The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

MODUL AJAR SEJARAH KELAS X Semester 1 dan 2

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by nuraini.moker83, 2023-10-10 08:08:03

MODUL AJAR SEJARAH KELAS X

MODUL AJAR SEJARAH KELAS X Semester 1 dan 2

C. KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI NUSANTARA 1. Kerajaan Islam di Sumatra (*adapun Kerajaan Sriwijaya yang dahulunya bercorak Budha, sejak mengalami keleahan dan bahkan runtuh sekitar abad ke-14 M, mulailah proses Islaisasi sehingga pada akhir abad ke-15 muncul komunitas Muslim di Palembang, dan kemudia berdiri Kesultanan Palembang) 151


Gambar. Peta Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra a) Kerajaan Perlak Peureulak adalah kerajaan Isl am di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang, disebut-sebut antara tahun 840 sampai dengan tahun 1292.Perlak atau Peureulak t erkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Peureulak didirikan oleh para pedagang asingg dari Mesir, Maroko, Persia, Gujarat, yang menetap di wilayah itu sejak awal abad ke 12. Pendirinya adalah orang Arab suku Quraisy. Pedagang Arab itu menikah dengan putri pribumi, keturunan raja Perlak. Dari perkawinan tersebut ia mendapat seorang anak bernama Sayid Abdul Aziz. Sayid Abdul Aziz adalah sultan pertama negeri Perlak. Setelah dinobatkan menjadi sultan negeri Perlak, bernama Alaudin Syah. Kerajaan Perlak sempat pecah menjadi dua. Salah satu berada di pedalaman dengan pusatnya di Tonang dan satunya di daerah pesisir di Bandar Khalifah. Karena pecah menjadi dua maka kekuasaannya menjadi kecil dan bahkan tidak lagi disebut sebagai kerajaan. Perjalanan sejarah Kerajaan Perlak diwarnai dengan berbagai peperangan termasuk dengan perang dengan Sriwijaya. Kerajaan Perlak masih ada sampai 1296 M. Raja terakhir Muhammad Amir Syah mengawinkan putrinya dengan Malik Shaleh (Malikussaleh). Kemudian, Malikussaleh mendirikan kerajaan Samudera Pasai. b) Kerajaan Samudra Pasai Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh dan terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, menurut Uka Tjandrasasmita (Ed) dalam buku Badri Yatim, menyatakan bahwa kemunculannya 152


sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7 dan seterusnya. Berdasarkan berita dari Ibnu Batutah, dikatakan bahwa pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini dibuktikan dengan adanya batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (1297 M), Raja pertama Samudra Pasai. Malik Al-Saleh, raja pertama kerajaan Samudera Pasai, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan nama Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu, ia masuk Islam setelah mendapat mendapatkan seruan dakwah dari Syaikh Ismail beserta rombongan yang datang dari Mekkah. Berikut ini adalah urutan para raja yang memerintah di Samudera Pasai, yakni: a. Sultan Malik as Saleh (Malikul Saleh). b. Sultan Malikul Zahir, meninggal tahun 1326. c. Sultan Muhammad, wafat tahun 1354. d. Sultan Ahmad Malikul Zahir atau Al Malik Jamaluddin, meninggal tahun 1383. e. Sultan Zainal Abidin, meninggal tahun 1405. f. Sultanah Bahiah (puteri Zainal Abidin), sultan ini meninggal pada tahun 1428. Adanya Samudera Pasai ini diperkuat oleh catatan Ibnu Batutah, sejarawan dari Maroko. Kronik dari orang-orang Cina pun membuktikan hal ini. Menurut Ibnu Batutah, Samudera Pasai merupakan pusat studi Islam. Ia berkunjung ke kerajaan ini pada tahun 1345-1346. Ibnu Batutah menyebutnya sebagai “Sumutrah”, ejaannya untuk nama Samudera, yang kemudian menjadi Sumatera. Ketika singgah di pelabuhan Pasai, Batutah dijemput oleh laksamana muda dari Pasai bernama Bohruz. Lalu laksmana tersebut memberitakan kedatangan Batutah kepada Raja. Ia diundang ke Istana dan bertemu dengan Sultan Muhammad, cucu Malik as-Saleh. Batutah singgah sebentar di Samudera Pasai dari Delhi, India, untuk melanjutkan pelayarannya ke Cina. Sultan Pasai ini diberitakan melakukan hubungan dengan Sultan Mahmud di Delhi dan Kesultanan Usmani Ottoman. Diberitakan pula, bahwa terdapat pegawai yang berasal dari Isfahan (Kerajaan Safawi) yang mengabdi di istana Pasai. Oleh karena itu, karya sastra dari Persia begitu populer di Samudera Pasai ini. Untuk selanjutnya, bentuk sastra Persia ini berpengaruh terhadap bentuk kesusastraan Melayu kemudian hari. Berdasarkan catatan Batutah, Islam telah ada di Samudera Pasai sejak seabad yang lalu, jadi sekitar abad ke-12 M. Raja dan rakyat Samudera Pasai mengikuti Mazhab Syafei. Setelah setahun di Pasai, Batutah segera melanjutkan pelayarannya ke Cina, dan kembali ke Samudera Pasai lagi pada tahun 1347. Bukti lain dari keberadaan Pasai adalah ditemukannya mata uang dirham sebagai alat-tukar dagang. Pada mata uang ini tertulis nama para sultan yang memerintah Kerajaan. Nama-nama sultan (memerintah dari abad ke-14 hingga 15) yang tercetak pada mata uang tersebut di antaranya: Sultan Alauddin, Mansur Malik Zahir, Abu Zaid Malik Zahir, Muhammad Malik Zahir, Ahmad Malik Zahir, dan Abdullah Malik Zahir. Pada abad ke-16, bangsa Portugis memasuki perairan Selat Malaka dan berhasil menguasai Samudera Pasai pada 1521 hingga tahun 1541. Selanjutnya wilayah Samudera Pasai menjadi kekuasaan Kerajaan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam. Waktu itu yang menjadi raja di Aceh adalah Sultan Ali Mughayat. 153


c) Kesultanan Aceh Darussalam Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke15 M. Di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465- 1497 M), dialah yang membangun kota Aceh Darussalam. Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah naik tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan kerajaan Pasai. Tahun 1564 Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Alaudin alKahar (1537-1568). Sultan Alaudin al-Kahar menyerang kerajaan Johor dan berhasil menangkap Sultan Johor, namun kerajaan Johor tetap berdiri dan menentang Aceh. Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Alaudin Riayat Syah datang pasukan Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman untuk meminta ijin berdagang di Aceh. Penggantinya adalah Sultan Ali Riayat dengan panggilan Sultan Muda, ia berkuasa dari tahun 1604-1607. Pada masa inilah, Portugis melakukan penyerangan karena ingin melakukan monopoli perdagangan di Aceh, tapi usaha ini tidak berhasil. Setelah Sultan Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Muda dari tahun 1607-1636, kerajaan Aceh mengalami kejayaan dalam perdagangan. Banyak terjadi penaklukan di wilayah yang berdekatan dengan Aceh seperti Deli (1612), Bintan (1614), Kampar, Pariaman, Minangkabau, Perak, Pahang dan Kedah (1615- 1619). Gejala kemunduran Kerajaan Aceh muncul saat Sultan Iskandar Muda digantikan oleh Sultan Iskandar Thani (Sultan Iskandar Sani) yang memerintah tahun 1637-1642. Iskandar Sani adalah menantu Iskandar Muda. Tak seperti mertuanya, ia lebih mementingkan pembangunan dalam negeri daripada ekspansi luar negeri. Dalam masa pemerintahannnya yang singkat, empat tahun, Aceh berada dalam keadaan damai dan sejahtera, hukum syariat Islam ditegakkan, dan hubungan dengan kerajaan-kerajaan bawahan dilakukan tanpa tekanan politik ataupun militer. Pada masa Iskandar Sani ini, ilmu pengetahuan tentang Islam juga berkembang pesat. Kemajuan ini didukung oleh kehadiran Nuruddin ar-Raniri, seorang pemimpin tarekat dari Gujarat, India. Nuruddin menjalin hubungan yang erat dengan Sultan Iskandar Sani. Maka dari itu, ia kemudian diangkat menjadi mufti (penasehat) Sultan. Pada masa ini terjadi pertikaian antara golongan bangsawan (Teuku) dengan golongan agama (Teungku). Seusai Iskandar Sani, yang memerintah Aceh berikutnya adalah empat orang sultanah (sultan perempuan) berturut-turut. Sultanah yang pertama adalah Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675), janda Iskandar Sani. Kemudian berturut-turut adalah Sri Ratu Naqiyatuddin Nurul Alam, Inayat Syah, dan Kamalat Syah. Pada masa Sultanah Kamalat Syah ini turun fatwa dari Mekah yang melarang Aceh dipimpin oleh kaum wanita. Pada 1699 pemerintahan Aceh pun dipegang oleh kaum pria kembali. Ketika Sultanah Safiatuddin Tajul Alam 154


berkuasa, di Aceh tengah berkembang Tarekat Syattariah yang dibawa oleh Abdur Rauf Singkel. Sekembalinya dari Mekah tahun 1662, ia menjalin hubungan dengan Sultanah, dan kemudian menjadi mufti Kerajaan Aceh. Abdur Rauf Singkel dikenal sebagai penulis. Ia menulis buku tafsir Al-Quran dalam bahasa Melayu, berjudul Tarjuman al-Mustafid (Terjemahan Pemberi Faedah), buku tafsir pertama berbahasa Melayu yang ditulis di Indonesia. Pada tahun 1816, sultan Aceh yang bernama Saiful Alam bertikai dengan Jawharul Alam Aminuddin. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gubernur Jenderal asal Inggris, Thomas Stanford Raffles yang ingin menguasai Aceh yang belum pernah ditundukkan oleh Belanda. Ketika itu pemerintahan Hindia Belanda yang menguasai Indonesia tengah digantikan oleh pemerintahan Inggris. Pada tanggal 22 April 1818, Raffles yang ketika itu berkedudukan di Bengkulu, mengadakan perjanjian dagang dengan Aminuddin. Berkat bantuan pasukan Inggris akhirnya Aminuddin menjadi sultan Aceh pada tahun 1816, menggantikan Sultan Saiful Alam. Pada tahun 1824, pihak Inggris dan Belanda mengadakan perjanjian di London, Inggris. Traktat London ini berisikan bahwa Inggris dan Belanda tak boleh mengadakan praktik kolonialisme di Aceh. Namun, pada 1871, berdasarkan keputusan Traktat Sumatera, Belanda kemudian berhak memperluas wilayah jajahannya ke Aceh. Dua tahun kemudian, tahun 1873, Belanda menyerbu Kerajaan Aceh. Alasan Belanda adalah karena Aceh selalu melindungi para pembajak laut. Sejak saat itu, Aceh terus terlibat peperangan dengan Belanda. Lahirlah pahlawan-pahlawan tangguh dari Aceh, pria-wanita, di antaranya Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Panglima Polim. Perang Aceh ini baru berhenti pada tahun 1912 setelah Belanda mengetahui taktik perang orang-orang Aceh. Runtuhlah Kerajaan Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, yang telah berdiri selama tiga abad lebih. Kemenangan Belanda ini berkat bantuan Dr. Snouck Horgronje, yang sebelumnya menyamar sebagai seorang muslim di Aceh. Pada tahun 1945 Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia. d) Kerajaan Pagaruyung Gambar. Istano Basa Pagaruyung (Foto: Istimewa) Kesultanan Pagaruyung merupakan kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Sumatera Barat. Diketahui, kerajaan ini sebelumnya adalah bagian dari kerajaan 155


