jarang termasuk penggunaan diuretik thiazide, imobilisasi
berkepanjangan, dan peningkatan asupan kalsium (misalnya
penggunaan antasida yang mengandung kalsium).
7.3.4 Ketidakseimbangan Fosfat
Fosfor adalah anion utama dalam ICF dan unsur yang kedua
paling terbanyak dalam tubuh setelah kalsium. Sebagian besar
fosfor ada di tulang dan gigi sebagai kalsium fosfat. Fosfor yang
tersisa adalah aktif secara metabolik dalam bentuk garam fosfat.
Dengan demikian, penggunaan istilah fosfor dan fosfat dilakukan
secara bergantian. Fosfat sangat penting untuk fungsi otot, sel
darah merah, dan sistem saraf. Ini terlibat dalam sistem buffering
asam-basa ; pembentukan mitokondria ATP ; penyerapan seluler
dan penggunaan glukosa ; dan metabolisme karbohidrat, protein,
dan lemak.
Hormon paratiroid mempertahankan kadar dan
keseimbangan kadar fosfat. Keseimbangan fosfat yang tepat
membutuhkan fungsi ginjal yang memadai karena ginjal adalah
rute utama ekskresi fosfat. Ketika kadar fosfat dalam filtrat
glomerulus turun di bawah normal atau kadar hormon paratiroid
rendah, ginjal menyerap kembali lebih banyak fosfat. Hubungan
timbal balik ada antara fosfat dan kalsium. Ini berarti rendahnya
kadar kalsium akan menghasilkan kadar fosfat yang lebih tinggi
dan sebaliknya.
Hiperfosfatemia (kadar fosfat tinggi) umum terjadi pada
pasien dengan cedera ginjal akut atau penyakit ginjal kronis, yang
mengubah kemampuan ginjal untuk mengeluarkan fosfat.
Penyebab lainnya termasuk kelebihan asupan fosfat dari
penggunaan obat laksatif yang mengandung fosfat atau enema atau
perpindahan fosfat dari ICF ke ECF. Hal ini dapat terjadi pada
pasien dengan sindrom lisis tumor atau rhabdomyolisis.
Hipoparatiroidisme dan keracunan vitamin D menyebabkan
peningkatkan reabsorpsi fosfat ginjal meningkat.
7.3.5 Ketidakseimbangan Magnesium
Magnesium, kation intraseluler yang kedua yang paling
melimpah, memainkan peran kunci dalam proses seluler yang
penting. Ini adalah kofaktor dalam banyak enzim sistem, termasuk
Septian Mixrova Sebayang 91
yang bertanggung jawab untuk metabolisme karbohidrat, DNA dan
sintesis protein, kontrol glukosa darah, dan regulasi tekanan darah.
Magnesium dibutuhkan untuk produksi dan penggunaan ATP,
sumber energi untuk pompa natrium-kalium. Kontraksi otot dan
relaksasi, fungsi neurologis normal, dan pelepasan
neurotransmitter bergantung pada magnesium (Schiefermeier-
Mach et al., 2020).
Sekitar 50% hingga 60% magnesium tubuh disimpan dalam
otot dan tulang ; 30% berada dalam sel, dengan hanya 1% dalam
ECF. 30% berada dalam sel, dengan hanya 1% di ECF. Ginjal dan
sistem GI mengatur kadar magnesium dengan mengendalikan
jumlah magnesium yang diserap kembali dalam lengkung henle
dan tubulus distal dan penyerapan di usus kecil. Penyerapan
saluran GI dan reabsorpsi ginjal meningkat ketika kadar
magnesium rendah.
Hipermagnesemia (kadar magnesium tinggi) biasanya
hanya terjadi dengan peningkatan asupan magnesium yang disertai
dengan insufisiensi atau gagal ginjal atau kegagalan. Seorang
pasien dengan penyakit ginjal kronis yang mengonsumsi bahan
makanan atau produk yang menggunakan magnesium akan
mengalami masalah dengan kelebihan magnesium. Kelebihan
magnesium dapat terjadi pada seorang wanita hamil yang
menerima magnesium sulfat untuk pengobatan eksklampsia atau
pada pasien yang menggunakan obat laksatif dan antasida yang
mengandung magnesium.
7.4 Ketidakseimbangan Asam-Basa
Tubuh secara normal mempertahankan keseimbangan yang
stabil antara asam yang terus menerus diproduksi selama
metabolisme normal dan basa yang menetralisir dan meningkatkan
ekskresi asam. Karena asam-asam ini mengubah internal tubuh,
pengaturannya diperlukan untuk mempertahankan homeostasis
dan keseimbangan asam-basa. Banyak masalah kesehatan yang
dapat menyebabkan ketidakseimbangan asam-basa. Pasien dengan
diabetes, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), dan penyakit
ginjal sering mengalami ketidakseimbangan asam-basa.
Septian Mixrova Sebayang 92
Ingatlah bahwa ketidakseimbangan asam-basa bukanlah
penyakit, tetapi merupakan gejala dari masalah kesehatan yang
mendasarinya. Selalu pertimbangkan kemungkinan
ketidakseimbangan pada pasien dengan penyakit serius.
7.4.1 Konsentrasi pH dan Ion hidrogen
Keasamaan atau alkalinitas suatu larutan bergantung pada
konsentrasi ion hidrogennya (H+). Peningkatan konsentrasi H+
menyebabkan keasaman ; penurunan mengarah ke alkalinitas.
Konsentrasi H+ biasanya dinyatakan sebagai logaritma negatif
(disimbolkan dengan pH). Penggunaan logaritma negatif berarti
bahwa semakin rendah pH, semakin tinggi konsentrasi H+.
pH dalam larutan kimia dapat berkisar dari 1 hingga 14.
Sebuah lautan dengan pH 7 dianggap netral. Larutan asam memiliki
pH kurang dari 7, dan larutan basa memiliki pH lebih besar dari 7.
Darah bersifat sedikit basa dan memiliki pH arteri normal 7.35
hingga 7.45. Secara medis, jika pH turun di bawah 7.35, seseorang
mengalami asidosis. Jika pH darah lebih besar dari 7.45, orang
tersebut mengalami alkalosis (Reddi, Evaluation and Edition,
2018).
7.4.2 Regulasi asam-basa
Tubuh menggunakan 3 mekanisme untuk mengatur
keseimbangan asam basa dan menjaga pH antara 7.35 dan 7.45.
Yaitu buffer systems, sistem pernapasan, dan sistem ginjal. Setiap
mekanisme bereaksi pada kecepatan yang berbeda. Buffer systems
merupakan yang tercepat, bereaksi dengan segera. Sistem
pernapasan merespons dalam hitungan menit dan mencapai
efektivitas dalam hitungan jam. Respons ginjal terjadi berjam-jam
hingga berhari-hari setelah perubahan pH. Ginjal dapat menjaga
keseimbangan tanpa batas waktu pada pasien dengan
ketidakseimbangan kronis. Tetapi jika orang tersebut mengalami
fungsi ginjal, ginjal tidak akan efektif dalam menjaga keseimbangan
asam basa.
7.4.3 Gangguan Keseimbangan Asam-Basa
Ketidakseimbangan asam-basa terjadi ketika ada perubahan
dalam rasio 20 : 1 antara kandungan basa dan asam. Hal ini terjadi
ketika suatu penyakit atau proses mengubah satu sisi rasio
Septian Mixrova Sebayang 93
(misalnya, retensi CO2 dalam penyakit paru dan proses kompensasi
yang mempertahankan sisi lain dari rasio (misalnya, peningkatan
reabsorpsi HCO3 ginjal) gagal atau tidak memadai. Proses
kompensasi mungkin tidak memadai karena aktivitas patofisiologi
yang luar biasa atau tidak ada waktu yang cukup untuk proses
kompensasi untuk bekerja.
Ketidakseimbangan asam-basa diklasifikasikan sebagai
respiratory atau metabolik. Ketidakseimbangan respiratory
diakibatkan oleh perubahan konsentrasi asam karbonat.
Ketidakseimbangan metabolik mempengaruhi basa HCO3. Asidosis
terjadi dengan peningkatan asam karbonat (asidosis respiratory)
atau penurunan HCO3 (asidosis metabolik). Alkalosis terjadi
dengan penurunan asam karbonat (alkalosis respiratory) atau
peningkatan HCO3 (Alkalosis metabolik). Ketidakseimbangan
selanjutnya diklasifikasikan sebagai akut atau kronis.
Ketidakseimbangan kronis memungkinkan waktu yang lebih lama
untuk kompensasi.
Asidosis respiratory (kelebihan asam karbonat) terjadi ketika
seseorang mengalami hipoventilasi. Hipoventilasi akan
menyebabkan penumpukan CO2, mengakibatkan akumulasi asam
karbonat dalam darah. Asam karbonat berdisosiasi, melepaskan H+
dan menurunkan pH. Jika CO2 tidak dihilangkan dari darah, asidosis
dihasilkan dari akumulasi asam karbonat.
