Gambar 5.3 Hubungan Daya Dukung dengan
Populasi di Alam (Alternatif 1)
Gambar 5.4 Hubungan Daya Dukung dengan
Populasi di Alam (Alternatif 2)
Gambar 5.5 The Law of Limiting Factors
dari Daya Dukung
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 37
Daya dukung memiliki komponen yang diperhatikan
yaitu: 1) Besarnya atau jumlah populasi makhluk hidup yang
akan menggunakan sumberdaya tersebut pada tingkat
kesejahteraan yang baik, dan 2) Ukuran atau luas sumberdaya
alam dan lingkungan yang dapat memberikan kesejahteraan
kepada populasi manusia pada tingkat yang lestari.
Dalam kaitannya dengan bidang Arsitektur lanskap,
maka perubahan atau kerusakan lanskap secara visual
(arsitektur dan estetika lingkungan, sampah, vandalism) juga
dapat merupakan indikator dari daya dukung populasi manusia
(masyarakat, pengunjung) yang telah terlampaui dari
sumberdaya lanskap tersebut.
Daya dukung tidak saja melakukan penilaian terhadap
segi ekologis dan fisik tetapi juga dapat digunakan dalam
memperkirakan nilai daya dukung dari segi sosial. Dalam
bidang penataan suatu lanskap, contoh-contoh yang umum
misalnya penilaian yang dilakukan terhadap pengalaman dari
perilaku rekreasi pada suatu tapak pada tingkat pembangunan
kawasan rekreasi tertentu atau penilaian terhadap terjadinya
perubahan prilaku sosial dari masyarakat (misalnya prilaku
yang bersifat negatif seperti vandalism).
Selain itu penilaian terhadap bentuk konflik antar
kelompok sosial akibat stres kerena tidak sesuainya jumlah
pengguna dan fasilitas yang terdapat atau disediakan pada
kawasan tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya,
tergantung dari tingkat lestari dari sumberdaya alam dan
lingkungan serta tingkat kesejahteraan tertentu yang ingin
dicapai oleh masyarakat pemakai atau penggunanya.
38 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
B. Pendugaaan Nilai Daya Dukung Kawasan
Pada dasarnya pendugaan nilai daya dukung suatu
kawasan, apakah akan digunakan untuk areal rekreasi,
lahan pertanian, areal permukiman, kawasan perkotaan, dan
penggunaan lainnya, ditentukan oleh 3 aspek utama, yaitu:
1. Kepekaan sumberdaya alam dan site productivity, yang
terkait dengan karakteristik biofisik sumberdaya atau
tapak tersebut yang antara lain meliputi; kualitas data, air
atau hidrologis, tanah, stabilitas ekosistem dan erosi
tanah.
2. Bentuk, cara dan laju (rate) penggunaan serta tingkat
apresiasi dari pemakai atau pengguna sumberdaya alam
dan lingkungan; misalnya prilaku dan tingkat
vandalisme pemakai, image (citra) dan persepsinya
terhadap suatu area.
3. Bentuk pengelolaan (fisik, non fisik), bertujuan jelas dan
berjangka panjang; hal ini terkait erat dengan kapasitas
sistem infrastruktur atau fasilitas (jalan raya, persediaan
air, unit pengelolaan air limbah, fasilitas pengolahan
sampah padat); kualitas pengelola dan sistem
pengelolaan yang digunakan.
Menurut Tivy (1972) diketahui ada 3 pendekatan
yang dilakukan dalam menduga daya dukung yaitu
pendekatan yang dilakukan terhadap: 1) Faktor pembatas
dan evaluasi dampak (limiting factors and the evaluation
impacts), 2) Keawetan dan kerusakan areal (site
deterioration and durability), dan 3) Kepuasan pemakai
(user satisfaction).
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 39
Pendekatan (1) dan (2) merupakan pendekatan yang
berorientasi terhadap kepentingan dan potensi yang dimiliki
oleh tapak tersebut secara alami atau biofisik, atau dikenal juga
sebagai suatu bentuk pendekatan ekosentrik atau biosentrik.
Pendekatan (3) berorientasi terhadap kepentingan manusia
yang menggunakan tapak dengan semua tingkat keinginan dan
kepuasannya, atau dikenal dengan pendekatan antroposentrik.
Khusus untuk pendekatan (1), dalam kaitannya dengan
kegiatan penataan ruang, juga dikenal sebagai kapasitas
rencana atau rancangan atau design atau planning capacity.
Dalam tujuan pengembangan dan pelestarian lanskap
suatu kawasan, maka perhitungan dan analisis terhadap daya
dukung ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan
sejauh sasaran kelestarian dan keindahan sumberdaya alam,
lanskap dan lingkungannya dapat tetap terjaga dan atau
terkendalikan. Walaupun sering terdapat ketidakseragaman
dalam penentuan nilai daya dukung sumberdaya, namun
Ortolano (1984) mengemukakan bahwa dalam menganalisis
daya dukung ini terdapat dua faktor yang penting dan juga
perlu untuk pertimbangan, yaitu:
1. Peubah pertumbuhan (growth variable)
Peubah pertumbuhan dapat direpresentasikan sebagai
populasi (seperti jumlah pengunjung taman atau areal
wisata yang melakukan kegiatan rekreasi per hari).
2. Faktor pembatas (limiting factor)
Faktor pembatas antara lain sumber daya alam,
infrastruktur fisik dan lainnya dimana kestersediaannya
tidak berada dalam jumlah yang tidak terbatas.
40 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Menurut Hendee et al. (1978), penilaian
kemampuan suatu kawasan berdasarkan penilaian daya
dukung ini cenderung merupakan suatu probabilistic
concept dan bukanlah suatu yang bersifat mutlak karena
hasil perhitungan yang didapatkan merupakan nilai
optimasi dari kemampuan sumberdaya alam dan
lingkungan tersebut dengan tingkat pengelolaan yang
tersedia atau yang mungkin dapat dilakukan.
Apabila daya dukung suatu ekosistem atau
sumberdaya lanskap diartikan sebagai batas penggunaan
lanskap yang lestari secara alami, maka untuk
meningkatkan kemampuannya juga dapat dilakukan
dengan menggunakan ilmu dan teknologi ke dalam
lingkungan tersebut atau menggunakan subsidi energi.
Dalam kaitannya dengan lingkup penataan
(perencanaan dan perancangan) serta pengelolaan lanskap,
upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak negatif
yang merugikan akibat terlampaunya batas daya dukung
suatu sumberdaya lanskap yaitu dengan menggunakan
berbagai teknik dan atau teknologi tersedia serta
pengetahuan dan kebijakan organisasi.
Tindakan fisik yang umum dilakukan, antara lain
melalui: 1) Zonasi, tata ruang, tata guna lahan yang sesuai
dengan kemampuannya, 2) Konsentrasi pengguna pada
areal tertentu yang berdaya dukung relatif tinggi, 3)
Reinforced ground dengan berbagai bentuk penturapan
yang ramah lingkungan, dan 4) Teknik budidaya tanaman
yang tidak merusak lingkungan.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 41
C. Ragam Daya Dukung
Menurut Inglis et al. (2000) bahwa daya dukung
lingkungan terdiri dari empat daya dukung, yaitu: 1) Daya
dukung fisik (Physical carrying capacity), 2) Daya dukung
produksi (Production carrying capacity), 3) Daya dukung
ekologi (Ecological carrying capacity), dan 4) Daya
dukung sosial (Social carrying capacity).
Daya dukung fisik berhubungan dengan ukuran dan
jumlah area yang dapat diakomodasi dalam suatu ruang
fisik yang layak. Pembatas ruang ini ditentukan oleh
geografi fisik kawasan, perencanaan, dan kebutuhan bagi
pengembangan kawasan. Daya dukung produksi merujuk
pada kelimpahan stok yang mengikuti panen yang kontinyu
dan maksimal. Dalam daya dukung jenis ini fokusnya
diarahkan pada penentuan panen optimum berjangka
panjang (long-term) yang akan ditopang oleh kawasan
tersebut.
Daya dukung ekologi dapat dijelaskan sebagai
tingkat pengembangan kawasan sedemikian rupa hingga
dampak ekologis merupakan tingkat maksimum (baik
jumlah maupun volume) pemanfaatan suatu sumberdaya
atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan
atau area sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis.
Sedangkan daya dukung sosial lebih merujuk pada dampak
sosial. Daya dukung sosial merupakan tingkat kenyamanan
dan apresiasi pengguna suatu sumberdaya atau ekosistem
terhadap suatu kawasan area akibat adanya pengguna lain
dalam waktu bersamaan.
42 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Jenis daya dukung menurut Liu (2004) adalah:
1. Daya dukung fisik (Physical carrying capacity) yaitu:
geografi fisik, hidrologi, oseanografi, kendala spasial,
model hidrodinamika, batasan-batasan yang dibuat oleh
program pemerintah (Landscape dan navigasi fisik, dan
lainnya). Perhatian mensimulasikan pengaruh
gelombang, masukan air tawar dan iklim, flushing rates,
dan struktur kolom air.
2. Daya dukung kimia (Chemical carrying capacity) yaitu:
pH, salinitas, CO2 dan O2 terlarut, serta kandungan
material beracun termasuk bahan organik seperti
amoniak, nitrit, dan logam berat.
3. Daya dukung biologi atau produksi (Biological atau
Production carrying capacity) yaitu: kelimpahan stok,
suplai makanan, laju taking up, dan konversi menjadi
jaringan produktif. Suplai fitoplankton dan bahan
organik lain, laju penyerapan, dan asimilasi.
4. Daya dukung ekologi (Ecological carrying capacity)
yaitu: mensimulasikan pengaruh cahaya, stratifikasi air
dan unsur hara terhadap sebaran dan kelimpahan
fitoplankton dan zooplankton. Pengayaan organik
sedimen. Bio-deposit, dampak terhadap struktur
komunitas dan perubahan fungsi ekosistem.
