The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Masa Depan Indonesia di Bawah Praktik Desentralisasi

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by pallawarukka1970, 2018-04-21 19:03:18

MOZAIK INDONESIA

Masa Depan Indonesia di Bawah Praktik Desentralisasi

Keywords: Otonomi Daerah,Desentralisasi,Andi P. Rukka

Andi P. Rukka

Mozaik
Indonesia

Masa Depan Indonesia di Bawah Praktik Desentralisasi

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruhnya isi buku ini tanpa
izin tertulis dari penerbit.
Isi di luar tanggung jawab percetakan.
Ketentuan pidana Pasal 72 UU Nomor 19 tahun 2002

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelaenggakran Hak
Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Andi P. Rukka

Mozaik
Indonesia

Masa Depan Indonesia di Bawah Praktik Desentralisasi

Mozaik
Indonesia

Masa Depan Indonesia di Bawah Praktik Desentralisasi
Penulis: Andi P. Rukka

Editor: Hamasah Putri
Tata Letak & Cover: Dani Ardiansyah

Diterbitkan oleh:

Perum. Depok Maharaja Blok P14 No.4
Pancoran Mas, Depok – Indonesia
 021-77880581
[email protected]
www. Indie-Publishing.com

Cetakan Pertama, Januari 2015
ISBN: 978-602-281-102-2

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Mozaik Indonesia: Andi P. Rukka —Depok: Indie Publishing, 2015
x + 135 hlm; 14 x 21 cm

I. Judul II. Rukka, Andi P.

KATA PENGANTAR

“Masa Depan Indonesia di Bawah Praktik
Desentralisasi”

Sebuah Introspeksi
Indonesia adalah sebuah negara yang besar, dengan potensi

SDA dan SDM yang melimpah. Namun, potensi besar itu belum
berhasil memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah untuk
mewujudkan kesejahteraan dan mengatasi berbagai permasalahan
bangsa adalah dengan menyelenggarakan desentralisasi dan
otonomi daerah. Namun, setelah berjalan selama hampir lima
belas tahun, ternyata kebijakan itu belum berhasil mencapai
tujuannya. Bahkan desentralisasi justru menyulut timbulnya
masalah-masalah baru.

Dalam penelusuran dan pengkajian terhadap praktik otonomi
daerah yang dijalankan di berbagai daerah, terungkap bahwa
banyak bias dan penyelewengan yang terjadi. Mulai dari meluasnya
korupsi, rendahnya kualitas pelayanan publik, terjadinya politisasi
terhadap birokrasi, meningkatnya eskalasi konflik horizontal, dan
meluasnya praktik-praktik transaksional dalam berbagai bidang
kehidupan masyarakat. Akibatnya, bukan saja makna otonomi
daerah menjadi kabur secara keseluruhan serta menjauh dari
tujuannya, akan tetapi malah menjadi penghambat dalam proses
perjalanan bangsa ini meraih cita-citanya.

Mozaik Indonesia |v

Saya menulis buku kecil ini karena saya peduli pada
Indonesia. Saya membayangkan Indonesia menjadi sebuah negara
yang maju, dengan rakyat yang sejahtera, dimana hidup anak cucu
saya kelak tidak terbebani oleh berbagai masalah seperti sekarang.
Saya memimpikan Indonesia menjadi pemimpin dunia, dengan
masyarakat sejahtera yang bermartabat dan mampu menampilkan
diri secara terhormat di hadapan warga dunia lainnya.

Saya persembahkan buku kecil ini kepada para kepala
daerah yang bercita-cita untuk melaksanakan tugasnya dengan
baik. Saya persembahkan buku ini kepada para birokrat yang
idealis. Kepada para politisi dan para pengusaha yang berniat baik
membangun bangsa ini dari daerah, juga kepada seluruh rakyat
yang harapan dan keinginannya untuk hidup nyaman di negeri ini,
tetap menyala dan berkobar.

Buku kecil ini, adalah elaborasi pengalaman pribadi sejumlah
orang (termasuk penulis) yang menjalani berbagai peran dalam
proses penyelenggaraan otonomi daerah. Tentu saja, konteks dan
situasi yang tergambar dalam buku ini tidak bisa digeneralisasikan
pada semua daerah. Namun paling tidak, kita bisa memperoleh
gambaran umum tentang jalannya kebijakan desentralisasi dan
praktik otonomi daerah di Indonesia.

Sesungguhnya buku ini tidak dimaksudkan sebagai rujukan
ilmiah, karena isinya bukan hasil penelitian dan pengkajian ilmiah
yang melewati tahapan rumit dan metodologis untuk bisa menjelma
menjadi sebuah buku. Buku ini hanyalah keinginan hati penulis
yang mungkin juga merupakan keinginan hati seluruh rakyat
Indonesia, yang ingin negerinya menjadi tempat tinggal yang
nyaman, baik di masa kini, maupun di masa yang akan datang.

Apa yang tertuang dalam buku ini, mungkin terlalu muluk,

atau lebih merupakan sebuah impian yang sulit diwujudkan (atau

vi | Andi P. Rukka

bahkan mungkin ada yang berpendapat bahwa ini adalah Mission
Impossible), tetapi jika kemampuan bermimpi saja sudah tidak kita
miliki, berarti tidak ada lagi kemampuan kita yang tersisa.

Banyak orang yang terlibat, baik langsung maupun tidak
langsung dalam penyusunan buku ini. Oleh karenanya, saya
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada Bapak Firdaus Perkesi, Bapak Herman
Lallo, saudara Sam Salengke, saudara A. Ismirar Sentosa, saudari
A. Rasdiyanti, saudara James Robert Pualillin, saudara Ahmad
Arfan, saudara Andy, saudara Ahmad Jahran dan banyak lagi rekan
yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu dalam ruang yang
terbatas ini, atas kritik, masukan dan saran-sarannya atas isi buku
ini. Tanpa bantuan mereka, mustahil buku ini bisa terwujud.

Saya juga harus berterima kasih kepada banyak birokrat
yang tersebar di berbagai daerah, khususnya yang tergabung
dalam Group FB Purna Praja 01 dan IKAPTK (maaf, sekali lagi saya
tidak sempat sebutkan satu persatu) karena selama ini telah
menjadi teman diskusi yang turut memperkaya wawasan saya
dalam menuliskan pikiran dalam buku ini. Secara khusus saya ingin
berterima kasih kepada Orang tua saya yang telah membimbing
saya untuk siap menjalani kehidupan di dunia ini. Ucapan terima
kasih buat Istri dan anak-anak saya, yang telah memberi warna
dalam hidup saya, yang coraknya antara lain tergambar dalam
buku ini, kepada mereka saya persembahkan buku ini sebagai
warisan kecil. Terakhir tetapi yang Utama, tentu saja Allah SWT.
atas nikmat dan karunia-Nya yang tiada terhingga atas petunjuk
dan bimbingan-Nya. Tanpa kehendak-Nya, mustahil buku ini bisa
terwujud.

Saya yakin buku ini masih jauh dari kesempurnaan.
Kapasitas keilmuan saya yang terbatas, pengalaman hidup saya

M o z a i k I n d o n e s i a | vii

yang masih picik adalah sumber dari berbagai keterbatasan itu.
Kepada para pembaca, saya berharap datangnya kritik dan saran
bagi perbaikan kualitas buku ini atau bagi karya saya di masa yang
akan datang.

Semoga bermanfaat.
Sengkang 2014
Penulis

viii | Andi P. Rukka

DAFTAR ISI

Kata Pengantar — v
Persembahan —
Daftar isi — ix

1 PENDAHULUAN — 1
 Kesejahteraan Rakyat adalah Tanggung Jawab Negara — 3
 Quo Vadis Indonesia? — 6
 Mampukah Indonesia Menjadi Negeri Sejahtera? — 16
 Tujuan Buku Ini — 20
 Sistematika — 21

2 SEKILAS TENTANG DESENTRALISASI DI INDONESIA —
25

 Mengapa Desentralisasi? — 25
 Sejarah Singkat Desentralisasi di Indonesia — 35
 Prinsip-Prinsip Pokok Otonomi Daerah — 45

3 BENANG KUSUT OTONOMI DAERAH — 49
 Desentralisasi Korupsi — 53
 Rendahnya Kualitas Pelayanan Publik — 56
 Politisasi Birokrasi — 61
 Peningkatan Eskalasi Konflik Horizontal — 66

4 PILKADA : SEBAIKNYA LANGSUNG ATAU TIDAK —
LANGSUNG? — 75

5 SIMPUL-SIMPUL SOLUSI — 83
 Partai Politik di Daerah — 89

M o z a i k I n d o n e s i a | ix

 Kepala Daerah — 94
 DPRD Kabupaten/Kota — 107
 Birokrasi — 112
 Jalankan Otonomi Daerah dengan Hati — 117
5 PENUTUP — 125
 Kesimpulan — 125
Daftar Pustaka — 131
Tentang Penulis — 136

x | Andi P. Rukka

1

PENDAHULUAN

Walaupun telah menjalankan kebijakan desentralisasi dalam
berbagai format dan karakter, ternyata Indonesia belum mampu
meraih manfaat yang optimal dari kebijakan yang diistilahkan
sebagai otonomi daerah itu. Padahal, dengan implementasi yang
tepat oleh orang-orang yang tepat, Indonesia bisa menjelma
menjadi sebuah negara yang ―luar biasa.‖

Ya, Indonesia seharusnya menjadi tempat tinggal yang
nyaman (comfortable, convenient) bagi seluruh rakyatnya. Menjadi
bangsa yang memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada
orang-orang yang mendiaminya. Menjadi negeri yang adil dan
makmur, yang bisa menyediakan semua kebutuhan hidup
rakyatnya. Indonesia juga seharusnya menjadi rumah yang aman
dan tentram bagi seluruh penghuninya. Menjadi kekuatan yang
menjaga dan melindungi rakyatnya dari berbagai ancaman
marabahaya. Menjadi tempat berlindung atas segala kesulitan dan
kesusahan hidup warganya.

Mestinya, tak seorang pun di Indonesia ini yang boleh hidup
menderita, tak seorang pun di Indonesia ini yang boleh hidup
teraniaya, apalagi hidup dalam penguasaan atau tekanan pihak
lain. Semua orang berhak atas penghidupan yang layak, harkat dan

Mozaik Indonesia |1

martabatnya dijunjung tinggi, keberadaanya dihormati dan dihargai

sebgaimana layaknya manusia bermartabat.

