“Verdomme¹⁾ !" teriakku "Urus kau punya urusan sendiri, tahu?"
"Maaf, Komandan" (tetapi tiba-tiba aku sadar, aku harus berhati-hati) "Ya! Teroris
besar! Ini kaum republik totok!" Cukuplah sudah sementara. Komando kuteriakkan:
"Ayo pulang. Siap!"
Tetapi persis kami baru saja keluar halaman mau mas uk jip, meletuslah beberapa
tembakan dan pelor-pelor berdesing di sekitar kami. Refleksif kami merebahkan diri
dan kami berondongkan hujan peluru ke arah sumber tembakan. Mataku yang tajam
melihat sebuah lutut keluar dari batik pohon asem besar. Kuhujani lutut itu dengan
timah hitam. Teriakan! Dan ia terkulai. Aku lari ke tempatnya, sambil menghujani
peluru. Masih kulihat beberapa pemuda mau lari ke balik tembok. Dua pemuda
tertembak. Tetapi aku dibalas tembakan gencar dari sudut lain. Aku lari. Kuteriakkan
komando ke patroIi untuk lari.
Sebab ternyata tembakan gencar dari segala sudut.
Tetapi bukan pertama karena tembakan itu aku mengundurkan diri. Soalnya aku
tidak mendapat perintah untuk berpatroIi di daerah Kramat ini. Kalau ada apa-apa
nanti, aku dapat dicurigai oleh Mayoor Verbruggen. Cilaka lagi oleh dinas intel
NEFIS²⁾.
Tancap gas!!! Dan di bawah perlindungan tembakan-tembakan gencar kami keluar
ke jalan-raya Salemba, menuju ke markas. Dua orang serdadu kami luka-luka ringan.
Yang Jawa halus itu dan seorang anak Ambon. Aku sendiri tak terkena apa-apa.
Orang-orang Republik penembak jelek ! Dan mereka tak punya senjata otomatik !
Tetapi di jalan menuju markas, pikiranku ke Yogya. Sekali saat Yogya akan kami
duduki. Tinggal soal waktu.
¹⁾ Umpatan babasa Belanda: "Terkutuklah kau!"
²⁾ Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service, intel Belanda..
.
43
6. Merpati Lepas
Tembak itu mobil!"
Serentetan peluru Thompson dan sten-gun akhirnya memaksa mobil iru berhenti.
Kurang-ajar, pelatnya Rl Nomor 2 lagi. Angka begiru arogan. Dikira siapa yang kuasa di
Hindia ini ? Sudah lama aku ingin mendamprat langsung pejabat-pejabat Republik
yang semakin sombong, tidak tahu diri.
Gilanya, mereka berhasil dengan gaya sok diplomat amatir berunding dengan
pimpinan tertinggi Jenderal Christison himself, bahkan Letnan-Gubernur Jenderal
Hindia Belanda. Aku yang paling pertama datang di mobil itu. Kubentak
penumpangnya, kusuruh ke luar.
Tetapi ketiga orang di dalamnya, kurang-ajar, hanya duduk tenang saja. Sopirnya,
aku sudah lupa rupanya, dapat berhahasa Belanda, dan edan sekali, berkata bahwa
yang menumpang ini perdana menteri dan ajudan. Oh, inikah si kancil Syahrir? Teta-
pi sejak kapan setiap kuli di sini boleh begitu saja mengaku perdana menteri ?
Ketenangan kedua orang di jok belakang itu benar-benar menjengkelkan. Khususnya
yang satu itu, dengan sepasang mata cerdik dan wajah seperri tersenyum mengejek.
Para serdaduku berteriak-teriak karena darah mereka sudah mendidih . Tetapi
entahlah, yang satu orang itu, harus kuakui, begitu memancarkan kepribadiannya,
sehingga aku seolah-olah lumpuh. Yang dua lainnya Tampak agak pucat dan gugup.
Tetapi yang mengaku perdana-menteri itu hanya tenang, senyum dikulum. Dan tiba-
tiba aku seperti keranjingan. Sebab dalam senyum dikulum itu aku melihat segaris
lekuk senyum Larasati. Barangkili itu cuma khayalanku yang serba jengkel campur
bingung. Akan tetapi aku lalu menjadi lumpuh. Keharimauanku menjadi impoten dan
segala lakon peristiwa sudah lepas dari komandoku, sehingga spontan para serdadu,
tanpa menunggu komando, bermain hakim sendiri.
Akhirnya dengan segala ketenangan yang luar biasa, dan yang jelas berwibawa
terhadap para serdaduku, si perdana menteri amatir itu membuka pintu mobil dan
berdiri di muka serdadu-serdaduku. Alangkah kecil orangnya; memang kecil dia dan
sebetulnya terlalu kurang pas pakaiannya, yang dijahit entah oleh taylor pasar di
mana. Wajah bukan tipe orang Jawa, tetapi sejenis orang Banjar atau Melayu,
pendeknya orang yang sulit diberi sebutan kuli. Rambutnya berombak rapi, tetapi
yang indah ialah matanya. Matanya seperti mata Atik, cerdas, tenang seolah seluruh
dunia sudah digenggamnya.
Dalam bahasa Belanda ia tenang berkata padaku: "Jenderal Christison menunggu
saya. Harap jangan mengecewakan beliau." Kurang ajar! Belum lagi aku menguasai
situasi, seorang serdaduku yang hitam berangasan tak dapat menguasai emosinya.
Pistolnya diacungkan pada republiken kecil itu. Dan entah bagaimana persisnya, rupa-
rupanya ia malu karena pistolnya kebetulan kosong peluru, orang kecil itu sudah
dipukul dengan gagang pistol. Segera kularang dia bertindak sendiri. Bukan karena
aku tidak setuju orang penghasut Atikku dihajar, tetapi aku terpaksa harus menjaga
kewibawaanku. Ini soal gengsi, bukan soal lain. Tetapi toh rasa kekesatriaanku yang
kuwatisi dari ayahku melonjak dan serdadu kumaki-maki keras. Sungguh memalukan.
Yang kumaki sebetulnya ketidak-kuasaanku menghadapi Si Syahrir itu.
44
Dari lubuk hatiku toh aku digugat jiwa ayahku yang seolah-olah membentak juga
dalam bentakan-bentakanku: "Bukan begitu caranya menghadapi gentleman! Biar
mereka pemberontak sekali pun."
Darahku masih mendidih memang, akan tetapi rasio Officier Brajabasuki toh masih
kuat dari kebinatanganku. Terpaksa aku mundur, karena memang bagaimana pun, akal
sehatku menghalang-halangi amarahku untuk berbuat hal-hal yang dapat merepotkan
keputusan-keputusan tertinggi politik Kerajaan.
Dalam hal ini aku boleh berterimakasih kepada pengaruh Verbruggen. Ia bandit
memang, tetapi setiap bandit kepalanya dingin dan berkalkulasi, sedangkan aku bukan
bandit dan karena itu sering masih terbawa emosi.
Pada saat itu datanglah patroli tentara Inggris. Aku benci sekali pada mereka itu.
Orang-orang sok gent/emen itu dijadikan tuan di Hindia Belanda, hanya karena
persetujuan antar Sekutu. Bukan karena mereka punya hak untuk berlagak di sini,
seolah Batavia itu Singapore saja. Seharusnya aku sudah pergi untuk menghindari
konfrontasi dengan mereka, tetapi terlambat. Seorang letnan Inggris datang dengan
lagak Britania Raya yang paling dibenci setiap orang kontinental dan tanpa kesopanan
bertanya dulu, ada apa, atau minta pertimbangan sebelum campur tangan persoalan, ia
langsung saja kontan bergaya boss main wasit: "Ayo pergi. Ini bukan urusan kilian."
Dia letnan aku letnan. Hanya dia lebih tua dan punya bendera inggris sebagai
bekingnya dan aku Cuma KNIL.
"Tentara Kerajaan itu KL, tentara Belanda," masih kudengar Verbruggen, "KNIL
cuma segerombolan bandit." Tetapi justru karena itulah jiwaku terbakar melihat
keangkuhan orang Inggris itu. "Urusan Hindia Belanda adalah urusan Hindia
Belanda!" bentakku sengit. Dan apa jawabnya? Ia tidak menjawab. lnilah yang lebih
menghinaku, seolah aku tidak pantas, tidak sederajat, untuk diajak bicara. Dengan
kepongahan merasa sip sendiri ia langsung menuju mobil. Ia memberi hormat kepada
orang inlander keci1 itu; tersenyum, tangan kanannya melambai angin memberi
tanda: "Silakan terus tuan". Tetapi ia sangat terkejut melihat mata biru perdana
menteri Republik yang membengkak, akibat popor pistol serdaduku. Dan apa yang
terjadi? Ia mendekati perdana menteri amatir itu, dan mereka berjabatan tangan. Dan
Wakil Tentara Sekutu itu minta maaf. Ya, minta maaf ! Sungguh pengkhianat! Begitu
halusnya sikap perdana menteri amatir itu, sehingga semakin membakar kebencianku
kepada segala yang berbau Republik. Dengan ramah mereka bersama sopirnya meng-
amat-amati body mobil yang tertembus peluru. Entah apa yang mereka katakan. Aku
hanya melihat serba benci, tetapi terutarna malu kepada letnan Inggris sombong itu,
yang seperti pelayan restoran kelas tiga mengangguk kepada seorang tuannya dan
omong sejenis ini, entah aku sudah lupa: "Tuan untung masih dilindungi Tuhan," dan
semacam itu. Dan ia melirik padaku, sinis seolah-olah menyindir berkata pada si
Inlander: "Jangan khawatir menghadapi bandit-bandit itu. Britania Raya akan
melindungi Anda dan Republik. Anda."
Lalu ia memandangku lagi dari sudut matanya yang licik. Memang dari dulu
Inggris itu musuh Belanda. ltu baru kuhayati dalam-dalam pada saat itu. Dengan
amarah kuperintahkan anakbuahku masuk truk dan tanpa ambil pusing menyambar
apa, dengan kecepatan barangkali 100 km aku meluncur berang pergi ke Klender.
Terbakar nafsu aku ingin melampiaskan dendarnku. Perdana menteri itu harus dihajar.
Rakyatnya akan kucambuk. Hari itu, Klender, Tanah Abang, Kwitang merasakan apa
konsekuensinya menghina jago KNIL.
45
Malam itu aku hanya murung. Ogah diajak sekak oleh Verbruggen, yang tadi sudah
kulapori (singkat mengenai yang esensial saja) tentang insiden Huize Vijfsprong¹⁾
dengan perdana menteri itu. Berapa sloki jenewer yang sudah kuminum? Tetapi tiba-
tiba dalam lamunan muram serta dendam tumbuhlah secuil penyesalan. Mengapa aku
tadi tidak memakai kesempatan dan bertanya padanya: ''Bagaimana, Atik?" Pasti dia
akan sebaik itu untuk menceritakan sesuatu tentang hal-ikhwal Atik. Barangkali pula
dia akan dapat menghubungkan lagi senyum kegadisan Atik dengan hatiku yang
merana dan menjadi bengis ini. Mengapa tadi tidak manusiawi biasa saja aku bertanya
itu pada orang kecil yang mengaku perdana menteri itu? Ada sesuatu dalam wajah
dan matanya yang hitam lembut itu yang menyalakan pijar sekecil kunang dalam
hatiku, dan yang meyakinkan hatiku yang serba skeptis ini. Ya, ia pasti mampu
memahami aku. Sebab perdana menteri ini bukan tipe teroris. Lain halnya dengan
Soekarno. Orang keci1 tadi orang beradab rupa-rupanya dan berperasaan dalam.
Tetapi justru itulah ia orang yang paling berbahaya, lawan yang sanggup
mengalahkan van Mook. Orang-orang Inggris punya motivasi kotor demi Sirgapura
dan Hongkong mereka. Tetapi mereka juga bukan orang tolol. Mana ada Inggris yang
tolol. Mereka tahu, siapa Syahrir ini dan dalam hal apa dia harus diajak bicara.
Malam itu kami tidak main catur. Hanya omong-omong tentang
orang keci1 berpakaian putih bikinan taylor pasar pagi tadi yang kutembak mobilnya
dan sayang tidak kena.
"Sayang tidak kena; Leo!" kata Verbruggen si bandit tua itu.
''Ya, sayang,” aku meyakinkan diriku lagi, walaupun sebenarnya tidak sangat
yakin, sebab di belakang orang keci1 tadi aku melihat seorang gadis, yang sedang
mengetik entah apa, seorang juru ketik muda yang barangkali masih hijau tunas,
tetapi yang penuh takjub selalu memandang kepada pemimpinnya, perdana menteri
paling muda di dunia dari negara yang paling muda di dunia pula. Dan aku? Aku jadi
kepala bandit tentara yang sudah sekarat. Tetapi Verbruggen punya keterangannya
sendiri. Dan hatiku melonjak ketika ia mencetuskan apa yang sudah aku rasakan
agak sayup-sayup.
"Orang ini musuh paling berbahaya bagi mati-hidup Hindia Belanda. Sebab
dengan senyumnya, dengan kehalusan budinya ia memikat. Seorang Soekarno, ia
boleh-boleh saja didewa-dewakan oleh massa bangsa kuli tolol itu, tetapi ia tidak
berbicara apa-apa untuk orang-orang gede dalam meja penguasaan dunia yang
sekarang sedang menata dunia seperti notaris-notaris yang menata soal warisan
kakek yang baru meninggal. Semakin banyak Soekarno, semakin lekas Republik itu
hancur," katanya tenang: "Sebab dunia yang menang perang sekarang sedang benci
pada segala yang berbau fasis dan militerisme." Dan ia berhenti sebentar untuk
membiarkan lingkaran-lingkaran asap cerutunya mencari kemerdekaannya. Lalu
bergurnam pelan, terlalu dingin untukku yang masih muda itu.
¹⁾ Simpang lima Cikini Raya, Gondangdia Lama, Menteng Raya, Cut Mutia dan Kali
Pasir.
46
"Sebetulnya Sekutu tidak suka pada tingkah Den Haag. Negeri kami ini negeri
kecil dan mereka masih tidak lupa ketika Ter Poorten ¹⁾ begitu saja menyerah kepada
Jepang. Kita ini membonceng Sekutu, itu sungguh pahit. Tetapi memang seorang
tentara hams menghadapi kepahitan seperti apa adanya, tidak hanya berkhayal yang
enak-enak saja."
Lama kami berdua hanya diam.
"Sayang tidak kau tembak mati Si Syahrir tadi," gumamnya tiba- tiba tetapi tetap
tenang, dingin. "Seandainya ia tadi kau tembak, saya bisa cari-cari alasan apa pun
kepada atasan. Dan atasan kita toh akhirnya akan tersenyum mengangguk. . Mereka
pun tahu: bukan Soekarno, tetapi Syahrirlah musuh mereka yang paling berbahaya.
Justru karena ia halus. Justru karena ia berbahasa manusiawi dan tidak fanatik. Orang
macam ini mudah sekali memikat opini dunia. Dan otakku boleh kalian satai pada
sangkur, tetapi sedikit banyak saya sudah kenaI mental amok kaum Inlander di sini.
Saya berani bertaruh: mereka di pihak Republik sana pun banyak yang akan senang,
seandainya Si Syahrir itu kau habisi riwayatnya. Sayang, sungguh sayang. Memang
sering kendali sejarah ditentukan oleh orang-orang tolol seperti kau. Ya, ya,
sebetulnya bukan menteri atau jenderal yang seharusnya mengatur sejarah, tetapi
kopral-kopral. Hidup kita akan lebih sederhana jalannya."
"Sederhana untuk kaum bandit seperti kau, maksudmu?" Me- ledaklah tawanya,
seperti sebaterai mortir. "Hahahaaaaaa ………………… kaukira, sekarang kau
belum bandit?"
"Kau terlalu banyak minum." Dan langsung botol jenewernya kutuangkan pada
lidah dan kerongkonganku.
¹⁾ Panglima Besar KNIL, yang diangkat Sekutu menjadi panglima tertinggi seluruh
Angkatan Darat Sekutu di Indonesia melawanJepang, 1941-1942.
47
7. Singa Mengerti
Entahlah, Mayoor Verbruggen memang jenis jago berkelahi yang tidak dapat dibuat
main-main. Akan tetapi aku merasa, bahwa ada semacam kebapaan padanya. Paling
tidak terhadapku. Semula aku khawatir, bahwa kekecewaannya ditolak oleh Mamiku
dulu akan terlampias pada diriku. Akan tetapi tidaklah begitu. Bahkan sebaliknya aku
sendirilah yang harus kuprihatinkan.
Petang itu aku dipanggil menghadapnya. Aku sudah siap-siap mendapat hukuman
atau hajaran entah apa dari dia. . Sebab kuakui, hari-hari terakhir ini aku cuma
berkelahi saja dengan rekan dan main tempeleng kepada bawahanku. Ada-ada saja
yang membuatku naik pitam dan lupa disiplin. Tentara dalam keadaan perang tidak
akan mengizinkan ketegangan-ketegangan terjadi di antara sesama anggota tentara,
apa lagi perkelahian tanpa alasan.
"Kau seperri. anak kecil," begitu Verbruggen mulai dengan pengadilan yang
sudah kuharapkan. "Kau mema1ukan sekali untuk Tentara Kerajaan. Kita dalam
keadaan kritis dan hari depan negeri ini tergantung pada berhasil tidaknya kita
menguasai vakum kewibawaan di Hindia Belanda. Dan kau sekarang main Kenpeitai
terhadap bawahan dan rekan-rekanmu. Saya berkuasa menurunkan pangkatmu jadi
serdadu biasa, tetapi ingin mendengar dulu dari mulutmu sendiri, mengapa kau
berbuat begitu. Kenapa, hei? Jawab."
"Aku memang bersalah, Mayoor."
"Soal bersalah itu semua orang sudah tahu, tidak perlu kau terangkan. Tetapi
MENGAP A ... itulah yang hams kau sadari. "Barangkali karena kurang tidur aku
lekas marah, Mayoor."
"Tidak! Bukan itu. Saya tahu mengapa kau begitu. Kau dendam, karena ayahmu
dibunuh Jepang bukan?" (Aku diam. Betul, apa yang dikatakan Mayoor Verbruggen).
"Ayahmu masih hidup, dear Leo." Terperanjat seluruh tubuhku. Mataku membelalak
seperrti kehilangan segala bahasa. Aku hanya melompong penuh pertanyaan.
"Ya, kau hams berterimakasih kepada Tuhan. Ayahmu belum sempat terbunuh
oleh Kenpeitai."
"Kok tahu?" Mayoor Verbruggen mengambil salah satu map merah dari dalam
bironya.
"Ini Iaporan Iengkap dari Intel kami yang sudah menyelidiki semua penjara dan
tempat-tempat tahanan bekas Kenpeitai. Para tahanan sudah lari atau dilarikan polisi
Republik."
"Lalu sekarang, Papiku di mana?"
"Itu akan saya jawab nanti. Atau lebih tepat, bam diselidiki NEFIS. Tetapi terlebih
dulu pertanyaan ini. Mengapa kau beber apa kali keluyuran ke jalan Kramat tanpa
mendapat perintah operasi ke sana? Kau tahu apa itu artinya dalam kamus disiplin
tentara?" (Aku Iebih bengong lagi. Begitu tajamkah mata-mata intel?)
"NEFIS telah memberi rekomendasi kepadaku untuk menghabisi riwayatmu,
karena kau didakwa selaku mata-mata untuk Republik, tahu? Ini soal serius, kelinci
kecil. Ini sangat serius. Kitta dalam keadaan darurat perang. Dan seorang komandan
yang selalu menyelesaikan segala unsur yang mungkin dapat menggagalkan rencana-
rencananya.Kebijaksanaan setiap komandan akan menyingkirkan segala kemungkinan
rusaknya matarantai strategi dan taktik geraknya tanpa membiarkan dipergoki risiko.
48
Apa itu artinya, kau dapat menafsir sendiri."
"Tetapi aku bukan mata-mata Republik."
"Barangkali bukan, tetapi barangkali juga ya."
"Tetapi aku jelas bukan yang diperkirakan NEFIS yang, sungguh aku tahu, masih
serba hijau dan seumumnya orang-orang tolol. "
"Kalau badan intelijen menaruh curiga, itu, harus kau ketahui, adalah tugas dan
kewajibannya. Tetapi saya tidak akan memanjanglebarkan masalah ini. Pendek saja,
saya masih mau memberi kesempatan padamu. Sebab saya tahu, bahwa kau
menderita. Dan setiap lelaki yang menderita, persetan kau, mesti lari ke si wanita,
nggak usah bohong. Dan di Kramat itu kau mencari perempuan, ayo, kutempeleng
kalau bohong
"Tidak! Tidak, Mayoor. Aku berani bersumpah."
"Sumpah-sumpah segala. Omong kosong. Bukan intel KNIL yang hijau, tetapi kau
sendiri, kelinci kecil. Jangan sok. Akuilah, bahwa .. , eh ... siapa namanya ... (ia
membuka mapnya yang berwarna merah tadi dan mencari sesuatu dalam lembaran
kertas laporan). Nanti dulu ... ya, Ratna Larasati puteri Tuan Antana, pembantu
khusus perdana menteri Sutan Syahrir. Larasati bukan, nama pacarmu Alias Atik? Ya,
jangan kira, NEFIS kita bukan sembarang intel. Mereka tahu sangat banyak." (Seperti
terbelah oleh halilintar dadaku. Harus kuakui terengah-engah, memang mereka tahu
banyak.)
"Tetapi, Mayoor ... perkenankanlah aku menguraikan duduk
perkaranya."
"Saya tidak tertarik pada segala uraianmu, Anak Muda. Yang
jelas ialah ini: Nona .... siapa tadi (ia melihat lagi ke dalam map tadi). La-ras-ati
adalah salah seorang anggota sekretariat itu si perdana menteri amatir Sutan Syahrir.
Dan rumahnya di Kramat VI, persis di dalam rumah yang sering kau kunjungi. Jadi
.,. jadi apa, kelinci kecil? Jadi setiap orang yang normal dalam situasi perang pasti
akan menaruh syak kepada siapa pun yang tanpa mendapat penntah keluyuran
sendirian ke satu alamat yang ia rahasiakan."
