beleknya oleh Yang Dipertuan Muda serta anak raja-
raja yang bersama-sama dengan dia itu. Kemudian
Panglima Kaman pula dikerat kepalanya, maka
Panglima Kaman pun matilah. Kemudian disuruhnya
sulakan, kemudian ditanam. Maka Yang Dipertuan
Muda pun berangkatlah balik. (Syahadan) adapun Raja
Merasan dengan Raja Saaban (dititahkan dibawa ke
Riau) diserah kepada residen Riau dibawa ke Betawi.”
Makahabis kisah/nya/ perang Inuk (itu),” (Ahmad &
Haji dalam Matheson (Ed.), 1991: 575).
Pada 1833 E. Netscher, Residen Belanda di Riau, mencatat
sebuah ekspedisi dilakukan dengan angkatan perang Kerajaan
Lingga Riau yang begitu besar mengerahkan puluhan kapal
untuk menyerang kelompok bajak laut.
Biarpun telah ada ketentuan-ketentuan untuk membasmi
Lanun bagi rakyat Lingga, perdagangan bertambah
damimerosot juga dan keadaan itu sangat mencemaskan. Baru
pada akhir tahun 1833 diadakan ekspedisi terdiri dari
lima puluh perahu dari Sultan dan tiga kapal perang
Gubernemen, untuk membasmi bajak laut yang bertahan
di pantai Indragiri. Mereka dapat dimusnahkan, semua
alat angkutan air dihancurkan dan delapan orang
panglimanya dapat ditangkap, tiga dihancurkan dan
delapan orang pun limanya dapat ditangkap tiga
diantaranya dihukum mati di Lingga dan selebihnya
dibuang ke Jawa (Netsher, 1870: 489).
Meski begitu, berakhirnya Perang Inuk, yakni perang
terhadap para pemberontak bajak laut yang menjadi pengacau
pelayaran dan jalur perdagangan di wilayah Kesultanan
Lingga-Riau, kerusuhan di laut belum juga mereda. Setelah
136 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
peristiwa ini, penculikan terhadap orang-orang dari pantai
Jawa malah terus saja terjadi.
Penculikan tersebut dilakukan oleh mereka yang kemudian
disebut bajak laut Lingga. Kelompok bajak laut Lingga ini
dikatakan juga memiliki jumlah yang cukup besar. Bahkan,
peculikan terhadap orang-orang Jawa tersebut terjadi
sepengetahuan Baginda Sultan. Pihak Pemerintah Belanda
yang mendapat kabar tersebut, kemudian mengirim Kapten
Laut Koopman ke Riau pada Juni 1835 bersama Freget Diana
untuk memperingatkan Baginda Sultan Muhammad Syah atas
sikap tersebut. Pihak Pemerintah Belanda meminta Baginda
Sultan agar mengembalikan para tawanan, yakni orang-orang
damiJawa tersebut.
Persoalan bajak laut ini tidak hanya menjadi masalah dalam
perdagangan Belanda. Ianya memberikan citra buruk kepada
Pemerintah Hindia-Belanda oleh pihak Inggris yang telah
duduk di Singapura. Perompakan yang terjadi juga membuat
perdagangan Inggris, yang berpusat di Singapura sebagai
pelabuhan dagangnya, mengalami kemerosotan sehingga
muncuat berbagai tulisan dari para penulis Inggris.
Penulis-penulis Inggris menyinggung pihak Pemerintah
Hindia-Belanda. Dalam hal ini, Belanda dianggap seolah-olah
tidak punya saham akan tugas juga pengaruhnya yang
seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi para
pedagang terhadap gangguan bajak laut.
Pada April 1836, untuk mengatasi persoalan ini, Pemerintah
Hindia Belanda mengirim lagi Mayor D. H. Kolff, ajudan
Gubernur Jendral bersama Residen Riau menemui Yang
Dipertuan Muda Raja Abdul Rahman untuk membuat
keputusan bersama terkait syarat-syarat pengawasan. Atas
137SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
nama Baginda Sultan, Yang Dipertuan Muda bersama pihak
Gubernemen membuat sejumlah keputusan bersama terkait
pelayaran di wilayah Kesultanan Lingga-Riau, yang juga
diharapkan menjadi cara pengamanan jalur perdagangan dari
segala macam tindakan pembajakan seperti yang sudah-sudah.
Isi dari keputusan bersama tersebut sebagai berikut.
1. Bahwa semua alat angkutan air dari Kerajaan Riau dan
Lingga untuk masa yang akan datang, apabila akan berlayar
ke laut, baik untuk perdagangan maupun untuk mengambil
tripang atau karet, hendaklah memiliki surat pas, yang akan
diberikan oleh Residen; surat pas tersebut setiap tahun
diperbaharui dengan Cuma-Cuma, senantiasa, apabila para
nelayan di Selatan akan pergi menangkap tripang atau
mengangkut karet harus diketahui oleh Residen dengan
mencantumkan isinya dalam bahasa Belanda. Surat pas
tersebut harus memuat:
a. Jenis dan tujuan kendaraan laut.
damib. Nama pemimpin (nakhoda).
c. Jumlah awak.
d. Jumlah dan jenis persenjataan.
2. Bahwa semua jenis kendaraan laut untuk agar-agar, tripang
dan karet, seperti biasa akan memakai bendera hitam
dengan sudut putih, di puncak tiang; pada perahu yang
demikian senantiasa harus berada orang kepercayaan Sultan
untuk melakukan pengawasan dan sebagai tanda pengenal
di puncak taing dipasang bendera berbidang hitam yang
dikelilingi dengan pinggiran putih.
3. Bahwa perahu-perahu tersebut yang diperlengkapi secara
demikian, dapat menuku ke tempat yang diinginkan; baik
menuju ke Pulau Seribu, ke Karimun jawa maupun sampai
138 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
ke Pulau Bawean, atau kesana kemari ke tempat-tempat
yang diinginkan dalam menjalankan usahanya, dengan
ketentuan ia harus memperlihatkan surat pasnya yang telah
diketahui, apabila bertemu dengan kapal perang Guber-
nemen atau apabila masuk ke salah-satu tempat dimana
berada kantor.
4. Bahwa Sultan akan memikil tanggung jawab dengan cara-
cara sendiri, untuk membasmi pemberontakan yang
dilajkukan oleh bawahannya dan dengan demikian
berusaha menghapuskannya sama sekali.
5. Untuk menjaga ketertiban dan keamanan oelh Sultan, pada
perairan yang penting pada pulau-pulau dan kawasan
damikerajaanya, diantara khusus Galang, Temiang, Moro, Sugi,
Bulang, Pekaka, Sekana dan Mepar, akan mengangkat
petugas-petugas pemimpin di sana dengan nama “Batin
juruksa” dengan diberikan penghasilan yang layak. Nama-
nama mereka itu harus diserahkan kepada Residen Riau.
Kepada mereka itu ditugaskan:
a. Menjaga supaya penduduk dari pulau-pulau tersebut
tidak berhubungan langsung atau tidak langsung dengan
perompak, dan tidak ada lanun darimanapun datangnya
bersembunyi di situ, atau membawa manusia atau
barang-barang hasil rompakan; jika ada yang disandera,
supaya menahankan mereka beserta orang yang
menawannya dan segera menyerahkannya kepada Raja
Muda.
b. Mengawasi perahu-perahu yang dibangun di tempat-
tempat yang telah ditentukan, yang diperlengkapi untuk
agar-agar, tripang dan pengankapan ikan, sehingga tidak
diperlengkapi untuk tujuan merompak; selanjutnya
139SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
hendaklah dihaga supaya anak perahu terdiri dari orang-
orang yang cukup dikenal identitasnya, hendaklah
mempunyai surat pas sebagaimana yang diharuskan
serta bukti-bukti pemilihan harta bendanya.
c. Bertanggung jawab atas kesetiaan penduduk pulaunya
serta mematuhi instruksi ini. Apabila kedapatan yang
melanggar ketentuan ini, maka batin-batin tersebut akan
dihukum berat, kalau perlu dihukum buang ke Pulau
Jawa.