Tempat tinggal yang nyaman adalah suatu kondisi yang

ditandai dengan tersedianya seluruh kebutuhan dasar masyarakat,

adanya keleluasaan bagi masyarakat untuk berusaha memenuhi

harapan dan cita-cita hidupnya, serta terbebas dari rasa khawatir

dan rasa takut dari ancaman terhadap harta benda dan jiwanya.

Dengan kata lain, kenyamanan adalah berjalannya penegakan

hukum, terselenggaranya pelayanan publik yang adil dan merata,

serta terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Secara materil, Indonesia Mengapa pemerintah
memiliki modal yang memadai
untuk memberikan rasa nyaman negeri ini tidak bisa
bagi seluruh rakyatnya.
menjadikan nusantara ini

sebagai rumah idaman bagi

Kekayaan alam yang melimpah, rakyatnya?
tersebar di sepanjang gugusan Jika ketertinggalan yang
kepulauan nusantara, lebih dari
cukup untuk menjadi sumber kita alami sekarang ini masih
terus berlangsung, maka
bagaimana nasib bangsa ini

penghidupan bagi ratusan juta di masa yang akan datang?
rakyat yang mendiami bumi Indonesia seperti apa yang
Indonesia ini. Kondisi alam yang nantinya akan kita wariskan
subur dan bersahabat, lebih dari kepada anak cucu kita?

memadai untuk menjadikan

rakyat hidup berkecukupan. Indonesia, dengan demikian, memiliki

seluruh syarat untuk menjadi negeri yang kaya dan makmur.

Dari segi jumlah penduduk, Indonesia termasuk salah satu

yang terbesar di dunia. Jika penduduk dipandang sebagai modal

(human capital), maka Indonesia memangku sumber daya manusia

dalam jumlah melimpah dengan potensi tenaga dan pikiran yang

2 | Andi P. Rukka

sangat besar pula, cukup memadai untuk memajukan bangsa dan
negara ini, bahkan untuk ‗mengguncang‘ dunia.

Maka dengan implementasi kebijakan desentralisasi yang
tepat, semua kenyamanan itu bisa dihadirkan oleh negara kepada
seluruh rakyat Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai
Merauke.

Kenyamanan Rakyat Adalah Tanggung Jawab Negara
Pihak yang paling bertanggung jawab untuk menjadikan

negeri ini sebagai tempat tinggal yang nyaman adalah negara.
Negara bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya
(bonum publicum, common good, common wealth).1 Negaralah
satu-satunya entitas yang menanggung kewajiban mutlak untuk
memastikan kehidupan seluruh rakyat berada dalam keadaan yang
semestinya.

Menurut Miriam Budiardjo, negara adalah suatu daerah
teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah
pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya
ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan
(kontrol) monopolistis terhadap kekuasaan yang sah.2 Sebagai
sebuah organisasi, negara merupakan bangunan tertinggi di dalam
masyarakat yang mengikat seluruh rakyat dalam satu kesatuan
cita-cita sebagai keinginan dan harapan bersama. Negara dihormati
dan dijaga agar kedaulatannya tidak terganggu oleh negara lain.

Demikian pula dengan Indonesia. Sebagai sebuah negara
Indonesia mempunyai tujuan nasional sebagaimana yang
termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yaitu,
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

1 Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi) Hal. 54
2 Ibid Hal. 49.

Mozaik Indonesia |3

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Menurut Prof. Mr. Moh. Yamin, tujuan negara tersebut terdiri
atas dua macam, yaitu tujuan yang bersifat nasional dan tujuan
yang bersifat Internasional. Tujuan bersifat nasional adalah
kebahagiaan dalam negara, kemajuan kesejahteraan umum dan
kecerdasan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan yang bersifat
internasional adalah kemerdekaan, perdamaian dan keadilan
sosial.3 Sehingga dengan demikian, eksistensi Indonesia sebagai
negara adalah untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia sendiri.

Di samping memiliki tujuan, negara juga memiliki fungsi
untuk menjaga eksistensinya. Adapun fungsi negara menurut
Miriam Budiarjo adalah: (a) melaksanakan penertiban (law and
order) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya bentrokan-
bentrokan dalam masyarakat di mana negara bertindak sebagai
stabilisator; (b) mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyatnya (welfare) sebagai fungsi terpenting dari negara dewasa
ini; (c) pertahanan untuk melindungi negara dari gangguan negara
lain; dan (d) menegakkan keadilan (fairness) yang yang secara
nyata diwujudkan oleh lembaga-lembaga peradilan.4

Agar fungsi-fungsi negara itu dapat berjalan demi mencapai
tujuannya, maka dibentuklah pemerintahan sebagai penyelenggara
negara. Jadi pemerintahan sebenarnya adalah manifestasi negara
dalam bentuk organ-organ kekuasaan yang bekerja atas nama
negara dan diberi wewenang untuk melakukan tindakan-tindakan
yang dianggap perlu guna menjalankan fungsi negara. Sesuatu

3 Moh. Koesnardi, SH dan Bintan Saragih, SH. 1985. Ilmu Negara hal. 66.
4 Miriam Budiardjo. Op. Cit. hal 56

4 | Andi P. Rukka

yang pada gilirannya diharapkan untuk dapat mencapai tujuan
negara.

Keberadaan pemerintahan sebagai pengejawantahan negara
mengusung fungsi tertentu yang seirama dengan tujuan negara,
yaitu untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negara,
menyediakan layanan publik bagi rakyat, dan menjamin
terlaksananya perlakuan yang adil di depan hukum terhadap
seluruh rakyat.5 Fungsi-fungsi itulah yang diemban oleh institusi
pemerintahan dan dijalankan oleh para penyelenggara negara.
Seluruh cabang pemerintahan beserta seluruh tingkatan hirarkinya,
baik yang ada di pusat, maupun yang ada di daerah, bekerja untuk
memberikan jaminan bagi terpenuhinya hak-hak seluruh rakyat
yang ada di dalam negara itu. Mulai dari yang menduduki jabatan-
jabatan tertinggi, sampai kepada yang hanya berstatus sebagai
pekerja biasa. Para penyelenggara negara itu bekerja sebagai satu
kesatuan dalam sistem untuk melindungi dan menjaga keselamatan
rakyat.

Jadi sesungguhnya, kenyamanan yang diwujudkan oleh
sebuah negara bagi seluruh rakyatnya merupakan pertemuan
antara hak dan kewajiban negara di satu sisi, dengan hak dan
kewajiban rakyat di sisi lain. Kewajiban-kewajiban negara adalah
hak rakyat, sementara kewajiban-kewajiban rakyat adalah hak
negara. Pertemuan kedua kepentingan itulah yang kemudian
terwujud sebagai suatu tatanan yang disepakati dalam masyarakat
yang dijalankan oleh pemerintah. Dalam perkembangannya, fungsi-
fungsi negara yang dijalankan oleh pemerintahan itu menuntut
ketaatan yang bisa berujung pada tindakan pemaksaan,agar

5 Ronald W. Johnson and Henry P. Minis Jr. Toward Democratic
Decentralization, Approaches to promotion Good Governance.

Mozaik Indonesia |5

tatanan yang terbangun itu dapat ditegakkan untuk kepentingan
negara dan bangsa.

Quo Vadis Indonesia?
Mengacu pada uraian tentang tanggung jawab negara yang

harus dijalankan sebagai kewajiban untuk memberikan
kenyamanan bagi rakyat, maka timbul pertanyaan di benak kita,
apakah Indonesia ini sebagai sebuah negara telah menjalankan
tugas dan fungsinya dengan baik? Apakah seluruh penyelenggara
negara di negeri ini telah menunaikan tugasnya kepada rakyat?
Apakah seluruh manfaat keberadaan negara telah dirasakan oleh
seluruh rakyat bangsa ini? Pertanyaan-pertanyaan itu harus kita
ajukan, karena potensi alam, luas wilayah dan jumlah penduduk
yang kita miliki adalah modal bagi negara dan para
penyelenggaranya untuk melaksanakan tugasnya terhadap rakyat.
Modal itu seharusnya memadai untuk mengangkat harkat dan
martabat kita.

Hanya saja, dalam kenyataannya, seluruh potensi bangsa itu
tidak berdampak terhadap kemajuan dan kesejahteraan Indonesia,
bahkan di saat Indonesia hampir memasuki 70 tahun
kemerdekaannya. Sesudah berbagai rezim berganti dan berkuasa,
sesudah berbagai bentuk pemerintahan dijalankan, sesudah
sentralisasi dan desentralisasi silih berganti memainkan peranan
yang dominan, keadaan Indonesia masih tetap tak sehebat
potensinya. Negeri besar yang menggelari dirinya sebagai ―zamrud
khatulistiwa‖ ini tetap tak mampu berkilau, baik dalam persepsi
warganya sendiri, maupun dalam persepsi internasional, akibat dari
ketertinggalannya.

Fakta menunjukkan bahwa banyak negara dengan kekayaan
alam yang jauh lebih kecil, atau dengan jumlah penduduk yang

6 | Andi P. Rukka

jauh lebih sedikit dari Indonesia, justru berada pada posisi yang
lebih maju dari Indonesia. Banyak negara yang usianya relatif
hampir sama atau bahkan lebih muda dari Indonesia, tetapi sudah
meraih kesejahteraan yang lebih baik daripada Indonesia. Di saat
banyak negara yang sudah mencapai kondisi-kondisi yang positif
dengan segala keterbatasan sumber dayanya, Indonesia masih
tertinggal di belakang. Indonesia masih miskin di tengah
kelimpahan kekayaan alam yang berangsur menyusut.

Untuk mendapatkan gambaran obyektif mengenai keadaan
dan posisi Indonesia di antara negara-negara lain yang ada di
dunia, maka kita harus membandingkan Indonesia dengan negara-
negara lain dengan menggunakan alat ukur yang sama.
Membandingkan tingkat kesejahteraan dan perekonomian
masyarakatnya. Membandingkan kualitas sumber daya manusia
dan sumber daya alamnya. Membandingkan tata kelola
pemerintahannya. Serta seluruh faktor yang bisa menjadi penentu
kemajuan dan keberhasilan sebuah bangsa dalam meraih kemajuan
dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.

