The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by permadhi, 2021-12-03 20:14:45

Burung-Burung Manyar Sebuah Roman

Y. B. Mangunwijaya

Keywords: burung,manyar,sebuah,roman,mangunwijaya

18. Aula Hikmah

Mengapa mereka membangun kompleks universitas dengan arsitektur begitu
Jelek di tengah alam dan masyarakat yang begitu cantik? Aku sudah mulai belajar
sumarah seperti Mami, tetapi darah Untung Surapati dalam Papiku masih memberang
terus. Negeri ini sudah kehilangan kepribadiannya, atau apa istilahnya tadi dalam
kartu undangan? "Jatidiri dan bahasa citra". Ya, kesejatian diri sudah hilang dari
masyarakat sini, yang terlalu lama dan terlalu bertubi-tubi diserang desintegrasi
politik, ekonomi maupun kebudayaan. Di mana-mana arsitektur selalu menjadi
detektor yang tidak bohong, merekam dan mensinyalkan keadaan diri suatu bangsa.
Begitu gado-gado dan simpang-siur perwatakan gedung-gedung itu, minta ampun.
(JIKALAU ada wataknya). Karakter,itulah yang digemblengkan Papi padaku. Citra,
ltulah yang dianugerahkan padaku oleh Mami dan oleh ... Atik.

Pagi itu, aku dari hotel (bukan hotel, tetapi kamar yang berkat kedermawanan
seorang tumenggung Keraton boleh kusewa) menuju ke kampus universitas yang
paling termasyhur di negeri ini dan kata orang menjadi simbol dari kepribadian
bangsa Indonesia. Aku kecewa memang terhadap ekspresi kepribadian itu, tetapi
sekali lagi, aku sudah belajar sumarah dan tidak terlalu memberang bila ada yang
kurang menyenangkan dalam negeri ini.

Pagi itu Nyonya Janakatamsi, Kepala Direktorat Pelestarian Alam akan
mempertahankan tesisnya untuk meraih gelar doktor biologi di hadapan Senat
lengkap beserta undangan. Aku bukan undangan, karena sampai sekarang aku belum
pernah (berani) berhubungan lagi dengan Atik, alias Nyonya Larasati Janakatamsi,
isteri Dekan Fakultas Geologi salah satu universitas swasta di Jakarta dan Kepala
Laboratorium Maritim Angkatan Laut. Tetapi kartu undangan dapat kuraih, karena
salah seorang perwakilan Ford Foundation yang kukenal dan diundang, pada hari itu
masih turne di Ujungpandang. Dari pimpinan protokol kemarin aku mendapat
kepastian, bahwa untuk upacara itu aku boleh-boleh saja berbaju batik, sebab itu
sudah dianggap pakaian resmi dan rapi. Bagus, inilah satu-satunya yang kuingini,
berpakaian tidak kaku, kalau aku berjumpa dengan Atik nanti. Sebab pastilah aku
akan berjumpa dengannya. Salah satu copy dari penelitianku tentang kecurangan
komputer yang gawat itu telah kutitipkan dalam almari biro seorang kenalan pastor
yang dapat kupercaya.

Segala informasi mengenai pribadi suami Atik telah kudapatkan dan dia rupa-
rupanya akan dapat kuharapkan menjadi matarantai yang ideal untuk pelaksanaan
keputusan yang telah kusumpahkan di hadapan nisan Mami dan Papi. Sebetulnya
motivasi persoalan rahasia komputer semacam itu kurang pada tempatnya, dan aku
tak henti-henti menenteramkan hati-nurani, bahwa motivasi pertama bukanlah
masalah kalkulasi komputer, melainkan memang sudah saatnyalah aku berhadapan
muka, mata lawan mata dengan kekasihku.

142

Ya, ia sudah kawin dengan orang lain, tetapi dalam hati ia tetap kekasihku. Betapa
pun bejat atau gagal seseorang, ia berhak mempunyai pujaan hati. Dan pujaan hati
jangan selalu dihubungkan dengan seks. Aku tahu, itu maha penting, seks, tetapi aku
tahu juga dalam pengeterapannya terhadap Atik, seks jatuh pada nomor tiga atau
empat. Bukan, motivasi utama: aku mendatangi upacara penggelaran doktor kepada
sahabatku Atik, dan itu benar-benar datang dari jiwa yang tulus dan bangga atas
keberhasilannya. Atik selalu berhasil. Entah, memang sering ada manusia yang selalu
berhasil dan ada yang selalu gagal. Petani mengatakan ada yang "dingin tangannya",
sehingga semua tumbuh subur kalau dia yang menanam. Tetapi ada yang "panas
tangannya". Apa saja yang ia tanam, selalu sial tidak tumbuh subur. Selain bertangan
dingin, Atik punya kecantikan yang khas, yang tidak menyala seperti glamour
perempuan-perempuan dalam resepsi-resepsi, tetapi bagaikan kunang, yang
bercahaya tanpa panas. Tanpa suara dan tanpa pretensi, tetapi sangat menarik,
khususnya untuk orang-orang jago kelahi seperti aku ini.

Aku memilih kursi baris kedua di sayap sebelah kiri. Di sana tidak silau menatap
sinar matahati pagi, dan aku ingin melihat Atik dalam profil. Ia dulu indah kalau
dipandang dari samping (kata orang test terbesar ialah pandangan dari profil) dan itu
pula satu-satunya sudut pandangan yang paling jelas dapat dinikmati penonton dalam
penataan kursi berbentuk tapal-kuda. Bukan, aku bukan penonton. Aku salah seorang
mahasiswa, atau lebih tepat sang pencari. Belajar dari ajaran Sang Waktu. Tidak ada
seorang pun yang kukenal dalam Aula Agung ini. Itu baik dan memang wajar.
Bagaimana pun aku masih tetap orang asing. Atau yang mengasingkan diri. Atau
lebih tepat: yang senang mencari di dalam wilayah-wilayah yang tidak dilalui
gerombolan. Yang berkelahi di luar pagar aman. Aku tidak meremehkan para hadirin-
hadirat yang berwarna-warni kebaya mau pun berdasi itu. Cuma aku lain. Heh?
Hanya aku sendirian yang pakai baju batik? Lain-lainnya serba berbusana distinguished
class, gabardine, wool jas model mutakhir dan dasi Cardin, Yves St. Laurent atau
Hongkong biasa. Rupa-rupanya aku yang paling nasionalis. Hahaha, ex KNIL yang
nasionalis.
Jruet! Jruet! Jruet! Sang Seremonarius, penata upacara muncul di pintu utama, bertoga
hitam dan bertopi ilmiah segi lima berkucir beserta tongkat-panjang berpucuk
lambang kuningan (belum di-brasso) yang kecoklat-coklatan hijau. Lambang itulah
yang tadi berbunyi, dipukul-pukulkan ke lantai: jruet! jruet! jruet! Seperti kaleng
tukang pijat.

Semua hadirin-hadirat serentak berdiri. Tiada suara tiada musik; iklim tembaga,
aluminium, selenium dan silikon. Para profesor masuk melangkah serius, didahului
rektor yang pendek gemuk berkacamata burung uhu. Ada dari dewa-dewa itu yang
tersenyum mengangguk pada seorang kenalan. Ada yang berwajah tank panser
Centurion. Ada yang rupa-rupanya ogah-ogahan, acuh tak acuh, lagaknya lebih suka
di laboratorium menyuntiki kelinci-kelinci dan tikus putih daripada harus ikut liturgi
yang seram ini.

143

Barangkali itu profesor matematika yang mengedipkan mata pada seorang gadis yang
tersenyum malu Jawa. Aneh, pada saat aku seharusnya berdebar-debar menghadapi
saat melihat Atik lagi, aku sekarang bahkan tenang. Hatiku sudah jadi silikon
komputer juga, kataku dalam hati berkelakar.

Ah, itulah Sang Pujaan. Nah, tersenyum, merasa sip dia, walaupun telah satu tahun
melampaui umur 40 tahun; dengan karir yang begitu pesat, citra yang tersenyum
dikulum itu seolah-olah masih dalam usia 30-an. Suaminya lebih pendek dari Atik.
Rupa-rupanya orang yang tenang dan baik hati, walaupun wajahnya tampak serius. Ia
menggandeng istrinya dengan langkah-langkah yang penuh perhatian kepada istrinya,
dan sekali, entah suatu kotoran apa yang kebetulan menodai lengan kebaya istrinya
diselentik bersih. Atik sendiri revolusioner sekali, berkebaya lurik coklat-hitam,
seperti simbok Pasar Beringharjo, tetapi yang justru mencahayakan kulitnya yang
putih langsep. Tipikal untuk dia! Selendang juga seperti simbok-simbok di kaki lima.
Sanggulnya alhamdulillah tidak ekstrim mirip simbok-simbok, tetapi juga tidak
bermodel nyonya metropol masa kini.

Pada kursi baris termuka Tuan Janakatamsi melepaskan istrinya, saling
berpandangan dengan senyum dan mengangguk. Dua dayang-dayang, yang satu
berpakaian ala Sunda sedangkan yang lalnnya gaya anggun Sala tetapi modern
luwes, mendampingi Sang Doktoranda. Seonggok komposisi bunga anggrek putih
yang menyerupai sekawanan kupu-kupu diserahkan Atik kepada dayang-dayang ltu.
Bergelegarlah suara seremonarius mewartakan tujuan sidang istimewa ini, lalu
menyerahkan acara kepada Bapak Rektor.

Tubuh kekar pendek berkaca-mata ilmiah itu berdiri, dan mengucapkan selamat-
datang, pertama kepada rekan-rekan profesor dan para tamu. Kepada alamat
doktoranda ucapan disertai humor halus terselubung, sepadan dengan jabatannya,
namun jelas, memuji kecantikan promovenda. Sebab justru di dalam lambang kebaya
lurik hitam rakyat jelata itu semoga wartaharapan universitas .yang didirikan di
tengah keprihatinan perjuangan revolusi kala itu, se1alu terkabul; yakni warta
tentang pengabdian kepada manusia-manusia sebangsa yang paling dilupakan. Dan
khususnya bagi generasi muda semogalah itu merupakan peringatan, bahwa ilmu dan
mengabdi kepada rakyat bukanlah dua perkara yang sepantasnya dipisah-pisahkan.
“Selamat datang kepada semua hadirin-hadirat yang mulia, dari jurusan mana pun,
sebab tesis yang harus dipertahankan doktoranda ini menyangkut kita semua juga.
Judul disertasi yang diajukan oleh Dra. Larasati Janakatamsi sungguh sejalan dengan
jabatan doktoranda selaku Kepala Direktorat Pelestarian Alam, yakni 'Jatidiri dan
bahasa citra dalam struktur komunikasi varietas burung Ploceus Manyar. ¹⁾ Seorang
profesor di samping Rektor bertepuk-tangan, yang disusul oleh spontanitas tepuk-
tangan hadirin-hadirat. Termasuk aku juga.

¹⁾ Burung manyar.

144

Rektor mempersilakan promotor sebagai pembicara pertama.
Profesor itu tipe orang Aceh, sudah tua dan dengan suara perlahan-lahan mulai
dengan memperkenalkan promovenda selaku wanita pejuangan, yang sejak
Proklamasi selaku gadis berumur 17 tahun sudah berbakti dalam pergulatan diplomasi
menghadapi dunia internasional demi kemenangan bangsanya. Walaupun hanya
seorang sekretaris sangat muda di bawah bayangan para garuda dan elang diplomat-
diplomat tinggi yang rata-rata masih muda juga ketika itu, Doktoranda Larasati
Janakatamsi dikarunai jiwa yang arif untuk gadis sehijau kala itu."

Kearifan itu lebih tampak dalam karya yang dipilihnya, sesudah perjuangan militer
maupun diplomasi bangsa kita mencapai kejayaan, yakni spesialisasi dalam suatu
bidang, yang pada waktu itu dan pada saat sidang yang mulia ini berjalan, baru satu
dua yang memikirkannya, yaitu kualitas hidup, kualitas lingkungan bagi generasi
yang akan datang.

Dan walaupun sudah menjadi seorang ibu berputera tiga orang, namun
promovenda masih mampu menata waktunya untuk berbakti dalam dunia ilmu
pengetahuan. Sebab, menurut Doktoranda Larasati Janakatamsi, ilmu-pengetahuan
dan kebahagiaan rumahtangga bukanlah dua dunia yang terpisah.

"Oleh karena itu, saya beserta rekan-rekan ko-promotores, dan saya yakin para
rekan penyanggah juga beserta hadirin-hadirat yang arif bijaksana, pastilah kita
merasa mendapat kehormatan untuk menyertai Saudari Larasati Janakatamsi dalam
sidang ilmuwan ini".

Sesudah diam sebentar, dengan anggukan anggun, promotor menghadap ke arah
tokoh sidang: "Saudari Promovenda, Anda telah meneliti masalah-masalah aktivitas
kelenjar-kelenjar prothorax dan otak burung-burung keluarga Fringilliadae dan
Ploceidae. Khususnya Ploceus Manyar alias burung-burung manyar, pencuri-pencuri
padi itu, yang pandai membuat sarang berbentuk perut dan berpipa ke bawah.
Terutama Anda telah membuat analisa bagus tentang seluk-beluk hormon-hormon
juvenile atau dengan istilah kita, hormon-hormon peremajaan keluarga Ploceus dalam
hubungannya dengan perilaku burung-burung manyar tersebut, bila mereka sedang
menginjak masa birahi dan perkawinan. Tentulah saudari meneliti semua itu tidak
lepas dari perspektip relevansi kenyataan, bahwa kita manusia pun, saya kira semua di
dalam sidang mulia ini, pernah birahi juga." (Gumam ketawa hadirin bagaikan lebah-
lebah. Rektor mengangguk-angguk dan kepala Atik agak oleng tersenyum dikulum.
Aku tidak ikut tersenyurn). Dapatkah Anda menerangkan relevansi penelitian Saudari
untuk pembangunan kehidupan kita sebagai nasion yang masih muda ini?" (Beberapa
kursi bergerak nervous).

Larasati: "Saudara Rektor, Saudara Promotor, Senat yang saya hormati dan
hadirin-hadirat yang budiman. Terimakasih. (Seorang dayang mendekatkan mikrofon
pada Atik). Ketika saya masih kecil (suaranya masih sama dengan dulu, ya Tuhan)
ayahku almarhum yang menjadi promotor pertama dalam kecintaanku kepada dunia
flora dan fauna, (tersenyum mengangguk kepada promotor utarna tadi, yang juga
tersenyum mengangguk tanda penuh pengetian) pernah menunjukkan padaku perilaku
yang dramatis bahkan sering tragis dari manyar-manyar lelaki..

145

Maaf, jantan. (Tertawa lirih dari publik. Aku tegak terkejut dan tangan kusilangkan di
muka dada) Kalau mereka sudah akil-balik dan menanjak masa mereka berpasangan,
kita tahu, mereka mulai membangun sarang, terbuat dari alang-alang atau daun-daun
tebu atau daun-daun lain yang panjang. Benar-benar ahli dan bersenilah mereka
membangun sarang yang rapi serta bercitra perlindungan yang meyakinkan. ltu yang
jantan. Yang puteri-puteri (gumam ketawa teredam) hanya melihat saja dengan enak-
enak santai, tetapi penuh perhatian kepada kesibukan para insinyur-insinyur muda itu
(lebih keras ketawa seluruh aula. Profesor yang acuh-tak-acuh tadi mulai tersenyum
simpul). Namun mulailah lakon mendramakan diri. Manyar-manyar betina itu
menaksir hasil pembangunan para jantan itu, (Atik diam sebentar)
mempertimbangkan sejenak (diam ... ) dan memilih yang ... (diam lagi, beberapa leher
hadirin menjadi panjang) berkenan di hati mereka. Berbahagialah yang dipilih itu
(Aula: Ooh! Ooh! Ooh!) Tetapi alangkah sedihnya bagi yang tidak dipilih (merata
ketawa ejekan). Lalu inilah yang terjadi. Para usahawan yang menawarkan hasil
tehnologi mereka tetapi tidak laku itu sedih. Serba frustrasi. Sarang yang sudah selesai
itu dilolosi dan dibongkar sehingga semua rusak, lalu segala jerih payah yang gagal
itu dibuang ke tanah (publik: Ooooh! Beberapa profesor seperti terpukau, bahkan
yang barangkali profesor matematika tadi mulutnya agak melompong). Tetapi
syukurlah, mereka tidak putus asa. Manyar-manyar jantan yang frustrasi tadi mulai
mencari alang-alang dan daun-daun tebu lagi dan sekali lagi dari awal mula
membangun sarang yang baru, penuh harapan, semoga kali ini berhasil dianugerahi
hati berkenan dari seorang putri keraton. (Seluruh aula bertepuk-tangan dan para
nyonya yang berkipas-kipas itu geli saling bercubit-cubitan. Atik hanya melihat ke
plafon. Senyum dikulum seperti anak nakal yang berhasil memanja orang-orang tua).

Dan inilah saudara saudari, yang merupakan fokus penelitianku selama ini.
Pertanyaan-pertanyaanku ialah: dari mana datang perilaku yang sedemikian? Yang
mengaburkan pembatasan tajam antara yang disebut naluri yang dipastikan dan sikap
sadar yang sanggup untuk memilih ? Sanggup memilih mengandaikan suatu ke-
mampuan untuk menimbang, untuk memegang kendali nasib, untuk berkreasi. Sebab
siapa berkemampuan untuk memilih, dia mengatasi nasib, ia raja yang menguasai
dalil rutin belaka. Dari pihak lain, dari mana perasaan sedih dan kecewa dan
kejengkelan yang lalu melolosi dan merombak sesuatu yang dinilainya gagal? Dari
mana lalu datang tekat baru yang kreatif kembali, yang mengandaikan jiwa yang
punya harapan, yang tidak menyerah hanyut, namun aktif menimbulkan fajar yang
baru.

''Dari sebab itu, pengetahuan yang mendalam mengenai seluk-beluk pengambilan
keputusan dan naluri nasib yang hanya tunduk kepada kepastian buta, akan dapat
menolong kita, memaharni hal-hal yang kolektif, yang seolah-olah merupakan suatu
instink keharusan adat maupun kebiasaan nasional; dalam perpaduannya yang serasi
dengan segala yang kreatif, yang serba baru dan khas pribadi.

146

Sebab, walaupun kita adalah manusia dan berbakat kesadaran serta berpotensi
emosional mampu memilih dan mengambil keputusan yang berdaulat, kita tidak boleh
lupa, bahwa kita tertambat dengan berjuta-juta benang halus sutera tak tampak dengan
alam raya dan dunia flora dan fauna. Juga dengan tanah air dan rakyat. Semoga
demikianlah." Selama uraian Atik itu, kipas-kipas para nyonya berhenti tanpa disuruh.
Aku diam, diam tak bisa berkutik.