Malayapura pimpinan Adityawarman. Tetapi tidak diketahui dengan pasti kapan berdirinya Pagaruyung karena masih terbatasnya sumber yang ditemukan untuk menjelaskan kerajaan tersebut. Namun dalam prasasti Batusangkar disebutkan bahwa Adityawarman pernah menjadi raja di Pagaruyung. Terdapat beberapa sumber yang mengatakan bahwa ketika Adityawarman memerintah di sana, ia memindahkan pusat pemerintahan Pagaruyung ke wilayah pedalaman Minangkabau. Pengaruh Islam di Pagaruyung diperkirakan berkembang sekitar abad ke-16 oleh para musafir dan ahli agama yang singgah ke wilayah Aceh dan Malaka. Orang yang dianggap pertama kali menyebarkan Islam di Pagaruyung adalah Syaikh Bruhanuddin Ulakan, salah satu murid dari ulama Aceh bernama Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala). Pada abad ke-17, kerajaan Pagaruyung yang sebelumnya bercorak agama Hindu, berubah menjadi bercorak Islam dan menggantinya menjadi kesultanan Pagaruyung. Menurut Tambo adat Minangkabau, raja Pagaruyung yang pertama kali memeluk agama Islam adalah Sultan Alif. Dengan masuknya agama Islam ke Pagaruyung, maka segala bentuk peraturan yang bertentangan dengan ajaran Islam mulai dihilangkan dan diganti dengan aturan Islam. Walaupun masih ada sebagaian kebiasaan yang tidak dapat dihilangkan, tetapi tidak bertentangan dengan agama Islam. Kesultanan Pagaruyung mulai mengalami kemunduran setalah terjadi perang saudara antara kaum Padri (Ulama) dengan orang-orang yang masih mengingkan pemerintahan sesaui dengan adat istiadat sebelumnya. Perang yang melibatkan dua kelompok masyarakat itu terjadi cukup lama, terhitung sejak tahun 1803 sampai 1838. Pemicu utama dari peperangan tersebut adalah adanya penolakan dari sebagain masyarakat terhadap aturan yang dibuat oleh para ulama. Masih banyak masyarakat yang melakukan kebiasaan lama yang bertentangan dengan agama Islam, seperti perjudian, minuman keras, penggunaan madat, tidak dilaksanakannya kewajiban dalam Islam, dan lain sebagainya. Kekuasaan raja di Pagaruyung sudah sangat lemah, banyak wilayah kekuasaan Pagaruyung yang jatuh ke tangan Aceh, dan banyak masyarakat yang menolak segala peraturan yang dibuat oleh raja. Kaum Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman melakukan penyerangan ke Kerajaan Pagaruyung pada 1815. Sultan Arifin Muningsyah dan anggota keluarga kerajaan terpaksa menyelamatkan diri dari ibukota kerajaan ke wilayah Lubuk Jambi. Kerajaan pun semakin terdesak oleh serangan yang dilakukan kaum Padri, sehingga mereka meminta bantuan Belanda. Pada 10 Februari 1821, Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah melakukan perjanjian dengan pemerintah Belanda untuk bekerja sama melawan kaum Padri dan mengambil alih kembali kerajaan Pagaruyung. Namun perjanjian itu dianggap oleh Belanda sebagai tanda penyerahan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Setelah pasukan Belanda berhasil memukul mundur kaum Padri dari wilayah Pagaruyung, pemerintah Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan wilayah Pagaruyung dan menempatkan raja sebagai bawahannya. Kemudian Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah meminta bantua kaum Padri untuk menyingkirkan Belanda, tetapi upaya tersebut gagal dan ia dibuang ke wilayah Batavia dengan tuduhan penghianatan terhadap perjanjian yang telah dibuat. e) Kearajaan Siak Sri Inderapura 156


Kesultanan Siak Sri Inderapura adalah sebuah Kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Kesultanan ini didirikan di Buantan oleh Raja Kecil dari Pagaruyung bergelar Sultan Abdul Jalil pada tahun 1723, setelah sebelumnya terlibat dalam perebutan tahta Johor. Dalam perkembangannya, Kesultanan Siak muncul sebagai sebuah kerajaan bahari yang kuat. Istana Kerajaan Siak (Sumber: wikipedia.org) Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ. Sebelum kerajaan Siak berdiri, daerah Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan diangkat oleh Sultan Johor. Namun hampir 100 tahun daerah ini tidak ada yang memerintah. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut. Pada awal tahun 1699 Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II mangkat dibunuh Magat Sri Rama, istrinya yang bernama Encik Pong pada waktu itu sedang hamil dilarikan ke Singapura, terus ke Jambi. Dalam perjalanan itu lahirlah Raja Kecik dan kemudian dibesarkan di Kerajaan Pagaruyung Minangkabau. Sementara itu pucuk pimpinan Kerajaan Johor diduduki oleh Datuk Bendahara tun Habib yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Setelah Raja Kecik dewasa, pada tahun 1717 Raja Kecik berhasil merebut tahta Johor. Tetapi tahun 1722 Kerajaan Johor tersebut direbut kembali oleh Tengku Sulaiman ipar Raja Kecik yang merupakan putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Dalam merebut Kerajaan Johor ini, Tengku Sulaiman dibantu oleh beberapa bangsawan Bugis. Terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kerugian yang cukup besar pada kedua belah pihak, maka akhirnya masing-masing pihak mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri ke Pahang, dan Raja Kecik mengundurkan diri ke Bintan dan seterusnya mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan. Namun, pusat Kerajaan Siak tidak menetap di Buantan. Pusat kerajaan kemudian selalu berpindah-pindah dari kota Buantan pindah ke Mempura, pindah kemudian ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura. Semasa pemerintahan Sultan Ismail dengan Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864) pusat Kerajaan Siak dipindahkan ke kota Siak Sri Indrapura dan akhirnya menetap disana sampai akhirnya masa pemerintahan Sultan Siak terakhir. Pada masa Sultan ke-11 yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin yang memerintah pada tahun 1889-1908, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Dan masa itu pula beliau berkesempatan melawat ke Eropa yaitu Jerman dan Belanda. Setelah wafat, beliau digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia yaitu Tengku Sulung Syarif Kasim dan baru pada tahun 1915 beliau ditabalkan sebagai Sultan Siak ke-12 dengan gelar Assayaidis Syarif Kasim Abdul Jalil Syaifuddin dan terakhir terkenal dengan nama Sultan Syarif Kasim Tsani (Sultan Syarif Kasim II). Bersamaan dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak 157


dan tak lama kemudian beliau berangkat ke Jawa menemui Bung Karno dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia sambil menyerahkan Mahkota Kerajaan serta uang sebesar Sepuluh Ribu Gulden. Dan sejak itu beliau meninggalkan Siak dan bermukim di Jakarta.Baru pada tahun 1960 kembali ke Siak dan mangkat di Rumbai pada tahun 1968. Beliau tidak meninggalkan keturunan baik dari Permaisuri Pertama Tengku Agung maupun dari Permaisuri Kedua Tengku Maharatu. Pada tahun 1997 Sultan Syarif Kasim II mendapat gelar Kehormatan Kepahlawanan sebagai seorang Pahlawan Nasional Republik Indonesia.Makam Sultan Syarif Kasim II terletak di tengah Kota Siak Sri Indrapura tepatnya di samping Mesjid Sultan yaitu Mesjid Syahabuddin. Diawal Pemerintahan Republik Indonesia, Kabupaten Siak ini merupakan Wilayah Kewedanan Siak di bawah Kabupaten Bengkalis yang kemudian berubah status menjadi Kecamatan Siak. Barulah pada tahun 1999 berubah menjadi Kabupaten Siak dengan ibukotanya Siak Sri Indrapura berdasarkan UU No. 53 Tahun 1999. 158


2. Kerajaan Islam di Jawa a) Keajaan Demak Kerajaan Demak adalah kesultanan islam pertama di Jawa yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit, dan terpecah menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Raden Patah dianggap sebagai pendiri dari kerajaan Demak dan merupakan orang yang berhubungan langsung dengan kerajaan Majapahit. Salah satu bukti menyebutkan bahwa beliau adalah putra dari raja Brawijaya V dari Majapahit (1468-1478). Beliau memerintah dari tahun 1500-1518. Di bawah pemerintahnya, Demak mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal itu 159


disebabkan Demak memiliki daerah pertanian yang sangat luas sebagai penghasil bahan makanan terutama beras. Oleh karena itu, Demak menjadi kerajaan agrarismaritim. Wilayah kekuasaan Demak tak hanya sebatas pantai utara Jawa, seperti Semarang, Jepara, Tuban, dan Gresik tapi hingga ke Jambi dan Palembang di Sumatera timur. Kerajaan Demak dikenal sebagai kerajaan terkuat di Jawa pada awal abad ke-16. Seperti yang telah disebutkan, Sultan Trenggono adalah sosok yang membawa kerajaan ini ke masa kejayaan. Bukan cuma Sunda Kelapa, wilayah-wilayah lain seperti Tuban, Madiun, Surabaya, Pasuruan, Malang, dan kerajaan Hindu terakhir di Jawa, Blambangan, berhasil dikuasai. Sultan Trenggono juga melakukan pernikahan politik lewat perjodohan Pangeran Hadiri dengan puterinya; Pangeran Paserahan dengan putrinya (lalu memerintah di Cirebon); Fatahillah dengan adiknya; Joko Tingkir dengan adiknya. Sultan Trenggono gugur selepas pertempuran menaklukkan Pasuruan pada 1946 dan posisinya lantas digantikan Sunan Prawoto. Kerajaan ini bertahan sampai tahun 1546 setelah terjadi perebutan kekuasaan antara Arya Panangsang dengan Adiwijoyo. Sunan Kudus ulama yang besar rupanya memihak kepada Arya Panangsang karena memang dia yang berhak melanjutkan kesultanan. Akan tetapi Arya Panangsang dibunuh oleh Adiwijoyo (Joko Tingkir). Dengan tindakan ini berakhirlah Kerajaan Demak dan Joko Tingkir memindahkannya ke Pajang. Sejumlah peninggalan sejarah menjadi bukti dari keberadaan Kerajaan Demak. Sebagian di antaranya masih berdiri dan disimpan sampai sekarang, antara lain: • Masjid Agung Demak. Bangunan ini adalah peninggalan yang paling terkenal dan menjadi saksi bisu kejayaan Kerajaan Demak. Masjid Agung Demak sempat mengalami beberapa kali renovasi dan dikenal akan keunikan gaya arsitekturnya yang sarat nilai filosofi; • Pintu Bledek. Kata bledek yang berarti petir membuat peninggalan ini kerap disebut sebagai Pintu Petir. Adalah Ki Ageng Solo yang membuatnya pada 1466 sebagai pintu utama dari Masjid Agung Demak. Masjid Agung Demak (Sumber: helmiaira.wordpress.com) 160