Untuk tujuan itu, berikut ini akan dibahas beberapa hasil
penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Internasional
terhadap sejumlah aspek vital dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara guna mendapatkan gambaran yang lebih
jelas tentang posisi Indonesia di antara negara-negara lain yang
ada di dunia.

Yang pertama adalah dari hasil pengukuran Human
Developmen Index atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM
adalah indikator keberhasilan pembangunan manusia yang
dilaksanakan oleh suatu negara untuk mengklasifikasi tingkat
kemajuannya. Ada tiga komponen utama yang menjadi fokus
perhatian dari pengukuran IPM ini, pertama adalah kualitas hidup

Mozaik Indonesia |7

materiil yang ditunjukkan oleh indikator tingkat pertumbuhan
ekonomi (Gross Domestic Product) perkapita pertahun, kedua
kondisi kesehatan penduduk yang diwakili oleh indikator usia
harapan hidup (life expectancy); dan ketiga adalah kondisi
pendidikan yang ditunjukkan oleh rata-rata lama waktu menempuh
pendidikan di bangku sekolah yang dihabiskan oleh setiap
penduduk.

Penetapan peringkat dilakukan dengan melakukan scoring
terhadap ketiga variabel utama tersebut, untuk selanjutnya
diakumulasi guna mendapatkan skor akhir berupa angka yang
berkisar antara 0 dan 1. Interpretasi terhadap angka itu adalah
semakin mendekati angka 1 berarti semakin baik kualitas
pembangunan manusia negara yang menjadi obyek penilaian,
sebaliknya semakin mendekati angka 0, berarti semakin buruk pula
kualitas pembangunan manusia di negeri itu.

Sebanyak 186 negara di dunia menjadi obyek penelitian.
Seluruhnya dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu negara
yang berkategori sangat tinggi atau Very High Human
Development (VHHD), tinggi atau High Human Development
(HHD), sedang atau Middle Human Development (MHD), dan
rendah atau Low Human Development (LHD).

Peringkat pertama IPM di dunia ditempati oleh Norwegia
dengan angka 0,955. Sedangkan peringkat terakhir ditempati oleh
Niger dengan angka 0,304. Di mana posisi Indonesia? Indonesia
berada di bagian bawah negara-negara yang berkategori sedang.
Secara absolut Indonesia berada di urutan ke-121 dari 187 negara
di dunia yang masuk sebagai obyek penelitian. Negara Asean yang
ada di kategori ini adalah Thailand dan Filipina, tapi IPM keduanya
berada di atas Indonesia. Hanya Vietnam, Kamboja dan Timur
Leste berada di bawah Indonesia. Negara Asean lainnya, seperti

8 | Andi P. Rukka

Singapura dan Brunei Darussalam berada di kategori sangat
tinggi, bergabung dengan negara-negara maju lainnya. Sedangkan
Malaysia berada di kelompok yang sedikit lebih rendah, yaitu di
kategori tinggi. Satu-satunya negara ASEAN yang berada di
kategori rendah adalah Myammar yang menempati di peringkat
1496. Dengan kata lain, Indonesia berada di antara 50% negara-
negara di dunia yang Indeks Pembangunan Manusianya berada di
bawah rata-rata dunia.

Yang kedua adalah Indeks Kesejahteraan atau yang dikenal
dengan The Legatum Prosperity Indeks. Pemeringkatan yang
dilakukan oleh The Legatum Institute ini menilai 8 (delapan)
variabel yang terdiri atas perekonomian, kewirausahaan dan iklim
usaha, kepemerintahan, pendidikan, kesehatan, perlindungan dan
keamanan, kebebasan pribadi, dan modal sosial. Seluruh negara
yang dinilai juga dikelompokkan ke dalam (4) empat kategori, yaitu
tinggi atau High Ranking Country (HRC), menengah atas atau
Upper Middle Rangking Country (UMRC), menengah bawah atau
Lower Middle Rangking Country (LMRC) dan rendah atau Low
Rangking Country (LRC).

Dari hasil penghitungan skor atas delapan variabel tersebut,
lagi-lagi Norwegia menjadi pemuncak daftar peringkat atau berada
di urutan pertama dari 142 negara yang diteliti. Istimewanya,
negara ini menempati posisi sebagai negeri paling sejahtera di
dunia selama lima tahun berturut-turut. Sementara Indonesia
hanya berada di katagori menengah bawah, yaitu di urutan 69,
jauh di bawah Singapura yang berada di katagori tinggi pada
urutan ke 18 dan Malaysia berada di kategori menengah atas
pada urutan 44. Sementara Thailand, Vietnam dan Filipina yang
juga berada di katagori menengah bawah, tetapi posisinya

6 Lihat Human Development Report 2013, The Rise of The South, UNDP.

Mozaik Indonesia |9

sedikit lebih tinggi dari Indonesia, yaitu masing-masing pada urutan
52, 62 dan 66.7

Yang ketiga adalah Indeks Kedamaian Global atau Global
Peace Index (GPI). Pemeringkatan ini dilakukan oleh Institute For
Economic and Peace ini menyoroti tiga variabel pokok yaitu tingkat
keamanan dan keselamatan masyarakat; jangkauan atau cakupan
konflik, baik konflik internal maupun konflik internasional; dan
tingkat militerisasi yang berlangsung di negara tersebut. Berbeda
dengan pemeringkatan sebelumnya, GPI membagi negara-negara
yang ada di dunia dalam lima kategori, yaitu sangat tinggi,
tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah.

Pada umumnya, wilayah paling aman di dunia tetap
didominasi oleh negara-negara di benua biru. Iceland menjadi
negara paling aman disusul oleh Denmark dan Austria di tempat
kedua dan ketiga. Yang menarik adalah bahwa pada
pemeringkatan tahun 2014 ini Indonesia berada pada kategori
tinggi, yaitu berada pada urutan ke 54 dari 162 negara yang
diteliti. Itu adalah rangking tertinggi yang dicapai Indonesia
sepanjang studi tentang hal ini diadakan.

Pada tahun-tahun sebelumnya, peringkat Indonesia berada
pada kisaran angka 68 sampai 78. Kondisi tidak aman Indonesia
pada saat itu disumbangkan oleh konflik bernuansa etnis dan
agama yang terjadi di sejumlah daerah, di antaranya di Ambon,
Poso, dan Sampit. Sebagian lagi disumbangkan oleh aksi-aksi teror
yang terjadi di Bali dan Jakarta. Ada juga peristiwa pengusiran
warga oleh kelompok lain di berbagai wilayah karena perbedaan
paham agama.

Berdasarkan ketiga pemeringkatan itu terlihat bahwa
Indonesia mengalami kelemahan mendasar pada hampir seluruh

7 Lihat The 2013 Legatum Prosperity Indeks.

10 | Andi P. Rukka

variabel yang diteliti. Misalnya pada variabel tata kelola
kepemerintahan (governance), yang antara lain dinilai dari
efektifitas dan akuntabilitas pemerintahan, partisipasi politik dan
penyelenggaraan pemilu yang adil, serta rule of law. Pada variabel
ini, keadaan Indonesia belum mengalami perbaikan signifikan sejak
reformasi digulirkan.

Pada variabel perekonomian yang mengamati kebijakan
makroekonomi, ekspektasi dan kepuasan ekonomi, fondasi
pertumbuhan dan efisiensi sektor keuangan, keadaan Indonesia
juga cukup memprihatinkan. Garis kemiskinan dengan
menggunakan standar pendapatan perhari sebesar $1,25
menempatkan 37% penduduk Indonesia sebagai orang miskin.
Angka itu secara dramatis meningkat hingga lebih 50% jika standar
garis kemiskinan ditingkatkan menjadi $2,5. Impor pangan terus
terjadi untuk memenuhi konsumsi dalam negeri yang terus
meningkat akibat pertumbuhan penduduk. Fluktuasi harga BBM
yang dipengaruhi oleh harga minyak dunia, yang dampaknya
sangat dirasakan oleh orang-orang yang berada di bibir jurang
kemiskinan. Kenaikan harga BBM yang bisa terjadi kapan saja, akan
segera menurunkan status ekonomi warga yang ada di kelompok
tersebut.

Namun pada dua variabel di antaranya, yaitu pada variabel
pendidikan dan kesehatan, keadaan Indonesia lebih
memprihatinkan. Berdasarkan data IPM, rata-rata lama sekolah
orang Indonesia hanya berkisar 5,8 tahun. Itupun kalau dilihat dari
segi waktu yang digunakan untuk menempuh pendidikan. Jika
ditelusuri hingga ke kualitas out put, keadaan sarana dan
prasarana, kualitas proses belajar mengajar, atau kemampuan
lulusan untuk terserap pada lapangan kerja yang ada, apalagi
untuk menciptakan dan membuka lapangan kerja baru, maka

M o z a i k I n d o n e s i a | 11

angka itu bisa saja masih terlalu tinggi untuk menggambarkan
kualitas sesungguhnya dari tingkat pendidikan di Indonesia yang
masih rendah.

Demikian pula dengan variabel kesehatan di mana angka
harapan hidup rata-rata rakyat Indonesia, yang meskipun sudah
berada pada angka 69,8 tahun, namun persebarannya tidak merata
pada seluruh kabupaten/kota dan provinsi. Kualitas pelayanan
kesehatan juga terlihat sangat rendah, yang ditandai dengan rasio
tenaga kesehatan yang masih jauh dari ideal, ketersediaan sarana
dan prasarana kesehatan yang belum memadai, serta masih
tingginya biaya pelayanan kesehatan sehingga sulit dijangkau oleh
golongan masyarakat berpendapatan rendah.

Memang benar masalah pengangguran, kemiskinan dan
kesenjangan ekonomi merupakan masalah global yang terjadi di
mana-mana. Akan tetapi menjadi ironis ketika Indonesia yang kaya
raya ini mengalami masalah itu di tengah kelimpahan sumber daya
alamnya. Rakyat Indonesia terjerat dalam lingkaran setan
kemiskinan. Lazimnya, lingkaran setan kemiskinan digambarkan
sebagai situasi rendahnya pendapatan masyarakat akibat
rendahnya pengetahuan dan keahlian yang dimiliki sehingga
menyulitkan mereka memperoleh pekerjaan yang layak.
Pengetahuan dan keahlian yang rendah diakibatkan oleh rata-rata
tingkat pendidikan yang rendah. Dan rendahnya tingkat pendidikan
yang bisa dicapai oleh sebagian besar rakyat Indonesia, merupakan
dampak dari rendahnya akses rakyat terhadap pendidikan
berkualitas. Rendahnya kualitas pendidikan karena mereka tidak
memiliki tingkat pendapatan dan kesejahteraan yang memadai
untuk mengakses jenjang pendidikan yang lebih tinggi.



