi dan diskusikan kekuatan dan kelemahan pasien.
Evaluasi persepsi individu tentang peristiwa bencana yang
dapat mempengaruhi pendapat pribadi (misalnya,
petugas penyelamat seharusnya dilatih untuk
memberikan bantuan penyelamatan jiwa tetapi hanya
menemukan mayat).
Berikan kehadiran emosional dan fisik dengan duduk
bersama pasien/orang terdekat.
Mendorong ekspresi perasaan. Perhatikan apakah perasaan
yang diungkapkan tampak sesuai dengan peristiwa yang

Arif Mulyadi 63

dialami.
Catat adanya mimpi buruk, mengingat kembali kejadian,

kehilangan nafsu makan, lekas marah, menangis,
gangguan keluarga/hubungan.
Berikan lingkungan yang tenang dan aman.
Dorong dan bantu pasien dalam mempelajari teknik
manajemen stres.

Kolaboratif
Merekomendasikan partisipasi dalam curah pendapat yang

mungkin diberikan setelah peristiwa bencana besar.
Identifikasi pekerjaan, kelompok sumber daya masyarakat.
Berikan obat sesuai indikasi, mis.,

Antipsikotik, misalnya, fenotiazin, misalnya,
klorpromazin (thorazine); haloperidol (haldol);
karbamazepin (tegretol).

DIAGNOSIS KEPERAWATAN: Koping
Komunitas/Masyarakat, tidak efektif

Mungkin berhubungan dengan

Bencana alam atau buatan manusia (gempa bumi, banjir,
wabah penyakit, terorisme)

Kurangnya layanan dan sumber daya dukungan sosial

Sistem komunitas yang tidak efektif atau tidak ada

(misalnya, kurangnya/ tidak memadainya sistem
penanggulangan gawatdarurat, sistem transportasi atau
sistem perencanaan bencana)

Mungkin dibuktikan dengan

Kurangnya partisipasi masyarakat; masyarakat tidak dapat
memenuhi harapannya sendiri

Stresor yang dianggap berlebihan

Konflik masyarakat yang berlebihan

Tingkat kejadian penyakit yang tinggi

KRITERIA HASIL/ EVALUASI: Masyarakat akan;

Kompetensi Komunitas/Masyarakat (NOC)

Arif Mulyadi 64

Mengenali faktor-faktor negatif dan positif yang
mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk
memenuhhi tuntutan atau kebutuhannya sendiri

Mengidentifikasi alternatif kegiatan yang tidak sesuai untuk
adaptasi/pemecahan masalah

Melaporkan peningkatan yang terukur dalam kegiatan yang
diperlukan untuk meningkatkan fungsi masyarakat.

INTERVENSI

Kesiapsiagaan Bencana Masyarakat (NIC)
Independen
Mengevaluasi kegiatan komunitas yang terkait dengan

pemenuhan kebutuhan kolektif dalam komunitas itu
sendiri dan antara komunitas dan masyarakat yang lebih
luas. Catat kebutuhan mendesak (misalnya, perawatan
kesehatan, makanan, tempat tinggal, dana).
Catat laporan masyarakat tentang fungsinya termasuk
adanya kelemahan atau konflik.
Mengidentifikasi efek dari faktor-faktor yang terkait dengan
kegiatan masyarakat
Menentukan ketersediaan dan penggunaan sumber daya.
Mengidentifikasi tuntutan atau kebutuhan masyarakat
yang belum terpenuhi.
Tentukan/kaji kekuatan masyarakat.
Mendorong anggota/kelompok masyarakat untuk terlibat
dalam kegiatan pemecahan masalah.
Mengembangkan rencana bersama dengan anggota
masyarakat untuk mengatasi kebutuhan yang mendesak.
Buat rencana mengelola interaksi dalam komunitas itu
sendiri dan antar komunitas serta masyarakat yang lebih
besar.
Membuat informasi dapat diakses oleh publik. menyediakan
saluran untuk penyebaran informasi kepada masyarakat
secara keseluruhan, (misalnya, media cetak,
radio/laporan televisi dan papan buletin komunitas,

Arif Mulyadi 65

situs internet, biro pembicara, laporan ke komite/dewan
penasihat)
Membuat informasi tersedia dalam berbagai cara dan
disesuaikan dengan tingkat pendidikan/budaya
masyarakat yang berbeda.
Mencari dan mengevaluasi kebutuhan populasi yang kurang
terlayani

DIAGNOSIS KEPERAWATAN: Koping
Komunitas/Masyarakat, potensi untuk ditingkatkan

Mungkin berhubungan dengan

Tersedianya dukungan sosial

Tersedianya sumber daya untuk pemecahan masalah

Masyaraakat memiliki kemampuan untuk mengelola stres

Mungkin dibuktikan dengan

Kesepakatan bahwa masyarakat bertanggungjawab atas
manajemen stres

Perencanaan aktif oleh masyarakat terhadap stresor yang
dapat diprediksi

Pemecahan masalah secara aktif oleh masyarakat ketika
menghadapi masalah

Komunikasi positif di antara anggota masyarakat dan
komunitas yang lebih besar

KRITERIA HASIL/ EVALUASI: Masyarakat akan;

Kompetensi Komunitas/Masyarakat (NOC)

Mengidentifikasi faktor-faktor positif dan negatif yang
mempengaruhi pengelolaan masalah/stressor saat ini
dan yang akan datang

Memiliki rencana yang mapan untuk menghadapi berbagai
kemungkinan

Melaporkan peningkatan yang terukur dalam kemampuan
untuk menangani peristiwa potensial.

