"Menurut kau, lebih baik aku tetap tinggal di sini atau cari hari depan rnisalnya di
negerimu Holland?" Sersan mayor itu memandangku dengan heran.
"Maaf, Kapitein, saya tidak berhak menyarankan sesuatu. Hal itu harus ditanyakan
kepada, maaf nyonya, istri Kapiten."
"Saya belum beristri." Sersan mayor itu tertawa sangat simpatik, sehingga aku pun
ikut tertawa.
"Nah, kalau begitu sudah waktunya Kapitein."
"Tetapi kembali pada pertanyaanku tadi. Bagaimana pendapatmu tentang hari-
depan negeri ini? Ya, sebelum itu kutanyakan kepada, yah menurut nasihatmu tadi,
kepada calon istri."
''Ya, sekali lagi, sebetulnya aku belum sangat kenal dengan orang-orang di sini,
kecuali sebagai tentara pendudukan. Memang rotzooi ¹⁾, Kapitein. Sial juga aku mulai
berkenalan dengan mereka sambil membawa pistol di pinggang. Suatu permulaan
yang idioot."
''Berbahagialah kau belum kenal negeri ini."
"Tetapi rupa-rupanya penduduknya baik-baik saja. Saya dulu punya paman,
Kapitein. Dia pernah jadi asisten residen di pulau entah saya tidak tahu namanya. Di
Indonesia ini. Sebelum perang. Sekarang dia sudah mati, dalam tawanan ]epang. Dia
dulu dalam bulan-bulan cutinya banyak bercerita tentang daerah bawahannya. Bahkan
pernah saya ditumbuhi gagasan untuk ikut dia jadi penanam kopi atau tebu di sini. Dia
berkata, bahwa penduduk di sini kejam sekali. Wajah serba senyum dan sopan-
santunnya luwes, tetapi terhadap sesama bangsa, keji. (Apakah dia menyindir KNIL
lagi?) Sebagai asisten residen ia setiap hari keliling untuk mendengarkan keluhan
rakyat dan membela mereka terhadap kesewenang-wenangan raja atau bupati
mereka."
"Itu betul."
“Tetapi saya pikir, kalau itu betul, mengapa kaum Gupermen itu kong-kalikong
dengan raja-raja dan bupati-bupati mereka? Apakah dia bohong dan hanya membual
saja, aku tidak tahu. Kukira di mana-mana sama. Maka kupikir, tanah-air adalah di
mana tidak ada kekejaman antara orang dengan orang. Kalau adat atau kebiasaan
suatu nasion kejam, kukira lebih baik jangan punya tanah-air saja. Aku sudah tidak
sabar menunggu hari kami berangkat ke Australia, Kapitein."
"Maka jagalah, agar jangan sampai menerjang ranjau darat, atau terkena peluru
penembak liar."
''Ya, ranjau darat keparat itu. Tetapi ... oh, itu Letkol Verbruggen sudah tiba."
Sebuah jip menyambar pagar jembatan dan masuk ke pelataran kerkop. Sersan mayor
MP tadi memberi hormat kepada Verbruggen, kepadaku dan langsung Harley-
Davidsonnya meraung. Aku pun memberi hormat pada atasanku. Sungguh mati, aku
tidak dapat menerka sedikit pun, mengapa ia memilih tempat yang aneh ini. Tetapi ia
langsung masuk rumah dan aku diajak masuk.
"Saya ingin bicara dengan kau. Sayang ilharnku hanya tahu tempat ini, yang
kuanggap paling enak untuk bicara privat dan tidak perlu berputar-putar jalan.
Rokok?"
¹⁾ Brengsek.
94
"Cigarelloku belum habis."
"He, cigarello hebat, dari mana?"
"Kado dari seorang gadis."
"Gila, kau punya?"
''Bahkan Belanda totok."
"Edan! Awas, jangan main-main."
"Aku tidak bohong."
"Leo!" dan sekarang nadanya lebih berwibawa dan serius. "Kenapa kau menguntiti
saya?"
"Kenapa kau pergi ke sana?"
Kepalnya memukul meja, sehingga gelas dan sebatang sendok kuningan berdering.
"Kau kapitein, saya loitenant-kolonel. Omong!" (Saya ingat niat bohongku tadi).
"Terus terang, saya curiga."
"Curiga?"
"Kau tidak seperti biasanya. Saya kau punya antena prajurit. Saya mencium
sesuatu yang menurut rasaku harus saya selidiki. Dan lagi aku rindu pada Magelang."
"Sentimentil. Yang lampau adalah lampau. Tidak perlu kita korek-korek kembali
lagi."
"Apa betul, Letkol? Kau yakin pada apa yang kau katakan?"
"Verdomme!" Dan nervous ia menyedot dalam-dalam sigaretnya. "Leo, jangan
memaksaku berbuat yang bukan-bukan. lni soal serius, kau tidak perlu campur-tangan
atau pun tahu."
"Apa yang serius? lni apa? Kau semakin mencurigakan, Verbruggen.
Baiklah, saya sudah memperingatkan kau. Jadi jangan mempersalahkan saya kalau
ada akibat-akibat yang tidak enak."
“Apa ada di dalam keadaan edan seperti ini yang masih bisa lebih tidak enak?"
"Okey, okey. Saya sudah tua dan kau sebentar lagi juga akan tua. Dengarkan. (Dan
ia menatap padaku, lirih berbisik.) Ibumu sudah kutemukan."
Hah?" Mataku membelalak dan asap cigarelo menyeruduk paru-paru sehingga aku
batuk-batuk tidak keruan.
''Ya, Marice. Tidak usah banyak basa-basi. Ia kutemukan di Rumah Penyakit
Syaraf Kramat sana tadi."
Seperti terkena granat Howitzer 10 inch aku hanya bisa bungkam dan membelalak.
Ibuku di rumah gila? Kramat Magelang adalah rumah gila. Ya Tuhan ... siapa yang
gila, mereka atau aku sekarang? Lemas aku duduk setengah berbaring di atas ranjang
itu. Mamiku malang. Verbruggen menepuk-nepuk bahuku seperti seorang ayah.
''Jangan berlagak kau lebih menderita dariku. Pikullah ini sebagai seorang prajurit."
Aku menangis, tetapi dengan tangis yang kering, dengan teriak yang senyap,
dengan jiwa yang kosong. Karena aku diam saja, Verbruggen bercerita terus. Dengan
suara yang tenang, atau dibuat-buat seolah tenang. Dia pun menderita. Barangkali
lebih menderita dariku. Aku tidak mengira cinta lelaki bisa begitu mendalam dan tak
bisa luntur.
“Aku ingin menyelidiki sendiri. Tanpa diganggu orang. Aku pun manusia dengan
perasaan, dan betapa pun bandit aku ini, aku pernah mencintai ibumu. Kuselidiki di
pihak-pihak ningrat sana. Aku kenal siapa kaum kerabat ayah dan ibumu. Dan mere-
kalah yang menceritakan riwayat sedih itu. Tanpa melantur segera aku mencari ibumu
di Kramat." Parau aku bertanya: "Ia bisa diajak bicara?"
95
"Bisa. Ia bukan gila dalam arti liar. Seperti wataknya dulu, ia tenang. Hanya diajak
dialog ia tidak bisa. Ia hanya ... " Aku meloncat dan berlari ke jipku. Tanganku
dipegang erat oleh Verbruggen.
"Nanti dulu."
"Biarkan aku. Aku mau melihat ... biarkan aku. Kutembak kau !" Verbruggen
mendesis. "Gila kau. Malu tidak kau didengar orang-orang di selokan itu." Aku
lunglai merebahkan diri di ranjang. "Leo, kita akan bersama-sama menengok ibumu.
Tetapi dengan hati yang tabah dan siaga. Tidak seperti anak puber begitu. Sekali lagi,
jangan mengira kesedihanmu lebih besar dari kesedihanku. Penderitaan anak bisa
dalam. Tetapi penderitaan kekasih bisa lebih dalam. Maka itu jangan berlagak. ltu
kalau kau lelaki dan bukan seorang banci sentimentil yang cuma bisa meong-meong
kayak kucing."
“Apa?" Dan Verbruggen kupandang dengan nyala apiku yang benci. Tetapi
matanya yang biru abu-abu itu jauh lebih menyala dan aku merasa kecil di
hadapannya. "Tidak, tidak!" Aku meloncat ke luar. Sesudah itu aku sudah tidak ingat
diri lagi. Kelak aku tahu, bahwa pada saat itu tangan Verbruggen maju dan dengan
pukulan silat di tengkuk, aku dibuat tidak sadar.
Tidak banyak yang dapat kuingat dari pertemuanku dengan Mami, sesudah sekian
tahun tidak bersua. Sebab, saat itu aku sedang kacau dan satu-satunya kesan yang
masih tinggal dalam kesadaranku hanyalah satu ini. Seorang wanita kurus dan pucat,
tetapi masih cantik. Dan wajah kurus putih yang cantik tersenyum itulah yang
kuanggap anugerah warisan terakhir yang kuterima langsung dari Mami. Ibu sudah
tidak dapat diajak berdialog. Pada setiap pertanyaan beliau hanya tersenyum dan
berkata lembut:
''Ya, segala telah kuberikan. Segala telah kuberikan. Tetapi mereka mengingkari
janji."
"Mami, Mami tahu aku siapa?"
''Ya, segala telah kuberikan, segala."
"Mami, aku Teto, anakmu Teto. Mami, aku Teto."
''Ya Teto, mereka mengingkari janji."
"Mami, ini karibmu lama, Verbruggen. Ingat tidak Verbruggen!"
“Ah, bagaimana kabar Verbruggen. Ya, sungguh segala telah kuberikan. Tetapi, ya
begitulah mereka mengingkari janji."
Akhirnya aku menangis tersedu-sedu dalam pangkuan ibuku. Tetapi Mami hanya
tersenyum dan menyeka rambutku.
"Leo, Leo, Mami telah memberikan segala-galanya. Tetapi mereka mengingkari
janji." Pandangan mata ibu nampak jauh. Seolah-olah ia sudah di "sana", tidak di
"sini" lagi. Tetapi ibu sangat tenang wajahnya dan segala gerak-geriknya sama seperti
dulu.
Dokter jiwa Kramat, seorang Indonesia yang sudah agak tua dan tampak lelah,
mengatakan bahwa ia tak mampu berbuat apa-apa. Barangkali para psikiater di Eropa
dapat menolongnya? Segala-gala telah diberikan. Tetapi mereka mengingkari janji.
Dengan kata lain, tidak ada gunanya kami mencari Papi di "sini".
96
13. Burung Kull Mendamba
Menjelang senja Larasati dan ibunya minta diri dari pak Lurah untuk berjalan-jalan
sedikit. Jarang mereka dapat berlibur. Dapur umum tidak pemah beristirahat. Sejak
Ayah tersayang gugur, Atik dan Bu Antana bersepakat untuk berbakti di desa, di
antara para gerilyawan. Rumah di Cemorojajar mereka kosongkan dan memang para
tetangga semua mengungsi juga. Daripada mereka tanpa guna di dalam rumah kosong
di dalam kota yang diduduki musuh dan setiap kali takut diperkosa serdadu, lebih baik
minta perlindungan kepada saudara-saudara desa yang begitu baik menolong mereka
dalam keadaan yang paling pahit.
Ibu Antana dan Atik sudah sepakat untuk mengebumikan suami dan ayah di dalam
kuburan desa saja. Selain mustahil mengangkut jenazah ke kota, keputusan mereka
diberi makna yang indah juga. Pak Antana sejak kecil pecinta alam dan sebenarnya
hanya terpaksalah dulu tinggal di Kramat. Tetapi dalam tulangsungsumnya, Pak
Antana hanya bahagia di antara pohon-pohon dan sawah-ladang yang bebas. Maka
dari segi itu dapat dianggaplah rahmat, bahwa suami dan ayah kedua wanita itu gugur
justru di tengah sawah. Atik selalu ingat kepada anak ayam yang dulu direnggut
burung elang di halaman neneknya. Begitulah alam. Namun mereka yakin,
penguburan di desa pasti sangat berkesan kepada jiwa pribadi yang mereka sayangi.
Sejak itu, ibu dan putri bekerja-bakti di dapur umum para gerilyawan di suatu desa di
seberang jurang Juranggede yang bernama Grojogan. Tugas di dapur berat secara
fisik, tetapi dari segi penyegaran jiwa tak berat. Sebab begitu mereka lalu tidak
merasa sebagai pengemis yang hanya menerima pengayoman tanpa imbalan. Tanpa
dapur umum perjuangan para gerilyawan mustahillah. Dan selalu saja ada pekerjaan
atau tugas mendadak yang lekas-lekas harus dise1esaikan.
Tetapi petang itu Bu Antana dan anaknya ingin makan angin sedikit, sebab pagi
tadi datang berita yang sangat menggembirakan. Seorang kurir dari Banaran, tempat
Staf Umum TNI bersembunyi, membawa warta bahwa Bung Karno dan Bung Hatta
beserta se1uruh Pemerintah akan dipulangkan ke Yogya. Bahkan seluruh dunia
mence1a Belanda, terutama India dan negara-negara bersahabat di Asia; tetapi tidak
boleh dilupakan juga, Amerika Serikat. Kali ini permasalahan akan diselesaikan
secara total.
Indonesia akan diakui oleh dunia internasional dan akan segera diadakan
Konperensi Meja Bundar. Dan konperensi ini hanya beracara tunggal: penyerahan
kedaulatan kepada RI. Ke1ak Larasati tahu, bahwa bukan RI, melainkan RI Serikat
yang akan dibentuk itu yang bakal menerima penyerahan. Akan tetapi kurir ketika itu
berkata RI. Dan tentulah hal itu yang paling wajar. Larasati dan ibunya tahu, bahwa
sebentar lagi mereka harus meninggalkan desa Grojogan. Atik pastilah akan sibuk lagi
sebagai salah seorang sekretaris di Kementerian Luar Negeri. Dan ibunya? Belum lagi
tahu, apa yang akan dikerjakan. Yang jelas, ke rumah abangnya di Surakarta dulu.
Dan jika Atik harus ke Jakarta nanti, tentulah ibunya harus ikut pula.
Maka pada sore hari itu, kedua wanita itu menuju ke kuburan untuk berdoa di
pemakaman, yang hanya diberi tanda dua tonggak kayu sengon. Atik gelisah, tetapi
ibunya tidak tahu bahwa Atik gelisah tidak karena teringat ayahnya. Ya, tentulah Atik
mengenang dan berdoa untuk ayahnya, akan tetapi gagasannya se1alu saja terbawa
lari entah berentah, ke Teto.
97
Kemenangan nasional bagi Atik dibayangi oleh sayap elang gelap, bila mengingat
nasib Teto sekarang. Apakah dia akan dapat menerima kekalahannya? Bagi Atik dan
barangkali untuk setiap wanita yang mencinta, soalnya bukan kalah atau menang,
sebab permainan sondakh mandakh ¹⁾ cinta tidak mengenal itu.
Tetapi Atik sadar juga, bahwa tidak segampang itu perkaranya. Sebab Teto bukan
wanita. Bagi lelaki, apabila ia berwatak rusa raja atau bermuka banteng, soal kalah
atau menang sangatlah vital, bahkan sering yang paling merajale1a segala gagasan
dan sikap. Dan kedua, Teto justru ada di pihak yang kalah fisik, pada pihak yang oleh
kaum sebangsanya dicap sebagai pengkhianat, penjual bangsa.
Kesalahan Teto hanyalah, mengapa soal keluarga dan pribadi ditempatkan
langsung di bawah sepatu lars politik dan militer. Kesalahan Teto hanyalah, ia lupa
bahwa yang disebut penguasa Jepang atau pihak Be1anda atau bangsa Indonesia dan
sebagainya itu baru istilah gagasan abstraksi yang masih membutuhkan konkretisasi
darah dan daging. Siapa bangsa Jepang? Oleh huruf-huruf hitam mati di koran
memang disebut bangsa Be1anda, kaum kolaborator Jepang dan sebagainya. Tetapi
siapa bangsa atau kaum ini itu, bila itu dikonkritkan? Bila itu dipribadikan? Bila
menghadapi Paijo atau Suminah, Willem van Dyck atau Koosye de Bruyn?
Yang menodai Bu Kapten bukan bangsa Jepang, tetapi Ono atau Harashima. Dan
karena kelaliman Ono atau Harashimalah seluruh bangsa Jepang dan kaum republik
yang dulu memujamuja Jepang dikejar-kejar. Pak Lurah dan Mbok Sawitri yang me-
ngepalai dapur umum di desa, serta Pak Trunya yang dulu menolong Pak Antana
tidak ikut-ikutan dengan kekejian Ono. Tetapi kesalahan semacam itu apalah artinya
bagi Larasati. Teto tetap Teto, dan bukan "pihak KNIL".
Ah, mengapa ada manusia kalah? Bolehkah tanpa berkhayal hampa kita
mendambakan suatu dunia sesudah perang kemerdekaan ini, yang menghapus dua
kata "kalah dan menang" itu dari kamus hati dan sikap kita? Atik merasa intuitif,
bahwa pada hakekatnya manusia diciptakan hanya untuk menang. Ataukah itu
gagasan yang hanya mungkin timbul, karena yang punya gagasan itu ada di pihak
yang menang? Sedangkan manusia yang kalah akan berkesimpulan lain, sebab
beranjak dari pikiran atau penghayatan yang lain juga, ialah, bahwa manusia pun
hakekatnya adalah kekalahan konstruksi absurd, bahan tertawaan, batu tindasan.
Mungkinkah kalah dan menang itu diganti oleh satu konsep saja, unsur-unsur
harmoni, kendati tempatnya bertentangan? Apakah kematian ayahnya harus diartikan
malapetaka atau pintu gerbang ke tingkat kebahagiaan yang lebih luas dan mulia?
Atik yakin, bahwa tak mungkin ayahnya sekarang dalam keadaan menyedihkan.
Sebab ayah manusia yang baik dan budiman. Bagi yang ditinggal, memang menyayat
hati. Tetapi bagi yang meninggal? Lalu apa beda dari ide-ide para pemberontak di
Madiun itu yang melihat segala-gala bagaikan pertikaian air lawan api, agar tercapai
hasil air teh? Bukan dialektika, melainkan dialog seharusnya. Ah, di sinilah lagi,
manusia dilihat dengan istilah pukul rata: para pemberontak yang punya ide ini itu.
Siapa konkrit "para" itu "yang" ini itu? Beberapa orang ataukah "mereka semua"? Ti-
daklah mudah untuk melihat saudara sebumi dan seangkasa ini sebagai engkau
Marsudi" atau "anda Nani". Sebagai ... Teto dan Atik. Apalagi kalau sudah menjurus
soal cinta. Atik cukup paham, bahwa cinta bukan hanya udara kimia homogen rasa
cinta belaka.
¹⁾ Dari kata Zondag-Maandag (Bld): permainan anak-anak.
98
Perkelahian, perbantahan, kejengkelan teremban juga dalam keseluruhan yang disebut
cinta itu. Tetapi dalam cinta memang perkelahian menjadi lain. Bagaimana kelak
kalau punya anak, diberi nama Bambang Dialogo'? Dan bila perempuan: Siti Har-
moni?
''Ada apa kok tertawa?" tanya ibunya.
"Tidak ada apa-apa."
"Mosok, tidak ada apa-apa kok tertawa."
"Kan sering begitu Bu, orang itu."
''Aku tidak."
''Ya, karena tidak melihatnya."
"Ingat Teto, ya?"
''Ya, Teto dan ayah dan ibu dan Pak Lurah dan tahu tempe dapur umum." Ibunya
hanya geleng-geleng kepala.
Langit Barat serba menyala dan awan-awan hitam terakhir dari musim hujan masih
saja bergumpalan, namun dengan tepi-tepi kencana yang menakjubkan.
"Semoga Teto masih selamat dan ke luar sehat walafiat dari perang ini," kataAtik.
"Benarkah di luar sahabat Teto tidak ada pria lain?"
''Pria sih banyak, Bu. Tetapi suarni kan tidak hanya pria saja. Ibu tidak pernah
setuju bila aku menyebut Teto."
"Seorang ibu selalu begitu, Tik. Dan jangan lupa, Tik. Suarni lain dari kekasih
belaka."
''Ya, aku memahami itu. Sudah banyak kali ibu mengatakan itu. Aku setuju, aku
setuju, Bu. Tetapi kan boleh, dalam senja yang indah seperti ini orang berfantasi
tentang kekasih. Lihat itu, langit pun berwarna-warni seperti bunga-bunga fantasia."
Bu Antana dalam hati sebenarnya sudah menyerah, seperti biasanya, menghadapi
Atik yang cerdas dan selalu jujur membidik tepat mengenai sasarannya. Bu Antana
tidak pernah dapat banyak membantah. Satu-satunya pegangan yang dipunyai Sang
Ibu hanyalah pengetahuan, bahwa Atik tidak akan berbuat yang bukan-bukan. Tetapi
dari pihak lain, anak yang pandai belum tentu ahli juga dalam masalah cinta.
