Buku Saku
Juru Pelihara
Buku Saku
Juru Pelihara
Penanggungjawab
Ir. H. M. Ishak, M
Pengarah
Penulis
Hasfariansyah
Desain sampul dan tata letak
Milazgrafika
Cetakan Pertama, Desember 2019
Penerbit :
Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga
Sambutan
Kepala Dinas Kebudayaan
Kabupaten Lingga
Bismillahirrahmannirrahim..
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pertama – tama kita mengucapkan segala puji bagi
Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat,
nikmat dan karunia-Nya sehingga kita semua dapat
memberikan darma-bakti kepada bangsa dan negara
Republik Indonesia sesuai dengan tugas dan tanggung
jawab kita masing – masing. Alhamdulillahi rabbil’ala-
min. Selawat dan salam senantiasa pula kita ucapkan
untuk junjungan alam Nabi Muhammad SAW.,
Allahumma shalli’ala sayyidina Muhammad wa’ala ‘ali
sayyidina Muhammad. Semoga kita semua tetap dalam
keadaan sehat, dimurahkan rezeki, dipanjangkan umur,
dan dapat berbuat yang terbaik bagi Kabupaten Lingga
Bunda Tanah Melayu tercinta mencapai kemajuannya
dan tetap jaya.
iii
Mengawali kata sambutan saya ini, marilah kita
mengingat kembali sebuah ungkapan sakral yang
mengatakan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang
dapat menghargai jasa – jasa pahlawannya”. Kita
niscayalah sebagai bangsa yang besar, berbudaya,
beradab, beradat – istiadat, dan bersatu – padu dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita
adalah bangsa yang berkeyakinan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Kita niscayalah tidak sudi dikatakan oleh
siapapun sebagai orang yang tidak dapat mengenang
dan menghargai jasa – jasa pahlawannya. Kita
niscayalah pula sebagai bangsa yang dapat menghargai,
mengenang, meneruskan, dan menauladani jasa – jasa
pahlawan bangsa. Kita adalah bangsa yang berbudi –
bahasa, yang tahu, sadar, dan dapat membalas budi
pahlawan bangsa dengan cara, peluang, dan kesempatan
kita masing – masing dengan pantas dan patut sebagai
anak bangsa Indonesia tercinta.
Selain sebagai salah satu upaya penyelamatan dan
penyebarluasan edukasi tentang tata cara menyapaikan
pesan dan kesan khazanah sejarah kesultanan lingga,
kehadiran buku ini diharapkan dapat membangkitkan
kesadaran dan pemahaman kita tentang arti penting ilmu
pengetahuan sejarah yang ada di daerah kita sendiri
pastinya sebagai warisan budaya yang tidak ternilai
harganya. Saya juga berharap kehadiran buku ini dapat
pula menumbuhkan kesadaran dan pemahaman kita
tentang arti penting masa lalu dalam konteks kekinian.
iv
Terlebih lagi bila masa lalu atau sejarah itu erat
kaitannya dengan masa kesultanan Lingga – Riau Johor,
Pahang, Siak, dan Indragiri hulu yang di bawah
taklukannya.
Pada sisi lain, penerbitan buku ini adalah bagian
dari upaya kepedulian Pemerintah Kabupaten Lingga
Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga. Oleh karena
itulah saya harapkan penerbitan dan penyebarluasan
sejarah kejayaan masa Kesultanan Lingga dahulu
hendaknya terus di lanjutkan sebagai bagian dari upaya
– upaya pewarisanya kepada generasi yang akan datang.
Akhirul – kalam, saya berharap buku ini dapat
menambah pengetahuan kita tentang sejarah di masa
kejayaan Kesultanan Lingga dan sekaligus dalam
memperkaya pemahaman kita tentang fase – fase
tertentu dalam sejarah kerajaan Riau – Lingga – Johor
dan Pahang yang telah menjadi bagian dari sejarah
Kepuluan Riau.
