The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by desi.bpdikjur, 2021-12-20 02:53:12

Pulang Senyummu Abadi

Pulang Senyummu Abadi

Pulang: Senyummu Abadi

Copyright @2021
Cetakan Pertama : 2 Mei 2021
Penulis : Rumisih, M.Pd., Dra. Retnaningsih, M.Pd.,

Siti Aminatun, S.Pd , M.Par.
Editor : Vindi Fitriana, S.Sos.
Layout : Vindi Fitriana, S.Sos.
Cover : Gitakara
Tebal Buku : ii+146 halaman

Diterbitkan oleh Vigi Bless Publisher
Alamat : Jln. Perintis Kemerdekaan No. 09 RT. 04/05,

Purwokerto 53141
Telepon : 082221636380
Email : [email protected]
Blog : www.vigiblesspublisher.blogspot.co.id

Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang keras memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku

tanpa seizin penerbit.
ISBN : 978-602-5725-85-2
Isi di luar tanggung jawab percetakan.

ii

Daftar Isi

Daftar Isi……………………………….... iii
Kata Pengantar…………………………… iv

1. Pulangnya Wanita Perkasa…………... 1
2. Bapakku Pulang dalam Keinsyafan......... 18
3. Cerita Panjang Menjelang

Kepulanganmu………………………... 32
4. Pergi dengan Senyum……………….… 44
5. Seulas Senyum Terakhirmu……………. 71
6. Senyummu Abadi, Mbak Weni………... 92
7. Aya Pulang, Ma………………………. 104
8. Pulangnya Lelaki Berambut Cepak……. 115

Tentang penulis……………………………. 139

iii

Kata Pengantar

Puji syukur tak henti penulis panjatkan ke hadirat
Allah SWT yang selalu memberikan karunia yang tak
terhingga kepada penulis. Selalu memberikan jalan keluar
setiap datang permasalahan, juga memberikan berkah-Nya
lewat jalan dan tangan-tangan yang tak disangka-sangka
datangnya. Selalu ada pelangi selepas hujan. Selalu sejuk
setelah badai sirna. Adakah nikmat yang kami dustakan?
Alhamdulillah, Allah selalu menjadi pembimbing,
penuntun, dan pelindung bagi penulis agar tetap di jalan-
Nya.

Antologi Cerpen Pulang: Senyummu Abadi ini
berisi cerita-cerita yang terinspirasi dari kisah nyata. Buku
ini merupakan antologi cerpen bersama para guru SMA
Negeri 9 Semarang dan guru SMK Negeri 4 Kendal.
Berbeda dengan antologi lainnya, antologi ini yang berisi
perenungan penulis tentang Kepulangan orang-orang
terkasih. Yang lebih menarik lagi, antologi ini ditulis oleh
Ibu-ibu Guru yang di sela-sela kesibukannya menyiapkan
pembelajaran juga mengurusi keluarga di rumah.

iv

Karya sastra, cerpen khususnya, lahir dari imaji-
imaji yang berkeliaran, juga lahir dari realitas-realitas
sekitar yang diwarnai dengan khayal. Kata-katanya;
kadang kaku walau tidak beku, kadang cair meskipun
tidak mencair. Ia selalu hadir dalam lintasan sejarah,
menjadi juang walau tidak pernah berjuang, menjadi
senjata walau tidak mampu mematikan, atau hanya
menjadi teman dalam sepi bagi yang selalu merasa
kesepian. Ia selalu unik dalam kehadirannya. Realita dan
khayal bersenggama hingga lahirlah Antologi cerpen
Pulang: Senyummu Abadi.

Perlu saya sampaikan terima kasih kepada Ibu
Retnaningsih: sahabat, sejawat, kerabat dan sabahatku,
adikku Siti Aminatun telah bersama menulis cerita
berharganya.

Juga saya sampaikan terima kasih kepada Vigibless
Publiser yang menerbitkan dan merapikan antologi ini.
Inilah salah satu yang telah membantu terdokumentasi dan
tersebarluasnya karya saya.

Semarang, Mei 2021

Penulis

v

Pulangnya Wanita Perkasa
Oleh Rumisih, M.Pd.

“Apa? Emak meninggal?” HP digenggaman jatuh di
atas sajadah panjang.

Aku sudah tak bisa berpikir lebih lama. Segera
kulipat mukena yang masih menyelimuti seluruh tubuhku.
Baru selesai sholat magrib. Kuberitahu suami dan anak
semata wayangku sambil melipat beberapa pakaian yang
akan kubawa, masih dengan air mata bersimbah
membasahi seluruh wajahku.

***

Wanita perkasa itu adalah Emakku. Bundaku yang
mengandung dan melahirkanku. Wanita berkebaya
seadanya dan bergelung apa adanya. Tak pernah
sedikitpun wajahnya tersapu make up: alami. Sendal sifon
selalu menemani ke mana pun Emak pergi. Sikapnya
bersahaja: santun, grapyak apa adanya.

Emak, wanita baja bermulut sutera. Bermata tajam,
bak elang siap menyambar. Selalu tahu apa yang kami
mau. Beliaulah pelindung kami ketika ketaknyamanan

1

menyerang. Beliaulah penghangat kami di kala dingin
suasana mulai merambat, merayap. Tempat menyelesaikan
semua unek-unek dan kebekuan hati. Penyembuh segala
penyakit dengan cara yang sangat alami dan tak masuk
akal. Dokter umum yang kami miliki tanpa resep dan
tetek bengek.

Emak. Penyalur ketenteraman dan ketenangan
hidup. Energi positifnya selalu memancar dari sorot mata
dan sentuhan lembutnya. Perantara doa yang tak
berbiaya, bercukai, dan tak bermaterai. Dengan
kelembutan pintanya. Dengan untaian doa-doa panjang
nya, Allah telah memberikan kelebihan pada Emak.
Pancaran kasih sayangnya, terasa di seluruh penjuru
dunia.

Emak tulus mengabdi, taat beribadat pada-Nya.
Kaki bengkak Emak adalah bukti ketulusan dan
ketaatannya. Tahajud tak pernah lewat. Lima waktu
selalu menyatu dalam kalbu. Ritual Emak adalah ketaatan
dan pengabdiannya pada Yang Esa, Yang Kuasa. Tiada
doa yang terlewat. Tiada permohonan yang Emak
tundakan. Semua disegerakan. Kami percayakan semua
pinta, cita, permohonan, dan pengharapan melalui Emak.
Bersama Emak, semua beres, gampang diatur, hehehe.

Senyum Emak adalah khas senyum orang papa.
Senyum penuh kesederhanaan dan kemiskinan. Senyum
tanpa suara. Senyum mengembang mengalahkan
Monalisa. Senyum tulus ikhlas mengalahkan artis

2

berkelas. Tapi, keramahtamahannya jangan ditanya:
mengalahkan segalanya. Super-super ramah.

Emak selalu tersenyum dan menyapa siapa saja.
Lebih-lebih pada orang yang Emak kenal. Asal berjenis
kelamin dan bernyawa, selalu Emak sapa dengan
ketulusan dan keikhlasannya. Seringkali Emak salah
menyapa karena ternyata mereka tidak mengenal Emak.
Namun, Emak tak pernah menyesal karena tersenyum
dan menyapa. Idep-idep sedekah, kata Emak bersahaja.

