KAMPUNG IMPROVEMENT PROGRAM (KIP) DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DI KOTA
SEMARANG TAHUN 1978-1988
Tesis
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Ilmu Sejarah
Disusun oleh:
DESI TRI SUSILOWATI
NIM: 13030116410003
PROGRAM STUDI MAGISTER SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
i
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto:
“Kebersihan luas maknanya, kebersihan ruang dan kampung hanyalah satu hal,
hal lain adalah kebersihan jiwa manusia dan masyarakat itu sendiri, kebersihan
pergaulan antarmanusia, baik pergaulan sosial, ekonomi, politik dan hukum”
(Emha Ainun Nadjib)
Dipersembahkan untuk:
Ibu dan Alm. Bapak tercinta:
Wardiyem – Alm. Sukadi Priyo Hartono
iii
Rabu
24 Juni 2020
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW pembawa risalah Ilahi yang
tersempurnakan untuk mencerahkan bumi dari kebodohan dan kegelapan hati
nurani akan cahaya Ilahi. Dengan ridho-Nya, kemudahan-kemudahan yang
diberikan pula akhirnya penulis dapat menyelesaikan Tesis ini, yang berjudul
“Kampung Improvement Program (KIP) dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan
Sosial Masyarakat di Kota Semarang Tahun 1978-1988.”
Dalam penulisan tesis ini penulis banyak sekali mendapatkan tantangan
dan kesulitan, baik dalam pengumpulan data di lapangan maupun proses
penulisan. Hal ini dikarenakan keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki oleh
penulis. Namun berkat bantuan dan bimbingan yang penulis terima dari
berbabagai pihak, akhirnya penulisan tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
Melalui kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya atas bantuan, bimbingan, petunjuk dan semangat yang
diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh Prof. Dr. Yety
Rochwulaningsih, M.Si., selaku Dosen pembimbing I dan Dr. Haryono Rinardi,
M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang selalu memberikan arahan, dorongan,
motivasi, dan bimbingan selama menyusun tesis ini sampai dapat diselesaikan.
Terima kasih kepada seluruh dosen Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Diponegoro Semarang, yang telah memberikan ilmu dan
berbagi wawasan kepada penulis selama masa perkuliahan. kepada Prof. Dr. A.M.
Djuliati Suroyo, Prof. Singgih Tri Sulistiyono M. Hum., Prof. Dr. Sutejo K.
Widodo M. Si., Prof. Dewi Yuliati M.A., Prof. Dr. Iriyanto Widisuseno, M.Hum.,
Dr. Endang Susilowati, M.A., Dr. Agustinus Supriyono, M.A, Dr. Alamsyah, M.
Hum. Dr. Dhanang Respati Puguh, M.Hum., Dr. Mulyono, M.Hum., Dr. Endah
Sri Hartatik, M.Hum., Dr. Chusnul Hayati, M.S., Kepada Ibu Ratri, Ibu Ratna,
Pak Martoyo dan seluruh staf Tata Usaha serta Perpustakaan Jurusan Ilmu
Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang yang telah
vi
memberikan kemudahan serta kelancaran administrasi kampus selama masa
perkuliahan, serta kepada staf UPT Perpustakaan Universitas Diponegoro dan
Perpustakaan Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro
Selanjutnya, penulis ucapkan terima kasih kepada Kepala Depo Arsip
Suara Merdeka Semarang, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Semarang,
BAPPEDA Kota Semarang terkait laporan kerja KIP, dan atas segara bantuan
serta informasinya, sehingga penulis dapat menelusuri arsip-arsip yang
dibutuhkan. Terima kasih juga kepada Puji Sarwono selaku Penggiat Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) di Semarang, Hartono Samidjan selaku Jurnalis
senior Suara Merdeka dan para informan yang berkenan untuk memberikan waktu
dan informasi data tertulis dan lisan.
Ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada orang
tua penulis yang hebat dan selalu menjadi panutan, Ibu Wardiyem dan Alm.
Sukadi Priyo Hartono. Terima kasih atas semua kasih sayang, kerja keras,
kesabaran, pengertian, kepercayaan, semangat, dan doa yang telah diberikan dari
kecil sampai sekarang. Semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan dan rezeki
yang melimpah kepada kalian.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para kepala sekolah, guru
dan rekan kerja penulis di beberapa tempat tugas atas ijin belajar dan dukungan
semangat menyelesaikan studi. Mereka adalah Sulistyo, S.Pd.,M.M. Plt. Kepala
SMK N Jawa Tengah di Semarang dan Pati (Tahun 2014-2016), Drs. Yudi
Wibowo, M.Pd. Kepala SMK N Jawa Tengah di Semarang (Tahun 2017-2018),
Drs. Sulistio, M.Si. Kepala SMK N 1 Batang (Tahun 2019), Suyanta, S.Pd., M.Si.
Kepala SMK N 1 Kandeman Batang (Tahun 2019), Hj. Sri Soewarsih,
S.Pd.,M.Pd. Kepala SMA N 1 Sukoharjo (Tahun 2020).
Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada para dosen Sarjana S-
1 dan Pendidikan Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan, Jurusan Sejarah, Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. Mereka adalah: Dr. Hamdan Tri
Atmadja, M.Pd., Dr. Ufi Saraswati, M.Hum., Dr. Cahyo Budi Utomo, M.Pd., Dr.
Suwito Eko Pramono, M.Pd., Dra. C. Santi Muji Utami, M.Hum., Dr. Nina
Witasari, S.S., M.Hum., Drs. Abdul Mutholib, M.Hum (Alm), Dr. Drs. R.
vii
Suharso, M.Pd., Romadi, S.Pd.,M.Hum., Andy Suryadi, M.Pd., Tsabit Azinar
Ahmad, M.Pd., Syaiful Amin, M.Pd., Atno, M.Pd., Arif Purnomo,
S.Pd.,S.S.,M.Pd., Drs. Ibnu Sodiq, M.Hum.
Terima kasih untuk sahabat seperjuangan di Magister Ilmu Sejarah yang
selalu bisa memberikan canda, tawa, semangat, doa, dan pertemanan yang baik
serta tulus kepada penulis. Mereka adalah Juhaeriyah, M.Hum., Hisna,
S.Pd.,M.Hum., Christian Maria G, M.Hum., Padliansyah, S.Pd.,M.Pd.,M.Hum.,
Retna Dyah R, S.S.,M.Hum., Vicky Verry Angga, M.Hum., Ahmad Faizal
Bakhtiar, S.Pd., Sabahrudin La Ode Mago, S.Pd., Mifta Abdirozaq, S.Pd. Ucapan
terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu dan yang tidak bisa
disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna dan
mempunyai banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak demi perbaikan tesis ini di kemudian hari. Penulis
berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Semarang, Juni 2020
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS....................................... ii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN............................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ v
KATA PENGANTAR.................................................................................... vi
DAFTAR ISI................................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN................................................................................ xi
DAFTAR ISTILAH........................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL........................................................................................... xvii
DAFTAR BAGAN......................................................................................... xviii
INTISARI....................................................................................................... xix
ABSTRACT..................................................................................................... xx
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
A. Latar Belakang dan Permasalahan........................................ 1
B. Ruang Lingkup...................................................................... 5
C. Tinjauan Pustaka................................................................... 8
D. Kerangka Konseptual dan Pendekatan.................................. 15
E. Metode Penelitian................................................................. 18
F. Sistematika Penelitian........................................................... 21
BAB II GAMBARAN KOTA SEMARANG, 1978-1988......................... 23
A. Kondisi Geografis................................................................. 23
1. Semarang Sebelum KIP................................................. 26
2. Semarang Pada Masa KIP.............................................. 28
B. Kondisi Demografis.............................................................. 30
1. Kondisi Sosial Ekonomi................................................ 30
2. Kondisi Sosial Budaya................................................... 33
C. Kondisi Semarang Karena Arus Urbanisasi......................... 40
BAB III PROGRAM KIP DI KOTA SEMARANG................................... 45
A. Latar Belakang Kemunculan KIP......................................... 45
ix
B. Perencanaan KIP................................................................... 48
C. Dinamika Pelaksanaan KIP................................................... 51
52
1. Pelaksanaan KIP............................................................ 58
2. Partisipasi Masyarakat dalam KIP................................. 62
D. Pengawasan KIP…………………………………………... 63
1. Pengawasan oleh BAPPEDA........................................ 66
2. Pengawasan oleh DPRD................................................ 71
E. Kendala Pelaksanaan KIP.....................................................
1. Ketidakpuasan dalam Pembagian Sertifikat Tanah dan 71
77
Bangunan....................................................................... 81
2. Protes dan Keluhan Warga............................................
F. Berakhirnya KIP di Kota Semarang………………………. 86
86
BAB IV PENGARUH KIP TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL........... 89
A. Tertatanya Kampung Kumuh................................................ 101
109
1. KIP Urban III................................................................. 118
2. KIP Urban V..................................................................
B. Penurunan Penyakit Masyarakat........................................... 125
C. Berkembangnya Kelompok Sosial Masyarakat....................
127
BAB V SIMPULAN.................................................................................
138
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
140
DAFTAR INFORMAN..................................................................................
LAMPIRAN ………………………………………………………………...
x
ABRI DAFTAR SINGKATAN
APBD
APBN : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Balita : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BAPPEDA : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
BAPPEM PPK : Bawah Lima Tahun
: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daera
BAPPENAS : Badan Pelaksana Pembangunan Program Perbaikan
BI
Brigjen Pol. Kampung
CV : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Dati : Bank Indonesia
Depdagri : Brigadir Jenderal Polisi
Depdikbud : Commanditaire Vennootschap
Depkes : Daerah Tingkat
DPRD : Departemen Dalam Negeri
DPU : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
DRIP : Departemen Kesehatan
Drs. : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
FKP : Dinas Pekerjaan Umum
FPP : Drainage Improvement Program
H. Hadijanto : Doktorandus
Inpres : Fraksi Karya Pembangunan
Ir. : Fraksi Persatuan Pembangunan
Jl. : Haji Hadijanto
Kg : Intruksi Presiden
KIP : Insinyur
Kodya : Jalan
LKMD : Kilogram
: Kampung Improvement Program
: Kotamadya
: Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
xi
LSD : Lembaga Swadaya Desa
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
MIP : Market Improvement Program
MCK : Mandi Cuci Kakus
MHT : Muhammad Husni Thamrin
M. T. Haryono : Mas Tirtodarmo Haryono
P2WKSS : Peningkatan Peranan Wanita menuju Keluarga Sehat
PAM dan Sejahtera
Pangdam : Perusahaan Air Minum
PELITA : Panglima Daerah Militer
PKK : Pembangunan Lima Tahun
Posyandu : Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga
PT : Pos Pelayanan Terpadu
Puskesmas : Perseroan Terbatas
PWI : Pusat Kesehatan Masyarakat
RK : Persatuan Wartawan Indonesia
RT : Rukun Kampung
RW : Rukun Tetangga
SD : Rukun Warga
Sekda : Sekolah Dasar
S.H. : Sekretaris Daerah
SPJ : Sarjana Hukum
TNI : Surat Pertanggungjawaban
TVRI : Tentara Nasional Indonesia
UNEP : Televisi Republik Indonesia
UNICEF : United Nations Environment Programme
USAID : United Nations Children’s Fund
: United States Agency for International Development
xii
DAFTAR ISTILAH
edamame : sejenis kedelai yang berwarna muda dan hijau yang
dikonsumsi sebagai camilan, karena rasa manis dan
Indogami kampung : teksturnya yang tidak terlalu renyah.