Selama asidosis pernapasan akut, mekanisme kompensasi
ginjal mulai bekerja dalam waktu 24 jam. Ginjal menghemat HCO3
dan mengeluarkan H+ yang meningkat ke dalam urin. Sampai
mekanisme ginjal memiliki efek, kadar HCO3 biasanya akan
menjadi normal dan meningkat.
Alkalosis respiratory (defisit asam karbonat) terjadi dengan
hiperventilasi, atau suatu peningkatan dalam frekuensi
pernapasan. Penyebab utama dari alkalosis respiratory adalah
hypoxemia dari gangguan paru akut (misalnya pnemonia, embolus
pulmonary). Hiperventilasi dapat terjadi sebagai respons fisiologis
pada asidosis metabolik dan meningkatkan kebutuhan metabolik
(misalnya demam). Nyeri, ansietas, dan beberapa gangguan saraf
dapat meningkatkan respirasi tanpa kebutuhan fisiologis.
Penurunan dalam kadar CO2 arterial akan menurunkan asam
karbonat dalam darah dan meningkatkan pH.
Septian Mixrova Sebayang 94
Kompensasi alkalosis respiratory jarang terjadi. Dalam
alkalosis respiratory akut, pengobatan agresif dari penyebab
hipoxemia itu penting dan biasanya tidak mengizinkan waktu
untuk kompensasi terjadi. Jika alkalosis respiratory disebabkan
oleh nyeri yang signifikan, ansietas, atau panik pernapasan yang
masuk pada sistem akan menghembuskan untuk mengeliminasi
CO2 yang dapat membantu dalam proses kompensasi. Beberapa
buffering akan terjadi dengan pergantian HCO3 ke dalam sel dalam
mengubah ion klorida. Dalam alkalosis respiratory kronik akan
terjadi dengan fibrosis pulmonary atau gangguan saraf,
kompensasi yang terjadi adalah ekskresi HCO3 dari ginjal (Harding
and Kwong, 2020).
Asidosis metabolic (Defisit bikarbonat basa) terjadi ketika
asam karbonat terakumulasi dalam tubuh atau ketika bikarbonat
hilang dalam cairan tubuh. Akumulasi ketoacid dalam diabetik
ketoasidosis dan akumulasi asam laktat dengan syok adalah contoh
akumulasi asam. Diare yang parah yang mengakibatkan hilangnya
HCO3 adalah contoh defisit basa. Pada penyakit ginjal, ginjal
kehilangan kemampuannya untuk menyerap kembali HCO3 dan
mengeluarkan H+. Untuk mengkompensasi asidosis metabolik,
ginjal mencoba untuk mengeluarkan asam ekstra dan paru-paru
meningkatkan ekskresi CO2. Pasien sering mengembangkan
pernapasan kusmaul (pernapasan dalam dan cepat) ketika
mencoba untuk mengkompensasi asidosis metabolik.
Jika terdapat asidosis metabolik, menghitung celah anion
membantu menentukan sumber asidosis. Kesenjangan anion
adalah perbedaan antara kation serum yang diukur dan anion
dalam ECF. Anion gap normal adalah 8 sampai 12 mmol/L.
Kesenjangan anion meningkat dalam asidosis metaolik yang terkait
dengan penambahan asam (misalnya asidosis laktat, diabetik
ketoasidosis) tetapi normal pada asidosis metabolik yang
disebabkan oleh kehilangan bikarbonat (misalnya diare).
Alkalosis metabolik (kelebihan bikarbonat basa) terjadi
ketika kehilangan asam (misalnya muntah yang berkepanjangan,
atau gastric suction) atau peningkatan HCO3 (misalnya dari
konsumsi baking soda) terjadi. Ekskresi ginjal HCO3 terjadi sebagai
respons terhadap alkalosis metabolik. Respons kompensasi paru
terbatas. Frekuensi pernapasan akan menurunkan sisa dari CO2.
Septian Mixrova Sebayang 95
Akan tetapi, sekali hipoxemia terjadi atau CO2 mencapai tingkat
tertentu, stimulasi kemoreseptor akan meningkatkan respirasi.
7.4.4 Manifestasi Klinis dari Ketidakseimbangan Asam-Basa
Pada asidosis respiratory dan metabolik, sistem saraf
mengalami depresi. Sakit kepala, letargi, kelemahan, dan confusion
berkembang yang akan mengarah pada koma dan kematian.
Sebagai contoh, pernapasan dalam dan cepat (kussmaul) pada
pasien dengan asidosis metabolik terjadi dengan kompensasi
pernapasan.
Pada kedua jenis alkalosis, gejala biasanya hasil dari
elektrolit abnormal dibandingkan dengan alkalosis. Hipokalsemia
terjadi karena peningkatan ikatan kalsium dengan albumin,
menurunkan jumlah ion, kalsium aktif. Disamping itu, kram otot
dan gejala gangguan saraf seperti mati rasa pada jari dan kejang
tetanus terjadi. Jika tidak tertangani, alkalosis respiratory dapat
mengancam jiwa.
Septian Mixrova Sebayang 96
DAFTAR PUSTAKA
Butcher, H.K. et al. 2018. ‘Nursing interventions classification (NIC)
seventh edition’, Elsevier, 8 Pt 2, p. 1368.
Harding, M.M. and Kwong, J. 2020. Lewis ’ s Medical-Surgical
Nursing Assessment and Management of Clinical Problems.
Eleventh. St. Louis, Missouri: Elsevier Inc.
Herdman, H.T., Kamitsuru, S. and Takao Lopes, C. 2021. NANDA
International, Inc. nursing diagnoses : definitions and
classification.
Hoorn, E.J. and Zietse, R. 2017. ‘Diagnosis and treatment of
hyponatremia: Compilation of the guidelines’, Journal of the
American Society of Nephrology, 28(5), pp. 1340–1349.
Available at: https://doi.org/10.1681/ASN.2016101139.
Moorhead, S. et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC).
Fifth Edit. St. Louis, Missouri: Mosby.
Reddi, A.S., Evaluation, C. and Edition, S. 2018. Fluid , Electrolyte
and Acid-Base Disorders. Second Edi. Newark, New Jersey:
Spinger Science.
Schiefermeier-Mach, N. et al. 2020. ‘Electrolyte intake and major
food sources of sodium, potassium, calcium and magnesium
among a population in Western Austria’, Nutrients, 12(7),
pp. 1–18. Available at:
https://doi.org/10.3390/nu12071956.
Walker, M.D. 2016. ‘Fluid and electrolyte imbalances:
Interpretation and assessment’, Journal of Infusion Nursing,
39(6), pp. 382–386. Available at:
https://doi.org/10.1097/NAN.0000000000000193.
Septian Mixrova Sebayang 97
BAB 8
ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN TRAUMA DAN SYOK
Oleh Viyan Septiyana Achmad
8.1 Definisi Trauma
Trauma” adalah cedera yang parah dan sering
membahayakan jiwa yang terjadi ketika seluruh atau suatu bagian
tubuh terkena pukulan benda tumpul atau tiba-tiba terbentur.
Kegawatdaruratan trauma muskuloskeletal adalah suatu kondisi
yang mengubah fungsi dan susunan otot, tendon, ligament, atau
tulang menjadi tidak stabil. Masalah dari musculoskeletal harus
diatasi ketika masalah jalan napas, pernapasan, tulang belakang,
sirkulasi pasien telah distabilisasi. Trauma muskuloskeletal
bermacam – macam, dari tekanan ringan pada otot sampai fraktur
dengan kerusakan jaringan. Kejadian frakture cukup tinggi di
masyarakat yang biasa terjadi di rumah, tempat kerja, kecelakaan
lalulintas atau ketika berolahraga (Sobiston & David.C, 2003).
8.2 Penyebab Trauma Muskuloskeletal
Penyebab gangguan 98usculoskeletal dapat bervariasi.
Penyebab pasti dari nyeri dapat tergantung dari:
1. Usia: Orang yang sudah lanjut usia cenderung mengalami nyeri
98usculoskeletal akibat sel-sel tubuh yang rusak.
2. Pekerjaan: Beberapa pekerjaan membutuhkan tugas yang
berulang atau menyebabkan sikap tubuh yang buruk, sehingga
membuat kamu berisiko mengalami gangguan
98usculoskeletal.
3. Tingkat aktivitas: Menggunakan otot terlalu berlebihan
maupun terlalu lama tidak aktif, seperti duduk sepanjang hari
dapat menyebabkan gangguan 98usculoskeletal.
4. Gaya hidup: Atlet lebih sering berisiko untuk gangguan
98usculoskeletal.
Viyan Septiyana Achmad 98
Jaringan otot bisa rusak akibat kelelahan dengan kegiatan
sehari-hari. Cedera atau trauma di suatu bagian yang
disebabkan oleh gerakan tiba-tiba, kecelakaan mobil, dan jatuh
juga dapat menyebabkan nyeri 99usculoskeletal. Penyebab lain
nyeri, termasuk salahnya posisi tulang belakang dari postur
tubuh yang buruk atau pendeknya otot dari kurangnya
aktivitas.