"Tetapi aku bukan orang Republik. Soalku dengan gadis itu hanyalah pribadi saja.
Keluarga merekalah yang menolong kami dalam pendudukanJepang." (Mayoor
Verbruggen tertawa keras sangat ironis.)
"Hahaaaa, ini dia: Hanya kenalan biasa. Mana ada orang yang punya susu-susu
montok kok kenalan biasa. Tentu montok pasti dada gadismu. Apalagi anunya ...
lalu!"
"Diam!" potongku "Kau di sini sebagai komandan militer. Bukan komandan
urusan pribadi."
"Hei, hei, tenang, tenang." (Tetapi aku terlanjur naik pitam.) "Kau boleh
menembak aku sebagai mata-mata, tetapi memperolok-olok gadis satu ini kularang.
Kularang!"
"Tenang, tenang ... sudah .... "
"Aku tidak rela kalau ... , Tetapi Verbruggen berganti berteriak
49
Dan gelas gelas jatuh dalam gempa pukulan kepalnya pada meja.
“Diam ! Berdiri tegak kau kelinci, di muka komandan di medan perang!"
Aku terkejut juga dan berdiri tegak dinas. "Dengar! Saya tidak butuh dongeng
aneh-aneh. Faktalah yang penting bagi seorang militer. Dan fakta menunjukkan,
bahwa sebagian para tahanan Kenpeltal, dan sangat mungkin sekali ayahmu juga, di
bulan Mei tahun ini dipindahkan ke Sukamiskin di Bandung sana.
Dan yang terpentlng, sangat mungkin sekali, ayahmu juga telah bergabung dengan
gerombolan yang menamakan diri Tentara Keamanan Rakya itu. Sangat mungkin.
Kami belum mendapat kepastian. Tetapi yang Jelas, kau harus berhati-hati, Sinyo.
Seandainya kau lni anak saya ... (tiba-tiba ia terhenti dan berkata seolah-olah pada diri
sendiri, lunak kebapaan) sudahlah, jangan dikorek-korek ... pendek kata: Leo,
kepercayaanku padamu tidak berkurang hanya karena laporan-laporan dan nota dari
pihak Intel. Tetapi kau harus hati-hati, anak muda! Hati-hati. Ini bukan perang biasa
dengan lindungan hukum militer dan hukum intemasional segala. Ini bandit melawan
bandit, tahu! Kalau ada apa-apa, bilang pada saya. Mari ambil botol jenewer dan dua
gelas sloki di dalam almari itu. Saya ingin main catur. Tidak ada gunanya kita saling
bersitegang."
Dan diam kami main catur. Lebih untuk melupakan diri daripada main. Permainan
sekak Mayoor Verbruggen sungguh cerdas. Belum ada sepuluh menit aku kehilangan
kuda dan benteng. Dia hanya kehilangan kuda satu. Tetapi toh ia mulai mengorek-
orek lagi.
"Cantik gadismu itu?" ia bertanya sambil mengajukan pion. Awas, keliru pasang,
ratuku nanti terkena ster. Satu pion kuajukan untuk memberi si ratu jalan keluar.
"Semua puteri Sala cantik," jawabku menghindar.
"Termasuk Marice," gumamnya. Mataku melihat padanya, tetapi pandangannya
asyik pada tokoh-tokoh caturnya.
Hanya seolah-olah? Spontan pertanyaanku mendengung dalam benakku:
Seandainya kau ini ayahku ... bagaimana? Awas, raadsheer ¹⁾ ia tempatkan di situ. Ah,
ia mengincar ratuku. Okay, daripada menunggu dan terkurung. Ayo, keluarkan ratu.
Ofensip sekarang. Mayoor Verbruggen mengangguk-angguk. Ada apa? Aku keliru
pasang? Bersiasat apa bandit satu ini? Kuperiksa letak pasangan-pasanganku. Aman.
Satu lagi pion ia ajukan. Mau apa dia? Aneh juga caranya ia bergerak. Ratuku
kutempatkan dalam posisi yang lebih terlindung. Ia tersenyum.
"Kalau kau masih ingin bertemu dengan gadismu itu," katanya tenang, tanpa
melepaskan pandangan dari bidang catur, "saya tak berkeberatan."
Kaget juga aku mendengar ucapan itu. Mengapa ia begitu memperhatikan Atik?
Untuk menjebakku dalam perangkap dan mendapat kepastian tentang Papiku? Dan
begitu membalas dendam rivalnya lama yang merebut Marice dari jangkauannya?
¹⁾ Ningrat penasihat. Dalam pennainan catur ditempatkan di samping raja atau ratu.
50
"Yang penting, kau harus belajar menghilangkan emosimu terhadap Jepang,"
kudengar Verbruggen seperti suara hati menggugat.
"Tidak mungkin. Mereka telah membunuh Mamiku. Dan itu dugaan tentang Papi
yang masih hidup, itu pun baru perkiraan."
"Kau tahu pasti ibumu telah mati ?"
"Ada saksinya."
"Kau bicara sendiri dengan dia dan sudah mengecek segalanya.
''Belum. Tetapi ... " (tiba-tiba aku disambar oleh pikiran, bahwa mungkin) "Apa
NEFIS tahu juga di mana Mami ada sekarang?"
"Saya duga keledai-keledai NEFIS tidak tahu juga. Tetapi yang jelas bagi kita
sekarang ialah: kepentingan Kerajaan tidak menghendaki prajurit yang emosional.
Perang tidak bisa dimenangkan dengan emosi. Tetapi perhitungan yang dingin.
Republik itu juga pasti akan hancur dengan sendirinya karena emosi mereka. Emosi
bukan nakhoda. Paling-paling dinamit yang buta. Berhari-hari kau marah terhadap
bawahan dan cekcok dengan rekan sesenjata. Hanya karena gadismu di pihak sana
bukan?"
"Tidak! Saya marah-marah karena mereka pengecut. Dan ada beberapa senjata
yang hilang dan menurut dugaanku yang kuat, itu diserahkan kepada kaum
pemberontak. Memang tidak pemah dapat dipercaya serdadu-serdadu Jawa kita. Saya
minta pasukan Ambon saja. Mereka setia dan berdisiplin. Tetapi yangJawa-Jawa
itu ... "
"Ya, emosi lagi. OrangJawa itu punya kanker , emosi namanya. Tapi mereka
serdadu. Kau perwira. Itu lain. Sudahlah! Saya bukan gurumu, bukan pendidikmu.
Pokoknya, awas!"
"Dia bukan tunanganku, bukan paearku, bukan adikku. Mengapa aku harus
waspada bertemu dengan dia," tangkisku, sambil menggerakkan satu benteng
yang masih tertinggal, tukar tempat dengan raja.
"Kau bohong. Ster !"
"Kurangajar," dia mengalihkan perhatianku tadi. Kuamankan
ratuku. Tetapi posisinya sekarang malah berbahaya. Kukembalikan lagi. Satu-
satunya jalan hanya mencaplok kuda penyerangnya itu. Uah, sulit ini. Kalau
kudanya kucaplok, kudaku yang terakhir amblas juga.
"Korbankan kudamu itu," nasihatnya begitu kalem menjengkelkan. "Kalau
tidak, posisimu lebih sulit lagi. Percayalah."
"Sejak kapan nasihat musuh pantas diikuti?" tangkisku lagi.
"Terserah. Asal tahu konsekuensinya."
Betul juga dia. Tidak ada jalan lain kecuali mengorbankan kudaku terakhir.
"Kalau perlu kau bisa minta surat perintah dariku, untuk bertemu dengan ... siapa
namanya dia?"
51
"Ah, Atik lagi." Rupa-rupanya ia merasa aku tak senang bila Atik dibicarakan
terus.
"Jangan salah mengerti atau salah tafsir dan curiga macam-macam, Saya
cukup manusia untuk mengerti, bahwa seorang muda membutuhkan sahabat
puteri."
"Kok Mayoor begitu getol mengurus gadisku? Ada minat?" Tetapi segera aku
menyesal atas pertanyaanku yang jelas bernada sinis itu. Untung Sang Mayoor
masih cukup punya persediaan humor dan ia tertawa, sambil menggerakkan
pionnya untuk mencaplok kudaku yang tinggal satu.
"Kalau kau curiga, silakan. Tapi kalau kau mau saya lindungi, silakan pakai
kesempatan. Apa tidak boleh, sesekali orang itu baik hati? Sekak!"
Orang ini bandit tulen atau setan yang memihak pada Tuhan Allah? Pikiranku
sedikit jengkel sedikit gembira atas uluran tanganya yang aneh, yang bisa berbahaya,
tapi barangkali toh jujur juga. Aku pun bandit sebenamya, tetapi tak merasa orang
jahat.
Mengapa pula la harus kuanggap jahat? Raja kupindahkan. Defenslp pas-pasan
memang, tetapi tidak ada jalan lain. Rupa-rupanya aku akan kalah. Sulit bertanding
tanpa kuda dan satu benteng hilang. Seperti kaum Republik itu. Gila mereka itu,
perang melawan pihak yang keluar dari Perang Dunia sebagai pemenang.
"Kau sudah kalah."
''Belum.''
"Mau apa dengan posisi begitu buruk? Sudah, kau kalah."
''Belum.''
"Coba, mau bergerak bagaimana." ''Paling sedikit masih bisa kucari remis."
"Ah, remis! Main remis hanya untuk kakek-kakek yang tidak lucu."
Seorang sersan mayoor PHB ¹⁾ melapor. Ada telpon dari Kolonel van Langen.²⁾
“Apa dia tidak bisa main catur dengan Spoor?" tanyanya jengkel pada sersan
mayoor PHB yang ekstra pasang tampang yang tolol.
"Ada apa lagi ini!" Agak ogah-ogahan ia pergi ke kamar PHB.
Jenewer ini sungguh sedap kemranyas. Nikmat kusisip sloki yang ke berapa entah.
Verbruggen ini orang baik. Aku merasa itu. Tidak. Ia tidak bermaksud membuat
jebakan. Tetapi aku sungguh gusar, bahwa Atik sudah masuk dalam laporan NEFIS.
Jadi kami sudah saling jadi lawan serius sekarang. Aku NICA dan dia se- kretaris,
kabinet impian kaum Republik. Pahit, ya pahit memang selamanya yang harus
kutelan. Apakah NEFIS sudah tabu juga, bahwa Mami menjadi gundik Jepang?
Bahkan barangkali Verbruggen juga sudah tahu? Belum. Kentara kalau ia sudah tahu.
Jangan sampai ia tahu. Akan remuk jiwanya, dan ia menjadi bandit sungguh-sungguh.
¹⁾ Perhubungan.
²⁾ Panglima operasional Belanda ke ibukota RI Yogyakarta 1948.
52
Begitu pun Papi, kalau benar ia masih hidup. Akan hancur kedua-duanya. Dan kau,
Leo?
Barangkali Verbruggen toh benar. Aku merindukan Atik.
Sudah lima kali ini aku ke Kramat dan masuk menyelinap melalui pintu dapur.
Sesudah kunjungan yang kedua kali pintu dapur kukunci cermat. Tetapi surat Atik
belum kujawab. Aku takut. Kunci masih terletak di dalam lubang dinding seperti
dahulu. Seorang diri aku datang, dalam waktu istirahat bebas dinas. Untuk ketiga
kalinya. Hanya untuk duduk-duduk saja di serambi belakang. Dan melamun. Sebab
sesudah segala peristiwa yang menimpa diriku, aku semakin benci bertemu orang.
Hanya dengan Mayoor Verbruggen aku masih dapat berdialog, sebab bagaimana pun,
dengan mayoor petualang itu aku masih mempunyai ikatan intim dengan masa
lampauku.
Bangkai-bangkai burung-burung kesayangan Atik telah kuambil, kukubur dengan
segala dedikasi. Kurungan-kurungan telah kubersihkan. Dan sayu aku teringat, betapa
sayang si Atik kepada burung-burungnya.
Beberapa kursi kulihat telah hilang. Barangkali diambil pencuri? Tetapi rupa-
rupanya mereka tidak berhasil atau keburu waktu mendobrak pintu-pintu kuna yang
amat kuat itu.
Ada alasan baru aku mendatangi rumah ini, begitu pikirku gembira. Demi
keamanan milik keluarga yang selalu baik kepada keluargaku. Tetapi sinting juga,
seorang perwira KNIL mengurung diri seperri biarawan dalam rumah yang kosong.
Jangan-jangan aku ditembak Intel Belanda atau tertusuk oleh teroris. Tetapi suasana
rumah ini benar-benar merupakan kebutuhan untukku. Orang yang lari dari dunia
yang satu harus menemukan dunia yang baru untuk bisa bertahan diri.
Rumah keluarga Antana ini merupakan bentengku yang terakhir. Aku sudah tak
punya siapa pun. Dan walaupun Atik memihak kaum pemberontak, aku tak akan
menyalahkan dia. Suatu ketika Atik akan mengakui, bahwa akulah pihak yang benar.
Barangkali kata benar terlalu sok. Tetapi paling tidak, pendasaran sikapkulah yang
paling rasional. Suatu bangsa yang sudah berabad-abad hanya membongkok dan
minder harus dididik dahulu menjadi kepribadian. Barulah kemerdekaan datang
seperti buah durian yang jatuh karena sudah matang.
Aku sedikit terhibur dengan "biara" yang kutemukan ini. Yang terakhir kali, ketika
pada suatu pagi aku datang lagi di rumah Atik dan mau mengambil anak-kunci dalam
lubang dinding seperri biasanya, anak-kunci sudah tidak ada. Apa ada yang mengintip
dan tahu letak kunci itu? Dari balik jendela kudengar di dalam kamar ada bunyi apa
entahlah. Pelan-pelan aku menuju pintu dapur. Ternyata sudah terbuka. Berhati-hati
dengan pistolku siaga aku masuk kamar dapur. Dapur kosong. Tetapi pintu gang
tengah dari serambi kamar makan ke dalam sudah terbuka. Bunyi-bunyi dalam kamar
berhenti.
53
Sepatuku toh membuat pencuri itu waspada. Aku bertekad menunggu dan diam.
Sampai tiga menit tak ada bunyi satu pun yang terdengar. Tetapi lihat, kesabaranku
berhasil. Pintu kamar tidur dibuka dari dalam pelan-pelan. Tangan
perempuan.
"Atik!" teriakku gembira. Tetapi Atik jatuh pingsan terkulai saking terkejutnya.
Aku sangat menyesal akan sikapku yang ceroboh. Tentu saja ia pingsan. Seorang
gadis sendirian dipergoki oleh serdadu. Kubaringkan ia dida1am sofa di serambi
makan, karena di dalam kamar tidur semua gelap. Kuangkat dadanya, menjamin
pernafasannya. Kubisikkan dalam telinganya: ''Atik! Atik! Jangan takut. Aku Teto."
Tiba-tiba ia tertegun kaget dan refleks mau lari. Kudekap dia. "Aku Teto. Aku Teto.
Atik!" Bagaimana pun aku salah. Sebab pastilah Atik sangat terkejut melihat seragam
NICA-ku. Wajahnya seperti patung marmer. Pucat mukanya dan matanya
menyinarkan ketakutan. Kata pertama yang keluar ialah: "Teto! Teto!" Lalu
menangislah Atik. Pada saat itu aku bimbang untuk pertama kali. Pada saat itu aku
takut kehilangan seorang lagi. Pada saat itu aku tidak ingin dilahirkan dan malu.
Begitu kuasakah gadis untuk menggoncangkan suatu keyakinan lelaki yang kuat?
Atik menangis, tetapi ia membiarkan aku mengusap air-matanya. Ia tampak kurus dan
karenanya matanya tampak lebih besar. Betapa lahap mesra Atik kudekap dan
kucium. Bukan karena asmara, tetapi justru karena dalam saat-saat seperti ketika itu
orang merasakan naluri ingin melindungi, ingin melimpahkan segala yang baik
kepada seorang adik. Aku tak pernah punya adik dan barulah kuakui, betapa sudah
lama aku merasakan kekosongan sebagai seorang anak tunggal yang tidak pernah
memperoleh kesempatan untuk bertanggungjawab terhadap seorang yang lebih muda.
Tetapi inikah caraku bertanggung-jawab? Wajah Atik pucat terasa menggugat. Masih
kurasakan tatapan manik matanya yang hitam dan putih mata yang tampak bernoda
urat-urat kecil. Tetapi manik mata itu seperti sepasang lubang pistol. Atik bukan tipe
sekejam pembunuh.
Tetapi tafsiran-tafsiran kesehari-harianku sebagai serdadu yang selalu bergumul
dalam suasana teror Jakarta yang penuh gugatan pada saat itulah yang membuatku
lebih merasa terancam. Semua yang gila ini tidak mungkin terjadi seandainya kaum
teroris Republik tidak edan membangkang menyerang. Jiwaku serba panik ditatap dua
manik mata hitam itu yang mengancam. Kelak aku baru sadar, bahwa Atik tidak
pernah mengancam. Tak sewatak dengan gadis seriang itu mengancam seorang
sahabat. Tetapi memang aku merasa terancam. Aku panik takut kehilangan Atik. Dan
aku minta ampun. Kurebahkan mukaku di dalam pangkuannya dan aku berteriak:
"Bunuh saja aku!" Gila, tentulah gila omong kosong seperti itu. Siapa akan berpikir
serambut pun, Atik membunuh orang. Serdadu bersenjata lengkap lagi.
54
Tetapi benarlah apa yang kurasakan. Memang rasaku ketika itu ingin saja dibunuh.
Dibunuh oleh lubang kekosongan dalam dua laras pistol mata yang diarahkan
kepadaku itu. Mati! Mati saja! Baru sekian bulan sesudah itu aku diterangi pikiran
tentang kemungkinan, ya mungkin, bahkan jelas sebetulnya, lubang hitam itu bukan
lubang laras yang berisi peluru pembunuh, seperti yang terbayang dalam benak jago
kelahi yang tahunya hanya bahasa membunuh atau dibunuh.
Bukan sepasang hitam lubang pistol kedua mata Atik itu, melainkan sepasang
hitam putik payudara yang menawarkan kehidupan bagi si bayi. Sebab benar-benar
bayi aku pada saat itu. Menangis memohon hidup. Memohon perempuan.
Perempuan bukan dalam arti yang dinikmati, tetapi perempuan yang merupakan
syarat mutlak agar aku hidup. Dalam malam-malam menganggur dalam kamar
tangsiku yang penuh gambar-gambar cabul, justru gagasan aneh semacam tadi timbul.
Aku butuh Atikku agar aku hidup terus. Tetapi gadis itu ada di pihak musuhku dan
harus kuhitung sebagai musuh. Dan semakin menjadi-jadi benciku kepada orang-
orang Republik itu, yang merenggut satu-satunya harapan dan tumpuan jiwaku yang
merana ini. Seolah-olah separuh paru-paru harus kuberikan kepada teroris-teroris,
hanya untuk dijadikan keripik paru-paru makanan kesukaan mereka. Siapa tidak akan
mengamuk! Dan aku mengamuk memang.
Atik kuteriaki yang bukan-bukan. Aku sudah lupa, kekasaran apa yang sudah
kusemburkan di wajah yang pucat lesu itu. Tetapi aku kalah. Wajah itu ternyata lebih
kuat daripada granat-granat lemparan mulutku yang gila. Wajah itu seperti panser
titanium yang tahan peluru apa pun. Dan aku menangis. Untuk kedua kalinya dalam
masa awal kedewasaanku, sejak petang dalam taman itu, ketika Bu Antana
mewartakan hal-ihwal Mamiku yang malang. Mamiku yang dirusak Jepang. Atikku
yang dijerat Republik. Pastilah Atik telah menyeka rambutku, pastilah ia telah
mengucapkan kata-kata hiburan, tetapi saat itu aku tidak mendengar apa-apa. Rasanya
aku dijerumuskan ke dalam jurang oleh mereka yang paling kucintai dan aku
ditertawakan. Aku hanya minta ampun.
Aku, lelaki KNIL yang sekasar dan sehebat itu di muka kompiku, aku tidak tahan
merasakan penderitaan ditinggal oleh seorang ibu dan seorang adik perempuan.
Keduanya kaum yang rapuh, tetapi entah begitu kuasa justru mereka itu karena kera-
puhan mereka. Aku teringat Mayoor Verbruggen, yang pernah berantakan mengalami
penderitaan kekasih diambil orang lain. Sampai ia jadi bajingan, menurut katanya
sendiri. Apakah aku akan menerima balasan Karma dan menjadi bajingan juga?
Ketika itu aku ingin mempertahankan yang masih dapat kupertahankan. Dan aku
hanya bisa berbuat sesuatu yang aku tahu, menjijikkan perempuan: menangis. Wanita
tidak suka melihat lelaki menangis. Menangis adalah hak kaum wanita. Lelaki harus
memaki-maki, mengumpat-umpat bila ia sedih. Atau diam ningrat.
55
Atau meledakkan dunia ini dengan bom atom. Tetapi tidak menangis. Dan justru
itulah yang kulakukan. Sungguh kesalahan besar.
Indo yang kuwarisi dari Mami tidak konsekuen, tidak mungkin konsekuen, justru
karena keindoan tidak bisa diperhitungkan. Tetapi saat itu aku tidak berpikir macam-
macam selain ingin memiliki Atik.
Kelak aku baru tahu, bahwa memiliki saat itu hanya berarti ingin memperkosa Atik
agar dimasuki oleh duniaku, oleh gambaran hidupku. Tanpa bertanya apa dia mau
atau tidak. Dan sesudah sadar, bahwa itu tidak mungkin, kudobraki duniaku, dan aku
hanya bisa menangis. Memang aku masih terlalu muda, terlalu kurang kenal dunia
sekelilingku. Atik jelas bukan adik. Ia praktis pengganti Mamiku. Dan di dalam
pangkuan pengganti Mamiku itu aku menangis, tolol dan menjijikkan. Aku memang
merasa malu, sebab sikap lelaki begitu itu nyaris berwarna cabul. Tapi apa yang dapat
kukerjakan? Biar! Kepada siapa pun aku akan malu. Tetapi kepada Atik aku sanggup
telanjang dan ditelanjangi. Sebab kalau orang tidak sanggup itu, pada satu orang saja
secara mutlak bugil, tak akan pernahlah orang bisa punya pegangan. Terhadap Atik
aku ikhlas malu dan dipermalukan. Tetapi kambuhlah segera harga diriku sebagai
jago kelahi KNIL. Dan aku penasaran. Sungguh, aku tidak tahu apa yang dikatakan
Atik ketika itu.
