The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by desi.bpdikjur, 2021-07-18 07:27:32

FULL TESIS DESI TRI SUSILOWATI

FULL TESIS DESI TRI SUSILOWATI

80

Gambar 3.10. Peta Kampung Perbalan Purwosari
(Sumber: “Catatan”, Suara Merdeka, 23 Juni 1987, hlm. 7.)
Protes demi protes yang dilancarkan warga memang tidak banyak yang
terberitakan, namun permasalahan ini menjadi pemicu ketidaksuksesan
pelaksanaan KIP di beberapa kampung di Kota Semarang. Pemerintah bahkan
menyatakan dalam sambutan tertulisnya bahwa pembangunan fisik yang telah
dilakukan di 56 kampung telah berhasil dilaksanakan. Akan tetapi, untuk
perbaikan kualitas kehidupan dan kesadaran perilaku untuk hidup sehat di
kampung-kampung hasil KIP dirasa masih kurang oleh Walikota Semarang Imam
Soeparto, S.H. Oleh sebab itu, kader-kader pembangunan dari tingkat terbawah di
dalam struktur kemasyarakatan diajak untuk berpartisipasi mendampingi dan
memberdayakan warga-warga di kampung-kampung KIP.74
Kendala-kendala yang muncul tersebut menjadi bukti bahwa pelaksanaan
sebuah proyek tidaklah mudah. Dinamika yang terjadi di tengah-tengah
memerlukan sebuah komunikasi untuk mencapai kesamaan arti antara apa yang
diinginkan oleh pemerintah dengan warganya. Tersampaikannya informasi
dengan baik tentang berbagai kebijakan dan peraturan pemerintah kepada

74“56 Kampung Diperbaiki Lewat Program KIP”, Suara Merdeka, 13 April
1988, hlm. 7.

81

masyarakat menjadi faktor penentu bagi kelancaran sebuah program.75 Jaringan
komunikasi yang kaku dalam birokrasi pemerintahan tentunya dapat memicu
kesalahpahaman seperti halnya yang terjadi ketika KIP berlangsung.

F. Berakhirnya KIP di Kota Semarang
KIP Urban V berakhir sesuai dengan target yang ditetapkan Bank Dunia yaitu
pada 1988, meskipun Pemerintah Kota Semarang menargetkan satu tahun lebih
awal. Penyelesaian program perbaikan kampung ini memberi penanda awal
program-program lanjutan dalam bentuk lainnya. KIP berakhir tepat sesuai
dengan batas waktu proyek berjangka menengah dengan durasi setiap lima
tahunan. Sejak dilaksanakan pada 1979, KIP yang kala itu bernama KIP Urban III
dianggap pemerintah mampu mendatangkan banyak manfaat bagi warga yang
tinggal di kampung-kampung kumuh, bahkan hingga KIP Urban V sudah 56
kampung yang sukses diubah.76

Gambar 3.11. Perbaikan Kampung Kali Hasil Proyek KIP (Sebelah Kanan Jl
Sutoyo dan Kiri Jl. Panjaitan). Kedua Tepian Kali akan Dibuat Jalur Hijau yang

Dilengkapi Lampu Hias (Sumber: Suara Merdeka, 1988)

75Ulber Silalahi, "Komunikasi Pemerintahan: Mengirim dan Menerima
Informasi Tugas dan Informasi Publik", Jurnal Administrasi Publik, Volume 3
Nomor 1, Tahun 2004 (Jurusan Ilmu Administrasi Publik Universitas Katolik
Parahyanga), hlm. 4-5.

76“56 Kampung Diperbaiki Lewat Program KIP”, Suara Merdeka, 13 April
1988, hlm. 7.

82

Gambar 3.12. Perbaikan Kali di Jl. Dr. Sutomo (Kalisari) Salah Satu Hasil Proyek
KIP dalam Penataan Kali (Sepanjang Tepi Kali Dibuat Tembok untuk
Melindungi Pejalan Kaki di Trotoar) (Sumber: Suara Merdeka, 1988)

Berbagai fasilitas-fasilitas penunjang pemenuhan kebutuhan dasar hidup bagi
warga urban di kampung-kampung di Kota Semarang telah diklaim pemerintah
kota mampu mengubah wajah kota. Lingkungan kumuh berkurang dan fasilitas
kesehatan seperti MCK, serta sudah tersedianya jaringan air bersih menjadi
penanda kesuksesan yang dicapai pemerintah dari sudut pandang pembangunan
fisik.77

Akan tetapi, pembangunan fisik yang sudah maju belum didorong dengan
majunya pembangunan disektor non fisik dan perbaikan kualitas hidup warga
dengan keterampilan dan dorongan semangat berwiraswasta. Pemerintah dalam
proyek KIP hanya berfokus pada pembangunan fisik sesuai dengan petunjuk dari
tim konsultan perencanaan perbaikan perkampungan yang diusulkan Ditjen Cipta
Karya DPU dan Bank Dunia. Proyek KIP berakhir, namun pada Desember 1989
beberapa pemborong mengajukan protes kepada Pimpinan Proyek KIP/ Market
Improvement Program (MIP) Jawa Tengah Ir. Panggardjito akibat pembayaran
uang proyek KIP/ MIP tidak dibayarkan sesuai dengan kesepakatan. Ada 15
pemborong yang merasa tidak dibayar untuk jasa konstruksi mereka, padahal
proyek sudah berakhir sesuai dengan tenggat waktu sejak dua bulan lalu. Menurut

77“Proyek KIP Urban V Direncanakan Selesai Tahun ini”, Suara Merdeka,
6 Februari 1987, hlm. 7.

83

salah satu pemborong yang sempat diwawancarai wartawan Suara Merdeka,
namun tidak berkenan disebutkan namanya, bahwa pemerintah selaku pimpinan
proyek ini lalai membayar tanggung jawabnya. Proyek-proyek KIP/ MIP dikelola
pemerintah dalam bentuk paket-paket kerja, sekali pengerjaan para pemborong
mendapatkan dua paket yang nilai kontrak kerjanya berkisar antara Rp 10 juta
sampai Rp 200 juta. Seluruh pengelolaan proyek ini berada di Subdin PU Cipta
Karya Jateng selaku dinas yang mendapat tanggung jawab pengerjaan proyek ini.
Pemerintah melalui Panggardjito tidak membenarkan adanya keterlambatan uang
proyek, namun pemerintah berjanji akan mengusut tuntas permasalahan ini, dan
meminta pihak yang merasa dirugikan untuk menghadap kepada pimpinan
proyek.78

Permasalahan-permasalahan mengenai pelaksanaan proyek demikian juga
mendapat tanggapan dari wartawan senior Suara Merdeka Hartono Samidjan.
Dalam sejumlah tulisannya mengenai Kota Semarang yang dimuat setiap
minggunya dalam rubrik Rame Konde, diceritakan sejumlah pengalaman
peliputan dan pembacaan situasi tentang beragam pelaksanaan proyek di Kota
Semarang. Hartono pada dekade 1980-an akhir telah aktif berkegiatan sebagai
wartawan lapangan yang meliput sejumlah proyek-proyek pembangunan.
Beberapa proyek memang sukses, namun ada beberapa pula yang terbengkalai
akibat ketidakseriusan pemerintah dalam pemeliharaan dan pendampingan warga.
Dalam bahasa Semarangan ada sebuah ungkapan khas yang sering disebut
setelah mengerjakan pekerjaan yang dirasa asal-asalan jadi, yaitu halah
pokokmen dadi (Jawa: asalkan jadi).

Menurut Hartono, ada sejumlah proyek pemerintah yang jatuh di tangan
para pemborong “nakal” yang hanya sekadar meraup keuntungan, tanpa
memikirkan kualitas pembangunan yang sedang atau telah dikerjakan. Sementara
untuk pelaksanaan KIP sendiri, Hartono beranggapan bahwa proyek ini penting
dalam upaya membangun permukiman kumuh di Kota Semarang pada kurun

78“Di Jateng: Sejumlah Pemborong KIP/MIP Mempertanyakan “Termijn””,
Suara Merdeka, 28 Desember 1989, hlm. 2.

84

waktu akhir 1970-an hingga akhir 1980-an.79 Kampung-kampung kuno di Kota
Semarang cukup mendapat perhatian dengan perbaikan kualitas jalan, jaringan air
bersih, penyediaan tempat sampah, MCK, dan penyediaan fasilitas-fasilitas
publik lainnya, meskipun dalam perjalanan waktu tidak dipungkiri munculnya
ketidakpedulian dan ketidaksadaran untuk menjaga, bahkan merawatnya.80

Gambar 3.13. Peresmian Jembatan “Gotong Royong” Lempongsari menjadi salah
satu hasil proyek KIP (Sumber: Suara Merdeka, 1987)

Pada akhirnya proyek KIP tidak mengalami kelanjutan dalam
pengerjaannya, meskipun ada desakan dari sejumlah warga untuk dapat diberikan
kesempatan merasakan hasil dari proyek perbaikan kampung yang telah
dilaksanakan sejak 1979. Pemerintah Kota Semarang memilih proyek lainnya
untuk melanjutkan pembangunan permukiman bagi warganya. Hal ini menjadi
sebuah kewajaran sebab konsekuensi nilai pinjaman proyek yang tinggi,
sementara pemerintah hanya mendapat perbaikan lingkungan secara fisik saja.
Atas dasar biaya penganggaran dan kemanfaatannya, maka Pemerintah Kota
Semarang memilih menghentikan kelanjutan KIP.

79 Wawancara dengan Hartono Samidjan pada 17 April 2020. Hartono
merupakan jurnalis di Harian Suara Merdeka.

80Hartono Samidjan, Halah Pokokmen: Kupas Tuntas Dialek Semarangan
(Semarang: Mimbar, 2013), hlm. 28-42.

85

Gambar 3.14. Gorong-gorong yang Menganga
(Sumber: “Gorong-Gorong yang Menganga, Suara Merdeka, 24 Januari 1989,

hlm.6.)
Setelah program KIP ini berjalan beberapa infrastruktur yang dibangun
tampak sudah terjadi kerusakan. membuat atau membangun memang lebih
mudah daripada memelihara. Faktor pemeliharaan sebenarnya sangat penting,
tetapi hal ini sepertinya sering luput dari kacamata pemerintah maupun warganya
sendiri. Padahal infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah ini ditujukan bagi
kepentingan umum. Direalisasikan untuk menunjang kelancaran ekonomi, sosial,
dan tranportasi warganya. Setelah KIP, Pemerintah Kota Semarang akan
menyelenggarakan program Tri Bina yang bertujuan untuk membina masyarakat
untuk sadar lingkungan, pembentukan mental, dan pembinaan usaha secara
terpadu. Pelaksanaannya akan dibantu oleh UNICEF dengan proses awal yakni
pelatihan yang diikuti oleh 10 perwakilan terlebih dahulu yakni dari kampung
Bojongsalaman, Celengan, dan Panggung.81

81“52 Kampung Diperbaiki lewat Proyek KIP”, Suara Merdeka, 13 April
1988, hlm. 7.

86

BAB IV

PENGARUH KIP TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL

Pada bab ini akan dibahas mengenai pengaruh pelaksanaan KIP bagi puluhan
kampung kumuh di Kota Semarang. Kehidupan sosial warga penghuni kampung-
kampung kumuh tampak mengalami perubahan setelah program ini selesai
dilaksanakan. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dari penataan fisik
kampung-kampung kumuh, penurunan penyakit masyarakat, dan berkembangnya
kegiatan sosial kemasyarakatan.

