Tabel 7.15 Akseptibilitas Masyarakat pada Wisata Pesisir
No Kelurahan Akseptibilitas Total
I II III IV V VI Orang (%)
1 Tontouan 8 10 8 10 9 10 57 95
2 Mangkio 8 10 8 9 8 8 51 85
3 Kaleke 10 10 9 10 10 10 59 98
4 Soho 10 10 10 10 10 10 60 100
5 Bungin 10 10 10 10 10 10 60 100
6 Luwuk 10 10 10 10 10 10 60 100
7 Baru 9 9 99 8 8 52 86
8 kKeraton 10 10 10 10 10 10 100 100
Sumber: Olahan data lapang (2013)
I: makna wisata pesisir, II: menyadari manfaat ekonomi, III: memahami dampak wisata terhadap lingkungan,
IV: wisata dapat memperbaiki infrastruktur dan fasilitas, V: menjadi pelaku dan berpartisipasi langsung,
VI: setuju kawasan LKL ditetapkan sebagai kawasan tujuan wisata pesisir
Tabel 7.15 menunjukkan bahwa masyarakat lokal
Kota Luwuk pada umumnya mendukung rencana wisata
pesisir Lalong Kota Luwuk. Akseptibilitas di Kelurahan
Keraton, Kelurahan Luwuk, Kelurahan Bungin, Kelurahan
Kaleke, Kelurahan Soho, dan Desa Tontouan sangat
mendukung akan adanya rencana wisata pesisir Lalong
Kota Luwuk. Artinya, masyarakat di kelurahan ini memiliki
kepekaan rendah karena latar belakang pekerjaan
masyarakat tidak cukup bergantung pada kawasan pesisir
Lalong Kota Luwuk.
Akan tetapi kepentingan ekonomi sangat besar
ketika menjadi kawasan wisata pesisir. Sedangkan di
Kelurahan Baru dan Kelurahan Mangkio cukup mendukung
akan adanya rencana wisata Lalong Kota Luwuk karena
pendapatan ekonomi masyarakat bergantung pada aktivitas
di atas laut. Artinya, masyarakat pada kelurahan ini
memiliki kepekaan karena masyarakat bergantung pada
sumber daya kawasan tersebut.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 87
Tabel 7.16 Preferensi Masyarakat terhadap Peluang
Ekonomi Wisata Pesisir LKL
No Kelurahan Peluang ekonomi Total
I II III IV V Orang (%)
1 Tontouan 8 8 10 10 9 45 90
42 84
2 Mangkio 10 10 8 6 8 46 92
44 88
3 Kaleke 10 10 10 6 10 48 96
48 96
4 Soho 10 8 10 6 10 42 84
48 96
5 Bungin 10 8 10 10 10
6 Luwuk 10 10 10 8 10
7 Baru 10 8 8 8 8
8 kKeraton 10 8 10 10 10
Sumber: Olahan data lapang (2013)
I: Membuka usaha toko, rumah makan, penginapan, II: karyawan, pemandu wisata,
III: pengembangan objek dan atraksi , IV: bertani, nelayan, V: penyedia produk wisata
Tabel 7.16 menunjukkan sebagian besar masyarakat
memberi tanggapan positif terhadap jenis partisipasi dalam
melakukan usaha ekonomi yang terkait dengan kegiatan
wisata. Masyarakat cenderung untuk berpartisipasi
langsung maupun penunjang kegiatan wisata yaitu
membuka usaha rumah makan, cafe, penginapan,
pengembangan objek dan atraksi, dan penyedia produk
wisata. Kelurahan Mangkio dan Baru memiliki kepekaan
terhadap rencana pengembangan wisata pesisir LKL.
Menurut Badan Pusat Statistik (2018), masyarakat
di kelurahan tersebut merupakan masyarakat pendatang
(suku Buton dan suku Muna) dan kurang lebih 90%
memiliki pekerjaan sebagai buruh pelabuhan LKL. Oleh
karena itu, diupayakan masyarakat tersebut menjadi pelaku
wisata pesisir Lalong Kota Luwuk yang terkait langsung
dengan pekerjaan sebelumnya dengan mengikuti berbagai
pelatihan sehingga mudah beradaptasi dan menjadi
alternatif mata pencaharian.
88 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
E. Zona Potensial Wisata Pesisir
Zona potensial kawasan wisata pesisir Lalong Kota
Luwuk diperoleh dari zona wisata pesisir dan
menyesuaikan sosial perkotaan. Menurut Hutabarat et al.
(2009), bahwa dukungan masyarakat lokal akan membantu
mewujudkan rencana pengembangan wisata pesisir yang
berkelanjutan. Hal ini dikarenakan masyarakat khususnya
masyarakat lokal merupakan penggerak langsung kegiatan
wisata sehingga sangat berpengaruh keberhasilan
pengembangan sebuah wisata.
Tabel 7.17 Zona Potensial Wisata Pesisir Kawasan LKL
Zona potensial wisata
No Kelurahan Ekosistem TP CP P
1 Tontouan Hutan lahan atas Alami Inti 640.30
2 Mangkio 43.95
3 Kaleke Lahan bernilai penting Semi alami Penyangga 0.39
4 Soho Hutan lahan atas 8.65
5 Bungin Tidak alami Penyangga 443.27
Lahan bernilai penting 14.28
6 Luwuk Hutan lahan atas Pemukiman Penyangga 2.19
17.74
7 Baru Lahan bernilai penting Alami Inti 691.94
8 Keraton Hutan lahan atas 62.21
Lahan bernilai penting Semi alami Penyangga 3.75
Hutan lahan atas 5.66
Tidak alami Penyangga 3.10
Lahan bernilai penting 18.14
Pantai Pemukiman Penyangga 28.55
Padang lamun 5.45
Terumbu karang Alami Inti 51.91
Hutan lahan atas 1.90
Semi alami Penyangga 4.56
Lahan bernilai penting 7.15
Tidak alami Penyangga 47.95
Estuari 6.39
Hutan lahan atas Pemukiman Penyangga 64.16
Lahan bernilai penting 27.31
Hutan lahan atas Tidak alami Penyangga 37.87
0.34
Lahan bernilai penting Pemukiman Pemanfaatan 15.84
6.51
Pantai Semi alami Penyangga 8.15
46.95
Padang lamun Tidak alami Penyangga 5.14
Terumbu karang 1.04
Pemukiman Pemanfaatan 0.09
1.75
Berpasir Pemanfaatan 6.02
Khusus 2330.67
100
Khusus
Semi alami Penyangga
Tidak alami Penyangga
Pemukiman Pemanfaatan
CBD Pemanfaatan
Semi terbuka Khusus
Tidak alami Penyangga
Pemukiman Pemanfaatan
Semi alami Penyangga
Tidak alami Penyangga
Pemukiman Pemanfaatan
CBD Pemanfaatan
Berpasir Pemanfaatan
Berbatu Khusus
Khusus
Khusus
Total (Ha)
Total (%)
Sumber: Olahan data lapang (2013)
TP: tidak potensi, CP: cukup potensi, P: potensi
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 89
Tabel 7.17 menunjukkan zona potensial kawasan
wisata pesisir LKL dalam klasifikasi zona potensi (P) seluas
170 ha (7.30%) yang berada di Kelurahan Bungin, Luwuk,
dan Keraton. Ketiga kelurahan memiliki dukungan
masyarakat untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata
pesisir. Zona cukup potensi (CP) seluas 2113.38 ha atau
90.67% yang berada di Desa Tontouan, Kelurahan Mangkio
Baru, Kaleke, Bungin, Luwuk, Keraton, Soho, dan Baru.
Seluruh masyarakat mendukung kecuali di Kelurahan
Mangkio Baru dan Baru cukup mendukung, hal ini
dikarenakan masyarakat cukup peka sehingga diupayakan
sosialisasi pada masyarakat. Sedangkan zona tidak potensi
(TP) seluas 47.29 ha (2.03%) yang berada di sebagian kecil
Kelurahan Bungin dan Keraton. Zona potensial wisata
pesisir LKL dapat dilihat pada Gambar 7.12.
Gambar 7.12 Peta Zona Potensial Kawasan Wisata Pesisir LKL
90 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
F. Preferensi Stakeholder terhadap Konsep Lanskap
Kawasan Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk
Potensi yang dimiliki oleh kawasan pesisir Lalong
Kota Luwuk membutuhkan suatu bentuk perencanaan yang
berkelanjutan sehingga tercipta keseimbangan antara
kondisi ekologis, sosial, dan peningkatan ekonomi
masyarakat lokal. Artinya, pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan generasi saat ini tanpa merusak atau penurunan
kualitas kawasan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk. Suatu
perencanaan yang baik akan melibatkan berbagai
stakeholder lokal dalam mewujudkan perencanaan
sehingga menjadi bahan pertimbangan alternatif
pengembangan di kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan
menentukan prioritas melalui metode analysis hierarchy
process (AHP) (Saaty, 1991).