Jimpitan : praktik perkawinan dengan orang dari kampung
sendiri dan tidak mencari jodoh dari luar kampung
Kampung : tempatnya.
Kendala sosial : kegiatan pengumpulan sesuatu (berupa uang atau
Nasi Kongbap : beras) yang dilakukan dari rumah ke rumah, dengan
jumlah yang sedikit secara kontinyu dan sesuai
Pembangunan sosial : keikhlasan/kerelaan pemberi.
Program : area sebagai sebuah unit administrasi dengan
Proyek : seperangkat jalan dan rumah yang dihuni oleh
sekelompok orang yang hidup dalam hubungan erat
satu sama lain sebagai pembentukan sosial dari
beragam latar belakang, ataupun sekelompok kelas
dengan asal daerah yang sama dengan gaya hidup,
struktur perasaan, dan ruang tempat terpadu di
wilayah perkotaan.
perilaku sosial yang menghambat atau merintangi
sebuah perubahan atau perencanaan pembangunan.
olahan nasi dengan kacang-kacang yang dicampur
ikan laut. Memiliki aroma segar yang memiliki
tekstur lembut dan serabut kecil-kecil. Rasanya
dominan gurih dengan sedikit kombinasi manis.
keadaan hidup yang harus dipandang dari sudut
kualitas yang dilihat dari pemikiran menyeluruh dan
dari sudut kuantitas yang dapat diukur dan diamati.
rancangan mengenai asas serta usaha yang akan
dijalankan.
rencana pekerjaan dengan sasaran khusus dan
dengan saat penyelesaian yang tegas.
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar:
2.1 Peta Wilayah Kotamadya DATI II Semarang Tahun 1986............ 25
3.1 Perbaikan Lingkungan di Kampung ABC Kelurahan Gabahan
Kecamatan Semarang Tengah......................................................... 53
3.2 Perbaikan Jembatan Simongan di Jalan Jurusan Gedungbatu........ 54
3.3 Gotong Royong Perbaikan Saluran di RT 06/RK 11
Kebonharjo...................................................................................... 60
3.4 Kelangkaan Aspal yang mengahmbat proses perbaikan di jalan
Cinde .............................................................................................. 65
3.5 Komisi A DPRD Kodya Semarang tinjau perbaikan di jalan
Mijen……………………………………………………………... 67
3.6 Pengawasan Pelaksanaan Perbaikan Jalan Kampung di Sekitar
Wilayah Imam Bonjol …………………………………………… 68
3.7 Perbaikan Jalan Menggunakan Cor Semen Akibat Kelangkaan
Aspal………………………………………………………………. 69
3.8 Penyerahan Sertifikat Tanah di Kelurahan Mlatiharjo oleh Pejabat
Kantor Agraria Kota Semarang …………………………. 74
3.9 Rumah yang Berhimpitan dengan Sekolah Nusa Putra di 78
Kampung Jagalan ………………………………………………... 80
3.10 Peta Kampung Perbalan Purwosari ………………………………
3.11 Perbaikan Kampung Kali hasil Proyek KIP (Sebelah Kanan Jl 81
Sutoyo dan Kiri Jl Panjaitan). Kedua Tepian Kali akan Dibuat
Jalur Hijau yang Dilengkapi Lampu Hias …………………...........
3.12 Perbaikan kali di Jl. Dr. Sutomo (Kalisari) Salah Satu Hasil 82
Proyek KIP dalam Penataan Kali (Sepanjang Tepi Kali Dibuat 84
Tembok untuk Melindungi Pejalan Kaki di Trotoar) ………..........
3.13 Peresmian Jembatan “Gotong Royong” Lempongsari menjadi
salah satu hasil proyek KIP ………………………………………
xiv
3.14 Gorong-gorong yang Menganga ………………………………… 85
4.1 Peta KIP URBAN III di Kota Semarang yang diolah pribadi……. 91
4.2 Ir. Suwarno didampingi Ketua DPRD Kodya Semarang Imam 93
Soemardi Memberi Penjelasan Pelaksanaan KIP di Kota
Semarang ……………………………………………………........
4.3 Mahasiswa Membangun Jembatan Semipermanen di Kampung 95
Bugangan ………………………………………………………… 97
4.4 Lapak Pedagang Kerajinan Kaleng Bekas Bugangan ……………
4.5 Kunjungan Kerja Komisi D DPRD Kodya Surakarta di Kampung
Krobokan ………………………………………………………… 99
4.6 Salah Satu Gang di Kampung Krobokan Pasca-KIP ……………. 100
4.7 Direktur Pembinaan Pengembangan Perkotaan Depdagri Ir.
Soegiarso Memaparkan Materi Terkait Panduan Terpadu
Pelaksanaan KIP di Balai Desa Karang Kidul …………………... 101
4.8 Kerja Bakti Sebelum KIP di Kampung Sekayu …………………. 102
4.9 Kunjungan Brigjen. Pol. Drs. Affandy ke Kampung Sekayu …… 103
4.10 Kampung Mlatiharjo Terancam Banjir ………………………….. 104
4.11 Senam Bersama Warga Mlatiharjo ………………………………. 105
4.12 Peta KIP Urban V di Kota Semarang............................................... 107
4.13 Babinsa dan Polisi Melakukan Tinjauan Keamanan di Kelurahan
Krobokan ………………………………………………………… 111
4.14 Hasil Perbaikan Jalan Kampung Bintoro dari Swadaya
Masyarakat. Tampak Pada Gambar yang Kini Mulus ………........ 115
4.15 Pengarahan Kondisi Keamanan Kampung oleh Babinsa
Kelurahan Bandarharjo ………………………………………….. 117
4.16 Posyandu di Kelurahan Bandarharjo …………………………….. 119
4.17 Kunjungan Staf Ahli Menteri Urusan Wanita Soetomo S.
Bogowongso di Kampung Kuningan Semarang ............................ 120
xv
4.18 Kunjungan PKK Bugangan dan Bantuan Sosial............................. 121
4.19 Pembangunan Jembatan dan Gorong-gorong di Daerah Trimulyo,
Kecamatan Genuk melalui Proyek KIP.......................................... 123
4.20 Peresmian Jembatan dan Gorong-gorong Hasil Proyek KIP........... 123
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel:
2.1 Jumlah Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah
Menengah Atas, dan Perguruan Tinggi Tahun 1988...................... 34
2.2 Banyaknya Tempat Ibadah di Kotamadya Daerah Tingkat II
Semarang.......................................................................................... 39
2.3 Kecamatan di Semarang dan Jumlah Penduduknya Tahun 1986.... 41
3.1 KIP Urban III Semarang dan Luas Arealnya................................... 55
3.2 KIP Urban V dan Areal yang Diperbaiki......................................... 57
4.1 Data Kecamatan yang terdampak proyek KIP Urban III 92
Semarang..........................................................................................
xvii
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan:
3.1 Struktur Pelaksana Proyek KIP........................................................ 50
xviii
INTISARI
Tesis berjudul “Kampung Improvement Program (KIP) dan Pengaruhnya
Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat di Kota Semarang, 1978-1988” ini berisi
pembahasan tentang pelaksanaan program perbaikan kampung yang dijalankan
pada masa Orde Baru sebagai upaya dari pembangunan Kota Semarang sebagai
Ibukota Provinsi Jawa Tengah. Pendanaan dari program ini didapatkan dari
pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah kepada Bank Dunia. Kampung-
kampung yang dianggap kumuh kemudian ditata, diperbaiki, dan dibangun
infrastrukturnya. Tujuan dari program ini tidak lain adalah untuk meningkatkan
martabat dan mutu kehidupan masyarakat di perkampungan serta mewujudkan
secara lebih baik tata kehidupan lingkungan permukiman kampung yang baik,
sehat, dan teratur.
Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode penelitian sejarah.
Sumber utama yang digunakan ialah arsip, data-data statistik sezaman yang
didapatkan dari Bappeda dan DPU Kota Semarang, sumber wawancara dengan
para pelaku sejarah, dan sumber yang diperoleh dari surat kabar Suara Merdeka
serta majalah Prisma. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan berbagai macam
literatur seperti buku, jurnal, majalah yang diterbitkan pada masa Orde Baru, dan
setelahnya.
Proyek KIP di Semarang yang menyasar pada kampung-kampung dengan
kondisi demikian tentunya tidak serta merta luput dari kendala pada saat
pelaksanaannya. Kendala tersebut muncul karena kurangnya komunikasi antara
pemerintah dengan warganya. Tidak heran ketika KIP dilaksanakan muncul
ketidakpuasan warga dalam pembagian Sertifikat Tanah dan Bangunan serta
protes-protes terkait masalah pembangunan dan perbaikan infrastruktur. Hasil
kajian ini menemukan fakta bahwa KIP adalah pembangunan dan perbaikan
kampung yang masih berorientasi pada fisik saja. Pembangunan mentalitas dan
pemberdayaan masyarakat belum tampak dilakukan pada saat program
dilaksanakan. Berdasar pada penelaahan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
cerminan dari pembangunan fisik kampung haruslah disertai dengan
pembangunan mentalitas penghuni kampung tersebut. Tanpa pembangunan
mentalitas yang baik, maka berbagai infrastruktur yang telah dibangun akan
menjadi sia-sia.
xix
ABSTRACT
The thesis entitled "Kampung Improvement Program (KIP) and Social Effect to
Society of Semarang City in 1978-1988". This contains discussion of the
implementation of the village Improvement program that was run during the new
Order as an effort to build the city of Semarang as the provincial capital of Central
Java. Funding from the program was obtained from loans made by the
Government to the world Bank. Kampongs deemed slum were then laid out,
repaired, and constructed by the infrastructure. The purpose of this program is to
improve the dignity and quality of people's lives in the township and to better
realize the living environment of a good, healthy, and orderly village settlement.
The methods used in this study are historical research methods. The main
sources used are archives, statistical data derived from Bappeda and DPU Kota
Semarang, the source of interviews with historical actors, and sources obtained
from Suara Merdeka newspaper and Prisma magazine. In addition, the study also
used a variety of literature such as books, journals, magazines published during
the New Order period, and thereafter.
The KIP project in Semarang that targets the kampongs in this condition of
course does not necessarily escape from the obstacles at the time of its execution.