Arif Mulyadi 66

INTERVENSI

Pengembangan Program (NIC)
Independen
Tentukan kekuatan dan kelemahan komunitas.

mengidentifikasi keterbatasan dalam pola kegiatan
masyarakat saat ini yang dapat ditingkatkan melalui
adaptasi dan pemecahan masalah.
Mengevaluasi kegiatan masyarakat yang terkait dengan
pengelolaan masalah/stressor di dalam masyarakat itu
sendiri dan antar masyarakat serta masyarakat yang
lebih luas.
Tentukan dan diskusikan kebutuhan saat ini serta
kekhawatiran yang diantisipasi atau diproyeksikan.
Mengidentifikasi dan memprioritaskan tujuan komunitas.
Mempromosikan kesadaran masyarakat tentang masalah
desain bangunan, peralatan, sistem transportasi, dan
tempat kerja yang dapat memperparah respons
bencana/dampak bencana.
Identifikasi sumber daya yang tersedia (misalnya, orang,
kelompok, keuangan, pemerintah serta komunitas lain).
Cari dan libatkan kelompok yang kurang terlayani/berisiko
dalam masyarakat.
Membantu masyarakat untuk membentuk kemitraan dalam
masyarakat dan antar masyarakat serta masyarakat yang
lebih luas.
Menetapkan mekanisme pemantauan mandiri kebutuhan
masyarakat dan upaya evaluasinya.
Berpartisipasi dalam latihan/kegiatan untuk menguji
kesiapsiagaan.
Gunakan berbagai format, misalnya tv, radio, media cetak,
baliho, dan laporan kepada tokoh/kelompok masyarakat
dalam bentuk arsip dan dapat diakses oleh publik.

Arif Mulyadi 67

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Teknis Penanggulangan
Krisis Kesehatan Akibat Bencana. Jakarta

Kurniati, A., Trisyani, Y & Theresia, S. 2018. Keperawatan Gawat
Darurat dan Bencana Sheehy. Singapore: Elsevier.

Nurjanah. dkk. 2013. Manajemen Bencana. Bandung: Alfabeta.
Pusponegoro, A., Sujudi., A., 2016. Kegawatdaruratan dan Bencana.

Jakarta: PT. Rayyana Komunikasindo
Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 Tentang

Penanggulangan Bencana
World Health Organization and International Council of Nurses.

2009. ICN Framework of Disaster Nursing Competencies.

Arif Mulyadi 68

BAB 6
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN
YANG MENGALAMI NYERI

Oleh Wiwin Martiningsih

6.1 Pendahuluan

Terjadinya nyeri muncul karena adanya kemampuan sistem
saraf dalam mengubah rangsangan mekanik, kimia, suhu, elektris
ke dalam potensial aksi yang selanjutnya akan disalurkan ke sistem
saraf pusat. Nyeri juga bersifat subyektif yang akan berbeda
dirasakan oleh individu satu dengan lainnya dan nyeri merupakan
bentuk perlindungan bagi tubuh manusia yang diakibatkan adanya
kerusakan jaringan, dan individu akan berupaya untuk
menghilangkan atau menurunkan rangsangan nyeri tersebut.
(Berman, Snyder and Frandsen, 2022).

Definisi nyeri yang disepakati secara luas dan disampaikan
oleh American Pain Society dan Asosiasi Internasional untuk Studi
Nyeri adalah nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan
aktual atau potensial. Nyeri akan mengganggu kemampuan
fungsional dan kualitas hidup, apabila nyeri dirasakan parah atau
menetap oleh pasien akan berdampak pada semua sistem tubuh,
yang akan menyebabkan masalah kesehatan berpotensi serius
sekaligus meningkatkan risiko komplikasi dan keterlambatan
penyembuhan (Jungquist et al., 2017). Berdasarkan banyak
pertimbangan dan pentingnya masalah nyeri ini maka pada tahun
1996, nyeri dianggap sebagai tanda-tanda vital yang harus
diidentifikasi seperti tanda-tanda vital lainnya yang biasa
dilakukan (Suwondo, S.B, 2017).

Wiwin Martiningsih 69

6.2 Beberapa teori tentang nyeri

Teori yang sering digunakan dalam menjelaskan konsep
nyeri antara lain:
1) Teori kontrol gerbang (gate control)

Teori ini dikemukakan oleh Melzak dan Wall tahun 1965, dan
sering digunakan oleh para ahli, yang menjelaskan bagaimana
nyeri dikontrol berawal dari perifer maupun sentral. Teori ini
sebenarnya merupakan gabungan teori spesifik dan teori pola
tentang nyeri dan juga menjelaskan bagaimana interaksi antara
afferen perifer dan sistem modulasi yang berbeda di medula
spinalis. Terjadinya nyeri dari pusat ke perifer juga dapat
dijelaskan berdasar teori ini (sistem modulasi descenden).
2) Teori Hormonal / endorfin
Endorfin merupakan salah satu reseptor rasa nyeri yang ada di
mesenfalon, nuklei medio thalamik, dan dalam substansi nigra.
Endorfin ini mengandung banyak asam amino dan efek
anagelsiknya dua kali lebih besar dibanding morfin. Tehnik
relaksasi dan stimulasi kulit dapat merangsang pengeluaran
endorfin.

6.3 Respon nyeri

1) Respon simpatis:
 Meningkatnya Tekanan darah
 Meningkatnya denyut nadi
 Meningkatnya frekuensi pernafasan
 Peningkatan tegangan otot
 Pupil elebar
 Peningkatan glukosa darah
 Peningkatan pengeluaran adrenalin
 Pallor (peripheral vasoconstriction)
Tanda ini merupakan respon tubuh (Promote homeostasis)
yang berarti tubuh mempersiapkan diri dan muncul fenomena
fight or flight /melawan atau menghindar.

2) Respon Parasimpatis:
 Tekanan darah turun
 Denyut nadi rata-rata turun
 Frekuensi nafas cepat dan ireguler

Wiwin Martiningsih 70

 Mual dan muntah
 Prostration (lemah)
 Tidak sadar

Pada respon ini tubuh menunjukkan tanda tidak mampu
mengatasi nyeri.
Behavioral (voluntary) responses
 Menghindar dari rangsangan nyeri
 Menyeringai, mengaduh, menangis
 Gelisah
 Melindungi area nyeri dan mengurangi gerak

Affective (Psychologic) responses
 Gelisah
 Menarik diri
 Cemas
 Depresi
 Ketakutan
 Marah
 Tidak nafsu makan
 Fatigue
 Kehilangan harapan
 Kehilangan kekuatan

6.4 Transmisi nyeri

Ketika terjadi kerusakan jaringan, akan terjadi pelepasan
bahan kimia seperti histamin dan bradikinin, yang merupakan
suatu vasodilator kuat dan menyebabkan inflamasi. Zat ini
menyebabkan area yang terluka membengkak, memerah, dan
menjadi lunak. Bradikinin juga merangsang pelepasan
prostaglandin dan substansi P, suatu neurotransmitter kuat yang
meningkatkan pergerakan impuls melintasi sinapsis saraf. Tahap-
tahap transmisi nyeri secara umum adalah sebagai berikut (Hinkle,
J.L, Cheever, K.H, Overbaugh, 2022):
1) Transduksi: Pada tahap ini sistem saraf mengubah rangsangan

nyeri di ujung saraf untuk dialirkan, yang mana energi
rangsangan diubah menjadi energi listrik.