5. Daya dukung sosial (Social carrying capacity) yaitu:
dampak sosial terhadap komersial, rekreasi, budaya, dan
estetik. Navigasi dan keamanan, akses publik, kualitas
visual, perubahan karakter alami, dan penurunan
kenyamanan pengguna lain.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 43
Dalam penilaian daya dukung tergantung dari
tujuan pengembangan tapak, lanskap atau kawasan yang
ingin dicapai. Beberapa bentuk (ragam) pendugaan nilai
daya dukung dari suatu tapak atau kawasan yaitu:
1. Model daya dukung yang berorientasi terhadap kepekaan
ekologis dan fisik tapak atau lanskap (faktor pembatas,
keawetan), contoh daya dukung untuk kelestarian
wetland, ketersediaan air bersih, habitat satwa,
suistainable landscape, dan lainnya.
2. Model daya dukung yang berorientasi terhadap kepuasan
dan aspek sosial pemakai oleh manusia (misalnya untuk
daya dukung terhadap areal rekreasi, ruang-ruang
kehidupan sosial masyarakat, kawasan wisata, dan
kawasan CBD).
Jenis daya dukung yaitu daya dukung ekologis, fisik,
sosial, dan daya dukung rekreasi.
1. Daya dukung ekologis
Menurut Pigram (1983), daya dukung ekologis
suatu kawasan dinyatakan sebagai tingkat maksimum
penggunaan suatu ekosistem, baik berupa jumlah
maupun kegiatan yang diakomodasikan didalamnya,
sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis
kawasan atau ekosistem tersebut termasuk estetika
alami. Kawasan yang menjadi perhatian utama dalam
penelitian daya dukung ekologis adalah jenis ekosistem
yang rapuh (fragile) dan yang tidak dapat pulih
(unrenewable), seperti wetlands yaitu rawa, payau,
danau, laut, pesisir, dan sungai.
44 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
2. Daya dukung fisik
Daya dukung fisik suatu kawasan atau areal
merupakan jumlah maksimum penggunaan atau
kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan
atau areal tersebut tanpa menyebabkan kerusakan atau
penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik
(Pigram, 1983). Kawasan yang telah melampaui kondisi
daya dukungnya secara fisik antara lain tingginya tingkat
erosi, pencemaran lingkungan terutama udara dan air
sungai atau permukaan, sampah kota, suhu yang
meningkat, dan konflik sosial karena keterbatasann
fasilitas umum. Khusus dalam bidang Arsitektur
Lanskap, daya dukung fisik merupakan pendekatan yang
sejak awal dan umum digunakan dalam pembagian
ruang atau pembagian guna lahan (land use).
3. Daya dukung sosial
Konsep daya dukung sosial pada suatu tapak atau
kawasan merupakan gambaran dari persepsi seseorang
dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan,
atau persepsi pemakai kawasan terhadap kehadiran
orang lain secara bersamaan dalam memanfaatkan suatu
area atau kawasan tertentu. Daya dukung sosial suatu
kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum,
dalam jumlah dan tingkat penggunaan, dalam suatu
kawasan dimana dalam kondisi yang telah melampaui
batas daya dukung akan menimbulkan penurunan dalam
tingkat dan kualitas kepuasan pemakai pada kawasan
tersebut (Pigram, 1983).
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 45
5. Daya dukung rekreasi
Daya dukung rekreasi merupakan suatu konsep
pengelolaan yang menempatkan kegiatan rekreasi
pemakai kawasan atau tapak dalam berbagai aspek yang
terkait dengan kemampuan kawasan atau tapak. Menurut
Tivy (1972), pengelolaan yang mengaitkan hubungan
antara permintaan rekreasi dengan kapasitas dan
keterbatasan sumberdaya, yaitu: a) Terjadinya
peningkatan permintaan rekreasi ruang luar yang cepat
dan melampaui tidak saja terhadap ketersediaan fasilitas
yang ada dan direncanakan tetapi juga terhadap
ketersediaan sumberdaya, dan b) Terjadinya penurunan
dan kerusakan areal rekreasi telah menjadi masalah
serius pada daerah rekreasi tertentu karena tingkat
penggunaan yang tinggi, dalam frekuensi dan intensitas,
dan prilaku pemakai yang negatif terhadap lingkungan.
Tiga hal yang mempengaruhi nilai daya dukung
tempat rekreasi, menurut Knudson (1980) dan Douglas
(1975) yaitu: 1) Karakteristik sumberdaya (geologi,
tanah, geografi, topografi, vegetasi, iklim, dan lainnya),
2) Karakteristik pengelolaan (kebijaksanaan, dana, dan
metode pengelolaan), dan 3) Karakteristik pemakai
(prilaku, sikap, perlengkapan, dan pola pemakaian).
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menduga besar
daya dukung suatu kawasan rekreasi. Penelitian akan
tingkah laku dan apresiasi pengunjung terhadap kawasan
rekreasi, terutama dalam kaitannya dengan tingkatan
pencemaran dan gangguan terhadap alam.
46 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
D. Daya Dukung Wisata Pesisir
Menurut Hutabarat et al. (2009), bahwa jelas
sumber daya terbatas dan manusia tidak dapat bertahan
dengan penggunaan yang tanpa batas. Oleh karena itu ada
batasan suatu daya dukung untuk penggunaan oleh manusia
harus diikuti untuk memastikan bahwa sumberdaya alam
tidak terganggu.
Analisis daya dukung diciptakan tahun 1960an
sebagai suatu metode untuk menentukan batas-batas untuk
pembangunan dengan menggunakan angka, komputerisasi,
kalkulasi dengan objektivitas. Konsep yang bersifat
kuantitatif dan partisipatif mengenai daya dukung telah
sangat berguna dalam mempengaruhi kontrol
pengembangan terutama pariwisata (Clark, 1998).
Konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan
dua hal, yaitu: 1) Kemampuan alam untuk mentolelir
gangguan atau tekanan dari manusia, dan 2) Keaslian
sumberdaya alam. Kemampuan alam mentolelir kegiatan
manusia serta mempertahankan keaslian sumberdaya
ditentukan oleh besarnya gangguan yang kemungkinan
akan muncul dari kegiatan wisata.
Tingkat kemampuan alam untuk mentolelir dan
menciptakan lingkungan yang alami dihitung dengan
pendekatan potensi ekologis pengunjung. Potensi ekologis
pengunjung adalah kemampuan alam untuk menampung
pengunjung berdasarkan jenis kegiatan wisata pada area
tertentu. Oleh karena itu jenis kegiatan wisata yang akan
dikembangkan menyesuaikan dengan karakter lingkungan.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 47
Potensi ekologis pengunjung ditentukan oleh kondisi
sumberdaya dan jenis kegiatan wisata (Tabel 5.1). Luas suatu
area yang dapat digunakan oleh pengunjung dalam melakukan
aktifitas wisatanya, dipertimbangkan dalam menghitung
kemampuan alam dalam mentolelir pengunjung sehingga
keaslian alam tetap terjaga.
Tabel 5.1 Potensi Ekologis Pengunjung (K) dan Luas Area
Kegiatan (Lt)
Jenis Kegiatan ∑Pengunjung Unit Area (Lt) Keterangan
(Orang)
Selam 2 2000 m2 Setiap 2 orang dalam
Snorkling 1 500 m2 200m x 10m
Wisata lamun 1 500 m2 Setiap 1 orang dalam
Wisata mangrove 1 50 m2 100m x 5m
Setiap 1 orang dalam
Rekreasi pantai 1 50 m2 100m x 5m
Wisata olahraga 1 50 m2 Dihitung panjang track,
setiap 1 oang
sepanjang 50m
1 Orang setiap 50m
panjang pantai
1 Orang setiap 50m
panjang pantai
Potensi ekologis pengunjung dihitung berdasarkan area
yang digunakan untuk beraktifitas dalam alam masih mampu
untuk mentolelir kehadiran pengunjung. Misalnya, potensi
ekologis untuk kegiatan wisata selam adalah 2 orang untuk
2000m2 terumbu karang. Daya jelajah seorang selam
tergantung ketersediaan oksigen dalam tangki tabung yang
rata-rata habis dalam waktu 1 jam penyelaman. Seorang
penyelam dengan satu tabung oksigen dapat melakukan
pergerakan di bawah laut kurang lebih sepanjang 200m dengan
jelajah samping selebar 10m.
48 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Analisis daya dukung ditujukan pada
pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan
potensi sumberdaya pesisir, pantai, dan pulau-pulau kecil
secara lestari. Mengingat pengembangan wisata bahari
tidak bersifat mass tourism, mudah rusak dan ruang untuk
pengunjung sangat terbatas, maka perlu penentuan daya
dukung kawasan.
Metode yang diperkenalkan untuk menghitung daya
dukung pengembangan ekowisata alam dengan
menggunakan konsep daya dukung kawasan (DDK). DDK
adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik
dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu
tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan
manusia. Menurut Hutabarat et al. (2009), perhitungan
DDK dalam bentuk rumus:
DDK = K x Lp/Lt x Wt/Wp
Dimana:
DDK = Daya dukung kawasan wisata (orang/hari)
K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area
Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfatkan
Lt = Unit area untuk kategori tertentu
Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan
Wp wisata dalam satu hari
= Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap
kegiatan tertentu
Daya dukung kawasan disesuaikan karakteristik
sumberdaya dan peruntukannya. Contohnya untuk daya
dukung wisata selam ditentukan sebaran dan kondisi
terumbu karang, daya dukung wisata pantai ditentukan
panjang atau luas dan kondisi pantai.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 49
Tabel 5.2 Waktu yang dibutuhkan untuk Kegiatan Wisata
No Kegiatan Waktu yang Total waktu 1 hari Wt (Jam)
dibutuhkan
1 Selam 8
2 Snorkling 2 6
3 Berenang 3 4
4 Berperahu 2 8
5 Berjemur 1 4
6 Rekreasi pantai 2 6
7 Olahraga air 3 4
8 Memancing 2 6
9 Wisata mangrove 3 8
10 Wisata lamun dan 2 4
2
lainnya
11 Wisata satwa 24
Daya dukung lingkungan (Carring capacity), selain
diartikan sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap
sumberdaya alam juga membatasi pembangunan fisik yang
dapat mengganggu kesinambungan pembangunan wisata
tanpa merusak alam. Penentuan daya dukung perlu juga
dikaitkan dengan fasilitas akomodasi, pembangunan sarana
rekreasi yang dibangun di setiap tempat wisata.