A. Tertatanya Kampung Kumuh
Program KIP yang akan dilaksanakan Kota Semarang sejalan dengan pelaksanaan
Pelita III yang menitikberatkan pada pembangunan perumahan dan permukiman
layak huni. Pemerintah Kota Semarang dan DPRD Kotamadya Semarang bergegas
membahas kemungkinan pendanaan KIP sesuai dengan kebutuhan pembangunan
kota. Pada Sidang Pleno khusus DPRD Kodya Semarang yang dipimpin Ketua
DPRD Imam Soemardi tertanggal 19 November 1979, seluruh anggota DPRD
menyepakati pelaksanaan KIP dengan dana pembiayaan dari pinjaman Bank Dunia
sebesar Rp 2,66 milyar. KIP akan ditujukan untuk memperbaiki kondisi 27
kampung. 15 di antara 27 kampung yang diusulkan tersebut akan menjadi prioritas
pembangunan pada tiga tahun pertama pelaksanaan KIP. 15 kampung tersebut
antara lain Bandarharjo, Bugangan, Mlatiharjo, Kuningan, Karang Kidul,
Krobokan, Peterongan, Jagalan, Kentangan, Brumbungan, Gabahan, Pandansari,
Karang Tengah, Kembangsari, Kembangpaes, Miroto, Sekayu, Kranggan, dan
Karangayu.1

Proses pembahasan KIP oleh DPRD Kodya Semarang digelar dalam Sidang
Pleno DPRD Kotamadya (Kodya) Semarang pada 19 Desember 1978, dengan
agenda untuk mendengar penjelasan dari pelaksanaan dan pengawasan KIP, serta

1“DPRD Kodya Semarang: Setujui Perbaikan 27 Kampung dengan Dana
Bank Dunia”, Suara Merdeka, 20 November 1978, hlm. 2.

87

memutuskan secara final besaran nilai pinjaman Bank Dunia. Sidang DPRD ini
diwarnai usulan empat anggota dewan yang memfokuskan pembahasannya pada
pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan KIP. Mereka sepakat fokus pada
pengawasan sebab melihat anggaran pinjaman Bank Dunia yang besar, bahkan
diputuskan naik dari sebelumnya Rp 2,66 milyar menjadi Rp 3,6 milyar. Anggota
DPRD Kodya Semarang yang pertama menyampaikan usul adalah Nuhono Utomo
yang menyatakan bahwa tim pelaksana KIP tidak boleh menunjuk keluarga atau
famili dekat dari para anggota DPRD, sehingga perlu pengawasan yang ketat. Usul
ini ditegaskan kembali oleh anggota DPRD lainnya yaitu Imron. Dalam usulannya
Imron menggunakan ungkapan sindirian dalam Bahasa Jawa “Pungnak Pungno”
(Pumpung Enak, Pumpung Ana). Ungkapan itu bermakna bahwa dengan adanya
kesempatan proyek demikian, dicurigai sebagian anggota dewan bisa meraup
keuntungan sebesar-besarnya, dengan melibatkan tenaga pelaksana pembangunan
dari pihak keluarganya. Selain melihat kesempatan itu, secara kritis S. Poerwadhi
menanyakan terkait pilihan-pilihan pemerintah terhadap berbagai kampung yang
menjadi sasaran KIP. Ia menilai pemilihan ini sangat subyektif dan hanya menyasar
kampung-kampung lama Kota Semarang, sementara kampung lainnya masih
banyak yang perlu pembenahan. Selain itu, Poerwadhi juga meminta kejelasan
susunan organisasi pelaksana pembangunan, agar mudah dalam
pertanggungjawaban dan pengawasan.2

Usul-usul kritis lainnya dari para anggota dewan ini tidak berhenti di situ saja.
Pada usul lainnya Tyas Satyono Sunarto menyampaikan harapannya agar kualitas
proyek ini sesuai dengan yang sudah direncanakan, sehingga mutu hasil
pembangunan bisa benar-benar dimanfaatkan masyarakat pada masa yang akan
datang. Hal ini sesuai dengan pengalaman kegagalan pembangunan pada program
SD Instruksi Presiden (Inpres) yang memiliki kualitas bangunan yang buruk. Selain
Tyas, ada pula usulan serupa terkait pemanfaatan bangunan dari Soemarman.
Soemarman berharap adanya intensifikasi pemasukan bagi daerah setelah
pembangunan selesai, agar warga bisa menikmati keberlanjutan manfaatnya.

2“Dari Sidang DPRD Kodya: Pelaksana KIP Jangan Asal Tunjuk Karena
Famili”, Suara Merdeka, 20 Desember 1978, hlm. 2.

88

Usulan lain terus dilontarkan anggota DPRD Kodya Semarang, melalui Ign.
Sutrisno dan Kandar Hadiprayitno terkait dengan pendekatan sosial budaya.
Sutrisno mengusulkan bahwa proyek KIP ini bisa dinamai beberapa tokoh Kota
Semarang seperti Pandanaran dan Atmodirono. Hal ini sebagai wujud penghargaan
terhadap tokoh asli Semarang. Sedangkan Kandar lebih menyarankan kepada
pemerintah untuk menggunakan nama proyek dengan nama berbahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional.

Ketua BAPPEDA Kodya Semarang Ir. Wasono menyatakan bahwa para
anggota DPRD tidak perlu khawatir yang berlebihan. Pasalnya, Bank Dunia telah
mengutus perwakilannya dalam pelaksanaan KIP ini yaitu sebanyak tujuh orang
pengawas full timer (Inggris: bekerja penuh) dengan empat sarjana senior di
dalamnya. Wasono menceritakan bahwa para pengawas Bank Dunia ini terkenal
kikrik (Jawa: sulit dan kritis), sehingga sangat konsisten dan konsekuen dalam
melakukan pengawasan. Untuk pembangunan di area perluasan Kota Semarang
akan dilaksanakan pada pembangunan KIP Urban III pada tahun ketiga, sebab
anggaran masih tersisa sekitar 145 juta. Sementara itu untuk pengerjaan tahap demi
tahap pembangunan KIP di masing-masing sasaran kampung yang telah disepakati
tersebut, nantinya akan dikerjakan secara borongan. Pada akhirnya Kampung hasil
KIP akan menjadi kampung yang komplit, yaitu di dalamnya terdapat sekolah,
poliklinik, air minum, fasilitas kebersihan, berupa sampah dan MCK.3 Pernyataan-
pernyataan demikian bisa dimaknai bahwa tingkat kepercayaan antaranggota
DPRD Kodya Semarang masih kurang, serta perlunya pengawasan terhadap kinerja
anggota dewan yang akan mengawal jalannya proyek bernilai besar ini.

Wasono menjelaskan bahwa proyek KIP yang dipaparkan di atas memiliki
orientasi terpusat dengan kendali penuh Pemerintah Kota Semarang, serta tanpa
adanya keterlibatan partisipasi warga kampung yang menjadi sasaran program.
Warga kampung hanya sekadar mendapat sosialisasi dalam bentuk pemberitahuan
dari beberapa pejabat pemerintah terbawah, mulai dari lurah maupun perwakilan

3“Dari Sidang DPRD Kodya: Pelaksana KIP Jangan Asal Tunjuk Karena
Famili”, Suara Merdeka, 20 Desember 1978, hlm. 2.

89

instansi pemerintah yang terkait langsung dengan proses pembangunan. Informasi
awal mengenai program pemerintah yang akan digelar di beberapa kampung di
Kota Semarang disampaikan melalui pengurus Lembaga Swadaya Desa (LSD),
Ketua Rukun Tetangga (RT), dan Ketua Rukun Kampung (RK) masing-masing. 4

KIP menjadi proyek pembinaan pembangunan daerah perkotaan yang
dikerjakan Pemerintah Daerah (Pemda) Daerah Tingkat (Dati) II Semarang. Pemda
Dati II Semarang dalam pelaksanaannya berdasar pada serangkaian pengamatan
dan penelitian mengenai kondisi dan situasi perkampungan di Kota Semarang yang
dikerjakan oleh DPU Direktorat Jenderal Cipta Karya bekerja sama dengan
Konsultan Clarke Urban System - BIEC Internasional. Lembaga-lembaga tersebut
kemudian menyusun sebuah studi kelayakan yang dituangkan dalam Laporan
Internal (Inggris: Interim Report) 1 dan 2, serta Laporan Akhir (Inggris: Final
Report). Dalam laporan-laporan tersebut diputuskan bahwa Program Perbaikan
Kampung (KIP) akan dilaksanakan dalam jangka waktu lima tahun dan dituangkan
dalam program KIP Urban III mulai 1979/1980 hingga 1983/1984, kemudian
dilanjutkan pada KIP Urban V 1984/1985 hingga 1988/1989. Dewi Yuliati yang
terlibat sebagai sekretaris konsultan KIP di Kota Semarang menuturkan bahwa
setelah proyek ini ada, kampung-kampung tampak bersih dan rapi.5

1. KIP Urban III
Pada KIP Urban III ini, Pemerintah Kota Semarang menargetkan selama lima tahun
terhitung dari 1979 hingga 1983 akan menyelesaikan perbaikan 27 kampung

4Nico Schulte Nordholt yang sempat meneliti mengenai organisasi ini
menyatakan bahwa Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) merupakan
organisasi bentukan Orde Baru pada 1981. Semula bernama Lembaga Sosial Desa
(LSD) pada Orde Lama sejak 1950-an, Nico Schulte Nordholt, “From LSD to
LKMD: Partisipation at the Village Level, dalam Philip Quarles van Ufford (ed.).,
Leadership and Programme Implementation in Indonesia (Amsterdam: Free
University Press, 1987), hlm. 50, dalam Jan Newberry, Back Door Java: Negara,
Rumah Tangga, dan Kampung di Keluarga Jawa (Jakarta: KITLV Jakarta dan
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), hlm. 43-44.

5Wawancara dengan Dewi Yuliati pada 1 Juli 2020. Wawancara dilakukan
melalui media sosial Whats Up.

90

dengan total luas area sebesar 626,6 hektar dan total jumlah penduduk sebanyak
207.200 jiwa. Sementara rerata kepadatan penduduk di 27 kampung tersebut
sebanyak 331 jiwa per hektar. Pembangunan KIP ini terbagi dalam dua tahap.
Tahap pertama dalam tempo tiga tahun sejak 1979-1981 sebanyak 15 kampung,
sementara sisanya dilaksanakan pada tahap kedua pada periode 1982-1983.6

Pembangunan daerah perluasan di perbatasan wilayah Kota Semarang
menjadi pertanyaan beberapa pihak. Oleh sebab itu, pemerintah menegaskan
kebijakannya kembali, bahwa prioritas pelaksanaan KIP hanya dilakukan di
kampung-kampung sesuai dengan hasil riset lapangan yang telah digariskan
pemerintah dan tim konsultan. Kampung-kampung yang berjumlah 27 kampung
terletak di kawasan urban Kota Semarang, sementara untuk kawasan rural atau
pedesaan di beberapa daerah perbatasan Kota Semarang akan dibangun dengan
program tersendiri. Hal ini dijelaskan pejabat Depdagri Ir. Suwarno saat melakukan
kunjungan ke Kota Semarang pada 24 Desember 1978.7 Kedatangan Suwarno
didampingi pejabat Depdagri lainnya Ir. Subagyo, serta Direktur Jenderal (Ditjen)
Cipta Karya Ir. Indra untuk bertemu dengan Ketua DPRD Kodya Semarang Imam
Soemardi dalam agenda pantauan perkembangan pelaksanaan KIP di Kota
Semarang. Kota Semarang akan melaksanakan KIP bersamaan dengan kota yang
lainnya, yaitu Solo dan Ujung Pandang.8 Berikut pemetaan pelaksanaan KIP Urban
III di Kota Semarang yang masih menyasar permukiman padat penduduk di wilayah
Semarang bawah (gambar diolah pribadi).