Goblog, totol, seharusnya aku mendengarkan dia. Tetapi untuk itu ternyata aku
terlalu egois. Dan aku meloncat. Aku penasaran, Thompsonku kulemparkan pada
tembok. Pistolku kulemparkan pada pintu dan aku lari. Dengan alasan apa aku pun
tidak tahu jelas. Lari menuju ke jipku. Tak bersenjata lagi, kunyalakan mesin yang
bersamaku menggeram serba panik dan aku lari. Enam puluh, delapan puluh,
sembilan puluh ... seperti orang gila mencari negeri gila. Penjaga markas sampai
terjatuh semak ketika ia terpaksa meloncat ke semak pagar menghindari jipku yang
dol menyambar tiang bendera. aku seperti tak siuman menelungkupkan diri pada stir
jip dan diam. Aneh rasanya ketika mesin jip itu sudah tidak berdesing.
Kudengar suara Verbruggen: "mari." Dan aku diseret olehnya. Terhuyung-huyung
aku diterkam oleh tangan-tangan besi sedadu-serdadu dan direbahkan dalam veldbed.
Mataku sepetti jaring tekstil, cuma dapat memandang ke plafond seng-berpola garis
jarang yang catnya sudah rontok itu. Sepuluh menit? Setengah jam? Aku tidak tahu.
Aku hanya melihat sosok tubuh besar kekar si mayoor itu di samping veldbedku dan
yang memandangku dari atas. Mengerikan bajingan besar itu kalau dilihat dari bawah.
Sepetti setiap saat ia tinggal mengangkat kakinya satu san jlog, sepatu itu menjebol
perutku. Tetapi ia hanya bertanya: "Nah, ada apa?"
56
Tiba-tiba aku terkena panik lagi. Mengapa aku tadi gila melemparkan senjata-
senjataku pada dinding? Bagaimana kalau dua senjata itu jatuh ke tangan tetoris?
Semakin sadarlah, bahwa aku sudah tidak waras. Ketetangan apa yang harus
keberikan kepada Verbruggen? Sebab memberi kesempatan kepada musuh memper-
oleh senjata jelaslah penghianatan militer yang tidak dapat diampuni.
Mengapa kulempar senjata itu? Sentimentalitas anak puber?
Emosi anak yang serba takut dan lari tunggang-langgang dari kuburan yang disangka
menjulurkan jari-jarinya untuk menangkapnya? Spontan gejolak melonjak ingin
Membuktikan : Aku tak salah: Aku tak salah! Jangan aku ditangkap ! Aku harus
bohong. Tetapi Verbruggen diam dan suara tik-klitik gelas kudengar di mejanya.
Sejurus kemudian ia sudah di sampingku lagi.
Aku ditarik dengan keras untuk duduk. Ia mengambil gelas wiski dan
menyodorkan padaku. "Minum!" Kata itu seperti komando yang spontan dijawab
dengan jiwa serdaduku. Kuminum. Hangat kemranyas rasanya di mulut dan perut dan
sekujur badan. Dan mulailah tumbuh lagi kesegaranku dan juga akal sehatku.
Tetapi Verbruggen tidak pemah menanyakan senjata itu. Barangkali dia juga tidak
tahu dan tidak mengurus soal tetek -bengek yang pada perhitungannya juga tidak akan
dilakukan oleh seorang letnan kelahi yang benci pada Republik itu. Dan aku cukup
kuasa untuk memerintahkan pengambilan senjata baru dari gudang. Tetapi
kebengisanku sebagai KNIL menjadi-jadi. Rasanya semua yang ada hubungannya
dengan Republik, alias perampok yang merampas Atik, harus kubinasakan. Hanya
disiplin militer dan instruksi-instruksi dari pimpinan tinggi Inggris yang menjeng-
kelkan itu masih menahan kegilaanku menjawab teror dengan teror yang entah lebih
teror lagi.
Tetapi dalam malam-malam yang menganggur, atau pada siang hari bolong, di
terik panas jam 2.00 siang, kalau semua sedang lesu tidur-tiduran sambil mandi
keringat (aku biasanya tiduran di bawah pohon jambu monyet di belakang), kucoba
memberi rasio atau lebih tepat hiburan diri (hiburan pengecut, aku tahu), bahwa
senjata yang kulemparkan itu mudah-mudahan oleh Atik ditafsir selaku pemberian
konsesi kepada kegandrungannya pada Republik itu, dan begitu mudah-mudahan aku
masih tetap diterima sebagai sahabat Atik. Kendati sahabat yang tidak masuk akal.
Bersahabat dengan Atik, jelas. Tidak dengan Republik. Namun tetap tak enak juga
nuraniku. Bagaimana kalau itu jatuh di tangan pengacau-pengacau sana? Apa boleh
buat. Silakan. Asal Atik sedikit gembira karenanya. Naif, tolol memang pikiran
semacam itu. Dan sangat tidak bertanggung-jawab dan pengecut. Tetapi setiap orang
berhak sesekali menjadi pengecut, kalau itu menyangkut perasaan yang dalam.
Perasaan dalam?
57
8. Banteng-banteng Muncul
Tahun 1946 bagiku serba simpang-siur dan aku sendiri sudah tidak tahu lagi harus
berpikir apa. Patroli rutin semakin membosankan, karena terus-terang saja, kami
orang-orang tentara tidak paham soal diplomasi dan segala kemunafikan kaum
diplomat, sehingga merasa dijadikan bulan-bulanan. Jenderal Spoor jelas mengarah ke
suatu penyerangan total. Kami tahu, tekun dia sedang mempersiapkan operasi tidak
kecil-kecilan. Tetapi dari pihak lain van Mook sudah sama-sarna minum teh dengan
kue-kue dengan si penghasut Soekarno. Ya, tentu saja orang-orang Inggris
biangkeladinya. Tentu saja, seperti yang kami dengar, Spoor dan Pinkel ¹⁾ dengan
sendirinya naik pitam. Apa lagi kami. Ini mau ke mana?
Verbruggen semakin diam dan jenewernya semakin banyak
yang habis. Dalam saat-saat kepalanya sedang dibakar jenewer itu dan lidahnya
semakin kendor, ia sering berbicara serba berbahaya. Apa lagi sesudah datang berita
koran tentang persetujuan pemerintah India dengan kaum Republik mengenai
pembelian beras setengah juta ton oleh kaum Gandhi itu demi penanggulangan
bahaya kelaparan di sana. Dalam saat-saat itu ia selalu menuding-nuding aku,
mengulang-ulang lagi lagu lamanya: "Kan sudah saya bilang. Mengapa Syahrir itu
dulu tidak kau tembak, hah? Menembak Soekarno susah, karena menimbulkan reaksi
hebat dari kaum ekstremis. Tetapi menembak Syahrir sebetulnya gampang. Orang
Republik pun sebetulnya akan senang kalau Syahrir pergi." Dan aku-aku lagi yang
dipersalahkan. Dan setiap kali ia mengucapkan nama Syahrir, selalu juga tidak bisa
lain, aku melihat lagi sang sekretaris muda sederhana, Larasati. Lalu seluruh
jerohanku muak karena sampai sekarang belum lagi jelas, di mana Papiku ada;
masihkah ia hidup atau sudah hilang? Dan Mami?
Verbruggen tidak pernah mengatakannya padaku, dia pasti malu, tetapi aku tahu
dari beberapa orang dari NEFIS, bahwa ia telah menjanjikan bayaran 1.000 gulden
bagi mereka yang dapat mengatakan dengan bukti, di mana bekas kekasihnya,
Mamiku, dapat ditemukan. Biar berpangkat mayoor, aku tahu ia jelas tidak punya
1.000 gulden. Tetapi bajingan selalu saja punya akal memperoleh 1.000 gulden.
Pernah aku pura-pura bodoh dan bertanya, apa barangkali ia dengan pangkat dan
pengaruhnya dapat memberi instruksi kepada NEFIS untuk mencari Mami. Reaksinya
sangat keras dan serba menghina: "Verdomme, kamu masih mau menetek, kok cari
simbok?"
Sejak itu aku mencari jalan-jalanku sendiri, tetapi dengan harapan terpendam,
semoga Verbruggen berhasil. Biasanya bajingan lebih berhasil.
Suatu siang aku tidak bisa makan. Soalnya ada peristiwa yang membuatku
bingung. Seorang letnan dalam keadaan perang tidak boleh bingung, tetapi saat itu
benar aku tidak tahu harus berbuat apa.
Ketika itu aku kebetulan sedang di lapangan Kemayoran untuk membawa amplop
warta-sandi dari Mayoor Verbruggen ke perwira syahbandar lapangan terbang
Militaire Luchtvaart ²⁾ .
¹⁾ Nama Admiral Panglima Angkatan Laut Belanda waktu itu.
²⁾ Angkatan Udara Belanda.
58
Harus kuserahkan pribadi. Barangkali soal militer gawat? Tetapi barangkali juga
Verbruggen masih mencari jejak Mamiku. Persetan.
Di kantin aku mendengar para perwira angkatan udara 1nggris dan Belanda sedang
hangat ramai membicarakan datangnya peristiwa yang akan menjadi hiburan di
tengah rutin kelabu sehari-hari. Edan, sungguh edan! Yang menyebut diri komandan
Angkatan Udara Republik sinting itu akan datang, ya terbang dengan pesawat-terbang
yang benar-benar terbang, dan jam sekian-dan-sekian akan mendarat di Kemayoran.
Ini sudah keterlaluan. Perwira-perwira Belanda sungguh kecut, tetapi perwira-perwira
Inggris melihatnya cuma sebagai dagelan saja, yang welcome untuk mereka. Dan
betul, kira-kira pada jam yang sudah ditentukan, bahkan agak terlalu pagi, kami lihat
dari arah timur tiga bintik kecil.
Seorang pilot 1nggris berteriak: "Zero ¹⁾ Uah, perang dunia meletus lagi!"
Ada yang mengatakan: "1ni mainan sinting. Kalau dia tidak bisa mendarat yang
benar, kami lagi yang harus mengumpulkan bangkai-bangkainya. Hei Uwhim!
Dirreck! Musuhmu datang. Ayo tembak!"
Dirk, si pilot Belanda dengan geramnya menggonggong: ''Be-
tul? Kau mau tanggung-jawab? Akan kutembak amatir itu."
Beberapa pilot Inggris mengejeknya.
"Kalau nanti yang jatuh bahkan kau sendiri, aduh meek, malu di muka dunia
internasional."
Seorang lagi menyeletuk: "Hei, kau apa! Cuma pangkat letnan. Dia komodor. Tahu
kau. Coba kalau dia datang, memandang pada kalian pun tidak sudi dia."
Sahut yang tadi: "Ah, perang sudah selesai. Aku tak mau pulang ke udik
Blackonshire. Menggali batubara? Ak:u akan mendaftarkan diri masuk Angkatan
Udara Republik itu. Petualangan sedikit deh. Dan tahu kau (dan ia membuat isyarat
suatu lubang dengan jari telunjuk dan ibu jarinya) delicious. Gadis-gadis Jawa cantik-
cantik. Tidak seperti di Holland, ya." Semua tertawa. Bintik-bintik tadi semakin
membesar. "Heh! Ada gambar merah-putih di lambungnya. Pintar juga pribumi
pribumi itu."
"Hey Billy! Kau tadi bilang Zero. Ayo bertaruh tiga botol Scotch²⁾ itu jenis
Kabayashi.”
"Hey heyhoo! Hello Direk, sekarang tidak cuma ada Flying Dutchman³⁾, tetapi
juga Flying Merdekamen!" Yang bernama Dirk hanya suram diam. Ketika pesawat itu
mendarat, orang-orang 1nggris bertepuk-tangan.
"Bagus, bagus pendaratannya. Halus. Kaum gentlemen mereka." Dengan tegang
kuamati dari jauh ketiga pesawat itu, yang pelan-pelan satu per satu mendekat dan
seperti riang bergoyang-goyang pada landasan yang tidak terlalu licin itu. Pesawat -
pesawat terbang Jepang model pemburu Kabayashi atau Zero bermesin satu sudah
agak kuna menurut ukuran Sekutu, tetapi entah mengapa, sangat mempesona pilot-
pilot veteran Perang Dunia yang sudah punya beribu-ribu jam terbang dalam sekian
operasi maut dalam pesawat-pesawat yang hiper modern. Pada saat itu aku terpukul
oleh gugatan samar-samar. Orang-orang Republik ini lelaki-lelaki tulen. Ini orang-
orang yang merintis suatu hari depan.
¹⁾ Jenis pesawat pemburu Jepang dalam perang Dunia II
²⁾ Minuman kerns.
³⁾ Sebutan tersohor untuk kapal dagang VOC.
59
Sedangkan aku sedang sekarat di sini, di antara orang-orang yang sebetulnya bukan
bangsaku, tetapi yang datang sebagai penonton atau bahkan tukang rampok.
Dan ketika mereka turun dari pesawat, dengan shirt dan short yang sportif, lalu
memberi salut kepada group-captain Lee dari R.A.P ¹⁾, komandan lapangan udara,
tersenyum penuh harga-diri serta beromong dalam bahasa Inggris, aku tahu, ini bukan
teroris. Ini kaumgentlemen. Pilot-pilot Inggris pun diam melihat dua orang ²⁾yang
dalam koran-koran disebut panglima Angkatan Udara Republik beserta mayor-
jenderal Republik ³⁾ yang akan mengungsikan pasukan-pasukan ]epang.
Dan seanak panah kilat meradak dalam kalbu. ]angan! ]angan Papi ada dalam
barisan mereka. Kalau Papi ikut mereka, sedang Atik sudah jelas di pihak mereka, apa
lagi seandainya Mami ternyata sudah di Mangkunegaran lagi, aku benar-benar akan
terkutuk. Tetapi kesimpulanku pada pagi hari di lapangan terbang itu semakin kokoh:
Kepada Atik, kepada Papi dan Mami, seandainya mereka di pihak sana, aku akan
membuktikan, bahwa aku di pihak benar, di pihak anti Jepang, di pihak Sekutu yang
jaya memenangkan perang melawan fasis.
Siang hari itu juga, ketika aku masuk markas besar Inggris, hatiku hampir mdedak
melihat suatu peleton kaum Republik yang gagah-gagah berbaris sigap dan rapi di
muka markas tentara Sekutu. ]elaslah itu suatu show besar, dan memang mereka
pandai main show. Pakaian mereka drill khaki baru buatan pabrik yang memang
kurang berkualitas dibanding seragam kami, tetapi yang menyolok ialah bentuk
seragam mereka yang samasekali bukan bergaya ]epang seperti yang kami kenal.
Celananya panjang dan bermodel Sekutu, pakai saku-saku besar di paha dan betis.
Sepatu model separuh lars yang memberi kesan orang-orang itu lebih tinggi.
Dan memang yang dipilih adalah pemuda-pemuda yang tegap-tegap berbadan
tinggi. ]elas dipilih, sebab ukuran rata-rata orang Inlander tidak seperti mereka itu.
Dan picinya! Gila! Gayanya! Aksi! Boleh deh, menjiplak Hollywood, tetapi jelas juga
bukan model ]epang. Senjatanya mengkilat, semua machine-pistool ⁴⁾ bekas KNIL
punya sebelum perang dunia II, bikinan Belgia. Tampak masih baru, seperti belum
pernah dipakai. Dan disiplinnya, gila, hanya itulah saja sisa ]epangnya yang kelihatan.
Tetapi dibanding dengan tentara Inlander KNIL yang santai dan gontai
bergentayangan, bahkan ada yang duduk-duduk memalukan seperti jongos di muka
markas itu, kelihatan sekali perbedaan yang membuat jiwaku lebih mendidih. Jelaslah
sikap KNIL-KNIL itu kuli Inlander. Tetapi peleton pengawal oknum yang menyebut
diri jenderal Sudirman itu, mereka jelas, jujur saja, bukan Inlander. Mereka tegap dan
sangat muda penuh harga diri. Wajah-wajah mereka mendongak ke atas dan
tampaklah bersinar pancaran mata. Fanatik, tetapi muda. Ya muda. Ini tentara yang
priyayi sebetulnya, ningrat; dan harus diakui oleh watakku yang jujur, sulit
disesuaikan dengan gambaran-gambaran populer: kaum teroris.
¹⁾ Royal Air Force, Angkatan Udara Inggris.
²⁾ Komodor Udara AURI Suryadarma dan Adisucipto.
³⁾ Mayor Jendral Sudibyo dari Staf Umum TRI.
⁴⁾ Senjata ringan otomatik
60
Memang perwira-perwira delegasi evakuasi RAPWI ¹⁾ pihak sana persis ]epang,
kecuali picinya yang selalu miring, tetapi pasukan pengawal ini bergaya intemasional.
Ya, pici yang sangat miring dan yang tampaknya selalu nyaris jatuh itu; di situlah aku
melihat untuk pertama kali suatu elan, suatu jiwa yang diam halus tetapi tajam
mengejek kami kaum KNIL, bangsat-bangsat bayaran yang sungguh-sungguh
kampungan.
Ketika aku lewat dan masuk ke ruangan departemen yang kutuju, aku melihat
beberapa dari mereka sedang omong-omong dan bercanda dengan perwira-perwira
Inggris. Tak banyak mereka mampu omong Inggris, tetapi mereka membawa
penerjemah, kurang-ajar kuli-kuli ini, dan mereka bercanda, ya ... ketika itu kebetulan
Jenderal Christison sedang keluar dati ruang kerjanya dan di gang ia bercanda dengan
kunyuk-kunyuk lulusan Jepang itu. Mereka omong dan tertawa. Seolah-olah mereka
sederajat dengan seorang jenderal Sekutu yang jaya.
Aku berkecak pinggang dan tidak dapat menahan amarahku.
Terutama kepada si Inggris itu, yang jelas, jelas berkhianat kepada kawan
seperjuangan dalam Perang Dunia II. Aku berkecak pinggang. Seperti jenderal itu.
Ada perwira Republik yang kebetulan memandang ke arahku. Kukira mataku ketika
itu bersinar penuh kebencian. Ia harus menangkap pijar-pijar kebencianku. Tetapi ia
hanya mengangkat tangan salam, santai seperti kepada sahabat lama dan tersenyum
penuh harga-diri.
Petang itu aku sendirian saja, sebab ada briefing dari komandan divisi di markas
besar. Baru sesudah malam larut kudengar Mayoor Verbruggen datang. Jelas ada soal
gawat.
Paginya pada makan pagi, Verbruggen bercerita pada rekan-rekan komandan
sebatalyon dengan dingin, tetapi jelas penuh kemasygulan, bahwa yang menamakan
diri Jenderal Sudirman tidak mau dilucuti senjatanya dan bahwa dengan demikian
suatu preseden sudah terjadi, yakni bahwa di muka mata dunia dan blak-blakan di
dalam daerah kekuasaan NlCA dan Sekutu, seorang petualang yang mengangkat
dirinya jadi jenderal suatu Republik liar telah diperkenankan oleh pimpinan Inggris
untuk mempertahankan segala atribut dan kewibawaannya.
lni berarti Inggris terang-terangan mengakui RI terlalu jauh.
Seorang perwira menyeletuk, bahwa keadaan memalukan seperti ini hams disikat
habis-habisan. Apalagi kaum pemberontak tidak punya angkatan udara, kecuali
pesawat bekas Jepang yang sudah kuna itu. Verbruggen hanya berkomentar, bahwa
soalnya ialah: menyerang Republik artinya menyerang Inggris dan menyerang Sekutu.
Dan dengan mengunyah rotinya dengan geraham perseginya ia bercerita, bahwa
Inggris akan menyerahkan semua evakuasi Angkatan Darat Jepang serta orang-orang
Belanda dan Indo yang dulu ditawan Jepang di tangan gerombolan-gerombolan teroris
itu. Artinya: tentara liar itu diakui de facto sejajar dengan Sekutu. Seorang kapten
dengan geram mengatakan, bahwa itu pengkhianatan. Tetapi tenang Verbruggen
mengatakan, bahwa "untuk saat ini, yang paling penting ialah, para wanita dan anak-
anak kita harus dievakuasi selamat, dengan jalan apapun, halal atau tidak halal".
¹⁾ Relief of Allied Prisoners of War and Internees (Badan Pembebasan tawanan
perang Sekutu dan yang tertawan lainnya).
61
9. Elang-elang Menyerang
Suatu pagi dini Desember, yang tanggalnya hanya diingat para tua, 19 Desember kata
mereka, di tengah wilayah damai yang serba mempersiapkan diri menyambut keda-
tangan musim hujan, seolah linglung sendiri, pada jalan aspalan yang sejak jaman
Jepang sudah penuh lubang mirip sungai terlalai, merangkaklah sebuah mobil merk
de Soto (nama merk mobil yang mudah diingat-ingat oleh penduduk) berwarna
coklat-hijau berloreng, mencari jalan relatip paling nyaman; dengan iringan debu
berwarna alumunium yang elok sebetulnya dari kejauhan. Mobil itu seperti serangga
ampal yang berjalan mencari jodohnya ke kiri ke kanan, seperti gelisah karena birahi.
Pak Trunya beristirahat sebentar dari mencangkul. Batang pemegang bajaknya,
celaka segori, patah entah disebabkan apa tadi. Karena tidak mau kehilangan waktu,
dengan agak menggerutu ia terpaksa mencangkul saja. Hujan pertama sudah datang,
jadi cepat-cepat ia harus siap pada waktunya. Begini pagi sudah ada mobil! Sebentar
lagi Pak Trunya dipaksa menoleh dan menengadah, sebab ada suara pesawat yang
meraung dari arah utara. Dan entah bagaimana mulanya, tahu-tahu pesawat itu begitu
cepat sudah dekat, lhaillah menukik dan luarbiasa kejutan jantung Pak Trunya. Ada
serentetan tembakan seperti meriam selosin menderu dan dalam sekejap mata mobil
itu terbakar. Terpaku tak mampu apa-apa Pak Trunya hanya berdiri bengong saja.