Fasilitas pariwisata merupakan salah satu program
pengembangan yang sangat penting. Tanpa didukung oleh
pengembangan fasilitas maka tujuan program tidak akan
optimal, namun demikian pengembangan fasilitas hendaknya
memperhatikan daya dukung kawasan. Pengusahaan
pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional dan
taman wisata alam maka areal yang diizinkan untuk
pembangunan sarana dan prasarana adalah 10% dari luas
zona pemanfaatan (Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
1994). Fasilitas dan sarana yang dibangun hendaknya tidak
merubah bentang alam sehingga keaslian alam masih terjaga.
50 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
BAB VI
PEMANFAATAN
SISTEM INFORMASI GEOGRAFI
(SIG)
Menurut Dahuri et al. (1996) bahwa untuk mendukung
perencanaan terpadu kawasan pesisir, perlu dilakukan digitasi
data dan diolah ke dalam peta tematik dan peta yang
ditumpang susun (overlay). Hal ini dapat dibuat dengan
menggunakan alat teknologi berkomputer yang dikenal
dengan nama Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG adalah
suatu sistem berbasis komputer yang mempunyai kemampuan
dalam mengolah data bereferensi geografi yang meliputi
proses pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan
pemanggilan kembali), manipulasi dan analisis data, serta
keluaran sebagai hasil akhir (output) (Aronoff, 1989).
Sistem Informasi Geografi merupakan suatu sistem
informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk mengolah
data spasial untuk memberi informasi spasial. Sistem ini
menangkap, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi,
menganalisis, dan menampilkan data spasial yang
merepresentasikan kondisi bumi. Keuntungan sistem
informasi geografi adalah pengelolaan data yang efisien,
analisis spasial, analisis yang komprehensif, dan kemampuan
pemantauan dinamis sehingga menjadi manajemen yang
efektif, dan alat pengambil keputusan (Prahasta, 2002).
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 51
Sistem Informasi Geografis dirancang untuk
mengumpulkan, menyimpan, menganalisis berbagai objek,
dan fenomena dimana lokasi geografis merupakan
karakteristik yang sangat penting atau kritis untuk dianalisis.
Tujuan pokok dari pemanfaatan SIG untuk mempermudah
mendapatkan informasi spasial yang telah diolah, dan
tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau objek. Ciri utama
data yang bisa dimanfaatkan dalam Sistem Informasi
Geografis adalah data yang telah terikat dengan lokasi, dan
merupakan data dasar yang belum dispesifikasi (Jaya, 2002).
Laurini dan Thompson (1995) menyatakan bahwa
Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah sistem informasi
yang bekerja dengan data berkoordinat geografi mempunyai
kemampuan mengintegrasikan berbagai data sumberdaya
lahan. SIG merupakan perangkat komputer yang handal
dan banyak digunakan sebagai alat bantu dalam menganalisis
berbagai situasi, kondisi, perencanaan, evaluasi, dan
pemecahan permasalahan sumberdaya alam.
Star dan Estes (1990) menyatakan bahwa
pengembangan Sistem Informasi Geografi dilandasi oleh dua
faktor penting, yaitu 1) Untuk pengelolaan lingkungan
perkotaan terutama dalam kaitannya dengan perencanaan
peremajaan (renewal), dan 2) Untuk mengembangkan
kompetisi penggunaan sumberdaya lingkungan. Selanjutnya
menurut (Riwayatiningsih dan Purnaweni, 2017) bahwa
Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu teknologi
yang sangat berguna dalam mendukung pengambilan suatu
keputusan dalam bidang atau sektor pariwisata.
52 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Gunn (1994) dalam proses perencanaan kawasan
wisata, bantuan dari teknologi komputer cukup dapat
membantu, dengan program Sistem Informasi Geografis akan
diperoleh peta yang memperlihatkan sumberdaya yang paling
sesuai bagi kegiatan wisata dan yang paling sensitif.
Penggunaan perangkat canggih dapat membantu
merencanakan sesuatu, dapat dipetakan, dan diintegrasikan
untuk mengetahui pilihan-pilihan manajemen dan alternatif
perencanaan yang paling optimal.
Fung dan Wong (2007) menyatakan bahwa
penggunaan SIG dan peta citra untuk perencanaan rasional
dari kegiatan ekowisata dan tindakan konservasi. Melalui
klasifikasi peta citra dan terintegrasi dengan data ekologi,
habitat penting dapat dipetakan dan database spasial. Purwanto
et al. (2015) menyatakan SIG telah banyak digunakan dalam
berbagai bidang terkait dengan pengambilan keputusan yang
melibatkan data spasial (keruangan). Kompleknya data ruang
merupakan salah satu kendala yang sering dijumpai oleh
pemerintah untuk menentukan kebijakan.
SIG merupakan alat yang digunakan untuk menujang
perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang
berwawasan lingkungan. Menggunakan SIG dengan mudah
dan cepat menganalisis spasial dan penataan ruang pesisir dan
laut sesuai dengan daya dukungnya. Kombinasi kegiatan yang
sinergis dan mempunyai keunggulan komparatif secara
ekonomis tetapi dampak lingkungannya minimal dapat
ditampilkan sehingga pihak yang berwenang dapat menyeleksi
sektor mana kegiatan yang layak (Dahuri et al., 1996).
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 53
54 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
BAB VII
DESKRIPSI HASIL
(STUDI KASUS)
A. Ekosistem Kawasan Pesisir
Ekologi kawasan pesisir terdiri dari ekosistem-
ekosistem yang membentuk lanskap pesisir. Pendekatan
ekologi berbasis ekosistem merupakan salah satu bentuk
konsep pembangunan berkelanjutan. Menurut Sloan (1993)
dan Wibowo (2009), setiap kawasan pesisir memiliki
karakteristik ekosistem yang berbeda dan menunjukkan
tingkat kerapuhan suatu ekosistem. Kawasan pesisir Lalong
Kota Luwuk (LKL) terdiri dari ekosistem tereterial dan
ekosistem akuatik. Ekosistem teresterial (hutan lahan atas
dan lahan bernilai penting) dan ekosistem akuatik (estuari,
pantai, padang lamun, dan terumbu karang).
Tabel 7.1 Luas Ekosistem Kawasan LKL
Ekosistem teresterial Ekosistem akuatik
Hutan Lahan bernilai Estuari Pantai Padang Terumbu
lahan atas penting lamun karang
No Kelurahan Alami
Semi alami
Tidak alami
Pemukiman
CBD
Semi
terbuka
Berpasir
Berbatu
Penutupan
40-80%
Penutupan
40-80%
1 Tontouan 640.30 43.95 0.39 8.65 - - --- -
14.28 2.19 17.74 - - -
2 Mangkio 443.27 62.21 3.75 5.66 - - --- -
3.10 18.14 - - -
3 Kaleke 691.94 - 5.45 51.91 - - -- - 7.15
28.55 6.39 64.16 27.31 37.87 -
4 Soho - 47.95 0.34 15.84 - - -- - -
8.15 46.95 5.14 - 6.02
5 Bungin - - 1.90 - 4.57
6.51 229.05 13.17 2330.67
6 Luwuk - -- -
9.84 0.56 100
7 Baru - -- -
8 Keraton - 1.04 0.09 1.75
Total (ha) 1775.51 203.45 29.82 32.45 37.87 2.94 0.09 6.32
1.39 1.62
Total (%) 76.18 8.73 1.28 0.12 0.003 0.27
Sumber: Olahan data lapang (2013)
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 55
Tabel 7.1 menunjukkan luas ekosistem teresterial di
kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk lebih besar dibandingkan
dengan luas ekosistem akuatik, yaitu 2270.28 ha atau 97.41%.
Dimana ekosistem teresterial terbesar yaitu hutan alami yang
berada di Desa Tontouan, Kelurahan Mangkio, dan Kelurahan
Kaleke. Ketiga lokasi memiliki karakter lanskap alami yang
berada di kawasan wisata pesisir Lalong Kota Luwuk.
Sedangkan ekosistem akuatik terbesar di Lalong Kota
Luwuk yaitu estuari yang berada di Kelurahan Luwuk. Hal ini
menunjukkan kondisi lanskap kawasan pesisir Lalong Kota
Luwuk memiliki karakter lanskap alami. Kota yang memiliki
karakter lanskap alami merupakan salah satu aset yang dapat
dikembangkan sebagai potensi wisata perkotaan.
Ekosistem akuatik di kawasan pesisir Lalong Kota
Luwuk pada umumnya ekosistem dengan karakteristik lanskap
alami akan tetapi memiliki luas yang sangat kecil. Hal ini
menunjukkan ekosistem akuatik memiliki potensi tingkat
kerusakan yang tinggi dibandingkan ekosistem lainnya.
Semakin kecil luasan suatu ekosistem akan semakin tinggi
tingkat kerusakan atau gangguan.
Mengingat pertumbuhan pemukiman di kawasan
pesisir Lalong Kota Luwuk yang cukup tinggi dan padat
sehingga peluang perubahan lanskap atau kerusakan semakin
tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan penilaian kepekaan untuk
mengetahui tingkat kerusakan setiap ekosistem tersebut.
Penilaian kepekaan ini diharapkan dapat memberikan batasan
pengembangan yang akan direncanakan. Zona kawasan pesisir
LKL dapat dilihat pada Gambar 7.1.
56 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Gambar 7.1 Peta Ekosistem Kawasan Wisata Pesisir LKL
B. Kepekaan Ekosistem Pesisir
Indeks kepekaan kawasan pesisir untuk mengetahui
tingkat kepekaan sumber daya kawasan pesisir LKL.
1. Kepekaan Ekosistem Teresterial Lalong Kota Luwuk
Kepekaan ekosistem teresterial pesisir LKL
melalui pendekatan kondisi tutupan lahan, luasan,
keterwakilan, keutuhan ekosistem, keutuhan sumber
daya, dan topografi (Dahuri et al., 1996, Hutabarat et al.,
2009, Widiatmaka dan Hardjowigono, 2007).