Wiwin Martiningsih 71

2) Transmisi: Impuls menjalar dari asal nyeri keotak. Transmisi
suatu rangsangan terjadi ketika energi melintasi ke nosiseptor
di ujung serabut saraf aferen. Dua jenis serabut saraf perifer
menghantarkan rangsangan nyeri: yaitu serabut A-delta yang
cepat dan bermielin dan serabut C yang sangat kecil, lambat,
dan tidak bermielin. Serabut A mengirimkan sensasi tajam,
nyeri terlokalisasi, dan intensitasnya terdeteksi. Serabut C
menyampaikan impuls yang yang menyebar tidak terlokalisasi,
seperti terbakar, dan menetap. Misalnya, setelah jari terbakar,
seseorang awalnya merasakan nyeri lokal yang tajam sebagai
akibat dari transmisi A-fiber. Dalam beberapa detik rasa sakit
menjadi lebih menyebar dan meluas, sebagai akibat dari
transmisi serat-C. Rangsangan nyeri berjalan dengan cepat ke
substansia gelatinosa di kornu dorsalis medula spinalis di
mana mekanisme "gerbang" (gate control) terjadi. Impuls nyeri
kemudian menyeberang ke sisi berlawanan dari sumsum
tulang belakang dan ke pusat (otak) melalui traktus
spinotalamikus dan ke talamus termasuk formasi reticular,
sistem limbik, dan korteks somatosensori.

3) Persepsi: otak mengenal, mendefinisikan dan merespon nyeri.
Ketika rangsangan nyeri mencapai korteks serebri, otak
menafsirkan sinyal, memproses informasi dari pengalaman,
pengetahuan, dan keyakinan terhadap nyeri. Jadi, persepsi
adalah kesadaran akan rasa sakit. Lokasi dan intensitas nyeri
akan diidentifikasi oleh Korteks somatosensory dan korteks
terkait menentukan bagaimana seseorang menafsirkan
maknanya.

4) Modulasi: Aktivitas tubuh dibutuhkan untuk menghambat
respon/efek nyeri. Begitu otak merasakan rasa sakit, tubuh
melepaskan neuromodulator, seperti opioid endogen (endorfin
dan enkephalin), serotonin, norepinefrin, dan asam gamma
aminobutirat. Bahan kimia ini menghambat transmisi rasa
sakit dan membantu menghasilkan analgesik, efek penghilang
rasa sakit. Penghambatan impuls nyeri ini disebut modulasi.
Jalur menurun dari serat eferen memanjang dari korteks ke
sumsum tulang belakang dan dapat mempengaruhi impuls
nyeri pada tingkat sumsum tulang belakang.

Wiwin Martiningsih 72

6.5 Klasifikasi Nyeri

1) Berdasar jenisnya:
Nyeri akut
 berlangsung < 6 bulan
 Serangan mendadak
 Intensitas dari ringan sampai berat
Contoh: pembedahan, pricked finger, IMA
Nyeri akut pada umumnya menimbulkan respon
neuroendokrine, yang merupakan respon fight-or-flight.
Katekolamin dilepaskan, yang akan menimbulkan
peningkatan denyut nadi, tekanan darah dan efek lainnya
adanya retensi urine, ileus, stress ulcer, kerja pernafasan
meningkat, mual, dan konstipasi. Nyeri akut biasanya
berespon baik terhadap pemberian terapi nyeri non steroid or
narkotik.
Nyeri kronis:
 Berlangsung > 6 bulan
 Biasanya asal nyeri kurang jelas
 Lokasi sulit dideteksi
 Sifat nyeri hilang timbul, pada periode tertentu nyeri
menetap
Pada klien dengan Kanker nyeri dapat menjadi akut /kronis.
Pada nyeri kronis, respon yang muncul antara lain: kekacauan
tidur, sifat lekas marah, depresi, dan penurunan aktivitas
motorik. Biasanya pemberian narkotik tidak efektif dalam
mengurangi nyeri kronis. Penatalaksanaan nyeri kronis
biadsanya akan menggunakan obat-obat antidepresi,
antikonvulsi, dan atau kortikosteroid.

2) Berdasar sumbernya:
 Nyeri kulit: Nyeri yang dirasakan di kulit atau jaringan
subkutis, lokasi nyeri jelas di dermatum, contoh: nyeri
ketika tertusuk jarum, lutut lecet.
 Nyeri somatik: Nyeri dalam yang berasal dari tulang, sendi,
tendon, otot rangka, pembuluh darah dan tekanan saraf
dalam, sifat nyeri lambat.

Wiwin Martiningsih 73

 Nyeri visceral: Nyeri di rongga abdomen atau toraks
terlokalisasi jelas pada suatu titik tapi bisa dirujuk kebagian
tubuh yang lain dan biasanya parah.

 Nyeri psikogenik: Nyeri yang timbul dari fikiran pasien
tanpa diketahui penyebab secara fisik

 Nyeri phantom Limb: Nyeri yang dirasakan oleh individu
pada salah satu ekstrimitas yang telah diamputasi.

 Istilah lain, referred pain: Nyeri yang menjalar terasa pada
daerah lain, daripada daerah yang terangsang, bersumber
dari visceral.

6.6 Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri

1) Arti nyeri terhadap individu. Persepsi adalah; interpretasi
pengalaman nyeri dimulai saat pertama pasien sadar adanya
nyeri. Yang perlu diketahui adalah bahwa arti nyeri bagi setiap
individu adalah berbeda, yang kadang nyeri bisa dianggap
sebagai respon positif dan negatif.

2) Toleransi individu terhadap nyeri
Toleransi seseorang terhadap intensitas nyeri adalah berbeda,
di mana individu dapat merespon nyeri lebih baik atau
sebaliknya.

3) Ambang nyeri
Ambang nyeri merupakan intensitas rangsang terkecil yang
akan menimbulkan rangsang nyeri bagi individu, merupakan
suatu batas kemampuan seseorang untuk bisa beradaptasi
serta berespon terhadap nyeri.