These constraints arise due to lack of communication between governments and
their citizens. No wonder when KIP implemented the dissatisfaction of residents
in the division of land and building certificates and protests related to the
problems of development and improvement of infrastructure. The results of this
study found the fact that KIP is a village development and improvement that is
still physically oriented. Development of mentality and community empowerment
has not been seen in the moment of program implemented. Based on the study, it
can be concluded that the reflection of the physical development of the village
should be accompanied by the development mentality of the inhabitants of the
village. Without the development of a good mentality, the various infrastructures
that have been built will be wasted.
xx
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Permasalahan
Proses urbanisasi yang berlangsung di beberapa kota besar di Indonesia sejak awal
Orde Baru berkuasa, menyebabkan pemerintah kota dilanda tumpukan keruwetan
problematika perkotaan yang sangat berat. Berdasar data dari Badan Pusat Statistik
(BPS) Nasional, beberapa kota di Indonesia mengalami lonjakan jumlah penduduk
akibat arus urbanisasi. Sebagai contoh kota Jakarta pada sensus BPS tahun 1961
memiliki penduduk sebesar 2.971.100 jiwa, kemudian pada sensus tahun 1971
jumlah ini meningkat menjadi 4.576.000 jiwa. Kondisi serupa juga terjadi pula di
Kota Semarang yang pada tahun 1961 sebanyak 503.100 jiwa menjadi 646.000 jiwa
pada 1971.1
Lonjakan penduduk yang signifikan ini menyebabkan beberapa problematika
perkotaan yang dihadapi, antara lain; pertama, masalah membanjirnya gelombang
angkatan kerja ke kota-kota dengan bekal pendidikan dan keterampilan yang tidak
memadai. Kedua, ketidakmampuan pemerintah menyediakan fasilitas kerja,
perumahan yang layak huni, pendidikan, dan kesehatan yang memadai untuk
mengakomodir kondisi itu. Konsekuensi problematika tersebut adalah tumbuhnya
gelandangan kota, pengangguran, gubug-gubug liar, perkampungan kumuh dan
miskin, pemuda-pemuda berandal metropolitan, kriminalitas, dan angkutan umum
yang berjejalan. Ketimpangan dan kesenjangan kehidupan ini dikhawatirkan oleh
pemerintah kota akan menimbukan ketegangan sosial, serta bibit-bibit konflik yang
mengancam stabilitas politik dan keamanan kota.2
1Suharso, “Urbanisasi di Indonesia”, Prisma, Nomor 7, Desember (Jakarta,
LP3ES, 1972), hlm. 26. Data ini merupakan data asli yang dikutip Suharso dari
Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional pada 1961 dan 1971.
2Ismid Hadad, “Pengantar Redaksi Edisi Urbanisasi dan Pengembangan
Perkotaan”, Prisma, Nomor 7, Desember (Jakarta, LP3ES, 1972), hlm. 2.
1
2
Pemerintah mencoba untuk menuntaskan problematika perkotaan tersebut
dengan strategi kebijakan pengembangan kota secara nasional atau yang dikenal
sebagai National Urban Policy sesuai dengan kebutuhan tiap kota yang tengah
berkembang pesat. National Urban Policy di Indonesia menurut Soelaeman
Soemardi berada di bawah koordinasi Departemen Pekerjaaan Umum dan Tata
Lingkungan (PUTL) sejak 1970-an, harus menyentuh pendekatan pengembangan
kota sebagai fokus pembangunan daerah dan pengembangan kota dengan
partisipasi luas warganya.3 Kedua pendekatan itu kemudian menjadi fokus
pemerintah pusat pada Pembangunan Lima Tahun Kedua (Pelita II) pada 1974-
1979 untuk bidang perumahan dan lingkungan hidup, dengan perhatian utama pada
pembangunan kota. Salah satu program pembangunan kota yang mendapat
perhatian banyak pihak adalah program perbaikan kampung. Ide pokok
diselenggarakannya program ini menurut Amir Karamoy adalah dengan
diperbaikinya jalan masuk atau yang dikenal sebagai improvement of accessibility,
dan lingkungan fisik kampung atau yang dikenal sebagai physical environment.
Kedua hal itu diharapkan akan mendorong masyarakat untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas rumah mereka, serta membawa pengaruh ganda atau yang
lebih dikenal sebagai multiplier effects terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat.
Program perbaikan kampung harus menjadi bagian yang integral dalam
perencanaan kota, sekaligus dilihat dalam pendekatan sistem pengembangan pola
permukiman di perkotaan.4
Kampung sebagai tempat bermukim penduduk yang padat di wilayah
perkotaan selalu menjadi sasaran pembangunan negara. Hal ini tidak terlepas dari
pandangan negara yang selama ini melihat kampung sebagai ruang yang bercampur
baur, kotor, bermasalah, dan sangat membutuhkan intervensi negara. Intervensi
3Soelaeman Soemardi, “Kerangka Permasalahan: Kebijakan Nasional
Perkembangan Perkotaan”, Prisma, Nomor 7, Desember (Jakarta, LP3ES, 1972),
hlm. 5.
4Amir Karamoy, “Program Perbaikan Kampung: Harapan dan Kenyataan”,
Prisma, Edisi 6, Tahun XIII (Jakarta: LP3ES, 1984), hlm. 28.
3
negara masuk melalui agenda peningkatan kesejahteraan hidup, perbaikan sarana
prasaran pelengkap kehidupan, dan penciptaan hunian yang layak, perubahan
kampung secara masif dikerjakan dengan tujuan akhir pada modernisasi kota.5
Pandangan ini sejalan dengan ungkapan dari Hendropranoto Suselo yang
menyatakan bahwa kota merupakan sebuah agen untuk modernisasi dan perubahan
(city is an agent for modernization and change).6
Kota Semarang termasuk salah satu kota yang ditunjuk untuk melaksanakan
program perbaikan kampung pada era Orde Baru. Program perbaikan kampung ini
merupakan program strategis nasional yang masuk dalam target Pembangunan
Lima Tahun (Pelita) III.7 Nama program perbaikan kampung ini adalah Kampung
Improvement Program (KIP). Program ini didanai dengan pinjaman sebesar Rp 3,6
milyar dengan perincian pinjaman Bank Dunia sebesar Rp 2,278 milyar, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Pusat sebesar Rp 532 juta, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi
Jawa Tengah sebesar Rp 251 juta, dan Rp 539 juta dari anggaran Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemda Kotamadya Semarang.8
Pembangunan itu seturut dengan rencana pemerintah pusat untuk menjadikan kota-
kota besar di Indonesia sebagai kota yang mampu mengimbangi laju pertumbuhan
ibukota negara, atau sebagai counter magnet, yang dilengkapi dengan kedudukan
5Johny A. Khusyairi dan La Ode Rabani, Kampung Perkotaan Indonesia:
Kajian Historis-Antropologis atas Kesenjangan Sosial dan Ruang Kota (Surabaya:
ANRC dan Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, 2011), hlm. 12-25.
6Hendropranoto Suselo, “Tanggapan dan Sikap terhadap Masalah
Urbanisasi”, Prisma, Nomor 7, Desember (Jakarta, LP3ES, 1972), hlm. 30-31.
7Hendropranoto Suselo, “Habitat dan Masalah Permukiman di Indonesia”,
Prisma, Nomor 6, Tahun V, Juli (Jakarta: LP3ES, 1976), hlm. 10.
8Pemerintah Kota Daerah Tingkat II Semarang, Hasil Penyuluhan
Perencanaan Kota dan Program Perbaikan Kampung (KIP) Tahun 1986
(Semarang: BAPPEDA, 1986), hlm. 123-127.
4
fungsionil administratif dan ekonomis yang memadai, sehingga tercipta pemerataan
pembangunan.9
Program perbaikan kampung dalam Pelita III (1979-1984) dan berlanjut
hingga Pelita IV (1984-1989) bersifat sentralisasi, dengan pembentukan organisasi
proyek di tingkat lokal, seleksi daerah, distribusi komponen projek, dan hal-hal
teknis pembangunan lainnya tanpa pelibatan swadaya masyarakat. Hubungan pusat
dengan daerah bersifat top-down, berupa hubungan langsung antara pemerintah
pusat melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya dengan jajaran pemerintah daerah,
baik kota maupun kabupaten melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda).10
Pelaksanaan KIP menyasar pada perbaikan fisik dan non fisik kampung-
kampung di perkotaan yang dikategorikan sebagai kampung kumuh, padat
penduduk, dan kurang memenuhi syarat kesehatan, kebersihan, serta kelayakan
untuk dihuni. Kampung-kampung yang telah diperbaiki secara fisik diharapkan
akan dapat meningkatkan kualitas hidup penghuninya, baik dari sisi kesehatan
maupun produktivitas kerja. Dalam program perbaikan kampung tersebut
pemerintah diharapkan mampu menyeimbangkan target pembangunan fisik,
sekaligus juga pembangunan manusianya. Untuk mewujudkan hal itu KIP disusun
sedemikian rupa sehingga mampu mencapai target-target idealnya, demi perbaikan
kualitas kehidupan masyarakat penghuni perkampungan di kawasan perkotaan.11
Berdasar pada uraian latar belakang di atas, permasalahan yang hendak dikaji
dalam tesis ini adalah bagaimana hubungan antara KIP terhadap tata kehidupan
sosial masayarakat. Permasalahan tersebut akan dipandu oleh beberapa pertanyaan
9W. J. Waworoentoe, A. Sjarif Puramadja, dan Uton Rustan, “Perkembangan
Kehidupan Perkotaan di Indonesia”, Prisma, Nomor 7, Desember (Jakarta, LP3ES,
1972), hlm. 12-15.
10Amir Karamoy, “Program Perbaikan Kampung”, hlm. 26-27.
11Sardjono, “Tinjauan Terhadap Faktor-Faktor Utama dalam Pembangunan
Perumahan Rakyat”, Prisma, Nomor 6, Tahun V, Juli (Jakarta: LP3ES, 1976), hlm.
12-13.
5
penelitian yang muncul terkait dengan pelaksanaan KIP dan pembangunan
perkampungan di Kota Semarang, yaitu:
1. Mengapa Kota Semarang ditunjuk sebagai pelaksana program KIP?
2. Bagaimana pelaksanaan program KIP di Kota Semarang?
3. Bagaimana pengaruhnya KIP terhadap kehidupan sosial di masyarakat
Kota Semarang?
B. Ruang Lingkup
Sejarah secara praktis dan metodologis, haruslah diartikan sebagai tindakan
manusia dalam jangka waktu tertentu pada masa lampau yang dilakukan di tempat
tertentu.12 Sejarawan dalam merancang sebuah kajian sejarah harus diperhitungkan
pembatasan ruang lingkup, baik temporal, spasial, dan keilmuan yang
menyertainya. Ruang lingkup penelitian sejarah juga disusun untuk memberi
kerangka pada penelitian, agar tetap relevan dan dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. 13
Tesis ini mengambil batas temporal awal penelitian pada 1978. Pada tahun
tersebut Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Semarang mengeluarkan surat
keputusan mengenai pembentukan Badan Pelaksana Pembangunan Program
Perbaikan Kampung (BAPPEM PPK) dengan nomor surat 190/WK/1978
tertanggal 17 November 1978, dan surat keputusan nomor 191/WK/1978 tertanggal
18 November 1978 tentang pembentukan Steering Committee KIP Unit Kota
Daerah Tingkat II Semarang. Kedua surat keputusan ini secara resmi menjadi
penanda telah dimulainya pelaksanaan KIP.14 Pada tahun ini pula DPRD Kodya
12Taufik Abdullah, “Pendahuluan: Sejarah dan Historiografi”, dalam Taufik
Abdullah dan Abdurrahman Suryomiharjo, (ed.), Ilmu Sejarah dan Historiografi:
Arah dan Perspektif (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 12.
13Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi
Indonesia: Suatu Alternatif (Jakarta: PT Gramedia, 1982), hlm. 89-95.