Rasionalitas yang tinggi sering diikuti oleh kesentimentilan yang mencemaskan. Ah,
sebetulnya Atik dapat memiliki hari-depan yang gemilang. Ia selalu berkecimpung di
kalangan teratas dari negara yang muda ini. Dan sekarang, di ambang pintu kejayaan
pengakuan kedaulatan Republik yang mereka perjuangkan itu, lebih gemilang lagi
hari-depan Atik. Dan di mana ada ibu yang tidak menginginkan kedudukan bagi
anaknya yang lebih bagus dari orangtuanya?
Tetapi Bu Antana terkenang juga masa mudanya. Ketika itu pun Marsiwi tidak
mustahil dipersunting oleh seorang pangeran keraton Sunan Surakarta. Sekian banyak
putera dari garwa ampil akan gembira memperoleh Raden Ajeng Marsiwi ... lnikah
hukum Karma?
Tetapi bila hukum Karma menjadi kehidupan, tentulah Atik juga akan bahagia
seperti ibunya ketika memperoleh Mas Antana. Dari pihak lain, apakah suaminya
yang seluhur budinya itu, yang halus penuh tenggang rasa dapat disamakan dengan
Teto, serdadu KNIL, yang dicap pengkhianat dan penjual bangsa? Bu Antana tahu,
seperti seluruh keluarga di Sala, mengapa Teto berbuat demikian. Tetapi apakah
motivasinya cukup berbobot? Bu Antana tidak mungkin menempatkan diri duduk di
kursi hakim. Namun sekarang ada permasalahan yang langsung mengenai dirinya.
Atau lebih tepat mengenai anak tunggalnya Atik .
99
Erat-erat tangan anaknya dipegang, seolah khawatlr hilang. Sekali lagi ia masih
akan mencoba. Siapa tahu, anaknya akan berubah haluan, pada saat yang terakhir.
Sering tarikan tiba-tiba sedikit saja sudah dapat membelokkan layang-layang pada
saatnya, bila kebetulan kena. Seperti puteri-puteri priyayi tinggi lainnya, Bu Antana
dulu juga sering bermain layang-layang. Tetapi tidak seperti anak-anak lelaki.
Layang-layang puteri-puteri bangsawan berbentuk segitiga, terbuat dati sutera dan
dari ketiga ujung itu terikat dua belas saputangan berwarna-warni.
Ah, seperti kemarin saja masa kanak-kanak dirasakan Bu Antana; di jaman yang
tidak pernah ada perang dan revolusi. Tidak bisa dibanding. Segala situasi serta
perkara-perkara besar-kecil pun tidak bisa dibanding. Bukan layang-layang sutera ber-
sapu-tangan warna-warni yang dihadapi hari ini, tetapi pesawat pemburu yang
menyemburkan maut untuk suaminya.
Memang benar kata Atik, kasihan suaminya tidak mengalami lahirnya cucu.
Seolah-olah hidupnya berakhir tanpa berkat. Tidak seperti bunga yang gugur karena
selesailah tugasnya. Suaminya dirampok dari tengah-tengah mereka. Dan sekarang
anaknya bersimpati atau bahkan mencintai salah seorang wakil dari pihak yang
membunuh suaminya. Mengapa semua itu harus terjadi? Bagaimana pertentangan itu
harus ia emban?
"Tik, bukan aku ingin mengganggu pikiranmu ... "
''Boleh Ibu, gangguan seorang ibu kan baik-baik saja."
"Juga ibumu tidak berkehendak menusuk perasaanmu."
''Ah, tusukan ibu kan tusukan enak."
''Tik, serius. Bagaimana seandainya, ini hanya ... hanya seandainya. Bagaimana
seandainya Teto tidak berminat padamu, jangan lagi melamar. Kan bertepuk tangan
sebelah tidak bisa."
"Kalau dia tidak melamar, sayalah yang melamar."
Terkejut Bu Antana mendengar ucapan yang menurut adat tidak semestinya itu.
''Apa itu tidak memalukan, Tik?".
"Memalukan? Ah, Ibu. Kan Atik tidak mencuri, tidak bohong, tidak berbuat eh ...
tidak ... jinah?"
"Ya, tetapi bagaimana seorang puteri kok melamar."
“Biasa, melamar. Keleting Kuning melamar Ande-Ande Lumut.
Kan hikayat Jawa itu punya arti: ngunggah-unggah ¹⁾ asal baik-baik caranya, diakui
syah, atau istilahnya: berusahalah." Ibunya menggeleng-gelengkan kepalanya.
''Bagaimana andai ayahmu tahu itu?"
"0, Ayah pasti setuju dengan Atik."
Dalam hati Bu Antana tahu, bahwa dalam masalah seperti ini, suaminya pasti akan
memihak anaknya. Tetapi bagaimana nanti seandainya Teto menolak?
"Sekarang yang benar, Tik. Pernahkah kau menerima surat atau apa pun dari dia?"
''Belum.''
"Nah, bagaimana kau tahu bahwa ada kemungkinan dia akan menjawab
kecenderungan hatimu?"
"Aku tahu."
"Apa pernah ada tanda-tanda ke arah itu?"
"Tentu saja Pernah."
"Pernah? Kapan?"
¹⁾ Wanita yang melamar pria.
100
"Ya, kapan-kapan. Tetapi pernah."
"Kau belum pernah cerita itu kepada ibumu."
"Maaf, Bu. Memang belum."
"Hati-hati Tik, jangan bermimpi."
"Dalam jaman seperti ini, kadang-kadang mimpi kan sering perlu Bu." Dan
pinggang ibunya dirangkul. Bu Antana menyerah, seperti setiap wanita Jawa sejati
akan sumarah. Dalam keadaan apa pun. Tanpa patah-hati. Atik menoleh dan ibunya
diputar melihat ke arah sebaliknya, ke kawah Gunung Merapi yang terkena oleh sinar
senja.
"Lihat, Bu. Alangkah inginnya aku sesekali naik sampai di atas puncak itu. Dan
mengembara ke dalam hutan-hutan lereng-lereng itu. (Dan lirih berbisik) Seperti dulu,
bersama Ayah ... Ataukah barangkali Ayah sedang mengembara di sana juga, di
puncak itu? Tidak. Ia di samping Ibu sekarang. Di sampingku juga. Ibu tidak
mendengar Ayah? Bisikan Ayah?"
Bu Antana diam, mata berlinang-linang dan mendengarkan suara angin.
Bagaimana nanti seandainya Atik sudah kawin dan hidup bersama dengan suaminya?
Selayangan timbul pikiran jelek: setiap peminang anaknya adalah perampok. Yang
menjambret kebahagiaan seperti yang sekarang ini, berdampingan dengan anak
tersayang. Kalau sudah kawin, Atik sudah milik orang lain. Terasa getir jadi janda
yang harus menyertai menantu.
"Ibu, mari duduk di batu ini. Agar tenang dapat menikmati puncak gunung itu."
Desa persembunyian markas dan dapur-umum para gerilyawan itu begitu dekat
dengan puncak Merapi sehingga terang tampak kepulan-kepulan keci1 seperti bintik-
bintik bulu anak ayam turun dari kawah. Setiap tiga-lima menit keluarlah bulu-bulu
asap itu, dan menggelinding ke bawah. Puncak dan lereng itu tampak kasar telanjang
tanpa pepohonan. Hanya lahar saja, dan tampak jelas kontras reliefnya, mana
punggung mana jurang.
Petang semakin dingin, tetapi Larasati selalu memohon agar masih boleh
menunggu beberapa menit. Udara dingin di lereng gunung. Karenanya mereka telah
membawa jas-jas hangat. Bahkan jas yang dipakai Bu Antana adalah jas berbulu
tebal, hadiah isteri seorang sekretares Goodwill Mission dari USA yang bersimpati
terhadap Larasati. Barangkali agak longgar sedikit untuk Ibu, tetapi lebih baik begitu.
Kedua wanita itu menunggu tenggelamnya matahari. Bintang-bintang pertama telah
menyala dan segeralah langit suram menjadi gelap. Lihat, lahar yang menyala kini
tampak jelas, seperti lidah Batara Agni yang senantiasa mengancam manusia yang
pernah mencuri api dari kahyangan.
Penduduk desa pulau Jawa umumnya tidak berbeda dari gunung-gunung yang
mereka huni, pikir Atik: serba tenang, damai, namun kedamaian lereng vulkan yang
setiap saat dan periodis meletus memuntahkan lahar. Minggu yang lalu tersiar berita
tentang seorang sersan mayor di desa seberang jurang, yang kata orang mengobrak-
abrik makam orang desa Juranggede yang meninggal pada hari Selasa Keliwon. Ia
ingin mendapat kesaktian dan mencari kekayaan. Dunia kaum diplomat internasional
dan dunia mayat Selasa Keliwon yang digigit patah lehernya, alangkah lebar jurang di
antara kedua dunia itu. Di manakah Larasati berdiri?
Diam kedua orang itu memandang pada lidah api yang setiap tiga-lima menit
meluap lalu pelan-pelan mengalir ke bawah. Pijar-pijar api menyertai lidah. Lalu
berhenti. Ke luar lagi. Pemandangan yang mencekam.
101
Sudah berapa ratus ribu tahun puncak Merapi itu bermain lidah api begitu?
Tentulah nun jauh di kala dahulu, gunung Merapi belum setinggi itu. Barangkali dulu
kawah melalui liang leher Merbabu disebelahnya. Kita hidup di atas tungku yang
masih panas bergolak. Negeri ini subur dan gending-gending sinden-sinden meng-
alunkan kedamaian manusia-manusia penanam padi di lereng-lembah. Kesuburan
hadiah dari muntahan gunung api yang buas.
"1bu, barangkali Atik tidak akan terus bekerja di Kementerian Luar Negeri."
Dalam gelap suara yang hampir berbisik itu terasa sebagai angin malam yang
mewartakan berita penuh kekhawatiran ke dalam telinga ibunya.
"Apa lagi, Tik! Di Kementerian Luar Negeri karirmu bisa terjamln.
"Aku seolah mendengar pesan Ayah, Bu."
Tubuh anaknya ditarik dan dirangkulnya. Berdebar-debar jantung Jawa sang 1bu
menanti apa yang akan dikatakan anaknya itu. "Aku ingin meneruskan pekerjaan
Ayah. Di dalam dinas kehutanan, Bu." Dalam gelap tidak tampak tetapi seperti kawah
Merapi itulah airmata panas dari kedua wanita itu meleleh. Ya, begitulah. Sudah
seharusnya begitulah. Mengapa gagasan semacam itu tidak datang dari kalbu si 1bu?
Bu Antana merasa bersalah terhadap suaminya. Apakah selama ini ia baru teman
hidup, dan belum seperti yang selalu diajarkan oleh para orang-tua, belahan jiwa,
garwo? Seharusnya ia lebih dulu merasakan itu. Ternyata toh anaknya Larasati lebih
dekat dengan ayahnya. Seolah-olah kesejatian diri suaminya itu sekarang sudah
pindah raga dan memanjing di dalam kalbu anaknya. Dan lebih terasa lagi kesepian
hati Bu Antana menghadapi nasib ditinggal sendirian. Sebentar lagi anaknya harus
pergi juga. Lalu kawin, Lalu ... BuAntana menangis.
"Maaf, Bu, saya tidak tahu, bahwa itu membawa kesedihan 1bu."
"Tidak, tidak, Tik," dan menangislah lirih ibunya.
Apakah Gunung Merapi itu sedang menangis, tanya Atik dalam hatinya. Karena
begitu sesak rongga dalamnya, alam sering menangis pula. Atik merasakan sumber
kekuatan ayahnya. Ayah pandai berdialog dan menangkap pewartaan alam. Mengapa
ibuku menangis? Ah, tentulah ia merasakan kesedihan jandanya.
“Aku tidak sedih, Tik. Bahkan sebaliknya."
"Kalau begitu, menangislah tenang Bu, Atik akan selalu mendampingi Ibu."
"Sekali saat kau harus meninggalkan ibumu. Itu sudah selayaknya. Ibu akan lebih
bersedih hati kau menjadi perawan tua. Pohon yang mandul. Jangan, Tik. Kau harus
segera kawin. Siapapun terserah kau. Asal Atikku bisa bahagia seperti ibumu."
Atik diam. Pemilihan hati yang ditentang membawa kesulitan banyak. Akan tetapi
pemilihan yang sudah diberi jaminan ruang kebebasan bahkan tujuh kali lebih sulit.
Sekarang bahkan ia bimbang, betulkah keyakinannya selama ini, bahwa hanya Teto
yang paling ia dambakan? Mengapa ia memilih Teto? Karena ingin
menyelamatkannya dari suatu kehancuran yang sudah menampakkan diri dalam
seragam serdadu KNIL sekian tahun yang lalu di jalan Kramat itu? Apakah rasa
kasihan cukup untuk dijadikan sendi hidup perkawinan? Di mana dua pucuk senjata
yang dilemparkan Teto ke dinding itu sekarang? Pada saat itu Atik paham benar
tentang kebimbangan,sahabatnya yang malang itu. Teto sendiri sebenarnya bahkan
membenci keputusan sikapnya itu, akan tetapi toh ia berbuat terus melawan suara
hatinya. Ataukah hanya keliaran binal saja itu? Gerak gaya jago serba berani me-
nentang bahaya yang ingin ia perlihatkan? Barangkali ia malu menghadapi seorang
gadis dengan pistol dan senjata otomatik? Atik tidak pernah merasa diri punya watak
Srikandi.
102
Tetapi dapat dibayangkan betapa malunya Resi Bisma ketika harus berhadapan
dengan lawan perempuan Srikandi. Tetapi Atik tidak pernah punya niat untuk melukai
Bisma sedikit pun. Ataukah ada kekuatan Ambika yang melayang di udara dan yang
mengalahkan Bisma, sehingga Teto terpaksa lari? Lari karena takut? Tidak. Pasti
tidak.
Teto tidak mengenal takut. Ia lari, barangkali karena tidak kuat menghadapi
situasinya, menghadapi konflik batin antara nafsu membalas dendam nasib ayah dan
ibunya dan perasaannya terhadap dia, Atik. Apakah itu harus ditafsir sebagai sebentuk
sasmita rasa cinta yang terpendam? Selama ini begitulah tafsiran Atik. Tetapi apa
benar demikian? Di mana senjata itu sekarang? Sudah lama hal itu tidak ia tanyakan
lagi. Kawan-kawan Larasati yang menjemputnya di Krarnat VI dulu itu berhasil
pulang lagi ke rumah Proklamasi di Pegangsaan Timur dengan riang, dan telah
menyelundupkan kedua senjata itu ke dalam mobil. Tentulah mereka bertanya, dari
mana ada dua senjata itu. Atik sulit bohong. Tetapi toh ia berhasil membelokkan
kemungkinan kecurigaan. Ada serdadu India yang rupa-rupanya mau merampok,
tetapi meninggalkan senjata itu dengan bayaran suatu patung ukiran Bali sebagai
kenangan. Dongeng itu sarna sekali tidak logis. Tetapi di saat-saat serba panik dan
teror, semua hal mungkin saja terjadi ... dan dipercaya.
Sesekali akan ia tanyakan lagi kepada Mayor Budi, kawan yang menjemputnya
dulu itu. Ingin ia minta kembali kedua senjata itu. Kalau boleh sebagai kenangan. Toh
sekarang sudah tak dibutuhkan lagi. Serdadu India yang merampok? Atik tersenyum
sayu. Seandainya benar, alangkah bahagianya, perampok hati. Tetapi biarlah.
Memang mengharukan dongeng Ande-Ande Lumut. Tetapi siapa lelaki tulen yang
mau jadi Ande-Ande Lumut? Angkasa penuh bintang ini seharusnya indah dan cukup
menerangi kegelapan hati.
"Tik, ibumu sudah terlalu kedinginan. Dan kita harus menolong mereka di dapur-
umum. Lagi, tidak pantas kan perempuan sendirian di kegelapan."
"Ibu kan tidak sendirian di kegelapan?"
"Tidak sendirian, tetapi sendirian juga."
"Mari Bu."
Sambil pelan-pelan berjalan pulang bergandengan dengan ibunya, Atik
memperhatikan suara-suara warta alam yang sudah bersiap untuk istirahat. Konser
serangga-serangga cenggeret-nong yang selalu ramai menggesek biola mereka serba
dialog sudah berhenti, "gerèèèt-nong gerèèt-nong" disusul: "sigarèt-crèt-sigarèt-crèt-
sigarèt-crèt" begitu mereka sejak tadi.
Bahkan sering berbunyi begini serangga-serangga itu "sendiko! sendiko! Sendiko ¹⁾
Namun kini mereka sudah berhenti. Ah, itu si burung kul yang terlambat pulang
barangkali. Burung kul atau kukuk itu memang tukang mengeluyur, dan buruknya
selalu menitipkan telur-telurnya dalam sarang burung-burung jenis lain. Watak
kolonial sungguh, seperti NlCA. Lagi aneh burung-burung kul itu. Yang betina
berwarna coklat merah tua bercahaya hijau dan berbintik-bintik muda. Cantik anggun
sebetulnya. Tetapi yang jantan jelek, hanya hitam seperti gagak belaka dan memang
sering keliru dianggap gagak. Hanya kalau terbang tampak bedanya: si burung kul
ekornya lebih panjang dan cara terbangnya lebih tergopoh-gopoh.
¹⁾ Sendiko (bhs. Jawa): siap taat.
103
Tetapi ocehan jantan dan betina anehnya lain juga, padahal burung satu macam. Yang
betina lebih puitis: "culik-ulik-ulik" dan disambung "kuil-kuil-kuil!" Sehingga orang
menyebutnya burung culik-ulik; sedangkan yang jantan sangat prosa:
"Tuhuu-tuwoo, tuhuu-tuwoo!" Maka diberi nama burung tuhu atau tuwo. Lucu kalau
mereka berdialog: culik-ulikulik ! Disambut: Tuhuu, Lalu: kuil--kuil--kuil! Tuwoo!
Dulu Atik sangat senang clan banyak tertawa karena percakapan mesra mereka:
"Culikulikulik-Tuhuuu-kuilkuil-Tuwoo." Tetapi sekarang semua itu mengingatkannya
pahit kepacla tragedi ke1ainan bahasa clengan "abangnya" Teto. Mungkin ibunya
lebih betul: Larasati harus lebih realistis. Romantika revolusi inclah memang, tetapi
hanya clalam novel picisan.
Kuil-kuil-kuil! Tuwoo!
104
B a g i a n III
1968 - 1978
14. Jurang Besar
His Excellenry John Ambassador Brindley mengangguk-angguk. Sopan-santun
setempat mengharuskan beliau mengangguk-angguk sambil kadang-kadang betkata
takjub: "Bagus! Bagus!" ltu kata pujian pertama yang ia hafalkan sejak ia diangkat
menjadi duta-besar di negeri vulkan yang cantik jelita ini. Dan juga "terimakasih",
"maafkan". Memang gunung berapi yang sangat runcing itu benar-benar indah.
Nyonya Duta Besar dan puterinya, kedua-duanya tidak merasa sejuk sedikit pun,
kendati punggung sampai pinggul menampakkan kulit berwarna bakso Mbah Kliwon.
Harus diakui, alam di sini indah. Suasana mendamaikan jiwa. Segera mereka sibuk
mendesingkan kamera film mereka. Ke arah kerucut yang puncaknya sobek besar,dan
yang tampak kadang-kadang melemparkan gumpalan-gumpalan , kecil awan putih.
Tetapi tak lupa juga lensa kadang-kadang dibidikan ke arah anak-anak melarat yang
berduyun bersotak ria ingin masuk ke dalam alat film itu; entah dengan harapan apa
tak seorang pun tahu sebenarnya. Pokoknya senanglah, senang murni.
Anak-anak itu riang dan untunglah semua serba berisi daging. Tak ada yang kurus
memalukan negara, begitu pikir Pak Camat. Noni puteri duta-besar itu (atau
kemenakan, tak ada yang tahu persis tentu saja) dengan tersenyum minta bapak-bapak
polisi yang banjir tanggung-jawab itu, agar jangan mengusir anak-anak. berjingkrak-
jingkrak, mulut bergigi terlalu besar seperti kelinci mereka berebutan ingin jadi
bintang film. Pak Gubernur dalam hati malu melihat tingkah anak-anak itu yang
kurang menunjukkan kewibawaan negara. Ia mendekati Pak Bupati dan tampak
mukanya seram marah. Pak Bupati hanya dapat mengangguk-angguk, siap
melaksanakan perintah. Ia pergi ke Pak Camat. Maka ketika nyonya-nyonya itu
mengejar duta-besar yang menjauh, yang rupa-rupanya ingin menaksir dalamnya
jurang, dengan tangan serawehan ¹⁾ Pak Camat memberi aba-aba tanpa kata, agar
anak-anak itu enyahlah. Seorang anak terjatuh bersama kakaknya dan menangis keras.
Seorang polisi mendekati mereka dan tampak dari gerak tangan dan kulit mukanya,
bahwa gadis dengan anak menangis itu, "oknum-oknum yang tak diinginkan",persona
non grata.
Tetapi anak-anak dan muda-mudi yang sudah sejak pagi menunggu kedatangan
tamu-agung di Juranggede, jurang MEREKA, tentu saja tidak mau begitu saja disuruh
pulang. Berduyun-duyun mahluk-mahluk gesit itu mengikuti rombongan tamu-agung
ke mana saja mereka pergi.