Tetapi setelah pesawat itu menjauh, akal sehat Pak Trunya melongok lagi dan
berteriaklah ia minta tolong dan berlari ke mobil. Seorang rekannya, yang juga
sedang membajak di petak sawah sebelahnya ikut berlari menuju mobil di jalan.
Sebab, mereka melihat seorang gadis kira-kira seumur anak Pak Trunya sendiri yang
baru saja melahirkan bayi, sedang menarik-narik seorang lelaki yang lebih tua dan
rupa-rupanya sudah pingsan. Dengan sebisa-bisa mereka, lelaki tua itu diselamatkan
dari tungku besi yang sedang terbakar itu, dan digotong sampai ke tepi jalan.
Sekonyong-konyong suara pesawat terbang itu menderu mendekat lagi. Kedua
petani itu spontan seperti tersepak jin lari tunggang-langgang dan melompat ke dalam
selokan sehingga basah kuyup. Tetapi gadis itu hanya membaringi lelaki itu dan
menangis tersedu-sedu. Serentetan berondongan menghalilintar membuat jantung
kedua petani itu nyaris berhenti. “nyuwun pangapunten Gusi ¹⁾," nyuwun
pangapunten Gusti, nyuwun pangapunten Gusti," hanya itulah yang dapat mereka
ucapkan.
Tetapi ketika tembakan-tembakan itu menyambar di sekitar mereka, doa-doa
berhenti dan hanya setengah sadar mereka menggelimpangkan diri di dalam lumpur.
Lama mereka bagaikan mayat di situ. Setelah lama sekali ditunggu dan tidak datang
hantu bercocor merah tadi, mereka menongolkan kepala-kepala mereka. Mobil
terbakar dengan api yang sangat panas.
¹⁾ Mohon ampun, ya Tuhan
62
Gadis itu masih terkulai bersama lelaki itu di tepi selokan. Setelah menengadah ke
segala arah tanpa melihat bayangan maut di udara fajar yang mulai pudar merahnya,
mereka merangkak mendekati dua sosok tubuh malang itu. Si gadis masih hangat
tubuhnya, juga si lelaki. Sekencang-kencangnya salah satu yang lebih muda berlari ke
desa untuk minta bantuan. Yang tua, Pak Trunya menunggui kedua insan itu. Ya
Allah ada apa tadi?
Memang sudah tiga tahun lebih merdeka, artinya keadaan serba kacau; dan kata
para pemuda dan pemimpin-pemimpin yang bertekat menghadang-hadangi Belanda
masuk, belum pernah terjadi seperti ini. Bahkan di jaman Jepang pun yang kata orang
itu Bharatayuda besar-besaran di seluruh dunia, yaillah, bagaimana rupanya Pak Kerta
juga tidak bisa menggambarkan, di jaman Jepang pun belum pernah terjadi seperti ini.
ltu tadi barangkali alap-alap¹⁾ Belanda. Dengan mata membelalak Pak Trunya
memandang ke api merah-hitam yang bergejolak liar dari mobil yang terbakar itu.
Sungguh mengherankan, besi kok bisa terbakar. Bukan main senjata Belanda itu!
Terns terang saja dalam hati Pak Trunya tidak berkeberatan Belanda datang lagi
mengganti Jepang, asal ia dapat menanam padi dengan tenang dan anak-anaknya bisa
berpakaian dan bersekolah. Indonesia merdeka juga boleh, walaupun seandainya
boleh pilih, lubuk hati Pak Trunya memilih Belanda saja. Mereka orang-orang yang
pandai dan walaupun sering kasar dan biadab, tetapi dapat diandalkan. Kalau ada
pencuri padi atau sapi-kerbau hilang, si maling tengik mesti tertangkap; kalau ada
pencuri sepeda, lalu resisir dan pelpolisi datang, tanggung sepeda itu pasti tertemu
lagi. Entah di Sala atau Magelang, tetapi pasti pulang. Sekarang ini susah.
Jaman merdeka ini sulit sekali. Dulu jelas: siapa lurah siapa asistenwedana dan
pelpolisi atau tentara, jelaslah sudah. Di mana mereka tinggal, dapat atau tidak dapat
minta tolong apa atau apa, selalulah dibereskan; asal tidak bohong dan ada bukti-
buktinya. Dan juga setiap orang tahu, siapa yang berkuasa dan tidak, di mana dan
dalam hal apa. Omong-omong dengan pembesar-pembesar Belanda sebetulnya enak
juga, asal tahu diri dan membongkok honnat; dapat omong seapa adanya; seperti
kalau orang-orang tani omong dengan Cina-cina, entah pemilik toko emas dan kain
atau mendring yang sering berkeliling bersepeda di desa-desa menawarkan pihutang.
Tetapi sekarang ini bahkan anak-katak pun bergolok dan berbaris dengan bambu
runcing. Seperti garong saja. Dan yang dulu asisten wedana, yah beliau ini apa
kerjanya. Lalu setoran-setoran untuk dapur umum ah ... sebetulnya semua ikhlas saja
(ini untuk anak-anakmu sendiri yang berjuang!), akan tetapi justru bikin repot saja
beliau-beliau yang disebut "anak-anakmu" itu. Tidak tahu sopan-santun dan kerjanya
cuma keluyuran saja membawa bedil, golok dan minta teh manis minta singkong,
minta dilayani seperti ndoro-ndoro. Salah seorang anak Pak Trunya juga tergolong
"pemuda anak-anakmu sendiri" itu. Sebetulnya Pak Trunya tidak tahu harus apa
dengan dia itu. Ayahnya dan abang-sulungnya disuruh mencangkul dan mencangkul,
membajak dan macam-macam kerja ini-itu. Capai, benar capai menyambung hidup.
Tetapi bagaimana sang tuan Anak? Cuma enak-enak perintah ini menyuruh itu, Si
Pahlawan muda manja itu. Dan ya, semua harus menyumbang untuk membelikan Den
Bagus pakaian seragam, sepatu setinggi setengah betis dan pici dan sudahlah, seperti
Gatutkaca gandrung Pregiwa. Lalu minta sangu, merengek-rengek minta bekal pergi
sebulan tiga bulan; katanya di Surabaya ada perkelahian besar melawan Inggris.
¹⁾ Sejenis elang kecil.
63
Lain ke Semarang, ke mana lagi entah ini nanti, Inggris yang mana lagi. Ya Allah, ya
Nabi, kunci Inggris atau serabi ¹⁾. Inggris, Pak Trunya tahu. Tetapi siapa orang
Inggris itu? Katanya sejenis Belanda tetapi tidak berbahasa Belanda. Sungguh
gonjing²⁾morat-marit dunia sekarang. Kapan merdeka ini selesai?! Ke mana Si Benjo
tadi? Katanya memanggil rekan-rekan! Ia menghampiri pemudi itu. Masih hangat.
Dan setelah ditelentangkan, tampak dadanya masih kembang-kempis. Tetapi si lelaki
ini, ya Allah, sudah mulai dingin. Telinga Pak Trunya didekatkan pada hidung dan
mulutnya. Tidak ada bunyi hembusan sedikit pun. Mati dia. Mana Si Benjo tadi, kok
begitu lama? Terkejut Pak Trunya mendongak dan mencari sesuatu di udara. Ya
Allah, sekarang tidak hanya satu, tetapi sebarisan pesawat terbang menderu datang
dari arah Magelang. Minta ampun. Duh Gusti, mohon ampun. Dengan sekuat tenaga
gadis itu diemban dan hampir keduanya, dia dan si gadis itu terlempar keras ke dalam
selokan. Tetapi gadis itu masih tersangkut semak. Pak Trunya turun ke dalam selokan
dan secepat mungkin gadis yang pingsan itu ditarik masuk selokan. Selokan-selokan
di daerah Merapi sangat bersih airnya, itu keuntungan. Tetapi dingin. Apa boleh buat,
gadis itu dimasukkan ke dalam air yang tidak begitu dalam.
Ketika tubuh gadis itu masuk air, secara refleks tangannya merangkul Pak Trunya,
siuman sambil berteriak: ''Ayah! Ayah!" Oh, tadi itu ayahnya, pikir Pak Trunya.
"Sudah, tenang Den Ajeng, tenang ... tidak ada apa-apa."
''Ayah! Mana ayah. Tolong dial"
"Sudah. Sudah, ia sudah tertolong."
''Ayah masih hidup?"
"Masih, masih hidup jangan khawatir;' jawab Pak Trunya spontan, asal menjawab
apa pun, , tak peduli isinya. Pokoknya biar hati gadis ini tenteram. Dan erat-erat ia
pegang gadis yang meronta-ronta itu di dalam selokan. Lebih baik mati satu daripada
semuanya, pikir Pak Trunya. "Di sini saja, Den Ajeng. ltu ada ratusan pesawat terbang
mau menembaki kita."
Di tepi desa, di jalan setapak dan pematang sawah anak-anak pada bersorak-sorai
menengadah melambai-lambaikan tangan ke udara. Istimewa. Berpuluh-puluh
pesawat terbang sangat rendah melewati sawah-sawah desa. Besar kecil burung-
burung kelabu itu setiap lima menit lewat. Pelan-pelan dan rupa-rupanya berat isinya.
Orang tua-tua macam-macam terkaannya. Ada yang mengatakan Republik sekarang
sudah dibantu Negara-negara Besar, entah namanya, maka punya banyak pesawat.
Ada yang menebak, boleh jadi sekarang RI sedang latihan perang. Tetapi pemuda-
pemuda, yang lebih tahu soal-soal perjuangan, mengira itu pesawat-pesawat Belanda.
Ada lain lagi yang membantah, itu barangkali utusan-utusan Luar Negeri yang mau
berunding di Kaliurang. Tetapi kok aneh. Terus menerus pada beterbangan.
Tentu saja tidak ada anak satu pun hari itu yang ingat pada tugas mencari rumput
untuk kambing atau memandikan sapi. Hanya sesudah dibentaki ayah-ayah dan
diteriaki ibu-ibu mereka dengan suara melengking mereka pelan-pelan mengambil arit
dan pergi bertugas. Mata terus menengadah penuh pertanyaan ke udara.
¹⁾ Sejenis kue goreng dari tepung beras.
²⁾ Serba goyah kalang kabut.
64
Kadang-kadang melambaikan tangan sambil berteriak: Merdeka! Ada yang gerobak
ada yang sedan pesawat-pesawat itu. Atau seperti kereta-api saja, tetapi di udara.
Tidak setiap hari ada tontonan semacam itu! Hanya gadis-gadis dan perempuan-
perempuan desa tidak begitu acuh pada permainan udara itu. Sebab sebelum matahari
terbenam panenan padi terakhir tahun itu harus sudah masuk lumbung. Hujan pelopor
musim basah sudah jatuh dan sawah-sawah harus lekas-lekas dibajak, air dialirkan,
digaru dan ditanami.
Gadis dalam selokan tadi hanya menangis, merintih.
''Ada yang sakit, Den?"
''Ayah, ayah ... oh, mengapa ayah tidak ditolong."
Pak Trunya tidak berdaya. Spontanitas gadis itu kuat dan ia keluar dari selokan
serta menangis berlutut di samping ayahnya; sedangkan barisan kapal terbang
menderu-deru di atas mereka. Pak Trunya dengan berdebar-debar tidak berani ke1uar
dari selokan dan hanya mengintip saja dari tempat persembunyiannya.
Sendirian gadis itu membenahi dan membaringkan ayahnya dalam posisi yang
pantas. Mata yang masih melirik dikatupkannya dan rahang diikatnya dengan sapu
tangannya. Pak Trunya mengumpat -umpat pacla pesawat-pesawat yang terbang di
atas mereka, tetapi sebetulnya ia lebih mengumpat dirinya sendiri yang malu karena
penakutnya itu. Akhirnya, sesudah je1as, bahwa barisan pesawat-pesawat besar yang
melayang tidak sangat tinggi itu tidak memuntahkan api, pak. Trunya dengan ucapan
Bismillah keluar dari paritnya dan menolong anak perempuan yang malang itu.
''Tenanglah Den Ajeng, temanku sudah mencari bantuan." katanya sambil
memandangnya dengan penuh iba hati.
"Terima kasih, Pak."
"Oh, tidak apa-apa." Sekarang perempuan muda itu tidak. menangis lagi. Dengan
diam disekanya rambut ayahnya dan sebentar-sebentar ia betulkan kedudukan kaki,
tangan. Tangan disilangkan di atas dada. Pak Trunya melihat bibir wanita muda itu
bergerak-gerak seperti mengucapkan doa. Sayang Pak. Trunya tidak hafal ayat-ayat
Yasin. Tetapi Pak Trunya yakin, Allah Maha Belas-kasihan.
Tak habis-habisnya pesawat-pesawat besar itu menuju ke Selatan. lni ada apa?
pikirnya. "ltu lagi!" teriaknya tiba-tiba dan spontan menarik tangan wanita muda itu.
Tampak sebuah pesawat kecil dari samping iring-iringan itu menuju ke arah mereka.
Tetapi gadis itu malahan tidak mau. Maka Pak Trunya gugup sendirian saja melompat
lagi ke dalam selokan dan mendekam dalam-dalam.
Suara pesawat itu mengembang dan meraung-raung sangat dekat. Tampak sekejap
suatu bayangan hitam melampaui dan hilang lagi. Pesawat itu tidak menembak. Dari
selokan Pak Trunya masih melihat ekornya yang sangat cepat menjauh. Aduh, sung-
guh amat cepat pesawat terbang itu. Belum pernah Pak Trunya melihat pesawat
terbang dari dekat. Hatinya berdebar-debar, tetapi legalah hatinya, bahwa pesawat itu
masih punya belas kasihan. Juga pandangan wanita muda itu masih mengikuti ekor
pesawat itu.
Mestinya, ayah yang meninggal itu seorang pembesar. Sebab siapa di Jaman
merdeka ini yang bisa naik mobil kalau bukan pembesar. Dan wanita muda itu
anaknya. Roknya sobek-sobek rambutnya lepas tak kernan.
Pak Trunya teringat pada anaknya yang kira-kira sebaya dengan den ajeng itu.
Hanya anaknya lebih hitam dan lebih kekar. Baru saja anaknya melahirkan anak
mungil. Masa panen memang masa pesta bayi. Tetapi susah berpesta dalam jaman
seperti ini.
65
Ketika anak gadisnya kawin, dalam hati Pak Trunya menangis, bahwa ia tak
mampu memberi pesta yang lebih meriah seperti yang diinginkannya. Semua serba
mahal. Bahkan kain pesta pun terpaksa anaknya harus pinjam dari bibinya. Dan juga
kebayanya pinjam dari kakaknya. Tanpa pertunjukan wayang. Siapa mampu
menyewa dalang dan seperangkat bala-senimannya.
Pak Trunya keluar dari persembunyiannya dan dengan rasa menyesal minta maaf,
bahwa ia begitu takut dan terpaksa harus bersembunyi. Wanita muda itu mengatakan,
bahwa hal itu wajar dan sebaliknyalah dia yang harus minta maaf karena dengan me-
nolak bersembunyi tadi ia membahayakan Pak Tani. Pesawat itu tidak menembak
karena hanya melihat perempuan. Tetapi Pak Trunya toh merasa salah, bahwa ia
kurang berani, sebab soalnya ia belum pemah melihat pesawat terbang dan semuanya
terjadi begitu cepat clan mengejutkan.
"ltu pesawat-pesawat datang darimana dan mau ke mana?"
"ltu Belanda." kata perempuan muda itu, "Mereka menyerang Yogya, itu sudah
jelas." Dan sedih, halus gugatannya. "Selalu begitu Belanda itu. Tidak mengindahkan
peri-ksatria. Seperti ketika menawan Diponegoro." Sekarang ayahnya yang menjadi
korban dan ia mengeluh, bagaimana caranya memberitahu ibunya nanti.
''Bagaimana pun ayah Anda orang yang bahagia."
" Bagaimana bahagia, mati di tengah jalan begini."
"Ya, tetapi Den Ajeng tidak boleh lupa, ia meninggal dalam rangkulan anaknya
yang baik hati. Den Ajeng bukan laki-Iaki dan bukan ayah. Saya yang ayah dan kakek
dapat mengatakan, ini saat kematian yang paling ia cita-citakan juga. Dirangkul oleh
anak-anaknya."
"ltu kan biasa, Pak."
"Bagi yang biasa. Tetapi banyak ayah meninggal dengan diumpat-umpat anak-
anaknya. Bahkan pada saat ayahnya sedang sekarat pun mereka sudah mulai
memperebutkan warisan. ltu terjadi Den Ajeng. Maka saya mohon diperkenankan
meninggal seperti ayahmu itu."
Wanita muda itu menatapnya nanap, sehingga ia malu dan matanya menghunjam
ke bawah.
''Berapa anak bapak?"
"Lima. Tetapi sebetulnya delapan."
"Sudah berapa cucu-cucu?"
''Baru dua belas. Tetapi segera akan empat belas. Tetapi mudah-mudahan cucu-
cucuku tidak mengalami jaman merdeka seperti ini." Wanita muda itu tersenyum.
"Semoga Tuhan selalu memberkati anak-cucu bapak."
“Den Ajeng sudah berapa?”
"Saya belum kawin,” jawabnya lembut. Lalu disekanya wajah ayahnya yang
sesudah meninggal tampak lebih bercahaya. "Kasihan ayah. la belum sempat melihat
cucunya. Sekarang akulah yang merasa salah." Dan mulailah wanita itu bercucuran
lagi air matanya.
Pak Trunya gusar memandang ke desanya. Mana bantuannya. Tentu mereka takut,
pikirnya. la menengadah ke langit. Seperti tak habis-habisnya barisan pesawat terbang
itu, besar dan kecil. Campur baur seperti baru saja beli dari loakan. Tetapi tidak ada
lagi yang kecil bermoncong merah serta Tukang Sambar.
''Den Ajeng di sini dulu, ya. Nanti saya akan memanggil kawan-kawanku." Dan
cepatlah tani itu berlari ke desa, sambil berkali-kali melihat ke atas, jangan-jangan ada
cocor merah lagi.
66
Atik memandang wajah ayahnya. Bagaimana mengangkut jenazah ayahnya ke kota?
Bagaimana caranya memberitahu ibunya? lni jelas perang. Dari desas-desus anggota
delegasi RI yang sedang berunding di Kaliurang di bawah naungan Komisi PBB ia
sudah tahu, betapa gawat keadaan. Sikap wakil Mahkota, Dr. Beel, begitu kaku
seperti bakiak klompen negerinya, bahkan kasar sebenarnya, tak sopan. Tetapi bahwa
sudah secepat itulah Belanda menyerang, sungguh, tidak pernah itu diperkirakan. Juga
oleh para wakil Tiga Negara di meja perundingan Kaliurang. Sungguh aneh dan gila
sebetulnya, menyerang Yogya di muka hidung wakil-wakil Dunia Internasional itu.
ltu kan namanya meremehkan bahkan menghina mereka.
Atik teringat pada kata-kata serba tenang dari bossnya ketika masih perdana
menteri kala itu: "Setiap kekerasan dari Belanda merupakan lubang jebakan. Di situ
mereka akan terperosok sendiri. Satu-satunya jalan untuk menang bagi kita ialah sikap
goodwill secara budaya berperikemanusiaan. Sebab justru itulah yang dicari oleh
seluruh pihak di mana pun yang sudah remuk dan muak kekerasan. PerangDunia baru
saja selesai." Tetapi bagaimana nanti?
Larasati hanya penyumbang kecil di dalam medan perjuangan itu. Penterjemah
teka-teki diplomasi ke dalam bahasa Inggris dan sebaliknya memang dibutuhkan
mutlak, tetapi itu pekerjaan dinas saja. Para pembantu wanita dalam delegasi
Indonesia tahu banyak, tetapi juga sedikit sekali.
Tiba-tiba Atik teringat pada tas yang berisi beberapa lembar surat penting dari
Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur Jawa Tengah yang berkedudukan di
Magelang. Dengan sedih ia melihat pada kendaraan yang sudah hitam berbau sengak
cat dan karet terbakar. Ah, tidak penting. Toh situasinya sudah berubah sama sekali.
Tetapi bagaikan golok yang menusuk hatinya datanglah ingatan, bahwa di dalam tas
itu tersimpan dompet dengan foto kecil. Foto sahabatnya yang, entah mengapa, selalu
ia kenang. Setadewa. Dalam kenangan yang memprihatinkan. Namun justru karena
memprihatinkan itulah semakin dekat rasanya kepada orang muda itu. Foto Teto.
Ketika ia masih di SD. Haruskah kenangan kepada Teto dibakar sehingga tinggal
debu kelabu saja? Itukah sasmita peristiwa Minggu pagi secerah ini? Tidak, ia tidak
boleh cuma bermimpi. Atik mendapat ilham. Ia pergi ke selokan bening tempat
persembunyiannya tadi. Sapu-tangannya dibasahi jenuh dengan air itu. Ia merangkak
lagi ke jalan dan mulai menyeka dan mencuci wajah, leher dan tangan ayahnya.
Gelombang-gelombang pesawat terbang mulai menghilang. Barulah orang-orang
desa berani keluar membawa tandu, diiringi anak-anak banyak yang bagaikan lalat
tidak mau dihalau oleh orang-orang tua. Mereka menemukan Larasati masih mencuci
tangan dan kaki ayahnya dengan sapu-tangannya yang basah. Diam tanpa tangis
maupun keluhan.
Anak-anak pun terpengaruh dan terpukau. Mereka hanya memandang dengan mata
yang lebar penuh pertanyaan dan berbisik-bisiklah mereka. Iring-iringan tandu dengan
jenazah menuju ke desa. Di kejauhan segerombol anak-anak masih melihat-lihat dan
mengutik-utik bangkai mobil itu dengan tongkat-tongkat.