14SK Walikotamadya Semarang Nomor 190/WK/1978 tentang Pembentukan
BAPPEM PPK dan SK Walikotamadya Semarang Nomor 191/WK/1978 tertanggal
18 November 1978 tentang Pembentukan Steering Committee KIP Unit Kota
Daerah Tingkat II Semarang.
6
Semarang juga menggelar rapat koordinasi pelaksanaan KIP Urban III.15 Batas
temporal akhir tesis ini adalah 1988. Pada tahun tersebut diberitakan dalam harian
Suara Merdeka oleh Walikotamadya Semarang H. Imam Soeparto, S.H. bahwa KIP
telah berhasil mengubah wajah 52 kampung di Kota Semarang, pada tahun 1988 ini
dinyatakan pula bahwa program KIP Urban V sudah berakhir.16
Pemilihan Kota Semarang secara spasial sebagai batas ruang lingkup
penelitian ini adalah untuk mempertegas pentingnya Kota Semarang sebagai
ibukota Jawa Tengah. Kota Semarang mempunyai kaitan erat dengan pelaksanaan
KIP karena termasuk kota di Indonesia yang menjalankan program terpanjang
sampai dengan dua periode. Jakarta yang menjadi pionir, proyek percontohan, dan
berulangnya KIP dilaksanakan sebagai konsekuensi program perbaikan
perkampungan di ibukota negara sejak 1969.17 KIP menjadi kajian yang menarik di
Semarang karena para penentu kebijakan kota yang diwakili Walikotamadya
sebagai ekskutif, dan legislatif yang diwakili DPRD Kotamadya (Kodya) Semarang
selalu membahasnya dengan serius, mulai dari penganggaran sampai pengawasan
pelaksanaanya.18 Pemerintah Kota Semarang memilih untuk menaikkan nilai
pinjaman ke Bank Dunia, serta donor-donor pendanaan lainnya guna
menyukseskan KIP ini.19
KIP Kota Semarang bercita-cita menjadikan keberhasilan perbaikan
kampung di perkotaan sebagai trademark atau kekhasan, bahwa Kota Semarang
15“Dari Sidang DPRD Kodya: Pelaksana KIP Jangan Asal Tunjuk Karena
Famili”, Suara Merdeka, 20 Desember 1978, hlm. 2.
16“52 Kampung Diperbaiki Lewat Proyek KIP”, Suara Merdeka, 13 April
1988, hlm. 7.
17Imam Hilman, “Program Perbaikan Kampung: Proyek Muhammad Husni
Thamrin di Jakarta Tahun 1969-1979” (Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008), hlm. 35-64.
18“DPRD Kodya Semarang: Setujui Perbaikan 27 Kampung dengan Dana
Bank Dunia”, Suara Merdeka, 20 November 1978, hlm. 2.
19“Normalisasi Saluran Sekitar Tawang Masuk Proyek “Urban V”, Suara
Merdeka, 4 Agustus 1984, hlm. 7.
7
sukses membangun kotanya yang lebih modern dengan fasilitas kampung yang
komplit, baik sarana prasarana fisik yang memadai, maupun para penghuninya yang
berubah menjadi lebih produktif.20 Kota Semarang mendapat bagian dalam
pelaksanaan KIP dalam dua tahapan besar berjangka lima tahunan, yaitu KIP Urban
III pada periode 1979/1980-1982/1983 dan KIP Urban V pada periode 1983/1984-
1988/1989.21
Penelitian mengenai KIP di Kota Semarang bisa dikategorikan sebagai
sejarah sosial. Sejarawan Kuntowijoyo menyatakan bahwa sejarah sosial memiliki
ciri pada narasi yang dibangun, yang berkaitan erat dengan dinamika kehidupan
suatu masyarakat. Sejarah sosial selalu menampilkan narasi yang menyeluruh (total
history), disertai pula dengan analisis yang mendalam tentang suatu masyarakat
secara diakronik. Kekhasan sejarah sosial terletak juga pada ruang lingkup yang
luas, meliputi berbagai dimensi sosial yang beragam.22 Kajian mengenai KIP ini,
penulis kategorikan ke dalam sejarah sosial yang berfokus pada kajian program
perbaikan perkampungan di Kota Semarang.
Kota dengan seluruh dinamika warganya mempunyai andil yang besar dalam
perkembangan berbagai aspek kehidupan berbangsa, maupun perluasan kegiatan
ekonomi. Sejarah sosial menurut Bambang Purwanto juga sering salah diartikan
oleh sejumlah pihak. Sejarah sosial selalu dikaitkan dengan kehidupan petani
dengan segala dinamika kemiskinan, serta perlawanannya, bahkan tidak jarang
secara spasial pun selalu dihubung-hubungkan dengan segala kehidupan di
pedesaan. Kajian-kajian ini membuka peluang kajian sejarah sosial lainnya di
wilayah perkotaan dengan harapan para sejarawan memiliki minat untuk
menampilkan sejarah sosial yang lebih beragam, serta mampu menampilkan sejarah
20“Dari Sidang DPRD Kodya: Pelaksana KIP Jangan Asal Tunjuk Karena
Famili”, Suara Merdeka, 20 Desember 1978, hlm. 2.
21Pemerintah Kota Daerah Tingkat II Semarang, Hasil Penyuluhan..., hlm.
123-127.
22Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
2003), hlm. 39-47.
8
orang kebanyakan, ataupun sejarah kehidupan sehari-hari sebagai sumbangan
terhadap pengembangan historiografi Indonesia pada masa mendatang.23
C. Tinjauan Pustaka
Kajian historis mengenai Kota Semarang sudah banyak dilakukan oleh para peneliti
sejarah dan peneliti dari bidang-bidang ilmu lain yang relevan. Tesis ini tidak akan
membahas semua kajian tersebut, tetapi hanya akan membahas beberapa studi
penting yang relevan dengan kebijakan pembangunan Kota Semarang yang ditulis
oleh para sejarawan dan planolog, serta narasi mengenai KIP yang pernah
dilakukan di Indonesia.
Kajian pertama adalah artikel sejarawan Radjimo Sastro Wijono berjudul
“Permukiman Rakyat di Semarang Abad XX: Ada Kampung Ramah Anak” yang
dimuat dalam buku Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia.24
Kajian ini bercerita tentang kebijakan pemerintah Kolonial Belanda terhadap
kampung-kampung di Kotapraja atau yang lebih dikenal dengan sebutan gemeente
Semarang. Kebijakan pemerintah kolonial tersebut khususnya ditujukan untuk
menjamin kehidupan warga dalam usia anak-anak. Radjimo menampilkan narasi
sejarah sosial kesehatan dengan menggunakan beragam sumber Kolonial Belanda.
Kampung ramah anak adalah kampung yang mampu mengakomodir aktivitas anak-
anak dan keluarga untuk bertumbuh bersama di lingkungan permukiman. Kampung
dengan kriteria ini memiliki lingkungan yang bersih dan sehat, serta terbebas dari
kemungkinan mewabahnya beragam penyakit yang beberapa kali terjadi di
Kotapraja Semarang hingga pada perempat pertama abad ke-20. Kampung yang
ramah anak juga mencirikan hunian yang tertata dan terstruktur secara rapi, mulai
dari gang, selokan, fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK), dan memiliki jalur
pengaman bagi para warganya, khususnya anak-anak dan perempuan ketika pada
23Bambang Purwanto, “Menulis Kehidupan Sehari-Hari”, hlm. 274-275.
24Radjimo Sastro Wijono, “Permukiman Rakyat di Semarang Abad XX: Ada
Kampung Ramah Anak” dalam Freek Colombijn (ed.), Kota Lama Kota Baru:
Sejarah Kota-Kota di Indonesia (Yogyakarta: NIOD, Jurusan Sejarah Universitas
Airlangga, dan Ombak, 2005), hlm. 148-166.
9
saat darurat, seperti perang dan pengungsian. Radjimo mengambil salah satu contoh
kampung ramah anak tersebut yaitu Kampung Sompok.
Kajian Radjimo memiliki relevansi pada konsistensi pelaksanaan kebijakan
Kotapraja Semarang yang benar-benar tertata dan terkondisikan dengan
pengawasan yang ketat. Pemerintah Kotapraja Semarang memberikan contoh
penerapan pembangunan fisik yang berwawasan lingkungan hidup, sekaligus
ramah terhadap anak. Kebijakan pemerintah Kolonial Belanda menunjukan bahwa
pembangunan area permukiman tidak bisa dikerjakan secara asal-asalan.
Pembangunan permukiman penduduk, meskipun dalam bentuk kampung harus
benar-benar memenuhi standar-standar kelayakan huni, dan kesehatan lingkungan
bagi seluruh penghuninya. Kelebihan kajian ini terletak pada cakupannya yang
multidimensional dengan narasi yang mampu membedah kampung ramah anak
yang ideal. Kampung ramah anak menempatkan orang dewasanya hidup
berdampingan dengan anak-anak. Radjimo menunjukan lintasan kronologis masa
dari era Kolonial sampai Pasca-Revolusi Kemerdekaan Indonesia yang lengkap
dalam menggambarkan kebijakan kampung ramah anak di Kotapraja Semarang.
Narasi dan pembelajaran historis mengenai pembangunan perkampungan di
Kampung Sompok Semarang ini ternyata meninggalkan jejak kelemahan, yakni
terletak pada pemberian contoh yang hanya terbatas pada Kampung Sompok saja.
Kebijakan tentang kampung ramah anak ini berlaku untuk seluruh kampung di Kota
Semarang, seharusnya ada beberapa kampung lainnya yang bisa dinarasikan dalam
kajian ini. Gambaran umum dan contoh-contoh pelaksanaan kebijakan ini akan
memiliki narasi yang semakin beragam, serta menunjukan identitas pembangunan
permukiman pada masa Kolonial Belanda yang lebih manusiawi.
Kajian kedua, juga karya dari Radjimo Sastro Wijono, sebuah buku yang
berjudul Modernitas dalam Kampung: Pengaruh Kompleks Perumahan Sompok
terhadap Permukiman Rakyat di Semarang Abad ke-20. 25 Dalam buku ini Radjimo
hanya berfokus pada penarasian mengenai sejarah Kampung Sompok. Kampung
25Radjimo Sastro Wijono, Modernitas dalam Kampung: Pengaruh Kompleks
Perumahan Sompok terhadap Permukiman Rakyat di Semarang Abad ke-20
(Jakarta: LIPI Press, 2013).
10
ini merupakan permukiman yang dibangun Pemerintah Kolonial Belanda untuk
para pegawai pemerintahan kelas menengah. Permukiman pegawai kelas bawah di
daerah Mlaten, sedangkan pegawai kelas atas atau para pemilik perusahaan asing
bertempat tinggal di kawasan Candi Lama Kotapraja Semarang. Rumah dalam arti
fisik dan sosial dinarasikan secara lengkap oleh Radjimo, baik secara arsitektural
maupun hubungan sosioantropologis antarpenghuninya. Narasi ini mengambarkan
akar historis perjalanan pembangunan kampung. Para penghuninya juga
digambarkan dengan kekuatan data-data dari arsip Kolonial Belanda hingga era
kontemporer Indonesia. Bahkan kajian berdasarkan sumber-sumber zaman Jepang
yang masih jarang ditemukan, berhasil ia sajikan dalam kajiannya.
