30
kota yang menerima dana KIP.16 Pemerintah Kota Semarang pun pada
pelaksanaannya kemudian melakukan pengawasan agar KIP tepat sasaran dan tidak
terjadi penyelewengan. KIP di Semarang juga dapat berjalan dengan baik karena
partisipasi aktif dari masyarakat untuk menyadari pentingnya perbaikan kampung
bagi kehidupannya, meskipun harus disadari bahwa pelaksanaan KIP tidak terlepas
dari kendala yang terjadi di lapangan.
B. Kondisi Demografis
Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah yang dioptimalkan menjadi kota
berbasis perdagangan dan jasa. Hal itu tentunya turut berpengaruh pada komposisi
penduduk. Semarang menjadi wilayah yang heterogen dengan penduduk yang terdiri
dari berbagai macam suku bangsa seperti Jawa, Sunda, Batak, Minang, Nias, Ambon,
Minahasa, warga keturunan Tionghoa, Arab dan lain sebagainya. Mereka datang dan
menyebar di berbagai wilayah dengan tujuan masing-masing, baik itu mencari nafkah
atau pun menempuh pendidikan. Pengoptimalan sarana dan prasarana kemudian
dilakukan lewat penataan dan pembangunan untuk menciptakan kesejahteraan
masyarakat. Penataan dan pembangunan itu tentunya turut berpengaruh pada aspek-
aspek seperti ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan yang juga turut mengalami
perubahan.
1. Kondisi Sosial Ekonomi
Pada era PELITA II (1974-1979), pemerintah pusat memfokuskan sasarannya pada
ketahanan pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, kesejahteraan
rohani, peningkatan kesejahteraaan rakyat, dan memperluas lapangan kerja.
Kemudian memasuki PELITA III dan PELITA IV (1979-1989), Orde Baru
mendefinisikan kebijakannya lewat konsep Trilogi Pembangunan. Tujuannya adalah
menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD
16Dana KIP dikucurkan langsung oleh pemerintah pusat. Setiap wilayah yang
menerima KIP wajib mengembalikannya kepada Bank Dunia dengan jangka waktu
20 tahun dan bunga 9% per tahun, Tutik Rachmawati, Studi Evaluasi Dampak
Program Perbaikan Kampung (Bandung: Universitas Parahyangan Press, 2007), hlm.
31.
31
1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang
yang menitik beratkan pada swasembada pangan.17
Pengelolaan lahan pertanian sendiri lebih banyak terlihat di wilayah Kecamatan
Tugu, Mijen, dan Genuk. Tanaman yang biasa dibudidayakan adalah padi, jagung,
ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, sayur-sayuran, buah-buahan, kacang hijau,
tanaman pangan lain, dan hasil-hasil produk ikutannya. Peternakan juga menjadi
bagian dari sektor ini dengan mengusahakan hewan ternak seperti sapi, kerbau, babi,
kuda, kambing, domba, ayam, bebek, telur, dan susu segar. Kemudian kehutanan dan
perikanan yang mencakup komoditi kayu gelondongan, kayu bakar, arang, bambu,
ikan tambak, kolam, sawah, dan karamba.18
Kehidupan ekonomi masyarakat di wilayah perkotaan umumnya bergerak pada
sektor perdagangan dan jasa. Pada periode akhir 1970 hingga 1980-an, pertumbuhan
kawasan perdagangan menyebar di beberapa titik yaitu Pasar Johar, Pasar Peterongan,
Pasar Bulu, Pasar Dargo, Pasar Langgar, dan Pasar Karangayu. Sebagian warga yang
tinggal di kampung-kampung sekitarnya kemudian menggantungkan mata
pencahariannya di pasar-pasar itu. Sebagai contoh, warga kampung Kauman.
Permukiman Kauman sejak dahulu dikenal sebagai wilayah yang dihuni oleh warga
keturunan Arab yang berpegang teguh pada “indogami” kampung.19 Dalam
perwujudan pergaulan sosialnya, mereka diikat dengan budaya Islam dan pertalian
darah yang begitu kuat. Namun demikian, perkembangan Pasar Johar dari masa ke
masa mengharuskan warga setempat berinteraksi dengan berbagai macam ras dan
17Gunawan Sumodiningrat, "Potensi Pertanian Pedesaan dan Swasembada
Pangan", Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Volume 2 Nomor 1, 1987
(Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada), hlm. 3-5.
18Retno Astuti, "Efisiensi Penggunaan Air Tanaman Padi dengan Irigasi
Kontinyu dan Berselang di Kecamatan Mijen, Semarang" (Skripsi pada Departemen
Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut
Pertanian Bogor, 2011), hlm. 53-54.
19Indogami kampung adalah praktik perkawinan dengan orang dari kampung
sendiri dan tidak mencari jodoh dari luar kampung tempatnya. Dengan indogami
kampung tersebut, masyarakat Kauman menjadi masyarakat yang terjalin dengan
hubungan pertalian darah sehingga hirarki jabatan maupun tingkat kekayaan di
masyarakat Kauman tidak menyebabkan terjadinya perbedaan yang mencolok, Adaby
Darban, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah
(Yogyakarta: Tarawang, 2000), hlm. 18.
32
suku bangsa. Mau tidak mau mereka yang sama-sama berdagang dengan warga
lainnya kemudian membangun hubungan kekeluargaan dan hidup berdampingan.
Sebagian masyarakat Kauman pun kemudian membina perkawinan dengan warga
kampung lain di luar Kauman. Pada kondisi ini tentunya dinamika kehidupan sosial
ekonomi yang muncul karena keberadaan Pasar Johar memiliki peran yang begitu
besar terhadap pola kehidupan masyarakat di wilayah ini.20
Pembangunan juga dilakukan di sektor perhubungan darat untuk mendukung
peningkatan perekonomian. Hal itu dapat dilihat dari berkembangnya tempat-tempat
penunjang transportasi pada dasawarsa 1980, seperti pengembangan dan penentuan
fungsi dari Terminal Terboyo yang digunakan untuk perhentian trayek bis antarkota
dan antarprovinsi. Di dekat pasar atau pusat-pusat perdagangan, pemerintah
membangun terminal angkutan kota dengan berbagai jurusan sebagai pendukung
transportasi masyarakat dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Jalur kereta api
dikembangkan pada dua titik yakni berada di Stasiun Tawang dan Poncol. Selain itu,
terdapat transportasi pendukung lainnya seperti ojek pangkalan, taksi, serta
transportasi tradisional seperti andong, bendi, dan becak.21 Dari keberadaan tempat-
tempat tersebut, sudah pasti terdapat warga kampung di sekitarnya yang
menggantungkan mata pencahariannya dengan menjadi sopir, kernet, masinis,
pengemudi ojek, penarik andong, bendi, dan becak.
Bandara Ahmad Yani yang berlokasi di Kalibanteng berfungsi sebagai satu-
satunya tempat yang mendukung transportasi udara pada masa itu. Nama Kalibanteng
sendiri muncul karena dulu daerah tersebut menjadi benteng pertahanan Belanda pada
era sebelum kemerdekaan Indonesia. Bekas benteng tersebut berubah menjadi tanah
lapang yang digunakan untuk pacuan kuda dan arena balap motor. Lantas dipakai
sebagai landasan pesawat terbang pertama kali di Semarang. Pada radius terdekat
dengan bandara tidak terdapat kampung dan pemukiman penduduk, hanya terdapat
pangkalan udara milik TNI Angkatan Darat karena status bandara ini adalah bandar
20Desimo Egasanti, “Sejarah Kampung Kauman Semarang: Menguak Sisi
Sosial dan Ekonomi”, Journal of Indonesian History, Volume 3 Nomor 1, 2014
(Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang), hlm. 7-8.
21Hamid Abdullah, dkk., “Tingkat Kesadaran Sejarah”, hlm. 14.
33
udara milik bersama yang dikelola oleh pemerintah dengan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI).22
2. Kondisi Sosial Budaya
Pengembangan perangkat nilai budaya, norma sosial, ketrampilan dan keahlian kerja
dengan sikap mental yang mendukungnya tercermin pada tingkat pendidikan dan seni
tradisi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, pembahasan
tentang aspek pendidikan dan seni tradisi adalah hal yang sangat penting untuk
diketahui. Mengingat perkembangan sosial budaya di tengah-tengah masyarakat tidak
bisa dilepaskan dari hal-hal tersebut.
Upaya menciptakan kualitas sumber daya manusia, pendidikan merupakan
faktor penentu dan memiliki dampak pada pertumbuhan pembangunan. Salah satu
cara penting untuk meningkatkan pendidikan bagi seluruh masyarakat adalah
pembangunan pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia. Orde Baru menerapkan hal ini dengan pembangunan prasarana dan berbagai
inovasi-inovasi pendidikan untuk mencapai sasaran pendidikan yang diinginkan.
Di Semarang, mulai dari tingkat kota, kecamatan, hingga ke desa-desa, gedung-
gedung sekolah terus dibangun. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk
memperluas dan meningkatkan kesempatan belajar melalui penyediaan sarana dan
prasarana pendidikan, serta meningkatkan mutu pendidikan baik formal maupun
nonformal. Baik itu pada tingkat pendidikan sampai ke tingkat pendidikan tinggi, dari
sekolah negeri hingga swasta. Adapun prasarana tersebut dibangun dari mulai tingkat
dasar hingga perguruan tinggi yang jumlahnya dapat dilihat pada tabel 2.1 sebagai
berikut.
22Yulianto Babel, “Ingin Tahu Sejarah Nama Kalibanteng? Ini Kata Sejarawan”
(https://halosemarang.id/ingin-tahu-sejarah-nama-kalibanteng-ini-kata-sejarawan,
diakses pada 17 April 2020).
34
Tabel 2.1. Jumlah Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah
Atas, dan Perguruan Tinggi Tahun 1988
Sumber: Semarang dalam Angka, Tahun 1988 (diolah)
(Badan Statistik Kota Semarang)
Berdasar pada tabel tersebut, dapat diketahui bahwa ketersediaan sekolah mulai
dari tingkat dasar hingga tingkat perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh
pemerintah tentunya menjadikan Kota Semarang sebagai tempat tujuan bagi orang-
orang dari luar daerah untuk menempuh pendidikan di kota ini. Terutama di tingkat
perguruan tinggi. Dengan kondisi Kota Semarang yang memiliki 29 perguruan tinggi,
baik itu negeri maupun swasta mengakibatkan kampung-kampung disekitarnya dihuni
oleh pendatang dari berbagai macam daerah, ras, dan suku bangsa. Mereka biasanya
tinggal di rumah-rumah kos hingga pendidikan yang ditempuhnya terselesaikan.
Meskipun demikian, proses pendidikan pada masa ini berjalan dalam tekanan
pemerintahan yang otoritarian. Dalam praktiknya muatan materi pelajaran yang
disampaikan hanya bersifat teoretis dan tidak mengaitkan dengan permasalahan
faktual yang terjadi di lapangan.23
Wajah sebuah kota bisa dilihat dari seni tradisi yang ada di kota tersebut. Banyak
seni tradisi yang muncul dari kampung-kampung yang ada di Semarang. Tentunya hal
23Implementasi pendidikan memuat unsur dominatif dan submisif. Unsur-unsur
yang terkandung di dalam proses belajar mengajar tidak boleh lepas dari koridor yang
telah ditetapkan oleh pemerintah, As’ad Muzammil, “Kebijakan Pemerintah Dalam
Bidang Pendidikan dari Orde Lama Sampai Orde Baru (Suatu Tinjauan Historis)”,
Jurnal Potensia, Volume 2 Nomor 2, Desember 2016 (Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Kasim Riau), hlm. 192.
35
ini tidak terlepas dari alam imajinasi, kreatifitas, daya pikir, dan kemajemukan etnis
yang memunculkan kekhasan budaya lokal. Berbagai usaha pelestarian pun kemudian
dilakukan, salah satunya dengan rutin menyelenggarakan seni tradisi untuk merawat
kearifan lokal yang telah berlangsung turun menurun. Pertama, adapun seni tradisi
yang ada di Semarang sebagai contoh adalah Musik Gambus atau “Gambusan” yang
dikembangkan oleh imigran Arab dari Hadramaut (Republik Yaman) di di Kampung
Kauman.
Orang-orang keturunan Arab di Kauman melestarikannya dan dijadikan sebagai
sarana dakwah agama Islam. Musik Gambus juga dipergelarkan di acara-acara
pernikahan yang terjadi antara orang keturunan Arab. Seni pertunjukan ini kemudian
berkembang menjadi "Barzanji", "Zapin Pesisiran", dan "Simtuduror" dengan
penggunaan alat musik rebana dan pendukung lainnya.24 Gambusan kemudian
bertransformasi menjadi Kasidah yang dimainkan oleh grup-grup musik dengan
menggunakan lirik lagu berisikan puji-pujian terhadap Rasulullah SAW, nasihat bijak,
dan ajakan untuk berbuat kebaikan.
Kampung Kauman Mustaram Nomor 58, menjadi tonggak dari berdirinya grup
kasidah yang dikelola secara profesional untuk pertama kali. Pada 1975, berkat tangan
dingin H. Muhammad Zain, grup kasidah bernama Nasida Ria terbentuk. Mulanya,
mereka melakukan pementasan musik di kampung-kampung atas dasar permintaan
dari seseorang yang sedang melaksanakan hajatan. Namun ketika memasuki dekade
1980-an, grup musik ini mulai tampil di acara televisi. Televisi Republik Indonesia
(TVRI) yang menjadi satu-satunya stasiun televisi pada masa itu, kerap mengundang
Nasida Ria untuk tampil di acara yang bernuansa keagamaan. Grup ini berisikan
sembilan orang dengan jilbab sebagai ciri khasnya. Tahun demi tahun, nama Nasida
Ria terus meroket, hingga pada 1989 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat di
Jakarta memberikan Penghargaan Pengemban Budaya Islam.25 Kesenian musik
24M. Mukhsin Jamil, dkk., “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lunturnya
Kesenian Tradisional Semarang (Studi Eksplorasi Kesenian Tradisional Semarang)”,
Jurnal Riptek, Volume 4 Nomor 2, 2011 (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kota Semarang), hlm. 44.
