Gambar 3.4 Sangku Perak
Sumber: Koleksi Museum Linggam Cahaya Lingga (2021)
dami
Gambar 3.5 Sangku Tembaga
Sumber: Koleksi Museum Linggam Cahaya Lingga (2021)
36 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Gambar 3.6 Dulang Bertelinga Bermotif Bunga Tanjung
Sumber: Koleksi Museum Linggam Cahaya Lingga (2021)
dami
Gambar 3.7 Dulang Tembaga
Sumber: Koleksi Museum Linggam Cahaya Lingga (2021)
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 37
Gambar 3.8 Teko
Sumber: Koleksi Museum Linggam Cahaya Lingga (2021)
dami
Gambar 3.9 Senjong
Sumber: Koleksi Museum Linggam Cahaya Lingga (2021)
38 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Gambar 3.10 Sanggan
Sumber: Koleksi Museum Linggam Cahaya Lingga (2021)
dami
Gambar 3.11 Kotak Tembaga
Sumber: Koleksi Museum Linggam Cahaya Lingga (2021)
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 39
Gambar 3.12 Tempat Lilin
Sumber : Koleksi Museum Linggam Cahaya Lingga (2021)
dami
Gambar 3.13 Cembul
Sumber : Koleksi Museum Linggam Cahaya Lingga (2021)
Selain kerajian tembaga, Sultan Muhammad Syah juga
merencanakan membangun pondasi Bilik 44 di Daik. Pondasi
itu kemudian dibangun pada masa pemerintahan Sultan
Mahmud Muzzafar Syah (1841-1857). Bilik 44 direncanakan
sebagai tempat keluarga Sultan atau sumber lain sebagai
40 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
tempat penyimpanan berbagai hasil kerajianan. Ukuran
pondasi Bilik 44 ini sekitar 48×49 meter dan jumlah pondasi
ruang yang baru disiapkan sebanayak 32 buah. Tak selesainya
pembangunan Bilik 44 ini disebabkan oleh Sultan Mahmud
Muzzafar Syah diturunkan dari tahta Kesultanan Lingga-Riau
pada 23 September 1857.
dami
Gambar 3.14 Situs Cagar Budaya Bilik 44 Daik Lingga (1)
Sumber: Dokumentasi Tim Penulis (2021)
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 41
Gambar 3.15 Situs Cagar Budaya Bilik 44 Daik-Lingga (2)
Sumber: Dokumentasi Tim Penulis (2021)
Menurut data deskripsi Cagar Budaya Tak Bergerak di
Kabupaten Lingga (2018), situs Istana Bilik 44 berada pada
dami142 meter di sebelah utara situs bekas Istana Damnah.
Lingkungannya merupakan tanah perladangan yang belum
digarap. Sisa-sisa bangunan yang sekarang masih ditemukan
berupa fondasi dari yang membentuk bilik-bilik, dengan lebar
50 cm dan ketinggian 75 cm dari permukaan tanah sekarang.
Bata yang dipakai sebagai fondasi tersebut rata-rata berukuran
panjang 22 cm, lebar 11 cm, dan tebal 7 cm. Secara
keseluruhan, denah bangunan berukuran panjang 53,30 meter
dan lebar 36 meter.
Meskipun dinamakan Bilik 44, kenyataanya bilik-bilik yang
ada berdasarkan sisa-sisa fondasinya yang masih ada hanya
32 bilik. Dari informasi yang diperoleh di lapangan,
pembangunan Bilik 44 ini memang belum selesai baru dalam
tahap pembuatan fondasi seperti yang terlihat sekarang. Tidak
42 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
diketahui dengan pasti faktor-faktor penyebabnya sehingga
mengakibatkan pembangunan Bilik 44 tak selesai.
3. Pengembangan Sektor Ekonomi Lain
Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Sultan
Muhammad Syah, selain kerajinan tembaga yang memang
baru dikembangkan pada masa pemerintahan baginda, adalah
dengan meneruskan pengembangan yang telah dirintis pada
masa nenenda dan ayahanda baginda. Dalam hal ini, sektor
ekonomi yang dikembangkan itu meliputi bidang pertanian,
perkebunan, perikanan, kerajinan, pertambangan, dan
perdagangan.
damiDi bidang pertanian rakyat bertanam palawija. Sektor ini
langsung dikerjakan oleh rakyat di daerah mereka masing-
masing. Di antara tanaman yang dikembangkan meliputi ubi,
keledek, keladi, pelbagai jenis kacang, dan lain-lain. Pertanian
ini menjadi andalan pengembangan ekonomi di kalangan
rakyat di lahan-lahan mereka sendiri.
Sagu menjadi andalan dalam bidang perkebunan. Usaha
perkebunan ini dikembangkan langsung oleh pihak kesultanan
dan rakyat di lahan mereka masing-masing di sebagian besar
wilayah Kesultanan Lingga-Riau. Sagu menjadi salah satu
andalan utama komoditas perekonomian pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Syah, seperti halnya pada
masa sultan-sultan terdahulu.
Sektor perkebunan juga meliputi perkebunan gambir, lada
hitam, cengkih, karet, dan pelbagai jenis buah-buahan, yang
biasa disebut buah-buahan tahunan seperti durian, manggis,
cempedak, duku, dan lain-lain. Begitu juga dikembangkan
perkebunan buah-buah seperti pisang, labu, labu air, mangga,
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 43
dan sebagainya. Kesmuanya dikembangkan oleh rakyat di
lahan mereka masing-masing, yang umumnya sangat luas.
Sektor perkebunan memang diandalkan oleh kerajaan dan
rakyat. Sektor ini juga berhasil menyejahterakan rakyat.
Sektor perikanan memang menjadi mata pencaharian utama
rakyat Kesultanan Lingga-Riau. Kawasannya yang sebagian
besar laut memungkinkan potensi ikan dan pelbagai jenis
hewan laut begitu besar. Bidang perikanan yang diupayakan
kala itu umumnya perikanan tangkap. Hasil yang diperoleh
rakyat dari perikanan tangkap ini sangat besar sehingga mampu
menyejahterakan kehidupan mereka.
Kesultanan Lingga-Riau juga terkenal akan produksi
kerajinan, selain kerajinan tembaga yang telah diperikan di
atas. Di antara produksi kerajinan itu adalah barang anyam-
anyaman, kerajinan tenun, tekat, batik cap, tudung mantur,
dan lain. Sektor ini juga sangat banyak digeluti oleh
damimasyarakat.
Pertambangan yang dikembangkan oleh kerajaan tentulah
pertambangan timah sejak ditemukan biji timah pada masa
pemerintahan Sultan Mahmud Riayat Syah. Pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Syah aktivitas pertambangan
timah tetap diteruskan dan ditingkatkan.
Semua produk yang dihasilkan dari sektor-sektor
perekonomian di atas diperdagangkan. Dalam hal ini,
perdagangan dilakukan oleh pihak kerajaan dan rakyat secara
mandiri. Perdagangan dilakukan di internal wilayah
Kesultanan Lingga-Riau dalam bentuk perdagangan
antarpulau dan ke kerajaan-kerajaan lain di nusantara, terutama
ke Kerajaan-Kerajaan Melayu di Semenanjung seperti
Singapura, Johor, Pahang, Terengganu, Selangor, dan kerajaan-
44 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
kerajaan di Pulau Sumatera.
Pengembangan sector-sektor perekonomian di atas itulah
yang memungkinkan Kesultanan Lingga-Riau tetap eksis
walau di bawah intervensi Pemerintah Hindia-Belanda.
Bersamaan dengan itu, kesejahteraan rakyat pun relatif dapat
dipertahankan. Lebih-lebih, di kalangan rakyat yang giat
berusaha di sektor-sektor perekonomian di atas, kesejahteraan
mereka cukup menonjol dibandingkan mereka yang kurang
kreatif dan kurang berusaha. Dalam hal ini, pihak kesultanan
senantiasa menganjurkan rakyat untuk berusaha di semua
sektor perekonomian di atas tanpa sekatan dan hambatan apa
pun.
damiBahkan, bagi rakyat Kesultanan Lingga-Riau yang berbisnis
di kerajaan ini, pihak kesultanan tak memungut cukai atau
pajak. Berbeda dengan peniaga luar yang masuk ke kerajaan
ini, mereka dikenakan cukai oleh pihak kesultanan. Itulah di
antara kebijakan Sultan Muhammad Syah di bidang ekonomi
meneruskan kebijakan nenenda dan ayahanda baginda untuk
menjamin kesejahteraan rakyatnya.
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 45
dami
46 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
BAB IV
BIDANG PENDIDIKAN
1. Pendahuluan
Istana Raja-Raja Melayu merupakan bagian dari pusat
penyebaran ajaran agama Islam. Raja dan para bangsawan
berperan penting dalam proses masuknya agama Islam di Alam
Melayu. Di dalam karya sastra sejarah yang ditulis oleh orang
damiMelayu dapat ditemukan kisah Raja Melayu yang berpengaruh
penting dalam menyebarkan ajaran agama Islam.
Di dalam Sulalatus Salatin yang ditulis oleh Tun
Muhammad Seri Lanang dikisahkan bahwa Sultan Melaka
yang pertama masuk Islam adalah Raja Kecil Besar. Setelah
memeluk agama Islam, baginda bergelar Sultan Muhammad
Syah. Raja Kecil Besar masuk Islam melalui Makhdum Said
Abdul Aziz yang datang dari Jeddah.
Para bangsawan dan pembesar di istana berbondong-
bondong mengikuti jejak Raja Kecil Besar memeluk agama
Islam. Di dalam Sulalat al-Salatin disebutkan “maka segala
orang besar-besar semuanya masuk Islam; sekalian isi negeri
lelaki perempuan, tua muda, kecil besar sekaliannya masuk
Islam dititahkan baginda,” (Ahmad, 1979: 69).
Di dalam Hikayat Pasai ditemukan kisah Merah Silau Raja
Samudra Pasai masuk Islam melalui Syekh Ismail utusan syarif
di Mekkah. Setelah Merah Silau masuk Islam, Syeikh Ismail
mengislamkan rakyat Kerajaan Samudra Pasai.