Giliran berikut ada pada ko-promotor, seorang profesor berkulit putih yang
diintroduksi oleh Rektor selaku profesor universitas dari Basel Swis. Profesor Doktor
Chauvigney. Ia bertanya dalam bahasa Inggris berlogat Prancis: ''Di negeriku ada
burung sejenis Larus. Di Indonesia jenis Larus yang sesungguhnya tidak ada, tetapi
ada yang mirip mereka, ialah merpati laut. Ketika masih sangat muda dan tinggal
dalam sarang mereka berwarna kelabu pasir. Itu warna penyelubung terhadap musuh.
Sesudah itu mulailah kepalanya berwarna coklat matang dan putih di sekitar mata.
Sayapnya juga menjadi coklat bercampur bulu-bulu putih remaja. Baru dalam tahun
kedua, sebagai tanda kedewasaan Larus atau Lahmeuwe itu sayap-sayapnya menjadi
kelabu gemilang, ekornya putih murni dan warna kepalanya coklat indah, hampir
hitam, sedangkan kaki dan paruhnya merah menantang. Juga pada binatang lain
seperti kupu-kupu, kita melihat perubahan bentuk maupun warna yang kita kenal
dengan istilah metamorfosa. Dari ulat, kepompong, ke kupu-kupu yang begitu indah.
Apakah semua itu serba kebetulan? Mengapa tanduk rusa begitu fantastis, mengapa
ikan-ikan dan mahluk-mahluk lautan Banda begitu indah clan bergerak elegan,
sehingga orang hanya dapat takjub dan bungkam melihat segala kecantikan yang telah
hadir di kedalaman atau pun di angkasa sebelum manusia ada? Apakah dalam dunia
binatang dan kemolekan bunga-bunga anggrek atau mawar itu kita hanya menjumpai
suatu permainan serba kebetulan tanpa arti belaka? Sebab, kalau semua itu diteliti
mengapanya dan efisiensi fungsionalnya, segala kreasi fantastic seperti bulu-bulu
burung cendrawasih atau keunikan kreasi sarang burung-burung manyar itu obyektif
tidak perlu. Atau dengan kata lain, apakah dunia di bawah jenis manusia itu dapat
merencana, mendisain, berkreasi seni?

Bagaimana pandangan Nyonya Promovenda mengenai itu semua dalam
hubungannya dengan tugas ilmuwan biologi?" Semua seolah-olah tidak dapat
bernafas. Pertanyaan-pertanyaan itu rupa-rupanya sudah melampaui daerah
kompetensi ilmu biologi. lni sudah filsafat, ini sudah bidang religi. lni pertanyaan-
pertanyaan maha sulit. Bagaimana wanita itu dapat menjawabnya? Semua berdebar-
debar.

Larasati: ''Tuan Profesor Chauvigney, pertanyaan Tuan menyangkut sesuatu yang
paling dalam, yang pada saat ini sedang diteliti oleh para ahli biologi. Tuan, di sinilah
sebenarnya termaktub permasalahan budaya manusia masa kini, di Timur maupun di
Barat, di Selatan maupun di Utara. Masalah kuantitas dan kualitas. Selama para
biolog hanya mampu melihat sebagai penonton atau sebagai penghitung komputer
yang serba berkecimpung dalam hal-hal tehnis belaka (mati aku !),

147

atau dengan kiasan sehari-hari, bila seorang lelaki melihat perempuan hanya sebagai
benda molek yang perlu dicatat ukuran-ukuran vitalnya (gumam ramai) atau
menganggapnya sebagai obyek kebanggaan dan induk yang menelorkan anak-
anaknya (kipas-kipas para nyonya tiba-tiba pada bergerak nervous), maka sang ahli
biologi belum menemukan panggilannya yang sejati. Maka lalu bangsa berperang
melawan bangsa lain berdasarkan kesimpulan perhitungan, dan terletusiah suatu
strategi yang dipastikan oleh silikon-silikon komputer (lagi kau!). Jikalau demikian,
belumlah orang mengenal jatidiri kehidupan dan panggilan kita selaku manusia.

Jatidiri atau Innerlichkeit dalam bahasa Jerman, sesuatu sumber kesadaran-diri di
dalam lubuk kedalaman hakekat kita yang masih serba misteri ini, ternyata tidak
hanya ditemukan di dalam manusia. Ternyata dari perilaku burung-burung manyar
tadi sudah terbaca segala itu. Bahasa kasih-sayang dan emosi kebencian yang
diobservasi pada jenis-jenis simpanse, dan sekian bahasa saling kenal serta saling
berkomunikasi antara para lebah-lebah atau pun tari-tarian cinta para serangga,
menunjuk samar-samar pada kita secara empiris dan faktual, betapa ada dan sering
begitu cemerlang jatidiri para mahluk itu memancar ke Iuar. Metamorfosa burung-
burung Larus negeri Tuan tadi merupakan pergantian warna yang dibawa oleh
perkembangan umur. Namun Iebih dari itu, hal tadi terbawa oleh keadaan diri, oleh
riak-riak hidup jatidiri mereka dari dalam, terbawa oleh pembahasan yang berhasrat
mencurahkan diri kepada mahluk lain.

Binatang-binatang peka tentang apa dan bagaimana yang disebut suasana serta
warna-warni situasi. Di negeri Tuan, berkat beberapa penderma budiwan, saya pernah
mengalami suasana hutan, dalam perbandingan keempat musim. Kendati pun kita
tidak dapat melihat burung-burung itu sendiri, jelaslah sudah, betapa ramai di musim
semi mereka berkicau dan bercanda seperti ikut riang memberi selamat datang kepada
bait-bait sajak kehidupan baru. Nyanyian mereka bukan hanya ekspresi atau
ungkapan suatu suasana, tetapi adalah suasana itu, adalah bahasa citra kejadian yang
sedang aktif mereka cipta bersama dalam harapan kehidupan baru. Begitu juga pada
awal musim panas. Lain sekali pada akhir musim panas dan musim gugur. Betapa
sunyi, seolah segala telah terpenuhi dan para mahluk tinggal menikmati sang buah.
Kesunyian para burung itu bukan hanya melambangkan, tetapi adalah syukur itu
sendiri, karena terpenuhilah dambaan. Kicauan dan nyanyian burung, Tuan Promotor,
adalah ada-diri, adalah citra-diri.

Hadirin-hadirat, budiwan-budiwati. Burung-burung seperti manyar-manyar yang
saya teliti dengan penuh kekaguman namun juga dengan penuh pertanyaan itu, bukan
hanya MEMbangun sarang burung, melainkan adalah bahasa Pembangunan itu
sendiri yang mengejawantah ke dalam sikap dan emosi yang dapat tercatat oleh mata
manusia, tertangkap telinga manusia. Dan hati penuh pertanyaan terangkat oleh
manyar-manyar yang riang terbang, ikut melayang menukik dan menarikan kehadiran
diri di langit. Haruskah kupu-kupu itu berwarna justru kuning ini atau hijau itu?

148

Haruskah burung cendrawasih dan merak itu memiliki bulu-bulu yang imperial tak
tertanding oleh maharani mana pun? Jika kita masih tinggal dalam pertanyaan harus
atau tidak harus, bila kita baru melangkah pada data obyektivitas, bila kita masih ter-
kurung dalam angka-angka komputer tanpa mencari arti maupun makna di dalamnya,
maka kita tidak akan memahami sang burung manyar atau pun sang kupu-kupu,
mawar maupun anggrek yang mekar tanpa keharusan seelok itu. Dalam alam raya
terdapat gerak dan kelakuan yang harus, yang eksak, yang menurut dalil. Akan tetapi
syukurlah alam raya telah menunjukkan kepada para biolog dan kepada kita, bahwa
asal saja kita mau dan mampu membaca bahasa Sasmita¹⁾ dalam data-data biologi itu,
kita akan terjumpa pada pertandaan, bahwa benarlah ada di dalam alam dan
khususnya dalam manusia: sesuatu Misteri yang mengatasi, yang merdeka dan yang
tersenyum. Khususnya apabila kita merasa atau menjadi lain dari yang lain, sehingga
menemukan keharuan luar biasa. Percandaan antara yang harus dan yang merdeka
serba bermain kreatif, itulah Tuan Promotor, salah satu panggilan umum sederhana
yang dapat saya baca dari warisan para peneliti dunia biologi, namun juga dari data-
data yang saya terima sebagai anugerah dari burung-burung manis tanah-air saya.
Maafkan kata-kata saya yang terlampau panjang. Semoga berkenanlah gagasan saya
itu."

Para profesor mengangguk-angguk. Beberapa orang nyonya dan gadis diam-diam
mengusap air-mata. Dan tiba-tiba aku merasa sunyi, sedih dalam keadaanku yang
dingin sendirian, seperti manyar yang gagal.

Aku bertanya pada diriku, apakah Atik tahu aku hadir dalam aula itu? Setiap kata
seolah menyindir mengena diriku. Masih banyak pertanyaan dari profesor-profesor
penyanggah lain yang harus dijawab oleh Sang Doktoranda. Aku yakin bahwa
jawaban-jawabannya serba gemilang, tetapi aku sudah tidak mendengarkan lagi apa
yang terucap. Aku hanya memandang pada wajah yang mirip Bu Antana itu, profil
ningrat dengan sanggul agak tinggi yang berkesan agak kuna, tetapi yang dengan
koket seperti wanita-wanita Jepang, memperlihatkan lekukan kecil di tengkuknya,
bila ia menoleh sedikit ke arah kanan. Kontras kulit putih dengan warna lurik coklat-
hitam kasar itu memang memukau dan sebenarnya sexy juga. Kuamat-amati juga
kadang-kadang suaminya. Orang tanpa banyak temperamen rupa-rupanya ia, kontras
sekali dengan Atik yang kiprah²⁾di tengah Aula ini. Bagaimana rasanya menjadi
suami Larasati? Mengapa justru dia yang dipilih? Apakah karena sarang manyarnya
lebih baik dariku? Jelas, ya begitulah. Pasti itu kesimpulan setiap orang normal. Satu
hal yang kupelajari pagi itu: Aku harus meloloskan segala serat dan daun-daun tebu
dari sarangku. Sarang lama harus kurombak, kuhempaskan di tanah dan mulai lagi.
Mulai pada umur 46 tahun? Tetapi Atik meraih gelarnya sesudah melampaui tahun
keempat puluh. Benarkah perkawinan selalu harus dijadikan terminal terakhir? Da-
patkah orang mencintai tanpa kawin? Barulah terasa olehku, betapa berat badan
manusia yang terlambat.

¹⁾ Sasmita = pertanda-pertanda yang tertangkap maknanya oleh seseorang yang
peka perasaannya.

²⁾ gerak terbang gaya dalam tari jawa.

149

Seorang profesor menanyakan, mengapa metamorfosa dalam siklus kehidupan
hanya terdapat dalam hewan-hewan jenis rendah?

''Profesor Harun, di sinilah timbul suatu dimensi baru yang seumumnya dalam
binatang-binatang rendah belum tampak, yakni tumbuhnya individuum. Semakin
tinggi tingkat dalam rangkaian evolusi, semakin menonjol aspek kompleksitas, namun
semakin memancar juga jatidiri itu. Dalam manusia aspek kepribadian muncul dan
inilah salah satu fase mulia, yang membedakan manusia dan binatang-binatang
tingkat tinggi dari binatang rendah.

Seekor cacing atau serangga sebenarnya hidup dalam dan demi kolektivitas yang
menenggelamkan individu binatang warga sukunya. Seekor individu lebah-lebah
dalam kolektivitas tidak begitu penting. Yang penting ialah jenisnya, suku
keluarganya, bangsa-lebah. Tetapi dalam simpanse kita melihat, betapa unsur individu
di sini sudah kuat. Seekor simpanse pada suatu hari, jika ia suka dan cukup kuat,
dengan berdaulat akan membentuk keluarga sendiri, dan tak gentar melepaskan diri
dari kelompoknya untuk membentuk kelompok baru.

Di dalam manusia, sebagian hidupnya, yakni tatkala ia masih dalam kandungan ibu
dan sekitar satu tahun sesudah lahir, masih tenggelam dalam ketidak-sadaran jenisnya.
Agar ia dapat tumbuh dan berkembang dalam rahim dengan pewarisan hal-hal yang
vital dari jenis kemanusiaan. Tetapi di luar rahimlah ia disempurnakan di dalam suatu
lingkungan yang kaya. Manusia pertama-tama dan dari kodratnya memang manusia
yang sosial, dan yang hanya mungkin bermekar dewasa di dalam lingkungan beserta
dan di dalam dialog dengan yang lain. Tetapi pemekaran dalam rahim masyarakat
sekaligus berupa pemerdekaan diri; ia harus tumbuh menjadi pribadi dan karakter
yang kuat. Seluruh bahasa citranya, sikapnya yang berjalan maju tegak,
kemampuannya yang dapat menonjolkan diri dalam bahasa dan kreativitas seni, serta
di dalam kesanggupannya bertindak berdasarkan keputusan yang sadar, sudah
merupakan jelmaan ada dirinya. Aktivitas menjadi pribadi. Dan seluruh tubuh,
pancaindra serta sikap luarnya sekaligus adalah citra yang aktif mengkreasi diri,
sehingga dengan demikian manusia semakin manusiawi."

Prof. Zainal Abidin: "Apakah dalam penelitian Nyonya dapat ditemukan suatu
kesimpulan yang relevan perihal gejala universal, ialah yang sering kita sebut:
tumbuhnya generasi muda? Bagaimana pandangan Nyonya terhadap generasi yang
sedang tumbuh?"

"Dalam perilaku manyar betina, seperti yang umum tampak juga dalam jenis-jenis
binatang lain, rupa-rupanya masalahnya bukanlah pertama-tama si betina senang pada
partnemya. Tetapi si betina dari awal mula, begitu pun si jantan, seolah-olah bersikap,
bahwa yang penting bagi mereka ialah telur dan proses penjagaan telur menjadi
generasi manyar-manyar baru. Dalam seluruh alam fauna dapat dikatakan, bahwa
sudah sejak awal mula, binatang memperhitungkan dan membentuk lingkungan yang
seoptimal mungkin demi sang telur atau generasi yang akan datang.

150

Di dalam laboratorium pernah kami memperoleh beberapa ekor anak celepuk.
Berhari-hari celepuk-celepuk ayah-ibunya dari hutan setia datang menghampiri
kurungan dan membawa oleh-oleh tikus-tikus atau serangga untuk anak celepuk yang
kami tangkap itu. Bahkan ikan mujair pun menyuruh anak-anak mereka berlindung di
dalam mulutnya, bila ada bahaya mengancam.

Generasi muda, Profesor Zainal Abidin, dan ini jelas dalam perkembangan anak,
diberi bekal kesatuan diri dengan orangtua, dengan sang generatrix¹⁾, di dalam sistem-
sistem yang tertutup, dengan rongga rahim yang gelap namun menjamin kepuasan.
Tetapi sesudah lahir dan menjadi besar, anak dan generasi muda belajar menghadapi
dunia yang terbuka. Dan keterbukaan itulah yang memungkinkan dia menerima dan
memberi, dengan kata lain memekar menjadi manusia dewasa. Tetapi maafkan Bapak
Profesor, di sini kita sudah menginjak wilayah psikologi manusia, yang bukanlah
kompetensi saya."

Prof Latumahina: ''Pertanyaan terakhir saudari Promovenda, apakah yang akan
Anda sarankan dari segi seorang biolog untuk manusia masa kini, khususnya bangsa
kita?"

"Semoga kita belajar menghayati dimensi kualitas. Sebab, Bapak Profesor
Latumahina, segala Innerlichkeit, jatidiri kita, sebenarnya mendambakan arti, makna,
mengapa dan demi apa kita saling bergandengan, namun juga berkreasi aktif dalam
sendratari agung yang disebut kehidupan. Semoga dialog kita membahasakan diri,
tidak hanya dalam niat mau pun itikad belaka yang terkurung, melainkan berekspresi
dalam suatu tingkat kebudayaan yang tahu, ke mana Sang Pelita menuntun. Hadirin-
hadirat yang saya muliakan, jika judul yang saya pilih untuk disertasi ini memanfaat-
kan kata-kata jatidiri dan bahasa citra, maka memang itulah sebenarnya seluruh arti
ungkapan kita, dari bermain kelereng yang kita pertarungkan atau layang-Iayang yang
kita gelorakan atau main boneka semasa kita masih kanak-kanak, sampai pada saat
senja membelai dan menidurkan cucu yang mengantuk. Dari gerak-badan sport
sampai pementasan musik, dari dambaan dua kekasih yang saling mencari sampai ke
rasa bakti kepada Tuhan Yang Mahaesa. Semogalah antara jatidiri di dalam mau pun
bahasa citra ke luar selalulah tekat kita menari dalam gerak harmoni. Dan jika toh ada
sesuatu yang luka-Iuka dalam batin kita, entah itu karena kesalahan kita sendiri mau
pun kesalahan keadaan di luar kita, semoga kita juga mampu memahami bahasa
citranya. Misal saja citra wanita. Organ vital wanita dalam bentuk citra namun juga
bahasanya mirip luka-Iuka yang menganga, namun sekaligus daun-daun bunga
mekar. Kedua-duanya adalah citra namun sekaligus pengejawantahan jatidiri kita
manusia. Dan jika itu disebut kemaluan, hal itu karena kita tidak mengenal wanita.
Bukan kemaluan, melainkan kemuliaan suci wanita dan pria sekaligus. Dalam situasi
kejatidirian yang benar berarti, wanita tidak pernah malu, tetapi bangga dan bahagia
mendialogkan organ kewanitaannya dengan tawaran partner hidupnya.

¹⁾ Induk, dari bahasa Latin.

151

Namun itu hanya dapat terlaksana dalam kebenaran jatidiri, dalam kebenaran citra
bahasa yang jujur. Luka-Iuka DAN bunga.

Maka, jika kita pernah mengalami kegagalan, semogalah mahluk-mahluk burung
mungil yang bernama Ploceus manyar yang sekarang, sayang, namun juga untung
bagi pak tani, sudah semakin hilang dari persada bumi Nusantara kita, semogalah
burung-burung nakal namun pewarta hikmah yang indah itu, memberi kekuatan jiwa.
Sebab memanglah kita dapat sedih dan marah membongkar segala yang kita anggap
gagal, namun semogalah kita memiliki keberanian juga untuk memulai lagi penuh
harapan. Terimakasih."

Spontan tanpa dikomando seluruh Aula yang tadi hening terpukau, sekarang
meledak bertepuk-tangan, dan sekian pasang mata mengaca basah terusap. Ketika
para profesor itu keluar Aula menuju ke sidang tertutup, bersama Atik yang agak
pucat karena emosi dan yang diantar oleh suaminya yang sangat menjaganya itu,
jelaslah bagi semua, bahwa Atik pasti akan mendapat gelar dengan sebutar'. maxma
cum laude, dengan pujian gilang-gemilang.

Dan memanglah demikian, kudengar kemudian. Tetapi dalam gelora ucapan
selamat, aku sudah tidak ada di Aula, pergi dan menangis dalam hati.
Kesombongankulah dulu yang akhirnya menghempaskan sarangku berantakan di
tanah. Namun, namun ... Atik boleh berpidato indah, tetapi manusia bukan manyar.

152

19. Pendopo Perjumpaan

Aku tidak jadi bertemu dengan Atik. Terus-terang persoalannya terlalu kuanggap
enteng. Ternyata psikologis aku belum kuat menghadapi wanita satu ini, yang begitu
dekat dengan hatiku, tetapi begitu jauh, serasa tidak mungkin terjangkau. Aku tidak
takut pada perjumpaan, tetapi pada kelanjutannya. Untuk mengucap selamat dan
mengatakan bangga dapat menyaksikan suksesnya masih mudah. Untuk berkenalan
langsung dengan suaminya kuanggap juga bukan soal terlalu sulit. Aku tahu keadaan
bobotku. Sebagai saingan aku jelas kalah dan selain itu, waktu tidak dapat diputar
kembali. Aku terlambat. Dan bagi seorang berjiwa militer terlambat tidak sama
artinya dengan pegawai kantor yang datang terlambat. Bagi orang-orang seperti aku
ini, terlambat berarti lebih dulu terkena peluru, mampus.