25Umi Cholifah, “Eksistensi Grup Musik Kasidah “Nasida Ria” Semarang
dalam Menghadapi Modernisasi”, Jurnal Komunitas, Volume 3 Nomor 2, 2011
36
gambus bisa dibilang sebagai cikal bakal dari musik dangdut yang sekarang telah
menjadi konsumsi pencinta musik, tidak hanya di level menengah dan bawah, tapi
sudah merasuki kalangan level atas. Hal ini dikarenakan kemiripan irama yang sama-
sama bernuansa padang pasir. Bahkan pada perjalanannya, Rhoma Irama mampu
menjadikan mensinergikan musik dangdut dengan nuansa Islami.26
Kedua, tradisi Tuk Panjang yang merupakan perjamuan dengan berbagai
macam makanan dan minuman yang diberikan warga kampung Pecinan kepada
masyarakat di luar Pecinan di atas meja panjang. Setiap tahunnya warga keturunan
Tionghoa di kampung Pecinan Kota Semarang menggelar tradisi perjamuan ini pada
saat merayakan hari raya Imlek. Tradisi ini menjadi pembuka sebelum kesenian
Tionghoa lain seperti Barongsai, Wayang Potehi, dan Liang Liong mulai dipentaskan.
Warga pribumi selalu memadati Pecinan untuk menyaksikan hiburan dan berperan
serta dalam kegiatan pasar murah.27
Perayaan Imlek yang berlangsung meriah, tidak terlepas dari jumlah warga
Tionghoa yang menetap di Kota Semarang. Pada pertengahan 1984, jumlah
keseluruhan orang Tionghoa yang menetap di Semarang mencapai 11.175 jiwa. Di
Kecamatan Semarang Tengah sendiri, setidaknya terdapat 5.634 orang yang menetap
di kawasan Pecinan.28 Pembauran antara orang Tionghoa dan warga pribumi di
Semarang memang sudah terjadi sejak ratusan tahun lamanya. Ada pula karena
pembauran ini kemudian dikenal dengan istilah Tionghoa peranakan (“Kio Seng”),
yakni hasil keturunan dari pernikahan orang Tionghoa dengan pribumi.29
(Semarang: Departemen Sosiologi dan Antropologi Universitas Negeri Semarang),
hlm. 133-134.
26Aulia Aprilliana, “Bagaimana perkembangan musik gambus di Indonesia?”
(https://www.dictio.id/t/bagaimana-perkembangan-musik-gambus-di-
indonesia/27360, diakses pada 16 April 2020).
27Bayu Setya Budi, “Yayasan-yayasan Sosial Tionghoa di Gang Lombok
Semarang, 1980-1992” (Skripsi pada Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Gadjah
Mada, 2017), hlm. 29.
28Tim Penyusun, Semarang dalam Angka Tahun 1984 (Semarang: Badan Pusat
Statistik, 1985), hlm. 45.
29Jongkie Tio, Kota Semarang dalam Kenangan (Semarang: Sinar Indonesia,
tanpa tahun terbit), hlm. 19.
37
Prosesi Tuk Panjang diawali dengan menyantap makanan pembuka berupa sup
kedelai (edamame)30 dan kue keranjang kukus santan. Dilanjutkan dengan makanan
utama yakni sup lobak, nasi hainan, dan ayam panggang. Terakhir sebagai hidangan
penutup, biasanya disajikan es krim atau coklat. Beragam menu Tuk Panjang yang
dihidangkan tersebut rupanya diyakini dapat membawa kebaikan, keberkahan,
keberuntungan serta mempererat kerukunan.31 Keberadaan tradisi seperti Tuk Panjang
ini adalah bukti dari besarnya nilai toleransi dalam masyarakat multikultural yang ada
di Kota Semarang. Mereka mampu hidup berdampingan dan saling memberikan
perhatian dengan wujud makan bersama meski mereka berbeda etnis, ras, dan agama.
Ketiga, acara adat Sesaji Rewanda yang rutin dilaksanakan oleh warga kampung
Talun Kacang Kecamatan Gunung Pati tiap tanggal 3 bulan Syawal. Ritual sesaji
Rewanda diperkirakan telah dilakukan oleh warga kampung Talun Kacang sejak
tahun 1450. Rangkaian acara ritual erat kaitannya dengan cerita mitos dan kisah
perjalanan Sunan Kalijaga yang melatarbelakangi sejarah berdirinya masjid Agung
Demak. Gua Kreo dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat petilasan dan meditasi
Sunan Kalijaga untuk memohon petunjuk dalam upayanya mengambil pohon jati yang
akan dijadikan saka atau tiang dari masjid Agung Demak.32
Prosesi ini biasanya selalu diawali dengan karnaval (arak-arakan) yang dimulai
dari halaman Masjid Al-Mabrur menuju ke Gua Kreo. Setelah sampai di halaman Gua
Kreo, diadakan penyerahan tumpeng sesaji yang dilaksanakan oleh juru kunci kepada
Rewanda. Sesaji diberikan kepada mereka yang masih hidup maupun yang sudah mati
(leluhur/roh). Warga kemudian beramai-ramai naik ke puncak bukit untuk melakukan
tahlil bersama memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar masyarakat Talun
30Semua edamame itu termasuk ke dalam jenis kedelai. Edamame dipanen saat
kedelai masih muda dan hijau. Dikonsumsi sebagai camilan karena rasa manis dan
teksturnya yang tidak terlalu renyah, Yomi Hanna, “Apakah Perbedaan Edamame dan
Kacang Kedelai?” (https://bobo.grid.id/read/08679380/apakah-perbedaan-edamame-
dan-kacang-kedelai?page=all, diakses pada 16 April 2020).
31Riska Farasonalia, “Tuk Panjang, Tradisi Berbagi saat Imlek di Kota
Semarang” (https://semarang.kompas.com, diakses pada 16 April 2020).
32Yunik Ekowati, “Mitos dalam Pertunjukan Tari Wanara Parisuka dalam Ritual
Sesaji Rewanda di Goa Kreo Semarang”, Jurnal Imaji, Volume 17 Nomor 1, April
2019 (Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta), hlm. 3.
38
Kacang, para karyawan, dan para pengunjung Gua Kreo diberkahi keselamatan,
panjang umur, serta rejeki yang halal.33 Cerita mitos pada ritual sesaji rewanda yang
mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat Talun Kacang ini menjadi bukti bahwa
realitas budaya yang dimunculkan bukan hanya sekedar cerita atau dongeng belaka.
Hal tersebut mampu memberikan pedoman dan arah tertentu bagi sebagaian
masyarakat, terutama cerita-cerita yang berkaitan dengan tokoh-tokoh yang dianggap
suci.34 Ritual juga menjadi wujud dari rasa syukur kepada alam dan seluruh makhluk
yang mendiami areal Gua Kreo. Rasa syukur itu dapat dilihat dari sesaji gunungan
berisikan buah-buahan yang sengaja diberikan kepada monyet-monyet penghuni
kawasan Gua Kreo.\
Ketiga bentuk seni tradisi yang dijelaskan tersebut merupakan sebagian dari seni
tradisi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Kota Semarang. Masih banyak
lagi seni tradisi lain seperti Dhugderan, Manten Kaji, Gambang Semarang, Wayang
Wong Ngesti Pandowo, dan lain sebagainya. Seni budaya dan ritual yang muncul dari
kampung-kampung tentunya mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi Kota
Semarang. Eksistensi seni tradisi itu tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak ada
peran serta dari warga Semarang untuk melestarikannnya.
Dalam konteks administrasi sipil keagamaan di Kota Semarang, pemerintah
mengafiliasikan keberagamaan masyarakat ke dalam lima agama yakni Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, dan Buddha. Pada kurun waktu 1978-1988, Konghucu
belum diakui menjadi salah satu agama resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia.
Hal ini bukan tanpa dasar. Soeharto lewat Intruksi Presiden (Inpres) No 14/1967
tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina, segala bentuk peribadatan
Khonghucu dilarang oleh pemerintah.35 Namun demikian, Dalam hal toleransi
beragama, umumnya masyarakat Semarang menunjukkan sikap toleransi yang sangat
tinggi. Terbukti bahwa adat istiadat dan prosesi kepercayaan yang berbau dengan Cina
33Winarto Herusansono, “Sesaji Rewanda, Menjaga Keseimbangan Alam di
Goa Kreo” (https://travel.kompas.com, diakses pada 17 April 2020).
34Mircea Eliade, Mitos Gerak Kembali yang Abadi, Kosmos dan Sejarah
(Yogyakarta: Ikon Teralentera, 2002), hlm. 95.
35Sulaiman, “Agama Khonghucu: Sejarah, Ajaran, dan Keorganisasiannya”,
Jurnal Analisa, Volume XVI Nomor 1, Januari-Juni 2009 (Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama Semarang), hlm. 51.
39
masih bisa terselenggara dengan baik di Semarang. Di Semarang, agama Islam
menjadi agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakatnya. Lebih jelas tentang
ketersediaan tempat ibadah bagi pemeluk agama di Kota Semarang, dapat terlihat dari
tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 2.2. Banyaknya Tempat Ibadah di Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang
No Kecamatan Masjid Langgar/Surau Gereja Kuil/lainnya
-
1. Tugu 25 117 1 1
1
2. Mijen 35 108 9 3
2
3. Gunungpati 44 156 1 13
12
4. Smg. Selatan 74 134 25 8
-
5. Smg. Timur 51 126 31 46
6. Smg. Tengah 11 44 7
7. Smg. Barat 66 117 39
8. Smg. Utara 38 97 27
9. Genuk 32 229 1
Jumlah 376 1.128 141
Sumber: Semarang dalam Angka Tahun 1986
(Badan Pusat Statistik Kota Semarang)
Berdasar pada jumlah yang tertera pada tabel tersebut, agama Islam sebagai
agama yang mayoritas dipeluk oleh warga Semarang memiliki jumlah tempat ibadah
yang paling banyak dan tersebar di seluruh wilayah kecamatan. Diikuti dengan gereja
dengan jumlah terbanyak terdapat di Kecamatan Semarang Barat. Di akhir 1987,
jumlah sarana tempat ibadah mengalami peningkatan. Total masjid di seluruh wilayah
Semarang mencapai 431 buah; Langgar/Surau 1.152 buah; Gereja 146 buah; namun,
Kuil/lainnya mengalami penurunan menjadi 43 buah. Memasuki akhir 1988, data
menunjukkan bahwa jumlah masjid di Semarang bertambah menjadi 445 buah.
Langgar/Surau menjadi 1.160 buah dan Gereja menjadi 153 buah. Sedangkan
Kuil/lainnya kembali mengalami penurunan dari sebelumnya 43 buah menjadi 41
buah.36
Selain tokoh masyarakat, tokoh agama tentunya berperan besar dalam
suksesnya proyek perbaikan kampung yang dijalankan oleh pemerintah. Sebagai
contoh dalam hal ini adalah di kampung Petek. Wilayah ini sejak dahulu dikenal
36Tim Penyusun, Semarang dalam Angka Tahun 1988 (Semarang: Badan Pusat
Statistik, 1989), hlm. 154.
40
sebagai tempat yang rawan terhadap terjangan banjir dan rob. Rumah-rumah saling
berhimpitan dan memiliki jumlah penduduk yang padat. Angka kekerasan dan
kriminalitas pun tergolong cukup tinggi. Namun demikian, ada hal yang unik yang
terlihat pada wilayah ini. Umumnya masyarakat yang hidup di Petek sangat
menghormati dan mentaati petunjuk dari alim ulama yang juga bermukim di wilayah
itu. Seperti halnya tokoh agama yang bernama Habib Zen Al-Jufri. Ia merupakan
sosok yang berkharisma dan penuh wibawa. Sekeras apapun karakter seseorang yang
hidup di Petek, akan selalu tunduk dan menjalankan perintah yang di ucapkan oleh
Habib Zen. Agar proyek-proyek yang direncanakan berjalan dengan baik di Kampung
Petek dan sekitarnya, Pemerintah Kota Semarang sering meminta petunjuk dari Habib
Zen ini. Mengingat rumah tokoh habib ini juga kerap dijadikan persinggahan para
habib lainnya dari luar Semarang apabila sedang berkunjung di sekitaran wilayah
Jawa Tengah.37
Dengan demikian, berdasar pada uraian-uraian di atas maka konsep pertama
yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat tentang kondisi sosial ekonomi dan lingkup
aktivitasnya terbukti. Begitu pula dengan seni tradisi yang berkembang di Semarang
pada kurun waktu ini mampu menembus ke berbagai tingkat kehidupan. Kelancaran
proyek yang dijalankan di tengah-tengah masyarakat pun tidak bisa terlepas dari
keberadaan tokoh masyarakat dan agama. Keberadaan mereka ini sangat penting
karena mampu memobilisasi massa sebab ucapannya selalu dilaksanakan oleh para
pengikutnya.
C. Kondisi Semarang karena Arus Urbanisasi
Kota Semarang sebagai ibukota provinsi Jawa Tengah memfokuskan
pembangunannya dengan mengembangkan prasarana untuk menunjang kegiatan
sosial dan ekonomi. Kawasan perindustrian, pemerintahan, transportasi, perikanan,
dan perumahan dibangun serta ditata sedemikian rupa dengan tujuan untuk
memperbaiki taraf hidup masyarakatnya. Kondisi pembangunan yang terus berjalan
menarik minat penduduk dari luar Semarang untuk mengadu nasibnya. Kepadatan
37Dedy Susanto, “Pola Strategi Dakwah Komunitas Habaib di Kampung Melayu
Semarang”, Jurnal Pemikiran Agama untuk Pemberdayaan, Volume 14 Nomor 1,
2014 (LP2M UIN Walisongo Semarang), hlm. 182-183.
41
penduduk pun tidak dapat dihindari dan jumlahnya terus bertambah dari tahun ke
tahun. Kota Semarang bermetamorfosis menjadi pusat dari segala bidang kehidupan
dan warga di luar yang mengadu nasibnya itu lalu menetap di kampung-kampung
yang terletak di dekat pusat ekonomi maupun industri.
Pusat Kota, yaitu kawasan Johar dan sekitarnya, merupakan daerah awal
pertumbuhan sehingga disebut Kota Lama. Kawasan ini diperuntukkan bagi
perdagangan, perkantoran niaga dan jasa komersial. Kawasan pusat-pusat baru,
merupakan pengembangan dari inti pusat kota seperti kawasan Tugu Muda, Simpang
Lima, dan jalur-jalur pergerakan utama seperti Jalan M.T. Haryono, Jalan Pandanaran,
serta Jalan Ahmad Yani. Selain itu ada kawasan pemekaran, yaitu daerah
pengembangan kota seperti kawasan Kecamatan Semarang Timur, Semarang Selatan,
Genuk, dan Semarang Barat yang diproyeksikan sebagai kawasan industri, kampus,
dan pemukiman terencana.38 Hingga akhir tahun 1986 terdapat sembilan kecamatan
yang mencakup 177 desa dengan kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan
Semarang Barat. Adapun nama-nama kecamatan di Kota Semarang dan kepadatan
penduduknya dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut ini.