6Pemerintah Kota Daerah Tingkat II Semarang, Hasil Penyuluhan
Perencanaan Kota, hlm. 120-121.

7“KIP Tidak Untuk Perbaikan Kampung Daerah Perluasan”, Suara Merdeka,
26 Desember 1978, hlm. 2.

8“Penjelasan”, Suara Merdeka, 26 Desember 1978, hlm. 2.

Gambar 4.1. Peta KIP URBAN III di K
9

88

Kota Semarang (Sumber: Data diolah pribadi)
91

92

Berdasar gambar pemetaan wilayah proyek KIP Urban III, dapat diketahui
bahwa pelaksanaan KIP Urban III di Kota Semarang mayoritas masih menyasar
permukiman padat penduduk di wilayah Semarang bawah. Pelaksanaan KIP dari
kurun waktu 1980-1984 mencakup 21 kampung. Pada tahun 1979-1980
pelaksanaan baru mencakup dua kampung. Apabila ditotal wilayah yang diperbaiki
sejumlah 23 kampung. Kesepakatan awal antara DPRD dengan Pemerintah Kota
Semarang adalah 27 kampung. Kecamatan yang menjadi sasaran KIP Urban III ini
dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Data Kecamatan yang terdampak proyek KIP Urban III Semarang

Tahun No Kampung Kecamatan
1980-1981
1981-1982 1. Mlatiharjo Smg Utara

1982-1983 2. Kuningan Smg Barat
1983-1984
Total 3. Karang Kidul Smg Timur

4. Krobokan (sebagian) Smg Barat

1 Peterongan Smg Timur

2 Jagalan Smg Tengah

3 Kentangan Smg Tengah

4 Brumbungan Smg Tengah

5 Gabahan Smg Tengah

6 Pandansari Smg Tengah

7 Karangtengah Smg Tengah

8 Kembangsari Smg Tengah

9 Kembangpaes Smg Tengah

10 Miroto Smg Tengah

11 Sekayu Smg Tengah

12 Kranggan Smg Tengah

1. Krobokan (sebagian) Smg Barat

2. Karangayu Smg Barat

1. Banjarsari Smg Barat

2. Darat Lasimin Smg Barat

3. Tawang Komplek Smg Barat

21

Sumber: Bappeda Kota Semarang, 1986

Berdasar data pada tabel, dapat dilihat bahwa jumlah kampung yang
diperbaiki pada KIP Urban III lebih banyak menyasar kawasan Semarang Tengah
dengan total kampung yang diperbaiki sebanyak 12 kampung, kemudian disusul
kawasan Semarang Barat dengan 7 kampung, Semarang Timur dengan 2 kampung,
dan Semarang Utara dengan 1 kampung. Untuk menyukseskan KIP ini, pemerintah
menggelar serangkaian sosialisasi persiapan pelaksanaan KIP di beberapa kampung

93

di Kota Semarang. Seperti yang terjadi di Kampung Bugangan pada 9 Maret 1979.
Ketua BAPPEDA Kotamadya Semarang Ir. Wasono hadir langsung dalam
pertemuan di Gedung Taman Siswa Citarum bersama pengurus LSD, Rukun
Tetangga (RT) dan Rukun Kampung (RK), pamong praja, dan Camat Semarang
Utara Suhartono. Dalam pertemuan tersebut Wasono bersama dengan Suhartono
hanya memaparkan tujuan KIP Urban III, sasaran pembangunan infrastruktur, dan
dampak proyek ini setelah selesai dilaksanakan.

Gambar 4.2. Ir. Suwarno (kedua dari kanan) didampingi Ketua DPRD Kodya
Semarang Imam Soemardi Memberi Penjelasan Pelaksanaan KIP di Kota
Semarang
(Sumber: “Penjelasan”, Suara Merdeka, 26 Desember 1978, hlm. 2).
Selain itu, pemerintah kota juga menyampaikan besaran seluruh anggaran

KIP Urban III sebesar Rp 3,6 milyar dengan perincian pinjaman Bank Dunia
sebesar Rp 2,278 milyar dalam jangka waktu 20 tahun dengan bunga sembilan
persen, bantuan pusat sebesar Rp 532 juta, Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi
Jawa Tengah sebesar Rp 251 juta, dan Rp 539 juta dari anggaran Pemda Kotamadya
Semarang. Apabila program ini berhasil menurut Wasono, Bank Dunia
kemungkinan akan mengucurkan bantuan-bantuan lainnya dalam bentuk kredit
usaha. Untuk memperlancar proses perbaikan kampung, pemerintah telah

94

melakukan survei berupa pemotretan dari udara, penelitian tanah, dan kadar air
yang direncanakan selesai pada April, sehingga pada Juli bisa langsung dimulai.9

Saefudin salah satu warga Bugangan yang pada masa itu menyaksikan
pelaksanaan proyek KIP. Pada kurun 1970-1982, ia bersama keluarganya pernah
menempati rumah milik saudara sepupunya di RT 2 RK 1 Bugangan. Saefudin
merupakan pengurus RT di kampungnya. Ia bercerita bahwa sebelum proyek KIP
dilaksanakan ia mengingat bahwa kampungnya memang belum tertata dengan baik
dan tampak kumuh. Banyak jalan dari tanah yang pada musim penghujan akan
becek dan bergelombang, ditambah lagi ancaman bencana banjir juga sering
membuat warga khawatir, khususnya yang bertempat tinggal di sepanjang Kali
Banger.10 Ancaman lainnya adalah rumah-rumah warga yang saling berhimpitan
dengan jaringan listrik yang belum tertata baik, akibatnya kampungnya rawan
kebakaran sejak 1960-an.11

Kondisi kampung yang kumuh ini coba untuk ditata dengan program KIP
yang disosialisasikan secara terus menerus oleh Bintara Pembina Desa (Babinsa),
Ketua RT, Ketua RK, dan pihak kelurahan melalui arisan bulanan yang rutin digelar
pada masa itu. Warga menurut Saefudin sempat mengusulkan adanya
pembangunan beberapa sarana pendukung permanen, seperti MCK komunal,
Posyandu, dan gardu ronda. Permintaan warga hanya ditampung para pengurus
kelurahan. Seluruh warga kampung hanya diminta untuk mendukung program KIP
dan pembangunan yang sudah ditentukan pemerintah pusat. KIP di kampung
tersebut hanya berfokus pada pengerasan jalan, penataan tempat berjualan kerajinan

9“Pemugaran Bugangan dan Bandarharjo Dimulai Bulan Juli yang Akan
Datang”, Suara Merdeka, 10 Maret 1979, hlm. 2.

10“Bugangan Sumbang Korban Bandjir”, Suara Merdeka, 17 Januari 1972,
hlm. 2.

11“Kebakaran di Bugangan”, Suara Merdeka, 25 Oktober 1966, hlm. 2.

95

tangan dari kaleng bekas, dan penataan gorong-gorong saluran air menuju Kali
Banger.12

Berikut ini gambar-gambar yang didokumentasikan oleh Suara Merdeka
terkait kondisi Kampung Bugangan sebelum KIP digelar. Pada gambar 4.3 di
bawah ini ditunjukan mengenai perbaikan jembatan di Kampung Bugangan oleh 80
mahasiswa dari Kopertis V Jawa Tengah yang dipimpin Drs. Wuryanto. Kegiatan
ini dalam rangka pengabdian masyarakat dengan melibatkan seluruh mahasiswa
yang terdiri dari gabungan kampus-kampus di bawah naungan Kopertis V Jateng di
Kota Semarang, antara lain Akfarming, Akubank, APPD, Unissula, Untag, serta
AMNI Semarang. Ketua pelaksana pembangunan dipercayakan kepada Drs. Sutadi.
Jembatan semipermanen yang dikerjakan para mahasiswa ini dibuat dari bahan
dasar papan kayu dan bambu.

Gambar 4.3. Mahasiswa Membangun Jembatan Semipermanen di Kampung
Bugangan (Sumber: “Bangun Jembatan Kampung”, Suara Merdeka, 10
November 1978, hlm. 2.)

12Wawancara dengan Saefudin pada 19 Juni 2020. Saefudin tamatan STM
bidang konstruksi yang sempat tinggal di Kampung Bugangan. Penulis
memverifikasi jawabannya dengan sumber berita Suara Merdeka.

96

Kegiatan ini menurut Sutadi juga sebagai bentuk perhatian lembaga
perguruan tinggi terhadap persoalan sehari-hari kehidupan masyarakat. Kampung
Bugangan merupakan kampung yang penting bagi pengembangan kerajinan tangan
dari kaleng bekas di Kota Semarang, bahkan Jawa Tengah, sehingga akses jalan
yang baik menjadi perhatian pihak Kopertis V. Jembatan yang sudah jadi ini sangat
membantu warga, sebab warga tidak perlu jauh-jauh memutar arah untuk melintasi
Kali Banger.13

Ketiadaan sarana prasarana penunjang aktivitas warga ini menjadi pendorong
warga untuk mengusulkan kepada pemerintah untuk segera menggenapinya, demi
kelancaran aktivitas warga Kampung Bugangan. Saefudin menambahkan bahwa
sebagian besar warga memang hidup pada kondisi susah dan pas-pasan. Rumah
tangga dengan ekonomi menengah ke bawah lebih banyak yang tinggal di
kampungnya tersebut. Warga selama pelaksanaan penataan kampung memang
dikondisikan mengikuti petunjuk kelurahan dan pembangunan ini berjalan kurang
lebih satu tahun.14 Hasil perbaikan kampung sejak KIP pada 1979 selesai hingga
1997. Gambar di bawah ini menunjukan lapak-lapak pedagang kerajinan kaleng
bekas dan perkakas rumah tangga yang berjejer rapi di sepanjang Kampung
Bugangan.15

13“80 Mahasiswa Kopertis V Bangun Jembatan di Bugangan”, Suara
Merdeka, 10 November 1978, hlm. 2.

14Wawancara dengan Saefudin pada 19 Juni 2020.
15“Kerajinan Kaleng Bekas Bugangan: Semula “Buangan” Kini Industri
Andalan”, Suara Merdeka, 4 November 1997, hlm. 3.

97

Gambar 4.4. Lapak Pedagang Kerajinan Kaleng Bekas Bugangan
(Sumber: “Barang Bekas”, Suara Merdeka, 4 November 1997, hlm. 3).