1. Analisis Penilaian Kriteria Mencapai Tujuan
Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai consistency
ratio (CR) sebesar 0.02. Hasil ini menunjukkan bahwa
informasi yang diperoleh berada pada tingkat
kepercayaan yang tinggi dan dapat diterima. Responden
pada umumnya konsisten dalam pemberian nilai bobot
dengan tingkat penyimpangan yang kecil. Penilaian
urutan prioritas terhadap kriteria utama pembentuk
wisata pesisir dapat dilihat pada Gambar 7.13. Hasil
analisis menunjukkan bahwa pola ruang merupakan
prioritas utama untuk menentukan kawasan wisata
pesisir Lalong Kota Luwuk yang berkelanjutan.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 91
05/06/2013 13:09:15 Page 1 of 1
Model Name: expert2 - Copy (2)
Priorities with respect to: Com...
Goal: Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir di Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah
Pola Ruang ,243
Land Use ,136
Pola Sirkulasi ,135
Vegetasi dan Satwa ,124
Prilaku Manusia ,115
Teknologi ,089
Bangunan dan Struktur ,086
Institusi ,073
Inconsistency = 0,02
with 0 missing judgments.
Gambar 7.13 Penilaian Bobot dan Prioritas pada Level Kriteria
2. Pola ruang
Pola ruang merupakan faktor yang penting karena ruang
adalah wadah kehidupan manusia beserta sumber daya
alam yang terkandung didalamnya sebagai suatu
kesatuan. Konsep ruang berkaitan dengan jarak, lokasi,
bentuk, ukuran, dan waktu. Pola ruang yang baik akan
menyesuaikan dengan karakter kawasan. Penilaian
responden menunjukkan bahwa prioritas pola ruang
yang diutamakan adalah orientasi front yard atau sea
view dibandingkan dengan pertumbuhan horizontal
(Gambar 7.14). Artinya, rencana pola ruang dengan
m06e/06n/2y01e3s10u:1a4:i01kan faktor fisik topografi Kota LuwukPagye a1 onf 1g
berbukit dan bergunung akandebgrey membentuk karakter kota
yang fungsional, amMoadenl ,Nadmae:nexmperet2n- aCorpiyk(2.)
Priorities with respect to: Com...
Goal: Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir di Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah
>Pola Ruang
Orientasi Front Yard/Sea View ,818
Pertumbuhan Horizontal ,182
InconsisteGncya=m0, bar 7.14 Nilai Bobot Prioritas Utama
with 0 missing judgments.
untuk Kriteria Pola Ruang
92 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
3. Penggunaan lahan
Penggunaan lahan merupakan prioritas kriteria kedua,
hal ini menunjukkan kebijakan dalam penggunaan lahan
akan mempengaruhi suatu kualitas lingkungan yang
baik. Penilaian responden menunjukkan ruang terbuka
hijau (RTH) menjadi prioritas utama, hal ini terkait
dengan RTH Lalong Kota Luwuk yang semakin
be06r/0k6/u201r3a1n0:5g5:46akibat pertumbuhan kota yang beroPraigee 1notfa1 si
komersil dan pemukiman tanpa mempertimbangkan
kualitas lingkunganMo(dGel Naamme:beaxprer7t2.-1Co5p)y.(2)
Priorities with respect to: Com...
Goal: Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir di Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah
>Land Use
RTH ,542
Pemukiman ,128
Perkantoran ,102
Pendidikan ,109
Komersil ,118
Inconsistency = 0,01
with 0 missing judgments.
Gambar 7.15 Nilai Bobot Prioritas Utama untuk
Kriteria Penggunaan Lahan
4. Pola sirkulasi
Pola sirkulasi faktor penting dalam suatu rencana wisata
pesisir. Penilaian responden menunjukkan pola sirkulasi
yang baik apabila mengikuti hierarki sirkulasi (Gambar
7.16). Artinya, perlu upaya pemisahan fungsi jalan yang
meliputi jalan primer, sekunder, dan tersier. Hal ini
untuk mengurangi kemacetan sekaligus mempermudah
aksesbilitas yang aman dan nyaman bagi pengguna jalan
khususnya wisatawan yang berjalan kaki.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 93
06/06/2013 10:45:37 Page 1 of 1
Model Name: expert2 - Copy (2) Com...
Priorities with respect to:
Goal: Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir di Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah
>Pola Sirkulasi
Hierarki Sirkulasi ,321
Pola Jalan Grid ,253
Arah Pola Pergerakan Berbeda ,129
Offstreet Parking ,137
Sign Control ,160
Inconsistency = 0,00958
with 0 missing judgments.
Gambar 7.16 Nilai Bobot Prioritas Utama
untuk Kriteria Pola Sirkulasi
5. Vegetasi dan satwa
Vegetasi dan satwa merupakan faktor penting dalam
rencana pesisir setelah pola sirkulasi. Penilaian
responden menunjukkan keragaman biota air akan
memberikan nilai tambah suatu bentuk wisata pesisir
(Gambar 7.17). Artinya, perlu upaya konservasi habitat
biota laut di kawasan pesisir LKL dengan harapan akan
meningkatkan produktivitas biota laut. Hal ini akan
menjadi suatu produk daya tarik objek dan atraksi
te06r/0s6e/2n01d3 1i1r:2i9:07di kawasan pesisir Lalong Kota LPaugew1 ouf 1k.
Seperti yang diketahui di kawasan LKL terdapat ikan
hias endemik BangMgoadeil Ncaamer:dexipneart2l-fiCsohpy (y2)ang dilindungi.
Priorities with respect to: Com...
Goal: Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir di Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah
>Vegetasi dan Satwa
Keragaman Vegetasi ,349
Keragaman Wildlife ,227
Keragaman Biota Air debgrey ,425
Inconsistency = 0,00205
wGitha0mmisbsinag rjud7gm.e1nt7s. Nilai Bobot Prioritas Utama untuk
Kriteria Vegetasi dan Satwa
94 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
6. Prilaku sosial
Prilaku sosial masyarakat merupakan faktor penting
yang harus diperhatikan dalam perencanaan wisata.
Penilaian responden menunjukkan pentingnya
kebutuhan ruang sosial outdoor bagi masyarakat Kota
Luwuk (Gambar 7.18). Artinya, perlu upaya
menciptakan ruang-ruang publik bagi masyarakat lokal
se06b/0a6/g20a13i11:t5e2:m01 pat rekreasi yang merupakan bagianPaged1aorf 1i
ruang wisata pesisir. Selain itu perlu adanya peningkatan
kesadaran dan partMiosdiepl Naasmie:mexpaerst2y-aCroapyk(a2)t untuk mencapai
wisata pesisir berkelanjutan.
Priorities with respect to: Com...
Goal: Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir di Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah
>Prilaku Manusia
Kesadaran dan Partisipasi ,285
Ruang Sosial Outdoor ,294
Pusat Aktifitas Outdoor ,251
Pola Aktifitas Harian ,169
Inconsistency = 0,01
with 0 missing judgments.
Gambar 7.18 Nilai Bobot Prioritas Utama
untuk Kriteria Prilaku Sosial
7. Teknologi
Penilaian responden menunjukkan pengolahan limbah
lebih penting dibandingkan dengan energi terbarukan
(Gambar 7.19). Artinya, masyarakat menyadari dampak
lingkungan yang akan ditimbulkan oleh keberadaan
wisata pesisir Lalong Kota Luwuk. Apabila tidak diikuti
oleh penataan ruang yang mengalokasikan pegolahan
limbah akan merusak lingkungan.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 95
06/06/2013 12:04:31 Page 1 of 1
Model Name: expert2 - Copy (2)
Priorities with respect to: Com...
Goal: Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir di Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah
>Teknologi
Pengolahan Limbah ,640
Energi Terbarukan ,360
Inconsistency = 0,
with 0 mGissainmg jubdgamrent7s..19 Nilai Bobot Prioritas Utama
untuk Kriteria Teknologi
8. Bangunan dan struktur
Bangunan dan struktur menjadi faktor cukup penting
dalam sebuah wisata pesisir Lalong Kota Luwuk.