4) Pengalaman lampau. Pengalaman seseorang sangat
mempengaruhi kejadian nyeri yang dirasakan, karena
pengalaman sebelumnya dapat mengubah sensasi klien
terhadap nyeri.

5) Lingkungan. Situasi atau kondisi lingkungan sangat,
mempengaruhi respon nyeri seseorang. Lingkungan yang
ramai, dingin, panas, lembab akan meningkatkan intensitas
nyeri individu. Oleh karena itu modifikasi lingkungan ini sangat
penting dalam penatalaksanaan nyeri.

6) Usia. Makin dewasa makin dapat mentoleransi rasa sakit.

Wiwin Martiningsih 74

7) Kebudayaan. Norma/aturan dapat menumbuhkan perilaku
seseorang dalam memandang dan berasumsi terhadap nyeri
yang dirasakan.

8) Kepercayaan
Ada keyakinan yang memandang bahwa nyeri merupakan
suatu penyucian atau pembersihan dan hukuman atas dosa
mereka terhadap Tuhan.

9) Kecemasan dan stress
Stress dan kecemasan dapat menghambat keluarnya
endorphin yang berfungsi menurunkan persepsi nyeri.

6.7 Proses keperawatan

1) Pengkajian
Dalam melakukan pengkajian terhadap nyeri, beberapa hal
dibawah ini seharusnya kita gali:
(1) Tanyakan pengalaman nyeri sebelumnya, catat koping
mekanisme yang digunakan
(2) Kaji pengaruh nyeri yang dialami klien terhadap keluarga
dan catat strategi koping keluarga
(3) Kaji karakteristik nyeri:
a. Onset, durasi dan waktu
Bagaimana awalnya, berapa lama dirasakan, apakah
pada saat yang sama setiap hari.
b. Lokasi: Nyeri superfisial, cutaneous, deep, visceral,
diffuse, referred
c. Severity (Berat ringannya nyeri) yang dapat
diidentifikasi menggunakan skala nyeri, seperti: 5-
point Pain Scale, 10-Point Visual Analog Scale, color
scale, Wong-Baker FACES Pain Rating Scale, FLACC
Scale
(4) Kualitas
Kualitas nyeri dapat diidentifikasi seperti ditusuk,
terbakar, tertembak, tajam, tertindih, terbelah, diremas.
(5) Kronologi
Bagaimana perkembangan nyeri (kemajuan yang
diperoleh)

Wiwin Martiningsih 75

(6) Faktor yang memperberat
Apa pencetus nyeri dan apa yang membuat nyeri
bertambah parah

(7) Faktor yang memperingan
Tindakan apa yang dilakukan untuk meringankan nyeri, berapa
lama tindakan itu dilakukan dan bagaimana keefektifannya.
Misalnya bisa ditanyakan nyeri berubah dengan perubahan
posisi, makan, menggunakan analgesik, terapi panas/dingin,
apakah konsul Dokter atau ada alternatif lain (paranormal dll.)

(8) Pola nyeri:

Kondisi Pola nyeri / pencetus nyeri

Angina pectoris Stress emosional, fisik, terpapar
suhu dingin, makan daging terlalu
banyak

Ruptured Mengangkat benda

intravertebra

Gastric ulcer Tegang, minum kopi

Pharingitis Bicara

Pleuritis Nafas dalam dan batuk

(9) Perubahan perilaku. Dapat dilihat berdasar respon verbal

klien, ataupun respon noverbal: gerak muka dan tubuh (
menangis, menyeringai, melindungi area nyeri, menggigit bibir
dan dari interaksi sosial.
(10) Respon sikap
Cemas, depresi, takut, marah, anoreksia, fatigue,

hopelessness, powerlessness adalah gambaran sikap yang
bisa kita lihat.
(11) Pengaruh terhadap aktivitas sehari-hari
Nyeri dapat mempengaruhi pola tidur, personal hygiene,

fungsi seksual, pekerjaan, dll.
(12) Sumber koping klien: Berdoa, bekerja/aktivitas, bersama
orang yang dicintai, dll

2) Diagnosa Keperawatan
Dalam SDKI Diagnosa Keperawatan terkait dengan pasien yang
mengalami nyeri dapat diidentifikasi berdasar tanda dan gejala

Wiwin Martiningsih 76

yang muncul. Nyeri akut dan nyeri kronis merupakan contoh
diagnosa keperawatan dalam SDKI yang bahasa/istilahnya
sudah disepakati. Contoh pernyataan diagnosa keperawatan
nyeri akut pada kasus hipertensi:
Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan
pembuluh darah serebral ditandai dengan:
 Laporan verbal nyeri berdenyut di daerah suboksipital
 Laporan adanya kekakuan leher
 Nyeri muncul saat bangun dan menghilang secara spontan

setelah bangun
 Keengganan untuk menggerakkan kepala
 Menghindari cahaya terang dan kebisingan
 Alis tampak berkerut
 Tangan mengepal
 Perubahan nafsu makan
 Pusing
 Penglihatan kabur
 Mual dan muntah

Tujuan yang diharapkan:
 Pasien akan melaporkan hilangnya nyeri/ketidaknyamanan.
 Pasien akan mengungkapkan metode yang memberikan

kenyamanan
 Pasien akan mengikuti rejimen farmakologis yang

ditentukan.
 Pasien akan mendemonstrasikan penggunaan keterampilan

relaksasi dan aktivitas pengalihan, sesuai situasi dan kondisi
individu.

3) Tindakan Keperawatan
Tindakan Keperawatan yang dilakukan pada Pasien yang
mengalami nyeri antara lain: Intervensi Non-Farmakologi.
Walaupun strategi ini sendiri tidak cukup untuk mengurangi
nyeri yang berat, tindakan ini pada umumnya sangat menolong
bersama dengan pemberian terapi farmakologis, meliputi:

Wiwin Martiningsih 77

a. Mencegah terjadinya nyeri:
Misal, pada kasus IMA, hal yang bisa kita sarankan: tidak boleh
stress, jangan kerja berat. Cara mengangkat benda dengan harus
benar agar tidak nyeri punggung, dan apabila terjadi konstipasi
sebaiknya segera dieliminasi.

b. Rangsangan/stimulasi kulit bertujuan untuk menekan transmisi
nyeri yang dibawa C fiber dan mengaktivasi A fiber berdasar
teori Gate Control, merangsang endorphin, dan menurunkan
ketegangan otot yang meningkat saat nyeri. Tindakannya seperti
masase punggung, terapi panas dingin, pemberian liniments,
TENS (Trancutaneous Electrical Nervus Stimulator),
penggunaan bantal listrik.