Wassalam-mu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kepala Dinas Kebudayaan
Kabupaten Lingga
Ir. Muhammad Ishak MM
v
Pengantar Penulis
Segala puji hanya milik Allah Azza wa jalla, Tuhan
seru sekalian alam, yang tidak ada tuhan selain Allah
SWT. Berkat ramhmat, hidayah, dan inayah – nya jualah
buku saku ini selesai ditulis, selawat dan salam kita
tunjukan kepada junjungan Alam, Baginda Nabi
Muhammad s.a.w, para ahli keluarga baginda, sahabat
– sahabat baginda, dan para pengikut baginda sampai
ke akhir zaman. Barkat perjuangan Baginda Rasullullah
s.a.w kita memperoleh cahaya gemilang ilmu pengeta-
huan sebagai alat untuk kehidupan di dunia sampai
setakat ini dan untuk bekal hidup di alam yang kekal
abadi di akhirat kelak seperti yang diajarkan baginda
kepada seluruh umat zaman – berzaman. Tak lupa juga
sosok terbaik yang mengins-pirasi hidupku pada alm.
ayahnda Mustafa dan Ibunda Tengku Saodah yang
selalu memberikan Pendidikan serta pengalaman hidup
dalam membimbingku dari kecil hingga dewasa yang
tak terhingga besar nilainya.
Kabupaten Lingga merupakan sebuah kabupaten
yang sedang giat – giatnya membangun. Dengan
dianugerahi berbagai kekayaan alam dan khasanah
budaya, Lingga terus berkembang mencari jati dirinya.
Ruh kejayaan masa lalu, telah mampu dijelmakan
kembali dalam konsep – konsep peradaban yang baru
vii
untuk membangun kembali tapak – tapak kejayaan masa
datang.
Beragam khasanah budaya Melayu yang masih
melekat, hal itu yang membuat Sejarah dan Budaya
tradisi di lingga masih tetap bertahan sampai sekarang.
Nafas Budaya Melayu sangat kental terlihat di setiap
sudut kota. Sebagai sebuah bekas kerajaan besar, ruhnya
harus dipatrikan dalam konteks dan konsep – konsep
pembangunan yang beradab sesuai dengan filosofi
mengedepankan ke Islaman melayu di Daik Lingga
Sebagai laman bermain khasanah budaya Melayu
yang merupakan kultur ibu dari beragamnya adat resam
di daerah ini. Lingga memiliki beragam kekayaan yang
patut untuk diperlihatkan.
Budaya adalah identitas sebuah bangsa. Terkenal
dan besarnya nama sebuah bangsa adalah disebabkan
tingginya budaya tersebut. Budaya adalah alat ukur
tingkat keberadaban manusia karena budaya adalah
hasil peradaban manusia itu sendiri. Sejarah dan Budaya
haruslah dipromosikan kepada khalayak umum demi
kemakmuran masyarakat setempat. Dengan berbagai
langkah yang jitu dalam mempromosikan Lingga
terutama dengan basisnya Sejarah dan budaya adab
Melayu, maka ke depan negeri ini akan menjadi pusat
pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Melayu.
Budaya dan sejarah adalah identitas masyarakat
daerah. Budaya daerah memiliki nilai – nilai luhur dan
mulia tercipta oleh keberadaban manusia yang diatur
viii
oleh agama dan adat istiadat. Nilai – nilai luhur itu
timbul oleh aturan hukum agama dan hukum adab dan
adat yang dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat
sehingga nilai - nilai itu tercermin pada hasil ciptaan
dan perbuatan manusia yang menganutnya baik dalam
bentuk Adab Berbudaya maupun dalam bentuk perilaku
adat daerah masing - masing.
Dalam rangka “terwujudnya Kabupaten Lingga
sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu
dalam lingkungan masyarakat yang agamis, sejahtera
lahir dan batin menciptakan Negeri Bersejarah dan
Berbudaya, Sejahtera dan Agamis” (misi Kabupaten
Lingga) diperlukan usaha – usaha kongkrit dari semua
pihak untuk mewujudkannya.
Khususnya di bidang Juru Pelihara Situs Perseja-
rahan di Daik Lingga yang dapat dibanggakan.
Daik Lingga, Kabupaten Lingga
Penulis Sejarah
HASFARIANSYAH
ix
x
DAFTAR ISI
Sambutan Kepala Dinas Kabupataen Lingga ..... iii
Pengantar Penulis .................................................. vii
Daftar Isi ............................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ..................................... 1
1.1 Latar Balakang ................................................ 1
1.2 Tujuan ............................................................. 4
BAB II 5
2. GAMBARAN UMUM DAERAH 5
7
PENELITIAN ..................................................
2.1 Kabupaten Lingga Provinsi
Kepulauan Riau ........................................
2.2 Sejarah Singkat Kesultanan
Kerajaan Lingga .......................................