8.3 Tipe Cedera
a. Cedera Tertutup (Lokasi dalam)
Cedera dianggap tertutup ketika trauma terjadi di dalam
tubuh. Contohnya, cedera otak traumatis dapat terjadi karena
trauma akibat benda tumpul pada kepala. Sementara itu,
cedera dianggap menembus dalam kasus seperti luka akibat
tusukan pisau atau gunting.
b. Cedera Terbuka (Lokasi luar)
Patah tulang jenis ini menyebabkan tulang menonjol keluar
melalui kulit, atau luka mengarah ke situs fraktur. Kondisi ini
akan sangat memungkinkan terjadinya Infeksi dan perdarahan
eksternal.
8.4 Akibat Cedera Muskuloskeletal
a. Fraktur
Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dari tenaga tersebut,
keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak di sekitar tulang
akan menentukan kondisi fraktur tersebut (Suriya & Zurianti,
2019).
Viyan Septiyana Achmad 99
1) Tipe Fraktur
Gambar 8.1 : Jenis-jenis Fraktur
2) Penyebab Fraktur :
Faktur dapat terjadi karena beberapa penyebab antara lain
Helmi (2012) adalah :
1. Fraktur akibat peristiwa traumatik
Disebabkan trauma yang tiba-tiba mengenai tulang
yang sangar keras.
2. Faktur patologis
Disebabkan adanya kelainan tulang keliana, patologis
di dalam tulang.
3. Fraktur stress
Disebabkan oleh trauma yang terus menerus.
3) Patofisiologi fraktur :
Fraktur terjadi ketika interupsi dari kontinuitas
tulang, biasanya disertai cidera jaringan sekitar ligament,
otot, tendon, pembuluh darah, dan persyarafan. Tulang
yang sudah rusak mengakibatkan periosteum pembuluh
darah pada korteks dan sumsum tulang, proses
penyembuhan untuk memperbaiki cidera dan tahap awal
pembentukan tulang. Berbeda dengan jaringan lainnya,
tulang mengalami regenerasi tanpa menimbukan bekas
luka.
Viyan Septiyana Achmad 100
b. Kontusio
Kontusio adalah jenis luka tertutup yang paling umum.
Penyebab kontusio adalah benturan benda tumpul yang
merusak pembuluh darah kecil, kapiler, otot, dan jaringan di
bawahnya. Pada beberapa kasus, kontusio juga dapat
menyebabkan kerusakan pada tulang.
Gambar 8.2 : Kontusio
c. Strain
Strain merupakan kerusakan yang terjadi pada otot dan
atau tendon karena penggunaan atau peregangan yang
berlebihan. Jenis cedera ini terjadi akibat otot tertarik pada
arah yang salah, kontraksi otot yang berlebihan atau ketika
terjadi kontraksi, otot belum siap.
Gambar 8.3 : Strain
Viyan Septiyana Achmad 101
d. Sprain
Sprain adalah cedera pada sendi yang melibatkan robeknya
ligamen dan kapsul sendi. Sedangkan strain adalah cedera otot
atau tendon.
Gambar 8.4 : Sprain
e. Dislokasi
Dislokasi adalah kondisi ketika tulang di sendi bergeser
atau keluar dari posisi normalnya. Semua persendian di tubuh
dapat mengalami dislokasi, terutama bila terjadi benturan
akibat kecelakaan atau terjatuh ketika berolahraga.
Gambar 8.5 : Dislokasi
Viyan Septiyana Achmad 102
f. Ruptur tendon
Cedera tendon berupa rasa sakit dan memar pada
area cedera yang disebabkan karena aktivitas yang
berat. Tendon merupakan sebuah jaringan berserat yang
menempelkan otot pada tulang di tubuh manusia
Gambar 8.6 : Ruptur tendon
g. Kerusakan neurovaskuler
Neurovascularconflict (NVC) merupakan kondisi dimana
terjadi kontak/persinggungan yang tidak normal antara arteri
(pembuluh darah) di otak dengan bagian dari saraf kepala
tertentu.
h. Kompartemen sindrom
Sindrom kompartemen adalah kondisi ketika tekanan di
dalam otot meningkat. Peningkatan tekanan tersebut dapat
menghambat pasokan darah ke saraf dan sel-sel di dalam otot.
Sindrom kompartemen yang terjadi secara mendadak merupakan
kondisi gawat darurat yang harus segera ditangani.
Viyan Septiyana Achmad 103
Gambar 8.7 : Kompartemen sindrom
8.5 Diagnosis Keperawatan
a. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
(D.0077)
b. Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan perubahan
sirkulasi (D.0192)
c. Risiko Infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive
(D.0142)
8.6 Intervensi Keperawatan
SDKI SLKI SIKI
Nyeri Akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri
(D.0077) (L.08066) (I.08238)
Pengertian : Tujuan : Tindakan :
Pengalaman Setelah dilakukan Observasi
sensorik atau tindakan keperawatan - Identifikasi lokasi,
emosional yang 1x24 jam, diharapkan karakteristik, durasi,
tingkat nyeri dapat
berkaitan dengan frekuensi, kualitas,
menurun, dengan
kerusakan jaringan intensitas nyeri
- Identifikasi skala nyeri
aktual atau Kriteria hasil :
fungsional, dengan 1) Keluhan nyeri - Identifikasi respon
(5) nyeri non verbal
onset mendadak menurun (5)
2) Meringis - Identifikasi faktor
atau lambat dan
berintensitas ringan yang memperberat
Viyan Septiyana Achmad 104
hingga berat yang menurun dan memperingan
berlangsung kurang 3) Gelisah (5) menurun nyeri
dari 3 bulan. 4) Frekuensi nadi (5)
- Identifikasi
membaik - pengetahuan dan
5) Tekanan darah (5)
keyakinan tentang
membaik
nyeri
Identifikasi pengaruh
budaya terhadap
- respon nyeri
Identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas
- hidup
Monitor keberhasilan
terapi komplementer
- yang sudah diberikan
Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik
- Berikan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur,
terapi musik,
biofeedback, terapi
pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
- Control lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan
tidur
- Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Viyan Septiyana Achmad 105
Edukasi
- Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
- Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor
nyri secara mandiri
- Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik
nonfarmakologis
untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Gangguan Integritas Kulit Dan Perawatan Integritas
Integritas
Jaringan Kulit/ Jaringan (L.14125) Kulit
( D.0192)
Tujuan : ( I.11353)
Setelah dilakukan
Tindakan:
Pengertian: tindakan keperawatan
Kerusakan kulit Observasi :
atau jaringan. 1x24 jam, diharapkan
1) Identifikasi
Integritas kulit dan penyebab
jaringan dapat meningkat gangguan
integritas kulit
, dengan
Terapeutik :
Kriteria hasil :
2) Ubah posisi
1) Kerusakan setiap 2 jam
jaringan jika tirah
menurun baring
2) Kerusakan Edukasi:
lapisan kulit
menurun 3) Anjurkan minu
air yang cukup
3) Sensasi
membaik 4) Anjurkan
meningkatkan
4) Tekstur asupan nutrisi
membaik
5) Anjurkan
meningkatkan
Viyan Septiyana Achmad 106
Risiko Infeksi Tingkat Infeksi asupan buah
(D. 0142) (L.14137) dan sayur.
Pencegahan Infeksi
Pengertian: Tujuan : (I. 14539)
Berisiko mengalami Tindakan:
peningkatan Setelah dilakukan Observasi
terserang 1. Memantau
organisme patogen. tindakan keperawatan ada/tidaknya tanda-
1x24 jam, diharapkan tanda infeksi
tingkat infeksi dapat Terapeutik
menurun, dengan 2. Agar tidak terjadi
Kriteria Hasil : infeksi
1. Demam menurun 3. Agar klien merasa
nyaman dan aman
2. Kemerahan menurun
4. Agar klien terhindar
3. Nyeri menurun dari infeksi
4. Bengkak menurun nosokomial
5. Vesikel menurun
Edukasi
5. Agar klien mengetahui
tanda dan gejala
infeksi
6. Agar klien dapat
menjaga kebersihan
tangannya dan
terhindar dari infeksi
8.7 Definisi Syok
Kegaggalan sirkulai akut yang mengancam jiwa dan
mengakibatkan penggunaan oksigen yang tidak memadai oleh sel.
Definisi lain menyebutkan bahwa syok adalah sebagai sidrom
klinis yang diakibatkan dari perfusi jaringan yang tidak adekuat.
Meskipun kemajuan klinis dalam metode diagnostik dan
pengobatan, angka kematian akibat syok tetap tinggi. Syok
merupakan kondisi medis yang mengancam nyawa, yang terjadi
ketika tubuh tidak mendapat cukup aliran darah sehingga tidak
tercukupinya kebutuhan aerobik seluler atau tidak tercukupinya
oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh sehinggga
dapat menyebabkan hipoperfusi jarngan secara global dan
Viyan Septiyana Achmad 107
meyebabkan asidosis metabolik. Keadaan ini membutuhkan
penanganan yang cepat karena dapet berkmbang/memburuk
dengan cepat.