Pemerintah Kota Semarang terus melaksanakan proses perbaikan kampung
sesuai dengan yang disepakati pemerintah dan DPRD. Beberapa kegiatan
pembangunan yang sedang berlangsung diinformasikan ke dalam bentuk
pemberitaan dalam surat kabar. Salah satu contoh pelaksanaan KIP yang
terberitakan ini ada di Kampung Pandansari dan Karang Tengah. Dalam
pelaksanaan proyek di dua kampung ini, pemerintah mendapat bantuan dari para
mahasiswa Fakultas Teknik dari jurusan Teknik Sipil Universitas Diponegoro
Semarang. Para mahasiswa tersebut dimasukan ke dalam tim survei untuk
membantu pemetaan wilayah dan permasalahan yang menjadi prioritas dalam
perbaikan kampung.

Di dua kampung tersebut, KIP ditujukan untuk penyediaan air bersih melalui
ledeng umum. Selain itu masalah kesehatan lingkungan dan pengaspalan jalan
menjadi proyek pengerjaan di dua kampung tersebut. Dalam penjelasan berita
tersebut, ada satu wilayah yang masuk dalam kawasan Kampung Pandansari yang
dikenal dengan nama Kampung Grobogan. Nama ini diduga berasal dari nama para
penghuni kampung yang berasal dari daerah Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Kampung Grobogan yang merupakan bagian dari Kampung Pandansari mendapat
perhatian lebih oleh para pelaksana KIP karena memiliki tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi, sehingga pengerjaan perbaikan kampung di Pandansari lebih

98

diarahkan untuk perbaikan kondisi di sub kampung tersebut.16 Pemberitaan
keberhasilan dan sedikit informasi mengenai permasalahan yang dihadapi oleh
pelaksana KIP menjadi bahan pemberitaan yang dominan menunjukan keberhasilan
pemerintah. Akan tetapi, sangat jarang diberitakan kelanjutan pembangunan
ataupun hasil pembangunan yang berdampak luas bagi warga kampung.

Keterputusan informasi yang berkembang mengenai keberhasilan maupun
kegagalan KIP diperburuk perilaku Pemerintah dan DPRD Kodya Semarang yang
lebih sering mengajukan wacana, maupun isu yang berubah-ubah setelah
melakukan kunjungan lapangan. Hal ini terlihat dari beberapa kunjungan lapangan
beberapa anggota DPRD Kodya Semarang dan pejabat yang terberitakan, antara
lain saat pendampingan kunjungan kerja Komisi D DPRD Kodya Surakarta di
sebuah sumur bor di Kampung Krobokan pada 13 Februari 1981. Dalam kunjungan
tersebut Ketua DPRD Kodya Semarang Imam Soemardi dan Sekretaris Daerah
(Sekda) Samsuri Mastur, S.H. mengusulkan agar pelaksanaan KIP Urban III pada
tahap awal ini tidak menyasar hanya 15 kampung saja, tetapi bisa mencapai 20
kampung. Penambahan ini menurut Imam sesuai dengan proyek perbaikan yang
nilai sukses mengubah bentuk kampung, seperti yang terjadi di Krobokan. Hal ini
sejalan dengan konsep Zaltman dan Duncan tentang penyesuaian norma. Kampung
Krobokan selain sedang mengerjakan pembangunan sumur bor untuk menyediakan
air bersih bagi warga, juga sedang menyelesaikan proyek pengaspalan dengan biaya
murah di kampung tersebut, sebab mampu mengurangi anggaran pengaspalan
kampung sebesar 30 persen.

16“KIP di Karang Tengah dan Pandansari”, Suara Merdeka, 11 Februari 1981,
hlm. 2.

99

Gambar 4.5. Kunjungan Kerja Komisi D DPRD Kodya Surakarta di
Kampung Krobokan (Sumber: “Gambar Rombongan DPRD Kodya Surakarta”,

Suara Merdeka, 14 Februari 1981, hlm. 2.)
Kunjungan kerja dari Komisi D Kodya Surakarta diketuai Sukimin dengan
tujuan sebagai bahan perbandingan pengerjaan KIP di Kota Surakarta yang telah
menyelesaikan dua kampung. Surakarta merencanakan akan memperbaiki sepuluh
kampung sebagai target pelaksanaan KIP pada tahun tersebut. Sementara Kota
Semarang sudah hampir menyelesaikan 15 kampung sebagai bagian dari tahapan
awal KIP Urban III. Empat kampung terakhir yang sedang dalam proses
penyelesaian adalah Mlatiharjo, Krobokan, Kuningan, dan Karang Kidul.17
Kampung Krobokan yang sudah mengalami penataan KIP mengalami perubahan
yang signifikan. Hal ini terlihat dari hasil dokumentasi Suara Merdeka yang
menunjukan gapura masuk salah satu gang di Kampung Krobokan.

17“Mungkin 20 Desa di Semarang Bisa Masuk Dalam Program KIP”, Suara
Merdeka, 14 Februari 1981, hlm. 2.

100

Gambar 4.6. Salah Satu Gang di Kampung Krobokan Pasca-KIP
(Sumber: “Hasil Perbaikan Kampung”, Suara Merdeka, 24 Agustus 1980, hlm. 3)

Proyek KIP yang berjalan sesuai dengan rencana pemerintah pusat tersebut,
kemudian dievaluasi guna memastikan para pejabat di daerah sampai tingkat
kelurahan dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) memahami alur
pelaksanaan KIP sesuai arahan negara, oleh karena itu BAPPEDA Kota Semarang
menggelar sejumlah kursus bagi para kader pelaksana dan pengawas proyek di
masing-masing kampung. Bekerja sama dengan Depdagri, Ketua BAPPEDA Kota
Semarang Ir. Wasono menggelar kursus yang materinya mengenai pelaksanaan KIP
secara terpadu antara pusat hingga daerah. Dalam kursus tersebut turut hadir
Direktur Pembinaan Pengembangan Perkotaan Depdagri Ir. Soegiarso.18 Kegiatan
kursus ini digelar di Balai Desa Karang Kidul selama empat hari sejak 8 – 11 Juni
1981. Adapun materi yang disampaikan dalam kursus tersebut lebih menekankan
peran penting para pejabat daerah dari tingkat kecamatan hingga desa untuk
mendorong partisipasi warganya mendukung segala pelaksanaan KIP. Acara serupa
dilaksanakan pula di tujuh kota di seluruh Indonesia. Dalam kursus yang digelar di

18“Berikan Pengarahan”, Suara Merdeka, 9 Juni 1981, hlm. 6.

101

Kota Semarang ini diikuti oleh lima camat, 19 lurah, dan 19 Ketua LKMD se-Kota
Semarang yang kampungnya menjadi sasaran pelaksanaan KIP Urban III.19

Gambar 4.7. Direktur Pembinaan Pengembangan Perkotaan Depdagri Ir.
Soegiarso Memaparkan Materi Terkait Panduan Terpadu Pelaksanaan KIP di

Balai Desa Karang Kidul.
(Sumber: “Berikan Pengarahan”, Suara Merdeka, 9 Juni 1981, hlm. 6.)
2. KIP Urban V
Pemerintah Kota Semarang melanjutkan KIP untuk periode 1983 hingga 1987.
Usulan ini sampaikan Sekretaris Badan Pelaksana Pembangunan Proyek Perbaikan
Kampung (BAPEM PPK) Kota Semarang Ir. A. Wasis. Dalam rencananya, Kota
Semarang setidaknya membutuhkan dana segar untuk melanjutkan proyek itu
senilai Rp 5,6 milyar dengan sasaran 35 kampung dengan luas wilayah 600 hektar
dan jumlah penduduk mencapai 296 ribu jiwa. Untuk kriteria desa yang menjadi
sasaran KIP pada proyek ini, Wasis memberikan kriteria yang cukup ketat. Kriteria
tersebut antara lain umur kampung yang sudah tua dan diutamakan sudah ada
sebelum zaman Kemerdekaan Indonesia, masih adanya permasalahan pada
penyediaan air minum, kebersihan lingkungan, MCK, dan syarat-syarat lainnya
sesuai dengan kebutuhan hidup layak di kampung tersebut. Ketentuan-ketentuan ini

19“Pelaksanaan Program KIP Perlu Pendekatan Terpadu”, Suara Merdeka, 9
Juni 1981, hlm. 6.

102

sekali lagi menjadi wewenang penuh pemerintah tanpa adanya intervensi dari
warga kampung yang menjadi sasarannya. Wasis pun melihat bahwa program ini
perlu mendapat suntikan dana tambahan melalui pinjaman Bank Dunia, APBN,
APBD Provinsi, dan APBD Kota Semarang.

Pada pelaksanaan KIP Urban III Pemerintah Kota Semarang sanggup
membangun 21 desa dari 27 desa yang ditargetkan dengan anggaran sebesar Rp 3,6
milyar. Ke-21 desa tersebut, antara lain pada 1979/1980 ada dua desa yaitu
Bandarharjo dan Bugangan. Tahun 1980-1981 terdapat empat desa, yaitu
Mlatiharjo, Karang Kidul (Stadion), Kuningan, dan Krobokan. Tahun 1981-1982
ada 12 desa yaitu Peterongan, Jagalan, Kentangan, Brumbungan, Gabahan,
Pandansari, Karang Tengah, Kembangsari, Kembangpaes, Miroto, Sekayu, dan
Kranggan. Tahun 1982-1983 Krobokan (sebagian) dan Karangngayu. Tahun 1983-
1984 Banjarsari, Darat Lasimin dan Tawang Komplek. Pada KIP Urban III ini
pemerintah menghitung rata-rata biaya perbaikan per hektar sebesar Rp 5 juta.20

Gambar 4.8. Kerja Bakti Sebelum KIP di Kampung Sekayu
(Sumber: “Kerja Bakti di Sekayu”, Suara Merdeka, 2 Desember 1981, hlm. 2.)

Perubahan kondisi kampung juga terjadi di Kampung Sekayu. Sebelum KIP
dilaksanakan warga secara bergotong-royong melakukan kerja bakti, guna

20“Anggaran 1983-1987: 33 Desa Kodya Semarang Dibangun Lewat Dana
KIP”, Suara Merdeka, 23 Mei 1983, hlm. 7.

103

memudahkan petugas proyek mengerjakan penataan kampung. Pasca-pelaksanaan
KIP, maka wajah Kampung Sekayu berubah menjadi lebih tertata. Hal ini
dibuktikan dengan pernyataan Inspektur Kekaryaan Departemen Pertahanan dan
Keamanan (Hankam) Indonesia Brigjen. Pol. Drs. Affandy, saat berkunjung ke
Kampung Sekayu untuk meninjau pembangunan kampung dan berbagai
permasalahan sosial perkotaan, seperti anak-anak putus sekolah dan kriminalitas
yang marak di perkampungan tengah kota. Affandy memuji keseriusan warga untuk
bergotong royong mendukung program-program pemerintah, salah satunya dalam
bentuk penataan perkampungan agar semakin layak huni dan membawa dampak
kesejahteraan bagi warga. Gambar kunjungan tersebut dapat dilihat di bawah ini.