Bapak Gubernur tampak kesal melihat bangsanya begitu terbelakang, ndeso ²⁾.
Begitu juga Pak Bupati; tetapi bukan karena anak-anak itu kurang internasional, tetapi
karena ia baru bupati penjabat. Karena itu apa pun yang mungkin dapat menjadi batu
perintang kenaikan pangkatnya menjadi bupati sungguh-sungguh harus disingkirkan.
¹⁾ kalang kabut.
²⁾ Seperti orang desa.
105
Pak Camat juga kesal hati melihat anak kepangrehannya begitu tak tahu adat
mendekati tamu-tamu agung. Ia khawatir juga, jangan-jangan nanti Pak Bupati
menanyakan soal SD Inpres yang selama ini belum beres soal pembangunannya, dan
berapa jumlah anak yang akan ditampung sesudah SD Inpres itu selesai.
kalang kabut. Seperti orang desa.
Dan anak-anak itu? Sama sekali tidak kesal hati. Anak diusir sudah merupakan hal
yang semestinya terjadi. Bahkan luar biasa aneh kalau tidak begitu. Tetapi dari pihak
lain, bila anak tidak menggubris perintah dan menjengkelkan seperti lalat yang diusir
tetapi nekat kembali lagi, nah, itu pun sudah biasa juga. Aneh juga andai anak tidak
seperti lalat. Untung Sang Duta Besar sudah membiasakan diri dengan cara
penyambutan anak-anak negara yang sedang berkembang. Istrinya juga, bahkan
puterinya sudah belajar memanfaatkan adat dikerumuni anak-anak dan orang-orang
pribumi. Ia punya hobi mengumpulkan foto wajah-wajah macam-corak orang-orang
dan anak-anak miskin, atau yang rupanya sudah buruk, tua bangka keriput, atau yang
aneh-aneh, pokoknya manusia-manusia pribumi yang "interesan" istilahnya. Foto-foto
itu dipasang di dalam kamarnya sehingga merupakan semacam komposisi unsur-
unsur wajah yang, betul percaya deh, bisa dikatakan bermutu seni juga.
"Negeri Tuan sangat indah," kata Duta Besar penuh sanjungan diplomat kepada
Gubernur. Mungkin juga ia jujur mengatakannya itu. “Dan rakyat tuan tampak subur
serba gembira," tambahnya lagi, sambil melepas kaca-matanya yang gelap lebar.
"Kami bangsa Indonesia bangsa yang selalu gembira" jawab Pak Gubernur dengan
nada bangga. "Apa ada satu orang pun Yang Mulia lihat kurus?"
"Tidak! Sungguh tidak! Pipi-pipi anak-anak itu bulat-bulat segar dan ..." ia
membisikkan sesuatu dalam telinga Pak Gubernur, yang mendadak tertawa gelak-
gelak
"Betul! Betul Yang Mulia, montok-montok kaum perempuan kami." Pak Duta
Besar membisikkan sesuatu lagi. Pak Gubernur tertawa lagi. "Terlalu! Yang Mulia
terlalu. Memang ini keprihatinan kami. Kalau Indonesia sudah modern, semua
menjadi kerempeng. Ah jangan, jangan. Kami akan berusaha untuk menjaga
kepribadian bangsa kami. Tetapi apa betul Yang Mulia, ada hubungan antara
tehnologi dan eh ..."
Tetapi Pak Duta Besar membelok 180 derajat, sebab istrinya mendekat dan
memotong 'Sorry, John! Kau tadi bawa teropong? Lihat ini Pak Gubernur, suami saya.
Sudah tujuh kali aku bilang: Jangan lupa teropong! (Kepada suarninya) Nah,
Sayang…….?
"Pasti tidak lupa, Sayang. (Kepada Pak Gubernur). Apa di Indonesia para istri
berhak memerintah pejabat berpangkat tinggi?" (mata dipejamkan satu), Pak
Gubernur hanya tertawa.
106
"Tergantung istri yang bagaimana, Yang Mulia." Istri Duta Besar tersenyum dan
kepalanya oleng genit mendengar sanjungan itu.
Sementara John Sang Duta Besar merangkap Sang Suami mengambil barang yang
dikehendaki istrinya, pak Gubernur bertanya: "Bagaimana Nyonya,
pemandangannya?"
"Indah. Indah sekali. Saya sudah pergi ke mana-mana, akan tetapi seindah ini
belum pernah kujumpai. (Menunjuk ke kawah Merapi.) Lihat itu ada lagi yang
menggelundung. Ngeri sebearnya. Bayangkan itu jatuh di desa penuh dengan anak-
anak manis itu."
"Kami sudah siap siaga. Sudah saya instruksikan pengaturan-pengaturan
pengungsian dan segala hal perihal logistik apabila gunung ini meletus. Tetapi yang
penting ialah menginsafkan penduduk, Nyonya. Pemerintah kami sudah
mempersiapkan tempa-tempat transmigrasi yang bagus untuk hari-depan mereka.
Tetapi sangat sulit menyadarkan mereka. Dan Nyonya tahu, negara kami
berpancasila. Jadi kami tak pernah memaksa penduduk. Kalau mereka tidak mau
pindah, baiklah, kami menghormati kemauan mereka. Jalan-jalan pertolongan lain
masih ada."
"Memang berat rasanya meninggalkan tempat yang begini dah. Lihat, segala-gala
di sini hijau dan biru. Hanya lidah lahar itulah yang hitam. Tetapi subur, sangat subur
tanah ini."
“Itu berkat, tadi kulihat, hujan abu vulkan-vulkan kami, Nyonya."
"Ya, kami tahu. Tapi tadi kulihat selokan kecil. Aduh, alangkah bening airnya.
Nanti kami berhenti sebentar ya, di dekat selokan itu. Ingin aku berhenti sejenak dan
mendengarkan airnya yang gemericik. Bapak Gubernur bahagia menjadi bapak rakyat
daerah yang semakmur ini. Dan anak-anak itu, aduh anak saya tak henti-henti sangat
terpesona oleh mereka. Manis, manis. Juga pemuda-pemudanya ngganteng-
ngganteng. Ada yang wajahnya klasik, seperti dalam Ramayana."
Pak Gubernur tampak berkemilau wajahnya. Tetapi matanya tak bisa lepas dari
kamera film yang dibawa tamunya. Ia mencoba mengingat-ingat merknya. Untuk
bertanya ia malu. Beliau sudah punya, tetapi hanya merk Jepang. Selaku pejabat yang
bertanggung-jawab atas wilayah yang luas, beliau merasa wajib untuk membeli
kamera film yang lebih bertanggung-jawab pula.
Anak-anak melongo mendengarkan percakapan dalam bahasa asing itu. Sungguh
mengagumkan bisa berbahasa asing. Gadis-gadis pada melongo memandang kulit
putih punggung yang telanjang sampai pinggul dari nyonya-nyonya itu. Padahal
dingin di lereng gunung. Heh, berketingat juga, tetapi keringatnya bau, deh. Bukan
seperti kambing tetapi mirip, entah aneh sekali, daging sapi mentah. Ketiaknya
ternyata juga ada rambutnya. Lho, kok sama.
107
Tapi susunya besar, Pak Gobang punya, kusir gerobak sapi yang gemuk dan selalu
mengkilau kulitnya seperti batu kali item kena hujan.
Beberapa anak lelaki berdebat, uang di dalam dompet nyonya itu berapa kira-kira.
Kontan dipukul kakaknya perempuan, yang takut perdebatan itu terdengar para
pembesar. Mereka lari dan menggulung-gulung di rumput. Pesta sungguh hari ini.
Ada yang bisa dilihat.
Banyak yang mengerumuni mobil-mobil pembesar, sambil berdiskusi bikinan
mana dan sebab apa yang satu punya lampu kuning banyak dan yang satu ada tulisan
pelat CD. Berulang-ulang Pak Polisi mengusir anak-anak yang gatal tangan itu.
"Cah ndéso¹⁾” umpatnya. "Belum pernah lihat mobil, ya?" Anak-anak hanya melihat
Pak Polisi seperti mengharapkan keterangan apa artinya CD itu, dan mengapa lampu-
lampu kuning begitu banyak. Tetapi rupa-rupanya Pak Polisi tidak tahu juga. Maka
mereka berjongkok dan mencoba melihat ada apa di bagian bawah mobil. Terkejut
mereka diserodog teman dan spontan cepat-cepat berdiri, disangka dimarahi polisi.
Sambut-menyambut ketawa tentu saja dan berlari-larilah mereka kejar-mengejar.
Puteri Duta Besar memandang mereka berlari sambil tersenyum. Rakyat yang
bahagia, pikirnya dengan sedikit dambaan pada semacam Lost Paradise. Pak Bupati
yang masih penjabat itu memanggil Pak Camat.
"Bagaimana Giyo, garong-garongmu?"
"Aman Pak. Selama Giyo tiga tahun di sini, belum ada kejadian. Insya Allah tidak
akan ada peristiwa berat, Pak. Tetapi sebetulnya Bapak maklum juga, ini hanya
tergantung dari kabupaten seberang jurang sana. Sebab di sanalah sarangnya, sejak
jaman Belanda dulu." Pak Bupati mengerenyitkan mukanya. Mata menyipit
memandang jauh ke seberang jurang lahar ke daerah rekannya Bupati Anu.
''Begitu1ah, memang Anu sahabatku. Tetapi ia terlalu bermoral. Maling harus
ditangkap dengan maling. ltu sudah dalil. Kau kenal semua gentho²⁾ di daerahmu?"
"Semua, pak. Itu beres. Tetapi yang berasal dari seberang jurang sana itu, susah
Pak. Lain kowilhan ³⁾ itu!' Mayor Intel Korem ikut masuk gelanggang percakapan ten
tang garong. Masalah garong punya unsur-unsur politik, katanya. Tetapi yang jelas,
semua setuju: menangkap lurah garong hanya mungkin dilakukan oleh lurah garong
lain. ltu kebijaksanaan abadi.
"Coba nanti." Dan pergilah Pak Bupati sambil menunduk. Lalu ia memeriksa para
Fanta, Coca-Cola dan khusus bir kuning dan hitam berkeringat dingin yang sudah rapi
disediakan untuk tamu-tamu agungnya. Ia sudah haus, bahkan semakin haus karena
inspeksi itu.
¹⁾ "Anak Udik !".
²⁾ Kepala bajingan.
³⁾ Komando Wilayah Pertahanan.
108
Tetapi tamu-tamu itu masih saja asyik bertamasya. Bah, enak jadi Duta Besar. Coba
jadi Bupati ... tiba-tiba dadanya sesak seperti ada gas berbisa kiriman gunung yang
menyusup dalam dadanya. Ia teringat, ia masih penjabat. Ia meludah. Terkejut sendiri
ia. Gila, ada tamu agung kok meludah. Untung mereka tidak melihat.
Karjo sedang mendangir bibit cengkehnya ketika Mas Sepandri mendekatinya. Ia
sedikit menyesal, mengapa dulu tidak beli bibit yang daun tunasnya merah. Padahal
selisih harganya hanya dua ratus rupiah. Rugi sebetulnya menanam bibit murah tapi
jelek. Soalnya, dulu ia tidak tahu, bahwa bibit yang baik harus merah pucuk-pucuk
daun mudanya. Mengapa Bimasnya dulu diam saja! Barangkali mereka sendiri tak
tahu. Apa lacur, sudah terlanjur.
''Delapan tahun lagi kau kaya, Jo!"
“Apa ... " (ia mendangir terus, nadanya kendor harapan.)
''Berapa sudah cengkehmu?"
''Delapan batang mana bisa kaya."
"Sekarang delapan. Buahnya per pohon kira-kira sepuluh ribu biji. Ditanam lagi
menjadi delapan puluh ribu batang
"Dagelan kuna! Kabar apa dari kota?"
"Saya tidak ke kota."
Lho, katanya mau beli cangkul."
"Maunya. Tetapi ada rombongan tamu agung. Pikir-pikir, ah beli cangkul hari lain
bisa."
"Untuk apa tamu agung dilihat?"
"Tidak untuk apa-apa. Tetapi akhirnya untung aku melihat. Memang betul
firasatku."
"Firasat apa lagi. Makanya kau selalu rugi menebas kayu sengon. Terlalu banyak
firasat. Menang buntut lima ribu jadi apa, dulu itu hayo ... akuilah. Kalau tidak, saya
bilang pada istrimu."
"Hus! Kau sudah janji bungkam mulut."
Sebetulnya petualangan Pak Sepandri sudah sepengetahuan istrinya, bahkan atas
persetujuannya. Jadi sarna sekali tanpa risiko sehitam kuku pun. Tetapi Pak Sepandri
harus jaga gengsi.
"Kan janji itu ada untuk tidak ditepati. Seperti hutang ... "
"Eh, jangan omong kosong. Sekarang sungguhan, Jo: Terka siapa yang kulihat
tadi."
"Katanya tamu agung."
"Nhah, salah seorang pengantar tamu agung itu, siapa?" Karjo masih juga
mendangir terus.
109
"Nggak peduli siapa. Asal jangan Warnojebug."
"Kau mencret mendengar namanya. Si Setankopor."
"Heh?" Karjo tegak berdiri mata membelalak.
"Hah, betul kan, kau mencret. Makan kerak kuali gosong obatnya."
"Kau cuma menakut-nakuti orang. Apa hubungannya dengan Setankopor?"
"0, banyak sekali hubungannya. Sebab ia jadi bupati sekarang. Sudah saya
tanyakan pada polisi pengawal. Yang seperti Arab, hidungnya agak bengkok itu
bupati? Betul, ia bupati yang baru. Nah, selamat mampus kita."
"Siapa bilang mampus…siapa bilang mampus."
Tetapi Karjo sudah kehilangan selera bekerjanya. Ia cuma menatap ke perdu jeruk
yang kulit batang cabangnya serba terkena cendawan putih seperti aluminium. Lesu
cangkul dipikulnya.
"Mati masuk, Ndri! Omong yang tenang."
Dan kedua orang itu menuju rumah bambu yang mulus bersih, dengan lantai tanah
agak tinggi, bertepi batu-batu kali besar. Tegaklah rumah bambu itu di atas
permukaan tanah kebun, dengan tangga tiga lempeng batu vulkan sebesar nisan
jaratan.
"Sudah, duduk sini sajalah,” usul yang disebut Sepandri tadi, "Panas di dalam."
Dan duduklah ia di emperan, nyaman di lincak di beranda, yang terbuat dari bambu
kuning tutul yang mengkilat sendiri tanpa dipelitur.
"Terserah maumu. Preeh! Ada di dalam kau?" seru Karjo kepada istrinya. Tak ada
suara menyahut.
"Ikut melihat tamu agung di Juranggede barangkali” komentar Sepandri, sambil
mengeluarkan selepen ¹⁾ rokok Kedunya; dan memulai meletakkan kertas rokok di
atas pahanya. Lusa Kliwon aku harus ke kota, pikirnya. Sudah hampir habis
persediaan tembakaunya. Tidak ada tembakau yang lebih hitam ngganteng dan ampeg
berkaliber berat, tetapi justru nikmat datipada tembakau Mbah Petruk muka pasar.
Beli satu kilo ditambahi gratis kupon undian. Memangnya cuma berharga Rp. 25,-
kupon itu, tetapi siapa tahu ia mendapat dua juta. Tetapi terang pasti mereka lihai.
Tidak mungkin orang seperti Mas Sepandri dari dusun puncak gunung akan mendapat
hadiah. Semua itu sudah disetel di atas sana. Tipuan. Bocengli ²⁾! Tetapi biar tipuan,
siapa tahu orang gunung toh mendapat hadiah dua juta. Dan lagi, dengan atau tanpa
tambahan kupon gratis, bagaimana pun Mas Sepandri toh akan beli tembakau Si
Mbah Petruk. Hanya isenglah kupon itu. Jelas ia tidak akan mendapat hadiah itu.
Tetapi siapa tahu ah, dua juta nomplok ... mau apa ya? Tahu ... kawin lagi? Gila!
¹⁾ Tempat (wadah) tembakau saku.
²⁾ Sangat buruk, kurang ajar.
110
Kenapa harus kawin kalau tidak kawin juga bisa! Dosa sebetulnya. Lebih tepat
memalukan. Mosok, harus sembunyi-sembunyi melakukan perkara yang setiap orang
secara syah mengerjakan dengan istri-istri mereka. Dunia ini sulit memang. Lebih
sulit lagi kalau bupati sekarang Setankopor.
Mana ini Si Karjo. Dikunjungi malahan lari. Mandi barangkali. Atau menggodog
teh? Nggak perlu. Yang penting tembakau Kedu ampeg, kelembak-kemenyan dan
kertas sigaret merk Admiral Kumpeni. Negara ini boleh PKI, silakan, asal sanggup
menyediakan empat itu: Tembakau Kedu ampeg, kelembak, kemenyan dan kertas
sigaret merk Admiral Kumpeni. Sudah, itu saja. Dan terserah Bupati Setankopor atau
Setandompet asal empat tadi itu: tembakau Kedu ampeg, kelembak, kemenyan dan
kertas sigaret merk ... Admiral Kumpeni. Tahu?
Mas Sepandri mengambil koreknya yang mengkilat nikkel berbentuk klasik DRP.
Ditarik-tariknya sedikit sumbunya, lalu kress! Belum menyala. Kress! Nhah, sekarang
konsentrasi pada api dan pucuk rokok ... dan dihisapnya dalam-dalam asap Kedu
ampeg dengan nikmatnya dan ... dengan mata terkatup jiwa-raga Mas Sepandri
melayang ke regol ¹⁾ syurga firdaus.
Mas Sepandri disebut Sepandri karena memang dulu ketika masih muda-belia ia
serdadu Belanda, bahkan dapat cepat naik pangkat sampai jadi sepandri. Kata orang,
sepandri itu pangkat serdadu yang sudah membuktikan ia jago tembak. Tetapi Mas
Sepandri belum sempat menembak musuh. Dengan batalyonnya ia dikirim menjaga
jembatan besar Kali Prago 25 km dati Yogya. Tetapi Jepang datang dari Gunung
Kidul dan entah utara sana. Tahu-tahu Belanda sudah menyerah kepada Jepang.
Disuruh jadi heiho ia tidak mau, karena sudah terlanjur cinta kepada Halimah istrinya
yang pernah jadi babu seorang letnan Jawa ningrat Sala di Magelang. Letnan itu
(Brajabasuki namanya) pernah dibebaskan dati kamp tawanan, akan tetapi entah
mengapa ditangkap lagi oleh Kenpeitai dan konon dibunuh.
Maka sungguh, Halimah tidak mau kalau suarninva ikut Jepang. Mas Sepandri
sering mengejek istrinya: "Andai dulu saya jadi heiho, sekarang pangkatku sudah
kapten. Tidak cuma bekas sepandri yang harus menggergaji dan jual papan sengon."
Istrinya mengakui kebenaran pengandaian itu. Tetapi nalurinya tahu juga
jawabannya yang tepat: "Kalau kau kapten, kau pasti sudah menceraikan aku dan
kawin dengan mahasiswi."
Mas Sepandri: ''Tapi kalau kau saya ceraikan, pasti kau sebagai bekas istri kapten,
pada hari itu juga kontan kawin dengan saudagar tembakau. Itu lebih untung." Kalau
sudah sampai sekian, istrinya hanya tertawa dan merogoh di dalam sabuk pinggang
pengikat kainnya. Dan Mas Sepandri diberi uang Rp 200,- atau sering bahkan Rp
500,-
¹⁾ Pintu gerbang halaman.
111
"Ini! Untuk beli tembakau! Orang laki-laki mau menangnya saja."
"Uang sedikit begini mau dibuat apa?" protes suarninya dengan wajah yang
senang.
"Untuk mendaftarkan Heiho sana!"
Selalu begitu Mas Sepandri. Kalau ia sedang membutuhkan tembakau, maka
disebumya: kawin dengan saudagar tembakau. Kalau membutuhkan batu baterei, ia
menyindir tentang penjaga toko cantik penjual batu baterei dan seterusnya.
Dari luar mereka hanya terdengar saling tuduh-menuduh dan cekcok saja. Tetapi
begitulah cara mereka saling cinta. Cinta? Nhah, itu kata muluk. Jodoh, cocok, itulah.
Dan kalau Mas Sepandri kadang-kadang mentraktir dirinya dengan kenikmatan
daging perempuan lain yang memang dijual secara halal menurut hukum perdagangan
yang berlaku, itu pun karena Mas Sepandri disuruh istrinya. Soalnya istrinya sangat
suka berdagang dan bila ia sudah duduk di loji pasar di tengah rempah-rempah,
sayuran dan ikan-asin yang berbau tengik, nnah, di situlah sudah ditemukan surganya.
Jadi terlalu sering mengandung tidak enak untuk yang harus duduk bersila serba
bisnis berbau trasi di pasar. Dan seminggu tiduran di rumah bersalin dan mengurus
bayi jelas merepotkan. Bukan berarti sang pedagang rempah-rempah tak suka punya
anak. Dua anak laki-Iaki sudah jadi orang, satu di Lampung, satu ABRI di Ambon.
Dan gadis besar anak bungsunya yang cerdas pasti laku jadi menantu restoran gulai
atau gudeg Sido-Nyamleng ¹⁾ sudut Pasar Muntilan itu seandainya si gadis mau.