c. Stimulasi kontralateral. Kontraindikasi tindakan stimulasi kulit
ini jangan dilakukan pada area luka, kulit yang terbakar, area
inflamasi dan pada tulang yang fraktur.

d. Melakukan teknik distraksi
Tindakan ini bermanfaat untuk mengalihkan perhatian pasien
agar tidak fokus terhadap nyeri yang dialami, atau sesuatu yang
ditakuti. Pasien dapat memberitahu pemberi layanan apa teknik
yang biasa dilakukan, sehingga ini dapat dibagikan dengan orang
lain. Beberapa contoh teknik distraksi dapat dilakukan seperti
mendengarkan musik sambil menepuk tangan di paha,
menyanyi, membayangkan sesuatu yang indah sambil menutup
mata.

e. Teknik Relaksasi
Tindakan ini memang kurang efektif pada nyeri akut tetapi efek
dari tindakan ini dapat mengurangi kecemasan, mengotrol nyeri
yang dirasakan, menurunkan denyut nadi, frekuensi pernafasan,
tekanan darah, penggunaan oksigen, ketegangan otot, dan
bahkan penurunan rata-rata metabolisme. Contoh teknik
relaksasi seperti melakukan hipnotis, latihan nafas, yoga,
relaksasi dan kontraksi otot secara bergantian dan meditasi;

f. Biofeadback (Bio-umpan balik)
Mengurangi rasa nyeri dengan konsentrasi mental karena
individu berkonsentrasi untuk melambankan aktifitas kecepatan
gelombang otak yang mungkin menimbulkan nyeri atau dalam
kondisi rileks yang sempurna dipantau dengan EEG

Wiwin Martiningsih 78

g. Akupunktur
Teknik tusuk jarum kecil-kecil, dengan menggunakan titik tubuh
tertentu untuk menstimulasi serabut berdiameter besar.

h. Terapi sentuhan
Perawat menyentuh klien sambil mengalirkan energi
penyembuhan. Biasanya diawali dengan meditasi dahulu untuk
menyimpan energi internal sebelum menyentuh pasien.

Terapi Farmakologi:
a. Analgesik

1) Narkotik (analgesik kuat)
 Menghilangkan nyeri dengan mengubah aspek emosi
terhadap pengalaman nyeri (persepsi nyeri)
 Morphin, kodein

2) NonNarkotik (analgetika ringan)
Diperkirakan aksi utamanya pada saraf perifer dan sentral,
menghambat sintesa prostaglandin
 Aspirin, asetaminophen
 NSAIDs
- Menghambat sintesa prostaglandin, dosis tinggi
sebagai anti inflmasi
- Penggunaan: dismenore, artritis, gangguan
muskuloskeletal, nyeri post op, migrain
- Ibuprofen, asam mefenamad
 Placebo
Plasebo adalah obat atau prosedur apa pun yang
dirancang dan tidak memiliki nilai terapeutik yang
diketahui. Injeksi saline adalah salah satu contoh plasebo.

Tindakan pembedahan
Memotong serabut-serabut yang menghantarkan nyeri
 Neuroktomi: merusak serabut saraf dari badan sel
 Rhizotomi: reseksi akar belakang sebelum masuk tulang

belakang
 Cordotomi: merusak jalur konduksi nyeri dari sumsum tulang

belakang anterolateral asendens

Wiwin Martiningsih 79

 Simpatektomi: eksisi atau destruksi beberapa ganglia saraf
simpatis

Contoh Tindakan pada diagnosa Keperawatan nyeri akut
pada Kasus Hipertensi (Vera, Matt. Juni, 2022):

Intervensi Rasional

Mempertahankan dan Meningkatkan relaksasi
dan meminimalisir
mendorong untuk tirah baring rangsangan.
selama selama fase akut
Tindakan ini akan
Memberikan tindakan yang mengurang adanya tekanan
bertujuan menurunkan nyeri pada pembuluh darah
kepala, seperti: memasang kain serebral, memperlambat
dingin di dahi, masase atau memblokir respon
punggung dan leher, mengatur simpatis yang akan
ruangan agar tenang, cahaya menurunkan nyeri kepala.
tidak terlalu terang, teknik
relaksasi seperti imajinasi
terbimbing, distraksi.

Minimalkan aktivitas yang Aktivitas ini menyebabkan
memperburuk nyeri kepala nyeri kepala dengan
seperti mengejan saat buang air
besar, membungkuk, atau batuk adanya peningkatan
terus menerus. tekanan pada pembuluh
darah otak

Bantu pasien untuk ambulasi Sakit kepala dapat
sesuai kebutuhan
menyebabkan pusing dan
penglihatan kabur.
Kelemahan saat ambulasi
dapat terjadi karena

adanya hipotensi postural.

Lakukan perawatan oral yang Meningkatkan
sering, berikan cairan, makanan kenyamanan.
lunak.
Tampon hidung bisa diberikan Nasal packing/pemberian
apabila terjadi mimisan. material tertentu untuk
menghentikan perdarahan

Wiwin Martiningsih 80

Intervensi Rasional
dihidung.

Berikan obat sesuai indikasi Menurunkan rangsangan

melalui kolaborasi medis: pada saraf simpatis,
Analgesik; Agen anti- mengurangi nyeri,
kecemasan: lorazepam ketidaknyamanan yang
(Ativan), alprazolam (Xanax), diperparah akibat stress..

diazepam (Valium).

Wiwin Martiningsih 81

DAFTAR PUSTAKA

Berman, A. T., Snyder, S. and Frandsen, G. 2022. Kozier & Erb’s
Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and Practice.
11th Editi. United Kingdom: Person Education.

Hinkle, J.L, Cheever, K.H, Overbaugh, K. 2022. Brunner & Suddarth’s
Textbook of Medical Surgical Nursing. 15th editi.
Philadelphia: Wolters Kluwer.

Jungquist, C. R. et al. 2017. ‘Assessing and managing acute pain: A
call to action’, American Journal of Nursing, 117(3), pp. S4–
S11. doi: 10.1097/01.NAJ.0000513526.33816.0e.