Pada persetujuan ini ditentukan pula, sebagai imbalan
terhadap ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan Sultan
sebagai akibat dari ketentuan ini, maka kepadanya
diberikan pembebasan bea setahun sekali untuk
memasukkan barang ke Jawa dan Madura, sejumlah
2.500 pikul gambir hasil Lingga sendiri dan diangkut
dengan kapal Lingga pula.
damiPersetujuan ini menyangkut kepentingan pelau-pelaut
Lingga sendiri dan untuk kepentingan umum. Memang
pelayaran para nelayan itu agak terkekang tetapi tidak
menghambat, karena pada musim-musim tertentu dalam
jumlah kecil, pergi ke tempat-tempat itu juga dan jarang
pergi ke tempat lain, dan keadaan yang demikian tidak
dapat hendak disalahkan kepada orang lain, karena cara
lain belum ada untuk dapat memperkecil kesempatan
para perompak. Sesungguhnya cara-cara lain belum
terpikirkan, untuk dapat mengontrol suatu bangsa yang
dianggap sambil berlayar melakukan perompakan itu
sebagai suatu kegiatan usaha.
6. Sesuai dengan pasal 5 persetujuan Juni 1836, kepada batin-
batin di pulau-pulau, diberikan penghasilan layak, yaitu f.
140 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
150,- sebulan, yang dapat diterima dari residen atau Raja
Muda.
7. Berkenaaan dengan pembebasan cukai masuk terhadap
2.500 pikul gambir, maka ditetapkan bahwa Sultan akan
menerima tiap tahun sejumlah f. 20.000,-tidak termasuk
jumlah f. 14.400,- setahun yang dibayarkan kepada batin-
batin.
8. Perahu-perahu dilarang memakai assilan (semacam kubu),
kecuali di atas perahu Sultan sendiri atau Raja Muda.
9. Gubernemen akan mengadakan mata-mata untuk menye-
lidiki perompakan, dan Sultan berkewajiban untuk
melindungi mata-mata tersebut.
damiHasil dari keputusan bersama tentang aturan baru kedua
belah pihak ini sedikit banyak membuat jalur perdagangan
wilayah Kerajaan Lingga Riau saat itu terkontrol. Aktivitas
perompakan menurun. Hampir seluruh bajak laut saat itu
berhasil dibasmi. Pemerintah Belanda pun dapat menjawab
segala berita miring yang beberapa waktu lalu sempat ditulis
oleh pihak Inggris terkait perlindungan yang diberikan pihak
Belanda terhadap para pedagang yang melintasi perairan
Lingga juga terhadap rakyat kerajaan ini sendiri.
Netsher mencatat bahwa hasil dari pemberlakuan aturan
baru tersebut pemerintah Hindia Belanda hanya dalam jangka
waktu satu tahun telah berhasil memerdekakan lebih dari 400
sandera, di antaranya ada 100 orang Kaula Inggris. Setahun
berjalan peraturan baru tersebut dilaksanakan, yakni pada
1837, pemerintah Hindia-Belanda mencatat seluruh aktivitas
perompakan dan bajak laut di wilayah Kesultanan Lingga-
Riau berhasil ditumpaskan.
141SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
4. Bermuhibah ke Semenanjung
Setelah peristiwa penumpasan perompak-perompak di
perairan Lingga-Riau tersebut, Sultan Muhammad Syah
melakukan perjalanan ke Johor, Pahang dan Terengganu. Di
Johor, Sultan Muhammad Syah singgah berziarah ke makam-
makam Raja Melayu. Sesampainya di Terengganu, Sultan
Muhammad Syah harus menghadapai persoalan intern dalam
negeri Terengganu. Peristiwa ini tercatat dalam Tuhfat al-Nafis
berikut.
“Alkisah maka tersebut perkataan Baginda Sultan
Muhammad Syah hendak berangkat ke Pahang (dan ke
Terengganu) serta hendak singgah ziarah ke Johor
((kepada segala perkuburan raja-raja Melayu yang di
dalam Johor))” adanya. [Syahadan kata sahib al-hikayat
maka adalah pada masa ketika Baginda Sultan
Muhammad Syah hendak berangkat ke Pahang itu) maka
damidi dalam (negeri) Terengganu jatuh pergaduhan antara
raja-raja(nya) sama raja-raja. Bermula (adalah) asal(nya)
pergaduhan itu iaitu tatkala (sudah) mangkat (Yang
Dipertuan Terengganu) Sultan Ahmad, (ayahanda
Tengku Tih yang isteri Baginda Sultan Muhammad
Syah, dan adalah Sultan Ahmad itu (anak Marhum Mata
Merah disebut orang.)) iaitu anak Marhum Janggut yang
bernama Tun Dalam. Dan nama batang tubuhnya Raja
Mansur, anak Sultan Zain al-Abidin yang dirajakan oleh
raja Bugis, yang bernama Yang Dipertuan Muda Opu
Dahing Cellak. Adalah yang disuruhnya merajakan itu
Raja Tua Dahing Menampuk dengan segala Bugis
dengan muafakat Baginda Sultan Sulaiman al-Marhum.
Syahadan adalah Sultan Ahmad itu cucu Tun Dalam iaitu
Yang Dipertuan Raja Kecik Terengganu adalah Sultan
Ahmad itu beberapa saudaranya seperti Yang Dipertuan
142 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Mudanya, dan Tengku” Mansur dan Tengku Abbas, dan
Tengku Ismail dan lainnya. Ada juga saudaranya /yang/
beristeri di Riau dengan anak raja Bugis yang bernama
Raja Tengah,” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.),
1991: 576).
Dalam perkembangannya, Sultan Muhammad Syah
berhasil menyelesaikan persoalan intern dalam negeri
Terengganu tersebut. Sultan Muhammad Syah kembali
berangkat ke Terengganu bersama sekitar empat puluh buah
penjajab dan kakap-kakap.
Sebermula adapun Baginda Sultan Muhammad Syah di
dalam (negeri) Lingga, maka (bersiaplah ia akan
damikelengkapan ada kira-kira empat puluh tujuh buah
penjajab dan kakap-kakap. Maka apabila sudah mustaib
maka Baginda Sultan Muhammad Syah pun)
berangkat(lah belayar) ke (negeri) Pahang (singgah
ziarah di Johor). (Kemudian baharulah belayar ke
Pahang). Maka apabila sampai ke Pahang maka Datuk
Bendahara (Tun Ali) pun menyambutlah akan Baginda
(Sultan Muhammad) Syah serta (di)permuliakannya
betapa adat(istiadat memuliakan) raja(-raja yang) besar(-
besar). Maka tetaplah Baginda (Sultan Muhammad
Syah) itu di dalam (negeri) Pahang. Kemudian (maka)
datanglah Yang Dipertuan Besar Terengganu yang alah
(oleh ayah saudaranya Yang Dipertuan Tua) itu
mengadap Baginda Sultan Muhammad Syah. ((Maka
musyawarahlah Baginda (Sultan Muhammad Syah) ))
dengan (Datuk) Bendahara (Tun Ali) serta raja-raja yang
bersama-sama (dengan) baginda itu. (Syahadan adalah
anak raja peranakan ((Bugis)) yang bersamasama dengan
Baginda Sultan Muhammad Syah itu daripada pihak
Riau, iaitu Raja Jaafar putera Marhum Pulau Bayan
143SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
adalah musyawarahnya, jikalau suka orang-orang
Terengganu) hendak mendamaikan Yang Dipertuan Tua
(itu) dengan Yang Dipertuan Besar (Tengku Umar) itu,”
(Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.), 1991: 577).