12 | Andi P. Rukka

PENDAPATAN RENDAH

PENDIDIKAN PEKERJAAN
RENDAH RENDAH

KEAHLIAN
RENDAH

Gambar 1. Lingkaran Setan Kemiskinan

Indonesia juga menghadapi masalah ketimpangan yang
parah antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota
masyarakat lainnya. Berdasarkan data yang dirilis oleh Bank Dunia,
Indonesia menempati peringkat 17 dari 150 negara yang disurvey
sebagai negara dengan ketimpangan ekonomi tertinggi di dunia
dengan Gini Indeks mencapai 38,14. Di saat sebagian besar rakyat
bangsa ini terlilit kemiskinan struktural, segelintir orang justru
bergelimang kemewahan. Di saat sejumlah orang berjuang untuk
tetap hidup, ada orang-orang yang justru mempermainkan
kehidupan orang lain.

Perlahan tapi pasti, ketimpangan itu menaburkan bibit
perpecahan. Kohesi sosial (social cohesion) antarmasyarakat
bangsa ini makin menipis. Menghadirkan kecemburuan dan iri hati
yang menggerogoti kebersamaan dan jiwa kegotongroyongan yang
pernah menyatukan bangsa ini. Jurang kesenjangan pendapatan
antarmasyarakat begitu lebar menganga sehingga nyaris tak
mungkin terjembatani. Demikian pula dengan kesenjangan antara
wilayah yang satu dengan wilayah lainnya yang seolah
menampilkan warna hitam dan putih yang kontras. Menghasilkan

M o z a i k I n d o n e s i a | 13

predikat daerah tertinggal dan daerah maju, yang terpisah secara
diametral dan saling bertolak belakang.Menciptakan fanatisme
kelompok yang berlebihan, mendorong tumbuhnya anarkisme dan
intoleransi yang sama sekali jauh dari nilai-nilai budaya dan moral
yang kita anut, serta mengancam stabilitas politik.

Ketimpangan ekonomi itu makin diperparah oleh semakin
sulitnya akses rakyat miskin terhadap pangan, sandang, papan,
pendidikan, dan kesehatan. Yang semakin memperlebar jarak
antara mereka dengan rakyat yang lebih beruntung. Intinya,
Indonesia gagal mempersembahkan kesejahteraan kepada seluruh
rakyatnya. Indonesia ini tidak sepenuhnya ‗dimiliki‘ oleh seluruh
rakyat yang terpencar di belasan ribu pulau Nusantara ini.
Indonesia ini hanya dimiliki oleh segelintir orang yang secara
kebetulan, akibat diskriminasi politik dan ekonomi, memiliki akses
terhadap sumber-sumber kekayaan negara.

Potensi besar yang dimiliki Indonesia ternyata tidak cukup
ampuh mengangkat derajat Indonesia ke posisi terhormat dalam
kancah pergaulan Internasional. Hasil-hasil pembangunan yang
gemerlap di pusat-pusat perekonomian, ternyata belum dapat
dirasakan oleh seluruh rakyat secara merata hingga di daerah-
daerah pedalaman yang terpencil. Kemajuan yang dicapai masih
dibalut problem kemiskinan dan penderitaan. Kota-kota yang
dipenuhi gedung pencakar langit dipenuhi bercak gelandangan,
anak jalanan dan pengemis. Prestasi-prestasi tinggi yang dicapai
segelintir anak bangsa, cenderung tidak mengakar pada realitas
masyarakat. Hampir tidak ada hubungan antara kemajuan, prestasi
dan kegemerlapan itu dengan kondisi riil rakyat Indonesia.

Dengan demikian, ketika sebuah negara menghadapi situasi
yang menunjukkan kualitas tertentu, maka peran dan fungsi
pemerintahan dalam negara itulah yang menjadi sorotan. Ketika

14 | Andi P. Rukka

pertanyaan-pertanyaan penting harus diajukan seperti, mengapa
ada gangguang keamanan, mengapa masih ada orang-orang yang
teraniaya, mengapa ada rakyat yang masih miskin, mengapa masih
banyak pengangguran, dan seterusnya, maka dengan sendirinya
pertanyaan itu harus dialamatkan kepada pemerintah atau kepada
para penyelenggara negara.

Jika demikian halnya, maka apakah ada hubungan kausalitas
antara potensi sumber daya manusia atau sumber daya alam yang
besar itu dengan kemajuan suatu bangsa? Jika ada, mengapa
Jepang yang 80 persen tanahnya tidak bisa dibudidayakan, menjadi
negara terkaya kedua di dunia? Negara ini bagaikan gugusan
kepulauan pabrik dan laboratorium yang mendatangkan aneka
bahan baku dari seluruh dunia, lalu menjual produknya dengan
harga sekian kali lipat ke seluruh dunia.8

Kesejahteraan suatu negara ternyata tidak ditentukan oleh
kekayaan alamnya. Kemakmuran suatu bangsa juga tidak
ditentukan oleh besarnya jumlah penduduknya. Bahkan dalam
kondisi tertentu, besarnya jumlah penduduk justru menjadi beban
pembangunan. Puluhan negara yang lebih sejahtera dan lebih maju
dari Indonesia ternyata memiliki penduduk yang jumlahnya lebih
sedikit dari Indonesia. Rupanya, kemajuan dan kesejahteraan suatu
bangsa tidak berhubungan langsung dengan potensi yang
dimilikinya. Akan tetapi sepenuhnya ditentukan oleh sikap hidup
positif penduduk negeri itu yang dibentuk oleh proses pendidikan
selama bertahun-tahun.9

8 Michael J Bonnell sebagaimana dikutip oleh Faisal Basri, Catatan Satu
Dekade Krisis, Transformasi, Masalah Struktural, dan Harapan
Ekonomi Indonesia, Esensi, Jakarta 2009 hal 120-121.
9 Ibid hal. 122

M o z a i k I n d o n e s i a | 15

Mampukah Indonesia Menjadi Negeri Sejahtera?
Sebenarnya usaha untuk menjadikan negeri ini sebagai

tempat tinggal yang nyaman telah dilakukan dan sudah
berlangsung sangat lama. Seusia dengan keberadaan manusia itu
sendiri. Itu karena kesejahteraan merupakan kebutuhan yang
bersifat universal. Kebutuhan yang bersifat alami, manusiawi,
tumbuh di dalam diri setiap manusia sebagai fitrah yang dititipkan
oleh Tuhan dan mengejawantah dalam hasrat dan niat manusia
untuk hidup dalam suasana yang baik.

Sejak dahulu kala, ketika negeri ini masih merupakan
kerajaan-kerajaan yang terpencar di seluruh Nusantara, cita-cita
untuk menjadikan negeri ini sebagai tempat tinggal yang nyaman
telah ada dan tumbuh di dalam sanubari rakyat. Raja-raja yang adil
dan bijaksana, yang bisa mewujudkan kesejahteraan bagi
rakyatnya dipuja dan dihormati. Sebaliknya raja yang lalim dan
aniaya, dibenci dan dihujat, bahkan digulingkan.

Ketika bangsa asing menjajah dan memembuat hidup rakyat
menjadi tak nyaman, ketika rakyat tertindas di negeri sendiri
sementara penjajah asing menikmati kenyamanan di atas bumi
Indonesia ini, rakyat tak rela dan berontak. Penjajah yang
mengeksploitasi kekayaan alam dan memperlakukan rakyat kita
sebagai budak menjadi musuh bersama yang membangkitkan
gerakan perlawanan di mana-mana. Para pahlawan kusuma bangsa
dengan gigih berjuang. Mengorbankan jiwa, darah, keringat dan
harta benda. Semua itu karena kesadaran bahwa kitalah – selaku
pemilik negeri ini – yang seharusnya memperoleh kenyamanan dan
memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari tanah air kita ini. Kita
tidak seharusnya tertindas di ‗rumah‘ sendiri. Kemerdekaan adalah
satu-satunya jalan yang bisa membebaskan kita dari ketertindasan
dan mengantarkan kita ke pintu gerbang kesejahteraan.

16 | Andi P. Rukka

Begitu Ir. Soekarno dan Moh. Hatta memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia, dan kebebasan sudah berhasil kita raih,
para bapak bangsa (The founding fathers) segera membayangkan
Indonesia ini akan menjadi sebuah negeri yang sejahtera, negeri
yang bisa menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi seluruh
rakyatnya. Konstitusi dan perangkat negara dibentuk untuk menjadi
dasar dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan guna
mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan menghapus derita
penjajahan.

Pengalaman traumatik selama penjajahan melahirkan tekad
bahwa penjajahan atas bangsa ini tidak boleh terulang kembali.
Itulah sebabnya, ketika Belanda kembali dan berusaha
menancapkan kuku penjajahannya di atas bumi Indonesia ini,
rakyat bangkit bersatu padu berjuang mempertahankan
kemerdekaan. Menjaga setiap jengkal ibu pertiwi, mulai dari
Sabang sampai Merauke. Perjuangan itu akhirnya berbuah
pengakuan kedaulatan dari seluruh warga dunia atas kemerdekaan
Indonesia.

Pemerintahan di bawah bangsa sendiri memunculkan
harapan, bahwa negeri ini dapat segera menjadi tempat tinggal
yang nyaman. Namun negara yang masih muda belia ini ternyata
belum sembuh benar dari luka penjajahan dan peperangan
mempertahankan kemerdekaan, gelombang pemberontakan yang
muncul di berbagai tempat turut mencabik bangsa ini dari dalam.
Keadaan tak kunjung membaik. Stabilitas politik dan ekonomi yang
rendah memupus peluang bagi terwujudnya kenyamanan dalam
kehidupan rakyat.