Kajian ini memiliki relevansi dengan kajian tesis, yaitu pada kesamaan
pelaksanaan kebijakan yang tegas terhadap pembangunan permukiman yang layak
huni. Meskipun hampir mirip dengan tinjauan pustaka yang pertama, namun
tinjauan pustaka kedua ini lebih menyorot pada aspek arsitektural dan
sosioantropologis para penghuni di rumah-rumah yang telah dibangun sejak masa
Kolonial Belanda. Tinjauan pustaka kedua ini benar-benar fokus membedah
Kampung Sompok secara multidimensional. Kajian Radjimo ini memiliki
keunggulan pada narasi yang total yang bisa menjadi pembelajaran bagi para
pengambil kebijakan untuk benar-benar memperhatikan warga penghuni kampung
di perkotaan. Kampung Sompok yang diceritakan Radjimo benar-benar kampung
yang dirancang matang dan total dalam pembangunannya, serta memiliki standar-
standar pemenuhan kebutuhan hidup yang jelas, seperti lebar jalan, bentuk rumah,
gang, dan selokan. Radjimo menyampaikan narasi secara detail disertai gambar-
gambar pendukung situasi sezaman di Kampung Sompok.
Kajian ketiga adalah artikel dari Pratiwo yang berjudul “The City Planning
of Semarang, 1900-1970”.26 Pratiwo menganalisis pembangunan Kotamadya
Semarang selama kurun waktu 70 tahun, di mulai dari pembangunan Kotapraja
26Pratiwo, “The City Planning of Semarang, 1900-1970” dalam Freek
Colombijn (ed.), Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia
(Yogyakarta: NIOD, Jurusan Sejarah Universitas Airlangga, dan Ombak, 2005),
hlm. 118-147.
11
Semarang di bawah Kolonialisme Belanda sampai memasuki era Orde Baru. Kajian
Pratiwo ini hampir sama dengan Radjimo mengenai kebijakan Kolonial Belanda
dalam pembangunan Kotapraja Semarang. Akan tetapi yang menarik dari kajian
Pratiwo ini adalah penjelasannya bahwa pada masa Pasca-Revolusi Kemerdekaan
Indonesia, Kotapraja Semarang sudah tidak memiliki kejelasan konsep
pembangunan kota. Kajian ini penting untuk digunakan dalam menggambarkan
kondisi perkotaan dari awal pemerintahan Orde Baru. Pratiwo menilai hilangnya
keberlanjutan konsep dan peta pembangunan kotapraja hingga kotamadya ini
disebabkan karena alih kepemimpinan yang serba cepat melalui mekanisme
pertempuran fisik dan kebijakan politik berjangka pendek, sehingga pembangunan
Kotamadya Semarang seakan-akan kehilangan kendali, bahkan identitas yang telah
terwariskan sejak era kolonial Belanda sebagai kota militer dan perdagangan. Hal
itu terlihat dari pembangunan yang terkesan asal-asalan dan tidak mengindahkan
kaidah-kaidah kemanusiaan dalam menciptakan ruang hunian bagi warga kota.
Kajian Pratiwo memiliki relevansi dengan perjalanan panjang kebijakan
penataan perkotaan yang bisa menjadi pembelajaran bagi para pengambil kebijakan
perkotaan. Agar kota dapat menunjukan identitas dan wajah bahagia bagi
penghuninya, kota harus dibangun dengan perencanaan matang dan terkoordinasi
dalam satu arahan yang jelas dan tegas. Keunggulan kajian Pratiwo terletak pada
penarasian dalam tataran perencanaan kota yang detail mengenai kotapraja hingga
kotamadya. Ia mampu menunjukkan kesalahan para pemimpin daerah maupun
pusat yang gagal menerjemahkan keinginan warganya untuk pembangunan kota
yang lebih manusiawi dan layak huni.
Kajian Pratiwo juga mengandung kelemahan, yaitu terkesan hanya
mengagung-agungkan kebijakan politik negara, dan para pejabat di daerah yang
yang mampu membangun kota sesuai dengan konsep yang ada. Pratiwo melupakan
unsur sosioantropologi dalam perjalanan panjang sejarah perkembangan Kota
Semarang. Kebijakan politik negara dan pemerintah daerah memang menjadi
penegas pelaksanaan pembangunan yang mudah untuk dikoordinasi dan ditata,
tetapi pemerintah yang meninggalkan aspirasi warganya dalam pelaksanaan
pembangunan.
12
Kajian keempat adalah skripsi dari mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah
Universitas Indonesia Imam Hilman yang berjudul “Program Perbaikan Kampung:
Proyek Muhammad Husni Thamrin di Jakarta Tahun 1969-1979”.27 Imam
menarasikan salah satu proyek percontohan awal program perbaikan kampung di
Indonesia yang berlokasi di Jakarta. Program ini menjadi cikal bakal program
perbaikan kampung di berbagai kota di Indonesia setelahnya. Program perbaikan
kampung di Jakarta ini dimotori oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin. Kampung-
kampung yang dinilai kumuh, miskin, tidak tertata, dan jauh dari standar
kebersihan, kesehatan, serta kelayakan untuk ditinggali kemudian diubah secara
bertahap. Nama proyek perbaikan kampung ini adalah Muhammad Husni Thamrin
(MHT) sebagai wujud penghormatan kepada tokoh nasional Muhammad Husni
Thamrin yang telah berjasa memperjuangkan nasib rakyat kecil di Jakarta pada era
Kolonial Belanda. Perubahan nama proyek ini terjadi pada 1973 setelah mendapat
bantuan pembiayaan dari Bank Dunia. Sebelumnya nama proyek ini Program
Perbaikan Kampung Jakarta yang dimulai seiring dengan pelaksanaan Pelita I sejak
1969.
Beberapa kampung yang menjadi sasaran perbaikan awal seperti Kemayoran,
Pulo Besar, Rawa Badak, dan Kebon Bawang. Kampung-kampung tersebut
setidaknya mengalami perubahan kondisi seperti jalanan yang sudah tidak becek
dan banjir tidak kembali menggenangi perkampungan warga, penyediaan air bersih
Perusahaan Air Minum (PAM) yang sudah masuk ke kampung-kampung, dan
kesehatan warga yang semakin meningkat. Proyek MHT itu dinilai sukses
mengubah wajah perkampungan Jakarta, bahkan melalui proyek ini Pemerintah
Jakarta mendapat pujian dari dunia internasional, karena mampu memadukan
pembangunan fisik dengan perubahan perilaku warga penghuni perkampungan
yang lebih peduli pada kesehatan dan kebersihan lingkungan.
Imam mampu menggambarkan situasi sosial ekonomi masyarakat dan
memberikan data mengenai pembangunan fisik yang dibutuhkan warga di
kampung-kampung tersebut untuk mengubah kualitas hidup mereka. Kelebihan
27Imam Hilman, “Program Perbaikan Kampung”.
13
skripsi Imam terletak pada penguasaan data baik tertulis maupun lisan mengenai
proses perbaikan beberapa kampung dalam proyek MHT ini. Imam berhasil
menunjukan perubahan yang signifikan pada kampung-kampung kumuh di Jakarta
yang dulunya padat penduduk, apatis terhadap kesehatan, dan kebersihan
lingkungan. Warga kampung-kampung di Jakarta menunjukan geliat perubahan
sikap yang semakin baik terhadap lingkungan tempat tinggal mereka. Hal ini
ditambah lagi dengan peningkatan kehidupan perekonomian mereka pasca-proyek
ini selesai pada 1979.
Kelemahan kajian ini terletak pada peran Gubernur Ali Sadikin yang tampak
superior sebagai penguasa nomor satu di ibukota Jakarta. Imam terlalu
mengkultuskan Ali Sadikin sebagai satu-satunya tokoh yang berjasa melalui
beragam narasi awal perbaikan kampung bermula dari tinjauan dan pengalaman
lapangan Ali selama menjadi murid di sebuah sekolah pelayaran di Jakarta pada era
kolonial Belanda. Keprihatinan Ali Sadikin menjadi kunci pelaksanaan awal
Program Perbaikan Kampung Jakarta yang kemudian diubah menjadi Proyek
Muhammad Husni Thamrin. Bang Ali dalam perjalanan waktu sukses memulai dan
memberi arahan untuk perubahan wajah kampung di Jakarta yang lebih beradab
dan manusiawi.
Kajian kelima adalah tesis dari Anita Dianingrum berjudul “Perkembangan
Program Perbaikan Kampung dan Pemberdayaan Masyarakat di Surabaya”.28 Anita
menarasikan program perbaikan kampung di Surabaya yang melintasi beberapa
periode politik di Indonesia mulai 1923 hingga 2010. Kajian yang lebih berfokus
pada kajian planologi ini cukup banyak memberi referensi mengenai perkembangan
program perbaikan kampung secara menyeluruh. Anita secara lengkap dan bertahap
menceritakan proses-proses perbaikan kampung, dengan menitikberatkan pada
keberhasilan perbaikan kampung pada era 2000-2015 dengan mengambil contoh
Program Kampung Unggulan di dua kampung, yaitu Kampung Tempe Tenggilis
28Anita Dianingrum, “Perkembangan Program Perbaikan Kampung dan
Pemberdayaan Masyarakat di Surabaya” (Tesis Program Magister Bidang Keahlian
Perumahan dan Permukiman Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh
Nopember Surabaya, 2017).
14
dan Kampung Tas Gadukan. Kota Surabaya dalam narasi Anita mampu
mentransformasikan kampung-kampungnya yang semula dicitrakan kumuh dan
tidak layak huni, menjadi kampung-kampung yang sukses memperbaiki lingkungan
dan fasilitas fisik, sekaligus memberdayakan para penghuninya. Perbaikan-
perbaikan ini akhirnya mampu menorehkan prestasi bagi Kota Surabaya, antara lain
dengan memperoleh penghargaan The Aga Khan Award for Architecture pada
1986, United Nations Environment Programme (UNEP) Award pada 1990, dan The
Habitat Award pada 1991.
Kajian tesis ini memiliki relevansi dengan kajian Anita karena sama-sama
membahas mengenai perkembangan program perbaikan kampung secara
menyeluruh dalam sebuah kota. Kajian Anita memberi pengetahuan yang penting
tentang kesuksesan sebuah program pembangunan pemerintah yang harus
bertumpu tidak hanya pada pembangunan fisik semata, namun juga pembangunan
non fisik terutama pengembangan kemampuan dan kualitas manusianya. Manusia
dalam artian sebagai warga kota harus mendapatkan pendampingan dan
pemberdayaan yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya, sehingga ketika
pembangunan dalam konteks perbaikan kampung berakhir, warga sudah bisa
menikmati hasilnya serta memperoleh manfaatnya. Keunggulan Anita pada
kajiannya ini adalah penyajian data dan narasi yang lengkap disertai gambar-
gambar pendukung perubahan fisik dan non fisik yang berhasil dicapai. Anita juga
menunjukan bahwa konsistensi pemerintah dalam pelaksanaan dan pengawasan
menjadi kunci kesuksesan program perbaikan kampung di Surabaya. Kelemahan
Anita terletak pada pemberian contoh kampung yang sukses diberdayakan hanya
dua kampung yang berfokus pada industri kreatif dan kuliner saja, yaitu tas di
Kampung Gadukan dan tempe di Kampung Tenggilis. Padahal, bila Anita memiliki
contoh pengembangan dan pemberdayaan kampung yang lainnya tentu kajian Anita
akan lebih berwarna, serta menambah pengalaman dalam kajian lainnya. Dengan
membandingkan dan meninjau kelima kajian tersebut, maka penulis menyatakan
bahwa tesis ini belum pernah ditulis oleh penulis lain.