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 47
Sejak menerima ajaran Islam, bangsa Melayu muncul
dengan indentitas baru yang sangat istimewa, yakni Islam
merupakan agama wajib orang Melayu. Orang Melayu wajib
Islam dan jika keluar dari Islam tak diakui lagi sebagai orang
Melayu. Indentitas Melayu atau apa itu orang Melayu tak
sekedar dikenal melalui ciri-ciri fisik dan budaya, tetapi juga
dilengkapi dengan agama. Karena Melayu wajib Islam, dalam
adat istiadat Raja Melayu jika seorang sultan keluar dari agama
Islam, dia wajib dimakzulkan.
Sejak Raja Melayu masuk agama Islam, gelar raja diganti
dengan sultan yang berasal dari bahasa Arab. Sultan juga diberi
julukan baru yang sangat istimewa di belakang namanya
sebagai Zillu’llahi fi’l‘alam yang berarti ‘bayang-bayang Allah
di dunia’. Julukan bayang-bayang Allah di dunia menunjukkan
sultan seumpama wakil Tuhan untuk rakyatnya di muka bumi.
Secara politis, hal itu menambah kuat kedudukan sultan
damisebagai penguasa rakyat Melayu yang perlu dipatuhi dan
dihormati.
2. Pendidikan di Lingkungan Istana
Perhubungan baik antara ulama dan raja memudahkan
penyebaran agama Islam di wilayah Melayu. Istana sebagai
pusat kekuasaan dan budaya menjadi ikutan atau pun pedoman
rakyat. Kesetiaan rakyat kepada raja berpengaruh penting
terhadap lancarnya penyebaran agama Islam.
Untuk menjalankan pemerintahan, sultan dan para
bangsawan di istana memerlukan para ulama. Para ulama
berperan penting dalam menetapkan hukum-hukum kerajaan.
Di dalam dunia pendidikan di istana, para ulama menjadi tokoh
pendidik agama bagi keluarga kerajaan. Sultan mempunyai
48 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
guru agama pribadi untuk dirinya dan keluarganya. Di istana
diselenggarakan pendidikan agama Islam untuk keluarga raja
dan para bangsawan.
Tarekat merupakan bagian dari pendidikan agama Islam
yang ada di lingkungan istana Kesultanan Johor-Pahang-Riau-
Lingga hingga ke Kesultanan Lingga-Riau. Tarekat juga
berkembang di tengah-tengah masyarakat umum. Tarekat
termasuk pendidikan penting agama di tengah masyarakat
untuk menghasilkan manusia yang berakhlak mulia.
Masuknya tarekat ke lingkungan istana bertujuan supaya
raja dan para bangsawan selalu mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Hasilnya diharapkan dia menjadi penguasa yang taat
damikepada hukum agama sehingga dapat menjalankan pemerin-
tahan yang adil dan bijaksana. Tarekat, menurut Ismail dkk.
(2008: 1283) sebagai berikut.
“Tarekat menurut bahasa berasal dari kata Arab tariqah
(jamak’: turuq atau tara’iq) yang berarti jalan atau
metode atau aliran (madzhab). Tarekat adalah jalan
untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tujuan
untuk sampai (wusul) kepada-Nya. Tarekat merupakan
metode yang harus ditempuh seorang sufi dengan aturan-
aturan tertentu sesuai dengan petunjuk guru atau mursyid
tarekat masing-masing, agar berada sedekat mungkin
dengan Allah SWT. Ahli tasauf mengaitkan istilah
tarekat dengan firman Allah: “Dan bahwasanya apabila
mereka tetap berdiri pada jalan (tariqah) yang benar
niscaya akan kami turunkan (hikmah) seperti hujan yang
deras dari langit,” (Q.S. al-Jin: 16).
Yang Dipertuan Muda Raja Ali (1784-1806) yang berada
di Riau tertarik belajar tarekat. Beliau belajar tarekat
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 49
Sammaniyah dengan Syaikh Abdul Ghafur orang Madura. Di
Daik pada zaman Sultan Mahmud Riayat Syah sebagian
penduduk tertarik masuk tarekat Syattariyah. Tarekat terus
berkembang di kalangan istana dan rakyat. Yang Dipertuan
Muda Raja Ali (1843-1857) juga masuk tarekat. Beliau dan
adiknya Yang Dipertuan Muda Raja Abdullah masuk tarekat
Naksabandiyah berguru dengan Syekh Ismail Minangkabawi.
Raja Abdullah bahkan menjadi mursyid tarekat Naksabandiyah
di Pulau Penyengat.
Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi Yang Dipertuan Muda
Riau yang terakhir masuk tarekat Naksabandiyah al-
Mujadiddiyah al-Ahmadiyah berguru dengan Muhammad
Saleh al-Zawawi. Raja Muhammad Yusuf menjadi pemimpin
tarekat di Lingga-Riau. Di Lingga beliau menjadikan istana
Robat sebagai tempat pusat penyebaran tarekat. Pada 1895
beliau menerbitkan kitab Kaifiat Al-Zikr ‘ala Tariqat al-
damiNaqsabandiyah al-Mujadiddiyah al-Ahmadiyah yang disusun
oleh gurunya, Muhammad Saleh al-Zawawi. Kitab ini
diterbitkan untuk para murid yang masuk tarekat.
Pada zaman Sultan Mahmud Riayat Syah ada seorang
ulama besar dan tokoh pendidik di lingkungan istana. Ulama
besar ini bernama HajiAbdul Wahab yang berasal dari Siantan.
Beliau dilantik oleh Sultan Mahmud Riayat Syah menjabat
mufti kerajaan yang mengurusi perkara agama Islam.
Setelah Sultan Mahmud Riayat Syah mangkat, Haji Abdul
Wahab Siantan pindah ke Pulau Penyengat dan tinggal di istana
Engku Puteri. Beliau menjadi ulama utama di istana Engku
Puteri dan Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar. Di Pulau
Penyengat beliau terus membaktikan dirinya menjadi guru
agama kalangan istana.
50 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Haji Abdul Wahab wafat pada Oktober 1824 di istana
Engku Puteri di Pulau Penyengat (Begbie, 1834: 285-286).
Menurut Raja Ali Haji dalam suratnya untuk Von de Wall pada
9 Oktober 1864, Haji Abdul Wahab seorang ulama besar dan
mufti di Lingga-Riau yang wafat pada umur 116 tahun. Beliau
dimakamkan di atas bukit dekat dengan makam Habib Syekh
dan Marhum Teluk Ketapang (Putten dan Azhar, 2007: 76-
77).
Haji Abdul Wahab Siantan tak hanya mengajar agama.
Akan tetapi, beliau juga melibatkan diri pada dunia sastra.
Beliau menerjemahkan Hikayat Ghulam dari bahasa Arab ke
bahasa Melayu. Hikayat Ghulam merupakan karya sastra
damiberbahasa Parsi yang diterjemahkan ke bahasa Arab. Dunia
sastra tak dapat lepas dari kehidupan istana Lingga-Riau.
Karya sastra digunakan sebagai alat pendidikan, termasuk
pendidikan agama Islam, dan budi pekerti. Ajaran agama dan
budaya yang disampaikan melalui karya sastra semakin
menjadi menarik karena mengandungi nilai seni.
Selepas Haji Abdul Wahab Siantan meninggal dunia, beliau
digantikan oleh Abdul Rasyid (Begbie, 1834: 286). Beliau
memberikan pendidikan agama di Masjid Sultan Riau di Pulau
Penyengat dan lingkungan istana. Sama halnya dengan Haji
Abdul Wahab Siantan, Abdul Rasyid mendapat sokongan dari
Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar.
Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar turut juga berguru kepada
Haji Abdul Wahab Siantan. Beliau belajar ilmu usuluddin,
fiqh, dan sebagainya. Raja Jaafar mempelajari pelbagai kitab
agama. Di antara kitab yang dipelajarinya adalah Mir’at al-
Thullab karangan ulama Aceh Syeikh Abdul Rauf al-Singkili
yang membahas hukum fiqh berdasarkan Mazhab Syafi’i. Isi
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 51
kitab Mir’at al-Thullab adalah masalah muamalah. Abdul
Rauf tak lagi membahas masalah ibadah karena masalah itu
sudah dibahas oleh Nuruddin ar-Raniry dalam Kitab Sirat al-
Mustaqim (Abbas, 2018: 34-35).
Pelajaran dari Kitab Mir’at al-Thullab sangat diperlukan
oleh Raja Jaafar sebagai bekal ilmu pengetahuan mengurus
pemerintahan. Beliau sangat menggiatkan pengajian agama
di istananya. Beliau mengumpulkan keluarga dan para
pegawainya untuk belajar agama. Raja Jaafar juga suka
terhadap sejarah. Belaiu menyukai cerita-cerita atau hikayat
kisah raja-raja masa lalu dari sebelah barat Dunia Melayu.
Engku Puteri Raja Hamidah, istri Sultan Mahmud Riayat Syah
dan adinda Raja Jaafar, juga melibatkan diri dalam
menggiatkan pendidikan di istananya, terutama bagi kaum
perempuan.
Raja Ahmad Engku Haji Tua, adinda Yang Dipertuan Muda
damiRaja Jaafar yang juga murid dari Haji Abdul Wahab Siantan,
seorang bangsawan sekaligus pembesar kerajaan yang tertarik
pada dunia sastra. Raja Ahmad menghasilkan Syair Raksi,
Syair Perang Johor, dan Syair Perjalanan Engku Puteri ke
Lingga. Beliau seorang pembesar kerajaan dan bertugas
membantu kakandanya Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar
dalam urusan pemerintahan.
Raja Ahmad pernah diutus ke Batavia bertemu Gubernur
Jendral bersama Said Muhammad Zain al-Qudsi. Sama halnya
dengan Raja Jaafar, Raja Ahmad sangat peduli terhadap urusan
agama dan ilmu pengetahuan. Di lingkungan keturunan raja-
raja Lingga-Riau, Raja Ahmad yang kali pertama naik haji ke
Mekah. Beliau naik haji bersama anandanya, Raja Ali Haji.