Ah, Emak. Dengan ketabahan dan keikhalasan
yang luar biasa, Emak telah melahirkan sebelas manusia
dari rahimnya (itu tidak termasuk yang lahir prematur
dan meninggal: meskram). Subhanallah.

Emak tak pernah ragu dan malu. Tak pernah malu
melahirkan dan mengasuh kesebelas anaknya dengan
tangan dan tenaga sendiri. Tak memerlukan pembantu dan
bantuan orang lain. Meski keringat bercucuran dan air
mata berhamburan, tak sekali pun Emak mengemis
perhatian. Tak pernah merepotkan dan menyusahkan
sanak saudaranya. Emaklah yang dengan setia
mendampingi kami setiap saat, setiap waktu, dan setiap
kesempatan. Termasuk aku, anaknya kedelapan. Aku
turun ke planet bumi untuk menghirup udara segar.
Namun, aku tak sempat bertemu dengan kakakku yang
kedua dan kelima. Mereka meninggal sebelum aku
dilahirkan (malu kali ya bertemu aku, hehe). Dan adikku
yang ragil juga meninggal ketika aku kecil. Jadi kami

3

tinggal delapan bersaudara. Aku berada diurutan keenam,
sedangkan yang bungsu adalah adikku Imah.

Emak selalu percaya diri. Dengan segala
kesederhanaan dan keterbatasannya, Emak selalu tampil
pertama di garda terdepan ketika keluarga mengalami
apa pun. Mengalami badai dan goncangan sekalipun.
Sangat berat beban yang ditanggung Emak. Sangat
riskan tanggung jawab yang Emak sandang. Namun, tak
pernah sekali pun kudengar keluhan dan rintihan keluar
dari bibirnya. Tak pernah terbersit keinginan buat
mengobaral derita. Tak pernah menyusup niat buat
menuai belas kasihan.

Emak selalu memendam duka deritanya seorang
diri, jauh di lubuk hati. Pantang baginya menceritakan
kekurangan keluarga, meskipun dengan saudara. Enggan
meminta bantuan dan pertolongan pada famili,

“Jangan membuka aib: rak ilok”, katanya suatu
hari.

Emak begitu perkasa, tegar, berwibawa. Dalam
hantaman dan goncangan prahara rumah tangga, Emak
selalu menyelesaikannya dengan bijaksana. Setiap
masalah dan persoalan, selalu bisa Emak selesaikan.
Betapa hebatnya Emak. Padahal Emak tak pernah makan
bangku sekolahan. Tak pernah tersentuh pendidikan
formal. Pengalaman dan kedewasaanlah yang telah
menempa Emak, yang telah menjadi “gurunya” Emak.
Ah Emak.

4

Emak sangat disiplin dan bertanggung jawab.
Pantang bagi Emak terlambat bangun. Sebelum subuh,
Emak sudah bangun untuk melaksanakan salat malam.
Sehabis subuhan, segera Emak menjerang air dan
menanak nasi. Belum menyeka keringat bila pekerjaan
belum usai. Semua pekerjaan rumah selalu Emak
selesaikan sendiri. Aku hanya mencuci kaos kaki
seminggu sekali, Mamung dan Mago menyeterika bila
ada waktu sisa. Tugas kami yang utama adalah belajar.
Kebersamaan, kebersamaan, dan kebersamaan selalu
Emak tanamkan. Kerukunan adalah modal utama. Emak
sedikit emosi jika ada laporan anaknya berkelahi. Emak
sangat gusar jika mendengar kami bertengkar. Emak
teramat marah jika kami salah. Satu salah, yang lain ikut
dihajar: diteyot sampai biru-biru dan dimarahi habis-
habisan. Karena itulah, kami berusaha selalu menjaga
agar tidak bertengkar dan berkelahi dengan teman, lebih-
lebih dengan saudara, karena akan membuat Emak murka
dan kalap. Kami tak mau itu terjadi.

Emak adalah burung elang yang siap mencakar dan
menyambar. Pedasnya melebihi cabe. Tajamnya melebih
belati. Bisanya bak ular kobra pemangsa manusia. Hiiiii...
ngeri. Kulihat Emak sudah capai dan kelelahan (atau
kuwalahan?) menghajar kami. Akhirnya, kudengar juga
isak tangis Emak. Di tengah tangisnya, Emak mencoba
bersuara dan menasihati kami.

“Kita orang kere, jangan bertingkah. Jangan
macam-macam. Kita selalu disorot dan disalahkan. Mau

5

jadi apa kalau kalian bertengkar, mau jadi jagoan, ha?
Tidak ada orang yang menjadi besar karena bertengkar.
Tidak ada orang yang pandai karena nakal. Kalau kalian
mau pintar, mau pandai, jangan nakal. Berjanjilah kalian”,
kudengar sedu sedan Emak.

Bercucuran air mata Emak, bercampur dan
bersimbah peluh di wajahnya. Diangkatnya ujung
kebaya, disekanya lelehan air mata. Pelan Emak berucap
dan mengelus kepala kami dengan lembut sembari
memandangi kami bergantian. Akhirnya, menyusup juga
belas kasihnya. Kasih sayangnya.

“Kalian sudah besar, kalian baru belajar,
mengenyam sekolahan. Katanya kalian ingin pintar, ingin
jadi orang,” Emak menghela napas panjang.

“Kalau kalian bertengkar seperti ini, apakah kalian
bisa berhasil? Kita ini orang tak punya. Tetangga adalah
saudara kita. Kekayaan kita hanya budi pekerti, harga diri.
Kalau kalian berkelahi, apakah orang lain mau
menghargai? Renungkan, pikirkan. Jangan merasa
menjadi jagoan karena kalian berbadan besar. Jangan
merasa menang. Jangan tinggi hati. Jangan sombong, apa
yang kalian sombongkan? Apa yang kalian banggakan?
Kita tak punya apa-apa, kita ini orang miskin, Nak,” suara
Emak semakin melemah. Aku beberapa kali menyeka air
mata. Tak tega mendengarnya.

“Kalau kalian ingin berhasil, mulailah dari sekarang.
Benahi kelakuan kalian. Ingat selalu: kita itu orang
miskin, orang melarat. Jangan macam-macam. Jangan

6

bertingkah. Kalau kalian kasihan sama Emak, berubahlah,
jangan melempar telek di wajah Emak-Bapakmu yang tak
makan sekolahan. Kalian harus mikul dhuwur mendem
jero orang tua. Jadilah orang yang berguna. Kalau tak bisa
berguna buat orang lain, bergunalah buat diri kalian
sendiri. Gampang to? Tidak usah neko-neko. Kalau
kalian tak bisa diberitahu, mati sajalah kalian. Mari kita
mati bersama-sama, agar kita tak menambah dosa, tak
menambah sengsara”, suara Emak semakin pelan,
melemah, dan undur dari hadapan kami.

Kami bertambah keras menangis. Aku sendiri tak
tega melihat Emak begitu nelangsa. Emak merasa gagal
mendidik kami. Emak merasa gagal membimbing dan
mengarahkan kami. Emak merasa bersalah pada tetangga
yang putranya kami nakali, kami jahili. Emak merasa
berdosa karena anaknya berbuat aniaya. Emak.