Untuk zakelijk membicarakan masalahku mengenai rahasia kesalahan komputer
dan minta tolong untuk menyelundupkan informasi vital itu kepada pihak pemerintah
Indonesia melalui Atik atau suaminya juga bukan masalah yang teramat kutakuti. Aku
sudah menandatangani vonis diriku sendiri. Jadi bukan itulah. Akan tetapi akibat-
akibat sesudah bertemu dengan Atik. Itulah yang membuat aku lari. Memang bukan
tingkah terhormat bagi seorang militer maupun pengusaha, apalagi menejer, untuk
lari. Akan tetapi dalam saat-saat tertentu, selaku manusia biasa, barangkali lari adalah
jalan ke luar yang paling baik. Untuk semua pihak. Barangkali untuk sementara
waktu, tetapi riil. Dan boleh jadi paling baik untuk ketiga anak Atik. Alangkah mudah
sebenarnya menjadi sudut ketiga dari hubungan segitiga. Namun alangkah sukar
sebenarnya, jika orang masih, ya apa tadi istilahnya, jika orang masih menghargai
kualitas hidup. Soalnya bukan cuma berebutan jodoh, tetapi kualitas menghadapi
kekasih yang tidak terjangkau. Burung-burung manyar tidak merebut betina dari ri-
valnya, tetapi menerima dan menghormati pilihan si betina. Boleh sedih, membongkar
dan menghempaskan sarang yang dibangunnya dengan susah payah, dengan dedikasi
sepenuhnya, dengan hati seluruhnya. Tetapi jantan yang tidak dipilih tetap
menghormati kedaulatan pemilihan betina. Artinya menghormati keturunan.
Keturunan manyar pun ternyata harus merupakan telur dari pemilihan yang berdaulat;
pilihan se1aku mahkota penyediaan diri yang memperlihatkan kepercayaan kepada
pengayoman dan jaminan suatu sarang yang melindungi telur-telur. Kerelaan untuk
menjaga pemilihan demi keturunan menjadi kata terakhir dari drama cinta burung-
burung Plocei manyares. Tetapi sekali lagi inilah kesulitanku, aku bukan manyar.
Aku manusia dan aku Teto.

Sekembali di pondokku di rumah KRT¹⁾ Prajakusuma yang begitu baik dan ramah
itu, aku hanya dapat mengunci diri dalam kamar, menelan pil tidur agar aku
dibebaskan dari pergulatan batin yang tidak pernah akan bisa menemui satu jawaban
maxima cum laude.

¹⁾ Gelar istana Jawa: Kanjeng Raden Tumenggung.

153

Sesudah mandi aku diundang tuan rumah minum teh. KRT Prajakusuma masih
mengalami jaman kejayaan Hamengku Buwono ke VIII yang wafat pas sebelum
perang dunia yang lalu pecah. Panjang lebar dan penuh penghayatan masa lampau ia
mengisahkan upacara pemakaman jenazah rajanya di bukit Imogiri. Katanya, di
tengah siang bolong, guntur menggelegar ketika jenazah digotong ke luar istana. Ia
tidak mendengarnya sendiri, karena ketika itu ia bertugas mempersiapkan kedatangan
jenazah dan para tamu-agung di Imogiri. Tetapi semua orang mendengarnya, katanya.
Ia lalu mempersilakan aku memilih, apakah ingin teh cara internasional atau teh cara
Jawa asli. Aku memilih cara Jawa asli, atau menurut dugaanku, cara Cina; teh sangat
kental dan hitam sekali, diminum sedikit demi sedikit seperti minum tuak. Dituangkan
dari teko kecil keramik coklat tua sekali ke dalam mangkuk-mangkuk mini juga.
Boleh pakai gula aren, boleh pahit begitu saja. Aku memilih tanpa gula. Saat itu aku
mempunyai kebutuhan untuk mereguk yang pahit-pahit saja. Rasa manis untuk
sementara hanya mengingatkan pada hal-hal yang bukan-bukan. Untuk sementara
waktu aku ingin hanyut saja di tengah ruang tengah yang remang-remang gelap itu;
duduk pada meja marmer berkaki satu, bulat dibubut, dan di kursi kayu berukir yang
sudah lama membutuhkan politur baru.

Para ningrat ini semakin lama semakin miskin, karena dagang dan bisnis bagi
mereka masih terpandang memalukan. Atau memang mereka tidak berbakat ke arah
itu Tetapi betapa pun miskinnya, mereka menjaga semua harta itu dengan bersih.
Menyimpan, sampai terpaksa satu per satu benda-benda itu jatuh di tangan pedagang
barang-barang antik, dan selesailah riwayat mereka. Sebab barang-barang itu hanya
bisa hidup wajar di dalam lingkungannya sendiri tidak dilepas atau diabstraksi seperti
setiap angka yang dapat dilepas-lepas dan dimasukkan ke dalam Komputer.

Aku sungguh berterima kasih boleh menginap di sini, walaupun aku yakin tuan-
rumah membutuhkan uang sewa yang mahal itu (sama dengan kamar klas dua di hotel
Sheraton). Tetapi di sini ada suasana, ada nafas gaib, ada kualitasnya menurut Atik
tadi. Dan itu sangat mahal juga tentu saja. Nyamikan emping yang tradisional gurih
tetapi sering menjengkelkan, selalu menyisip di antara gigi dan gusi. Teh pahit kental
yang begitu minimum ini tidak menolong banyak. Ya, tentu saja teh di sini tidak
dimaksud untuk mencuci sisa-sisa emping dari gigi dan gusi. ltu masalah tehnis,
masalah komfort atau efisiensi. Di sini orang tidak minum tidak makan, akan tetapi
menggaibkan lidah dan syaraf, sebab téine yang begitu kuat kadamya membuat
syaraf-syaraf bangun dan bekerja segar.

''Ya,” keluhnya, "kami dapat memahami, akan tetapi terus-terang dalam pandangan
kami dan keluarga di sini Diponegoro bukan pahlawan."

Aku heran mendengar pemyataan itu, dan lebih terkejut sebenarnya, karena ada
seorang Jawa berterus-terang. "Karena kekeliruan siasat Diponegoro, kesultanan
Mataram kehilangan Dulangmas, (Kedu, Magelang dan Banyumas) daerah-daerah
lumbung padi yang mutlak untuk pembangunan kekayaan Mataram.

154

Sejak itu Mataram menjadi abdi Belanda. Karena ketololan Diponegoro. Memang,
Sang Pangeran melawan Belanda. Tetapi melawan dan melawan banyak caranya.
Mengapa orang harus memilih siasat yang jelas tidak sebanding risikonya? Orang
Jawa bukan kaum tukang kelahi. Kami punya ksatria-ksatria ulung, itu tidak perlu
kami tonjolkan, tetapi keunggulan mereka dalam tenaga gaib. Tanpa tenaga gaib,
mereka lumpuh, seperti Baladewa kehilangan cepitnya. Maka apa yang diperbuat
Diponegoro sangatlah bodoh dan kalau dia kalah, itu bukan karena Belanda menipu.
Sebab keputusannya sendiri, melawan bangsa asing dengan senjata fisik, itulah sudah
kekalahan. Penipuan Jenderal de Kock hanyalah setempel cap segel saja untuk
meresmikan dan menyelesaikan soal yang sudah mudah dapat diramalkan bagaimana
akan selesai."

Dalam percakapan dengan tuan-rumah itu, aku hanya mendapat kesempatan
sedikit untuk berbicara, dan untunglah demi-kian. Hari itu aku tidak punya bab untuk
dibicarakan. Bahasa KRT Prajakusuma sangat tenang dan rupa-rupanya sudah lama ia
ingin mengungkapkan isi hatinya yang penuh gagasan-gagasan, dan yang diakuinya
tidak laku untuk generasi masa kini. Generasi sekarang punya tafsiran sendiri tentang
peristiwa apa pun, tanpa tanya dulu pada kaum tua, dan karena itu keliru.

Hanya kepada orang-orang asing saja ia berterus terang dan suka menyatakan
pendapatnya, begitu ia menambahkan sambil menghisap rokok lintingannya dengan
penuh kepastian tidak suka ribut.

Kadang-kadang kami berdua hanya duduk diam saja tanpa omong sepatah pun dan
rupa-rupanya ia puas beromong dan diam menurut ukuran; yang penting: dapat
berterus terang padaku, pada orang asing. KRT itu simpatik, begitu pikirku, karena
naluriku berkata, bahwa kami berdua adalah saudara senasib, manusia masa lampau,
yang terlambat tetapi yang tidak pemah mengakui kekalahan. Ya, KRT Prajakusuma
itu simpatik.

Seorang gadis pembantu rumah tangga datang dan berjongkok menurut adat lama;
memberitahu, bahwa ada tamu di gerbang. Kartu nama diberikan kepada tuan
rumahku. Setelah agak ribut mencari kaca-mata, ia membaca.

"Oh, bukan untuk saya. Ada tamu untuk Tuan Setadewa."
"Saya? Siapa yang ingin menemui saya? Kawanku dari Ford Foundation itu?
Tetapi bagaimana ia dapat tahu, saya di sini."
Kartu kuterima dan ... aku terpaku tak bisa bergerak. Kartu keluarga Janakatamsi.
"Seorang pria atau wanita?" tanyaku pada pelayan.
''Berdua, pria dan wanita."
"Siapa?" tanya tuan rumahku.
"Tuan Janakatamsi dan istri. Bagaimana mereka tahu aku di sini?" KRT
Prajakusuma mendongak dan memberi pelita
Ooh, sayalah yang memberibhu mereka. Tetapi saya tidak memberitahu Tuan di
sini. Oh ya ... sekarang ingat Kemarin saya mendapat pesan dari Pangeran
Wijayaningrat bahwa beliau tidak dapat menghadiri upacara wisuda Bu Janakatamsi
di Universitas, karena dipanggil Sri Sultan.

155

Dan sayalah yang ke Bu Jana mohon maaf tak dapat hadir. Saya kenal sekali ayah Pak
Jana, karena ... mari. (Kepada abdinya) Sudah kau persilakan duduk? Baik. Katakan,
bahwa sebentar lagi saya datang menemui mereka. Saya mau ganti pakaian dulu.
(Kepadaku) Saya hanya omong basa-basi tentang rupa-rupa hal, dan ya ... sekarang
saya ingat, bahwa hanya sambil lalu saya mengatakan punya indekosan, begitu
kelakar saya. Seorang gede dari perusahaan minyak apa entah saya tidak tahu. Saya
hanya bercerita, bahwa datangnya pakai jip terbuka dan baru ziarah ke Magelang,
tempat makam ibunya di Desa Juranggede. Begitu. Apa Tuan masih famili dengan
mereka?"

Tanpa menunggu jawaban larilah Pak KRT ke kamar, hendak berganti pakaian.
Seluruh diriku lunglai. Apa yang harus kuperbuat? Apa yang harus kuperbuat? Aku
sungguh tidak siap. Tadi pagi memang siap, tetapi sekarang tidak. Baiklah, bila sudah
dipastikan begitu. Dan dengan sikap yang kubuat setenang-tenangnya kubuka pintu.
Aku ke luar pintu tengah, tepat mereka sedang naik tangga pendopo. Aku tentu saja
hanya melihat figur satu ini, Atik. la memakai gaun entah aku tidak melihat apa-apa,
kecuali wajahnya yang ria dan kedua mata serta bibir basah terbuka sambil bersorak:
"Teetoo!"

Dan tahu-tahu wanita itu seperti topan membadai padaku dan jatuh ke dalam
pelukanku.

"Teto! Teto!" dan menangislah ia terisak-isak. Aku tak dapat apa-apa, selain
spontan membelai punggungnya dan mata tolol memandang kepada suarninya, yang...
mengangguk-angguk tersenyurn seulah seorang ayah penuh pengertian melihat
anaknya bertemu dengan kekasih yang sudah lama ditunggu.

Dadanya terasa hangat dan kembang-kempis empuk pada dadaku, seolah segala isi
dadanya itu ingin ia serahkan tuntas ke dalam sanubariku. Pipi kananku merasakan
rambut, dan anting-anting telinganya menekan agak sakit, namun tak kuhiraukan.
Parfum mewangi membuatku lebih terganja lagi dan bungkam.

Suaminya,Janakatamsi menghampiri kami dan tersenyurn paham berkedip padaku
dengan anggukan-anggukan kecil selaku isyarat, agar aku membiarkan istrinya begitu.
Dia suami yang penuh pengertian dan penuh pengabdian kepada istrinya, itulah dalam
sekilat saat kesimpulanku. Istrinyalah yang ia puja sebagai ratu dan pemberi undang-
undang.

Sementara itu Pak KRT keluar; penuh heran ia mendekati saudara Janakatamsi.
Kedua orang itu saling berbicara lirih dan kulihat Pak KRT hanya mengangguk-
angguk saja, sambil kadang-kadang memandang ke arah romansa yang pasti tidak
setiap hari ia lihat dalam pendoponya yang begitu sepi dan kuna.

Kubiarkan Atik menghabiskan emosi tangisnya. Di dadaku Atik kini melekat.
Begitu dekat, tetapi begitu jauh tak terjangkau, keluhku dalam lubuk hati dengan
sedih.

156

Dan pada saat itu aku merasa, bahwa tidak ada jalan lain kecuali bersikap menjadi
abang untuk wanita ini, satu-satunya saksi dari drama kepedihan hidupku selain Bu
Antana, sejak awal mula di masa remajaku. Tangisnya yang lirih dan merintih itu
kehausankah? Kesedihan? Kebahagiaan? Aku tidak tahu mengapa begitu merana
tangisnya itu.

Akhirnya meredalah segala luapan perasaan itu, dan ia menengadah, tanpa mau
memandangku. Aku pun pasti juga belum siap memandang pandangannya. Apa lagi
suaminya dan Pak KRT hadir di pendopo ini. Aku hanya melihat beberapa burung
berjingkat-jingkat di pasir halaman pendopo.

Itu bukan manyar. Itu hanya prenjak saja, tetapi hidup dan segar ia. kian-kemari.
Seperti Atik dulu ketika masih kecil, sehingga abdi-abdi di rumah Hendraningrat
sering menyebutnya "Prenjak kita". Apa yang harus kukatakan? Dan lebih dari itu,
apa yang harus kuperbuat untuk selanjutnya?

Pak Jana dan KRT Praja berdiri dan bersama -sama mengamat-amati burung jalak
hitam di kurungan yang tergantung pada balok tritisan Pendopo. Akhimya tangan Atik
mengendor dan ia kulepaskan dari rangkulanku. Ia mengambil sendiri saputangan
yang kebetulan ada dalam saku baju batikku dan membersihkan mata dan pipi-
pipinya. Matanya memandangku penuh dambaan. Tersenyumlah ia setengah malu
setengah nakal. Atik kini tampak sepuluh tabun lebih muda, Kebahagiaan sanggup
memutar kembali jam pada wajah dan citra wanita. Ia minta pada Pak KRT, agar
boleh ke belakang sebentar. Dengan ramah sekali Pak KRT mengantarkannya masuk
rumah. Kami, Pak Jana denganku saling berkenalan. Dari awal mula aku sudah
merasakan simpati kepadanya, walaupun masih dengan perasaan aneh; terutama
sesudah ia mengatakan, bahwa ia sudah kenal padaku. Kapan? Tentu saja dari
laporan-laporan istrinya. Tetapi juga ketika sesudah jelas gelagat mereka akan kawin,
ayahnya seolah sengaja sering ekstra mernbicarakan Teto. Lho siapa ayahnya?
Sekarang sudah pensiun. Dulu pernah lama menjabat direktur rumah sakit di Kramat.
Oooh ... itulah! Ia mulai kenal dengan Atik, ketika pada suatu hati liburan, (ketika itu
ia baru saja lulus Fakultas Geologi di Bandung), melihat Atik dengan ibunya
berziarah ke makam Ibu Brajabasuki di Kramat itu. Pertarna-tama itu dianggapnya
peristiwa biasa. Tetapi sesudah ia tabu, bahwa yang meninggal itu bukan ibunya dan
bukan apa-apanya, namun toh setia setiap pekan nyadran Atik datang membersihkan
nisan, ia mulai tertarik kepada gadis dan ibunya yang begitu budiwati itu.

''Ya, Atik banyak sekali dan sering sekali membicarakan Mas Teto. Sehingga
dalam kesadaranku, Mas Teto sudah hadir lama dalam benakku, selaku abang
sekandung istriku. Karena itu, ketika tadi KRT bertanya, hubungan apa Atik dengan
tamunya dari J akarta itu, saya juga spontan mengatakan, Anda iparku Bukan! Bukan
dari satu ibu dengan Atik kataku dengan senyum. Dan jawaban itu tidak bohong kan!
Mas Teto kami undang dengan sangat; kami, khususnya Bu Antana. Sukalah
menginap di rumah kami.

157

Istriku sudah begitu lama merindukan Mas Teto. Tidak pantaslah, bahkan kejamlah
bila tawaran mereka ditolak."

Aku tentulah hanya dapat berkata: ''Ya, baiklah."
"Tadi pagi Mas Teto dalam Aula Agung juga?" tanya 'iparku' itu. "sebetulnya ibu
mertuaku tadi sudah menduga, bahwa yang duduk di baris kedua sana di sayap sana
itu Mas Teto. Tetapi tentulah Bu Antana mengira itu hanya fatamorgana saja. Kami
tidak mengira sama-sekali Anda di sini. Dari ternan-ternan di kedutaan Den Haag
sana memang pernah kami menyaring berita Mas Teto pergi jauh, bekerja di salah
satu perusahaan minyak, tetapi kabar dan petunjuk-petunjuk begitu simpang-siur,
sehingga sebaiknya kami menunggu saja. Dan tahu-tahu ... sungguh Mas Teto, kami
sangat gembira bila Anda suka datang. Bu Antana pasti sangat bahagia dan nanti di
Bogor Anda dapat melihat anak-anak kami. Ya, yang sulung lelaki bahkan diberi
nama panggilan Teto juga. Memang istriku itu kelihatannya saja orang ilmuwan yang
eksak rasional, tetapi saya sebagai suami tahu, sebenarnya ia sangatlah perasa. Ya,"
dan ia tersenyum memandangku, "sering ia seperti anakku saja. Aneh, seolah-olah
aku punya anak empat, dengan jarak antara yang sulung dan yang kedua panjang
sekali. Mas Teto harus menginap di rumah kami. Ya, nanti di Cemorojajar. Kalau
tidak, nanti ia rewel dan marah-marah saja." Dan ia tertawa kecil.
"Tahu Mas Teto, kalau ia marah lucu sekali. Semakin ia marah, semakin aku
sayang padanya." Pak Prajakusuma datang ke meja kami.
''Ah, andai kemarin saya tahu bahwa Bapak itu abang dari Bu Jana tentulah sudah
kemarin saya beritahukan kepada Ibu dan Pak Jana."
Di belakang blangkon Pak KRT, Pak Janakatamsi mengerlipkan mata padaku.
"Saya ini anak mursal¹⁾ kataku.
''Ah mosok," sahut Pak KRT.
"Ya, saya ini anak yang lari dari rumah."
"Mosok iya?" (Kepada Bu Jana yang sudah berdiri di samping suaminya) ''Apa
betul, Bu Jana?"
''Ya, betul," kata Bu Jana dengan tenang, sangat tenang. Terlalu tenang bagiku.

¹⁾ Hilang, minggat.

158

20. Rumah Pertanyaan

Keesokan harinya, karena aku tidak dapat tidur, amat pagi aku sudah bangun,
mandi dan berdiri di tepi jalan melihat lalu-lintas becak yang sedini ini sudah lalu-
lalang dan orang-orang yang pergi ke Pasar Kranggan. Ya, aku jadi menginap di
Cemorojajar, rumah Bu Antana; yang sejak ditinggal suami dan kakak tirinya
dipeliharanya untuk pos keluarga Surakarta kalau sedang singgah lewat; dengan
beberapa kamar di pavilyun yang dijadikan pondokan beberapa mahasiswi. Sambil
mengucap selamat pagi, dua orang dari mahasiswi itu ke luar ke jalan dan mulai
berlari-lari sport. Pantatnya yang satu menari kian-kemari bukan main. Lucu
sebetulnya, tetapi pantas dipuji gadis-gadis itu. Tahu-tahu Bu Antana sudah di
sampingku.