Penilaian responden menunjukkan garis sempadan
bangunan menjadi syarat untuk sebuah bangunan dan
struktur (Gambar 7.20). Artinya, setiap pembangunan
infrastruktur dan fasilitas wisata harus memper-
timbangkan garis sempadan bangunan yang berfungsi
sebagai pembatas ruang seperti tepi pantai sehingga
m06e/0n6/2j0a1m3 12i:1n0:18adanya ruang terbuka hijau privat Padgea1laofm1
bentuk halaman rumah, keamanan, dan mengurangi
kebisingan dari kenMdodaerl Naaamne: dexipejrat2l-aCnopyra(2y) a.
Priorities with respect to: Com...
Goal: Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir di Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah
>Bangunan dan Struktur
Koefisien Lantai bangunan ,148
Koefisien Dasar Bangunan ,176
Garis Sempadan bangunan ,224
Utilitas Bawah Tanah ,141
Material Lokal ,124
Gaya Arsitektur Lokal ,187
Gambar 7.20Inconsistency = 0,00632 Bobot Prioritas Utama untuk Kriteria
with 0 missing judgments.
Bangunan dan Struktur
96 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
9. Institusi
Institusi menjadi prioritas tidak utama tetapi faktor
cukup penting dalam sebuah wisata pesisir di kawasan
Lalong Kota Luwuk. Penilaian responden menunjukkan
kebijakan dari pemerintah lebih penting dibandingkan
dengan stakeholder (Gambar 7.21). Pertimbangan
bahwa kebijakan yang akan diambil akan diikuti oleh
stakeholder. Oleh karena itu, diupayakan kawasan
w06i/s06a/2t0a13 12L:26K:10L merupakan bagian dari rencana PaRgeT1 oRf 1W
sehingga terdapat sinkronisasi pemanfaatan ruang yang
akan direncanakanM.odel Name: expert2 - Copy (2)
Priorities with respect to: Com...
Goal: Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir di Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah
>Institusi
Kebijakan ,535
Stakeholder ,465
Inconsistency = 0,
with 0 missing judgments.
Gambar 7.21 Nilai Bobot Prioritas Utama untuk
Kriteria Institusi
10. Alternatif Menurut Kriteria
Alternatif model yang diusulkan dalam mencapai
kawasan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk yaitu model
berbasis ekologi, sosial, dan kombinasi ekologi-sosial.
Model ekologi merupakan model daya dukung yang
berorientasi terhadap kepekaan ekologis dan fisik
lanskap. Model sosial merupakan model daya dukung
berorientasi terhadap kepuasan dan aspek sosial pemakai
oleh manusia.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 97
Model ekologi-sosial merupakan model yang
mencoba untuk menyelaraskan kepentingan manusia
dan daya dukung lingkungan. Berdasarkan hasil analisis
secara keseluruhan diperoleh nilai consistency ratio
(CR) sebesar 0.01. Hasil ini menunjukkan bahwa
informasi yang diperoleh berada pada tingkat
kepercayaan yang tinggi baik dan dapat diterima.
Penilaian para pakar menunjukkan prioritas alternatif
05/06/2013 12:35:43 Page 1 of 1
dalam memutuskan model yang paling berperan dalam
mencapai wisata pMeodseilsNiarme: Lexpaelrto2 n- Cgopy K(2)ota Luwuk yang
berkelanjutan. Penilaian sintesis alternatif kawasan
wisata pesisir dapat dilSihynathtespis:aSdumamGaryambar 7.22.
Gambar 7.22 Penilaian Sintesis Alternatif Kawasan
Wisata Pesisir LKL
Bobot prioritas alternatif ekologi 0.378, alternatif
sosial 0.326, dan alternatif ekologi-sosial 0.296. Hal ini
menunjukkan rekomendasi yang terbaik dalam rencana
kawasan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk yang
berkelanjutan adalah model berbasis ekologi. Model
berbasis ekologi paling berpengaruh dibandingkan aspek
sosial atau kombinasi antara ekologi-sosial.
98 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Artinya, pendekatan ekologi merupakan salah satu
model pendekatan terbaik untuk mempertahankan
kelestarian, keberadaan atau optimasi manfaat dari suatu
sumber daya alam di kawasan wisata pesisir Lalong Kota
Luwuk. Sumber daya lanskap dan lingkungan yaitu dengan
melakukan pendekatan atau penilaian terhadap daya
dukung kawasan.
G. Zona Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir LKL
Zona pengembangan kawasan wisata pesisir Lalong
Kota Luwuk diperoleh dari zona wisata pesisir dan
menyesuaikan sosial perkotaan. Gunn (1994), menyatakan
bahwa suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil secara
optimal didasarkan apabila mempertahankan kelestarian
lingkungannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
kawasan tersebut, dan meningkatkan keterpaduan dan unity
pembangunan masyarakat di kawasan sekitar dan zona
pengembangan.
Tabel 7.18 menunjukkan zona pengembangan
kawasan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk dalam
klasifikasi potensi, klasifikasi cukup potensi, dan klasifikasi
tidak potensi. Tujuan klasifikasi zona adalah menentukan
pusat pengembangan dan penataan kawasan wisata Lalong
Kota Luwuk yang disesuaikan dengan karakter lanskap.
Kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk memiliki tiga zona
pengembangan yaitu zona pengembangan potensi, zona
cukup potensi, dan zona tidak potensi. Adapaun masing-
masing zona pengembangannya yaitu:
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 99
1) Zona pengembangan wisata potensi (P). Pengembangan
wisata pesisir potensi seluas 170 ha (7.30%). Kelurahan
Bungin, Luwuk, dan Keraton ditetapkan sebagai pusat
pengembangan wisata semi alami karena kawasan
berada di zona khusus dan zona pemanfaatan sehingga
pengembangan aktivitas cukup terbatas dan fasilitas
pendukung tertentu.
2) Zona pengembangan wisata cukup potensi (CP).
Pengembangan wisata pesisir cukup potensi seluas
2113.38 ha atau 90.67%. Desa Tontouan, Kelurahan
Mangkio Baru, dan Kaleke ditetapkan sebagai pusat
pengembangan wisata alami karena berada di zona inti
sehingga pengembangan bertujuan konservasi.
Kelurahan Bungin, Luwuk, dan Keraton ditetapkan
sebagai pusat pengembangan wisata semi alami karena
berada di zona penyangga dan pemanfaatan sehingga
pengembangan aktivitas dan fasilitas cukup terbatas.
Sedangkan Kelurahan Soho dan Baru ditetapkan sebagai
pusat pengembangan wisata binaan karena berada di
zona pemanfaatan sehingga pengembangan lokasi dapat
menampung aktivitas dan fasilitas pendukung wisata.
3) Zona pengembangan wisata pesisir tidak potensi (TP).
Pengembangan wisata pesisir tidak potensi seluas 47.29
ha (2.03%) berada di sebagian kecil Kelurahan Bungin
dan Keraton ditetapkan sebagai pusat pengembangan
wisata semi alami karena berada di zona penyangga dan
zona pemanfaatan sehingga pengembangan aktivitas
cukup terbatas dan fasilitas pendukung tertentu.
100 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Tabel 7.18 Zona Pengembangan Wisata Pesisir Kawasan LKL
No Kelurahan Ekosistem Zona pengembangan wisata
TP CP P
1 Tontouan Hutan lahan Alami Inti
2 Mangkio atas
3 Kaleke Semi alami Penyangga 640.30
4 Soho Lahan bernilai Tidak alami Penyangga 43.95
5 Bungin penting Pemukiman 0.39
Hutan lahan Penyangga
6 Luwuk atas Alami Inti 8.65
443.27
7 Baru Lahan bernilai Semi alami Penyangga
8 Keraton penting Tidak alami Penyangga 14.28
Hutan lahan Pemukiman 2.19
atas Penyangga
Alami Inti 17.74
Lahan bernilai
penting Semi alami Penyangga 691.94
Hutan lahan Tidak alami Penyangga 62.21
atas Pemukiman 3.75
Lahan bernilai Penyangga
penting Tidak alami Penyangga 5.66
Hutan lahan
atas Pemukiman 3.10
Lahan bernilai Semi alami Penyangga Pemanfaatan 18.14
penting
Pantai Tidak alami Penyangga Pemanfaatan 28.55
Padang lamun Khusus 5.45
Terumbu Pemukiman Pemanfaatan Khusus
karang 51.91
Hutan lahan Berpasir Pemanfaatan 1.90
atas Pemanfaatan 4.56
Semi alami Penyangga Khusus 7.15
Lahan bernilai
penting Tidak alami Penyangga Pemanfaatan 47.95
Pemukiman Khusus 6.39
Estuari Khusus
CBD Penyangga Khusus 64.16
Hutan lahan Semi 27.31
atas terbuka
Lahan bernilai Tidak alami 37.87
penting 0.34
Hutan lahan Pemukiman Pemanfaatan
atas 15.84
Semi alami Penyangga
Lahan bernilai 6.51
penting Tidak alami Penyangga 8.15
Pantai Pemukiman Pemanfaatan 46.95
5.14
Padang lamun CBD Pemanfaatan 1.04
Terumbu Berpasir 0.09
karang Berbatu 1.75
Total (Ha) 6.02
Total (%)
2330.67
100
TP: tidak potensi, CP: cukup potensi, P: potensi
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 101
Pusat zona pengembangan akan berhasil secara
optimal dengan partisipasi masyarakat sebagai pelaku
wisata. Masyarakat lokal di sekitar zona pengembangan
sangat mendukung pengembangan kawasan wisata pesisir
LKL (Gambar 7.23). Partisipasi masyarakat Desa
Tontouan, Kelurahan Mangkio Baru, dan Kaleke sangat
dibutuhkan untuk menjaga kawasan karena berada di zona
inti. Sedangkan khusus pada masyarakat Kelurahan
Mangkio dan Baru cukup mendukung. Berdasarkan zona
pengembangan wisata di Kelurahan Mangkio Baru dan
Baru memiliki potensi wisata alami dan binaan yang
berada di kawasan teresterial dengan latar belakang
pekerjaan masyarakat yang bergantung di atas laut
sehingga dibutuhkan pelatihan sebagai pelaku wisata.