Tabel 2.3. Kecamatan di Semarang dan Jumlah Penduduknya Tahun 1986
No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Tugu 23.962 23.471 47.433
2 Mijen 17.755 17.572 35.327
3 Gunungpati 19.646 19.479 39.125
4 Semarang Selatan 99.496 101.156 200.652
5 Semarang Timur 101.978 104.073 206.051
6 Semarang Tengah 34.348 36.987 71.335
7 Semarang Barat 124.741 125.338 250.079
8 Semarang Utara 77.855 84.386 162.241
9 Genuk 47.032 48.361 95.393
Total 1.107.636
Sumber: Semarang dalam Angka, Tahun 1986, hlm. 55.
(Badan Pusat Statistik Kota Semarang)
38Dedy Rudyanto, "Shopping Mall di Semarang: Landasan Konseptual
Perancangan” (Skripsi pada Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Islam Indonesia,
1994), hlm. 46-47.
42
Dari data pada tabel 2.3 terlihat bahwa Kecamatan Semarang Barat merupakan
kecamatan dengan jumah penduduk terbanyak. Tingginya jumlah penduduk di
kawasan tersebut tentu bukan tanpa alasan. Semarang Barat diproyeksikan sebagai
kawasan industri yang pembangunannya dimulai pada tahun 1970-1980an. Semarang
Barat menjadi magnet bagi orang-orang untuk bekerja di pabrik-pabrik yang berdiri
di kawasan itu. Mereka yang bekerja di pabrik kemudian menetap dan menjadi bagian
dari warga Semarang Barat. Dua tahun berselang, jumlah penduduk Semarang pada
1988 mengalami lonjakan hingga 1.119.036 jiwa. Laju pertumbuhannya rata-rata
mencapai 4,35% dengan kecenderungan perkembangan berbeda, yaitu kenaikan di
daerah pemekaran dan penurunan di sekitar pusat kota.39
Tekanan urbanisasi yang berdampak pada peningkatan jumlah penduduk
menjadi penyebab munculnya permukiman dengan tatanan yang serba tidak teratur.
Permukiman seperti di wilayah Semarang Barat seperti Krobokan, Gisikdrono, dan
Tawang tumbuh dengan pesat dan tidak terkendali sehingga menjadi tempat yang
kumuh dengan penduduk yang rata-rata berpendidikan dan berpenghasilan rendah.
Belum lagi pendatang yang menetap di kampung-kampung lain yang dekat dengan
pesisir seperti di Kecamatan Semarang Utara dan di pusat kota seperti Kecamatan
Semarang Tengah, Selatan, dan Timur. Semuanya memunculkan berbagai problem
sosial dikemudian hari, baik itu pengangguran, kriminalitas, pelacuran, dan
permukiman kumuh. Urgensi dari arus urbanisasi pun juga timbul dari permasalahan
pemerataan ekonomi yang ada di desa-desa. Banyak diantaranya kemudian mencoba
peruntungan hidupnya dengan bekerja di kota.40 Namun demikian, para perantauan
itu tidak semuanya berhasil mengadu nasibnya di perkotaan. Mereka kemudian hanya
mampu tinggal di rumah-rumah yang dibangun seadanya, sanitasi yang tidak bagus,
dan rentan terhadap penyakit.
Berbagai studi tentang urbanisasi menemukan adanya hubungan antara
kemajuan tingkat ekonomi dan tingkat urbanisasi. Semakin maju tingkat
39Tim Penyusun, Semarang dalam Angka 1988 (Semarang: Badan Pusat
Statistik, 1989), hlm. 73.
40Tjuk Kuswartojo, Perumahan dan Pemukiman di Indonesia (Bandung:
Penerbit ITB, 2005), hlm. 98.
43
perekonomian suatu daerah, semakin tinggi pula tingkat urbanisasinya. Dengan
demikian, bisa dikatakan urbanisasi adalah gejala alamiah sejalan dengan
perkembangan ekonomi dan tingkat kesejahteraan penduduk di suatu daerah, adanya
konsentrasi penduduk yang tinggi atau berlebihan di suatu wilayah dapat
menimbulkan aglomerasi atau primacy penduduk.41 Permukiman di perkotaan
menjadi semakin padat sehingga berdampak pada sulitnya mengontrol lingkungan dan
masyarakat yang ada di dalamnya.42
Kampung Improvement Program (Program Perbaikan Kampung) tentunya
menjadi upaya untuk mengatasi dampak dari urbanisasi yang terjadi di Kota Semarang
dan sebagai wujud tanggung jawab dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas
hidup masyarakatnya. Program KIP secara umum dilakukan dengan memberikan
fasilitas bantuan kepada masyarakat yang terdiri atas penyediaan air bersih, perbaikan
jalan, perbaikan selokan, dan bantuan jamban keluarga di kampung-kampung yang
padat penduduknya. Pelaksanaanya pun dilakukan dengan sistematik, cermat, dan
penuh kehati-hatian. Hal itu dilakukan karena dalam banyak hal kekhasan kampung
di Semarang terletak pada pola-pola fisik yang beragam, organik, dan seringkali
surprising sehingga program ini tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Setiap
kampung di Semarang adalah unik, karena tiap kampung merepresentasikan kekhasan
sejarah, kemampuan, usaha, perjuangan, dan jiwa merdeka dari warganya. Apabila
ada seribu kampung di satu kota, maka dapat dipastikan akan ada seribu ragam wajah
kampung dan jiwa yang berbeda. Kampung juga merupakan sistem sosial yang
kompleks dan dinamis karena dihuni oleh beragam warga dengan latar belakang
41Aglomerasi atau primacy penduduk adalah proporsi jumlah penduduk
perkotaan dengan jumlah penduduk di provinsinya. Aglomerasi atau Primacy
penduduk berpengaruh negatif karena memicu pertumbuhan tingkat kemiskinan dan
pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, Jamzani Sodik dan Dedi Iskandar,
“Aglomerasi dan Pertumbuhan Ekonomi: Peran Karakteristik Regional di Indonesia”,
Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, Volume 8, Nomor 2, Oktober 2007
(Yogyakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), hlm. 118.
42Prijono Tjiptoherijanto, Migrasi, Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia
(Jakarta: UI Press, 1999), hlm. 98.
44
agama, etnis, pendidikan, dan pekerjaan.43 Dengan demikian, pelaksanaan KIP sendiri
dilakukan dengan penuh kehati-hatian karena sedikit saja terjadi ketidakpuasan di
benak warga maka hal tersebut akan memicu terjadinya gejolak.
43Bakti Setiawan, “Reformasi Kampung Kota” (http://mgb.ugm.ac.id, diakses
pada 15 April 2020).
45
BAB III
PROGRAM KIP DI KOTA SEMARANG
Bab ini memuat narasi mengenai pelaksanaan, pengawasan, dan partisipasi
masyarakat Semarang saat pelaksanaan program KIP pada periode 1978-1988.
Adapun perencanaan yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Semarang
kemudian dilaksanakan dengan perbaikan infrastruktur di kampung-kampung
yang menjadi sasaran. Tujuan bab ini sendiri adalah untuk menjelaskan dan
memaparkan kegiatan perbaikan kampung yang dilakukan. Meliputi pengawasan
terhadap hal tersebut dan partisipasi warga kampung sasaran dalam pelaksanaan
KIP. Sementara itu, untuk penjelasan sejarah dalam bab ini akan menggunakan
pendapat dari M. Slamet mengenai partisipasi masyarakat dalam pembangunan.1
A. Latar Belakang Kemunculan KIP di Semarang
Kampung Improvement Program (KIP) dilaksanakan dengan tujuan untuk
memperbaiki kondisi lingkungan perumahan di dalam kota yang kumuh dan tidak
sehat, agar masyarakat dapat tinggal dalam lingkungan perumahan yang lebih
sehat dan lebih nyaman. Dengan melaksanakan program perbaikan ini,
diharapkan kondisi rumah dan lingkungan kampung yang ditinggali oleh
masyarakat dapat berubah dan memiliki prasarana fisik lingkungan yang lebih
baik. Terciptanya lingkungan kumuh tersebut tidak terlepas dari masalah
urbanisasi, migrasi, dan pertambahan penduduk yang dari tahun ke tahun kian
meningkat.2 Program ini dicanangkan pada 1969 dengan sasaran awal adalah
Jakarta dan Surabaya.
1Tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan,
sangat ditentukan oleh tiga unsur pokok yakni adanya kesempatan yang diberikan
kepada masyarakat, untuk berpartisipasi; adanya kemauan masyarakat untuk
berpartisipasi; adanya kemampuan masyarakat untuk berpartsisipasi, M. Slamet,
Pembangunan Masyarakat Berwawasan Partisipasi (Surakarta: Sebelas Maret
University Press, 2003), hlm. 97.
2Ari Widyati Purwantiasning, "Pola Dan Strategi Perbaikan Permukiman
Kumuh di Perkotaan", Jurnal Nalar, Volume 10 Nomor 1, Januari 2011 (Jurusan
Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta), hlm. 54.
46
Memasuki awal 1970-an potret kekumuhan di Kota Semarang sendiri
tersebar di daerah pusat kota, selaput inti kota, pinggiran kota perbukitan,
pinggiran kota dataran rendah, dan pinggiran kota yang terletak di pantai.
Semarang Utara, Barat, Tengah, dan Timur menjadi daerah padat penduduk yang
tampak terlihat di Pekunden, Kelurahan Mrican, Jatingaleh, Krobokan,
Bugangan, Kuburan Cina, Tambaklorok, dan Kelurahan Bandarharjo. Kondisi
kualitas lingkungan di wilayah tersebut kian tahun semakin menurun karena
fasilitas umum yang tidak memadai, kualitas lingkungan yang buruk ditandai
dengan tingginya wabah penyakit seperti DB (demam berdarah), diare dan
penyakit kulit, dan pemanfaatan ruang yang sangat semrawut di dalam rumah
umum terjadi karena hunian digunakan untuk menampung jumlah anggota
keluarga yang besar.3 Permukiman kumuh yang muncul ini menyebabkan kondisi
sosial yang tidak baik. Tingkat kriminalitas di wilayah kumuh terbilang tinggi
karena banyak penduduk yang tinggal di daerah ini rata-rata mengalami kesulitan
ekonomi.
Pemerintah kemudian menjawab permasalah tersebut pada PELITA II
(1974-1979) dengan menjalankan program KIP. Program yang sudah terlebih
dahulu dijalankan di Jakarta dan Surabaya kemudian berlanjut kota-kota besar
lainnya seperti, Surakarta, Bandung, Medan, Bali, Makassar, termasuk Semarang.
Pembangunan dan perbaikan yang dilakukan antara lain:4
1. Pengadaan air bersih sebanyak mungkin dan terhubung dengan distribusi
jaringan PAM, dengan hidran untuk empat hektar layanan lingkungan.
2. Drainase lingkungan untuk mencegah banjir dan drainase sekunder yang
mengikuti pola jalanan dan drainase kota yang telah ada.
3. 12 titik toilet umum untuk setiap kampung yang terkena program KIP.
4. Jalan aspal dan beton dengan lebar 3 meter sampai 8 meter.
3Moh. Gamal Rindarjono, "Perkembangan Permukiman Kumuh di Kota
Semarang Tahun 1980-2006" (Disertasi pada Jurusan Geografi dan Ilmu
Lingkungan Universitas Gadjahmada, 2010), hlm. 21.
4Noor Hamidah, dkk., “Analisis Permukiman Tepian Sungai yang
Berkelanjutan”, Jurnal Inersia, Volume XII Nomor 1, Mei 2016 (Fakultas Teknik
Sipil dan Arsitektur Universitas Negeri Yogyakarta), hlm. 15.
47
5. Area perjalan kaki dengan lebar 1,5 meter yang terbuat dari beton
dengan saluran pembuangan di sisi jalan.
6. Tempat pembuangan sampah dengan volume 12 meter kubik, juga
pengadaan truk untuk mengangkut sampah sampai ke tempat
pembuangan akhir.
KIP menjadi solusi alternatif selain program penggusuran yang selama ini
dilakukan pemerintah untuk menangani masalah permukiman kumuh. Kerjasama
kemudian dilakukan antara pemerintah dengan Bank Dunia (World Bank) dalam
rangka pelaksanaan program ini.5 Pada dasarnya perbaikan kampung
diprioritaskan untuk kampung-kampung yang dipandang jelek dan lusuh. Selain
itu, pertimbangan lainnya adalah kampung-kampung yang bentuk dan rupanya
semrawut, seperti pintu depan rumah yang berhadap-hadapan dengan kakus,
dinding-dinding rumah berimpitan, dan berpenduduk padat yang penghuninya
rata-rata para pekerja dan buruh kasar.6
Di Semarang, program perbaikan kampung mulai dijalankan pada akhir
periode 1978. Dengan sasaran 27 kampung yang terletak di wilayah perkotaan.
Pelaksanaan KIP ini tentunya memerlukan pembahasan yang begitu panjang.
Mengingat beberapa kampung yang menjadi sasaran program KIP adalah
kampung yang memiliki nilai historis, potensi ekonomi, akar budaya, dan unsur
keagaaman yang kuat. Sejak 1975, survei telah dilakukan terlebih dahulu ke
kampung-kampung yang akan dijadikan target sasaran.
Semarang melakukan perbaikan kampung dengan dana yang diperoleh dari
pemerintah pusat sehingga survei KIP merupakan langkah awal yang kemudian
dilakukan sebagai bentuk sosialisasi tentang program ini. Hal ini dilakukan oleh
pemerintah sebagai upaya untuk menghindari potensi terjadinya gejolak di
tengah-tengah warga.7 Kemudian Walikota Semarang mengeluarkan SK Nomor
5Elisa Sutanudjaja, dkk., Strategi untuk Pengembangan Kota Sosial di
Indonesia (Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung (FES) Indonesia, 2018), hlm. 24.
6Irfan Teguh, "Sejarah Proyek MHT Ali Sadikin: Membangun Fisik dan
Mental Jakarta" (https://tirto.id, diakses pada 15 April 2020).