Syok merupakan sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi
dengan kondisi ketidakcukupan pasokan oksigen, nutrisi ke
jaringan serta kegagalan pembuangan metabolism atau suatu
keadaan yang terjadi bila perfusi oksigen kejaringan menjadi tidak
adekuat (Faizal, 2019). Syok dapat terjadi meskipun tekanan darah
normal dan hipotensi dapat terjadi tanpa terjadinya hipoperfusi.
Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor utama
yaitu curah jantung, volume darah, dan tonus vasomotor perifer
Gambar 8.8 : Komponen alirah darah
8.8 Tanda dan Gejala Syok
Kelelahan karena hipoksia jaringan
Haus kondisi kekurangan cairan
Pucat vasokontriksi pembuluh darah dan perdarahan
Perfusi jaringan menurun, CRT > 3 detik
Viyan Septiyana Achmad 108
Takhikardia
Takhipnea
Diaporesis
Penurunan pengeluaran urin < 0.5 -1 cc/KgBB/jam
Pulsasi melemah
Hipotensi <80 mmHg atau MAP <60 mmHg
Penurunan kesadaran
8.9 Tipe dan Penyebab Syok
Tipe Syok Penyebab
Hipovolemia Perdarahan, kebocoran kapiler,
luka bakar.
Kardiogenik IMA, distritmia, gagal jantung,
penyakit katup jantung.
Ostruktik Emboli paru, tamponade jantung,
tension pneumothorax
Distributif Sepsis, analfilatik, neurogenik,
a. Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merujuk keada suatu keadaan di mana
terjadi kehilangan cairan tubuh dengan cepat sehingga
terjadinya multiple organ failure akibat perfusi yang tidak
adekuat. Syok hipovolemik ini paling sering timbul setelah
terjadi perdarahan hebat (syok hemoragik). Perdarahan
eksternal akut akibat trauma tembus dan perdarahan hebat
akibat kelianan gastrointestinal merupakan 2 penyebab syok
hemoragik yang paling sering ditemukan. Syok hemoragik juga
bisa terjadi akibat perdarahan internal akut ke dalam rongga
toraks dan rongga abdomen
Viyan Septiyana Achmad 109
b. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa
jantung yang mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang
atau berhenti sama sekali.
Syok kardiogenik didefinisikan sebagai adanya tanda-
tanda hipoperfusi jaringan yang diakibatkan oleh gagal jantung
rendah preload dikoreksi. Tidak ada definisi yang jelas dari
parameter hemodinamik, akan tetapi syok kardiogenik
biasanya ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik
kurang dari 90 mmHg, atau berkurangnya tekanan arteri rata-
rata lebih dari 30 mmHg) dan atau penurunan pengeluaran
urin (kurang dari 0,5 ml/kg/jam) dengan laju nadi lebih dari
60 kali per menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ.
Tidak ada batas yang jelas antara sindrom curah jantung
rendah dengan syok kerdiogenik
Viyan Septiyana Achmad 110
c. Syok Ostruktif
Syok obstruktif adalah syok yang diakibatkan adanya
gangguan pada distribusi volume sirkulasi, baik pada
perubahan resistensi pembuluh darah ataupun akibat
permeabilitasnya.
d. Syok Distributif
Syok distributif atau vasogenik terjadi ketika volume darah
secara abnormal berpindah tempat dalam vaskulatur seperti
ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah perifer.
Berbagai mekanisme yang mengarah pada vasodiltasi awal
dalam syok distributif lebih jauh membagi klasifikasi syok ini
kedalam 3 tipe :
a) Syok neurogenik
Syok neurogenik disebut juga syok spinal merupakan
bentuk dari syok distributif, Syok neurogenik terjadi
akibat kegagalan pusat vasomotor karena hilangnya tonus
pembuluh darah secara mendadak di seluruh
tubuh.sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah
pada pembuluh tampung (capacitance vessels). Hasil dari
perubahan resistensi pembuluh darah sistemik
ini diakibatkan oleh cidera pada sistem saraf (seperti:
trauma kepala, cidera spinal, atau anestesi umum yang
dalam).
Viyan Septiyana Achmad 111
Syok neurogenik juga disebut sinkop. Syok neurogenik
terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di
daerah splangnikus sehingga aliran darah ke otak
berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh
suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri
hebat. Pasien merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan.
Setelah pasien dibaringkan, umumnya keadaan berubah
menjadi baik kembali secara spontan.
Trauma kepala yang terisolasi tidak akan menyebabkan
syok. Adanya syok pada trauma kepala harus dicari
penyebab yang lain. Trauma pada medula spinalis akan
menyebabkan hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis.
Gambaran klasik dari syok neurogenik adalah hipotensi
tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer.
b) Syok anafilaktik
Anaphylaxis (Yunani, Ana = jauh dari dan phylaxis =
perlindungan). Anafilaksis berarti Menghilangkan
perlindungan. Anafilaksis adalah reaksi alergi umum
dengan efek pada beberapa sistem organ terutama
kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro intestinal yang
merupakan reaksi imunologis yang didahului dengan
terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi.
Syok anafilaktik(= shock anafilactic ) adalah reaksi
anafilaksis yang disertai hipotensi dengan atau tanpa
penurunan kesadaran. Reaksi Anafilaktoid adalah suatu
reaksi anafilaksis yang terjadi tanpa melibatkan antigen-
antibodi kompleks. Karena kemiripan gejala dan tanda
biasanya diterapi sebagai anafilaksis.
c) Syok septik
Syok septik adalah bentuk paling umum syok distributuf
dan disebabkan oleh infeksi yang menyebar luas. Insiden
syok septik dapat dikurangi dengan melakukan praktik
pengendalian infeksi, melakukan teknijk aseptik yang
cermat, melakukan debriden luka ntuk membuang jarinan
nekrotik, pemeliharaan dan pembersihan peralatan secara
tepat dan mencuci tangan secara menyeluruh.
Viyan Septiyana Achmad 112
8.10 Patofisiologi Syok
a. Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi
sedemikian rupa sehingga timbul gangguan perfusi jaringan
tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler.
Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi
untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet
dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang
vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan
vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan
konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya
penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase
kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas
otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan
respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran
darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara
regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler.
Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi
glomeruler juga menurun.
Viyan Septiyana Achmad 113
b. Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu
mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang
berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi
sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat
tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia
jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme
terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya
terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah menjadi lemah,
tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena,
vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter
prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak
dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan
trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati
intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular
Coagulation).
Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan
kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini
menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia
menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari
jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok
(vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan
Viyan Septiyana Achmad 114
anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus,
pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi. Invasi
bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek
keadaan. Dapat timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas
sistim retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga
rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan
metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi
asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam laktat
ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.
c. Fase Irevesibel
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas
sehingga tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen
mempercepat timbulnya ireversibilitas syok. Gagal sistem
kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah
yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya
respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea.
8.11 Asuhan Keperawatan syok
a. Diagnosis keperawatan
Hipovolemia (D.0023) berhubungan dengan kehilangan
cairan aktif, peningkatan permiabiliats kapiler. Intake
cairan yang kurang.
Risiko Syok (D.0039) ditandadi dengan hipoksemia,
hipoksia, hipotensi, kekurangan cairan, sepsis.
Perfusi perfifer tidak efektif berhubungan dengan
kekurangan volume cairan, penurunann hemoglobin,
penurunan aliran areteri/vena.
Gangguan sirkulasi spontan (D.0007) berhubungan dengan
penuruanan fungsi ventrikel.
b. Luaran Keperawatan
Hipovolemia : Satus cairan (L.03028)
Risiko syok : Tingkat syok (L.03032)
Perfusi Perifer Tidak Efektif : Perfunsi Perifer (L.02011)
Gangguan Sirkulasi Spontan : Sirkulasi Spontan (L.02015)
Viyan Septiyana Achmad 115
c. Itervensi Keperawatan
Observasi
Monitor status kardiopulmonal (HR. Akral, Kekuatan nadi,
TD. MAP, RR).
Monitor status oksigenasi (oksimetri, nadi, AGD).
Monitor status cairan (intake-output, turgor kulit, CRT).
Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
Periksa seluruh permukaan tubuh terhadap adanya DOTS.
Tearapeutik
Pertahankan kepatenan jalan napas.
Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi
oksigen>94%.
Persiapan intubasi dan ventilasi mekanik, jika perlu.
Berikan posisi syok (modified trendelenberg)
Pasang jalur IV
Pasang kateter urine untuk menilai produksi urine
Ambil sampel pemberian transfuse darah.
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian infus cairan kristaloid 1 Liter pada
dewasa.
Kolaborasi pemberian cairan infus kristaloid 20 mL/KgBB
pada anak.
Kolaborasi pemberian transfuse darah jika perlu.
8.12 Kasus Trauma Kehilangan Darah
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat
berkurangnya volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat
terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang
menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh
non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti
luka bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik yang
paling sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga
syok hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik. Perdarahan
hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma hebat pada organ-
organ tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka ataupun
luka langsung pada pembuluh arteri utama.