• Soko Tatal atau Soko Guru. Soko Guru merupakan tiang berdiameter 1 meter yang berperan sebagai penyangga masjid. Ada empat Soko Guru yang menurut kepercayaan dibuat Kanjeng Sunan Kalijaga untuk Masjid Agung Demak; • Dampar Kencana. Dampar Kencana merupakan singgasana para raja/sultan yang pernah memimpin Kerajaan Demak. b) Kerajaan Pajang Kerajaan Pajang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Islam Demak. Kerajaan Pajang didirikan oleh Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging yakni di lereng Gunung Merapi. Ia adalah menantu Sultan Trenggono yang diberi kekuasaan di Pajang. Pasca membunuh dan merebut kekusaan Demak dari Aria Penangsang, seluruh kekuasaan dan benda pusaka Demak dipindahkan ke Pajang. Jaka Tingkir mendapat gelar Sultan Hadiwijaya dan sekaligus menjadi raja pertama Kerajaan Pajang. Peralihan kekuasaan politik dari keturunan Sultan Demak kepada Sultan Pajang Adiwijoyo diikuti oleh perubahan pusat pemerintahan dari pinggir laut yang bersifat maritim, ke pedalaman yang bersifat pertanian (agraris). Islam yang semula berpusat di pesisir utara Jawa (Demak) dipindahkan ke pedalaman membawa pengaruh yang besar dalam penyebarannya. Selain Islam yang mengalami perkembangan, politik juga mengalami perkembangan. Pada masanya, Jaka Tingkir memperluas kekuasaannya ke arah timur hingga Madiun di area pedalaman tepi aliran sungai Bengaawan Solo. Pada tahun 1554 Jaka Tingkir mampu menduduki Blora dan Kediri pada 1577. Karena Kerajaan Pajang dengan raja-raja di Jawa Timur sudah bersahabat, pada tahun 1581 Jaka Tingkir mendapat pengakuan sebagai sultan Islam oleh raja-raja penting di Jawa Timur. Jaka Tingkir memimpin hingga tahun 1587 dan meninggal pada tahun yang sama. Pasca meningglnya sultan Pajang tersebut, estafet kekuasaan jatuh pada Aria Pengiri yakni menantunya yang juga adalah anak dari Sultan Prawoto. Aria Pengiri pada saat itu mendapat kekuasaan di Demak bersama para pejabat bawaannya pindah ke Pajang untuk menjadi pengganti Jaka Tingkir, sementara anak dari Jaka Tingkir yakni Pangeran Benowo mendapat kekuasaan di Jipang yang sekarang bernama Bojonegoro. 161


Pangeran Benowo merasa tidak puas dengan hasil yang diterimanya yakni menjadi penguasa di Jipang, alhasil Pangeran Benowo meminta bantuan Senopati pemimpin Mataram untuk mengusir raja baru di Pajang tersebut. Hingga akhirnya pada tahun 1588 Kerajaan Pajang mampu dikuasinya. Sebagai ungkapan terimakasih, Pangeran Benowo menawarkan untuk menyerahkan haknya yakni warisan dari sang ayah untuk Senopati. Tetapi, Senopati ingin tetap tinggal di Mataram, akhirnya Senopati hanya meminta pusaka kerajaan saja. Kemudian Pangeran Benowo dikukuhkan menjadi raja Pajang dan Kerajaan Pajang sepakat berada di dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram. Kerajaan Pajang berakhir tahun 1618. Kerajaan waktu itu memberontak terhadap Mataram yang ketika itu di bawah Sultan Agung namun akhirnya Kerajaan Pajang dihancurkan. Masjid Laweyan merupakan salah satu peninggalan dari Kerajaan Pajang 162


c) Kerajaan Baten Sebelum abad 13, wilayah Banten adalah tempat yang sepi dari jalur perdagangan. Pasalnya, Selat Sunda dikala itu bukan termasuk jalur perdagangan. Laut Jawa lah yang memiliki peranan penting dalam jalur pelayaran dan perdagangan. Lalu, semenjak penyebaran Islam masuk di wilayah Jawa, Banten mulai agak berarti. Hingga awal abad ke 16, wilayah Banten masih beragama hindu dan masih menjadi bagian wilayah Pajajaran yang berpusat di Bogor. Bahkan, Kerajaan Pajajaran telah melakukan kesepakatan dengan Portugis. Sehingga, Portugis bisa mendirikan wilayah dagang dan benteng di Sunda Kelapa. Pada tahun 1526, Sultan Trenggono menugaskan anaknya, Fattahilla untuk menaklukan wilayah Pajajaran sekaligus memperluas Kerajaan Demak. Alhasil, pasukan Fatahilla berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Dari situlah, nama Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta yang berarti kota kemenangan. Hanya dalam waktu singkat, seluruh kawasan pantai utara dan Jawa Barat berhasil diduduki oleh Fatahilla sehingga agama islam bisa menyebar di wilayah Jawa Barat. Dari situlah, Fatahilla diberi gelar nama Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1552, ditunjuklah putra Sunan Gunung Jati sebagai penguasa Banten. Sedangkan, putra yang lainnya, yakni Pasarean ditunjuk sebagai raja di Cirebon. Jadi pada awalnya, Kerajaan Banten merupakan wilayah kekuasaan Demak. Namun setelah tahun 1552, Maulana Hassanudin melepaskan diri dari bayang-bayang Kerajaan Demak dan menjadi kerajaan yang mandiri. 163


Masa kemunduran Kerajaan Banten terjadi saat pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa yang mengalami perselisihan dengan anaknya, Sultan Haji atas perebutan kekuasan. Hal ini yang mulai dimanfaatkan oleh VOC. VOC lebih memihak pada Sultan Haji. Sehingga Sultan Ageng harus pergi ke arah pedalaman Sunda bersama kedua anaknya, Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Tetapi, pada tahun 1963, Sultan Ageng berhasil ditangkap dan dipenjara di Batavia. Dilanjutkan dengan Syekh Yusuf pada 14 Desember dan Pangeran Purbaya yang menyerahkan diri. Atas kemenangannya, Sultan Haji menghadiahkan wilayah Lampung kepada VOC. Setelah wafatnya, Sultan Haji, Banten sepenuhnya dikuasai oleh Hindia Belanda. Sehingga pengangkatan Sultan harus mendapat persetujuan Gubenur Jendral Hindia Belanda. Akhirnya, Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya dipilih sebagai pengganti Sultan Haji. Kemudian digantikan oleh Sultan Abdul Mahasin Muhammad Zainal Abidin. Penyerang Banten terjadi saat pemerintahan Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin. Penyerang tersebut terjadi karena Sultan menolak memindahkan ibukota Banten ke Anyer. Hingga tahun 1813, Kerajaan Banten runtuh dan dipegang oleh Inggris. d) Kerajaan Mataram Islam Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Jawa yang didirikan oleh Sutawijaya (Seopati), keturunan dari Ki Ageng Pemanahan yang mendapat hadiah sebidang tanah dari raja Pajang, Hadiwijaya, atas jasanya. Sepeninggal Sutawijaya kepemimpinannya digantikan oleh anaknya yang bernama Seda Ing Krapyak atau nama lainnya yakni Mas Jolang hingga tahun 1613. Sepeninggal Sultan Seda Ing Krapyak, kepemimpinan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Agung dan pada tahun 1619 seluruh wilayah Jawa Timur mampu ia kuasai dan Mataram mencapai puncak kejayaan. Sultan Agung diberi gelar sebagai Sultan Agung Hanyokrokusuma Sayidin Panataagama Khalifatullah Ing Tanah Jawi. 164


Masa keruntuhan Kerajaan Mataram sebenarnya mulai terlihat sejak kegagalannya mengusir VOC dari Batavia. Tapi keruntuhan tersebut terlihat jelas ketika Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered di tahun 1647. Di masa pemerintahan Amangkurat I, Kesultanan Mataram sering mengalami pemberontakan. Pemberontakan terbesar yang dipimpin oleh Trunajaya akhirnya memaksa Amangkurat I untuk berkoalisi dengan VOC. Pengganti Amangkurat I, yakni Amangkurat II juga kurang disukai oleh kalangan istana karena begitu tunduk oleh VOC. Hal ini memicu pemberontakan yang memaksa keraton dipindahkan ke Kartasura karena keraton yang lama dianggap sudah tercemar. Setelah Amangkurat II wafat, kekuasaan diturunkan ke Amangkurat III, Amangkurat IV dan Pakubuwana II. Tak seperti pendahulunya yang tunduk pada VOC, Amangkurat III tak tunduk pada VOC. Hal ini membuat VOC geram dan menobatkan Pakubuwana I sebagai raja. Adanya dua orang raja memicu perpecahan internal di kalangan keraton. Amangkurat III kemudian melakukan pemberontakan dan ditangkap di Batavia. Kekacauan politik baru bisa diredakan pada masa Pakubuwana III yang membagi wilayah Mataram menjadi dua yakni Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Peta Kerajaan Mataram setelah dibagi dalam perjanjian Giyanti dan Salatiga Peninggalan kerajaan ini meninggalkan berbagai macam yaitu sebagai berikut : 165


▪ Sastra Ghending karya dari Sultan Agung, ▪ Tahun Saka, ▪ Kerajinan Perak, ▪ Kalang Obong, yang merupakan tradisi kematian orang kalang, yakni dengan membakar peninggalan orang yang meninggal. ▪ Kue kipo yang merupakan makanan khas masyarakat kotagede, makanan ini telah ada sejak jaman kerajaan. ▪ Pertapaan Kembang Lampir yang merupakan tempat Ki Ageng Pemanahan pernah bertapa untuk mendapatkan wahyu kerajaan Mataram ▪ Segara Wana serta Syuh Brata yang merupakan meriam- meriam yang diberikan oleh Belanda atas perjanjiannya dengan kerjaan Mataram saat kepemimpinan Sultan Agung. ▪ Batu Datar yang berada di Lipura letaknya tidak jauh di barat daya kota Yogyakarta ▪ Pakaian Kiai Gundil atau yang lebih dikenal dengan Kiai Antakusuma ▪ Masjid Agung Negara yang dibangun pada tahun 1763 oleh PB III. ▪ Masjid Jami Pakuncen yang didirikan oleh sunan Amangkurat I ▪ Gapura Makam Kota Gede, yag merupakan perpaduan dari corak hindu dan islam. ▪ Masjid yang berada di Makam Kota Gede. ▪ Makam dari Raja- Raja Mataram yang berlokasi di Imogiri 166


e) Kesultanan Cirebon Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan “jembatan” antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda. Perkiraan kehadiran Islam di kota Cirebon menurut sumber lokal Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari karya pangeran Arya Cerbon pada 1720 M, dikatakan bahwa Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon pada 1470 M, dan mengajarkan Islam di Gunung Sembung, bersama-sama Haji Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabumi. Syarif hidayatullah menikah dengan Pakungwati dan pada 1479 ia meggantikan mertuanya sebagai Penguasa Cirebon, lalu endirikan Keraton Sultan Kasepuhan. Syarif Hidayatullah terkenal juga dengan gelar Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati. Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati Islam makin diintensifkan dengan pendirian Masjid Cipta Rasa di sisi barat alun-alun Keraton Pakungwati. Islam diluaskan ke berbagai daerah, antara lain, ke Kuingan, Talaga, dan Galu sekitar 1528-1530, dan ke Banten sekitar 1525-1526 bersama putranya Maulana 167


Hasanuddin. sekitar 1527 ia mendorong menantunya, paglima yag dikirimkan Pangeran Trenggana dari Demak untuk menyerang Kalapa yang masih dikuasi Kerajaan Sunda. Ketika itu Kerajaan Sunda sudah mengadakan hubugan dengan Portugis dari Malaka sejak 1522. Sunan Gunung Jati Wafat pada 1568, ia dimakamkan di Bukit Sembung atau yang dikenal dengan makam Gunung Jati. Penggantinya di Cirebon ialah buyutnya yang kelak dikenal sebagai Panembahan Ratu. Tahun 1677 Cirebon terbagi, Pangeran Martawijaya dinobatkan sebagai Sultan Sepuh bergelar Sultan Raja Syamsuddin, Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Anom bergelar Sultan Muhammad Badriddin. Sultan Sepuh menempati Kraton Pakungwati dan Sultan Anom membangun kraton di bekas rumah Pangeran Cakrabuwana. Sedangkan Sultan Cerbon berkedudukan sebagai wakil Sultan Sepuh. Hingga sekarang ini di Cirebon dikenal terdapat tiga sultan yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Sultan Cirebon. Keberadaan ketiga sultan juga ditandai dengan adanya keraton yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Di luar ketiga kesultanan tersebut terdapat satu keraton yang terlepas dari perhatian. Keraton tersebut adalah Keraton Gebang. Menelusuri Cirebon dan kawasan pantai utara Jawa Barat memang akan banyak menjumpai tinggalan yang berkaitan dengan sejarah Cirebon dan Islamisasi Jawa Barat. Beberapa bangunan sudah banyak dikenal masyarakat seperti Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, Taman Sunyaragi, serta kompleks makam Gunung Sembung dan Gunung Jati. 168