BAB III 19
3. Tapak Sejarah Bekas Peninggalan
19
Kesultanan Lingga .......................................... 19
3.1 Analisis Sejarah Masjid
30
Kesultanan Lingga ....................................
3.1.1 Masjid Jami Kesultanan Lingga ... 31
3.1.2 Masjid Sultan Abdurrahman
31
di Kapung Pahang .......................... 34
3.2 Analisis Situs Makam Kerabat 37
39
Kesultanan Lingga ....................................
3.2.1 Makam Sultan Mahmud
Ria’yat Syah III ...............................
3.2.2 Makam Bukit Cengkeh ..................
3.2.3 Makam Megat Kuning ...................
3.2.4 Makam Merah .................................
xi
3.2.5 Komplek MakamTemenggung Jamaludin
dan Datuk Kaya Montel ........................... 43
3.3 ANALISIS SITUS SEJARAH ISTANA
KESULTANAN LINGGA ....................... 45
3.3.1 Situs Istana Damnah ...................... 45
3.3.2 Situs Istana Kota Batu ................... 45
3.3.3 Situs Istana Kenanga ..................... 52
3.3.4 Situs Gedung Bilik ......................... 54
3.4 ANALISIS SITUS BENTENG – BENTENG
PERTHANAN KESULTANAN
LINGGA .................................................... 55
3.4.1 Situs Benteng Pulau Mepar ........... 55
3.4.2 Situs Benteng Bukit Cening .......... 57
3.4.3 Situs Benteng Kuala Daik ............. 59
3.4.4 Situs Benteng Tanjung Cengkeh ... 62
3.4.5 Situs Kubu Pertahanan Parit ......... 63
3.4.6 Situs Perigi Hang Tuah dan
sejarahnya ....................................... 65
3.5 ANALISIS KEBERADAAN SUKU
DI DAIK LINGGA ................................... 74
3.5.1 Awal Peradaban Suku Bugis
di Tanah Daik ................................. 74
3.5.2 Awal Peradaban Suku Melayu Ladi
di Daik ............................................ 77
3.5.3 Awal Peradabaan Suku Melayu
Bangka di Daik .............................. 79
3.5.4 Awal Keberadaan Orang India di
Daik Lingga ................................... 80
BAB IV
4. RINGKASAN PARA TOKOH SEJARAH
SEBUTAN DALAM SEJARAH MELAYU 83
BAB V
PENUTUP ............................................................. 103
xii
BAB I
PENDAHULUAN
Seperti kita ketahui bersama bahwa kerajaan –
kerajaan Riau-Lingga-Johor-dan Pahang meliputi
wilayah yang luas. Kerajaan Melayu ini bermula dari
Bentan, Temasik dan Malaka. Sekarang wilayah itu
meliputi tiga negara yakni Indonesia, Malaysia,
Singapura. Pada masanya kerajaan ini mengalami
beberapa kali perpindahan pusat kerajaannya. Per-
pindahan tersebut disebabkan oleh upaya untuk
mempertahankan diri dari pihak lain yang ingin
mengambil alih kekuasaan kerajaan terutama dalam
dominasi perdagangan di Selat Malaka.
Salah satu Yang Dipertuan Besar Sultan dari
Kerajaan Riau-Lingga-Johor-dan Pahang ini adalah
Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Mahmud Syah III), yang
merupakan Sultan yang ke-13. Sultan ini telah
memerintah Kerajaan selama lebih kurang 51 tahun
(1761-1812). Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Mahmud
Syah III), dimana beliau memerintah Kerajaan Riau-
Lingga-Johor-dan Pahang ini sejak umur sekitar 2 tahun
yaitu sejak setelah mangkatnya Sultan Sulaiman Badrul
Alamsyah tahun 1760 di Hulu Riau.
Dari berbagai sumber dapat kita ketahui bahwa
Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Mahmud Syah III) ini
sangat gigih mempertahankan wilayah kerajaan dari
1
serangan Belanda. Berbagai taktik dilakukan termasuk
memindahkan ibukota kerajaan. Jejak – jejak sejarah
semasa beliau ini masih dapat kita temukan tapak –
tapak baik yang tidak bergerak maupun bergerak, yang
tersebar di berbagai wilayah baik di provinsi Riau
maupun di Kepulauan Riau.