Dari pihak lain Mas Sepandri dulu bekas serdadu KNIL, jadi ia berhak berkenil-
kenil. Maka dibuat gampang saja. Berdamai istilahnya. Tetapi kali itu, ketika Mas
Sepandri bercanda tentang "kawin dengan direktur pabrik sepeda", sumber dana
tersumbat. Keterangan istrinya: minggu yang lalu banyak ibu-ibu sedesa pinjam uang.
Memang beruntung bila ditinjau dari segi peredaran modal, sebab hutang Rp 1.000,-
setiap bulan dikembalikan Rp 120,- begitu sampai 10 bulan. Tetapi tentu saja modal
Mbok Sepandri habis bila terlalu banyak orang yang pinjam. Dan kali ini memang
banyak yang membutuhkan kredit.
''Ada apa?" tanya Mas Sepandri agak gusar.
"Tarikan kambing, ayam itik."
"Lho apa-apaan ini?"
''Ya, mereka bilang kalau tidak bayar, kambing ayam bisa hilang."
''Masyaalah, hilang bagaimana?"
''Ya hilang, begitu.
"Disita?"
"Tahu. Pokoknya kalau nggak bayar, tahu sendiri."
"Siapa yang bilang?"
''Ya orang-orang itu."
¹⁾ Jadi lezat.
112
"Orang-orang yang mana?"
''Ya yang mau pinjam uang pada saya, goblog!"
"Hus, tanya baik-baik digoblog-goblogkan."
"Memangnya gitu, sudah ah, saya mau cari tebasan mlinjo ¹⁾ .
Nanti kalah duluan sama Si Kepiting, cilaka."
''Yuyu Kangkang maksudmu?"
"Kangkangmu!"
''Aduhai, galak bener nyai hari ini."
"Biar galak. Kalau nggak galak nggak bisa hidup. Jaman sekarang!"
Mas Sepandri tahu kalau disindir. Sebab memang tanpa usaha si perempuan
berlidah uang kertas yang jadi bininya itu, mereka tak bisa hidup. Artinya tidak bisa
beli Petromaks, beli sepeda untuk Si Anak atau ... tiba-tiba ia ingat, masih butuh
kupiah. Pici beledu. Yang dipunyai sekarang sudah mendekati gombal. Berdamai,
berdamai sajalah. Maka selesailah percakapan cinta suami-istri itu. Yang satu pergi
mencari tebasan mlinjo, yang lain menuju ke rumah sahabat senasib yang pernah
terkena pukulan Setankopor dulu.
"Jo, ada lagi soal gawat nih." Dan semua laporan istrinya tadi tentang pungli
hewan-hewan oleh pesuruh-pesuruh si Lurah garong diceritakannya. Gawat, menurut
Sepandri sebetulnya pertama-tama berarti: ia belum mendapat uang untuk beli pici
beledu. Tetapi sahabatnya menangkapnya dengan naluri Keibodan abadi.
Karjo punya kambing juga, tetapi mengapa ia tidak diberitahu, ada tarikan baru.
Ketika Prihatin, istrinya dipanggil, temyata semua hanya mendengar dari Mbok
Dariyo, istri petani yang berkat untung nalo ditarnbah warisan dari sekian moyang,
tergolong orang mampu di desa.
Pak Dariyo sedang latihan gamelan.
"Mas, ada perkara yang ingin saya bicarakan. Tetapi kalau sudi mari ke luar,"
begitu bisiknya kepada Dariyo. Ada dua Dariyo dalarn desa. Yang satu Dariyo
Blabag ²⁾ rekan Mas Sepandri menebang dan menggergaji papan-papan sengon,
nangka dan sebagainya. Tetapi Dariyo yang diajak bicara ini Dariyo Sugih ³⁾. Tidak
berarti bahwa penggergaji papan itu mesti melarat, tetapi spontan begitulah sebutan
mereka terhadap Dariyo satu ini.
"Mas, saya dengar ada tarikan baru untuk hewan."
"Ooh itu, ya sebetulnya begini. Maaf, saya belum membicara-
kan ini dengan Dik Karjo, yah, beginilah syaratnya."
¹⁾ Buah untuk sayuran dan bahan emping.
²⁾ Papan kayu.
³⁾ Kaya..
113
"Syarat apa?"
"Ya, asal bisa selamatlah."
"Kok saya belum tahu?"
"0, Dik Karjo belum tahu? Ah iya, memang itu salah Dariyo.
Saya kira istrimu sudah bercerita."
"Bercenta apa?"
"Belum? Wee lah, salah dobel kalau begitu saya."
''Dari Kelurahan? Atau jangan-jangan akal Mas Polisi kita lagi."
"Bukan, bukan dari Kelurahan, bukan dari Polisi, bukan dari
Pemenntah, pokoknya ini sukarela."
''Ya tentu saja semua sukarela, tetapi sukarela wajib. Kalau tidak
sukarela, nanti dibikin sukar-sukar sarnpai rela.
"Ah, memang susah, tapi mau apa?"
"Tetapi pendek saja. Siapa yang minta pajak ini?"
"Bukan pajak. Sungguh bukan pajak. Dia hanya mengatakan:
Tentang sapi, ditanggung arnan. Tetapi untuk hewan-hewan lain saya tidak
tanggung. Begitu dia."
"Siapa itu dia?"
"Ooh, dia itu? Saya kira sudah jelas."
"Jelas dari mana?"
“Ah, masakan Dik Karjo belum kenal tingkah Si Sapudupak?"
"Memang dari tadi sudah saya terka, Kang Dariyo. 1ni tidak
mungkin selain akal trenggiling Si Sapudupak. Tetapi kan Kakang sudah
saya pesan: Kalau ada apa-apa, katakan Si Karjo Keibodan. Nanti bisa
digarap soalnya."
"Habis ketika itu dia bilang: Awas kalau omong pada Karjo, begitu.
Maka Kakangmu pikir: ah, tidak baik membebani orang dengan perkara-
perkara yang lebih memberatkan. Ketika itu saya hanya takut, lalu bilang:
ya. Begitu. Mau apa lagi, daripada rumah dibakar nanti."
Sapudupak adalah bajingan paling tersohor dari seberang jurang, jadi
dari wilayah (para pemuda bilang: kowilhan ¹⁾) lain. Ia penembak tepat
bekas pasukan Raider yang dulu menggempur sarang-sarang penyarnun
daerah lahar Merapi.
Tetapi barangkali, daripada menjadi kopral raider bergaji dua bungkus
rokok sebulan, lebih baik jadi bajingan, komandan kowilhan swasta yang
tidak pemah punya persoalan tidak cukup uang. Uang cukup, bahkan
banyak, jelas. Soalnya hanya, bagaimana cara mengarnbilnya. Sapudupak
tahu cara mengarnbilnya.
¹⁾ Komando Wllayah Pertahanan.
114
Cara yang sip. Sejak pelpolisi Hindia Belanda yang naik sepedamotor bergerobag
samping dimasukkan dalam interniran oleh ]epang, situasi dan kondisi sip deh.
Selamat, sip, paling sedikit menurut perkiraannya. Sebab Karjo, Sepandri dan
kawan-kawan lama tidak setuju begitu saja ayam kambing apa lagi kerbau dipinjam
seumur hidup oleh begondal-begondal Sapudupak. Tetapi kawan-kawan itu sadar
juga, bahwa siasat melawan frontal belum tentu siasat yang paling baik. Apa yang
dikerjakan Si Dariyo Sugih sangat mereka pahami. Sebab Dariyo Sugih bukan Dariyo
Blabag.
Biar hanya kaya menurut ukuran jurang pucuk gunung lahar, tetapi kaya adalah
kaya. Maka sungguh tidak enak apabila rumah dibakar. Sebetulnya hampir selalu
dapat dipastikan, bahwa bila di daerah pucuk gunung sana ada rumah terbakar, itu
pasti ada soal dengan bajingan. Tetapi di kelurahan Dinas Penerangan hanya
berceramah, agar rumah penduduk jangan dibuat dari bambu. Pertama: itu sudah
terbelakang, tidak sesuai dengan Orde Pembangunan. Akan tetapi kedua: karena
berbahaya juga. Kalau ada seorang ibu kebetulan merebus air terlalu dekat dengan
bilik bambu, atau kalau ada anak yang malam-malam menendang pelita yang masih
menyala, rumah bambulah mangsa paling enak bagi api. Begitu Bapak Penerangan
dari Kabupaten.
"Lihat itu di Jakarta atau di kota-kota besar. Setiap kali timbul kebakaran. Beratus-
ratus kepala keluarga dalam satu jam tidak punya rumah lagi. Coba bayangkan bapak-
bapak dan simboksimbok. Rasakan tidak punya rumah. Senang apa sedih? (Serentak
semua menyambut "Sediiih!") Apa anak-anak tidak kasihan kalau rumah habis
terbakar? ("Kasihaaan!") Kerugian kebakaran di kota bisa sampai satu milyar. Coba
bayangkan satu milyar. (Semua hanya membelalakkan mata saja dan melongo.
Omong apa si penceramah tadi?) Satu milyar. ltu banyak apa tidak? (Masih
diam.) Satu milyar itu ... tahu seribu rupiah atau uang sepuluh ribu? (Satu dua suara
menjawab: "Tahu, Pak Dariyo Sugih!" Semua tertawa.) Nah, satu milyar itu seribu
rupiah kali seribu ... berapa? (Diam. Akhirnya Dariyo Sugih kasihan pada penceramah
dan berkata: "Satu juta, Pak." (Ada beberapa anak girang bertepuk tangan.) Nah, satu
juta rupiah masih dikalikan seribu, itulah satu milyar. (Ooooh! Mereka berkedip-
kedip. Apa tadi namanya? Meeyaar?) Sedikit atau banyak uang sekian? (Serentak
dengan penuh semangat orang-orang menggelegar: "Banyaak!") Nah, kalau rumahmu
terbakar, kalian rugi sekian milyar (Orang-orang pada gaduh, tertawa tidak pereaya.
Ada yang terdengar omong:
"Sampai kiamatl"). "Lho! Artinya kalau seluruh desa, seluuruuh desa terbakar, dan
sapi dan kambing dan tegal-sawahmu terbakar, hanya karena rumah-rumahmu dari
bilik bambu, jangan kira mustahil kerugianmu sampai satu milyar."
Suasana agak kacau. Orang-orang pada berkelakar satu dengan yang lain. Ada
pemuda menyeletuk: "Pembagian beras!" Semua tertawa terbahak-bahak. Kesimpulan
dari ceramah Penerangan Kabupaten ialah: Hati-hati dengan rumah bambu. Pertama:
agar jangan dihuni tikus dan kedua: jangan sampai terbakar karena kesalahan simbok
atau anak yang sedang alpa. Sudah paham semua? ("Pahaaam!")
115
Karjo memberanikan diri menyanggah: ''Pak, didesa kami, sejak jaman nenek-nenek
gantung siwur ¹⁾ dan lebih kuna lagi, menurut sepengetahuan kami belum pernah ada
rumah terbakar karena yang punya rumah teledor. Kalau ada rumah terbakar, itu yang
membakar tentu orang lain." Rapat gaduh dan semua mendukung Karjo.
"Orang lain siapa?"
Karjo diam, tetapi seorang pemuda berteriak: "Bajingan tengik.!" Semua tertawa
ramai. Pak Penerangan agak bingung sekarang. "Nah, kalau ada bajingan membakar
rumah, laporkan kepada polisi! Kan gampang. (Semua tiba-tiba diam, seperti ada
kekuatan magis dalam kata polisi tadi.) Gampang apa tidak? (Semua diam.) 1tu tadi
saudara yang tanya! Kan gampang! Gampang tidak, lapor polisi?" Spontan Karjo
menjawab: "0, gampang sekali, Pak!" Semua tegang menunggu bagaimana
kelanjutannya.
Tetapi Pak Lurah yang arif mengalihkan persoalan pelik ke arah lain dan bertanya:
''Pak, bolehkah saya bertanya: Menurut bapak, apakah daerah kami ini subur bila
ditanami cengkeh? Cengkeh saya daunnya kok berbintik-bintik coklat. Apa obatnya?"
(Orang-orangpada bergumam sendiri-sendiri. Lega).
''Ya, itu pertanyaan baik," begitu Pak Penerangan. "Tetapi saya tidak kuasa untuk
menjawab itu. Apa saudara-saudara setuju, besok kami panggilkan ahli cengkeh?
("Setujuuu!!")
Maka sesudah beberapa basa-basi lain diomongkan bubarlah rapat. Dengan hati
damai orang-orang pada pergi ke ladang, ke dapur, ke kandang sapi. Pemuda-pemuda
masih bergerombol dan melirik melihat Kasanah sedang lewat, anak gadis Dariyo
Sugih, yang sudah mulai menonjol buah-dadanya. "Sudah mulai sombong anak itu,"
gerutu mereka. "Sok berlagak laku dijadikan menantu camat."
Tiba-tiba seorang berkata: "Eh, saya tadi pagi berjumpa dengan Sapudupak."
"Heh? Betul?"
"Uah, setengah mati takutku."
"Kapan kau tidak setengah mati!" ejek kawan-kawannya.
"Tadi kan saya pikir begini;' kata pemuda itu. "Nanti ada
penerangan. Ah, pagi-pagi benar saya lalu cari kayu. Sambil mendengarkan,
barangkali perkutut yang tersesat kemarin itu masih tinggal di sekitar pohon
nyamplung atas sana, ataukah sudah pergi. Kudengar kemarin sehari terus ia
memanggung di pohon itu. Tahu-tahu aku sudah membelok jalan setapak yang
menuju masuk jurang. Eh! Ada orang bermata hijau seperti ular ... menunggu di
bawah sana. Dia diam saja, tetapi matanya mendelik melihat saya. Aduh aku
menggigil seperti dadaku dijatuhi batu. Si Lurah Sapudupak! Bagaimana. aku tahu?
Dia bilang sendiri: ''Berani laporkan Sapudupak, mampus kau!"
¹⁾ Nenek dari neneknya nenek.
116
Dia cuma memandang saya. Seperti, ya seperti ular itu kalau sedang ipnotis tikus.
Saya kancilen ¹⁾ tidak bisa bergerak. Tiba-tiba ia membentak: "Satu langkah turun,
belati ini masuk tengkorakmu!" Saya seperti disambar petir. Tidak tahu apa yang
hams saya perbuat. Ia lalu membentak lagi: kau anaknya Si Mertobelong? Langsung
aku mengangguk. Saking takutnya. ''Bilang pada bapakmu, kerbaunya bisa ia ambil di
Jurangceleng." Lalu ia mengambil batu. Aku dilempari sambil berteriak-teriak dari
bawah: ''Ayo lekas pergi! Nanti aku jadikan cendol ²⁾ kau!" Saking bingungnya aku
masih saja diam kancilen. Barn ketika ada batu mengenai betisku, aku lari."
Lalu kau ke Pak Merto?"
''Ya, tentu saja. Kukatakan padanya: Pak Merto, aku tadi dikira anakmu. Lalu aku
disuruh menghantarkan pesan, kerbaumu bisa diambil di Jurangceleng."
"Lalu?"
''Pak Merto ya cuma lemas saja. Katanya: "Tidak punya kerbau susah. Punya
kerbau lebih susah." Teman-temannya menambahkan: ''Yang paling tidak susah: jadi
kerbau sendiri." Terkekeh-kekeh pemuda-pemuda itu lalu bubar."
Tetapi seorang kawan berambut ijuk dan bermata bandeng masih sempat bertanya:
"Lalu tadi perkututnya masih ada, Poh?" Pemuda yang disangka anaknya Pak
Mertobelong tadi berpikir sebentar lalu mengakak: ''Masih. Tapi hanya dapat diambil
di Jurangceleng."
"Memangnya tampangmu kayak celeng." Lalu larilah ia dikejar sang duta Sapudupak.
¹⁾ Terpaku tak mampu lari.
²⁾ Isi minuman dawet.
117
15. Firdaus Kobra
Paduka Tuan Ambasador berdiri, meloncat elastis dari kursi rotannya. Ia bertubuh
atlit dan memang ia lelaki tampan. Walaupun di keningnya utas-utas rambutnya sudah
mulai mengelabu, tetapi beliau tidak mengenal penyakit lelaki Barat, yakni menjadi
botak.
"Kau harus melihat kemenakanku yang baru,” kata beliau antusias kepada
tamunya. "Langsung datang dari taman firdaus. Jenis yang langka dan dalam kondisi
prima."
Tuan Ambasador selalu menyebut binatang kesayangannya (yang sangat tidak
disukai istrinya) yakni ular-ular, dengan sebutan kemenakan. Dan hutan atau cadas
ladang tempat asal atau pun kurungan ular-ular itu: Firdaus. Istrinya benci sekali pada
ular-ular hobinya itu, dan tidak mau melihatnya. Tetapi karena suaminya begitu
tampan dan mengagumkan (sang nyonya sudah menikah untuk ketiga kalinya) hobi
ular yang aneh itu dibiarkannya; asal kandangnya diletakkan jauh-jauh sana.
Dan untung kebun rumah dinas kedutaan cukup luas. Rumputnya tercukur rapi dan
setiap petang alat-alat penyiram yang memancarkan air bagaikan kipas berputar
dengan radius jauh membasahi rumput dengan suara jiyek-jiyek, yang memberi sua-
sana tenteram dan sejahtera.
Sang Ambasador mengajak tamunya, orang penting yang sangat ia hargai, menejer
produksi Pacific Oil Wells Company, menuju kurungan-kurungan yang besar tertutup
kawat kasa kuat.
"Well Therese namanya. ltu! Yang bau saja memperkaya firdausku. Jenis yang
sangat jarang sekali terdapat di pulau Jawa. Tegap bukan, bagus bukan itu tembong-
tembong gelap bundar bertepi hitam itu. Dia masih sesaudara dengan ular adder ter-
masyhur yang banyak terdapat di India Vipera russellii."
Interesan! Baru kali ini aku mendapat kiriman dari Panglima Kodam di Jawa
Timur sana. (dipanggilnya jongos) Hello boy, ke sini! Paymin, come here, minta-
minta itu makan buat ular baru ini ya, tikus atau ayam. Nanti mau kasih lihat sama
Tuan ini, sisysisy bagus, heh." (Kepada tamunya) "Sudah waktunya dia makan. Anda
untung dapat melihatnya nanti." Paimin jongosnya mengambil kurungan berisi
beberapa burung gereja dan dua gelatik.
"Hello, tidak usah semua. Banyak-banyak terlalu. Nah, coba sekarang. Well Mr.
Seta, Anda akan melihat. Jangan dekat -dekat."
Tamu Ambasador spontan mundur, ketika adder itu tiba-tiba mengangkat
kepalanya yang segi-tiga dan mendesis nyaring lama. Suaranya sungguh menakutkan,
seperti penuh magi yang mengancam.
"Yang ini hanya adder biasa. Di sini banyak terdapat jenis itu," dan tuan
Ambasador menunjuk ke seekor ular sepanjang hampir semeter yang berwama coklat.
Angkistrodon. Orang di sini menyebutnya biasa saja Ular Tanah. lni hadiah ulang-
tahunku, biasa, dari Dirjen Departemen Luar Negeri. Nanti lihat. Coba ini tongkat
pegang. Lalu Anda usik dia. Nanti Anda lihat reaksinya, Eminent!
Tamunya memegang tongkat dan pelan-pelan menusuk ular tanah itu, yang sedang
nyaman melilit seperti spiral. Hanya kepalanya saja yang seolah-olah mengintip dari
waskom yang terdiri dari tubuhnya itu.
118
Tiba-tiba ular mendongak dan dengan amarah moncongnya membuka lebar. Tampak
kedua gigi racunnya bagaikan taring celeng tegak; dan sekonyong-konyong ular itu
meloncat, sehingga si pengusik spontan meloncat juga ke belakang. Ambasador
tertawa terbahak-babak.
“Good! Very good! Memang ini kesayanganku yang paling hebat, justru karena
galaknya itu. Jangan takut, asal agak jauh sedikit." Diusiknya sekali lagi ular itu oleh
sang tamu dan kini loncatan-loncatannya sungguh mengerikan. Ke kiri dan ke kanan.
Luapan amarahnya sungguh tiada taranya.
"Tahukah nama yang kuberikan padanya? Ricci. Dari Ricardo, bapa ekonomi free
enterprise. Sinting tentu saja, sebab di mana di jaman sekarang masih ada free
enterprise betul-betul. Tetapi nama merdu untuk nyonya yang tante girang ini,
bukan?"
Belum pernah menejer produksi Pacific Oil itu melihat perangai seekor ular seperti
adder satu ini bila ia marah.
''Ular adder seperti ini, dan khususnya yang di sudut itu, Kobra Kacamata, sangat
dihormati orang India. Barangkali karena wataknya juga serba maharaja imperial.
Tahukah Anda, Mr. Setta, orang Timur memang harus diteror seperti yang kukerjakan
pada adder-adder ini. Nah ya, tentulah istilah teror di sini sangat berlebihan. Tetapi
maksudku, orang-orang daerah samudera dan pulau-pulau di sudut dunia Selatan ini
tidak dapat diajak berbaik-baik saja. Coba mereka diberi hati, aduh bukan cuma hati
yang diambil, tetapi jantungnya juga. Jantung diberi, mereka ambil paru-paru. Paru-
paru diberi, malah naik lagi mereka minta agar diperbolehkan menyedot otak. (Lalu ia
setengah berbisik). Jangan keras-keras, ini off the record ¹⁾, tetapi ini bangsa kuli.