5. Penyelesaian Masalah Perompak
Setelah penyelesaian intern di wilayah Terengganu, Sultan
Muhammad Syah kembali dihadapkan pada persoalan
perompak-perompak laut. Sebenarnya persoalan mengha-
puskan perompak-perompak ini tidak hanya terjadi pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Syah saja. Persoalan tersebut
sudah dilakukan pada masa pemerintahan Sultan
Abdurrahman Syah dengan Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar.
Data ini juga tercatat dalam Tuhfat al-Nafis berikut.
“Adapun pekerjaan daripada mengapuskan perompak-
perompak sebelum (lagi) berbuat perjanjian itu sudah
juga diperbuat daripada masa Yang Dipertuan Muda
damiRaja Jaafar ((al-Marhum)) hingga (sampai) masa (Yang
Dipertuan Besar Baginda Sultan Muhammad Syah serta)
Yang Dipertuan Muda Raja Abd al-Rahman. (Dan)
beberapa yang lamanya. Maka apabila sampai
(daripada) panglimanya yang terbuang dan (yang)
tertangkap. Dan (yang) terbunuh seperti yang tersebut
di dalam segala daftar-daftar keputusan hukum(-
hukum)an orang jahat(-jahat) kepada Yang Dipertuan
Muda /Raja Abd al-Rahman/ ((dan kepada residen-
residen Riau dan masa Raja Muda Raja al-Rahman ini)),
beberapa dihantarkan balik ke Jawa. Mana-mana orang
Jawa yang dapat oleh lanun dibawanya ke Retih itu
disuruhnya saudaranya Raja Jumaat pergi mengam-
bilnya dengan keras ke negeri Retih, dapatlah semuanya
segala orang Jawa (yang kena rompak) itu (adanya),”
144 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
(Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.), 1991: 578).
Penuntasan perompak-perompak itu juga melibatkan
Residen Riau. Bahkan kapal perang Inggris datang ke Lingga
melalui Sungai Lingga dengan para serdadunya. Sultan
Muhammad Syah mengabulkan aturan dan perjanjian yang
disusun oleh Yang Dipertuan Muda Raja Abdul Rahman dan
Meyur Kolef (Residen Riau). Setelah selesai disepakati
perjanjian tersebut, Yang Dipertuan Muda Raja Abdul Rahman
bersama-sama Residen Riau kembali ke Riau. Sesampainya
di Riau, Residen Riau Kembali ke Batavia. Rangkaian
peristiwa tersebut tercatat dalam Tuhfat al-Nafis berikut.
dami“Bermula adapun Baginda Sultan Muhammad Syah
serta (paduka ayahanda) Yang Dipertuan Muda (Raja
Abd al-Rahman maka) musyawarahlah dengan residen
Riau pada pekerjaan Inggeris itu, dan (pekerjaan hendak
melakukan pekerjaan) mengapuskan perompak
perompak itu. Maka di dalam hal itu maka kapal perang
Inggeris (itu) pun lalulah ke Lingga. (Apabila sampailah
ia ke Lingga lalulah masuk Sungai Lingga dengan
serdadunya sekali. Maka adalah pada masa itu adalah
yang jadi wakil di negeri Lingga itu Raja Abdullah putera
Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar al-marhum. Maka
naiklah kernilnya itu) berjumpa Raja Abdullah serta
bertanyakan Baginda Sultan Muhammad Syah. Maka
jawab Raja Abdullah, “Baginda itu ada di Riau (tengah
ber)musyawarah dengan residen Riau perkara/-perkara
perompak-perompak jua.” Kemudian ada satu pelekat
yang tergantung di situ pada pekerjaan (melarang)
perompak(-perompak) jua, maka lalu dibacanya.
((Setelah itu)) maka ia pun belayarlah (balik) ke
Singapura. Maka Raja Abdullah pun menyuruh ke Riau
145SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
(membawa surat) kepada Baginda Sultan Muhammad
Syah memaklumkan kedatangan kapal (perang Inggeris)
itu ke dalam Lingga. Syahadan apabila sudah dibaca
(oleh) Baginda (Sultan Muhammad Syah itu) /iaitu (surat
daripada) paduka adinda Raja Abdullah, maka baginda
pun musyawarahlah dengan paduka ayahanda (baginda
itu) Yang Dipertuan Muda (Raja Abd al-Rahman), serta
residen Riau akan mengutus ke Betawi, (iaitu Haji
Ibrahim anak Datuk Syahbandar Abdullah juga hendak
dititahkan itu serta bersama-sama pula dengan Encik
Syams al-din anak Encik Kaluk). Maka apabila (sudah)
putuslah musyawarahnya itu maka dititahkanlah
keduanya itu (belayar ke Betawi) menyewa sekunar
orang putih (nama kapitannya Telir.” Maka belayarlah
sekunar itu ke negeri Betawi). Adapun (Baginda) Sultan
Muhammad Syah berangkatlah balik ke Lingga
membawa paduka bonda(nya), (dan Raja Ali pun
mengantarlah akan paduka kakanda baginda Engku
damiDalam balik ke Lingga. Tiada berapa lamanya di dalam
Lingga itu maka Raja Ali pun baliklah ke Riau).
Maka dikabulkan oleh Baginda (Sultan Muhammad
Syah) pada segala aturan telah diperbuat oleh Yang
Dipertuan Muda (Raja Abd al-Rahman), serta Meyur
Kolef, (residen Riau) itu. Maka selesailah pekerjaan /
itu dan/ perjanjian (aturan) laut-laut itu (pada pekerjaan
mengapuskan perompak-perompak, maka) dijalan-
kanlah sebagaimana yang di dalam perjanjian itu dan
apabila selesai maka (baginda Yang Dipertuan Muda
pun berangkatlah balik ke Riau bersama-sama) residen
Riau (serta Meyur Kolef itu. Maka apabila sampai) ke
Riau (maka tiada berapa lamanya) maka Meyur Koleflo
pun baliklah ke Betawi,” (Ahmad & Haji dalam
Matheson (Ed.), 1991: 590).
146 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Berdasarkan peraturan dan perjanjian yang disetujui
bersama, pihak Kesultanan Lingga-Riau dan Pemerintah
Hindia-Belanda itulah, pengamanan wilayah Kesultanan
Lingga-Riau selanjutnya dilakukan. Upaya itu ternyata telah
berhasil mengatasi aktivitas perompakan di wilayah laut
Kesultanan Lingga-Riau. Walaupun tak seluruhnya, gangguan
keamanan laut dan wilayah Kesultanan Lingga-Riau secara
umum telah jauh berkurang daripada keadaan sebelumnya.
6. Armada Laut Kesultanan Lingga-Riau
Wilayah Kesultanan Lingga-Riau dengan rentang kendali
perairan memang wajib memiliki armada laut sebagai
damipertahanan. Rentang kendali dengan wilayah taklukan dan
jajahannya yang sangat luas sekaligus salah satu jalur
perdagangan yang terhubung langsung dengan Selat Malaka
sebagai jalur perdagangan dunia mewajibkan Kesultanan
Lingga-Riau memperkuat keamanan laut secara memadai.
Upaya itu juga diperlukan untuk mempertahankan kedaulatan
kerajaan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah, lebih
kurang 45 tahun sejak Daik-Lingga menjadi pusat peme-
rintahan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, yang dimulai
pada 1787, keamanan laut memang sangat diperhatikan. Upaya
itu telah dirintis oleh Sultan Muhammad Riayat Syah atau
Sultan Mahmud III, Sultan I Lingga-Riau. Di dalam Tuhfat
al-Nafiz disebutkan bahwa usai pembantaian terhadap Belanda
di Tanjungpinang yang dipimpin oleh Baginda Sultan yang
melibatkan pasukan Raja Tempasuk, Sultan Mahmud bersama
rakyatnya meninggalkan Tanjungpinang menuju Lingga
dengan menggunakan 200 perahu yang begitu banyak. Ratusan
147SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
perahu lain menuju Tanah Semenanjung dan tempat-tempat
lain di wilayah Kesultanan Melayu ini. Selain mengangkut
rakyatnya pindah ke Lingga dan tempat-tempat lain itu,
tentulah rombongan Sultan Mahmud diiringi oleh armada laut.