Sebagian besar tapak – tapak tersebut sudah menjadi
cagar budaya dan sudah teregistrasi di Balai Pelestarian
Cagar Budaya Batusangkar, diantaranya berbentuk
istana, masjid, benteng, makam dan bangunan lainnya.
Peninggalan cagar budaya tersebut merupakan
bagian penting dari bukti – bukti kebesaran dari
kebudayaan melayu yang masih dapat kita temukan
sampai sekarang. Tidak itu saja, jasa beliau yang sangat
penting juga adalah ketika Penyengat dikembangkan
oleh Sultan Mahmud Ri’ayat Syah (Mahmud Syah III),
tidak saja sebagai kubu pertahanan tetapi juga
menjadikannya kota dengan berbagai kelengkapannya.
Sehingga kemudian pulau ini berkembang menjadi
pusat budaya Melayu, yang tapak – tapaknya juga masih
dapat kita saksikan sampai sekarang.
1.1 Latar Belakang
Cagar Budaya merupakan kekayaan bangsa yang
penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan
dan pengemabangan sejerah, ilmu pengetahuan, agama
dan kebudayaan oleh karena itu, cagar budaya perlu
dilindungi dan dilestarikan demi memupuk kesadaran
2
jati diri bangsa dan kepentingan nasional. Upaya
pelestarian terhadap cagar budaya sampai saat ini masih
terus dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh
masyarakat luas.
Salah satu upaya awal untuk pelestarian adalah
penyusunan database Cagar Budaya Kabupaten Lingga.
Hal ini karena kegiatan penyusunan database cagar
budaya merupakan sebuah aktivitas yang dapat dipakai
sebagai sarana pokok sebagai pangkalan data pada cagar
budaya terkait. Selanjutnya, data – data yang terkumpul
tersebut dapat dijadikan bahan dan acuan untuk
penanganan cagar budaya yang bersangkutan, baik yang
berhubungan dengan aspek perlindungan, pemeliharan,
pemugaran, maupun pemanfaatannya.
Jika pada undang–undang yang lama hanya
memberikan perhatian terhadap bendanya saja, maka
pada undang–undang yang baru semkin diperjelas
dengan munculnya istilah bangunan cagar budaya,
struktur cagar budaya situs cagar budaya, dan kawasan
cagar budaya selain dari benda cagar budaya.
Dari segi kewenangan juga semakin jelas peranan
dari pihak – pihak yang memiliki kepentingan terhadap
pelestarian cagar budaya. Sebab di dalam Undang–
undang No 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya juga
telah diatur mengenai pemeringkatan Cagar Budaya,
dengan adanya pemeringkatan ini semakin memperjelas
peran dari pemerintah daerah tehadap pengelolaan cagar
budaya khususnya cagar budaya yang memiliki nilai
3
penting bagi daerahnya tersebut.
1. 2 Tujuan:
1. Memahami Pentingnnya Cagar Budaya
2. Mamahami proses panjang sejarah Kesultanan
Lingga
3. Mampu mengimplementasikan hal – hal yang
berkaitan dengan kegiatan Cagar Budaya
4. Menjadikan Petugas Lapangan ( Jupel ) Juru
pelihara Situs yang kompeten terhadap Kekayaan
Sejarah yang ada di Kabupaten Lingga
5. Menjadikan petugas Lapangan ( Jupel ) Juru
pelihara Situs Cakap dan terampil serta tanggap
dalam penyampaian edukasi, promosi, publikasi
tentanag khazanah adap dan adat budaya khusus di
Daik Lingga
4
BAB II
GAMBARAN UMUM
DAERAH PENELITIAN
2.1 KABUPATEN LINGGA
PROVINSI KEPULUAN RIAU
Kabupaten Lingga merupakan pemekaran dari
kepulauan Riau sekaligus bekas wilayah kerajaan
Kesultanan Lingga yang di bentuk menjadi sebuah
kabupaten sesuai dengan Undang–undang RI Nomor
31 tanggal 18 Desember 2003. Letak Kabupaten Lingga
cukup strategis, yaitu berdekatan dengan Batam dan
Bintan serta berbatasan langsung dengan provinsi jambi
dan Bangka–Belitung Kebupaten linggainiterletak diantara
0 20’LU dengan 0 40 LS dan 104 BT dan 105 BT.