Tabel 7.2 Penilaian Kepekaan Ekosistem Teresterial
No Ekosistem teresterial I Parameter N K
1 Hutan lahan atas Hutan alami 1 II III IV V VI
2 Lahan bernila penting Hutan semi alami 2 1 1 11 38P
Hutan tidak alami 2 2 2 2 2 2 12 CP
Pemukiman 2 3 3 3 3 1 15 TP
CBD 3 3 3 3 3 1 15 TP
3 3 3 3 1 16 TP
Parameter (I: tutupan lahan, II: luasan, III: keterwakilan, IV: keutuhan ekosistem, V: keutuhan sumberdaya,
VI: topografi), N: nilai, K: klasifikasi, TP: tidak peka (14-18), CP: cukup peka (9-13), P: peka (4-8)
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 57
Tabel 7.2 menunjukkan bahwa sebagian besar kawasan
teresterial pesisir LKL tidak peka dan tidak rentan apabila
dikembangkan sebagai kawasan wisata. Sedangkan sebagian
kawasan memiliki kepekaan dan rentan sebagai wisata.
Tabel 7.3 Luas Kepekaan Ekosistem Teresterial
No Kelurahan Ekosistem teresterial
Hutan lahan atas Lahan bernilai penting
Alami Semi Tidak Pemukiman CBD
alami alami
1 Tontouan 640.30 43.95 0.39 8.65 -
2 Mangkio 443.27 14.28 2.19 17.74 -
3 Kaleke 691.94 62.21 3.75 5.66 -
4 Soho - - 3.10 18.14 -
51.91 -
5 Bungin - 28.55 5.45
15.84 -
6 Baru - - 0.34 64.16 27.31
46.95
7 Luwuk - 47.95 6.39 229.05 5.14
8 Keraton 10.10 32.45
- 6.51 8.15 1.43
TP
Total (ha) 1775.51 203.45 29.82 TP 2270.28
100
Total (%) 78.20 8.96 1.31
Klasifikasi P CP TP
Sumber: Olahan data lapang (2013)
TP: tidak peka (14-18), CP: cukup peka (9-13), P: peka (4-8)
Tabel 7.3 menunjukkan luasan kawasan tidak peka
(TP) yaitu 291.32 ha atau 12.84% dari total luas kawasan yang
berada di kelurahan yang memiliki hutan tidak alami,
pemukiman dan CBD sehingga memiliki potensi
pengembangan wisata pesisir LKL. Luasan kawasan cukup
peka (CP) yaitu 203.45 ha atau 8.96% berada di kelurahan
yang memiliki hutan semi alami sehingga memiliki cukup
potensi dalam pengembangan dengan tetap menjaga kualitas
ekosistem. Sedangkan luasan kawasan peka (P) terbesar yaitu
1775.51 ha atau 78.20% dari luas total luas kawasan yang
berada di Kelurahan Kaleke, Mangkio, dan Desa Tontouan
yang berpotensi wisata dengan tujuan konservasi.
58 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Kawasan tidak peka (TP) dan cukup peka (CP)
merupakan kawasan yang strategis bagi masyarakat Kota
Luwuk sehingga pemanfaatan tersebut memicu
pencemaran sampah dan sedimentasi setinggi 7 m di
kawasan teluk (Departemen Perhubungan Laut, 2013). Hal
ini akan berdampak kerusakan habitat endemik ikan hias
Banggai cardinalfish (Pterapogon kauderrni).
Menurut Vagelli (2002), habitat Banggai
cardinalfish (BCF) sangat peka terhadap gangguan
lingkungan. Oleh karena itu, diupayakan implementasi
buffer zone pantai untuk pelestarian sumber daya alam
kawasan pesisir Lalong Kota Luwuk. Buffer zone berfungsi
melindungi kawasan alami dari kerusakan yang disebabkan
oleh aktivitas manusia.
Sedangkan kawasan peka (P) terkait dengan kondisi
topografi yang pada umumnya bergelombang dan berbukit
sehingga memiliki potensi terjadinya longsor dan
sedimentasi. Selain itu, kesadaran masyarakat akan
kebutuhan menikmati pemandangan lanskap yang indah
(borrowing view) dari atas bukit memicu perubahan hutan
alami menjadi kawasan jasa (villa dan cafe).
Oleh karena itu, dibutuhkan upaya implementasi
aspek legal dalam kebutuhan buffer zone sehingga dapat
menjembatani kebutuhan ruang penduduk dan
kelangsungan habitat fauna endemik seperti Tarsius, Babi
Rusa, dan Kus-kus yang rentan terhadap gangguan
manusia. Zona kepekaan kawasan teresterial pesisir Lalong
Kota Luwuk dapat dilihat pada Gambar 7.2.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 59
Gambar 7.2 Peta Kepekaan Ekosistem Teresterial
Kawasan Pesisir LKL
2. Kepekaan Ekosistem Akuatik Lalong Kota Luwuk
Kepekaan ekosistem akuatik pesisir LKL dilihat dari
kondisi tutupan lahan, luasan, keterwakilan, keutuhan
ekosistem, keutuhan sumber daya, tipologi ekosistem, dan
topografi (Dahuri et al., 1996, Hutabarat et al., 2009,
Widiatmaka dan Hardjowigono, 2007).
Tabel 7.4 Penilaian Kepekaan Ekosistem Akuatik
Kawasan Pesisir
No Ekosistem akuatik Parameter NK
I II III IV V VI VII
1 Estuari Semi terbuka 2 2 2 2 2 1 3 14 CP
2 Pantai Berpasir 2 2 2 2 2 2 3 15 CP
Berbatu 2 1 2 2 2 2 3 14 CP
3 Padang lamun Penutupan 40-80% 2 2 2 2 2 2 3 15 CP
4 Terumbu karang Penutupan 40-80% 2 2 2 2 2 2 3 15 CP
Parameter I: tutupan lahan, II: luasan, III: keterwakilan, IV: keutuhan ekosistem, V: keutuhan sumber daya, VI:
tipologi ekosistem, dan VII: topografi, N: nilai, K: klasifikasi, TP: tidak peka (16-21), CP: cukup peka (10-15) P: peka (4-9)
60 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Tabel 7.4 menunjukkan bahwa seluruh kawasan
akuatik pesisir LKL cukup peka dan cukup rentan apabila
dikembangkan sebagai kawasan wisata. Kawasan akuatik
dapat dikembangkan sebagai wisata dengan tetap menjaga
kualitas akuatik di pesisir LKL tanpa merusak ekosistem.
Tabel 7.5 Luas Kepekaan Ekosistem Akuatik LKL
Ekosistem akuatik
Estuari Pantai Padang Terumbu
No Kelurahan lamun karang
Semi terbuka Berpasir Berbatu Penutupan Penutupan
40-80% 40-80%
1 Tontouan - -- - -
2 Mangkio - -- - -
3 Kaleke - -- - -
4 Soho - -- - -
5 Bungin - 1.90 - 4.57 7.15
6 Luwuk 37.87 -- - -
7 Baru - -- - -
8 Keraton
- 1.04 0.09 1.75 6.02
Total (ha) 37.87 2.94 0.09 6.32 13.17 60.39
100
Total (%) 62.74 4.85 0.15 10.45 21.81
Klasifikasi CP CP CP CP CP
Sumber: Olahan data lapang (2013)
TP: tidak peka (16-21), CP: cukup peka (10-15), P: peka (4-9)
Tabel 7.5 menunjukkan luasan kawasan cukup peka
(CP) yaitu 60.39 ha dari total luas kawasan yang berada di
Kelurahan Bungin, Kelurahan Luwuk, dan Kelurahan
Keraton. Kawasan akuatik terbesar adalah kawasan estuari
yang memiliki luas 37.87 ha atau 62.74% yang berada di
Kelurahan Luwuk. Potensi pengembangan wisata
mengandalkan atraksi air dengan memanfaatkan sumber
daya air. Air merupakan elemen lanskap yang dapat
menciptakan aktivitas wisata yang menarik, tetapi kawasan
estuari rentan dikarenakan kawasan memiliki substrat
berlumpur sehingga berpotensi terjadinya sedimentasi yang
mengancam keberlangsungan biota air.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 61
Kawasan pantai berpasir memiliki luas 2.94 ha atau
4.85% yang berada di Kelurahan Bungin dan Keraton.
Pantai berpasir yang berwarna putih di sepanjang garis
pantai memiliki potensi rekreasi pantai, tetapi cukup rentan
sehingga kawasan pantai kehilangan vegetasi yang
menyebabkan abrasi. Kawasan padang lamun memiliki luas
6.33 ha atau 10.45% yang berada di Kelurahan Bungin dan
Keraton yang berfungsi sebagai habitat biota laut dan
perangkap sedimen sehingga cukup rentan apabila
mengalami aktivitas berlebihan.
Kawasan terumbu karang memiliki luas 13.17 ha
atau 21.81% yang berada di Kelurahan Bungin dan Keraton.
Terumbu karang merupakan habitat biota endemik Banggai
cardinalfish (Pterapogon kauderrni) yang berada di
kedalaman 3-6 m dan memiliki berbagai jenis terumbu
karang yang indah. Hal ini memberikan peluang untuk
melakukan atraksi wisata yang mengandalkan keindahan
bawah laut tetapi kondisi rentan sehingga dibutuhkan daya
dukung kawasan.
Kawasan pantai berbatu seluas 0.09 ha atau 0.15%
yang berada di Kelurahan Keraton. Pantai berbatu
merupakan batu karang berukuran cukup besar dan
berwarna hitam yang berfungsi sebagai penahan arus
gelombang dan habitat biota air yang hidupnya menempel.
Pantai berbatu memiliki potensi wisata dengan
memanfaatkan keindahan bentuk, warna, dan deburan
ombak. Kawasan pantai berbatu rentan karena luasan
berkurang akibat pembangunan akses jalan.