Tiba-tiba anak-anak itu berlari-lari lagi sambil menjerit-jerit. Terdengar lagi
raungan kapal terbang yang mendekat. Ibu-ibu desa juga berlari ke luar desa, memaki-
maki anak-anak serta menjerit-jeritkan doa kepada Allah, sambil mencari buah rahim
mereka masing-masing. Hari Minggu yang sungguh-sungguh penuh hantu. Memang
jaman revolusi. Tetapi di desa Juranggede khususnya untuk kaum perempuan, semua
masih sama saja: usaha makanan cukup, pekerjaan dapur dan cuci di kali. Melahirkan
anak dan menyusui, revolusi atau bukan revolusi, jaman merdeka, atau jaman
Belanda.
67
Harapan hati hanyalah, agar jaman merdeka ini lekas selesai dan datanglah jaman
damai. Tetapi omong-omong begitu katanya amat terlarang, entah mengapa. Karena
itu orang sebaiknya diamlah. Cukup bersalin dan menyusui, menumbuk padi dan
masak di dapur. Dan kadang-kadang dalam gelap malam tidur tukar suami orang lain,
itu terjadi juga. Semua orang tahu dan semua orang mendiamkan hal semacam gituan.
Memang berzinah itu maksiat. Artinya: jika orang lain sampai tahu. Artinya: tahu di
muka umum. Tetapi kalau baru diketahui dalam hati itu belum dosa namanya.
Barangkali lebih tepat disebut: tidak baik, kurang senonoh. Tetapi asal pandai
siasatnya dan tidak terlalu membuat desa goyah-gonjing, orang lain akan diam. Tentu
saja mereka tidak diam, tetapi di muka umum seolah-olah tidak ada apa-apa. Seperti
Gunung Merapi itu. Setiap hari mengeluarkan lahar. Kan harus ditampung. Dan ada
yang menampung. Ada masanya lahar mengalir ke Kali Code. Ada hari lain tahu-tahu
nanti tersumbat dan lahar mengalir ke Kali Krasak yang sekarang sempit tetapi
barangkali kelak lebar penuh batu dan lahar. Asal lahar dingin saja tak mengapalah,
dan jangan merusak sawah ladang di sekitar. Kalau lahar panas tambah gempa, nah
itu yang merepotkan. Seluruh desa akan tertimbun batu dan jenang lumpur. Banyak
yang mati, nah, itu keterlaluan, jahat.
Maka bijaksanalah. Tetapi kalau sudah terjadi, apa boleh buat, mengungsi sebentar
paling lama sebulan. Lalu pulang lagi. Dan soal mati atau hidup; di mana-mana bisa
mati. Apa lagi di jaman sejak ]epang datang. Mengungsi memang tidak enak. Tetapi
untuk anak-anak menyenangkan juga. Melihat keadaan-keadaan di luar desanya
sendiri. Baru sesudah 5 tahun tanah yang terkena lahar dapat ditanami padi lagi, asal
hanya lahar pasir. Bukan gumpalan-gumpalan lava yang menjadi karang-karang keras
sekali. Dan selama 5 tahun itu, ah, Tuhan Allah masih Maha Pemurah. Selain itu di
lereng gunung, atas sana, masih banyak tanah-tanah yang disebut tanah terlarang yang
dapat dijadikan tegal. Terlarang? Ya, terlarang. Artinya kalau sampai jadi perkara.
Maka sekali lagi: bijaksanalah!
Tetapi kali ini aneh. Arus lahar bahkan di udara. Seperti gumpalan-gumpalan lahar
beku benda-benda kelabu itu menderu dan melayang ke Selatan, untuk nanti ke Utara
lagi. Baru ketika matahari sudah doyong ke Barat, arus menjadi agak jarang. Hanya
tinggal satu dua pesawat kecil yang seperti anak ketinggalan mengejar emboknya
pulang ke desanya. Sepanjang siang sawah-sawah sepi manusia. Hanya beberapa
burung manyar dan gelatik yang masih giat mencari sisa-sisa bekas panenan dari
beberapa petak sawah. Ada sejenis burung kukuk berseru dari dahan: "Anaabuk! Ana-
abuk!"
Anak-anak spontan menirukannya "Blanda mabok! Blanda mabok!"
Sudah lama Atik tidak lagi menyusuri ladang-hutan dengan ayahnya, sejak tahun-
tahun huru-hara revolusi ini. Ah, dengar itu! Seekor burung kacer menyerulingkan
lagunya yang merdu, koong-kirewiit-gee-nikolei, koong-kirewiit-gee-nikolei, sambil
membias-biaskan sayap-sayapnya tentu. Sayu sedih terkenanglah Atik kepada hari-
hari yang bahagia, ketika masih kecil ia bersama ayah almarhum menyusupi
perkebunan-perkebunan dan tersenyum mendengarkan seruling kacer-kacer itu.
Menurut ayah, kacer-kacer itu berseru: "Lontooong sedikiit, kambeeeng digulai.
Lontooong sedikiiit, kambeeeng digulai."
Betapa geli ketawa Atik ketika itu. Burung-burung hitam-biru berjalur putih bersih di
sayap itu kini menjadi lambang kehitaman hari-hari ayah.
68
Ah, semoga Allah masih memberikan sejalur damai putih untuk ibunya di hari-hari
yang gelap ini. Teringat lagi Atik pada foto Teto dalam dompet kecil yang ikut
terbakar dalam mobil tadi. Sedang apa Teto pada saat ini? "Tolooong, sedikiiit,
tolooong sedikiiit,” begitu kacer berseruling lagi, "kamiii terkulai." Ya, benar-benar
lemas terkulai Atik petang itu menunggu terbenamnya matahari.
Malam itu ia terpaksa masih mengungsi dulu ke tempat orang-orang desa yang
ramah ini. Besok dini pagi, barangkali jam 3.00 pagi sudah, seorang pemuda akan
memboncengkannya ke kota, dengan sepeda, mencoba menyusup ke dalam kota,
untuk memberitakan warta duka kepada ibunya. Di senja merah jingga sepasang
burung srigunting menari-nari dan menukik-nukik di atas sawah, seperti yang sudah
biasa mereka lakukan sekian ratusribu tahun.
69
10. Macan Tutul Meraung
Tak seorang pun kecuali Verbruggen yang berani mengatakannya tanpa jaring-jaring
kamuflase, tetapi terasalah dalam seluruh gumpalan awan debu dan bau keringat
yang menusuk seluruh paru-paru, bahwa pihak kami akan kalah. Bukan pahit yang
kurasakan, tetapi kehampaan. Pertanyaan diteriakkan paru-paru tanpa suara ke bolong
malam, tanpa mengharapkan jawaban, karena semua sudah tahu yang sebenarnya.
Tentara yang kalah sarna saja dengan sungai kering di musim kemarau, sejalur
batu dan lumpur, onggokan sampah di sini, potongan-potongan tai kering di sana.
Kersang dan tidak dapat dipakai apa-apa selain untuk tempat sembunyi permainan
serong atau sapi curian. Tentara kalah ternyata sebagai bola karet yang sobek bocor
tak ketolongan, kempis terserak di sembarang sudut halaman, tidak mengganggu dan
tidak diganggu, tetapi tetap gangguan. Kami hanya tinggal menghitung di kalender
harian, angka-angka mana yang kebetulan minta giliran untuk disobek.
Barangkali begitulah perasaan Verbruggen bila ia sedang bermain-main cincin-
cincin asap cerutunya yang selalu saja, entah dari mana, bermerk Holland itu.
"Ibuku masih ingat pada anaknya yang paling kurang-ajar," begitu keterangannya,
mengapa masih saja dia punya kemewahan cerutu harum di tengah kebusukan tropika
negeri yang begitu indah sehingga memuakkan itu. Rahasia hidup-mati Verbruggen
barangkali dalam asap cerutunya itu. Seperti Akhilus mitologi Yunani pada tumit
kakinya. Seperti beberapa tokoh wayang dalam anggota badan ini atau itu.
Verbruggen memang Petruk, tetapi Petruk Belanda yang kekar, hanya itu bedanya.
Tetapi melihat mulutnya yang terlalu besar dan lebar serta matanya condong sipit, apa
lagi perutnya yang melembung, toh Petruk ia sebenarnya. Ia badut dalam arti banyak
dan ia menerima kekalahan tentaranya sebagai menerima kekalahan lotere saja. Nanti
beli lotere lagi. Dan memang, pernah ia berguman, bahwa ia sedang serius
memikirkan kemungkinan masuk ke dalam Legiun Asing tentara Prancis di Indo Cina
atau Aljazair. Spanyol pun masih punya Legiun Asing, di mana para bandit dan
petualang segala penjuru dunia bisa menjual otot dan kemaksiatan mereka untuk
berkelahi melawan musuh entah siapa, tak peduli. Atau bukan musuh istilahnya, tetapi
jumbleng tempat penerimaan kotoran nafsu pembunuh sewaan. Tetapi istilah mem-
bunuh di sini juga masih terlalu diambil dari kamus kaum alim. Membunuh gadis
yang diperkosa, kata orang, membunuh. Tetapi bertempur dalam divisi-divisi
berpakaian seragam di bawah pimpinan seorang jenderal dan di bawah panji-panji
nasional, kata orang, bukan membunuh tetapi berbakti kepada nusa dan bangsa.
Dan apa yang seclang kukerjakan sejak aku masuk KNIL ini?
Menegakkan tata-tertib yang syah? Yang masih diakui oleh hukum internasional dan
semua nasion yang beradab? Melawan terorisme fasisme? Membalas dendam kepada
kaum yang menjadi sebab langsung-tak-langsung ibuku dijadikan jumbleng kotoran?
Menegakkan hargadiri dan keyakinan pribadi? Apa arti kata pribadi dan keyakinan
dan harga-diri dan nasion dan ibu dan segala istilah abstrak itu? Apa beda tentara dan
gerombolan bandit? Apa beda seni ksatria dan nafsu membunuh? Apa perbedaan
pahlawan kemerdekaan yang gugur dan soldadu penjajah yang mampus? Jelasnya,
bagi yang mati itu? Nama harum, noda nasib? Semua jenderal yang menang disebut
pahlawan, semua jenderal yang kalah disebut penjahat perang. Oleh siapa nama
harum dan pujaan itu sebetulnya dibutuhkan?
70
Oleh yang mati atau yang menjadi ahliwaris atau kelompok yang membutuhkan
legitimasi? Pemerkokoh ideologi yang ditentukan a priori?
Saat yang kunanti-nanti telah terjadi: Yogya kami kuasai. Tetapi alangkah
kecewanya. Seharusnya aku bersorak Gloria Victoria! Tetapi inikah yang disebut
Victoria? Apakah begini juga hidup perkawinan, yang kata orang lagi, hebat dinanti-
nantikan; tetapi sesudah terjadi, cekcok dan kelesuan? Lalu apa yang disebut menang
atau kalah? Tidak! Menang atau kalah ditentukan sendiri oleh manusia, oleh aku
sendiri, Setadewa! Ya, Kapitein Setadewa. Tidak oleh orang lain, siapa pun. Juga
tidak oleh Larasati! Hei Seta! Rayakanlah hari kejayaanmu! Bukan kejayaan Belanda
atau KNIL, tetapi kejayaan Kapitein Setadewa, putera Kapitein Brajabasuki dan
Marice.
Dini pagi pasukan payung telah diterjunkan ke pangkalan Meguwa, Yogya.
Sedangkan mereka mengamankan landasan dan daerah sekitarnya, Dakota pasukanku,
pesawat pengangkut yang pertama mendarat. Dalam formasi tempur kami langsung
dari pesawat menuju rel keretaapi. ltu kami seberangi dan terus, terus, kami terus lari,
menjatuhkan diri, lari, menjatuhkan diri sambil menghamburkan ribuan pelor yang
sudah ditimbun sekian tahun oleh Jenderal Spoor; ya, ngawur saja asal memberi
perasaan aman. Sialnya tidak seperti siasat militer biasa, kami tidak dilindungi oleh
perisai artileri. Jadi peluru dari bren, stengun dan sekian Thompson dan moncong apa
saja yang bisa digaet dari gudang-gudang Sekutu, kami berondongkan ke musuh yang
tak pernah kelihatan.
Dalam hati aku agak terhibur sedikit, sebab operasi menduduki Yogya ini mirip
perang sungguh-sungguh. Perang dengan cara intelektual dan beradab. Dan tidak
seperti di Tanggerang dan Sukabumi dua tahun yang lalu, berurusan dengan
perampok dan maling. Aku masuk KNIL tidak untuk menjadi semacam koboi
melawan perampok atau bandit yang menendang bandit lain. Tetapi susahnya sampai
sekarang, operasi KNIL hanya seperti main kotor saja. Masih tersisa kejengkelanku
ketika kami menerima briefing dari Letkol Verbruggen mengenai apa yang oleh Dr.
Beel disebut Aksi Polisionil itu.
Aku sungguh marah, karena itu penghinaan bagi kaum KNIL yang tulen, yang
bukan polisi, seolah-olah kami ini hanya main petasan dengan siasat kuna "tangkaplah
maling dengan maling". Verbruggen hanya menyeringai dan ujung mulutnya serba
ejekan bertanya kembali: "Apa jeleknya jadi maling? Dari pada jadi politikus?" Aku
terkejut dan ketika aku melihat dia memandang foto orang pelontos kepala botak
dalam koran de Volkskrant yang sesudah kuamat-arnati ternyata itu wakil Mahkota
Dr. Beel, maka aku segera menangkap siapa yang dimaksud olehnya. Sengketa kuna,
militer melawan politikus. Tetapi bagi dia, yang berdarah legiun Asing soldadu
profesional, masalahnya lain dariku. Aku masih punya prinsip dan aku tahu, untuk
apa aku ikut menyerbu Yogya ini,
Tetapi jujurlah, keyakinanku ketika itu juga sudah goyah.
Hanya aku tidak mau mengakuinya. Soalnya, jiwaku tidak pernah tenteram, karena
sampai sekarang belum pernah ada tanda-tanda jelas, di mana dan sedang berbuat apa
ayahku. Berkali-kali aku gentayangan ke NEFIS dan selalu bertanya apa ada tawanan
republikan baru. Dan kepada tahanan-tahanan itu aku mencoba tanya, apa ada di
kalangan mereka seorang perwira, entah mayor entah kolonel, yang berasal dari sini
dan situ dan bernama Brajabasuki, yang berpendidikan akademi Breda tetapi ikut
Republik dan sebagainya.
71
Ataukah barangkali Papiku telah berganti nama? Tentang ibuku aku sudah tidak
berani bertanya lagi, sebab setiap kenangan pada Mami hanya membuatku gusar dan
marah dan menjadi penyebab aku cuma mengamuk ke kiri kanan. Sebab sekali lagi,
seorang pemegang komando dalam perang tidak boleh terlalu nervous dan emosional.
Aku harus menjaga diri, karena bagaimanapun aku punya tanggung-jawab terhadap
keselamatan anak-buahku. Biarpun aku tahu, anak-buahku sebetulnya hanyalah kuli-
kuli inlander saja yang kebetulan disuruh menghambur-hamburkan peluru, namun toh
mereka punya papa dan mama juga.
Aku sudah lama rukun dengan gagasan, bahwa serdadu-serdadu bawahanku yang
inlander-inlander itu memang segerombolan sampah sebetulnya, akan tetapi apa
dosanya mencari nafkah? Seandainya aku dalam kedudukan mereka, pasti juga aku
tak punya alternatif lain, memilih mata-pencaharian apa. Aku sukarela masuk KNIL,
tetapi mereka terpaksa jadi soldadu yang mencari nafkah biasa saja, seperti seorang
jagal mencari nasibnya dengan menyembelih sapi.
Mereka soldadu, dati kata soldei alias upah. Aku bukan soldadu, aku petualang dan
pendendam, dan kalau aku mati dan kalah, aku masuk neraka. Sedangkan mereka,
kukira di akhirat mereka dengan ikhlas akan mengepel lantai surga yang diduduki
kursi-kursi pahlawan-pahlawan KL Belanda atau Republik. Sebab memang pekerjaan
yang mereka ketahui hanyalah menjadi kacung. Seandainya mereka mendengar,
bahwa soldei pejuang Republik itu dua kali lipat dari upah mereka jadi bandit KNIL
ini, tentulah dengan tenang dan tanpa banyak cingcong mereka akan ikut Republik
juga; dan nanti malam merangkak masuk kamarku dan menembak Kapiten Setadewa;
dengan gaya tukang ahli juga yang telah menuaikan tugas dengan efisien, seperti yang
diminta sebagai imbangan upah seorang profesional.
Aku bukan soldadu. Pertama karena bintangku sudah tiga dan perak dengan latar-
belakang hitam. Dan selain itu, aku punya ideal. Ideal mendendam memang bukan
ideal yang teramat bagus, akan tetapi jelas bukan karena uang aku memimpin kolone
yang menuju ke istana Soekarno itu. Aneh, mengapa aku muram, padahal inilah yang
sudah kutunggu-tunggu bertahun-tahun; yang telah kami pelajari dalam peta-peta dan
sekian foto-foto intel, kami. Aku memang sudah mengenal Yogya sebelum Jepang
masuk, akan tetapi pemandangan mata manusia yang melancong atau bersepeda
dengan maksud-maksud normal sangatlah berbeda dari pemandangan mata seorang
berseragam yang penuh beban tas peluru berniat merebut suatu kota yang terkutuk.
Sesekali kami nyaris menginjak mayat seorang anak kampung atau petani atau satu
kali seorang gadis yang membuat kacau hatiku, sebab jelaslah tidak dapat dihindari,
bayangan Atik yang sebaya dengan mayat itu menghantui, sehingga aku terkejut
ketika sersan Ambon pengawalku dengan berteriak merebahkan tubuhku masuk
selokan. Sebuah born waktu meledak. Aku mengumpat-umpat dengan sendirinya,
tetapi sersan setia itu hanya menyeringai dan berguman: "Kapten, minta rokok."
Persetan, cuma itu. Kulemparkan seluruh bungkusan ke hidungnya yang selebar sayap
Dakota itu dan langsung memberondongkan peluru-peluruku ke arah semak-semak
yang bergerak entah oleh angin entah oleh entah.
Sebetulnya ini perang gila. Sesudah setengah jam merangkak dan lari dan
merangkak lagi, aku sudah mengambil kesimpulan, bahwa sebetulnya kami bisa saja
mengambil jip dan langsung pergi ke Tugu, terus belok ke kiri ke Malioboro. Jus!
Masuk ke istana gubernur Belanda yang sekarang dipakai oleh Soekarno.
72
Aku yakin bahwa tentara Republik sudah lari semua dan untuk apa kita menghambur-
hamburkan peluru dan waktu. Jangan-jangan Soekarno lalu cukup punya waktu untuk
lari ke pedalaman, malah susah ganda nanti.
Aku meradiokan pandanganku itu kepada Letkol Verbruggen, supaya dia
mengusulkan kepada Kolonel van Langen agar langsung saja memakai jip mendobrak
istana Soekarno. Tetapi Verbruggen menjawab, bahwa kami masih harus berbadutan
seperti ini terns, sampai bren-carrier yang dapat melindungi infanteri dengan lapisan
bajanya diturunkan dari Herkules, sebab para kaum Zeni masih memeriksa landasan,
apa kuat didarati Herkules.
Uah, maki-makiku, itu orang-orang Militaire Luchtvaart terlalu priyayi, terlalu
ilmiah. Maunya sip. Dan tak tersengaja aku teringat komodor Republik dengan
deputynya yang mendaratkan pesawat Kabayashinya yang rapuh itu di Kemayoran.
Kaum Militaire Luchtvaart harus belajar dati pasukan udara Republik perihal ke-
nekatan. Mosok perang harus semua sempuma. Tetapi masalahnya memang tidak
segampang itu. Betapa lemah pun perlawanan kaum Republik itu, toh aku melihat,
sudah tiga dari anak-buahku yang terkena tembakan single fighter entah dati semak
gerumbul mana.
Dan menduduki kota dengan lorong-lorongnya yang sempit lebih berbahaya.
Bersama dengan kami, ikut beroperasi juga kaum KL ¹⁾Nah, itu tentara priyayi, serba
sinyo-sinyo muda yang tentunya bukan kaum bandit, walaupun bergaya sok koboi
dengan kain leher merah segi-tiga mereka. Maunya tetap tentara kaum beradab
dengan garansi mutu internasional, kecuali dalam hal keberanian berkelahi. Orang
Belanda bukan bangsa jago kelahi. Mereka pedagang borjuasi atau pegawai kantor,
atau mahasiswa calon doktorandus dalam ilmu sejarah, sejarah Hindia Belanda tentu
saja dalam kaitannya dengan politik mulia atas nama Sri Ratu. Maka mereka sungguh
pengecut sekali. Mana bren-carriernya ! Aduh lieve meid ²⁾, begitu saja pakai panser
beroda rantai. Naik andong saja bisa kok! Jengkel kuradiokan laporan ke Verbruggen.
Mana, kasih jip, dan dalam lima menit aku sudah di benteng Vredeburg. Daripada
berlenongan begini ini, kayak tentara Eisenhower ³⁾ imitasi yang cuma cari-cari semu
saja agar kelihatan hebat.
Masih minimum tiga jam kalau begini caranya sebelum sampai ke target. Jalan dan
kampung sudah kosong dan hotel Tugu yang pernah jadi markas tentara Republik
juga kosong, hanya tinggal gaung sirenenya saja. Hotel itu pun tidak sulit kita duduki.
Dan akulah lagi yang paling terdepan melewati rel-rel kereta-api Malioboro. Masih
kulihat satu palang kereta-api bengkong karena pemah diserudug truk barangkali.
Palang itu terbuka dan memang seluruh Malioboro sudah terbuka. Aku berlindung di
belakang gardu telepon antik, yang dulu pernah juga memberi perlindungan padaku
ketika aku kehujanan dan terlambat kereta-api yang seharusnya membawaku ke Sala,
mencari orangtuaku sesudah saat naas peristiwa radio gelap di belakang rumah
Mayoor Kanagashe dulu itu. Persetan Kanagashe dan segala opsir Jepang dan Tante
Paulin. Di mana sekarang Tante Paulin itu?