Hams dijadikan kuli. Coba mereka kau injak, barulah mereka hebat bekerja, dan
keluarlah daya akal mereka yang mengagumkan. Tetapi bila diberi hati dan dimanja,
sudahlah, kembalilah mereka menjadi anak kecil yang macam-macam saja merengek-
rengek permintaan bukan-bukan tidak masuk akal. Saya sudah memberi nasihat
kepada pemerintah saya, agar memberi peringatan halus melalui saluran-saluran
informal khusus kepada negeri ini. Kalau minta komisi jangan terlalu banyak, dong.
Mosok ada yang sampai 30-40%? Ya Ricci, Ricciku manis, bagaimana struktur
perdagangan sehat dapat dipertahankan dalam situasi begini? Perlu dihajar mereka itu.
Ya Ricci?" Ular itu menyembur-nyembur. Seluruh ekspresi muka dan ulahnya benar-
benar imperial, ya itulah istilahnya menurut Tuan Ambasador, imperial.
Hah ini inilah Shirley. Ini dari Sumatra, ini kubeli dari seorang Cina yang tidak
tahu malu. Tahu kau dia minta berapa untuk gadis hijau ini? Limaratus dolar. Tetapi
sungguh Shirley, kau memang harta permata, sesuai dengan hargamu.(Kepada
tamunya). Orang-orang India menganggapnya kerarnat. Dan memang begitu, Anda
percaya tidak? Indah bukan, warnanya? Kencana hijau, setiap sisiknya berpelisir
hitam. Hei Boy, ke sini." Jongosnya Paymin alias Paimin tadi datang dan menunduk -
nunduk hormat. Ia diberi ular kencana tadi. "Kasih lihat sama Tuan." Tamunya yang
disebut Mr. Seta tadi menggeleng-gelengkan kepala. "Ada apa Mr. Seta?"
¹⁾ Dirahasiakan.
119
"Maaf, Excellency, tetapi sungguh, saya selalu sedih kalau melihat orang
menunduk-nunduk seperti kuli jaman Raffles." Sang Ambasador tertawa lebar:
"Hohoho ... Anda tersinggung ya. Hohoho ... Well Mr. Seta, terus-terang saja, saya
tidak pemah tahu eksak, Anda berwarga-negara apa, Mr. Seta?"
"Multinational," dan tamunya tersenyumlah. "Mau apa lagi. Sebab saya memang
bekerja untuk kongsi yang begitu."
"Maaf, aku tidak mau berkesan buruk ingin tahu soal-soal pribadi. Tetapi dalam
segala sikap-tindakmu, sering Anda kuanggap, maaf, bukan maksudku membanding
secara menghina, seperti orang-orang negro United States. Mereka negro, tetapi
tulang-sungsum dan segala saraf mental kejiwaan serta penghayatan diri mereka
benar-benar Amerika Serikat tulen. Tidak beda dati yang McLean atau Vanderbilt dan
sebagainya. Anda orang Eropa dalam sikap dan mental. Bukan orang Amerika, jangan
lagi orang Timur. Tetapi ... "
''Ya, memang aku lahir di Indonesia sini. Bahkan Mr. Ambasador boleh
menertawakan saya, tetapi benar saya masih mempunyai darah ningrat sedikit dari
Keraton di jantung Jawa sana."
“Ada masih ningrat Jawa? Crazy! Anda bukan ningrat Belanda, bukan ningrat
Inggris atau Rusia. Kok sekarang mengaku ningrat Jawa, itu lebih dari aneh lagi."
"Tetapi benar. Yah, itu ada riwayatnya sendiri."
"Tidak, saya tidak akan menyelidiki soal-soal yang pribadi.
To the point Saya hanya ingin memujimu. Sungguh, informasi yang Anda berikan
padaku sepintas lalu dalam coctail party 17 Agustusan di tempat menteri Riset yang
lalu itu sungguh berkesan padaku. Dan memang benar. Statistik-statistik yang
bersangkutan sudah saya suruh teliti lagi. Dan penasihat-penasihat ahliku mengatakan
apa? Analisamu memang benar. Memang, hanya seorang doktor matematika seperti
Anda yang dapat sampai pada kesimpulan seperti itu. Sudah lama berkecimpung
dalam dunia komputer?"
"Sejak komputer generasi pertama, Mr. Brindley. Bahkan bukan bualan, saya
dengan beberapa rekan tergolong mereka yang pemah untuk pertama kali berseminar
dengan Hermann Kahn ¹⁾ dan Robert Wiener ²⁾ sendiri di Bermuda. Tetapi Mr.
Ambasador jangan terlalu mendewakan komputer, apa lagi orang-orang yang
menyetirnya. Mereka tetap normal seperti kita manusia biasa, pendeta sekaligus
bandit."
"Heh, Anda suka berolok-olok. Memang saya awarn dalam ilmu magi benda-
benda elektronika, tetapi satu orang doktor komputer nilainya sama dengan sepuluh
jenderal marsekal atau dutabesar seperti saya ini. Tahukah Anda? Duta-besar yang
ingin sukses harus mengkristalisasi kebijaksanaannya melalui studi semacarn ini,
mengenai psikologi dan ulah tingkah ular-ular tropika. Ha ... haha Anda tidak
percaya, pasti tidak percaya. Kaum komputer jarang percaya pada psikologi, Mr.
Seta," dan Ambasador mendekatkan wajah pada tamunya, "Maaf, sebagai sahabat
kukatakan di sini: Anda harus kawin lagi. Dengan wanita pribumi di sini. Jangan
seperti saya, kawin dengan orang-orang kulit-putih. Dear Mr. Seta, saya tahu.
Memang sedih ditinggal seorang istri. Tetapi saya kenal Anda dan kenal jenis wanita
yang dulu istrimu itu.
¹⁾ Ahli analis hari-depan dari USA.
²⁾ Ahli perinris ilmu hubungan-hubungan intern dalam sistem organik (kibernetika) .
120
Saya kenal dia dulu karena kami satu jemaat, satu gereja, satu perkumpulan
kepanduan. Biarkan dia lari dengan lelaki lain, biarkan saja. Ya, dear friend, Anda
bernafas panjang. Tidak enak memang riwayat semacarn itu. Saya pun
mengalaminya, dear Seta. Dan saya bicara sekarang bukan sebagai diplomat, tetapi
sebagai sahabat.
Seorang menejer produksi perusahaan minyak yang besar seperti Anda seharusnya
tahu itu. Tetapi begitulah Seta, ahli komputer sering sulit membaca bahasa dan
dendang wanita. Saya pun mengalami, Seta, macam yang Anda alami. Saya pun tolol
dan sinting pada masa itu. Dan mudah-mudahan dengan Susan istriku sekarang ini,
jaman petualangan sudah lampau; walaupun kita tahu, orang lelaki yang sudah dalam
peti dan dikubur satu jam di bawah tanah pun masih ingin ke luar karena mendengar
suara sepatu tinggi perempuan mengharnpiri kuburannya. Ya beginilah, soal-soal
besar politik dunia dan produksi sumber energi yang menentukan pecah tidaknya
Perang Dunia III nanti kita tangani hebat, tetapi tentang wanita, kita masih tetap puber
saja. Tetapi apa yang kukatakan tadi ... hey boy, mana kau? Hah, sudah di atas dia.
Lihat itu, dia kusuruh memanjat kelapa itu, dan Seta, Anda akan melihat pasukan
parasut kaum ular. Ya ... siap? One ... two ... three!
Paimin melemparkan ular yang di tangannya, dan sungguh elok sekali, ular itu
melengkung-lengkung melayang ke tanah sejauh 25 meter dari kelapa itu. Tidak jatuh
seperti batu ular itu, tetapi juga tidak melayang seperti pesawat terbang kertas. Hanya
penuh sadar dan taktik ia meliyak-liyuk sehingga jatuh dengan empuk dan lures.
"Perutnya ia cekungkan seperti bentuk parasut," begitu Duta Besar menerangkan.
"Ular jenis ini dapat terbang seperti Tarsan dari dahan satu ke dahan lain. Sayang
kebun kedutaan ini bukan rimbaraya. Tetapi di hutan belantara saya sering
melihatnya. Grasius, penuh kepastian laksana seorang letnan pasukan parasut yang
datang menyerang, tetapi luwes."
Seorang jongos lain menyerahkan ular kencana tadi kepada tuannya.
"Bagus bukan sisik-sisiknya, seperti dicat duko metalik. Kebanyakan jenis ular ini
hijau. Ada yang ekornya berwarna merah atau oranye. Anda tidak suka ular? Istriku
tidak suka. Itulah penderitaan seorang duta-besar, bila istrinya tidak suka ular. Ha ...
ha ... ha ... Mungkin naluri kaum Hawa. Selalu benci pada ular Firdaus yang
menggodanya sarnpai kita jatuh ke dalarn dosa, barangkali begitu, bagaimana
pendapatmu, Mr. Seta? Hahahahaa ... sudahlah, mari. Tak ada habisnya omong
tentang ular. Mari minum yang enak saja.
Sayang duta-besar harus dapat diam. Dan Anda percaya atau tidak, saya paling
pendiam dari antara sekian duta-besar, bahkan duta-besar Jepang yang hanya
tersenyum-senyum licik itu pun masih lebih banyak omongnya dari saya. Dalam
situasi resmi. Tetapi dalam situasi ular? Hahahaa ... Tak usah percaya pada
omonganku ini Seta, kalau Anda merasa aku omong keterlaluan. Saya biasanya
pendiam. Betul. Tetapi kalau menyentuh soal ular, jangan harap sekian losin istri
dapat membungkam mulutku. Seorang istri tahu caranya membungkam mulut
suaminya. Anda juga berpengalaman tentang soal itu, bukan Mr. Seta?
Mari, old fellow, kampiun komputer. Whisky atau wodka? Sake aku juga punya,
tetapi itu untuk jantung tidak baik. Oh ya, kemarin saya menerima suatu jenis jenewer
dari salah satu pulau di Maluku sana, tentu saja dari seorang Cina.
121
Aneh, entah barangkali dia pernah mencuri resep dari seorang bandit VOC atau entah,
dia bisa bikin jenewer. Tetapi dengan rasa yang, sungguh Mr. Seta, kalau kita mnum
itu, rasanya kita dibakar di neraka, tetapi neraka yang penuh kenikmatan bidadari. Ya,
inilah katanya yang tepat, yang tepat. Sejak kemarin dulu saya cari, saya cari ... apa
sebutannya? Sekarang saya tahu. Berkat kehadiran Anda Mr. Seta! Rasanya tuak.
Maluku Cina itu seperti ... seperti dicampuri bisa kobra, haha ... haha mati Anda harus
mencobanya."
Dan kedua orang itu nikmat duduk dalam kursi rotan, sedangkan cerutu mulai
mengepul. Bapak Ambasador mengisap pipa, yang tidak begitu enak baunya, tetapi
memang, tentang selera orang boleh sepenuhnya bertengkar.
"Hei, itu istriku datang. Wanita cantik, bukan. Tetapi ya, itulah, sayang dia tidak
suka ular. Sebentar, dia belum kenal Anda. Soalnya baru pertama kali ini kan Anda
mau datang ke mari. Memang saya tahu, orang bisnis harus berhati-hati mengunjungi
duta-besar di rumahnya." (Ia melambai bersemangat).
"Hello, Susan! Sayang! Bagaimana, ada lukisan yang kau senangi? Indonesia
banyak seniman, memang. Hanya mahalnya, well, mereka semua mengira sudah jadi
Picasso. Nah Susan, ini Tuan Setadewa, menejer produksi Pacific Oil Wells
Company. Tetapi lebih hebat lagi, ia ahli komputer yang tiada taranya di seluruh Asia
ini. Perkenalkan: Seta, ini Susan, kesayanganku yang tiada taranya juga di seluruh
dunia."
Istri duta-besar itu tertawa bangga, dan dengan suara yang anggun tetapi toh pada
nada kekanak-kanakan abadi, ia pura-pura tidak setuju dengan suaminya.
"Ia seorang perayu besar, eh ... Tuan Seta, jangan terlalu percaya pada
omongannya. Ya, tentulah suamiku telah memperlihatkan, mahluk-mahluk yang
paling ngeri di bumi ini kepada Tuan. Saya selalu sepaham dengan suamiku dalam
segala hal, kecuali dalam satu perkara itu. Darling, saya heran, dari mana kau dapat
nafsu aneh mencintai binatang-binatang penjelmaan iblis itu?"
"Haa ... haa .... dear Seta, dengar istriku? Dalam segala hal ia sepaham, kecuali
dalam satu hal. Jangan percaya pada istilah "segala" hal itu" tanggapnya mengejek.
Istrinya berkecak. pinggang genit dan lebih genit lagi pura-pura marah: "Ya, itulah
tuan Seta. Dia nanti pasti akan memberi kuliah tentang psikologi bahasa: mengapa
istilah yang sarna tidak diberi arti yang sama bila itu dipakai oleh pria atau wanita.
Coba, sebentar lagi kuliah mulai, bukan begitu John?"
Tamunya hanya tertawa kecil saja. Suami istri memang tukang ngobrol.
"Beginilah dear Seta," sang Ambasador mengedipkan mata ke arah tamunya "nasib
kaum kami. Kapan Mr. Seta, kita mendirikan gerakan liberation kaum pria?"
Istri duta-besar itu berputar, elegan, tangan kanan memegang sapu-tangan, dan
dengan ulah melenggang ia berkata manis kepada tamunya:
''Tuan, percayalah, kalau presiden kami sekarang dipilih sekali lagi, suamiku ini
pasti menjadi menteri urusan wanita. Mari, silakan duduk. Saya tidak akan
mengganggu percakapan kalian. John, saya tadi mendapat satu lukisan. Perfect, dan
unik. Murah, hanya seribu dolar. Yakinlah, Picasso belum apa-apa. Sayang belum ku-
bawa. Tetapi besok sore pameran sudah usai, dan nanti kau pasti terharu melihatnya.
Nah, Tuan Seta, anggaplah rumah ini bukan rumah duta besar, tetapi rumah sahabat.
Sampai nanti,John."
''Bagaimana old Fellow, elegan ya istriku kalau berjalan."
"Superb. Pantas dilukis, tetapi hanya oleh ... maaf, oleh Picasso." Kedua orang itu
tertawa terbahak-bahak.
122
"Mr. Seta, kau menghina. Kurang ajar kau. Nanti kukatakan padanya."
Terkejut tamunya memohon: "Eh jangan! Mati saya nanti."
"Haa haa haaa, saya tahu, mengapa Anda berkata begitu, Seta.
Anda iri. Iri hati, itulah. Anda iri saya punya istri begitu cantik. Maka itu, perjaka tua,
lebih baik segala komputermu itu dibuang. Yang penting, mendapat seorang istri
seperti saya ini. Ya ... ini sudah datang minuman syurga kaum lelaki. Hei Boy, itu
yang jenewer Maluku itu dibawa ke mari juga. Jangan cuma impor negara-negara
usang. Siapa tahu, kalau ada seorang bisnis yang cerdas, Cina itu boleh jadi membawa
keuntungan sekian milyar dolar. Ada saran pemberian nama? Snake Brandy? Ah,
kurang puitis. Ada dear Seta, Cobra-Fire, hah itu lebih berbobot iklan dan tidak
terlalu prosa. Cobra-Fire. Mana ini si Boy, dikira tidak pantas menghidangkan
jenewer priburni itu? Orang-orang di sini tidak dapat menghilangkan rasa minder
mereka. Dikira yang priburni selalu jelek. Bagaimana dear Seta, Anda ningrat Jawa.
Bagaimana Anda terangkan mental yang merepotkan ini? Kami dari negara-negara
maju ingin berpartner dengan bangsa yang punya harga-diri, terpaksanya sombong,
seperti orang Jepang atau Jerman itu. Kami lebih suka itu. Daripada berhubungan
dengan bangsa kuli. Mau diajak apa seorang kuli atau jongos. Ini membutuhkan
sepuluh generasi ... Haha inilah dia Cobra-Fire of the Moluccan Islands. Sekarang
Anda yang omong. Saya tidak suka omong kalau minum barang yang lezat. Pasti ada
apa-apa yang penting Anda ke mari."
Maka sambil menikmati neraka Cobra-Fire ahli komputer Pacific Oil Wells
Company itu mulai membuka lembaran-lembaran informasinya satu persatu. Inti
permasalahan ada di bidang ekonorm, tetapi pengaruhnya dapat langsung mengenai
bidang politik dan hubungan antar negara yang dapat membahayakan bagi semua
pihak, baik pihak negara-negara yang bersahabat dengan negen tuan rumah maupun
bangsa Indonesia sendiri. Memang soalnya sangadah sensitif, tetapi bagaimana pun
harus diketahui para duta-besar dan seterusnya semua pemerintah yang mempunyai
andil besar dalam operasi multinational corporation Pacific Oil Wells Company.
"Saya sudah meneliti semua fail dan dokumentasi yang menyangkut soal yang top-
secret ini selama setahun,” begitu Dr. Setadewa mengupas persoalannya. "Saya tidak
berani memastikan apakah ini disengaja atau hanya karena kekeliruan tak sengala.
Tetapi dalam model persamaan dasar yang dipakai baterei komputer dalam
perhitungan-perhitungan produksi dan kewajiban-kewajiban pembayaran sharing
kepada negara-negara tuan rumah yang memiliki wilayah sumur-sumur minyak, saya
temukan suatu kekeliruan penyusunan model perhitungan komputer. Dan Tuan tahu,
komputer memang hebat tak terperi kalau disuruh menghitung dan memberitahukan
output yang begitu kompleks dengan sekian ribu variabel dan faktor. Akan tetapi
semua perhitungan itu tergantung dati satu syarat mutlak. Jikalau. Dari "jikalau"
inilah komputer itu penolong atau pembunuh, sahabat atau perusak. Kerangka dan
pola persamaan-dasar perhitungan (yang disebut model harus betul. Jikalau pemilihan
pola gaun wanita itu betul, maka gaun itu mempercantik dan serasi untuk si pema-
kainya. Tetapi bila pola itu keliru, maka seluruh gaun akan rusak juga. Dan justru
dalam pemilihan dan penentuan model itulah, yang diberikan kepada pesawat-pesawat
sekian komputer kami, terdapat suatu kesalahan yang begitu vital, sehingga jelas ini
dapat mempunyai efek politik dan keamanan yang gawat di Kawasan Asia ini. Bisa
berbahaya."
123
Mr. Ambasador sekarang tiba-tiba menjadi orang lain. Tadi ia berceloteh dan
ramai ngobrol tentang hobi ular-ularnya sampai tidak memberi kesempatan sedikit
pun bagi tamunya untuk menyisipkan komentar atau jawaban. Sekarang beliau
pendengar teladan, yang memberi kesempatan sepenuhnya kepada tamunya ahli
matematika untuk menguraikan analisa-analisanya. Kemampuan untuk mendengarkan
itulah yang juga sangat digemari istrinya. Ia suami dan kawan yang baik, begitu
keyakinan istrinya sesudah dua kali mengalami kegagalan perkawinan. Hanya pipa-
nya yang berbicara, artinya asap yang mengalun ke langit itulah yang menandakan,
betapa prihatin hatinya mendengar uraian-uraian tamunya itu. Negara yang
diwakilinya mempunyai bagian prosentase saham yang paling dominant dan sudah
selayaknya Mr. Setadewa datang kepadanya.
''Dan bagaimana Dewan Direktur kongsimu? Sudah tahu tentang soal ini?
"Barangkali. Bila nanti tabir kubuka, aku akan dipecat."
"Tidak akan berani mereka."
"Saya sudah siap menghadapi itu."
"Kalau mereka berani, mereka akan bangkrut."
"Mereka punya cara-cara lain untuk menghindari itu."
''Bagaimana kira-kira komentar mereka nanti?"
"Saya menduga mereka akan mampu menyembunyikan kekeliruan itu terhadap
pemeriksaan pihak Indonesia.
Ya, inilah susahnya. Negeri ini tidak punya ahli matematika. Dan kalau punya,
mereka toh tidak laku dalam dunia korup di negeri ini. Dari penyelidikan Anda,
apakah tampak ada kesengajaan di dalam kebodohan ini?"
"Saya tidak berani mengatakan, Mr. Brindley. Sulit untuk dibuktikan."
"Tidak sulit sebetulnya. Biro-biro investigasi kami tidak akan sukar menemukan
bagaimana duduk-perkara yang sebenarnya. Tetapi kalau nanti ternyata memang
benar ada unsur kesengajaan dalam soal ini, yang jelas, dan ini saya katakan dengan
segala kesedihan hatiku, Anda pasti akan dipecat."
"Saya tahu."
''Anda memang berhati ningrat, Doktor Setadewa. Tidakkah sayang jabatan Anda
sebagus itu sebagai menejer produksi kongsi besar?"
"Saya hanya mengikuti hati-nuraniku dan sumpahku."