“Syahdan setelah Holanda itu lari maka raja-raja lanun
itu pun menghadaplah baginda Sultan Mahmud. Maka
diperjamulah oleh baginda serta dibaik-baikkan hatinya.
Adalah berlaku pekerjaan ini pada Hijarat sanat 1215.
Kemudian datang pula Tok Lukas dan Tok Akus
memperhambakan dirinya kepada baginda Sultan
Mahmud. Kemudian maka bermusyawarahlah baginda
dengan segala menteri-menterinya, maka titah baginda,
‘Tiada saya terhemat di dalam negeri Riau sebab
Holanda-Holanda itu tentu datang semula ia melanggar
negeri Riau padahal di dalam negeri kekuatannya sudah
tiada lagi. Jikalau begitu, baiklah saya pindah ke Lingga.’
damiMaka sembah segala orang besar-besarnya, ‘mana-mana
titah sahaja patik junjung.
Syahdan maka baginda pun berangkatlah ke Lingga
bersama Raja Indera Bungsu serta serta segala orang-
orang Melayu dan peranakan Bugis ada kira-kira lebih
dua ratus perahu mengiringkan baginda berpindah ke
Lingga itu…” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.),
1997: 190).
Jenis armada laut Kesultanan Lingga-Riau dengan perahu
dan penjajab yang ada boleh dikatakan sedikit sekali dituliskan
secara jelas. Begitu juga senjata-senjata yang digunakan.
Walaupun begitu, dari peristiwa di atas dapat pula kita
simpulkan berkenaan dengan armada yang telah dibangun
148 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
sejak Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang ini menjadi basis
pertahanan laut yang kemudian diwariskan dari generasi ke
generasi ini sehingga sampai pada masa Sultan Muhammad
Syah, cucunda Sultan Mahmud Riayat Syah, sebagai Sultan
Lingga-Riau III sebagai penerus tahta kerajaan.
Dalam pada itu, referensi lain tentang besarnya perahu-
perahu yang pernah dipergunakan Sultan Lingga sekitar 1811,
setahun sebelum kemangkatan Sultan Mahmud III dapat
ditemukan dalam persuratan Gubernur Letnan Hindia-
Belanda, Thomas Stamford Raffles. Persuratan tersebut antara
Tengku Pangeran Siak dengan Raffles dalam misinya sebagai
utusan Inggris ke kerajaan-kerajaan tanah Jawa dan sempat
damisinggah di Lingga.
Gambar 7.4 Peta wilayah Kerajaan Lingga Riau 149
SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Kisah pelayaran Tengku Pangeran yang singgah ke Lingga
ini telah dimuat di dalam sebuah artikel yang berjudul “Surat-
surat Tengku Pangeran Siak: Sebuah Reportase Perjalanan
Untuk Raffles”. Sesampainya di Lingga Tengku Paneran akan
menyerahkan surat kepada Baginda Sultan Mahmud III.
Berhubung saat itu Baginda Sultan dalam keadaan sakit keras,
Tengku Pangeran hanya menyerahkan sepucuk dari dua surat
yang dikirim oleh Raffles. Sepucuk surat diberikan kepada
Orang Besar, yakni Engku Sayid Zain bin Abdurrahman Al-
Qudsi, sedangkan sepucuk surat lagi yang bersifat rahasia tak
diserahkan oleh oleh Tengku Pangeran karena tak dapat
bertemu langsung dengan Yang Dipertuan Besar Sultan
Mahmud Riayat Syah.
Selama di Lingga inilah Tengku Pangeran mendapatkan
bantuan berupa pinjaman dua buah kapal untuk membantu
pelayarannya ke Tanah Jawa. Kesultanan Lingga-Riau
damimemberi pinjaman berupa kapal penjajap dan pemayang.
“Tengku Pangeran juga menginformasikan bahwa
Kesultanan Lingga memberi bantuan dua kapal, yakni
1 jenis penjajap dan 1 jenis pemayang, lengkap dengan
awak kapal (21 orang) dan persenjataan. Ia menyebutkan
secara detail bahwa penjajap memiliki panjang 8 hasta,
dilengkapi senjata berupa sepasang meriam besar
(masing-masing sepanjang 4,5 hasta) dan 6 buah rentaka
tembaga kecik. Sementara pemayang dilengkapi
beberapa senjata, seperti 2 buah lela, 4 pucuk pemuras,
4 pucuk senapan, 10 batang tombak, 8 kerpai, 4 tabung
pengalak meriam, 50 peluru meriam, 800 butir peluru
senapan dan pemuras, 300 butir peluru rentaka, obat
bedil dotong Belanda, 11 buah tempayan, dan 20 pikul
beras,” (Hazmirullah, 2016: 83).
150 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Perahu penjajap, menurut sejarawan Portugis Fernão Lopes
de Castanheda dan dipercaya sebagai catatan awal 1509,
adalah kapal dari Sumatra. Bentuknya panjang dan cepat,
dapat melaju dengan baik menggunakan layar ataupun dayung.
Penjajap dibuat dari bahan yang ringan. Biasanya sangat
panjang dan sempit dan memiliki kedalaman (draft) yang
dangkal. Ini memungkinkan penjajap dapat berlayar di atas
karang dan sungai. Penjajap besar memerlukan cadik, karena
tanpanya, ia dapat tenggelam. Untuk keperluan bertempur,
penjajap dilengkapi, baik dengan meriam berkaliber besar
maupun lela rentaka, yaitu meriam kecil khas bangsa Melayu.
Pemayang adalah perahu yang mampu memuat awak 15
damisampai dengan 20 orang. Panjang kapal berkisar 33 hingga
45 kaki dengan lebar 6 sampai 7 kaki. Pemayang memiliki
dua buah tiang layar. Satu tiang berada di depan dan satu lagi
di bagian belakang. Bahan kayu yang digunakan cukup lazim
dan sangat mudah ditemukan wilayah perairan Pulau Lingga,
yakni kayu serayah dan medang.
Gambar 7.5 Sebuah Penjajap yang Tengah Berlabuh di Selat Melaka
Sumber: Foto Essai sur la construction navale des peuples extra-europeens,
Amiral E. Paris (François-Edmond Pâris) pada 1841
151SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Caratan Tengku Pangeran di atas ini sedikit banyak dapat
memberi informasi bagaimana perahu-perahu armada laut di
Kesultanan Lingga yang pernah ada dan digunakan pada masa
itu. Meski berlangsung dalam waktu yang berbeda, dapat
disimpulkan bahwa warisan kekuatan armada laut pada zaman
Sultan Mahmud Riayat Syah ini kemudian juga digunakan
oleh Sultan Muhammad Syah.
Residen Belanda di Riau, E. Netscher, dalam bukunya De
Nederlanders in Djohor en Siak 1602 tot 1865 turut mencatat
jumlah kapal perang yang dikerahkan oleh pihak Kesultanan
Lingga-Riau pada masa Sultan Muhammad Syah pada 1833
dalam ekspedisi memberantas bajak laut yang bermukim di
Inuk, dekat wilayah Inderagiri. Pada saat itu, Kesultanan
Lingga-Riau menggerakkan 50 buah perahu dalam perang
melawan bajak laut dari Inuk.
dami7. Benteng dan Kubu Pertahanan
Pada 1819 seorang Belanda, yakni Cristiaan van Angelbeek,
pernah berkunjung ke Pulau Lingga dan melihat langsung tata
kota juga letak-letak benteng pertahanan kerajaan. Saat itu,
Daik telah 35 tahun menjadi pusat pemerintahan kesultanan.