Viyan Septiyana Achmad 116
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh
darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal
inilah yang menimbulkan penurunan curah jantung. Curah jantung
yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa
kejadian pada beberapa organ:
a. Mikrosirkulasi
b. Neuroendokrin
c. Kardiovaskular
d. Gastrointestinal
e. Ginjal
Klasifikasi perdarahan berdasarkan persentase volume
darah yang hilang:
1. Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)
a. Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
b. Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan
nadi, dan frekuensi pernapasan.
c. Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai
untuk kehilangan darah sekitar 10%
2. Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)
a. Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali
permenit), takipnea, penurunan tekanan nadi, kulit teraba
dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan anxietas ringan
.
b. Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar
katekolamin, yang menyebabkan peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer dan selanjutnya meningkatkan
tekanan darah diastolik.
3. Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)
a. Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi,
penurunan tekanan darah sistolik, oligouria, dan
perubahan status mental yang signifikan, seperti
kebingungan atau agitasi.
b. Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan,
30-40% adalah jumlah kehilangan darah yang paling kecil
yang menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik.
Viyan Septiyana Achmad 117
c. Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah,
tetapi keputusan untuk pemberian darah seharusnya
berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.
4. Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)
a. Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan
darah sistolik, tekanan nadi menyempit (atau tekanan
diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine
yang keluar, penurunan status mental (kehilangan
kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.
b. Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara
cepat.
Hypovolemic shock diakibatkan umumnya karena
kehilangan darahb ataupun cairan tubuh pada tubuh
manusia yang mengakibatkan jantung kekurangan darah
untuk disirkulasi sehingga dapat mengakibatkan kegagalan
organ. Kehilangan darah ini dapat diakibatkan karena
trauma akut dan perdarahan, baik secara eksternal
ataupun internal. Gejala-gejala yang dimiliki bergantung
pada persentase darah yang hilang dari seluruh darah yang
dimiliki pasien, namun ada beberapa gejala umum yang
dimiliki oleh seluruh penderita hypovolemic shock. Pada
umumnya, pasien yang menderita hypovolemic shock
memiliki tekanan darah yang rendah (dibawah 100mmHg)
dan suhu tubuh yang rendah pada bagian-bagian tubuh
perifer. Ketika mendapati seseorang yang menunjukan
gejala gejela hipovolemia maka yang pertama harua
dilakukan adalah mencari bantuan medis, sembari
menunggu bantuan medis datang Berikan pertolongan
pertama pada penderita hipovolemia, perlu digaris bawahi
bahwa penangan pertama yang tepat pada penderita
hipovolemia sangat dibutuhkan karena dapat menghindari
kematian pada penderita. Berikut hal hal atau langkah
langkah untuk memberi pertolongan pertama pada
penderita:
Jangan memberi cairan apapun pada mulut penderita
contoh memberi minum
Periksa ABC (airway, breathing, circulation)
Viyan Septiyana Achmad 118
Buat pasien merasa nyaman dan hangat, hal ini
dilakulan agar mencegah hipotermia pada pasien
Bila ditemukan adanya cedera pada kepala, leher atau
punggung jangan memindahkan posisinya
Apabila tampak adanya perdarahan eksternal maka
segera lakukan penekanan pada lokasi perdarahan
dengan menggunakan kain atau handuk, hal ini
dilakukan untuk meminimalisir volume darah yang
terbuang. Jika dirasa perlu kain atau handuk dapat
diikatkan
Jika ditemukan benda tajam masih menancap pada
tubuh penderita jangan dicabut hal ini ditakutkan akan
menyebabkan perdarahan hebat
Beri sanggaan pada kaki 45° atau setinggi 30 cm untuk
meningkatkan peredaran darah. Saat akan
dipindahkan ke dalam ambulans usahakan posisi kaki
tetap sama
Jika adanya cedera pada kepala atau leher saat akana
dinaikan menuju ambulan berulah penyangga khusus
terlebih dahulu.
8.13 Kelas Syok
Gejala Class I Class II Class III Classs
Klinis IV
<15% 15-30% 30-40%
Kehilanga EBV EBV EBV >40%
n darah (<750 ml) (750- (1500- EBV
1500 2000 ml) (>2000
Frekuensi <100 ML) ml)
nadi x/menit 120-140
Tekanan 100-120 x/menit >140
darah x/menit x/menit
Tekanan Menuru
nadi Normal normal Menurun n
normal menuru menuruN Menuru
atau n n
meningka
Viyan Septiyana Achmad 119
Gejala Class I Class II Class III Classs
Klinis IV
t 20-30
Frekuensi 14-20 x/menit 30-40 >40
napass x/menit 20-30 x/menit x/menit
Produksi >30 cc/jam oligouri/
urin cc/jam cemas 5-15 anuri
Siklus cc/jam
mental cemas bingung/ Letargis
ringan disorientas
Koneksi i kristaloi
awal Kristaloid kristaloi d+
d kristaloid darah
+ darah
8.14 Penatalaksanaan Syok
Manajemen awal syok terdiri atas tiga komponen penting
yaitu ventilasi, resusitasi cairan, dan pemberian agen vasoaktif.
Pemberian oksigen sebaiknya dimulai sesegera mungkin untuk
meningkatkan hantaran oksigen dan mencegah hipertensi
pulmonal. Monitoring saturasi dengan pulse oximetry seringkali
tidak reliabel akibat terjadinya vasokonstriksi perifer pada syok
sehingen pasien seringkali memerlukan pemeriksaan gas darah.
Intubasi endotrakeal sebaiknya dilakukan untuk memberikan
ventilasi mekanik pada pasien dengan dyspnea berat, hipoksemia,
atau asidosis persisten (pH <7,30). Kelebihan penggunaan ventlasi
mekanis adalah berkurangnya oxygen demand dari otot-otot bantu
pernapasan dan mengurangi afterload ventrikel kiri dengan
meningkatkan tekanan intratorakal. (Vincent & Backer, 2013).
8.15 Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan adalah pemberian cairan adekuat dalam
waktu relative cepat pada penderita gawat akibat kekurangan
cairan. Kekurangan cairan pada penderita gawat umumnya
perdarahan akibat kecelakaan atau kekurangan cairan karena
sebab yang lain.Penderita masih dapat bertahan hidup walaupun
kehilangan fungsi 85 % hepar. Resusitasi cairan bertujuan untuk
Viyan Septiyana Achmad 120
meningkatkan aliran darah mikrovaskuler dan meningkatkan
curah jantung. Hal ini bermanfaat pada semua jenis syok termasuk
syok kardiogenik, karena edema pada syok kardiogenik dapat
memurunkan cairan intravascular efektif, Pemberian cairan
sebaiknya dimonitor dengan ketat, karena pemberian cairan yang
berlebihan dapat berakibat pada edema dan konsekuensi lainnya.
(Vincent & Backer, 2013). Jika hipotensi memberat atau menetap
setelah dilakukan pemberian cairan, penggunaan vasopressor
seringkali diperlukan. Agonis adrenergic merupakan lini pertama
vasopressor karena onsetnya yang cepat, potensi yang tinggi, dan
half-life yang rendah sehingga memudahkan penyesuaian dosis.
Norepineprine merupakan pilihan pertama vasopressor pada syok,
dimana pemberiannya dapat meningkatkan MAP yang signifikan
dengan sedikit peningkatan pada laju nadi dan curah jantungDosis
norepinephrine yang diberikan antara 0,1-2 mcg/kg/menit
(Vincent & Backer, 2013) Penanggulangan syok dimulai dengan
tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi
jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan
suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok.
8.16 Cara Penggantian Cairan/Darah
Estimasi Penggantian cairan
kehilangan
darah
1000 ml 3000 ml kristaloid atau 1000 ml
koloid
1500 ml 1500 ml kristaloid dan 1000 ml
koloid atau 4500 ml kristaloid
2000 ml 1000 ml kristaloid, 1000 ml koloid
dan 2 unit darah, atau 3000 ml
kristaloid dan 2 unit darah
Viyan Septiyana Achmad 121
8.17 Evaluasi
Kriteria hasil :
Perpusi jaringan akan optimal dengan kriteria :
Kulit hangat tidak pucat dan turgor normal.
CRT < 2 detik.
Vena jugular tidak kolaps/distensi.
Tekanan darah kurang lebih 20 mmHd dari tekanan darah pre-
syok.
Intake output seimbang
HR 60-100 x/menit kuat dan teratur
RR 10-20 x/menit teratur
MAP 70 mmHg
Output urine 30-60 mL/jam.
Viyan Septiyana Achmad 122
DAFTAR PUSTAKA
Burner dan Sudarth. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah.
Jakarta; EGC.
Charles, D. 2011. Traumatic hemoragic shock : Advance in fluid
Maangemen. Emergency Medicien Practice.
Dossey, BM. 2012 . Critical Care Nursing Body Mind Spirit.3 rd
edition. Philadelpia : JB LIpincott.