7"DPRD Kodya Semarang Setujui Perbaikan 27 Kampung dengan Dana
Bank Dunia", Suara Merdeka, 20 November 1978, hlm. 2.
48
190/WK/1978 tentang Pembentukan KIP Unit Kotamadya Daerah Tingkat II
Semarang sebagai dasar pelaksanaan program ini.
B. Perencanaan KIP
Program perbaikan kampung sebenarnya sudah ada sejak zaman pemerintahan
Hindia Belanda. Pada periode 1920-an, muncul Kampong Verbetering yang
ditujukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di perkampungan.8 Gagasan
perbaikan kampung ini juga pernah dikemukakan oleh Muhammad Husni
Thamrin dan baru bisa terlaksana setelah kemerdekaan. Gubernur Jakarta Ali
Sadikin adalah yang memulainya pada 1969. Kampung-kampung di Jakarta yang
serba padat dan kotor kemudian diperbaiki. Agar berjalan lebih lancar, Ali
Sadikin kemudian mengusulkan kebijakannya ke Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS), tetapi program ini ditolak. Menurut
BAPPENAS program ini tidak menguntungkan dan belum menjadi prioritas
pembangunan. Dengan ditolaknya program tersebut oleh BAPPENAS, Ali
Sadikin kemudian meminta persetujuan DPRD. Oleh DPRD program tersebut
akhirnya disetujui. Dengan dana APBD program perbaikan kampung
dilaksanakan pada 1969, di awal PELITA I. Pada tahun 1971 akhirnya lembaga-
lembaga Internasional, baik PBB maupun Bank Dunia menilai positif program
tersebut. Saat itu muncullah bantuan untuk membiayai proyek pada skala
nasional.9
Di Semarang, perencanaan awal dilakukan sejak 1975 dan baru terlaksana
pada 1978. Meski didanai oleh pemerintah pusat dan Bank Dunia, bantuan ini
bukannya tanpa syarat dan ketentuan. Setiap wilayah yang menerima bantuan ini
wajib mengembalikannya kepada Bank Dunia dengan jangka waktu 20 tahun dan
bunga 9% per tahun. Pada 1976, besarnya intensitas hujan yang terjadi di
Semarang mengakibatkan banyak kampung yang terdampak banjir. Kampung-
8Rizky Amalia, "Kampong Verbetering dan Perubahan Sosial Masyarakat
Gemeente Semarang Tahun 1906-1942" (Skripsi pada Jurusan Sejarah Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, 2016), hlm. 60.
9Imam Hilman, “Program Perbaikan Kampung: Proyek Muhammad Husni
Thamrin di Jakarta Tahun 1969-1979” (Skripsi pada Jurusan Sejarah, Fakultas
Ilmu pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008) hlm. 38-40.
49
kampung di sekitaran Imam Bonjol, Kota Lama, dan Empu Tantular hampir
semuanya tergenang air. Beberapa jalur jalan pun mengalami kerusakan.
Perbaikan yang dilakukan tidak dapat berjalan dengan baik akibat hujan yang
terjadi terus-menerus. Kejadian ini mendorong DPRD Kota Semarang untuk
melakukan pembahasan dengan lebih seksama tentang potensi penerimaan KIP.
Survei dijalankan sebagai persiapan awal. Tiga tahun lamanya pihak pemerintah
Kota Semarang bersama dengan anggota DPRD meninjau kampung-kampung
dan mengklasifikasikannya, supaya kampung yang menerima KIP tepat sasaran.10
Pada awal 1978, Ir. Wasono selaku ketua Bappeda Kota Semarang
melakukan kunjungan dan negosiasi ke Washington DC dalam rangka membahas
kredit Bank Dunia untuk perbaikan kampung. Sepulang dari Amerika, Ketua
Bappeda membahas hasil kunjungannya dengan DPRD. Pinjaman kredit akhirnya
disepakati sebesar 3,6 milyar. Nilai ini kemudian disetujui oleh Walikota
Semarang, H. Hadijanto dengan catatan harus menunjang intesifikasi pemasukan
daerah.11
Setelah disetujui oleh walikota, KIP tidak lantas langsung dilaksanakan.
DPRD Kota Semarang masih berdiskusi dengan jajaran pemerintah Surabaya
berkaitan dengan teknis pelaksanaan. Perlu diketahui selain Jakarta, Surabaya
menjadi salah satu kota yang terlebih dulu melaksanakan program KIP. Bahkan
pada awal pelaksanaannya, Surabaya mampu menata kampung di wilayahnya
lebih baik daripada Jakarta. Selain perbaikan fisik, pembangunan kampung
dengan pendekatan yang terpadu dilakukan dengan melibatkan peran serta
warganya.12 Hasil diskusi dengan berbagai pihak terkait ini kemudian menjadi
dasar bagi pelaksaan program KIP di Semarang. Dari 27 kampung yang telah di
survei, diputuskan pada tiga tahun pertama pelaksanaan KIP menyasar ke 15
10"Sering Hujan Ganggu Perbaikan Jalan", Suara Merdeka, 4 Maret 1976,
hlm.2.
11"Pelaksanaan KIP Jangan Asal Tunjuk", Suara Merdeka, 20 Desember
1978, hlm. 2.
12Anita Dianingrum, “Perkembangan Program Perbaikan Kampung dan
Pemberdayaan Masyarakat di Surabaya” (Tesis pada Program Magister Bidang
Keahlian Perumahan dan Permukiman Jurusan Arsitektur Institut Teknologi
Sepuluh Nopember Surabaya, 2017), hlm. 26.
50
kampung yang dipandang urgent (mendesak) untuk menerima bantuan pendanaan
perbaikan kampung, dengan fokus utama yang dilakukan terlebih dahulu adalah
memperbaiki jalan kampung yang rusak dan sering becek. Jalan sebagai akses
utama menuju kampung sangat berpengaruh bagi mobilitas warga, jika jalan
rusak dan tidak diperbaiki, maka hal itu juga akan berpengaruh pada
pembangunan infrastruktur lainnya.13
Di bawah tanggung jawab Walikota Semarang KIP kemudian direncanakan
pelaksanaannya oleh BAPPEDA dengan DPU sebagai pelaksana proyek. Segala
sesuatu yang terjadi harus dilaporkan oleh Pemerintah Pusat dan DPRD.
Pemerintah Pusat kemudian melaporkan pertanggungjawabannya kepada World
Bank. Adapun susunan struktur pengerjaan proyek dapat dilihat pada bagan 1
berikut ini.
Bagan 3.1. Struktur Pelaksana Proyek KIP
World Bank
Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
Badan Perencanaan DPRD Dinas
Daerah KOTA Pekerjaan Umum
SEMARANG
Sub Kontraktor
Konsultan
Sumber: Diolah sendiri
13“Perbaiki Jalan-jalan Kampung”, Suara Merdeka, 15 Meret 1978, hlm. 2.
51
DPU kemudian diberikan hak untuk memberikan tender kepada sub
kontraktor untuk mempercepat pelaksanaan program ini. Selain itu, konsultan
juga dilibatkan dalam program ini untuk memberikan masukan dan nasihat
supaya penyelenggaraan program ini dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Konsultan yang dilibatkan terdiri dari beberapa orang ahli di
bidang arsitektur, teknik sipil, mekanikal elektrikal, listrik, dan lain-lain.14
Pelaksanaan program KIP di Semarang tidak sekonyong-konyong
dilakukan tanpa melalui persiapan yang matang, mengingat bantuan dari Bank
Dunia ini bukan didapatkan secara gratis. Terdapat konsekuensi pengembalian
dan bunga yang harus dibayar oleh pemerintah kota yang menerima dana KIP.
Oleh sebab itu, pada pelaksanaannya perlu dilakukan dengan sangat hati-hati agar
program ini tepat sasaran dan tidak terjadi penyelewengan. Pemerintah juga tidak
bisa berjalan sendirian dalam menjalankan program ini. Pada kenyataannya
diperlukan partisipasi aktif dari masyarakat untuk menyadari pentingnya
perbaikan kampung bagi kehidupannya.
C. Dinamika Pelaksanaan KIP
Pemerintah daerah sebenarnya memiliki kewenangan yang luas terhadap
penyelenggaraan program yang telah dicanangkannya. Namun demikian, untuk
menghindari penyalahgunaan kewenangan diperlukan pengawasan sehingga
negara tidak mengalami kerugian dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud.
Ketercapaian pelaksanaan yang dilakukan atas dasar perencanaan mengindiasikan
adanya sosialisasi yang telah dilakukan terlebih dahulu oleh pemerintah secara
matang. Ketercapaian tingkat partisipasi bertujuan agar fasilitasi atau program
KIP yang diberikan kepada masyarakat dapat sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan masyarakat.15
14Wawancara dengan Dewi Yuliati pada 2 Juli 2020. Dewi Yuliati adalah
salah satu Guru Besar di Universitas Diponegoro. Pada saat pelaksanaan KIP di
Semarang, beliau terlibat sebagai sekertaris konsultan.
15Agung Cahyo Nugroho, "Kampung Kota Sebagai Sebuah Titik Tolak
dalam Membentuk Urbanitas dan Ruang Kota Berkelanjutan", Jurnal Rekayasa,
Volume 13 Nomor 3, 2009 (Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas
Lampung), hlm. 212-213.
52
1. Pelaksanaan KIP
Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Semarang menjadi ujung tombak
pelaksanaan KIP di Kota Semarang. Hal itu bisa terjadi karena yang menjadi
fokus awal dari program perbaikan kampung adalah menitikberatkan pada
pembangunan fisik. Penyediaan prasarana yang memadai dipandang sebagai
kebutuhan dasar dari suatu kawasan. Pertama-tama perbaikan dilakukan dengan
membenahi jalan-jalan kampung yang rusak dan tidak layak untuk dilalui oleh
penggunanya.
Program KIP dilaksanakan dalam dua tahapan yakni:16
1. Tahapan pertama difokuskan merata dengan jangka waktu tiga tahun
mulai tahun 1979-1981 dengan meliputi 15 desa, terbagi sebagai berikut:
a. Tahun 1979-1980 meliputi dua desa dengan areal seluas 65,9 hektar
dan jumlah penduduk yang mencapai ± 23.600 jiwa.
b. Tahun 1980-1981 meliputi empat desa dengan luas areal 98 hektar
dan jumlah penduduk yang mencapai ± 35.800 jiwa.
c. Tahun 1981-1982 meliputi sembilan desa dengan luas areal 154,7
hektar dan jumlah penduduk ± 67.000 jiwa.
2. Tahapan kedua dilakukan dengan jangka waktu dua tahun berlaku mulai
1982-1983 sebagai lanjutan dari program yang dilakukan pada tahap
pertama meliputi 14 desa sebagai berikut:
a. Tahun 1982-1983 meliputi sembilan desa dengan luas areal 156
hektar dengan jumlah penduduk ± 51.800 jiwa.
b. Tahun 1983-1984 meliputi lima desa dengan luas areal 156 hektar
dengan jumlah penduduk ± 28.800 jiwa.
Percontohan awal dimulai dari perbaikan kampung ABC yang terletak di
Kelurahan Gabahan, Semarang Tengah. Pada 26 Desember 1978, DPU
memperbaiki jalan yang rusak di RT XII/RK II.
16Tim Penyusun, Laporan Hasil Penyuluhan, Perencanaan Kota, dan
Program Perbaikan Kampung (KIP) Tahun 1986 (Semarang: Bappeda Kota
Semarang, 1986), hlm. 120-121.
53
Gambar 3.1. Perbaikan Lingkungan di Kampung ABC Kelurahan Gabahan
Kecamatan Semarang Tengah (Sumber: Suara Merdeka, 1978)
Jalan kampung sepanjang 100 meter (skala kecil) yang awalnya hanya
berupa tanah kemudian dilapisi batu dan di cor. Pada perbaikan jalan di kampung
ini DPU menelan dana sebesar 150 ribu rupiah.17 Pada bulan berikutnya, dua
kampung lain yakni Bugangan dan Bandarharjo ditetapkan oleh pemerintah untuk
mendapat proyek perbaikan kampung.18
Proyek perbaikan jalan dengan skala yang lebih luas juga dilakukan.
Tepatnya di jalan raya Mijen-Gunungpati. Jalan ini adalah akses vital yang
menghubungkan antara dua wilayah sehingga kerusakan yang terjadi harus segera
diperbaiki. Perbaikan pada jalan raya Mijen-Gunungpati di subkan kepada dua
kontraktor. Fakta mengejutkan ditemukan oleh DPU pada pelaksanaan perbaikan.
Pengerjaan jalan dinilai tidak sesuai dengan bestek19 yang telah disepakati
sehingga dua kontraktor tersebut diminta untuk melakukan pembongkaran dan
mengulangi perbaikan pada jalan itu.20 Melihat fakta tersebut, tampaknya
17“Perbaikan Lingkungan Warga RT XII/RK II Kampung ABC”, Suara
Merdeka, 26 Desember 1978, hlm. 2.
18Tim Penyusun, "Laporan Hasil Penyuluhan, Perencanaan Kota",hlm. 123.
19Bestek berasal dari bahasa Belanda yang artinya suatu peraturan dan
syarat-syarat dalam pelaksanaan suatu pekerjaan pembangunan atau proyek.
Sifatnya mengikat, diuraikan sedemikian rupa, terinci, cukup jelas sehingga
mudah untuk dipahami, “Pengertian Bestek” (https://id.scribd.com, diakses .pada
17 April 2020).
20“Tinjau Perbaikan Jalan”, Suara Merdeka, 21 April 1979.
54
pengawasan memang harus dilakukan dengan sungguh-sungguh karena
pelaksanaan program KIP sangat rentan untuk di selewengkan. Selain jalan,
jembatan merupakan salah satu infranstruktur penting yang digunakan untuk
menghubungkan satu kampung dengan yang lainnya. Jembatan Simongan yang
lapuk dimakan usia kemudian diperbaiki. Perbaikan dilakukan agar jalur yang
menuju ke arah Gedungbatu menjadi lebih aman dan lancar. Jembatan yang
mulanya memiliki lebar 5x10 meter kemudian diperluas menjadi 7x10 meter.
Letaknya pun digeser lebih ke utara agar lurus dengan jembatan Banjir Kanal
Barat yang menghubungkan antara daerah Lemah Gempal dengan Gedungbatu.