Kejadian dan peristiwa itu terpatri dalam sanubari.
Bak prasasti takkan terganti. Takkan lekang dimakan
zaman, takkan luntur dimakan waktu. Aku tak kan pernah
melupakan peristiwa itu. Pelajaran yang sangat berarti
buatku, buat kami sekeluarga. Kami berjanji pada Emak
untuk tidak nakal lagi. Tidak membuat Emak susah dan
malu dikemudian hari. Tidak melempar kotoran di wajah
Emak, tidak membuat susah Emak. Oh Emak, kami
sangat menyayangimu Mak.

***

7

Malam ini.
Aku masih belum percaya. Masih kupandangi
wanita perkasa itu, Emakku, yang sudah tergolek tak
berdaya. Terbujur kaku di hadapanku. Yang kini sudah tak
lagi dapat apa-apa. Ia tak lagi merasakan sakit strok yang
selama tiga tahun menggerogoti kesehatannya, semenjak
bapak mendahuluinya.
Masih jelas terngiang suara petuah-petuahnya yang
panjang, nada keras dan bentakan semua serasa berputar-
putar di kepalaku. Masih hangat di sini, di hati ini.
“Ayo maem sik,” begitu selalu kalimat sakti Emak.
Kini, esok, dan sama sampai kapanpun, kalimat itu
takkan terulang lagi. Wajah beku, ayu, dan senyum
mengembangmu masih kulihat kini: ketika kau terbaring
tanpa roh di hadapanku. Tak ada lagi yang bisa kulakukan,
walau sedetik saja, untuk memperpanjang usiamu. Andai
harta dan umurku dapat menggantikan posisimu saat ini,
tidur terbungkus kain kafan, aku siap bertukar tempat.
Namun, Allah sudah menggariskan jatah umurmu.

***

“Mbak, nanti pulang sekolah mampir ke Pands
Colection, tolong belikan air zamzam yang botol kecil
dan minyak tujuh bunga ya,” kata Imah, adik bungsuku
lewat sambungan telepon.

“Buat apa, Mah?” tanyaku tak mengerti.

8

“Buat Emak, Mbak. Kata ustadzku, nanti minumkan
air zamzam itu walau seteguk, kemudian usapkan di
wajah Emak,” terangnya.

“Oke,” kataku pendek.

***

Siang itu aku ke Gisikdrono menengok Emak.
Seperti pesan Imah adikku, aku membeli beberapa barang
yang dipesankan.

“Mak”, kataku begitu masuk rumah Mbak Rubiah,
kakakku. Aku langsung masuk kamar Emak. Kuciumi
wajah tirus itu, lemah tak berdaya. Kurasakan air bening
di menggumpul di sudut matanya. Kudekap tubuh ringkih
nya. Aku begitu kangen. Kangen yang membuncah,
memenuhi dadaku. Sekali lagi kupeluk tubuh Emakku,
kucium keningnya, sebelum kutinggalkan Emak yang
lemah. Aku duduk di ruang tamu.

Mbak Ru keluar membuntutiku.
“Wingi ngundang-ngundang Lik Sih terus,” kata
Mbakku tersayang, jare pengen mulih,” lanjut Mbak Ru.
“Maaf ya Mbak, wingi isih sibuk”, jelasku. Kutatap
Mbakku penuh kasih. Mbakku yang dengan setia dan
sayangnya merawat Emak dan Bapak (hingga kapundhut).
“Saiki wes lego ya?” tanyanya.
“Iyo, Mbak,” kataku dengan perasaan campur aduk.
Kok aku sombong ya. Sesibuk apa aku? Presiden saja
masih kalah sibunya dengan aku. Tak terasa, menetes

9

butiran air mata di sudut-sudut. Ada sesal yang tak
pernah kumaafkan.

Kembali aku masuk ke kamar Emak, rasanya
gumpalan kangenku belum juga mencair. Tangis yang
kutahan, kutumpahkan di dada Emak.. aku mengambil
beberapa barang yang tadi kubeli di Pands. Kubuka
tutup botol air zamzam

“Ngunjuk, Mak”, kataku sambil menyodorkan
sendok. Emak tersenyum, tapi jelas kulihat ada air mata
menggenang.

“Mak sampun diakekahi kala wingi kalih
Sukimah”, kataku berbisik di telinganya. Kembali kulihat
air mata itu semakin deras. Kuusap kepala Emak
beberapa kali, kucium, dan kudekap sayang penuh
kelembutan. Aku dan Emak sama-sama berurai air mata.
Rasanya belum puas untuk bersama Emak.
Kusembunyikan tangisku dalam sedan tak bersuara. Aku
ke luar kamar.

Mbak Ru masuk, beberapa saat kemudian.
“Lik, bantu ya ngganti pampers”, kata Mbak
Ru,”biasane gak seberat iki”, lanjutnya. Aku masuk ke
dalam kedekap tubuh Emak, kemudian kumiringkan ke
dadaku. Aku semakin hanyut dalam dekapan kami
berdua. Beberapa kali kucium pipi tirus wanita yang
melahirkanku: sebelas anak lahir dari rahim wanita yang
kini di dekapanku.
Setelah mengganti popo dan membaringkannya
kembali, aku pamit sama Emak dan Mbak Ru.

10

“Aku pulang dulu, besok-besok aku ke sini lagi ya,”
kataku sambil beberapa kali menciumi kening Emak.
Ditariknya tanganku dengan penuh kelembutan. Kembali
kutubruk lagi tubuh ringkih itu. Kudekap erat dan kali ini,
kurasakan elusan tangan Emak menjelajahi punggungku.

“Aku pulang dulu njih Mak, besok-besok kesini
lagi,” kataku menggenggam erat dan mengelus munggung
tangannya. Anggukan kepalanya menandakan keikhlasan
nya melepasku.

***

Kulepas mukena satu per satu. Sholat magrib baru
saja kutunaikan. Terdengar nyaring bunyi ponselku. Oh
Yani, ponakanku.

“Apa? Emak meninggal?” HP digenggaman jatuh di
atas sajadah panjang.

Oh, berarti tadi sore itu adalah pertemuan terakhirku
dengan Emakku tersayang. Ada rasa sesal yang tak
bertepian. Mengapa tadi aku kok pulang, coba kalau aku
tidak pulang ke Banyumanik, pasti aku dapat menunggui
saat-saat terakhirnya Emak. Atau bahkan, akulah
pembunuh Emak? Karena tadi sore aku yang telah
meminumkan air zamzam buat Emak. Ah... segalanya
berkecamuk memenuhi batok kepalaku. Semuanya
berputar dan...

Aku sudah tak bisa berpikir lebih lama. Segera
kulipat mukena yang masih menyelimuti seluruh tubuhku.

11

Baru selesai sholat magrib. Kuberitahu suami dan anak
semata wayangku sambil melipat beberapa pakaian yang
akan kubawa, masih dengan air mata bersimbah
membasahi seluruh wajahku.

Selamat jalan Mak, husnul khotimah kembalimu,
Allah telah menyiapkan surga: tempat yang mulia
peristirahatan terakhirmu. Semoga bersatu dengan Bapak
di taman firdaus seperti harapan dan cita-cita kita selama
ini. Aamiin

12

Emak,
Kulihat kerut di keningmu
Kulihat keriput di pipimu
Kulihat gurat di matamu
Kulihat letih di wajahmu
Semuanya adalah gambaran

perjuanganmu, Mak.