Setelah bekerja selama lebih dari 20 tahun, Rezim Orde
Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno yang membangun
negara yang masih muda belia ini mengakhiri kiprahnya. Melalui

M o z a i k I n d o n e s i a | 17

sebuah proses suksesi yang dramatis, kepemimpinan nasional
beralih kepada Jenderal TNI Soeharto. Bergantinya rezim Orde
Lama ke rezim Orde Baru, kembali menjanjikan harapan akan
datangnya perbaikan. Pembangunan berencana yang didasarkan
pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam format
Repelita menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang spektakuler,
swasembada pangan tercapai, dan stabilitas nasional terjaga.
Sekilas, kondisi itu menjanjikan datangnya suasana kehidupan yang
nyaman bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun di balik semua
keberhasilan itu, Orde Baru juga menggerogoti perekonomian
bangsa dari dalam lewat praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang
masif. Kebijakan trickle down effect yang digadang-gadang bisa
memercikkan hasil pembangunan kepada rakyat ternyata hanya
menghasilkan kesenjangan yang parah. Orde Baru juga
menjalankan praktik otoritarianisme berkedok demokrasi Pancasila
yang dipenuhi borok pelanggaran Hak Azasi Manusia.

Krisis multidimensi yang dialami Indonesia pada tahun 1997
menghantam pemerintahan Orde Baru dengan telak. Perekonomian
Indonesia yang pernah tumbuh pesat, ambruk seketika karena
ternyata perekonomian kita berdiri di atas fundamen yang sangat
rapuh. Stabilitas nasional yang pernah begitu terjaga, ternyata
seperti api dalam sekam yang menyimpan bara penentangan.

Maka ketika kepemimpinan nasional beralih, dan ketika
semangat demokratisasi menyebar ke seluruh penjuru negeri,
harapan akan datangnya kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia kembali tumbuh menjadi cita-cita nasional. Amandemen
konstitusi (yang pernah ditabukan) didorong untuk membawa
perubahan pada sistem pemerintahan yang disesuaikan dengan
tuntutan reformasi. Kondisi itu menjanjikan hadirnya sistem yang
lebih baik dan tampilnya penyelenggara negara yang lebih bersih,

18 | Andi P. Rukka

memiliki integritas yang lebih tinggi, dan lebih peduli pada
kepentingan rakyat. Krisis multidimensi yang kita alami sejatinya
adalah pelajaran berharga bagi para penyelenggara negara kita
berikutnya untuk lebih waspada dan lebih berhati-hati dalam
mengambil kebijakan, juga, terutama untuk tidak mengulangi
kesalahan-kesalahan pendahulunya agar bangsa ini tidak terseret
ke lubang krisis di masa-masa yang akan datang.

Berakhirnya pemerintahan otoriter yang sentralistik dan
berjalannya desentralisasi berlandaskan demokratisasi dengan
segera membuka harapan tentang Indonesia yang lebih baik.
Desentralisasi politik, Desentralisasi administratif dan Desentralisasi
fiskal yang berlangsung drastis menciptakan banyak peluang bagi
berubahnya cara bangsa ini membangun dirinya.

Sebuah kesempatan yang sebelumnya tidak pernah bisa
dinikmati. Pemilihan pimpinan-pimpinan pemerintahan di setiap
level dilakukan secara langsung. Kewenangan-kewenangan penting
dilimpahkan hingga ke ujung-ujung tombak pemerintahan. Kran
kebebasan pers dibuka selebar-lebarnya. Sistem kepartaian ditata
sedemikian rupa sehingga setiap orang bebas mendirikan partai
politik.

Namun apa yang terjadi, lagi-lagi kita harus menelan
kekecewaan. Harapan kita tentang sebuah negara yang sejahtera,
adil, makmur, dan merata bagi seluruh rakyatnya tak kunjung
terwujud. Wajar jika kemudian ada sejumlah pihak yang menyebut
bangsa ini sudah mulai berada pada situasi gagal atau
berantakan.10

Ada apa dengan Indonesia? Mengapa Indonesia yang begitu
besar dan kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia

10 Lihat Nordholt, Politik Lokal di Indonesia.Yayasan Obor Indonesia.
Hal. 1.

M o z a i k I n d o n e s i a | 19

ini tidak bisa menjadi negara yang maju dan sejahtera? Mengapa
pemerintah negeri ini tidak bisa menjadikan nusantara ini sebagai
rumah idaman bagi rakyatnya? Jika ketertinggalan yang kita alami
sekarang ini masih terus berlangsung, maka bagaimana nasib
bangsa ini di masa yang akan datang? Indonesia seperti apa yang
nantinya akan kita wariskan kepada anak cucu kita? Mampukah
bangsa ini – di suatu saat di masa depan – maju dan sejahtera
sehingga bisa menjadi tempat yang nyaman bagi seluruh
rakyatnya?

Tujuan Buku Ini
Buku ini mencoba mengungkapkan alasan-alasan mengapa

negeri ini belum berhasil menjadi tempat tinggal yang nyaman,
sekalipun berbagai upaya telah dilakukan, termasuk menerapkan
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Terutama yang
berpengaruh, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap
perjalanan negeri ini berproses menjadi sebuah negeri yang maju
dan sejahtera. Bangsa ini sedang sakit. Ada banyak masalah yang
menggerogoti negeri ini dan menjadikan bangsa ini tidak berada
dalam keadaan ‗baik-baik saja.‘ Ada banyak ancaman yang
mengintai eksistensi negara kita, sehingga negeri ini tidak aman-
aman saja.

Kesadaran akan kondisi riil bangsa dengan permasalahan-
permasalahan yang dihadapinya, diharapkan akan mengetuk hati
kita semua bahwa ada tugas berat yang sedang menunggu untuk
segera dituntaskan. Pemahaman yang tepat mengenai akar
masalah bangsa dan bagaimana memecahkan masalah-masalah
itu, adalah tujuan dari argumentasi yang dibangun dalam buku ini
dari sudut pandang seorang praktisi. Tentu saja, jika ditinjau dari
kacamata ilmu, fakta-fakta empiris yang ada dalam buku ini relatif

20 | Andi P. Rukka

masih harus diteliti secara cermat untuk membuktikan
eksistensinya. Sehingga tujuan lain yang ingin dicapai dari
keberadaan buku ini adalah tumbuhnya dorongan bagi para peneliti
yang kompeten untuk mengkaji dampak kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah ini secara komprehensif, sekaligus untuk
merumuskan secara tepat formulasi kebijakan yang lebih
menjanjikan terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Sistematika
Untuk memudahkan pembaca dalam memahami alur pikir

yang membentuk buku ini, maka penulisannya dibagi kedalam 6
(enam) bab. Di mana pada setiap bab akan diuraikan secara
singkat mengenai pokok persoalan sebagaimana judulnya. Adapun
kandungan setiap bab secara singkat dapat diuraikan masing-
masing sebagai berikut:

Bab 1 yang berbicara tentang tujuan, tugas dan fungsi
negara dikaitkan dengan banyaknya persoalan yang dihadapi oleh
bangsa ini, memerlukan sebuah formulasi kebijakan yang tepat
sehingga tujuan dan fungsi negara dapat dijalankan oleh
pemerintah dengan efektif dan efisien. Bahwa dengan jatuhnya
pilihan pada desentralisasi sebagai upaya untuk tetap
mempertahankan eksistensi negara kesatuan, sesungguhnya
merupakan pilihan yang tepat untuk kondisi Indonesia. Ada banyak
kelebihan dalam format kebijakan desentralisasi yang—bilamana
diimplementasikan dengan baik–bisa mengantarkan perbaikan dan
perubahan yang bisa membawa pada kemajuan bangsa (Bab 2).

Di saat permasalahan-permasalahan mendasar bangsa tak
kunjung selesai, bangsa ini justru dihadapkan pada fenomena
timbulnya masalah-masalah baru akibat alat (tools) yang digunakan
untuk menyelesaikan permasalahan itu (yaitu kebijakan

M o z a i k I n d o n e s i a | 21

desentralisasi dan otonomi daerah) tidak berfungsi dengan baik dan
mengalami kegagalan sistem (system failure). Kebijakan
desentralisasi yang seharusnya mempercepat lahirnya solusi-solusi
atas berbagai masalah berbangsa dan bernegara, justru menjelma
menjadi sumber masalah baru yang dikhawatirkan akan semakin
menjerumuskan bangsa ini ke jurang ketertinggalan. Selama lebih
dari sepuluh tahun implementasi otonomi daerah, banyak masalah
yang muncul, menjadi benang kusut yang menjadikan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah gagal memenuhi tujuannya (Bab
3).

Perubahan format desentralisasi dan meluasnya perdebatan
mengenai pelaksanaan Pilkada Langsung atau tidak langsung
membuat dinamika desentralisasi di Indonesia berkembang menjadi
wacana publik. Tetapi sesungguhnya, bagaimana kedua format
yang diperdebatkan itu bisa menjadi pilar desentralisasi yang efektif
dalam membangun bangsa dan negeri ini? Itulah sebabnya, dalam
bab ini akan diuraikan secara singkat kebaikan dan keburukan
kedua mekanisme pemilihan tersebut serta bagaimana
desentralisasi bisa mengambil manfaat dari mekanisme itu (Bab 4).

Meskipun demikian, praktik otonomi daerah di Indonesia ini
ternyata tidak seluruhnya berjalan seperti gambaran umum yang
diuraikan dalam buku ini. Best practise otonomi daerah tetap
muncul di sudut-sudut tanah air. Hal itu menunjukkan bahwa masih
ada orang-orang yang mempunyai integritas dan mampu
melakukan perbaikan di negeri ini. Mereka inilah yang bisa menjadi
simpul-simpul solusi yang dapat mengoptimalkan manfaat
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah untuk kesejahteraan
bangsa (Bab 5).

Harapan yang dibawa dalam buku ini adalah terbangunnya
kesadaran akan perlunya menerapkan kebijakan desentralisasi

22 | Andi P. Rukka

dengan kebijaksanaan dan kearifan yang tinggi, terutama bagi
orang-orang yang mendapatkan kepercayaan untuk menjadi
penyelenggara negara di daerah. Mereka itu adalah para kepala
daerah, para pimpinan-pimpinan partai politik di daerah dan para
birokrat yang bekerja atas nama negara. Kepada mereka
diharapkan untuk meneguhkan niat tulus untuk memajukan negeri
ini. Dan memperkuat keinginan untuk memajukan bangsa ini, lebih
besar daripada keinginan untuk meraih keuntungan pribadi dan
golongan semata. Kepada merekalah harapan akan terwujudnya
perbaikan dalam kebijakan desentralisasi bisa disandarkan (Bab 6).