Erita dan Mahendra, Donny. 2019. Buku materi pembelajaran
manajemen gadar lanjutan 1. Jakarta: Universitas Kristen
Indonesia
Helmi, Zairin Noor. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskulokeletal.
Jakarta : Salemba Medika
Hudak. CM. Gallo BM., 2018. Critical Care Nursing, a Holistic
Approach. Philadelpia : Lipincot.
Jordan, KS. 2012. Emergency Nursing Care Curiculum. Philadelpia :
W.B. Sauders Company.
Lumbantoruan, P., & Nazmudin. 2015. BTCLS dan Disaster
Management. Tanggerang Selatan: Medhatama Restyan.
M Black Joyce dan Jane Hokanson Hawks. 2014. Keperawatan
Medical Bedah Manajemen Klinis Untuk Hasil Yang
Diharapkan. Jakarta; CV Pentasada Media Edukasi.
Nuririf Huda Amin dan Hardi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-
Noc. Jilid 2.Jogjakarta; Medication Jogja.
Purwanto, Hadi. 2016. Modul bahan ajar keperawatan cetak KMB II
komprehensif. Pusdik SDM Kesehatan
Sheehy. 2018. Keperawatan Gawat Darurat Dan Berencana.
Singapura: Elsevier.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016, Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasioanal Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018, Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasioanal Indonesia.
Viyan Septiyana Achmad 123
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018, Standar Luaran Keperawatan
Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasioanal Indonesia.
Wahyuningsih, Heni Puji dan Yuni kusmiyati.2017. Anatomi
Fisiologi. Pusdik SDM Kesehatan.
Viyan Septiyana Achmad 124
BAB 9
ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN YANG MENGALAMI
PERUBAHAN IMUNITAS
Oleh Tunik
9.1 Pendahuluan
Sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar
biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu
organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini
akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta
menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika
sistem kekebalan melemah, kemampuan melindungi tubuh juga
berkurang, sehingga menyebabkan pathogen, termasuk virus dapat
berkembang dalam tubuh. Sistem imun ada 2 yaitu sistem imun
non spesifik dan sistem imun spesifik. Sistem imun non spesifik
merupakan sistem imun yang ada dan aktif sejak lahir, merupakan
tentara terdepan dalam sistem imun, contohnya kulit, selaput
lender, silia, asam lambung atau enzim. Sistem imun spesifik
merupakan sistem imun yang mampu mengenal dan
menghancurkan benda asing ketika benda asing tersebut sudah
dikenalnya, sistem imun ini terdiri dari sistem imun humoral dan
selular (Manurung, 2018).
Mekanisme kekebalan tubuh merupakan sistem pertahanan
tubuh yang terintegrasi sejak awal konsepsi (pembuahan), yang
merupakan pertahanan tubuh sebagai software bawaan setiap
manusia. Sistem imun juga dapat berubah menjadi suatu penyakit
yang dalam beberapa jenis tidak bisa disembuhkan. Contoh saat
udara dingin, sering mengalami hidung tersumbat, bersin-bersin,
ini merupakan mekanisme untuk menghangatkan dan
melembabkan udara luar yang kita hirup ke paru-paru, tetapi pada
orang-orang tertentu justru udara dingin tersebut akan memicu
Tunik 125
timbulnya reaksi yang berlebihan seperti timulnya alergi, sesak
nafas.
Imunitas merupakan semua mekanisme fisiologis yang
membantu untuk mengenal benda asing, menetralkan dan
mengeliminasi benda asing, memetabolisme benda asing tanpa
menimbulkan kerusakan jaringan sendiri. Beberapa penyakit
akibat gangguan sistem imun antara lain HIV/AIDS, SLE (Sistemic
Lupus Erytematosus), GBS (Guillain Barre Syndrome), Grave Disease,
Miastenia Gravis.
9.2 Penyakit Imunitas
1. Hipersensitivitas
Hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, terjadi
akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh Gell dan
Coombs dibagi dalam tipe 4 reaksi berdasarkan kecepatan dan
mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, DAN IV. Reaksi
itu dapat terjadi sendiri-sendiri, tetapi klinik sering dua atau
lebih jenis tersebut bersamaan.
2. Autoimunitas
Autoimunitas atau hilangnya toleransi ialah sistem imun
terhadap antigen jaringan sendiri. Antigen tersebut disebut
autoantigen sedangkan antibodi yang dibentuk disebut
autoantibodi. Penyakit autoimunitas dapat dibagi atas
beberapa golongan, yaitu :
a. Berdassarkan organ : terdiri atas penyakit autoimun organ
spesifik dan non organ spesifik.
b. Berdassarkan mekanisme : penyakit autoimun melalui
antibody (anemia hemolitik autoimun, miastenia gravis
dan tirotoksikosis), penyakit autoimun melalui kompleks
imun (LES, AR), penyakit autoimun melalui sel T dan
penyakit autoimun melalui komplemen.
3. HIV/AIDS
AIDS adalah singkatan dari acquired immunedeficiency
syndrome, merupakan sekumpulan gejala yang menyertai
infeksi HIV. Infeksi HIV disertai gejala infeksi yang oportunistik
yang diakibatkan adanya penurunan kekealan tubuh akibat
Tunik 126
kerusakan sistem imun. Sedangkan HIV adalah singkatan dari
Human Immunodeficiency Virus.
9.3 Penyakit Autoimun
Autoantibodi ditemukan pada setiap individu tetapi jarang
menyebabkan penyakit. Pada beberapa penyakit, peningkatan
kadar autoantibodi jelas merupakan akibat bukan penyebab
(misalnya antibody kardiolipin pada sifilis). Akan tetapi, pada
beberapa penyakit, autoantibodi adalah kelainan abnormal
pertama, utama, atau satu-satunya yang ditemukan. Anemia
hemolitik dan trombositopenia, walaupun dapat timbul akibat obat,
sering kali idiopatik. Korelasi antara kadar autoantibodi dan
perusakan sel tidak selalu sangat dekat, menunjukkan adanya
peran proses patalogis lain.
1. Tiroiditis adalah salah satu kandidat terbaik untuk
autoimunitas “primer”. Kemungkinan terdapat stimulasi
(tirotoksikosis) oleh antibody terhadap reseptor TSH hipofisis,
atau inhibisi (miksoedema) oleh perusakan sel, kemungkinan
diperantai oleh sel T sitototksik dan autoantibodi. Ekspresi
anomaly antigen DR (HLA kelass II) dijumpai di sejumlah kasus
besar.
2. Anemia pernisiosa timbul akibat defisiensi faktor intrinsic
lambung, pembawa normal vitamin B12. Hal ini dapat timbul
baik akibat perusakan autoimun sel pariental (gastritis atrofi)
maupun akibat autoantibodi terhadap faktor intrinsic itu
sendiri.
3. Diabetes, penyakit Addison (hipofungsi adrenal) dan penyakit
endokrin lain sering kali ditemukan bersamaan pada pasien
atau keluarga, menunjukkan adanya dasar predisposisi genetik.
Kerusakan sesungguhnya terutama kemungkinan diperantai
oleh sel T penyakit diabetes terhadap sel β pancreas, dan
penyakit Addison terhadap korteks adrenal.
4. Myasthenia gravis, yaitu transmisi neuromuscular secara
intermiten terganggu, dihubungkan dengan autoantibodi dan
perusakan terhadap reseptor asetilkolin pascasinapsis. Sering
kali ditemukan kelainan abnormal timus dan dapat
Tunik 127
disembuhkan dengan temektomi, walaupun belum dapat
dijelaskan alasannya.
5. Artritis rheumatoid ditandai oleh, dan titmbul akibat,
autoantibodi terhadap IgG (faktor reumatoid). Kerusakan sendi
sebagian diperantarai oleh kompleks imun, tetapi aktivasi
makrofag dependen-sel-T (hipersensitivitas tipe IV) juga turut
berperan. Pada kedua kasus, pelepasan TNFα dan IL-1
menyebabkan patologi utama, dengan mengaktivasi degradasi
kartilago.
6. SLE pada lupus eritematosus sistemik, autoantibodi melawan
antigen nuklear, termasuk DNA, RNA dan protein berkaitan-
asam nukleat. Timbunan kompleks imun tersebar di sistem
vaskular, menyebabkan pola penyakit “nonspesifik-organ”.
Seperti penyakit “spesifik-organ” (di atas), penyakit
nonspesifik-organ cenderung timbul bersamaan. Belum
diketahui mengapa kompleks yang berbeda merusakn organ
yang berbeda; kemungkinan yang jelas adalah adanya suatu
peran antigen setempat. Penyimpanan pengaturan interferon
tipe I dapatberperan menimbulkan penyakit.