Emak,
Berbalut kasih dan sayangmu
Berselimut tatapan lembutmu

Berbekal doa dan restumu
Bertaburan lambaian tanganmu

Kulangkahkan kakiku, Mak.

Emak,
Kurasakan di seluruh nadiku

Di sekitar pori-poriku

13

Dalam detak jantungku
Di seluruh jiwa ragaku
Semuanya menganggung namamu, Mak.

Emak,
Perjuanganmu yang tiada pernah letih

Membesarkan anakmu yang tertatih
Semangatmu yang selalu membara
Bersemayam dalam seluruh raga

Emak,
Karenamu aku bisa
Karenamu aku terjaga
Karenamu aku merasa
Bahagia sepanjang masa

Emak,
Kulabuhkan semua dukaku

14

Kucurahkan semua keluh kesahku
Kusandarkan semua kebimbangan dan

bebanku
Kau terima semua dengan senyum

mengembangmu, Mak.

Emak,
Kaulah karunia terindah dalam hidup
Kaulah penyemangat yang tak pernah

redup
Kaulah harta yang tiada pernah sirna
Kaulah lentera yang selalu membara

dalam dada

Emak,
Untukmu kupersembahkan prestasi

Untukmu kutancapkan janji
Untukmu kuberanikan diri

15

Mengikuti jejakmu yang tiada pernah
henti

Mengabdi pada pertiwi

Emak,
Tersenyumlah
Dekaplah aku dalam pelukmu
Agar kurasakan kasih sayangmu
Agar ringan langkah ke depan

Emak,
Kusebut namamu setiap waktu

Kupatri namamu di hatiku
Kuukir semua jasa dan pengorbananmu
Kutukar semua dengan doa pada Yang

Kuasa

16

Ya Allah,
Berilah Emakku ampunan dan kasih

sayang-Mu
Berilah ia kebahagiaan
Berilah ia tempat yang layak di surga-Mu
Agar ia dapat memandang dan

mendoakanku selalu
aamiin

17

Bapakku Pulang dalam Keinsyafan
Oleh Rumisih, M.Pd.

“Apa, Mbahkung meninggal?”
“Inggih, Bulik,” pendek kata Mbak Anis,
ponakanku.
“Ba pak me ning gal?” masih belum percaya. Kueja
sekali lagi.

***

Trangkil Jatingaleh
Sudah ramai orang di rumah Mago, kakakku
tersayang. Aku langsung masuk ke rumah, kutubruk dan
kudekap Emakku tersayang. Tak ada sepatah katapun
dari mulutku, hanya air mata yang mengalir deras.
Setelah sekian lama, baru kulepas dekapanku.
“Sabar dan ikhlas njih Mak,” kataku pelan. Emak
hanya memandangku sebentar, kemudian kembali
menatap jenazah almarhum Bapakku yang terbujur kaku
di hadapan kami. Tanpa kedip: tak berkedip.
Kami diam dengan pikiran masing-masing. Aku
menatap lurus almarhum Bapak, sebentar-sebentar

18

memeluk Emak. Rasanya aku kembali kecil lagi: manja
betul.

Air mata terus mengalir tak terbendung. Jebol juga
aku menahan alirannya.

Terbayang kembali sepak terjang Bapakku tercinta
ini.

***

“Pak Salim sudah ditunggu, katanya mau pindah,”
kata Pak Jan sambil berbisik. Bapak kaget.

“Oh, iya ya, hari ini pindah ya?” Bapak malah balik
bertanya pada Pak Jan. Pak Jan hanya mengangguk
sebelum menggeleng-gelengkan kepala.

“Aduh, ampun Gusti,” kata Pak Jan.

***

Pakde akhirnya mengikhlaskan juga kami pindah.
Mengikhlaskan? Terpaksa kali. Kulihat wajah Pakde
sepuluh tahun lebih tua dari umur sebenarnya. Bayangan
gelap tentang kehidupan keluarga Emak terpampang
nyata. Pakde tak tega melihat itu semua. Pakde tak sudi
melepaskan kami, tak rela menyaksikan kami makin
sengsara, makin merana.

Namun, karena permintaan adindanya yang rapuh,
Pakde akhirnya luluh. Masih berat betul perpisahan itu,
tapi demi kebahagiaan adiknya, Emakku dan keluargaku,
akhirnya Pakde mengalah: memberikan izin pindah.

19

Setelah mendapat restu dari Pakde, kami sekeluarga
bersiap-siap pindah.

Tak banyak yang kami benahi. Memang kami tak
mempunyai apa-apa: papa. Hanya baju yang menempel
yang kami bawa, sepasang sandal jepit yang dipakai
masing-masing anggota keluarga. Ah, betapa miskin dan
hinanya. Hina? Ah tidak! Aku berusaha menyanggahnya
sendiri.

Kami tak pernah mencuri, tak pernah merompak,
merampok, apalagi korupsi. Kami hanyalah orang miskin
harta: tak punya apa-apa. Itu saja!

Kami miskin. Ya miskin harta. Tapi kami tidak
miskin jiwa, bukan pula raga. Jiwa kami bebas
mengelana. Raga kami bebas mengembara. Hanya harta
yang tak kami punya, juga ilmu yang belum ada. Aku
katakan “belum” karena memang kami belum sekolah.
Belum mengenyam pendidikan seperti orang-orang.

***

Kepindahan kami terasa berat. Bapak menjanjikan
kami akan pindah ke Banyumanik. Di perumahan milik
temannya.

“Kita disuruh menempati rumahnya Pak Madi,
temanku,” kata Bapak bersemangat. Semangat Bapaklah
yang meyakinkan Emak untuk pamit pada Pakde,
memberanikan diri untuk pindah: menyongsong harapan
baru yang ditiupkan Bapakku. Bapak begitu enteng

20

menyampaikan kepindahan pada kami: tanpa beban,
malah dengan senyum mengembang. Ah, Bapak...

***

Hari kepindahan yang telah kami nanti-nanti itu
akhirnya datang juga. Buntalan taplak meja yang berisi
pakaian telah kami siapkan. Kardus-kardus pembungkus
telah tertata rapi. Tak banyak, hanya tiga kardus kecil.
Aku sudah menyiapkan mental begitu Bapak memberikan
kabar. Namun, ke mana Bapak? Di mana Bapak? Tak
kulihat sedari tadi. Emak bingung. Satu... dua... tiga jam...
kami menunggu Bapak. Tak tampak batang hidungnya.
Kelebat dan bayangannya pun tak menjelma.

Pakde mulai naik pitam.
“Di mana Salim, Yah?” tanya Pakde dengan nada
tinggi. Emak yang masih mengenakan kebaya setengah
semrawut, rambutnya yang panjang lepas dari sanggulnya,
tergopoh-gopoh menjawab.
“Anu Kang, Bapaknya sedang piket di kantor,” kata
Emak dengan suara pelan. Pakde sudah tegang. Kulihat
sorot kasihan di matanya. Kami sudah menunggu
beberapa jam, lebih kurang tiga jam, tetapi Bapak belum
juga datang.
Pakde mondar-mandir di depan kami. Memegang
dagunya, menyilangkan tangan. Kembali lagi bersedekap,
bingung. Dimasukkannya tangan kiri ke dalam saku

21

celananya, tangan kanan memegang dagu yang tidak
berambut.