Di lingkungan istana Kesultanan Lingga-Riau, Raja Ahmad
52 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
tokoh bangsawan yang menekuni ilmu falak. Pengetahuannya
dalam bidang ilmu agama, sastra, adat-istiadat, falak, dan
sejarah berguna bagi pemerintahan dan dunia pendidikan di
Kesultanan Lingga-Riau.
Di Daik, Sultan Abdul Rahman Syah, seperti halnya Yang
Dipertuan Muda Raja Jaafar, seorang raja yang alim dan taat
beribadah. Sultan Abdul Rahman Syah pun pernah belajar atau
menerima ilmu pengetahuan dari Haji Abdul Wahab Siantan
ulama besar di istana ayahnya Sultan Mahmud Riayat Syah.
Sultan Abdul Rahman Syah juga suka bergaul dengan para
orang alim dan ulama, termasuk mereka yang bergelar said.
Di dalam Tuhfat al-Nafis disebutkan sebagai berikut.
dami“Syahadan lagi adalah Baginda Sultan Abdul Rahman
itu suka akan tua-tuan saiyid dan tuan-tuan syekh dan
suka bercampur makan minum dengan mereka itu dan
suka berimamkan orang yang alim dan suka ia bang
dengan dirinya sendiri, dan suara baginda itu terlalu
hebat serta dengan besarnya,” (Ahmad & Haji dalam
Matheson (Ed.), 1997: 229).
Sultan Abdul Rahman Syah, seperti halnya ayahandanya
Sultan Mahmud Riayat Syah, suka menghormati seorang said.
Di Pulau Penyengat ada Said Syekh yang sangat dihormati
oleh Sultan Mahmud Riayat Syah dan keluarga kerajaan. Para
said berpengaruh dalam penyebaran ajaran agama Islam di
Alam Melayu.
Said merupakan gelar laki-laki Arab keturunan Fatimah,
putri Rasulullah SAW, dan untuk keturunan perempuan
bergelar syarifah. Karena keturunan Nabi Muhammad SAW,
said dan syarifah sangat dihormati orang Melayu. Para said
dan syarifah dalam adat-istiadat Melayu sama derajatnya
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 53
dengan keturunan raja. Para said dibebaskan menikah dengan
perempuan anak raja Melayu. Seorang said yang shalih
ataupun menjadi ulama akan semakin dihormati. Sebagian
said yang memahami ajaran agama Islam menjadi bagian
penting dalam pendidikan agama Islam di Kesultanan Lingga-
Riau. Mereka menjadi guru kalangan istana dan rakyat.
Sebagian said ada yang semakin berpengaruh dan dihormati
karena menjadi saudagar kaya dan pejabat tinggi kerajaan.
Pada zaman Yang Dipertuan Muda Raja Haji Fisabilillah dan
Sultan Mahmud Riayat Syah ada saudagar kaya dari kalangan
said yang bernama Said Husin al-Aidid. Pada zaman Yang
Dipertuan Muda Raja Haji ketika Kesultanan Riau-Lingga
sedang makmur, negeri ini banyak didatangi para said dari
Negeri Arab.
Sebagian said yang datang melibatkan diri dalam dakwah
dan pendidikan agama Islam. Masjid dan surau menjadi tempat
damipara said memberikan pendidikan agama Islam kepada rakyat.
Seorang keturunan said yang menjadi pejabat tinggi kerajaan
di bawah Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar adalah Said
Muhammad Zain al-Qudsi. Pada masa pemerintahan Sultan
Abdul Rahman Muazzam Syah I beliau dititahkan oleh Yang
Dipertuan Muda Raja Jaafar bertugas di Daik. Pada 23 Juli
1829 Said Muhammad Zain al-Qudsi wafat di Daik.
Setelah Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar dan Sultan Abdul
Rahman Muazzam Syah I mangkat, kebijakan pendidikan
baginda dilanjutkan oleh penggantinya, Sultan Muhammad
Syah. Pendidikan agama Islam masih terus digiatkan di istana
Kesultanan Lingga-Riau.
Sultan Muhammad Syah dan saudaranya mendapatkan
pendidikan dari guru-guru pribadi di istana. Pada masa kanak-
54 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
kanak dan kemudian bergelar Tengku Besar (Putra Mahkota)
Sultan Muhammad Syah menerima pelbagai pelajaran, mulai
dari ilmu agama agama Islam sampai urusan pemerintahan.
Seorang Tengku Besar perlu mendapat pendidikan yang baik.
Pendidikan agama Islam diperlukan untuk menjadikan raja
yang berakhlak mulia.
Pelbagai pelajaran lainnya juga perlu diserap secara baik
oleh calon sultan. Membaca, menulis, berhitung, adat-istiadat,
pemerintahan, hukum, militer, sejarah, dan sebagainya adalah
pelajaran penting yang perlu dipelajari oleh Tengku Besar
sebagai bekal menjalankan pemerintahan kerajaan. Dalam hal
pendidikan, sedikit-banyak Sultan Muhammad Syah
damidipengaruhi oleh ayahandanya, Sultan Muhammad Syah.
Baginda tak pernah berhenti untuk berguru. Baginda juga
sangat menghormati guru-gurunya. Pada 1831 semasa masih
menjabat Tengku Besar dan disela-sela kesibukan melak-
sanakan urusan pemerintahan, Sultan Muhammad Syah pernah
mengantar seorang gurunya yang kembali ke Riau.
Pada masa itu kitab-kitab agama, sejarah, sastra, dan lain-
lain untuk bahan pelajaran atau bacaan diperbanyak dengan
tulisan tangan. Untuk mendapatkan kitab-kitab, pihak istana
menggunakan tenaga-tenaga penyalin naskah yang dilakukan
oleh para ulama dan atau juru tulis. Agar mudah dipelajari,
kitab-kitab berbahasa Arab diterjemahkan ke bahasa Melayu.
Sebagian Al-Quran tulisan tangan kadang-kadang diberi
gambar hiasan flora yang indah supaya kelihatan menarik.
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 55
Gambar 4.1 Manuskrip Al-Quran di Lingga
Koleksi Museum Linggam Cahaya, Daik, Lingga
Sumber: Museum Linggam Cahaya, Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga
Sejarah juga menjadi bidang pelajaran yang diterima oleh
raja dan kalangan bangsawan. Raja Melayu dan para
bangsawan mempunyai peran penting dalam menghasilkan
damikarya sejarah. Raja memberikan titah kepada kaum
cendekiawan untuk menulis karya sejarah, di samping inisiatif
sendiri para cendekiawan untuk menghasilkan karya sejarah.
Karya-karya yang mengandungi unsur sejarah menjadi
bahan pelajaran di lingkungan istana. Sejarah menjadi rujukan
penting bagi raja untuk memutuskan suatu kebijakan. Untuk
menuju masa depan yang lebih baik dan maju, seseorang raja
perlu belajar sejarah. Dari sejarah itu raja mengetahui adanya
pahit-getir, kelemahan, dan keagungan masa lalu. Sejarah
dapat dijadikan perenungan diri seorang raja seperti yang
dikatakan oleh Raja Ali Haji dalam karya sejarahnya Salasilah
Melayu dan Bugis tentang mangkatnya Sultan Abdul Jalil
Riayat Syah (1699-1718).
56 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
“Syahadan nasihat seyogianya anak cucunya di belakang
mengambil ibarat serta insaf daripada hal dunia yang
tiada kekal lagi sangat sedikit pendek masanya daripada
kemegahannya dan kebesarannya itulah halnya Sultan
Abdul Jalil yang disembah orang pagi petang dan
dinobatkan petang pagi, itulah kematiannya dengan
dibunuh seperti membunuh seekor ayam sahaja pada
mudahnya. Allah, Allah insaflah kiranya kita, jangan
sangat tamak loba akan kerajaan dan kebesaran dunia
yang busuk lagi singkat masanya itu. Itulah hal raja
besar,” (Nor, 2016: 39).
Kitab Sulalat al-Salatin termasuk bahan bacaan sejarah di
damiistana Lingga-Riau. Buku sejarah itu merupakan karya penting
karangan Bendahara Paduka Raja Tun Muhammad atau Tun
Seri Lanang dari Kesultanan Johor yang meriwayatkan kisah
Kerajaan Melaka dan berdirinya Kesultanan Johor.
Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga sampai Kesultanan
Lingga-Riau adalah penerus Kerajaan Melaka. Oleh sebab itu,
Sulalat al-Salatin menjadi kitab sejarah penting di istana
Sultan Lingga-Riau. Sultan Muhammad Syah mempunyai
naskah Sulalat al-Salatin yang pernah disalin ulang di Riau
pada 1838. Dari ktab sejarah itu, Sultan Muhammad Syah
mendapatkan pelajaran sejarah Kerajaan Melaka, berdirinya
Kesultanan Johor-Riau, adat-istiadat Raja-Raja Melayu, dan
lain-lain.
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 57
Gambar 4.2 Manuskrip Sulalat al-Salatin
Salinan Ulang dari Naskah Milik Sultan Muhammad Syah
Sumber: Published (digital), Leiden University Libraries
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah
pendidikan agama dan lain-lain di istana Yang Dipertuan Muda
damidi Riau sangat digalakkan. Di Riau, Yang Dipertuan Muda
Raja Abdul Rahman beserta kalangan istana sangat giat
menuntut ilmu agama Islam dan pelbagai ilmu pengetahuan
lainnya sehingga Pulau Penyengat menjadi pusat ber-
kumpulnya kaum cerdik pandai yang menghasilkan berbagai
karya penting di Dunia Melayu.