Gambar 7.23 Peta Zona Pengembangan Kawasan Wisata
102 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
H. Daya Dukung Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk
Potensi yang terdapat di kawasan pesisir Lalong
Kota Luwuk mengandalkan kondisi sumber daya alam dan
lingkungannya sebagai modal untuk pengembangan wisata.
Oleh karena itu, perlu upaya melakukan analisis daya
dukung zona wisata pesisir. Daya dukung ekologis suatu
kawasan merupakan tingkat maksimum penggunaan suatu
kawasan, baik berupa jumlah maupun aktivitas yang
diakomodasikan di dalamnya.
Penentuan daya dukung kawasan (DDK) perlu
dikaitkan dengan fasilitas akomodasi, pembangunan sarana
rekreasi yang dibangun di setiap tempat wisata. Fasilitas
wisata merupakan salah satu program pengembangan yang
sangat penting. Tanpa didukung oleh pengembangan
fasilitas maka tujuan program tidak akan optimal. Menurut
Hutabarat et al. (2009), bahwa fasilitas dan sarana yang
dibangun di kawasan wisata hendaknya tidak merubah
bentang alam sehingga keaslian alam dapat dipertahankan.
Hasil daya dukung kawasan meningkat seiring
dengan luasan kawasan yang dapat dimanfaatkan dan
lamanya waktu yang disediakan bagi pengunjung untuk
melakukan kegiatan pada kawasan tersebut. Sementara itu,
berbanding terbalik dengan luasan area yang dibutuhkan
bagi pengunjung untuk melakukan kegiatan agar tidak
terganggu oleh pengunjung yang lain dan lamanya.
Berdasarkan kesesuaian zona wisata pesisir sebagai objek
dan atraksi maka diperoleh nilai daya dukung kawasan
(DDK) per aktivitas pada setiap lokasi pesisir LKL.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 103
Tabel 7.19 Daya Dukung Kawasan Wisata Pesisir LKL
No Kelurahan Jenis wisata Aktivitas K LP (m2) Lt (m2) Wp Wt DDK
(jam) (jam) org/hr
1 Tontouan Alam Mendaki gunung 1 640300 200 28 12806
1 60000 100 26 1800
Menikmati pemandangan 1 60000 100 24 1200
1 60000 100 36 1200
Fauna watching 1 100000 100 26 3000
Sub total
Photo hunting 28 20006
24 8865
Budaya (Edukasi) Penghijauan 26 1200
Sub total 3000
2 Mangkio Alam Mendaki gunung 1 443270 200 28 13065
1 60000 100 26 13838
Fauna watching 1 100000 100 36 1800
24 1200
Budaya (Edukasi) Penghijauan 24 1200
20 24 18
3 Kaleke Alam Mendaki gunung 1 691940 200 26 21600
1 60000 100 Sub total 3000
Menikmati pemandangan 1 60000 100 24 42656
1 60000 100 Sub total 1451
Photo hunting 1 4500 500 24 1451
5 180000 50 36 4152
Fauna watching 1 100000 100 24 152
36 152
Paralayang (paragliding) 26 20
36 150
Berkemah dan paintball 28 57
26 80
Budaya (Edukasi) Penghijauan 24 228
26 8
4 Soho Budaya (Sejarah) Menelusuri arsitektur 4 18140 100 Sub total 1500
36 6499
5 4 51910 100 18 200
1 3800 50 18 800
Bungin Budaya (Sejarah) Menelusuri arsitektur 1 3800 50 36 320
1 1000 100 26 20
Alam Rekreasi pantai 1 5000 100 36 150
1 7150 250 24 600
Berjemur 2 10000 1000 36 160
1 7600 100 26 1000
Photo hunting 1 2000 500 26 750
5 10000 100 Sub total 750
Menikmati pemandangan 26 4750
Sub total 2376
Snorkling 36 2376
18 200
Selam 18 800
24 320
Budaya (Edukasi) Penghijauan 24 400
36 240
Transplanting 36 20
28 48
Budaya (Kuliner) Mencicipi makanan lokal 28 32
20 24 800
6 Luwuk Alam Memancing 1 1000 10 38 960
5000 50 38 2600
Berperahu/bersampan 1 2000 50 24 2600
1000 100 36 160
Bersepeda 1 5000 100 26 200
3000 10 26 750
Photo hunting 1 2000 100 24 750
5000 10 36 8
Menikmati pemandangan 1 5000 100 18 40
5000 100 960
Makan di restoran terapung 1
Budaya (Sejarah) Menelusuri arsitektur 4
Budaya (Festival) Festival night 1
Budaya (Kuliner) Mencicipi makanan lokal 5
Budaya (Belanja) Belanja produk lokal 5
7 Baru Budaya (Kuliner) Mencicipi makanan lokal 5 15840 100
8 Keraton Alam Memancing 1 1000 10
1 5000 50
Berperahu 1 2000 50
1 10000 50
Bersepeda 1 6000 50
1 1000 100
Olahraga air 1 6000 250
2 8000 2000
Berenang 1 2000 10
5 8000 50
Photo hunting 1 10000 10
1 10000 10
Snorkling 4 2000 100
1 5000 50
Selam 5 5000 100
5 5000 100
Playground 1 2000 500
1 10000 500
Berkemah 1 6000 50
Cruise ship
Yatching
Budaya (Sejarah) Menelusuri arsitektur
Budaya (Festival) Festival kite
Budaya (Belanja) Belanja produk lokal
Budaya (Kuliner) Mencicipi makanan lokal
Budaya (Edukasi) Transplanting
Penangkapan ikan
Pentas seni dan budaya
Daya Dukung Sub total 11888
Total 102691
Sumber: WTO (1981) dalam Hutabarat et al. (2009) dan hasil olahan data (2013)
104 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Tabel 7.19 menunjukkan zona pemanfaatan pada
setiap lokasi memiliki daya dukung berbeda. Hal ini
tergantung kondisi klasifikasi kepekaan ekosistem atau
ekologis. Zona alami diprioritaskan wisata alam dan budaya
(edukasi) yang berada di Desa Tontouan, Kelurahan
Mangkio Baru, dan Kaleke. Zona semi alami diprioritaskan
wisata alam dan budaya (edukasi, sejarah, kuliner, festival,
dan belanja) yang berada di Kelurahan Bungin, Luwuk, dan
Keraton. Zona binaan diprioritaskan wisata budaya (sejarah
dan kuliner) yang berada di Kelurahan Baru dan Soho.
Menurut Inskeep (1991), wisata perkotaan dapat
membantu preservasi sejarah, bahkan dapat terjadi
revitalisasi dan pembangunan kembali kota. Objek dan
atraksi festival night dan water transport berada di
Kelurahan Luwuk dan Keraton. Menurut Law (1993),
lanskap perkotaan merupakan salah satu atraksi penting dan
alasan berkunjung ke wisata perkotaan. Salah satu elemen
lanskap perkotaan yaitu air yang dapat digunakan untuk
kapal dan event tertentu.