Gambar 4.9. Kunjungan Brigjen. Pol. Drs. Affandy ke Kampung Sekayu
(Sumber: “Irkar Hankam Tinjau Desa Sekayu Semarang”, Suara Merdeka, 19

Februari 1982, hlm. 2.)
Pada pelaksanaan KIP Urban V nantinya pemerintah juga menegaskan
tanggung jawabnya terhadap permasalahan penyediaan air bersih. Selama ini yang
menjadi sasaran keluhan dan protes warga selalu tertuju pada PAM Kota Semarang.
Dalam permasalahan ini Direktur PAM Kota Semarang Ir. Tommy Sasmita
menyatakan bahwa untuk pembangunan jaringan air di kampung-kampung yang
menjadi sasaran KIP merupakan tanggung jawab pelaksana KIP. Sementara bila
sudah terpasang PAM yang nantinya akan bertanggung jawab untuk menghitung
penggunaannya. Pembagian tanggung jawab ini juga untuk meluruskan

104

permasalahan yang sempat terjadi di Kampung Mlatiharjo. Tommy berharap
kinerja PAM dalam memberikan pelayanan penyediaan air dapat mencukupi
kebutuhan warga Kota Semarang seluruhnya pada tahun-tahun mendatang. Untuk
sementara, bila diperlukan peningkatan kapasitas pelayanan PAM mencoba
menjalin kerja sama dengan pihak asing dengan bantuan biaya sebesar Rp 10 milyar
untuk pembangunan jaringan air bersih.21

Perubahan wajah kampung lainnya pada KIP Urban V ini tampak di
Kampung Mlatiharjo. Permukiman penduduk yang menghadap Kali Banger dengan
kondisi yang rawan terkena limpasan banjir mendapat perhatian lebih. Penduduk di
Kampung ini juga kesulitan mencari ruang terbuka ataupun lapangan sebagai
tempat berkumpul dan berkegiatan warga. Gambar di bawah ini menunjukan
kondisi di Kampung Mlatiharjo pada 1982.

Gambar 4.10. Kampung Mlatiharjo Terancam Banjir
(Sumber: “Terancam Banjir Banger”, Suara Merdeka, 6 Januari 1982, hlm. 2.)

Warga Mlatiharjo pasca-KIP menikmati perubahan penataan kampung.
Ruang terbuka yang diidam-idamkan warga dapat dihadirkan. Dalam gambar di

21“Direktur PAM Kodya: Belum Teralisirnya Air Bersih KIP Bukan
Tanggungan PAM”, Suara Merdeka, 15 Juli 1983, hlm. 6.

105

bawah ini, warga menyambut gembira situasi kampung yang baru dengan lapangan
terbuka untuk berkegiatan senam bersama.

Gambar 4.11. Senam Bersama Warga Mlatiharjo
(Sumber: “Senam Pagi di Mlatiharjo”, Suara Merdeka, 9 Juni 1983, hlm. 2).

Proyek KIP Urban V sebagai kelanjutan dari KIP Urban III terus dikerjakan
di Kota Semarang. Penamaan yang tidak mengikuti urutan penomoran ini
disebabkan proses pinjaman dan pendanaan proyek strategis nasional ini telah
melewati batas pembiayaan untuk proyek KIP Urban IV. Oleh sebab itu, Kota
Semarang mendapat kelanjutan program perbaikan kampung ini pada bagian KIP
Urban V. Proyek ini diawali dengan pembangunan Kompleks Tawang yang
berdekatan dengan Stasiun Tawang Semarang. Kompleks permukiman ini menjadi
pilihan pertama pemerintah karena urgensinya dalam penanganan bencana banjir.
Sasaran perbaikan fisik kampung ini dimulai dengan pembersihan dan pengerukan
saluran-saluran air serta gorong-gorong selokan. Pembersihan dan pengerukan ini
untuk membuang tumpukan sampah dan endapan lumpur yang sudah mengendap
di dasar selokan perkampungan.

Selain kegiatan tersebut, BAPEM PPK KIP juga melakukan penataan dan
pembongkaran saluran air di beberapa perkampungan di sekitar Stasiun Tawang,
mulai dari Bandarharjo, Petek, Purwosari, Sayangan, dan Kaliasin. Untuk
mewujudkan rencana pembangunan ini, Walikota Semarang Imam Soeparto

106

kembali harus berhitung-hitung dengan DPRD Kota Semarang untuk menaikan
jumlah pinjaman pembangunan ke Bank Dunia. Dalam taksiran awal Imam, Kota
Semarang harus menambah pinjaman sebesar Rp 447,63 juta dari total jumlah
pinjaman untuk program-program pembangunan lainnya sebesar Rp 9,091 milyar.
Jumlah total pinjaman ini sudah mendapat persetujuan DPRD Kodya Semarang.
Penambahan ini terjadi setelah Imam berkonsultasi dengan tim konsultan
pembangunan PT Trans Asia, dan melalui rapat bersama Departemen Keuangan,
Ditjen Cipta Karya, dan Bank Dunia. Penambahan anggaran ini dikhawatirkan
nantinya akan merepotkan pemerintah kota, sebab angsuran pengembalian
pinjaman pada saat jatuh tempo pada periode 1989/1990 akan melebih 15 persen
dari ketentuan batas yang digariskan Mendagri. Akan tetapi, Imam menegaskan
bahwa pembiayaan yang membengkak itu tidak dapat dihindarkan, sebab tidak
hanya menyangkut pembiayaan KIP saja, namun juga proyek-proyek pembangunan
lainnya, seperti Pasar Mrican dan Pasar Peterongan.22 Berikut peta pelaksanaan KIP
di Kota Semarang yang masih fokus menyasar permukiman padat penduduk di
wilayah Semarang bawah. Gambar 4.12. Peta KIP Urban V di Kota Semarang
diolah pribadi.

22“Normalisasi Saluran Sekitar Tawang Masuk Proyek “Urban V””, Suara
Merdeka, 4 Agustus 1984, hlm. 7.

Gambar 4.12. Peta KIP URBAN V d
1

93

di Kota Semarang (Sumber: Data diolah pribadi)
107

108

Dari 33 kampung menjadi proyek pembangunan tersisa sebelas kampung
yang sedang dalam proses perbaikan. Kesebelas kampung tersebut terletak di tiga
kecamatan, yaitu Kecamatan Semarang Tengah, Utara, dan Timur. Di Kecamatan
Semarang Tengah terdapat Kelurahan Gandekpuspo, Kauman, Bangunharjo, dan
Kartoharjo. Di Kecamatan Semarang Utara ada Kelurahan Kemijen, Sarirejo,
Kebonagung, Pederesan, dan Taman Harjo. Sementara sisanya berada di
Kecamatan Semarang Timur yaitu Kelurahan Karangturi dan Karangtempel.
Pemerintah melalui Madyono beranggapan bahwa proyek ini berhasil memperbaiki
sarana prasarana kampung-kampung kumuh di Kota Semarang. Pada KIP Urban III
berhasil menyelesaikan 21 kampung, sementara pada KIP Urban V sukses
menyelesaikan perbaikan kampung sebanyak lebih dari 35 kampung. Keberhasilan
proyek ini membawa Kota Semarang menjadi proyek percontohan untuk dua kota
di Asia Tenggara, yaitu Manila dan Bangkok.23

Pembengkakan biaya yang besar ini mengakibatkan Pemerintah Kota
Semarang sedikit tergesa-gesa dalam penyelesaian proyek KIP ini. Bila melihat
rencana proyek KIP lima tahunan, proyek ini seharusnya selesai pada periode
1988/1989. Akan tetapi menurut BAPEM KIP Urban V Ir. Madyono, Pemerintah
Kota Semarang akan menyelesaikan proyek ini pada 1987. KIP Urban V dikenal
pula dengan sebutan KIP Urban V Pandanaran yang merujuk pada usulan anggota
DPRD Kodya Semarang Ign. Sutrisno tentang penamaan proyek besar ini. Ir.
Madyono bersama didampingi staf Humas Kodya Semarang Ir. Soetopo
menargetkan tidak hanya 33 kampung, namun 37 kampung akan masuk dalam
proyek KIP ini. Fokus proyek KIP ini tetap pada perbaikan permukiman kumuh
yang berorientasi pada pembenahan jalan lingkungan, MCK, becak sampah,
penyediaan air bersih, dan jamban keluarga.

Keberhasilan proyek KIP ini diklaim oleh Walikota Imam Soeparto telah
mengubah wajah Kota Semarang dengan perbaikan kampung kumuh sebanyak 56
kampung selama kurun waktu sepuluh tahun. Pernyataan itu walikota ini

23“Proyek KIP Urban V Direncanakan Selesai Tahun ini”, Suara Merdeka, 6
Februari 1987, hlm. 7.

109

disampaikan Asisten II Sekda Ir. Tommy Sasmito Utomo dalam sambutan tertulis
di pembukaan Latihan Pelayanan Sosial Dasar Terpadu Perkotaan (LPSDTP) di
Balai Kelurahan Bulu Lor. KIP Urban III berhasil memperbaiki 21 kampung,
sementara KIP Urban V sukses menata 35 kampung, sehingga total ada 56 kampung
sukses diperbaiki dan ditata. Sementara untuk kelanjutan proyek KIP tersebut bagi
para warganya akan dilakukan dengan pendekatan Tri Bina oleh Pemerintah Kota
Semarang. Tri Bina tersebut meliputi bina lingkungan, bina manusia, dan bina
usaha secara terpadu. Meskipun dalam pelaksanaannya membutuhan kesungguhan
pemerintah, sebab Walikota Semarang masih merasa masih kurangnya kesadaran
warga di kampung-kampung pasca-KIP untuk secara sungguh-sungguh menjaga
kesehatan ibu dan anak, gizi keluarga, air bersih, dan sanitasi lingkungannya.24

B. Penurunan Penyakit Masyarakat
Proyek KIP berkontribusi pula pada penurunan penyakit-penyakit masyarakat.
Penyakit-penyakit tersebut muncul di beberapa perkampungan kumuh di Kota
Semarang. Kemiskinan dan ketidaksanggupan warga untuk memenuhi kebutuhan
dasar hidupnya menjadi penyebab utama munculnya patologi sosial atau penyakit-
penyakit sosial, seperti perjudian, mabuk minuman keras, dan vandalisme terhadap
infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah. Pemerintah Kota Semarang dibantu
aparat penegak hukum, baik polisi maupun militer, serta warga bekerja sama untuk
mengantisipasi adanya gangguan selama KIP dilaksanakan, maupun setelah KIP
selesai dilaksanakan.

Pelaksanaan KIP Urban III dan KIP Urban V membawa banyak perubahan
pada perilaku warga. Hal ini diungkapkan Puji Sarwono yang bertempat tinggal di
Kampung Kemijen. Ia memiliki pengalaman di berbagai Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendampingan ibu rumah tangga,
pembangunan infrastruktur, dan bantuan hukum. Puji bercerita bahwa gejala
patologi sosial muncul memang merupakan dampak dari kemiskinan warga yang

24“56 Kampung Diperbaiki Lewat Program KIP”, Suara Merdeka, 13 April
1988, hlm. 7.