Pendidikan yang dilakukan bukan hanya urusan mem-
berikan ilmu pengetahuan dari guru kepada murid, melainkan
juga ada adab yang perlu diketahui oleh para guru dan murid
yang melakukan proses belajar-mengajar. Itulah sebabnya, di
dalam Kitab Pengetahuan Bahasa yang ditulis oleh Raja Ali
Haji setelah masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah,
terdapat pembahasan tentang lema adab. Dalam hal ini,
dijelaskan juga tentang adab orang yang mempunyai ilmu atau
58 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
guru dan menuntut ilmu. Berdasarkan penjelasan Raja Ali Haji,
adab orang yang mempunyai ilmu atau menjadi guru sebagai
berikut:
(1) tidak pemarah,
(2) tidak menyimpan sesuatu yang menyakiti orang lain
seperti yang dilakukan oleh orang jahil,
(3) tidak bergurau-gurau dengan perkataaan atau perbuatan
yang menghilangkan marwah,
(4) tidak takabur kepada orang lain kecuali kepada orang
yang zalim dengan tujuan menghardik mereka,
(5) melebihkan merendahkan diri pada perhimpunan
majelis,
dami(6) tidak berolok-olok dan bermain-main,
(7) lemah-lembut pada orang yang berguru pada kita,
(8) perlahan-lahan memasukkan ilmu pengetahuan kepada
orang yang bodoh,
(9) memberikan nasihat dan pengajaran yang baik kepada
orang yang bodoh,
(10) tidak pemarah dan tidak mengeluarkan perkataan kasar
kepada para murid,
(11) jangan malu mengatakan tidak tahu sebelum lagi orang
bertanya sesuatu masalah,
(12) menerima hujah dan menerima sesuatu yang benar serta
berpedoman kepada yang benar jika mengalami
kesalahan,
(13) mencegah orang menuntut ilmu yang mengakibatkan
mudarat kepadanya,
(14) murid diberatkan untuk menuntut ilmu yang membawa
takut kepada Allah SWT,
(15) mencegah murid belajar yang sunat sebelum selesai yang
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 59
fardhu,
(16) seorang yang menaruh ilmu atau pun guru hiaskan diri
dengan ilmu, amal dan ibadah yang zahir juga batin
supaya menjadi ikutan orang-orang, dan
(17) jangan suka bercampur baur dengan raja-raja dan
pembesar kerajaan melainkan jika untuk siar agama dan
manfaat untuk kepentingan umum.
Adab orang yang menuntut ilmu pula diperikan di dalam
kitab yang sama sebagai berikut:
(1) memberi salam mula berjumpa dengan guru,
(2) tidak banyak berbicara atau berkata-kata di hadapan guru,
(3) jangan berkata-kata sebelum ditanya,
(4) minta izin menyampaikan suatu masalah kepada guru,
(5) jangan menyalahkan guru karena berdasarkan perkataan
orang lain,
dami(6) jangan menyalahkan guru dengan memberi isyarat
padanya,
(7) jangan menyalahkan guru dengan memberi isyarat kepada
orang-orang yang berkumpul bersama,
(8) jangan banyak bertanya saat guru sedang dalam keadaan
penat,
(9) jangan bertanya kepada guru saat di jalan dan tunggu saat
guru sampai di rumah, dan
(10) jangan berburuk sangka kepada guru.
Begitulah mustahaknya pendidikan adab di Kesultanan
Lingga-Riau. Pendidikan adab dan budi pekerti itu wajib
dipelajari oleh kalangan istana dan rakyat sekaliannya. Pada
gilirannya, hasil pendidikan adab dan budi pekerti itu harus
60 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
diterapkan di dalam penyelenggaraan pemerintahan oleh para
penyelenggara kesultanan dan menjadi pedoman berperilaku
dalam kehidupan seluruh rakyat.
3. Pendidikan Kalangan Rakyat
Belanda telah berhasil menguasai Kesultanan Johor-
Pahang- Riau-Lingga pada 1818. Kuasa asing seterusnya
memecah belah Kesultanan Melayu itu dengan Perjanjian
London pada 1824. Akibatnya, Kesultanan Lingga-Riau yang
wujud pada 1830 tak memberikan kemajuan terhadap dunia
pendidikan rakyat di Lingga-Riau.
Di dalam perjanjian antara Pemerintah Hindia-Belanda dan
damiKesultanan Lingga-Riau tahun 1830 tak disebutkan secara
khusus tentang tanggung jawab Belanda mendorong kemajuan
dunia pendidikan rakyat. Pada pasal kedua hanya disebutkan
sebagai berikut.
“Jang kedua maka inilah tinggal damai serta sahabat
bersahabat antara pemerintah jang maha tinggi atas tanah
Hindia Nederland dengan Paduka Sri Sultan Sjah dan
berdua itu akan menjertai bersama2 segala hal ihwal
supaja bersentosa dan beruntung kedua2 negeri dan
ra’jatnya,” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1970:
72).
Pada 1833 Belanda pernah mendirikan sekolah khusus
untuk anak-anak Belanda di Tanjungpinang. Akan tetapi,
sekolah ditutup pada 1850 (Asmuni dkk., 1982/1983: 13).
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah, pihak
Belanda tak pernah mengupayakan adanya pendidikan resmi
di wilayah yang berada di bawah pemerintahan langsung
sultan. Belanda hanya mencari keuntungan melalui
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 61
perdagangan tanpa memikirkan pendidikan rakyat.
Berbeda halnya dengan sebagian besar rakyat biasa;
keluarga kerajaan, bangsawan, pejabat, dan saudagar kaya
lebih mudah mempunyai guru pribadi di tempat tinggal
mereka. Rakyat mendapatkan pendidikan agama di masjid,
surau, rumah guru ngaji, dan rumah para ulama. Di wilayah
Kesultanan Lingga-Riau, perbedaan masjid dan surau terletak
pada mendirikan shalat Jumat. Hanya di masjid diadakan
shalat Jumat, sedangkan di surau hanya dilaksanakan shalat
lima waktu.
Di sebuah kampung kadang-kadang hanya terdapat surau,
sedangkan masjid didirikan untuk beberapa buah kampung.
Pendidikan agama yang diselenggarakan di masjid dan surau
memberikan peluang besar kepada rakyat untuk belajar ilmu
agama. Masjid kerajaan di Daik dan di Pulau Penyengat
menjadi tempat ulama istana dan ahli ilmu agama berkumpul
damimenjalankan ibadah. Rakyat dengan mudah bersentuhan
dengan para ulama yang berilmu pengetahuan luas. Setelah
mengadakan ibadah berjamaah, dilaksanakan pengajian-
pengajian agama.
Di Daik tempat kediaman sultan, Masjid Jamik Sultan
berada di Kampung Darat, tak berjauhan dengan istana Sultan
Muhammad Syah. Masjid dibangun oleh Sultan Mahmud
Riayat Syah. Bangunan masjid dari tembok, berlantai ubin,
dan beratap daun rumbia. Mimbar masjid dipesan dari
Semarang di Jawa dan terdapat inskripsi di mimbar
menggunakan aksara Arab Melayu yang berbunyi “Salallahu
‘alaihiwassalam pada 1212 Hijriah dua belas hari bulan Rabiul
Awal kepada hari Isnin membuat mimbar di dalam negeri
Semarang tammatul kalam.”
62 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Pada awal pemerintahan Sultan Abdul Rahman Muazzam
Syah II (1884-1911) dibangun masjid baru yang berdekatan
dengan Kampung Putus karena masjid yang lama telah rusak
sehinga tak dapat dipergunakan lagi. Masjid yang dibangun
oleh Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah II itu tak bertahan
lama karena mengalami kerusakan sehingga pelaksanaan
ibadah berpindah ke rumah bekas kantor hakim.
Setelah Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah II berpindah
ke Pulau Penyengat, wakil kerajaan di Lingga, Raja Abdul
Rahman atas izin sultan, membangun masjid yang baru di
atas reruntuhan masjid lama yang dibangun oleh Sultan
Mahmud Riayat Syah. Masjid selesai dibangun dan resmi
damidigunakan pada 1909.
Masjid Jamik Sultan Lingga, sebagai tempat pendidikan
agama Islam bagi kalangan rakyat, menyimpan kitab-kitab
agama tulisan tangan. Kitab-kitab itu dijadikan bahan pelajaran
dari ulama yang mengajar di masjid. Di Riau masjid kerajaan
berada di Pulau Penyengat, tempat kediaman Yang Dipertuan
Muda. Masjid pertama dibangun oleh Sultan Mahmud Riayat
Syah. Pembangunan masjid dilakukan bersempena pem-
bukaan Pulau Penyengat untuk kediaman Engku Puteri Raja
Hamidah, istri Sultan Mahmud Riayat Syah. Pada masa
pemerintahan Sultan Mahmud Muzzafar Syah (1841-1857)
Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat dipugar secara besar-
besaran oleh Yang Dipertuan Muda Raja Abdul Rahman.
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 63
Gambar 4.3 Manuskrip Al-Quran yang Telah Rusak
Milik Masjid Jamik Sultan Lingga
Dipamerkan di Museum Linggam Cahaya, Daik, Lingga
Sumber: Museum Linggam Cahaya, Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga
damiDi luar masjid dan surau, pendidikan agama Islam
dilaksanakan di rumah-rumah para ulama dan guru mengaji.
Di kampung-kampung wilayah Kesultanan Lingga-Riau,
terdapat guru mengaji yang mengajarkan membaca Al-Quran.
Anak-anak yang belum akil-balig memulai pendidikan agama
Islam dengan belajar membaca Al-Quran. Pelajaran mengaji
Al-Quran diberikan secara gratis tanpa dipungut biaya. Para
murid yang telah selesai membaca Al-Quran 30 juz akan
mengadakan tradisi berkhatam Al-Quran. Dalam melak-
sanakan acara Khatam Al-Quran, penduduk yang memiliki
kemampuan akan mengadakan jamuan dan mengundang
banyak orang.