62 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Berdasarkan kondisi tersebut, dibutuhkan alternatif
penerapan teknologi yang ramah lingkungan untuk
pencegah dampak negatif terhadap kawasan akuatik
sekaligus meningkatkan ekologis LKL. Zona kepekaan
kawasan akuatik LKL dapat dilihat pada Gambar 7.3.
Gambar 7.3 Peta Kepekaan Ekosistem Akuatik
Kawasan Pesisir LKL
C. Daya Tarik Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk
1. Potensi Objek dan Atraksi Wisata Pesisir LKL
Bentuk kepariwisataan kawasan pesisir Lalomg
Kota Luwuk dilakukan penilaian terhadap objek dan
atraksi wisata pesisir eksisting yang berpotensi bagi
pengembangan wisata pesisir. Menurut Inskeep (1991),
Damanik dan Weber (2006), dan Hutabarat et al. (2009)
bahwa parameter penilaian objek dan atraksi terdiri dari
keunikan, kelangkaan, dan keaslian.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 63
Sumber daya alam pesisir Lalong Kota Luwuk dapat
mewakili berbagai karakteristik lingkungan (ekosistem
teresterial dan dan ekosistem akuatik) dan ketinggian
(kawasan pantai sampai kawasan pegunungan). Sedangkan
budaya dapat mewakili berbagai aktivitas masyarakat lokal
yang berada di Lalong Kota Luwuk dan sejarah
peninggalan bangunan bergaya arsitektur kolonial maupun
arsitektur lokal.
Tabel 7.6 Potensi Objek dan Atraksi Wisata LKL
No Kelurahan Ekosistem Objek dan atraksi Parameter N K
Keu Kel Kea S
R
1 Tontouan Hutan lahan atas Alami Tarsius Sulawesi 22 22 22 66 R
2 Mangkio R
3 Kaleke Semi alami 11 11 11 33 S
4 Soho R
5 Bungin Tidak alami 11 11 11 33 R
R
Lahan bernilai penting Pemukiman 11 11 11 33 S
S
Hutan lahan atas Alami Tarsius Sulawesi 22 22 22 66 R
R
Semi alami 11 11 11 33 R
S
Tidak alami 11 11 11 33 R
R
Lahan bernilai penting Pemukiman 11 11 11 33 S
T
Hutan lahan atas Alami Tarsius Sulawesi 22 22 22 66 T
T
Semi alami Kuliner khas lokal 20 16 21 57 S
T
Tidak alami 11 11 11 33 S
T
Lahan bernilai penting Pemukiman 11 11 11 33 T
R
Hutan lahan atas Tidak alami 11 11 11 33 R
T
Lahan bernilai penting Pemukiman Akper 21 22 22 65 S
S
Hutan lahan atas Semi alami 11 11 11 33 T
R
Tidak alami 11 11 11 33 S
T
Lahan bernilai penting Pemukiman Kediaman dr. Anuranta 22 22 22 66 S
R
Gereja BZL 33 33 33 99 T
T
Museum daerah 33 33 33 99 S
T
Pemukiman pasar tua 33 33 33 99 T
S
Kuliner khas lokal 22 14 21 57
T
Pantai Pasir putih 33 33 33 99 T
Padang lamun S
Terumbu karang Padang lamun 11 20 33 64
Jenis terumbu karang 33 33 33 99
Banggai cardinalfish 33 33 33 99
6 Luwuk Hutan lahan atas Semi alami 11 11 11 33
7 Baru Tidak alami 11 11 11 33
8 Keraton
Lahan bernilai penting Pemukiman Ked. Kerajaan Banggai 33 33 33 99
CBD Pasar malam 25 22 22 69
Kuliner khas lokal 20 25 25 70
Estuari Air 33 33 33 99
Hutan lahan atas Tidak alami 11 11 11 11
Lahan bernilai penting Pemukiman Kuliner khas lokal 20 21 21 62
Hutan lahan atas Semi alami Mata air mambual 33 33 33 99
Kuliner khas lokal 21 22 22 65
Tidak alami 11 11 11 33
Lahan bernilai penting Pemukiman
Ked. Wakil Bupati 33 33 33 99
Bekas benteng majapahit 33 33 33 99
CBD Pasar pelelangan ikan 22 22 30 74
Pantai berpasir Pasir putih 33 33 33 99
Pantai berbatu
Padang lamun Pantai berbatu 33 33 33 99
Terumbu karang Padang lamun 20 22 22 64
Jenis terumbu karang 33 33 33 99
Banggai cardinalfish 33 33 33 99
Rumpon 25 23 22 70
Sumber: Olahan data lapang (2013)
64 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Penilaian potensi objek dan atraksi pada setiap
ekosistem yang dilihat berdasarkan keunikan, kelangkaan,
dan keaslian. Artinya, setiap objek dan atraksi mempunyai
kekhususan, istimewa, khas, terawat, dan asli dari kawasan
tersebut. Tujuan penilaian objek dan atraksi untuk
mengetahui kelayakan objek dan atraksi yang akan
dikembangkan sebagai daya tarik wisata pesisir.
Pada Tabel 7.6. menunjukan sebagian besar
kawasan pesisir LKL memiliki potensi objek dan atraksi
wisata dengan klasifikasi sedang. Hal ini dipengaruhi
kawasan memiliki objek dan atraksi alam atau budaya
cukup beragam. Selain itu, kawasan memiliki objek dan
atraksi yang unik tetapi mengalami percampuran.
Potensi objek dan atraksi LKL dapat ditingkatkan,
seperti memperbaiki fisik bangunan peninggalan masa
kolonial yang kurang terawat dan mengembalikan
fungsinya, menciptakan atraksi budaya masyarakat lokal
yang mengalami pergeseran akibat tekanan budaya luar dan
menyediakan fasilitas wisata yang menunjang wisatawan.
Tabel 7.7 Luas Potensi Objek dan Atrasi Wisata Pesisir LKL
No Kelurahan Potensi objek dan atraksi
R ST
1 Tontouan 53.01 640.30 -
2 Mangkio 34.21 443.27 -
3 Kaleke 9.41 754.15 -
4 Soho 3.10 18.14 -
5 Bungin 34 4.57 60.96
6 Luwuk 54.34 27.31 102.03
7 Baru 0.34 15.84 -
8 kKeraton 8.15 6.89 60.61
Total (ha) 196.56 1910.51 223.60 2330.67
100
Total (%) 8.43 81.97 9.60
Sumber: Olahan data lapang (2013)
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 65
Tabel 7.7 menunjukkan luasan kawasan klasifikasi
tinggi (T) seluas 223.60 ha atau 9.60% berada di Kelurahan
Bungin, Luwuk, dan Keraton yang memiliki potensi wisata
alam yaitu pantai berpasir, pantai berbatu, jenis terumbu
karang, Banggai cardinalfish, dan perairan. Potensi wisata
budaya yaitu bangunan bersejarah dan pemukiman pasar
tua dengan rumah bergaya arsitektur lokal.
Sedangkan potensi objek dan atraksi wisata dengan
klasifikasi sedang (S) seluas 1910.51 ha atau 81.97% yang
berada di Desa Tontouan, Kelurahan Mangkio Baru, dan
Kaleke memiliki potensi wisata alam yaitu Tarsius
Sulawesi. Kelurahan Soho dan Baru berpotensi sebagai
wisata budaya seperti jenis kuliner khas lokal dan bangunan
bersejarah kolonial. Zona potensi objek dan atraksi wisata
pesisir LKL dapat dilihat pada Gambar 7.4
Gambar 7.4 Peta Potensi Objek dan Atraksi Wisata Pesisir LKL
66 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Tabel 7.8 Potensi Objek dan Atraksi Wisata Pesisir LKL
No Ekosistem Objek Atraksi Potensi Keterangan Photo
Fauna Tarsius wisata
1 Hutan Alam Tarsius
lahan (Fauna) Sulawesi
atas merupakan
l fauna
l endemik yang
berasal dari
Sulawesi
2 Lahan Akper Gaya Budaya Rumah sakit
bernilai arsitektur (Sejarah) umum
penting kolonial pertama di
Kota Luwuk
pada masa
kolonial
(1936)
3 Lahan Kediaman Gaya Budaya Rumah
bernilai Anuranta arsitektur (Sejarah) keluarga
penting dokter yang
kolonial dibangun pada
masa kolonial
dan terjaga
keasliannya
4 Lahan Gereja Gaya Budaya Gereja
Bernilai Bukit arsitektur (Sejarah) pertama di
Penting Zaitun kolonial Kota Luwuk
Luwuk yang
mencapai
umur hampir
100 tahun
5 Lahan Museum Gaya Budaya Bangunan
bernilai daerah peninggalan
penting arsitektur (Sejarah) kolonial yang
dibangun pada
kolonial, tahun 1930 dan
merupakan
galeri budaya bekas distrik
Banggai, dan
pertunjukan
seni tarian
dan teater
6 Lahan Pemukim Arsitektur Budaya Pusat
bernilai an pasar lokal (Sejarah) perdagangan
penting tua (rumah pada masa
pemerintahan
panggung) kolonial yang
didominasi oleh
suku Gorontalo
dan bangunan
mencapai
ratusan tahun
Sumber: Olahan data lapang (2013)
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 67
Tabel 7.8 Potensi Objek dan Atraksi Wisata LKL (Lanjutan)
No Ekosistem Objek Atraksi Potensi Keterangan Photo
wisata
7 Lahan Kediaman Gaya
bernilai keluarga arsitektur Budaya Bangunan
penting kerajaan lokal (Sejarah) yang
Banggai
dimiliki oleh
keluarga
kerajaan
Banggai sejak
masa Kolonial
8 Lahan Kediaman Gaya Budaya Kediaman
bernilai wakil arsitektur (Sejarah) bupati
penting bupati kolonial Banggai
pertama
9 Lahan Bekas setelah
bernilai benteng kemerdekaan
penting Majapahit
Situs sejarah Budaya Goa bawah
10 Lahan Pelelangan
bernilai ikan monumen (Sejarah) tanah pada
penting
Pasar perjuagan masa
11 Lahan malam
bernilai gerilya Majapahit dan -
penting Kuliner
khas kerajaan dalam proses
12 Lahan Kota
bernilai Luwuk Banggai penelitian ahli
penting
purbakala
Proses Budaya Pelelangan
kegiatan (Belanja ikan sekaligus
jual beli ikan dan pelabuhan
dan kuliner) nelayan Kota
menikmati Luwuk yang
hasil didominasi
laut suku Muna
dan Buton
Proses Budaya Pasar malam
kegiatan (Belanja yang dilakukan
jual beli dan malam hari
masyarakat kuliner) dengan berbagai
malam hari jenis produk
lokal yang
ditawarkan
Mencicipi Budaya Pisang goreng
jenis (Kuliner) Lowe yang
makanan terkenal
dan di Kota Luwuk
minuman yang berbahan
tradisional dasar dari jenis
khas Kota pisang Lowe
Luwuk
Budaya Ikan bakar segar
(Kuliner) dengan sambal
atau dabu-dabu
mentah yang
merupakan khas
Kota Luwuk
Sumber: Olahan data lapang (2013)
68 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
NILAI SBE2. Potensi Visual Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk
Lalong merupakan salah satu elemen daya tarik
lanskap yang potensial di Kota Luwuk karena memiliki
visual yang masih alami meskipun berada di tengah
pusat kota yang padat. Hasil analisis kualitas estetik
LKL dilakukan melalui metode Scenic Beauty
Estimation (SBE) (Daniel dan Boster, 1976). Menurut
Budiyono et al. (2012) bahwa penilaian SBE melalui
responden dapat membantu menunjukan potensi visual
yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata.