¹⁾ Koninklijk Leger (fentara Kcrajaan Belanda).
²⁾ Cewek manis.
³⁾ Panglima Tertinggi Tentara Sekutu ketika melawan Jerman Nazi dalam Perang
Dunia II.
73
Dari belakang kami kudengar suara gemuruh. Ah, akhirnya brencarrier dengan
penumpang sinyo-sinyo yang takut mati itu datang. Mau makan kue kemenangan
yang sudah ada di tangan pasukanku mereka itu?
Tanpa banyak pikir aku dan beberapa dari komandan berlari di belakang carrier yang
memuntahkan peluru-pelurunya ke kiri dan ke kanan itu. Aku sudah ogah melepaskan
tembakan, dan hanya berjalan saja kalem seperti pelancong turis. Kok nggak percaya,
orang-orang amatir ini. Tidak ada lagi orang Republik! Sudah, terbang kencang saja
masuk ke istana. Tetapi sinyo-sinyo dalam kereta perang baja itu cuma merangkak
"sistematis" menurut teori perang akademi, yuilaa pengecutnya . lnilah jadinya kalau
operasi bersama dengan KL yang beradab dan ilmiah dan ... dan tidak tahu caranya
berkelahi.
Sisa hikayat D-dqy 19 Desember sudah terkenal. Istana kami duduki. Kolonel van
Langen datang dengan jip, sesudah semua aman tenteram dan tidak ada risiko satu
rambut pun jatuh. Soekarno, Hatta, Syahrir dan orang tua Haji Salim dan siapa lain
lagi ditawan. Matilah Republik! Hidup Republik!
Aku mengumpat-umpat diriku lagi, sebab entah mengapa, aku tiba-tiba malu
melihat orang pendek berpakaian putih satu itu (sekarang sudah agak gemuk dia,
yang sekian tahun yang lalu nyaris kutembak di Jakarta itu. Sebetulnya aku bisa saja
maju dan berkata padanya: ''Tuan Syahrir? Masih kenal padaku?" Dia sudah tidak
perdana menteri lagi, dan ketika dari koran-koran kubaca berita ia tidak dipakai lagi
oleh kaum Republik, aku masih ingat Verbruggen menyeka pipi dan dagunya yang
kasar belum dicukur, sambil omong atau menggerutu entahlah: "Spoor sekarang
laku. Parlemen Belanda dengan politisi kaum jambu mete akan semakin merasa diri
durian, dan kaum Republik sebentar lagi dipimpin oleh Jago Merah. Cocok!"
Ketika aku bertanya gusar, apa yang ia maksudkan, ia hanya menyeringai
"Sebentar lagi kau dapat bertemu kembali dengan Atikmu." Aku marah betul ketika
itu, tetapi ia hanya tenang, dengan satu mata dipejamkan, memeriksa laras pistolnya,
dan bersiul lagu nostalgia kuna: “Daar bij die ouwe molen…….¹⁾
Ah, sebetulnya aku mendapat kesempatan satu kali lagi untuk menanyakan kepada
orang kecil yang hanya tersenyum itu tentang Atik. Apakah sekretaris Tuan bernama
Larasati masih bekerja di biro Tuan? Atau jadi protokol penerima tamu? Embuh?
Ataukah ... tetapi aku hanya berdiri tolol saja di sudut emperan muka yang berlantai
marmer itu, dan seolah tidak sadar seperti linglung melihat bayangan-bayangan orang
yang lalu-lalang di istana bekas gubernur Hindia Belanda itu.
Pada petang hari yang sama itu, 19 Desember 1948, sambil duduk lunglai karena
payahnya di atas tangga-tangga istana, dengan bayangan raksasa batu di halaman
muka itu, aku ditumbuhi perasaan bimbang lagi. Pasukanku menang, Kapitein Seta
jaya. Tetapi kehilangan Larasati. Barangkali ... barangkali toh aku salah pilih.
¹⁾ Nun di sana dekat kincir tua itu.
74
11. Ayam-ayam Disambar
Baru keesokan harinya pemuda-pemuda memperoleh kepastian: Belanda
dursetut ke Yogya, kota kabupaten diduduki musuh. Tetapi di hari pasaran Pon berikut
masih banyak juga perempuan yang toh pergi ke pasar, jauh di bawah sana di tepi jalan
raya aspal. Akan tetapi mereka pulang kecewa karena semua toko tutup. Malam berikut
orang-orang Juranggede melihat dari desa mereka, bahwa di bawah sana banyak
kelihatan api menyala. Bumi hangus. Sekarang ada dua api. Di atas sana api kawah
gunung Merapi. Di bawah sana api orang perang. Cocok sudah. Orang tua-tua sampai
malam bergadang berbincang-bincang tentang terkaan-terkaan macam-macam yang
semua serba terkaan belaka. Hampir semua orang tua dalam hati bertanya diri, apa tidak
lebih baik semua kembali saja ke Jaman Belanda. Tidak dikatakan langsung tentu saja.
Tetapi dengan bercerita. Dulu dan sekarang melarat, tetapi dulu tenang. Bayi lahir, anak
dikhitani, Si Muda menikah dan melahirkan bayi. Arnan, damai. Tentulah kadang-
kadang ada yang mati, tetapi begitulah roda
kebiasaan. Kadang-kadang ada perampok datang mencuri sapi atau kerbau atau kalung
emas dari yang mampu di desa. Tetapi polisi Belanda yang datang dengan sepeda
motor dengan saisepan gerobagsampingnya, pasti bisa membereskan soal. Asal
perampok itu jangan kau lawan. Tenang saja kau berikan apa yang mereka minta. Dan
paginya lapor kepada Pak Lurah. Lalu menunggu saja, gampang. Kalau sapi atau harta
tetap hilang terus, ya sudah. Lalu jelas itu kehendak Allah. Tetapi itu jarang terjadi.
Barangkali sapi atau kalung emas yang tak tertemu lagi dulu memang tidak halal; atau
boleh jadi warisan seorang nenek yang pernah main serong dengan suami tetangga. Nah
sudah pur¹⁾namanya. Tetapi kalau itu barang halal, pasti dikembalikan oleh resisir dan
pelpolisi Belanda, yang gagah pakai pistol di pinggangnya, dengan kawan pak mantri-
polisi yang berkumis tebal, dan yang membawa kelewang.
Sayang Belanda kalah. Lantas segala-galanya jadi kucar-kacir. Tetapi barangkali
memang begitulah seharusnya. Tidak baik sawah ditanami padi terus-menerus. Harus
diselingi palawija, atau ketela atau tembakau. Nah barangkali sekarang ini jaman ketela,
jaman brengsek. Atau tembakau yang hitam, ampeg! Tetapi asal masih ada daun muda
jagung dan kelembak-kemenyan untuk merokok, tak mengapalah. Semua itu memang
nasib.
Tetapi pemuda-pemuda yang berapat di rumah Karjo bekas Keibodan²⁾ pemimpin
mereka, tidak sependapat dengan ajaran nasib itu. Mereka juga saling melontarkan
terkaan dan tebakan. Tetapi akhirnya diambil kesimpulan: Yang paling bijaksana ialah
menunggu saja komando dari Bung Kamo. Pokoknya menunggu komando.
¹⁾ Seimbang kalah menangnya.
²⁾ Barisan polisi pembantu jaman pendudukan Jepang, setingkat Hansip sekarang.
75
Kalau dikomando menyerah ya menyerah; kalau terus ya terus. Semua siasat kan sudah
diatur di pihak Pimpinan Tertinggi sana.
Kita ini hanya pemuda desa dan tidak pinter-nasiona, kelakar pemuda-pemuda itu.
Berulang-ulang mereka ke luar dan memandang diam, entah dengan pikiran apa, api-
api di kejauhan bawah sana.
Dalam arti tertentu perang itu selingan hiburan lumayan. Dan pemecah waktu yang
mengasyikkan untuk desa yang biasanya membosankan para pemuda itu. Asal dari
kejauhan saja.
Seminggu sesudah dursetut ke Yogya, seregu tentara gerilya berpakaian preman
masuk ke desa; diiringi anak-anak banyak serta sekian muda-mudi. Mereka langsung
menuju rumah Pak Lurah. Kamitua, ¹⁾ Tamping²⁾ dan seluruh pamong desa
dikumpulkan dengan kentongan. Mereka diberi instruksi-instruksi oleh komandan
peleton itu, disaksikan oleh sekian pasang mata dan mulut melongo dati anak-anak
yang mengintip dati segala lubang dinding. Komandannya ternyata yang paling kecil
dan kurus, sehingga jakunnya di leher tampak sangat menonjol. Seperti ada gelatik
bersembunyi dalam tenggorokan komandan itu. Mungkin gelatik sihir, jimat kebal pelor
Belanda, tetapi aduh, paruhnya sebentar lagi menyobek kulit lehernya, begitu runcing
jakunnya itu.
Ada seorang yang membawa pedang samurai panjang. Itu yang berambut panjang
agak berewok. Tampangnya seperti Arab. Ia yang paling gagah dan tampan. Ternyata
namanya Samsu. Lain-lainnya hanya membawa ransel atau tas model tentara biasa,
tetapi Samsu ini khusus membawa kopor kecil dari besi yang diletakkan di mukanya di
atas meja pendopo kelurahan. Seperti tidak percaya, jangan-jangan diserobot anak-anak
itu.
Ternyata kelak Si Pedang Samurai itu tidak pernah bisa berpisah dati kopornya itu.
Kalau ia tidak tidur, kopor itu diletakkan di bawah bantal. Selanjutnya, begitu kata
anak-anak beberapa hari lagi, kopor itu selalu dirantai dengan tiang atau batang apalah.
Apakah di dalamnya ia menyimpan senjata rahasia atau barang-barang pusaka?
Entahlah, tak ada orang tahu.
Pertemuan pertama dengan Pak Lurah hanya mengatur, di mana mereka dapat
menginap. Setiap pamong desa mendapat seorang tentara. Bila ada gadisnya yang
sudah agak besar, diungsikan ke keluarga lain. Hanya Samsu yang minta agar boleh
mendapat rumah sendirian. Karena tidak ada yang kosong, janda Sakinem yang sudah
sangat tua dan hidup sendirian diungsikan ke rumah menantunya. Banyak gadis dan
ibu-ibu muda terpesona oleh Samsu yang ngganteng gagah itu.
¹⁾ Pembantu pertama lurah desa.
²⁾ Wakil lokal lurah desa.
76
Akan tetapi pesona itu segera membalik, karena ternyata dari peleton itu Samsulah
yang punya tugas khusus mengerikan. Ia algojo pasukan itu. Dan segeralah beredar sas-
sus, di dalam kopor besi itu tersimpan beberapa tengkorak. dan sesudah tiga hari
jelaslah bagi Karjo, ia lebih unggul dalam pengetahuan tentang soal-soal kemiliteran
dari pada Setankopor. Soal jaga misalnya. Dan segera lagi beredar sas-sus baru,
tengkorak-tengkorak itu setiap malam Jum'at Kliwon bertelur uang dan peluru. Yang
jelas pemuda-pemuda lalu menyebutnya Setan-kopor ¹⁾
Dari saat awal mula, Karjo yang menjadi pemimpin pemuda-pemuda desa tidak suka
kepada Samsu. Walaupun Karjo merasa hanya pemuda desa, tetapi ia merasa lebih tua.
Toh Samsu hanya sersan saja. Tapi sombongnya! Langsung ia berbahasa ngoko²⁾
kepadanya, seperti bicara kepada jongos. Karjo pernah dilatih sebagai Keibodan
Komandan sudah menyerahkan kebijaksanaan jaga desa kepada Karjo dan kawan-
kawannya. Karjo berpendapat bahwa Belanda tidak mungkin operasi malam ke lereng-
lereng gunung. Jaga di siang harilah yang harus diperketat, sebab itu saat-saat datang
kemungkinan NICA berpatroli. Tetapi Samsu dengan lagaknya yang sok
menuntut agar penjagaan malam sangatlah ketat. Dan apa terjadi?
Suatu pagi, kira-kira jam 10 patroli NICA datang di pedukuhan tetangga yang belum
200 meter jauhnya dari desa Juranggede. Tentulah peleton Samsu dan para pemuda lari
pontang-panting, ke tengah ladang dan jurang-jurang lahar. Untung patroli berhenti di
pedukuhan tetangga yang namanya Kepondong itu. Dan lucunya naik pitamlah Samsu.
Dibentaklah Karjo karena ia berani mengatakan, itu salah Samsu sendiri, mengapa
siang hari penjagaan justru longgar. Pada larut siang hari itu juga, Samsu dan beberapa
bawahannya menggasak pedukuhan Kepondong dan melarak tiga orang pemuda beserta
pak Tamping. Mereka diikat dengan tali ijuk. Dan setengah telanjang, di bawah
hantaman dan pukulan kayu keempat orang celaka itu dianiaya setengah mati.
Perempuan-perempuan dan anak-anak semua bersembunyi di dalam rumah.
Tetapi raungan dan tangis penderitaan empat orang itu terdengar sampai di tengah
ladang.
''Mana pemuda-pemudamu Karjo! Pengecut! Pengecut semua! Lari semua ya!"
"Mereka jaga dan yang lainnya cari rumput untuk kambing dan sapi."
“Ahh, penting manakah? Kambing apa menghajar mata-mata N1CA ini, heh! Hei ke
sini, kemari. Itu pemuda yang kayak kemaluan kerbau itu. Kenapa lari.
¹⁾ Mirip nama pusaka dalam suatu lakon ketoprak: Setan kober.
²⁾ Bahasa Jawa tingkat biasa (kurang menghormat).
77
Kalian juga kaki-tangan N1CA, kok lari! Ayo kemari kalau bukan pengkhianat. Itu
juga, itu ayo. (Beberapa pemuda mendekat) Ayo ini kayu. Pukul orang-orang ini.
Takut? Hahaaa, pemuda gabus kalian. Harus dihajar orangorang seperti ini. Tahu
Hukum Perang? Yang alpa harus ditembak mati! Itu hukum perang. Tahu, semua?
Heh? Karjo! Kumpulkan pemuda-pemuda! Apel! Dan kau sekarang cari.
Nanti malam digosok dengan buah cari rawe ¹⁾ yang gatal pedas itu biar tidak dapat
tidur. Berangkat!"
Karjo pura-pura mencari pemuda-pemuda, tetapi ia menyelinap ke dalam kelurahan.
Pak Lurah sedang duduk diam di ruang tengah, di bawah lonceng kuna yang seolah,
sedang menghitung menit-menit sebelum para korban itu dibunuh Samsu.
"Kula nuwun Pak Lurah. Di mana Pak Komandan?" Tanpa mengucap sepatah pun
Pak Lurah hanya memberi isyarat dengan kepalanya yang sedikit berputar. Pak Lurah
ini bagaimana? 1tu Pak Tamping Sukra mau dibunuh Samsu! Pak Lurah harus ber-
tindak. Tetapi Pak Lurah hanya diam saja, linglung matanya seperti beling. Karjo
masuk kamar. "Maaf Pak Komandan, saya mengganggu sebentar." Komandannya
hanya membalikkan tubuhnya setengah telanjang dan tidur terus dengan mulut
terbuka.
''Ada apa?" tiba-tiba mulut itu berbunyi, tetapi mata masih terkatup.
"Maaf pak. Tetapi saya terpaksa mengganggu. Pak Tamping dan pemuda-pemuda itu
tidak salah. Tetapi sekarang Samsu menganiaya mereka dianggap mata-mata.
Barangkali hendak dibunuh." Pak Komandan menguap.
"Hah ... Samsu ... ada apa Samsu? Hooah, saya mengantuk."
"Tolong Pak. Kalau Pak Komandan mau, tentulah ... "
"Huaah ... urus sendiri sanaa huaah."
Hasrat Karjo ingin sekali melempari mulut yang menganga itu dengan bakiak.
Sedikit bingung ia ke luar. Lurah sudah terlalu tua, bisa diajak apa! Tetapi mendengar
beberapa perempuan menjerit, keberanian Keibodannya kembali. Dengan tenang Karjo
menghampiri Samsu.
Matanya seram mengebor mata Samsu yang tidak tahan dan yang hanya berteriak:
"Pengkhianat! Pengkhianat semua. Kakitangan N1CA."
Karjo mendesis:
"Lepaskan, Samsu!"
¹⁾ Buah yang mengandung bisa (racun) yang menyengat.
78
"Hah? Kau juga ingin dicincang?" Tetapi Karjo tak berkedip.
Ada api kawah Merapi berpijar di dalamnya. "Lepaskan."
“Lepaskan sendiri. Saya bukan budakmu!" Dan pergilah Samsu, sambil mengurnpat-
umpat.
Malam itu Pak Tamping Kepondong meninggal akibat penganiayaan Samsu.
Seminggu kemudian seorang tani yang ketakutan dan bermalam di gubug di tengah
ladang dilarak Samsu ke tepi jurang dan dipenggal lehernya. Dakwaan: mata-mata
Belanda. Beberapa hati kemudian ibu-ibu mulai mengungsikan gadis-gadis mereka ke
tempat nenek atau desa lain, sesudah anak Pak Lurah diperkosa Samsu. Komandan regu
hanya tiduran kerjanya dan semua perkara digarap Samsu. Tetapi tiga kali sehari dati
dapur umum ibu-ibu yang tua-tua, serba takut, jangan-jangan terkena marah, bergiliran
menghidangkan makanan untuk regu tentara itu. Dan Samsu semakin bergaya.
Kalau seorang tentara peleton memuji pepaya yang menguning di pohon, segera
seorang anak disuruh ibunya memetiknya. Bila mereka berkomentar ayam ini, itu
gemuk dan bertanya apa betul itu ayam Kedu sungguh, maka petang harinya seorang
anak disuruh ayahnya mempersembahkan ayam itu kepada mereka. Tetapi bagaimana
bila mereka memuji Si Tinem atau Piyah cantik? Sebab, tidak mungkin semua gadis
diungsikan. Perempuan-perempuan desa tampaknya tolol tetapi mereka praktis. Mereka
meminta Mbok Rukem, janda nakal yang biasanya mereka gerutui, untuk menampung
lahar birahi tentara itu. Dengan imbalan beras, tempe, gula jawa dan sebagainya dari
pihak kaum ibu Juranggede. Tentang dukun penggugur kandungan, bereslah Rukem
sudah tahu ke siapa ia harus pergi kalau perlu. Begitu sedikit banyak keamanan gadis-
gadis desa agak terjarnin. Tetapi toh belum cukup. Memang jaman sedang dursetut ¹⁾.
Maka bila ada gadis yang tahu- tahu mengandung tanpa suami, itu pun dursetut, kata
pemudapemuda dengan dendam getir. Sebab tentu saja gadis yang didursetut itu
biasanya cantik.
Maka pemuda-pemuda tidak berapat lagi di dalam desa, tetapi bersembunyi di
ladang atau di dalam jurang-jurang lahar. Beberapa minggu ini Samsu sedang
keranjingan hobi baris-berbaris. Semua pemuda diharuskan berbaris. Sampai loyo
rasanya. Makan kurang, malam serba berjaga, masih disuruh baris-berbaris.
Terdengar berita, carik ²⁾ dan ulu-ulu³⁾ desa Bawongan dibunuh Samsu. Konon
Mereka pergi ke kota dan membawa uang NICA.
¹⁾ Dati kata doorstoot (Bld), pukulan menerobos. Istilah waktu itu untuk aksi-aksi
serangan Belanda dalam perang kemerdekaan.
²⁾ Penulis kelurahan.
³⁾ Pengurus irigasi sawah.
79
Tetapi berita burung bercerita juga, kopor Samsu sekarang amat berat, karena
bertambah isi emas milik Pak Carik Bawongan yang tergolong kaya itu. Tersiar lagi
berita Pak Mantri Kesehatan tertembak mati. Padahal tidak ada patroli NICA. Segera
pikiran orang-orang tertuju kepada Samsu. Sebab istri pak Mantri tergolong cantik.
Keesokan harinya Karjo dan pemuda-pemuda menghadap Komandan Sektor. Mereka
menuntut agar Samsu dipindah. Kalau tidak, istilahnya: mereka tidak akan
bertanggung-jawab tentang kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja terjadi.
Dan dipindahkanlah Samsu. Sayang tidak jauh dari desa Juranggede. Tetapi agak
legalah orang-orang desa di Juranggede.
Namun Pak Komandan Sektor bukan ingusan kemarin sore. Sudah lama memang ia
ingin menyingkirkan Si algojo Samsu, karena "ngono ya ngono, ning mbok ja ngono ¹⁾
Tetapi medan perang gerilya bukan medan perang yang dilindungi hukum. Masih
cukup jumlah harimau sisa-sisa jaman Amangkurat berkeliaran di hutan-hutan lereng
gunung. Lena sedikit, dan anda diterkam dari belakang. Dan sekali mati, tidak ada
urusan lagi. Maka untuk menyenangkan hati regu si Samsu, yang tentulah tahu dari
mana datang usul kepindahan oleh Komandan Sektor, Karjo dengan pemudapemudanya
diberi perintah untuk membakar pos militer Belanda yang menjaga jembatan kali
Grojog. Padahal kecuali Karjo, pemuda-pemuda itu belum pernah menembakkan bedil.
Samsu puas dan Karjo berangkat. Keesokan harinya Karjo melapor, bahwa serangannya
gagal karena musuh sudah tahu mereka datang dan mereka diberondong. Dusta itu
kurang cerdas, sebab Pak Komandan tak mendengar satu tembakan pun. Maka Karjo
dan kawan-kawannya digebugi babak-belur, khusus di hadapan mata Samsu. Maka
lebih puaslah si Setankopor.
Hari-hari dursetut memang suram. Tetapi tak sesuram Selasa bulan Maret itu.
Seluruh desa seperti terkena awan gelap gunung Merapi. Orang tua-tua hanya diam dan
tidak seorangpun punya keinginan omong. Ibu-ibu dan gadis-gadis pun merasa ada
sesuatu yang sedang menghantu. Pemuda-pemuda berapat di kelurahan dengan suara
hampir berbisik. Sebab ada sesuatu yang sangat jarang terjadi, namun kali ini kok entah
mengapa, terjadi. Tidak ada sangkut-pautnya dengan N1CA. N1CA toh sudah kalah
dan sebentar lagi tentara Republik memasuki kota-kota lagi. Juga bukan perkara
penganiayaan Samsu yang sudah dipindah itu atau Bu Mantri Kesehatan yang juga
sudah jauh mengungsi ke tempat bibinya.