"Selamat pagi, Teto!"
"Oh! Selamat pagi, Bu. Masih pagi begini."
"Untuk nenek seumurku tidak pagi. Orang lanjut usia tidurnya sedikit. Tetapi kau
... sungguh kau dapat tidur?"
"Enak sekali Bu, terima kasih." Dengan pasti tetapi lirih ia berkata: "Teto, Bu
Antana tidak percaya. Pastilah kau tidak dapat tidur, lalu bangun sepagi ini." Tidak
ada gunanya bohong basa-basi. Maka aku hanya berkata jujur: "Memang Bu Begitu
sekonyong-konyong semua ini terjadi ... "
''Atik sangat bahagia, Teto. Saya sebagai ibunya harus berterima kasih padamu."
Aku terkejut. Apakah ibunya mendorong aku untuk. ... (?) tidak mungkin, tidak
mungkin! Itu nanti menuju ke arah yang serong. Memang tadi malam aku tidak dapat
tidur karena tidak tahu bagaimana aku harus bersikap. Apa lagi karena si suami begitu
baik, terbuka dan penuh percaya terhadapku. Suami baik hati, tetapi tololnya bukan
kepalang. Andai tahu betapa joroknya bandit dalam diriku ... la sudah tahu. Pasti
sudah. Tetapi mengapa?
"Oh ... Bu Tana, sebetulnya saya tidak pantas. Sayalah yang tidak kenal
terimakasih dan lari tanpa ... "
"Kami tahu. Kami memahami semua Teto. Kini yang penting, kau sudah ada di
tengah kami lagi dan Atik bahagia. Suaminya juga sudah tahu semuanya." Ya,
begitulah pikirku, seorang ibu hanya melihat kebahagiaan anaknya, tetapi wanita tidak
mudah melihat jauh soal-soal konsekwensi rumit yang mengiringinya. Semua naluri
induk begitu.
"Kami sungguh sangat gembira, Teto!" tambahnya lagi.
Kubelokkan percakapan: "Saya kira itu karena kemarin kita semua terbawa hanyut
oleh suasana kegemilangan hari wisuda doktor maxima cumlaude Atik kita, Bu."
"Oh, tentulah, tentulah ... mari, jangan berdiri di sini."

159

Dan aku diajak duduk pada bangku taman di bawah bugenvil ungu yang kaya-raya
bunganya. Ya, kepada Bu Antana aku paling merasa dapat mencurahkan hati.
Bukankah di saat-saat masa remajaku yang paling menentukan, dialah yang praktis
menjadi ibu angkatku? Bukankah dia yang selalu setia membersihkan makam
Mamiku setiap waktu nyadran?Tetapi sekarang ada sekeping ketakutan yang seolah-
olah menjadi katup karaten di dalam hatiku, sehingga arus curahan hati menjadi seret
di dalamnya. Tetapi siapa lagi di dunia ini yang masih dapat kudekatkan padaku?
Sungguh keliru lagi, bila aku terus-menerus mengisolasi diri dan menolak tawaran
rahmat, persahabatan yang dibutuhkan oleh setiap orang. Atau aku akan menjadi
robot yang beku. Aku pun membutuhkan kualitas kehidupan. Persahabatan
menanggung risiko, hati dibaca orang lain, agar dapat ditolong dan dikoreksi pada
saatnya. Sekarang sahabat mahal harganya, jauh lebih mahal daripada segedung
komputer di Pentagon.

"Teto, saya tidak berhak apa-apa atas hidup dan sanubarimu."
“Ah. Bu. Ibu Antana sudah jadi ibuku, jangan berkata begitu."
''Ya, terima kasih. Tanpa itu kuucapkan, aku juga sudah merasakannya. Jadilah
anakku dan jadilah abang untuk. Atik. la sangat cinta padamu."
''Ya ... tetapi bagaimana caranya Bu. Ibu pasti sudah tahu, bahwa itu dapat
menimbulkan situasi yang sangat berbahaya."
"Kau benar, Teto. Aku pun juga sudah merasa itu. Terus-terang saja, aku bdum
juga menemukan jawaban yang memuaskan. Maka sebetulnya aku ingin minta nasihat
kepadamu."
Aku tidak menyangka kata-kata itu. Bagaimana minta nasihat pada orang buta dan
gagal seperti aku ini. Bu Antana ini benar-benar bernaluri induk. Target nomor wahid:
anaknya bahagia. Padahal yang membuat bahagia Atik ialah Teto. Jadi, Teto harus
diberikan pada Atik. Titik. ltu logikanya. Padahal Atik sudah bersuami. Jadi Teto
abang saja. Titik. Logis sederhana. Begitu logis sampai Bu Antana bingung sendiri.
Aku lantas tertawa kecil, sebetulnya karena bingung juga.
"Kenapa tertawa, Teto?"
''Ya Bu, karena aku pun tidak tahu apa yang harus kunasihatkan."
"Teto, Ibu ingin tahu. Tetapi sungguh, saya tidak berhak menanyakan itu. Hanya
kalau kau ikhlas, jawablah. Dulu, pernahkah kau menaruh hati pada anakku?"
''Ya. Tentu saja Bu. Apa Bu Tana belum tahu? Kepada siapa selain dia aku bisa
mendekat? Ibu tahu, aku orang yang tertutup, aku sadar itu. Dan aku sombong.
Bagiku sudah jelas, hanya Atik yang dapat menghidupi aku. Tetapi kecongkakankulah
yang salah, sehingga hidupku juga berantakan tanpa Atik.",
''Aah, kalau begitu anakku betul ketika itu."
"Bagaimana?"
"Ia yakin kau menaruh minat padanya. Tetapi kau tak kunjung muncul. Lalu bukan
hati, tetapi rasiolah yang datang."

160

"Itu kesalahanku. Dan selama ini aku telah mencari jalan untuk memperbaiki itu.
Tetapi sia-sia, sebab sudah terlambat. Kukira Bu, sekarang pun rasio harus berbicara."

"Itu kata seorang lelaki. Atik dan ... ya ... dan aku barangkali lain, lainlah
bahasanya. Ya ... ya ... kau benar dan jiwamu mulia, aku tahu. Seperti ayah-ibumu.
Tetapi Teto, sungguhkah begitu? Benarkah rasio yang menuntunmu selama ini?
Bukankah hati dan emosi yang menjadi jurumudi segalamu?"

Bu Antana benar, dan sungguh tajam pisau analisanya. Aku merasa seperti
terbaring di meja kamar bedah. Hanya dapat sumarah pasrah kepada kearifan sang
dokter bedah. Tetapi dokter bedah bekerja dengan komputer otaknya yang dingin
obyektip. Tidak dengan emosi. Bu Antana dalam soal Atik bukan dokter bedah yang
baik. Ia tetap seorang ibu, induk. Ibu yang baik hati, yang hanya merasa kasihan dan
ingin membelikan es lilin untuk anaknya.

Ruang tengah menyala dan tampak bayangan kepala berambut singa mewayang
pada gorden tuul jendela-jendela kaca.

''Atik sudah bangun," kata Bu Antana. Lalu berbisiklah ia: "Bagaimana,Teto.
Maukah kau jadi abang anakku Atik?"

Jendela dibuka dan Atik masih dalam dastemya muncul. Seperti sumber air artetis
di lereng Gunung Merapi yang tiba-tiba namun telah lama sebetulnya menunggu
pemerdekaannya, menceuatlah salam segarnya: "Haloooo Tetooo! Selamat pagi, Bu!"
Wajahnya cerah serba tertawa dengan gigi-gigi yang boleh dipamerkan. Rambutnya
tidak keruan seperti singa dan kulit putih leher dan dadanya menampakkan pipi-pipi
payudara montok yang kontras sekali melawan dastemya yang sangat merah darah.

"Selamat pagi Tik!" jawabku kurang spontan karena agak terpukau terus-terang
saja. Bu Antana bergumam: ''Anakku ini sering arif seperti nenek, tetapi sering masih
seperti anak kecil."

''Eeh, maaf," canda-sendaku, "Selamat pagi, Ibu Doktor maxim cum laude. "Ia
cemberut manja: "Sedang sidang apa pagi-pagi di situ kok seperti sedang pacaran,
hihihi!"

Bu Antana membuat gerak tangan seperti mengusir: "Ssst ... sana mandi dulu!
Keras-keras tetangga dengar semua."

Atik mengangguk mendagel dan tertawa renyah: "Iyaa Bu!"
Dan pergi. Masih sekali lagi ia menoleh. Tertawa.

''Ya, itulah anakku," kata Bu Antana. ''Tampak sekali bukan, bahwa ia menjadi
muda lagi? Terlalu muda."

"Karena lulus doktomya," sambutku tanpa ujung pangkal. Hanya untuk menjawab
asal menjawab sang naluri induk.

''Mari !'' dan Bu Antana berdiri. Aku pun juga. "Mau periksa persiapan makan
pagi." Dan ke samping padaku ia masih berbisik.

''Anggaplah rurnah ini rumahmu sendiri." Dan tersenyum ia masuk. Tak tahu aku
harus ke mana. Seandainya kejuruanku ada di bidang psikologi, pastilah aku akan
mudah mendapat bahan penelitian tentang psikologi hubungan ibu janda dan anak
perempuan tunggal.

161

Jelaslah sejelas-jelasnya, bahwa perkawinan Atik dengan Janakatamsi adalah
perkawinan model kuna. Kawin asal jangan jadi perawan tua. Atau: kawin karena
sepantasnyalah orang itu kawin. Atau: kawin karena membutuhkan bodyguard, Kali
ini rupa-rupanya: Kawin karena membutuhkan jongos dan pesuruh. Tidak! Aku jahat,
aku tidak adil terhadap Dik Jana. Dialah yang telah menyelamatkan Atik dari noda
perawan tua yang memalukan. Dialah yang menjaga Atik. secara terhormat dan
memberinya suatu sarang yang aman; yang memberinya status yang sepadan dan
memungkinkan buah-buah rahim Atik bertumbuh dengan tenang, pasti dan serba bisa
diandalkan. ltu pun sebentuk cinta. Bahkan itulah yang justru harus dominan dalam
cinta seorang lelaki. Untung apa bagi wanita kawin serba glamour dan romantis
dengan seorang Gatutkaca, tetapi bisanya cuma terbang ke tempat-tempat jauh dan
berkelahi di medan perang? Istri Gatutkaca mungkin bisa saja hidup dengan
Gatutkaca, tetapi ingat Pergiwa istrinya cuma gadis desa. Atik bukan gadis desa yang
serba nerima dan sumarah belaka. Atik adalah wanita tipe Keleting Kunig ngunggah-
unggah¹⁾ ia tidak gentar, dan itu hak setiap wanita. Dari pihak lain, Si Teto juga
bukan Ande-Ande Lumut.

Repot juga kalau Ki Dalang harus melakonkan hikayat kacau: Keleting Kuning
dan Gatutkaca. Mana bisa? Jadi sahabat sih boleh-boleh saja. Sejak dahulu selalu
begitu. Tetapi yang dimaksud di sini sahabat intim, jelaslah. ltu lain.

Sudahlah, tidak perlu segala persoalan harus diselesaikan hari ini. Aku menuju
lagi ke tepi jalan. Dari jauh datanglah dua mahasiswi tadi yang berlari-lari aerobik.
Nah, ketawaku dalam hati. Menyerah sajalah, tidak mungkin kau jadi langsing
semampai. Tanpa komputer aku sudah dapat memastikan hasilnya. Terengah-engah
mereka berhenti berlari. He heh?

"Sedang melihat apa, Pak'?" tanya seorang bernada nakal.
"Melihat kalian ini. Berapa kilometer tadi?"
"Ah ... hehe ... entah tadi ... berapa kali ... he ... he tadi heh ... heh. Lima kali he
heh ... lima kali putar ... he ... he
"Sulit ya nasib gadis itu. Harus selalu jaga kelangsingan."
Mereka tertawa megap-megap: "Huah ini heh heh ... Pe-Er²⁾ yang paling sulit heh ... "
Dan serba bersemangat masuklah mereka melalui pintu dapur. Sambil membuka
pintu, yang satu membisikkan sesuatu pada telinga kawannya. Omong apa mereka?

Pagi itu dengan sengaja aku selalu mendekat dan bereakap-eakap dengan Dik Jana,
(spontan dari awal mula dia adalah adik dan aku mas), sedangkan dua wanita, ibu dan
anak, atau lebih tepat nenek dan ibu, sibuk dengan berpakaian dan mengatur makan
pagi. Komplit dengan bunga di vaas dan lilin menyala di meja. Dan tentu saja roti,
mentega, keju dan segala perangkat upacara adat yang sudah jauh dari jiwa
revolusioner jaman gerilya.

¹⁾ Ngunggah-ngunggah = wanita melamar pria.
²⁾ PR = pekerjaan rumah (murid).

162

Kami berdua berdiri di muka jendela dan menikmati pemandangan anak-anak
generasi muda berlalu di jalan menuju sekolah. Banyak sekali anak-anak itu.

"Jadi apa kelak anak-anak ini,” keluh Dik Jana.
"Begitu tampan dan cantik-cantik mereka itu sekarang,” komentarku.
"Mereka pandai sekali bersolek dan berdandan,” kata iparku.
"Ini belum kelihatan, serba pakaian seragam. Tetapi itu pun sudah tampak. Luwes,
segar dan serba gembira. Tahu mengapa, Mas?"
''Ya, karena tidak mengalami jaman huru-hara seperti pada jaman kita dulu."
"ltu juga. Tetapi masih ada lagi. Pada hematku, karena mereka tidak banyak mau
berpikir tentang soal kemarin maupun hari depan. Entah apa yang akan dibawa kelak,
biarlah kelak saja dipikirkan. Itu menurut kata mahasiswi-mahasiswi yang
menumpang di pavilyun." Aku terdiam mendengar itu. Memang cantik dan manis
gadis-gadis pelajar itu. Dan yang laki-laki serba dinamis. Mereka tidak bersepeda
seperti di jaman kami dulu, tetapi berlomba-lomba siapa yang bisa maju paling pesat.
"Masih kanak-kanak wajah mereka."
"Juga kelakuan dan tingkat mereka," sambung Dik Jana. "Lihat itu, kedua
mahasiswi kita."
Dari samping kami lihat kedua pengaerobik tadi pagi, bergandengan erat seolah
takut saling kehilangan. Yang satu pendek tetapi penuh tubuhnya, sintal, tanpa dapat
dikatakan gemuk. Yang satu semampai kerempeng menurut ideal masa kini. Mereka
berhenti di pagar selokan. Rupa-rupanya menunggu datangnya Bang Becak.
Datanglah menderu seorang pemuda naik sepeda-motor trailer, dengan topi
admiral US Navy, baju terbuka separuh dan tampak kalung dan jimatnya. Di pinggang
belakang tampak beberapa buku tulis diselempitkan pada sabuk. Ia menoleh kepada
kedua mahasiswi itu dan tiba-tiba mengerem kuat-kuat sampai suara ciyeet
mengejutkan orang-orang di jalan. Lalu menderu membelok, melewati muda-mudi,
membalik lagi, dan berhenti menonggakkan kedua kakinya lebar-lebar seperti huruf V
terbalik, sambil mengklakson. Dua pemudi itu mundur spontan dan tangan-tangan
mereka membuat gerak jengkel yang memaki-maki pemuda itu. Pemuda itu hanya
tersenyum saja dan menawarkan sadel bagian belakangnya kepada yang semampai,
Tak ambil pusing rupa-rupanya kepada temannya yang agak berbadan Batari Durga
itu. Yang semampai solider dan Si Trailer disuruh pergi. Pemuda itu hanya menjawab
dengan oleng-oleng kepala serta kedua tangannya merentang. Agaknya memberi
isyarat, agar sudahlah, kedua-duanya boleh bonceng.
Spontan kedua pemudi itu berpaling separuh dan dari cara mereka membuka mulut
dan gerak tangannya, tampak mereka menolak mentah-mentah. Masih terdengar
sayup-sayup suara mereka terbawa angin: " ... dikira, apa," atau semacam itu. Pemuda
itu lalu lebih menderu-derukan mesin sepeda-motornya dan seperti dipelanting melaju
ke muka, langsung menukik dan kembali ke arah dati mana ia datang. Sambil
meninggalkan kepulan-kepulan debu.

163

Kedua gadis itu menutupi mulut dan hidungnya dengan saputangan, lalu
memanggil: "Becak!" Ternyata sudah dipesan. Si Becak masuk halaman salah satu
rumah. Kedua mahasiswi itu lalu pergi berjalan kaki saja. Tetapi sebentar lagi mereka
menoleh membalik dan berlari-lari cepat seolah berlomba, karena dari arah bdakang
datang becak. Tawar-menawar. Sementara itu pemuda bertrailer tadi datang menderu
lagi, tetapi sekarang derunya berganda, sebab ia membawa teman.

Dalam kepulan debu knalpot mereka menawarkan lagi jasa baik. Kedua pemudi itu
saling pandang-memandang dan barangkali musyawarah, apa sebaiknya yang harus
dilakukan. Bang Becak, entah jengkel entah berterima kasih, memakai kesempatan ltu
untuk pergi ke seberang jalan dan kencing pada pagar hidup tetangga muka. Rupa-
rupanya sulit mencari kompromi. Agaknya timbul soal siapa membonceng siapa.
Mahasiswi Betari Durga yang barangkali merasa hanya diobyek saja, lalu mencari
Bang Becak tadi yang tenang sedang memberi sesajen kepada danyang-danyang pagar
hidup. Teman baru tadi menghentikan mesinnya, memasang standar dan pelan serta
tenang membersihkan kaca spionnya dengan nafas dari mulut dan sapu-tangannya.

Akhirnya toh keputusan ada pada solidaritas rekan, dan kedua gadis itu mulai
masuk becak. Yang punya inisiatif "pengabdian. masyarakat" tadi omong sebentar
dengan kawannya yang dimobilisasi percuma. Lalu mereka meletuskan segala
kebisingan yang tersedia dan menghilang, sambil meninggalkan awan debu penuh
bakteri-bakteri tifus dan tetanus. Bang Becak naik singgasana, dan pelan-pelan
menghilanglah mereka ke arah karir, menuju kejayaan doktor maxima cum laude.

"Kita lahir terlalu pagi;' kata Dik Jana.
“Apa maksudmu?" Aku heran ia berkata "senakal" itu.
"Dulu belum ada sepeda-motor."
''Tetapi mereka tidak bakal punya kesempatan mengalami perang,” komentarku
sinis.
"0, perang berebutan pacar lebih sengit pertempurannya." Dia omong begitu,
sengaja atau spontankah, tanyaku dalam batin. Orang Jawa pandai menusuk dengan
jarum, seperti dokter-dokter Cina. Tetapi dokter-dokter Cina menusuk untuk
menyembuhkan, tetapi orang Jawa untuk menyakiti. Sekali lagi aku sadar kembali,
betapa buruk tabiatku. Selalu saja aku merasa tersinggung. Di mana-mana takut ada
gerilyawan yang menembak dari belakang.
"Dik Jana dulu di tahun-tahun antara 45 - 49 di mana?" (aku tidak berani menyebut
istilah clash atau aksi polisionil. Nettal saja: tahun-tahun antara ini dan itu. Rasa
minderku belum hilang).
“Aku di Palang Merah." (Ah pantas saja).
"Palang Merah?"
''Ya, kepada Mas Teto aku jujur berterus-terang. Aku tak suka berjuang dengan
senjata. Entah, barangkali karena kami bertradisi dokter." (Ini lagi).
"Di Palang Merah dulu ada perang pacar apa tidak?" Aku mencoba melawak
sedikit, hanya agar tidak berkesempatan berpikir yang jelek-jelek.