15
D. Kerangka Konseptual dan Pendekatan
Tesis ini menggunakan pendekatan sosiologi pembangunan. Pendekatan ini
meminjam konsep perencanaan pembangunan di negara baru berkembang milik
Bintoro Tjokroamidjojo. Dalam konsep tersebut, perencanaan pembangunan di
negara baru berkembang memang lebih mengutamakan kebijakan yang terpusat dan
bersifat politis. Masyarakat sering menjadi kelompok sasaran yang berposisi hanya
sebagai pengguna program atau penerima pelayanan dan diharapkan mampu
mendatangkan perubahan sistem dan struktur sosial.
Kampung Improvement Program (KIP) merupakan program perbaikan
kampung yang tersentralisasi dengan pembiayaan proyek dari pemerintah pusat dan
daerah, serta bantuan dari lembaga asing. Ide pokok program ini adalah
memperlambat proses pembentukan kampung kumuh (kampong deterioration),
serta meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang sehat dan berdaya ubah secara
ekonomi untuk masyarakat kota berpenghasilan rendah. Kehidupan sosial
masyarakat urban kelas bawah yang tampak jorok, kumuh, kotor, dan tidak
beraturan coba diusulkan untuk ditata ulang oleh pemerintah kota melalui KIP.
Program KIP ini masuk ke dalam program strategis Pembangunan Lima Tahun
(Pelita) I (1969-1974) hingga ke IV (1984-1989) dengan batasan pengerjaan lima
tahunan.29 Proyek ini juga bertujuan untuk menurunkan penyakit-penyakit sosial
yang muncul dalam masyarakat di perkampungan kumuh.
Penyakit sosial atau penyakit masyarakat atau dalam bahasa sosiologis sering
disebut patologi sosial adalah segenap tingkah laku manusia yang dianggap tidak
sesuai, melanggar norma-norma umum dan adat-istiadat, atau tidak terintegrasi
dengan tingkah laku umum. Masyarakat yang sudah terjangkit perilaku
menyimpang ini akan membawa pada pelambatan atau bahkan kemunduran
pembangunan. Adapun penyakit-penyakit sosial yang sering muncul di wilayah
29Amir Karamoy, “Program Perbaikan Kampung”, hlm. 26-28.
16
perkampungan kumuh perkotaan, antara lain perjudian, mabuk-mabukan,
pencurian, premanisme, dan perilaku kriminal lainnya.30
Kampung kumuh yang menjadi sasaran pengurangan penyakit sosial ini, atau
yang menjadi sasaran KIP setidaknya memiliki pengertian sebagai berikut:
pertama, penduduk sangat padat antara 250 hingga 400 jiwa per hektar; kedua,
jalanan kampung yang tersembunyi dengan atap-atap rumah yang saling
bersinggungan; ketiga, fasilitas drainase yang tidak memadai sehingga rawan
tergenang air; keempat, fasilitas pembuangan tinja yang minim dan terlalu dekat
dengan rumah; kelima, penyediaan air bersih yang minim; keenam, bangunan
banyak yang bersifat darurat dan semipermanen; ketujuh, lahan tempat berdirinya
bangunan merupakan tanah negara atau ada pemiliknya yang sah, sehingga
sewaktu-waktu dapat digusur atau dibongkar paksa.31
Pengerjaan program dalam tempo lima tahunan ini masuk dalam kategori
perencanaan pembangunan jangka menengah atau disebut Medium Term Plan
menurut Bintoro Tjokroamidjojo. Ciri program yang terkategorikan dalam
pembangunan jangka menengah antara lain: pertama, masa kerja yang terbatasi
minimal tiga sampai lima tahun dengan perencanaan proyek lebih matang, karena
masa persiapannya cukup. Kedua, program ini biasanya dilaksanakan di negara-
negara baru berkembang dengan selalu menyesuaikan perjanjian dan pembiayaan
internasional. Kucuran pendanaan dan target-target pembangunan fisik menjadi
prioritas pengerjaan program.32
Perencanaan pembangunan jangka menengah ini tidak lepas dari bermacam-
macam kendala sosial (social barrier) yang memberikan pengaruh-pengaruh dalam
30Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005),
hlm. 140-184.
31Budi Sinulingga, Pembangunan Kota Tinjauan Regional dan Lokal
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm. 83. Baca juga Beni Ahmad Saebani,
Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 335-345.
32Bintoro Tjokroamidjojo, Perencanaan Pembangunan (Jakarta: PT Gunung
Agung, 1977), hlm. 53-69.
17
proyek-proyek pembangunan. Konsep kendala sosial dalam tesis ini meminjam
konsepsi dari Gerald Zaltman and Robert Duncan. Kedua sosiolog ini melihat
bahwa kendala sosial yang menghambat atau merintangi sebuah perubahan atau
perencanaan pembangunan dipengaruhi oleh salah satu dari lima faktor berikut ini:
solidaritas kelompok (group solidarity), penolakan dari luar (rejection of outsiders),
penyesuaian norma (conformity to norms), konflik (conflict), dan introspeksi
kelompok (group introspection).33 Kelima faktor ini bisa menguat pada salah satu
atau lebih faktor, namun bisa kelima-limanya terpenuhi dalam menanggapi sebuah
problematika kehidupan.
Gerald Zaltman and Robert Duncan menyatakan bahwa bila kelima atau salah
satu saja dari faktor-faktor itu terpenuhi, maka akan berujung pada gagalnya misi
atau program yang telah disusun, bahkan sampai menimbulkan resistensi yang
berujung pada penolakan secara menyeluruh. Hal-hal yang dikhawatirkan ini
menurut Gerald dan Robert tidak akan terjadi, bila faktor-faktor ini tidak muncul,
sehingga bisa dipastikan bahwa perubahan sosial, ataupun pelaksanaan sebuah
program akan berjalan sesuai dengan rencana. Idealnya menurut dua sosiolog ini,
sebuah proyek mampu mendatangkan pengaruh sosial (social effect) yang baik
terhadap perkembangan suatu masyarakat yang ditujunya, oleh sebab itu para
perencana dan sasaran pembangunan harus saling berkolaborasi dengan
memperhatikan enam aspek selama pelaksanaan proyek, yaitu edukasi dan
komunikasi, partisipasi dan pelibatan, fasilitas dan daya dukung, negosiasi dan
persetujuan, manipulasi dan kooptasi, serta pemaksaan secara ekplisit maupun
implisit. Enam aspek inilah yang akan membawa pengaruh yang bila semuanya
33Gerald Zaltman dan Robert Duncan, Strategies for Planned Change (New
York: John Wiley and Sons, 1977), dalam John P. Sheposh, Vel N. Hulton, dan
Gregory A. Knudsen, Implementation of Planned Change A Review of Mayor Issues
(San Diego California: Navy Personnel Research and Development Center, 1983),
hlm. 20-25.
18
berjalan beriringan, sehingga kendala-kendal sosial tidak akan terjadi dan
masyarakat yang menjadi sasaran mencapai target perubahan yang direncanakan.34
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk menyusun tesis ini adalah metode sejarah
yang memiliki pengertian sebagai proses menguji dan menganalisis secara kritis
rekaman dan peninggalan masa lampau.35 Metode sejarah terdiri dari empat tahapan
yaitu pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber, intepretasi, dan penulisan
sejarah (historiografi).36
Pengumpulan sumber adalah suatu teknik untuk memperoleh jejak-jejak
masa lalu.37 Jejak-jejak masa lalu atau sumber sejarah bisa dibagi dalam dua
golongan besar yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dapat
diklasifikasikan berdasar bentuknya, yaitu sumber benda (bangunan, perkakas,
senjata), sumber tertulis (dokumen), dan sumber lisan (hasil wawancara).38
Sumber-sumber tertulis yang digunakan dalam tesis ini didominasi surat kabar
Suara Merdeka dengan batasan temporal pada 1978-1988. Surat kabar ini dinilai
relevan dan rinci memuat pemberitaan perkembangan pelaksanaan KIP di Kota
Semarang dari beragam sudut pandang, baik pemerintah maupun masyarakat.
34Gerald Zaltman dan Robert Duncan, Strategies for Planned Change (New
York: John Wiley and Sons, 1977), dalam John P. Kotter dan Leonard A.
Schlesinger, “Choosing Strategies for Change”, Harvard Business Review, Juli-
Agustus (Boston: Harvard Business School, 2008), hlm. 1-11.
35Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah,
terjemahan Nugroho Notosusanto (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas
Indonesia, 1975), hlm. 32.
36Muhamad Arif, Pengantar Kajian Sejarah (Bandung: Yrama Widya, 2011),
hlm. 42.
37G. J. Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997), hlm. 113.
38Wasino, Dari Riset Hingga Tulisan Sejarah (Semarang: UNNES Press,
2007), hlm. 19.
19
Seluruh sumber surat kabar diperoleh melalui Depo Arsip Suara Merdeka,
Wawasan dan Kompas.
Sumber-sumber dari surat kabar ini dilengkapi pula dengan data-data statistik
dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Semarang. Angka-angka statistik yang
dimuat BPS Kota Semarang sangat relevan dengan kajian, karena statistik tersebut
memberikan gambaran mengenai umum mengenai perkembangan penduduk dan
wilayah Kota Semarang selama pelaksanaan KIP. Data-data lainnya diperoleh
melalui hasil pelaksanaan KIP dari BAPPPEDA Kota Semarang. Sumber
pemerintah melalui BAPPEDA Kota Semarang ini menjadi pelengkap lainnya
untuk menambah khasanah sumber penulisan tesis ini. Data BAPPEDA meskipun
terbatas, namun memiliki arti penting sebagai lembaga pemerintah yang menangani
sekaligus mengawasi jalannya KIP pada masa itu. Beberapa instansi pemerintah
seperti Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang, Perpustakaan Umum dan Arsip
Daerah Kota Semarang, Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah
(BPAD Jateng) dan Perpustakaan Daerah Jawa Tengah (Perpusda Jateng) juga
hanya menyimpan sedikit data/ arsip proyek KIP yang telah dikerjakan, sehingga
dirasa perlu menggunakan sumber-sumber alternatif lainnya yang representatif.
Tesis ini juga dilengkapi dengan berbagai sumber-sumber tertulis sekunder, berupa
buku, artikel, jurnal, skripsi, dan tesis yang memiliki kemiripan topik yang
digunakan penulis untuk menyusun konsep-konsep mengenai pelaksanaan program
dan kendala sosial.
