The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Sultan Muhammad Syah memerintah Kesultanan Lingga-Riau sejak 1832 hingga 1841. Dalam memerintah, baginda didampingi oleh Yang Dipertuan Muda VII Lingga-Riau yaitu Raja Abdul Rahman yang berkedudukan di Pulau Penyengat, sedangkan Baginda sendiri berkedudukan di Daik Lingga. Masa pemerintahannya terpaksa harus diwarnai kerjasama dengan Pemerintah Hindia-Belanda, hal ini tentu merugikan Kesultanan Lingga-Riau, namun Sultan mampu menyiasatinya dengan mengembangkan kerajinan tembaga serta terus meningkatkan ekonomi dari sektor pertanian, pertambangan dan perdagangan. Pada masa tersebut bandar di Daik Lingga berkembang menjadi pusat perdagangan regional yang menarik bagi para peniaga asing dari barat dan timur.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Buku Sejarah Lokal Kabupaten Lingga, 2022-10-06 23:58:41

SULTAN MUHAMMAD SYAH

Sultan Muhammad Syah memerintah Kesultanan Lingga-Riau sejak 1832 hingga 1841. Dalam memerintah, baginda didampingi oleh Yang Dipertuan Muda VII Lingga-Riau yaitu Raja Abdul Rahman yang berkedudukan di Pulau Penyengat, sedangkan Baginda sendiri berkedudukan di Daik Lingga. Masa pemerintahannya terpaksa harus diwarnai kerjasama dengan Pemerintah Hindia-Belanda, hal ini tentu merugikan Kesultanan Lingga-Riau, namun Sultan mampu menyiasatinya dengan mengembangkan kerajinan tembaga serta terus meningkatkan ekonomi dari sektor pertanian, pertambangan dan perdagangan. Pada masa tersebut bandar di Daik Lingga berkembang menjadi pusat perdagangan regional yang menarik bagi para peniaga asing dari barat dan timur.

Keywords: sultan muhammad syah,lingga-riau,melayu,kesultanan lingga

diperlukan. Selain istana yang lengkap dengan taman-
tamannya, juga dibangun kantor, dan tentu saja masjid. Maka,
berdirilah yang sekarang dikenal Masjid Sultan Riau di Pulau
Penyengat. Bahkan, setelah Pulau Penyengat berubah menjadi
kota baru, disebut Penyengat Bandar Riau, selain dijadikan
tempat kediaman Engku Puteri Raja Hamidah, Sang
Permaisuri, Pulau Penyengat sekaligus difungsikan sebagai
tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda VI Lingga-Riau,
yang kala itu dijabat oleh Raja Jaafar, kakanda Engku Puteri
Raja Hamidah. Sejak itu, Pulau Penyengat Inderasakti resmi
menjadi tempat kedudukan resmi Yang Dipertuan Muda
Lingga-Riau, yang sebelumnya berkedudukan di Sungai
Carang, Hulu Riau.

Sultan Mahmud Riayat Syah memang telah mengupayakan
kesultanannya menjadi pusat pengembangan Islam di Alam
Melayu. Itulah sebabnya, di kawasan Kesultanan Melayu itu

damiterdapat banyak ulama. Para ulama dimaksud tak hanya berasal

dari kalangan luar istana, tetapi dari dalam istana. Berhubung
dengan misi itulah, Tengku Abdul Rahman, putra baginda,
ayahanda Sultan Muhammad Syah, diberikan pendidikan
agama dari pelbagai ulama dan guru agama Islam.

Sultan Mahmud Riayat Syah bercita-cita dan telah
merencanakan ananda baginda itu menjadi ulama besar. Untuk
itu, Tengku Abdul Rahman direncanakan akan diberangkatkan
ke Timur Tengah, di samping untuk menunaikan ibadah haji
ke Makah, juga memperdalam agama Islam.

Sultan Mahmud Riayat Syah pada 1811, setahun menjelang
baginda mangkat, telah berwasiat kepada ananda baginda,
Tengku Abdul Rahman, agar menjadi ulama. Baginda bertitah
ananda baginda, “Oleh sebab engkau cenderung dalam perkara

86 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

ugama, beramal ibadat, hendaklah engkau jadi orang alim,
dan eloklah engkau bersiap-siap pergi ke Makkah (Adil, 1971:
155).

Malangnya, menjelang keberangkatan Sultan Mahmud
Riayat Syah dan rombongan ke Timur Tengah, antara lain
untuk mengantarkan Tengku Abdul Rahman melanjutkan studi
sehingga kelak akan menjadi ulama besar, takdir Allah SWT
menentukan lain. Sultan Mahmud Riayat Syah, wafat di
Lingga pada 12 Januari 1812. Oleh sebab itu, sesuai dengan
wasiat Baginda Sultan ketika masih hidup, Yang Dipertuan
Muda VI Raja Jaafar menabalkan Tengku Abdul Rahman
menjadi Yang Dipertuan Besar Sultan Lingga Riau-Johor-

damiPahang menggantikan ayahanda baginda yang telah mangkat.

Begitulah hebatnya upaya Sultan Mahmud Riayat Syah untuk
mengukuhkan dan mengembangkan Islam di Kesultanan
Lingga-Riau-Johor-Pahang.

Upaya ayahanda baginda itu diteruskan oleh Sultan Abdul
Rahman Muazzam Syah I setelah baginda memimpin tampuk
pemerintahan. Apatah lagi, baginda memang dikenal sebagai
sultan yang alim dan banyak mempelajari hal-ihwal ajaran
agama Islam. Setelah baginda mangkat pada 1832, ananda
baginda, Sultan Muhammad Syah, meneruskan perjuangan
mengembangkan dan membina agama Islam seperti yang telah
dilakukan oleh para pendahulu baginda, terutama nenenda dan
ayahanda baginda. Begitulah agama Islam dan budaya serta
tamadun Melayu-Islam berkembang dengan baik di kawasan
Kesultanan Lingga-Riau sampai setakat ini.

Akan halnya Masjid Sultan Riau di tempat kedudukan Yang
Dipertuan Muda, Pulau Penyengat Indera Sakti, mulai
diperbaiki secara besar-besaran pada masa pemerintahan Yang

SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 87

Dipertuan Besar Sultan Muhammad Syah dan Yang Dipertuan
Muda Raja Abdul Rahman. Pengerjaan perbaikan yang
bersejarah itu dimulai pada Kamis, 1 Syawal 1248  Hijriah
bersamaan dengan 21 Februari 1833 Masehi, yakni bertepatan
dengan hari pertama Aidilfitri. Pekerjaannya meliputi
memperbaiki dan memperbesar masjid tersebut.

Berdasarkan seruan Yang Dipertuan Muda yang memang
berkedudukan di Pulau Penyengat Indera Sakti, rakyat dari
serata pelosok Kesultanan Lingga-Riau berdatangan ke Pulau
Penyengat untuk bergotong royong memperbaiki masjid
tersebut. Di antara mereka ada yang membawa bahan
bangunan, makanan, dan menjadi tenaga kerja pengerjaan
rumah ibadah yang mereka banggakan itu.

Menurut cerita lisan masyarakat tempatan, kaum
perempuan pun ikut dalam mengerjakan perbaikan masjid itu.
Oleh sebab itu, proses pembangunannya selesai agak cepat.

damiFondasinya sekitar 3 meter dapat dikerjakan sampai selesai

hanya tiga minggu.
Rakyat menyumbang pelbagai makanan. Karena begitu

melimpahnya makanan yang disumbangkan itu, khusus telur
ayam, para pekerja perbaikan masjid hanya makan bagian isi
kuningnya saja. Oleh sebab itu, putih telur digunakan sebagai
bahan bangunan. Dalam hal ini, putih telur tersebut digunakan
sebagai bahan perekat, yang dicampur dengan pasir dan kapur.
Alhasil, bangunan masjid berdiri kokoh sampai sekarang.

88 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Gambar 5.3 Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat Indera Sakti

damiSumber: Tribunnews.com

Yang Dipertuan Besar Sultan Muhammad Syah telah
mengokohkan kedudukan agama Islam di Kesultanan Lingga-
Riau. Semasa baginda memimpin pentadbiran negeri, agama
Islam berkembang pesat di seluruh wilayah kesultanan. Upaya
baginda itu merupakan pelanjutan dari upaya serupa yang telah
dilakukan oleh nenenda baginda Sultan Mahmud Riayat Syah
dan ayahanda baginda Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah
I.

Keluarga Sultan Melayu ini sangat berjasa dalam
mengembangkan dan membina agama Islam di wilayah
pentadbiran mereka. Berkat upaya itu, kehidupan sosial-
budaya orang Melayu di Kepulauan Riau sampai sekarang,
yakni wilayah Kesultanan Lingga-Riau dan atau Riau-Lingga
masa lalu, tak dapat dipisahkan dengan ajaran agama Islam.
Nilai-nilai dan ajaran Islam begitu kokoh di wilayah
Kesultanan Melayu ini.

SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 89

Islam menjadi agama resmi kesultanan. Dengan demikian,

umumnya rakyat Kesultanan Lingga-Riau beragama Islam.

Walaupun begitu, kalangan rakyat yang beragama non-Islam

juga bebas melaksanakan ajaran agama mereka masing-

masing dan dilindungi oleh kesultanan. Kehidupan beragama

di kalangan rakyat berlangsung secara harmonis.

Pada masa Yang Dipertuan Besar Sultan Muhammad Syah

berkuasa, perhubungan antarumat beragama berlangsung

secara rukun, damai, saling menghormati. Tak pernah ada

pergesekan dan pertentangan di antara mereka karena

perbedaan agama. Peneraju kesultanan dan rakyat serta rakyat

sesama rakyat hidup saling menghargai. Kenyataan itu

membuktikan bahwa Duli Yang Amat Mulia Seri Paduka

Baginda Yang Dipertuan Besar Sultan Muhammad Syah

tergolong raja yang piawai, arif, dan bijaksana dalam

mentadbir negeri serta memimpin pemerintahan dan rakyat

sekaliannya. dami

90 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

BAB VI
BIDANG KEBUDAYAAN

1. Pendahuluan
Tamadun atau peradaban Melayu, yang kebudayaan

menjadi bagiannya, telah berkembang sejak lama. Ianya terus
berkembang sampai setakat ini. Peradaban Melayu itu berada
di wilayah geografis maritim yang sangat luas sehingga

damimewujudkan tamadun maritim. Peradaban Melayu merupakan

satu-satunya tamadun maritim di dunia (Hasan, 2010: 1).
Walaupun terdapat banyak pusat peradaban Melayu dalam

sejarahnya yang panjang itu, pada hakikatnya ianya merupakan
tamadun yang sama dalam suatu kesinambungan. Hal itu
bermakna bahwa peradaban dan kebudayaan yang berkembang
ketika pusatnya berada di Daik, Lingga, merupakan kelanjutan
dari tamadun Melayu yang telah berkembang sejak dahulu.