164

''Ya, sulit sebetulnya: dulu ada tahayul antara para gerilyawan. Siapa yang pacaran
di front, pasti terkena peluru musuh.

"Aku, belum pernah dengar semacam itu."
''Ya, sungguh. Akibatnya, pemuda-pemuda gerilyawan pada takut main-main seks
dan sebagainya itu. Tahayul memang, tetapi tahayul berguna. Di pihak Belanda
bagaimana?"
''Ya, mau minta apa lagi. Tentara sewaan."
"Belanda itu tolol. Seandainya mereka agak mau mengalah sedikit, negara kita
masih commonwealth atau berstatus dominion."
''Ya, goblog. Termasuk aku juga,” jawabku tajam.
"Oh, maaf, bukan itu yang saya maksudkan."
"Tidak apa-apa."
"Mas Seta, ayah dan kami semua sangat menghargai Mas Seta. Ayah selalu
berkata kepadaku: Mas Seta bagaikan Karna. Walaupun berperang di pihak Kurawa,
tetapi saudara seibu dengan Pendawa. Dan Karna ksatria yang besar. Sampai Arjuna
pun gentar menghadapinya. Hanya karena perintah tanpa ampun dari Raja Sri
Kresnalah, artinya dari Nasib, Arjuna terpaksa melawan Karna."
''Terima kasih, Dik. Tetapi nasib Karna tragis."
"Mas Seta sudah lama kuanggap kakakku."
Aku sangat malu tadi punya pikiran-pikiran jelek terhadap suami Atik yang
budiman ini. ltulah senjata paling ampuh dari orang Jawa: mengalah. Menang tanpa
membawahkan? Membunuh tanpa mencabut nyawa? Terasa, betapa asing diriku, jauh
dati manusia-manusia di negeri ini. Aku merasa diikat dengan benang sutera, diganja
dengan arum-manis, dipeluk oleh labah-labah betina yang merayu minta disetubuhi,
lalu jantan dimakan.
Sekilat godaan iblis membisik, agar aku minggat saja dari dunia serba halus ini.
Tetapi Atik, aku jahat melambangkan Dik Jana dengan labah-labah betina. Lebih
jahat lagi, kalau yang kumaksud itu Atik. Aku terkejut karena sadar, aku semakin
merasa minder.
"Mas Seta hari ini punya acara apa?"
"Saya? Ya, acara ada, tetapi ... "
Atik menyanyi: "Hallo, Abang-abang sayang. Kita makan pagi. Tidak cepat, tidak
dapat."
Spontan kami menoleh bersama-sama. Dari ruang makan kami melihat Atik
dengan tangan terbentang dan senyum, melulu, mata bersinar. Gaun berwarna coklat
susu dan sanggul model Yunani. Wanita yang masih vital, pikirku sambil memandang
dadanya yang membusung sehat. Jangan bersandiwara, begitu aku memperingatkan
diriku. Yang biasa saja. Bu Antana menongol dari belakang dan ramah mengajak.
"Silakan mulai dulu. Hei, itu keran kamar-mandi kau lupa menutup ya, Tik!"
"Ooh maaf, lupa."

165

Dik Jana mengerdipkan mata kepadaku: "Begitu kok doktor maxima cum laude.
Lalu untuk apa gelar doktormu itu, Tik!" godanya.

"ltu tidak ada sangkut-pautnya, Sayang. (Sayang, ia menyebut suaminya Sayang)
Ayo, Mas Teto (ia menyebutku selalu dengan mas) mulai. Oh ya, maaf, stop, nanti
dulu."

Atik berdiri lagi dan mengambil dua gelas berisi sari jeruk.
"Hampir saja aku lupa." Gelas yang pertama ia letakkan pada sisi piringku. "lni untuk,
Mas Teto." Baru: "Ini untuk sayang-disayang." Dan tertawalah ia. Lalu mengerdipkan
satu mata ke arahku sambil berkata: "Kalau suamiku tidak disebut sayang, ia selalu
marah. Seluruh hari hanya bermuram saja tak bisa kerja apa-apa."

"Ah, siapa bilang," protes suarninya. "ltu hanya show saja kalau ada tamu."
"Hei, hei, Mas Teto bukan tamu. Mas Teto, kau merasa di sini sebagai tamu? Awas
kalau bilang ya."
Aku tertawa dan memang dari hati aku tertawa: "Dik Jana sudah membiasakan diri
tentunya punya istri yang begitu fasis."
Memang! Nah, Tik, apa katamu? Kau dengar sendiri dari Mas Teto."
''Aduh, sekarang Jon merasa mendapat sekutu, ya. Beginilah Mas Teto, sebelum
kau datang, dia selalu pihak minoritas, satu pria melawan dua. Sekarang sudah
seimbang; dua lawan dua. Hei, 1bu! Mari lekas, Atikmu kau bela dong. Ia diserang.
Ayo, Bu."
''Ya ... sebentar. 1ni keran kok tidak bisa tutup."
"Mari,” dan aku berdiri menuju kamar-mandi yang langsung berhubungan dengan
kamar-tidur.
"Heh!" seru Atik. "Dilarang keras masuk kamar wanita!" Aku terkejut berhenti.
Atik tertawa tergial-gial.
"Nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Silakan. Memang sudah tiga hari begitu. Giman
tolol, tidak pernah mendengarkan. Disuruh memperbaiki hanya omong inggih¹⁾,
inggih. Ah, nggak kepanggih²⁾."
''Mana Bu?" Kucoba kerannya. "Harus pelan-pelan, Bu. Sebab memang sudah
dol." Kuputar pelan-pelan sekali. "Nah cukup begini saja. Kalau diteruskan malahan
kembali dol lagi."
Arus masih ada tetapi hanya sekecil lidi. Atik berkecak-pinggang dan tertawa:
"lbu, Mas Teto ini kita kontrak saja sebagai tukang bikin betul kran bocor, genting
bocor, selokan meluap. Setuju? Mau ya, Mas Teto?" (Ingin kupijat hidungnya, tetapi
untung aku masih sanggup mengekang diri).
''Ya, tergantung berapa gajinya."

¹⁾ Ya.
²⁾ Ketemu.

166

"Beres deh. Mari Bu, Ibu duduk di sini saja. Aku di sini. Tidak enak memandang
tamu dari samping. Kalau Jon Sayang sih setiap hari sudah dapat dilihat, ya Sayang."

Dik Jana ternyata tukang makan yang lahap lezat melalap rotinya. Ia sibuk
mengambil roti, menyemirkan mentega dan serba konsentrasi mengambil lapisan-
lapisan daging.

“Apa katamu, Tik?"
“Ah, kau ini kalau sudah makan tidak dengar apa-apa yang lain. Ya, begini inilah
Mas Teto, suamiku. Pantas saja negeri ini banyak yang menderita kelaparan. Begitu
asyik makannya." Bu Antana menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah apa maksud-
nya. Kubela Dik Jana.
"Jangan dengarkan istrimu, Dik Jon. Sejak du memang begitu. Hanya meledek
saja." Aku ingin mengambil seiris roti, tetapi tanganku dipegang Atik.
"Tunggu." Ada apa ini? Irisan roti ia ambil dan ia mulai menyemirnya dengan
mentega, sambil memandang jenaka (atau birahi?) kepadaku. "Tamu kita harus diberi
service top-class. Pilih mana: Ini? Ini? Yang ada saja. Yang tidak ada jangan dipilih.
Ini?"
"Ya, itu saja," jawabku ngawur, sebab aku tidak terbiasa dimanja begitu.
"Satu? Dua? Atau tiga? Tiga iris untuk orang laki-laki pantas. Nah,
selamatmakan."
Bu Antana dari sudut matanya mencuri pandangan ke arah puterinya. Lalu
menundukkan kelopak matanya.
"Ibu, kopinya." Kulihat Bu Antana memberi isyarat-isyarat dengan kernyitan
alisnya ke arah Dik Jana. "0 ya, Mas Jon. Kau kopi atau teh? Teh saja. Dokter sudah
menasihatkan jangan terlalu banyak kopi. Aneh ya, Mas Teto. Kalau orang biasa,
minum kopi jadi segar. Kalau Mas Jon ini bahkan sebaliknya. Jadi-tegang. Oh kok
begini bening tehnya. Memalukan. Siapa ini tadi yang membuat."
"Saya yang salah, Tik. Sini saya ganti."
Dik Jon protes: "0-0-0 tidak perlu, jangan Bu. Ibu duduk saja, dan makan tenang.
Kau juga makan, Atik sayang."
"Saya cukup sari jeruk ini dan secuwil keju."
Cepat kuambil cawan keju, dan mengiris untuk Atik.
Berapa? Satu iris? Dua iris? Sekarang saya yang memanja," kataku spontan, entah
ilham dari mana.
Atik tersenyum bercahaya. Matanya tiba-tiba terkena pandangan ibunya, lalu
membalik ke sebelah lain.
"Mas Jon, lagi rotinya?" Suaminya dengan mulut mengunyah hanya geleng-kepala,
mengambil cangkirnya, pelan-pelan diminumnya teh bening tadi. Ibunya mengangkat
teko teh dan mengisi lagi cangkir yang diacungkan oleh Dik Jana.

167

“Nah, hari ini acara apa?" tanya Atik sambil pelan-pelan menggigit cuilan kejunya.
Suaminya menengadahkan kedua telapak tangannya setinggi bahunya, tanda: terserah
kalian. Aku hanya abdi.

"Mas Teto, kami hari ini wajib mengunjungi Rektor Universitas untuk berterima
kasih atas partisipasinya. Lalu ke Hotel, juga untuk berterima kasih kepada Prof
Chauvigney dan mengantarkannya ke lapangan terbang. Jam berapa pesawatnya
berangkat, Sayang? Jam 13.00 kita harus makan siang dengannya. Lalu Mas Teto
bagaimana? 1bu makan siang dengan kami?"

''Jangan repot-repot," tangkisku. Sungguh aku tidak berniat menambah seorang
kenalan lagi yang toh tidak akan ada sangkut-pautnya dengan kehidupanku. "Silakan
menunaikan program kalian. Aku dapat pergi ke tempat lain yang sudah lama ingin
aku kunjungi."

"Ke mana?"
"Ke bekas istana Soekarno dulu." Mereka terperanjat. Apa-apaan ini. Atik
menggeleng-gelengkan kepalanya serba prihatin.
“Ada apa, Mas? Masa lampau jangan kau orek-orek lagi."
"Ya, bagaimana kukatakan? Bagimu itu masa lampau."
"Nostalgia?" tanya Bu Antana. "Hati-hati dengan nostalgia."
"Bukan itu," tangkisku. Atik memandang kepada suaminya. ''Jam berapa kita harus
menghadap Pak Rektor?"
"Kan kau sendiri Sayang, yang lebih tahu dariku."
“Jam sepuluh;' sahut ibunya. ''Aku mendengar kau kemarin berkencan dengan
beliau: jam sepuluh."
''Ya, jam sepuluh," kata suaminya menggaris-bawahi.
"Kau ini ... (dan nada Atik tampak gusar seperti menuduh) cuma bisa
membonceng."
''Atik,'' kataku, "jangan kau keras-keras pada suamimu."
"Habis, memang begitu,” tumpang Atik lebih sengit Iagi. (Drama! batinku.
Drama.) Bu Antana memandangku dengan ekspresi permohonan. Aku menunduk.
Kalau begini terus, keluarga ini berantakan, pikirku, hanya karena aku hadir di sini.
Ya Allah, harus bagaimana aku.
"Mas Teto ingin jam berapa ke istana?"
"Ingin sih ingin. Tetapi apa diijinkan, itulah soal juga,” kataku dengan sasaran
samping, agar kedua suami-istri itu tidak ditambam persoalan.
"Garnpang!" kata Larasati Si Pendekar Panas Mahabharata. "Nanti saya yang
maju. Jam sepuluh? Sekarang sudah jam delapan. Kita harus punya reserve waktu.
Dua jam siapa tahu kurang. Orang sedang berpariwisata, biasanya tidak tahu, jam
sudah lari tidak terkendalikan. Rektor harus menunggu kita. Mas Jon, Sayang. Tolong
telepon, barangkali kita boleh datang jam setengah sebelas."

168

"Baik," dan suaminya langsung berdiri. "Nomor teleponnya berapa?"

"Di kartu catatan ada."

"0kay."

"Hei, Mas Teto. Tambah lagi rotinya. Masakan hanya tiga iris. Ayo dong." Dan

tanpa menunggu acc-ku, langsung ia mengambil seiris lagi mau menyemirnya.

"Stop," kataku tegas. "Saya pagi-pagi biasanya tidak makan banyak."
“Sungguh tidak lagi?" masih juga ia menawar.

"Tidak," kataku tegas. "Terseralah kalau mau kaumakan sendiri," kataku agak

kasar. "Tetapi aku tidak." Dan kuminum kopi. Atik tersenyum padaku, lagi itu pijar-

pijar matanya yang manja , atau bangga atau ... birahi ? Matanya kutatap nanap. Ia

mengalah dan memandang kepada ibunya sambil berbisik.

"Mas Sinyo ini masih tegas seperti dulu." Senafas kebanggaan terdengar dari

bisikannya itu. Ibunya hanya diam dan memandang kepada anaknya, kepadaku, dan

menunduk. "Tetap masih kepala batu dia," dan tertawalah Atik riang seperti anak

kecil melihat badut.

"Sama-sama," balasku. Atik lebih tertawa lagi.
Ibunya menyentuh tangannya. "Kedengaran di telefon,” Pura-pura Atik terkejut,

mulutnya ditutup dengan kepal kecilnya yang memegang pisau roti. Geli dikulum.

"Okay, beres!" begitu laporan suaminya sambil duduk kembali santai bersandar ke

belakang seperti seorang Sultan yang kenyang. ''Jam setengah sebelas. Bahkan jam

sebelas juga boleh, kata Rektor. Asal jangan sarnpai jam sebelas malam, begitu

pesannya."

''Aku sudah mengira, pasti ia mau. Orang baik."

"Jadi," ejekku "orang baik ialah orang yang mengiyakan selalu pendapatmu.

Begitu definisinya, Tik?"

"Heh? Dah, sayang kau tidak tergolong profesor penyanggah kemarin. Gelegapan

aku pasti. Bagaimana, Bu? Jawaban pertanyaan itu'?" Ibunya melirik kepada anaknya.

"Kok aku. Kau yang harus menjawab." Atik melihat kepada suaminya, "Bagaimana

kau, Mas Jon?" '

"Lho, kok aku. Kau yang harus menjawab." Meledaklah ketawa kami berempat.

Jenaka dan manja matanya disipitkan dan Atik mengintaiku dari sela-sela kelopak

mata. "Definisi keliru."

"Jadi kau keliru, Tik?"
“Definisinya yang keliru. Aku belum tentu."

Dengan tertawa kemenangan aku berkata kepada ibunya "Bu, lihat apa tidak?

Kepala batu. Dari dulu."

"Kau yang kepala batu."
"Hei-hei, kok seperti anak kecil,” seru Bu Antana sambil tertawa.

169

"Memang anak kecil,” sela suaminya. Kami terkejut juga mendengar keberanian Si
Jana ini. Seperti ular kobra yang diserang tegaklah kepala Atik. Lehernya memanjang
dan dengan kepala oleng ia memandang dari sudut matanya sambil melengos ke arah
suaminya. Melengos menghina? Melengos manja? Melengos sayang? Entahlah. Ingin
ia mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba memutuskan untuk bungkam saja. Kuiriskan
lagi secuil keju. Dan walaupun tangannya protes, keju itu kuletakkan di atas
piringnya. la melihat kepada cuilan keju itu, melihat padaku lalu tertawa kecil.

"Kalau tidak kumakan, katanya aku kepala batu. Kalau kumakan, aku tambah
gemuk satu kilo. Pilih mana, Bu?"

"Kok aku. Kau yang harus memilih."
''Bagaimana, Mas Jon? … Saya sudah tahu jawabmu: lho kok aku, kau yang harus
memilih." (Suaminya memandangku seperti minta tolong). Cuilan diletakkan pada
piring suaminya:
"Kau saja yang memakan, Sayang. Lebih baik kepala batu tetapi lebih ringan satu
kilo".
Suaminya memandang kepada istrinya, kepadaku lalu bernafas panjang. Ia
mengangkat kedua tangannya selaku tanda "Apa boleh buat"; lalu memakan cuilan
keju itu.

170

21. Istana Perjuangan

Mas Seta, aku sungguh senang Mas Seta datang. Selama ini aku tldak pernah tahu,
ke mana aku harus pergi kalau ingin minta nasihat. Ya, terus-terang ini mengenai
istriku."

Aku sungguh terkejut dan dari samping memandang Jana, yang hanya menyeka-
nyeka setir mobil dan memandang lurns ke muka.

"Aku bukan penasihat yang baik," kataku, jelas khawatir lebih ruwet lagi
terperangkap dalam suatu persoalan intim yang hanya membingungkan diriku yang
sudah serba bingung ini.

''Ah, aku tahu Mas Seta. Tetapi dari apa yang aku dengar dari Bu Antana dan dari
Atik sendiri aku sudah lama tahu: Mas Seta dapat aku andalkan sebagai abang yang
baik. Dan sejak kita saling berjumpa kemarin, Mas, aku punya intuisi, ya walaupun
intuisi lelaki biasanya tumpul, tetapi aku yakin, hanya Mas Seta yang dapat menolong
kami berdua."

"Kami berdua? Kulihat antara Adik dan Atik tidak ada apa-apa."
''Ya, memang tampaknya demikian. Tetapi sebenarnya saya tahu, tidak begitulah.
Atau lebih tepat: BELUM begitulah. Kami sudah beranak tiga, tetapi kok rasanya
kami ini seolah belum pernah menikah."
"Tidak apa-apa, Dik Jon. Biasa itu. Dalam perkawinan selalu ada up and down-
nya." Aku jengkel sendiri dengan diriku. Nasihat umum basa-basi usang yang banyak
kata tetapi kosong. Sebetulnya aku jengkel juga dengan bekas Palang Merah di
sampingku ini yang tidak berani (tidak mau, bukan, tidak berani) memegang senjata
seperti lelaki normal. Ah, celaka memang bisa kubayangkan bagi Atik, punya suami
begini ini.
''Ah, Mas Seta harus tahu. Aku anak sulung. Dan tidak pernah mempunyai seorang
abang yang dapat kunikmati pertolongan atau nasihatnya. Selalu aku harus mencari
sendiri, bergulat sendiri dan setiap kali salah dan dimarahi ayah: Kau harus memberi
teladan, kau harus mengalah, kau harus ini-itu; hanya karena aku anak sulung.
Memang aku bukan tipe manusia yang jagoan, tetapi apakah itu salah?"
"Tentu tidak ... ," jawabku, yang jelas samasekali tidak menjawab soal. Ingin orang
lelaki di sampingku ini kukocok dan kusepak agar kejantanannya melotot ke luar dari
kepompongnya.
''Ya ... Atik memang bukan orang yang gampang."
"Nah, justru itulah Mas Seta, aku sering tidak tahu, harus bagaimana ia kutanggapi.
Seringkali, begini salah, begitu keliru. Padahal ya, walaupun saya ini orang tidak
tanpa kekeliruan, segala-galanya sudah kuusahakan agar membuat hidupnya senang."
Aku sudah tidak mendengar lagi apa yang dikatakan udang yang tidak punya kulit
panser itu. Kulihat Atik sedang asyik berdiplomasi dengan perwira penjagaan istana
yang kini disebut "Gedung Negara" itu. Aku sendiri tidak tahu, mengapa aku justru
ingin kemari.