3. Kerajaan Islam di Kalimantan a) Kesultanan Paser (yang sebelumnya bernama Kerajaan Sadurangas) adalah sebuah kerajaan yang berdiri pada tahun 1516 dan dipimpin oleh seorang wanita (Ratu I) yang dinamakan Putri Di Dalam Petung. Wilayah kekuasaan kerajaan Sadurangas meliputi Kabupaten Paser yang ada sekarang, ditambah dengan Kabupaten Penajam Paser Utara, Balikpapan dan Pamukan. Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Paser 30.000 jiwa. b) Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin Berdiri 1520, masuk Islam 24 September 1526, dihapuskan Belanda 11 Juni 1860, pemerintahan darurat/pelarian berakhir 24 Januari 1905) adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke Martapura dan sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi. Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan. 169


Pada akhir abad ke-15, Kalimantan Selatan masih di bawah pimpinan Kerajaan Daha. Pada masa pemerintahan Raja Sukarama (raja keempat), terjadi konflik perebutan tahta Nagara Daha antara dua orang anaknya yaitu Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. namun, Raja Sukarama justru berwasiat agar kelak pengganti tahtanya ialah Pangeran Samudera, anak dari Putri Galuh. Terlanjur berambisi menjadi penguasa, Pangeran Tumenggung tidak terima dengan wasiat tersebut. Ia sangat memusuhi Pangeran Samudera. Merasa keselamatannya terancam, Pangeran Samudera kemudian memilih meninggalkan istana dan menyamar menjadi nelayan di pesisir Pantai Serapat, Kuin, Belandian dan Banjar. Ketika Pangeran Samudera telah dewasa, ia bertemu dengan Patih Masih. Seorang penguasa Bandar yang telah memeluk Islam. Setelah berunding dengan Patih Balit, Patih Balitung, dan Patih Kuin mereka bersepakat mengangkat Pangeran Samudera menjadi Raja Banjar pada tahun 1526 di Banjarmasin. Pengangkatan menjadi Raja Banjar menjadi titik balik perjuangan Pangeran Samudera. Ia berhasil membangun kekuatan politik baru sebagai tandingan untuk memperoleh kembali haknya sebagai Raja di Nagara Daha. Sementara itu, Pangeran Tumenggung yang mendengar kabar ada kerajaan baru yang berdiri itu, menjadi marah dan tak mau tinggal diam. Ia segera berencana mengirim armada perang ke Sungai Barito dan ujung Pulau Alalak untuk menyerang Pangeran Samudera. Menghadapi kenyataan seperti itu, Pangeran Samudera sadar kekuatan armadanya masih belum mampu melawan pamannya. Atas saran Patih Masih, Ia kemudian memutuskan untuk meminta bantuan kepada Kerajaan Demak yang saat itu dipimpin oleh Sultan Trenggana. Kerajaan Demak mau membantu, dengan syarat Raja Banjar beserta rakyatnya bersedia memeluk agama Islam. Pangeran Samudera pun menerima syarat tersebut dan Kerajaan Demak mengirimkan seribu pasukan bersenjata beserta penghulu bernama Khatib Dayyan untuk mengislamkan Kerajaan Banjar. Dengan bantuan tersebut, Kerajaan Daha dapat dikalahkan dan Pangeran Tumenggung mengakui Pangeran Samudera sebagai Raja Banjar. Sejak saat itu, Kesultanan Banjar berdiri dan daerah-daerah lain mulai tunduk. Pangeran Samudera pun kemudian bergelar menjadi Sultan Suriansyah. Banjarmasin yang saat itu merupakan Ibukota kerajaan berkembang menjadi bandar perdagangan yang besar. Didukung letaknya yang strategis serta sumber daya alam yang sangat kaya, membuat para pedagang dari berbagai suku datang untuk mencari barang dagangan. Mulai dari lada hitam, rotan, dammar, emas, intan, madu dan kulit binatang. Khususnya lada hitam, yang saat itu memiliki nilai tinggi di pasaran internasional. Nama Banjarmasin mulai mahsyur. Belanda pun mulai mengirimkan ekspedisi untuk menjali hubungan dagang dengan Kesultanan Banjar pada tahun 1603 Masehi. Sayang, kesan buruk yang diterima pedagang Banjar membuat usaha Belanda itu gagal. Belanda menjadi sangat berambisi untuk menjalin hubungan dagang dan menguasai Kesultanan Banjar. Berkali-kali ekspedisi yang dikirimkan Belanda pada tahun 1606 dan 1612 selalu gagal menjalin hubungan dagang. Meski Belanda sempat berhasil meluluhlantakkan pusat pemerintahan Kesultanan Banjar hingga harus memindahkan ibukotanya ke Martapura. Ambisi Belanda mulai menemukan titik temu ketika terjadi konflik perebutan tahta antara Pangeran Aminullah dengan Hamidullah. Melihat peluang untuk 170


menanamkan pengaruh, Belanda mendekati Sultan Tamjidillah I untuk memberikan bantuan. Berkatnya, Sultan Tamjidillah I berhasil membuat Pangeran Aminullah keluar dari Istana Banjar. Atas bantuan dan jasanya, Belanda membuat Sultan Tamjidillah I menandatangani perjanjian perdagangan lada hitam pada tahun 1747 Masehi dan mendirikan kota di Tabanio. Seiring dengan semakin kuatnya cengkeraman kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Istana Banjar. Serta konflik perebutan kekuasaan antara Pangeran Hidayatullah, dan Pangeran Tamjidillah, membuat Belanda memiliki celah untuk menghapuskan kesultanan ini secara sepihak pada 11 Juni 1860. c) Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam (kepangeranan cabang Kesultanan Banjar) di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. d) Kerajaan Pagatan (1775-1908) adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Tanah Kusan atau daerah aliran sungai Kusan, sekarang wilayah ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Wilayah Tanah Kusan bertetangga dengan wilayah kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas negeri-negeri: Batu Licin, Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan). 171


e) Kesultanan Sambas adalah kesultanan yang terletak di wilayah pesisir utara Propinsi Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau Borneo (Kalimantan)dengan pusat pemerintahannya adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus dari kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau Kalimantan ini telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran "Nek" yaitu salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530 M) datang serombongan besar Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yang diperkirakan adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan diri dari Pulau Jawa (Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono. f) Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) merupakan kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai Lama dan berakhir pada 1960. Kemudian pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton. Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001. g) Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten Berau sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14 dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan Gunung Tabur. Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah ini termasuk dalam zuidooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, GouverneurGeneraal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8 h) Kesultanan Sambaliung adalah kesultanan hasil dari pemecahan Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. Sultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddin yang lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja Alam adalah keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma raja Berau pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati. Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan kadang-kadang menimbulkan 172


insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma. Raja Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan Sambaliung). i) Kesultanan Gunung Tabur (1820). Kesultanan Gunung Tabur adalah kerajaan yang merupakan hasil pemecahan dari Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. Kesultanan ini sekarang terletak dalam wilayah kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, provinsi Kalimantan Timur. j) Kesultanan Kadriah Pontianak Kesultanan Kardiyah Pontianak merupakan salah satu kesulatan Melayu yang didirikan oleh Sultan Syarif Abdulrrahman Alkadrie pada 1771. Sultan Syarif Abdulrrahman Alkadrie melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri Kerajaan Mempawah dan kedua oleh putri dari Kesultanan Banjar. Setelah menikah, Sultan Abdurrahman mencari tempat baru untuk dipimpin. Lalu, ia bersama sejumlah orang menaiki 14 perahu untuk memulai perjalanan dari Mempawah untuk menyusuri Sungai Kapuas. Rombongan Sultan Abdurrahman tiba di persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak pada 1771. Dia dan para rombongan kemudian membuka area hutan untuk jadi permukiman baru. Penyebaran agama Islam menjadi pondasi awal berdirinya pemerintahan Kesultanan Pontianak. Terbukti dari dibangunnya Masjid Jami di daerah baru itu. Selanjutnya, Sultan Abdurrahman membangun Istana Istana Kadriah. Sultan lalu mendapat pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada 1779. Sultan Abdurrahman bertekad untuk meneruskan jejak sang ayah, Habib Husein. Ayahnya merupakan Ulama Besar dari Tarim Hadramut Yaman. Habisb Husein melakukan perjalanan ke nusantara untuk menyebarkan agama Islam dengan cara berdakwah. Habib Husein memulai penyebaran Islam dari Aceh hingga ke Semarang. Habib Husein lalu berlayar ke Kerajaan Matan, Kalimantan Barat. Di sini, Habib Husein bertemu dengan Nyai Tua, istrinya. Lalu, Nyai Tua melahirkan Sultan Abdurrahman. Tiga tahun menetap di Matan, Habib Husein keluarga pindah ke Kerajaan Mempawah yang dipimpin oleh Penembahan Adijaya, anak dari Opu Daeng Manambon. Mereka bersama-sama melanjutkan dakwah syiar Islam. Berbekal pengalaman bersama ayahnya, Sultan Abdurrahman pun berkeinginan menyebarkan agama Islam. Sultan Abdurrahman pun dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dalam membuat keputusan. Sultan Abdurrahman lalu membangun beberapa permukiman yang berada di sekitar Masjid Jami. Permukiman tersebut di antaranya Kampoong Dalam, Kampoong Bugis, Kampoong Tambelan Raja dan Kampoong Banser. Kampungkampung ini dikenal sangat kental dengan nilai-nilai Islam, termasuk dalam budaya dan aktivitas yang dijalankan masyarakat di sana. Pada 1808, Sultan Abdurrahman wafat dan dimakamkan di Batu Layang. Kepemimpinan dilanjutkan ke anak-anak sultan. Terakhir, Kesultanan Pontianak dipimpin oleh Syarif Hamid dan diberi gelar Sultan Syarif Hamid atau Sultan Hamid II. Selepas kemerdekaan pada 1945, atas prakarsa Sultan Hamid II, Kesultanan Pontianak dan kesultanan Melayu lainnya di Kalimantan Barat untuk bergabung 173


dengan Republik Indonesia Serikat. Setelah Sultan Hamid II wafat, Kesultanan Pontianak sempat tak dipimpin oleh sultan hingga 25 tahun lamanya. Hingga pada 29 Januari 2001, seorang bangsawan senior Syarifah Khadijah Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriah Kesultanan Pontianak. Tujuan kehadiran Kerabat Muda adalah untuk menjaga dan melestarikan tradisi nilai budaya Melayu Pontianak hingga di masa yang akan datang. Gambar: Keraton Kadariah Pontianak k) Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah kerajaan yang memerintah Suku Tidung di utara Kalimantan Timur, yang berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu. l) Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958). 174