Menggaruk-garuk meski tak gatal. Pakde mulai
berpikir keras, “Aku harus melakukan sesuatu” kata
Pakde pelan. Jidat lebarnya mulai berkerut. Warna
gelap kulitnya, menambah ketuaan di wajahnya. Pakde
jauh terlihat tua dari umurnya.

Kulihat Pakde melambaikan tangan, memanggil
Pak Parjan.

“Jan, sini!” kata Pakde cukup keras dan mantap.
Pak Jan datang tergopoh-gopoh. Pak Jan adalah
tetanggaku yang paling dekat, seumuran Bapak. Badan
nya gemuk, kulitnya kuning langsat, tetapi sayang
rambutnya tidak begitu terurus. Pak Jan senasib dengan
keluargaku, tetapi ia baik hati sedunia, tidak sombong,
tapi sayang, tidak suka menabung.

“Jan, tolong kamu jemput Salim di kantornya!”
kata Pakde pada Pak Parjan tetangga kami. Pakde
kelihatan tidak sabar, air mukanya masam, marah.
Akhirnya dengan berat hati Pakde mengutus Pak Jan
untuk menjemput Bapak di kantornya karena setelah
setengah hari ditunggu Bapak tidak menampakkan
batang hidungnya. Tidak nongol di hadapan kami. Pak Jan
menganggukkan kepala berulang-ulang. Segera diambil
nya sepeda onthel butut kesayangannya. Dipasangnya
rantai yang sejak kemarin lepas. Dipastikannya semua
baik-baik saja. Aku digendongnya dan mendudukkanku
di sadel belakang. Kedua kakiku diikat selendang kecil

22

dengan bagian depan sadel. Sedangkan badanku
dirapatkan dengan perut Pak Jan menggunakan jarit
Emak. Pak Jan sangat sayang padaku. Dikayuhnya sepeda
itu sekuat tenaga. Ia bagai mendapat durian runtuh,
mendapat keberuntungan yang sangat besar. Ia telah
dipercaya, diberi amanah oleh orang terpandang, tersohor,
untuk menjemput orang penting, orang yang telah
ditunggu-tunggu kedatangannya oleh seantero warga
Kaligawe: Bapakku.

“Wah, mimpi apa aku semalam?” tanya Pak Jan
dalam hati. Pak Jan tersenyum-senyum sendiri.

***

Siang itu terik sekali. Panas menyengat. Pepohonan
yang ada di sepanjang jalan Pemuda tak mampu
menciptakan kerindangan. Kesejukan yang kami
harapkan tidak menjadi kenyataan. Ketenteraman yang
kami inginkan, ternyata justru berbuah kecarutmarutan.
Hingar-bingar dan bising kendaraan semakin menambah
kesemrawutan. Oh, Semarang.

Pak Jan mengayuh sepeda, sedangkan aku duduk
di belakangnya memberikan semangat. Sepeda memasuki
gedung tua.

“Selamat pagi, Pak!” kata Pak Jan sambil memberi
hormat kepada petugas jaga.

“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
tanya petugas dengan ramah.

“Anu Pak,” kata Pak Jan gugup.

23

“Anu bagaimana, Pak?” tanya petugas dengan sabar
dan tersenyum.

“Saya mau bertemu Pak Salim bisa?” tanya Pak
Jan dengan gugup.

“O, Pak Salim, ada. Sebentar ya saya panggilkan,”
kata petugas jaga. Petugas itu, yang tertera namanya di
baju: Aji, melambaikan tangan memanggil temannya.

“Tolong panggilkan Pak Salim bengkel, dijemput
saudaranya,” kata Pak Aji dengan tegas.

“Siap Komandan!” kata teman Pak Aji tak kalah
tegas. Pak Jan memandang keluar, menyapu tiap sudut
taman. Ia terpaku menyaksikan luasnya halaman kantor
Bapak. Ia tersenyum. Menggeleng-gelengkan kepala
berulang kali. Sesekali Pak Jan terbengong-bengong
(kagum atau heran?) menyaksikan gedung tua berpintu
banyak. Ia tak sempat menghitung, tak pernah
menghitung, tapi dia tahu: banyak sekali pintunya. Tak
berapa lama Pak Makhsun, anak buah Pak Aji, telah
kembali dengan Bapak.

Bapak menguap lebar. Masih ada sisa-sisa kantuk
di matanya. Merah menyala mata itu. Bau rokok sangat
menyengat. Bapak memang perokok berat. Bajunya lusuh
tanpa setrika. Kacingnya masih belum rapi, beberapa
sudah terlihat lepas. Pak Jan menggeleng-gelengkan
kepala. Berjalan mendekati Bapak.

***

24

Dari jauh kulihat orang-orang menyambut kami
begitu melihat sepeda Pak Jan. Bapak turun dari sepeda.
Kulihat langkah gontai Bapak. Rokok „Sukun‟-nya masih
mengepul. Dari bibirnya yang hitam, kulihat kepulan
asap rokok Bapak berputar-putar. Di pegangnya dengan
tangan kanannya, diisapnya lagi, lagi, dan lagi.
Nikmatnya. Tangan kiri Bapak mencengkeram bungkusan
„Sukun‟ yang tinggal dua batang. Digenggamnya
bungkusan itu erat-erat takut kalau-kalau lepas dari
tangan.

Pak Jan bersimbah peluh. Sekujur tubuhnya basah
oleh keringat. Pakde sudah tak sabar mau bicara,
menyambut Bapak dengan wajah beringas, jengkel,
marah beraduk-aduk menjadi satu.

“Lim, kamu sungguhan mau pindah?” tanya Pakde
nyinyir. Senyum dan seringai Pakde terlihat jelas. Bapak
hanya diam menatap aspal jalan yang mulai mengelupas.

“Inggih Kang,” kata Bapak tanpa menatap Pakde,
menunduk dalam.

“Orang mau pindahan kok malah ngorok, mana
tanggung jawabmu?” tantang Pakde. “Kalau kamu tidak
sanggup, berbicalah sekarang senyampang masih di sini.
Jangan sampai setelah kamu melangkah keluar dari
rumahku kamu telantarkan adik dan ponakan-ponakanku,”
pedas sekali kalimat Pakde, tegas: tanpa tedeng aling-
aling.

“Sanggup Kang,” hanya itu jawaban Bapak.
Jawaban tersingkat yang bisa Bapak sampaikan.

25

Selanjutnya, tak kulihat Bapak meyakinkan Pakde. Raut
wajahnya juga biasa saja: tak ada penyesalan sama
sekali. Tak ada ketegasan. Pakde hanya menggelengkan
kepala berulang kali.

“Lim Lim,” lirih suara Pakde terdengar. Kulihat
Bapak semakin dalam menunduk, sampai aspal yang
ditatap Bapak jadi malu. Namun, tiba-tiba tanpa merasa
bersalah sedikit pun, Bapak menguap lebar. Aroma rokok
menghambur lagi di seluruh penjuru Kaligawe. Ah,
Bapak....