Tamadun Melayu dialami oleh manusia yang mengongsi
himpunan ingatan yang sama yaitu orang Melayu. Tamadun
Melayu bertumbuh, berkembang, dan maju bersamaan dengan
kestabilan politik yang lama dan berkelanjutan yang dinaungi
oleh sistem hukum dan budaya yang kompleks.

Kata tamadun tak hanya merujuk kepada kemajuan
kebendaan (material) suatu masyarakat. Ditinjau dari sudut
etimologi, istilah tamadun berasal dari kata maddana yang
berasal dari bahasa Arab. Kata maddana merupakan verba
(kata kerja) yang merujuk kepada perbuatan ‘membuka bandar

SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 91

atau kota serta perbuatan memperhalus budi pekerti’. Dari
perkataan maddana itu terbentuk pula kata madani yang
merupakan ajektiva (kata sifat). Kata madani merujuk kepada
makna ‘sifat sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan
perbandaran atau perkotaan serta kehalusan budi pekerti yang
terpuji’. Kedua-dua kata maddana dan madani itu berasal dari
kata din dari bahasa Arab yang bermakna ‘agama’ yaitu
menggambarkan kehidupan beragama (Marsuki, 2006).
Dengan demikian, tamadun berkaitan dengan perkembangan
peradaban yang direkayasa oleh manusia berdasarkan nilai-
nilai agama yang dianutnya.

Pengertian tamadun berdasarkan etimologi seperti yang
dikemukakan di atas, secara tak langsung menekankan dua
hal penting untuk merumuskan takrif (definisi) yang lengkap
terhadap tamadun. Penakrifan tamadun yang lengkap harus
menggabungkan kedua-dua hal itu, yang berkaitan dengan

damikehalusan budi pekerti dan pembangunan perkotaan atau

pertempatan. Secara lebih sempurna, tamadun boleh
ditakrifkan sebagai sejumlah capaian dan pembangunan dalam
segala perlakuan, pemikiran, dan kemajuan (seperti sains,
teknologi, kesenian, kesusastraan, dan lain-lain) yang tinggi,
baik, halus, dan sopan ke arah pembentukan pribadi dan
masyarakat yang berkepribadian, bertatasusila, berbudi
pekerti, dan atau berkarakter mulia dan terpuji untuk
membentuk suatu masyarakat atau bangsa.

Pengertiannya tamadun juga sering disamakan dengan
peradaban yang bermakna keadaan dan tingkat kemajuan pada
kehidupan jasmani dan rohani suatu masyarakat dan atau
bangsa. Selain itu, kata yang sering digunakan dalam bahasa
Inggris yang mengacu kepada tamadun ialah civilization.

92 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Perkataan itu berasal dari perkataan civitas dari bahasa Latin
yang berarti bandar atau kota. Istilah civilization juga
menekankan penggabungan antara ketinggian budaya dan
kemajuan kebendaan (material).

Kehidupan yang berbudi pekerti atau berkarakter mulia dan
bermoral tinggi merupakan perkara yang penting dalam
kehidupan bertamadun. Pembinaan sifat yang seperti itu dalam
diri seseorang berkaitan erat dengan kepercayaan yang
diyakininya, sedangkan kepercayaan seseorang pula merujuk
kepada kehidupannya sebagai manusia beragama. Peran
agama dalam membentuk pandangan semesta seseorang dan
suatu masyarakat serta perilaku dan atau tindakan mereka

damidalam kehidupan memang sangat penting. Di sini dapat

diketahui bahwa agama berkaitan yang begitu erat dengan
tamadun sebagaimana yang digambarkan oleh tamadun-
tamadun Melayu pada masa silam.

Tamadun dan budaya berhubung yang erat. Pasalnya,
budaya masyarakat yang tinggi dan terpuji menandakan
kehidupan yang bertamadun. Budaya kehidupan suatu
masyarakat merujuk kepada tata cara mereka bertindak
terhadap lingkungan hidup mereka, termasuk lingkungan
sosial, dalam menyelenggarakan kehidupan secara kolektif.
Masyarakat yang berbudaya tinggi sudah pasti mempunyai
kehalusan budi, kesempurnaan moral, dan karakter mulia yang
juga merupakan ciri-ciri kehidupan bertamadun. Walaupun
demikian, tamadun berbeda dengan budaya jika dilihat dari
dua keadaan berikut berikut ini (Bakar, 2010).
1. Pengaruh natijah tamadun berkekalan lebih lama

dibandingkan dengan pengaruh natijah budaya. Dengan
kata lain, sesuatu natijah budaya yang bertahan lama dalam

SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 93

masyarakat merupakan natijah tamadun. Sebagai contoh,
kesetiaan kepada maharajá merupakan satu natijah tamadun
dalam masyarakat Jepang meskipun sistem politik mereka
telah jauh berbeda daripada keadaan silam. Manakala cara
mereka berpakaian dan pemilihan jenis makanan pula
merupakan natijah budaya karena telah mengalami banyak
perubahan dalam seratus tahun ke belakang ini.
2. Tamadun melampaui batas-batas kenegaraan dan wilayah,
sedangkan budaya selalu dikaitkan dengan negara atau
wilayah tertentu. Tamadun Islam, misalnya, meliputi
beberapa budaya menurut negara atau wilayah yang
berbeda. Sebagai contoh, budaya berpakaian masyarakat
Islam di rantau Melayu berbeda dengan masyarakat Islam
di Semenanjung Arab walaupun mereka sama-sama di
bawah naungan tamadun Islam.

damiSepanjang sejarah manusia telah muncul tamadun-tamadun

besar yang masyhur seperti tamadun Mesir, tamadun India,
tamadun China, tamadun Yunani, tamadun Islam, tamadun
Melayu, dan lain-lain. Setiap tamadun memiliki keunikan
tersendiri seperti tamadun Yunani yang masyhur dengan
filsafat dan keseniannya, sedangkan tamadun Islam pula
masyhur dengan perspektif kehidupan yang menyeluruh, di
samping perkembangan sains dan teknologi.

94 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Gambar 6.1 Gunung Daik di Bandar Daik, Kabupaten Lingga
Sumber: Foto instagram.com/bestajunandi, Sisipan Pantun oleh Tim Penulis

damiMeskipun terdapat keistimewaan tertentu pada tamadun-

tamadun yang berbeda, semua tamadun yang telah muncul
mempunyai ciri-ciri dasar yang sejagat seperti berikut ini
(Bakar, 2010).
1. Kewujudan permukiman manusia di suatu kawasan atau

beberapa kawasan yang disatukan membentuk kota atau
bandar, kebijakan, atau madinah.
2. Peningkatan kualitas kehidupan yang lebih baik berbanding
sebelumnya, seterusnya terjadi peningkatan jangka hayat
kehidupan yang lebih stabil dan panjang.
3. Kewujudan sistem organisasi dan institusi sosial dalam
bidang politik, pentadbiran atau pemerintahan, ekonomi,
dan pendidikan yang baik dan teratur.
4. Kemunculan satu bahasa atau beberapa bahasa yang
serumpun dengan satu sistem tulisan sendiri sebagai
perantara komunikasi, perekaman, penyampaian, dan
pewarisan khazanah tamadun dalam pelbagai bidang ilmu.
5. Kewujudan sistem hukum yang teratur dan sistem nilai serta

SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 95

moral yang berwibawa yang dilaksanakan untuk mengatur
perilaku dan tindakan masyarakatnya dalam segala kegiatan
kehidupan.
6. Kelahiran dan peningkat an daya rekacipt a dalam
penciptaan teknologi dan pembinaan untuk memperbaiki
keselesaan hidup.
7. Kelahiran dan perkembangan daya kreativitas dalam
menghayati filsafat, kesenian, kesusastraan, dan nilai
estetika yang khas.

Dalam perspektif ketujuh ciri tamadun yang semesta atau
sejagat (universal) itulah dibahas perkembangan tamadun dan
budaya Melayu pada masa Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah
II berkuasa di Kesultanan Lingga-Riau. Dalam hal ini,
pembangunan kebudayaan Melayu pada masa Baginda
berkuasa tak dapat dipisahkan dengan perkembangan budaya

damiMelayu pada masa pemerintahan para sultan terdahulu.
Karena wilayah di luar Kepulauan Melayu di Asia Tenggara
tak pernah menjadi wilayah konsentrasi, aktivitas perda-
gangan, intelektual, dan budayalah yang lebih aktif.
Sebenarnya, aspek intelektual ini adalah suatu yang sangat
penting dalam tamadun Melayu. Di mana pun tempat yang
pernah menjadi pusat pemerintahan Sultan atau Raja Melayu,
ditemukan lahirnya intelektual yang menghasilkan karya
agama atau filsafat dan epik-epik Melayu, semenjak tradisi
Melayu Hindu-Budha seperti yang dilaporkan oleh Yi Jing (I-
Tsing) di Sriwijaya sampai dengan Kesultanan-Kesultanan
Melaka, Perak, Patani, Riau-Lingga-Johor-Pahang, dan
Lingga-Riau (Hasan, 2010).

Ada sekurang-kurangnya tiga syarat penting yang

96 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

memungkinkan suatu wilayah menjadi pusat intelektual
sebuah tamadun. Ketiga syarat itu sebagai berikut.

Pertama, wilayah itu harus mempunyai sistem pemerin-
tahan yang agak stabil. Kestabilan pemerintahan itu mampu
menjamin aktivitas intelektual berlangsung dengan baik dan
berkelanjutan.

Kedua, wilayah itu memiliki sistem hukum yang baik
sehingga hak dan kewajiban rakyat atau masyarakat diatur
dengan baik. Di wilayah Lingga-Riau di bawah pemerintahan
sultan-sultannya sistem hukumnya relatif baik sehingga
memungkinkan rakyat hidup rukun.