Kondisi sumber daya yang rentan di Desa Tontouan
dan Kelurahan Kaleke, dengan daya dukung yang tinggi
jika tidak dilakukan pengawasan maka akan merusak
ekologis kawasan. Oleh karena itu dibutuhkan pembatasan
aktivitas, penerapan fasilitas yang ramah lingkungan, dan
pemberian pemahaman kepada pengunjung maupun
penduduk untuk menjaga kawasan. Desa Tontouan dan
Kelurahan Kaleke merupakan zona sangat peka yang
terdapat habitat endemik Tarsius Sulawesi.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 105
I. Rencana Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir LKL
Perencanaan merupakan suatu bentuk alat yang
sistematis yang diarahkan untuk mendapatkan tujuan dan
maksud tertentu melalui pengaturan, pengarahan atau
pengendalian terhadap proses pengembangan dan
pembangunan. Perencanaan berorientasi kepada
kepentingan masa depan terutama untuk mendapatkan
suatu bentuk sosial good dan umumnya dikategorikan
sebagai pengelolaan. Oleh karena itu, dengan rencana
lanskap kawasan wisata pesisir LKL dapat
mengakomodasikan seluruh aktivitas yang direncanakan
dalam suatu kawasan dan meningkatkan kualitas
lingkungan.
1. Konsep Rencana Pengembangan Lanskap
Wisata Pesisir LKL
Konsep dasar pengembangan kawasan wisata
pesisir adalah untuk menciptakan kawasan wisata pesisir
LKL yang berkelanjutan. Pengembangan kawasan
berdasarkan potensi lingkungan, objek dan atraksi, dan
dukungan masyarakat lokal. Berdasarkan analisis AHP
oleh stakeholder di Kota Luwuk bahwa konsep wisata
yang sesuai di kawasan pesisir LKL adalah wisata pesisir
berbasis ekologis dengan nilai 37.8% (Gambar 7.19).
Hal ini menunjukkan konsep rencana yang
dikembangkan adalah kawasan ekowisata perkotaan
berkelanjutan. Ekowisata perkotaan adalah konsep
sebuah kota yang tetap menjaga atau melestarikan
lanskap alaminya dan melestarikan budaya lokal.
106 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Penerapan konsep lanskap wisata pesisir berupa
model rencana pengembangan yang disesuaikan dengan
karakter lanskap dan potensi kawasan pesisir Lalong Kota
Luwuk. Model rencana pengembangan diterjemahkan
dalam tiga unit lanskap (Gambar 7.24), yaitu:
1) Zona pengembangan lanskap alami, merupakan kawasan
dominan struktur alami. Kawasan teresterial mencakup
ekosistem hutan lindung yang berada di Desa Tontouan,
Kelurahan Mangkio Baru, dan Kaleke. Pesan ekologis
sangat ditekankan untuk menjaga dan meningkatkan
keberlangsungan kualitas kawasan pesisir LKL yang
alami dan merupakan habitat fauna endemik.
2) Zona pengembangan lanskap semi alami, merupakan
kawasan kombinasi struktur alami dan binaan. Kawasan
teresterial mencakup ekosistem lahan bernilai penting
dan kawasan akuatik yang mencakup ekosistem pantai,
padang lamun, terumbu karang, dan estuari yang berada
di Kelurahan Keraton, Bungin, dan Luwuk. Pesan yang
akan disampaikan pada kawasan ini adalah harmonisasai
kehidupan masyarakat pesisir yang ekologis. Hal ini
bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan
perkotaan.
3) Zona pengembangan lanskap binaan, merupakan
kawasan dominasi struktur binaan. Kawasan mencakup
ekosistem teresterial yang berada di Kelurahan Soho dan
Baru. Pesan yang disampaikan adalah perbaikan fisik di
seluruh kawasan untuk keberlangsungan lingkungan
pesisir Lalong Kota Luwuk.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 107
Gambar 7.24 Peta Rencana Pengembangan Lanskap
Kawasan Wisata Pesisir LKL
2. Konsep Ruang dan Sirkulasi Wisata Pesisir LKL
a. Konsep Ruang Wisata Pesisir LKL
Konsep ruang wisata pesisir LKL adalah
pengembangan ruang yang disesuaikan dengan kondisi
karakteristik kawasan pesisir. Konsep pola ruang
adalah orientasi front yard atau sea view (Gambar
7.25). Ruang wisata dibagi menjadi dua yaitu ruang
utama dan ruang pendukung wisata. Ruang utama
meliputi ruang wisata teresterial dan ruang akuatik.
Ruang penunjang meliputi ruang penerima dan ruang
transisi. Pada setiap ruang terdapat objek dan atraksi
wisata yang mendukung tujuan ruang tersebut.
Pembagian ruang kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk,
yaitu:
108 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
1) Ruang Utama
Ruang utama dibagi menjadi ruang teresterial dan
akuatik, yaitu:
a) Ruang wisata teresterial
Ruang utama merupakan ruang wisata yang
menggambarkan kawasan teresterial Lalong Kota
Luwuk. Ruang teresterial terdiri dari ruang alami,
ruang semi alami, dan ruang binaan. Tema ruang
wisata teresterial adalah menampilkan kekayaan alam
dan budaya masyarakat yang berorientasi darat.
Tujuan pengembangan mengajak pengunjung
menikmati keindahan dan keaslian alam sekaligus
berinteraksi dengan masyarakat lokal. Ruang alami
diperuntukan sebagai wisata alam yang berfungsi
untuk mendukung konservasi hutan alami yang
merupakan habitat endemik Tarsius. Ruang semi
alami diperuntukan wisata alam dan budaya yang
berfungsi untuk melestarikan aktivitas masyarakat
lokal. Ruang binaan diperuntukan wisata budaya
yang berfungsi melestarikan bangunan-bangunan
bersejarah.
b) Ruang wisata akuatik
Ruang utama merupakan ruang wisata yang
menggambarkan kawasan akuatik Lalong Kota
Luwuk. Ruang akuatik terdiri dari ruang alami dan
ruang semi alami. Tema ruang wisata akuatik adalah
menampilkan kekayaan alam dan budaya masyarakat
yang berorientasi laut.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 109
Tujuan pengembangan untuk mengajak pengunjung
menikmati keindahan dan kekayaan alam laut serta
berinteraksi dengan masyarakat lokal melalui aktivitas
wisata yang berorientasi ke laut. Ruang alami
diperuntukan sebagai wisata bahari dan ruang semi
alami diperuntukan wisata edukasi dan rekreasi yang
berfungsi untuk mendukung konservasi padang lamun
dan terumbu karang yang merupakan habitat endemik
Banggai cardinalfish.
2) Ruang Penunjang
a) Ruang penerima
Merupakan bagian dari ruang pendukung wisata
teresterial dan akuatik. Tema ruang penerima
memberikan informasi yang lengkap dan akurat
kepada pengunjung. Tujuan ruang adalah dapat
mendukung kegiatan wisata melalui informasi
mengenai objek dan atraksi wisata yang ada serta
fasilitas yang tersedia, mencegah terjadi kecelakaan,
dan mencegah kerusakan alam. Area dilengakapi
dengan fasilitas pusat informasi.
b) Ruang transisi
Merupakan ruang peralihan dari ruang wisata
teresterial menuju ruang akuatik dan sebaliknya.
Tema ruang transisi adalah menghubungkan darat
dan laut sebagai satu kesatuan ekosistem pesisir.
Pengembangan area transisi bertujuan mengontrol
aktivitas pengunjung yang dilengkapi ruang parkir
dan ruang istirahat.
110 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Gambar 7.25 Konsep Rencana Tata Ruang
Wisata Pesisir LKL
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 111
b. Konsep Sirkulasi Wisata Pesisir LKL
Konsep sirkulasi berperan menggambarkan
pergerakan yang direncanakan dalam kawasan
wisata. Pengembangannya konsep sirkulasi yang
diaplikasikan adalah jaringan sirkulasi yang sesuai
dengan konsep ruang sehingga memberi peluang
yang tinggi bagi pengunjung untuk dapat melihat
banyak atraksi dan informasi serta meningkatkan
waktu dan pengeluaran pengunjung yang dapat
memberikan keuntungan bagi masayarakat lokal.
Menurut Lew dan McKercher (2006) bahwa pola
pergerakan prilaku pengunjung akan dipengaruhi
oleh objek dan atraksi yang dibentuk dalam ruang.