***

Kini, sosok tegap gagah tapi menjengkelkan
sekaligus menggelikan itu telah terbujur kaku di
hadapanku. Tapi, aku tetap bersyukur, karena di akhir
hayatnya Bapakku telah sadar. Sudah jadi teladan kami.
Biarlah masa lalu kelamnya tertutup dengan amal
kebajikan dan insafnya sekarang.

Banyak buah manis yang telah tertanam karena
kebajikannya. Bapak yang kalem dan pendiam, tidak
pernah menyakiti atau padu dengan tetangga. Bapak
dikagumi sekaligus disayangi oleh para tetangga, karena
Bapak ringan tangan dan senang membantu tetangga
yang membutuhkan. Biarkan kenangan manis yang
tersisa. Biarkan Bapak terlahir sebagai bayi lagi.

Kini takkan kutemui lagi sosok sepertinya.
Strok dan penyakit gula telah menyiksanya selama
tiga tahunan. Ini juga yang telah membawa Bapak

26

berangsur-angsur insaf: menjadi manusia yang lebih baik.
Sebelumnya, banyak perilaku menyimpang Bapak,
tetapi... justru dari sinilah kami belajar arti hidup yang
sesungguhnya. Bapak banyak memberi pembelajaran
pada kami tentang kesejatian hidup. Tantangan hidup
yang harus kami hadapan. Kebodohan yang begitu
panjang dan menakutkan telah membawa penderitaan
yang berlarut-larut. Beruntung Allah memberikan
kesempatan yang istimewa sebelum ajal menjelang.

Kini...
Sosok gagah Bapakku tak terganti, terbujur kaku di
hadapanku. Jasad almarhum sudah telentang di mataku.
Doaku deras mengalir untuk perjalanan Bapakku
tercinta. Tenanglah di sisi-Nya, Bapakku tercinta. Allah
mengampuni semua kesalahan dan dosa-dosamu,
menggantinya dengan amalan kebajikanmu di timbangan-
Nya. Semoga Allah selalu membimbing, melindungi, dan
mengangkatmu ke tempat yang mulia, derajat yang
tertinggi.
Selamat jalan Bapakku tersayang
Kembali dan kapundhutmu adalah pembelajaran
bagi kami, bahwa maut tak dapat ditunda datangnya.
Siap atau tidak siap harus mempersiapkan bekal kebajikan
yang banyak, yang cukup untuk menghadap-Nya.
Kembalilah dengan tenang Bapakku sayang. Kami
akan banyak belajar dari teladanmu, dari perjalanan
hidupmu. Semoga Allah berkenan menerima semua amal
ibadahmu, menerima semua kebajikanmu, serta

27

mengampuni semua dosa-dosamu. Selamat jalan
Bapakku....

Penyakit ini juga yang telah mengantarkan Bapak
di peristirahatan terakhirnya. Husnul khotimah kembali
mu. Allah mengampuni semua dosa-dosamu, menerima
semua amal kebajikanmu, dan semoga pula Allah
menyediakan surga tempat peristirahat abadimu. Aamiin.

28

Tenang wajahmu setenang sikapmu
Gontai langkahmu sesantai hidupmu
“Alon-alon waton kelakon, ojo grusa-grusu”

Begitu kau pesan
Meski kau tak berpendidikan
Kau tak memperoleh pelajaran

Tapi
Kau berikan yang kami pinta
Kau sediakan yang kami harapkan

Tak ada kebahagiaan melebihi
bahagiaku.

Tak ada yang lebih mengharukan,
selain melihat wajah bapakku.

Tak ada yang lebih menyejukkan
mata,

melebihi penglihatanku

29

melihat perubahan sikap dan sifat
bapakku.

Tak ada kata terindah,
selain jawaban salam dari

bapakku,
meskipun terbata-bata.

Alhamdulillah...
Puji dan syukur kupanjatkan ke

hadirat-Mu
Hanya pada-Mu
Atas nikmat rahmat
yang Kau limpahkan pada bapakku
Pada keluargaku

Bapak,
Pelajaran hidup yang kauberikan

Teladan yang kautunjukkan
Mengantarkan kami pada pembelajaran

yang sejati

30

“Hidup sudah ada yang mengatur,
pasrahkan pada Pemberi Kehidupan

Jujur, bertanggung jawab, disiplin:
Semua membawa takdirnya masing-

masing”
Ah, Bapakku...

31

Cerita Panjang Menjelang
Kepulanganmu

Oleh Dra. Retnaningsih, M.Pd.

Rabu, 6 Maret 2019
Kangen sekali aku pulang ke Klaten, tempat
kelahiran yang telah lama kutinggalkan. Puluhan tahun,
aku bersama istri tercintaku, yang juga adik kelasku
SMA, juga asli Klaten. Eh, bukan tempat kelahiranku,
tetepi tempat kelahiran istriku tercinta, maksudnya. Aku
memang lebih dekat dan nyaman berada di tengah-tengah
keluarga besar istriku, daripada keluarga besarku.
Semenjak ibu kandungku meninggalkan dan bapak
menikah lagi, aku tak punya gairah dan keinginan untuk
berkumpul dengan keluarga baruku yang dibangun oleh
bapak. Aku tak ingin bersengketa dan berdebat dengan
Bapak, aku lebih suka menghindar saja dari pertemuan
denganku, Bapak yang sebagian darahnya mengalir di
tubuhku.
Sudah beberapa bulan ini istri tercinta mulai lupa
untuk menelepon ibunya, ibu mertuaku tercinta. Terakhir
kali dia meneleponnya, ia menanyakan kabar kesehatan
bapaknya, bapak mertua yang sangat menyayangiku.

32

Entah mengapa, ketika rintik hujan mulai
membahasi bumi, rasa kangen untuk pulang ke kampung
halaman itu semakin mengaduk-aduk perasaan: mengharu
biru.

Sengaja hari ini, Rabu 6 Maret 2019 aku jemput
istri tercinta di tempat tugasnya yang kebetulan tak jauh
dari rumah kami.

Bertemu dengan sahabat istriku, Bu Rumisih, aku
masih sempat tersenyum dan melambaikan tangan. Kami
tersenyum dan sama-sama mengangguk, meski tak
sempat berbincang karena rintik hujan. Ya, istriku
biasanya lembur bersama sahabatnya itu. Aku apal betul.
Dengan bapak, ibu guru yang lain, rasanya aku enggan
dan malas untuk basa-basi. Entah mengapa, rasanya
malas saja.

Hatiku gundah, hujan tak mau mereda.
Tetapi begitu melihat sosok yang telah sekian tahun
menemani hidupku, kegundahan dan kegelisahan itu
sirna. Aku lambaikan tangan sebelum membuka pintu.
Senyum mengembangnya tak pernah pudar. Kecantikan
nya sekarang, masih sama dengan puluhan tahun yang
lalu, ketika dulu aku sering menungguinya belajar.
Nyes... kurasakan kenyamanan dan kerinduan
Sore ini, sengaja kujemput dia di sini. Di depan
hall.
Rabu sore ini mungkin ada hal yang berbeda.
Gejolak hatiku untuk pulang tak terbendung lagi.

33

“Ma, nanti kita terusan ke Klaten ya, aku ingin
pulang?” tanyaku setelah di dalam mobil. Kulihat istriku
terkejut.