Ketiga, wilayah itu memiliki sistem perdagangan yang baik

damisehingga mampu memberi surplus dalam pendapatan rakyat

atau masyarakat. Dalam kondisi itu, para intelektualnya
mempunyai bagi waktu yang cukup untuk menghasilkan karya
intelektual, tanpa harus memikirkan upaya-upaya untuk
memenuhi keperluan hidup mereka sehari-hari. Hanya dalam
kehidupan seperti itulah akan lahir para cendekiawan lokal
(local genius). Dan, para intelektual itulah yang menghasilkan
karya intelektual seperti yang terjadi di Kesultanan Lingga-
Riau dan dimulai oleh Bilal Abu dan Raja Ahmad Engku Haji
Tua ibni Raja Haji Fisabilillah dan dilanjutkan oleh generasi
berikutnya.

Demikianlah gambaran umum tamadun atau peradaban dan
kebudayaan Melayu yang berkembang pada masa peme-
rintahan Sultan Muhammad Syah bertahta di Daik, Lingga,
dan sultan-sultan sesudah Baginda. Di antara unsur
kebudayaan yang paling menonjol pada masa itu adalah
bahasa. Perkembangan bahasa Melayu Lingga-Riau atau Riau-
Lingga terus berkembang pesat dan terpelihara dengan baik

SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 97

kala itu.

2. Pengetahuan Tradisional
Kebudayaan dan tamadun Melayu yang berkembang di

Kesultanan Lingga-Riau merupakan kelanjutan dari
Kesultanan Melayu sebelumnya, yakni Kesultanan Melaka
(1400-an-1528) dan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang
(1528-1824). Selanjutnya, kerajaan ini dikenal sebagai
Kesultanan Lingga-Riau, yang berpusat di Daik, Lingga, sejak
24 Juli 1787 ketika Duli Yang Amat Mulia Seri Paduka
Baginda Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Riayat Syah,
kakek Sultan Muhammad Syah, memindahkan pusat
pemerintahannya dari Sungai Carang, Hulu Riau, Tanjung-
pinang sekarang.

Di Kesultanan Melayu ini bidang kebudayaan selalu
menjadi perhatian utama para pemimpinnya pada masa lalu.

damiSalah satu unsur kebudayaan yang berkembang pada masa

pemerintahan Duli Yang Amat Mulia Seri Paduka Baginda
Yang Dipertuan Besar Sultan Muhammad Syah adalah
pengetahuan tradisional. Pengetahuan tradisional Melayu itu
sebagian besar tetap bertahan sampai setakat ini, di antara
adalah kecakapan teknik. Dari kecakapan itu lahirlah pelbagai
gastronomi Melayu. Gastronomi adalah seni menyiapkan
makanan dalam budaya tertentu.

Dalam budaya Melayu Kesultanan Lingga-Riau, telah
berkembang pelbagai jenis makanan dan minuman sejak
dahulu. Gastronomi Melayu itu meliputi jenis-jenis berikut
ini.

Lauk-pauk: gulai asam pedas, acar, opor, singgang,
pindang, gulai kari, sayur lemak, sayur air, pekasam, cencalok,

98 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

bilis gulung, ikan bakar, ikan goreng pedas, cumi-cumi masak
hitam, kerabu, lendot, aneka masakan ketam, aneka masakan
udang, dan lain-lain.

Makanan: kepurun, lempeng, gubal, laksa, sagu rendang,
sagu resik, sagu lenggang, nasi lemak, nasi dagang, nasi
kerabu, bubur lambuk, bubur air, bubur pedas, pulut kuning,
pulut putih, lemang, mie siam, mie lendir, mie goreng Melayu,
roti canai, roti jala, dan lain-lain.

Kue-kue dan penganan: pengat labu, pengat ubi, apam,
otak-otak, epok-epok, engkak, opak-opak, bingka, emping,
bulda, botok-botok, lempar, dodol, lempuk, sagun-sagun,
aman sari, belebat, penganan talam, buah melaka, tepung

damigomak, rendang pisang, kue bangkit, bolu, bolu kemboja,

tepung kusui, kole-kole, putu mayang, putu piring, abuk-abuk,
seri salat, dan lain-lain.

Minuman: air sirap ros, sauh manila, cendol, air dohot, air
selasih, air sepang, es gunung, es campur, dan lain-lain.

Sebagai kawasan yang sebagian besar wilayahnya
menghasilkan sagu, dari bahan baku sagu orang Melayu pada
masa itu telah mengembangkan puluhan jenis makanan dan
kue. Sampai sekarang ragam makanan dan kue-kue Melayu
dari bahan baku sagu yang telah dikembangkan mencapai
ratusan jenis.

SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU 99

Gambar 6.2 Kuliner Melayu Lempeng Sagu
Sumber: Batamnews,  6 September 2018

Jenis pengetahuan yang berkembang di kawasan ini sebagai
tinggalan masa lalu dari Kesultanan Lingga-Riau adalah hasil

damidari kemahiran. Yang tergolong kemahiran itu adalah

pembuatan tudung mantur (manto), tenun, batik cap Lingga,
pakaian Melayu (barut, teluk belanga, cekak musang, gunting
cina, baju kurung, belah labuh, aneka tanjak dan tengkolok)
keris Melayu, serampang, lembing, parang pendek, parang
panjang, pelbagai pisau, lapun, pembuatan perahu dan
kelengkapannya, pelbagai alat tangkap ikan, pelbagai peralatan
rumah tangga (tikar, lekar, tapis, ayak, tudung saji, dan lain-
lain), rumah irik (peralatan produksi sagu), dan sebagainya.

Kemahiran pembuatan perahu pada masa ini telah
berkembang pesat. Di antara jenis-jenis perahu yang telah
digunakan oleh orang Melayu pada masa ini adalah jongkong,
sampan atau perahu kolek, lancang, pencalang, penjajab,
pemayang, lading, dan kakap.

100 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Jongkong adalah sejenis perahu kecil yang hanya dapat
memuat 1-3 orang. Jenis perahu ini digunakan sebagai alat
transportasi laut antarpulau terdekat yang tak bergelombang
tinggi. Selain itu, jongkong juga digunakan sebagai kendaraan
untuk menangkap ikan di sekitar pantai atau tak jauh dari
bibir pantai. Biasa juga jongkong dipakai untuk bertamasya
di laut tak jauh dari pinggir pantai yang membawa 1-3 orang
penumpang.

Jongkong terbuat dari satu pohon besar yang ditebuk di
tengahnya dan dilancipkan haluan dan buritannya. Ada juga
jongkong yang terbuat dari susunan papan lengkap dengan
sengkar, haluan, dan buritan seperti hanya kolek, tetapi

damiukurannya lebih kecil daripada kolek.

Gambar 6.3 Jongkong
Sumber: Wisata Anambas on Twitter

Perihal jongkong ada direkam di dalam pantun pusaka
Melayu. Secara lengkap, pantunnya sebagai berikut.

Besar ulat di daun kayu
Anak Belanda main teropong
Besar daulat Raja Melayu
Kapal ditarik dengan jongkong

101SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Kolek merupakan alat transportasi laut yang digunakan
untuk membawa orang dan atau barang antarpulau. Kolek juga
biasa digunakan oleh nelayan Melayu untuk menangkap ikan.
Kolek dilengkapi dengan dayung dan layar.

Gambar 6.4 Kolek
Sumber: https://www.flickr.com/photos/didiz/32464396792

damiKolek juga biasa digunakan sebagai alat olahraga laut. Jenis

olahraga itu disebut Lumba Kolek. Jenis koleknya disebut
kolek lumba. Ukuran kolek lumba terdiri atas untuk 3 orang,
5 orang, 7 orang, 9 orang, dan 12 orang. Semakin banyak
jumlah orang sebagai muatannya, semakin besar dan panjang
pula ukuran koleknya. Kolek lumba hanya dilengkapi dengan
layar dan satu dayung yang digunakan oleh tekong sebagai
kemudi. Gerak kolek lumba hanya mengandalkan hembusan
angin. Layar kolek lumba lebih besar daripada layar kolek
yang biasa digunakan sebagai alat transportasi laut biasa (yang
membawa orang, barang, dan atau kendaraan laut bagi
nelayan).

102 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Gambar 6.5 Kolek Lumba
Sumber: Pemerintah Kabupaten Lingga

Lancang merupakan perahu dagang, perang, dan kendaraan

damilaut resmi para pentadbir kesultanan seperti Sultan, Yang

Dipertuan Muda, para menteri. Juga digunakan sebagai armada
patroli laut Kesultanan Lingga-Riau.

Gambar 6.6 Lancang
Sumber: Wikipedia

Pencalang adalah sejenis perahu dagang Melayu. Jenis
perahu ini biasa digunakan juga sebagai alat angkut bekalan
perang ketika terjadi pertempuran di laut. Dalam keadaan

103SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

perang, pencalang dilengkapi dengan persenjataan seperti
meriam, senapan, dan lain-lain.

Gambar 6.7 Pencalang
Sumber: Wikipedia

Perahu perang sesungguhnya adalah penjajab atau penjajap.
Sebagai kapal perang tentulah penjajab digunakan untuk
pertempuran di laut dan patroli tentara laut pada masa damai.

damiPerahu jenis ini dahulu digunakan baik oleh tentara laut

kesulatanan dan bajak laut pada masa itu. Kendaraan laut ini
berbentuk panjang dan ramping. Haluan dan buritannya sangat
lancip dan dibuat ringan agar dapat bergerak cepat. Ukurannya
beragam, ada yang kecil dan ada pula yang besar. Akan tetapi,
semakin kecil ukuran penjajab semakin baik karena
kecepatannya tinggi sehingga menjadi armada laut yang lincah
untuk peperangan dan patroli laut.

104 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Gambar 6.8 Penjajab atau Penjajap
Sumber: Wikipedia

damiAda dua jenis penjajab berdasarkan ukurannya. Pertama,

penjajab kecil yang berfungsi sebagai kapal penyerang karena
jenis perahu ini dapat bergerak secara cepat dan lincah. Kedua,
penjajab besar berfungsi sebagai pelindung dalam peperangan
di laut.

Perihal penjajab digunakan oleh pihak Kesultanan Lingga-
Riau dalam membasmi kejahatan di laut, dicatat oleh Raja
Ahmad Engku Haji Tua dan Raja Ali Haji dalam buku mereka
Tuhfat al-Nafis. Berikut ini nukilannya.