Sumber lisan berupa hasil wawancara menjadi sumber pelengkap berikutnya
yang tidak kalah penting untuk digunakan dalam tesis ini. Sumber lisan bisa
dikategorikan sebagai sumber sejarah primer karena dikisahkan sendiri oleh pelaku
sejarah. Penelusuran sumber lisan ini tidak asal-asalan karena harus menggunakan
metode khusus yaitu metode sejarah lisan.39 Penulis menggunakan metode sejarah
lisan untuk mengungkapkan pengalaman hidup pelaku yang menyaksikan KIP,
maupun menikmati hasil pembangunan KIP di kampung-kampung mereka.
39Sugeng Priyadi, Sejarah Lisan (Yogyakarta: Ombak, 2017), hlm. 15-27.
20
Sumber-sumber yang telah terkumpul dan dianggap cukup, kemudian
dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu pengujian sumber atau kritik. Kritik sumber
pada tahapan ini akan menghasilkan sumber-sumber sejarah yang kredibel dan
otentik. Kuntowijoyo memiliki nama lain untuk menyebut tahap ini, yaitu tahap
verifikasi dengan dua jenis kritik, yaitu kritik eksteren dan kritik interen. Kritik
eksteren akan menguji keaslian atau otentisitas sumber, sementara kritik interen
untuk memastikan bahwa informasi yang ada di dalam dokumen tersebut dapat
dipercaya.40 Kritik eksteren untuk semua sumber yang diperoleh dari BPS Kota
Semarang dan BAPPEDA Kota Semarang merupakan sumber-sumber asli dan
dapat dipertanggungjawabkan, sehingga kredibilitasnya pun juga tidak dapat
diragukan. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa sumber-sumber ini merupakan
hasil pelaporan yang keluar dari otoritas resmi pemerintah.
Sumber lainnya berupa surat kabar juga asli karena merupakan koleksi digital
dan fisik dari Depo Arsip Suara Merdeka. Suara Merdeka adalah surat kabar
terbesar di Jawa Tengah dan banyak memberitakan KIP dari beragam sudut
pandang. Surat kabar secara umum menurut Sartono Kartodirdjo memiliki kekuatan
otentisitas dan kredibilitas surat kabar sebagai sumber sejarah terletak pada
kedekatannya pada peristiwa yang terjadi, kemampuannya memuat berita yang
tidak termuat dalam dokumen resmi pemerintah, dan ruang lingkup pembahasannya
yang beragam dengan kondisi masyarakat pada zaman itu, sehingga dapat
memperkaya penjelasan sejarah.41 Surat kabar Suara Merdeka dipilih menjadi
sumber tertulis utama, karena mengakomodir pemuatan berita-berita mengenai
perkembangan KIP di Kota Semarang, sementara untuk media massa lainnya tidak
banyak memuat laporan KIP, selain itu juga keterbatasan instansi pemerintah di
bidang kearsipan yang menyimpan fisik koran lokal, seperti koran Wawasan dan
Kompas edisi Jawa Tengah secara lengkap.
40Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: PT Bentang Pustaka,
2005), hlm. 100-101.
41Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan, hlm. 108-109.
21
Tahap ketiga adalah interpretasi atau penafsiran sumber melalui pembacaan
beragam sumber tertulis dan wawancara yang telah dilakukan selama penyusunan
tesis ini. Tahapan ini membutuhkan keahlian sejarawan dalam menyintesiskan
imajinasi, interpretasi, dan teorisasi. Tujuan penyintesisan ini untuk mencari
hubungan antara satu fakta dengan fakta lain dalam kerangka hubungan kronologis,
dan kausalitas dari setiap persoalan sosial yang ditemukan.42 Narasi dalam tesis
dapat dieksplanasikan dengan menerapkan konsep-konsep, dan teori-teori ilmu
sosial yang berguna untuk membantu menjelaskan hubungan antarfakta, yaitu
pelaksanaan dan kendala sosial KIP.
Tahap keempat adalah penulisan sejarah. Tahap ini dikenal pula dengan
istilah historiografi yaitu rekonstruksi imajinatif dari masa lampau berdasar data-
data yang diperoleh.43 Fakta-fakta sejarah yang sudah disintesiskan, kemudian
dipaparkan dalam bentuk tulisan sejarah dengan kaidah-kaidah penulisan ilmiah.
F. Sistematika Penulisan
Tesis ini terbagi ke dalam lima bab. Bab I berisi uraian-uraian mengenai latar
belakang dan permasalahan, ruang lingkup, tinjauan pustaka, kerangka konseptual
dan pendekatan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Keseluruhan isi bab
I merupakan dasar penulisan bagi bab-bab berikutnya.
Bab II tesis ini berisi penjelasan tentang gambaran umum Kota Semarang
yang menjadi latar belakang kondisi sosial perkotaan, meliputi pembahasan
mengenai geografis Kota Semarang, demografi, dan arus urbanisasi yang
membentuk perkampungan di perkotaan Semarang.
Pada bab III akan dibahas mengenai pelaksanaan KIP di Kota Semarang
meliputi, pelaksanaan dan pengawasan KIP melalui BAPPEDA dan DPRD Kota
Semarang, dan kendala yang terjadi.
42Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
(Yogyakarta: Ombak, 2019), hlm. 246-248.
43Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, hlm. 32.
22
Bab IV berisi narasi tentang pengaruh KIP terhadap kehidupan sosial
masyarakat Semarang dengan melihat penataan perkampungan kumuh, penurunan
penyakit masyarakat, dan berkembangnya kelompok-kelompok sosial.
Bab V berisi simpulan dari seluruh bab yang ada pada tesis ini. Simpulan ini
akan dimuat hasil akhir pembahasan per bab yang akan menjelaskan KIP di Kota
Semarang pada 1978-1988.
BAB II
GAMBARAN UMUM KOTA SEMARANG TAHUN 1978-1988
Bab ini memuat tentang narasi yang berkaitan dengan kondisi umum Kota Semarang
pada periode 1978-1988, dan persoalan urbanisasi sehingga Program KIP di Kota
Semarang muncul. Pembahasannya meliputi tentang kondisi geografis, demografis,
dan pengaruh urbanisasi di Kota Semarang. Perlu diketahui bahwa kondisi geografis
dan demografis Kota Semarang yang strategis mampu menjadikannya sebagai
episentrum dari terjadinya arus urbanisasi. Sebagai Ibukota Jawa Tengah, Semarang
mampu menjadi magnet bagi warga dari wilayah lain untuk datang dan mengadu
nasibnya. Menurut Ardi Abbas, urbanisasi sebagai perpindahan dan pemusatan
penduduk secara nyata yang memberi dampak dalam hubungannya dengan
masyarakat baru yang dilatarbelakangi oleh faktor sosial, ekonomi, politik, dan
budaya. Peningkatan konsentrasi penduduk di perkotaan menyebabkan proporsi
penduduk yang tinggal menjadi meningkat terutama di pusat-pusat perkotaan.1 Daya
tarik kota menyebabkan masifnya urbanisasi dari daerah ke Kota Semarang, namun
kenyataannya hal tersebut justru menyebabkan munculnya berbagai masalah sosial
seperti kriminalitas, pelacuran, perjudian, dan permukiman kumuh. Menurut Adon
Nasrullah Jamaludin, bayangan tentang kemajuan dan gemerlapnya kota menjadi daya
tarik terjadinya migrasi ke kota karena masyarakat pedesaan beranggapan bahwa desa
tidak lagi dapat memberikan sumber penghidupan lain selain pertanian. Di kota
mereka bisa melihat peluang lain seperti industri dan jasa sebagai sumber mata
pencaharian serta fasilitas lain yang tidak mereka temui di daerah asalnya.2 Kedua
konsep tersebut menjadi landasan bagi penjelasan pada bab ini.
A. Kondisi Geografis
Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah yang terletak di Pantai Utara Jawa,
tepatnya pada garis 6º, 5'- 7º, 10' Lintang Selatan dan 110º, 35' Bujur Timur, dengan
1Ardi Abbas, Diktat untuk Kalangan Sendiri: Sosiologi Perkotaan (Padang:
Universitas Andalas Press, 2002), hlm. 42.
2Adon Nasrullah Jamaludin, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota
dan Problematikanya (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 181.
23
24
luas wilayah mencapai 37.366.838 ha atau 373,7 km². Semarang dipandang strategis
karena terletak di antara kota besar seperti Jakarta dan Bandung di sebelah barat,
Surabaya dan Malang di sebelah timur, serta Yogyakarta dan Surakarta di sebelah
selatan sehingga dioptimalkan menjadi kota berbasis perdagangan dan jasa.
Wilayahnya berbatasan langsung di sebelah timur dengan Kabupaten Demak, di
sebelah selatan dengan Kabupaten Semarang, dan di sebelah barat dengan Kabupaten
Kendal.3
Kontur geografis di Semarang tampak berlainan, terdiri dari Semarang atas dan
Semarang bawah. Perbedaan kontur wilayah ini juga berpengaruh pada pemanfaatan
terhadap daerah tersebut. Semarang bagian bawah lebih banyak dimanfaatkan sebagai
pemukiman penduduk, kawasan industri, persawahan, tambak, dan perkantoran
sehingga pusat pemerintahan, perindustrian, perdagangan, sarana transportasi, serta
pendidikan lebih banyak terdapat di wilayah ini. Semarang bagian atas lebih banyak
dimanfaatkan sebagai tegalan, hutan negara, dan pemukiman penduduk meskipun
tidak sepadat di Semarang Bawah.4
Semarang sebagai kota pantai memiliki iklim yang cukup panas, dengan
temperatur mencapai rata-rata 25° C hingga 27°C. Kondisi topografi kota pun
menunjukkan berbagai kemiringan dan tonjolan yang terdiri dari daerah perbukitan,
dataran rendah, dan daerah pantai. Secara umum, Kota Semarang sendiri terletak pada
ketinggian antara 0,75 sampai dengan 348 meter di atas garis pantai. Daerah
perbukitan/dataran tinggi di sebelah selatan mempunyai ketinggian 90-348 meter di
atas permukaan air laut. Sedangkan untuk dataran rendah mempunyai ketinggian 0,75-
3,5 meter diatas permukaan air laut.5
3Tim Penyusun, Program Penentuan Hari Jadi Kota Semarang (Semarang:
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kotamadya Dati II Semarang,
1952), hlm. 1.
4Bayu Setya Budi, “Yayasan-yayasan Sosial Tionghoa di Gang Lombok
Semarang, 1980-1992” (Skripsi pada Prodi Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada,
2017), hlm. 20-21.
5“Sejarah Kota Semarang” (http://data.jatengprov.go.id/dataset/sejarah-kota-
semarang, diakses pada 18 April 2020).
25
Gambar. 2.1. Peta Wilayah Kotamadya DATI II Semarang Tahun 1986
Sumber: Diolah pribadi
Kota Semarang dengan letak geografis yang strategis ini menjadi sebuah
pondasi penting bagi pembangunan infrastruktur berkesinambungan di Jawa Tengah.
Fokus pembangunan berkesinambungan ini tercermin pada perkembangan jaringan
jalur transportasi laut yang terletak di Pelabuhan Tanjung Mas. Kemudian jaringan
transportasi darat yang meliputi jalan raya dan jalur kereta api dengan dua stasiun
yakni Tawang dan Poncol. Terakhir infrastruktur transportasi udara yang berada di
Bandara Ahmad Yani (Kalibanteng).6 Sebagai wilayah perlintasan dan terletak di
antara dua kota metropolitan seperti Jakarta dan Surabaya, Pada kurun waktu 1970
hingga 1990-an pembangunan sarana dan prasarana terus digenjot untuk mendukung
laju perekonomian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Termasuk kampung-
kampung yang ada di tengah maupun tepian kota kemudian berusaha untuk ditata
menjadi lebih baik. Penataan ini bertujuan untuk mencitrakan Semarang sebagai kota
yang maju, bersih, sehat, dan teratur.