Penatalaksanaan autoimunitas : belum ada obat untuk
menyembuhkan sebagian besar penyakit autoimun, dan terapi
hanya simptomatis; misalnya obat anti-infamasi untuk artritis
rheumatoid, atau insulin untuk diabetes tipe I. Jika penyebabnya
adalah autoantibodi (misalnya pada myasthenia), plasferesis dapat
diberikan manfaat jangka pendek. Pemulihan yang luar biasa pada
pasien artritis rheumatoid dan penyakit Crohn telah diperoleh
dengan terapi antibodi berafinitas tinggi terhadap TNFα, atau
dengan memberikan bentuk reseptor TNFα mudah larut, keduanya
diduga menghambat kaskade inflamasi dalam jaringan yang
terkena: hal ini menjadi satu-satunya contoh keberhasilan terapi
dengan antibody antisitokin. Antibodi yang membuang sel B
(misalnya dengan mengikat CD20) juga efektif pada sebagian
pasien, walaupun penyakit muncul kembali setelah populasi sel B
beregenerasi. Pendekatan imunomodulasi yang lebih spesifik-
antigen yang saat ini sedang diuji adalah imunisasi terhadap
kelompok reseptor sel T tertentu, pencetusan toleransi oral oleh
Tunik 128
pemberian makanan autoantigen, dan berbagai usaha
memperbanyak populasi T (J.H.L. Playfair & B.M. Chain. 2009).
9.4 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Yang
Mengalami Perubahan Imunitas
9.4.1 HIV AIDS
1) Konsep Penyakit HIV_AIDS
a. Definisi
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS)
Merupakan kumpulan syndrom yang fatal karena terjadi
kerusakan yang progresif pada sistem kekebalan tubuh
sehingga menyebabkan manusia sangat rentan mudah
terjangkit beberapa penyakit.
b. Patofisiologi
HIV menginfeksi sel CD4 limfosit dan makrofag
yang menyebabkan kerusakan sel, virus akan
memperbanyak diri atau bereplikasi, menghancurkan CD4
limfosit dan melepaskan virus yang baru kedalam darah.
Akibatnya, sel CD4 limfosit banyak yang mati dan
berkurang jumlahnya tetapi jumlah virus HIV semakin
bertambah sehingga daya tahan tubuh berkurang. Daya
tahan tubuh berkurang akan menyebabkan infeksi
oportunistik dan keganasan.
Pasien dengan AIDS akan terjadi infeksi
oportunistik apabila memiliki nilai CD4+ <200 sel/µL.
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang terjadi akibat
organisme yang secara normal, tidak menyebabkan infeksi
akibat penurunan daya tahan tubuh yang berat. Infeksi
oportunistik dapat mempengaruhi beberapa sistem tubuh
diantaranya yaitu sistem respirasi mengakibatkan infeksi
yang paling sering terjadi yaitu PCP (pneumositis Carinii
pneumonia) dan TBC (tuberculosis mycobacterium), pada
sistem pencernaan terjadi gastroenteritis dan diare yang
berat terrutama pada jumlah CD4 kurang dari 50 sel/µL
yang akan mengakibatkan dehidrasi, gangguan elektrolit,
gangguan melabsorpsi dan esopageal kandidias, sedangkan
sistem persarafan menyebabkan terjadinya AIDS dementia
Tunik 129
complex (ADC), toxoplasmosis, dan progressive multifocal
leukoencephalopathy (PML). AIDS juga dapat menyebabkan
gangguan pada sistem metabolic yang mengakibatkan
lipodistrofi dan gangguan mitokondrial. Lipodistrofi adalah
perubahan dalam penampilan tubuh dan perubahan
metabolik. Perubahan dalam penampilan tubuh termasuk
peningkatan lingkar perut, distribusi abnormal lemak di
daerah supraklavikula (mis. punuk kerbau), kehilangan
lemak dari wajah dan ekstremitas dan pembesaran
mamae pada pria dan wanita. Sedangkan perubahan
metabolik yaitu peningkatan kolesterol serum, trigliserida
dan resistensi insulin. Sedangkan, pada gangguan
mitokondria adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh terapi antiretroviral, khususnya,
nucleoside reverse transcriptase inhibitor. Mitokondria
mengontrol banayak reaksi kimia oksidatif yang
melepaskan energi dari glukosa dan molekul organik
lainnya. Dengan tidak adanya fungsi mitokondria normal,
sel-sel kembali ke metabolisme anaerobic dengan generasi
asam laktat. Pasien sering mengeluh gejala gastrointestinal
nonspesifik, termasuk mual, muntah, dan sakit perut.
Keganasan pada penyakit AIDS juga dapat terjadi
dan memperberat kondisi pasien. Keganasan yang paling
sering terjadi yaitu sarcoma Kaposi, limfoma non-Hodgkin,
dan karsinoma serviks noninvasive atau dysplasia servikal.
Selain itu juga, pada pasien AIDS mengalami wasting
sindrom yaitu ditandai dengan penurunan berat badan
yang tiba-tiba minimal 10% dari berat badan awal dengan
adanya diare, lebih dari dua kali perhari, atau kelemahan
kronis, dan demam (Dosen Keperawatan Medikal Bedah
Indonesia, 2017).
c. Penyebab
AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV
(Human Immune deficiency Virus). Virus penyebab AIDS
diidentifikais oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 yang
pada waktu itu diberi nama LAV (Lymphadenopathy virus)
sedangkan Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS
pada tahun 1984 yang pada saat itu dinamakan HTLV-III.
Tunik 130
Sedangkan tes untuk memeriksa antibody terhadap HIV
dengan cara Eliza baru tersedia pada tahun1985.
d. Tanda gejala
a) Muncul ruam kecil di kulit
b) Infeksi jamur kuku
c) Ulcus mulut berulang
d) Herpes zoster
e) ISPA berulang
f) Tonsilitas
g) Faringitis
h) Terjadi penurunan BB
i) Pembesaran kelenjar limfe
j) Keringat berlebihan dan demam berkepanjangan
k) Diare kronis, flu kronis
l) Muncul IO ( infeksi yang jarang terjadi pada orang
sehat tetapi terjadi pada orang yang kekebalan
tubuhnya terganggu) seperti : Kanker kulit,
Candidiasis, Herpes simplex, Nefrofati menyebabkan
infeksi, Kardiomiopati, Kandidiasis, Limfoma,
Ensepalopati, dan lain-lain.
e. Cara penularan
a) Secara vertikal atau MTCT (mother to child
trasmission) dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak
(selama mengandung, persalinan, menyusui). Angka
penularan selama kehamilan sekitar 5-10% namun
jika ODHA yang hamil tidak diberikan HAART (highly
active antiretroviral therapy) selama kehamilan maka
80% akan beresiko terjadi penularan ke janin pada
usia kehamilan diatas 36 minggu, sewaktu persalinan
10-20% dan saat pemberian ASI 10-20%
b) Secara trans seksual (homoseksual dan heteroseksual)
Virus HIV berada di cairan semen, cairan cerviks dan
cairan vagina. Transmisi infeksi HIV melalui hubungan
seksual lewat anus lebih mudah karena hanya terdapat
membran mucosa rectum yang tipis dan mudah robek
sehingga anus sering terjadi robek
c) Secara horizontal yaitu kontak antar darah atau
produk darah yang terinfeksi
Tunik 131
Pengguna yang paling beresiko adalah pengguna
narkoba intravena dengan pemakaian jarum suntik
secara bersamaan tanpa memperhatikan
kesterilisasiannya. Selain itu penerima transfusi darah
juga sangat beresiko terhadap penularan HIV
(Wulandari,N.A & Setiyorini, E. 2016)
f. Strategi pencegahan
Strategi pencegahan HIV-AIDS dengan menggunakan
strategi sebagai berikut :
a) A : Abstinence, merupakan suatu sikap untuk tidak
melakukan hubungan seks secara bebas
b) B: Be faithful, merupakan sikap untuk setia pada
pasangan
c) C: Condom, menggunakan kondom saat hubungan
seks dan kondom juga digunakan bagi pasangan yang
keduanya HIV+
d) D: Don’t inject , tidak menggunakan narkoba dengan
cara suntik karena kebiasaan buruk pencandu narkoba
sering berganti jarum dapat menjadi transmisi
penyebaran virus HIV
e) E: education, pemberian informasi dari sumber yang
kompeten melalui penyuluhan, seminar, pelatihan dan
lain-lain mengenai penyakit HIV-AIDS
g. Penatalaksanaan secara umum
a) Pemberian terapi Antirotriviral
Tujuan pemberian adalah : Menjaga jumlah HIV pada
tubuh dengan jumlah yang rendah, Mengurangi
kerusakan kekebalan tubuh, Meningkatkan mutu
hidup ODHA
b) Memberikan dukungan psikologis pada pasien
c) Pemberian nutrisi yang adekuat
d) Penanganan penyakit penyerta
2) Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan dilakukan secara menyeluruh pada
pasien, meliputi :
a. Sistem pernafasan : Dipsnea, TBC, dan Pneumonia
Tunik 132
b. Sistem pencernaan : Nausea-vomiting, Diare, disfagia,
penurunan erat badan
c. Sistem persarafan : letargi, nyeri sendi, dan encepalopati
d. Sistem integumen : edema, lesi pada kulit dan mukosa
e. Integritas ego : perasaan tidak berharga, perasaan putus
asa
f. Psikis : menyangkal, marah, cemas, mudah tersinggung
g. Sosial : perasaan minder dan tidak berguna di masyarakat,
merasa terisolasi /ditolak
h. Ketergangtungan : perasaan membutuhkan pertolongan
orang lain
3) Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien dengan HIV-
AIDS (Kurniawati, Ninuk D dan Nursalam, 2009) antara lain :
a. Diare berhubungan dengan pengobatan, diet dan infeksi
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan,
kelelahan,efek samping pengobatan, demam, malnutrisi,
dan gangguan pertukaran gas
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
penurunan energy, kelelahan, infeksi respirasi,
pneumotoraks
d. Kecemasan berhubungan dengan prognosis yang tidak
jelas, persepsi tentang efek penyakit, dan pengobatan
terhadap gaya hidup
e. Kelelahan berhubungan dengan proses penyakit serta
kebutuhan psikologis dan emosional yang sangat banyak
f. Volume cairan kurang berhubungan dengan asupan cairan
yang tidak adekuat skunder terhadap lesi oral dan diare
4) Intervensi
a. Diare
Intervensi Keperawatan : Manajemen Diare
1. Observasi
Identifikasi penyebab diare (mis. inflamasi
gastrointestinal, iritasi gastrointertinal, proses
infeksi, melabsorpsi, ansietas, stres, efek obat-
obatan, pemberian botol susu)
Idenfikasi riwayat pemberian makanan
Tunik 133
Identifikasi gejala invaginasi (mis. tangisan keras,
kepucatan pada bayi)
Monitor warna, volume, frekuensi, dan konsistensi
tinja
Monitor tanda dan gelaja hypovolemia (mis.