171

Sentimentil sebetulnya, dan demi mengabdi kesentimentilan banci ini Atik mati-
matian berdiplomasi dengan militer-militer itu. Kulihat piket penjagaan mengangguk-
angguk tersenyum. Pasti kalah dengan rayuan Larasati, kupikir geli. Bagaimana
seandainya Guru Srikandi itu agen sabotase musuh yang datang dengan mission
mencuri dokumen-dokumen istana republik ini? Bangun dong, Teto! 1ni bukan lagi
istana presiden RI jaman kau berpetualang dengan Kolonel van Langen di atas jip
masuk istana 19 Desember 1948 dulu itu.

Dengan wajah yang berseri-seri kemenangan (Atik selalu menang, kecuali dalam
soal perkawinan, pikirku getir) ia mendekati jendela mobilku.

"Good! Ayo Mas Jon, terus ke depan itu." Aku keluar mobil dan membukakan
pintu bagi Atik. "Perttwa musuh yang gallant," ejek Atik sambil memperlihatkan
rangkaian gigi-gigi yang cemerlang. Ketika ia menunduk masuk mobil di belakang,
tampak bergayut kedua payudaranya yang manis montok dan putih. Sambil
menundukkan diri lagi di samping Jana, aku berkata padanya: "Istrimu diplomat
ulung, Dik Jana."

Keluar dari mobil angin sepoi-sepoi yang menyegarkan menari lagi. Angin
kemerdekaan, gumamku dalam hati. Kami tidak terus ke bagian tengah serambi, di
mana menurut Atik, dulu Bung Karno, Bung Hatta dan lain-lain selalu berdiri untuk
menaikkan bendera Merah Putih.

"Mas, Mas Teto, di sini dulu aku berdiri." Ia menarik lenganku dan naik tangga
emperan muka istana dari marmer itu. ''Di sini."

Dan ia menunjukkan sudut paling belakang. Ia tertawa renyah: ''Ya, di sudut ini.
Paling belakang, seorang gadis desa dengan dua ekor kepang rambut, rok dril putih
yang kaku dikanji, tanpa bentuk deh. Tapi dril itu enak, tidak panas seperti bahan
nylon jaman sekarang. Dan di sampingku, seorang ajudan Menteri Luar Negeri. Ah
ya, bukan ajudan sebetulnya, tetapi hanya kacung pembawa map-map belaka, tetapi
aduhai tukang perayu. Mas Jon kan kenal dia?"

''Dirut proyek perkayuan Kalimantan yang baru diperiksa perkaranya itu?"
"Perkaranya? Perkara-perkara. Plural. Termasuk petualangan-petualangan dengan
perempuan macam-macam."
''Termasuk Larasati Antana, kusela meledek. Atik memandangku genit seolah-olah
tersinggung dan berkata: “Ah, gadis umur tujuhbelas tahu apa tentang asmara dulu itu.
Kami sudah cepat dewasa. Tetapi nota bene hanya dalam soal kerja. Tetapi pacaran
seperti sekarang ini? Mustahil," katanya dengan tangan seperti ahli orator memenggal
leher lawan. Aku ingin menolong suaminya: "Lalu dik Jana di mana dulu berdiri?"
"Tanya saja pada istriku itu. Dia selalu mengejekku tentang itu." Istrinya tertawa
padaku dan dengan nada yang sebenarnya sedikit sadis, ia berkata sambil menunjuk
pada pagar muka istana jauh di sana di tepi Jalan Malioboro.

172

"Di saa ... na."
''Bersama rakyat!" tangkis suaminya. Aku tak dapat menahan ketawaku. Oah
kasihan kau Jon. Begitu kaku kau membela diri. Ayo dong, jangan takut begitu.
Istrimu harus kau lawan. Jangan kau gendong terus-menerus. Malah dia lari nanti.
Seperti anak yang mulai besar menjadi jengkel kalau terus-menerus digendong dan
diciumi.
''Nah, Tik. Suamimu tersayang bersama rakyat di sana. Kau bersama para agung
dan kuasa. Mana semangat gerilyamu?" Tetapi Atik sudah tidak mau mendengarkan.
"Nah, sekarang Mas Teto. Di mana kau?"
"Aku?" Aku ekstra sengaja merangkul Dik Jon dan berkata:
"Mari Dik, akan kutunjukkan." Dan berangkulan kami turun tangga-tangga marmer
itu, melangkah beberapa meter lagi ke suatu titik di atas aspal yang jelas sudah sangat
diperbaiki itu. Ketika kami berhenti dan aku menoleh, Atik masih di atas tangga yang
teratas.
"Ke sini."
"Nggak. Panas."
“Ah, tidak perlu takut jadi hitam kulitmu. (Pada suaminya) Nah ini dik Jon, kamu
diplomasi itu selalu begitu: takut panas. (Aku menunjuk suatu lokasi di atas rumput)
Nah, di sini aku berdiri. Bawa bedil Thompson: Begini barangkali." Aku berdiri
seperti acuh tak acuh tetapi sombong berkecak pinggang. Seolah moncong Thompson
menodong. Nah, di sana jip Kolonel van Langen. Di belakangnya masih ada jip lagi
yang kosong. Lalu mereka masuk. Aku naik tangga juga. Berhenti di dekat pilar ini.
Begini (kulihat Atik dengan mata lebar terpukau pada gerak-gerikku yang memang
aku sadar, jantan gagah). Lalu mereka datang. Soekarno dan Hatta dan Syahrir dan
Haji Agus Salim dan ya ... mereka mendongak begini, tersenyum. Apa lagi Soekarno,
nah tegak penuh harga-diri, merasa safe dan seolah-olah merekalah yang jaya. Tetapi
historis ternyata akhirnya juga begitu."
"Syahrir bagaimana?"
"Syahrir? Oh, dia seperti Hatta. Berjalan biasa. Seperti mau cari orang jualan es
putar di jalan saja. Seolah mengejek. Sungguh menjengkelkan. Ya, dan ... (aku
memandang kepada Dik Jana), sungguh Dik Jon, ketika itu aku benar-benar ingin
bertanya pada Syahrir: Tuan, di mana Larasati? Tetapi nyatanya aku hanya bungkam
saja dan ya, selanjutnya aku hanya ingat, mereka pergi ke Meguwo, entah, dan aku
hanya terpaku di bawah tangga ini. Bukan. Bukan di sini (aku turon lagi darl marmer
ke rumput hijau) Aku di sini. Dan aku masih ingat, aku jengkel memetik sebatang
rumput jarum, lalu aku kunyah-kunyah. Detail-detail kecil begitu malah aku ingat.
Ya, begitulah pengalaman pihak pengkhianat bangsa."
Jana mendekati aku dari samping dan ia bergumam padaku:
"Mas Seta, kami tidak pernah menganggap kau begitu. Kami tahu segala sebab
mengapa kau begitu. Mas Seta jujur. Ini yang kami hitung."

173

“Ah tidak, Dik Jon. Aku tahu, tidak seindah itu kenyataannya. Aku tidak perlu
dikasihani. Orang lelaki, kalau ia sejati, tidak pernah suka dikasihani."

"Ah, bukan itu maksudku."
Aku pergi ke samping, mencari tempat bayangan yang agak teduh.
"Mas Teto ke mana?" kudengar dari tangga teratas.
"Cari yang sejuk."
''Naik ke sini saja."
"Tidak." Dan tumpul perasaan tidak gallant aku hanya menunjuk ke samping. Di
tangga samping itu sejuk karena agak terlindung oleh suatu lengkungan besar yang
menjadi kulis samping emperan muka yang monumental itu. Jana mengikutiku seperti
anjing yang setia. Atik dengan langkah-langkahnya yang cepat segera juga menuju
tempatku. Aku terus menuju ke padang hijau di samping istana dan langsung duduk di
rumput. Atik juga meniru langsung. Suaminya datang dan juga duduk di rumput. Aku
memandang ke dedaunan pohon-pohon yang rindang itu.
"Ada burung kipas!" seru Atik, yang juga melihat ke dahan-dahan pohon itu.
"Mana?" tanyaku dan tanya suaminya pas bersama-sama.
"Tidak lihat,” kataku.
"Aku juga tidak lihat,” kata Dik Jana.
"ltu. Yang coklat itu."
''Mana? Memang aku bukan ahli burung, bagaimana bisa lihat binatang coklat pada
dahan yang serba coklat dan banyak daunnya."
''Lihat ekomya! Itu yang berpelisir putih itu. Membias-merapat lagi, membias-
merapat lagi, sudah lihat atau belum? Itu yang gesit dan ramai bergerak seperti anak
perempuan usil di kelas."
"Oh ya, aku juga melihatnya.
''Di mana?" tanya suaminya.
"Pokoknya kalau melihat sesuatu yang bergerak kenes dan meloncat-loncat gesit,
luwes serba elok, itulah dia. Ekornya, lebih-lebih ekornya memperlihatkan kenesnya
dan genitnya
Seperti Atik:' gumamku setengah tidak bisa didengar. Tetapi Atik telah
mendengamya.
''Apa? Awas kau,Mas Teto." Dan genit ia melirik kepadaku.
"Nah, betul kau Dik Jon. Persis burung apa itu tadi?"
"Burung kipas,” sambung Dik Jana. "Memang kenes, ya sekarang aku sudah
melihatnya. Ya, memang genit."
"Seperti siapa, Jon?"
"Tahu sendirilah,” sambil memusatkan matanya kepada si burung kipas itu. Tiba-
tiba Atik memegang tanganku dan menunjuk dengan jari telunjuknya mengarah ke
atas.

174

''Dengar tidak? Heran, kok masih ada yang hidup di sini mereka? Dengar?"
"Dengar apa?"
"Itu: Ci-po. Ci-nya panjang bernada tinggi, lalu po-nya seperti jatuh: po. Ciii-po
ciii-po· Lucu ya?"
Aku tertawa juga. Yang memang lucu. Cii-po cii-po·
"Namanya apa? Cipoa¹⁾?" tanyaku melawak.
"Uh cipoa, kau itu cuma memikirkan komputer saja. Namanya mudah saja: burung
cipo atau cito. Aegithina tiphia."
"Nama Latin sinting. Kan lebih bagus tadi itu? Cii-po, cii-po. Apa gerangan
artinya?"
"ltu penjaja dari kaum burung,” kata Jana. "Kuacii-bakpao, kuaciii - bakpao."
Kami tertawa semua. Nah, begitulah! Kubatin: hidup sedikit kau Jon. Seorang
suami harus sering bisa membuat istri tertawa.
Atik diam dan mendengarkan suara-suara burung. Ia sedang bergumul dalam
wilayah dunianya. Suaminya ikut melihat ke dedaunan mengikuti istrinya. Orang ini
tidak ketolongan, batinku, selamanya ia akan menjadi kaum Palang Merah di garis
belakang. Tetapi bukankah kaum Palang Merah, walaupun tak membawa senjata apa
pun adalah para pecinta sejati dari Kehidupan? Suami semacam inilah sebetulnya
cocok untuk seorang pecinta alam seperti Atik. Hanya mereka belum menemukan
kesejatian diri masing-masing, walaupun Atik ahli dan fasih tentang kesejatian diri
dan citra bahasa dan lain-lain kata falsafah hebat. Hidup harus dihayati praktis, dan
tidak hanya diteorikan. Tetapi bukankah penghambat utamanya dalam penemuan
jatidiri mereka, dan Atik terutama, sebetulnya justru citra pesona Si Setadewa, aku
sendiri? Si jantan ideal, artinya dalam arti romantika, Sang Gatutkaca yang gagah
hebat, tetapi selalu terbang dan tetap tak pernah terjangkau? Semacam fatamorgana
yang hidup penuh himbauan-himbauan indah, tetapi sebenarnya hanya bayangan-
bayangan cermin keinginan-keinginan situasi yang dianggap kurang memuaskan?
Aku sadar, bahwa aku Setadewa sebenarnya adalah agresor, adalah KNIL, Dr. Beel
dan Spoor, yang pada tanggal 19 Desember menyerang Yogyakarta untuk mengejar-
ngejar fatamorgana yang fatal dan yang akhirnya membuat jiwa Kapitein Seta patah.
Yang dulu disangka pemotongan keruwetan gordian Iskandar Agung, ternyata
berakhir dengan tragedi bunuh diri Spoor dan likuidasi KNIL.
Aku, Setadewa seharusnya sudah lama menarik hikmah pelajaran yang fatal itu.
Mengapa aku di sini sekali lagi menjadi agresor kebahagiaan keluarga Janakatamsi?
Jikalau Bu Antana bereaksi normal sebagai induk yang hanya memikirkan
kebahagiaan anak tunggalnya secara jangka pendek, seperti selalu dikerjakan oleh
naluri wanita yang mahir mencari jalan-jalan ke luar yang efisien dalam jangka
pendek, maka aku sebagai lelaki harus menyumbang pelengkapnya, yakni bertindak
dalam prospek jangka lama. Perang tidak pernah merupakan tujuan dalam diri sendiri,
Tidak ada nasion yang berperang demi berperang. Perang adalah sebentuk
perpanjangan diplomasi dengan cara-cara yang lain.

¹⁾ Alat hitung Cina tradisional.

175

Selaku orang militer atau menejer perusahaan, sama saja, aku seharusnya sudah
tahu bahwa persoalannya bukanlah menang taktis belaka melalui suatu pertempuran
dengan biaya apapun, tetapi memenangkan peperangan sebagai keseluruhan secara
strategis. Jika permainan segi tiga ini diterus-teruskan memanglah taktis Bu Antana
dan Atik menang. Dan pasti aku sekali saat akan kalah dan tidur dalam rangkulan
kewanitaan Larasati yang vital seperti hutan tropika dan yang mendamba dan
mendamba kejantanan gelora alam yang mengguntur dalam awan-awan dan yang
menjanjikan hujan muson khatulistiwa ..

Tetapi jikalau itu terjadi, pastilah Larasati dan Janakatamsi dan juga Bu Antana
serta ketiga anak terkasih tak bersalah itu akan hancur berantakan dalam suatu
kekalahan strategis. Bagaikan suatu perang nuklir, yang tidak lagi mengenal pihak
pemenang, karena semua pihak akan kalah. Dan kehancuran seperti itu sama dengan
bunuh-diri. Aku tidak akan bunuh-diri. Kejantanan justru menghendaki hidup-diri.
Apalagi kewanitaan, rahim yang dari bahasa citranya sudah memiliki bentuk ingin
menerima, ingin dibuahi demi kehidupan. Dan tidak minta untuk dilukai belaka.
Dapatkah semua itu kusadarkan kepada Atik? Tetapi terutama kepada diriku dulu,
Setadewa? Kalau Seta cinta pada Atik, ia akan menginginkan pangkuan Atik bukan
sebagai lubang luka-Iuka, melainkan gua kehidupan. Memang benarlah bentuknya
sama, dua Citra itu. Tetapi kualitas dan makna tidak datang cuma dari bentuk lugu be-
laka. Setadewa sebagai manusia harus berani memilih.

"Kok diam, Mas Teto? Sedang memikirkan apa?" tiba-tiba Atik bertanya
memecahkan lamunanku. Inilah saatnya, ya inilah saatnya, begitulah sejelas-jelasnya
terilhamkan padaku. Tidak didalam kamar netral, tetapi di sini, di halaman istana
bersejarah inilah aku akan membuat perhitungan hidupku selama ini yang tanpa arti,
bagi rahim yang pemah mengandungku, demi susu-susu ibu yang pemah memberiku
zat-zat kehidupanku yang pertama, demi wajah-wajah dan tangan-tangan yang halus
membelai dan memberi getaran-getaran pertama emosiku, yang kelak disepuh lagi
menjadi serat-serat karakter kepribadianku, demi ayahku perwira pembangkang
kelaliman, keluargaku dan negeriku.

"Dik Jon, aku ingin minta nasihatmu."
Jana agak terperanjat juga dalam reaksinya.
"Lho, apa Mas Seto?" Atik memandang padaku dengan tegang. Barangkali bagi
Atik aku ini selalu variabel yang tidak pernah bisa diperhitungkan, tetapi selalu
memukau, menarik, sekaligus mengancam.
"Dik Jon, sebagai ahli geologi utama di kalangan eselon atas kau kan punya
koneksi penting dengan menteri-menteri?" Bukan Jana tetapi Atiklah yang menjawab:
"Mas Jon, kau kan kenal semua Dirjen?"
''Ya, saya kenal. Tapi soalnya apa?"
Lalu kubentangkan model komputer yang salah menghitung kuantitas produksi
minyak mentah. Begitu kompleks dan sulit perhitungan itu, sehingga hanya bagi
orang yang langsung berkecimpung dalam inti pimpinan, hal itu kelihatan. ''Aku yakin
adanya kesengajaan.

176

Namun tentulah secara hukum hal itu sulit dibuktikan, sebab siapa yang cukup ahli
matematika tinggi untuk melihat kesalahan fatal di dalam rumus yang begitu panjang
dan rumit? Dan yang totalitasnya hanya diketahui orang yang paling top? Seharusnya
ini diperiksa oleh pihak Indonesia. Tetapi negeri ini kan hampir tidak punya ahli
matematika." Dengan melompong Jana mendengar uraian-uraianku dan kedua mata
indah dari Atik yang membelalak menunjukkan, betapa paham mereka akan
komplikasi dan implikasi permasalahan. Reaksi pertama datang dari Atik, ya tentu
saja dari dia. Dia yang lebih cerdas.

Tetapi, Mas Teto. Ini berarti kau akan dipecatl"
"Aku tahu."
Erat-erat tanganku diremas-remasnya. ''Teto! Teetoo! Kau sungguh Teto, kau
singa!"
"Singa yang sudah divonis dan menunggu ditembak."
''Ya, itulah konsekuensinya. Dan kau sanggup mati?"
"Aku tidak akan mati. Hanya harus berganti kehidupan. Dari manusia lama
menjadi manusia baru."
"Teto! Sungguh jantan kau."
"Ini bukan soal jantan atau tidak jantan."
Atik melihat kepada suaminya, kepadaku lagi, kepada suaminya.
"Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, Mas Seta," kata Jana perlahan-lahan, "Mas
Seta akan saya bantu. Tetapi bagiku hanya sedih, bahwa dengan begitu aku akan ikut
serta dengan proses pemecatanmu.
"Dik Jon, kau ahli geologi dengan jiwa Palang Merah. Pulau Jawa ini tidak akan
subur tanpa sesekali vulkan-vulkan itu meletus. Kalian mengalami Revolusi. Itu
ledakan dahsyat yang menyuburkan negeri ini. Tetapi kau dan kau ada di pihak yang
menang. Kekalahan pihak ku memungkinkan kemenangan kalian. Aku dulu masuk
KNIL tidak untuk mencari gaji soldadu. Bukan juga demi petualangan tentara sewaan
belaka. Aku memerangi kalian sebagai pembalas dendam ibuku, yang mengandungku
dan yang dirusak kandungannya oleh Jepang. Memang kesalahanku ada pada
identiflkasi Jepang dengan Republik Indonesia. Tetapi maaf, terus-terang kukatakan,
bukankah banyak dari pimpinan pihak kalian bukan hanya murid, tetapi penerus
konsekuen mental Jepang itu? Selama aku jadi menejer perusahaan sesudah perang,
aku baru mengenal segi-segi lain dari Jepang yang lebih positip. Tetapi dalam saat
kala itu Jepang diperkenalkan pada kita dalam bentuknya yang fasis. Memang aku
keliru dalam memilih sasaran, akan tetapi tidak dalam motivasi. Dan motivasiku
masih sama. Aku tidak mau mengabdi kepada perusahaan yang pada hakekatnya juga
bermental fasis, menipu, merampok dan memaksakan rumus-rumus serta model-
modelnya pada negeri ini; ya, negeri ini adalah Mamiku dalam bentuk lain. Sekarang
pun aku akan membalas dendam, bila negeriku dirusak oleh rumus-rumus komputer.
Dan inilah saat perhitunganku.