4. Kerajaan Islam di Sulawesi a)Kesultanan Buton Kesultanan Buton merupakan kerajaan Islam yang terdapat di Sulawesi Tenggara. Kerajaan ini sendiri telah berdiri cukup lama sebelum Islam menapaki tahan Sulawesi. Kerajaan ini muncul sekitar awal abad ke 14 Masehi. Awalnya, kerajaan yang satu ini bercorak Hindu Budha, namun karena perkembangan Islam yang cukup pesat di Sulawesi, kerajaan ini pun kemudian berubah menjadi kerajaan Islam. Kesultanan Buton ini menguasai sejumlah daerah di Kepulauan buton termasuk kawasan perairannya. Nama Buton sendiri memang sudah dikenal sejak zaman Majapahit. Bahkan kitab Negarakertagama dan sumpah yang diucapkan oleh Mahapatih Gajah Mada yang dikenal dengan Sumpah Palapa pun menyebuktna nama Buton berulang-ulang. Kesultanan ini masih tetap ada, sampai saat ini. b)Kesultanan Banggai Kerajaan Banggai sendiri adalah sebuah kerjaan Islam yang terdapat di Sulawesi. Letak tepatnya kerajaan ini berada di semenanjung timur Pulau Sulawesi dan Kepulauan Banggai. Kerajaan ini sendiri berdiri sesudah Islam masuk ke Sulawesi, atau pada abat ke 16 Masehi. Hingga saat ini, kerajaan Banggai masih tetap lestari. Kerjaan Banggai sebenarnya pernah mengalami masa keterpurukannya setelah kalah dari Majapahit dan menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Majahapit. Namun seiring berjalannya waktu, pengaruh Majapahit mulai runtuh. Hal ini terjadi seiring dengan perkembangan Islam di Sulawesi. Saat itu tiba, kerjaaan Banggai pun menjadi kerajaan independen yang bercorak Islam. c) Kerjaan Gowa Tallo Kerajaan Gowa Tallo atau ada juga yang menulisnya Goa dan Tallo adalah kerajaan yang berdiri pada tahun 1605 tepatnya di provinsi Sulawesi Selatan pada 175


saat ini. Pada awalnya dua kerajaan ini berdiri sendiri dipimpin masing-masing oleh Daeng Manrabia yang memimpin kerajaan Gowa dan Karaeng Matoaya memimpin kerajaan Tallo. Posisi kerajaan Gowa dan Tallo ini saling berdampingan dan terjadinya kesepakatan untuk menyatukan wilayah dua kerajaan ini setelah ditandai dengan masuknya ke agama Islam kedua pemimpin kerajaan tersebut. Sebagai rajanya adalah Daeng Manrabia kemudian Karaeng Matoaya sebagai Perdana Menterinya. Setelah memeluk agama Islam kedua pemimpin kerajaan Gowa Tallo yang memutuskan menyatukan wilayah ini mengganti namanya dengan Daeng Manrabia menjadi Sultan Alauddin dan Karaeng Matoaya berubah nama menjadi Sultan Abdullah. Kedua Sultan ini sangat dibenci VOC karena beragama Islam dan tidak mau menerima kapal dagang VOC di pelabuhan Gowa-Tallo. Setelah Sultan Alauddin wafat, digantikan oleh Sultan Muhamad Said yang tetap tidak mau berdamai dengan VOC yang licik dan rakus. Bahkan sampai masa kepemimpinan Sltan Hasanuddin putra dari Sultan Muhamad Said ini juga sangat gigih menentang Belanda atau VOC dan perseteruannya memuncak sehingga terjadilah perang Makassar pada tahun 1660. Dalam perang tersebut selain Sultan Hasanuddin melawan VOC, beliau melawan juga Aru Palaka yang melakukan pemberontakan karena dihasut dan diadu domba oleh Belanda. Sultan Hasanuddin yang dijuluki Belanda sebagai Ayam jantan dari Timur karena keberaniannya ini mengalami kekalahan dan dipaksa menanda tangani perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan Gowa Tallo. Raja-raja kerajaan Gowa Tallo mulai awal berdiri sampai yang terakhir terkenal gigih melawan VOC atau belanda sehingga VOC melakukan taktik politik Adu Domba antara Aru Palaka bangsawan dari Bone dengan kerajaan Gowa Tallo. Kerajaan Gowa Tallo atau Makassar mengalami kekalahan dan harus menanda tangani perjanjian Bongaya yang isinya: • VOC mendapatkan hak monopoli dagang di Makassar • Belanda bisa mendirikan benteng di Makasar bernama Rotterdam • Kota Makassar melepas Bone dan pulau di luar Makassar • Aru Palaka diakui menjadi Raja Bone. Kondisi politik yang tidak menguntungkan ini memuncak pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin karena selain dimusuhi oleh Belanda juga ada serangan dari sesamanya yaitu Aru Palaka. Kerajaan Gowa Tallo atau dikenal juga dengan kerajaan Makassar adalah kerjaan Maritim yang posisi wilayahnya sangat menguntungkan dalam hal perdagangan, nelayan juga pelayaran. Proses perdagangan di wilayah ini tergolong sangat pesat perkembangannya khususnya di Indonesia bagian timur. Penyebab yang membuat kerajaan Makassar atau Gowa Tallo ini menjadi pusat perdagangan yang pesat diantaranya adalah posisinya yang strategis, pelabuhan yang baik dan dikuasainya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 dan menyebabkan banyak pedagang seperti dari Portugis, Inggris juga Denmark pindah ke Indonesia bagian Timur. ADE’ ALOPING LOPING BICARANNA PABBALUE adalah hukum niaga dan pelayaran yang diberlakukan di pelabuhan kerajaan Makassar atau Gowa Tallo dan membuat perdagangan di wilayah ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Dalam mencukupi kebutuhan hidup dan kesejahteraan masyarakat dari kerajaan Gowa Tallo, mereka ada yang merantau ke luar daerah juga ada yang mata pencahariannya sebagai pedagang dan nelayan karena kerajaan ini dikenal juga dengan kerajaan Maritim. 176


Masyarakat di kerajaan Gowa Tallo ini selain kuat dalam berpegang teguh dengan ajaran agama Islam, mereka juga berpegang pada norma adat yang disebut PANGADAKKANG dan dianggap sakral juga dipatuhi. Gambar: Istana Balla Lampoa Gambar: Kompleks Makam Katangka terletak di area Masjid Katangka. Di makam ini, ada kuburan keluarga dan keturunan raja-raja Gowa, termasuk Sultan Hasanudin. Silsilah Raja Raja Kerajaan Gowa Tallo Berikut ini adalah nama raja raja yang memerintah kerajaan Goa Tallo atau kerajaan Makassar. Nama raja di bawah ini dimulai dari pertama kali kedua 177


kerajaan ini bersatu dan memeluk agama Islam tidak dimulai dari asal usul pendiri pertama kali kerajaan Gowa dan Tallo. 1. Sultan Alauddin (1591-1639 M) 2. Sultan Muhammad Said (1639-1653 M) 3. Sultan Hasanuddin (1653-1669 M) Sultan Hasanuddin mungkin saja nama yang tidak asing di telinga kita karena masuk dalam daftar pahlawan nasional Indonesia. Sultan Hasanuddin sangat terkenal dengan ketegasan dan keberaniannya dalam melawan VOC sehingga dijuluki dengan Ayam Jantan dari Timur. Karena disebabkan keteguhan hati dan keberaniannya dalam melawan Belanda, kemudian belanda mengeluarkan taktik Adu Domba yang menghasut Aru Palaka seorang Bangsawan Bone untuk menyerang kerajaan Gowa Tallo atau Makassar dengan dibantu oleh Belanda. 4. Raja Mapasomba (1669-1674 M) 5. Sultan Mohammad Ali (1674-1677 M) 6. Sultan Abdul Jalil (1677-1709 M) 7. Sultan Ismail (1709-1711 M) 8. Sultan Sirajuddin 9. Sultan Najamuddin 10. Sultan Sirajuddin (1735 M) 11. Sultan Abdul Chair (1735-1742 M) 12. Sultan Abdul Kudus (1742-1753 M) 13. Amas Madina Batara Gowa (1747-1795 M) 14. Daeng Riboko Arungmampu (1767-1769 M) 15. Sultan Zainuddin (1770-1778 M) 16. Karaeng Bontolangkasa (1778-1810 M) 17. Karaeng Lembang Parang (1816-1825 M) 18. Karaeng Katangka (1825-1826 M) 19. Sultan Abdul Kadir Moh Aidid (1826-1893 M) 20. Sultan Idris (1893-1895 M) 21. Sultan Husain 22. Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin (1936-1946 M) 23. Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1946-1978 M) Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653 – 1669 M) kerajaan Gowa Tallo dalam keadaan subur dan makmur mulai dari perdagangan, pelayaran, pertanian juga angkatan perang yang memadai. Pada masa kejayaan ini kekuasaan Gowa Tallo meliputi Ruwu, Wajo, Soppeng, Bone dan bahkan sampai ke Nusa Tenggara Barat. Sultan Hasanuddin ini sangat menentang penjajah dan sering memimpin sendiri pasukannya dalam melakukan pertempuran dengan VOC Belanda sehingga mendapat julukan dari Belanda atas keberaniannya tersebut sebagai Ayam Jantan dari Timur. Masa kejayaan yang dicapai pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin ini tidak disukai oleh Belanda dan karena keberaniannya dalam melawan penjajah dengan memimpin pasukannya sendiri, Belanda banyak mengalami kekalahan dan porak poranda di Maluku. Sehingga untuk mengalahkan kerajaan Makassar atau Gowa Tallo ini Belanda menerapkan politik Adu-domba dengan membenturkannya pada kaumnya sendiri yaitu kerajaan Bone yang dipimpin oleh Aru Palaka. Aru Palaka yang dibantu oleh VOC dapat mengalahkan Sultan Hasanuddin dan dipaksa untuk menanda tangani perjanjian Bongaya yang merugikan pihak Gowa Tallo. 178


Kerajaan sebesar dan seterkenal Gowa Tallo atau Makassar ini tentu saja memiliki jejak sejarah berupa peninggalan yang masih ada sampai sekarang ini. Berikut ini adalah beberapa peninggalan kerajaan Gowa Tallo tersebut: 1. Benteng Somba Opu Benteng ini berbentuk persegi empat yang terbuat dari batu bata yang memiliki ukuran bervariasi. Sebagian sisi dari benteng ini panjangnya kurang lebih ada 2 km dan tinggi temboknya 7 sampai 8 meter dengan tebal yang dimiliki oleh Benteng Somba Opu ini adalah 300 cm. Benteng Somba Opu ini terletak di Maccini Sombala, Kampung Sanrobone, Desa Bontoala, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa yang sampai saat ini bekas peninggalan kerajaan Gowa Tallo ini masih ada. 2. Kompleks Makam Raja raja Gowa Tallo Makam ini sudah digunakan mulai abad ke-17 sampai abad ke-19 yang masih berada di dalam benteng Tallo pada sudut sebelah timur laut. Komplek makam ini terletak di Kecamatan Tallo, Kota Madya Ujungpandang berada di pinggir sungai Tallo. 3. Ballak Lompoa Ri Gowa Pada tahun 1936 bangunan ini dibangun sebagai tempat kediaman raja juga sebagai tempat pemerintahan kerajaan. Sebelumnya juga ada tempat sebagai pusat pemerintahan sebelum Ballak Lompoa Ri Gowa ini dibangun yang letaknya tidak jauh dari tempat ini. 4. Masjid Katangka Masjid Katangka ini memiliki nama lain Masjid al-Hilal yang dibangun menggunakan bahan kayu Katangka yang merupakan masjid tertua di propinsi Sulawesi Selatan. Masjid yang dibangun pada tahun 1605 M ini berada di sebelah komplek makam Sultan Hasanuddin. 5. Fort Rotterdam Benteng ini dibangun di pinggir pantai sebelah barat dari kota Makasar saat ini dengan nama Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang). Nama asli dari benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang yang dibangun oleh raja Gowa ke-9 pada tahun 1545. Gambar: Benteng Fort Rotterdam dan Benteng Somba Opu 179