M o z a i k I n d o n e s i a | 23

24 | Andi P. Rukka

2

SEKILAS TENTANG
DESENTRALISASI DI

INDONESIA

Mengapa Desentralisasi?
Efektifitas penyelenggaraan tugas dan fungsi negara yang

memiliki beban demografis dan kendala geografis yang besar –
seperti Indonesia—memang hanya menyisakan dua pilihan bentuk
negara, yaitu negara serikat (bondsstaat) dan negara kesatuan
(eenheidsstaat) yang didesentralisasikan. Besarnya tugas dan
tanggung jawab yang harus diemban oleh negara tidak mungkin
dapat dijalankan oleh sebuah organ pemerintahan bersifat
sentralistik yang bekerja di pusat kekuasaan negara. Dari kedua
alternatif itu, maka setelah mempertimbangkan berbagai faktor
(termasuk isu separatisme dan disintegrasi), akhirnya the founding
fathers kita sepakat menjatuhkan pilihan pada bentuk negara
kesatuan yang didesentralisasikan.

Dipilihnya bentuk negara kesatuan yang didesentralisasikan
juga dipengaruhi oleh trend demokratisasi yang berembus di
negara-negara dunia ketiga, seperti di Amerika Latin dan Afrika.
Pengalaman mengimplementasikan desentralisasi di sejumlah

M o z a i k I n d o n e s i a | 25

negara menunjukkan hasil berupa terjadinyaperubahan kualitas

hidup rakyat yang signifikan ke arah yang lebih baik. Negara-

negara yang melaksanakan desentralisasi terbukti memiliki

manajemen pemerintahan yang lebih baik, memberikan ruang

partisipasi bagi masyarakat yang lebih luas, dan memperbaiki

akuntabilitas di sektor publik.11

Dengan setumpuk permasalahan yang sedang dihadapi oleh

Indonesia, maka pilihan para pendahulu kita untuk menjadikan

kebijakan desentralisasi sebagai salah satu instrumen dalam

mendorong pembangunan nasional, tampaknya sudah sangat

relevan. Indonesia memerlukan kebijakan desentralisasi untuk

mendekatkan pemerintah

kepada masyarakat. Jika peluang sebesar itu bisa
dimanfaatkan dengan baik, dan
Indonesia membutuhkan dijalankan secara bertanggung
jawab oleh orang-orang yang
desentralisasi sebagai tepat, maka seharusnya
desentralisasi bisa menjadi alat
kebutuhan politik untuk yang ampuh untuk membangun

mengatasi masalah-masalah

bangsa yang sedang

membelit Indonesia. Indonesia

Desentralisasi adalah alat

yang tepat untuk menjamin integrasi bangsa di satu sisi, dan di sisi

lain mendorong kemajuan dan kemandirian daerah.

Berangkat dari pandangan itu, maka lahirlah konsensus

nasional yang mengharuskan seluruh komponen bangsa tanpa

kecuali, untuk menjalankan kebijakan desentralisasi ini dengan

sungguh-sungguh, demi tercapainya tujuan berbangsa dan

11 Huther dan Shah dalam Sjamsiar Sjamsuddin dan Irwan Noor,
Decentralization: a Question for Developing Countries, hal 10. http://e-
resources.pnri.go.id:2056/docview/1426128138 diakses pada tanggal 4
April 2014.

26 | Andi P. Rukka

bernegara seperti yang tercantum dalam alenia keempat
Pembukaan UUD 1945.

Desentralisasi merupakan pemencaran tugas dan tanggung
jawab negara dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk mengelola urusan-urusan pemerintahan berdasarkan situasi
dan kondisi daerah setempat. Dengan pemahaman seperti itu,
tugas dan fungsi penyelenggaraan negara yang semula menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat beralih kepada organ-organ
pemerintahan yang dibentuk di setiap daerah.

Rondinelli, dkk. mendefinisikan desentralisasi dalam
perspektif administratif dengan menyebut bahwa desentralisasi
adalah pengalihan tanggung jawab untuk melakukan perencanaan,
manajemen, dan pemanfaatan sumber-sumber daya beserta
pengalokasiannya dari pemerintah pusat kepada (a) unit-unit
lapangan kementerian atau badan pemerintah pusat; (b) unit
pemerintahan tingkat bawah; (c) otoritas publik dan korporasi yang
bersifat semi otonom; (d) otoritas fungsional atau otoritas regional
yang mempunyai jangkauan luas; dan (e) organisasi-organisasi
privat atau organisasi non pemerintah.12

Dalam implementasinya, desentralisasi administratif ini dapat
dibedakan ke dalam tiga kategori, yakni dekonsentrasi, delegasi
dan devolusi. Dari ketiga kategori itu, dekonsentrasi merupakan
bentuk desentralisasi yang paling lemah, karena dalam
dekonsentrasi ini, pelaksana kebijakan administratif tetap berada di
tangan organ-organ pemerintah pusat yang bertugas di daerah.
Sementara itu devolusi merupakan bentuk desentralisasi
administrasi yang paling kuat, karena pelimpahan tanggung jawab

12 Dennis A. Rondinelli et.all. Analyzing Decentralization Policies in
Developing Country : A Political-Economi Framework

M o z a i k I n d o n e s i a | 27

penyelenggaraan dan pengawasan, diberikan kepada pemerintah
daerah.

Definisi dari perspektif politik dikemukakan oleh Mowhood
dan Smith yang menyebutkan desentralisasi sebagai tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat untuk mengalihkan
kekuasaan secara resmi kepada aktor-aktor atau lembaga-lembaga
pada tingkatan yang lebih rendah dalam administrasi politik dan
hirarki teritorial.

Meskipun berbeda dalam perspektifnya, namun dari kedua
pendekatan itu terlihat adanya kesamaan bahwa tujuan dari
desentralisasi adalah untuk mengurangi peran pemerintah pusat
yang diiringi dengan meningkatnya partisipasi masyarakat lokal
dalam demokrasi dan semakin menguatnya peran pemerintah lokal.
Jadi secara umum, desentralisasi sesungguhnya dapat dipahami
sebagai antitesis terhadap sentralisasi. Jika sentralisasi menyatukan
kekuasaan politik ke dalam kewenangan pemerintah pusat, maka
sebaliknya desentralisasi justru menyebarluaskannya kepada
pemerintahn lokal.

Lantas, apakah sesungguhnya yang menjadi tujuan dari
desentralisasi itu? Ada dua tujuan utama desentralisasi, yaitu
tujuan politik dan tujuan ekonomi. Tujuan desentralisasi dari
pandangan politik adalah untuk mendorong pemerintah di tingkat
lokal untuk meningkatkan keahlian dan kemampuan politik aparatur
dan masyarakat dalam menyelenggarakan demokrasi dan
mempertahankan integrasi nasional. Sedangkan tujuan dari
pandangan ekonomi adalah untuk meningkatkan kemampuan
pemerintah di tingkat lokal dalam pengadaan barang-barang dan
pelayanan umum, serta mendorong efisiensi dan efektifitas dalam
penyelesaian masalah-masalah maupun dalam pembangunan
ekonomi lokal.

28 | Andi P. Rukka

Di samping kedua tujuan utama itu, desentralisasi juga
bertujuan untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Urusan-urusan pemerintahan yang
ada di daerah dapat ditangani secara langsung oleh organ-organ
pemerintahan daerah yang berada di tengah-tengah masyarakat itu
sendiri. Sehingga waktu dan biaya yang diperlukan dalam
penanganannya tidak terlalu besar. Itu berarti, desentralisasi bisa
melakukan penghematan atas sumber daya organisasi.

Agar bisa berjalan dengan baik, desentralisasi
mempersyaratkan terbentuknya organ-organ pemerintahan di
daerah yang bertindak pada dua dimensi status yang diperankan
secara simultan. Yang pertama sebagai kepanjangan tangan dari
pemerintah pusat, dan yang kedua sebagai pelaksana dari aspirasi
dan kehendak masyarakat setempat. Dengan kata lain,
desentralisasi bisa bermakna sebagai upaya mendekatkan negara
kepada rakyat di daerah pada satu sisi, dan pada sisi yang lain
menjadikan ‗negara‘ itu sebagai milik rakyat dan dikelola secara
langsung di daerah. Dari kedua peran itu terlihat bahwa kebijakan
desentralsasi bisa menjadi perekat integrasi bangsa.

Jika mengacu pada definisi dan tujuan-tujuan desentralisasi
seperti yang disebutkan di atas, maka tampaknya desentralisasi
bisa menjadi kebijakan yang bermanfaat bagi sebuah negara,
sepanjang persyaratan dan kondisinya terpenuhi, yaitu (1)
berlangsungnya desentralisasi politik; (2) berjalannya desentralisasi
administrasi, dan (3) adanya desentralisasi fiskal.13

Desentralisasi politik adalah pelimpahan wewenang pada
aspek pengambilan keputusan politik dari pusat kepada daerah.
Ditandai dengan berlangsungnya proses-proses politik yang

13 Word Bank dalam Keith Green, Decentralization dan Good
Governance, The Case of Indonesia. MPRA.

M o z a i k I n d o n e s i a | 29

demokratis di daerah. Mulai dari pemilihan pemimpin daerah,
pemilihan anggota-anggota legislatif, sampai kepada perumusan,
pelaksanaan dan evaluasi kebijakan publik. Terdesentraliasinya
proses politik ke daerah akan berdampak pada tiga hal pokok,
pertama tampilnya kepala daerah yang berkualitas dan legitimate,
kedua terpilihnya anggota-anggota legislatif yang berkualitas, dan
ketiga dihasilkannya kebijakan publik yang bisa memenuhi
kebutuhan, keinginan, tuntutan dan harapan rakyat di daerah.