Tampuk kepemimpinan ketika itu dipimpin oleh ayahanda
Sultan Muhammad Syah, yakni Sultan Abdul Rahman
Muazzam Syah I. Ketika hendak menuju istana sultan,
Anglebeek menggunakan perahu menyusuri Sungai Daik,
sebelah selatan Pulau Lingga.
“Di muara sungai di sebelah kirinya, terdapat sebuah
sarang meriam yang tertutup pancang-pancang kayu
runcing, dan sarat dengan 20 hingga 24 pucuk meriam.
Sarang meriam ini berbentuk persegi panjang, tertutup
152 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
dan ditutup pada semua sisinya. Walau seluruh bangunan
itu kini dalam keadaan rusak, namun bagaimanapun,
sarang meriam pertahanan sungai yang sangat baik
letaknya itu akan segera diperbaiki apabila diperlukan,”
(Angelbeek, 1826).
Benteng pertahanan yang ditulis Anglebeek sebagai sarang
meriam ini dapat dipastikan adalah Benteng Parit atau Kubu
Pertahanan Parit. Sampai sekarang, Benteng ini masih dapat
ditemukan dan menjadi satu dari cagar budaya. Benteng Parit
berbentuk persegi panjang dengan ukuran 5 x 80 meter. Selain
itu, persis menghadap ke laut sekitar 400 meter dari Benteng
damiParit ini juga terdapat Benteng Kuala Daik yang telah dibangun
sejak masa pemerintahan Sultan Mahmud Riayat Syah.
Benteng pertahanan yang ada ini bertahan dari tahun ke tahun
termasuk pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah.
Gambar 7.6 Benteng Kuala Daik yang Dibangun oleh Sultan Mahmud Riayat Syah,
Kakek Sultan Muhammad Syah
Sumber: Tim Penulis 2020
Total keseluruhan ada delapan benteng pertahanan yang
masih dapat ditemukan sampai saat ini yaitu Benteng Tanjung
Cengkeh, empat buah benteng di Pulau Mepar yaitu Benteng
153SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Lekok, Benteng Tengah, Benteng Segi Tiga, dan Benteng F
di sebelah barat, Benteng Bukit Cening, Benteng Kuala Daik,
dan Benteng Parit. Dalam pada itu, sejumlah benteng lainnya
seperti Benteng Pabean yang berlokasi di belakang Sekolah
Dasar Negeri 001 Lingga sudah rusak berat.
dami
154 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
BAB VIII
PENUTUP
Sultan Muhammad Syah (1832-1841) setelah ditabalkan
menjadi Sultan Lingga-Riau III bergelar DuliYang Mahamulia
Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar Sult an
Muhammad Syah ibni Allahyarham Yang Dipertuan Besar
Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah I (1812-1832). Baginda
damidilantik sebagai sultan pada subuh Senin, 16 Rabi’ul Awal
1248 H. bersamaan 13 Agustus 1832 M. menggantikan
ayahandanya yang telah mangkat.
Baginda Sultan Muhammad Syah, dalam memerintah,
didampingi oleh Yang Dipertuan Muda VII Lingga-Riau, yakni
Raja Abdul Rahman ibni Allahyarham Yang Dipertuan Muda
Raja Jaafar (1833-1844). Sultan berkedudukan resmi di Daik,
Lingga, wilayah Kabupaten Lingga sekarang, sedangkan Yang
Dipertuan Muda di Pulau Penyengat Indera Sakti atau
Penyengat Bandar Riau, wilayah Kota Tanjungpinang
sekarang.
Sejumlah perjanjian yang telah berlangsung sebelum
pemerintahannya mengikat Sultan Muhammad Syah harus
bersedia bekerja sama dengan Pemerintah Hindia-Belanda.
Akibatnya, Baginda tak dapat membuat keputusan sendiri,
tanpa persetujuan pihak asing itu, dalam menyelenggarakan
pemerintahan. Oleh sebab itu, Baginda tak dapat melaksa-
nakan pentadbiran negeri secara leluasa dan optimal.
155SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Walaupun begitu, bersama Yang Dipertuan Muda mereka
berupaya sedapat-dapatnya memajukan negeri dan memak-
murkan rakyat.
Walaupun mendapat int ervensi secara politik dan
pentadbiran pemerintahan, kepemimpinan Sultan Muhammad
Syah dan Yang Dipertuan Muda RajaAbdul Rahman berupaya
meningkatkan ekonomi kerajaan dan rakyat dengan
mengembangkan kerajinan tembaga. Pada masa Baginda
inilah kerajinan tembaga pertama dikembangkan di
Kesultanan Lingga-Riau. Selain itu, Baginda terus meng-
embangkan sektor pertanian, perkebunan, kerajinan,
perikanan, pertambangan, dan perdagangan yang memang
telah dirintis oleh sultan-sultan sebelumnya, yakni nenenda
dan ayahanda Baginda.
Pada masa itu juga Bandar Daik di Lingga yang telah
berkembang menjadi menjadi pusat perdagangan regional
damiyang menarik bagi peniaga dari pelbagai kawasan dapat
dipertahankan. Pusat Kesultanan itu ramai didatangi pedagang
dari kawasan nusantara dan pedagang asing, Timur dan Barat.
Pada masa itu juga dikembangkan perkebunan seperti sagu,
kelapa, karet, cengkih, lada hitam, gambir, dan lain-lain yang
kesemuanya menjadi komoditas ekspor yang diandalkan. Hasil
perikanan yang berlimpah juga menjadi andalan ekspor
kesultanan sejak lama terus dikembangkan. Dilengkapi dengan
hasil pertambangan timah di Singkep dan Karimun,
kesemuanya itu membawa kemakmuran bagi negeri dan
kesejahteraan bagi rakyat. Perdagangan antardaerah atau
antarpulau, yakni pulau-pulau di wilayah Kesultanan Lingga-
Riau, dan antarnegeri, yakni kawasan nusantara dan negeri-
negeri asing, berkembang cukup pesat dan tetap ramai.
156 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Dalam bidang pendidikan pada masa ini baru dapat
dikembangkan pendidikan tradisional yang berbasis agama
Islam. Untuk itu, istana, rumah ibadah, dan rumah rakyat
menjadi tempat pendidikan. Di samping pelajaran agama
Islam, pelajaran umum pun diperoleh pembelajar dari para
guru mengaji.
Pembangunan bidang agama dilakukan dengan peme-
liharaan dan pembangunan masjid-masjid, surau, tempat-
tempat pengajian dan pengkajian Islam, perpustakaan Islam,
penulisan karya-karya Melayu bernapaskan Islam, seni-budaya
Melayu bercorak Islam, dan lain-lain di seluruh wilayah
kesultanan. Di samping itu, rumah-rumah ibadah seperti
damiMasjid Sultan Lingga di Daik dan Masjid Sultan Riau di
Penyengat Indera Sakti dirawat dengan baik serta terus
diramaikan dan dimakmurkan dengan peribadatan dan
pengkajian agama Islam.
Pada masa inilah Masjid Sultan Riau di Pulau Penyengat
Indera Sakti untuk kali pertama dipugar secara besar-besaran.
Pekerjaan itu melibatkan rakyat yang berdatangan ke pulau
itu, tak hanya penduduk Pulau Penyengat.
Kenyataan itu membuktikan bahwa kerajaan menaruh
perhatian besar terhadap peri kehidupan beragama bagi
pemimpin dan seluruh rakyatnya. Memang, ajaran dan nilai-
nilai Islam tak dapat dipisahkan dengan seluruh sendi
kehidupan orang Melayu. Hal itu disebabkan oleh tamadun
Melayu memang identik dengan agama Islam dan ajarannya.