“Syahdan maka kebanyakan rakyat-rakyat takut dan
malu kepadanya. Hatta dengan demikian itu maka
sampailah khabar-khabar itu kepada Yang Dipertuan
Muda Raja Abdul Rahman serta baginda Sultan
Muhammad Syah. Maka murkalah keduanya lalu
memberi surat dari Lingga kepada Resyiden Riau.
Kemudian bersiaplah baginda serta Yang Dipertuan
Muda akan beberapa kelengkapan ada kira-kira tiga
puluh buah penjajab [huruf miring oleh pen.] Riau-

105SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Lingga dan keruis Holanda. Maka berkumpullah ke
dalam Lingga segala angkatan itu. Kemudian Yang
Dipertuan Muda pun menyuruhlah melanggar Inuk itu.
Adalah kepala perangnya itu, yaitu ayahanda saudaranya
Raja Jaafar putera Yang Dipertuan Raja Ali Marhum
Pulau Bayan. Maka pergilah segala angkatan itu,”
(Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.), 1982: 316-317).

Pemayang pula adalah perahu yang dapat memuat 15
sampai dengan 20 orang. Panjang kapal sekira 33 hingga 45
kaki dan lebar 6 sampai 7 kaki. Jenis perahu memiliki dua
buah tiang layar. Satu tiang berada di depan dan satu lagi di
bagian belakang. Bahan kayu yang digunakan adalah kayu
serayah dan medang. Jenis kayu-kayu itu umumnya sangat
mudah diperoleh di wilayah Kesultanan Lingga-Riau atau
Kepulauan Riau sekarang. Perahu pemayang ini umumnya
digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan dengan jaring

damiyang besar.
Nama perahu lading dijumpai di dalam teks Hikayat Hang
Tuah. Lading digunakan oleh Hang Mahmud untuk membawa
istrinya, Dang Merdu Wati, dan anaknya, Hang Tuah,
berpindah dari kampung mereka di Sungai Duyung, Singkep,
ke Bintan. Perahu jenis ini tergolong perahu kecil yang terbuat
dari sebatang kayu yang panjang.

“Maka Hang Mahmud pun berlengkaplah dengan
sebuah lading [huruf miring oleh pen.]. Setelah sudah,
maka Hang Mahmud pun berpindahlah ke Bentan. Maka
ia pun berbuat rumah hampir kampung Bendahara
Paduka Raja. Maka Hang Mahmud pun berjual dan
berkedai makanan di kedainya itu,” (Ahmad (Ed.), 1975:
20; Malik, 2021: 2).

106 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Dengan memperhatikan kutipan Hikayat Hang Tuah di
atas, dapatlah disimpulkan begini. Lading merupakan
perahu yang telah lama ada dan digunakan oleh orang
Melayu, termasuk di kawasan Lingga. Dihubungkan
dengan peristiwa kehidupan Hang Tuah, berarti perahu
lading itu telah digunakan oleh orang Melayu sekurang-
kurangnya sejak abad ke-15.

Selanjutnya kakap. Dalam situasi perang, penjajab biasa
juga didampingi perahu yang lebih kecil, yang disebut perahu
kakap. Kakap adalah perahu pesisir atau perahu sungai sempit
yang biasanya digunakan orang Melayu untuk menangkap ikan
dan alat angkut laut. Perahu kakap juga selalu dipakai oleh

damitentara laut Kesultanan Lingga-Riau sebagai perahu bantuan

perang. Bagi para lanun atau perompak laut, perahu ini
digunakan untuk melakukan perompakan di kawasan pesisir.

Gambar 6.9 Perahu Kakap
Sumber: Wikipedia

Perahu jenis kakap juga pernah digunakan sebagai
kendaraan pelengkap oleh Sultan Muhammad Syah ketika
baginda dan rombongan berkunjung ke Negeri Pahang. Hal
itu termaktub di dalam Tuhfat al-Nafis.

107SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

“Sebermula adapun Baginda Sultan Muhammad Syah
di dalam negeri Lingga, maka bersiaplah ia akan
kelengkapan ada kira-kira empat puluh tujuh buah
penjajap dan kakap-kakap [huruf miring oleh pen.].
Maka apabila sudah mustaib maka Baginda Sultan
Muhammad Syah pun berangkatlah belayar ke negeri
Pahang singgah ziarah di Johor. Kemudian baharulah
belayar ke Pahang….” (Haji, 2002: 301).

Uraian di atas memerikan jenis-jenis kapal dan atau perahu
layar yang telah berkembang dan digunakan oleh orang
Melayu pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah.
Jenis-jenis kapal dan perahu layar itu digunakan pihak
kesultanan dan rakyat sekaliannya pada masa damai untuk
pelbagai keperluannya dan pada masa perang.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah juga
telah diproduksi barang-barang peralatan rumah tangga dari

damitembaga di Daik, Lingga. Tempat produksinya sekarang

dikenal dengan nama Kampung Tembaga, Daik, Kabupaten
Lingga sekarang.

Di antara barang-barang produksi tembaga itu adalah
peralatan rumah tangga. Barang-barang tersebut, antara lain,
sangku, dulang, teko, senjung, sanggan, tempat lilin, cembul,
dan lain sebagainya. Sebahagian jenis barang-barang produksi
tembaga itu masih tersimpan di Museum Linggam Cahaya,
Daik, Lingga.

Pengetahuan tradisional yang juga berkembang pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Syah adalah pengetahuan
pertanian dan perikanan. Yang termasuk dalam kelompok
pengetahuan tradisional ini ialah sistem perkebunan sagu dan
proses produksinya, perkebunan kelapa, perkebunan cengkih,

108 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

perkebunan gambir, perkebunan tembakau, perkebunan lada
hitam, perkebunan buah-buahan, pertanian sayur-mayur, dan
lain-lain. Selain perkebunan dan pertanian, juga terdapat
pengetahuan perikanan yang melipugti pelbagai cara
penangkapan ikan: mengail, memancing, menjala, menjaring,
merawai, memintur, mengempang, berkarang, bertogok,
berbubu, berkelong, berjermal, dan lain-lain di wilayah
Kesultanan Lingga-Riau, yang sekarang disebut Provinsi
Kepulauan Riau.

dami

Gambar 6.10 Alat Tangkap Kelong di Laut Lingga
Sumber: Tim Penulis

Pengetahuan tradisional yang juga berkembang adalah
pengetahuan ekologis. Bidang ini biasa dikenal sebagai Ilmu
Astronomi Tradisional Melayu, yang meliputi kearifan
navigasi tradisional Melayu, yang disesuaikan dengan
keberadaan benda-benda langit. Selain itu, juga kearifan dalam
penentuan musim melaut sesuai dengan keadaan cuaca,
tempat-tempat yang banyak ikan pada musim tertentu, dan
sebagainya.

Pengetahuan tradisional Melayu yang berkembang juga
dilengkapi oleh pengetahuan pengobatan. Yang tergolong
kelompok ini meliputi semua jenis pengobatan tradsional

109SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Melayu, cara penyembuhan penyembuhan penyakit, perawatan
tubuh, dan pengetahuan yang berhubung dengan sumber daya
genetik yang digunakan (hewan dan tumbuh-tumbuhan). Di
dalam budaya Melayu Kesultanan Lingga-Riau ada pelbagai
jenis pengobatan, termasuk berurut dan bertangas untuk
pemeliharaan kesehatan. Pengetahuan tradisional itu masih
bertahan sampai sekarang.

3. Ekspresi Budaya Tradisional
Ekspresi budaya tradisional (traditional cultural

expressions) adalah segala bentuk ekspresi karya cipta, baik
berupa benda maupun tak benda, atau kombinasi keduanya
yang menunjukkan keberadaan suatu budaya tradisional yang
dipegang secara komunal dan lintas generasi.

Di Kesulatanan Lingga-Riau ekspresi budaya telah
berkembang sejak lama. Semua ekspresi budaya itu diteruskan

damipada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah. Ekspresi

budaya itu tetap bertahan dan terus berkembang sampai setakat
ini.

Jenis ekspresi budaya tradisonal yang berkembang di
kawasan ini adalah verbal tekstual. Yang termasuk kelompok
ini adalah pelbagai prosa dan puisi Melayu yang berkembang
sejak lama, baik lisan maupun tulisan, yang berupa karya sastra
atau narasi informatif.

Jenis prosa dan puisi itu meliputi cerita rakyat (Putra Lokan,
Nakhoda Tanggang, Si Jangoi, Panglima Undan, Legenda
Gajah Mina, dan lain-lain), petatah-petitih atau peribahasa,
mantera, pantun, syair, gurindam, nazam, hikayat, karya-karya
tulis dalam pelbagai bidang di luar sastra. Bidang-bidang itu
meliputi bahasa, sejarah, politik, pemerintahan, agama,

110 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

astronomi, kesehatan (perobatan), dan lain-lain yang pada
masa ini umumnya masih berbentuk lisan. Akan tetapi,
sebagian kecil telah dikembangkan juga secara tertulis sejak
masa pemerintahan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah I
dan diteruskan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad
Syah.

Ekspresi budaya tradisonal yang juga berkembang adalah
seni musik. Pelbagai lagu Melayu Kepulauan Riau sekarang
tak lain adalah warisan Kesultanan Lingga-Riau, lengkap
dengan instrumentalnya, antara lain, senandung, gazal,
dondang sayang, joget, langgam, inang, zapin, kompang, dan
lain-lain.

damiSeni gerak juga merupakan jenis ekspresi budaya

tradisional tinggalan Kesultanan Lingga-Riau, yang telah ada
sejak masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah. Jenis
kesenian ini meliputi tari tradisional Melayu, antara lain,
zapin, joget dangkung, joget lambak, gobang, dikir barat, tari
tempurung, rodat, berdabus, dan lain-lain.

Ekspresi budaya gerak yang juga telah berkembang pada
masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah adalah pelbagai
permainan rakyat. Permainan rakyat itu diselenggarakan di
darat dan di laut. Permainan di darat seperti gasing, layang-
layang, santak atau setatak, guli, sepak raga, pencak silat, dan
lain-lain. Jenis permainan rakyat di pantai dan laut adalah
lumba jung, lumba berdayung sampan, lumba kolek, lumba
berenang di laut, dan sebagainya.

111SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Gambar 6.11 Lumba Jong Melayu Kepulauan Riau
Sumber: batampos.co.id/cecep mulyana

Seni pertunjukan atau teater tradisional juga telah
berkembang pada masa itu. Teater tradisional Melayu warisan

damiKesultanan Lingga-Riau yang dikenal sekarang meliputi

wayang bangsawan, makyong, mendu, boria, wayang cecak,
gobang, dan lain telah wujud pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Syah. Selain itu, berkembang pula pertunjukan
tradisional bernapaskan Islam, yakni barzanji, asyrakal,
marhaban, dan berdah sebagai wujud menyatunya budaya
Melayu dengan nilai-nilai ajaran agama Islam yang memang
dijaga oleh para Sultan Lingga-Riau.