Tetapi pada malam menjelang Selasa Kliwon Mbah Glati meninggal. Ini gawat
sungguh. Mbali Glati memang suka ilmu klenik, tetapi siapa di pedesaan yang tidak
suka ilmu klenik. Mbah Glati memang sudah tua dan sudah saatnya ia kembali bertemu
lagi dengan istrinya yang sepuluh tahun yang lalu jatuh ke dalam sumur.
¹⁾ Boleh kau begitu, tapi hendaknya jangan begitu.
80
Tetapi siapa mengira, Mbah Glati begitu nekat sengaja memilih saat meninggal dunia
pas pada malam Selasa Kliwon.
Tetapi sejak kecil Glati memang anak nekat. Semua tahu ia lurah. Tetapi bukan lurah
pamong-praja melainkan lurah garong. Gentho. Benggol bajingan. Ketika masih muda
dan kuat, prestasi Mbah Glati yang paling gemilang dan yang semua orang tahu ialah
operasi membongkar Pegadaian Negeri di kota Muntilan. Tetapi Glati rupa-rupanya tak
pernah menikmati segala jerih payahnya. Pelpolisi Belanda dan resisir mantri polisi
dengan cepat melacak Si Bajingan dan Kang Glati masuk bui.
Di jaman dursetut ini sebetulnya kesempatan sangat bagus untuk Mbah Glati
mempraktekkan lagi profesinya. Akan tetapi ia merasa sudah terlalu tua. Mati sih boleh,
gerutu para pemuda, tetapi mengapa justru pada malam Selasa Kliwon? Cuma bikin
onar saja. Sebab pastilah pemuda-pemuda lagi yang nanti terkena getahnya. Soalnya,
orang mengira Mbah Glati masih punya hartakarun yang disembunyikan sampai akhir
hidup. Mbah Glati pasti orang yang kayaraya. Pastilah tidak seluruhnya dari Pegadaian
Negeri Muntilan dulu itu dikembalikan kepada pelpolisi dan Pak Mantri resisir.
Buktinya, mati pun pada malam Selasa Kliwon. Musti ada apa-apa ini.
Karjo menginstruksikan jadwal giliran jaga malam pada makam Mbah Glati nanti.
Sebab menurut tahayul orang-orang sekitar Juranggede, siapa yang berhasil
memisahkan kepala dari mayat yang mati pada malam Selasa Kliwon dan mampu
menggondolnya (Tidak boleh pakai alat. Menggali kuburan harus dengan tangan
telanjang saja dan memisahkan kepala serta menggondolnya hanya boleh dengan gigi!),
orang itu akan kaya-raya. Oleh karena itu makam orang yang mati pada malam Selasa
Kliwon terpaksa harus dijaga keras, agar hal-hal yang tidak diinginkan jangan terjadi.
Dan siapa lagi yang harus menjaga, selain para pemuda. Karjo sebetulnya tidak
berminat untuk mati-matian berjaga hanya karena tahayul Selasa Kliwon itu, tetapi
orang-orang tua mendesaknya keras. Dan keluarga perempuan Mbah Glati memohon
begitu keras dan memilukan, sehingga Karjo mengalah.
Dipilihnya pemuda-pemuda yang tegap dan terkenal pemberani. Dipesannya kopi
amat kental dua teko dan berdasarkan nalar normal ilmu pertahanan sederhana Karjo
dan kawan-kawannya mengambil pos penjagaan mereka. Tidak terlalu dekat dengan
makam Mbah Glati, sebab itu ngeri juga. Tetapi di tempat yang cukup mudah
mendengar sesuatu bila terjadi apa-apa. Ada empat orang tua yang ikut berjaga juga.
Mereka duduk di gerbang jaratan¹⁾, berselimutkan sarung dan di bawah sinar pelita
kecil mereka mulai main kartu di tikar.
¹⁾ Kuburan.
81
Tetapi tengah malam hujan jatuh rintik-rintik. Semakin deras semakin memberi alasan
di hati untuk pulang saja. Tetapi mereka terpaksa berjaga, memaksa diri gembira. Karjo
dan kawan-kawannya berpindah bernaung di suatu makam yang beratap genting.
Waspada mata mereka menerobos kegelapan dan memandang ke arah gundukan hitam
baru yang lamat-lamat hampir tak tampak. Tetapi lama-lama mata mereka menjadi
penat juga dan satu persatu tertidur, sengaja maupun tak sengaja.
Memang bau bunga kamboja dan arumdalu membuat orang mudah tertidur. Tetapi
lewat tengah malam Karjo terbangun. Naluri Keibodannya mendengar bunyi-bunyi
yang mencurigakan. Bertenak ia meloncat dan menubruk sesuatu yang sedang bergerak
di makam Mbah Glati. Kawan-kawannya terbangun dan sesudah mengalahkan keragu-
raguan ikut menolongnya. Tetapi Karjo sudah terkena pukul mahluk gelap itu. Pusing
sekali rasanya. Ia masih sempat memegang kaki pencuri biadab itu. Orang gelap itu
terjatuh dan dibekuk oleh kawan-kawan Karjo. Tetapi alangkah licinnya. Tiba-tiba
Karjo tahu, orang ini telanjang bulat. Segera dicari kemaluan orang itu, dan dipukul
burungnya. Orang itu berteriak kesakitan bukan kepalang: “Assuu! ¹⁾ Sayang ia toh
lolos. Rupa-rupanya tubuhnya diurapi minyak entah apa. Tetapi suara "Assuu!" tadi
cukup memberi bukti. Mereka sudah hafal nada dan warna suara “Assuu!" Setankopor!
Paginya sesudah diperiksa ternyata, mayat Mbah Glati untung belum sempat ternoda
banyak. Tetapi kepalanya sudah dipuntir. Tiga hari Karjo dan kawan-kawannya tidak
doyan makan. Muaklah mulut dan rasanya kalau makan seperti merekalah yang sedang
memuntir kepala Mbah Glati dengan gigi.
¹⁾ Anjing.
82
12. Cendrawasih Terpanah
Tidak hanya kadang-kadang aku dijangkiti rasa bimbang tentang arti segala sikap dan
tingkahlaku selama ini, sejak Mama dan Papa lenyap dati kehidupanku. Akan tetapi
biasanya itu kutimbuni dengan segala ransel dan peralatan perang yang mudah saja
membungkam segala gagasan bingung dari manusia yang suka bising menghambur-
hamburkan peluru. Tetapi ketika pada pagi kala itu aku me1ihat dengan mata
kepalaku sendiri Si Soekarno dan Hatta dan Syahrir, Agus Salim dan para gembong
Republik lain, yang sampai saat itu hanya dapat kulihat dalam foto-foto koran-koran
dari negeri Belanda, aku jatuh lagi terkulai dalam kebimbangan.
Mereka ditawan oleh Kolonel van Langen dan seharusnya mereka tampak lesu dan
takut dengan segala sikap yang sepantasnya bagi orang yang kalah dalam pertaruhan.
Tetapi mereka tersenyum serba pasti dan Soekarno tegak bersikap jaya. Yang
namanya Hatta tampak tenang dan seolah-olah hanya menunggu tanda berangkat ke
Den Haag, atas undangan Sri Ratu pribadi dan Perdana Menterinya yang tolol itu,
untuk menerima piagam pengakuan Republik sekarat mereka. Dan Si Haji Salim yang
tua itu, matanya yang cerdik dan hidup seperti mata anak sekolah, yang tahu di mana
ada mangga matang yang tanpa risiko dapat dicuri, ia hanya kalem saja.
Tetapi yang paling mengesankan, justru karena aku mempunyai hubungan "batin"
sejak awal kerusuhan proklamasi itu, ialah bossnya Atik, Si kancil kecil Syahrir itu.
Seolah-olah segala wajahnya yang tersenyum itu berkata kepada semua orang: "Betul
kan? Masuk perangkap kalian sudah". Dan sekali saat kupergoki dia sedang bersiul
lirih, entah apa. Tetapi dalam fantasiku lagu yang sama juga Verbruggen punya: Als
de orchideeen bloeien ...¹⁾
Jelaslah KNIL dan KL dan segala yang bercap maupun berlencana Belanda atau
Hindia Belanda masuk perangkap. Kedudukan Republik semakin kokoh; sejak
perdana menteri kecil itu diundang Jenderal Christison, sejak beras setengah juta ton
dimuat di kapal ke India atas nama Republik dan sejak pesawat loakan itu mendarat di
Kemayoran tanpa boleh ditembak Mustang ML kita, dan sejak Si Kiai kurus jangkung
yang menamakan diri Jenderal Sudirman itu menolak dilucuti oleh kami dan kami tak
berdaya; tak bisa diingkari bahwa pihak Rood Wit Blauw²⁾ sudah pudar.
Ternyata betul analisa Verbruggen dulu itu (Soekarno menghimpun kekuatan di
belakang, dan Si Kancil ini disuruh menghadapi dunia Sekutu dengan senyumannya
dan dengan program kemanusiaannya), bahwa sejak itu Belanda sudah dilasso oleh Si
Syahrir ini dengan tali-tali made in USA yang semakin menjerat dan semakin
membuat Den Haag dan Batavia tercekik megap-megap kekurangan nafas.
Jiwa militer kami jengkel bergolak kasar dan kacau berteriak seperti lazimnya
orang yang terkena perangkap. KNIL kami kalah. KNIL, itulah yang menentukan.
KL sebetulnya hanya hiasan gengsi saja.
¹⁾ Bila anggrek memekar (lagu popular pada jaman Belanda).
²⁾ Merah Putih Biru.
83
Sinyo-sinyo muda yang berkalung sapu-tangan merah dan berbaret coklat, dengan
wajah-wajah putih mulus, dengan bahasa Belanda mereka yang totok tanpa ke-indo-
indoan sedikit pun (lain dari Verbruggen misalnya, yang sering berlogat "Lho, ya
toh?''), mahluk-mahluk priyayi anak saudagar dan petani-petani daar bij die ouwe
molen ¹⁾negeri kabut itu sebetulnya masih mbok-mboken ²⁾menetek, kata orang Jawa.
Mereka selalu rindu pada Brabant dan Gelderland ³⁾ dan sebetulnya menggerutu, di
sini disuruh menyetor darah untuk nyamuk-nyamuk, makan debu serta berperang
melawan hantu-hantu yang tak pernah kelihatan.
Gossiemijn, komt er geen eind aan? ⁴⁾
''Nooit!” ⁵⁾. Besok pagi kepalamu masuk parit sana dan kakimu ke sawah itu. Lalu
kelak gadismu di sana dangsah dengan tuan-tuan teroris-teroris gerombolan Soekarno
itu, kan begitu. Dikira apa, heh. Ya, tokh!"
Sebetulnya, ah gila kalau tidak tahu, sungguh kami keledai berkepala kerbau!
Semua soldadu gerombolan bandit Hindia dan priyayi moederland ⁶⁾ Olanda ⁷⁾ sudah
tahu: kami kalah. Dan semua diam, justru karena sulit dibuktikan benar tidaknya
dugaan desas-desus tentang sang Panglima. Sebab menggemalah berita guntur di
tengah siang bolong: ''Jenderal Spoor mati." Mati karena apa? Mosok tifus? Diberi
arsenikum ⁸⁾oleh jongosnya? Menembak diri? Nah, keterangan terakhir ini yang
lebih logis. Dus ... adieu Insulinde, ⁹⁾ selamat jalan Aksi Polisional. Hidup Republik!
Nah, mulai saat itu (sudah lama sebetulnya, cuma tidak jelas diakui), selamatkan
dirimu masing-masing! Sebisa mungkin jangan kena tembak pelurn Jepang dari laras
Republik.
Nab, betul kan, dibentuk komisi henti tembak-menembak. Nah betul kan, Van
Royen mulai berwajah lunak, omong-omong dengan Roem. Nah, betul kan, Soekarno
dan lain-lainnya akan dikembalikan ke Yogya. Nah, betul kan, bukan jip Willyss
seperti seumumnya di mana-mana, tetapi jip Landrover, dus bikinan Inggris yang
datang dan diserahkan kepada Sultan Yogya dan delegasi Tentara Gerilya?
Nah, betul kan, kiamat sudah di ambang, formulir-formulir mulai dibagi-bagikan
kepada para KNIL. Ingin pilih apa: masuk tentara Republik Serikat? Atau masuk KL,
bandit jadi priyayi? Atau pensiun? Atau ... ada desas-desus Si Westerling dan entah
kacung abadi.
¹⁾ Nun di sana dekat kincir tua itu.
²⁾ Anak yang merengek mencari ibunya.
³⁾ Propinsi-propinsi Negeri Belanda.
⁴⁾ Seruan keluhan Belanda: Apa tak ada habis-habisnya ini?
⁵⁾ Tak akan pernah.
⁶⁾ Secara harfiah: negeri ibu.
⁷⁾ Nama olok-olok untuk Belanda (Holland).
⁸⁾ Racun.
⁹⁾ Jadi ... selamat tinggal Indonesia.
84
Belanda ingin mempertahankan martabat dan panggilan Kerajaan, menghadapi
ketidak-adilan international sampai titik-darah yang penghabisan, “Kost wat het kost,
door de eeuwen trouu” ¹⁾.
"Sudah terima formulir pendaftaran Legiun Asing Prancis?" tanyaku sinis kepada
Verbruggen. Dia hanya tertawa saja, tawa orang yang kalah lotre tetapi gigih optimis
menebak lagi harapan lotre baru.
"Aku akan dolan-dolan dulu,” katanya.
"Ke mana?"
"Bukan urusan anak kecil." Kuhantam dia dari samping, yang ditangkisnya enak
saja.
“Kom, kom ... jangan bingung. Sudah banyak yang bingung, kalem saja deh." Dan
entah ke mana ia mengebutkan jipnya, sendirian.
Akhir-akhir ini ia misterius sekali. Biasanya ia bagaikan buku terbuka, mudah
dibaca ke mana dan dari mana ia pergi. Aku tahu dengan perempuan mana dan
pelacur siapa ia menghabiskan kesepiannya, di mana ia biasa pesan bakmi atau
merampok sisa-sisa jenewer. Tetapi akhir-akhir ini entahlah, macam-macam dalihnya,
ia selalu mengendarai jip sendirian. Aneh, seorang komandan resimen menyetir jipnya
sendiri dalam keadaan perang.
Memang ada cease fire tetapi ini daerah tropika. Pertama, jam PBB dan jam
pedesaan tidak sama. Dan keduanya, di sini sudah biasa gunung-gunung meledakkan
lava dan batu tanpa minta ijin dulu dari tata hukum internasional. Lagi, keharusan
mengikuti konvoi ²⁾ bagi siapa pun yang mau ke luar kota masih berlaku. Kenapa ia
nekat? Apa guna merisikokan nyawa pada saat jaman perang sudah sekarat dan orang
tinggal menghitung jam untuk pulang ke kandang masing-masing? Setiap otak sehat
menjaga agar jangan sampai perkakasnya mati terkena peluru sesat atau trekbom ³⁾
yang kesiangan kentut. Itu mati konyol. Dan tolol. Tetapi Verbruggen seperti sengaja
ingin membuktikan ketololannya dan seolah meminta masuk kubur saja sebelum
perang usai.
Akhirnya aku tahu ia beberapa kali pergi ke Surakarta. Pernah kukejutkan dia
dengan ''Apa khabar dari kota Sunan?" tetapi enak saja, atau berlagak begitu, ia
memberi keterangan (atau lebih tepat dalih) yang logis, bahkan barangkali terlalu
logis. Tetapi ketika pernah ia kubuntuti, ternyata ia tidak pergi ke kanan sesudah
sampai pada Paal Putih ⁴⁾tetapi ke kiri. Ke Magelang, kota garnisun itu!
Jelas! Pasti ! Sebab bila ia ingin ke Semarang, ia selalu mudah menemukan kursi
di salah satu pesawat terbang dari Meguwo. Mau apa ia di Magelang?
Saat itu aku memang sedang serba emosi dan kecurigaanku mendidih. Maka
ajudanku kuperintahkan melapor kepada kepala staf kompi, bahwa aku dipanggil
mendadak oleh komandan resimenku dan mohon pemahaman oleh komandan
batalyon. Di hari-hari simpang-siur itu setiap komandan sudah tidak begitu banyak
ambil pusing anak-buah pergi ke mana; asal jangan keterlaluan saja. Setiap orang
cuma memikirkan nasib dan kepentingan sendiri-sendiri. Habis, mau apa. Tentara
yang kalah dengan panglima tertinggi bunuh-diri, mau apa?
¹⁾Apapun korbannya, setia sepanjang segala zaman.
²⁾Iring-iringan kendaraan yang dikawal oleh panser-panser dan pasukan.
³⁾Born tarik, ranjau darat.
⁴⁾ Tugu di Yogyakarta.
85
Maka aku segera tancap gas dan ngebut mengejar Verbruggen. Menurut peraturan aku
harus ikut dalam barisan konvoi yang kebetulan sedang menuju ke Utara. Tetapi aku
hanya menyentuh topiku, tanda salut kepada para pengawal panser yang menjaga
konvoi penuh barang (rampokan?) dan pengungsi-pengungsi; yang dijawab acuh tak
acuh oleh komandannya sebagai tanda tahu- sama-tahu.
Mereka pun sudah tidak ambil pusing apakah aku berhasil sampai di Magelang
ataukah terkena jebakan gerilya di tengah jalan. Tambah mayat seorang kapten KNIL
bukan soal. Bahkan dapat mengurangi persoalan dunia. Dalam saat perang normal,
kematian seorang komandan kompi diartikan rugi. Dalam waktu tentara menunggu
sekaratnya, setiap perwira yang tertembak bisa menguntungkan keseluruhan. Upacara
penguburannya cukup dibayar dengan tembakan salvo peleton, yang memang sudah
mengharapkan beban peluru mereka semoga dikurangi.
Kalau dulu sih mudah, menembak ngawur atau main-main menghamburkan
peluru, dan kalau ada yang bertanya (biasanya yang tanya itu tolol) mengapa ada
mayat tambah satu, bilang saja, ada semak-semak bergerak. Kau tidak bohong, sebab
setiap daun semak pasti bergoyang dan selalu dapat diartikan ada penembak tepat
gerilya di belakang semak-semak. Ujaran seperti itu bisa dihibur dengan khayalan,
KNIL belum bubar!
Sebelum menyeberang jembatan Kali Elo, yang pernah menyaksikan pertempuran
sengit antara tentara Jepang dan KNIL sekian tahun yang lalu, ya pada saat aku
melintasi rel kereta-api antik yang memotong jalan-raya, ban roda jipku meletus. Dan
tentu saja, ban serepku tidak dapat dipakai, karena ternyata menggembos juga. Apa
daya. Sesudah memaki-maki dan mengumpat-umpat secukup selera, seperti layaknya
seorang serdadu, kucoba menenangkan diriku. Sendirian aku di tengah jalan itu, aman
di tengah hamparan luas sawah-sawah yang belum lagi ditanami sesudah dipaneni
penduduk. Aku berdiri sebagai titik tengah suatu ruang arena terbuka luas indah.
Di sebelah timur gunung-gunung Merapi-Merbabu tetap saja diam melamun. Di U
tara, Gunung Sumbing yang mirip Fuji tetapi tanpa salju, dan di sebelah Barat
sederetan kemenakannya, Pegunungan Menoreh yang tidak pernah dapat terjamah
oleh begondal-begondal ¹⁾ Spoor. Di bukit itu menurut para NEFIS yang tidak
terlampau cerdas, sebab jelas tak sulit ditebak, bersembunyilah panglima-panglima
tentara Republik dan pemimpin-pemimpin sipil mereka. Tetapi di Sumbing juga, dan
di Merapi-Merbabu jelas. Orang tak perlu jadi intel professional untuk tahu itu.
Di tengah arena berdinding gunung-gunung pribumi itu aku tenang saja di situ,
karena tidak mungkin aku diserang oleh gerilya dari arah mana pun. Hamparan
sawah-sawah seluas itu yang melindungiku. Aku raja di tempat itu. Raja yang hanya
dikalahkan oleh ban yang mogok, gembos. Rasaku, kaum Republik dari gunung-
gunung di kejauhan itu semua sedang mengamat-amatiku. Orang-orang negeri ini ahli
dalam seni diam dan tak pernah terbaca ungkapan apa yang harus ditafsir dati raut
muka mereka yang abadi seperti Borobudur itu ... Oh ya, bukankah gugusan biru
bernuansa gelap itu siluet Borobudur? Bukan di sana. Kira-kira saja di sana.
Borobudur, simbol orang-orang pribumi yang hanya menunggu dan menunggu,
sampai ada wahyu datang. Aku tahu itu dari keluarga Papi dari puri.
¹⁾ Para bandit.
86
Barang-barang musium di situ cenderung menjadi hitam karena asap kemenyan
sekian abad, atau karena gerayangan-gerayangan tangan berlemak sekian orang
bernaluri gelap yang membuat hitam dan mengkilap susu-susu Si Durga di
Prambanan itu; nah, jiwa orang-orang di sini memang gelap tak pernah dapat ditebak.
Negeri ini sungguh misteri. Durga Prambanan yang gelap mengkilap polos
menawarkan. godaan susu-susunya, tetapi dingin mengejek, karena cuma batu.
Berapa lama aku hams menunggu sampai konvoi yang memberi kesan serba
frustrasi itu datang? Aku duduk di aspal serba berlubang yang tak pernah terpelihara
sejak Ter Poorten menyerah di Kalijati. Tentu orang-orang konvoi tadi menertawakan
kehebatanku yang konyol karena ban keparat ini. Tetapi toh aku harus bersyukur
mendapat kesempatan sial ini. Sebab pemandangan luas ke segala arah ini sungguh
menakjubkan. Tetapi apa guna alam indah tetapi penduduknya kuli goblog atau
serdadu yang kalah?