"Sumpah apa? Dokter tabib bersumpah, tetapi doktor matematika."
"Saya telah bersumpah di hadapan profesor dan pembina karirku, Prof. Thomson
Mc. Kenzie almarhum, yang menuntun saya dalam lika-liku rahasia rumus-rumus
serta model-model matematika dan yang berulang-kali berkata kepadaku: "Seta, Anda
kelak akan menghadapi banyak godaan curang dalam dunia komputer. Seperti dalam
dunia pengobatan pun. Sayang tetapi nyata, hal itu sering terjadi. Banyak dibuat
penipuan, tetapi penipuan legal. Saya mengharap kepadamu, muridku, semogalah
Anda menjadi pengabdi kemanusiaan. dan bukan pengabdi suatu korupsi atau pihak
kepentingan. Sebab, manusia dan mahluk-mahluk hidup sebenarnya komputer juga,
yang mampu untuk menghimpun, menghitung dan mempertimbangkan sekian banyak
faktor dan variabel. Komputer bertanggung-jawab kepada yang memberi perintah dan
memberi model pola perhitungan. Kita pun bertanggung-jawab kepada sang Pemberi
Model yang mahaatif. Ketika itu, Tuan Ambasador, aku bersumpah. Di dalam hati.
Dan sumpah itu akan kutaati."
124
Sang Ambasador tidak mengucapkan sepatah kata. Dari dunia penugasannya ia
tabu, bahwa memang dalam dunia politik banyak dibuat kecurangan juga. Tetapi ia,
yang memilih bidang sejarah sebagai kejuruan pendidikan universiternya, ia tahu dari
disiplin ilmunya, bapwa hanya politik dalam arti sejati, yang tidak curanglah, yang
akhirnya membawa buah yang lestari.
Ketika orang-tuanya, yang sangat sholeh beragama, berkeberatan ia masuk ke
dalam dunia politik, ia memberi argumentasi kepada mereka, bahwa adalah salah-
kaprah orang mengira politik itu selalu kotor. Politik tertentulah yang kotor, seperti
wanita tertentu adalah kotor dan godaan dosa.
Tetapi wanita indah. Atas alasan apa mereka disebut kotor!
Barangkali sering mereka cuma tolol atau sempit perhitungan. ''Demikian juga
politik," kata Mr. Brindley. "Kendati begitu, kami mengenal tokoh leyak dengan
ratunya, Rangda," sanggah tamunya. Namun sang Ambasador bersiteguh:
''Tetapi politik dan bisnis yang berhasil hanyalah politik dan bisnis yang jujur."
Masa Machiavelli dan Hitler Nazi sebenarnya sudah lampau, seperti jaman Perang
Salib atau Sabil juga sudah terhitung jaman sejarah dulu. Hanya dunia politik praktis
masih ketinggalan. Masih dalam taraf belajar untuk menyadari kenyataan-kenyataan
berdimensi global yang merupakan titik balik perkembangan sejarah politik. Maka
justru demi pengembangan politik itulah diterimanya jabatan duta-besar di negara
yang muda ini. Ia tahu, bahwa ia harus mengabdi pemerintahnya. Tetapi mengabdi
negaranya tidak berarti membunuh bangsa lain. Apa yang diuraikan doktor
matematika tadi sebenarnya pembunuhan dan tipuan massal, jika itu dilakukan
dengan sengaja. Mr. Ambasador lebih condong untuk mendakwa ini kesengajaan,
tetapi seorang duta tidak boleh beranggapan gegabah. Suatu komisi rahasia investigasi
perlu dibentuk untuk meneliti perkara yang gawat dan berbahaya ini. Dan dasarnya
bukan cuma pertimbangan politik kesusilaan yang berkhayal belaka.
Tadi pagi telah datang delegasi ahli tehnologi dari Rumania; dan Rumania negara
penghasil minyak yang berpengalaman lama. Selain itu telegram berkode rahasia dari
Departemen Luar Negeri negerinya memberitahukan kepadanya, bahwa suatu kapal
penjelajah dan lima kapal-selam dari pelbagai klas telah ke luar dari Wladiwostok
menuju Perairan Selatan. lni masalah moral, tetapi juga masalah akal perhitungan
bisnis yang sehat. Dan bisnis yang tidak sehat, seperti strategi militer yang tidak sehat
bukanlah bisnis atau strategi militer. ltu petualangan namanya barangkali, atau
ketololan. Mr. Brindley tidak suka disebut diplomat tolol.
"Berapa milyar setahun Indonesia dirugikan oleh model komputer yang salah itu?
Anda sanggup membuktikannya dengan kuantifikasi eksak?
Ahli komputer itu menyebut angka yang astronomis. Dari tas samsonetnya, Doktor
Seta menyerahkan suatu berkas foto-copy.
"Aslinya saya simpan dalam Swiss Bank di Singapura."
"Kami harus meningkatkan dana-dana fellowship atau beasiswa sarjana
matematika untuk negeri ini," gumam Sang Duta Besar. Dengan bernafas panjang,
sloki berisi Cobra-Fire tadi ia minum sekali reguk. Dibalik-baliknya kertas-kettas
penuh uraian yang abstrak, tanda-tanda kode dan angka-angka yang sangat ruwet.
"Untung saya tidak belajar matematika," sengirnya ironis.
"Apa Tuhan Allah di atas sana juga mengecek angka-angka sinting seperti ini agar
alam semesta kita tidak meledak?"
125
Kedua matanya yang biru nanap memandang tamunya, yang duduk tenang dan
membalas tatapan matanya. "Satu yang pasti, dear Setadewa, satu yang pasti. Dan ini
kukatakan dengan hati yang penuh duka-cita. Kau pasti akan dipecat bila rahasia ini
Anda bocorkan. Anda pasti dipecat."
"Ya, saya sudah memperhitungkan itu sebelumnya."
"Anda idealis. Orang-orang seperti Anda ini sebetulnya mahluk-mahluk yang
tersesat di dunia seperti yang kita punyai ini. Seharusnya Anda tidak menjadi ahli
matematika, tetapi pendeta."
Tamunya tersenyum, dan senyumnya penuh kedamaian yang pasti, seperti seorang
sukarelawan Special Command di dalam Perang Dunia, yang siap terjun di daerah
musuh, hanya untuk mati.
''Pendeta masa kini adalah para ahli matematika dan sarjana-sarjana dalam
kedudukan-kedudukan perhitungan kunci," jawabnya tenang, pasti, ningrat.
"Anda benar. Kami diplomat dan menteri dan marsekal lumpuh tanpa kalian.
Pendeta dapat seorang santo, dapat juga seorang Rasputin¹⁾ , dear Seta. Anda bukan
Rasputin. Inilah malapetakamu, tetapi saya yakin ... Ada apa John? Aduh, kau ini
cetakan kedua dari ayahmu."
Anaknya seumur 6 tahun menghampirinya dan dengan terkejut Dr. Setadewa
melihat dia berkalungkan ular hitam mengkilau bercincin-cincin kuning kencana.
"Ular berbisa, ini ular welang!" teriak sang Tamu. Tetapi anak itu merangkul
tangan ayahnya dan menatap tamu yang tolol itu sambil berkata seperti seorang
profesor cilik. ''Bodoh. Ini ular Kina-anis. Ya Dad, ini Kina-anis ya?" Dan bangga
anaknya meminta pujian dari ayahnya itu. Mr. Brindley tertawa gembira penuh
kebanggaan ayah.
“Ya kau anak sangat pintar. Kasih tangan dulu pada Tuan ini. Nama Tuan ini:
Seta."
"Eok? Nama yang jelek." Lalu memandang tamunya.
"Saya John. Tidak Eok. Kau bernama Eok? Ular ini ... " dan ia membelai penuh
sayang ular yang mendelik diam melingkari lehernya, "ini namanya juga John. John
Kina-anis, ya Daddy?"
"Lho, kasih tangan dulu. Dan hormat dong, dan manis terhadap tamu. Ayo kasih
tangan yang baik-baik."
Dr. Setadewa tersenyum melihat anak kecil itu, tetapi toh yang ditanyakan
pertama-tama: "Tidak membahayakan ular hitam ini?"
Duta Besar tertawa renyah:"Nah dear Doktor, ada baiknya Anda sesekali
mengenal lebih dalam apa yang terdapat di bumi ini. Komputer memang maha
penting, tetapi komputer-komputer berbentuk ular ini interesan juga. John, Cinta-
manis minta diseka tanganmu," dan John membelai kepalanya. "Namanya Cinta-
manis. Trimeresurus wagleri resminya. Tetapi nama pribuminya jauh lebih bagus: Si
Cinta-manis atau Cantik-manis. Belum tentu segala ular yang hitam itu jahat, dear
Seta. Ini ular yang paling manis. Tidak pernah menggigit dan suka diajak bermain
oleh anak kecil pun. Aneh bukan?"
¹⁾ Tokoh rahib cabul di Rusia.
126
Dr. Seta juga ikut membelai kepala ular yang bermata hitam melolo¹⁾ itu. Kok
garis mulutnya seperti ia tersenyum terus-menerus. Seperti lumba-lumba.
"Ya, memang aneh alam itu. Ada yang keji seperti jenis Naya, kobra-kobra, ningrat-
ningrat para ular. Maaf Seta, Anda ningrat juga. Tetapi ada yang jinak dan manis
seperti Cintamanis ini. Negeri ini memang aneh. Kan saya tadi sudah berkata: Bila
belajar psikologi, khususnya psikologi orang Timur tropikana ini, pilihlah hobi
memelihara ular dan telitilah tabiatnya. John, sekarang John juga manis seperti Cinta-
manis ini dan bermain-main ya. Papi ingin bicara dengan Tuan Seta ini. Tuan ini juga
senang pada Cinta-manis. Ya dear Seta?"
''Ya John, saya juga senang Cinta-manis."
"Kau juga punya Kina-anis?"
"Punya."
"Juga seperti ini? Hitam, ada cincin-cincinnya emas?"
"Tidak, Cintamanisku hitam semua."
''Tidak ada kuning-kuning begini?
"Sayang John, Kina-anisku tidak punya. Dia miskin, tidak bisa beli roti dan misyes
coklat. Lalu cincinnya dijual."
"Cincin-cincinnya dijual? Sekarang sudah tidak punya lagi?" tanyanya dengan dua
bola mata penuh kasihan.
''Ya, sayang. Sekarang hitam hitam melulu ... "
"Oh kasihan, ya Pa! Apa tidak bisa dibelikan cincin baru?"
"Bisa, John,” sahut ayahnya. "Bisa. Tetapi harus menunggu, sebab pandai emas
yang membuatnya masih ... eh belum bangun, masih tidur."
"Oh," kata anak itu. Dan kepada ularnya ia berkata lirih: ''John, Kina-anis
cincinmu begini banyak. Kasihan dong, Kina-anis, Tuan itu miskin. Tidak punya lagi.
Kasih ya? Papi, apa kina-anis kita bisa memberi beberapa cincin emasnya kepada
kina-anis tuan itu."
"Yah ... " bingung juga Ambasador itu, tidak tahu bagaimana menjawab anak itu,
tanpa mengecewakan, tanpa bohong. Akhirnya: "Sudah John, kasih tabek kepada
Tuan Seta, dan kembalikan ular itu lekas-lekas di kandang. Dia lapar, nanti ia merasa
miskin juga; lalu cincinnya dijual juga. Kan tidak bagus."
''Ya, selamat petang! Papi, saya kembalikan segera ke kandang. Dan Paymin harus
memberinya katak-katak lagi. Tapi kasihan juga ya Papi, katak-katak itu?"
Lama kedua orang itu diam, sesudah anak itu pergi.
"Dr. Seta,”kata duta-besar itu lirih. "Kalau ada apa-apa kelak, dan Anda
membutuhkan pertolongan, jangan segan mengebel pintu rumah kami. Selalu akan
dibuka."
Sambil mengantar ke pintu muka, Ambasador itu masih berkata: "Saya pasti akan
mengurusnya. Tetapi sebelum ada langkah-langkah tingkat tinggi, sebaiknya Anda
mencari saluran lain. Entah bagaimana caranya, coba kirimkan dokumen-dokumen
Anda melalui saluran-saluran tak kentara ke tangan pembesar-pembesar Indonesia
yang paling kompeten untuk masalah ini. Siapa tahu mereka pasti akan bertindak
sendiri, sehingga inisiatif dijalankan oleh pihak mereka. ltu lebih safe dan sebetulnya
lebih wajar. Tetapi Anda main sans tinggi, hidup atau mati ... Seta! Kita mengharap-
kan yang baik-baik saja. Sementara ini, resmi saya tidak tahu apa-apa, okay?"
¹⁾ Mata yang terbuka lebar sekali.
127
"Baik. Yang saya butuhkan sekarang hanya rekomendasi untukku kepada
Departemen Dalam Negeri. Anda suka memberi itu?"
"Rekomendasi ?"
"Saya ingin sedikit sentimental journey ke pedalaman, ingin menengok tempat-
tempat masa kanak-kanakku. Semua peninjauan sekarang harus minta ijin. itu ... kalau
Mr. Brindley masih mengakui saya sebagai warganegara negaramu."
"Oh baik, baik. Nanti saya bilang kepada mereka, bahwa Anda sedang mencari
pacarmu, begitu saja kan?"
"Ah," dan terkejut membelalak doktor komputer itu menolak.
"Jangan. Biasa saja: turis."
''Lho, apa benar ada pacar?"
''Ya, sulit cara merumuskannya," dan ia tertawa.
"Nah hahaha;' dan penuh perhatian Ambasador itu tertawa sambil mengerdipkan
mata. "Kentara sekarang memang ada itu. Okay, never mind."
128
16. Nisan Perhitungan
Aku tidak tahu, apakah harus berterimakasih atau mengutuk memori. Ingatan
manusia menolong kita belajar mengalami dan membentuk hari-depan yang lebih
baik; dan kreativitas kita sebagian besar berudik dari sumber-sumber yang hidup,
ingatan kita. Bahkan cinta atau benci hanya mungkin bila memori kita hidup. Tetapi
justru itulah, segi-segi gelap seperti. benci, balas dendam dan biasa juga ketakutan
serta kebimbangan bermunculan seperti ular Kepala Dua yang pemah diperlihatkan
oleh sahabatku, John Brindley.
Sungguh unik Mr. Ambasador itu. Dari mana ia mendapat ilham dan kesukaan
mengumpulkan reptil-reptil yang mengerikan itu? Ular Kepala Dua sebetulnya satu
kepalanya, tetapi ekornya persis bentuknya seperti kepalanya, pendek, tumpul bahkan
punya dua pentolan mirip mata. Bagian bawah ekor itu berwama merah koral dan
bercincin oranye bagus. Juga persis dengan wama bagian bawah kepalanya. Kalau
bahaya datang dari belakang, ekor itu dapat didongakkan, sehingga dapat menipu
lawannya. Tentu saja bagi musuhnya yang bemiat menyerang, kepala tipuan itu mem-
bingungkan sekali bila ular itu lari, seolah-olah lari ke belakang.
"Ular Kepala Dua tidak berbisa, untunglah," kata John. ''Tubuhnya kecil, belum
ada setelapak kaki; dan hidupnya seperti cacing, di bawah tanah. Oleh penduduk
pribumi ular ini ditakuti karena dianggap punya kekuatan gaib."
Memori manusia, walaupun sering punya kepala dua, pada hakekatnya hanya
berkepala satu. Kepala ke arah segala yang lebih baik, dan tidak sebaliknya.
"Sering sejarah berjalan mundur seperti. yang kita alami dalam peperangan yang
lalu," kataAmbasador, "akan tetapi saya percaya, bahwa sebenarnya kita maju."
''Namun itu baru harapan Anda, Mr. Brindley. Belum kepastian yang dapat kita
jadikan pegangan. Manusia toh bisa meledakkan diri juga, bila dia mau."
''Ya, benar. Sayang drama kekacauan sampai sekian puluh tahun sesudah
perjanjian Potsdam¹⁾ atau di kawasan sini perjanjian di kapal penempur Missouri²⁾,
belum membuahkan jaminan yang dapat kita andalkan. Tetapi untuk itulah justru kita
harus menanam harapan. Manusia tanpa harapan, dia mayat berjalan."
Maka pagi itu, dengan memori yang masih hidup langsung mengingatkan diriku ke
serangan 19 Desember 1948 di Meguwo itu, namun dengan sesloki harapan juga yang
kureguk dari percakapan dengan Mr. Brindley petang kala itu, saya, menejer produksi
kongsi kuasa satu-satunya yang berkulit sawo-matang, mendarat di lapangan
Meguwo. (Tetapi untuk karier setinggi itu maafkan aku harus membayamya dengan
kewarga-negaraan non Indonesia).
Sudah tiga kali aku mendarat di lapangan ini sejak serangan Spoor ke Yogya dulu
itu; dan setiap kali ular Kepala Dua itu muncul lagi. Yang pertama kali: untuk
mengantarkan big-bossku yang ingin berpariwisata ke Borobudur dan yang
membutuhkan seorang gadis yang mengenal daerah. Yang kedua kalinya untuk
menghadiri resepsi perkawinan salah seorang putera direktur Departemen
¹⁾ Perjanjian penyerahan Jerman Nazi kepada Sekutu di Berlin sesudah Perang
Dunia II.
²⁾ Perjanjian penyerahan Jepang kepada Sekutu sesudah Perang Dunia II.
129
Pertambangan yang memegang kunci nasib konsesi perusahaanku. Dan ketiga
kalinya, sekarang ini, untuk, ya untuk apa sebenarnya aku kini ke mari ? Untuk
menyusuri kembali sejarah hidupku yang lampau penuh kepahitan, kekalahan dan
kesialan itu? Setiap resepsi perkawinan yang harus kuhadiri selalu merupakan
siksaan. Apa lagi di sini, yang mengharuskan aku mendarat di lapangan terbang dan
lingkungan daerah yang kukenal bersama memori getir.
Sampai sekarang aku belum pernah berani memberi tanda-tanda hidup untuk Atik.
Pernah kudengar dari beberapa sumber kalangan kedutaan RI di Den Haag tentang
perkawinan dan profesi Atik sesudah Konperensi Meja Bundar itu. Dari seseorang
entah dari dunia universitas. Dan sangatlah pengecut aku ketika itu tidak memberi
kartu selamat untuknya. Jangan lagi mengirim kartu selamat; alamatnya pun aku tidak
tahu. Dan seandainya aku tahu (seharusnya aku tahu), toh aku tidak akan bermunafik
untuk mengucapkan selamat mengenai suatu peristiwa yang menyakitkan hati.
Sakit hati karena salahku sendiri, memang itu kuakui, dan memang aku pengecut
dalam hal ini, akan tetapi tetap menyakitkan hati. Aku ingin jujur dan wajar. Aku
tidak ingin jadi budak basabasi. Dan aku diam. Namun toh sejelek-jeleknya aku, aku
berdoa untuk Atik yang pernah menjadi kekuatan batinku dalam masa muda yang
paling menggoyahkan; yang kala itu menulis surat padaku, memanggilku ke Jakarta
untuk menemui Mami .
Mami, ya Mami. Kau sekarang sudah menemukan kedamaian. Segala-gala telah
kau serahkan. Tetapi mereka mengingkari janji. Dari dokter direktur rumah-sakit jiwa
Magelang, pas pada hari aku meraih gelar doktor di Harvard, kuterima berita menditil
mengenai wafatnya Mamiku.
"Itu sudah kami duga," kata dokter itu, "sebab kelainan yang diderita ibu Tuan
yang baik itu suatu saat akan sampai pada pusat persarafan sentral. Tetapi saya dapat
memberi persaksian, bahwa ibu Tuan mangkat dengan wajah tersenyum, tenang; dan
saya yakin, dalam rahmat berkenan kepada Allah Subhanahu wa taala."
Segalanya telah Mami serahkan.
"Juga, bila Tuan bersua lagi dengan Kolonel Verbruggen, sudilah Tuan
menyampaikan salam dari pribadi saya dan rasa terimakasih dari rumah-sakit yang
kami bina dengan susah payah ini, atas segala bantuan material yang tidak sedikit
selama ini dan yang masih berlangsung terus. Sudah lama kami tidak menerima kabar
dati Kolonel Verbruggen dan Tuan ... "
Verbruggen, dia pun sudah tiada. Si Bandit gila telah hancur di Dien Bien Phu¹⁾.
Pastilah sumbangan itu dilewatkan melalui ibunya. Seandainya bukan Spoor tetapi
Verbruggen yang jadi panglima kala itu, pasti sejarah akan berjalan lain. Tetapi
seorang Verbruggen tidak akan laku untuk hari-hari semacam itu dulu. Tinggal aku
dan Atik.
Dokter itu juga menulis sedikit tentang suatu keluarga istana di Surakarta yang
seringkali mengunjungi Mami. ''Bahkan ada seorang wanita muda beserta ibunya
menanyakan alamat Tuan Setadewa. Tetapi walaupun kebaikan hati mereka berkesan
sekali kepadaku, saya setia tetap teguh merahasiakan alamat Tuan. Menurut yang
diminta keras oleh Tuan, dan yang selalu kami patuhi selaku rahasia jabatan dokter".
¹⁾ Medan laga termasyur dalam perang Vietnam melawan Prancis, di mana tentara
Prancis dikalahkan totaL.