Pemilihan pemimpin daerah sebagai proses politik yang
didesentralisasikan mengandung maksud agar pemimpin daerah
yang terpilih benar-benar merupakan pengejawantahan dari
kehendak masyarakat daerah itu sendiri. Begitu pula dengan
pemilihan anggota legislatif yang duduk di DPRD merupakan orang
terbaik yang menjadi representasi sesungguhnya dari masyarakat
daerah setempat. Sehingga kolaborasi antara orang-orang terbaik
ini akan bermuara pada lahirnya kebijakan publik yang bisa
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Sementara itu, desentralisasi administrasi adalah pelimpahan
wewenang pada penyelenggaraan administrasi publik yang ditandai
dengan meningkatnya tanggung jawab pemerintah daerah dalam
proses administrasi dan manajemen pemerintahan daerah,
terutama yang berkaitan dengan perencanaan, penganggaran dan
manajemen urusan-urusan publik. Melalui pelimpahan kewenangan
ini, pemimpin daerah memiliki kewenangan untuk melakukan
pengorganisasian yang optimal terhadap birokrasi pemerintahan
daerah, terutama yang berhubungan dengan pengembangan
kapasitas dan kemampuan aparat dalam melaksanakan urusan-
urusan pemerintahan yang dibebankan kepadanya. Pemimpin
daerah juga mendapakan kekuasaan untuk menata pengelolaan
sumber-sumber daya daerah untuk dimanfaatkan secara optimal

30 | Andi P. Rukka

bagi kepentingan rakyatnya. Dengan kata lain, daerah memiliki
peluang untuk memaksimalkan setiap potensi sumber daya yang
ada di daerah untuk kepentingan daerahnya.

Kepala daerah selaku pemimpin birokrasi Pemerintahan
daerah mempunyai keleluasaan dalam memilih dan menentukan
pejabat-pejabat birokrasi sesuai dengan keahlian dan kecakapan
aparat, untuk ditugaskan sesuai dengan urusan-urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Tentu saja
kewenangan itu juga disertai dengan keleluasaan bagi kepala
daerah untuk membentuk lembaga-lembaga perangkat daerah
yang tepat fungsi dan tepat ukuran, yang di satu sisi mampu
bekerja secara efektif untuk mencapai tujuannya, dan di sisi lain
tidak menjadi sumber inefisiensi anggaran.

Adapun desentralisasi fiskal, ditandai dengan semakin
besarnya kewenangan daerah, baik untuk meningkatkan
pendapatan daerahnya, maupun untuk mengalokasikan anggaran
pada program-program pembangunan yang sesuai dengan urusan
pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Pemerintah
daerah mempunyai kewenangan untuk menggali dan
memanfaatkan potensi daerah yang ada, baik untuk membiayai
kebijakan-kebijakan pembangunannya, maupun untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pemerintah daerah
bisa menciptakan iklim investasi yang kondusif, intensifikasi dan
ekstensifikasi sumber-sumber pajak dan retribusi daerah, serta
menggalakkan sektor privat dalam penyediaan fasilitas-fasilitas
layanan publik tertentu yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
setempat.

Jika ketiga bidang desentralisasi tersebut dapat berjalan
secara simultan, maka desentralisasi akan memberikan keuntungan
berupa terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan

M o z a i k I n d o n e s i a | 31

responsif. Desentralisasi akan mendorong tumbuhnya inovasi
pemerintah daerah, ketepatan dalam bertindak, serta efisiensi dan
efektifitas dalam memberikan solusi atas berbagai masalah yang
ada di daerah. Desentralisasi akan membuka akses bagi warga
untuk terlibat pada proses pengambilan keputusan-keputusan
publik yang dijalankan oleh pemerintah daerah.14

Desentralisasi juga memberikan keuntungan berupa
peningkatan kualitas alokasi dan mobilisasi sumber-sumber daya
ekonomis terhadap aktifitas-aktifitas keuangan di sektor publik.
Menurunkan biaya pelayanan, serta meningkatkan kualitas dan
performa lembaga-lembaga sektor publik dalam memberikan
pelayanan, karena lembaga-lembaga itu lebih memahami keinginan
dan kebutuhan rakyat.15

Pada gilirannya, desentralisasi akan menjadikan daerah-
daerah otonom berfungsi sebagai lokomotif yang menarik gerbong
negeri ke arah kemajuan. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat
di setiap daerah, akan mempercepat tersebarnya kesejahteraan ke
seluruh pelosok Indonesia, yang selanjutnya akan meningkatkan
kualitas bangsa secara keseluruhan. Potensi-potensi daerah yang
beragam adalah sumber-sumber kekayaan bangsa. Ketika dikelola
dengan baik di setiap daerah, akan menjadi kekuatan
perekonomian bangsa.

Namun perlu diingat bahwa suksesnya pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah tidak akan bisa tercapai hanya
dengan menjalankan ketiga dimensi desentralisasi itu secara
simultan. Desentralisasi bisa mengalami kegagalan jika masyarakat
di daerah itu tidak siap hidup dalam sistem atau tatanan

14 Ronald W. Johnson and Henry P. Minis Jr. Toward Democratic
Decentralization, Approaches to Promoting Good Governance.
Research Triangle Institute.
15 Ibid.

32 | Andi P. Rukka

kepemerintahan yang terbuka. Desentralisasi mengharuskan
masyarakat berpartisipasi menjalankan peran yang lebih besar
dalam berbagai aspek pemerintahan. Peran itu dibangun oleh
kesadaran bahwa rakyatlah sesungguhnya yang berdaulat. Bahwa
pemerintah bekerja untuk rakyat, dan bahwa kepada rakyat pulalah
seluruh manfaat keberadaan negara harus diberikan. Kesadaran
akan makna kedaulatan itu akan mendorong masyarakat
mengorganisir dirinya ke dalam kelompok-kelompok kepentingan
(interest group) yang kritis, yang mampu melakukan kontrol
terhadap berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah.

Di samping itu, partai-partai politik yang tidak mendukung
pemerintah daerah dapat membangun peran sebagai oposisi yang
menjadi penyeimbang, melakukan kritik dan secara konsisten
menuntut perbaikan kualitas kebijakan pemerintah. Dengan
demikian setiap kebijakan pemerintah daerah selalu bermanfaat
bagi kepentingan daerah pada khususnya dan kepentingan nasional
pada umumnya.

Di atas semua itu, pembinaan dan pengawasan atau
supervisi yang berkesinambungan dari pemerintah pusat dan
provinsi mutlak diperlukan guna menjamin terselenggaranya
otonomi daerah yang sehat. Regulasi dan advokasi yang aplikabel
harus diberikan secara terus menerus sesuai dengan dinamika
lingkungan strategis baik di tingkat regional, nasional maupun
global yang terus mengalami perubahan. Banyaknya elemen yang
terlibat dan luasnya implikasi-implikasi yang menyertai kebijakan
desentralisasi, sehingga diperlukan kesungguhan dan kecermatan
dalam menggunakan kebijakan ini.

Terlepas dari semua itu, secara keseluruan desentralisasi
bisa dianalogikan sebagai sebuah gadget dengan fitur yang
canggih, desentralisasi hanya dapat digunakan dengan baik oleh

M o z a i k I n d o n e s i a | 33

pemerintah daerah yang memiliki kemampuan menguasai dan
memanfaatkan setiap fitur itu dengan baik. Betapapun majunya
teknologi sebuah peralatan, akan tetapi pemanfaatannya tetap
bergantung sepenuhnya pada kemampuan manusia yang
menggunakannya (man behind the gun). Pemerintah-pemerintah
daerah yang inovatif, kreatif dan kapabel akan bertindak cerdas
dalam menggunakan gadget ini dan memanfaatkannya secara
maksimal bagi kepentingan daerahnya secara khusus dan
kepentingan nasional secara umum.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa sebenarnya desentralisasi
adalah kebijakan yang sangat sederhana. Sesederhana pesan
seorang ayah kepada anaknya yang baru saja berkeluarga, ―uruslah
keluargamu sendiri dengan sebaik-baiknya.‖ Kalau sebuah daerah
dianalogikan sebagai sebuah keluarga, maka kepala keluargalah
yang paling tahu apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan
terpenting dari setiap anggota keluarganya. Jika ada masalah yang
timbul, maka kepala keluarganya pulalah yang paling tahu
bagaimana menangani masalah itu secara tepat.

Jika kesederhanaan kebijakan ini dipahami dan dilaksanakan
dengan baik, maka seharusnya dalam satu dasawarsa ini, seluruh
masalah bangsa yang ada di daerah sudah mulai tertangani,
bahkan mungkin sudah teratasi. Implementasi otonomi daerah
seharusnya sudah menghasilkan daerah-daerah otonom yang lebih
maju dan lebih berdaya saing. Kesejahteraan masyarakat
seharusnya sudah mulai tersebar dan sudah menyentuh lebih
banyak rakyat Indonesia.

Itulah sesungguhnya makna dan tujuan sejati dari otonomi
daerah. Rakyat di daerah diberikan kesempatan yang seluas-
luasnya untuk mengurus daerahnya sendiri, membangun
daerahnya sendiri, menyelesaikan masalah-masalah yang ada di

34 | Andi P. Rukka

daerahnya sendiri dan tentu saja jika semua upaya itu berhasil,
berarti mereka pulalah yang akan menikmati hasil kemajuan
daerahnya sendiri.

Sejarah Singkat Desentralisasi di Indonesia
Catatan sejarah pelaksanaan desentralisasi di Indonesia

sebenarnya sudah cukup panjang. Bermula jauh sebelum Indonesia
merdeka. Kebijakan desentralisasi pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1903 oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan diterbitkannya
Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch
Indie (Staatblaad No. 329) atau yang dikenal dengan
Decentalisatiewet 1903 yang mengatur tentang pembentukan
satuan pemerintahan otonom bernama gewest yang mempunyai
sistem keuangan sendiri. Karena desentralisasi yang berjalan
dianggap belum memadai, maka pada tahun 1922 melalui Wet op
de Bestuurshervorming (Staatblaad No. 216) kebijakan
desentralisasi itu diperluas dengan pembentukan badan-badan
pemerintahan baru yang melibatkan penduduk pribumi seperti
provincie, regentschaap, stadsgemeente dan groepmeenschaap
dengan kekuasaan yang lebih luas daripada gewest dan bersifat
otonom.