Sirkulasi pada kawasan wisata pesisir LKL
dibagi menjadi tiga yaitu sirkulasi primer, sekunder,
dan tersier (Gambar 7.26). Sirkulasi primer
merupakan sirkulasi utama yang menghubungkan
ruang-ruang pada ruang utama. Sirkulasi ini
menghubungkan ruang utama dan ruang penunjang
wisata pesisir. Sirkulasi sekunder merupakan
sirkulasi dalam ruang yang menghubungkan objek-
objek wisata. Sirkulasi ini menghubungkan objek-
objek wisata pada ruang wisata akuatik dan objek-
objek wisata pada ruang wisata teresterial. Sirkulasi
tersier merupakan sirkulasi di dalam objek dan atraksi
wisata. Kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk dapat
dikunjungi melalui 2 arah yaitu akses masuk sebelah
Timur dan sebelah Barat Kota Luwuk.
112 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Gambar 7.26 Konsep Rencana Sirkulasi Wisata
Pesisir LKL
3. Program Pengembangan Wisata Pesisir LKL
Program pengembangan kawasan wisata pesisir
Lalong Kota Luwuk bertujuan meningkatkan kualitas
lingkungan dan kelestarian pesisir sebagai daya tarik
wisata sehingga menjadi identitas Kota Luwuk. Program
setiap kelurahan atau desa diikuti pemberdayaan
masyarakat dengan mengajak sebagai pelaku wisata
yang baik dan ramah. Dengan harapan kegiatan tersebut
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 113
Program pengembangan mencakup perbaikan fisik,
pengembangan aktivitas dan fasilitas wisata sehingga
Lalong Kota Luwuk menjadi wadah untuk mengakomodasi
kegiatan wisata. Perbaikan fisik dengan menata ulang
kawasan yang bertujuan elemen-elemen lanskap menjadi
satu kesatuan lanskap LKL dengan teluk Lalong sebagai
pusat orientasi. Pengembangan aktivitas dan fasilitas wisata
mempunyai sifat edukatif dan rekreatif sehingga dapat
mendukung konservasi flora dan fauna endemik. Tabel 7.20
menunjukkan deskripsi program yang akan dikembangkan
pada setiap lanskap.
Tabel 7.20 Program Pengembangan Wisata Pesisir LKL
Unit Lokasi Program pengembangan
lanskap
Desa 1. Penataan kawasan lebih alami dengan menampilkan
Alami Tontoauan keunikan vegetasi dan fauna endemik asli setempat
Kelurahan (Tarsius Sulawesi).
Mangkio
Kelurahan 2. Pengembangan wisata bersifat konservasi. Aktivitas dan
Kaleke fasilitas berunsur ekologis (mendaki gunung, menikmati
pemandangan alam, fauna watching, berkemah dan photo
hunting).
Semi Kelurahan 1. Penataan garis sempadan pantai dengan buffer zone.
alami Keraton 2. Pengembangan wisata bersifat edukatif (penghijauan dan
Kelurahan
Luwuk transplanting terumbu karang).
Kelurahan 3. Merelokasi pemukiman dan mengubah orientasi ke arah
Bungin
teluk.
4. Pemukiman yang berkonsep zero waste dengan fasilitas
pengolahan sampah dan limbah skala lingkungan.
5. Rehabilitasi bangunan bersejarah.
6. Penyediaan fasilitas bernuansa budaya lokal.
7. Perbaikan drainase.
Binaan Kelurahan 1. Pengembangan wisata bersifat pelestarian budaya
Soho (perbaikan bangunan bersejarah dan tempat kuliner
Kelurahan bernuansa lokal).
Baru
2. Pemukiman berkonsep zero waste dengan pengelolaan
sampah dan limbah skala lingkungan.
3. Retaining wall di bantaran sungai Soho dengan
mengkombinasi struktur dan vegetasi.
4. Melibatkan masyarakat dalam menciptakan objek dan
atraksi wisata dengan pelatihan (berbentuk tangible atau
intangible).
Sumber: Olahan data lapang (2013)
114 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
J. Rencana Lanskap Kawasan Wisata Pesisir LKL
Rencana lanskap wisata pesisir Lalong Kota Luwuk
didasarkan pada hasil analisis wisata pesisir yang
diperoleh dan konsep yang dikembangkan.
1. Rencana Tata Ruang Wisata Pesisir LKL
Berdasarkan konsep yang telah dikembangkan
maka ruang kawasan wisata pesisir Lalong Kota
Luwuk akan terbagi menjadi ruang wisata utama dan
ruang penunjang. Rencana ruang utama berdasarkan
karakter lanskap kawasan wisata pesisir yang terbagi
menjadi ruang wisata wildlife, wisata edukasi, wisata
sejarah, wisata belanja, wisata air, wisata water
transport, dan ruang wisata kuliner. Sedangkan ruang
wisata penunjang terbagi menjadi ruang penerima dan
ruang transisi.
Ruang wisata wildlife adalah ruang wisata yang
mengakomodasi pengunjung untuk melihat Tarsius
Sulawesi, melihat panorama alam yang indah dari atas
bukit, mendaki gunung, dan photo hunting. Pada ruang
wisata wildlife disediakan papan informasi, menara
pandang, dan kereta gantung. Ruang wisata edukasi
adalah ruang wisata yang mengajak pengunjung wisata
untuk melakukan penanaman pohon, transplanting
terumbu karang, snorkling, selam, dan menikmati
pentas seni budaya masyarakat lokal yang merupakan
khas dari daerah setempat. Pada ruang wisata edukasi
disediakan area pembibitan, outdoor classroom, dan
outdoor theater.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 115
Ruang wisata sejarah adalah ruang wisata yang
mengajak pengunjung untuk melihat bangunan- bangunan
peninggalan kolonial dan pemukiman masyarakat lokal
dengan rumah yang berusia ratusan tahun. Pada ruang
wisata sejarah disediakan papan informasi dan pedestrian
untuk mempermudah wisatawan dalam menelusuri jejak
kolonial. Ruang wisata belanja adalah ruang tempat untuk
membeli produk masayarakat lokal seperti pasar malam
yang menjual kerajinan lokal (souvenir) dan penjualan ikan
hasil tangkapan nelayan setempat. Pada ruang wisata
belanja disediakan area pasar malam, pelabuhan nelayan,
dan pasar ikan.
Ruang wisata air adalah ruang wisata yang
mengajak pengunjung untuk bersampan, memancing, dan
menikmati festival night berupa atraksi air mancur. Pada
ruang wisata air disediakan fasilitas perahu atau sampan,
banana boat, boat, duck tour, tracking deck, dan deck
pengamatan. Ruang wisata water transport adalah ruang
yang mengajak pengunjung untuk berpetualang di perairan
laut kawasan LKL atau ke pulau-pulau terdekat.
Aktivitas yang dapat dilakukan seperti memancing
atau menyelam dan menikmati panorama alam. Pada ruang
wisata water transport disediakan papan informasi,
dermaga, dan kapal. Ruang wisata kuliner adalah ruang
wisata yang mengajak untuk mengenal dan menikmati
berbagai jenis hidangan makanan khas lokal. Pada ruang
wisata kuliner disediakan tempat makan milik masyarakat
lokal dan dapat menikmati panorama alam.
116 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Ruang penunjang dialokasikan di tengah
kawasan yang terhubung dengan akses jalan utama dan
berada di antara ruang wisata. Ruang penerima
berfungsi sebagai pintu masuk utama untuk memasuki
kawasan wisata pesisir seperti pintu gerbang, loket
tiket, dan papan informasi. Penetapan awal sebagai
penyambut bagi para wisatawan yang ditujukan
sebagai identitas awal dan pengunjung dapat
teridentifikasi. Sedangkan ruang transisi adalah ruang
peralihan antara ruang utama wisata teresterial dan
ruang wisata akuatik dimana tersedia ruang area parkir,
area kantor pengelola, dan koneksi sistem transit.
2. Rencana Sirkulasi Wisata Pesisir LKL
Kota Luwuk memiliki akses dengan kondisi
jaringan jalan yang cukup memadai, hal ini
dipengaruhi oleh kawasan wisata berada di pusat kota
sehingga dapat dicapai melalui transportasi darat, air,
dan udara. Keberadaan sarana transportasi yang dapat
diakses menuju kawasan Lalong Kota Luwuk adalah
kendaraan umum dan kendaraan pribadi yang
dibutuhkan pengaturan sirkulasi wisata.
Pola sirkulasi yang baik apabila mengikuti
hierarki sirkulasi. Artinya, perlu upaya pemisahan
fungsi jalan yang meliputi jalan primer, jalan sekunder,
dan jalan tersier. Hal ini untuk mengurangi kemacetan
sekaligus mempermudah aksesbilitas yang aman dan
nyaman bagi wisatawan yang ingin berjalan kaki untuk
mengunjungi setiap objek wisata yang tersedia.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 117
Rencana sistem pola sirkulasi yaitu menggunakan
sistem kurva linier yang merupakan gabungan dari pola
garis lurus dan garis lengkung yang memanfaatkan
topografi, dengan cara mengikuti bentuk lahan sedekat
mungkin. Dengan rencana sistem kurva linier maka suasana
jalan menjadi lebih menarik karena bervariasinya
pemandangan lanskap di kawasan Lalong Kota Luwuk.