Kabupaten Lingga memiliki luas sekitar 211,772
km dan 99% dari luas tersebut adalah lautan atau sekitar
654,28 km, sedangkan luas daratan hanya sebesar 1%
atau 2.117, 772 Km. kabupaten lingga terbagi 5 keca-
matan dengan Daik sebagai ibu kota kabupaten. Jumlah
pulau yang terdapat di Kabupaten Lingga sebanyak 377
pulau besar dan kecil, 285 buah pulau diantaranya
belum berpenghuni. Jumlah penduduknya 80.382
Kabupaten Lingga memiliki lima kecamatan antara
lain:
Kecamatan Singkep beribukota Dabo
Kecamatan Singkep Barat beribukota di Kuala Raya
5
Kecamatan Lingga beribukota di Daik
Kecamatan Lingga Utara beribukota di Duara
Kecamatan Senayang beribukota di Senanyang
Adapun batas – batas wilayah Kabupaten Lingga
antara lain :
o Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan
Galang Kota Batam dan Laut Cina Selatan
o Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Bangka dan
Selat Berhala
o Sebelah barat berbatasan dengan laut Indragiri
o Sebelah timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan
Kabupaten Lingga terdiri dari tiga gugusan pulau
besar. Senanyang di sebelah utara, Lingga di tengah –
tengah dan Singkep di ujung paling selatan, dengan ciri
khas yang berbeda satu sama lainnya. Penduduk di
daerah ini umumnya hidup dari bercocok tanam keter-
gantungan terhadap alam terutama dari perkebunan
tergolong tinggi. Komoditas yang diandalkan daerah
ini adalah sagu. Tanaman tersebut menjadi gantungan
hidup penduduk di kedua kecamatan, Lingga dan
Lingga Utara
Sebagai alamnya yang berbukit, diselingi lembah
dan tiga gunung Daik Sepincan dan Tanda rupanya
cocok untuk mengembangkan beberapa hewan ternak
sapi, kerbau, kambing, ayam dan itik dapat berkembang
dengan baik. Untuk memenuhi kebutuhan beras, sayur–
6
sayuran berkualitas baik dan kebutuhan pokok lainnya,
masyarakat daerah ini sangat bergantung pada Tanjung
Pinang dan Jambi.
Lain Lingga Lain Senayang pulau terbesar ketiga
di sebelah utara kabupaten ini memang merupakan
kampung nelayan. Daerah ini adalah penghasil ikan
terbanyak di kabupaten lingga dengan produksi sekitar
46 persen dari total produksi kabupaten sebagai daerah
kepulauan, tak sedikit kegiatan ekonomi kabupaten
lingga di topang dari hasil perikanan. Perairan
disekelilingnya yang mencapai 95 persen dari luas
keseluruhan cukup menjelaskan hal itu. Singkep
berbeda dengan lingga dan senayang. Pulau di ujung
selatan kabupaten lingga ini tergolong lebih maju meski
tak mencakup keseluruhan, masyarakatnya sudah
tersentuh teknologi perkebunan karet disini tergolong
lebih menghasilkan dibandingkan dengan Pulau Lingga.
2.2 SEJARAH SINGKAT KESULTANAN
KERAJAAN LINGGA
Lingga adalah nama subuah pulau yang terletak
disebelah selatan Pulau Bintan. Nama Lingga diberikan
oleh para pelaut cina dimasa lalu, berasal dari kata Linga
yang berarti naga dan kata ge yang berate gigi.
Kemungkinan ini disebabkan ketika para peluat cina
memandang puncak – puncak gunung – gunung di Daik
yang kelihatan dari jauh menyerupai gigi naga.
Pendapat kedua nama lingga dari bahasa Sangsekerta,
7
suatu pendapat dari segi sejarah lebih mendekati dari
segi kebenaran patih gajah mada pernah menandai pulau
ninau ( singkep ) yang tidak jauh dari pulau lingga.
Keberadaan tinggalan – tinggalan keperbukalaan
Daik, Kabupaten Lingga tidak dapat dipisahkan dari
perjalanan sejarah kerajaan Melayu johor dan Melayu
Riau Lingga yang pernah mengalami masa kejayaan
sekitar abad XVI – XIX Masehi Kerajaan Melayu pada
masa awalnya berpusat di malaka. Perkembangan
kerajaan bercorak islam di belahan barat Nusantara ini
semakin dapat leluasa berkembang setelah hegemoni
kekuasan politik kerajaan Majapahit di Nusantara mulai
mengalami kemunduran dan kerentuhan, seiring dengan
perkembangan pengaruh islam di Nusantara. Kerajaan
Melayu Islam yang berpusat di Malaka dapat berkem-
bang dengan pesat setelah dapat menguasai perairan
selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran dan
perdagangan antara cina dan Kawasan Asia tenggara
di bagian Timur dengan India, Timur Tengah dan Eropa
dibagian Barat.