5. Kerajaan Islam di Maluku Wilayah Maluku merupakan wilayah yang meiliki arti penting bagi perdagangan rempah-rempah di Nusantara karena dari daerah inilah repah-repah berasal yang nanti menjadi alasan penting bagi kedatangan bangsa barat ke Nusantara. Masuknya Islam ke Maluku erat kaitannya dengan kegiatan perdagangan. Pada abad ke-15, para pedagang dan ulama dari Malaka dan Jawa menyebarkan Islam ke sana. Dari sini muncul empat kerajaan Islam di Maluku yang disebut Maluku Kie Raha (Maluku Empat Raja) yaitu Kesultanan Ternate yang dipimpin Sultan Zainal Abidin (1486-1500), Kesultanan Tidore yang dipimpin oleh Sultan Mansur, Kesultanan Jailolo yang dipimpin oleh Sultan Sarajati, dan Kesultanan Bacan yang dipimpin oleh Sultan Kaicil Buko. Keempat kerajaan ini bersaing menyebarkan pengaruhnya di wilayah Maluku. Namun Ternate menjadi kerajaan yang paling kuat, berkat perdagangan rempah-rempahnya yang membuat perekonomian di wilayah tersebut sangat maju. a) Kerajaan Ternate dan Tidore Peta kekuasan Ternate dan Tidore (sumber: https://www.gurupendidikan.co.id/) 180


Kerajaan Ternate dan Tidore yang terletak di sebelah Pulau Halmahera (Maluku Utara) adalah dua kerajaan yang memiliki peran yang menonjol dalam menghadapi kekuatan-kekuatan asing yang mencoba menguasai Maluku. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua kerajaan ini bersaing memperebutkan hegemoni politik di kawasan Maluku. Kerajaan Ternate dan Tidore merupakan daerah penghasil rempah-rempah, seperti pala dan cengkeh, sehingga daerah ini menjadi pusat perdagangan rempah-rempah. Wilayah Maluku bagian timur dan pantai-pantai Irian (Papua), dikuasai oleh Kesultanan Tidore, sedangkan sebagian besar wilayah Maluku, Gorontalo, dan Banggai di Sulawesi, dan sampai ke Flores dan Mindanao, dikuasai oleh Kesultanan Ternate. Kerajaan Ternate mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Baabullah, sedangkan Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Nuku. Persaingan di antara kerajaan Ternate dan Tidore adalah dalam perdagangan. Dari persaingan ini menimbulkan dua persekutuan dagang, masing-masing menjadi pemimpin dalam persekutuan tersebut,yaitu: • Uli-Lima (persekutuan lima bersaudara) dipimpin oleh Ternate meliputi Bacan, Seram, Obi, dan Ambon. Pada masa Sultan Baabulah, Kerajaan Ternate mencapai aman keemasan dan disebutkan daerah kekuasaannya meluas ke Filipina. • Uli-Siwa (persekutuan sembilan bersaudara) dipimpin oleh Tidore meliputi Halmahera, Jailalo sampai ke Papua. Kerajaan Tidore mencapai aman keemasan di bawah pemerintahan Sultan Nuku. b) Kerajaan Bacan Kesultanan Bacan atau kerajaan Bacan adalah salah satu kerajaan bercorak Islam yang berpusat di wilayah Pulau Bacan, Kepulauan Maluku. Diperkirakan kerajaan Bacan didirikan pada 1322. Raja Bacan pertama yang memeluk agama Islam adalah Raja Zainulabidin pada 1521. Wilayah kerajaan Bacan pada masa kejayaannya mencakup daerah yang cukup luas, hingga ke Papua Barat. Tercatat beberapa suku di wilayah Waigeo, yang terletak di Raja Ampat dan beberapa daerah lainnya berada di bawah pemerintahan Kerajaan Bacan. Wilayah Pulau Bacan sendiri memiliki peran yang sangat penting dalam proses produksi cengkeh dan pala di wilayah Maluku. Pulau Bacan menjadi pusat produksi dan distribusi cengkeh dan pala di Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Halmahera. c) Kerajaan Jailolo Berdirinya kerajaan Jailolo belum dapat dipastikan kapan, yang dapat dicatat hanyalah peristiwa kesejarahan bahwa pada awalnya ada seorang raja perempuannya yang kawin dengan Raja Loloda, sebuah kerajaan di bagian utara pulau Halmahera mungkin merupakan kerajaan yang lebih tua dari Jailolo. Menurut cerita rakyat, perkawinan antara Ratu Jailolo dengan Raja Loloda merupakan perkawinan politik untuk memberikan akses kepada Jailolo menguasai seluruh Halmahera. 181


Jailolo pada masa kejayaannya menguasai hampir keseluruhan pulau Halmahera. Halmahera adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah timur Pulau Sulawesi dengan batas laut Maluku di sebelah barat, di sebelah utara dan timur dengan samudera pasifik dan di sebelah selatan berbatasan dengan Selat Obi. Pulau Halmahera merupakan yang terbesar di Maluku Utara dan dikelilingi berbagai pulau kecil lainnya yang berpenghuni maupun yang tidak berpenghuni. Pulau Halmahera di selimuti oleh hutan-hutan lebat terutama dipedalaman, jenis hutan tropis tersebut ditumbuhi oleh pohon-pohon yang tinggi dan barbagai jenis rotan. Hutan di Halmahera seperti juga dengan daerah yang lainnya merupakan hutan tropis, dan di daerah pesisir ditumbuhi hutan bakau. Dari semua tumbuhan yang tumbuh di hutan Halmahera, ada tumbuhan endemik yang tumbuh liar di hutan Halmahera yaitu tanaman cengkeh, pala, dan juga guraka mera (jahe merah). 182


7. Kerajaan Islam di Nusa Tenggara a) Kerajaan Lombok Letak kerajaan Lombok berada di Selaparang yang saat ini berada di Desa Selaparang, Kecamatan Swela, Kabupaten Lombok Timur. Kondisi wilayah Lombok berupa dataran, perbukitan, dan bergunung. Wilayah tertinggi adalah Gunung Rinjani dengan Danau Segara Anak sebagai sumber mata air bagi penduduk disekitarnya. Gunung Rinjani dikelilingi oleh hutan yang tersebar di setiap kabupaten. Bagian selatan Pulau Lombok memiliki tanah subur yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian dengan variasi tanaman seperti jagung, padi, tembakau, kapas, dan kopi. Pada awalnya Kerajaan Lombok terletak di wilayah Sambelia, Lombok Timur. Akan tetapi, pada awal pendiriannya Kerajaan Lombok masih sebagai kerajaan Hindu. Pengaruh Islam di Kerajaan Lombok dibawa oleh Sunan Prapen pada abad XVI Masehi setelah Kerajaan Majapahit runtuh. Pada abad XVI Masehi Kerajaan Lombok sedang diperintahkan Prabu Rangkesari atas ajakan Sunan Prapen, Prabu Rangkasari memeluk agama Islam. Setelah memeluk Islam, Prabu Rangkesari memindahkan pusat Kerajaan Lombok ke Desa Selaparang atas usul Patih Bannda Yuda dan Patih Singa Yuda. Pemindahan ini dilakukan karena letak Desa Selaparang lebih strategis dan tidak mudah diserang musuh dibandingkan posisi sebelumnya. Setelah memindahkan pusat pemerintahan ke Selaparang, Kerajaan Selaparang mengalami kemajuan pesat. Dalam buku Mozaik Budaya Mataram dijelaskan bahwa Kerajaan Lombok untuk mengembangkan wilayah kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Kerajaan Lombok menggantungkan perekonomiannya pada sektor pertanian. Sebelum mengenal Islam, masyarakat Lombok menganut kepercayaan animisme, dinamisme, dan agama Hindu. Islam masuk di Lombok dibawa Sunan Prapen setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit. Dalam menyampaikan ajaran Islam, Sunan Prapen tidak menghilangkan kebiasaan masyarakat Lombok yang masih menganut kepercayaan lama. Bahkan, terjadi akulturasi antara Islam dan budaya masyarakat setempat. Sunan Prapen kemudian memanfaatkan adat istiadat setempat untuk mempermudah dan ajaran Islam. Salah satu akulturasi ajaran Islam dengan budaya lokal adalah munculnya ajaran Islam Wetu Telu. b) Kerajaan Sumbawa Kerajaan Sumbawa terletak di Pulau Sumbawa, sebelah timur Pulau Lombok. Pulau Sumbawa merupakan pulau terbesar pada gugusan Kepulauan Nusa Tenggara. Kerajaan Sumbawa dipandang lebih strategis dibandingkan Kerajaan Lombok karena pusat Kerajaan Sumbawa terletak pada dataran yang agak tinggi tepatnya di kaki Gunung Tambora. Letaknya yang berada di dataran tinggi menyebabkan Kerajaan Sumbawa dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu mendapat serangan dari luar. 183


Raja pertama Kerajaan Sumbawa yang memeluk Islam adalah Dewa Majaruwa. Sebagai kerajaan baru yang bercorak Islam, Kerajaan Sumbawa melakukan hubungan dengan kerajaan Islam lain seperti Kerajaan Demak dan Gowa Tallo. Setelah Dewa Majaruwa meninggal, kedudukannya digantikan Mas Goa yang masih menganut agama Hindu.Pergantian tahta kerajaan ini membuat kerajaan Gowa Tallo marah dan menganggap Kerajaan Sumbawa telah mengingkari perjanjian sebelumnya. Atas campur tangan Kerajaan Gowa Tallo pada tahun 1673 Mas Goa diturunkan paksa sebagai Raja Sumbawa. Dengan turunnya Mas Goa berakhir juga kekuasaan Dinasti Dewa Awan Kuning di Kerajaan Sumbawa. Raja Sumbawa selanjutnya adalah Sultan Harunurrasyid I. Pada masa ini Kerajaan Sumbawa menguasai dua kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Empang dan Jerewet. Dalam bidang pemerintahan, Raja Sumbawa dianggap sebagai orang yang dituakan dan tokoh pemersatu. Kedudukan raja dalam bidang pemerintah dibantu suatu dewan yang bernama Majelis Lima Belas Orang. Dalam urusan hukum raja dibantu manteri telu, memanca lima, dan lelurah pitu. Kombinasi raja dan ketiga pejabat tersebut disebut catur papat. Perekonomian Kerajaan Sumbawa menitikberatkan pada kegiatan pertanian lahan kering. Pertanian lahan kering dilakukan karena sebagian besar Pulau Sumbawa adalah tanah kering. Beberapa hasil pertanian Kerajaan Sumbawa, yaitu padi dan umbi-umbian. Dalam bidang perternakan, Kerajaan Sumbawa merupakan daerah peternak kuda terbaik. Dalam catatan sejarah sebelum dipengaruhi Islam, wilayah Sumbawa merupakan penghasil kuda terbaik.Dalam hal perdagangan komoditas yang cukup terkenal dari Sumbawa adalah madu. Madu-madu diambil langsung dari alam seperti di pegunungan dan hutan-hutan. Madu Sumbawa diperdagangkan dengan pedagang dari Makassar karena pada masa pemerintahan Dewa Majaruwa Kerajaan Gowa Tallo dan Kerajaan Sumbawa telah mengadakan perjanjian politik dan ekonomi. c) Kerajaan Bima Mulanya, Bima merupakan kerajaan yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddha yang bercampur dengan kebudayaan asli. Sebelum Islam datang, penduduknya memercayai arwah-arwah leluhur mereka sebagai penjaga kehidupan. Pada awal abad ke-17, barulah ajaran Islam masuk ke Bima, yang terletak di bagian timur pulau Sumbawa. Tepatnya pada tahun 1620, raja Bima yang bernama La Ka'i memeluk Islam dan namanya berganti menjadi Abdul Kahir. 184