Dengan pemerintahan yang menerapkan ajaran Islam secara
konsisten, perkembangan agama Islam, juga tamadun Melayu,
di Kesultanan Lingga-Riau cukup pesat. Sebaliknya pula,
pemerintahan dapat dilaksanakan dengan baik walaupun di
157SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
bawah tekanan pihak Pemerintah Kolonial-Belanda.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah ini
bidang kebudayaan juga berkembang dan menunjukkan
kecenderungan yang meningkat. Tradisi lisan terus terawat
dan berkembang secara baik. Apatah lagi, Sultan Muhammad
Syah memang dikenal sebagai pecinta seni-budaya. Tradisi
tulis pula mulai dirintis pada masa ini.
Tradisi tulis dikembangkan di tempat kedudukan Yang
Dipertuan Muda, Pulau Penyengat Indera Sakti. Para penulis
yang mulai menghasilkan karya mereka pada masa peme-
rintahan Sultan Muhammad Syah adalah Lebai Abu, Raja
Ahmad Engku Haji Tua, dan Daeng Wuh. Merekalah yang
menjadi pelopor tradisi tulis di Kesultanan Lingga-Riau, yang
kemudian berkembang sangat pesat setelah generasi mereka.
Walaupun banyak gangguan keamanan, terutama di laut
karena perbuatan para bajak laut atau lanun, bidang pertahanan
damidan keamanan dapat dikelola dengan baik. Hal itu dimung-
kinkan karena kebijakan Baginda memperkuat bidang
pertahanan dan keamanan secara konsisten dengan melakukan
konsolidasi internal dengan para bawahannya yang bertugas
di bidang pertahanan dan keamanan. Selain itu, pihak kerajaan
juga bekerja sama secara intensif dengan Pemerintah Hindia-
Belanda dalam menjaga keamanan wilayah Kesultanan
Lingga-Riau, baik di darat maupun di laut. Hasilnya, keamanan
wilayah yang awalnya cenderung bergejolak secara berangsur
berubah menjadi kondusif.
Sultan Muhammad Syah mangkat di Dalam Besar Istana
Kesultanan Lingga-Riau, di Bandar Daik, pada 9 Januari 1841
karena sakit. Setelah kemangkatannya, baginda diberi gelar
Marhum Kedaton/Keraton. Allahyarham dimakamkan di
158 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Komplek Pemakaman Diraja Melayu Lingga-Riau, Bukit
Cengkih, Daik, Lingga. Bangunan makam itu dikenal dengan
nama Bangunan Persegi Delapan.
Baginda digantikan oleh putranya Tengku Besar Mahmud.
Setelah resmi ditabalkan menjadi sultan, Tengku Besar
Mahmud bergelar lengkap Duli Yang Mahamulia Seri Paduka
Baginda Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Muzzafar
Syah ibni Allahyarham Yang Dipertuan Besar Sultan
Muhammad Syah (1841-1858). Sultan inilah yang dikenal juga
dengan sebutan Sultan Mahmud Syah IV.
Baginda juga di kalangan rakyat terkenal dengan gelar Sang
Naga Bercula dari Lingga karena tak pernah tunduk terhadap
damiPemerintah Hindia-Belanda. Tak hanya terus melawan
penjajah sepanjang hanyatnya, Baginda, bahkan, mem-
perjuangkan kembalinya Imperium Melayu Raya yang telah
dipecah belah oleh pihak asing itu. Dengan demikian, Seri
Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar Sultan Muhammad
Syah telah berjaya mendidik putra dan atau penerusnya
menjadi pejuang yang senantiasa membela rakyat, bangsa, dan
negara.
159SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
dami
160 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abbas, Syahrizal. (2018). Hakim Perempuan dalam Mir’atuth
Thullab Karya Shaykh Abdurrauf As-Singkily. Banda
Aceh: Naskah Aceh (NASA).
Abdullah, Taufik, dkk. (Eds.). (2002). Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam. Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve.
Abrus, Rustam S., dkk. (Penyunting). (1988). Sejarah
Perjuangan Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau
damiMelawan Belanda (1782-1784). Pekanbaru: Pemerintah
Provinsi Daerah Tingkat I Riau.
Abubakar, Tengku Ahmad & Hasan Junus. (1972). Sekelumit
Kesan Peninggalan Sejarah Riau. Daik-Lingga, Asmar
Ras.
Adil, Haji Buyong bin. (1971). Sejarah Johor. Kuala Lumpur.
Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran
Malaysia.
Adil, Haji Buyong bin. (1973). Sejarah Melaka. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian
Pelajaran Malaysia.
Adnan, Gusti dan Zulkarnain (Eds.). (2008). Mengabdi Ilmu
dan Profesi Sejarah Demi Daerah & Bangsa
(Pesembahan 70 Tahun Prof. Suwardi MS). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ahmad, A. Samad (Ed.). (1985). Kerajaan Johor-Riau. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian
Pelajaran Malaysia.
161SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Ahmad, A. Samad. (1979). Sulalatus Salatin (Sejarah
Melayu). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Ahmad, A. Samad. (1999). Kesultanan Johor-Riau. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Kementerian
Pelajaran Malaysia.
Ahmad, Kassim (Ed.). (1975). Hikayat Hang Tuah: menurut
naskah Dewan Bahasa dan Pustaka. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran
Malaysia.
Ahmad, Raja & Haji, Raja Ali. (1982). Tuhfat al-Nafis. Dalam
Virginia Matheson (Ed.). Kuala Lumpur: Fajar Bakti
Sdn. Bhd.
Ahmad, Raja & Haji, Raja Ali. (1991). Tuhfat al-Nafis Sejarah
Melayu-Islam. Dalam Virginia Matheson-Hooker. (Ed.).
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kementerian Pendidikan Malaysia.
damiAhmad, Raja & Haji, Raja Ali. (1997). Tuhfat al-Nafiz. Dalam
Virginia Matheson (Ed.). Shah Alam: Fajar Bakti Sdn.
Bhd.
Andaya, B.W. (1987). Kerajaan Johor 1641-1728
Pembangunan Ekonomi Dan Politik. Terj. Shamsuddin
Jaafar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kementerian Pendidikan Malaysia.
Andaya, B.W. (1997). “Recreating a Vision, Daratan and
Kepulauan in Historical Context”, Bijdragen tot de
Taal,- Land-en Volkenkunde, Vol. 153, hlm. 483-508.
ANRI. (1970). Surat-Surat Perdjandjian Antara Kesultanan
Riau dengan Pemerintahan2 V.O.C dan Hindia-Belanda
1784-1909. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
Asmuni, dkk. (1982/1983). Sejarah Kebangkitan Nasional
162 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Daerah Riau. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah.
Awang, Haji Muhammad Saleh bin Haji. (1991). Sejarah
Darul Iman Hingga 1361 H.=1942 M. Terengganu:
Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Terengganu.
Azhar, Al & Emustian Rahman. (Eds.). (2001). Kandil Akal
di Pelantar Budi. Pekanbaru, Masyarakat Pernaskahan
Nusantara Riau dan Yayasan Kata.
Bakar, Abdul Latiff Abu. (2010). “Kepulauan Riau sebagai
Pusat Kebudayaan dan Tamadun Melayu.” Makalah
Seminar Bahasa Melayu, Konvensyen XI Dunia Melayu
damiDunia Islam, Batam, 10 November 2010.
Balwi, Mohd. Koharuddin Mohd. (2005). Peradaban Melayu.
Skudai: Penerbit Universiti Teknologi Malaysia.
Basri, Fawzi. (1983). Warisan Sejarah Johor. Kuala Lumpur:
Persatuan Sejarah Malaysia.
Basri, Fawzi. (1986). Cempaka Sari Sejarah Kesultanan
Negeri Perak. Perak:Yayasan Perak.
Begbie, P.J. (1834). The Malayan Peninsula Embracing its
History, Manners and Customs of in the Inhabitants,
Politics, Natural History, Etc. from its Earliest Records.
Vepery Missions Press.
Bruinessen. Martin van. (1992). Tarekat Naqsyabandiyah di
Indonesia. Terjemahan Ismed Nasir. Bandung: Mizan.