Sirkulasi primer merupakan sirkulasi antara ruang utama
dan ruang penunjang.
Sirkulasi sekunder merupakan sirkulasi dalam ruang
yang menghubungkan objek wisata. Sirkulasi ini
menghubungkan objek wisata pada ruang wisata akuatik
dan objek wisata pada ruang wisata teresterial. Sirkulasi
sekunder terdiri dari sirkulasi darat dan sirkulasi air. Pola
sirkulasi keduanya bervariasi untuk setiap sub-sub ruang
wisata. Sedangkan sirkulasi tersier merupakan sirkulasi di
dalam objek dan atraksi wisata.
3. Rencana Aktivitas dan Fasilitas Wisata Pesisir Lalong
Kota Luwuk
Rencana alokasi ruang dan sirkulasi wisata pesisir
Lalong Kota Luwuk, direncanakan aktivitas pada ruang-
ruang yang terbentuk serta fasilitas pendukung yang
dibutuhkan untuk setiap aktivitas dan pengelolaannya.
Rencana aktivitas pada ruang akan berbeda tergantung
fungsi dan tujuan ruang. Sedangkan fasilitas pendukung
wisata yang dikembangkan disesuaikan dengan aktivitas
pada setiap ruang di kawasan wisata pesisir Lalong Kota
Luwuk (Tabel 7.21).
118 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Tabel 7.21 Rencana Pengembangan Aktivitas dan Fasilitas
Ruang Alami Jenis wisata Aktivitas Fasilitas
Utama Alam Mendaki gunung Papan informasi
Menikmati Menara pandang
Budaya pemandangan
(Edukasi) Fauna watching Kereta gantung
Semi alami Alam Photo hunting Lapangan terbuka
Berkemah dan paintball
Binaan Budaya Paralayang Pembibitan
(Edukasi) (paragliding) Outdoor classroom
Penghijauan Children playground area
Budaya Kolam renang
(Festival) Playground Kincir raksasa
Rekreasi air Tracking deck (board
Budaya Memancing walk)
(Sejarah) Berperahu Deck pengamatan
Budaya Bersepeda Boat
(Belanja) Olahraga air Sepeda wisata
Berjemur Banana boat
Budaya Berenang Perahu atau sampan
(Sejarah) Selam wisata
Snorkling Perahu mesin
Budaya Penangkapan ikan Shelter
(Kuliner) Berkemah Pelampung pembatas
Menikmati Camping ground
Penunjang Penerima pemandangan Kapal
Photo hunting Duck tour
Transisi Makan di restoran Dermaga wisata
terapung Papan informasi
Cruises ship Menara pandang
Yatching Pembibitan
Outdoor classroom
Penghijauan Outdoor theater
Transplanting Tracking deck (board
Pentas seni dan budaya walk)
Festival night Lapangan terbuka
Papan informasi
Layangan (festival kite) Pedestrian
Menelusuri jejak Pasar ikan
kolonial Pelabuhan nelayan
Belanja produk lokal Pasar malam
Papan informasi
Menelusuri jejak
kolonial Pedestrian
Beristirahat/penginapan Resort
Villa
Makanan khas lokal Homestay
Hotel
Interpretasi Tempat makan/restoran
Parkir Gerbang masuk
Istirahat Loket tiket
Papan informasi
Area parkir
Kantor pengelola
Musholla
Pusat souvenir
Tempat makan
Wartel
Toilet
Trip planning
Koneksi sistem transit
Peralatan wisata
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 119
120 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
BAB VIII
KESIMPULAN
1. Berdasarkan identifikasi dan analisis aspek ekologis, daya
tarik wisata, dan akseptibilitas masyarakat di kawasan
pesisir Lalong Kota Luwuk, Sulawesi Tengah cukup
berpotensi untuk pengembangan wisata pesisir dengan
klasifikasi potensi seluas 170 ha (7.30%), klasifikasi cukup
berpotensi seluas 2113.38 ha (90.67%), dan klasifikasi
tidak berpotensi seluas 47.29 ha (2.03%).
2. Konsep wisata yang dikembangkan adalah ekowisata
pesisir yang bertujuan melindungi sumber daya alam dan
budaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Untuk mendukung konsep tersebut maka zonasi
pengembangan dan penataan kawasan wisata pesisir
disesuaikan dengan karakter lanskap yang dipusatkan pada
kawasan wisata dengan klasifikasi berpotensi dan cukup
berpotensi. Pengembangan kawasan wisata dengan
klasifikasi berpotensi berada di Kelurahan Bungin,
Kelurahan Luwuk, dan Kelurahan Keraton. Pengembangan
kawasan wisata dengan klasifikasi cukup berpotensi berada
di Desa Tontouan, Kelurahan Mangkio Baru, Kelurahan
Kaleke, Kelurahan Soho, dan Kelurahan Baru.
3. Model rencana lanskap wisata pesisir yang dikembangkan
terbagi tiga unit lanskap yaitu lanskap alami berada di Desa
Tontouan, Kelurahan Mangkio Baru, dan Kelurahan Kaleke.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 121
Pengembangan lanskap semi alami berada di Kelurahan Keraton,
Kelurahan Luwuk, dan Kelurahan Bungin. Pengembangan lanskap
binaan berada di Kelurahan Soho dan Kelurahan Baru.
*****
122 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, R. 2014. Model Konseptual Pengembangan Wisata
Bahari secara Berkelanjutan di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar. Journal of Tourism
Destination and Attraction, 2(1):15-26.
Aronoff, S. 1989. Geographic Information System: A
Management Perspective. WDL Publication. Ottawa.
[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2011.
Kabupaten Banggai dalam Angka 2011.
Beatley, T., Brower, D.J., and Schwab, A.K. 1994. An
Introduction to Coastal Zones Management. Island
Press. Washington, D.C.
Beer, A.R and Higgins, C. 1999. Environmental Planning for
Site Development: A Manual for Sustainable Local
Planning and Design. E & F N Spon. London and New
York.
[BPS] Badan Pusat Statistik. Kecamatan Luwuk dalam Angka.
2018.
Budiyono, D., Nurlaelih, E.E., dan Djoko, R. 2012. Lanskap
Kota Malang sebagai Objek Wisata Lanskap Sejarah
Kolonial. Jurnal Lanskap Indonesia, 4(1):43-50.
Cheng, S., Jing, H., Dorothy, F., and Yuting, Z. 2011. Tea
Tourism Development in Xinyang, China:
Stakeholders View. Journal of Tourism Management
Perspectives, 2(3):28-34.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 123
Clark, J.R. 1998. Coastal Seas: The Conservation Challenge.
Blackwell Science. Oxport, UK.
Dahuri, R., Jakub, R., Sapta, G., dan Sitepu, M.J. 1996.
Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan
secara Terpadu. Pradya Paramita. Jakarta.
Damanik, J dan Helmut, F.W. 2006. Perencanaan Ekowisata;
dari Teori ke Aplikasi. Andi. Yogyakarta.
Daniel, T.C and Booster, R.S. 1976. Measuring Landscape
Aesthetic. The Scenic Beauty Estimation Method.
USA New Jersey.
[DCKTR] Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang. 2011. Dokumen
Rencana Detail Tata Ruang Kota Luwuk 2011.
Douglas, R.W. 1975. Out Door Recreation. McGraw-Hill, Inc.
New York.
[DPL] Departemen Perhubungan Laut. 2003. Dokumen
Rencana Induk Pelabuhan Luwuk Tahun 2003.
Eckbo, G. 1964. Urban Landscape Design. Mc Graw-Hill
Book Co.,Inc. New York.
Forman, R.T.T and Godron M. 1986. Landscape Ecology.
John Wiley and Sons. New York.
Fung, T and Wong, F.K.K. (2007). Ecotourism Planning Using
Multiple Criteria Evaluation with GIS. Journal of
Geocarto Internatinal, 22(2):87-105.
Gold, S.M. 1980. Recreation Planning and Design. Mc Graw-
Hill Book Co.,Inc. New York.
124 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Gunn, C.A.1994. Tourism Planning: Basic, Concepts, Cases.
Third Edition. Taylor and Francis. Wangshington, D.C.