Memang terasa aku seperti terkurung oleh gunung-gunung dan dinding pepohonan
desa di kejauhan itu. Ya, ya ... aku tahu jelas apa yang terbayang pada layar gelap
pepohonan itu. Jelas aku diingatkan bahwa bagaimana pun aku anak negeri ini yang
tak mungkin ke luar dan tidak akan mereka keluarkan dari tanah ini. Begitu
peringatan dari pohon-pohon kelapa dan gori dan melinjo dan sawah-sawah yang
sudah terlalu lama menunggu saat kapan dihamili lagi benih-benih baru.
Jalur rel kereta-api beberapa meter dariku melintasi jalan aspal dan melengkung
luwes membusur di atas tanggul yang menjulang di atas sawah-sawah, seperti ular
piton raksasa yang mencari lubang di jurang kali Elo. Agresor piton baja dunia
rasionalitas itu memotong begitu saja sawah-sawah kebaktian manusia-manusia
tradisional negeri yang suka damai. Pengganggu keindahan asli jalan kereta-api itu.
Ya, indah memang negeri ini, tetapi menjengkelkan karena tak pernah dapat terbaca
apa sebenarnya isi hatinya, kendati pun didatangi agresor. Agresor! Tanggul mati
sekian ribu kubik di atas tanah subur, hanya untuk memikul kerakal dan kayu ulin dan
rel-rel besi demi peluncuran perjalanan suatu dunia lain, suatu sikap lain. Mengapa
istilah agresor itu timbul dalam benak- ku?
Aku tahu, minggu-minggu terakhir ini aku terlalu sadar, bahwa aku terlanjur ikut
tentara agresor yang terhukum sekarat kalah. Dan konvoi yang nanti datang lewat itu
benar-benar simbol memelas tentara yang keok ¹⁾. Konvoi tentara seharusnya
membawa orang-orang berseragam gembira di atas tank-tank dan panser dan truk,
kaum serba jaya viktoria yang melambai-lambai kepada penduduk yang hangat penuh
syukur mengelu-elu mereka. Seperti dalam foto-foto yang memperlihatkan tentara
Amerika masuk Prancis atau Belanda itu. Ya, itulah baru tentara idam-idaman setiap
lelaki yang berkelahi. Tetapi di sini? Di sini konvoi harus menyusup seperti ular yang
bingung mau tidur di mana, karena dikejar-kejar. Padahal perutnya sudah kebak tikus.
Dan celakalah ular yang perutnya menggelembung kalau ia ketahuan tempat sem-
bunyinya.
KNIL kami sudah kenyang dan kepala ularnya Si Spoor itu sudah bunuh diri. Dan
Soekarno serta kaum teroris (kami pahlawan polisi, haha) akan kembali. Nah,
gerombolan-gerombolan di Gunung Menoreh dan Merapi-Merbabu-Sumbing itulah
nanti yang dielu-elu. Tidak naik tank tetapi dengan sandal ban truk dan sepatu bolong.
Tetapi dielu-elu! Ya, dielu-elu. Antara lain oleh ... Atik!
Jengkel kutendang ban gembos itu dengan berangku yang kekanak-kanakan. Ke
mana Verbruggen si bandit tua itu. Baginya tidak ada kalah atau menang.
87
Soalnya hanya sederhana saja, beli lotre lain. Tetapi aku tidak dapat begitu. Dan untuk
pertama kali sesudah sekian tahun aku mendengar angin yang menggerisik di antara
bunga-bunga rumput jarum. Aku duduk lagi di tepi jalan. Merapi itu terus saja
merokok. Dan Merbabu temannya (atau istrinya?) diam juga. Merbabu itu sungguh
betul babu. Bentuknya dan mentalnya. Negeri ini memang vulkan sifatnya. Semua
onggokan itu masih bekerja sebetulnya. Hanya Merapi ini yang terang-terangan mero-
kok tanpa mengingat sopan-santun adat Jawa, yang selalu pendiam serba diam dan
diam. Simpatik dia Merapi. Tak tahu sopan-santun. Kurangajar merokok acuh tak
acuh. Hah! Persis aku!
Tiba-tiba aku merasa akrab dengan Merapi itu. Bagaimana sesudah perang atau,
maaf, aksi polisional ini selesai? Ke mana aku? Aku tak sudi lari. Tetapi akan
kuterima kekalahanku. Aku meludah. Sesudah tahun-tahun ini, aku sangsi apa di
dunia ada yang disebut sportif Apa kau ikut Verbruggen saja? Atau menggabung
dengan tentara Republik itu? Jadi kuli dari bekas kuli? Atau ke Negeri Belanda saja?
Sebagai kapten kerajaan pasti ada beasiswa veteran nanti untuk belajar masuk ke
Leiden atau ke manalah; Delft bagus juga. Jadi insinyur seperti cita-citaku dulu. Per-
setan, ke mana Verbruggen tadi itu? Tetapi apa urusannya aku kemari? Sungguh,
sudah nggak keruan disiplin tentara kalah. Kulihat jam tangan. Masih setengah jam
barangkali konvoi itu baru sampai di sini. Aku harus siap diejek dan ditertawakan.
Hantam balas tentu akan datang nanti. Ya, tokh?
Mudah-mudahan piket itu omong yang benar. Soalnya, tidak ada orang dalam tentara
yang sadar sudah mau diloakkan, begitu saja percaya. Tetapi awas kalau dia bohong.
Akan kutempeleng sampai salto tujuh kali dia. Aneh juga. Mau apa Verbruggen ke
sana? Tetapi dalih apa yang harus aku katakan nanti kalau aku dipergoki! Sepanjang
jalan sejak aku berangkat tadi kupikir, belum lagi ada dalih yang tepat kutemukan.
Atau sebaliknya tak perlu pakai dalih saja? Omong saja bosan di markas, begitu.
Mengapa menguntit? Omong saja, kan paling-paling ya itulah yang bisa dikerjakan
orang bosan. Terlalu toloL Omong saja, jelas-jelas. "lngin tahu ke mana kau."
Peduli amat!
Apa, jawabannya nanti?
Hahaha, jawaban satu yang paling meyakinkan: Karena kau bajingan. Aku ingin
lihat perempuanmu. Ya, begitu saja.
Satu hal yang saya senang dalam jenis bandit-bandit ini: mereka jujur. Karena
mereka lebih dekat dengan binatang. Orang semacarn aku ini paling susah. Malaekat,
tetapi bukan malaekat. Manusia, tetapi terlalu buruk untuk jadi manusia. Atik dan aku,
kami berdua terkutuk untuk menderita. Sungguh gila, mosok sampai sekian tahun
belum lagi tahu mereka ke mana. Atik, Papi, Mami, keluarga Antana. Mengapa tidak
tanya di Sala? Kan pasti keluarga Pangeran Hendraningrat bisa bercerita. Barangkali
Atik mengungsi ke sana. Ah, goblog, aku goblog. Barangkali Verbruggenlah yang ke
sana, bila ia bilang katanya mau konsultasi dengan komandan di Sala. Mosok,
konsultasi melalui radio kan bisa.
Tetapi mengapa aku sendiri tidak ke Sala? Takut? Takut menghadapi kenyataan
barangkali? Ya, aku takut. Sekarang jelaslah serba benderang, bahwa bila aku jujur,
aku harus mengakui, aku takut. Aku takut mendengar tentang keadaan sebenarnya.
Aku takut memergoki apa yang sesungguhnya terjadi. Aku takut bertemu muka
dengan mereka.
88
Dengan keluarga Antana, Atik. Papi dan Mami sudah kuanggap tidak ada. Dimakan
oleh api revolusi, begitu istilahnya barangkali. Ya, aku takut bertemu muka dengan
Atik sebagai seorang yang kalah. Sebetulnya aku dapat bertanya kepada mereka.
Tetapi aku tidak mau. Apakah barangkali Verbruggen melacak mereka? Dia bandit
dan tahu caranya melacak mangsa.
Orang-orang seperti Verbruggen ini aku paling suka. Orang bermoncong meriam
tetapi jiwanya jip. Sanggup dan ikhlas memberi tempat untuk melaju dan ke mana
saja. Jip, GP General Purpose, silakan dipakai untuk apa saja. Kalau di udara pesawat
Dakota itulah. Pengangkut yang masih sanggup terbang terns dengan sayap satu
hilang atau ekor bolong-bolong seperti kéré-kéré pengemis Republik itu. Persetan,
mengapa Verbruggen ke sana. Di luar Magelang sedikit ke arah utara, di sisi kiri ada
kompleks gedung yang pantas dipakai untuk kampus suatu universitas. Hah, Ver-
bruggen ke sana! Ada Si Cantik yang ingin ia isengkan? Aku masuk gedung utama.
Alangkah tenang sejuk suasana di sini. ltu di sayap kanan, rumah-rumah para
"profesor" itu mengingatkan aku pada Mike, gadis bunga kelas di SD, yang pernah
kuciurn dengan balasan kontan tamparan yang nyeri. Di mana dia Si Mike itu? Sudah
jadi istri seorang komandan tentara Republik? Nanti dapat tanya.
Aku melompat dari jip dan menuju kamar piket. Ada seorang Jawa bermental kuli
menunduk-nunduk hormat dengan mata serba licik. Pasti di dalam hati dia
membenciku dan berpikir: "Toh tinggal beberapa hari lagi Soekarno kembali ke
Yogya dan tuan-tuan Belanda boleh tenggelarn di sarnudera kalau mereka dipu-
langkan ke negeri kodok. Dan kau N1CA Coklat, kau akan disatai. Akan pesta
lidahku!" Bukankah begitu, kuli Jawa harus sopan seperti tai kucing? Tai yang sopan
disembunyikan di bawah pasir?
"Mari silakan, silakan duduk, Tuan."
"Keparat, aku curna ingin menanyakan, apa tadi ada opsir Belanda! datang kemari.
Kutanya tentang opsir Belanda! Tidak minta disilakan duduk."
''Ya, baik-baik. Mari dienakkan duduk di kursi. Maaf, Tuan ... " "Lekas, aku tidak
punya waktu banyak. Dan kau tidak perlu menunduk-nunduk seperti kuli begitu.
Katanya sudah merdeka."
"Ah ya, maaf Tuan ... " Tiba-tiba mukanya mendongak dan mulutnya menganga. Aku
menoleh, karena ada suara mengguntur:
"Kapitein!" Ah, Verbruggen.
"Hallo, bandit. Kau di mana? Kucari kau ... "
''Tutup mulut. Berdiri tegap dan beri hormat,” bentaknya begitu nyaring sehingga
aku sungguh terkejut benar. Matanya menyala seperti mata tokek benggala. "Tidak
dengar? Hormat !" Spontan aku membanting tumitku kanan dan tumit kiri, tegak dan
memberi hormat militer. ''Perintah Komandan. Enyah kau dari sini! Pergi! Ini perintah
militer. Pulang ke pasukanmu. Selesai." Aku tak bisa berbuat lain kecuali "Siap!"
Ketika aku agak bengong lamban menuju jipku, ia membentak: "Lekas pergi!"
Mendongkol jipku kunyalakan, tancap gas. Jip berputar menabrak tiang rambu-
rambu di tepi dan masih sempat menyerempet bola-bola gede gerbang, menyambar ke
arah Selatan. Malu! Mendongkol! Tetapi jelaslah sekarang, Verbruggen punya
rahasia, yang ingin ia sembunyikan. Gas kulepaskan. Pelan-pelan sajalah. Mengapa
harus ngebut? Pelan-pelan, masih banyak waktu.
Ke luar Magelang di muka gerbang kerkop Belanda yang bergaya klasik Yunani
kampungan dengan tiang-tiang seperti kaki nyonyah beri-beri itu aku dicegat MP ¹⁾.
¹⁾ Militaire Politie, polisi militer.
89
Setiap orang infanteri benci pada orang-orang bertubuh besar berhelm putih dengan
huruf MP seperti kutukan Kain itu. Di tengah jalan aku dihadang. 1a memberi hormat.
Dan dengan pendek, tegas tetapi toh menghormati, aku dipersilakan membelok dan
berhenti di bawah gerbang gaya Yunani kampungan itu.
“Ada apa!" Tetapi MP itu diam tak mengucapkan satu kata pun. Kurang-ajar. “Aku
mau tahu, untuk apa tuan menahan saya." Tetapi MP tadi menuju ke rumah penjaga
kerkop. Dan sebentar lagi seorang perempuan dengan menggendong anaknya dan di-
antar oleh seorang lelaki, suaminya tentu, ke luar dan disuruh duduk di atas rumput di
salah satu nisan. Kedua orang itu gemetar dan menyembah-nyembah minta ampun.
MP itu hanya tersenyum dan mencoba menerangkan dalam bahasa Melayu keliru :
"Jangan takut. Ada tidak apa-apa."
Ia lalu mempersilakan aku masuk rumah dan duduk di dalam.
Berkecak pinggang aku bertanya, "Ini sandiwara apa?" Tetapi si polisi militer bergaya
korekt ningrat menjengkelkan hanya menjawab.
“Perintah. Hanya itu."
''Perintah gila, teriakku. Ia hanya mengangkat bahu dan berdiri di muka rumah.
Berkecak pinggang. Kuambil rokok dari sakuku dan minta kepada mahluk nikotin itu
agar menenangkan perasaanku. Apa aku dilaporkan telah lari dari pasukan? Tidak.
Segala hal telah kuserahkan kepada wakilku dan aku jelas menerangkan, aku ke
Magelang sebentar dan jam tiga siang pasti sudah datang di markas. Aku ke luar
rumah. Kulihat perempuan-perempuan mencuci dan berak di kali Manggis dengan air
seperti jenang coklat. Bahkan sungai di sisi timur kota Magelang yang sekotor ini
ironis sekali diberi nama Kali Bening. Di negeri seperti ini, air yang begitu kotor
penuh berak dan baksil toh sudah berhak disebut bening. Tetapi dalam kanal sekotor
itu juga aku dulu sebagai anak kolong mandi dengan nyaman segar. Dengan norma
apa bening dan kotor itu harus kita ukur? Masih ada juga yang mencuci beras di
selokan itu. Dan dengan enaknya tanpa tahu malu perempuan-perempuan itu turun,
membalik, mengangkat kain hingga pantat mereka menongol serba pekik
kemerdekaan. Tanpa tergesa-gesa kedua bola mereka itu dicelup di dalam air; sambil
omong-omong dengan rekan-rekannya. Biasanya pantat-pantat itu putih dan mulus
halus. Yang putih dan halus rupa-rupanya di sini bisa bersahabat dengan yang kotor
dan busuk. Apa arti mandi bagi mereka? Sering seperti berjingkrak-jingkrak dalam air
caranya dan kadang-kadang ke luar juga sepasang susu besar yang sama-sarna
coklatnya dan diseka seolah mau memelototnya. Bersih sudah. Sering tanpa sabun.
Bangsa begini mau merdeka. Bah!
Sersan mayor PM itu memeriksa Harley-Davidsonnya ¹⁾, lalu bersiul-siul sambil
melihat jam tangannya. Pelan namun tegap ia melangkah ke arahku. Kutawari rokok.
Kunyalakan sigaretnya. Melihat ke jam tangan lagi.
Tuan Kapitein tidak perlu khawatir."
"Kaum perang sudah terbiasa khawatir."
"Untung semua sudah usai," dan dalam-dalam dihisapnya rokok. "Tadi kami hanya
mendapat perintah telepon dari Letkol Verbruggen, ia ingin berbicara dengan tuan."
"Spesial harus di sini?"
''Ya, perintah adalah perintah."
"Kau dari mana?"
¹⁾ Merk sepeda motor.
90
''Dari Limburg. Maastricht. Tuan pernah ke negeri Belanda?"
"Hanya dalam pelajaran ilmu bumi dulu di SD."
"Hidup lebih interesan di sini, Kapitein."
"Untuk beberapa bulan. Akhirnya kalian kan, ya, suka pulang di negerimu."
"Kami akan emigrasi ke Australia."
"Sudah nikah?"
"Kalau pulang nanti."
"Kalau pulang ... ?"
''Ya, kalau pulang. Sering konvoi-konvoi masih terkena ranjau."
"Tunangan cantik.?"
"Cantik. gadis-gadis di sini, Kapitein.
''Bukan itu yang utama."
"Memang."
''Berapa tahun atau bulan kau dinas di Hindia?"
"Indonesia?" (Hatiku tiba-tiba tertusuk. Belanda petani totok tolol ini menyebut
hormat Indonesia. Aku merasa tergugat)
"Sudah sejak divisi 7 Desember dibentuk, Kapitein."
"Sukarelawan?"
"Terpaksa. Dinas milisi. Siapa mau sukarelawan ikut perang idiot semacam ini."
Saya jengkel pada orang jangkung pengecut itu. Kan yang menyuruh perang
bangsamu sendiri. Bersungut-sungut aku diam. Rupa-rupanya ia merasa keliru
komentarnya.
''Maaf, Kapitein, saya menyebabkan kerugian waktu bagi Tuan.
Tetapi itu tadi perintah." Aku tetap diam. Mau omong apa? Dia tidak salah, hanya
menjengkelkan; karena terlalu jujur dan seolah-olah menyindirku. Bagaimana
pandangannya terhadap orang-orang pribumi yang berperang ikut KNIL dan memilih
pihak melawan bangsanya sendiri? Ia memberi hormat, "Maaf, ingin kutengok apakah
Letkol sudah datang atau belum." Aku masih diam.
Dengan langkah yang tegap sersan mayor yang bertubuh gagah itu menuju ke
jembatan Kali Manggis. Mudah-mudahan ia tak terkena ranjau darat. Kan semua
sudah selesai.
Bagi yang milisi warta gembira, bagi yang sukarelawan warta pahit. Ia melihat ke
arah pasar. Melihat jam tangannya lalu tenang pulang ke tempat aku duduk.
"Kau boleh pulang," kataku, "Saya tidak akan lari."
"Perintah adalah perintah, Kapitein."
"Kau seperti tentara Jerman saja: Perintah adalah perintah."
"Itu yang paling mudah, Kapitein. Yang paling menghindari persoalan yang tidak
perlu, “ dan ia tersenyum tenang.
"Menghindati persoalan artinya bertemu dengan soal lain."
''Bisa jadi, Kapitein."
Tidak enak omong-omong dengan anak yang tidak terlalu intelek semacam ini.
Aku yakin, ia benci padaku.
Dari arah Pasar Besar datang suara mesin-mesin truk dan sorak-sorai. MP itu
berdiri dan di cucuran atap rumah ia berhenti dan berkecak pinggang. Iring-iringan
truk dengan dikawal sebuah mobil panser dan beberapa jip serta polisi militer
bersepeda-motor lewat. Membawa orang-orang Hindia, sorry Indonesia, yang ber-
sorak-sorai kepada pejalan-pejalan kaki dan yang bersepeda.
91
''Merdeka! Merdeka!" seru mereka. Orang-orang di jalan mengangkat tangan dan
menjawab hangat: ''Merdeka!'' Ada satu truk yang membawa bendera kecil merah-
putih. Kebanyakan orang-orang itu setengah umur. Hampir tidak ada yang pemuda.
"Siapa itu?"
Sersan mayor Belanda itu berkata datar, ''Mereka disingkirkan ke Yogya. Kaum
Republik."
"Tawanan?"
''Bukan. Kepala kantor, guru sekolah, bekas jaksa, semuanya kaum pegawai
Republik."
''Dari gunung'?"
"Tidak. Mereka tidak ikut gerilya. Tenang tinggal di kota. Tetapi preventip, untuk
menghindari kemungkinan agitasi yang tidak perlu mereka disingkirkan."
''Mengapa tidak dimasukkan penjara saja?"
"Suatu gupermen ¹⁾yang kalah tidak berhak lagi memenjara."
"Menurut anggapanmu kita sudah kalah?"
''Anggapan saya tidak penting:' jawabnya menghindar.
Sersan-mayor!" dan meluaplah amarahku. "Dengar dan camkan betul. Negeri
Belandamu negeri pengecut."
"Boleh jadi, Kapitein," jawabnya, terlalu tenang dan datar dan karenanya lebih
menjengkelkan lagi. Diakui atau tidak diakui, aku merasa kalah terhadap anak petani
Belanda totok yang terlalu tenang ini. Petani, tetapi mereka terpelajar. Sungguh aku
mendidih. Tenang atau acuh tak acuh? Bagaimana pun aku merasa dikhianati. Aku
yang pribumi membela kerajaannya, dia malahan begitu saja menyerah.
"Merdeka! Merdeka!" dan tiba-tiba ada yang mengeluarkan lidahnya dan
menunjuk padaku sambil menarik tangan teman-temannya.
''NICA INLANDER! Mampus kau nanti!" Panas tanganku otamatis memegang
Viekersku. Tetapi itu tak mungkin. Aku akan merendahkan martabatku. Mereka harus
kuanggap kunyuk-kunyuk belaka yang tolol. Tidak perlu diberi reaksi.
"Sersan mayor!" Geram aku mendesis pada MP itu: "Itu calon-calon pembesar
negara yang baru?"
"Yang penting perdamaian ditanam di negeri ini: “kata petani Limburg itu. Tahu
apa dia tentang masalah-masalah sebenarnya dari negeri ini!
"Siapa tahu satu di antaranya sebentar lagi boleh bersantap bersama Ratu Yuliana
dan Prins Bernhard," tambahnya. Kali ini ia sinis dan bersiullah MP itu suatu lagu
unik yang tidak kuketahui apa. Pegawai-pegawai Republik itu berpakaian sederhana,
dan semuanya bersih. Tampak mereka golongan priyayi. Mereka kelihatan gembira
sekali dan lega bahwa kemenangan terakhir ada di pihak mereka. Seumumnya mereka
sopan dan tidak berkelebihan sorak kemenangan mereka. Hanya pengecut satu tadi
yang mengeluarkan lidah seperti anak kecil. Perkecualian. Bahkan sekilat pandang
kulihat temannya yang diajak mengejek bergerak sikunya, tanda menolak ikut-ikutan
menganiaya jiwaku.
¹⁾ Dari kata gouvernement (BId): pemerintah.
92