Selama pengerjaan jembatan, arus lalu lintas ke wilayah Panjangan dan
Gedungbatu dialihkan ke Karangayu. Bagi pejalan kaki serta kendaraan kecil
dilewatkan melalui jembatan darurat.21
Gambar 3.2. Perbaikan Jembatan Simongan di Jalan Jurusan Gedungbatu
(Sumber: Suara Merdeka, 1979)
Apabila di total secara keseluruhan, hingga bulan September 1979
pemerintah telah memperbaiki jalan-jalan kampung sepanjang 7 km. Perbaikan
rata-rata dilakukan dengan cara pembetonan. Konstruksi dibuat dengan tebal 5
cm dengan kerangka besi berdiameter 6 mm.22 Hadijanto sebagai walikota yang
mempelopori KIP di Semarang tampaknya tidak ingin kecolongan dengan
pelaksanaan perbaikan kampung. Hadijanto pun turun langsung ke kampung-
21“Perbaikan Jembatan Simongan”, Suara Merdeka, 7 Juni 1979, hlm. 2.
22“Betonisasi 7 Km Jalan Kampung 6 Kecamatan di Semarang”, Suara
Merdeka, 13 September 1979, hlm. 2.
55
kampung untuk melihat berjalannya perbaikan dengan mata kepalanya sendiri.
Pada momen tertentu, beliau terlihat turut membawa anggota keluarganya dalam
kegiatan pengecekan dilapangan. Baginya keberlangsungan program ini memiliki
tanggung jawab yang besar karena melibatkan Bank Dunia dalam pendanaannya.
Besar kemungkinan selain untuk memantau langsung proyek ini dilapangan,
Hadijanto juga tidak ingin kinerjanya dinilai cacat pada masa akhir jabatannya
nanti oleh Pak Harto.23 Hadijanto berakhir masa jabatannya pada 1980 dan
digantikan oleh Iman Soeparto Tjakrajoeda. Kampung-kampung pun berhasil
dibenahi pada kurun waktu 1980-1984 dan fakta tersebut dapat dilihat pada tabel
3.1 sebagai berikut.
Tabel 3.1 KIP Urban III Semarang dan Luas Arealnya
Tahun No Kampung Luas Areal (Ha)
1980-1981 1. Mlatiharjo 18
1981-1982 2. Kuningan 18
3. Karang Kidul 26,5
1982-1983 4. Krobokan (sebagian) 35,5
1983-1984 1 Peterongan 22,4
Total 2 Jagalan 9,3
3 Kentangan 4,7
4 Brumbungan 29
5 Gabahan 25
6 Pandansari 7,5
7 Karang Tengah 18
8 Kembangsari 30
9 Kembangpaes 12,2
10 Miroto 26,6
11 Sekayu 58
12 Kranggan 20,2
1. Krobokan (sebagian) 35,5
2. Karangayu 22,8
1. Banjarsari 8
2. Darat Lasimin 13
3. Tawang Komplek 7
21
Sumber: Bappeda Kota Semarang, 1986
23Wawancara dengan Tugas Baruno pada 10 April 2020. Narasumber
merupakan anak dari mantan Walikota Semarang, Kolonel Hadijanto yang
menjabat pada periode 1973-1980. Dalam beberapa kesempatan, ia dan kakaknya
Ali Amran pernah diajak oleh ayahnya untuk meninjau lokasi perbaikan
kampung.
56
Program KIP tahap pertama yang dikenal dengan KIP Urban III masih terus
dilanjutkan.24 Berdasar data pada tabel, dapat diketahui bahwa pelaksanaan KIP
dari kurun waktu 1980-1984 mencakup 21 kampung. Pada tahun 1979-1980
pelaksanaan baru mencakup dua kampung. Apabila ditotal wilayah yang
diperbaiki sejumlah 23 kampung. Kesepakatan awal antara DPRD dengan
Pemerintah Kota Semarang adalah 27 kampung. Proyek yang dilaksanakan
sebenarnya belum memenuhi target yang ditentukan.25 Peralihan kepimpinan dari
Hadijanto ke Iman Soeparto Tjakrajoeda menjadi kendala belum tercapainya
target selain faktor teknis yang terjadi di lapangan. DPRD kemudian mengadakan
rapat pleno beserta jajaran pemerintahan Kotamadya Semarang untuk membahas
hal itu.26 Proyek ini akan kembali digenjot pengerjaannya pada KIP Urban V
yang dimulai pada akhir tahun 1984.
Adapun terdapat beberapa komponen yang wajib dipenuhi oleh pelaksana
dalam KIP Urban V seperti halnya adalah Pertama, pembuatan atau perbaikan
jalan yang dilalui oleh orang harus meliputi kelengkapannya yakni saluran, urug-
urug, dan jembatan. Kedua, pembuatan dan perbaikan jalan yang dilalui
kendaraan beserta jaringannya. Ketiga, pembuatan dan perbaikan saluran
pembuangan. Keempat, pemasangan jaringan air minum serta keran-keran umum.
Kelima, pembangunan MCK (Mandi Cuci Kakus) dan jamban-jamban keluarga.27
Kampung-kampung yang menjadi sasaran KIP Urban V ini dapat dilihat
pada tabel 3.2 berikut.
24KIP tahap pertama di Semarang dikenal dengan KIP Urban III. Dana
bantuan dari Bank Dunia dialokasikan terutama untuk solusi penataan
perumahaan kumuh dan banjir di perkotaan, Sarkawi B. Husain, “The
Improvment of Kampong As An Instrument to Mitigate Floods in Surabaya”,
Jurnal Humaniora, Volume 27 Nomor 3, 3 Oktober 2015 (Surabaya: Program
Studi Ilmu Sejarah Universitas Airlangga), hlm. 325-328.
25Pemetaan Proyek KIP Urban III dapat dilihat pada lampiran A.
26"Anggota DPRD Pertanyakan Perbaikan Asal Jadi", Suara Merdeka, 14
April 1984.
27Tim Penyusun, “Laporan Hasil Penyuluhan, Perencanaan Kota”, hlm.
128.
57
Tabel 3.2. KIP Urban V dan Areal yang Diperbaiki
Tahun No Kampung Areal yang Diperbaiki
1984 1. Banjarsari 8
1985 2. Mlayu Darat (sebagian) 7
3. Darat Lasimin 13
1986 4. Tawang 7
1987 1. Panggung 26
2. Dadapsari 6
1988 3. Krobokan 23
4. Celengan 5
Total 5. Sukolilo 6
6. Bojong Salaman 21
7. Purwosari 28
8. Mlayu Darat (sebagian) 7
1. Rejosari (sebagian) 70
2. Plombokan 12
3. Bulu Lor 58
4. Jomblang 18
1. Rejosari (sebagian) 40
2. Bulustalan 8
3. Barusari 5
4. Pendrikan Lor 23
5. Cabean 16
6. Demangan 12
7. Lemah Gempal 15
8. Bongsari 25
1. Bangunharjo 8
2. Kauman 7
3. Kartoharjo 13
4. Gandek Puspo 5
5. Karangturi 17
6. Karangtempel 38
7. Sarirejo 22
8. Pederasan 13
9. Kebon Agung 7
10. Taman Harjo 6
11. Kemijen 5
35
Sumber: Bappeda Kota Semarang, 1986.
Berdasar data pada tabel, dapat dilihat bahwa jumlah kampung yang diperbaiki
pada KIP Urban V semakin banyak dibanding sebelumnya. Perbaikan kampung
hanya bisa dilakukan kembali pada KIP Urban V karena dana yang dikucurkan
pemerintah pusat untuk KIP Urban IV bukan ditujukan untuk perbaikan
kampung, melainkan untuk pengembangan infrastruktur yang berkaitan dengan
peningkatan sumber daya manusia dari segi sosial dan ekonomi seperti
58
pembangunan sekolah, rumah susun, dan usaha kecil.28 Pada pratiknya, dilakukan
penambahan sejumlah infrastruktur yang memiliki nilai manfaat antara lain:
1. Peningkatan kesehatan masyarakat.
2. Mobilitas dan produktifitas dalam kampung ditingkatkan sehingga
penghasilan masyarakat kampung menjadi lebih baik.
3. Dinas Pekerjaan Umum bersama dengan Dinas Tata Kota akan
mendorong peran serta masyarakat untuk ikut melaksanakan perbaikan
kualitas lingkungannya sehingga masyarakatpun sadar akan disiplin
dalam menjalankan peraturan-peraturan perkotaan.
4. Pemantapan kondisi sosal dan ekonomi masyarakat.
KIP Urban V merupakan kelanjutan dari KIP Urban III yang berfokus pada
perbaikan fisik lingkungan. KIP Urban V pelaksanaannya dilakukan pada kurun
waktu 1984-1988. Perbaikan kampung juga disesuaikan dengan master plan Kota
Semarang, meskipun belum menyeluruh. Melihat urgensitas KIP menjadi begitu
besar, maka pelaksanaan proyek perbaikan kampung pada tahap ini mendapatkan
pengawasan yang lebih ketat dari pihak-pihak terkait seperti Bappeda dan DPRD
Kota Semarang. Kemungkinan terjadinya penyelewengan harus terus
diminimalkan karena besaran dana yang digelontorkan untuk pelaksanaan KIP
bukanlah jumlah yang sedikit dan pendanaan itu memiliki konsekuensi
pengembalian dalam jangka waktu yang sudah ditentukan.
2. Partisipasi Masyarakat dalam KIP
Partisipasi masyarakat merupakan suatu proses teknis untuk memberikan
kesempatan dan kewenangan yang lebih luas kepada masyarakat secara bersama-
sama untuk memecahkan berbagai persoalan. Hal ini dikenal dengan sistem
Community Based Development (CDB). Pendekatan dilakukan melibatkan
masyarakat dan komunitas di dalamnya pada pembangunan. Landasan hukum
28Kelanjutan program perbaikan kampung dilaksanakan pada KIP Urban V.
KIP Urban IV sendiri penyelenggaraannya tidak berfokus pada perbaikan dan
pembangunan infrastruktur fisik, melainkan lebih bertumpu pada pembinaan
sosial ekonomi masyarakat yang dikenal dengan istilah Bina Manusia dan Bina
Usaha, Ari Widyati Purwantiasning, “Pola dan Strategi Perbaikan Permukiman
Kumuh di Perkotaan”, Jurnal Nalar, Volume 10 Nomor 1, Januari 2011 (Jurusan
Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta), hlm. 68.
59
pelaksanaan partisipasi masyarakat tertuang dalam UUD 1945 yang menyebutkan
bahwa "partisipasi adalah hak dasar warga negara, dan partisipasi politik sebagai
prinsip dasar demokrasi".29
Pada KIP Urban III, partisipasi warga tampaknya belum begitu optimal
terlihat. Pengerjaan proyek masih didominasi oleh pihak Dinas Pekerjaan Umum
sebagai penanggungjawab pelaksana. Namun pada KIP Urban V, warga kampung
mulai diikutsertakan pada pelaksanaan proyek. Pelibatan tokoh masyarakat, tokoh
agama, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), dan Pemberdayaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK) mulai dilakukan untuk mendukung terlaksananya
program perbaikan kampung. Hal ini dikemukakan langsung oleh Walikota
Semarang ketika meresmikan P2WKSS (Peningkatan Peranan Wanita menuju
Keluarga Sehat dan Sejahtera) pada bulan Maret 1983. Pembangunan tanpa
partisipasi masyarakat akan banyak terjadi kendala karena pemerintah pada
dasarnya tidak dapat bekerja sendiri. Diperlukan semangat gotong royong dalam
upaya menyukseskan program-program yang telah direncanakan.30
Di Jangli, perbaikan jembatan yang didanai dengan oleh program KIP
kemudian dilakukan dengan cara gotong royong antara DPU dengan warga
setempat. Jembatan selebar enam meter ini akhirnya dapat diselesaikan dan
diresmikan pada 30 Agustus 1983.31 Hal yang unik terjadi pada saat gotong
royong perbaikan kampung di Kampung Batik Wedusan, Widohardjo. Ketika
anggota dewan mengunjungi wilayah ini untuk melihat kegiatan gotong royong,
tokoh masyarakat sekaligus ketua LKMD, Aries Djafar menyampaikan keluh
kesah dari warga. Ternyata selama ini, warga kampung merasa risih ketika
kampungnya disebut dengan “Wedusan”. Menanggapi aspirasi ini, akhirnya
pihak DPRD memfasilitasi permohonan perubahan nama ini dengan walikota.
29Ernady Syaodih, Manajemen Pembangunan Kabupaten dan Kota
(Bandung: Refika Aditama, 2015), hlm. 29-33.
30“Gotong Royong Rakyat Desa agar Bisa Dicontoh Rakyat Kota”, Suara
Merdeka, 2 Maret 1983, hlm. 6.
31“Gotong Royong Membuat Jembatan”, Suara Merdeka, 30 Agustus 1983,
hlm. 7.
60
Warga meminta kata “Wedusan” dihapus. Permintaan ini kemudian disetujui oleh
walikota dan kampung ini disepakati hanya disebut sebagai Kampung Batik.32
Pada bulan November 1983, sebelum perbaikan saluran air yang
dilaksanakan di Karang Kimpul RT 01 Muktiharjo, warga yang terdiri dari PKK
Remaja membersihkan got-got yang tersumbat oleh sampah. Parmin selaku ketua
RT mengungkapkan bahwa kegiatan ini selain untuk mendukung kelancaran
proyek yang akan dilakukan pemerintah, juga untuk memperlancar air yang
selama ini selalu menggenang di kampung ini.33 Di Kebonharjo hal yang sama
juga dilakukan. Pada 1984, warga RT 06/RK 11 dan PKK Remaja bekerja bakti
dalam rangka perbaikan saluran air dan pengurugan jalan.34
Gambar 3.3. Gotong Royong Perbaikan Saluran di RT 06/RK 11 Kebonharjo
(Sumber: “Gotong Royong Perbaiki Saluran”, Suara Merdeka,
5 April 1984, hlm. 7.)
Penggalangan massa dalam pengerjaan program perbaikan kampung ini
tampaknya cukup membantu pemerintah dalam pelaksanaan proyek-proyek
infrastruktur yang sedang diselenggarakannya. Menumbuhkan rasa memiliki
terhadap kampung dapat menghilangkan sekat-sekat pada warga Semarang yang
32“Warga Kp. Batik Wedusan Kirim Surat ke Walikota karena Rikuh
Kampungnya Disebut Wedusan”, Suara Merdeka, 30 Agustus 1983, hlm. 6.
Untuk lebih jelas mengenai berita ini lihat lampiran A.
33“PKK Remaja Bersihkan Got dan Sampah”, Suara Merdeka, 29
November 1983, hlm. 6.