Buletin Arkeologi Amoghapasa. (2004). BP3 Batusangkar.
Buletin Arkeologi Amoghapasa. (2005). BP3 Batusangkar.
Buletin Cagar Budaya. (1999). Edisi pertama, Vol. I, No 2,
September 1999.
Castanheda, Fernão Lopes de. (1942). História do
163SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
descobrimento e conquista da Índia pelos Portuguesa,
3a edição conforme a edição princeps, revista e anotada
por Pedro de Azevedo (Scriptores Rerum Lusitanarum.
Série A). 9 “livros” (buku) dalam 4 volume. Coimbra:
Imprensa da Universidade.
Dasuki, A. Hafizah. (1994). Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve.
Esposito, John L. (2002). Ensiklopedi Oxford Dunia Islam
Modern (3). Bandung: Mizan.
Galba, Sindu, dkk. (2001). Asal-Usul Nama Tempat
Bersejarah di Bintan, Daik Lingga dan Singkep.
Tanjungpinang: Bappeda Kabupaten Kepulauan Riau
Dengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Tanjungpinang.
Galba, Sindu, dkk. (2001). Sejarah Kerajaan Riau-Lingga.
Tanjungpinang: Bappeda Kabupaten Kepulauan Riau
damidengan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Tanjungpinang.
Ghazali, Abdullah Zakaria. (1997). Istana dan Politik Johor
(1835-1885). Kuala Lumpur: Yayasan Penataran Ilmu.
Haji, Raja Ali. (2002). Tuhfat al-Nafis (Sejarah Riau Lingga
dan Daerah Taklukannya 1699-1864). Kepulauan Riau:
Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Riau dengan
Yayasan Khazanah Melayu.
Hamidy, U.U. (1990). Masyarakat dan Kebudayaan di Daerah
Riau. Pekanbaru: Zamrad.
Hasan, Abdullah. (2010). “Menggagas dan Mewujudkan
Prasasti Bahasa Melayu Kepulauan Riau sebagai Asal
Bahasa Nasional Indonesia.” Makalah Seminar Bahasa
Melayu, Konvensyen XI Dunia Melayu Dunia Islam,
164 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Batam, 10 November 2010.
Hassan, Muhammad. (1982). Pahang Dalam Sejarah. Pahang:
Serikat Percitakan Ihsan.
Helmiati. (2011). Sejarah Islam Asia Tenggara. Pekanbaru:
Zanafa.
Husain, Shaharom. (1995). Sejarah Johor Kaitannya dengan
Negeri Melayu. Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn. Bhd.
Hussin, Sufean. (1996). Pendidikan di Malaysia, Sejarah,
Sistem dan Falsafah. Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala
Lumpur.
Ibrahim, Abdul Kadir. (2012). “Yang Dipertuan Besar Sultan
Mahmud Syah III”. Makalah Seminar Sejarah Menemu-
damikenali Ketokohan Sultan Mahmud Syah III, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional Tanjungpinang, di Kabupaten Lingga,
Provinsi Kepulauan Riau, 14 Juni 2012.
Ismail, Ilyas, dkk. (2008). Ensiklopedi Tasawuf Jilid III s-z.
Bandung: Angkasa.
Jones, Russell. (2016). Hikayat Raja Pasai. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Junus, Hasan. (2000). Raja Haji Fisabilillah Hanibal dari
Riau. Tanjungpinang: Hubungan Masyarakat
Pemerintah Daerah Kepulauan Riau.
Junus, Hasan. (2002). Engku Puteri Raja Hamidah Pemegang
Regalia Kerajaan Riau. Pekanbaru: Unri Perss.
Junus, Hasan. (2002). Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang
Abad XX. Pekanbaru: Unri Press.
Kadir, H.M. Daud, dkk. (2008). Sejarah Kebesaran
Kesultanan Lingga-Riau. Daik: Unri Press dan
Pemerintah Kabupaten Lingga.
165SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Lapian, Adrian B. (2009). Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut,
Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta:
Komunitas Bambu.
Liamsi, Rida K. (1989). Tanjungpinang Kota Bestari.
Tanjungpinang: Pemerintah Kotif Tanjungpinang dan
Lembaga Studi Sosial Budaya Tanjungpinang.
Lutfi, Muchtar (Ed.). (1997). Sejarah Riau. Pekanbaru: Pemda
Tingkat I Riau.
Malik, Abdul dan Hasan Junus. (2000). Studi tentang
Himpunan Karya Raja Ali Haji. Pekanbaru: Bappeda
Propinsi Riau dan PPKK, Unri.
Malik, Abdul, Anastasia Wiwik Swastiwi, M. Fadhillah, &
Raja Malik Hafrizal. 2020. Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah II, Yang Dipertuan Besar Kesultanan
Lingga-Riau (1857-1883). Tanjungpinang: Dinas
Kebudayaan Kabupaten Lingga bekerja sama dengan
damiMilaz Grafika.
Malik, Abdul, dkk. (2012). Sejarah Kejuangan dan
Kepahlawanan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah, Yang
Dipertuan Besar Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang
1761-1812. Daik: Pemerintah Kabupaten Lingga dan
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau.
Malik, Abdul, dkk. (2017). Sultan Mahmud Riayat Syah:
Pahlawan Besar Gerilya Laut dari Lingga. Depok:
Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga dan Komodo
Books.
Malik, Abdul, dkk. (Eds.). (2010). Revitalisasi Budaya
Melayu: Filosofi Dunia Melayu Pluralistik Budaya dan
Kebangkitan Sastra. Tanjungpinang: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kota Tanjungpinang.
166 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Malik, Abdul, Hasan Junus, & Auzar Thaher. (2003).
Kepulauan Riau sebagai Cagar Budaya Melayu.
Pekanbaru: Unri Press.
Malik, Abdul, Tenas Effendy, Hasan Junus, & Auzar Thaher.
(2003). Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau.
Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa.
Malik, Abdul. (1992). “Perkembangan Bahasa Melayu Masa
Kini: Kasus Indonesia”. Makalah Seminar Internasional
Bahasa Melayu sebagai Bahasa Pergaulan Bangsa
Asean dan Bangsa Serumpun, Tanjungpinang, 7-10
September 1992.
Malik, Abdul. (2009). Memelihara Warisan yang Agung.
damiYogyakarta: Akar Indonesia.
Malik, Abdul. (2012). Menjemput Tuah Menjunjung Marwah.
Jakarta: Komodo Books.
Malik, Abdul. (2021). Hang Tuah: Tauladan Wira Melayu
Sejati, Makalah Seminar Internasional Kesejarahan:
Hang Tuah dan Jejak Sejarahnya. Dabo-Singkep,
Lingga, Jumat, 26 Maret 2021.
Marsden, William. (1999). Sejarah Sumatra. Terjemahan
Nasution dan Mahyuddin Mendim. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Marsuki, Mohd. Zuhdi. (2006). Tamadun Islam dan Tamadun
Melayu: Konsep Tamadun. Kuala Lumpur: Penerbit
Universiti Malaya.
Matheson, Virgina (Ed.). (1997). Tuhfat al-Nafis. Shah Alam:
Fajar Bakti Sdn. Bhd.
Matheson, Virginia. (1982). “Pengenalan,” dalam Raja Ahmad
dan Raja Ali Haji, Tuhfat al-Nafis. Kuala Lumpur: Fajar
Bakti Sdn. Bhd.
167SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Matheson-Hooker, Virginia (Ed.). (1991). Tuhfat Al-Nafis
Sejarah Melayu-Islam. Penerjemah Pengenalan Ahmad
Fauzi Basri. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kementerian Pelajaran Malaysia.
Mu’jizah. (2009). Iluminasi dalam Surat-Surat Melayu Abad
ke-18 dan ke-19. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia) bekerja sama dengan Ecole francaise
d’Extreme-Orient, Pusat Bahasa-Departement Pedidika
Nasional dan KITLV.