“Pulang, Pa?” tanyanya tak percaya.
“Iya, Ma. Aku ingin pulang!” kataku mantap.
Tak ada percakapan. Beberapa kali kulirik wanita
dewasa yang duduk ngglendot di sampingku. Ada rasa
yang entah sulit kuterjemahkan.
Sore ini kami bersiap untuk pulang ke Klaten.
Istri tercinta telah menyiapkan keperluan kami.
Beberapa potong pakaian kesayangan sudah masuk ke
tas cantik.
Sepanjang jalan, rasa senang yang kami rasakan.
Senda gurau dan saling ejek mesra tak pernah usai. Ada
saja percakapan antara kami berdua: hanya berdua. Cerita
mengalir seperti rintik hujan yang tak reda-reda.
Sore ini, rasanya kami muda kembali. Antara Semarang-
Klaten terlalu dekat untuk saat ini. Senang dan kasmaran
kami rasakan. Dadaku dipenuhi cinta yang mendalam.
Api cintaku menyala kembali. Wanita cantik ini, istriku
tercinta, makin memberiku semangat untuk mengungkap
kan kecintaan yang kurasakan. Dia membalas remasan
dan genggaman tanganku di punggung tangannya.
Kuremas perlahan, dia membalas sambil tersenyum
manis ke arahku.
Sunset menyambutku dengan sedikit memberengut.
Hari menjelang magrib ketika aku memasuki
Klaten, kota tercinta tujuan kepulanganku. Hatiku

34

semakin membuncah, dadaku semakin berdesir mendekati
mobil memasuki pekarangan rumah mertuaku yang
begitu luas.

Sebelum benar-benar memasuki halaman, ku
sapukan pandanganku ke seluruh pekarangan yang telah
lama kubiarkan. Rasanya nyes... masih sempat kutowel
dagu istriku, sebelum kami turun dari mobil merahku
setia yang setiap saat ada buatku.

Azan magrib bersahutan dari mushola desa sekitar.
Suaranya membuatku teringat masa kecilku di desa
sebelah. Ah... banyak kenangan yang kutinggalkan di
desa ini. Teringat ketika aku mengantar dan
menjemputnya pulang, entah sekolah atau hanya main
bersama.

“Bapak, Ibu aku pulang...”, suara istriku
mendahului memasuki rumah gagah itu.

“Hai Ning, masuk sini”, suara ibu mertuaku yang
renyah terdengar melengking.

“Sugeng ndalu Yang”, aku menyapa dan memeluk
ibu dan bapak mertua yang sudah menyambutku di depan
pintu.

“Mas...piye kabare?” tanya ibu masih dengan suara
renyahnya. Berada di pelukan bapak mertuaku, seperti
dalam dekapan ibu kandungku: Emak yang melahirkanku.

“Sehat to Mas”, bapakku erat mendekapku. Aku
tertawa renyah menjawab pertanyaan mertuaku yang
sangat menyayangiku.

35

“Masuk dulu Yang”, aku masuk ke kamar yang
telah disediakan. Kamar yang selalu menunggu
kepulanganku: aku dan istriku tercinta.

Malam hari, semua keluarga berkumpul menyambut
kepulanganku. Rumah yang biasanya sepi seperti tak
berpenghuni, malam ini sangat meriah.

Cerita sana-sini diantara kami terus mengalir
hingga subuh menjelang. Malam tak terasa meninggalkan
bulan yang masih bercengkerama dan siap pulang ke
peraduan.

Azan subuh berkumandang.
Kulihat istri dan ibu mertua beserta saudara-saudara
perempuan sudah sibu di dapur. Sementara yang lain, olah
raga di pekarangan. Ada yang menggerak-gerakkan
badan, lari-lari kecil keliling pekarangan, ada juga yang
senam irama. Semua sibu dan ramai.
Tak berapa lama, sarapan sudah siap. Tak seperti
dulu ketika kecilku, sekarang mulai enggan untuk
berlomba cepat-cepatan ambil nasi dan lahap menghabis
kan. Sekarang beda, rasanya kenyang saja.
Aku bersama bapak duduk-duduk saja di serambil.
Mendengar cerita dan petuahnya yang bijak, aku enggan
untuk beranjak dari sisinya. Kuikuti terus aliran ceritanya,
sampai suara khasnya ibu memanggil kami.
“Pak, Mas...ayo makan, sudah ditunggu yang lain”,
ibu mertua mesra menggandeng tangan Bapak. Tatapan
Bapak yang lembut, membuat ibu semakin manja.
Melihat beliau mesra seperti itu, aku jadi ingin cepat

36

melihat istriku. Kulihat ibu sudah menyiapkan kursi
khusus buat Bapak.

Ramai kulihat semua sudah berkumpul dan
menunggu kami untuk segera berdoa dan makan pagi.
Bapak memimpin doa untuk berkat yang diberikan Tuhan
pada keluarga kami. Aku nelangsa, ingat di keluarga
besarku yang tak pernah seperti ini.

***

Siang hari, entah mengapa hatiku berkata dan
menyeret langkahku untuk mengunjungi saudara-
saudaraku di Klaten. Senyampang masih di sini, kuajak
istri tercinta untuk mengikuti suara hati.

Mulai dari rumah kakak pertamaku Mbak
Ratneningsih, memang namanya mirip dengan nama
istriku, kami berkumpul di sana. Sepanjang jalan, tak
henti kutelepon anak-anakku tersayang Cici dan Putra.
Rasanya aku kangen banget pada mereka. Aku ingin
mereka juga berada di tengah-tengah sini bersama kami.
Tapi tak mungkin, anak sulungku masih di Semarang,
sedangkan bungsuku berada di Jakarta.

Di rumah Mbak Ratna, melintas kembali masa
kecilku di sini. Ah... rasanya ingin kembali ke masa itu.
Di pangkuan Bapak, di gendongan Ibu kurasakan
kenyamanan yang luar biasa. Itu dulu... sekarang, aku
jarang pulang ke kampung halamanku sendiri. Tapi entah
mengapa, hari ini aku ingin pulang bertemu dengan
semua saudaraku.

37

Sekembali dari rumah Mbak Ratna di Trucuk, kami
pulang ke rumah Bapak, Ibu mertua di Jogosetran.
Kembali hatiku masih ingin berjalan-jalan bersama
keluarga, aku ingin menyenangkan keponakanku di
Matahari Klaten, tetapi adikku tidak sependapat dan
berceloteh.

“Mas, jangan ke Klaten, ke Jogja saja”, usulnya.
Aku bingung, tapi keinginanku kuat untuk ke Matahari
Klaten.

“Di Jogja macet, tetap ke Matahari saja ya”,
jawabku untuk memberikan alasan atas usul adikku.

“Kalau takut macet, naik ambulace saja pinjam
kantornya Yuli”, sahutnya.

Aku hanya diam tak menjawab, tetapi karena kuat
niat dan keinginanku, maka tetap saja kulaksanakan
keinginanku..

Akhirnya, kami tetap ke Matahari Klaten. Kubawa
seluruh keluarga untuk menikmati Matahari Klaten.
Kuambil beberapa potong kaos kesayangan, tak lupa
kuambil juga beberapa pasang sepatu mungil untuk cucu
tunggalku yang masih lucu. Sebenarnya aku belum puas,
tetapi karena waktu, segera kuakhiri petualanganku
berburu beberapa barang untuk cucuku.