34“Gotong Royong Perbaiki Saluran”, Suara Merdeka, 5 April 1984, hlm. 7.
61
dikenal multikultural. Nilai gotong royong dapat dimanfaatkan secara positif
dalam kehidupan untuk menggerakkan solidaritas sosial. Solidaritas ini
menciptakan kohesi sosial yang muncul di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.35
Sepertinya hal ini terjadi hampir seluruh wilayah di Kota Semarang. Di
Abimanyu, LKMD memprakarsai kerja bakti pembetonan jalan. Lurah Pendrikan
Baru, Yafi'I meninjau langsung ke lapangan dan mengapresiasi kegiatan yang
dilakukan oleh warga.36 Bahkan di Cilosari Dalam RT 02/RK 10, warga
membantu program KIP dengan melakukan "jimpitan" berupa beras.37 Tiap bulan
beras yang dikumpulkan mencapai 40-50 Kg. Beras tersebut kemudian dilelang
dan hasilnya digunakan untuk mendukung program perbaikan kampung.38
Di kawasan Kampung Melayu, seperti kampung Petek, Layur, Kakap, dan
Dorang proses perbaikan jalan dan penataan kampung turut melibatkan tokoh
agama. Dari sebelum KIP dimulai, wilayah ini termasuk daerah yang rentan
terhadap kerusakan jalan. Apabila musim penghujan datang, jalan-jalan yang
telah diperbaiki kembali rusak. Ditambah rob yang sering melanda, dana APBD
yang digelontorkan untuk di wilayah ini seolah seperti sia-sia. Pemerintah
kemudian meminta bantuan kepada tokoh agama yang disegani di wilayah ini
yakni Habib Zen Al-Jufri untuk mengajak masyarakat bersama-sama memelihara
infrastruktur yang telah dibangun. Tentunya, hal ini sangat penting mengingat
35Subagyo, “Pengembangan Nilai dan Tradisi Gotong Royong dalam
Bingkai Konservasi Nilai Budaya”, Indonesian Journal of Conservation, Volume
1 Nomor 1, Juni 2012 (Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang), hlm. 66-67.
36“Warga Abimanyu Gotong Royong”, Suara Merdeka, 19 Maret 1985,
hlm.6.
37Jimpitan adalah kegiatan pengumpulan sesuatu (berupa uang atau beras)
yang dilakukan dari rumah ke rumah, dengan jumlah yang sedikit secara kontinyu
dan sesuai keikhlasan/kerelaan pemberi, “Bolehkah BLM Digunakan untuk Radio
Komunitas” (http://bkmtunaskaryamandiri.yolasite.com, diakses pada 22 April
2020).
38“Bangun Kampung Lewat Jimpitan”, Suara Merdeka, 29 Maret 1985,
hlm.7.
62
wilayah ini cukup menyedot banyak dana hanya untuk pembenahan dan
perbaikan infrastrukturnya.39
Semangat gotong royong warga yang muncul dari program perbaikan
kampung ini juga mendapat apresiasi dari Pangdam IV/Diponegoro. Dalam
pertemuannya dengan warga Bulusan di Balai Pertemuan Meteseh, Pangdam
menyambut gembira semangat kebersamaan yang tercipta di tengah-tengah
masyarakat. Semangat ini tentunya akan menjadi sarana untuk menghadapi segala
tantangan dan karya-karya nasional. Motivasi juga diberikan Pangdam dalam
rangka menumbuhkan antusiasme warga dalam membangun desanya. Dengan
nilai-nilai keswadayaan, pembangunan jalan, jembatan, MCK, gorong-gorong
dan lain sebagainya akan cepat terlaksana dan dapat segera dinikmati oleh
masyarakat.40 Periode 1988 menjadi penanda berakhirnya KIP di Kota
Semarang. Total 56 kampung telah diperbaiki. Dalam laporannya, walikota
berharap menyambut baik kesadaran masyarakat di kampung-kampung perkotaan
dalam penyelenggaraan KIP Urban III maupun V. Setelah KIP, Pemerintah Kota
Semarang akan menyelenggarakan program Tri Bina yang bertujuan untuk
membina masyarakat untuk sadar lingkungan, pembentukan mental, dan
pembinaan usaha secara terpadu. Pelaksanaannya akan dibantu oleh UNICEF
dengan proses awal yakni pelatihan yang diikuti oleh 10 perwakilan terlebih
dahulu yakni dari kampung Bojongsalaman, Celengan, dan Panggung.41
D. Pengawasan KIP
Pengawasan dapat diartikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan
organisasi atau sebuah institusi dan manajemennya dapat tercapai dengan baik.
Pengawasan dilakukan dalam rangka mengetahui sejauh mana pelaksanaan tugas
39“Dana APBD Tak Mencukupi untuk Perbaikan Jalan Petek”, Suara
Merdeka, 5 Februari 1987, hlm. 7.
40“Pangdam IV/Diponegoro: Semangat Gotong Royong Jadi Sarana
Menghadapi Tantangan”, Suara Merdeka, 6 November 1985, hlm. 7.
41“56 Kampung Diperbaiki lewat Proyek KIP”, Suara Merdeka, 13 April
1988, hlm. 7.
63
berlangsung sesuai ketentuan dan sasarannya.42 Pengawasan pelaksanaan
perbaikan kampung dilakukan oleh pemerintah yang diwakili oleh Bappeda.
Mereka kemudian bekerja sama dengan wakil rakyat yang duduk di kursi DPRD
Kota Semarang untuk meninjau dan menilai secara langsung pekerjaan yang
dilakukan oleh DPU atau pun kontraktor yang telah ditunjuk.
1. Pengawasan oleh BAPPEDA
Bappeda memiliki tugas utama yaitu menyusun perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan daerah, namun demikian mereka juga memiliki kewajiban dalam
hal pengawasan dari pelaksanaan pembangunan yang telah direncanakannya.
Pengawasan yang bersifat teknis bertujuan untuk mengetahui kelemahan dan
kekurangan dari kegiatan pembangunan, serta dapat dipergunakan sebagai
pertimbangan pembangunan selanjutnya.43
Dalam program perbaikan kampung (KIP) terdapat ketentuan pengawasan
dan pelaporan yang harus dilakukan, antara lain:44
1. Pemimpin proyek/pejabat dari Bank/ lembaga yang diserahi untuk
menyalurkan kredit harus menyampaikan laporan bulanan mengenai
perkembangan pelaksanaan proyek atau kredit bantuan pengembangan
wilayah kepada Gubernur KDH Tingkat I. Gubernur bersama dengan
Bappeda menelaah laporan tersebut serta mengambil langkah-langkah
untuk kelancaran yang diperlukan dan ketertiban pelaksanaan.
2. Gubernur setiap triwulan menyampaikan laporan pelaksanaan kepada
Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas.
3. Khusus mengenai laporan keuangan dan fisik yang telah diselesaikan
harus segera disampaikan kepada Direktur Jenderal Pembangunan
Daerah Departemen Dalam Negeri. Laporan kemudian diteruskan
kepada Dirjen Anggaran Departemen Keuangan sebagai bahan
42Makmur, Efektifitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan (Bandung: PT.
Rafika Aditama, 2011), hlm. 176.
43“Tupoksi” (http://bappeda.semarangkota.go.id/v2/?page_id=12, diakses
pada 19 April 2020).
44Tim Penyusun, “Laporan Hasil Penyuluhan, Perencanaan Kota”, hlm. 46.
64
penarikan kredit pembangunan dari United States Agency for
International Development (USAID). Rekapitulasi Surat
Pertanggungjawaban (SPJ) wajib disusun berdasarkan laporan keuangan
dari bendahara proyek.
4. Pengawasan terhadap pelaksanaan bantuan pengembangan wilayah
dilakukan menurut tatacara dan ketentuan yang berlaku.
Contoh pengawasan yang dilakukan oleh pihak Bappeda dapat dilihat dari
pelaksanaan KIP di Karang Tengah dan Pandansari. Dari tinjuan yang dilakukan,
pelaksanaan KIP baru mencapai tahap pengaspalan jalan. Padahal, perbaikan
kampung itu harus meliputi pengadaan air bersih.45 Sambung rasa kemudian
diadakan di balai desa Karang Kidul yang menghadirkan perwakilan dari
kampung-kampung di Kecamatan Semarang Tengah yang terkena program KIP.
Pada sambung rasa itu, pemerintah meminta masyarakat berperan aktif dalam
KIP. Masyarakat diminta segera melaporkan kepada pemerintah apabila terjadi
ketidaksesuaian terhadap proses penyelenggaraan KIP.46
Tidak hanya pada perbaikan jalan, pengawasan yang dilakukan oleh
Bappeda juga menemukan adanya pompa dan saluran air yang dibuat dengan
anggaran KIP mengalami banyak kerusakan. Beberapa mesin pompa didapati
terbakar karena pipa air yang bocor. Terbakarnya mesin pompa terjadi karena
ketidaktahuan warga dalam menggunakan mesin-mesin pompa dan keran air
umum. Contohnya di Mlatiharjo, mesin otomatis sengaja diganjal oleh warga
dengan kayu agar pompa dapat bekerja secara terus menerus dan akhirnya
terbakar. Pihak DPU kemudian dipanggil dan dimintai keterangan. DPU
mengakui bahwa setelah pompa dan keran dipasang, mereka tidak memberikan
sosialisasi terhadap penggunaannya. Pihak DPU beralasan bahwa masalah
sosialisasi bukanlah tugas dari mereka sebagai pelaksana proyek. Mereka
45“KIP di Karang Tengah dan Pandasari”, Suara Merdeka, 11 Februari
1981.
46“Pelaksanaan Program KIP Perlu Pendekatan Terpadu”, Suara Merdeka,
9 Juni 1981.
65
beranggapan bahwa sosialisi merupakan tugas dan wewenang dari PAM.47
Direktur PAM Kodya Semarang menjelaskan pada kesempatan yang berbeda. Ia
memberi tanggapan bahwa realisasi pengadaan air bersih, mesin pompa, dan
keran air pada KIP bukan termasuk program dari PAM. Sosialisasi tentunya tidak
wajib dilakukan oleh PAM karena mereka memiliki kewajiban kerja yang sudah
tertuang dalam perencanaannya sendiri.48 DPU dan PAM seakan saling lempar
pada kasus ini sehingga tampak bahwa sinergi antar birokrasi pada saat itu belum
terlaksana dengan baik.
Pengawasan yang dilakukan juga menemukan masalah dalam pelaksanaan
pengaspalan di beberapa jalan kampung. Masalah muncul karena terjadi
kelangkaan aspal yang dikeluhkan oleh para pemborong. Bappeda kemudian
melaporkan kondisi ini kepada Walikota Semarang. Iman Soeparto Tjakrajoeda
selaku walikota kemudian menghubungi pihak Pertamina untuk menyediakan 28
ribu drum untuk mencukupi kebutuhan aspal.49
Gambar 3.4. Kelangkaan Aspal yang Menghambat Proses Perbaikan di
Jalan Cinde (Sumber: Suara Merdeka, 3 Juli 1984.)
47“Pompa Air dan Saluran Proyek KIP Banyak yang Sudah Rusak”, Suara
Merdeka, 6 November 1982, hlm. 6
48“Realisasi Air Bersih KIP Bukan Tanggungan PAM”, Suara Merdeka, 15
Juli 1983, hlm. 6.
49“Dikirim 28 Ribu Drum untuk Mencukupi Kebutuhan Aspal”, Suara
Merdeka, 7 Maret 1985, hlm. 6.
66
Solusi lain kemudian diambil untuk mengatasi permasalahan itu. Sebagian
pemborong kemudian mengeraskan jalan-jalan kampung dengan menggunakan
semen. Tindakan pemborong itu tentunya mengandung resiko, karena semen
sendiri tidak cukup kuat untuk menahan beban apabila jalan dilintasi oleh
kendaraan berat.50 Kenyataan yang ditemukan di lapangan oleh Bappeda tersebut
membuktikan bahwa penyelenggaraan program perbaikan kampung bukanlah hal
yang mudah. Kepentingan umum pada pelaksanaan KIP harus lebih diutamakan,
setelah itu barulah sektor kepentingan lingkungan, dan terakhir adalah sektor
kepentingan perorangan karena penyelenggaraannya harus mengedepankan
kualitas fisik bangunan agar bisa digunakan dalam jangka waktu yang panjang.
2. Pengawasan oleh DPRD
DPRD adalah institusi yang hadir untuk mewakili aspirasi rakyat. Mereka
melakukan tugas dan fungsi pengawasan terhadap lembaga pemerintahan.
Pengawasan DPRD ditujukan agar pemerintah daerah dapat berlaku profesional
dalam menjalankan programnya sesuai dengan rencana dan ketentuan
perundangan yang berlaku. Pengawasan diharapkan akan memberikan umpan
balik untuk perbaikan pengelolaan pembangunan, sehingga tidak keluar dari
jalur/tahapan dan tujuan yang telah ditetapkan. DPRD tentunya juga dituntut
professional dalam menjalankan tugasnya supaya aktivitas pengelolaan dapat
mencapai tujuan dan sasaran secara efektif dan efisien.51
Anggota DPRD Kota Semarang banyak melakukan kritik terhadap
pengerjaan proyek KIP yang dilakukan di kampung-kampung. Terlihat dari awal
pelaksanaan KIP pada 1978, DPRD dalam sidang plenonya selalu
mempertanyakan langkah teknis apa yang akan ditempuh oleh Pemkot Semarang
untuk membangun infrastruktur dan perbaikan kampung-kampung yang menjadi
50"Jalan-jalan Kampung Lebih Baik Dikeraskan dengan Beton", Suara
Merdeka, 18 Maret 1985, hlm. 6.
51Aminudin, "Fungsi Pengawasan DPRD dalam Mewujudkan Tata Kelola
Pemerintahan yang Baik", Jurnal Katalogis, Volume 3 Nomor 12, Desember
2015 (Palu: Program Pascasarjana Universitas Tadulako), hlm. 133.