Kanak-kanak yang belajar mengaji juga diberi pelajaran
agama Islam oleh guru yang sama atau guru lainnya, terutama
64 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
untuk beribadah yakni bersuci, sembahyang, puasa, dan lain-
lain. Di samping mengajar Al-Quran, guru mengaji akan
memberikan pendidikan budi pekerti sesuai dengan etika orang
Melayu-Islam. Guru mengaji akan menegur murid-murid yang
melakukan tindakan yang tak sesuai dengan ajaran agama dan
etika budaya Melayu.
Jika sangat berminat dengan baca-tulis, anak-anak boleh
belajar huruf Arab-Melayu. Belajar huruf Arab-Melayu sangat
penting untuk mempelajari ilmu agama Islam lebih jauh lagi
dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Pada masa itu huruf
Arab-Melayu menjadi aksara resmi Kesultanan Lingga-Riau,
khasnya, dan Dunia Melayu, umumnya.
damiAksara Arab-Melayu juga menjadi tulisan penting di
nusantara dalam penulisan surat menyurat antara suku bangsa
dan pihak asing. Guru-guru mengaji di kampung-kanpung
memberikan banyak kontribusi terhadap dunia pendidikan di
Kesultanan Lingga-Riau. Mereka penggerak dan penggiat
penting dunia pendidikan di tengah-tengah rakyat.
Para ulama yang mengajar di rumah memberikan pelajaran
secara sukarela tanpa memungut bayaran. Ulama yang
mempunyai ilmu pengetahuan luas, tak hanya mengajarkan
pelajaran agama Islam, tetapi juga berbagai ilmu pengetahuan
lainnya, seperti bahasa, sastra, seni, astronomi, dan lain-lain.
Pada waktu tertentu para murid akan berkumpul di rumah
ulama untuk belajar agama. Di luar pelajaran agama, para
murid akan belajar berbagai ilmu pengetahuan lain. Untuk
menunjang pendidikan, sebagian ulama menghasilkan
berbagai karya tulis. Rumah para ulama menjadi bagian dari
pusat penyimpanan berbagai kitab ilmu pengetahuan.
Sebelum masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah,
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 65
dunia pendidikan di Kesultanan Lingga-Riau pernah tercoreng.
Orang-orang yang ingin mendapatkan keuntungan menyamar
seperti ulama atau orang alim. Mereka berperilaku seperti
orang alim atau ulama di tengah-tengah masyarakat untuk
memudahkannya mencari pengikut dan pendukung. Masya-
rakat awam yang kurang faham agama semakin bertambah
percaya jika seseorang yang menyamar menjadi ulama mampu
melakukan hal-hal ajaib yang sebenarnya adalah tipuan.
Untuk mendapatkan keuntungan dan kekuasaan, para
penipu memberanikan diri menjadi ulama dan merekrut murid.
Para penipu ini menjerat rakyat yang kurang faham agama
sehingga dengan mudah dapat dibodohi. Tindakan-tindakan
yang dilakukan para penipu mengakibatkan pendidikan agama
Islam di Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga tercoreng.
Catatan tentang hal ini dapat ditemukan kisahnya di dalam
Tuhfat al-Nafis pada masa Yang Dipertuan Muda Daing
damiKamboja (1748-1777).
Kala itu ada orang Minangkabau yang menyebut dirinya
Datuk Malaikat mengaku keramat dan berilmu. Sebagian
masyarakat yang bodoh langsung percaya dan berguru kepada
penipu ini. Setelah mendapat banyak pengikut, si penipu besar
itu ingin mengangkat dirinya sebagai penguasa wilayah Danai
sampai ke wilayah Kepulauan Karimun. Sang Penipu
mengadakan pemberontakan terhadap Kesultanan Johor-
Pahang-Riau-Lingga. Untuk menumpas pemberontak, Engku
Kelana Raja Haji mengadakan serangan terhadap wilayah-
wilayah yang dikuasai Datuk Malaikat. Akhirnya, Datuk
Malaikat dapat ditangkap dan dihukum mati di Riau.
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Riayat Syah,
datang Lebai Tamat orang Minangkabau ke Lingga. Penipu
66 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
yang ingin mencari keuntungan ini mengaku dirinya seorang
yang alim dan mengetahui ilmu hakikat. Sebagian penduduk
Lingga percaya dan berguru kepada penipu besar ini. Karena
kebodohan sebagian penduduk Lingga, mereka mengatakan
bahwa Lebai Tamat orang keramat. Ajaran yang disampaikan
Lebai Tamat penuh dengan kesesatan, bahkan dia mengaku
dirinya Tuhan.
Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar sangat marah mendengar
kabar ajaran sesat Lebai Tamat. Beliau menitahkan
bawahannya menangkap Lebai Tamat dan para muridnya.
Mereka diperintahkan bertaubat dan semuanya diberikan
hukuman digondolkan kepalanya. Setelah itu, Lebai Tamat
damiyang kehilangan pengaruh di Lingga bersama beberapa
muridnya berangkat ke Lampung. Penipu besar itu rupanya
menyebarkan lagi kebohongan. Dia mengaku dirinya Raja Haji
Fisabilillah yang hidup kembali. Karena kebodohan juga,
sebagian orang Bugis percaya dan mereka menjadi pengikut
Lebai Tamat.
Setelah mendapat banyak pengikut, Lebai Tamat berangkat
menuju Lingga. Dia memberanikan diri datang untuk kembali
menipu penduduk. Pada masa itu Raja Jaafar berada di Riau.
Di Lingga Lebai Tamat menghadap Raja Idris, adik Raja Jaafar,
dan memberikan berbagai hadiah. Raja Idris memberikan
pelindungan kepada penipu besar itu.
Sultan Mahmud Riayat Syah amat murka. Baginda
menitahkan hukum bunuh terhadap Lebai Tamat dan
pengikutnya. Lebai Tamat berhasil meloloskan diri karena
disembunyikan Raja Idris, tetapi sebagian pengikutnya dapat
dibunuh.
Lebai Tamat berhasil meloloskan diri ke Indragiri dan terus
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 67
menyebarkan kebohongan. Sama halnya dengan sebelumnya,
sebagian penduduk masih juga ada yang percaya. Sultan
Mahmud Riayat Syah semakin murka dan meminta Raja Jaafar
untuk dapat membunuh Lebai Tamat.
Raja Jakfar menitahkan Raja Ismail, ananda dari Yang
Dipertuan Muda Raja Ali Marhum Pulau Bayan, ke Indragiri
untuk menipu Lebai Tamat. Penipu itu harus ditipu pula agar
mau datang ke Riau. Raja Ismail pura-pura sangat percaya
kepada Lebai Tamat yang mengaku dirinya Raja Haji
Fisabilillah. Beliau mengatakan bahwa Raja Jaafar sangat
berhasrat ingin bertemu. Lebai Tamat dapat ditipu dan dibawa
ke Riau. Untuk mengelabuinya, sepanjang perjalanan dia
dihormati seperti seorang raja. Setibanya di Riau, Lebat Tamat
yang penipu besar itu dihukum mati. Kepalanya dipenggal
dan dikirim ke Lingga.
Begitulah suka-duka pendidikan di kalangan rakyat pada
damimasa lalu. Selebihnya, rumah ibadah seperti masjid dan surau
serta rumah para guru mengaji sangat berperan sebagai tempat
pendidikan kanak-kanak dan remaja kalangan rakyat pada
masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah. Bahkan, orang
dewasa pun menuntut ilmu di masjid-masjid dan surau-surau.
Di tempat itu, selain belajar agama Islam, mereka juga
diberikan pelbagai pelajaran umum oleh para guru mengaji
sebagai bekal untuk keperluan mereka di dalam kehidupan.
Ilmu yang diperoleh dari proses belajar-mengajar seperti itulah
yang mereka gunakan dalam pelbagai jenis pekerjaan yang
mereka geluti sehari-hari, selain ilmu agama Islam untuk
kesempurnaan beribadah melaksanakan perintah Allah SWT.
68 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
BAB V
BIDANG AGAMA
1. Pendahuluan
Para Sultan Melayu, dalam kaitannya dengan penyebaran
dan pembangunan agama Islam, mengidentifikasikan diri
mereka sebagai Zill Allah fi al-Ardh (‘bayang-bayang Allah
di muka bumi’). Oleh sebab itu, mereka tampil dengan karakter
damiyang cenderung sufistik. Mereka berasa bertanggung jawab
langsung kepada Allah untuk memelihara dan mengem-
bangkan Islam dan umatnya. Oleh sebab itu, mereka terlibat
langsung dalam pembentukan lembaga Islam dan semua
keagamaan yang Islami (Malik dkk., 2012).
Kepulauan Riau masa lalu pernah berada di bawah, bahkan
menjadi pusat, beberapa Kerajaan Melayu. Di antaranya,
Kerajaan Bintan. Kerajaan ini awalnya belum beragama Islam.
Dari Bintan kerajaan berpindah ke Temasik (Singapura), terus
ke Melaka, dan kembali lagi ke Bintan. Penjelasan ini, antara
lain, disebutkan di dalam Sejarah Kerajaan Melayu Siak Sri
Indrapura (1979). Kerajaan Melayu yang bermula di Bintan
dalam masa 1100-1158. Setelah itu, Kerajaan Melayu berpusat
di Temasik, yang bernama baru Singapura (1158-1384).
Selanjutnya, kerajaan Melayu itu berpindah ke Melaka (1384-
1511), dan kembali lagi meneruskan Kerajaan Melayu di
Bintan.
Dari Bintan ke Kampar, yang kemudian berlanjut ke Johor
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 69
tatkala Kesultanan Melaka berakhir setelah ditaklukkan oleh
Portugis. Sesudah itu kembali ke Bintan lagi, tetapi Portugis
kembali menyerang, lalu berpindah ke Kampar. Dari Johorlah
kerajaan ini kemudian berkembang, yang dikenal sebagai
Kesultanan Johor-Riau atau Johor-Riau-Pahang-Lingga.
Pengganti Kesultanan Melaka itu didirikan oleh Sultan
Alauddin Riayat Syah II (putra Sultan Mahmud Syah I,
Melaka) pada 1529, setelah jatuhnya Kesultanan Melaka di
tangan penjajah Portugis.