6Tim Penyusun, LKPJ Walikota Semarang Akhir Tahun Anggaran 2013
(Semarang: Pemerintah Kota , 2014), hlm. 2-3.
26
1. Semarang Sebelum KIP
Pada kurun waktu 1966 sampai awal periode 1970-an, pemerintah berusaha
membangkitkan kembali perekonomian yang mengalami keterpurukan pada masa
pemerintahan Soekarno. Soeharto memfokuskan awal perbaikan ekonomi lewat
pembangunan di sektor pertanian, menstabilkan harga bahan pokok, dan peningkatan
nilai ekspor. Semarang sebagai kota pelabuhan kemudian menjadi salah satu kota
penting untuk mendukung suksesnya program pemerintah tersebut. Namun demikian,
perbaikan ekonomi yang dilakukan belum mengarah kepada perbaikan kondisi tempat
tinggal dan perkampungan yang dihuni oleh masyarakatnya.
Wilayah Semarang Utara yang dekat pelabuhan seperti Bandarharjo menjadi
daerah padat penduduk. Pelabuhan yang menjadi tempat perputaran ekonomi
menyebabkan orang-orang dari luar wilayah Semarang kemudian berdatangan di
tempat ini. Lahan-lahan kosong semakin sempit dan berubah menjadi rumah-rumah
hunian. Memasuki 1970, 40% wilayah itu sudah berubah menjadi perumahan
penduduk. Lahan berupa sawah hanya tinggal 30% saja, sedangkan 30% sisanya
difungsikan sebagai tambak dan pergudangan. Sistem perkampungan tidak tertata,
jalan-jalan kampung dan sistem saluran drainase tidak berfungsi dengan baik,
sehingga Kelurahan Bandarharjo tidak pernah terlepas dari air pasang (rob) dan
banjir.7 Di sepanjang rel kereta api seperti yang terlihat di Kelurahan Bulu Lor,
Plombokan, Purwosari, dan Dadapsari, dibangun bedeng-bedeng sebagai tempat
hunian, tanpa tempat MCK yang memadai dan sanitasi yang layak.8
Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terlihat di sekitar wilayah Semarang
Tengah sebagai pusat kota. Hampir seluruh kegiatan perdagangan dan jasa terdapat di
wilayah ini. Orang-orang berdatangan, bermukim, dan kemudian menetap untuk
mengadu nasibnya. Penyempitan lahan pun tidak dapat dihindari dan orang-orang
yang berpenghasilan rendah kemudian berinisiatif membangun permukiman liar.
7A. Thedy Eko Haryono, “Perencanaan Jaringan Drainase Sub Sistem
Bandarharjo Barat” (Skripsi pada Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro, 2008), hlm. 64-65.
8Sri Kumala dan Fitri Yusman, "Kajian Karakteristik dan Metode Penanganan
Kawasan Kumuh di Semarang", Jurnal Teknik PWK, Volume 3 Nomor 2, 2014
(Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universtas Diponegoro),
hlm. 249.
27
Banyak rumah liar yang berdiri di sekitar Pendrikan Lor, Gabahan, dan Miroto. Bagi
mereka golongan masyarakat berpenghasilan menengah bawah, kelayakan tempat
tinggal dan kebersihan lingkungan tampaknya bukan menjadi sebuah hal yang
penting. Apalagi untuk berfikir membentuk lingkungan permukiman yang sesuai
dengan tata ruang. Mereka hanya berfokus pada upaya untuk dapat memenuhi
kebutuhan sehari-harinya dengan bekerja secara serabutan.9
Di wilayah Semarang Barat, salah satu daerah yang tampak jelas tidak tertata
dan minim infrastruktur adalah Krobokan. Sejak 1970-an wilayah dengan luas 35,5
hektar itu sudah dikenal sebagai pemukiman yang memiliki kepadatan penduduk yang
sangat tinggi. Warganya sebagian besar menggantungkan mata pencaharian sebagai
buruh dan tenaga kasar. Mereka tinggal di rumah-rumah yang belum sepenuhnya
terlayani dengan fasilitas pelayanan seperti jalan, drainase, dan sistem pengelolaan
sampah. Kualitas permukaan jalan yang buruk menyebabkan akses warga terhambat
ketika keluar atau pun masuk di wilayah ini. Kurang terpeliharanya saluran drainase
menciptakan problem tidak lancarnya aliran limbah dari rumah tangga dan menjadi
penyebab banjir ketika hujan turun.10 Problem seperti itu tentunya menjadi kenyataan
yang berbanding terbalik dengan cita-cita pembangunan yang didengung-dengungkan
oleh Pemerintah Orde Baru sehingga upaya perbaikan dan penataan menjadi fokus
penting yang kemudian dilakukan oleh pemerintah pada wilayah tersebut.
Kondisi yang hampir mirip pun tentunya tersebar di beberapa wilayah lain
seperti halnya di Kelurahan Rejomulyo, Kemijen, Penggaron Kidul, Kaligawe, dan
Jabungan. Keberadaan kampung-kampung kumuh ini, tentunya bukan menjadi
penilaian yang baik bagi pertumbuhan sebuah kota. Namun demikian, penanganan
permukiman kumuh tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena
9Eddy Marek Leks, Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan
tentang Perumahan Rakyat (Jakarta: Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia, 2013), hlm. 11 dan 127.
10Afwah Ulya, "Partisipasi masyarakat dalam Program Kota Tanpa Kumuh di
Kelurahan Krobokan Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang" (Skripsi pada
Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam UIN Walisongo Semarang, 2018), hlm.
103.
28
dibutuhkan kerjasama dari berbagai lini dan banyak pihak untuk dapat mengerahkan
sumber daya dan dana serta peran aktif dari masyarakat.
2. Semarang Pada Masa KIP
Pada periode 1978-1988, jumlah penduduk Semarang mengalami peningkatan dari
sisi jumlah yang sebagian besar terkonsentrasi di pesisir dan pusat kota. Kampung-
kampung padat penduduk pun penyebarannya belum merata pada masing-masing
kecamatan. Semarang bawah terbentuk sebagai kawasan yang sumpek dan kurang
teratur, sehingga pada 1973 pembangunan dan penataan kemudian dilakukan dari
wilayah pesisir. Pemerintah Kotamadya Dati II Semarang melakukan pengembangan
Pelabuhan Tanjung Mas dan dermaga nelayan di Tambaklorok. Di dalamnya
dibangun pengangkutan peti kemas dan tempat pelelangan ikan.11 Pemekaran wilayah
kemudian terjadi. Walikota H. Hadijanto memperluas kecamatan di Semarang yang
awalnya hanya mencakup lima kecamatan kemudian menjadi sembilan kecamatan
pada 1976. Perluasan itu dilakukan berdasar pada Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 1976 tentang Perluasan Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang.12
Pembangunan dan penataan daerah-daerah di pesisir Semarang tetap dilakukan hingga
akhir periode 1980-an. Akan tetapi, pemekaran yang terjadi berdampak pada
pecahnya fokus pemerintah sehingga praktik pengembangan dan penataan wilayah
pesisir pun tidak dapat dijalankan dengan optimal.
Fokus yang terbelah dan kurang optimalnya penataan wilayah pesisir Semarang
terlihat dari kampung-kampung yang terletak di Kecamatan Semarang Utara seperti
Bandarharjo, Dadapsari, Kampung Melayu, Kebonharjo, Purwosari, Plombokan
Tanjung Mas, dan Tawang yang masih kumuh, warga miskin yang tinggal di rumah-
11Pengembangan pelabuhan dan dermaga yang dilakukan di pesisir pantai
merupakan tindak lanjut dari terbitnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang
Landas Kontinen Indonesia. Undang-Undang ini sangat penting karena laut menjadi
salah satu wilayah hukum yang di dalamnya meliputi kegiatan perikanan, transportasi,
pertambangan minyak dan gas bumi lepas pantai, Heryandi, “Harmonisasi Hukum
Pengelolaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Lepas Pantai” (Disertasi Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2009), hlm. 43-44.
12Nanda Yulanda, “Sejarah Pemerintah Kota Semarang” (perpustakaan digital
budaya indonesia//www.budaya-indonesia.org, diakses pada 20 April 2020).
29
rumah bedeng, lingkungan tempat tinggal mereka pun tampak kotor, lusuh, tidak
memiliki sanitasi, tidak sehat, tidak tertib, dan tidak teratur.13 Kondisi di wilayah itu
kemudian menjadi salah satu alasan untuk menyusun perencanaan penataan wilayah
kumuh yang dikenal dengan Kampung Improvement Program (KIP).
Pada 1975, DPRD Kota Semarang kemudian melakukan pembahasan dengan
lebih seksama tentang potensi penerimaan KIP. Survei dijalankan sebagai persiapan
awal. Tiga tahun lamanya pihak pemerintah Kota Semarang bersama dengan anggota
DPRD meninjau kampung-kampung dan mengklasifikasikannya, supaya kampung
yang menerima KIP tepat sasaran.14 Perbaikan dilakukan tidak hanya di wilayah
pesisir. Kampung-kampung yang terletak di tengah dan tepian kota juga diperbaiki
dengan proyeksi 27 kampung yang telah di survei, diputuskan pada tiga tahun pertama
pelaksanaan KIP menyasar ke 15 kampung yang dipandang urgent (mendesak) untuk
menerima bantuan pendanaan perbaikan kampung. Fokus utama yang dilakukan
terlebih dahulu adalah memperbaiki jalan kampung yang rusak dan sering becek. Jalan
sebagai akses utama menuju kampung sangat berpengaruh bagi mobilitas warga, jika
jalan rusak dan tidak diperbaiki, maka hal itu juga akan berpengaruh pada
pembangunan infrastruktur lainnya.15
Sepuluh tahun berlangsungnya KIP membawa dampak bagi pembangunan
maupun perbaikan infrastruktur bagi kampung-kampung di Kota Semarang. Jalan,
sanitasi, drainase, air bersih, dan pembagian sertifikat tanah dapat dilakukan karena
adanya program ini. Perbaikan keadaan tersebut tentunya tidak sekonyong-konyong
dapat dilakukan tanpa melalui persiapan yang matang, karena KIP sendiri pada
dasarnya adalah bantuan dari Bank Dunia yang bukan didapatkan secara gratis.
Terdapat konsekuensi pengembalian dan bunga yang harus dibayar oleh pemerintah
13Hamid Abdullah, dkk., Tingkat Kesadaran Sejarah Masyarakat Propinsi
Jawa Tengah: Kotamadya Semarang (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Purbakala,
1987), hlm. 17-18.
14"Sering Hujan Ganggu Perbaikan Jalan", Suara Merdeka, 4 Maret 1976,
hlm.2.
15“Perbaiki Jalan-jalan Kampung”, Suara Merdeka, 15 Maret 1978, hlm. 2.