Muljana, Slamet. (1981). Kuntala, Sriwijaya, dan
Swarnabhum. Jakarta: Yayasan Idayu.
Muljana, Slamet. (2013). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa
dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara.
Yogyakarta: LkiS.
Munoz, Paul Michel. (2009). Kerajaan-Kerajaan Awal
Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia.
damiYogyakarta: Mitra Abadi.
Musa, Hashim. (2006). Sejarah Perkembangan Tulisan Jawi.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Muttaqin, Zainal. (2020). “Kitab Mir’at al-Thullab dan
Penerapan Fiqh Islah dalam Konflik Komunal pada
masa Abd al-Rauf al-Sinkili”, Islamica: Jurnal Studi
Keislaman, 15 (1): 28-47.
Netscher, E. (2002). Belanda di Johor dan Siak 1602—1865.
Terjemahan Wan Ghalib. Siak: Pemerintah Daerah
Kabupaten Siak dan Yayasan Arkeologi dan Sejarah
Bina Pusaka.
Netscher, E. (1854). “Beschrijving van Een Gedeelte der
Residentie Riouw.” Dalam Tijdschrift voor Indische Taal
Land en Volkenkunde deel II . Batavia: Lange & Co.
168 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Netscher, E. (1870). De Nederlanders in Djohor en Siak 1602
tot 1865. Batavia: Bruijning en Wijt.
Nor, Mohd. Yusof Md. (Ed.) (2016). Salasilah Melayu dan
Bugis. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Nordin, Mardiana. (2008). Politik Kerajaan Johor 1718-1862.
Johor Bahru: Yayasan Warisan Johor.
Pemerintah Propinsi Riau. (1993). Dari Kesultanan Melayu
Johor Riau ke Kesultanan Melayu Lingga Riau.
Pekanbaru: Pemerintah Propinsi Riau.
Pemerintah Kota Tanjungpinang. (2006). Tanjungpinang Land
of Malay History.Tanjungpinang: Pemerintah Kota
Tanjungpinang.
damiPerret, Daniel. (1998). Sejarah Johor-Riau-Lingga sehingga
1914: Sebuah Esei Bibliografi. Ecole francais
d’Extreme-Orient: Kementerian Kebudayaan, Kesenian,
dan Pelancongan Malaysia.
Putten, Jan va der & Al Azhar (Ed.). 2007. Surat-surat Raja
Ali Haji kepada Von de Wall. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Rahman, Elmustian. (2002). Cakap-2 Rampai-2 Bahasa
Malaju-Johor (Jilid 1). Pekanbaru: Bappeda Kepulauan
Riau dan Unri Press.
Rahman, Elmustian. (2002). Cakap-2 Rampai-2 Bahasa
Malaju-Johor (Jilid 2). Pekanbaru: Bappeda Kepulauan
Riau dan Unri Press.
Rahman, Jamal D., dkk. (2010). Dermaga Sastra Indonesia:
Kepengarangan Tanjungpinang dari Raja Ali Haji
sampai Suryatati A. Manan. Jakarta: Komodo Books.
Reid, Anthony dan David Marr (Eds.). (1983). Dari Raja Ali
Haji Hingga Hamka. Jakarta: Temprint.
169SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Reid, Anthony. (2011). To Nation by Revolution: Indonesia
in the 20th Century. Singapore: The National University
Press.
Reid, Anthony. (2014). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga
1450-1680, Jilid I Tanah di Bawah Angin. Terjemahan
Mochtar Pabotinggi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Rejab, F.I. (2000). Daik Bonda Tanah Melayu. Kuala Lumpur:
Pusat Penyelidikan Ensiklopedia Malaysia.
Ricklefs, M.C. (1999). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Saleh, Al-Said al-Syarif Muhammad. (1313 H). Kaifiat Al-
Zikr ‘ala Tariqat al-Naqsabandiyah al-Mujadiddiyah
al-Ahmadiyah. Riau: Matba’ah al-Ahmadiah.
Sinar, Lukman, dkk. (Ed). (1992). Sistem Pengendalian Sosial
Tradisional Masyarakat Melayu di Sumatera Utara.
damiJakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Kebudayaan Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional Proyek Penelitian Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
Supriyadi, Dedi. (2008). Sejarah Peradaban Islam. Bandung,
Pustaka Setia.
Sutopo, Marsis, dkk. (2006). Studi Master Plan Kawasan
Kepurbakalaan Daik Lingga. Batusangkar: Laporan
BP3.
Suwardi, M.S., (Ed.). (2008). Dari Melayu ke Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Swastiwi, Anastasia Wiwik. (2004). Jaringan Perdagangan
di Sungai Carang Pulau Bintan 1777-1787.
Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
170 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Tradisional.
Swastiwi, Anastasia Wiwik. (2002). “Kerajaan Johor Riau-
Lingga pada Masa Pemerintahan Sultan Mahmud Syah
III” dalam Naskah Kuno: Sumber Ilmu yang Terabaikan
(Telaah terhadap Beberapa Naskah Kuno). Tanjung-
pinang: Badan Pengembangan Kebudayaan dan
Pariwisata, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengem-
bangan Budaya, Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional.
Swastiwi, Anastasia Wiwik. (2002). Istana Kota Pring (1777-
1787): Aset Sejarah yang Terlupakan. Tanjungpinang:
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
damiSwastiwi, Anastasia Wiwik. (2007). Kota Rebah : Pusat
Pemerintahan Kerajaan Johor Riau Lingga 1673-1777.
Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Tanjungpinang.
Swastiwi, Anastasia Wiwik. (2009). “Pulau Singkep: Masa
Penambangan Timah” dalam Upacara Daur Hidup Di
Bangka. Tanjungpinang: Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional.
Swastiwi, Anastasia Wiwik. (2012). Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah I: Peranannya pada Kesultanan Johor Riau
Pahang. Tanjungpinang: Balai Pelestarian Sejarah dan
Nilai Tradisional.
Trocki, Carl A. (2007). Prince of Pirates The Temenggong
and the Development of Johor and Singapore 1784-
1885. Singapore: Nus Press.
Warren, James Francis. (2002). Iranun and Balangingi:
Globalization, Maritime Raiding and the Birth of
171SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU
Ethnicity.
Yacob, M. Amin. (2004). Sejarah Kesultanan Lingga.
Daik: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Lingga dan Unri Press.
Yunus, Hamzah (Ed.). (1986/1987). Kitab Pengetahuan
Bahasa yaitu Kamus Logat Melayu Johor Pahang Riau
Lingga. Pekanbaru: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
Nusantara, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Melayu.
Yusuf, Ahmad, dkk. (1993). Dari Kesultanan Melayu Johor-
Riau ke Kesultanan Melayu Lingga-Riau. Pekanbaru:
Pemerintah Daerah Propinsi Riau.
Naskah
Fotokopi manuskrip mengenai sejarah ringkas Kerajaan
damiLingga-Riau yang selesai ditulis oleh Tengku
Muhammad Saleh Damnah pada 14 Agustus 1935.
Manuskrip Al-Quran Koleksi Museum Linggam Cahaya,
Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga.
Manuskrip kitab Durrah al-Manzumah fi sihhati al-I’Tiqadi
wa al-Iman, koleksi Museum Linggam Cahaya.
Manuskrip kitab Tuhfat al-Mursalah Ila al-Nabi, koleksi
Museum Linggam Cahaya.
Manuskrip Silsilah Tarekat Syattariyah Tulisan Encik Pung 3
Maret 1805, KoleksiAdnan, Desa Kerandin, Kecamatan
Lingga Timur.
Sulalatus Salatin, Salinan yang Diselesaikan 6 Januari 1838
di Riau. Published (digital) Leiden University Libraries.
172 SULTAN MUHAMMAD SYAH YANG DIPERTUAN BESAR KESULTANAN LINGGA - RIAU