67
sasaran dari KIP. Anggota dewan yang bernama Nuhono Utomo dan Imron
menjadi contoh wakil rakyat yang kritis mengemukakan pendapatnya. Mereka
berargumen bahwa pelaksanaan KIP harus diawasi dengan ketat karena rentan
akan tindakan nepotisme. Terbuka peluang besar bagi tindakan nepotisme ketika
penunjukan sub kontraktor. Penunjukan bisa diberikan kepada kerabat, saudara,
atau teman yang dekat dengan oknum pemerintahan. Istilahnya “pumpung enak,
pumpung ono” (selagi enak, selagi ada). Oleh sebab itu, anggota dewan
berkomitmen untuk mengawasi pelaksanaan program KIP sejak awal untuk
menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh oknum
Pemerintah Kodya Semarang.52
Komisi A DPRD Kotamadya Semarang kemudian turun ke lapangan pada
1981 untuk melakukan peninjauan secara menyeluruh di kampung-kampung yang
terkena program KIP. Dari hasil pemantauan, jumlah anggaran KIP apabila
disinkronkan kembali dengan sasaran awal 15 kampung ternyata bisa
ditingkatkan menjadi 20 kampung. DPRD Kotamadya Semarang menyampaikan
hal itu bukan tanpa alasan karena sebelum melakukan tinjauan ke lapangan
mereka telah melakukan studi banding terlebih dahulu ke Surabaya dan
Surakarta.
Gambar 3.5. Komisi A DPRD Kodya Semarang Tinjau Perbaikan di Jalan Mijen
(Sumber: Suara Merdeka, 1981)
52Enggal Jaya, “Dari Sidang DPRD Kodya: Pelaksana KIP Jangan Asal
Tunjuk Karena Famili”, Suara Merdeka, 20 Desember 1978, hlm. 2.
68
Secara teknis, sebenaranya penghematan aspal bisa ditekan hingga 30%
pada perbaikan jalan sehingga pemerataan bisa dilakukan di kampung-kampung
lainnya yang benar-benar membutuhkan perbaikan sarana jalan. Ketua DPRD,
Imam Sumardi kemudian menyampaikan usulan tersebut kepada Kepala
Sekertaris Daerah (Sekda), Samsuri Mastur untuk diteruskan kepada Walikota
Semarang.53
Gambar 3.6. Pengawasan Pelaksanaan Perbaikan Jalan Kampung di Sekitar
Wilayah Imam Bonjol (Sumber: Suara Merdeka, 1981)
Anggota dewan kemudian memanggil jajaran pemerintah Kotamadya
Semarang pada rapat pleno DPRD yang diselenggarakan 14 April 1981. Anggota
dari Fraksi Karya Pembangunan (FKP) dan Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP)
kemudian melontarkan kritik dan masukannya atas dasar pengawasan yang telah
mereka lakukan selama tiga tahun pelaksanaan program KIP. Mereka menilai
bahwa pelaksanaan proyek perbaikan banyak yang asal jadi. Ketahanan dan
kualitas jalan kemudian dipertanyakan karena tiap musim hujan datang, jalan-
jalan kampung yang telah diperbaiki itu rusak kembali. Kritik dari wakil rakyat
tersebut kemudian ditanggapi oleh kepala Sekda. Ia mengemukakan alasan bahwa
tidak optimalnya kualitas perbaikan jalan kampung yang dilakukan adalah akibat
dari kelangkaan aspal di pasaran. Kondisi itu menyebabkan para kontraktor di
53“Mungkin 20 Desa di Semarang Bisa Masuk dalam Proyek KIP”, Suara
Merdeka, 14 februari 1981, hlm. 2.
69
lapangan menghadapi masalah atas ketersediaan aspal, sehingga beberapa
diantaranya mengakalinya dengan menggunakan cor semen.54
Gambar 3.7. Perbaikan Jalan Menggunakan Cor Semen Akibat Kelangkaan Aspal
(Sumber: Suara Merdeka, 8 Juli 1987)
Peristiwa itu menjadi tanda tanya besar atas keberlangsungan program KIP
di Semarang. Berlangsungnya KIP tampaknya dimanfaatkan oleh oknum-oknum
tertentu terutama para pemain aspal yang sengaja menimbun barangnya agar
terjadi kelangkaan. Apabila aspal langka, maka harganya pun turut mengalami
kenaikan. Tingginya harga aspal tentunya menjadi pertimbangan besar bagi
pelaksana proyek. Mereka sudah pasti tidak mau mengambil resiko dengan
membeli aspal dengan harga tinggi dan akan mencari cara untuk menghindari
terjadinya kerugian. Persoalan tentang kelangkaan dan oknum-oknum nakal
penimbun aspal menjadi misteri hingga akhir pelaksanaan KIP pada 1988 karena
pelakunya tidak dapat diungkap oleh pihak yang berwenang.
Pihak DPRD mendapat aduan dari masyarakat pada 1986. Aduan itu
berasal dari warga kampung Perbalan Purwosari. Kampung Perbalan Purwosari
adalah salah satu kampung yang menjadi sasaran dari KIP Urban V. Namun
hingga Juni 1986, perbaikan jalan tidak kunjung dilakukan. Padahal, kampung-
kampung lain yang bukan menjadi daerah sasaran malah sudah mendapatkan
54"Anggota DPRD Pertanyakan Perbaikan Asal Jadi", Suara Merdeka, 14
April 1984, hlm. 6.
70
bantuan perbaikan jalan. Warga yang mendatangi kantor DPRD kemudian
menagih janji kepada Wakil Ketua Komisi D yakni H.M. Koelyani. Koelyani
kemudian menghubungi ketua pelaksana KIP yang menangani daerah Perbalan,
Ir. Madyono. Setelah dilakukan cross check, ternyata memang benar bahwa
kampung Perbalan Purwosari belum dilakukan perbaikan karena pelaksana
proyek masih menunggu anggaran yang belum dicairkan. Pihaknya hanya
berfokus untuk menyelesaikan jalan di kampung-kampung yang telah disepakati
dalam tender. Kemungkinan perbaikan jalan di Perbalan Purwosari ini akan
dilaksanakan pada awal 1987 setelah dana dicairkan.55
Sorotan kepada pemborong juga diberikan pada praktik pembuatan dan
perbaikan saluran air. Selama KIP berlangsung, pemborong dinilai kurang
memperhatikan kondisi jalan sehingga tumpukan material proyek mengganggu
lalu lintas masyarakat yang menggunakannya. Pemborong sudah seharusnya
membuat jadwal, kapan material masuk dan kapan material keluar agar tidak
menimbulkan stagnasi (kemacetan) akibat tumpukan material yang berlebihan.
Kemacetan jalan timbul karena pemborong lebih mengutamakan penggalian
tanah. Tanah kemudian menumpuk di pinggir jalan dan parahnya materialnya pun
ikut ditumpuk begitu saja sehingga kondisi jalan terlihat tidak karuan.56
Gedung DPRD kembali didatangi warga pada Februari 1987. Kali ini protes
dilakukan oleh warga Tlogosari, Kecamatan Genuk. Mereka menuntut perbaikan
jalan juga menyasar ke wilayahnya. Kondisinya jalan di Tlogosari sudah rusak
dan selalu tergenang air pada saat hujan. Anggota dewan meninjau ke lapangan,
warga yang tampak kesal kemudian melakukan aksi dengan menutup akses jalan.
Aksi tersebut menyebabkan seluruh kendaraan yang menuju ke wilayah Tlogosari
harus berputar arah. DPRD kemudian melakukan penyelidikan dan mendapati
fakta bahwa Tlogosari bukan termasuk wilayah dalam pendanaan KIP. Perbaikan
jalan menjadi tanggung jawab dari pengembang Perumnas yakni CV. Bangun
55“Merasa Dijanjikan Proyek KIP, Warga Kampung Perbalan Purwosari
Mengadu kepada DPRD”, Suara Merdeka, 23 Juni 1986, hlm. 7.
56“Ketua DPRD Jateng: Pemborong Saluran Air Harus Perhatikan Jadwal”,
Suara Merdeka, 11 November 1986, hlm. 7.
71
Makmur. Pengembang Perumnas mengakui bahwa ada sedikit kendala keuangan
yang menyebabkan perbaikan jalan belum bisa dilakukan. DPRD kemudian
melakukan fasilitasi antara warga dengan pihak pengembang dan setelah
kesepakatan tercapai warga kemudian membuka akses jalan yang telah mereka
tutup sebelumnya.57
Banyak terjadi peristiwa aksi protes pada pelaksanaan KIP yang disebabkan
oleh miskomunikasi. Peran pengawasan yang dilakukan oleh DPRD sangatlah
penting dalam dinamika pekerjaan proyek yang dijalankan oleh pemerintah.
Pengawasan bertujuan untuk menekan oknum-oknum birokrasi, pelaksana atau
pun pemborong yang mencoba untuk mengambil keuntungan pribadi.
Pengawasan pembangunan memang akan menimbulkan kesan bahwa hubungan
antara DPRD dengan Pemerintah Daerah terlihat kurang harmonis. Namun
demikian, kehadiran DPRD pada pengawasan proyek KIP bukanlah upaya untuk
mengurangi kewenangan daripada eksekutif. Akan tetapi, pengawasan yang
dilakukan adalah upaya untuk mewujudkan terjaminnya kepentingan rakyat.
E. Kendala Pelaksanaan KIP
Kampung-kampung kumuh dengan kepadatan penduduk yang tinggi rata-rata
dihuni oleh warga dengan pendidikan rendah, miskin, dan akrab dengan
kekerasan. Proyek KIP di Semarang yang menyasar pada kampung-kampung
dengan kondisi demikian tentunya tidak serta merta luput dari kendala pada saat
pelaksanaannya. Permasalahan yang muncul setidaknya mengerucut pada dua
kendala. Pertama, masalah pembagian sertifikat tanah. Kedua, protes warga
terhadap proyek perbaikan kampung yang dirasakan kurang adil dalam
praktiknya.
1. Ketidakpuasan dalam Pembagian Sertifikat Tanah dan Bangunan
Kendala atas pembagian sertifikat tanah terjadi karena komunikasi antara
pemerintah dengan warga kampung tidak berlangsung dengan baik. Warga sadar
bahwa rumah yang mereka tinggali berstatus sebagai rumah liar sehingga ketika
57“Menuntut Perbaikan Jalan, Warga Tlogosari Unjuk Perasaan”, Suara
Merdeka, 3 Februari 1987, hlm. 6.
72
KIP dilaksanakan di kampungnya mereka kemudian merasa terancam dan takut
untuk digusur. Kekuatan hukum atas kepemilikan tanah dan bangunan yang tidak
dimiliki memicu kegusaran di benak mereka. Wajar bila warga menaruh
kecurigaan terhadap pemerintah atas berlangsungnya program KIP III tahap
pertama seperti halnya yang terjadi di Bandarharjo, Bugangan, dan Mlatiharjo.
Di Bandarharjo, pemerintah memberikan penawaran kepada warga untuk
mengurus sertifikat tanah yang juga menjadi salah satu program pada KIP Urban
III tahap pertama. Beberapa warga memang dibantu dalam hal pengurusan
sertifikat tanah, namun penyelesaian masalah itu hanya berlangsung pada saat
proyek KIP berlangsung. Warga memandang Pemerintah Kota Semarang dalam
hal ini hanya sekadar menyederhanakan proses pelaksanaan KIP agar berjalan
lancar, namun tidak mempedulikan nasib warga lain yang mengalami kesulitan
dan belum mendapatkan legalisasi kepemilikan tanah. Suwarno salah satu warga
Bandarharjo mengungkapkan bahwa kesulitan proses penyertifikatan tanah yang
dialaminya menimbulkan keraguan atas program ini. Ia takut bila program ini
telah selesai dan sertifikat belum juga didapatkan maka rumahnya kemungkinan
besar bisa digusur oleh pemerintah.58 Keterangan Suwarno tersebut dikuatkan
oleh warga lain yakni Soetikno. Beberapa rumah yang dihuni oleh warga
Bandarharjo masih bermasalah dengan pihak PJKA maupun Pelabuhan
Semarang, sehingga warga merasa tertekan ketika mereka melihat pemerintah
keluar masuk ke dalam kampungnya. Bagi sebagian warga yang nekat tentu
melancarkan beragam keluhan dan protes langsung kepada Kantor DPRD Kodya
dan Walikota Semarang. Usaha itu terkadang mendapat respon, namun tidak
jarang mengalami penolakan karena memang program pembangunan atau
perbaikan semacam KIP ini kurang memberikan ruang komunikasi bagi warga
yang terdampak pembangunan.59
Kesulitan yang sama juga dialami oleh warga Bugangan dan Mlatiharjo.
Pemerintah Kota Semarang melalui Kantor Agraria Semarang mencoba
58Wawancara dengan Suwarno dilakukan di Kantor Kelurahan Bandarharjo
pada 16 April 2020.
59Wawancara dengan Soetikno dilakukan di Kelurahan Bandarharjo
Semarang pada 16 April 2020.
73
menanggani problem kepemilikan sertifikat tanah tersebut secara bertahap,
selektif, dan parsial. Langkah ini diambil karena Kantor Agraria Kota Semarang
harus melakukan penelusuran terlebih dahulu untuk menghindari terjadininya
problem hukum pada masa yang akan datang. Menurut Kepala Kantor Agraria
Kota Semarang Arthy Soedjono, penyertifikatan tanah dan rumah warga akan
dilakukan secara kolektif bersamaan dengan pelaksanaan KIP III tahap pertama.
Penyertifikatan rumah dan tanah massal itu dimaksudkan agar tidak membebani
masyarakat, serta harga penghitungan luas lahan dan bangunan akan lebih murah.
Arthy mencontohkan bila pada umumnya setiap pemilik rumah harus
mengeluarkan biaya Rp. 3.500.000,- juta untuk setiap sertifikat ditambah dengan
ongkos ukur sebidang tanah bisa mencapai Rp. 7.000.000,-. Total ada 500 hektar
tanah yang akan disertifikatkan di tiga desa tersebut. Dari 500 hektar tersebut
yang terluas adalah Kelurahan Bandarharjo dengan luasan 330 hektar, namun di
tanah tersebut sedang diupayakan pembebasannya karena bersinggungan
kepemilikan dengan pihak Pelabuhan Semarang, Perusahaan Jawatan Kereta Api
(PJKA), serta pihak-pihak pemilik sertifikat hak milik tanah sebelumnya. Arthy
menambahkan bahwa tanah yang bisa disertifikatkan langsung adalah tanah
yayasan. Demi kelancaran pelaksanaan penyertifikatan di lapangan, Kantor
Agraria Kota Semarang akan terus berkoordinasi dengan pengurus LSD.