Suwondo, S.B, M. . dan S. 2017. Buku Ajar Nyeri. Perkumpulan Nyeri.
Available at: http://repository.unimus.ac.id/3596/1/buku
ajar nyeri persalinan full%284%29.pdf.

Vera, Matt. Juni, 2022. Hypertension Nursing Care Plans. Diakses
dari https://nurseslabs.com/hypertension-nursing-care-
plans/3/

Wiwin Martiningsih 82

BAB 7
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN
YANG MENGALAMI PERUBAHAN
KESEIMBANGAN CAIRAN,
ELEKTROLIT, DAN ASAM BASA

Oleh Septian Mixrova Sebayang

7.1 Pendahuluan

Bab ini akan membahas tentang asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan keseimbangan cairan, eletrolit dan asam
basa. Topik bahasan akan dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
Ketidakseimbangan cairan, ketidakseimbangan elektrolit dan
ketidakseimbangan asam bangsa. Dan akan disertakan asuhan
keperawatan mengunakan 3N atau NANDA NIC NOC.

7.2 Ketidakseimbangan cairan

Ketidakseimbangan cairan terjadi pada banyak pasien
dengan kasus penyakit yang besar dimana akan mengganggu
hemodinamik tubuh. Penyakit seperti luka bakar dan gagal jantung
secara langsung dapat mengganggu keseimbangan cairan. Selain itu
pemeriksaan diagnostik seperti kolonoskopi dan diuretik juga
mempunyai pengaruh yang sama. Ketidakseimbangan cairan dibagi
menjadi dua bagian yaitu kekurangan cairan dan kelebihan cairan.
7.2.1 Kekurangan Cairan

Kekurangan cairan dapat terjadi karena kehilangan cairan
tubuh abnormal misalnya diare, muntah, perdarahan, poliuria,
penurunan asupan cairan. Istilah defisit volume cairan berbeda
dengan dehidrasi. Dehidrasi lebih kepada kehilangan air atau
cairan tubuh tanpa melibatkan elektrolit tubuh seperti natrium.

Dalam menangani pasien dengan kekurangan cairan masih
melalui pengenalan pada penyebab dan penggantian cairan dan
jenis elektrolit. Terapi cairan bergantung pada keparahan dan jenis

Septian Mixrova Sebayang 83

kehilangannya. Dalam kehilangan dalam kategori ringan, dapat
menggunakan oral rehydration. Jika defisit lebih banyak maka
harus menggunakan produk darah atau cairan IV misalnya isotonik
(0.9%) natrium klorida atau cairan ringer laktat. Pemilihan jenis
cairan bergantung pada penyebab dan hasil laboratorium elektrolit
pada pasien. Untuk penggantian yang cepat, natrium klorida 0.9%
lebih dianjurkan. Darah dapat diberikan jika defisit volume cairan
disebabkan oleh kehilangan darah.

Tabel 7.1 : Penyebab dan Manifestasi Klinis pada Defisit Volume
Cairan

Defisit Volume Cairan
Penyebab

 Demam tinggi
 Diabetes Inspidus
 Diuresis osmotik
 Perdarahan
 Gangguan gastrointestinal: Diare, Muntah, Fistula

Drainage
 Penggunaan diuretik berlebihan
 Luka bakar
 Pankreatitis
Manifestasi klinis
 Rasa haus
 Penurunan turgor kulit
 Penurunan pengisian kapiler (CRT<2 detik)
 Hipotensi postural
 Penurunan urine output
 Kehilangan berat badan
 Peningkatan frekuensi pernapasan
 Pulse meningkat
 Central venous pressure (CVP) menurun
 Kejang, koma

Septian Mixrova Sebayang 84

7.2.2 Kelebihan Volume Cairan
Kelebihan volume cairan terjadi karena kelebihan asupan

cairan, adanya retensi cairan abnormal (misalnya gagal jantung,
gagal ginjal). Penambahan berat badan menjadi manifestasi klinis
yang paling konsisten yang timbul.

Dalam penanganannya membutuhkan pengobatan pada
penyebabnya dan melepaskan cairan tanpa merubah komposisi
elektrolit atau osmolalitas Extracellular fluid (ECF). Diuretik dan
batasan cairan adalah fokus utama dalam terapinya. Beberapa
pasien juga membutuhkan pembatasan natrium. Jika kelebihan
cairan mengakibatkan asites atau efusi pleural akan membutuhkan,
parensentesis atau thorasentesis.

7.2.3 Manajemen Keperawatan : Kelebihan Volume Cairan
Diagnosis keperawatan dan masalah kolaborasi pada pasien

dengan ketidakseimbangan cairan meliputi :
Defisit volume ECF (Herdman, Kamitsuru and Takao Lopes, 2021) :
 Defisit volume cairan (Domain 2, kelas 5)
 Penurunan cardiac output (Domain 4, Kelas 4)
 Acute confusion (Domain 5, kelas 4)
 Potensial komplikasi : Syok hipolemik
Kelebihan volume ECF :
 Kelebihan volume cairan (Domain 2, Kelas 5)
 Gangguan pertukaran gas (Domain 3, kelas 4)
 Gangguan integritas kulit (Domain 11, kelas 2)
 Penurunan toleransi aktivitas (Domain 4, kelas 2)
 Gangguan citra tubuh (Domain 6, kelas 3)
 Potensial komplikasi : edema paru, asites

Bobot harian (Daily weight) merupakan ukuran status
volume yang paling akurat. Peningkatan sebesar 1 kg sama dengan
1000 mL retensi cairan, dimana hal ini berlaku jika dapat
mempertahankan asupan makanan sehar-hari atau tanpa makanan.
Ukur berat badan. Timbang pasien pada waktu yang sama setiap
hari, memakai pakaian yang sama dan skala ukur yang dikalibrasi.
Saat menimbang pasien, usahakan tidak ada benda-benda disekitar
atau menempel pada pasien misalnya drainase. Jika tidak bisa

Septian Mixrova Sebayang 85

dilepaskan, perkirakan berat dari benda tersebut (Butcher et al.,
2018).

Rekam medis terkait intake dan output akan memberikan
informasi yang berharga pada masalah cairan dan elektrolit.
Catatan yang akurat akan dapat mengidentifikasi sumber kelebihan
asupan atau kehilangan cairan. Intake terdiri dari cairan oral dan
IV, pemberian makanan melalui selang, dan larutan irigasi. Output
meliputi urin, keringat berlebih, drainase luka, muntah dan diare.
Perkirakan adanya kehilangan cairan dari luka dan keringat. Catat
jumlah dan warna urin serta berat jenis urin. Jika hasil berat jenis
urin lebih besar dari 1.025 maka urin pekat, sebaliknya jika kurang
dari 1.010 berarti urin jernih atau encer.