Selanjutnya, Kesultanan Riau-Johor berkedudukan di Hulu
Riau, Sungai Carang, wilayah Kota Tanjungpinang sekarang,
sejak 1678. Kesultanan Melayu ini terkenal dengan nama
Riau-Lingga-Johor-Pahang (1529-1824), berpusat di Johor,
Hulu Riau (Tanjungpinang), dan Pahang secara bergantian.
Selanjutnya, setelah Traktat London 1824, dikenal sebagai
Kesultanan Lingga-Riau (1824-1900), berpusat di Daik,
damiLingga, dan Kesultanan Riau-Lingga (1900-1913), berpusat
di Pulau Penyengat Indera Sakti.
2. Islam di Kesultanan Melayu Semenanjung dan Selat
Melaka
Setelah berkembangnya Islam di Kesultanan Malaka, syiar
dan sinarnya berlanjut ke Bintan, Kesultanan Riau-Lingga-
Johor-Pahang, dan Kesultanan Lingga-Riau. Di dalam Kitab
Tawarikh Melayu perkara itu dijelaskan sebagai berikut.
“Syahdan berkenaan dengan negeri Melaka pula masuk
Islam boleh kita dapati sedikit keterangannya daripada
kitab yang dikarangkan oleh Wizurai Portugis yang
bernama Alfonso d’Alburqueque itu, ialah yang telah
mengalahkan negeri Melaka dalam tahun Masehi 1511;
70 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
dan daripada hikayat Sejarah Melayu, dan daripada
tawarikh yang dikarangkan oleh orang China. Akan
tetapi, tarikh orang Melaka masok ugama Islam itu
tiadalah dapat kita ketahui dengan sah. Maka kalau
mengingat tawarikh China, adalah tersebut katanya
bahawa pada tahun masehi 1409 orang-orang Melaka
telah masok ugama Nabi Muhammad, salla’Ilahu alaihi
wasallam; dan Raja Melaka yang mula-mula masok
ugama itu Permaisura gelarnya, telah mengambil nama
Sultan Muhammad Shah apabila masok Islam; dan
baginda itu naik takhta kerajaan pada tahun Masehi
1403; dan pada tahun Masehi 1414 baginda itu mangkat
kembali ke rahmatu’llah. Malaka-lah pula menggan-
damitikan Pasai menjadi terlebeh ramai dan ma’mor, lagi
pun dilawati oleh beberapa ‘ulama dan saudagar serta
orang-orang dagang juga,” (Winstedt, 1925: 44-45).
Kesultanan Melaka berkaitan pula dengan Muar, yang
terletak tak jauh dari Melaka. Pada 1414 Raja Muar yang
bernama Parameswara, yang beristerikan putri dari Pasai, atas
bujukan sang permaisuri, masuk agama Islam dan bergelar
Megat Iskandar Syah. Peristiwa tersebut memberikan
dorongan yang terlalu kuat untuk persebaran agama Islam di
kalangan rakyat Melaka, khususnya, dan di kalangan penduduk
pedalaman Malaya umumnya (Muljana, 2009: 147).
Islam yang telah menjadi agama resmi Kesultanan Melaka
terus berkembang dan menjadi ciri kemajuan kesultanan.
Setelah Melaka menjadi Kesultanan Islam, para pedagang,
mubalig, dan guru sufi dari negeri Timur Tengah dan India
makin ramai mendatangi Bandar Kerajaan Samudra Pasai dan
Melaka. Dari kedua ibukota kerajaan inilah, Islam dibawa ke
Pattani dan tempat lainnya di Semenanjung seperti Pahang,
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 71
Johor, dan Perak. Kesultanan Johor-Riau-Pahang-Lingga dan
selanjutnya Kesultanan Lingga-Riau merupakan kelanjutan
dari Kerajaan Melayu yang berpusat Bintan, di Temasik
(Singapura), dan Melaka. Dari Bintan ke Melaka dan
selanjutnya kembali lagi ke Pulau Bintan untuk selanjutnya
ke Daik, Lingga.
Sultan Melaka, Sultan Mahmud Syah I dan putranya, Sultan
Ahmad Syah, berperang dengan Portugis sehingga terjadilah
kekacauan di Melaka. Perang Melaka itu terjadi karena
Portugis menyerang Kesultanan Melaka pada 1511.
Akibatnya, pada Januari 1513 Sultan Mahmud Syah I serta
pengikut-pengikut baginda dari Muar, telah berasal semula di
Bentan (Bintan). Baginda bersemayam di tempat yang
bernama Kopak. Dari 1513 itu hingga 1519 tetaplah baginda
bersemayam di Bentan. Dan, sejak Sultan Mahmud Syah
berkerajaan di Bentan, tempat-tempat yang dahulunya di
damibawah kuasa atau pengaruh Kerajaan Melaka tetap juga
bertuanku kepada baginda, yaitu seperti Kuala Muar, Pagoh
(di Negeri Johor sekarang), Beruas (Kuala Selangor), Lingga,
dan Inderagiri. Putra baginda dari pernikahan dengan Tun
Fatimah, yakni Sultan Muda, naik tahta menjadi sultan dengan
gelar Sultan Alaudin Riayat Syah II dan disebut-sebut Sultan
Muda (Adil, 1971: 6-7).
Seterusnya Kesultanan Johor-Riau berpusat di Sungai
Carang, Hulu Riau, Pulau Bintan. Kawasan baru itu dibuka
oleh Sultan Ibrahim Syah yang dibantu oleh Laksemana Tun
Abdul Jamil pada 1673, yang sebelumnya atas titah Sultan
Abdul Jalil Syah III, ayahanda Sultan Ibrahim Syah. Pasalnya,
pada 1673 pusat Kesultanan Johor-Riau, Batu Sawar, ranap
diserang oleh pasukan Kerajaan Jambi.
72 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Sultan Ibrahim Syah adalah Sultan Johor-Riau atau Riau-
Johor VIII. Pada 1678, setelah Hulu Riau (kawasan
Tanjungpinang sekarang) selesai dibangun oleh Laksemana
Tun Abdul Jamil, Sultan Ibrahim Syah berpindah ke dan
berkedudukan di Sungai Carang, Hulu Riau, yang kala itu
dikenal dengan nama Riau. Akhirnya, Kesultanan Johor-Riau
dikenal dengan nama Kesultanan Riau-Johor-Pahang-Lingga.
Sultan Ibrahim Syah mangkat di Riau (Hulu Riau, Tanjung-
pinang) pada 1685 (Husain, 1995: 22).
Setelah pergantian beberapa sultan, tibalah masanya
Kesultanan Riau-Johor-Pahang-Lingga dipimpin oleh Sultan
Sulaiman Badrul Alamsyah I sebagai Sultan XII. Baginda
damidilantik pada 4 Oktober 1722, berkedudukan di Sungai Carang,
Hulu Riau. Sejalan dengan itu, dalam pemerintahan kesultanan
ini, di samping Sultan sebagai Yang Dipertuan Besar, dikenal
pula jabatan baru, yakni Yang Dipertuan Muda, yang
kedudukannya sebagai penolong Sultan atau Yang Dipertuan
Besar.
Tokoh pertama yang dilantik sebagai Yang Dipertuan Muda
I adalah Daing Marewah. Setelah beberapa sultan sebelumnya,
Yang Dipertuan Besar Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang
dijabat oleh Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai sultan XV
(1761-1812). Pada masa baginda memerintah, jabatan Yang
Dipertuan Muda masing-masing dijabat secara berturut-turut
oleh (1) Daing Kamboja (Yang Dipertuan Muda III, 1745-
1777), (2) Raja Haji ibni Daeng Celak (1777-1784), (3) Raja
Ali ibni Daing Kamboja (1784-1806), dan (4) Raja Jaafar ibni
Raja Haji (1806-1831). Pergantian itu terjadi karena pada masa
Sultan Mahmud Riayat Syah berkuasa para Yang Dipertuan
Muda yang mendampingi baginda mangkat. Ketika Sultan
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 73
Muhammad Syah ibni Allahyarham Sultan Abdul Rahman
Muazzam Syah I, cucunda Allahyarham Sultan Mahmud
Riayat Syah, berkuasa, baginda didampingi oleh Yang
Dipertuan Muda Raja Abdul Rahman ibni Allahyarham Raja
Jaafar.
dami
Gambar 5.1 Sultan Mahmud Riayat Syah
Foto: Abdul Malik dkk. (2012)
Telah disebutkan di atas bahwa setelah Kesultanan Islam
Melaka ianya dilanjutkan oleh Kesultanan Johor-Pahang-Riau-
Lingga. Dengan demikian, pertumbuhkembangan Islam pun
berlanjut di Kesultanan Melayu itu, mulai dari Sultan Alauddin
Riayat Syah II (Sultan I Johor-Riau) sampai kepada Sultan
Muhammad Syah (Sultan III Lingga-Riau) dan sultan-sultan
selanjutnya di Kesultanan Melayu ini.
Islam, dalam wujudnya di Kesultanan Melayu, mempunyai
tempat yang khusus dalam urusan pemerintahan mulai dari
penggunaan sebutan kehormatan dan gelar yang bernapaskan
74 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Islam sampai kepada pengadopsian unsur-unsur hukum Islam
dalam perundang-undangan negara. Berhubung dengan itu,
sultan bertanggung jawab langsung kepada Allah untuk
memelihara dan mengembangkan agama Islam. Sultan tak
hanya terlibat langsung dalam pembentukan lembaga Islam,
tetapi juga dalam wacana dan aktivitas keagamaan yang
mengkristalkan budaya Melayu. Di samping itu, tak jarang
entitas politik yang biasanya disebut kerajaan diubah
sebutannya menjadi kesultanan (Helmiati, 2011: 94-95).