Seni rupa merupakan bagian dari ekspresi budaya. Seni
rupa tradisional Melayu warisan Kesultanan Lingga-Riau masa
lalu yang terus berkembang pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Syah dan terus berlanjut sampai kini meliputi
gambar, lukisan, ukiran, perhiasan, barang logam, tekstil, corak
dan ragi (motif dan desain), tembikar, kerajinan, jahitan,

112 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

anyaman, kayu, kostum, alat musik, dan kaligrafi. Di antaranya
terdapat di dalam barang-barang tembaga, tudung mantur,
batik cap Lingga, pelbagai tenun yang wilayah kesultanan ini,
dan seni arsitektur tradisional Melayu.

Arsitektur tradisional Melayu merupakan ekspresi budaya
yang tergolong khas. Kesultanan Lingga-Riau telah
mewariskan jenis-jenis arsitektur yang terdiri atas Rumah
Bubung Melayu, yang dapat berupa Rumah Perabung Panjang
atau Rumah Perabung Melintang. Selain itu, terdapat pula
arsitektur istana, masjid, dan makam.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhamad Syah seni
arsitektur yang berkembang dengan sangat baik. Sebagai sultan

damiyang mencintai seni, Baginda Sultan telah merencanakan

pembangunan pondasi Bilik 44 di pusat pemerintahan
kesultanan, yakni Bandar Daik, Lingga. Tinggalannya
sekarang tercatat sebagai Situs Cagar Budaya Bilik 44 di Daik,
Kabupaten Lingga.

Gambar 6.12 Ragam Hias (Ornamen) Melayu Wajik-Wajik
Sumber: Malik, Effendy, Junus, & Thaher (2003)

Sultan Muhammad Syah juga dikenal sebagai pemimpin
Melayu yang sangat memperhatikan adat-istiadat. Upacara
adat Melayu senantiasa dilaksanakan oleh Baginda secara
meriah, tetapi juga sakral. Kenyataan itu terlihat ketika

113SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Baginda menikahkan Tengku Besar Mahmud, putra Baginda.
Acara adatnya diselenggarakan secara besar-besaran.

Adat-istiadat Melayu yang bertahan sampai sekarang juga
merupakan warisan Kesultanan Lingga-Riau yang telah
berkembang sejak masa pemerintahan Sultan Muhammad
Syah. Di antara upacara itu adalah upacara kehamilan tujuh
bulan, upacara lenggang perut, upacara menyambut kelahiran
bayi, upacara basuh lantai, upacara berjejak tanah, upacara
aqiqah, upacara khatam Al-Quran, upacara sunat Rasul,
upacara pernikahan, upacara semah, upacara mandi Safar,
upacara semah atau bersih kampung, upacara memperingati
kematian, upacara ziarah, dan lain-lain.

4. Tradisi Kepengarangan
Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang mengalami

perpecahan sejak 1722. Kala itu berdiri Kesultanan Siak

damiInderapura di Riau Daratan sehingga semua wilayah Riau

Daratan terpisah dari Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang,
kecuali wilayah Inderagiri. Seterusnya, pada 1819 dengan
dilantiknya Tengku Hussin, kakanda Sultan Abdul Rahman
Muazzam Syah I, dilantik oleh Inggris menjadi Sultan
Singapura. Pelantikan itu merupakan siasat Inggris untuk
memecah belah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang karena
Singapura sebelum ini menjadi bagian dari Kesultanan Riau-
Lingga-Johor-Pahang, yang dipimpin oleh Sultan Abdul
Rahman Muazzam Syah I (1812-1832), ayahanda Sultan
Muhammad Syah, yang bertahta di Daik, Lingga. Sejak itu,
Singapura terpisah dari kesultanan induknya.

Pada 17 Maret 1824 melalui Perjanjian London (Traktat
London) yang disepakati oleh Belanda dan Inggris, kesultanan

114 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

ini terpecah lagi sehingga semua wilayah di Semenanjung
terpisah pula. Dari pecahan itulah terbentuknya Kesultanan
Lingga-Riau, yang pada 1824-1900 berpusat di Daik, Lingga,
dan kemudian disebut Kesultanan Riau-Lingga ketika
pusatnya dipindahkan ke Pulau Penyengat Indera Sakti sejak
1900-1913.

Semasa Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang, Duli Yang
Mahamulia Seri Paduka Baginda Sultan Mahmud Riayat Syah,
yang mulai memindahkan pusat pemerintahan ke Daik,
Lingga, sejak 24 Juli 1787, mulai membangun Pulau
Penyengat sebagai bandar baru pada 1803. Pembangunan itu
dilaksanakan bertepatan dengan Seri Paduka Baginda Sultan

damimenikah dengan Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji

Fisabillah pada tahun itu. Emas kawin atau maharnya adalah
Pulau Penyengat.

Sebelum itu, Engku Puteri Raja Hamidah bermastautin di
Istana Kota Piring, Pulau Biram Dewa, yakni tempat
kedudukan ayahanda beliau, Allahyarham Duli Yang Mulia
Seri Paduka Baginda Raja Haji Fisabilillah. Pada 1806 Pulau
Penyengat selesai dibangun dan Tuanku Permaisuri Engku
Puteri Raja Hamidah sebagai pemiliknya pun berpindah ke
sana.

Bersamaan dengan itu, tempat kedudukan Yang Dipertuan
Muda, yang kala itu dijabat oleh Paduka Baginda Raja Jaafar
ibni Raja Haji Fisabilillah, dipindahkan pula ke Pulau
Penyengat. Semenjak itu, Pulau Mahar itu dikenal dengan
nama Pulau Penyengat Indera Sakti dan Pulau Penyengat
Bandar Riau.

Pulau Penyengat Indera Sakti kelak menjadi pusat
pembinaan dan pengembangan tamadun Melayu, khasnya

115SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

tradisi tulis, yang sekarang dikenal orang di seluruh dunia.
Itulah keistimewaan Pulau Pengengat Indera Sakti, Pulau
Emas Kawin, untuk Tuanku Permaisuri Engku Puteri Raja
Hamidah ibni Raja Haji Fisabilillah dari suami Baginda, Duli
Yang Amat Mulia Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar
Sultan Mahmud Riayat Syah, yang bertahta di Daik, Lingga.

Menurut Francois Valentijn, pendeta sekaligus pakar
sejarah berkebangsaan Belanda, pada abad ke-18 bahasa
Melayu Riau-Johor telah mengalami kemajuan pesat dan telah
menyamai bahasa-bahasa Eropa. Berikut ini penuturannya
(Karim dkk., 2003: 14; dan Hassim dkk., 2010: 4).

“Bahasa mereka, bahasa Melayu, tak hanya dituturkan
di daerah pinggir laut, tetapi juga digunakan di seluruh
Kepulauan Melayu dan di semua negeri Timur, sebagai
suatu bahasa yang dipahami orang di mana-mana saja,
tak ubahnya seperti bahasa Perancis atau Latin di Eropa

damiatau sebagai bahasa Lingua Franca di Itali dan di Levant.

Sungguh luas persebaran bahasa Melayu itu sehingga
kalau kita memahaminya tak mungkin kita kehilangan
jejak karena bahasa itu bukan hanya dipahami orang di
Persia, bahkan lebih jauh dari negeri itu, dan di sebelah
timurnya sehingga Kepulauan Filipina.”

Hal itu bermakna pengembangan bahasa Melayu telah
dilaksanakan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Riayat
Syah. Rakyat digesa untuk berbahasa Melayu tinggi secara
benar dan baik, sesuai dengan adab berbahasa yang baik.
Alhasil, bahasa Melayu Kesultanan Lingga-Riau dijadikan
model bahasa baku Melayu di seluruh nusantara, bahasa
Melayu tinggi.

Bahasa Melayu tinggi itulah yang diajarkan dan dijadikan

116 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

bahasa pengantar di semua sekolah yang didirikan oleh
Belanda di nusantara ini. Taraf capaian bahasa Melayu itu terus
ditingkatkan oleh anak-cucu Baginda kemudian, yang terdiri
atas Raja Ali Haji dan para cendekiawan Kesultanan Riau-
Lingga dalam aktivitas keilmuan yang bersifat akademik. Pada
gilirannya, segala upaya itu telah menjadikan tamadun Melayu
mencapai puncak kegemilangannya kembali, bahkan jauh
lebih hebat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya,
terutama dalam tradisi kepengarangan dan pengembangan
ilmu-pengetahuan.

Bahasa yang digunakan dalam tradisi Riau-Johor itu disebut
bahasa Melayu Riau-Johor atau bahasa Melayu Johor-Riau.

damiDi Indonesia bahasa itu dikenal dengan nama bahasa Melayu

Riau, sedangkan di Malaysia biasa juga disebut bahasa Melayu
Johor, selain sebutan bahasa Melayu Johor-Riau.

Bahasa Melayu tinggi yang telah berkembang sejak masa
pemerintahan Sultan Mahmud Riayat Syah terus menjadi
tradisi di Kesultanan Lingga-Riau sampai masa pemerintahan
Sultan Muhammad Syah dan seterusnya sampai ke sultan
terakhir, Sultan Abdurrahman Muazzam Syah II (1885-1913).
Dalam hal ini, penggunaan bahasa Melayu tinggi di wilayah
Kesultanan Lingga-Riau sangat terpelihara, terutama di Daik,
Lingga, dan Pulau Penyengat Indera Sakti, yakni di lingkungan
istana Yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda
Kesultanan Lingga-Riau. Perannya sebagai Bahasa baku
Melayu tetap berlangsung sampai sekarang.

Dalam hal pengembangan dan pembinaan bahasa tulis, dari
senarai penulis Lingga-Riau, dapatlah diketahui bahwa pada
masa Sultan Muhammad Syah berkuasa telah ada beberapa
cendekiawan yang mulai mengembangkan tradisi tulis.

116SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Mereka berkaya di tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda,
Pulau Penyengat Bandar Riau atau Pulau Penyengat Indera
Sakti.