takikardia, nadi teraba lemah, tekanan darah
turun, turgor kulit turun, mukosa mulut kering,
CRT melambat, BB menurun)
Monitor iritasi dan ulserasi kulit di daerah
perianal
Monitor jumlah pengeluaran diare
Monitor keamanan penyiapan makanan
2. Terapeutik
Berikan asupan cairan oral (mis. larutan garam
gula, oralit, pedialyte, renalyte)
Pasang jalur intravena
Berikan cairan intravena (mis. ringer asetat, ringer
laktat), jika perlu
Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah
lengkap dan elektrolit
Ambil sampel fases untuk kultur, jika perlu
3. Edukasi
Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara
bertahap
Anjurkan menghindari makanan pembentukan
gas, pedas dan mengandung laktosa
Anjurkan sampel fases untuk kultur, jika perlu
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat antimotilitas (mis.
loperamide, difenoksilat)
Kolaborasi pemberian obata
antispasmodic/spasmolitik (mis. papaverin,
ekstak belladonna, mebeverine)
Kolaborasi pemberian obat pengeras fases (mis.
atapulgit, smektit, kaolin-pektin)
Tunik 134
b. Intoleransi Aktivitas
Intervensi Keperawatan : Edukasi aktivitas/Istirahat
1. Observasi
Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
2. Terapeutik
Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas
dan istirahat
Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan
sesuai kesepakatan
Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga
untuk bertanya
3. Edukasi
Jelasskan pentingnya melakukan aktivitas
fisik/olahraga secara rutin
Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok,
aktivitas bermain atau aktivitas lainnya
Anjurkan penyusunan aktivitas dan istirahat
Ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhan istirahat
(mis. kelelahan, sesak napas saat aktivitas)
Ajarkan cara mengidentifikasi target dan jenis
aktivitas sesuai kemampuan
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif
Intervensi Keperawatan : Manajemen Napas Jalan
1. Observasi
Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha
napas)
Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling,
mengi, wheezing, ronkhi kering)
Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
2. Terapeutik
Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-
tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma
servikal)
Posisikan semi-Fowler atau Fowler
Berikan minum hangat
Tunik 135
Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
endotrakeal
Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
McGill
Berikan oksigen, jika perlu
3. Edukasi
Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
Ajarkan teknik batuk efektif
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
Intervensi Keperawatan : Latihan Batuk Efektif
1. Observasi
Idenfikasi kemampuan batuk
Monitor adanya retensi sputum
Monitor tanda dan gejala infeksi seluran nafas
Monitor input dan output cairan (mis. jumlah dan
karakteristik)
2. Terapeutik
Atur posisi semi-Fowler atau Fowler
Pasang periak dan bengkok di pangkuan pasien
Buang secret pada tempat sputum
3. Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
Anjurkan Tarik nafas dalam melaluai hidung
selama 4 detik, ditahan selama 2 detik, kemudian
keluarkan dari mulut dengan bibir mecucu
(dibulatkan) selama 8 detik
Anjurkan mengulangi tarik napas dalam 3 kali
Anjurkan batuk kuat dengan langsung setelah
Tarik nafas dalam yang ke-3
Tunik 136
4. Kolaborasi
Kolaorasi pemberian mukolitik atau ekspektoran,
jika perlu
d. Kecemasan
Intervensi Keperawatan : Reduksi Ansietas
1. Observasi
Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (mis.
kondisi, waktu, stressor)
Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan
nonverbal)
2. Terapeutik
Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan
kepercayaan
Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika
memungkinkan
Pahami situasi yang membuat ansietas
Dengarkan dengan penuh perhatian
Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
Tempatkan barang pribadi yang memberikan
kenyamanan
Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu
kecemasan
Diskusikan perencanaan realistis tentang
peristiwa yang akan datang
3. Edukasi
Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang
mungkin dialami
Informasikan secara factual mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien,
jika perlu
Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak
kompetitif, sesuai kebutuhan
Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
Tunik 137
Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi
ketegangan
Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri
yang tepat
Latih teknik relaksasi
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
e. Kelelahan
Intervensi Keperawatan : Manajemen Energi
1. Observasi
Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
mengakibatkan kelelahan
Monitor kelelahan fisik dan emosional
Monitor pola dan jam tidur
Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama
melakukan aktivitas
2. Terapeutik
Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
(mis.cahaya, suara, kunjungan)
Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
Fasilatasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau berjalan
3. Edukasi
Anjurkan tirah baring
Anjurkan melakukan aktivatas secara bertahap
Anjurkan menghubungi perawat jika dan gejala
kelelahan tidak berkurang
Ajarkan strategi koping untukmengurangi
kelelahan
4. Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
Tunik 138
f. Volume cairan kurang
Intervensi Keperawatan : Manajemen Cairan
1. Observasi
Monitor status hidrasi (mis. Frekuensi nadi,
kekuatan nadi, akral, pengisian kapiler,
kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah)
Monitor berat badan harian
Monitor berat badan sebelum dan sesudah dialysis
Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (mis.
hematokrit, Na, K, Cl, berat jenis urine, BUN)
Monitor status hemodinamik (mis. MAP, CVP, PAP,
PCWP jika tersedia)
2. Terapeutik
Catat intake-output dan hitung balans cairan 24
jam
Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
Berikan cairan intravena, jika perlu
3. Kolaborasi
Kolaborassi pemberian diuretik, jika perlu
9.4.2 Sistemic lupus erythematosus (SLE)
1) Konsep penyakit Sistemic lupus erythematosus (SLE)
a. Definisi
Sistemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit
autoimun kronis yang akan berpengaruh terhadap organ
dan jaringan dalam tubuh (Fava, A., & Petri, M. (2019)
b. Penyebab
penyebab Sistemic Lupus Erythematosus (Camarasari, L.
2022) dibagi menjadi 2 faktor, yaitu :
a) Faktor Genetik dan usia. Pengaruh riwayat keluarga
terhadap terjadinya penyakit ini pada individu
tergolong rendah, yaitu 3-18%. Faktor genetik dapat
mempengaruhi keparahan penyakit.
b) Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu
terjadinya Sistemic Lupus Erythematosus antara lain:
1) Hormon Hormon estrogen.
Tunik 139
2) Obat-obatan, beberapa obat dapat menyebabkan
terjadinya gangguan sistem imun yaitu molekul
obat memiliki struktur yang sama dengan molekul
di dalam tubuh sehingga menyebabkan gangguan
imun.
3) Infeksi, infeksi dapat memicu respon imun
sehingga menyebabkan penyakit autoimun.
4) Paparan sinar ultraviolet, hal ini berkaitan dengan
fotosensitivitas pada penderita
c. Kriteria diagnostic
Berdasarkan kriteria American College of Rheumatology
(ACR) 1982, diagnosis SLE dapat ditegakkan secara pasti
jika dijumpai empat kriteria atau lebih dari 11 kriteria,
yaitu :
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada
daerah malar dan cenderung tidak melibatkan
lipat nasilabial
Ruam Plak eritema menonjol sumbatan folikular. Pada
SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitivit Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
as terhadap sinar matahari
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak
terasa nyeri
Artritis Atritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih
sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak
atau efusia
Serosis a. riwayat penyakit pleuritik atau terdapat efusi
(Pleuritis, pleura
pericarditi)
Gangguan a. Proteinuria menetap >0,5 gram/hari atau >3+
renal bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
Gangguan a. Kejang
neurologi b. Psikosis
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulus
hematologik b. Lekopenia <4000/mm3 pada dua kali
Tunik 140