177

Aku tidak gentar, seperti dulu itu aku tidak gentar juga. Tetapi dulu aku salah sasaran.
Sekarang tidak."

Atik hanya memandangku dengan mata yang basah. Bungkam dan tidak mampu
mengungkapkan diri dalam emosinya. Aku tahu, ia bangga, ia melihatku sebagai
lelaki yang ia idam-idamkan. Tetapi itu perkara lain. Wanita selalu menangkap
getaran-getaran radar pribadi dulu. Kami kaum lelaki getaran-getaran perkaranya dan
seluruh gerak galaksi. Dan dalam hal ini aku lebih menghadap kepada Jana daripada
Atik.

''Aku dapat menjadi perantara," begitu kata Jana sederhana, "tetapi jujur saja aku
bukan andalan yang selalu meyakinkan."

"Kau akan membantu?"
''Pasti, Mas Seta. Hanya masalahnya masih ada satu. Dan satu ini dapat sangat
mempersulit operasi."
"Mencari orangnya yang tepat?"
"Oh, itu bukan soal. Aku kenal orang-orang yang memegang kunci dalam masalah
ini. Kalau perlu sampai eselon yang tertinggi. Tetapi sering soal seperti ini lebih
mudah digarap oleh eselon yang jangan terlalu top. Sebab sebelum itu, soal rumus
model harus kita check kembali dan itu membutuhkan bantuan ahli. Tetapi tidak
hanya ahli. Ahli yang MAU dan BERANI menanggung risiko."
"Lho, ini kan demi negeri kita sendiri."
''Ya, betul Mas. Itu seharusnya. Tetapi yang seharusnya dan senyatanya itu kan
masih dua soal yang belum tentu klop."
"Kau benar Dik Jon. Bagaimana nanti sebaiknya?"
Serahkan kepada saya, Mas Seta."
Atik masih diam. Tetapi dadanya nampak bergejolak naik turon. Sekali lagi intuisi
wanitanya melonjak keluar.
"Mas Jon, Sayang, kau juga bisa dipecat."
Dan tenang seolah-olah hanya omong tentang roti dan mentega makan pagi tadi ia
tersenyum kepada istrinya dan berkata :
"Kalau perlu, apa boleh buat."
Kulihat mata Atik membelalak. Nah, bagus kau Jon. Sekarang istrimu melihatmu
sebagai jantan: "Kau berani Jon, Sayang?"
"lni bukan soal berani atau tidak, Tik. lni soal harus (tampak Atik masih belum
percaya apa yang dikatakan suaminya). "Begini, Tik. Kalau Teto (padaku) yang
kumaksud Seta, anak kami, Mas, Tik, kalau Teto atau Padmi misalnya sedang main-
main di jalan, tersandung di aspal, lalu ada Colt datang menyambar, apakah di sini
masih dipertanyakan soal berani atau tidak? Kan spontan kita akan maju dan menyeret
Si Teto atau Padmi itu dari bahaya. Barangkali kita sendiri terkena, tetapi itu sudah
risiko. Kalau tidak begitu, ya, jangan jadi bapak atau ibu."
Senyum dikulum pada Atik.
"Mas Teto, aku juga akan membantu."

178

Jana menyambut: "Sebaiknya kau sementara di belakang dulu, Tik. Bukan karena
aku tidak percaya padamu, tetapi kita harus strategis kerjanya." Aku membantu Jana:
''Ya Tik, serahkan saja pada suamimu. Dalam perkara gawat ini, Jana sangat tabah."

Kulihat pada jam tanganku. Spontan mereka juga berbuat yang sarna. Masih cukup
waktu. Tetapi atas usulku kami toh berdiri dan merenung spontan diam kami menuju
ke mobil. Meninggalkan halaman yang bersejarah itu. Di pertigaan Jalan Beringharjo
kucatat, jam Yogya atau Jakarta sama saja, terlambat hampir tiga jam. Tak
mengapalah. Asal masih berjalan.

179

22. Sarang Manyar Baru

Ternyata, apa yang sudah diduga semula betul terjadi. Aku dipanggil ke Tokyo dan
di restoran lapangan terbang aku diberi tahu oleh boss tertinggi Pacific Oil Wells
Company,
bahwa aku dipecat dengan tidak hormat. Sinis Boss Besarku berkata melalui hidung
(dia punya hidung terlalu besar, sehingga suara selalu melalui saluran samping yang
bukan kodratnya untuk bersuara itu) bahwa apa yang kukerjakan itu sia-sia saja.
Perbuatan anak puber idealis yang tidak tahu kompleksitas persoalan internasional
dan sebagainya dan sebagainya. Dari segi efek terakhir semua itu hanya berakibat
kecil. Sebaiknya, sebetulnya, seharusnya, semestinya dan sebagainya, tak pantas
dikerjakan orang berkedudukan tinggi seperti aku ini. Bahkan dengan menempatkan
orang kulit berwarna pada pos begitu tinggi kan seharusnya aku mengerti bahwa itu
salah suatu tanda good-will yang besar dan bahwa sebenarnya, sebetulnya, semestinya
dan sebagainya aku harus menghargai kepercayaan yang sudah setulus-tulusnya
dilirnpahkan kepadaku. Tetapi ternyata aku ular kobra yang menggigit dari belakang.
Dan sebagainya, dan sebagainya, dan seterusnya.

Tetapi perusahaannya sudah siap menghadapi itu semua dan toh akhirnya hanya
aku sendiri yang mencelakakan diriku sendiri. tanpa efek apa pun. Sebab konsesi
masih tetap diberikan, bahkan barangkali abadi, kepada mereka; dan lestari kokohlah
kedudukan Pacific Oil Wells Company di mana pun. Bahkan dengan peristiwa
semacam ini kedudukan mereka justru lebih kuat lagi dan reputasi internasional
mereka bahkan melonjak. Selain itu jangan mengira bahwa di dunia ini hanya ada satu
rumus saja. Gugur satu tumbuh seribu, sebab para raksasa pandai dan kuat di dalam
sistem seperti ini. Tidak begitu saja bisa diserang semut seperti dalam dongeng,
dengan memasuki telinga sehingga mastodon gila dan masuk jurang dan sebagainya.
Sebab dunia tehnologi, industri, bisnis dan politik ditambah militer, bukanlah do-
ngeng, tetapi perhitungan dan struktur-struktur elektronika yang tahan digigit semut.
Dan bahwa selanjutnya segala kelakuan yang gegabah harus ditanggung sendiri dan
sebagainya dan sebagainya. Tetapi walaupun, biarpun, kendati pun semua sudah
terjadi, Pacific Oil Wells Company dengan segala kedermawaan masih memberi
kesempatan pada Dr. Setadewa, dan ini disetujui oleh seluruh Board Of Directors dan
Board of Trustees, bahwa orang yang penuh talenta¹⁾ yang begitu ahli dalam segi
komputer perlu diberi tempat yang layak demi kemajuan seluruh planet ini. Sebab
kaya atau miskin, kita di planet satu ini, saling tergantung. Kehancuran pihak yang
satu akan membawa kehancuran yang lain; dan bahwa Dr. Setadewa masih diberi
waktu satu bulan untuk mempertimbangkan tawaran kedudukan yang terhormat,
walaupun tidak lagi dalam divisi komputer, tetapi dalam suatu divisi lain: Pengem-
bangan Tehnologi dan Metodologi baru yang akan bermanfaat bagi seluruh bangsa
manusia di kelak kemudian hari dan sebagainya dan sebagainya.

¹⁾Dari kata talents, bakat.

180

Jika aku mau, dan selayaknya aku harus mau, mengingat kecerdasan otakku dan
sebagainya dan sebagaiya dan bahwa sebagai bukti, perusahaan mereka tidak
menaruh perasaan dendam sedikit pun, Sang Big Boss pada musim panas yang akan
datang tetap mengundang aku juga dalam suatu liburan menarik di kalangan qualified
talents all over the world. Sambil menikmati safari samudera di Kepulauan Oceania.
Dan karena itu aku akan selalu welcome di rumahnya di Hawai atau Miami; dan
bahwa istrinya juga berpesan untuk menyampaikan salam hangat, bahkan mereka
bersedia menanggung biaya segala-galanya bila, ... semoga Tuhan memberkati
perkawinan Tuan Seta kelak ... itu seandainya" ... Seketika itu aku, yang sampai
sekian hanya diam mendengarkan ocehannya, membendung banjir kata-katanya, dan
menuntut agar masalah bisnis jangan dicampur-aduk dengan rnasalah pribadi yang
intim.

Ia lalu menepuk-nepuk bahuku dengan gaya abang tua persaudaraan lama dan
berharap dalam sebulan ini menerima jawaban positif. Sebab kalau negatif, akibatnya
akan lebih malapetaka lagi dan sebagainya dan sebagainya.

Tetapi percakapan kupotong: ''Farewell!''
Di Halim aku dijemput oleh Jana dan Atik. Selama perjalanan ke Bogor mereka
tidak menyinggung hal-hal yang gawat, dan justru karena itulah aku sudah mencium,
bahwa ada berita malapetaka yang menungguku. Baru sesudah makan sore di kebun
belakang yang luas, di bawah sinar beribu bintang, Atik bercerita, bahwa suaminya,
seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, dipecat juga dari segala jabatannya. "Atas
alasan yang demi security tidak dapat dikatakan," tambah suaminya. Dan Jana dengan
tertawa keci1 masih menambahkan: "Tetapi toh masih dengan hormat. Tetapi tak
mengapalah. Hidup kami tidak pernah mewah. Walau dulu pun belum pernah mewah,
tetapi menjadi proletar juga tidak. Toh sebagai orang swasta ia masih sanggup
bekerja. Hanya ia mengkhawatirkan, bahwa karena suaminya, Atik kelak akan men-
dapat hambatan juga naik tangga karir.
“Asal saja masih boleh mendengarkan burung berkicau, tidak mengapalah," kata
istrinya sambil merangkul suaminya. Maka dengan senda-gurau aku bertanya spontan
tetapi main api sebenarnya.
"Tik, aku tidak mendapat hadiah juga kau rangkul? Aku iri hati pada suamimu."
"Oh, bagaimana Mas Jon? Boleh?"
"Boleh, asal jangan lama-lama."
"Lama atau tidak sih relatip."
"Ya, beginilah Mas Seta, nasibku. Selalu saja kalah kalau berdebat dengan adikmu
itu." (Adik? Ah, main-main api bahaya lagi. Jiwa petualanganku dengan umurku yang
sekian belum lagi sembuh). Atik berdiri dan berlutut di belakang kursiku. Aku
didekap dari belakang dan pipinya menyeka pipiku. Bisiknya: "Mas Teto, kau harus
selalu bersama kami. Aku membutuhkan Mas Teto. Dan Mas Jon juga butuh kau."
Kuseka pipinya yang satu dengan tangan kananku. Tanpa kata,
sebab saat itu aku tidak bisa berjanji apa pun. Tiba-tiba aku takut.

181

"Di mana anak-anak?"
"Kan tadi sudah minta pamit untuk pesta ulang-tahun pada ternan. Atik tertawa
nakal: "Mas Jon, Mas Teto takut anak-anak kita melihat ibunya merangkul oom
mereka."
"Maka itu jangan lama-lama,” jawab suaminya tertawa.
"Kok seperti anak keci1,” kataku hanya untuk menenteramkan jiwaku yang tiba-
tiba terbakar.
"Kadang-kadang jadi anak kecil ada baiknya," kata dik Jon.
''Dari mana kau punya slogan itu?" tanyaku dengan tertawa.
"Ya, biasa kan. Dari istriku,"
"Oh, Mas Jon ini. Selalu saja rendah hati. Saya belajar juga dari suamiku, sungguh
mas Teto."

Aku masih menganggur. Aku telah minta berhenti, dan Pacific Oil Wells Company
memberiku surat pemberhentian. Ternyata toh masih dengan predikat terhorrnat.
Dengan suatu kattebeletje dari Big Boss. "Formal kita berpisah. Tetapi setiap saat
Anda masih bisa kami terima lagi." Mereka membutuhkan ahli, batinku. Soalnya
hanya: ahli yang bagaimana. Keesokan harinya aku terbang ke Jawa Tengah. Aku
merasa butuh, dengan Mamiku lagi, memohon kekuatan untuk hari depan.

Dari Magelang aku membawa pesan dari sahabat lama, dokter tua pensiunan, ayah
Dik Jana, untuk anaknya. "Tetapi hati-hati menyampaikannya," begitu pesan dokter
tua yang baik dan setia itu. Aku menjanjikannya. Saatnya tidak sulit dicari.

Pada suatu Sabtu, aku diundang keluarga Jana (yang sedapat mungkin memang
kuhindari selama ini, karena aku merasa masih tidak kebal terhadap pesona
kewanitaan Atik). Bersama-sama dengan anak-anak kami akan pergi ke Pegunungan
Salak. Atik kenal seorang penjaga hutan di sana dan kami akan berkemah di dalam
rumahnya yang sederhana dan yang punya ranjang amben yang luas. Cukup untuk
kami semua. Maka berpikniklah kami menyegarkan jiwa, pergi ke lereng Gunung
Salak. Atik memang guru yang baik untuk anak-anaknya. Mereka diwarisi rahasia-
rahasia alam hutan yang relatif masih perawan itu. Dan pengetahuannya sebagai
biolog namun terutama sebagai pewaris ayahnya, sangat menggugah hatiku. Kami
sanggup diam lama di tengah hutan menikmati alam asli dan bunyi-bunyian dalam
suasana yang murni itu. Duduk dan diam mendengarkan.

Kadang-kadang sang ibu membisikkan sesuatu kepada anaknya. Terutama Si
Padmi, yang kedua, yang mirip sekali dengan Atik ketika masih kecil, sangat
mewarisi bakat-bakat ibunya. Kicauan burung sering ramai sekali. Kadang-kadang
berhenti bersama-sama. Rupa-rupanya ada burung dari langit menghampiri mereka
serba mencurigakan Sesudah lewat, kicauan mulai lagi. Pernah di atas kami tiba-tiba
meletus kicauan kacau, seolah-olah burung-burung itu saling mencaci.

182

Atik mengintip dengan teropongnya ke atas. Diberikannya kepada Padmi dan berkata:
"Lucu sekali!" “Ada apa?" tanya adiknya. Teto Si Abang diam melihat ke atas.
"Mereka menemukan seekor burung celepuk barangkali," kata ibunya.

"Celepuk?
“Atau uhu, atau kebluk. Ya, selalu begitu. Uhu itu lalu dimakimaki sekenyang-
kenyang mereka. (Kasihan. Kenapa?) Habis, burung itu nakal. Sering pada malam
hari mencuri telur atau bahkan memakan anak-anak yang masih kecil dalam sarang."
(Apakah aku burung uhu?).
"Lalu mereka maki-maki?" tanya Kris.
''Ya, sebetulnya karena setengah takut juga. Seperti kalau kalian melewati kuburan,
takut, lalu berteriak atau nyanyi-nyanyi untuk menghilangkan ketakutan."
"Eh …..dengar ! "Kr-kr-twee ! "Heh, Itu lagi,” ciee woo..cice woker-kr-twee…ciee
wo … ciee wo…
Anak-anak tertawa, semua, sehingga kami kaum tua ikut juga.
Terdengar suara burung lain: Kopiii Kopiii!
"Kopii, kopii! Mereka minta kopi," komentar Dik Jana. Anak-anak tertawa lagi.
''Tapi ayah juga minta kopi Lho."
“Aaah!" Bungkusan dan termos dibuka. "Bisanya cuma menyindir!" kata Atik.
Kulihat, bahwa Teto si sulung itu cocok sekali dengan ayahnya; tak banyak omong
dan seolah-olah hanya menjadi orang kedua saja. (Ayah seperti aku ini kukira bahkan
lebih merusak daripada menolong) .
“Ayah dulu," perintah Atik kepada Padmi.
"E, tidak. Oom dulu. Selalu tamunya dulu."
"Tenma kasih, Mimi," kataku manis. Anak itu kalau tertawa atau tersenyum
dengan lesung-lesung di pipi, persis sekali ibunya dulu. Dan matanya juga cerdas
nakal.
"Ibu, ini Oom senang atau Oom yang senang?"
Kurangajar! Atik tertawa tidak ketolongan.
"Keduanya," katanya kepada anaknya.
Teto jelas bukan Teto aku. Ia mengikuti jejak ayahnya, pendiam, pengalah.
"Kau kelak jadi apa, To?"
''Ya, apa ya? Dokter juga bisa." (Nah cocok kan).
"Lho," kata ibunya. "Kok dokter juga bisa. Apa persisnya? kok ya bisa."
"Habis," jawabnya tenang. "Kalau nggak bisa, masakan bisa."
"Kalah kau, Tik," kataku meledek.
"Ini namanya Teto, tetapi tidak seperti Oom Teto."
"Kok lucu,” komentarnya tenang sambil memakan roti sus dengan caplokan yang
besar. Dan dengan mulut penuh ia berkata kepada roti yang tinggal separuh:
"Memangnya bukan Oom Teto kok disuruh jadi Oom Teto. Lucu."
"Kalah lagi ibunya," begitu aku membakar.

183

Teto melihat padaku dan mengerdipkan mata. Padmi adiknya membela ibunya:
''Persis itu tidak sama dengan menjadi. Persis kunyuk itu bukan kunyuk."

"Siapa yang kunyuk?" tanya kakaknya tenang. Ayahnya memisah: "Makan dan
omong, jangan kedua-duanya bersama-sama. Tidak sedap untuk dilihat."

"Sedaaaap!" komentar Kris si bungsu.
Tiba-tiba terdengar seperti ada orang tertawa: Hi-hii-hii!!
"Heh, siapa itu?" tanya sang Bungsu.
Ibunya memberi isyarat jari di muka bibir, agar semua diam. "Itu burung kuda."
"Kok seperti orang tertawa. Tunggu, nanti ada lainnya. Betul. Ada beberapa ekor
burung lain yang bersama-sama "tertawa" seperti sekelompok nenek sedang arisan,
"hihihi .... "
"Kok seperti mengejek tertawanya itu, kurangajar ya Bu?" tanya Padmi.
''Ya, begitu."
"Hihihi .... Teto mendukung suara burung-burung itu "Hihi-hihihi .....
"Eh, Mas Teto!" Dan semua anaklalu meniru.
"Hihihi .... " Ketawa anak-anak itu menjalar sungguh.
"Di Sumatra atau Kalimantan bahkan ada burung, anggang gading namanya,
karena paruhnya panjang dan bendolan seperti gading ada pada paruhnya. ltu burung
lebih menggelikan, kata ibunya. "Begini ketawanya: u-u-u-hahaha."
"Uu-u-hahahaha," anak-anak menirukan ibu mereka.
''Betul Bu, burung itu tertawa?"
''Ya, sebetulnya tidak tertawa, tetapi suaranya seperti tertawa geli dan benar-benar
renyah menyenangkan sekali."
Padmi: "Oom. Oom Teto? Besok Oom ke Sumatra dan carikan burung, apa Bu
namanya tadi."
''Anggang gading."
''Ya, anggang gading untuk kami."
"Nanti kalian tidak bisa belajar. Hanya uuu-hahaha saja."
''Biar, kan tertawa itu baik," komentar Teto cilik.
''Ya, kalau tertawa terus ya sinting," tambah Padmi.
"Nah, mengapa kau tadi minta Oom mencarikan burung ganggang gading tadi?"
tanya Teto hanya untuk menyerang saja.
''Anggang gading. Bukan ganggang. Goblog."
"Heh, Padmi. Tidak boleh ya menggoblog-goblogkan abang."
"Menggoblogkan adik juga tidak boleh, ya Pap,” tambah Kris.
"Siapapun tidak boleh digoblog-goblogkan."
Padmi: "Lha, kalau memang goblog, bagaimana?"
Karni semua tertawa.
"Sini Padmi. Duduk di pangkuan Oom Teto!"
Padmi manja duduk di pangkuanku dan kudekap anak yang mirip Atik ini. Ibunya
sepetti iri melihat anaknya, memandangku.