Sesungguhnya, ajara Islam telah masuk ke daerah Sumbawa sejak abad ke-16. Persebaran Islam di wilayah ini terbagi dalam dua gelombang. Gelombang pertama sekitar tahun 1540-1550 oleh para mubaligh dan pedagang dari Demak. Sementara, Gelombang kedua terjadi pada 1620 oleh orang-orang Sulawesi. Pada gelombang kedua inilah Raja Bima, La Ka'i tertarik untuk menjadi muslim. Sejak penguasanya masuk Islam, Bima menjelma menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah timur Nusantara. Para ulama yang berdakwah sebagian diangkat menjadi penasihat Sultan dan berperan besar dalam menentukan kebijakan Kerajaan. Banyak ulama termasyur yang datang ke Bima ini. Ada Syekh Umar al-Bantani dari Banten yang berasal dari Arab, Datuk Di Bandang dari Minangkabau, Datuk Di Tiro dari Aceh, Kadi Jalaludin serta Syekh Umar Bamahsun dari Arab. Di bagian barat dan timur pelabuhan Bima telah terdapat perkampungan orang Melayu. Perkampungan ini menjadi pusat pengajaran Islam. Sultan Bima begitu menghormati orang-orang Melayu dan menganggap mereka saudara. Mereka bahkan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Ulama dan penghulu Melayu mendapat hak istimewa untuk mengatur perkampungan mereka sesuai dengan hukum Islam. Dengan demikian, bahasa Melayu dengan mudah menyebar di Bima dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Kerajaan Bima meliputi Pulau Flores, Timor, Solor, Sumba, dan Sawu. Pada waktu itu, Bima merupakan salah satu bandar utama. Para pedagang yang pergi dari Malaka ke Maluku, aatau sebaliknya, pasti melewati perairan Sumbawa. Untuk meningkatkan perdagangannya, Bima mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain yang berdekatan. Salah satunya dengan Kerajaan Goa. Datuk Di Bandang dan Datuk Di Tiro adalah ulama yang datang ke Sumbawa atas dukungan Goa. Hubungan dua kerajaan ini dipererat dengan pernikahan antara keluarga kedua kerajaan. Kerajaan Bima terbukti telah membantu pihak Goa dalam menghadapi Belanda. Ketika Goa menandatangani Perjanjian Bongaya taahun 1667 dengan pihak Belanda, Bima pun dipaksa untuk ikut menandatangani perjanjian tersebut. Ketika itu Sultan 185


Bima menolak. Namun, dua tahun kemudian, 1669, Kerajaan Bima akhirnya harus mengakui kekuasaan Belanda. Perjanjian damai pun dilaksanakan, sejak itulah bangsa Belanda ikut serta dalam urusan dalam negeri Bima. Pada tahun 1906, penguasa Bima, Sultan Ibrahim, dipaksa menandatangani kontrak politik yang bertujuan menghapus kedaulatan Kerajaan Bima oleh Belanda. Isi perjanjian ini antara lain: Bima mengakui wilayahnya menjadi bagian dari kekuasaan Hindia-Belanda, Sultan tidak boleh mengadakan kerjasama dengan bangsa Eropa lain. Selain itu, Bima harus membantu Belanda bila sedang berperang dan Sultan dilarang menyerahkan kekuasaannya selain kepada Belanda. Pada masa pemerintahan sultan terakhir, Muhammad Salahuddin (1915-1951), pendidikan agama Islam mengalami perkembangan yang pesat. Sultan Muhammad memperbanyak sarana peribadahan dan pendidikan, seperti masjid dan madrasah (sekolah Islam). Kerajaan Baima berakhir pada tahun 1951 karena Sultan Muhammad Salahuddin meninggal dunia. Di samping itu, sebelumnya Bima telah mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan menjadi bagiannya. Kini Bima menjadi wilayah kabupaten, berada dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sebenarnya masih ada lagi kerajaan-kerajan yang bercorak Islam di Nusa Tenggara, dan silahkan kalian mencariya pada literatur lainnya ! 186


D. JARINGAN KEILMUAN DI NUSANTARA Perkebangan jarigan keilmuan, lembaga pendidikan dan pengajaran pada masa perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam tidak terlepas dari peranan masjid dan dukungan penguasa. Sultan bukan saja mendanai kegiatan kegiatan-kegiatan masjid, tetapi juga mendatang para ulama baik dari manca negara terutama Timur Tengah, maupun dari kalagan ulama pribumi sendiri. Untuk mengidentifikasi proses Islaisasi, para ulama telah megarang, menyadur, dan menerjemahkan karta-karya keilmuan Islam. Sultan Iskandar Muda adalah Raja yang sangat memperhatikan pergembangan pedidikan dan pengajaran agama Islam. Ia medirikan Masjid Raya Baiturrahman, dan memanggil Hazah al Fanzuri dan Syamsuddi as Sumatrani sebagai penasihat. Syeh Yusuf al Makassari ulama dari Kesultanan Goa di Sulawesi Selatan pernah menuntut ilmu di Aceh sebelum melanjutkan ke Mekkah. Melalui pengajaran Abdur Rauf as Singkilitelah muncul ulama Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan yang terkenal sebagai pelopor pendidikan Islam di Minangkabau dan Syekh Abdul Muhyi al Garuti yang berjasa menyebarkan pendidikan Islam di Jawa Barat. Karya-karya susastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Berkembangnya pendidikan dan pengajaran Islam, telah berhasil menyatukan wilayah Nusatara yang sagat luas. Dua hal yang mempercepat proses itu adalah penggunaan aksara Arabdan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu (lingua franca). Semua ilmu yang diberikan di lembaga pedidikan Islam di Nusantara ditulis dala aksara Arab, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu atau Jawa. Aksara Arab itu disebut dengan banyak sebutan, sperti huruf Jawi ( di Melayu) dan huruf pegon (di Jawa). Luasnya penguasaan aksara Arab ke Nusantara telah membuat para pengunjung asal Eropa ke Asia Tenggara terpukau oleh tingginya tingkat kemampuan baca tulis yang mereka jumpai. E. AKULTURASI DAN PERKEMBANGAN BUDAYA ISLAM Berkembangnya kebudayaan Islam di Kepulauan Indonesia telah menambah khasanah budaya nasional Indonesia, serta ikut memberikan dan menentukan corak kebudayaan bangsa Indonesia. Akan tetapi karena kebudayaan yang berkembang di Indonesia sudah begitu kuat di lingkungan masyarakat maka berkembangnya kebudayaan Islam tidak menggantikan atau memusnahkan kebudayaan yang sudah ada. Dengan demikian terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang sudah ada. Hasil proses akulturasi antara kebudayaan praIslam dengan ketika Islam masuk tidak hanya berbentuk fisik kebendaan seperti seni bangunan, seni ukir atau pahat, dan karya sastra tetapi juga menyangkut pola hidup dan kebudayaan non fisik lainnya. Beberapa contoh bentuk akulturasi akan ditunjukkan pada paparan berikut. 1. Seni Bangunan Masjid dan Menara Bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Atapnya berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan tingkat yang paling atas berbentuk limas. Jumlah tumpang biasanya selalu gasal/ganjil, ada yang tiga, ada juga yang lima. Ada pula yang tumpangnya dua, tetapi yang ini dinamakan tumpang satu, jadi angka gasal juga. Atap yang demikian disebut meru. Atap masjid biasanya masih diberi lagi sebuah kemuncak/puncak yang dinamakan mustaka. 187


Masjid agung Demak dengan atap tumpang (Suber: Phinemo) 2) Tidak ada menara yang berfungsi sebagai tempat mengumandangkan adzan. Berbeda dengan masjid-masjid di luar Indonesia yang umumnya terdapat menara. Yang istimewa dari Masjid Kudus dan Masjid Banten adalah menaranya yang bentuknya begitu unik. Bentuk menara Masjid Kudus merupakan sebuah candi langgam Jawa Timur yang telah diubah dan disesuaikan penggunaannya dengan diberi atap tumpang. Pada Masjid Banten, menara tambahannya dibuat menyerupai mercusuar. Menara Masjid Kudus menyerupai candi dan menara Masjid Banten meyerupai mercusuar 3) Masjid umumnya didirikan di ibu kota atau dekat istana kerajaan. Ada juga masjid-masjid yang dipandang keramat yang dibangun di atas bukit atau dekat makam. Masjid-masjid di zaman Wali Sanga umumnya berdekatan dengan makam. Makam Di beberapa tempat terdapat makam-makam yang meski tokoh yang dikubur termasuk wali atau syaikh namun, penempatannya berada di daerah dataran tinggi. Makam tokoh tersebut antara lain, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Derajat (Lamongan), makam Sunan Kalijaga di Kadilangu (Demak), makam Sunan Kudus di Kudus, makam Maulana Malik Ibrahim dan makam Leran di Gresik (Jawa Timur), makam Datuk Ri Bkalianng di Takalar (Sulawesi Selatan), makam Syaikh Burhanuddin (Pariaman), makam Syaikh Kuala atau Nuruddin arRaniri (Aceh) dan masih banyak para dai lainnya di tanah air yang dimakamkan di dataran. Makam-makam yang terletak di tempat-tempat tinggi atau di atas bukitbukit sebagaimana telah dikatakan di atas, masih menunjukkan kesinambungan tradisi yang mengandung unsur kepercayaan pada ruh-ruh nenek moyang yang 188


sebenarnya sudah dikenal dalam pengejawantahan pendirian pundenpunden berundak Megalitik. Tradisi tersebut dilanjutkan pada masa kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha yang diwujudkan dalam bentuk bangunan-bangunan yang disebut candi. Komplek makam Sunan Muria di Kudus dan Komplek Makam Suann Giri di Gresik terletak di atas dataran tinggi 2. Seni Ukir Pada masa perkembangan Islam di zaman madya, berkembang ajaran bahwa seni ukir, patung, dan melukis makhluk hidup, apalagi manusia secara nyata, tidak diperbolehkan. Walaupun seni patung untuk menggambarkan makhluk hidupsecara nyata tidak diperbolehkan. Akan tetapi, seni pahat atau seni ukirterus berkembang. Para seniman tidak ragu-ragu mengembangkanseni hias dan seni ukir dengan motif daun-daunan dan bunga-bungaanseperti yang telah dikembangkan sebelumnya. Kemudian jugaditambah seni hias dengan huruf Arab (kaligrafi). Bahkan muncul kreasi baru, yaitu kalau terpaksa ingin melukiskan makhluk hidup, akan disamar dengan berbagai hiasan, sehingga tidak lagi jelasjelas berwujud binatang atau manusia. Ditengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang disamarkan. Dan pahatan berbentuk harimau yang disamarkan 3. Aksara dan Seni Sastra Tersebarnya Islam di Indonesia membawa pengaruh dalam bidang aksara atau tulisan. Abjad atau huruf-huruf Arab sebagai abjad yang digunakan untuk menulis bahasa Arab mulai digunakan di Indonesia. Sedagkan Seni sastra di zaman 189