Pantau hasil laboratorium dan hitung osmolalitasnya. Pasien
dengan defisit volume cairan sering mengalami peningkatan blood
urea nitrogen (BUN), natrium, dan kadar hematokrit dengan
peningkatan osmolaritas plasma dan urin. Pada kelebihan volume
cairan, pasien akan mengalami penurunan BUN, natrium, dan kadar
hematokrit dengan penurunan osmolaritas plasma dan urin
(Moorhead et al., 2013).

Pantau tanda-tanda vital dan melakukan pemeriksaan
kardiovaskuler jika dibutuhkan. Perubahan tekanan darah, central
venous pressure, pulse, dan distensi vena jugularis menunjukkan
bahwa adanya ketidakseimbangan pada volume Extracellular Fluid
(ECF). Saat kelebihan volume cairan, denyut nadi penuh, jelas dan
tidak mudah hilang. Volume yang meningkat akan menyebabkan
distensi vena jugularis, tekanan vena sentral meningkat, dan
tekanan darah tinggi. Lakukan asukultasi jantung, curiga adanya
bunyi S3.

Pada kondisi defisit volume cairan dengan kategori ringan
dan sedang, sistem saraf simpati melakukan kompensasi dengan
meningkatkan denyut jantung dan menghasilkan vasokontriksi
perifer sehingga tekanan darah dapat berada dalam batas normal.
Kaji perubahan orthostatik. Perubahan posisi dari berbaring ke
duduk atau berdiri dapat menurunkan tekanan darah atau
menaikkan denyut nadi (hipotensi ortostatik). Pada defisit volume
cairan yang buruk akan mengarah adanya hipotensi.

Pantau pulse oksimetri dan auskultasi suara paru. Kelebihan
ECF dapat menyebabkan kongesti paru dan edema paru karena

Septian Mixrova Sebayang 86

tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah akan memaksa cairan
ke dalam alveoli. Pasien akan mengalami sesak nafas dan crackles
saat auskultasi. Pasien dengan defisit ECF akan mengalami
peningkatan laju pernapasan karena penurunan perfusi jaringan
dan hipoksia. Berikan oksigen sesuai indikasi.

Pasien dengan defisit volume cairan akan berisiko jatuh
karena hipotensi ortostatik, kelemahan otot, dan perubahan tingkat
kesadaran. Kaji tingkat kesadaran, gaya berjalan, dan kekuatan
otot. Terapkan pencegahan jatuh. Jika hipotensi ortostatik, ajarkan
pasien untuk mengubah posisi perlahan-lahan ketika bangkit dari
tempat tidur atau kursi. Pasang monitor pada pasien yang bingung
dan mencoba bangun dari tempat tidur tanpa bantuan.

Kaji turgor dan mobilitas kulit. Normalnya, lipatan kulit
ketika terjepit, akan mudah bergerak dan saat dilepaskan dengan
cepat kembali ke posisi semula. Pada defisit volume ECF, terjadi
penurunan turgor kulit dengan tenting, atau jeda dalam
pengembalian lipatan kulit yang terjepit ke posisi semula. Area
kulit di atas sternum, abdomen, dan lengan adalah tempat yang
biasa kita gunakan untuk menilai turgor. Pada lansia, penurunan
turgor kulit kurang dapat memprediksi cairan karena kehilangan
elastisitas jaringan.

Pada defisit cairan ringan, kulit tampak hangat, kering dan
berkerut. Tanda-tanda ini mungkin sulit untuk dinilai pada orang
dewasa yang lebih tua karena kulitnya biasanya kering, berkerut
dan tidak elastis. Setelah itu, pada defisit volume cairan yang parah,
kulit akan dingin dan lembab jika ada vasokontriksi akan
memberikan kompensasi penurunan volume cairan. Membran
mukosa mulut yang kering, lidah yang berkerut, dan sering haus.
Perawatan mulut secara rutin sangat penting untuk kenyamanan
pasien yang mengalami dehidrasi atau pembatasan cairan.

Kulit saat edema akan teraba dingin karena akumulasi
cairan dan penurunan aliran darah akibat tekanan cairan. Cairan
dapat meregangkan kulit dan menyebabkannya terasa kencang dan
keras. Kaji edema dengan menekan ibu jari dan telunjuk di atas
area edema. Gunakan skala penilaian edema jika lekukan (mulai
dari 1+ [edema ringan ; lekukan 2 mm] hingga 4+ [edema pitting ;
lekukan 8 mm]) tetap ada ketika tekanan dilepaskan. Kaji edema di

Septian Mixrova Sebayang 87

area dimana jaringan lunak mendasari tulang, terutama tibia,
fibula, dan sakrum.

7.3 Ketidakseimbangan Elektrolit

7.3.1 Ketidakseimbangan Natrium
Natrium, kation utama ECF yang memainkan peran utama

dalam menjaga konsentrasi dan volume ECF dan mempengaruhi
distribusi air antara ECF dan ICF. Natrium penting dalam
menghasilkan dan mentransmisikan impuls saraf, kontraklitas otot,
dan mengatur keseimbangan asam basa (Hoorn and Zietse, 2017).
Kadar serum natrium mencerminkan rasio natrium terhadap air,
bukan hanya jumlah natrium dalam tubuh. Perubahan dalam kadar
serum natrium dapat mencerminkan ketidakseimbangan air
primer, ketidakseimbangan natrium atau kombinasi keduanya.
Ketidakseimbangan natrium biasanya dikaitkan dengan
ketidakseimbangan volume ECF. Karena natrium adalan penentu
utama osmolalitas ECF, ketidakseimbangan natrium biasanya
dikaitkan dengan perubahan paralel dalam osmolaritas ECF.

Saluran pencernaan menyerap natrium dari makanan.
Biasanya, asupan harian natrium jauh melebihi kebutuhan harian
tubuh. Natrium keluar dari tubuh melalui urin, keringat, dan feses.
Ginjal mempunyai peran utama dalam mengatur keseimbangan
natrium. Ginjal juga mengontrol konsentrasi natrium ECF dengan
mensekresi atau menahan air dalam pengaruh ADH. Aldosteron
memegang peran yang lebih kecil dalam regulasi natrium dengan
mempromosikan natrium reabsorpsi dari tubulus ginjal.