Kreativitas pengkajian ilmu-pengetahuan dan tamadun atau
peradaban umumnya telah berkembang dengan baik di
Kesultanan Lingga-Riau sejak awal abad ke-19. Budaya
literasi telah dimulai pada masa pemerintahan Sultan Abdul
Rahman Muazzam Syah I (1812-1832), Sultan Muhammad
Syah (1832-1841), Sultan Mahmud Muzaffar Syah (1841-
1857), Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II (1857-1883)
sampai dengan masa pemerintahan Sultan Abdurrahman
Muazzam Syah II (1885-1913).

Kegiatan intelektual, yang menjadi ciri khas tamadun
Melayu sejak Kesultanan Sriwijaya, itu tumbuh merecup
kembali di Kesultanan Lingga-Riau. Oleh sebab itu,
Kesultanan Lingga-Riau menjadi pusat tamadun Melayu-

damiIslam, pasca Kesultanan Melaka.
Tradisi literasi itu telah dimulai oleh Bilal Abu atau Lebai
Abu atau Tuan Abu. Beliau sekurang-kurangnya menulis dua
buah karya sastra. Karya-karya beliau itu ialah Syair Siti
Zawiyah (1820) dan Syair Haris (1830). Jelaslah Bilal Abu
telah mulai berkarya pada masa pemerintahan Sultan Abdul
Rahman Muazzam Syah I. Karya beliau tetap menjadi rujukan
pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah sampai ke
sultan-sultan berikutnya.

Perkhidmatan kepengarangan yang telah diterajui oleh Bilal
Abu dilanjutkan oleh Raja Ahmad. Beliau terkenal dengan
nama lengkap Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua ibni Raja
Haji Fisabilillah. Sejauh ini beliau diketahui sebagai orang
pertama dari kalangan Diraja Melayu yang menceburkan diri

118 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

dalam dunia kepengarangan di Kesultanan Lingga-Riau.
Dalam karir beliau sebagai penulis, Raja Ahmad Engku

Haji Tua (ayahnda Raja Ali Haji) menulis empat buah buku:
(1) Syair Engku Puteri (1831/32), (2) Syair Raksi (1831/32),
dan (3) Syair Perang Johor (1844). Beliau juga mengerjakan
kerangka awal buku Tuhfat al-Nafis yang kemudian
disempurnakan dan diselesaikan oleh anaknya, Raja Ali Haji,
dan diterbitkan pada 1865.

Jelaslah bahwa Raja Ahmad Engku Haji Tua mulai berkarya
sebagai penulis pada masa pemerintahan Sultan Muhammad
Syah. Dari senarai penerbitannya, karya-karya Raja Ahmad
terbit pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah,

damiSultan Mahmud Muzaffar Syah, dan Sultan Sulaiman Badrul

Alam Syah II (Tuhfat al-Nafis).
Seorang lagi penulis angkatan awal ini adalah Daeng Wuh.

Beliau menulis Syair Sultan Yahya (1840). Dengan demikian,
penulis ini berkarya pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Syah.

Bilal Abu, Raja Ahmad Engku Haji Tua, dan Daeng Wuh
merupakan perintis tradisi kepengarangan di Kesultanan Riau-
Lingga. Selain karya mereka, masih ada dua karya lagi yang
belum diketahui pengarangnya yaitu Syair Menyambut Sultan
Bentan (tanpa tahun) dan Syair Hari Kiamat, yang ditulis oleh
penyair Arab yang telah lama bermastautin di Pulau Penyengat.

Bakti yang telah dimulai oleh para pendahulu itu diikuti
oleh para penulis kemudian. Mereka terdiri atas Sang Maestro
yang Pahlawan Nasional Republik Indonesia (2004), Raja Ali
Haji, Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau, dan seterusnya
sampai kepada generasi Aisyah Sulaiman (Raja Aisyah binti
Raja Sulaiman), cicit Raja Ahmad Engku Haji Tua. Oleh sebab

119SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

itu, dunia kepengarangan dipandang mulia oleh orang Melayu
sampai ke masa sekarang, khasnya di Kepulauan Riau.

Gambar 6.13 Makam Raja Ahmad di Pulau Penyengat Indera Sakti
Sumber: KOMPAS.com/ANDRI DONNAL PUTERA

Nyatalah bahwa pekerjaan mengarang atau menulis sangat
dimuliakan di lingkungan Kesultanan Lingga-Riau. Para
pembesar istana berasa hidup mereka belumlah lengkap kalau
sekadar menjabat suatu jabatan tinggi sebelum mereka

damimenghasilkan karya tulis, entah karya bidang bahasa, sastra,

atau karya-karya di bidang lainnya. Begitulah profesi menulis
atau mengarang menjadi begitu mulia dan diidam-idamkan
oleh setiap orang. Dari bakti itu diharapkan sebuah capaian
peradaban yang cemerlang, gemilang, dan terbilang.

Mengapakah perkembangan tamadun Melayu begitu pesat
di Kesultanan Lingga-Riau? Menurut George Henry Lewes
dalam bukunya The Principle of Success in Literature (1969),
“Rakyat dari segenap lapisan masyarakat sangat mencintai
aktivitas dan kreativitas budaya.”

Berhubung dengan perkara itu, Andaya dan Matheson
dalam artikel mereka “Islamic Thought and Malay Tradition:
The Writings of Raja Ali Haji of Riau, ca. 1809-ca. 1870”
(1979) menjawab tanyaan tersebut, “… kaum bangsawan dan
120 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

elit Kesultanan Riau-Lingga melibatkan diri langsung secara
aktif dalam kegiatan membangun tamadun itu.”

Itulah kunci kejayaan pengembangan dan pembinaan
tamadun Melayu pada masa Kesultanan Lingga-Riau dan
seterusnya Kesultanan Riau-Lingga. Dengan demikian, bakti
membangun tamadun atau peradaban memerlukan
kesungguhan dan keikhlasan dari kedua belah pihak, yakni
para penulis atau pengarang dan tentun seyogianya disokong
sepenuhnya oleh pemerintah.

Tradisi kepengarangan di Kesultanan Lingga-Riau dan
selanjutnya Riau-Lingga telah menghasilkan karya dalam
pelbagai bidang ilmu. Tradisi literasi Lingga-Riau telah tercatat

damimeliputi bidang ilmu bahasa, sastra, sejarah, agama Islam,

ilmu kesehatan dan perobatan, hokum, pemerintahan, politik,
astronomi, dan lain-lain. Capaian itu merupakan yang terbesar
dalam sejarah Kesultanan Tradisional Melayu.

Kesultanan Lingga-Riau atau Riau-Lingga tak dapat tiada
memang menjadi pusat tamadun Melayu pada masa lampau.
Selain dari kerja keras para intelektualnya, kearifan dan
kebijakan para pemimpinnyalah yang memungkinkan kawasan
Melayu itu boleh mencapai kejayaan yang membanggakan
generasi Melayu sampai hari ini.

Memang, ada tuah di bawah duli sultan yang arif dan
bijaksana. Bersamaan dengan itu, marwah bangsa pun
terjulang sudah.

121SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

dami

132 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

BAB VII
BIDANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN

1. Pendahuluan
Pada 1830, Tengku Besar Muhammad, harus menyaksikan

Kesultanan Johor, Pahang, Riau dan Lingga terpecah belah
akibat kebijakan Inggris dan Belanda yang melaksanakan
Perjanjian London 1824. Pada 29 Oktober 1830 disepakati

damiperjanjian dengan Belanda di Pulau Penyengat, Riau. Tengku

Besar Muhammad hadir di Riau mewakili ayahnya yang
berada di Lingga. Perjanjian merugikan pihak Sultan Abdul
Rahman Syah karena berdasarkan Perjanjian London 1824
sultan wajib melepaskan wilayah Johor dan Pahang. Dalam
bagian pendahuluan perjanjian disebutkan sebagai berikut.

“Maka kedua itu sesudahnja pikir atas perdjanjian jang
diperbuat kepada tudjuh belas hari bulan Mei tahun 1824
ada London antara Jang Dipertuan Besar atas Nederland
dengan Jang Dipertuan Besar atas negri Grot Britannia
dan Irland karena sebab perdjandjian itu djadi Djohor
dan Pahang tiada lagi di bawah Jang Dipertuan Besar
Lingga maka pada sekarang ini perdjandjian jang lama
jang dibuat gubernemint Nederland dengan Jang
Dipertuan Besar atas Djohor Pahang Riau Lingga
dengan segala daerah ta’luknya tiada boleh pakai begitu
sjahdan lagi karana kemudian daripada dibuat
perdjanjian lama itu telah sudah tambah dan ubah barang
perkara dalamnja maka oleh sebab berdua itu jang
123SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

tersebut di atas ini ada kehendaq akan membuat
perdjandjian baharu supaja segala perkara jang patut
akan tubuh diubahkanlah dalamnja maka supaja inilah
perdjandjian jang baharu meneguhi dan menetapi pada
selama2nja segenap perkara jang kena kepada sebelah
menjembelah,” (Arsip Nasional Republik Indonesia,
1970: 70-71).

Dengan adanya perjanjian 29 Oktober 1830, Sultan
Muhammad Syah yang masih menjabat Tengku Besar
menyadari Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga telah
terpecah belah. Sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat,
Belanda hanya mengakui kekuasaan Sultan Muhammad Syah
hanya sebatas di wilayah Lingga-Riau dan Kerajaan Inderagiri
sebagai vasal. Dalam perjanjian 29 Oktober 1830 pasal ketiga
terdapat ketentuan, pihak yang bersahabat dengan Belanda,
sahabat juga dengan Sultan Lingga-Riau, dan jika ada pihak

damiyang bermusuhan dengan Belanda, musuh juga dengan Sultan

Lingga-Riau. Ketentuan ini mengakibatkan Sultan Muham-
mad Syah tidak bisa menjalankan politik luar negeri secara
bebas. Bendahara Pahang Tun Ali tidak pernah menghiraukan
perjanjian yang telah dibuat, dia masih tetap mengakui
kekuasaan Sultan Muhammad Syah dan tidak mau melepaskan
diri dari Kerajaan Lingga-Riau. Di zaman Sultan Muhammad
Syah, Belanda tidak mengadakan perjanjian baru kecuali
menetapkan aturan pelayaran untuk mencegah perompakan
di Lingga-Riau.