130
Dari dokter tua yang baik itulah kelak, sesudah aku diangkat jadi menejer produksi
Pacific Oil Wells Company di Indonesia, kuketahui alamat dan hal-ihwal Atik, Bu
Antana beserta alamat desa, tempat Pak Antana, yang gugur dalam Clash II,
dimakamkan.
Tetapi mengapa aku hams mengingat Atik lagi? Ia sudah milik. suaminya dan
realismelah pasti yang menuntun keputusan pilihannya. Sudah punya anak berapa ia
sekarang? Aku sendiri belum punya anak. Mana mungkin punya anak dengan
perempuan jalang yang kukawini itu? Tetapi mengapa kau kawin dengan perempuan
jalang, Teto? Jangan-jangan kaulah, Setadewa, yang membuatnya jalang. Karena
kegandrunganmu pada matematika dan komputer. Memang sebenarnya aku dulu
kawin tidak karena cinta. Cintaku hanya untuk Atik. Dengan Barbara aku kawin demi
karir. Untuk memberi kilat-kilat perputaran pada matematika dan komputer-
komputerku. Sebab istriku adalah anak dari bossku dalam divisi Eksploitasi Pacific
Oil Wells Coy. Dan anak perempuan itulah yang memberiku status dan kalangan
berpengaruh, sampai aku yang berkulit sawo-matang ini naik anak tangga begitu
tinggi dalam tempo begitu cepat.
Tetapi perempuan punya radar dan alat-alat sensor elektronika juga, yang lebih
peka dan lebih meradar panser jiwa daripada radar buatan manusia. Ia pasti lambat -
laun merasa, bahwa aku mengawininya hanya demi jabatan paling kunci, penguasaan
divisi komputer perusahaan. Dan perempuan itu semakin acuh tak acuh. Dalam waktu
satu tahun, dari kedua belah pihak sudah tidak ada lagi hubungan yang mewayangkan
cinta sedikitpun. Aku yang paling bersalah. Aku masuk upacara perkawinan di gereja
sudah tidak lagi dengan hati manusia yang sayang pada calon istriku, tetapi dengan
hati aluminium, kobalt dan silikon pesawat elektronika yang dingin. Dan istriku
malang menikah dengan suatu komputer robot tanpa jiwa. Lalu mati pula hati istriku,
terbunuh oleh voltase kumparan-kumparan elektrikku. Terkena bisa ular Kobra
lelakiku yang juga sering bengis mendongak tegak, waspada, dingin melihat
mangsanya dan tiba-tiba secepat kilat menggigit. Lalu lemas terkulailah mangsa. Atau
sebagai ular Kepala Dua yang menipu memperdaya halus.
Sesudah istriku pergi, baik secara mental mau pun legal, hidupku sudah tanpa arti
lagi. Ibuku sudah menyerahkan segala-galanya, tetapi anaknya hanya bisa mengambil
dan mengambil segala-galanya. Mengingkari janji aku tak pernah, artinya dalam hal
yang vital. Tetapi ini pun demi perhitungan-perhitungan kebahagiaan harga-diri
egoistis. Lagi, tidak pernah memang aku serius mau berjanji secara mengikat. Dengan
kata lain, tak pernah menyatakan kemanusiawianku, sanggup risiko demi pemekaran
indah manusia lain. Mamiku meninggal sebagai orang yang macet komputemya,
tetapi pada saat-saatnya yang terakhir ia mewariskan kepada sesama manusia suatu
memori indah wajah yang tersenyum dengan kata-kata yang penuh hikmah pula:
"Aku telah menyerahkan segala-galanya". Kalimat "Tetapi mereka mengingkari
janji", pada hakekatnya -- dan tentang ini aku semakin sadar -- itu sebenarnya
ditujukan kepada anaknya yang ia tinggalkan di bumi ini, sang doktor matematika,
menejer divisi produksi Pacific Oil Wells Company, Setadewa.
Begitulah maka sekarang sudah saatnya aku datang, sebagai manusia biasa, yang
ingin mengadakan perhitungan dengan ular Kepala Dua yang hidup di bawah tanah
hati nuraniku. lni berkat pengorbanan Mami. Buah hasil penderitaan dan doa ibuku.
131
Bukan karena Setadewa yang baik, melainkan karena kebaikan dan keperwiraan
Kapitein Brajabasuki ayahku yang jauh lebih jaya daripada kekolongan jiwa liar
pengeluyur kali tangsi Teto dalam diriku. Tidak, kali ini aku tidak mau taksi sedan
luks. Selain panas dan menjengkelkan karena modelnya kuna, aku sekarang ke mari
untuk keperluan lain.
"Saya pesan jip, jip terbuka carikan."
"Ini saja Tuan, ini mobil bagus, empik ada A-C nya."
Memang-sinting pemuda-pemuda yang mengerumuni setiap penumpang dan
memaksa-maksakan secara tidak sopan, taksi-taksi... taksi-taksi. Seolah-olah hidup
kita tergantung pada taksi. Mengapa bukan: wanita cantik! wanita cantik, Tuan! Ini
kan negeri penuh gadis cantik, mengapa malu menawarkan kecantikan gadis seperti
menawarkan taksi! Dan tidak diam-diam munafik secara gelap dengan secarik kertas
mengapa malu menawarkan kecantikan gadis, tetapi tak malu menawarkan taksi! Dan
tidak diam-diam munafik secara gelap dengan secarik kertas bisu tuli di kamar hotel
internasional. Pemuda-pemuda ini sungguh pengemis mentalnya. Mental persis sama
dengan yang kujumpai juga pada meja-meja perundingan internasional di pihak kaum
Selatan. Sampai kau malu punya kulit sawo matang ini.
Aku anak kolong memang, anak kumpeni, betul bajingan KNIL, biar! Tetapi
bukan pengemis dan kuli seperti mereka itu. Aku jengkel diikut-sertakan dalam suatu
masyarakat yang mendidik pemuda-pemuda taksi ini menjadi kuli yang tidak tahu ba-
gaimana caranya hidup merdeka dalam negara merdeka. Tetapi, ya sudahlah. Mereka
miskin, aku kaya. Enak memang jengkel begitu bila kau kaya. Maklumlah, maafkan!
"Tidak ada jip Tuan, ini saja, itu bagus, Tuan."
"Saya tidak butuh taksi bagus. Saya butuh jip, tahu?"
Ah, mereka toh hanya orang kecil saja yang selayaknya dikasihani. Mengapa
merasa gusar? Akhirnya seorang Cina, (nah Cina lagi, kalau pribumi sih terlalu tolol)
yang menjanjikan penyediaan jip carteran. Tetapi saya harus menunggu barang
seperempat jam saja. Nah sudah hafal aku, artinya seperempat hari tentunya, pikirku
sinis. Baiklah, saya minum kopi dulu. Satu-satunya yang baik di Indonesia hanyalah
kopinya. Artinya di warung. Entah di restoran pelabuhan udara internasional yang
kini diberi nama Adisucipto ini.
Peragawati yang pamer kain batik dan berputar-putar seperti merak itu matanya
bagus; hanya sayang telinganya terlalu lebar. Berkesan keledai. Tetapi payudaranya
boleh lebih montok lagi sebetulnya. Tidak model Barat kerempeng begitu. Di alam
tropika tidak ada yang kerempeng, semua montok. Kenapa mereka sekarang begitu?
Ingin mirip dan meniru dan imitasi dan menjiplak Barat? Sungguh kuli dan babu
bangsa ini. Dan lebih kuli lagi kau, Teto. Ya, itu benar. Sudah lama aku sadar, bahwa
sikapku yang begini ini sebetulnya ekspresi maksimal dari kekulian bangsaku.
Bangsaku? Bukankah kau Teto, kau selalu mengujar terhadap sang Ambasador, kau
berkebangsaan multi-nasional? Aku tidak bohong. Mamiku Indo dan aku, aku bekas
KNIL.
Tanah-air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di mana tidak ada
manusia menginjak manusia lain. Siapa dulu yang omong begitu? Lupa aku. Ah, si
sersan mayor MP di kerkop itu. Memang aku tidak punya tanah-air, karena aku
biasanya ikut dengan pihak penyerang. Dulu sebagai koboi Spoor, sekarang sebagai
kacung Board of Directors lihay yang tahu, yang sungguh tahu bahwa model
perhitungan komputer itu terselipi (atau diselipi?) kesalahan yang merugikan negeri
ini dengan sekian milyar dolar per tahun.
132
Kami yang tak kenal dimensi kemanusiawian, yang dingin, berjiwa robot, apa lagi.
Tetapi sayalah yang sekarang memegang kunci informasi rahasia pengurasan negeri
ini. Benar, memang sudah kuduga, kopi restoran ini enak. Cukup memberi kafein
sedikit untuk nanti. Aku harus segar. Ini bukan trip bisnis atau perjalanan ke resepsi
perkawinan. Ini ziarah.
Cina itu memang boleh dipuji. Betul seperempat jam. Dua puluh menit sebetulnya,
tetapi saya hitung seperempat jam. Karena aku di Yogya, tidak di New York.
''Pelan-pelan, Bang Sopir. Saya punya waktu seperti lautan. Pelan-pelan. Saya
harus menikmati semua." Jip khusus terbuka, haha seperti dalam jip militer sedang
beroperasi. Nah, di selokan itulah saya merangkak. Di sana kukira ada gerilyawan.
Peluru muntah. Peluru ketakutan sebenarnya. Setiap serdadu takut. Tidak ada yang
"berani mati," kecuali para tukang bual di bar-bar atau di perjamuan nyonya-nyonya
tolol yang kagum terpukau pada sang Lelaki jago kate. Saya hanya biasa, seperti
Verbruggen, bandit.
''Di hotel mana, Tuan?"
"Hotel? Aku tidak bilang hotel. Terus saja, jangan belok kalau belum saya
komando." Hah, aku sudah mulai berkomando. Enak memang memberi komando.
Seperti berkesempatan melampiaskan dendam, sebab yang mengkomando biasanya
mendapat komando juga. Seolah komando yang tidak menyenangkan itu lekas-lekas
harus kita teruskan kepada orang lain, seperti sebaris domino yang sama-sama jatuh,
lalu merasa lega, bebas dari situasi dikomando. Sampai kaum sol sepatu yang paling
bawah.
Nah, di bawah sana komando-komando pada bertumpuk-undung. Dan untunglah,
ya itulah kebodohan mereka, atau rahmat ketahanan mereka? Komando ditumpuk,
digudangkan. Mereka bergumul dan tidur, mandi dan bersetubuh di tengah onggokan-
onggokan komando itu. Tidak ambil pusing seperti perempuan-perempuan dikali
Bening itu yang tidak ambil pusing juga dengan air keruh berlumpur tai-tai itu. Kaum
sol-sepatu di bawah tahu koeksistensi "damai" dengan bentakan-bentakan komando
dari atas. Dan inilah kekuatan mereka sehingga bertahan dan masih tetap bisa hidup
dan tertawa dan saling melawakkan lelucon lawak konyol tak ketolongan, tetapi yang
tetap saja masih lucu.
Di dalam jip terbuka itu aku menuju ke Krarnat Magelang untuk berziarah ke
makam Mamiku di sana. Makam yang telah kupugar sepuluh tahun yang lalu ketika
Soekarno masih berkuasa. Nah, ke makam Mamiku itulah acara pokok perjalanan
peziarahanku sekarang ini. Sebelum clash terakhir meledak.
Direktur tua rumah-sakit sudah diganti oleh yang lebih muda dan tiba-tiba aku
merasa bahwa aku sendiri telah menginjak ke masa jam 14.00 siang menuju senja
hidup. Kota Magelang yang dulu terkenal indahnya dan bersih, sekarang sudah penuh
toko dan kios, kotor seperti sepantasnya kota-kota di negeri ini, yang kubenci
sekaligus kucintai.
Kali Manggis tetap masih berwarna manggis. Hanya sekarang lebih banyak lagi
perempuan, laki-laki, anak-anak yang beroperasi di tepi-tepinya. Masuk Magelang
seperti masuk sarang lebah, begitu banyak manusianya. Kendaraan bermotor sudah
mulai membisingkan bunyi-bunyi imperial kerajaan ular adder. Tetapi satu yang
bagus. Tidak ada orang yang kurus.
133
Anak-anak serba gemuk, menggelembung pipi-pipinya. Dan gadis-gadis lebih cantik
daripada cah kampung jaman anak kolongku. Aneh, pohon-pohon kenari di daerah
tangsi (sekarang Ksatriaan narnanya, hebat), masih saja tegak berdiri. Hanya lebih
botak dari dulu, biasalah ciri masa tua. Selama kenari-kenari itu masih ada, tangsi
kumpeni atau ksatrian kurasa tidak banyak bedanya.
Rumah-rumah perwira dengan genting-gentingnya yang tebal-tebal bulat separuh
seperti rumah-rumah Spanyol dan ltalia masih sama.. Ya, disini rumah letnan van
Santen yang sangat pirang dan kami Juluki Buto Damen ¹⁾, itu rumah Kapitein du
Bois dengan Istrinya yang gemuk seperti bedug mesjid alun-alun. Dan dua rumah
lagi, ya, itulah rumah Loitenant kelak Kapitein Brajabasuki almarhum.
“Catnya sudah diperbaharui, tetapi pohon bugenvil di muka garasi itu kok masih
saja ada. Atau sudah diremajakan barangkali'? Pagar wora-wari aneh juga masih abadi
setia menjadi saksi-saksi sejarah yang tenggelam, bersama pohon-pohon kenari di
mukanya. Gentingnya seperti yang lain-lain serba ditumbuhi rumput, anggrek-
anggrek liar dan macam-macam lumut. Hanya rumah-rumah perwira serba sepi, entah
penghuninya ke mana. Dulu selalulah penuh sinyo dan noni di muka pintu, di
halarnan, di jalan.
Sebuah tank dan dua panser menderu di seberang alun-alun latihan. Tank itu bukan
model Shermann, bikinan Rusia barangkali. Ada sepasukan tentara nasional yang
sedang berlari, kaos oblong putih tetapi lengkap berpantalon bersepatu. Lebih efisien
pakai setiwel²⁾ model KNIL sebelum perang sebenarnya, dari segi efisiensi kesehatan.
Setiwel-setiwel itu erat-erat mengikat daging otot betis dan begitu orang sanggup
bertahan jalan jauh. Semua yang baru dan keliru ini pengaruh US Army. Semua ten-
tara di seluruh dunia di luar daerah pengaruh komunis berpakaian seragam model
USA. Praktis atau tidak praktis mereka begitu, multinasional. KNIL dan TNI sarna
saja bentuknya, senjatanya, celananya, sepatunya. Punya pangkat apa aku seandainya
dulu menggabung pada tentara nasional ini? Paling pol kolonel. Nasional? Di Eropa
sudah tidak ada tentara nasional. Di Amerika Latin juga tidak ada lagi, hanya
namanya saja.
Sekarang aku menejer. Mayjen cukup? Gajiku besar dan lebih kuasa daripada
marsekal. Tetapi sebentar lagi habislah riwayatku. Di hadapan nisan Mami, dan
sekaligus secara simbolis di hadapan nisan Papiku juga, (sampai sekarang tidak jelas
dan tidak pernah akan kuketahui, di mana letak istirahat akhir Papiku) aku tadi telah
bersumpah pada Mami dan Papi, bahwa aku akan berbuat sesuatu, yang akan menjadi
kebanggaan orang-tuaku, seandainya mereka masih hidup. Terutama kepada Papi
akan kutunjukkan bahwa aku tidak tergolong "mereka yang mengingkari janji". Ya,
aku akan tetap tersenyum. Dan barulah bila semua itu sudah terjadi, aku akan sanggup
berhadapan dengan Atik. Mata lawan mata. Hati lawan hati. Sebagai ksatria yang
tidak kalah. Biar aku anak kolong, anak ruang di bawah ranjang! Dalam arti yang baru
yang lebih pahit. Tetapi dengan kebanggaan. Anak kolong dan kaum ksatria hanya
hidup dari kebanggaan. Bukan dari uang, tetapi karena telah berbuat berani.
¹⁾ Raksasa jerami.
²⁾ Pembalut kaki dari tumit sampai lutut.
134
Mempertaruhkan nyawa demi sumpah, demi sasaran yang sulit dicapai, demi tujuan
yang melegakan orang banyak. Akan kubuktikan, bahwa darah perwira masih
mengalir di dalam urat-uratku, dan bahwa keindoan Mamiku adalah infusi darah baru
bagi bangsa Inlander yang mengalami situasi serba baru sesudah revolusi politik dan
revolusi bersenjata dulu itu.
“Kau tahu desa Juranggede? Kata orang di daerah lereng Merapi sana. Kau kan
juga berasal dari Merapi?"
"Saya berasal dari daerah Grojogan, Bapak. Tetapi ada tiga Juranggede, Bapak.
Yang satu di dekat cekdam yang baru dibangun pemerintah itu. Ada lagi yang, yah
begitulah Bapak, tempat sarang bajingan-bajingan, dan ada lagi di daerah ke arah Ko-
peng di sini." Kulihat sopir di sebelahku, belum sangat tua.
"Kau paham sekali daerah lereng Merapi?"
"Menurut istilah sekarang, saya sudah laku untuk jadi gaid, Bapak. Saya kenal
segala lekuk lorong daerah." Dan kedengaran bangga ia menambahkan gerilya. Tetapi
dulu saya jadi kurir, itu lho Pak, yang disuruh membawa surat-surat kode rahasia dari
markas ke markas. Berbahaya itu lho, Bapak!"
"Umur berapa kau sekarang?"
''Barangkali ... ya barangkali berapa ... ya ketika kles kedua itu saya baru kelas
enam. Tetapi abang saya ikut lasykar, dan saya ikut juga. Tetapi tanpa bedil, Bapak."
Dan sopir itu tertawa kecil.
"Tidak masuk TNI?"
"Ah tidak laku. Kerempeng begini, Bapak. Disuruh lari-Iari begitu, capek. Lebih
suka jadi sopir begini. Enak. Tapi saya sudah montir, Pak. lkut Cina saja lebih enak.
Bapak tinggal di mana?"
"Saya dulu tinggal di sini. Tetapi ketika masih anak. Jarnan Belanda."
"Oooh ... Belanda itu kaya ya, Bapak."
"Ya, ada yang kaya, ada yang biasa. Di sini juga begitu, kan."
''Ya, sayang begitu, Bapak. Tetapi orang harus belajar nerimo, Pak. Maaf, Bapak,
saya dari tadi ingin tanya, mengapa kok Bapak tadi ekstra minta jip terbuka? Mau
lihat pemandangan? Jangan-jangan nanti masuk angin."
''Ya ... ya begitulah."
"Sekarang ke mana?"
"Ke Juranggede."
''Ya, yang mana?"
"Saya hanya diberi tahu, dulu pernah jadi markas dan dapur umum gerilya."
"00, kalau begitu saya tahu." Dan sopir itu tertawa lagi.
''Tentunya kan ridak ke Juranggede yang jadi sarang perampok itu.
"Masih banyak perarnpok?"
"Uah, sarna saja. Ada gula ada semut. Ada paya ada buaya. (Sopirnya tertawa lagi)
Bapak suka melihat sarang perarnpok? Hanya lewat saja. Tidak usah apa-apa. Aman.
Bapak turis dari mana? Menado? Atau Medan?"
"Saya …? Dari Jakarta saja.
"Oh, kalau begitu dulu pernah gerilya di daerah sini dan Bapak ingin mengunjungi
kenangan-kenangan lama?"
''Ya ... begitulah."
"Kalau begitu maaf, Bapak tentunya paling sedikit sudah brigjen ?"
"000, lebih tinggi lagi."
"0 ya?" (ia mengangguk-angguk kagum) “Juranggede, Bapak?"
135
''Ya, mumpung masih belum sangat siang."
“juranggede yang sarang perampok atau markas-gerilya?"
''Yang gerilya saja dulu. Jipnya masih kuat ke sana?"
"Oh, beres, Bapak. Tua, tapi masih suka kerja ... Juranggede ... Juranggede, saya
masih punya paman di sana. Ya, sudah jauhlah, tetapi ia masih kemenakan dari ibu
saya. Kalau begitu saya juga untung, Pak, boleh nanti menengok, sebentar saja?"
"Boleh. Tetapi sekarang pertanyaan penting. ltu warung-warung tahu goreng di
dekat penjara itu masih ada?"
"Oh itu? Tidak hanya satu, Bapak, banyak."
"Masih enak?"
"Uah, itu segala turis domestik lari ke situ."
"Kalau begitu kita juga lari ke sana dulu."
136
17. Gunung Rawan
Gadis itu menunduk hormat malu-malu dan menggantungkan pelita bekas gelas
selai pada balok belandar emperan muka. Lalu diam tanpa suara seperti anak ma-
can tutul (kebayanya bukan kebaya tetapi baju pasukan payung USA), pergi sambil
sekali lagi menunduk hormat. Ada sesuatu dalam gadis itu yang mengingatkan aku
pada Atik. Entah apa. Ada baiknya jipku tadi macet. Bukan mesinnya yang
menyebabkan aku terpaksa harus menginap di tempat Pak Dukuh¹⁾ ini, tetapi normal
tolol sekali, karena bensinnya habis. Salah perkiraan, kata sopir. Atau memang
mesinnya sudah begitu boros dan tadi hampir selalu hams porseneling dua? Pokoknya
tidak bisa terns.