Hipernatremia (kadar serum natrium yang tinggi) dapat
terjadi karena asupan air yang tidak memadai, kehilangan air yang
berlebih, atau penambahan natrium. Karena natrium adalah
penentu utama osmolalitas ECF, hipernatremia menyebabkan
hiperosmolalitas. Hiperosmolalitas ECF menyebabkan air bergerak
keluar dari sel untuk mengembalikan keseimbangan yang
menyebabkan dehidrasi seluler. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya, perlindungan utama terhadap perkembangan
hiperosmolalitas adalah rasa haus. Hipernatremia bukan masalah
pada orang yang sadar, yang dapat minum, memiliki rasa haus dan
mampu menelan. Hipernatremia akibat kekurangan cairan

Septian Mixrova Sebayang 88

seringkali merupakan akibat dari gangguan tingkat kesadaran atau
ketidakmampuan mendapatkan cairan

7.3.2 Ketidakseimbangan Kalium
Kalium merupakan kation utama ICF, dengan 98% dari

kalium tubuh berada dalam sel. Sebagai contoh, konsentrasi kalium
dalam otot adalah sekitar 140 mEq/L ; konsentrasi kalium dalam
ECF adalah 3.5 sampai 5.0 mEq/L. Pompa natrium-kalium dalam
membran sel mempertahankan perbedaan konsentrasi ini dengan
memompa kalium ke dalam sel dan natrium keluar. Insulin
membantu dengan merangsang pompa natrium-kalium.

Karena rasio kalium ECF terhadap kalium ICF adalah faktor
utama dalam potensi membran istirahat sel saraf dan otot,
ketidakseimbangan kalium sering mempengaruhi fungsi
neuromuskuler dan jantung. Kalium terlibat dengan pengaturan
osmolalitas intraseluler dan mendorong pertumbuhan sel. Hal ini
diperlukan untuk glikogen untuk disimpan dalam sel otot dan hati.
Kalium juga berperan dalam keseimbangan asam basa.

Makanan adalah sumber utama untuk kalium. Pola makan
dalam sehari-hari mengandung sekitar 50 hingga 100 mEq kalium,
terutama dari makanan yang kaya protein dan berbagai buah dan
sayuran. Banyak pengganti garam yang digunakan dalam diet
rendah natrium yang memiliki kalium yang substansial. Pasien
dapat menerima kalium dari sumber parenteral, termasuk cairan
IV ; transfusi darah hemolisis yang disimpan ; dan beberapa obat
tertentu (misalnya, penisilin kalium).

Ginjal adalah rute utama untuk kehilangan kalium,
menghilangkan sekitar 90% dari asupan kalium harian. Ekskresi
kalium tergantung pada tingkat kalium serum, keluaran urin, dan
fungsi ginjal. Ketika kalium serum tinggi, ekskresi kalium urin
meningkat, dan ketika kadar serum rendah, ekskresi menurun. Urin
output yang banyak dapat menyebabkan kehilangan kalium
berlebihan. Gangguan fungsi ginjal juga dapat menyebabkan retensi
kalium. Ada hubungan yang terbalik (inverse) antara natrium
dengan reabsorpsi kalium di ginjal. Faktor-faktor yang
menyebabkan retensi natrium (misalnya volume darah rendah,
hiponatremia, sekresi aldosteron) menyebabkan ekskresi kalium.

Septian Mixrova Sebayang 89

Hiperkalemia (kadar kalium tinggi) dapat terjadi karena
gangguan ekskresi ginjal, pergeseran ekskresi ginjal, pergeseran
kalium dari ICF ke ECF, asupan besar dari kalium, atau kombinasi
dari faktor-faktor ini. Penyebab paling umum dari hiperkalemia
adalah gagal ginjal. Insufisiensi adrenal dengan defisiensi
aldosteron selanjutnya menyebabkan retensi kalium. Faktor-faktor
yang menyebabkan kalium berpindah dari ICF ke ECF meliputi
asidosis, kerusakan sel masif (seperti pada luka bakar atau cedera,
tumor lisis, infeksi berat), dan olahraga yang intens. Dalam asidosis
metabolik, ion kalium berpindah dari ICF ke ECF sebagai ganti ion
hidrogen bergerak ke dalam sel.

7.3.3 Ketidakseimbangan Kalsium
Kalsium memiliki peran dalam banyak proses metabolisme.

Ini adalah kation utama dalam tulang dan gigi. Kalsium berperan
dalam pembekuan darah, transmisi impuls saraf, kontraksi
miokard, dan kontraksi otot. Sumber utama kalsium adalah asupan
makanan. Kalsium membutuhkan bentuk aktif vitamin D. Vitamin D
diperoleh dari makanan atau dibuat di kulit oleh aksi sinar
matahari pada kolesterol (Walker, 2016).

Total kalsium total tubuh sekitar 1200 gr. Tulang
mengandung 99% kalsium tubuh ; sisanya berada dalam plasma
dan sel-sel tubuh. Dari kalsium dalam plasma, 50% terikat pada
protein plasma, terutama albumin ; 40% dalam bentuk bebas atau
terionisasi, dan sisanya ditemukan terikat dengan fosfat, sitrat, atau
karbonat. Kalsium terionisasi atau bebas adalah aktif secara
biologis. Nilai pH mempengaruhi berapa banyak kalsium yang
terionisasi atau terikat dengan albumin. Penurunan nilai pH
(asidosis) menurunkan pengikatan kalsium ke albumin yang
mengarah ke lebih banyak kalsium yang terionisasi. Peningkatan
nilai pH (alkalosis) meningkatkan pengikatan kalsium, yang
menyebabkan penurunan kalsium terionisasi.

Hiperkalsemia (kalsium yang tinggi) disebabkan oleh
hiperparatiroidisme dari dua orang dari tiga orang. Kanker,
terutama hematologi, kanker payudara, dan paru-paru
menyebabkan sepertiga sisanya. Kanker menyebabkan
hiperkalsemia melalui faktor penghasil tumor yang mendorong
aktivitas osteoklastik dan resorpsi tulang. Penyebab yang lebih

Septian Mixrova Sebayang 90


Click to View FlipBook Version