Posisi Geografis yang sangat strategis akhirnya
menjadikan Malaka sebagai pusat perdagangan yang
menghubungkan antara Timur dengan Barat. Oleh
karena itu bangsa Portugis yang datang ke Malaka pada
tahun 1505 untuk mengadakan perdagangan langsung
dengan daerah – daerah di wilayah timur ingin merebut
dan mengusai Malaka. Penyerangan Portugis terhadap
Malaka terjadi enam tahun kemudian pada tanggal 25
8
juli 1511 serdadu -serdadu portugis dibawah pimpinan
Alfonso d’Albuquerque mulai mengadakan penye-
rangan terhadap Malaka. Dalam waktu satu bulan
kemudian kota Malaka dapat dikuasi oleh Portugis.
Jatuhnya kota Malaka pada tanggal 15 Agustus 1511
mengakibatkan pusat kerajaan Melayu oleh Sultan
Mahmud dipindahkan ke pulau Bintan.
Perpindahan pusat pemerintahan dan basis perta-
hanan dari Malaka ke Pulau Bintan ini mengawali
babakan baru sejarah baru sejarah melayu Riau –
Lingga. Meskipun Malaka telah jatuh tatapi kerajaan
Melayu Riau – Lingga tetap melanjutkan perlawanan-
nya kepada Portugis yang berada di Malaka.
Kerajaan Melayu Riau – Lingga Sebagai Kelanjutan
dari kerajaan Melayu yang sebelumya berpusat di
Malaka tetap berkembang dan menguasai kawasan
kepulauan Riau sampai pada awal abad XX. Selama
itu pula kerajaan Melayu Riau – Lingga terus
mengadakan perlawanan terhadap Portugis yang
menguasai Portugis.
Kerajaan Melayu Riau-Lingga sebagai kelanjutan
dari kerajaan Melayu yang sebelumnya berpusat di
Malaka tetap berkembang dan menguasai kawasan
Kepulauan Riau sampai pada awal abad XX. Selama
itu pula kerajaan Melayu Riau-Lingga terus meng-
adakan perlawanan terhadap Portugis yang menguasai
Malaka. Ketika Malaka kemudian jatuh ke tangan
Belanda pada tahun 1614 maka berakhir pula perla-
9
wanan kerajaan Melayu Riau-Lingga terhadap Portugis.
Jatuhnya Malaka ke tangan Belanda akhirnya menyeret
kerajaan Melayu Riau-Lingga terlibat dalam berbagai
perlawanan dan peperangan yang besar antara kerajaan
Melayu Riau-Lingga dengan Belanda sampai pada abad
XX saat kerajaan Melayu Riau-Lingga kehilangan
kekuasaan politiknya pada Tahun 1911.
Keadaan politik yang selalu diwarnai dengan
perlawanan dan peperangan dengan Portugis dan
Belanda akhirnya mengakibatkan pusat kekuasaan
politik pemerintahan kerajaan Melayu Riau-Lingga
berpindah – pindah, antara lain di Pulau Bintan, Pekan
Tua Kampar, Johor, Daik Lingga dan Pulau Penyengat.
Bukti – bukti perpindahan pusat pemerintahan tersebut
masih dapat dilacak berdasarkan sisa – sisa peninggalan
sejarah dan purbakala yang masih dapat dijumpai
sampai sekarang.
Berpindahnya pusat pemerintahan ke Pulau Bintan
menjadikan pulau ini mempunyai peranan yang sangat
penting bagi eksistensi kerajaan Melayu-Riau Lingga
setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Pusat
pemerintan dan basis pertahanan di Pulau Bintan
kemudian dihancurkan oleh Portugis pada Tahun 1526.
Akibat jatuhnya Bintan, Sultan Mahmud kemudian
memindahkan pusat pemerintahannya ke Pekan Tua
Kampar sampai saat meninggalnya pada Tahun 1528.