Ketika Jepang mengambil alih Indonesia dari tangan Belanda
pada tahun 1942, kebijakan desentralisasi tetap dilanjutkan, yang
ditandai dengan perubahan nama satuan-satuan pemerintahan
lokal menjadi Syuu (Karesidenan), Si (Staadgemeente), Ken
(Regentschaap), Gun (Distrik/Kawedanan), Son (Onderdistrict) dan
Ku (Desa). Walaupun berbeda namanya, tetapi kedudukan Si dan
Ken tetap bertahan sebagai daerah otonom, hanya saja sifat
demokratisnya dihilangkan. Selain menghilangkan Provincie,
Pemerintah Jepang juga membentuk daerah yang mempunyai

M o z a i k I n d o n e s i a | 35

kedudukan khusus yang disebut dengan Tokubetsu Si. Semua
tingkatan pemerintahan lokal itu secara berjenjang, bertanggung
jawab kepada pemimpin militer Bala Tentara Jepang yang disebut
dengan Saikosikikan.

Ketika Indonesia Merdeka, ide desentralisasi tetap
terakomodir di dalam salah satu pasal konstitusi negara yaitu pasal
18 UUD 1945. Desentralisasi tetap menjadi pilihan utama dalam
membangun Indonesia merdeka dengan pertimbangan bahwa
keberagaman bekas-bekas kerajaan yang bergabung dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus dapat disatukan di bawah satu
bendera tanpa menghilangkan perbedaannya satu sama lain.
Selanjutnya, atas keputusan PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945
dibentuklah 8 (delapan) daerah administratif yang disebut Provinsi
yang pemimpinnya disebut dengan Gubernur. Setiap provinsi
terbagi ke dalam Karesidenan yang membawahi kabupaten, daerah
kota, kawedanan, kecamatan dan desa.

Di tingkat provinsi dan karesidenan, dibentuk pula Komite
Nasional Daerah yang bertugas sebagai lembaga ‗legislatif‘ dan
berfungsi untuk menyatakan kehendak rakyat. Dengan terbitnya
UU no 1 tahun 1945 pada tanggal 23 Nopember 1945, Komite
Nasional Daerah berubah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah
yang mengukuhkan fungsi Komite Nasional Daerah sebagai mitra
Gubernur dan Residen. Dengan ketentuan tersebut, otonomi yang
diberikan kepada daerah adalah otonomi yang lebih luas dibading
pada zaman penjajahan.

Tiga tahun kemudian, ketentuan mengenai pemerintahan
daerah diubah dengan UU nomor 22 tahun 1948. Undang-undang
yang baru ini memberikan otonomi yang sebanyak-banyaknya atau
seluas-luasnya kepada satuan pemerintahan tingkat daerah yang
terdiri atas provinsi atau yang dikenal dengan Daerah Tingkat I,

36 | Andi P. Rukka

kabupaten/kota besar dengan Daerah Tingkat II, dan desa/kota
kecil dengan Daerah Tingkat III. Hanya saja, cakupan berlakunya
undang-undang ini tidak meliputi seluruh Wilayah NKRI. Karena
sesudah Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Indonesia menjadi
Negara Serikat yang terbagi menjadi dua negara bagian. Yaitu
Repiblik Indonesia dan Negara Indonesia Timur. Di Indonesia
Timur, ketentuan mengenai desentralisasi dilaksanakan
berdasarkan Staatsblaad no. 44 tahun 1950.

Seiring dengan berlakunya UUDS 1950, di mana Indonesia
kembali menjadi Negara Kesatuan yang didesentralisasikan, maka
penyesuaian juga terjadi dalam pola kebijakan desentralisasi. Untuk
keperluan itu, lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, yang
menekankan sistem otonomi riil yang didasarkan pada
kesanggupan dan kemampuan nyata dari daerah. Dengan UU ini
daerah otonom dibedakan atas Daerah Swatantra dan Daerah
Istimewa. Daerah Swatantra terdiri atas tiga tingkatan, yaitu
Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III,
demikian pula dengan daerah swapraja yang terdiri atas tiga
tingkatan.

Akibat dari jatuh bangun kabinet dan perubahan konfigurasi
pemerintahan di tingkat pusat yang sangat dinamis, Indonesia
mengalami ancaman terhadap eksistensinya. Sehingga Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang
mengembalikan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Untuk
mengisi kekosongan peraturan, presiden menerbitkan sejumlah
Penetapan Presiden yang mengatur tentang pemerintahan daerah,
khususnya tentang Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Gotong Royong.

Atas amanat Tap MPRS No. II 1960, UU nomor 18 tahun
1965 tentang pemerintahan daerah terbit dan mengatur

M o z a i k I n d o n e s i a | 37

pemerintahan daerah di Indonesia dalam bingkai negara kesatuan.
Akan tetapi berbagai kelemahan yang terkandung dalam Undang-
Undang itu mendorong MPRS untuk memerintahkan agar undang-
undang itu ditinjau kembali. Seiring dengan terjadinya proses
peralihan kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno ke
Presiden Soeharto pada tahun 1966, maka UU no. 18 tahun 1965
ini benar-benar sudah dianggap tidak sesuai dengan cita-cita Orde
Baru. Akhirnya, Undang-Undang itu berakhir masa berlakunya
ketika UU no. 6 tahun 1969 diterbitkan dan UU nomor 5 tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah diundangkan.

Pada era pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan
Soeharto, semangat desentralisasi tetap dihidupkan. Akan tetapi di
atas daerah otonom yang terdiri atas daerah Tingkat I dan Tingkat
II, terdapat wilayah administrasi yang terdiri atas Provinsi,
Kabupaten/Kotamadya, dan Kecamatan. Juga dikenal
Kabupaten/Kota Administratif. Faktanya, peran wilayah administrasi
jauh lebih besar dibandingkan dengan daerah otonom. Selama
berlakunya undang-undang tersebut, kebijakan desentralisasi tidak
pernah berjalan secara efektif.16

Di bawah kepemimpinan Soeharto, kebijakan desentralisasi
hanya berada di tataran konsep tanpa implementasi yang sungguh-
sungguh. Penentuan kepemimpinan di daerah sepenuhnya menjadi
domain pemerintah pusat, sementara peran daerah yang sekadar
menjalankan proses suksesi yang berakhir dengan kewenangan
mengusulkan calon. Demikian pula dengan kebijakan-kebijakan lain
yang bersifat administratif dan fiskal, tidak bisa dijalankan secara
sempurna karena ketergantungan daerah terhadap pemerintah
pusat sangat tinggi. Kekhawatiran bahwa desentralisasi akan

16 Keith Green, Decentralization and Good Governance, The Case of
Indonesia. MPRA.

38 | Andi P. Rukka

melahirkan daerah-daerah yang kuat, yang bisa berdampak buruk
pada integrasi dan stabilitas nasional menjadi alasan tingginya
pengawasan pusat terhadap daerah. Stabilitas nasional diyakini
sebagai syarat bagi pembangunan ekonomi yang menjadi
primadona Orde Baru. Otonomi daerah hanya sekadar label tanpa
substansi. Daerah-daerah otonom tidak berdaya di hadapan
pemerintah pusat. Sehingga pemerintah daerah tak pernah benar-
benar bisa berkarya secara efektif untuk kepentingan daerahnya.

Krisis keuangan yang melanda Asia pada tahun 1997 yang
juga menerjang Indonesia berdampak pada terjadinya krisis
multidimensi. Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama 32
tahun ‗dipaksa‘ berhenti, sekaligus mengakhiri kebijakan
desentralisasi semu yang dijalankannya selama masa
pemerintahannya. Itulah katalis yang mengantarkan terjadinya
perubahan format desentralisasi di Indonesia.

Kondisi ekonomi, sosial dan politikyang dihantam badai krisis,
‗mengundang‘ kehadiran International Monetary Fund (IMF) dan
World Bank (Bank Dunia). Selama krisis berlangsung, IMF dan Bank
Dunia terus mendampingi Indonesia merumuskan langkah-langkah
reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara,
terutama reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan–
termasuk di antaranya kebijakan desentralisasi–sebagai salah satu
syarat bagi penyaluran paket bantuan pemulihan krisis ekonomi di
Indonesia.17

Presiden BJ. Habibie yang saat itu memimpin pemerintahan
transisi merespon dengan membentuk sebuah tim beranggotakan 8
(delapan) orang yang diketuai oleh Prof. Dr. Ryaas Rasyid. Tim ini
ditugaskan untuk merumuskan desain kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah serta menyusun regulasi yang akan menjadi

17 Ibid.

M o z a i k I n d o n e s i a | 39

landasan pelaksanaannya. Hasil kerja tim inilah yang kemudian
melahirkan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah,18 yang secara resmi berlaku pada tanggal 1
Januari 2001. Dengan berlakunya UU tersebut, maka babak baru
dalam format desentralisasi di Indonesia dimulai. Karena secara
substansial, kebijakan desentralisasi yang dibawa oleh UU no 22
tahun 1999 ini sangat berbeda dengan kebijakan desentralisasi
yang diimplementasikan pada masa-masa sebelumnya .

Perbedaan itu dapat dirinci pada tiga aspek. Pertama, pada
masa Orde Baru, desentralisasi hanya berjalan pada wilayah
pelaksanaan saja, sedangkan yang lainnya berada di tangan
pemerintah pusat. Porsi dekonsentrasi dan tugas pembantuan lebih
banyak daripada Desentralisasi. Kedua, Pengawasan yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah sangat ketat,
bahkan hingga ke hal-hal yang bersifat sepele. Dan Ketiga,
Pembagian keuangan dan hasil perekonomian yang diperuntukkan
bagi daerah sangat minim.19

Dengan berlakunya UU no. 22 tersebut, daerah-daerah
tingkat II menjelma menjadi entitas pemerintahan yang otonom
dan bebas dari intervensi pemerintah pusat. Kekuasaan pemerintah
pusat atas daerah hanya sebatas merumuskan regulasi guna
menuntun daerah menjalankan otonomi daerah, menjamin
tersedianya dana transfer dalam bentuk perimbangan keuangan
yang akan digunakan oleh daerah menjalankan kewenangannya,
serta menata pemberian kewenangan yang luas dalam bidang
kepegawaian. Kondisi itu tentu saja menjadi sebuah kemajuan yang
sangat signifikan, karena pengalaman berotonomi daerah

18 Shane Joshua Barter, The Dangers of Decentralization: Clientelism, the
State, & Nature in a Democratic Indonesia
19 Utang Rosidin, Otonomi Daerah dan Desentralisasi hal. 72-73.

40 | Andi P. Rukka


Click to View FlipBook Version