110

menghuni kampung-kampung kumuh di perkotaan. Banyak perilaku kriminal yang
muncul secara situasional, karena terhimpit kebutuhan perut dan keperluan untuk
anak dan istri. Kriminalitas situasional yang kerap muncul adalah penjambretan dan
pencurian yang menyasar tempat-tempat sepi dan minim penjagaan, pencopetan di
tempat-tempat keramaian dan pusat-pusat hiburan di Kota Semarang, dan
premanisme di beberapa tempat umum seperti terminal, bioskop, dan tempat parkir
di beberapa pusat perbelanjaan atau pusat hiburan.25

Warga yang terdesak demikian biasanya tidak akan melakukan kejahatan
situasional tersebut di wilayah tempat tinggalnya. Dampak dari perbuatan mereka
itu, akhirnya berujung pada pelabelan atau stigma negatif pada kampung-kampung
di Kota Semarang. Soetikno yang bertempat tinggal di Kampung Bandarharjo
menganggap pemberian label secara general kepada kampung tertentu akibat
perilaku kriminal segelintir warga sungguh merupakan ketidakadilan. Stigma ini
tentu juga berdampak pada ketatnya aparat mengawasi gerak-gerik warga, kesulitan
memperoleh pekerjaan, dan hubungan bisnis atau relasi sosial menjadi terganggu.26

Anggapan bahwa kampung-kampung tertentu menjadi sumber kejahatan di
Kota Semarang tersebut sangat menganggu. Situasi ini dialami pula oleh
Soekarman ketika ia memperkenalkan diri sebagai warga Krobokan. Citra buruk
yang sudah melekat ini membuat pemerintah juga cemas dan khawatir, ketika akan
menyalurkan bantuan untuk pengentasan kemiskinan. Soekarman saat masih
menjadi pengurus RK juga pernah diundang Pemkot Semarang terkait rencana KIP
akan dilaksanakan di Krobokan. Ia bercerita bahwa satu pengurus RK bersama
pihak kelurahan harus disosialisasi dan ditanyai berulang-ulang kali untuk
memastikan situasi aman saat KIP dilaksanakan. Akibatnya tidak ada anak-anak
nakal atau pemuda yang hendak mabuk-mabuk nongkrong pada malam hari.
Mereka sadar dan mencoba mengurangi kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut.
Menurut Soekarman, beberapa pemuda yang sempat ia datangi bersama pengurus

25Wawancara dengan Puji Sarwono pada 24 Juni 2020.
26Wawancara dengan Soetikno pada 16 April 2020 di Kelurahan Bandarharjo.

111

RT menyampaikan rasa malu mereka, karena membuat kampung jadi resah.27 Hal
ini sejalan dengan konsep penolakan sosial milik Zaltman dan Duncan. Aparat
penegak hukum tidak segan-segan pada beberapa kesempatan melakukan tinjauan
mendadak di Kelurahan Krobokan pada 1983, seperti yang tergambar pada gambar
di bawah ini.

Gambar 4.13. Babinsa dan Polisi Melakukan Tinjauan Keamanan di Kelurahan
Krobokan (Sumber: “Periksa”, Suara Merdeka, 18 Juni 1983, hlm. 2).
Soetikno dan Puji juga mengalami nasib serupa. KIP yang dilaksanakan di

kampung mereka mendapat pengawasan dan penilaian ketat sebelum dilaksanakan.
Para pengurus kelurahan, RK, RT, dan aparat keamanan yang bertugas diharapkan
mampu mengendalikan situasi. Warga yang dianggap berpotensi mengacau lebih
dahulu disosialisasi, sementara bagi warga lainnya yang mungkin terdampak
dihimbau melalui rapat-rapat bulan RT. Kegiatan sosialisasi dan himbauan dalam
pertemuan-pertemuan secara rutin tersebut selain untuk memastikan kampung
benar-benar siap untuk melaksanakan KIP, juga sekaligus menjadi survei awal
pemilihan kampung untuk tahapan-tahapan pembangunan yang telah dirancang.28

27Wawancara dengan Soekarman pada 16 April 2020 di Kelurahan Krobokan.
28Wawancara dengan Soetikno pada 16 April 2020.

112

Mereka bertiga mengalami pengalaman yang sama terkait sosialisasi KIP
yang mulai gencar dilaksanakan. Warga banyak yang terhasut dengan sejumlah
informasi simpang siur yang belum diverifikasi kebenarannya dari para pengurus
RT. Salah satu masalah yang pada masa sebelum pelaksanaan KIP adalah mengenai
hukum kepemilikan tanah dan bangunan di beberapa kampung yang menjadi
sasaran program ini. Warga yang kurang terkomunikasikan dengan baik akan
merasa keberadaannya tinggal di kampung tersebut menjadi terancam penggusuran.
Kekhawatiran ini memiliki dasar yang kuat, sebab sebagian besar perkampungan
yang dituju untuk KIP merupakan kampung-kampung kumuh dengan kepadatan
penduduk tinggi. Permasalahan pembagian sertifikat tanah dan bangunan bagi
warga terdampak KIP menjadi persoalan serius pemerintah kota untuk leluasa
menata kampung.

Kesulitan ini tampak pada awal pelaksanaan KIP Urban III di tiga kampung,
yaitu Bandarharjo, Bugangan, dan Mlatiharjo. Pemerintah Kota Semarang
bertindak cepat dengan segera menyelesaikan beberapa sertifikat kepemilikan tanah
dan bangunan melalui Kantor Agraria Kota Semarang. Beberapa warga di tiga
kampung tersebut mendapat bantuan pengurusan sertifikat tanah, namun
penyelesaian masalah ini hanya berlangsung saat proyek KIP ini berlangsung.
Sementara kelanjutan penyertifikatan rumah dan bangunan di kampung-kampung
lainnya pun banyak terhenti. Pemerintah kota dalam hal ini sekadar
menyederhanakan proses pelaksanaan KIP agar berjalan lancar, namun tidak
mempedulikan nasib warga yang mengalami kesulitan dalam melegalisasi
kepemilikan tanah mereka.

Kesulitan ini diungkapkan salah satu warga Bandarharjo Suwarno yang
mengaku, bahwa warga yang tidak memiliki sertifikat tanah pada masa itu berharap
pemerintah kota mau memfasilitasinya. Warga khawatir bila tidak memiliki
sertifikat tanah akan digusur pemerintah.29 Sementara itu, menambahkan
keterangan Suwarno, Soetikno yang juga merupakan warga Bandarharjo melihat

29Wawancara dengan Suwarno pada 16 April 2020. Wawancara dilakukan di
Kantor Kelurahan Bandarharjo.

113

bahwa beberapa tanah di kampungnya masih bermasalah dengan pihak PJKA
maupun Pelabuhan Semarang, sehingga warga merasa tertekan. Bagi sebagian
warga yang nekat tentu melancarkan beragam keluhan dan protes mereka langsung
ke Kantor DPRD Kodya dan Walikota Semarang. Usaha ini terkadang mendapat
respon, namun tidak jarang mengalami penolakan karena memang program
pembangunan atau perbaikan semacam ini tidak memberikan ruang untuk
berkomunikasi dengan warga yang terdampak pembangunan.30

Permasalahan mengenai sengketa kepemilikan tanah di sejumlah
perkampungan kumuh di Kota Semarang menjadi permasalahan mendasar dalam
perbaikan kampung pada dekade 1980-1990-an. Masyarakat pada dasarnya sangat
setuju bila ada perbaikan kualitas hidup dan penataan lingkungan yang lebih sehat.
Akan tetapi kesewang-wenangan pemerintah dalam sejumlah program menunjukan
betapa kuasa negara terlalu kuat, sementara rakyat kecil diibaratkan hanya bisa
menjadi penonton saja. Pemerintah seyogyanya benar-benar melakukan pemetaan
yang menyeluruh dan tidak asal-asalan menggunakan tenaga konsultan yang tidak
pernah tahu situasi yang sebenarnya dihadapi masyarakat. Masalah sengketa
kepemilikan tanah menjadi masalah krusial yang tidak sepatutnya terjadi, bila
pemerintah benar-benar serius dalam menjalankan program KIP. Permasalahan ini
sering dikeluhkan sebagian besar warga terdampak berbagai program
pembangunan di beberapa kampung di Kota Semarang.

Informasi ini sering Puji Sarwono saat masih aktif berkegiatan di sejumlah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Kota Semarang, namun tidak banyak
diungkapkan ke publik. Akibatnya bila warga tidak dipenuhi, bahkan minimal
pertanyaan mereka tidak dijawab maka warga yang kecewa tidak segan-segan
untuk melakukan pengerusakan (vandalisme) terhadap fasilitas yang sudah
terbangun rapi, atau bahkan menganggu jalannya pembangunan dengan mencuri
sebagian material atau peralatan yang bernilai ekonomi cukup tinggi. Perilaku
patologis ini marak terjadi dan Puji sering dimintai rekanan pemerintah untuk

30Wawancara dengan Soetikno pada 16 April 2020. Wawancara di Kelurahan
Bandarharjo Semarang.

114

menyelesaikan permasalahan ini. Pengalaman Puji selaku penggiat LSM mampu
menenangkan dan mempengaruhi warga untuk mau duduk berunding, serta
berbicara bersama pelaksana proyek di lapangan, maupun pemerintah kota.31

Proyek KIP yang dimotori oleh Pemerintah Kota Semarang ternyata dalam
kondisi riilnya memang banyak mengalami kendala sosial. Selain karena kurangnya
sosialisasi dan keterbukaan kepada publik mengenai target-target para pelaksana
proyek ini. Pemerintah yang memilih jalan untuk memusatkan kekuasaan dalam
pelaksanaan proyek ini, namun sekali lagi karena hanya berorientasi pada proyek
dan pembangunan fisik, maka tidak banyak penyelesaian masalah yang terjadi di
beberapa kampung yang menjadi sasaran KIP. Akibatnya, menimbulkan banyak
kecaman, protes, bahkan penolakan yang berujung pada terhambatnya penyelesaian
sejumlah proyek KIP, bahkan penghentian proyek KIP yang tepat berjalan selama
satu dasawarsa.

Pemerintah menanggapi keluhan sebagian besar warga Kota Semarang
mengenai pemenuhan kebutuhan dasar kehidupan, seperti perataan jalan kampung
dan penataan lingkungan perkampungan. Pemerintah melalui DPU Kota Semarang
berjanji akan segera memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada, dan tidak akan
membiarkan, atau bahkan mendiamkan situasi tersebut. Akan tetapi, sama seperti
yang biasanya disampaikan pemerintah kepada publik, bahwa perbaikan tersebut
membutuhkan proses dan biaya yang besar. Sementara biaya yang tersedia dalam
anggaran pemerintah sangat kecil untuk bisa mengakomodir semua permintaan
warga. DPU Kota Semarang mengaku kehabisan anggaran sebab semuanya sudah
tersedot untuk anggaran perbaikan pada tahun sebelumnya, dan anggaran untuk
perawatan sarana prasarana. Pada tahun pengganggaran 1982/1983, DPU Kota
Semarang hanya memiliki Rp 165 juta anggaran yang telah diprogramkan untuk
perbaikan beberapa ruas jalan dan pemeliharaan fasilitas umum. Dengan
terbatasnya anggaran yang dimiliki, maka DPU Kota Semarang berencana akan

31Wawancara dengan Puji Sarwono pada 24 Juni 2020. Penggiat masyarakat
di Kampung Kemijen Semarang. Kemijen menjadi kampung sasaran proyek KIP
Urban V.