3. Islam di Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang
Perkembangan dan kemajuan Islam di Kesultanan Riau-
damiLingga-Johor-Pahang berkaitan erat dengan Kesultanan
Melaka. Perkaitannya terjadi karena Raja Malaka, Para-
meswara, merupakan garis keturunan langsung Raja-Raja
Bintan dan Temasik. Dengan hidayah Allah, akhirnya baginda
memeluk agama Islam yang diikuti pula oleh seluruh pembesar
dan segenap rakyat Melaka.
Agama Islam dapat diterima dengan mudah dan baik oleh
Kerajaan-Kerajaan Islam di nusantara, khasnya Melayu,
karena agama itu diyakini dapat membawa umat manusia
kepada kemajuan dalam segala bidang. Dalam Ensiklopedi
Oxford Dunia Islam Modern (Jilid 4) (2001: 43) dijelaskan
bahwa Islam diterima oleh penduduk setempat, yang tertarik
terhadap gagasannya tentang persamaan dan demokrasi.
Penguasa lokal mengadopsi agama baru itu karena melihat
bahwa di dalam bagian ritual dan filosofinya terkandung cara
baru untuk mendukung otoritas mereka dan dengan mudah
menyerap gagasan bahwa penguasa adalah bayang-bayang
Tuhan di muka bumi dan “manusia sempurna”, sebuah konsep
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 75
yang dikembangkan di Kerajaan-Kerajaan Muslim di Asia
Tenggara.
Setelah diserang Portugis, Sultan Melaka berhijrah kembali
ke Bintan, ke Kampar, dan selanjutnya ke Johor. Melaka telah
menjalankan pemerintahan kerajaan dengan agama Islam
sebagai agama kerajaan dan rakyatnya. Dengan demikian,
suatu hal yang sabit di akal bahwa setiap penguasa Kesultanan
Johor-Riau-Lingga-Pahang dan seterusnya Kesultanan Lingga-
Riau dari masa ke masa berpegang teguh kepada keyakinan
yang telah diterapkan di Kesultanan Melaka, termasuk dalam
hal menjalankan roda pemerintahan kesultanan dengan
berpegang dan berpedoman secara teguh kepada agama Islam.
Berhubung dengan itu, dapat ditegaskan bahwa tatkala
Islam berkembang di Kesultanan Melaka, seperti dijelaskan
Sejarah Melayu dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (5)
(2001: 63-64), seorang raja Melaka, yakni Sultan Muhammad
damiSyah segera memerintahkan seluruh pegawai kerajaan dan
masyarakat agar memeluk agama Islam setelah baginda sendiri
beralih menjadi seorang muslim. Akhirnya, Raja Melayu tak
hanya berhasil membawa kerajaan mencapai kemajuan yang
sangat berarti di bidang ekonomi dan politik, tetapi sekaligus
tampil sebagai pusat perkembangan Islam di nusantara. Segala
urusan akhirnya berdasarkan peraturan, yang dikenal dengan
Undang-Undang Melaka, teks berisi seperangkat aturan
hukum di Kesultanan Melaka
Kesultanan Johor-Riau-Pahang-Lingga, yang telah
menjalankan roda pemerintahan kerajaan sebagaimana
diterapkan di Kesultanan Melaka, selanjutnya tatkala berpusat
di Pahang membuat lagi sebuah peraturan untuk kerajaan dan
rakyatnya. Dijelaskan di dalam Ensiklopedi Tematis Dunia
76 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Islam (5) (2001: 71), sebuah teks berisi ketetapan hukum di
Pahang (The Pahang Digest) disusun untuk penguasa
Kesultanan Pahang pada 1592. Undang-undang ini mem-
perlihatkan unsur Islam sangat kuat. Bahkan, hampir separuh
dari seluruh pasal di dalam undang-undang tersebut
merupakan terjemahan dari teks hukum Islam dari mazhab
Syafi’i. Lagi-lagi, undang-undang itu menempatkan Sultan
Pahang sebagai khalifah, yang bertanggung jawab dalam
penerapan hukum Islam di dalam masyarakat dan kerajaan
secara keseluruhan.
Agama Islam yang tumbuh dan berkembang di dalam
kawasan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang merupakan
damikelanjutan pertumbuhkembangan Islam di Melaka. Dengan
demikian, dapat diyakini pula, agama Islam yang berkembang
di Kesultanan Melaka itu semakin maju di Kesultanan Johor-
Riau-Pahang-Lingga. Kenyataan itu berlanjut di Kesultanan
Lingga-Riau karena kewibawaan dan kekonsistenan para
sultannya menerapkan ajaran Islam dalam pemerintahan
mereka. Itulah sebabnya, pada masa pemerintahan Yang
Dipertuan Besar Sultan Muhammad Syah ajaran dan nilai-
nilai Islam benar-benar disebatikan dalam semua aktivitas
pemerintahan dan pengembangan serta pembinaan sosial-
budaya.
Agama Islam yang berkembang di Kesultanan Melaka
merupakan Islam bermazhab Syafi’i. Selat Melaka juga
merupakan pintu keluar agama Islam. Politik ekspansi Melaka
membawa juga akibat persebaran agama Islam madzhab
Syafi’i di sepanjang pantai barat Malaya, sepanjang pantai
timur Sumatera, sepanjang pantai timur Malaya, serta
pedalaman semenanjung Melayu dan Kepulauan Lingga-Riau
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 77
(Muljana, 2009: 152-153).
Islam di Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, sebagai
kelanjutan dari Kerajaan Islam Melaka, mencapai kemajuan
pesatnya ketika Kesultanan Melayu itu berpusat di Hulu Riau,
Sungai Carang, Bintan dan di Daik, Lingga, berawal pada masa
Sultan Mahmud Riayat Syah (1761-1812) berkuasa.
Kekokohan Islam itu berterusan pada masa pemerintahan
Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah I, Sultan Muhammad
Syah, dan anak-cucu baginda selanjutnya.
Di nusantara bagian barat, budaya Melayu klasik dengan
pengaruh Islam yang kuat, berada di sebagian besar Negara
Sumatera dan Semenanjung Malaya. Dengan pelbagai cara
Sultan Melaka meletakkan norma-norma budaya bagi negara-
negara tersebut (Ricklefs, 1999: 77). Tradisi itu berlanjut dalam
pentadbiran Kesultanan Melayu di Semenanjung Melayu dan
Kesultanan-Kesultanan Melayu di Selat Melaka.
damiKesultanan Johor-Riau atau Johor-Pahang-Riau-Lingga
adalah kerajaan yang didirikan pada 1529 oleh Sultan Alauddin
Riayat Syah II, putra sultan terakhir Melaka, Sultan Mahmud
Syah I. Sebelum itu, Johor-Riau merupakan bagian dari
Kesultanan Melaka yang runtuh akibat serangan Portugis pada
1511. Pada puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau
mencakup wilayah Johor sekarang, Singapura, Kepulauan
Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan
dan Jambi (Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara, 2011: 72-
73). Daerah lainnya adalah Sukadana di Kalimantan Barat,
Pahang, Selangor, dan lain-lain.
Kejayaan itu dimulai sejak zaman Yang Dipertuan Besar,
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I dan Yang Dipertuan Muda
Riau, Daing Marewah (dimulai sejak 1722) sampai Yang
78 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah dan anak-cucu
baginda dengan beberapa Yang Dipertuan Muda I, yakni Opu
Daeng Marewah sampai kepada Yang Dipertuan Muda X, Raja
Muhammad Yusuf al-Ahmadi ibni Raja Ali. Dalam hal ini,
Yang Dipertuan Besar Sultan Muhammad Syah selama
pemerintahannya dibantu oleh Yang Dipertuan Muda Raja
Abdul Rahman ibni Raja Jaafar (1832-1844).
Dalam perkembangannya, agama Islam di Kesultanan
Lingga-Riau memberikan pengaruh yang signifikan dalam
perkembangan sosial-budaya Melayu. Alhasil, di Kesultanan
Lingga-Riau budaya dan tamadun Melayu tak dapat dipisahkan
dengan agama Islam sehingga terbentuk kesatuan yang utuh
damikonsep Melayu-Islam. Bahkan, bagi orang Melayu yang
bermastautin di kawasan Kesultanan Lingga-Riau sesiapa pun
atau suku apa pun seseorang yang beragama Islam disebut
sebagai orang Melayu.
Setelah terjadi nikah-kawin antara pihak Melayu dengan
Bugis di Kesultanan Riau-Lingga atau Lingga-Riau, misalnya,
pihak Bugis melebur pelbagai aspek budayanya ke dalam liku
dan adat-resam budaya Melayu sehingga keturunan mereka
memperlihatkan diri sebagai orang Melayu dengan semangat
Bugis. Inilah yang menjadi salah satu faktor penting yang
menyebabkan budaya Melayu dalam citra Islam berkembang
begitu baik pada abad ke-19 sampai seperempat abad ke-20
di Riau (Hamidy, 1990: 21), khasnya Kepulauan Riau sampai
sekarang.
Kedatangan agama Islam ke nusantara, umumnya, dan
Kesultanan Melayu, khasnya, telah membawa perubahan yang
cepat dalam segala bidang. Kebudayaan Islam adalah
penjelmaan iman dan amal bagi manusia untuk mengabdi dan
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 79
menghambakan diri kepada Allah sehingga di Kesultanan
Melayu Islam berfungsi untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan masyarakat Melayu.
Para ulama Islam membina dan menyempurnakan bahasa
dan sastra Melayu di Lingga-Riau melalui aksara Arab-
Melayu. Dengan pula media bahasa dan sastra Melayu
berperan dalam pengembangan dan penyebarluasan dakwah
Islam di nusantara.
Agama Islam telah berjasa besar dalam membina bahasa
dan kesusastraan Melayu di rantau Asia Tenggara, bahkan
melewati batas-batasnya. Begitu pula sebaliknya, bahasa dan
sastra Melayu telah berjasa besar dalam mengembangkan dan
menyiarkan dakwah Islamiah di gugusan Kepulauan
Nusantara, bahkan Asia Tenggara. Bahasa dan kesusastraan
Melayu yang digunakan sebagai media telah berperan amat
penting dalam pengembangan dan penyiaran dakwah
damiIslamiyah di Kepulauan Nusantara, bahkan di Asia Tenggara.