184

"Eeh," kata Teto sulung. "1bu iri." Spontan ia dipukul oleh tangan ibunya.
''Papi, ibu iri."
"Boleh-boleh saja;' komentar ayahnya.
''Ah, kalau begitu saya juga iri." Dan langsung ia duduk di atas Padmi, yang
tentunya marah besar mengusir kakaknya.
"Sudah sana, anak-anak dolan ke sana dulu. Oom Teto dan Ibu mau bicara-bicara
soal penting."
"Kami tidak boleh mendengarkan?" tanya Padmi.
"Tidak," kata ibunya.
''Ya sudah,” komentar Teto.
"Kris juga tidak boleh mendengar?"
''Boleh, tetapi sebaiknya kau dolan dulu ke sana. Asal jangan jauh-jauh."
''Aku ikut !" kata ayah meteka yang lalu betdiri.
Kris digendong dan pergilah mereka meninggalkan aku, berdua dengan Atik.
Lama kami tidak mengucapkan kata. Hanya suara-suara burung di hutan itu yang
mewakili kami. Mata Atik menghunjam ke tanah.
"Tik, aku minta maaf mengenai kemarin malam itu."
"Kau tidak salah. Aku yang meminta."
"Saya hanya ingin berterima kasih katena yang satu itu kau tolak "Saya tidak
menolak. Saya selalu mendambakannya. Tetapi saya teringat anak-anakku." Kami
diam. Mata kami saling berpandangan.
"Kalau begini terus Tik, semua akan rusak."
"Salahku ... "
Tidak. Tentang siapa yang salah, kukira kita tidak berhak menentukannya."
''Jana sudah tahu?" Atik mengangguk-angguk. "Sudah sejak awal sebelum kami
kawin." Aku diam. Mata Atik memandangku lagi dan sepetti sayu ia betkata:
"Suamiku sebenarnya lebih ayah dari pada suami. Apa saja yang kurasa baik ia setuju.
Dia terlalu baik. Tetapi barangkali … barangkali aku memang membutuhkan seorang
ayah. Tetapi ah ... juga sekaligus seorang abang yang kuat." Tanpa sadar: "Teto,
tetaplah betsama kami. Aku membutuhkan abang yang lebih kuat dariku."
''Aku tidak akan kuat lagi. Tadi malam buktinya."
''Ya, tetapi kan belum yang terakhir."
''Yang tetakhir selalu melalui yang sebelum terakhir. Aku lelaki. Aku tahu
keterbatasanku."
"Tetapi seandainya suamiku boleh? 1a mampu memahaminya."
"Suamimu bukan wanita. Aku lebih tahu bagaimana perasaannya.
"Teto, aku dan dia membutuhkan kehadiranmu. Kan kau lihat sendiri, bagaimana
kami berdua sudah saling mendekati dan lebih saling memahami. Saya takut kalau
kau tidak ada, kami renggang lagi."

185

"Tik,” Dan aku berlutut menghampirinya. Wajahnya kuurut dan matanya nanap
mendamba terpaku pada mataku. ''Aku takut Tik." Aku dirangkulnya kuat-kuat.

"Dari dulu aku selalu merana kalau kau tidak ada. Sekarang kau kembali dan
sekarang kau mau pergi lagi? Lalu aku bagaimana?"

"Kita jangan mempersoalkan sang Aku, Tik, tetapi anak-anak. Itu kata nurani.
Walau hati betkata lain." Lama mata basah itu memandangku.

''Jadi kita hams betpisah?"
Apa ada jalan lain?" Ia kulepas dan ia memandang ke tanah.
Bergumam:
"Jalan lain ... jalan lain?" Tetapi bergejolak lagi, karakter Larasati dalam dirinya:
"Teto. Mengapa kau kok dapat kuat sepern itu? Kau kuat, Teto, kau sangat kuat. Dan
aku selalu kagum pada lelaki yang kuat."
"Suamimu lebih kuat."
"Mas Jana? Ooh ... dia baik, tetapi lemah. Akulah yang selalu meminpin.”
''Apa kau kira orang yang dipimpin itu selalu lebih lemah?"
Matanya bening dan lebar penuh pertanyaan. Kuteruskan: "Jana tidak dipimpin.
Dialah yang memimpin, Atik. Hanya kau yang tidak tahu. Susahnya kau wanita
terlalu pandai. Tetapi terlalu emosi juga."
''Apa salahnya?"
''Bukan soal salah. Memimpin tidak selalu dengan komando, Tik. Kualitaslah yang
memimpin, dan kualitas sering menang tanpa kata. Kau mestinya harus tahu itu."
"Mas Jon ...”
''Ya, ia memimpin seperti Alam Raya ini. Tanpa kata. Seperti karakter. Dengan
pengertian. Dengan kekuatan, apa katamu dulu? Dengan jatidiri dan bahasa citra."
Atik mulai menangis lirih. ''Tik, sekali saat kau dan kita semua harus belajar. Aku
sudah belajar. Aku seorang kaum pemegang senjata, kaum penata prosedur komputer.
Suamimu ahli geologi, tetapi berjiwa Palang Merah. Palang Merahlah yang lebih
panglima daripada senjata api. Sebab apa? Karena Palang Merah memberi hidup,
sedangkan senjata merenggut dan memperkosa hidup. Ia lebih jantan dariku, Tik.
Kejantanan manusia bukan kejantanan rimba ini. Tik, kalau kau cinta padaku,
cintailah suamimu."Atik merebahkan diri dalam pangkuanku dan menangis tersedu.
Lalu kau ke mana? Lalu kau ke mana? Teto, ke mana kau?" Aku diam. Entahlah,
aku pun tidak tahu.
"Tik, aku tidak tahu."
"Lalu akan mengambang saja dengan angin?"
"Boleh jadi."
''Teto kau akan kawin nanti?"
"Boleh jadi."
"Sudah ada ... ?" Aku tersenyum dan membelai rambutnya.
''Belum.''
''Belum?''

186

"Belum. Atau boleh jadi: tidak akan ada." Ia merangkulku lagi. Hangat tubuhnya,
masih vital. Mari Kepalanya kuangkat dan kucium dia pada pipinya, pada telinganya.
Hangat, bernafsu. Tetapi ketika aku menghampiri bibirnya, ia menolak.

"Saya akan mengikuti nasihatmu, Mas Teto. Hanya kalau ada apa-apa, kami
jangan kau tinggalkan." Ia mulai membetulkan rambut dan sanggulnya, blusnya. Dan
dengan memandang aku ia toh masih menawarkan diri. "Kau boleh menyeka dadaku,
Mas Teto. Boleh." Payudaranya tidak kusentuh. Tanganku mengulur ... sangat ingin ...
toh tak berani ... aku hanya menyeka pipinya. Kedua belah tanganku merangkum
wajahnya yang tersenyum.

''Aku bukan orang kuat Atik. Kau pun juga tidak. Kita harus saling menjaga, justru
karena kita bukan orang kuat." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kau kuat, Mas Teto."
''Jana lebih kuat." Ia mengangguk, air-matanya berlinang, bahagia. "Setuju?" Ia
mengangguk lagi. "Maka jagalah dia juga. Orang kuat juga harus kita jaga." Ia
mengangguk dan senyumnya penuh damai. "Mari kita mencari mereka."
Kami kumpulkan termos dan segala yang belum terbawa anak-anak. Keranjang
kubawa dan ia berjalan di mukaku pada jalan setapak.
''Tik, aku masih punya pesan dari ayah mertuamu."
“Ada apa?”
"Ia masih punya permintaan yang sudah lama ia dambakan. Agar masih dapat
mengalaminya, sebelum ia meninggal: Jana puteranya, diharapkan tahun ini naik
haji."
"Naik haji? Untuk apa?"
''Jangan kita bertanya untuk apa. Menggembirakan hati orangtua yang tidak lama
lagi akan meninggalkan kita, kan alasan cukup."
''Ya, tetapi biayanya, siapa yang membayar. Sejak suamiku diberbentikan, kami
harus menghemat setiap rupiah. Dikira berapa gajiku? Doktor maxima cum laude
sekali pun? Dinas kami bukan tempat yang basah, walaupun banyak mencakup daerah
rawa-rawa."
"Kalau itu soalnya, aku masih punya tabungan sedikit."
Ia membalik dan memegang tanganku. Lagi kedua matanya itu memancar. Aku
selalu lemah kalau menghadapi mata Atik.
"Kalau kau malu diberi uang gratis, boleh juga sebagai kredit;' kataku.
"Aku tahu, pasti kau tidak mau dibayar kembali."
"Kalau itu demi menjaga gengsi dan harga-diri kalian, pasti aku mau menerima
pembayaran kembali." Ia menggelengkan kepalanya.
“Aku tahu kau tidak akan!"
''Ya sudah, terima saja sebagai hadiah. Sebagai hadiah perkawinanmu. Dulu kan
saya tidak hadir dan tidak memberi selamat satu kata pun.

187

"Ketika itu aku terkenang padamu."
"Memang kau kepala batu," tawaku.
"Kau juga. Bagaimana ayah-mertua? Artinya apa dia menyinggung aku harus
ikut?"
Itu merdeka. Yang penting baginya, suamimu"
''Bagaimana pendapatmu? Aku hams ikut apa tidak?"
''Jalan terus saja, Tik. Mereka sudah lama menunggu."
"Mas Jon sudah tahu?"
"Tentu saja sudah kusampaikan pesan itu. Kemarin malam."
“Apa katanya?"
''Persis seperti yang kau katakan."
"Sungguh?"
"Pernah aku bohong?"
''Pernah ... tapi hanya bohong-bohong kecil."
"Lalu bagaimana Mas Jon? Dia menginginkan aku ikut?"
"Harfiah dia memberi kebebasan padamu."
“Ah, harfiah. Kalau kiasan bagaimana?"
"Tidak ada kiasan."
“Artinya, di bawah-sadar?"
“Aku tidak tahu bawah-sadar orang lain. Kalau bawah sadarmu aku tahu." Ia
membalik lagi dan mengecup pipiku.
"Sebetulnya poliandri itu boleh!" katanya tiba-tiba bergurau.
"Eh, jangan dijadikan gurauan hal-hal begitu"
"Habis, itu perasaanku. Kau jujur padaku. Api aku tidak boleh jujur padamu""
"Hanya padaku dan ... pada suamimu. Jangan pada orang lain. Tentang hal-hal
aneh seperti itu tadi."
"Tentu saja. Apa kau kira aku gila?"
"Sering aku memang mengira begitu." Ia membalik lagi. Dan dikecup pipiku yang
lain. "Nah," tertawaku, "ini lagi buktinya." Ia membalik lagi dan mengecup lagi
pipiku yang lain. "Sudah, Tik!' kataku agak keras. ''Jangan seperti anak kercil!"
"Kadang-kadang kan boleh!"
"Sekali lagi, jangan!" kataku lebih keras lagi. Ia menoleh: "Kau marah?"
Ya,” kataku pendek dan memang aku serius.
"Oh, maaf, Teto." Tetapi ia toh bergumam kurang ajar: ''Dicium kok marah. Siapa
yang gila?"
Dalam hati aku tertawa juga merasa termanja. Tetapi sungguh, permainan begini
tidak boleh diteruskan.
"Bagaimana pendapatmu?" ia tanya lagi. "Pendapatmu, aku harns ikut berjemaah
haji atau tidak?"
"Kau tanya?"

188

“Ya, kan saya bertanya, tidak menguraikan."
"Tanya nasehat?"
“Ya, tanya nasehat tentu saja. Kau masih marah, kok begitu aneh reaksimu."
"Ada maksudnya. Kalau nasehat saja, yang boleh diterima boleh dibuang, aku
tidak mau memberi nasehat." la membalik dan menyelidik memandang nanap manik
mataku.
"Omongmu kok aneh?"
"Omong biasa kok aneh. Siapa yang aneh."
"Apa kau kehendaki aku dikomando?"
"Boleh jadi begitu."
“Ya sudah, aku disuruh apa."
"Kau sebaiknya ikut."
''Dengan uangmu tentu saja?"
"Tentu saja." la diam. la diam ... lalu tegas.
"Baiklah."
"Terima kasih."
"Terima kasih apa. Karni yang harus berterima kasih."
"Sama-samalah. Menerima kasih dan memberi kasih itu perkara yang satu-tunggal.
Tanpa ada yang menerima, orang juga tidak bisa memberi. Maka menerima kasih
sekaligus juga memberi kasih, karena memungkinkan orang lain memberi kasih."
"Kok pintar kau, ya Teto. Dari mana semua teologi itu?"
''Ini bukan teologi. lni konkrit."
Suara anak-anak sudah terdengar. Mereka menuju ke kali sangat bening yang kami
seberangi tadi.
"Mas Teto, untung ya kita bukan suarni-istri."
"Kau omong aneh apa lagi ini?"
"Tidak. Kalau cinta suami-istri itu kan datar-datar saja. Kalau mencintai yang
bukan suaminya kok lebih hebat rasanya."
"Kau doktor biologi hebat, tetapi tolol sekali soal perkawinan."
"Memang, diakui saja."

Perwira di medan perang wajib berhitung dan memperhitungkan. Sama juga kepala
divisi komputer kongsi besar. Bahkan seluruh ada perilaku semesta galaksi jelas
eksak, dan pada prinsipnya dapat dihitung. Tetapi berkali-kali manusia, paling tidak
aku, Setadewa, dihadapkan pada sesuatu X mahadalam yang mengejek halus namun
murni. Seperti wajah anak tersenyum atau berlinang airmata, yang bertanya: masihkah
kau ingin menghitung? Panjang-lebar mata kanak-kanak dapat diukur, memang, tetapi
pancaran cerlangnya? Dan bobot makna setetes air-mata? Dengan apa itu mau diukur?

189

Jarak perjalanan Atik dan suaminya ke Mekkah-Medina dapat diukur pula; juga harga
tiketnya berapa. Eksak, jelas, memuaskan seorang doktor dan bekas komandan
perang. Tetapi bagaimana harus kunilai berita radio yang mewartakan, bahwa pesawat
terbang Martinair yang ditumpangi Atikku dan Jana, pada suatu dini pagi yang khusus
terjamah tangan Tuhan, menabrak bukit di dekat Kolombo, Sri Lanka sana? Tuhan
yang memberi. Tuhan yang mengambil. Terpujilah selalu namanya yang Kudus.

Aneh, ketika kudengar berita radio itu dan kubaca peneguhannya dalam telegram
Departemen Perhubungan, aneh sekali, ya sungguh aku heran sendiri, aku tidak
terkejut. Seolah-olah musibah seperti itu secara terselubung dibawah-sadarku sudah
juga "kuperhitungkan"; tinggal sekarang terkupas. Bagaimana keterangannya aku
tidak tahu; sesuatu yang mendadak ini mengapa tidak terasa mendadak? Aku tidak
berteriak, aku tidak menangis atau mengeluh. Aku tidak apa-apa selain diam ... ya
diam. Barangkali bahkan tersenyum walau tipis tentu. Seolah-olah sudah
selayaknyalah bila jalan hidupku selalu harus melalui ketidaktercapaian. Tetapi
terlonjak juga sebentuk rasa iri pada Atik, si dia yang sebenarnya dapat dikatakan
selalu berhasil; sampai kematiannya pun sebetulnya bernasib untung: gugur dalam
perjalanan ziarah ke Tuhan; dalam ulah sikap indah, sukarela mendampingi suami
demi kecintaannya dan demi pemenuhan harapan terakhir ayah mertua. Dinalar
komputer dingin, kematian fisik dalam kecelakaan pesawat terbang yang begitu
dahsyat tidak sangat menderita sakit. Pingsan seketika pasti dan selesailah sudah
dalam fraksi detik. Ketimbang kanker ganas misalnya atau invalid tanpa tangankaki.
Yang menderita yang ditinggalkannya, ketiga anak mereka. Aku bukan pahlawan,
tetapi kali ini pun aku tak gentar menderita, karena sedikit banyak aku telah ditempa
oleh kepahitan dan kegagalan. Dan juga karena kenanganku pada Atik yang teramat
indah. Kenangan dapat berbahaya selaku nostalgia kosong. Akan tetapi kenangan
indah dapat hadir selaku kekuatan yang tiada tara. Lagi, kenanganku pada Atik tidak
kosong, sebab dalam si kecil-kecil Teto, Padmi dan Kris, Atikku masih hidup segar.
Ah ya,Jana. Ternyata sudah betul, Atik kawin denganmu! "Berhitungnya" misteri hati
dengan hati memang di seberang jangkauan matematika si doktor yang kini dengan
ikhlas mengakui kekalahannya.

Tak banyak lagi yang perlu kuceritakan. Ada saatnya cerita manusia harus
disinambungkan ke dalam perjalanan riwayat yang serba diam ... dalam keheningan
yang sebenarnya bahkan serba kebak kepenuhan. Ya, memang hati duda sangat sering
merasa sepi sunyi sendirian. Tetapi untunglah Tuhan Yang Mahapemurah masih sudi
memberi kesejukan bagi siang dan petang kurun hidupku; atas persetujuan keluarga
dan atas permintaan ayah Jana, (tidak lama sesudah peristiwa sedih Kolombo beliau
pulang ke Rahmatullah), ketiga anak Atik kuangkat jadi anakku. Hadiah yang
terindah dati Atik dan suaminya ingin kujaga dan kuantar ke hari-depan mereka yang
sesuai dengan jati-diri dan bahasa citra yang sebening mungkin. Akhirnya toh hari-
depan harus mereka tata sendiri kelak, menurut keyakinan panggilan hidup mereka
masing-masing.

190

Aku hanya ingin memberi bekal kenangan yang seindah mungkin. Tidak lebih dari
itu. Aku dulu anak kolong. Sekarang aku masih juga, tetapi anak Kolong Langit. Jujur
kukatakan, masih sering dalam kesepian tawar dan sunyi kering kedudaanku aku
bertanya diri: mengapa jalanku harus melalui ketidaktercapaian?
Tetapi bila aku melihat Si Teto kecil, Padmi terutama dan Kris, sedikit aku dapat
menangkap sasmita kupu-kupu yang memekar dan terbang hanya untuk sebentar lagi
mati. Bahasa citra kupu-kupu atau kicauan burung berwarta, bahwa segala dedikasi
mereka adalah demi si telur-telur.

Sahabat-sahabatku, khususnya John Brindley, tak henti menganjur-anjurkan,
sebaiknya aku mengambil istri lagi. Ketiga anak-anak itulah yang membutuhkan
seorang ibu. Kuakui, itu benar. Tetapi Bu Antana sudah cukup jasanya, sebagai nenek
sekaligus ibu bagi mereka. Kuakui, hanya untuk sementara memang. Ataukah karena
aku masih belum berani mengorbankan citra terakhir yang paling indah dari sejarah
hidupku, citra Atik? Ingin itu kutanyakan pada burung-burung manyar. Tetapi
sekarang sudah jarang kulihat mereka ..

Magelang, 6 mei 1979

Setadewa

191


Click to View FlipBook Version