LANSKAP
Gambar 7.5 Grafik Nilai SBE Kawasan Pesisir LKL
Gambar 7.5 menunjukkan nilai SBE masing-
masing lanskap yang ditampilkan pada responden
berjumlah 12 karakter lanskap bahwa keindahan lanskap
LKL sebagian besar tinggi (T) yaitu lanskap (4, 5, 6, 7,
8, 9, 10, 11, dan 12). Lanskap dengan nilai tertinggi (11
dan 12), artinya lanskap tersebut merupakan karakter
lanskap yang paling bagus dan memiliki tingkat
preferensi yang paling tinggi dari responden.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 69
Lanskap 11 dan 12 merupakan lanskap borrowing
view kawasan LKL. Hal ini terkait dengan topografi yang
berbukit dan bergunung sehingga elemen alami dan binaan
membentuk lanskap yang indah. Lanskap (4, 5, 6, 7, 8, 9,
dan 10) didominasi latar belakang lanskap alami berupa
view gunung, vegetasi yang hijau, hamparan pantai pasir
putih, laut, dan langit biru yang menyatu dengan lanskap
binaan. Sedangkan keindahan rendah (R) yaitu lanskap (1,
2, dan 3), artinya lanskap tersebut memiliki tingkat
preferensi rendah dari responden karena didominasi
lanskap binaan. Perbedaan nilai keindahan dari 12 lanskap
menunjukkan keragaman struktur lanskap yang tinggi dan
alami cenderung disukai oleh responden. Preferensi visual
berbeda setiap individu, tetapi preferensi visual lingkungan
alami lebih disukai dari pada struktur buatan manusia.
Penilaian lanskap LKL dapat dilihat pada Gambar 7.6.
Peringkat 1 (Nilai SBE=150) Peringkat 2 (Nilai SBE=145)
Peringkat 3 (Nilai SBE=137) Peringkat 4 (Nilai SBE=127)
70 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Peringkat 5 (Nilai SBE=126) Peringkat 6 (Nilai SBE=125)
Peringkat 7 (Nilai SBE=124) Peringkat 8 (Nilai SBE=123)
Peringkat 9 (Nilai SBE= 123) Peringkat 10 (Nilai SBE=39)
Peringkat 11 (Nilai SBE= 34) Peringkat 12 (Nilai SBE=0)
Gambar 7.6 Penilaian Kualitas Visual Kawasan Pesisir LKL
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 71
Tabel 7.9 Luas Potensi Kualitas Visual Wisata Pesisir LKL
No Kelurahan Potensi objek dan atraksi
1 Tontouan R ST 2330.67
2 Mangkio 100
3 Kaleke - - 693.29
4 Soho - - 477.48
5 Bungin - - 763.56
6 Luwuk - - 21.24
7 Baru 85.91 - 13.62
8 kKeraton - - 183.68
- - 16.18
Total (ha) 66.75 - 8.9
Total (%)
152.66 2178.01
Sumber: Olahan data lapang (2013) 6.55 93.45
Tabel 7.9 menunjukkan luasan kawasan kualitas
visual pesisir LKL tertinggi yaitu 2177.94 ha atau 93.45%
yang sebagian besar berada di seluruh kelurahan. Tingginya
kualitas visual dipengaruhi oleh kawasan memiliki
karakteristik topografi yang bergelombang sehingga
membentuk elemen lanskap alami. Berdasarkan kondisi
tersebut kawasan memiliki potensi lanskap yang indah
untuk dikembangkan dengan mamanfaatkan good view.
Sedangkan luasan kawasan dengan kualitas visual
rendah yaitu 152.73 ha atau 6.55% yang berada di
Kelurahan Bungin dan Keraton. Kedua kelurahan memiliki
karakteristik lanskap yang didominasi oleh lanskap binaan.
Interaksi manusia dan alam telah mengubah struktur
lanskap alami secara kualitas maupun kuantitas. Keindahan
visual lanskap merupakan salah satu unsur yang penting
yang tidak dapat diciptakan oleh manusia dan selayaknya
dipertahankan. Zona kualitas visual kawasan wisata pesisir
LKL dapat dilihat pada Gambar 7.7.
72 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Gambar 7.7 Peta Kualitas Visual Kawasan Pesisir LKL
3. Daya Tarik Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk
Potensi daya tarik wisata pesisir merupakan hasil
overlay potensi objek dan atraksi dan kualitas visual
kawasan pesisir LKL. Hal ini untuk mengetahui
ketersediaan objek dan atraksi serta kualitas visual
lanskap kawasan wisata pesisir LKL yang dapat
dikembangkan. Potensi daya tarik wisata yang baik
apabila terdapat objek dan dan atraksi yang beragam,
unik, langkah, terawat, dan didukung oleh kualitas visual
lanskap yang indah pada kawasan tersebut sehingga
menarik bagi pengunjung wisata untuk berkunjung di
sebuah kawasan wisata. Nilai potensi daya tarik kawasan
wisata pesisir LKL dapat dilihat pada Tabel 7.10.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 73
Tabel 7.10 Penilaian Potensi Daya Tarik Wisata Pesisir LKL
Daya
No KelurahanEkosistem Objek dan atraksi tarik NK
Obda Kei
1 Tontouan Hutan lahan atas Alami Tarsius Sulawesi 66 123 189 T
Semi alami 33 123 156 S
Tidak alami 33 123 156 S
Lahan bernilai penting Pemukiman 33 123 156 S
2 Mangkio Hutan lahan atas Alami Tarsius Sulawesi 66 125 191 T
Semi alami 33 125 158 S
Tidak alami 33 125 158 S
Lahan bernilai penting Pemukiman 33 125 158 S
3 Kaleke Hutan lahan atas Alami Tarsius Sulawesi 66 126 192 T
Semi alami Kuliner khas lokal 57 126 183 S
Tidak alami 33 126 159 S
Lahan bernilai penting Pemukiman 33 126 159 S
4 Soho Hutan lahan atas Tidak alami 33 126 159 S
Lahan bernilai penting Pemukiman Akper 65 126 191 T
5 Bungin Hutan lahan atas Semi alami 33 39 72 R
Tidak alami 33 39 72 R
Lahan bernilai penting Pemukiman Rumah dr.Anuranta 66 39 105 R
Gereja BZL 99 39 138 S
Museum daerah 99 39 138 S
Pemukiman pasar 99 39 138 S
tua
Kuliner khas lokal 57 39 96 R
Pantai Pasir putih 99 150 249 T
Padang lamun Padang lamun 64 150 214 T
Terumbu karang Jenis terumbu 99 150 249 T
karang
Banggai 99 150 249 T
cardinalfish
6 Luwuk Hutan lahan atas Semi alami 33 145 178 S
Tidak alami 33 145 178 S
Lahan bernilai penting Pemukiman Ked. Kel.Kerajaan 99 145 244 T
Banggai
CBD Pasar malam 69 145 214 T
Kuliner khas lokal 70 145 215 T
Estuari Air 99 145 244 T
7 Baru Hutan lahan atas Tidak alami 11 124 135 S
Lahan bernilai penting Pemukiman Kuliner khas lokal 62 124 186 S
8 Keraton Hutan lahan atas Semi alami Mata air mambual 99 34 133 S
Kuliner khas lokal 65 34 99 R
Tidak alami 33 34 67 R
Lahan bernilai penting Pemukiman Ked. Wakil Bupati 99 34 133 S
Bekas benteng 99 34 133 S
majapahit
CBD Pasar pelelangan 74 0 74 R
ikan
Pantai berpasir Pasir putih 99 126 225 T
Pantai berbatu Pantai berbatu 99 127 226 T
Padang lamun Padang lamun 64 137 201 T
Terumbu karang Jenis terumbu 99 137 236 T
karang
Banggai 99 137 236 T
cardinalfish
Rumpon 70 137 207 T
Sumber: Data olahan lapang (2013)
T: tinggi (189-249), S: sedang (128-188), R: rendah (67-127)
Obda: objek dan atraksi, Kei: keindahan, N: nilai, K: klasifikasi
74 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Tabel 7.10 menunjukkan potensi daya tarik
wisata pesisir LKL sebagian besar memiliki potensi daya
tarik tinggi (T) dan sedang (S) untuk dikembangkan
berada di seluruh kelurahan. Tingginya potensi daya
tarik dipengaruhi oleh kawasan memiliki beragam objek
dan atraksi serta visual lanskap yang indah. Sedangkan
potensi daya tarik sedang dipengaruhi oleh kawasan
memiliki potensi objek dan atraksi yang rendah tetapi
memiliki kualitas visual lanskap indah atau potensi
objek dan atraksi tinggi tetapi visual yang kurang indah.