Kubawa mobil menuju rumah makan untuk
menikmati makan sore bersama. Gembira dan bahagia
sekali rasanya.

“Enak Ma?”, kutatap wajah istriku tercinta sambil
bersimpuh di kakiku.

38

“Enak no”, jawab istriku tercinta sambil tersenyum
menunduk menatapku.

“Paring paring... Mbok aku dikei”, kutatap istriku
yang masih menikmati hidangan sambil tersenyum
menggoda.

“Liyane, pergi saja”, jawab istriku. Aku berdiri
sambil tersenyum meninggalkan istriku masih tersenyum.

Tiba-tiba, kurasakan sesak dadaku, nyeri sekali.
“Ma minum...obat Ma”, segera kutenggak minuman
dari istriku. Kemudian... aku tak tahu yang terjadi. Aku
dibawa ke rumah sakit tepatnya RS Cakre di Klaten.
Aku tergolek tak berdaya. Aku tak bisa berbuat apa-apa.
Aku mendengar doa yang disampaikan istriku tersayang
dan adik – adikku, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku
tergolek seperti bayi.
“Pah, Sembuh ya...”, lirih suara istriku kudengar di
telinga.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin membalas
setiap kata yang dibisikkan di telingaku. Aku ingin
membalas kalimat-kalimat manis yang kudengar, tapi
aku tak bisa. Bibirku kelu. Hatiku kaku, dadaku sesak,
kepalaku rasanya seperti batu: berat semuanya.

***

Beberapa jam kemudian aku berada di ruang serba
putih.

39

Kulihat istriku, adikku, dan para medis berbisik-
bisik. Kulihat ada senyum yang dipaksakan. Tapi aku tak
tahu. Adikku berkata kalau Mas Pri sudah pulang

“P-u-l-a-n-g, Pah”, tanya istriku sambil menangis,
kelu dan kaku.

Kulihat air bening menyapu wajah mereka. Aku
ingat mengusapnya

Aku pulang. PULANG.
Banyak saudaraku yang menyusul aku, teman
sekolahku, teman sekolah istriku semua memandangku,
menangis dan mengantarkan aku menuju ke ambulance,
selamat tinggal Klaten kota tercintaku

***

Kulihat semua teman dan bapak ibu guru sudah
ada di rumahku. Para tetangga juga sudah bersiap
menyambutku. Aku pulang.

Aku diangkat dari mobil Ambulance menuju
tempat yang sudah disiapkan oleh Santa Maria.

Kulihat istriku dan anak anakku juga keluargaku
menyeka air mata yang sudah membanjiri wajahnya.
Tak ada sedu-sedan. Tak ada tangis menyayat. Semua
diam membisu.

Aku hanya bisa memandang mereka. Hanya
memandang.

“J-a-n-g-a-n m-e-n-a-ng-i-s, m-a-m-a”, ingin rasanya
aku mengatakan pada istriku tapi aku tak bisa

40

Terakhir, kudengar jerit tangis semua manusia. Ingar
bingar tak karuan. Aku tersenyum meninggalkan jasadku.
Aku melambaikan tangan pada mereka, tapi tak ada
seorang pun yang membalas. Semua masih sesenggukan.
Aku melenggang pergi meninggalkan mereka, dengan
senyum mengembang menuju ke tempat peristirahatan
terakhir.

Langkahku ringan. Aku sudah tak merasakan sakit
sedikitpun. Aku telah terbebas dari segala macam
penyakit dunia. Kini aku bisa beristirahat dengan tenang
disisi-Mu, Bapa. Amin

41

Bersih
lembut
ramah perangaimu
sesejuk penampilan dan sikapmu

gaya bicara
pembawaan
dan semuanya aku suka

Papa
Terlalu cepat kau pergi
Tinggalkan aku di sini
Belum sepenuhnya janji suci
Kita wujudkan bersama

Papa
Dulu kita berikrar
Bersama momong cucu
Mengantar Mika sekolah
Tapi kini, kau ingkari janji
Pulang sebelum sempat wujudkan

42

Papa
Tuhan telah sediakan surga
Buat tempat istirahat terakhirmu
Sambil menunggu aku menyusulmu

Selamat jalan Papa
Beristirahatlah tenang
Di sisi Tuhan yang ternyata
Lebih menyayangi dan mengasihimu

43

Pergi dengan Senyum
Oleh: Jeng Amin

Nuansa pagi ini terasa berbeda dengan hari-hari
yang pernah aku lalui. Matahari menyambut pagi dengan
lesu, sinarnya terasa redup hampir tak terasa menyentuh
kulitku. Burung-burung pun enggan berkicau, melintas
hening dari satu dahan ke dahan lain dalam diam. Dengan
berat hati seakan ada beban yang menindih, kulangkahkan
kaki memasuki aula kampus SMK tempatku bekerja,
rapat komite dengan orang tua wali murid akan dimulai.
Lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan hampir 600
peserta memang menggetarkan hati, tetapi tetap saja
sunyi, sepi, senyap, bahkan mencekam.Suara riuh tepuk
tangan saat sambutan demi sambutan berakhir pun tak
kuhiraukan dan tetap saja kuanggap sepi. Benar-benar
sepi berada di tengah keramaian. Aku tak mengerti
mengapa hatiku sungguh diselubungi kegalauan hingga
kegiatan hampir berakhir.

Tak biasanya aku gemetar mengangkat ponsel
berdering. “Pulang Mbak, ibu kritis di ICU dr. Oen Solo
Baru”, terdengar suara parau adikku Fajar dari kejauhan.

44

Napasku serasa tersekat di tenggorokkan, tulang-
tulangku serasa dilolos dari tubuh, aku duduk terkulai
lemas, dan hanya air mata yang mengalir deras tak
tertahankan. Pikiranku melayang jauuuuuh pada hal
terburuk yang sangat menakutkan. Tak lama kemudian
kuhalau pikiran itu, kukuatkan diri untuk segera bangkit
dan berlari untuk cepet-cepat sampai ke rumah sakit.

Terlintas dalam angan dan benakku seorang
bidadari surga yang dikirim Tuhan khusus buat aku dan
kelima adikku. Wajahnya bulat cantik memesona, sorot
matanya tajam penuh berjuta makna. Rambutnya ikal
sebahu yang selalu digelung tepat di bagian belakang
kepala dan jarang kutemukan uban meski usianya telah
senja. Kulitnya lembut putih bercahaya. Perawakannya
sedang, tidak begitu tinggi, tidak begitu gemuk, tapi
tetap enerjik dan semangat dalam berbagai kegiatan
sosial di sebuah kampung kecil terpencil tempat aku
dilahirkan 46 tahun silam. Bidadari itu tak lain adalah
ibuu. Aku terbiasa memanggil dengan sebutan ibu,
panggailan sayang sejak aku kecil hingga dewasa.
Meski orang-orang yang mendengar terasa aneh bahkan
terkesan ndeso tapi aku tetap bangga. Ibu adalah sumber
inspirasi bagiku.

Aku dibesarkan di tengah keluarga yang sangat
sederhana. Bagaimana tidak, ibuku seorang penjual jamu
gendong dan bapakku penjual bakso keliling. Penghasilan
keluarga yang tidak seberapa membuat ibuku tidak bisa
tinggal diam. Setiap hari harus berjalan mengelilingi

45


Click to View FlipBook Version