Dengan menggunakan bahasa dan kesusastraan Melayu, para
juru dakwah dengan mudah mengembangkan Islam di
Kepulauan Indonesia (Hasyimi, 1986: 98-90). Begitulah peran
penting bahasa Melayu dalam pengembangan agama Islam di
Asia Tenggara. Alhasil, bahasa Melayu menjadi bahasa kedua
terpenting dalam penyebaran agama Islam di dunia setelah
bahasa Arab.
Hal itu dimungkinkan karena bahasa Melayu dianggap
sebagai bahasa terbaik untuk membaca dan menulis Al-Quran,
Hadits, hukum, dan pengetahuan (Esiklopedi Oxford Dunia
Islam Modern (Jilid 4), 2001: 35). Dengan kata lain, ada
kekuatan perekat antara budaya Melayu dan Islam, yang
perekat utamanya itu ialah bahasa dan sastra Melayu.
80 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Bahasa dan sastra Melayu itu bertumbuh, berkembang, dan
mulai mendapat pembinaan secara baik, sama ada secara lisan
ataupun tulisan di Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang yang
telah dimulai pada masa Yang Dipertuan Besar Sultan
Mahmud Riayat Syah yang diteruskan kebijakannya oleh
putranya Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah I, cucunda
baginda Sultan Muhammad Syah, dan Sultan-Sultan Lingga-
Riau seterusnya sampai kepada Sultan Abdul Rahman
Muazzam Syah II. Karena kemajuan yang dicapai Kesultanan
Riau-Lingga-Johor-Pahang ketika berpusat di Lingga, dan
selanjutnya sejak 1824 sampai 1990 Kesultanan Lingga-Riau,
di antaranya berkembangnya kebudayaan, maka Lingga pun
damidigelar sebagai Bunda Tanah Melayu.
Menurut Ahmad Jamaan dalam Daik Bonda Tanah Melayu,
Daik adalah sebuah negeri yang bertamadun tinggi, memiliki
taji sejarah yang tajam dan panjang. Penuturan bahasa yang
halus, lentik, dan indah bergetah. Di Daik Bunda Tanah
Melayu ini pula pernah terkenal imperium kebudayaan yang
lebih mengutamakan keperkasaan otak ketimbang kilauan
kapak seperti yang berhadap-hadapan dengan keseharian kita
beberapa periode kebelakang ini (Jamaan, 2000: 32-38).
Kesemuanya itu dimungkinkan, antara lain, dari perjuangan
Yang Dipertuan Besar Sultan Muhammad Syah dalam
meneruskan kebijakan para pendahulu baginda dalam
pengembangan dan pembinaan budaya dan agama, yang tak
terpisahkan. Budaya Melayu dikembangkan berdasarkan nilai-
nilai agama Islam di suatu pihak, di pihak lain budaya Melayu,
melalui bahasa, sastra, dan cabang-cabangnya yang lain
menjadi alat pengembangan agama Islam di Kesultanan
Lingga-Riau.
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 81
Kenyataan yang wujud di tengah bangsa bahwa buah atau
hasil dari pengembangan dan pembinaan pada tahap-tahap
awal yang digagas dan dilakukan oleh Yang Dipertuan Besar
Sultan Mahmud Riayat Syah, Sultan Abdul Rahman Muazzam
Syah I, dan Sultan Muhammad Syah dalam bidang kebudayaan
dan tamadun Melayu itulah yang kemudian melahirkan
pengarang-pengarang termasyhur Raja Ahmad bin Raja Haji
dan Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji, yang
mencapai puncaknya di Pulau Penyengat, dengan tokoh
utamanya Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda
Riau.
4. Islam di Kesultanan Lingga-Riau dan Peran Sultan
Muhammad Syah
Di Kesultanan Lingga-Riau, menurut Tuhfat al-Nafis, Islam
telah tumbuh dan berkembang dengan baik di istana dan di
damidalam kehidupan segenap rakyat. Islam telah menjadi sendi-
sendi kehidupan kerajaan dan segenap lapisan masyarakat.
Islam tak sekadar agama untuk diyakini dan diamalkan ajaran
yang sudah diwajibkannya, tetapi mewarnai dan mencitrakan
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu,
bertumbuh dan berkembang perbuatan menginfakkan harta
di jalan Allah, yang dikenal dengan zakat dan sedekah yang
begitu bersar.
Berkaitan dengan Islam, segala Tuan-Tuan Syed pun
banyaklah datang dari tanah Arab apalagi lebai Jawa hingga
penuh tumpatlah di rumah wakaf dan masjid dan segenap surau
orang besar-besar itu dan orang kaya-kaya itu. Apatah lagi
malam Jumat berkumpullah ke dalam semuanya maulud nabi
(Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.), 1991: 389).
82 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Jelaslah bahwa di Kesultanan Lingga-Riau tak hanya amal-
ibadah secara Islam yang dilaksanakan oleh segenap rakyat.
Akan tetapi, perayaan-perayaan berkaitan dengan ajaran Islam
pun dilaksanakan. Misalnya, diadakan kegiatan dan peringatan
yang berkaitan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Penguatan Islam terhadap Kesultanan Lingga-Riau yang telah
dimulai sejak Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang,
diteruskan dan dipelihara oleh Duli Yang Amat Mulia Seri
Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar Sultan Muhammad
Syah. Dalam hal ini, Islam, selain sebagai agama resmi
kesultanan, juga berperan penting sebagai kekuatan politik
yang mewarnai corak sosial-budaya yang dikembangkan di
damiseluruh wilayah kekuasaan Kesultanan Melayu ini.
Penguatan pengembangan dan pembinaan Islam yang sudah
bermula di Kesultanan Melaka berlanjut pesat di Kesultanan
Melayu lainnya. Wujudnya, budaya Melayu bersebati dengan
Islam. Budaya Melayu-Islam sudah kukuh di negeri-negeri
yang di bawah kekuasaan Melaka. Seterusnya, ketika Melaka
jatuh, budaya Melayu-Islam terus berkembang dan bergerak
selaras dengan perkembangan dakwah Islam itu sendiri. Hal
itu ditambah lagi dengan budaya Islam yang menggalakkan
pengembangan ilmu-pengetahuan. Akhirnya, pada masa
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan seterusnya
Kesultanan Lingga-Riau telah berkembang tradisi intelektual
dengan sangat pesatnya.
Kegiatan intelektual mulai dari ilmu agama Islam, sejarah,
sastra, geografi, biografi, astronomi, politik, dan lain-lain.
Selanjutnya, dari Daik, Lingga, kegiatan itu tumbuh dan
berkembang pesat di Pulau Penyengat. Di Pulau Penyengat
kemudian didirikan percetakan pertama di nusantara.
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 83
Kebesaran Penyengat adalah menjadi pusat kebudayaan
Melayu. Penyengat menjadi pusat intelektual yang unggul di
Asia Tenggara ketika itu. Sinar yang dipancarkan pulau ini
sampai ke seluruh nusantara (Bahaman, 2003: 15-16).
Pengukuhan Islam di Kesultanan Lingga-Riau ditandai oleh
banyaklah bahan dalam bentuk teks tertulis mengenai
kehidupan keagamaan di kawasan tersebut, khususnya
informasi yang terperinci untuk abad ke-19. Werner Kraus
telah mengkaji Tarikat Nakshabandiyah dan Martin van
Bruinessen telah membentangkan kepada kita gambaran
sistematik yang pertama tentang pola dan alat-alat pengajaran
Islam. Juga ada tradisi membayar kaul nazar (Matheson-
Hooker, 2001: 58). Kesemuanya itu membuktikan bahwa
Islam telah berkembang dengan baik di kesultanan ini,
termasuk dikembangkan dengan baik oleh Sultan Muhammad
Syah ketika baginda memerintah.
damiPenguatan Islam dilakukan oleh Baginda Sultan, antara lain
dan yang paling utama, dengan mendirikan rumah-rumah
ibadah seperti masjid, surau, langgar, dan rumah wakaf. Di
rumah-rumah ibadah itulah secara keseluruhan ajaran Islam
dapat diajarkan kepada anak-anak di lingkungan kerajaan dan
anak-anak kalangan rakyat sekaliannya. Di Lingga tinggalan
Sultan Mahmud Riayat Syah berupa Masjid Jamik Sultan
Lingga yang didirikan pada 1787, terus dirawat dan dijaga
oleh sultan-sultan selanjutnya, termasuk pada masa
pemerintahan cucunda baginda, Sultan Muhammad Syah.
84 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Gambar 5.2 Masjid Jamik Sultan Lingga
Sumber: travelplusindonesia
damiAwalnya Masjid Jamik Sultan Lingga itu hanya mampu
menampung 40 orang dan kemudian diganti dengan bangunan
beton yang dibina tanpa tiang sebagai penyangga dan dapat
memuat sekitar 400 orang jemaah. Skrin mimbar Masjid Jamik
Sultan Lingga dibuat oleh para pengukir di kawasan Jawa
Tengah. Dalam ukiran tersebut tertera catatan 12 Rabiul Awal,
Senin, 1212 sanah Hijriyah Nabi Muhammad SAW bersamaan
dengan 4 September 1797. Masjid bersejarah itu masih berdiri
kokoh di Daik, Lingga, sampai sekarang karena dirawat
dengan baik oleh para sultan zaman dahulu, termasuk Sultan
Muhammad Syah, dan para pemimpin kemudian serta seluruh
rakyat. Sampai kini masjid itu dimanfaatkan oleh umat Islam
di Daik, Lingga, untuk kegiatan ibadah dan kegiatan-kegiatan
bernuansa Islami lainnya.
Ketika membangun Pulau Penyengat pada 1803 sebagai
mahar untuk istri baginda Engku Puteri Raja Hamidah binti
Raja Haji Fisabilillah, Sultan Mahmud Riayat Syah
melengkapinya dengan pelbagai sarana dan prasarana yang
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 85