115

meminta bantuan Bina Marga dan penggalangan swadaya masyarakat untuk
penataan jalan.32

Gambar 4.14. Hasil Perbaikan Jalan Kampung Bintoro
dari Swadaya Masyarakat. Tampak pada Gambar yang Kini Mulus

(Sumber: Suara Merdeka, 30 Juni 1988).
Walikota Semarang Imam Soeparto sempat menghimbau masyarakat yang
sering mengeluh dan protes, bisa mencontoh semangat kegotong-royongan dari
kehidupan masyarakat di pedesaan. Perilaku masyarakat pedesaan yang penuh kerja
sama dan saling tolong-menolong perlu dibudayakan dalam kehidupan masyarakat
perkotaan yang saat ini dominan dalam bentuk perkampungan. Hal ini disampaikan
saat peresmian proyek terpadu Peningkatan Peranan Wanita menuju Keluarga Sehat
dan Sejahtera (P2W-KSS) DI Kelurahan Tembalang dan Jabungan, Kecamatan
Tembalang.33
Himbauan Walikota ini menurut Soekarman, Soetikno, maupun Suwarno
belum mampu meredam secara mendalam perilaku warga yang memang terhimpit

32“Perbaikan Jalan Lingkungan Sudah Diprogramkan”, Suara Merdeka, 8
Januari 1983, hlm. 7.

33“Gotong Royong Rakyat Desa agar Bisa Dicontoh Rakyat Kota”, Suara
Merdeka, 2 Maret 1983, hlm. 6.

116

secara ekonomi, sekaligus memang sudah terbiasa berperilaku kriminal demikian.
Para narasumber ini hanya mencoba mengajak warga yang berperilaku kriminal
untuk berbicara dari hati ke hati dengan nada bicara santai, dan penuh dengan
suasana kekeluargaan. Mereka yang mau untuk diajak bicara terus didekati dan
disadarkan bahwa setelah pembangunan ini berakhir, merekalah yang akan
menikmati hasilnya. Warga terdampak dalam tingkatan rendah seperti merelakan
luas pekarangan rumah, sampai tingkatan dampak tertinggi dengan penggusuran
coba untuk disadarkan untuk tidak berperilaku kriminal lagi dengan merusak
ataupun mencuri. Penyadaran ini termasuk perjudian, premanisme, dan mabuk-
mabukan yang coba untuk dihentikan secara bertahap dan pelan-pelan.34

Soekarman dan Soetikno menganggap kedekatan personal dan intim dengan
warga yang memang sudah terbiasa melakukan berbagai perilaku kriminal tersebut
menjadi kekuatan utama untuk memberi jaminan pada pelaksana proyek, bahwa di
kampungnya aman. Warga yang masih berperilaku patologis diingatkan bahwa
dengan semakin sering melakukan aktivitas tersebut, pemerintah dan citra negatif
akan selalu melekat, serta kepercayaan terhadap warga kampungnya secara
keseluruhan termasuk keluarga pelaku akan semakin menyulitkan hidup mereka.35

Soekarman bahkan meminta secara personal warga yang masih main judi,
mencuri material pembangunan, premanisme, dan minum-minuman keras untuk
berhenti dan melihat dampak jangka panjangnya pasca-KIP berakhir. Mereka
dijanjikan dapat menikmati fasilitas publik baru, seperti lapangan, pos ronda,
maupun kemudahan-kemudahan akses pekerjaan setelah fasilitas-fasilitas ini
selesai dibangun. Bandarharjo dan Krobokan termasuk dua kampung yang dipilih
pemerintah untuk dilaksanakan pembangunan secara bertahap di dua tahapan
KIP.36

Berita mengenai perilaku patologis sosial juga tidak pernah terberitakan
selama KIP berlangsung di beberapa area perkampungan rawan kriminalitas di

34Wawancara dengan Suwarno pada 19 Juni 2020.
35Wawancara dengan Suwarno pada 19 Juli 2020.
36Wawancara dengan Soekarman pada 19 April 2020.

117

Kota Semarang. Hal ini membuktikan bahwa pendekatan personal para tokoh
masyarakat yang juga merangkap sebagai pengurus RT maupun RK sukses
menurunkan perilaku kriminal, baik selama pelaksanaan KIP maupun sesudah
proyek ini selesai. Berikut di bawah ini gambar kegiatan pengarahan keamanan di
Kampung Bandarharjo pada 1983.

Gambar 4.15. Pengarahan Kondisi Keamanan Kampung oleh Babinsa
Kelurahan Bandarharjo

(Sumber: “Pengarahan Tentang Keamanan”, Suara Merdeka, 15 Agustus 1983,
hlm. 2).

Sosialisasi ini juga tidak sepenuhnya berjalan lancar, bila tidak ada
keterlibatan aparat keamanan yang tegas. Suwarno menambahkan peran aparat
keamanan untuk menindak menjadi puncak dari sosialisasi dan himbauan yang
buntu. Beberapa warga menurut Suwarno di Kampung Bandarharjo memang ada
yang nekat tetap berperilaku kriminal dan kebiasaan minum, mencuri, serta
merusak fasilitas yang dianggap tidak berdampak secara ekonomi bagai mereka
tetap terjadi. Mereka yang masih berbuat demikian sudah menjadi kesepakatan
untuk ditindak oleh aparat penegak hukum. Hal ini sesuai konsep Zaltman dan
Duncan tentang konflik dalam tubuh masyarakat yang menempatkan warga yang
saling bergesekan harus mau menuruti, atau mematuhi aturan hukum yang berlaku.
Cara-cara ini melengkapi keberhasilan pembinaan masyarakat yang memang
diharapkan pemerintah terjadi pada warga-warga yang menjadi sasaran KIP.

118

C. Berkembangnya Kelompok Sosial Masyarakat
Beberapa kelompok-kelompok sosial masyarakat tumbuh sejalan berakhirnya KIP,
meskipun kelompok-kelompok sosial ini sudah muncul jauh sebelum KIP
dilaksanakan. Kelompok-kelompok sosial masyarakat tersebut antara lain PKK dan
Posyandu. Proyek-proyek pembangunan KIP yang juga terlaksana di puluhan
kampung kumuh di Kota Semarang menurut Parinem hanya memperkuat keaktifan
kelompok-kelompok sosial yang ada. Ia masih mengingat himbauan-himbauan
yang gencar dari pemerintah melalui pengurus RT, RK atau RW, dan kelurahan
untuk mendukung pembangunan.37

Beberapa kampung sepengetahuan Parinem memang dibangunkan bangunan
permanen untuk Posyandu, namun lebih banyak bangunan yang sifatnya untuk
perbaikan jalan kampung dan penataan gorong-gorong atau selokan. Penataan fisik
ini memang ditujukan untuk menangani banjir yang sering melanda kampungnya.
Warga sudah jenuh menghadapi bencana banjir tahunan yang sering melanda
kampung dan melupuhkan aktivitas mereka dalam beberapa waktu. Pembangunan
fisik baik Posyandu, maupun fasilitas lainnya menurut Marni Lestari sebenarnya
tidak serta merta mengubah keaktifan warga, khususnya ibu-ibu dalam berkegiatan.
Marni menambahkan bahwa pembangunan jalan yang baik setidaknya membuat
warga menjadi punya rasa empati, untuk sama-sama ikut menyukseskan program
pemerintah.

Marni bersama warga pada waktu KIP usai di kampungnya sama-sama
menyadari perhatian pemerintah kota untuk membuang jauh-jauh citra buruk
kampungnya. Bandarharjo harus tumbuh jadi kampung yang baik tanpa ada citra
buruk yang selama ini dilekatkan. Anak-anak Bawah Lima Tahun (Balita) dan ibu-
ibu harus bersatu memperbaiki kondisi kesehatan yang kurang, seperti anak-anak
tumbuh kerdil dan kurang gizi.38 Hal ini membuktikan solidaritas menjadi kekuatan

37Wawancara dengan Parinem pada 19 Juni 2020. Parinem merupakan
pengiat PKK dan Posyandu di Kelurahan Kemijen Semarang.

38Wawancara dengan Marni Lestari pada 19 Juni 2020. Marni merupakan
penggerak PKK dan Posyandu di Kelurahan Bandarharjo. Marni bersama keluarga
tinggal di Rumah Susun Bandarharjo.

119

utama warga untuk mengatasi problematika kehidupan, sehingga sejalan dengan
konsep Zaltman dan Duncan tentang solidaritas sosial. Berikut ini gambar kegiatan
Posyandu di Kelurahan Bandarharjo pada 1980.

Gambar 4.16. Posyandu di Kelurahan Bandarharjo
(Sumber: “Posyandu Bandarharjo Digelar”, Suara Merdeka, 24 Februari 1980,

hlm. 2)
Warga Bandarharjo bersyukur jalanan kampung yang baru juga membuat
gairah ibu-ibu PKK yang semula tidak aktif menjadi aktif. Menurut Marni, ibu-ibu
pada awalnya malu bila menjadi tuan rumah arisan atau dikunjungi bila terjadi
bencana yang menimpa keluarga, sebab rumah sudah jelek dan jalanan buruk.
Setelah jalanan kampung baik, sedikit demi sedikit warga yang rumahnya dilalui
pembangunan berani tampil dan tidak merasa minder bila ada kunjungan. Efek
pembangunan KIP pada dekade 1980-an benar-benar mampu mengubah kehidupan
warga, meskipun tidak serta merta dan instan seperti yang diinginkan pemerintah.39
Wujud perhatian pemerintah pasca-KIP berlangsung sukses ditunjukan
dengan berbagai kunjungan kerja yang bersifat seremonial. Kondisi ini terlihat di

39Wawancara dengan Marni Lestari pada 19 Juni 2020.

120

Kampung Kuningan, saat kunjungan pejabat negara ke wilayah tersebut menjelang
akhir pelaksanaan KIP Urban III tahap pertama. Kampung Kuningan yang telah
menunjukan perubahan fisik kampung diusulkan sebagai percontohan proyek bina
keluarga dan anak Bawah Lima Tahun (Balita). Hal ini disampaikan Staf Ahli
Menteri Muda Urusan Wanita Soetomo S. Bogowongso ke Kampung Kuningan
Semarang.

Gambar 4.17. Kunjungan Staf Ahli Menteri Urusan Wanita Soetomo S.
Bogowongso di Kampung Kuningan Semarang

(Sumber: “Gambar Kunjungan Tim Perintis Bina Kelurga dan Balita”, Suara
Merdeka, 7 Oktober 1981, hlm. 6).

Dalam kunjungannya ini, Soetomo didampingi Ketua PKK Kodya Semarang
Ny. Imam Soeparto beserta Walikotamadya Semarang H. Imam Soeparto, S.H.
Seluruh rombongan mengunjungi kampung dan sempat mengadakan diskusi
dengan para penggerak PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) dan LSD di
kampung tersebut.40 Berdasar pengamatan Soetomo, pasca-pelaksanaan KIP yang

40Gerakan PKK sebagai program pemberdayaan rumah tangga dimotori dari
Jawa Tengah sejak 1960-an. Gerakan ini menjadi bagian dari Program Utama LSD
sejak 1971. Jan Newberry, Back Door Java: Negara, Rumah Tangga, dan Kampung
di Keluarga Jawa (Jakarta: KITLV Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia,
2013), hlm. 7 dan 43-44.