Islam terutama berkembang di Melayu dan Jawa. Dilihat dari corak dan isinya, ada beberapa jenis seni sastra seperti hikayat, babad dan syair. 4. Kesenian Di Indonesia, Islam menghasilkan kesenian bernafas Islam yang bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam. Kesenian tersebut, misalnya, permainan debus, tarian seudati, da wayang. 5. Kalender Perkembangan sistem penanggalan (kalender) yang paling nyata adalah sistem kalender yang diciptakan oleh Sultan Agung. Ia melakukan sedikit perubahan, mengenai nama-nama bulan pada tahun Saka. Misalnya bulan Muharam diganti dengan Sura dan Ramadhan diganti dengan Pasa. Kalender tersebut dimulai tanggal 1 Muharam tahun 1043 H. Kalender Sultan Agung dimulai tepat dengan tanggal 1 Sura tahun 1555 Jawa (8 Agustus 1633). F. PROSES INTEGRASI NUSANTARA Agama Islam yang masuk dan berkembang di Nusantara mengajarkan kebersamaan dan mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama. Islam mengajarkan persamaan dan tidak mengenal kasta-kasta dalam kehidupan masyarakat. Proses integrasi juga terlihat melalui kegiatan pelayaran dan perdagangan antarpulau. Sejak zaman kuno, kegiatan pelayaran dan perdagangan sudah berlangsung di Kepulauan Indonesia. Pelayaran dan perdagangan itu berlangsung dari daerah yang satu ke daerah yang lain, bahkan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Hal ini, menimbulkan pergaulan dan hubungan kebudayaan antara para pedagang dengan penduduk setempat. Kegiatan semacam ini mendorong terjadinya proses integrasi. Selai itu bahasa juga memiliki peran yang strategis dalam proses integrasi. Kamu tahu bahwa Kepulauan Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau yang dihuni oleh aneka ragam suku bangsa. Tiap-tiap suku bangsa memiliki bahasa masing-masing. Bahasa merupakan sarana pergaulan. Bahasa Melayu digunakan hampir di semua pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan Nusantara. Pada mulanya bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa dagang. Akan tetapi lambat laun bahasa Melayu tumbuh menjadi bahasa perantara dan menjadi lingua franca di seluruh Kepulauan Nusantara. 190


C. JARINGAN KEILMUAN DI NUSANTARA Perkebangan jarigan keilmuan, lembaga pendidikan dan pengajaran pada masa perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam tidak terlepas dari peranan masjid dan dukungan penguasa. Sultan bukan saja mendanai kegiatan kegiatan-kegiatan masjid, tetapi juga mendatang para ulama baik dari manca negara terutama Timur Tengah, maupun dari kalagan ulama pribumi sendiri. Untuk mengidentifikasi proses Islaisasi, para ulama telah megarang, menyadur, dan menerjemahkan karta-karya keilmuan Islam. Sultan Iskandar Muda adalah Raja yang sangat memperhatikan pergembangan pedidikan dan pengajaran agama Islam. Ia medirikan Masjid Raya Baiturrahman, dan memanggil Hazah al Fanzuri dan Syamsuddi as Sumatrani sebagai penasihat. Syeh Yusuf al Makassari ulama dari Kesultanan Goa di Sulawesi Selatan pernah menuntut ilmu di Aceh sebelum melanjutkan ke Mekkah. Melalui pengajaran Abdur Rauf as Singkilitelah muncul ulama Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan yang terkenal sebagai pelopor pendidikan Islam di Minangkabau dan Syekh Abdul Muhyi al Garuti yang berjasa menyebarkan pendidikan Islam di Jawa Barat. Karya-karya susastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Berkembangnya pendidikan dan pengajaran Islam, telah berhasil menyatukan wilayah Nusatara yang sagat luas. Dua hal yang mempercepat proses itu adalah penggunaan aksara Arabdan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu (lingua franca). Semua ilmu yang diberikan di lembaga pedidikan Islam di Nusantara ditulis dala aksara Arab, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu atau Jawa. Aksara Arab itu disebut dengan banyak sebutan, sperti huruf Jawi ( di Melayu) dan huruf pegon (di Jawa). Luasnya penguasaan aksara Arab ke Nusantara telah membuat para pengunjung asal Eropa ke Asia Tenggara terpukau oleh tingginya tingkat kemampuan baca tulis yang mereka jumpai. D. AKULTURASI DAN PERKEMBANGAN BUDAYA ISLAM Berkembangnya kebudayaan Islam di Kepulauan Indonesia telah menambah khasanah budaya nasional Indonesia, serta ikut memberikan dan menentukan corak kebudayaan bangsa Indonesia. Akan tetapi karena kebudayaan yang berkembang di Indonesia sudah begitu kuat di lingkungan masyarakat maka berkembangnya kebudayaan Islam tidak menggantikan atau memusnahkan kebudayaan yang sudah ada. Dengan demikian terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang sudah ada. Hasil proses akulturasi antara kebudayaan praIslam dengan ketika Islam masuk tidak hanya berbentuk fisik kebendaan seperti seni bangunan, seni ukir atau pahat, dan karya sastra tetapi juga menyangkut pola hidup dan kebudayaan non fisik lainnya. Beberapa contoh bentuk akulturasi akan ditunjukkan pada paparan berikut. 1. Seni Bangunan Masjid dan Menara Bangunan masjid-masjid kuno di Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Atapnya berupa atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan tingkat yang paling atas berbentuk limas. Jumlah tumpang biasanya selalu gasal/ganjil, ada yang tiga, ada juga yang lima. Ada pula yang tumpangnya dua, tetapi yang ini dinamakan tumpang satu, jadi angka gasal juga. Atap yang demikian disebut meru. Atap masjid biasanya masih diberi lagi sebuah kemuncak/puncak yang dinamakan mustaka. 191


Masjid agung Demak dengan atap tumpang (Suber: Phinemo) 2) Tidak ada menara yang berfungsi sebagai tempat mengumandangkan adzan. Berbeda dengan masjid-masjid di luar Indonesia yang umumnya terdapat menara. Yang istimewa dari Masjid Kudus dan Masjid Banten adalah menaranya yang bentuknya begitu unik. Bentuk menara Masjid Kudus merupakan sebuah candi langgam Jawa Timur yang telah diubah dan disesuaikan penggunaannya dengan diberi atap tumpang. Pada Masjid Banten, menara tambahannya dibuat menyerupai mercusuar. Menara Masjid Kudus menyerupai candi dan menara Masjid Banten meyerupai mercusuar 3) Masjid umumnya didirikan di ibu kota atau dekat istana kerajaan. Ada juga masjid-masjid yang dipandang keramat yang dibangun di atas bukit atau dekat makam. Masjid-masjid di zaman Wali Sanga umumnya berdekatan dengan makam. Makam Di beberapa tempat terdapat makam-makam yang meski tokoh yang dikubur termasuk wali atau syaikh namun, penempatannya berada di daerah dataran tinggi. Makam tokoh tersebut antara lain, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Derajat (Lamongan), makam Sunan Kalijaga di Kadilangu (Demak), makam Sunan Kudus di Kudus, makam Maulana Malik Ibrahim dan makam Leran di Gresik (Jawa Timur), makam Datuk Ri Bkalianng di Takalar (Sulawesi Selatan), makam Syaikh Burhanuddin (Pariaman), makam Syaikh Kuala atau Nuruddin arRaniri (Aceh) dan masih banyak para dai lainnya di tanah air yang dimakamkan di dataran. Makam-makam yang terletak di tempat-tempat tinggi atau di atas bukitbukit sebagaimana telah dikatakan di atas, masih menunjukkan kesinambungan tradisi yang mengandung unsur kepercayaan pada ruh-ruh nenek moyang yang 192


sebenarnya sudah dikenal dalam pengejawantahan pendirian pundenpunden berundak Megalitik. Tradisi tersebut dilanjutkan pada masa kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha yang diwujudkan dalam bentuk bangunan-bangunan yang disebut candi. Komplek makam Sunan Muria di Kudus dan Komplek Makam Suann Giri di Gresik terletak di atas dataran tinggi 2. Seni Ukir Pada masa perkembangan Islam di zaman madya, berkembang ajaran bahwa seni ukir, patung, dan melukis makhluk hidup, apalagi manusia secara nyata, tidak diperbolehkan. Walaupun seni patung untuk menggambarkan makhluk hidupsecara nyata tidak diperbolehkan. Akan tetapi, seni pahat atau seni ukirterus berkembang. Para seniman tidak ragu-ragu mengembangkanseni hias dan seni ukir dengan motif daun-daunan dan bunga-bungaanseperti yang telah dikembangkan sebelumnya. Kemudian jugaditambah seni hias dengan huruf Arab (kaligrafi). Bahkan muncul kreasi baru, yaitu kalau terpaksa ingin melukiskan makhluk hidup, akan disamar dengan berbagai hiasan, sehingga tidak lagi jelasjelas berwujud binatang atau manusia. Ditengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang disamarkan. Dan pahatan berbentuk harimau yang disamarkan 3. Aksara dan Seni Sastra Tersebarnya Islam di Indonesia membawa pengaruh dalam bidang aksara atau tulisan. Abjad atau huruf-huruf Arab sebagai abjad yang digunakan untuk menulis bahasa Arab mulai digunakan di Indonesia. Sedagkan Seni sastra di zaman 193


Islam terutama berkembang di Melayu dan Jawa. Dilihat dari corak dan isinya, ada beberapa jenis seni sastra seperti hikayat, babad dan syair. 4. Kesenian Di Indonesia, Islam menghasilkan kesenian bernafas Islam yang bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam. Kesenian tersebut, misalnya, permainan debus, tarian seudati, da wayang. 5. Kalender Perkembangan sistem penanggalan (kalender) yang paling nyata adalah sistem kalender yang diciptakan oleh Sultan Agung. Ia melakukan sedikit perubahan, mengenai nama-nama bulan pada tahun Saka. Misalnya bulan Muharam diganti dengan Sura dan Ramadhan diganti dengan Pasa. Kalender tersebut dimulai tanggal 1 Muharam tahun 1043 H. Kalender Sultan Agung dimulai tepat dengan tanggal 1 Sura tahun 1555 Jawa (8 Agustus 1633). E. PROSES INTEGRASI NUSANTARA Agama Islam yang masuk dan berkembang di Nusantara mengajarkan kebersamaan dan mengembangkan toleransi dalam kehidupan beragama. Islam mengajarkan persamaan dan tidak mengenal kasta-kasta dalam kehidupan masyarakat. Proses integrasi juga terlihat melalui kegiatan pelayaran dan perdagangan antarpulau. Sejak zaman kuno, kegiatan pelayaran dan perdagangan sudah berlangsung di Kepulauan Indonesia. Pelayaran dan perdagangan itu berlangsung dari daerah yang satu ke daerah yang lain, bahkan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Hal ini, menimbulkan pergaulan dan hubungan kebudayaan antara para pedagang dengan penduduk setempat. Kegiatan semacam ini mendorong terjadinya proses integrasi. Selai itu bahasa juga memiliki peran yang strategis dalam proses integrasi. Kamu tahu bahwa Kepulauan Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau yang dihuni oleh aneka ragam suku bangsa. Tiap-tiap suku bangsa memiliki bahasa masing-masing. Bahasa merupakan sarana pergaulan. Bahasa Melayu digunakan hampir di semua pelabuhan-pelabuhan di Kepulauan Nusantara. Pada mulanya bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa dagang. Akan tetapi lambat laun bahasa Melayu tumbuh menjadi bahasa perantara dan menjadi lingua franca di seluruh Kepulauan Nusantara. 194


Click to View FlipBook Version