Pada waktu pemerintahan Sultan Mahmudsyah II
(1529-1564) pusat pemerintahannya dipindahkan dari
10
Pekan Tua Kampar ke Johor (Malaysia). Pusat
pemerintahan di Johor kemudian direbut oleh Raja
Kecil dari Siak Sri Indrapura yang sebenarnya putranya
sendiri. Oleh Sultan Abdul Jalil pusat p emerintahan
kemudian dipindahkan lagi ke Bintan pada Tahun 1917.
Dengan demikian Pulau Bintan telah dua kali menjadi
pusat pemerintahan kerajaan Melayu Riau-Lingga
setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis yang kemudian
berpindah ke tangan Belanda.
Kesultanan Melayu Johor-Riau dibagi dalam dua
periode. Pertama Kerajaan Melayu Johor-Riau dan
kedua Melayu Riau-Lingga. Sedangkan secara pusat
pemerintahan dibagi atas empat wilayah pemerintahan
Johor, Hulu Riau, Daik dan Penyengat. Periode pertama
antara tahun (1511-1718) dengan pusat pemerintahan
di Johor. Raja – raja atau Sultan yang memerintah antara
lain :
1. Sultan Mahmud Syah I (1511-1528)
2. Sultan Alaudin Riayat Syah II (1528-1564)
3. Sultan Muzafarsyah (1564-1570)
4. Sultan Abdul Jalil Syah I (1570-1571)
5. Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (1571-1597)
6. Sultan Alaudin Riayat Syah III (1597-1615)
7. Sultan Abdullah Muayat Syah (1615-1623)
8. Sultan Abdul Jalil Syah III (1623-1677)
9. Sultan Ibrahim Syah (1677-1685)
10. Sultan Ibrahim Syah II (1685-1699)
11. Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (1699-1718)
11
Sedangkan periode kedua tahun (1718-1784)
berpusat di Hulu Riau Bintan yang kemudian pindah
ke Daik Lingga dengan nama Kerajaan Melayu Riau-
Lingga. Perpindahan pusat kerajaan dari Johor ke Hulu
Sungai Riau berlangsung pada era Sultan Abdul Jalil
Riayat Syah IV pada Tahun 1719. Raja atau Sultan yang
memerintah di Hulu Sungai Riau :
1. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1718-1722)
2. Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I (1722-1760)
3. Sultan Abdul Jalil Muazamsyah (1760-1761)
4. Sultan Ahmad Riayat Syah (1761)
5. Sultan Mahmud Syah III (1761-1784)
Perpindahan pusat kerajaan dari Hulu Riau Bintan
ke Daik pada Tahun 1787 disebabkan oleh adanya rasa
kekhawatiran terhadap serangan balik dari Belanda atas
kekalahan dari pasukan Tempasok-Kalimantan. Akibat
Sultan Mahmudsyah III mencari tempat baru di bagian
selatan Riau tepatnya Daik Lingga. Perpindahan ini
secara tidak langsung juga memindahkan pusat kerajaan
Melayu Riau dari Kota Lama ke Daik Lingga. Sultan
yang memerintah Kerajaan Melayu Riau-Lingga di
Daik Lingga :
1. Sultan Mahmud syah III (1784-1812)
2. Sultan Abdul Rahman (1812-1832)
3. Sultan Muhammad syah (1832-1841)
4. Sultan Mahmud Muzafar syah (1841-1857)
5. Sultan Sulaiman Badrul Alam syah I (1857-1883)
12
6. Sultan Abdulrahman Muazam syah (1883-1911)
Pada periode kedua (1718-1784) ini orang Bugis
mulai masuk ke dalam perpolitikan Melayu di Kerajaan
Melayu Johor-Riau, sehingga mendapat posisi Yang
Dipertuan Muda Kesultanan Melayu Johor-Riau.
Masuknya bangsawan Bugis ke dalam struktur
pemerintahan Kerajaan Melayu Johor-Riau tidak
terlepas dari perannya dalam membantu Tengku
Sulaiman merebut kekuasaan Sultan Kerajaan Johor-
Riau dari Raja Kecil.