Tabel 7.11 Luas Potensi Daya Tarik Wisata Pesisir LKL
No Kelurahan Potensi objek dan atraksi
1 Tontouan RS T
2 Mangkio
3 Kaleke - 52.99 640.30
4 Soho - 34.21 443.27
5 Bungin - 71.62 691.94
6 Luwuk - 3.10 18.14
7 Baru 34 51.91 13.62
8 kKeraton - 54.34 129.34
- 16.18
Total (ha) 13.29 53.46 -
Total (%) 8.9
Sumber: Olahan data lapang (2013) 47.29 337.88 1945.5 2330.67
100
2.03 14.50 83.47
Tabel 7.11 menunjukkan luasan potensi daya
tarik tinggi (T) yaitu 1945.5 ha atau 83.47% yang berada
di sebagian besar kawasan pesisir LKL. Luas kawasan
terbesar dengan daya tarik tinggi berada di Desa
Tontouan, Kelurahan Mangkio Baru, dan Kaleke yang
merupakan lanskap hutan alami sehingga memiliki
potensi pengembangan wisata alam (wisata wildlife dan
menikmati pemandangan alam).
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 75
Sedangkan Kelurahan Soho, Kelurahan Bungin,
Kelurahan Luwuk, Kelurahan Baru, dan Kelurahan Keraton
yang merupakan lanskap alami dan binaan yang memiliki
potensi pengembangan daya tarik wisata alam dan wisata
budaya seperti wisata pantai, wisata lamun, wisata bawah
laut, wisata sejarah, wisata kuliner, wisata air, wisata
belanja, dan wisata edukasi.
Luasan potensi daya tarik sedang (S) yaitu 337.88
ha atau 14.50% yang berada di seluruh kawasan pesisir
LKL. Desa Tontouan, Kelurahan Mangkio Baru, dan
Kaleke memiliki potensi pengembangan wisata alam
(panorama alam). Kelurahan Soho dan Baru memiliki
potensi pengembangan wisata budaya (wisata sejarah dan
wisata kuliner). Sedangkan Kelurahan Bungin, Luwuk, dan
Keraton memiliki potensi pengembangan daya tarik wisata
alam dan wisata budaya seperti wisata air, wisata panorama
alam, wisata edukasi, dan wisata sejarah. Kawasan dengan
daya tarik sedang dapat ditingkatkan menjadi tinggi,
dengan tetap menjaga keaslian objek dan atraksi serta
menjaga kualitas lingkungan tanpa merusak ekosistem.
Luasan potensi daya tarik rendah (R) yaitu 47.29 ha
atau 2.03% hanya berada di Kelurahan Bungin dan Keraton
yang umumnya merupakan kawasan hutan semi alami dan
hutan tidak alami. Oleh karena itu, tidak dilakukan
pengembangan wisata tetapi berfungsi sebagai pendukung
wisata dalam menjaga ekologis yang diharapkan dapat
meningkatkan kualitas lingkungan LKL. Zona potensi daya
tarik wisata pesisir dapat dilihat pada Gambar 7.8.
76 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Gambar 7.8 Peta Potensi Daya Tarik Wisata Pesisir LKL
4. Daya Tarik Wisata Pesisir Berdasarkan Kepekaan
Daya tarik wisata pesisir berdasarkan kepekaan
lingkungan merupakan hasil overlay daya tarik wisata
dengan tingkat kepekaan lingkungan pesisir LKL.
Berdasarkan pertimbangan hasil penilaian AHP
menyatakan bahwa aspek ekologi merupakan prioritas
utama dalam upaya mewujudkan kawasan wisata pesisir
berkelanjutan (Gambar 7.7). Oleh karena itu, pemberian
bobot aspek ekologi atau kepekaan sebesar 60% dan
aspek wisata sebesar 40%. Pada umumnya kawasan
yang memiliki daya tarik tinggi berada di kawasan yang
bersifat peka. Berdasarkan kondisi analisis tersebut
dibutuhkan upaya untuk menyesuaikan aktivitas dan
fasilitas tertentu dengan kondisi kawasan pesisir LKL.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 77
Tabel 7.12 Potensi Daya Tarik Wisata Berdasarkan Kepekaan
No Kelurahan Ekosistem Objek dan atraksi Kepekaan Daya tarik DTW
1 Tontouan Hutan lahan atas Tarsius Sulawesi
2 Mangkio Alami ZN ZN T K
3 Kaleke Lahan bernilai Semi alami P 480 T 7560
4 Soho penting Tidak alami CP 720 S 6240 8040 S
5 Bungin Hutan lahan atas Pemukiman TP 900 S 6240 6960 S
TP 900 S 6240 7140 S
6 Luwuk Lahan bernilai 7140 S
penting
7 Baru Hutan lahan atas Alami Tarsius Sulawesi P 480 T 7640 8120 S
8 Keraton Semi alami CP 720 S 6320 7040 S
Lahan bernilai Tidak alami TP 900 S 6320 7220 S
penting Pemukiman TP 900 S 6320 7220 S
Hutan lahan atas
Lahan bernilai Alami Tarsius Sulawesi P 480 T 7680 8160 S
penting Semi alami Kuliner khas lokal CP 720 S 7320 8040 S
Hutan lahan atas Tidak alami TP 900 S 6360 7260 S
Pemukiman TP 900 S 6360 7260 S
Lahan bernilai
penting Tidak alami TP 900 S 6360 7260 S
Pemukiman Akper TP 900 T 7640 8540 T
Pantai
Padang lamun Semi alami CP 720 R 2880 3600 R
Terumbu karang Tidak alami 900 R 2880 3780 R
Pemukiman TP 900 R 4200 5100 R
Hutan lahan atas
Semi alami Kediaman dr. TP
Lahan bernilai Tidak alami
penting Pemukiman Anuranta
CBD
Estuari Gereja BZL TP 900 S 5520 6420 S
Hutan lahan atas Tidak alami 900 S 5520 6420 S
Lahan bernilai Pemukiman Museum daerah TP 900 S 5520 6420 S
penting Semi alami
Hutan lahan atas Tidak alami Pemukiman pasar TP
Pemukiman
Lahan bernilai tua
penting CBD
Kuliner khas lokal TP 900 R 3840 4740 R
Pantai berpasir 900 T 9960 10860 T
Pantai berbatu Pasir putih CP 900 T 8560 9460 T
Padang lamun 900 T 9960 10860 T
Terumbu karang Padang lamun CP 900 T 9960 10860 T
Jenis terumbu karang CP
Banggai CP
cardinalfish
CP 720 S 7120 7840 S
900 S 7120 8020 S
TP 900 T 9760 10660 T
Ked. Kerajaan TP
Banggai
Pasar malam TP 960 T 8560 9520 T
960 T 8600 9560 T
Kuliner lokal TP 840 T 9760 10600 T
900 S 5400 6300 S
Air CP 900 S 7440 8340 S
TP
Kuliner khas TP
lokal
Mata air mambual CP 720 S 5320 6040 S
720 R 3960 4680 R
Kuliner lokal CP 900 R 2680 3580 R
900 S 5320 6220 S
TP
Ked. Wakil TP
Bupati
B. Benteng TP 900 S 5320 6220 S
Majapahit
Pasar pelelangan TP 960 R 2960 3920 R
ikan
Pasir putih CP 900 T 9000 9900 T
840 T 9040 9880 T
Pantai berbatu CP 900 T 8040 8940 T
900 T 9440 10340 T
Padang lamun CP
Jenis terumbu CP
karang
Banggai CP 900 T 9440 10340 T
cardinalfish
Rumpon CP 900 T 8280 9180 T
T: tinggi (8434-10860), S: sedang (6007-8433), R: rendah (3580-6006), DTW: daya tarik wisata, Z: zona, N: nilai,
K: klasifikasi, P: peka, CP: cukup peka, TP: tidak peka, T: tinggi, S: sedang, R: rendah
78 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Tabel 7.12 menunjukkan potensi daya tarik
wisata berdasarkan kepekaan lingkungan pesisir LKL
sebagian besar kawasan memiliki potensi daya tarik
dengan klasifikasi sedang (S) untuk dikembangkan
sebagai kawasan wisata. Potensi daya tarik dengan
klasifikasi sedang, artinya kawasan LKL pada umumnya
memiliki daya tarik tinggi tetapi kawasan memiliki
kepekaaan. Apabila kawasan dibangun maka aktifitas
yang dikembangkan lebih bersifat pasif. Hal ini untuk
menjaga kelestarian kawasan pesisir.
Hasil penilaian potensi daya tarik wisata yang
disesuaikan dengan kepekaan lingkungan pesisir LKL
akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
rencana pengembangan wisata pesisir pada setiap
kawasan. Potensi daya tarik dengan klasifikasi tinggi (T)
berada di Kelurahan Bungin, Luwuk, dan Keraton.
Sedangkan potensi daya tarik wisata dengan klasifikasi
sedang (S) berada di Desa Tontouan, Kelurahan
Mangkio Baru, Kaleke, Baru, dan Soho.
Tabel 7.13 Luas Potensi Daya Tarik Berdasarkan Kepekaan
No Kelurahan Daya tarik berdasarkan kepekaan
RS T
1 Tontouan - 693.29 -
2 Mangkio - 447.48 -
3 Kaleke - 763.56 -
4 Soho - 3.10 18.14
5 Bungin 34 51.91 13.62
6 Luwuk - 54.34 129.34
7 Baru - 16.18 -
8 kKeraton 13.29 53.46 8.9
Total (ha) 47.29 2113.38 170 2330.67
Total (%) 2.03 90.67 7.30 100
Sumber: Olahan data lapang (2013)
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 79
Tabel 7.13 menunjukkan luasan potensi daya tarik
wisata dengan klasifikasi tinggi (T) seluas 170 ha atau
7.30%. Hal ini menggambarkan kawasan pesisir LKL
memiliki potensi pengembangan wisata. Luasan potensi
daya tarik dengan klasifikasi sedang (S) seluas 2113.38 ha
atau 90.67%, sedangkan kawasan yang memiliki potensi
wisata dengan klasifikasi rendah (R) seluas 47.29 ha atau
2.03% dari total kawasan pesisir LKL. Zona daya tarik
wisata pesisir berdasarkan kepekaan lingkungan bertujuan
untuk mengetahui kemampuan kawasan apabila
dimanfaatkan sebagai wisata pesisir LKL. Pengembangan
kawasan wisata dapat meningkatkan ekonomi masyarakat
lokal, tetapi tetap mempertahankan atau meningkatkan
kualitas lingkungan. Zona potensi daya tarik berdasarkan
kepekaan lingkungan dapat dilihat pada Gambar 7.9.