Walau pun Bendahara Tun Ali masih mengakui kekuasaan
Sultan Muhammad Syah, tetapi dalam bidang pertahanan dan
keamanan, Kesultanan Lingga-Riau terikat dengan perjanjian
29 Oktober 1830. Sultan tidak bisa mencampuri urusan

124 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

pertahanan dan keamanan di luar wilayah Lingga-Riau. Sultan
tidak bisa memberdayakan kekuatan militer di wilayah Pahang
dan Johor. Untuk memperkuat pertahanan dan keamanan,
Sultan Muhammad Syah tidak bisa mengadakan perjanjian
kerja sama dengan pihak asing, terutama dengan pihak Inggris.
Pertahanan dan keamanan Kesultanan Lingga-Riau terus
diawasi oleh Belanda. Dalam hal ini, Belanda tidak pernah
percaya terhadap Sultan dan Yang Dipertuan Muda. Kekuatan
militer orang Melayu adalah ancaman bagi penjajah Belanda.

Daerah Lingga dan Riau wilayah pusat pertahanan dan
keamanan utama Kesultanan Lingga-Riau. Di Lingga pusat
kekuatan militer berada di Daik, tempat kediaman sultan dan

damiditambah Pulau Mepar tempat kediaman Orang Kaya Lingga.

Sebagai tempat kedudukan sultan, di Daik dilengkapi dengan
kubu-kubu pertahanan, kapal perang. Kubu-kubu pertahanan
dibangun pada zaman Sultan Mahmud Riayat Syah terus
bertahan pada zaman Sultan Muhammad Syah.

Kubu pertahanan yang berada di Lingga dibangun dari
tanah yang digunakan sebagai sarang meriam. Kuala Sungai
Daik merupakan pintu utama memasuki wilayah kediaman
sultan terdapat kubu pertahanan. Di sebelah selatan istana
sultan terdapat kubu pertahanan di atas bukit Cening yang
menghadap ke laut. Kubu pertahanan yang berada paling dekat
dengan istana sultan berada di sebelah utara alun-alun kerajaan
yang berdekatan dengan sungai Daik. Aliran sungai Daik
menjadi tempat labuh jangkar kapal perang sultan.

125SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Gambar 7.1 Meriam Tembaga Tinggalan Kesultanan Lingga-Riau di Daik
Sumber: Dokumentasi Tim Penulis

Sultan tak hanya menggunakan pasukan resmi. Jika
diperlukan, rakyat sipil yang dianggap mampu akan
dikerahkan menjadi prajurit. Pengerahan itu dilakukan untuk
keperluan operasi militer yang memerlukan banyak tenaga.
Pasukan sultan menggunakan senjata api dan senjata tajam
tradisional Melayu.

Meriam kecil yang dapat dipikul seorang prajurit disebut
lela. Lela lebih mudah dipindahkan oleh pasukan yang

damibergerak dan cocok digunakan di kapal-kapal perang kecil.

Sebagian meriam mempunyai nama kebesaran. Terdapat
meriam buatan Eropa yang digunakan di Daik. Prajurit
dilengkapi dengan senapang dan senjata tajam tradisional.
Senjata tajam digunakan untuk perang jarak dekat, antara lain
sundang, lembing, dan kampil.

Gambar 7.2 Sepucuk Lela Besi
Koleksi Museum Linggam Cahaya, Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga

Sumber: Dokumentasi Tim Penulis

126 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Pulau Mepar yang terletak di sebelah barat daya kuala Daik
tempat kedudukan Orang Kaya Lingga dilengkapi dengan
kubu pertahanan. Orang Kaya Lingga memiliki kapal perang
dan prajurit sendiri. Jika diperlukan, Orang Kaya Lingga dapat
mengerahkan rakyat yang berada di bawah kekuasaannya
untuk dijadikan pasukan. Kapal-kapal yang menuju atau
melintasi perairan yang berada di depan pantai Daik akan
mudah dipantau oleh pasukan Orang Kaya Lingga.

Di Riau pusat pertahanan dan keamanan Kesultanan
Lingga-Riau berada di Pulau Penyengat tempat kedudukan
Yang Dipertuan Muda. Sebelum dijadikan tempat kediaman
Tengku Puteri dan Yang Dipertuan Muda, Pulau Penyengat

damiyang berada di muka pintu Riau telah dijadikan kubu

pertahanan oleh Raja Haji Fisabilillah dalam menghadapi
serangan VOC. Pulau Penyengat sebagai tempat kedudukan
Yang Dipertuan Muda terus diperkuat dengan kubu pertahanan
dan meriam oleh Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar.

Pada 1821 Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar memperkuat
Pulau Penyengat dengan dua kubu pertahanan yang
dipersenjatai dengan meriam. Tambahan meriam didatangkan
dari Lingga. Tanjungpinang yang berada di seberang Pulau
Penyengat tempat kedudukan Residen Riau, pusat pertahanan
dan keamanan Belanda di Lingga-Riau. Benteng Kroonprins
yang berada di atas bukit Tanjungpinang mulai dibangun
Belanda pada 1824 (Netscher, 1854: 162). Jika diperlukan,
militer Belanda akan bergabung dengan pasukan sultan untuk
mengamankan wilayah Lingga-Riau.

2. Gangguan Keamanan
Permasalahan utama bidang keamanan yang dihadapi oleh

127SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Sultan Muhammad Syah dan Yang Dipertuan Muda Raja
Abdul Rahman adalah masalah perompakan di laut. Pihak
Belanda berasa resah dengan gerakan bajak laut yang dianggap
telah banyak merugikan perdagangan.

Dalam perjanjian 29 Oktober 1830 pada pasal ketujuh
belas, Belanda meminta Sultan dan Yang Dipertuan Muda
membantu Belanda untuk memberantas perompak yang berada
di wilayah Kerajaan Lingga-Riau. Belanda juga membuat
aturan khusus untuk kapal-kapal di dalam wilayah Lingga-
Riau sebagai upaya untuk memberantas bajak laut. Para
perompak terdiri atas dua kelompok, yakni orang Melayu
Lingga-Riau dan keturunan orang Melayu Lanun.

Orang Melayu Lanun mulanya datang ke Riau pada 1787
pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Riayat Syah. Mereka
berasal dari daerah Tempasuk di Sabah, Pulau Kalimantan.
Mereka datang hendak membantu Sultan Mahmud Riayat

damiSyah mengusir VOC di Riau. Setelah misi itu berhasil,

sebagian dari pasukan orang Lanun mengikuti Sultan Mahmud
Riayat Syah pindah ke Lingga.

Pada masa itu pasukan Lanun bagian dari tulang punggung
pasukan Sultan Mahmud Riayat Syah yang menghadapi VOC.
Semasa masih bermusuhan dengan VOC, perairan Lingga-
Riau tidak aman untuk pihak luar. Pihak luar yang
berhubungan baik dengan sultan dan yang berdagang di
pelabuhan Lingga tidak diserang. Pembajakan dilakukan
sebagai upaya merugikan perdagangan VOC dan sekutunya.
Pasukan dari Lingga mengadakan serangan sampai ke Bangka
dan Jawa.

Kesultanan Lingga-Riau telah mengakui kekuasaan
Belanda dan berada pada masa damai. Namun, sebagian orang

128 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

Lanun dan orang-orang Melayu Lingga-Riau masih meng-
adakan serangan terhadap kapal-kapal dagang dari luar yang
berlayar melewati perairan Lingga-Riau.

Orang Lanun merupakan perompak yang sangat kuat
dibandingkan perompak Melayu lainnya. Mereka mengadakan
serangan sampai ke Jawa, merompak kapal-kapal yang
ditemukan dan menyerang pemukiman penduduk. Orang-
orang yang ditawan dijual sebagai budak. Perdagangan
Belanda mengalami kerugian akibat serangan perompak
Lingga-Riau. Belanda menuduh bawahan Sultan Muhammad
Syah terlibat dan menjadi penggerak perompakan. Belanda
meminta pihak sultan untuk dapat terus memberantas

damiperompak.
Pihak Inggris di Singapura juga mengalami kerugian akibat
perompakan dari Lingga-Riau. Pada 1836, di tengah upaya
pihak Belanda dan Sultan Muhammad Syah memberantas
perompak, kapal perang Andromache milik Inggris yang
membawa Gubernur Singapura Sir George Samuel Bonham
tanpa izin menerobos wilayah Lingga-Riau. Daerah Galang
yang dianggap sarang perompak diserang dengan tembakan
meriam.

Penduduk yang tidak sanggup melawan terpaksa lari
menyelamatkan diri. Kapal-kapal penduduk yang tengah
berlayar juga ditembak karena dianggap perompak. Tindakan
pihak Inggeris yang bertujuan memberantas perompakan itu
telah mengakibatkan huru-hara dan kekacauan di perairan
Lingga-Riau.

Untuk mengamankan wilayah, Yang Dipertuan Muda Raja
Abdul Rahman menitahkan adiknya, Engku Kelana Raja Ali,
memimpin pasukan untuk memberantas para perompak yang

129SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

berada di wilayah Kesultanan Lingga-Riau. Orang yang terlibat
menjadi perompak ditangkap dan dikirim ke Riau untuk diberi
hukuman. Senjata dan perahu yang digunakan untuk
merompak di sita. Setelah selesai melaksanakan tugas, Engku
Kelana Raja Ali datang ke Lingga. Kebijakan Yang Dipertuan
Muda Raja Abdul Rahman sangat didukung oleh Sultan
Muhammad Syah.

Pekerjaan pertama yang dilakukan Sultan Muhammad Syah
dalam pertahanan dan keamanan adalah menghadapi lanun-
lanun yang dipimpin oleh Raja Merkung dan Raja Merasan.
Mereka adalah lanun yang menggunakan perahu besar dan
sangat berani melawan Sultan Muhammad Syah. Hal ini
tercatat dalam Tuhfat al-Nafis sebagai berikut.

“Sebermula apabila selesai(lah) Yang Dipertuan Muda
Raja Abd al-Rahman (itu) berlantik (di dalam negeri
Lingga) itu, maka baginda (Sultan Muhammad Syah pun

damimusyawarahlah dengan paduka ayahanda Yang

Dipertuan Muda Raja Abd al-Rahman) pada pekerjaan
perang langgar Inuk iaitu satu tempat (dekat) dengan
Retih. Adalah (tempat itu di dalam sungainya dipanggil
orang) Sungai Inuk. (Maka adalah sungai) itu di bawah
perintah kerajaan Riau (dan) Lingga jua, akan tetapi(nya)
ia menderhaka melawan Baginda Sultan Muhammad
Syah adalah kepalanya iaitu raja bangsa Lanun, namanya
Raja Merkung dan Raja Merasan. Sebermula adalah
sebabnya itu Raja Merkung dan Raja Merasan itu ialah
raja perompak yang besarnya sekali, bukannya seperti
perompak(-perompak) Galang dan Sekanak dan lainnya
maka terlebih besar dan terlebih kuat daripada perompak
rakyat(-rakyat), yang (pergi) merompak pada masa
kerajaan Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar itu iaitu

130 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

jarang dengan perahu (penjajapnya) yang besar-besar,
melainkan (dengan) perahu” (lancang-lancang dan
kakap-kakap) jua (dan kebanyakan bedar-bedar.” ((Dan
ada)) juga kepada pihak Pulau Buaya satu tempat
bernama Bakung sudah hendak besar rompaknya, iaitu
sudah ia merompakrompak dengan penjajapnya,”
Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.), 1991).

damiGambar 7.3 Sundang

Koleksi Museum Linggam Cahaya, Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga
Sumber: Museum Linggam Cahaya Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga.