Pengurus diminta untuk membuat patok-patok tanah dari beton, besi, atau botol
kosong sebagai penanda luas wilayah yang akan disertifikat. Peran LSD sangat
dibutuhkan untuk memberi penyuluhan kepada warga yang rumah dan lahannya
terkena proyek KIP. Agraria merencanakan proses pengukuran pada 20 Mei 1980
di tiga kelurahan tersebut.60
Tercatat ada 284 warga Mlatiharjo yang mendapatkan sertifikat tanah yang
telah dijanjikan oleh Kantor Agraria Kota Semarang. Pada saat pembagian
sertifikat tanah tersebut, perwakilan Kantor Agraria Kota Semarang Soeratno
menyampaikan pesan Walikota Semarang, agar tidak segera menggadaikan atau
menjual tanah atau rumah yang sudah bersertifikat. Hal ini disampaikan Soeratno
di Balai Desa Mlatiharjo dihadapan 284 warga yang terdiri dari 77 warga di
60“Biaya Sertifikat Murah untuk Bugangan, Bandarharjo, dan Mlatiharjo”,
Suara Merdeka, 19 Mei 1980, hlm. 2.
74
Rukun Kampung (RK) VIII Mlatiharjo dan 207 warga di RK X Mlatiharjo.
Warga yang sudah menerima sertifikat tanah, dihimbau untuk tidak segera
menjual tanahnya. Proses pembagian sertifikat tanah untuk warga Mlatiharjo
ditunjukan oleh gambar sebagai berikut.61
Gambar 3.8. Penyerahan Sertifikat Tanah di Kelurahan Mlatiharjo
oleh Pejabat Kantor Agraria Kota Semarang
(Sumber: “Gambar Atas”, Suara Merdeka, 6 April 1981, hlm.7)
Himbauan ini disampaikan Soeratno mewakili Pemerintah Kota Semarang.
Alasan Soeratno melarang praktik jual beli sertifikat karena kondisi kampung
yang sudah semakin baik dan layak dihuni, sehingga sangat disayangkan bila
langsung ditinggalkan. Selain itu, penjualan atau penggadaian tanah akan
menyebabkan kecemburuan sosial di antara warga yang sudah mendapat haknya
dengan mereka yang belum mendapat sertifikat tanah dan bangunan. Seluruh
pengurus LSD dan ketua RT dan RK warga juga diminta menjaga kondusivitas
situasi. Para pengurus LSD dan RT maupun RK juga diminta untuk tetap
mengawasi, menjaga kebersihan, dan kesehatan lingkungan yang sudah ditata
melalui KIP. Sementara bagi yang belum menerima penyelesaian sertifikat, maka
Soeratno berjanji akan segera menyelesaikannya di Kantor Agraria Kota
Semarang.62
61“Gambar Atas”, Suara Merdeka, 6 April 1981, hlm. 7.
62“Lagi 284 Warga Mlatiharjo Dapat Sertifikat Tanah”, Suara Merdeka, 6
April 1981, hlm. 7.
75
Pelaksanaan KIP Urban III pada tahap kedua dilaksanakan di sebagian
wilayah Kelurahan Krobokan, Kecamatan Semarang Barat. KIP membawa
perubahan di wilayah ini, selain penataan kampung dan saluran air, juga
dibagikan pula sertifikat tanah bagi sebagian warga. Perbaikan di kampung ini
setidaknya mengurangi desakan warga yang membutuhkan akta tanah dan
sertifikat rumah. Hal ini dipenuhi pemerintah kota dengan membagikan seratus
sertifikat tanah bagi warga terdampak KIP. Pembagian dilakukan oleh perwakilan
Kantor Agraria Kota Semarang Soeratno dan Lurah Krobokan Achmadi. Dalam
pembagian tersebut Achmadi dan Suratno berpesan kepada warga yang belum
mendapatkan bagiannya untuk bersabar menunggu proses dari pemerintah kota,
sebab sedang diupayakan pembuatan sertifikat massal seperti yang pernah
dilakukan di tiga kelurahan sebelumnya.63 Permasalahan pertanahan di Kampung
Krobokan menjadi problem yang sulit dipecahkan. Hal ini disebabkan kepadatan
penduduk yang tinggi, serta arus kaum urban yang terus bertambah seiring
dengan perkembangan Kota Semarang. Warga di kampung ini jelas memiliki
permasalahan hak milik tanah yang bersinggungan dengan PJKA, sebab sebagian
tanah warga berada di dekat perlintasan rel kereta api. Kondisi menyebabkan
lambannya program-program perbaikan kampung yang mengarah ke kampung
tersebut.
Menurut Soekarman, sebagian besar warga Krobokan hidup di lingkungan
kumuh dan berpenghasilan rendah berharap bantuan pemerintah. Mereka ingin
terjamin dalam pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal yang layak, dan tentu
saja takut terkena gusuran. Oleh sebab itu, penyertifikatan tanah menjadi program
penting sebelum memulai proyek perbaikan kampung. Pemerintah sadar akan
kekurangan ini, namun proyek tetap berjalan dengan pengerjaan yang separuh-
separuh dan terkesan asal jadi untuk mengejar tenggat waktu proyek di
Krobokan. Akan tetapi di balik itu semua, warga tetap menuntut hak mereka atas
tanah yang telah didiami selama puluhan tahun tersebut.64
63“100 Sertifikat Tanah Krobokan Diserahkan”, Suara Merdeka, 20
November 1981, hlm. 6.
64Wawancara dengan Soekarman dilakukan di Kelurahan Krobokan pada
16 April 2020.
76
Selain fisik dan pembagian sertifikat tanah yang terkendala, jika dilihat dari
pola kehidupannya, masyarakat Krobokan cenderung kebiasaan masyarakat yang
sibuk terhadap pekerjaannya sehingga abai dengan kondisi kampungnya.
Mayoritas penduduknya adalah warga miskin yang enggan berpartisipasi apabila
tidak ada imbalannya. Wajar apabila mereka kurang paham akan pembangunan
yang terjadi pada lingkungannya sendiri.65
KIP menjadi proyek pembangunan fisik yang tidak selamanya berjalan
lancar, sebab kendala mengenai kepemilikan tanah masih menjadi perdebatan.
Permasalahan kepemilikan tanah kembali menghambat pelaksanaan KIP di
Kampung Brumbungan dan Jagalan. Di kedua kampung tersebut sejak awal
sudah bersengketa dengan Yayasan Nusa Putra, Yayasan Budha Santi, dan Tanah
Negara secara hukum kepemilikan tanah.66 Pihak yayasan sebenarnya sudah
berencana menggusur sekitar 1500 warga yang bermukim sudah cukup lama di
tanahnya. Sementara itu, pemerintah sesuai dengan rencana KIP akan segera
melakukan perbaikan kampung-kampung wilayah itu. Upaya untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut kemudian dilakukan dengan jalan mediasi
antara warga dengan pihak yayasan.67
Permasalahan mengenai sengketa kepemilikan tanah di sejumlah
perkampungan kumuh di Kota Semarang menjadi permasalahan mendasar dalam
perbaikan kampung pada dekade 1980-1990-an. Masyarakat pada dasarnya
sangat setuju bila ada perbaikan kualitas hidup dan penataan lingkungan yang
lebih sehat. Namun demikian, harus diakui bahwa pemerintah dalam praktiknya
belum benar-benar melakukan pemetaan yang menyeluruh sehingga masalah
sengketa tanah menjadi krusial ketika program KIP dijalankan.
65Afwah Ulya, "Partisipasi Masyarakat dalam Program Kota Tanpa Kumuh
di Kelurahan Krobokan Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang" (Skripsi
pada Jurusan Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam UIN Walisongo, 2018),
hlm. 157-158.
66“Warga Jagalan dan Brumbungan Lega: Kalau Keberatan Dipindah
Walikota Tidak Memaksa”, Suara Merdeka, 26 November 1983, hlm. 6.
67“Sertifikat Tanah di Jagalan Milik Pihak Ketiga Perlu Diteliti”, Suara
Merdeka, 28 November 1983, hlm. 6.
77
2. Protes dan Keluhan Warga
Kurangnya sosialisasi dan komunikasi yang terbuka kepada publik mengenai
target-target pelaksanaan KIP memicu terjadinya kesalahpahaman antara
pemerintah dengan warga yang terdampak KIP. Komunikasi yang baik secara
umum dapat berlangsung ketika semua unsur yang ada dapat terakumulasi
pendapatnya dan menerima segala keputusan dengan lapang dada.
Salah satu protes terhadap pelaksana program KIP terjadi di Kampung
Jagalan dan Brumbungan. Penolakan tersebut sebenarnya tidak serta merta
muncuk karena akibat tunggal pelaksanaan proyek KIP, tetapi kebetulan tenggat
waktu dan pemilihan sasaran pada pelaksanaan tahun ketiga KIP Urban III jatuh
pada dua kampung tersebut. Kedua kampung tersebut ternyata sedang
bersengketa atas kepemilikan tanah yang mereka tempati. Tidak kurang dari 1500
warga pada 1980 mendiami wilayah itu bersinggungan dengan Sekolah
Nusaputera dan Yayasan Buddha.68
Belum lagi terdapat pembangunan garasi-garasi usaha yang memakan jalan,
atau bahkan sampai menutup akses jalan warga. Selain itu, warga Kampung
Jagalan juga dihadapkan pada pembangunan beberapa panti pijat yang beroperasi
malam hari sejak Oktober 1982. Keberadaan panti-panti pijat ini meresahkan bagi
warga, sehingga tuntutan dari warga untuk menutup usaha tersebut terus
dilakukan. Warga menuntut pemerintah memperhatikan segala aspek kehidupan
terlebih dahulu sebelum melakukan penataan kampung yang terkenal padat
penduduk ini.69 Pada 1982, konflik semakin memanas karena warga lain tidak
terima atas pembangunan garasi yang menutup akses jalan. Mereka kemudian
melancarkan protes untuk mendapatkan penyelesaian atas keluhan yang mereka
alami.70 Berikut gambar di bawah ini ingin menunjukan kerumitan kasus sengketa
tanah yang terjadi di dua kampung tersebut.
68“1500 Jiwa Penduduk Brumbungan dan Jagalan Semarang akan
Dipindah”, Suara Merdeka, 21 Maret 1980, hlm. 2.
69“Warga Jalan Jagalan Merasa Terganggu oleh Panti Pijat”, Suara
Merdeka, 6 Oktober 1982, hlm. 7.
70“Lapor ke Walikota: Penduduk Jalan Jagalan Buntu Terganggu Bangunan
Garasi”, Suara Merdeka, 19 November 1982, hlm. 7.
78
Gambar 3.9. Rumah yang Berhimpitan dengan Sekolah Nusa Putra
di Kampung Jagalan (Sumber: Suara Merdeka, 21 Maret 1980, hlm. 2)
Kendala-kendala sosial yang harus dihadapi pemerintah ini masih ditambah
lagi dengan permasalahan mengenai penyediaan air bersih di Kampung
Mlatiharjo. PAM Kota Semarang menjadi sasaran amukan warga karena saluran
air bersih yang siap minum tidak benar-benar disalurkan sesuai dengan
peruntukan. Selain itu, warga melancarkan protes-protes kepada petugas PAM
yang datang untuk mengecek kerusakan maupun menagih besaran penggunaan air
bersih yang warga gunakan di kampung tersebut. Proyek KIP di Kampung
Mlatiharjo memang berfokus pada penataan jalan kampung dan penyediaan
sarana prasarana air bersih bagi warga. Akan tetapi dalam proses penggunaannya,
warga dirasa oleh PAM tidak melakukan pengelolaan dan kontrol yang baik.
Akibatnya keran air otomatis yang dipasang pihak pelaksana KIP untuk
mengontrol konsumsi air bersih warga menjadi rusak, bahkan ada beberapa yang
terbakar akibat penggunaan yang melebihi ambang batas, serta kerusakan keran
lainnya akibat ketidaksabaran warga untuk segera mendapatkan air bersih.
Kemarahan warga tidak sampai di situ saja, petugas PAM Kota Semarang
yang mendatangi lokasi dan melakukan pengecekan pun sempat dimarahi, dan
bahkan sampai ada yang diusir. Hal ini menjadi contoh betapa warga begitu kesal
dan jengkel terhadap hasil proyek KIP.71 Kekesalan dan kejengkelan warga tidak
hanya sampai di situ saja. Proyek KIP yang melewatkan Kampung Perbalan
71“Ketua Bappeda Kodya: Pompa Air dan Saluran Proyek KIP Banyak yang
Sudah Rusak”, Suara Merdeka, 16 November 1982, hlm. 6.
79
Purwosari untuk diperbaiki juga mengalami permasalahan yang serius. Warga
mengajukan protes kepada Walikota dengan alasan bahwa kampungnya yang
tergolong kumuh, serta padat penduduk perlu mendapat perhatian lebih dari
pemerintah. Selain itu wilayah kampung ini juga sering dilalui sebagai jalur lalu
lintas yang padat, sehingga termasuk kampung strategis bagi Kota Semarang.
Kerumitan permasalahan ini ditambah lagi dengan lalu lalangnya truk-truk
pengangkut material yang melintasi wilayah itu untuk pembangunan Drainage
Improvement Program (DRIP) dan KIP. Truk-truk yang berjumlah puluhan itu
lalu lalang di sekitar permukiman warga, sehingga menyebabkan gangguan
kebersihan lingkungan. Keberadaan truk-truk yang melintasi jalanan kampung
juga menyebabkan kerusakan pada sebagian ruas jalan. Warga merasa tidak
mendapat keadilan dari pemerintah yang hanya menjadikan kampungnya sebagai
tempat perlintasan angkut-angkut material pembangunan belaka.
Oleh sebab itu, beberapa warga yang tidak mendapat tanggapan yang baik
dari pemerintah sempat mendatangi Kantor Walikota untuk mendapat penjelasan
perihal tidak dipilihnya kampung mereka sebagai salah satu kampung yang
berhak mendapatkan perbaikan dalam proyek KIP ini. Untuk meredam protes
warga tersebut, Pemerintah Kota Semarang hanya bisa menjanjikan tender proyek
perbaikan kampung berikutnya akan memprioritaskan Kampung Perbalan
Purwosari.72 Berikut peta letak kampung dan pentingnya perbaikan fasilitas
kampung yang perlu segera diadakan di sini, dapat dilihat di bawah ini.73
72“Merasa Dijanjikan Proyek KIP: Warga Kampung Perbalan Purwosari
Mengadu kepada Walikota dan DPRD”, Suara Merdeka, 23 Juni 1987, hlm.7.
73“Catatan”, Suara Merdeka, 23 Juni 1987, hlm. 7.