Gambar 7.9 Peta Daya Tarik Wisata Berbasis Kepekaan
80 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
5. Zona Wisata Pesisir Lalong Kota Luwuk
Zona wisata pesisir di kawasan Lalong Kota
Luwuk merupakan keselarasan zona daya tarik wisata
berdasarkan kepekaan lingkungan dan rencana BWK
Kota Luwuk. Berdasarkan survey lapang terhadap
pemerintah Kota Luwuk bahwa peta rencana tata ruang
(RTRW) Kota Luwuk dalam tahap proses revisi karena
adanya rencana pemekaran wilayah. Oleh karena itu,
peta yang digunakan untuk menyelaraskan zona
kesesuaian wisata pesisir mengacu pada peta bagian
wilayah kota (BWK) Kota Luwuk.
Wilayah Kota Luwuk merupakan salah satu kota
kabupaten di Sulawesi Tengah yang memiliki potensi
sumberdaya alam yang tinggi dan lokasinya yang
strategis diantara propinsi sulawesi lainnya sehingga
pembangunan wilayah sangat berkembang cepat. Hal ini
yang memacu pemerintah untuk merencanakan
pemekaran wilayah Kota Luwuk.
Kawasan pesisir LKL termasuk BWK C dan
BWK D. Dimana BWK C fungsi perdagangan dan jasa
skala kota dan regional, transportasi regional, pelayanan
umum skala kota, dan kawasan pemukiman. Sedangkan
BWK D fungsi utama kawasan transisi dengan arah
pengembangan pemukiman dan pelayanan umum. Hal
ini menunjukkan kawasan pesisir LKL merupakan pusat
kota Luwuk yang memiliki aktivitas yang tinggi tetapi
terdapat kawasan sangat peka dan peka sehingga dapat
mengancam keberlanjutan lingkungan pesisir LKL.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 81
Berdasarkan potensi zona daya tarik wisata pesisir
berbasis kepekaan bahwa sebagian besar kawasan Lalong
Kota Luwuk secara ekologis ekosistem tereterial dan
ekosistem akuatik dalam klasifikasi peka (Tabel 7.12).
Artinya, bahwa secara umum kawasan pesisir Lalong Kota
Luwuk merupakan zona kawasan lindung. Oleh karena itu,
dibutuhkan upaya kebijakan atau rekomendasi zona
ekologis pesisir kawasan Lalong Kota Luwuk dalam
rencana RTRW atau RDTR Kota Luwuk yang bertujuan
untuk pemanfaatan dan pengendalian ruang pesisir
sehingga terdapat keberlanjutan kawasan pesisir Kota
Luwuk. Peta rencana BWK Kota Luwuk dapat dilihat pada
Gambar 7.910.
Gambar 7.10 Peta Rencana BWK Kota Luwuk
(Bappeda, 2011)
82 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah
pesisir bahwa batas administrasi kabupaten kota pesisir
adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi
perairan sejauh 4 mil laut diukur dari garis pantai dan
batas terluar sebelah hulu dari desa pantai. Berdasarkan
peraturan tersebut pemerintah daerah Kota Luwuk wajib
melakukan penetapan zonasi wilayah pesisir sesuai
potensi sumber daya, daya dukung, dan proses-proses
ekologis sebagai satu kesatuan ekosistem pesisir.
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan kondisi
daya tarik wisata peisisir Kota Luwuk pada umumnya
berada dalam zona peka sehingga zona wisata pesisir
yang akan dikembangkan bertujuan konservasi, hal ini
tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya. Penataan kawasan wisata pesisir yang
memperhatikan prinsip konservasi ditujukan untuk
mempertahankan keseimbangan alam.
Menurut Hutabarat et al. (2009), zona wisata
pesisir ditentukan sebagai zona inti, zona khusus, zona
penyangga, dan zona pemanfaatan dengan pertimbangan
faktor ekologi, sosial, dan ekonomi. Zona inti adalah
zona yang bertujuan melindungi satwa dan ekosistem
yang sangat rentan karena kawasan masih sangat alami
sehingga tidak terdapat aktivitas ekonomi. Zona khusus
adalah zona pemanfaatan terbatas dengan tujuan khusus
karena kawasan alami dan membutuhkan proteksi tinggi.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 83
Zona penyangga adalah zona yang dibuat untuk
pelindungan terhadap zona inti dan zona khusus dengan
pemanfaatan bersifat semi komersial. Sedangkan zona
pemanfaatan adalah zona pemanfaatan komersial.
Sedangkan zona pemanfaatan adalah zona yang dapat
dimanfaatkan komersil karena kawasan tidak rentan.
Tabel 7.14 Zona Wisata Pesisir Kawasan LKL
No Kelurahan Ekosistem Zona wisata pesisir
DR DS DT
1 Tontouan Hutan lahan atas Alami Inti 640.30
43.95
Semi alami Penyangga
0.39
Tidak alami Penyangga
8.65
Lahan bernilai Pemukiman 443.27
14.28
penting Penyangga
2.19
2 Mangkio Hutan lahan atas Alami Inti
17.74
Semi alami Penyangga 691.94
62.21
Tidak alami Penyangga
3.75
Lahan bernilai Pemukiman
5.66
penting Penyangga 3.10
3 Kaleke Hutan lahan atas Alami 18.14
28.55
Semi alami Penyangga
5.45
Tidak alami Penyangga
51.91
Lahan bernilai Pemukiman 1.90
4.56
penting Penyangga 7.15
4 Soho Hutan lahan atas Tidak alami Penyangga 47.95
6.39
Lahan bernilai Pemukiman
64.16
penting Pemanfaatan 27.31
37.87
5 Bungin Hutan lahan atas Semi alami Penyangga
0.34
Tidak alami Penyangga 15.84
Lahan bernilai Pemukiman Pemanfaatan 6.51
8.15
penting
46.95
Pantai Berpasir Pemanfaatan 5.14
1.04
Padang lamun Khusus 0.09
1.75
Terumbu karang Khusus 6.02
6 Luwuk Hutan lahan atas Semi alami Penyangga 2330.67
100
Tidak alami Penyangga
Lahan bernilai Pemukiman
penting Pemanfaatan
CBD Pemanfaatan
Estuari Semi terbuka Khusus
7 Baru Hutan lahan atas Tidak alami Penyangga
Lahan bernilai Pemukiman Pemanfaatan
penting
8 Keraton Hutan lahan atas Semi alami Penyangga
Tidak alami Penyangga
Lahan bernilai Pemukiman Pemanfaatan
penting
CBD Pemanfaatan
Pantai Berpasir Pemanfaatan
Berbatu Khusus
Padang lamun Khusus
Terumbu karang Khusus
Total (Ha)
Total (%)
Sumber: Olahan data lapang (2013)
DR: daya tarik rendah, DS: daya tarik sedang, DT: daya tarik tinggi
84 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir
Tabel 7.14 menunjukkan zona inti berada di Desa
Tontouan, Kelurahan Mangkio Baru, dan Kelurahan
Kaleke yang memiliki luas 1775.51 ha atau 76.18%. Hal
ini dipengaruhi ketiga kelurahan merupakan kawasan
hutan yang masih alami dan terdapat habitat fauna
endemik sehingga memiliki kerentanan apabila
mengalami gangguan aktivitas manusia yang tinggi, baik
aktivitas ekonomi maupun aktivitas lainnya.
Zona khusus berada di Kelurahan Bungin,
Kelurahan Luwuk, dan Kelurahan Keraton yang
memiliki luas 57.45 ha atau 2.46%. Hal ini dipengaruhi
ketiga kelurahan merupakan kawasan padang lamun dan
terumbu karang yang merupakan habitat endemik ikan
hias Banggai cardinalfish, dan estuari yang merupakan
habitat biota air. Seperti yang diketahui bahwa perairan
laut di sekitar kawasan pesisir LKL terdapat ikan hias
langkah sehingga perlu dilestarikan.
Zona penyangga berada di seluruh kawasan yang
memiliki luas 264.89 ha atau 11.36%. Hal ini
dipengaruhi kawasan merupakan hutan semi alami atau
campuran dan tidak alami. Sedangkan zona pemanfaatan
berada di Kelurahan Soho, Bungin, Luwuk, Baru, dan
Keraton yang memiliki luas 233.27 ha atau 10% dari luas
lahan. Hal ini dipengaruhi kawasan merupakan kawasan
pemukiman dan Central Busines Distrit (CBD) yang
berada di perkotaan sehingga tidak peka apabila
dikembangkan sebagai kawasan wisata. Zona wisata
pesisir LKL dapat dilihat pada Gambar 7.11.
Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir 85
Gambar 7.11 Peta Zona Wisata Pesisir LKL
D. Dukungan Masyarakat
Analisis sosial perkotaan dilakukan melalui metode
focus group discussion (FGD) dengan masyarakat lokal di
7 kelurahan dan 1 desa masing-masing berjumlah 10
peserta. Analisis bertujuan untuk mengetahui dukungan
masyarakat lokal terhadap rencana pengembangan kawasan
wisata pesisir LKL. Dampak negatif pada kawasan yang
dikembangkan sebagai wisata pesisir dapat dikurangi
dengan keikutsertaan masyarakat dalam aktivitas
kepariwisataan Cheng et al. (2011). Hal ini sangat penting,
mengingat masyarakat merupakan bagian dari lingkungan
yang merasakan dampak dan manfaat lingkungan.
86 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Pesisir