Kekacauan di Lingga-Riau itu berawal ketika Raja
Merkung dan Raja Merasan merompak menggunakan perahu
besar dan peralatan senjata lengkap. Persenjataan itu bahawak
dilengkapi dengan meriam. Mereka merompak kapal-kapal
dagang di perairan Lingga. Bahkan, kemudian melebar ke
perairan Riau di wilayah Pulau Buru, Moro, dan Sugi. Suasana
saat itu kisahkan oleh Tuhfat al-Nafis sebagai suasana yang
sangat keruh. Rakyat Lingga-Riau pun mencoba menghalau
perompak-perompak itu, tetapi dengan menggunakan kapal
dan peralatan perang seadanya. Berikut ini kutipannya.

“Syahadan kata sahib al-hikayat adalah permulaan
(men)jadi perang /itu/ dilanggar Inuk itu maka iaitu Raja
Merkung merompaklah dengan kelengkapan (perahu
yang) besar(-besar, iaitu dengan perahu berangainya)
yang (memakai) meriam. Maka (ber) kelilinglah segenap

131SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

teluk rantau takluk (daerah) kerajaan Riau (dan) Lingga
hingga beberapa” orang dagang(-dagang)
dibinasakannya, hingga seolah-olah keruhlah lautan
Riau dan Lingga dirosakkannya. Dan berjumpa pula ia
dengan perahu(-perahu) orang membawa dagangan, ada
tiga buah nakhodanya nama Encik Ali peranakan
Selangor, iaitu berjumpa di Selat Dasi. Maka (lalu
di)peranginya maka dapatlah segala perahu(nya) itu, dan
orang-orangnya lepas. Kemudian (maka) berjumpa pula
ia dengan perahu (Encik) Ahmad Putih ((maka lalu
diperanginya)) (iaitu di Selat Dasi juga). Maka /
diperanginya pula/ (Encik) Ahmad pun larilah lintang-
pukang masuk ke dalam Lingga (semula) tiada dapat.
Kemudian maka berjumpa pula dengan perahu Encik
Bakak di Selat Pintu, maka diperanginya pula. Maka
Encik Bakak pun melawan bersungguhsungguh benar
akan tetapi(nya) dimanakan tahan, kerana ia membawa
alat peperangan Encik Bakak itu orang pedagang (anak

damiBugis di dalam Lingga di Sungai Tanda. Maka) seketika

berperang itu maka” (Encik) Bakak (itu) pun matilah.
Maka dirampas(nya)lah perahu(nya) itu. Adapun Encik
Bakak (dikeratnya dengan sandangnya hingga berketai-
ketailah. Kemudian maka) dikeratnya (pula) zakar s
(Encik Bakak itu) disuapkannya kepada mulutnya, (wa
la hawla wa la kuwata illa billahi al-aliyil wa al-azimi
khayyaba Allah wujuhahum lanat Allah ala al -
zalimina). Syahadan adapun kawan Encik Bakak itu,
(ada yang dibunuhnya ada yang dipancungnya, ada yang
diikatnya hendak diperjualnya, ada yang) lepas lari²
terjun (malam-malam) lepaslah (ia) balik membawa
khabar. Kemudian pergi(lah) pula ia ke sebelah Riau
seperti Ungar(an dan) Buru dan Moroh dan Sugi. Maka
dikeluarkan oleh rakyat-rakyat di situ dengan perahu

132 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

yang kecil-kecil. Maka tiadalah boleh tahan rakyat-
rakyat (yang) di situ sebab ia/dengan alat peperangan
ianya besar-besar, hundur(lah) mereka itu lari. Maka
disorakkannyalah serta (diteriakkannya) katanya,
“Keluarlah Yang Dipertuan Muda sendiri atau adiknya,
Raja Ali bersama(-sama) Holanda, nanti aku kerat juga,”
(Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.), 1991: 572).

3. Upaya Menumpas Perompak
Selepas kekisruhan tersebut, Sultan Muhammad Syah

bersama dengan Yang Dipertuan Muda VII (1832-1844)
bermusyawarah di Lingga. Kemudian, baginda mengirimkan
surat kepada Residen Riau untuk menyelesaikan kekisruhan

damiyang dilakukan perompak-perompak itu.
“Hatta dengan demikian itu sampailah khabarkhabar itu
kepada Yang Dipertuan Muda Raja Abd alRahman serta
Baginda Sultan (Muhammad) Syah. Maka murkalah
keduanya (maka) lalu(lah muafakat musya warah kedua
raja itu di dalam negeri Lingga, serta)° memberi surat
kepada residen Riau. Kemudian (maka) bersiaplah
Baginda (Sultan Muhammad Syah) serta Yang Dipertuan
(Muda Raja Abd al-Rahman) akan beberapa
kelengkapan ada kira-kira berpuluh-puluh buah
penjajap Riau (dengan) Lingga (dan lain” panglima-
panglima Galang) dan keruis Holanda (pun ada juga
bersama). Maka berkumpullah ke dalam Lingga segala
angkatan itu. (Maka apabila sudah mustaib) maka”
(menyuruhlah) Yang Dipertuan Muda melanggar Inuk
itu. Adalah kepala(nya daripada pihak Yang Dipertuan
Muda) iaitul Raja Jaafar /itu saudaranya iaitu/ putera
(al-)Marhum Pulau Bayan. (Adapun kepalanya daripada
orang-orang Lingga itu, iaitu Encik Muhammad Tahir

133SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

dan Encik Abbas). Maka pergilah segala mereka itu
(melanggar Inuk),” (Ahmad & Haji dalam Matheson
(Ed.), 1991: 587).

Dalam penyelesaian keamanan di Riau Lingga, mereka
juga dibantu oleh Yang Dipertuan Muda Indragiri. Raja
Merkung bersedia patuh kepada Yang Dipertuan Muda
Indragiri. Bahkan bersedia berdiskusi dan menerima nassehat
Yang Dipertuan Muda Indragiri. Saat mereka berdiskusi
didalam perahu. Raja Merkung ditangkap. Kisah tersebut
tertuang dalam kutipan naskah Tuhfat al-Nafis berikut.

“Maka apabila sampai (segala) angkatan /itu iaitu Riau
(dan) Lingga maka lalulah berperang legum-legam bunyinya
sebelah-menyebelah serta dengan sorak tempiknya tiada
berapa lamanya /perang/ maka hampirlah tewas Raja Merkung
itu. Maka di dalam hal itu (maka) Yang Dipertuan Inderagiri
pun datanglah membantu angkatan Riau (dan) Lingga itu.

damiSyahadan adapun /akan Raja Merkung itu ia berbaik-baik(kan)

memang dengan Yang Dipertuan Muda Inderagiri itu maka
menjatuhlah pada sangka hatinya Yang Dipertuan Muda
Inderagiri itu hendak mencari kebajikan dia juga. Maka Yang
Dipertuan Muda Inderagiri pun selalu memberi nasihat akan
dia, maka turunlah ia ke perahu Yang Dipertuan Muda
Inderagiri dan orang Riau (dan) Lingga (pun) ada juga di situ
(kerana) tengah(-tengah) musyawarah (dengan Yang Dipertuan
Muda Inderagiri). Maka apabila Raja Merkung itu naik ke
(dalam) perahu Yang Dipertuan Muda (Inderagiri) itu maka
lalu ditangkap oleh orang ramai-ramai, [dan Panglima Kaman
pun dapatlah ditangkap, dan demikian lagi Panglima Tengkuk
dan Raja Saaban tertangkap jugalah pada ketika itu]. (Maka
lalu diikat dan) dipasung, maka alahlah Inuk itu sebab

134 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU

kepalanya sudah tertangkap,” (Ahmad & Haji dalam Matheson
(Ed.), 1991: 588).

Raja Merkung dan perompak-perompak lainnya dalam
perkembangannya, berhasil dtuntaskan. Mereka dibunuh dan
kekisruhan keamanan di Lingga-Riau berhasil dituntaskan
dengan baik. Suasana perairan Lingga-Riau kembali tenang.
Hal ini tercatat dalam Tuhfat al-Nafis berikut.

“(Maka apabila sudah selesai musyawarah itu), maka
(pada keesokan harinya) [maka” Yang Dipertuan Muda
pun menitahkan segala orang-orang negeri berkumpul
di Kampung Cina, kerana hendak menzahirkan

damihukuman Raja Merkung itu. Maka berkumpullah

sekalian orang orang negeri di Kampung Cina itu, dan
Yang Dipertuan Muda pun berangkatlah dengan satu
sampan serta anak raja-raja mengiringkan dia. Maka
apabila sampailah pada tempat memancung itu maka
disufuhlah oleh Yang Dipertuan Muda pancung
kepalanya Raja Merkung itu. Maka adalah orang yang
hendak mengeratnya itu kurang tahunya lagi tengah-
tengah berkirakira. Maka Raja Merkung pun berkata
kepada orang yang hendak mengeratnya itu katanya,
“Kaparkan sedikit supaya /lekas/ sama sekali putus.”
Maka orang yang mengerat itu pun mengikutlah
ajarannya itu. Maka lalu diparangnya kena pada
tengkuknya tiada putus. Maka Raja Merkung pun rebah
terlanting. Maka lalu diparangnya sekali lagi kenalah /
ke/pada dadanya pula. Maka Raja Merkung pun matilah.
Maka titah Yang Dipertuan Muda suruh tandas
kepalanya ceraikan daripada badannya. Maka ditandas
oranglah kepala Raja Merkung itu, maka dibawa orang
kepada sampan Yang Dipertuan Muda. Maka dibelek-

135SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU


Click to View FlipBook Version