121

sudah menuju ke proses akhir ini telah tampak wajah kampung yang lebih
manusiawi dan layak untuk pengembangan pembinaan keluarga dan Balita.
Soetomo menjanjikan adanya kursus bagi penggerak PKK yang fokus pada
pembinaan keluarga dan Balita selama dua tahun di Jakarta mulai November 1981.
Kader yang akan dididik melalui kursus ini akan menjadi kepanjangan tangan
negara untuk pembinaan jangka panjang kesehatan ibu dan anak, serta peningkatan
kesejahteraan keluarga di Kota Semarang.41 Hal ini menjadi bukti bahwa KIP
membawa perubahan bagi kesadaran akan kesehatan ibu dan anak, serta lingkungan
hidup.42 Hal ini sejalan dengan konsep introspeksi kelompok milik Zaltman dan
Duncan. Berikut di bawah ini bentuk kegiatan sosial warga melalui lembaga PKK
desa.

Gambar 4.18. Kunjungan PKK Bugangan dan Bantuan Sosial
(Sumber: “PKK Bugangan Beri Perhatian”, Suara Merdeka, 21 Juni 1982, hlm. 2).
Pada 1982 sejumlah pengurus PKK Kelurahan melakukan kegiatan pembinaan
untuk para ibu rumah tangga anggota PKK dalm berwirausaha. Kader PKK

41“Desa Kuningan Dipersiapkan Jadi Proyek Bina Keluarga dan Balita”,
Suara Merdeka, 7 Oktober 1981, hlm. 6.

42“Gambar Kunjungan Tim Perintis Bina Keluarga dan Balita”, Suara
Merdeka, 7 Oktober 1981, hlm. 6.

122

melakukan kegiatan kunjungan ke unit-unit kewirausahaan yang telah dilaksanakan
setelah program KIP, sembari menyerahkan bantuan alat-alat tulis bagi anak-anak
penggerak PKK yang kurang mampu.

KIP Urban V berakhir sesuai dengan target yang ditetapkan Bank Dunia yaitu
pada 1988, meskipun Pemerintah Kota Semarang menargetkan satu tahun lebih
awal. Penyelesaian program perbaikan kampung ini memberi penanda awal
program-program lanjutan dalam bentuk lainnya. KIP berakhir tepat sesuai dengan
batas waktu proyek berjangka menengah dengan durasi setiap lima tahunan. Sejak
dilaksanakan pada 1979, KIP yang kala itu bernama KIP Urban III dianggap
pemerintah mampu mendatangkan banyak manfaat bagi warga yang tinggal di
kampung-kampung kumuh, bahkan hingga KIP Urban V sudah 56 kampung yang
sukses diubah.43

Berbagai fasilitas-fasilitas penunjang pemenuhan kebutuhan dasar hidup
bagi warga urban di kampung-kampung di Kota Semarang telah diklaim
pemerintah kota mampu mengubah wajah kota. Lingkungan kumuh berkurang dan
fasilitas kesehatan seperti MCK, serta sudah tersedianya jaringan air bersih menjadi
penanda kesuksesan yang dicapai pemerintah dari sudut pandang pembangunan
fisik kampung yang komplit.44 Pembangunan non fisik dan perbaikan kualitas hidup
warga dengan keterampilan dan dorongan semangat berwiraswasta belum tampak
signifikan. Pemerintah dalam proyek KIP hanya berfokus pada pembangunan fisik
sesuai dengan petunjuk dari tim konsultan perencanaan perbaikan perkampungan
yang diusulkan Ditjen Cipta Karya DPU dan Bank Dunia. Prosentase keberhasilan
KIP untuk pembangunan fisik mencapai angka 90 persen, sementara untuk
pengembangan di bidang non fisik dan pemberdayaan masyarakat masih belum
sempurna, namun setidaknya mendekati pencapaian pembangunan fisik. Hal ini
diungkapkan jurnalis senior Suara Merdeka, Hartono Samidjan yang menyatakan

43“56 Kampung Diperbaiki Lewat Program KIP”, Suara Merdeka, 13 April
1988, hlm. 7.

44“Proyek KIP Urban V Direncanakan Selesai Tahun ini”, Suara Merdeka, 6
Februari 1987, hlm. 7.

123
bahwa KIP bukan sekadar proyek halah pokokmen dadi atau dalam bahasa
Indonesia diartikan yang penting jadi, namun mampu memberi manfaat yang sangat
baik bagi masyarakat Kota Semarang.45

Gambar 4.19. Pembangunan Jembatan dan Gorong-gorong di Daerah Trimulyo,
Kecamatan Genuk melalui Proyek KIP (Sumber: Suara Merdeka, 23 Juli 1981).

Gambar 4.20. Peresmian Jembatan dan Gorong-gorong Hasil Proyek KIP
(Sumber: Suara Merdeka, 30 Juli 1983).

45Wawancara dengan Hartono Samidjan pada 17 April 2020. Hartono
merupakan jurnalis di Harian Suara Merdeka. Baca juga Hartono Samidjan, Halah
Pokokmen: Kupas Tuntas Dialek Semarangan (Semarang: Mimbar, 2013), hlm. 28-
42.

124

Berdasar uraian-uraian tersebut maka dapat ditarik sebuah simpulan dalam
bab ini bahwa pelaksanaan KIP di Kota Semarang sejak 1978-1988 sukses
mengubah wajah Kota Semarang, sekaligus memberi pengaruh sosial yang positif
terhadap kehidupan warga di beberapa perkampungan kumuh. Kampung yang
semula kumuh kemudian sukses ditata, dan berubah menjadi kampung layak huni
dengan kondisi jalan yang sudah rata, tidak becek, bebas banjir, gorong-gorong
lancar saat musim penghujan, warga mendapat ruang publik yang mereka
dambakan, serta yang paling penting perilaku patologi sosial berkurang sejalan
dengan perbaikan kampung. Bila melihat secara seksama wilayah yang dominan
dilakukan program KIP adalah wilayah Kota Semarang bagian bawah. Pilihan
tempat ini terlihat jelas pada KIP Urban III dan V. Pemerintah tampaknya sengaja
menyasar wilayah tersebut dikarenakan padatnya penduduk dan rumah yang
berhimpitan tidak beraturan. Perbaikan kampung ini juga mampu mengembangkan
kegiatan sosial, bahkan memperkuat eksistensinya seperti PKK dan Posyandu yang
semakin memiliki peran yang kuat dalam masyarakat, meskipun pemerintah sudah
menggagasnya sejak sebelum KIP dilaksanakan.

BAB V
SIMPULAN

Berdasarkan uraian dan bahasan dari bab-bab dalam tesis ini dan mengacu pada
pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dirumuskan dalam bab I akhirnya dapat
ditarik simpulan sebagai berikut.

Pertama, program Perbaikan Kampung atau Kampung Improvement Program
(KIP) merupakan program pemerintah untuk memperbaiki kondisi lingkungan
perumahan di dalam kota yang kumuh dan tidak sehat. Dengan melaksanakan KIP
ini, diharapkan kondisi rumah dan lingkungan kampung yang ditinggali oleh
sebagian besar warga perkotaan dapat berubah melalui pembangunan berbagai
sarana prasarana fisik penunjang kebutuhan dasar hidup, seperti MCK, jaringan air
bersih, sanitasi, dan pengerasan jalan. KIP dilaksanakan di Kota Semarang dimulai
pada 1978 dan berakhir pada 1988 dalam dua tahapan besar yaitu KIP Urban III
dan KIP Urban V.

Kedua, KIP merupakan program secara konseptual sangat baik karena
ditujukan untuk memperbaiki kondisi kampung dan menciptakan lingkungan yang
sehat, bersih, serta layak huni. KIP berjalan sesuai dengan perencanaan,
pengawasan, dan pelaksanaan yang terukur dan ditujukan tepat sasaran pada
kampung-kampung kumuh di Kota Semarang bagian bawah. Namun demikian,
dalam pelaksanaannya KIP di Kota Semarang tidak terlepas dari beberapa kendala
sosial yang cukup membuat penataan kampung menjadi sedikit tersendat, seperti
protes akibat ketidakadilan pembangunan dan ketidakpuasan warga terhadap
pembagian sertifikat tanah. Lebih dari itu semua secara prosentase KIP di Kota
Semarang sukses mencapai pembangunan fisik perkampungan sesuai dengan yang
diharapkan.

Ketiga, KIP sebagai proyek yang bernilai besar dengan jumlah pinjaman
milyaran rupiah dari Bank Dunia mampu memberikan pengaruh sosial bagi
masyarakat yang tinggal di beberapa perkampungan kumuh di Kota Semarang. KIP
Kota Semarang mampu mendatangkan wajah baru bagi Kota Semarang dengan
penataan secara fisik kampung-kampung kumuh, penurunan patologi sosial

125

126

masyarakat, dan mengembangkan serta memperkuat kelompok-kelompok sosial,
seperti Posyandu dan PKK. Pemerintah Kota Semarang mengklaim keberhasilan
perubahan wajah kota dengan perbaikan di 56 kampung. Dengan demikian, KIP
yang dilaksanakan di Kota Semarang tidak hanya sekadar menjadi ungkapan khas
Semarangan Halah Pokokmen Dadi (Jawa: yang penting jadi), namun sukses
mengubah wajah Kota Semarang yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Artikel, Jurnal, Skripsi, Tesis, dan Disertasi

Abdullah, Hamid, dkk., Tingkat Kesadaran Sejarah Masyarakat Propinsi Jawa
Tengah: Kotamadya Semarang (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Purbakala,
1987).

Abdullah, Taufik, “Pendahuluan: Sejarah dan Historiografi”, dalam Taufik
Abdullah dan Abdurrahman Suryomiharjo, (ed.), Ilmu Sejarah dan
Historiografi: Arah dan Perspektif (Jakarta: Gramedia, 1982).

_______________, dan Abdurrahman Suryomiharjo, (ed.), Ilmu Sejarah dan
Historiografi: Arah dan Perspektif (Jakarta: Gramedia, 1982).

Amalia, Rizky, “Kampong Verbetering dan Perubahan Sosial Masyarakat
Gemeente Semarang Tahun 1906-1942” (Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2016).

Aminudin, “Fungsi Pengawasan DPRD dalam Mewujudkan Tata Kelola
Pemerintahan yang Baik”, Jurnal Katalogis, Volume 3, Nomor 12,
Desember 2015 (Palu: Program Pascasarjana Universitas Tadulako).

Arif, Muhamad, Pengantar Kajian Sejarah (Bandung: Yrama Widya, 2011).

Astuti, Retno, “Efisiensi Penggunaan Air Tanaman Padi dengan Irigasi Kontinyu
dan Berselang di Kecamatan Mijen, Semarang” (Skripsi Departemen
Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor, 2011).

Blackburn, Susan, Jakarta: Sejarah 400 Tahun, terjemahan Gatot Triwira (Depok:
Masup Jakarta, 2011).

Budi, Bayu Setya, “Yayasan-yayasan Sosial Tionghoa di Gang Lombok Semarang,
1980-1992” (Skripsi Prodi Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada, 2017).

Cholifah, Umi, “Eksistensi Grup Musik Kasidah “Nasida Ria” Semarang dalam
Menghadapi Modernisasi”, Jurnal Komunitas, Volume 3 Nomor 2, 2011
(Semarang: Departemen Sosiologi dan Antropologi Universitas Negeri
Semarang).

Cobban, James L., “Kampungs and Conflict in Colonial Semarang”, Journal of
Southeast Asian Studies, Volume XIX, Nomor 2, September (Singapura:
Department of History National University of Singapore, 1988).

127


Click to View FlipBook Version