Baiklah, semua hams dialami. Aku tadi hanya bohong sedikit pada Pak Dukuh,
mengaku masih kemenakan dari bapak yang dulu tertembak pesawat pemburu
Belanda di jalan Selatan sana dan yang dikubur di pemakaman tengah sawah itu.
Dengan segala keramahan pribumi asli aku diberi kamar tengah yang paling bagus,
yang sebenarnya hanya dipakai untuk mempelai baru. Selalu dan di mana pun seolah-
olah orang-orang ingin menyindir kegagalan perkawinanku. Lama Pak Dukuh dan
aku saling tukar pikiran tentang masa lalu. Dari percakapan ramah itu aku menarik
kesimpulan, bahwa untuk penduduk di pedalaman sangat tepatlah bila diterapkan
kata-kata Mamiku (ataukah kata-kata Wahyu dari Atas:) "Segala telah kuserahkan.
Tetapi mereka mengingkari janji." Tentu saja aku tidak mengaku bekas KNIL. Hanya:
"Dulu saya tidak mengalami sendiri. Ketika Revolusi Merdeka dulu, saya masih di
luar negeri." Kan bukan bohong perumusan diplomatis "Luar Negeri" itu.
Pak Dukuh bercerita banyak tentang peristiwa masa lampau. Tentang Ibu Antana
dengan puterinya yang cantik Den Ajeng Larasati. Sungguh tidak terbayang semuda
itu ternyata sudah tergolong orang-orang gede yang sering bicara-bicara dikelomasi²⁾
dengan orang-orang pinternasional³⁾
Bagaimana keadaan Den Ajeng Larasati sekarang? Dan ibunya? Setiap tahun pada
waktu nyadran sebelum bulan Puasa mereka selalu datang membersihkan makam Pak
Antana dan berdoa. Ya, naik mobil. Tetapi hanya sampai di jembatan bawah, yang ke-
tika itu masih rnsak. Dan bawa oleh-oleh. Pak Dukuh mendapat jam-tangan, sekarang
dipakai anaknya yang bekerja di kota. Bu Dukuh mendapat kain baru. Bisa dipakai
kalau ada pesta nikah. Dan genduknya, yaitu tadi yang menyalakan pelita di emperan,
mendapat gelang. Bahkan Si Gombloh, pembantu yang setengah sinting itu pun diberi
celana.
Memang jaman resah-rnsuh, "jaman merdeka" dulu itu. Tetapi bicara tentang
keresahan, soalnya masih sama. Di sekitar Merapi-Merbabu soal bandit dan perampok
belum pernah beres. "Sejak jaman Belanda, Pak". Dan Pak Dukuh tersenyum di
bawah kumisnya yang hitam lebat. Sambil menyalakan rokok tembakau Kedu yang
maha ampeg ia bercerita dengan nada bawah yang sedikit bangga: Dulu nenek saya
juga benggol bajingan, Pak. Hehehe ...(Ia tertawa kecil).
¹⁾ Bagian dari kelurahan.
²⁾ Dari kara diplomasi.
³⁾ Dari kata inremasional.
137
Lalu dijadikan lurah oleh Belanda. ltu konon menurut kata para tetua. Belanda yang
membantu “sumsidi” ¹⁾ uang semir "pemilu"ya begitulah istilahnya sekarang Pak,
sampai nenek saya dipilih jadi lurah. Sejak itu, semua aman. Belum lama ini juga
begitu, Pak, desa Rongwatu sana tidak pernah aman. Entah padi yang sudah kuning,
kerbau atau sering cuma pakaian dan transistor, pokoknya kembali jaman baheula.
Lalu Pak Keamanan yang sekarang ini, dia kampanye: Kalau saya yang dipilih,
tanggung perkutut-perkutut akan damai memanggung dan seluruh desa akan aman
tenteram. Tetapi kalau dia tidak dipilih, ia memperingatkan, segala malapetaka akan
berlipatganda. Nah, dia dipilih. Sejak itu, aman." Tersenyum ia mempersilakan teh
pahit bergula banyak.
''Ya begitulah, selalu ada-ada saja daerah ini. Kemarin malam ada perkara lagi.
Kerbau Pak Sanusi dicuri. Sebulan yang lalu kerbau Pak Mertobelong. Pasti ini nanti
ada ekornya."
Gadis macan-tutul tadi hormat penuh sopan-santun elegan, memberitahu, sudilah
Bapak Tamu dan ayahnya makan apa seadanya. Makanan masakan desa sangat lezat
bagiku. Barangkali karena aku sedang senang di hati. Atau karena gadis macan-tutul
tadi mirip Atik? Pokoknya aku makan banyak. Sebagai tanda kebesaran, seharusnya
kutinggalkan sisa sedikit dalam piringku, seperti yang dikerjakan juga oleh Pak
Dukuh (tanda: bagiku makan bukan soal), tetapi aku toh lebih memilih jujur dan
piring bersihlah mengkilat. Seperti anjing, kata ayahku dulu. Sesuai dengan pendi-
dikan Mami yang selalu berkata: "Segala makanan harus habis. Meninggalkan sisa
berarti kau sombong. Anugerah Tuhan tidak boleh dibuang sia -sia."
Nah, apa saja dapat ditafsir macam-macam. Sisa Pak Dukuh tidak dibuang sia-sia,
pasti diberikan kepada ayam, atau anjing. Anjing menjaga rumah di malam hari dan
daging ayam kelak kita makan kembali.
Duduk di emperan dengan hanya ditemani suara jengkerik-jengkerik dan kadang-
kadang burung-burung uhu atau jampuk atau celepuk, memberi rasa damai padaku,
entahlah. Tetapi setelah kuperhatikan, toh lain juga dari di jaman kanak-kanakku.
Hanya suara jengkerik. yang masih sama. Tetapi suara-suara burung hantu di
kegelapan sekarang sudah jarang. Akibat kebudayaan DDT dan endrin rupa-rupanya.
Di masa KNIL dulu aku sering mendapat giliran ikut kontrol di pos Gemawang, pos
terdepan garis-demarkasi Pingit antara Ambarawa dan Secang. Markas pertahanan
kami ditempatkan dalam rumah bekas pabrik. kopi. Burung-burung hantu kala itu
masih cukup kerap menguhu. Bunyi seperti maut "kebluk-keblukkebluk," yang
ditakuti anak-anak desa, tetapi juga orang-orang tua, masih kudengar setiap malam.
"ltu gerilyawan datang," kata sinyo-sinyo Belanda totok, hahaha ... Sesudah jelas
KNIL harus mundur dan dilikwidasi, aku masih sering teringat pada "burung-burung
gerilyawan" uhu dan kebluk dan celepuk dan jampuk itu. Nama-nama yang tidak
sedap! Memang pekiknya sungguh bukan pekik yang membawa warta gembira. Dan
jika pada siang hari burung-burung lain kebetulan menemukan kebluk atau celepuk
sedang tidur, maka segera kawan-kawan burung lain berdatangan dan bersama-sarna
mereka mencaci-maki kebluk dan celepuk tadi habis-habisan, sehingga kebluk tadi
seolah-olah malu dan menyeringai kebingungan seperti nenek senewen. Tetapi uhu-
uhu tetap tidak pernah bertobat dan terus saja berbuat sekehendaknya, berburu kadal,
tikus, serangga. Seperti sinyo-sinyo itu kalau sudah dewasa.
¹⁾ Dari kata subsidi.
138
Aneh, mengapa orang-orang Barat memilih burung uhu sebagai lambang
kepandaian. Apakah orang pandai suka berburu di dalam kegelapan? Sehingga orang
Jawa mempunyai sinonim untuk kata menipu, yakni minteri, dari kata pintar? Para
penyusun model komputer kongsiku, yang tanpa diketahul merugikan negeri ini
dengan sekian milyar dolar setiap tahun, adalah kebluk-kebluk maut juga, karena
pandai membuat model perhitungan dan rumus-rumus rumit yang lihay menipu.
Dari kejauhan terdengar kokok jago yang terburu bangun. Tadi siang kudengar
juga kokok ayam hutan. Menurut kata Papiku yang ahli bekisar, ayam hutan sudah
menghuni pulau vulkan ini jauh sebelum manusia pertama datang di sini. Aku ingat
dulu Papi membawa seekor ayam hutan berekor garpu yang indah sekali, hijau
dengan garis-garis datar miring pada kepala dan lehernya. Mirip hakim-hakim negara-
negara kesemakmuran Britania. Jambul ungu jingga dan kulit janggut melambai
merah. Interesan sebetulnya, kaum jantan di alam raya ini suka bersolek diri,
sedangkan yang betina hanya sederhana saja. Persis perempuan-perempuan Jawa di
masa kanak-kanakku. Mereka berkebaya hitam atau lurik coklat-hitam, seperti gagak-
gagak saja, sederhana dengan potongan tanpa pretensi.
Tetapi wahai, lihatlah para ksatria keraton, apa lagi di Yogyakarta dengan surjan¹⁾
warna-warni dan blangkon²⁾ kepala yang manja. Semakin mendekati alam, semakin
perempuan disuruh sederhana dan si lelaki memamerkan keelokkan fisik. Merak,
itulah contohnya para ningrat Jawa. Maka benar-benar dapat dimengerti mengapa
Papiku dulu dan ibu si Atik tidak begitu suka hidup di antara tembok-tembok keraton.
Dari pihak lain, seperti yang kurasakan, sungguh sering merana, hidup dalam alam
penghayatan lain dari yang dialami saudara-saudari sebangsa. Apakah aku sudah
keterlaluan menjauhkan diri dari bangsaku? Apakah alasanku benar alasan jujur
ataukah dalih menjauhkan diri dari bangsa yang masih hidup di dalam alam masa
agraria kuna ini? Yang masih primitif mendekati flora dan fauna rimba belantara?
Itulah penderitaan jiwaku.
Ada lima orang mendekat. ''Kula nuwun³⁾." Kujawab hormat.
Mereka minta maaf, memperkenalkan diri dan masuk setelah dipersilakan Pak Dukuh.
Sesudah basa-basi macam-macam, Pak Dukuh menerangkan, mengapa mereka
dipanggil, yakni "soal yang tentulah saudara-saudara sudah maklum, soal kerbau yang
dicuri kemarin malam." Jelasnya, menurut peraturan baru dari kelurahan, siapa yang
kehilangan kerbau atau ternak apa pun, dia harus didenda. Aku terperanjat di lincak
luar. Didenda? Mana bisa? Orang yang kehilangan bahkan didenda? Gila! Itu kan
terbalik! Ya, orang-orang itu sudah maklum. Dan mereka akan taat kepada peraturan
pemerintah. Akan tetapi apa tidak mungkin ada kebijaksanaan ... artinya kemurahan
atau perkecualian? Tidak mungkin! 1ni bukan lagi jaman liberal seperti dulu. Semua
harus berdisiplin parsitisapi⁴⁾ pembangunan.
¹⁾ Baju model Yogya tradisional.
²⁾ lkat kepala Jawa Tengah.
³⁾ Sepada.
⁴⁾ Kata lawakan dari partisipasi; siti = tanah sapi = binatang.
139
Suara agak serak (barangkali dari pemilik kerbau) memohon belaskasihan karena
memang dia tidak punya uang. Yang lain-lainnya juga ikut memohon kemurahan
kepada Pak Dukuh. Pak Dukuh berkata, memang dia sebagai kawan sedesa sungguh
ingin menolong mereka, tetapi bagaimana lagi, ia pun hanya orang kecil dan hanya
mendapat enterupsi¹⁾ seperti apa adanya. Memang, dia paham sekali dan menghayati
kesedihan mereka, akan tetapi dengan sangat menyesal dia hanya dapat berkata, apa
yang wajib ia katakan. Soalnya, ini sudah keputusan sidang Dewan Kelurahan
lengkap dengan LSD segala. Jadi resmi. Bahkan konon Pak Camat juga sudah
membubuhkan tandatangannya dan cap. Lagi pula Pak Koramil pun juga hadir dalam
rapat itu.
Mereka diam. Pak Dukuh lalu mempersilakan mereka minum teh dan nyamikan
ala kadarnya, yang rupa-rupanya dihidangkan oleh Bu Dukuh sendiri. Sebab,
terdengar ada suara wanita yang menanyakan, bagaimana keadaan istri mereka, dan
bahwa Bu Dukuh berterimakasih atas punjungan²⁾ Mbok Sanusi, yang kehilangan
kerbaunya tadi, berupa ayam goreng. Bahwa itu tidak perlu sebetulnya, dan maaf
mohon tanya, apa gerangan ujubnya³⁾. Oh, minta doa, karena anaknya mau melamar
di pabrik kertas di Blabak, semoga diterima. Wanita itu memberi jaminan, pasti
anaknya akan diterima. Tetapi memang jaman sekarang sulit mencari pekerjaan, dan
sering itu sebagai lotre saja. Semakin banyak beli karcis lotre, kemungkinan diterima
juga banyak. Ayah anak itu, alias yang kehilangan kerbau tadi, hanya mengucap
terimakasih dan dimohon, kalau Bu Dukuh lewat, sudilah singgah di rumahnya.
Wanita itu mengatakan: "Ya, nanti, coba kalau kebetulan lewat."
Pak Dukuh sekali lagi mempersilakan tamunya minum, dan ia mulai bercerita
tentang jumlah wisatawan yang semakin banyak mengunjungi jurang dekat desanya.
Ia mulai melawak bahwa gunung berapi jaman sekarang sudah jadi semacam Sekaten⁴⁾
model baru. Pasti sebentar lagi Simbah Petruk rindu kepada kekasihnya Nyai Loro Kidul.
Dan bila nanti ia memuntahkan lahar lelakinya, nah, pasti banyak wisatawan akan
datang melihat Gunung Merapi meletus. Ada seorang dengan suara macan tua
berkata, bahwa mudah-mudahan bila meletus, tepat pada hari Lebaran, sehingga ia tak
memerlukan lagi membelikan mercon untuk anak-anaknya yang rewel. Tentulah itu
menimbulkan reaksi protes oleh kelima orang lainnya. Tetapi akhirnya semua sepakat,
bahwa memang anak-anak sekarang sulit dan rewel minta ini minta itu yang tidak
perlu.
Tetapi Pak Dukuh mengatakan, bahwa memang itu merepotkan, tetapi bagaimana
lagi, itu sudah konsekuensi jaman pembangunan. Tiba-tiba suara serak yang
kehilangan kerbau tadi memohon, apa memang betul tidak ada jalan keluar agar ia
diberi kemurahan. Akhirnya sesudah melingkar-lingkar Pak Dukuh berjanji, masalah
ini akan ia ajukan ke pihak kelurahan.Terserah beliau nanti bagaimana, kebijaksanaan
mana yang perlu diambil.
¹⁾ Pengucapan salah dari kata yang seharusnya instruksi.
²⁾ Pemberian hadiah berupa makanan kepada tetangga sehubungan dengan sesuatu
peristiwa..
³⁾ Maksud, motivasi permohonan.
⁴⁾ Perayaan Gerebeg Maulud di Yogya.
140
Sekali lagi Pak Dukuh menegaskan, bahwa semua itu bukan bermaksud menambah
kesedihan seorang kawan sedesa yang dirundung malang kerbaunya hilang, tetapi
hanya dan melulu demi ketaatan kepada pemerintah.
Sebab menurut pemerintah, sudah terlalu banyak kerbau dan kambing hilang. Maka
perlu diadakan tindakan untuk menanggulangi peristiwa-peristiwa yang tidak di-
inginkan itu, yang memberi kesan, seolah-olah negara kita ini liberal dan hanya penuh
kekacauan saja. Maka perlulah semua itu ditertibkan, dan setiap orang harus ikut
bertanggung-jawab.
Maka siapa yang kecurian ternak apa lagi kerbau yang begitu mahalnya, harus
sanggup membuktikan diri mampu menjaga hak milik masing-masing secara warga-
negara yang bertanggung-jawab. Jika toh terjadi ada yang kehilangan kerbau dan
sebagainya, jelaslah ia kurang waspada dan lalai dalam tugasnva terhadap keamanan
dan ketertiban masyarakat. Maka ia harus didenda. Itu bukan hukuman atau keputusan
hakim, tetapi hanya peripentip¹⁾, artinya sedia payung sebelum hujan, agar semua
berjalan tertib dan tidak menimbulkan keresahan yang tidak perlu.
Kelima orang itu mengucapkan terimakasih atas segala kebaikan Pak Dukuh dan
dengan penuh hormat dan sedikit lega mereka mohon diri. Mereka memberi hormat
kepada tamu Pak Dukuh yang masih duduk sendirian di lincak emperan. Sekali lagi
mereka minta maaf bila mengganggu Pak Dukuh dan mulailah batere-batere menyala
menembus kegelapan. Pak Dukuh minta permisi pergi sebentar untuk memeriksa
aliran air di selokan ke sawahnya, serta mengucapkan selamat malam kepadaku.
Dan sendirianlah sang peziarah Setadewa. Tiba-tiba dari antara dedaunan
pepohonan kulihat lidah api menyala. Apa itu? pikirku. Komet? Iintang beralih?
Akhimya aku tahu. Ah, itukah yang sering diberitakan di koran-koran akhir-akhir ini:
lidah lahar yang keluar dari kawah Merapi? Setiap sepuluh tahun sekali paling sedikit
dan teratur, Gunung Merapi meletus. Ini tahun 1968. Jadi sudah saatnya, di sekitar
pergantian dasa-warsa "ditunggu" letusan. Lama aku memandang kepada semburan-
semburan lidah api yang meleleh ke bawah itu. Elok, ya, indah. Banyak yang kejam
keji tampak indah dari kejauhan.
¹⁾ Dari kata preventif
141
18. Aula Hikmah
Mengapa mereka membangun kompleks universitas dengan arsitektur begitu
Jelek di tengah alam dan masyarakat yang begitu cantik? Aku sudah mulai belajar
sumarah seperti Mami, tetapi darah Untung Surapati dalam Papiku masih memberang
terus. Negeri ini sudah kehilangan kepribadiannya, atau apa istilahnya tadi dalam
kartu undangan? "Jatidiri dan bahasa citra". Ya, kesejatian diri sudah hilang dari
masyarakat sini, yang terlalu lama dan terlalu bertubi-tubi diserang desintegrasi
politik, ekonomi maupun kebudayaan. Di mana-mana arsitektur selalu menjadi
detektor yang tidak bohong, merekam dan mensinyalkan keadaan diri suatu bangsa.
Begitu gado-gado dan simpang-siur perwatakan gedung-gedung itu, minta ampun.
(JIKALAU ada wataknya). Karakter,itulah yang digemblengkan Papi padaku. Citra,
ltulah yang dianugerahkan padaku oleh Mami dan oleh ... Atik.
Pagi itu, aku dari hotel (bukan hotel, tetapi kamar yang berkat kedermawanan
seorang tumenggung Keraton boleh kusewa) menuju ke kampus universitas yang
paling termasyhur di negeri ini dan kata orang menjadi simbol dari kepribadian
bangsa Indonesia. Aku kecewa memang terhadap ekspresi kepribadian itu, tetapi
sekali lagi, aku sudah belajar sumarah dan tidak terlalu memberang bila ada yang
kurang menyenangkan dalam negeri ini.
Pagi itu Nyonya Janakatamsi, Kepala Direktorat Pelestarian Alam akan
mempertahankan tesisnya untuk meraih gelar doktor biologi di hadapan Senat
lengkap beserta undangan. Aku bukan undangan, karena sampai sekarang aku belum
pernah (berani) berhubungan lagi dengan Atik, alias Nyonya Larasati Janakatamsi,
isteri Dekan Fakultas Geologi salah satu universitas swasta di Jakarta dan Kepala
Laboratorium Maritim Angkatan Laut. Tetapi kartu undangan dapat kuraih, karena
salah seorang perwakilan Ford Foundation yang kukenal dan diundang, pada hari itu
masih turne di Ujungpandang. Dari pimpinan protokol kemarin aku mendapat
kepastian, bahwa untuk upacara itu aku boleh-boleh saja berbaju batik, sebab itu
sudah dianggap pakaian resmi dan rapi. Bagus, inilah satu-satunya yang kuingini,
berpakaian tidak kaku, kalau aku berjumpa dengan Atik nanti. Sebab pastilah aku
akan berjumpa dengannya. Salah satu copy dari penelitianku tentang kecurangan
komputer yang gawat itu telah kutitipkan dalam almari biro seorang kenalan pastor
yang dapat kupercaya.
Segala informasi mengenai pribadi suami Atik telah kudapatkan dan dia rupa-
rupanya akan dapat kuharapkan menjadi matarantai yang ideal untuk pelaksanaan
keputusan yang telah kusumpahkan di hadapan nisan Mami dan Papi. Sebetulnya
motivasi persoalan rahasia komputer semacam itu kurang pada tempatnya, dan aku
tak henti-henti menenteramkan hati-nurani, bahwa motivasi pertama bukanlah
masalah kalkulasi komputer, melainkan memang sudah saatnyalah aku berhadapan
muka, mata lawan mata dengan kekasihku.
142