Hendee, J.C., Stankey, G.H, and Lucas, R.C. 1978. Wilderness
Management. U.S. Departement of Agriculture, Forest
Service. Washington, D.C.
Higham, J and Luck, M. 2002. Urban ecotourism: A
Contradiction in Terms. Journal of Ecotourism,
1(1):36-51.
Holden, A. 2000. Environment and Tourism. Routledge.
London and New York.
Hutabarat, A.A., Yulianda, F., Fahrudin, A., Harteti, S., dan
Kusharjani. 2009. Pengelolaan Pesisir dan Laut secara
Terpadu. Pusdiklat Departemen Kehutanan RI. Bogor.
Inglis, G. J., Hayden, B. J., and Ross, A.H. 2000. An Overview
of Factors Affecting the Carrying Capacity of Coastal
Embayments for Mussel Culture. National Institute of
Water and Asmospheric Research Ltd. New Zealand.
Inskeep, E. 1991. Tourism Planning: An Integrated and
Sustainable Development Approach van Nosttrand
Reinhold. New York.
Jaya, I.N.S. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk
Kehutanan. Penuntun Praktis Menggunakan ArcInfo
dan ArcView. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.
Khamung, R. 2018. Mature Coastal Destinations and
Management Strategy for the ASEAN Regional
Integration of Sustainable Coastal Tourism. ASEAN
Journal of Management and Innovation, 5(1):113-127.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 125
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2014. Dokumen
Pedoman Penentuan Daya Dukung dan Daya Tampung
Lingkungan Hidup Tahun 2014.
Knudson, D.M. 1980. Outdoor Recreation. Mac Millan
Publishing Co., Inc. New York.
Laurie, M. 1986. Pengantar Arsitektur Pertamanan.
Intermatra. Bandung.
Laurini, B and Thompson, D. 1995. Fundamental of Spatial
Information Systems. Academic Press. London.
Lang, R. 1986. Introduction in Integrated Approaches to
Resources Planning and Management. The University
of Calgary Press, Alberta. Canada.
Law, C.M. 1993. Urban Tourism. Mansell. New York.
Leiper, N. 2004. Tourism Management. Person Hospitality
Press. Australia.
Lenzen, M and Murray, S.A. 2003. The Ecological Footprint-
Issues dan Trends. The University of Sydney. Sydney.
Lew, A and McKercher, B. 2006. Modeling Tourist
Movements: A Local Destination Analysis. Journal of
Annals of Tourism Research, 33(2):403-423.
Liu, M. 2004. Possible Procedure for Estimating the
Environmental Carrying Capacity of Coastal Water
Body with Respect to Priority Contaminant Nutrients
and Heavy Metals. Reversing Environmental
Degradation Trends in the South China Sea and Gulf
of Thailand. China. 27 November 2004.
126 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Marsh, W.M. 2005. Landscape Planning Environmental
Application. John Wiley and Sons. New York.
Naveh, Z. 1987. Landscape Ecology, Management and
Conservation of European and Levant Mediterranean
Uplands. Springer Verlag. New York.
Okech, R.N. 2009. Developing Urban Ecotourism in Kenyan
Cities: A Sustainable Approach. Journal of Ecology
and Natural Environment, 1(1):001-006.
Ortolano, L. 1984. Environmental Planning and Decision
Making. John Wiley and Sons. New York.
Pendit, N.S. 2006. Ilmu Pariwisata: Sebuah Pengantar
Perdana. Pradnya Paramita. Jakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Indonesia Nomor 18
Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di
Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan
Raya, dan Taman Wisata Alam. 21 April 1994. Jakarta.
Pigram, J.J.J. 1983. Outdoor Recreation and Resource
Management. St. Martins’s Press. New York.
Polnyotee, M and Thadaniti, S. (2015). Community-Based
Tourism: A Strategy for Sustainable Tourism
Development of Patong Beach, Phuket Island,
Thailand. Journal of Asian Social Science, 11(27):90-
98.
Porteous, J.D. 1996. Environmental Aesthetics: Ideas, Politics
and Planning. Roudledge. New York.
Prahasta, E. 2002. Konsep Dasar GIS. Informatika. Bandung.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 127
Purwanto, Astina, I.K., and Yusuf, S. 2015. Pemanfaatan
Sistem Infromasi Geografi untuk Pemodelan Spasial
Pengembangan Wisata Pantai di Kabupaten
Tulungagung. Jurnal Pendidikan Geografi, 20(1):12-
23.
Rees, J. 1990. Natural resources: Allocation, Economics and
Policy. Routledge. London.
Riwayatiningsih dan Purnaweni, H. 2017. Pemanfaatan Sistem
Informasi Geografi dalam Pengembangan Pariwisata
Geographic Information System Utilization in Tourism
Development. Proceeding Biology Education
Conference, 4(1):154-161.
Russ, T.H. 2002. Site Planning and Design Handbook.
McGraw-Hill. New York.
Saaty, T.L. 1991. Decision Making for Leaders: The
Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex
World. RWS Publications. Pittsburgh.
Simonds, J.O. 1983. Landscape Architecture. McGraw-Hill
Book Co. New York.
Sloan, N.A. 1993. Effects of Oil on Marine Resources:
Literature Study from the World Relevant for
Indonesia. EMDI Project, Indonesia Ministry of
Environment. Jakarta.
Sorensen, J.C and McCREARY, S.T. 1990. Institutional
Arrangement for Managing Coastal Resources and
Environments, 2nd edn, National Park Service, U.S.
Departement of The Interior and U.S. Agency for
International Development, Washington, D.C.
128 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Star and Estes. 1990. Geographyc Information System: An
Introduction. Prentice Hall. New Jersey.
Tandy, C. 1966. Landscape and Human Life: The Impact of
Landscape Architecture Upon Human Activities.
Djambatan N.V. Netherlands.
Tarigan, R. 2005. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bumi
Aksara. Jakarta.
Tivy, J. 1972. The Concept and Determination of Carrying
Capacity of Recreational Land in The USA.
Departement of Geography Glasgow University.
Glasgow.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi. 16 Januari 1990. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil. 17 Juli 2007. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan. 16 Januari 2009. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. 20 Januari 2009. Jakarta.
Vagelli. 2002. First Comprehension Ecological Survey of The
Banggai Cardinalfish: Pterapogon Kauderni. Journal of
Enviromental Biology of Fishes, 63:1-8.
Warnken, J and Mosadeg, R. 2018. Challenges of
Implementing Integrated Coastal Zone Management into
Local Planning Policies, A Case Study of Queensland,
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 129
Australia. Journal of Marine Policy, 91:75-84.
Wibowo, M. 2009. Tingkat Kepekaan Lingkungan Pesisir di
Kota Semarang. Jurnal Hidrosfir Indonesia, 4(1):17-
22.
Widiatmaka dan Hardjowigono, S. 2007. Evaluasi Kesesuaian
Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Universitas
Gajah Mada Press. Yokyakarta.
Wood, E.M. 1999. Succesful Ecotourism Business. The Right
Approach. World Ecotourism Conference. Kinabalu
City. Sabah.
Wong, P.P. 1991. Coastal Tourism in Southeast Asia.
International Center for Living Aquatic Resources
Management. Philippines.
Wong, E.P., Mistilis, N., and Dwyer, L. 2011. A Model of
ASEAN Collaboration in Tourism. Journal of Annals
of Tourism Research, 38(3):882-899.
[WTO] World Tourism Organization. 1991. UNWTO General
Assembly Documents. 4 Oktober 1991. Argentina.
Wunani, D., Nursinar, S., and Kasim, F. 2013. Kesesuaian
Lahan dan Daya Dukung Kawasan Wisata Pantai
Botutonuo, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone
Bolango. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan,
1(2):89-94.
Yoety, O. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata.
Pradnya Paramita.
130 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
TENTANG PENULIS
Debora Budiyono, SP., M.Si, Lahir di
Paisubatu Kabupaten Banggai Sulawesi
Tengah pada tanggal 08 November 1984.
Dosen pada Program Studi Arsitektur
Lanskap Fakultas Pertanian Universitas
Tribhuwana Tunggadewi Malang.
Asisten Ahli Rumpun: Perencanaan
Lanskap dan Wisata. Mata kuliah yang diampu penulis yaitu
Studio Perencanaan Lanskap, Sistem Informasi Geografis, dan
Lanskap Wisata. Selain itu, penulis aktif pada berbagai
kegiatan profesi, organisasi, penelitian dan pengabdian
masyarakat serta publikasi Ilmiah tentang perencanaan
lanskap dan wisata. Contact Person: Hp. 081333369595 e-
mail: [email protected].
*****
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 131