Pembentukan jabatan Yang Dipertuan Muda
menimbulkan dualisme pemerintahan dalam Kerajaan
Melayu Riau, namun saling mendukung dalam
pemerintahan. Posisi sultan tetap sebagai penguasa
sedangkan Yang Dipertuan Muda sebagai kepala
pemerintahan Kerajaan Melayu Riau, dan yang
memerintah sebagai Yang Dipertuan Muda Riau antara
lain:
1. Daeng Marewah (1722-1728)
2. Daeng Celak (1728-1745)
3. Daeng Kemboja (1745-1777)
4. Raja Haji (Marhum Teluk Ketapang) (1777-1784)
5. Raja Ali (Marhum Pulau Bayan) (1784-1806)
6. Raja Jaafar (Marhum Kampung Ladi) (1806-1832)
7. Raja Abdulrahman (Marhum Masjid) (1832-1844)
8. Raja Ali (Marhum Kantor) (1844-1857)
9. Raja Abdullah (Marhum Mursyid) (1857-1858)
13
10. Raja Muhamad Yusuf (Marhum Ahmadi) (1858-
1899)
Kedudukan Yang Dipertuan Muda Riau juga
mengalami perpindahan tempat yaitu dari Hulu Riau
ke Penyengat. Masa pemerintahan Daeng Marewah
sampai dengan Raja Ali berkedudukan Hulu Riau
sedangkan dari Raja Jaafar sampai dengan Raja
Muhamad Yusuf berkedudukan di Penyengat. Berdasar-
kan sumber sejarah sejak Tahun 1857 Kerajaan Melayu
Riau-Lingga sudah tidak stabil karena campur tangan
Belanda dalam pemerintahan. Setelah dihapusnya Yang
Dipertuan Muda Tahun 1900, Sultan Abdulrahman
Muazamsyah memindahkan pusat kerajaan Melayu
Riau-Lingga dari Daik ke Penyengat pada Tahun 1900.
Kondisi yang lebih tragis pada Tahun 1912 kerajaan
Melayu Riau-Lingga dihapus oleh Belanda.
1. Sultan Mahmud Syah I (1513-1528)
2. Raja Ali gelar Sultan Alaudin Riayatsyah (1530-
1564)
3. Sultan Musyafar Syah II (1564-1571)
4. Sultan Abdul Jalil Syah I (1571-1580)
5. Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (1580-1597)
6. Sultan Alauddin Riayatsyah III (1597-1615)
7. Sultan Abdul Jalil Muayatsyah (1615-1623)
8. Sultan Abdul Syah III (1623-1677)
9. Sultan Ibrahim Syah (1677-1685)
10. Sultan Mahmud Syah II (1685-1699)
14
11. Sultan Abdul Jalil Riayatsyah II (1699-1719)
12. Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1719-1722)
13. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1722-1761)
14. Sultan Mahmud Syah III (1761-1812)
15. Sultan Abdul Rahman Muazamsyah (1812-1832)
Pada Tahun 1719 meletus perang saudara untuk
memperebutkan tahta kerajaan antara keturunan Sultan
Mahmud Syah II (1677-1685) yang dipimpin putranya
yaitu Raja Kecil melawan Tengku Sulaiman keturunan
Sultan Abdul Jalil Riayatsyah II (1699-1719). Perang
saudara ini kemudian dimenangkan oleh Tengku
Sulaiman yang dibantu oleh lima bangsawan Bugis
yaitu Daeng Perani, Daeng Marewa, Daeng Celak,
Daeng Kemasi, dan Daeng Menambun. Sebagai
imbalan atas bantuan lima Daeng tersebut maka para
Daeng dan keturunannya tersebut kemudian diangkat
sebagai Yang Dipertuan Muda Riau.
Dalam sejarah kerajaan Melayu Riau-Lingga
terdapat 10 orang yang pernah menjabat sebagai Yang
Dipertuan Muda, yaitu :
1. Yang Dipertuan Muda Riau I Daeng Marewa (1714-
1721)
2. Yang Dipertuan Muda Riau II Daeng Celak (1721-
1738)
3. Yang Dipertuan Muda Riau III Daeng Kemboja
(1745-1777)
4. Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji (1777-
15
1784)
5. Yang Dipertuan Muda Riau V Raja Ali (1784-1806)
6. Yang Dipertuan Muda Riau VI Raja Jafar (1806-
1833)
7. Yang Dipertuan Muda Riau VII Raja Abdurrahman
(1834-1845)
8. Yang Dipertuan Muda Riau VIII Raja Ali II (1845-
1857)
9. Yang Dipertuan Muda Riau IX Raja Abdullah
(1857-1858)
10. Yang Dipertuan Muda Riau X Raja Muhammad
Yusuf (1858-1900)
Kota Daik yang sekarang menjadi ibukota Kabu-
paten Lingga pernah menjadi ibukota Kerajaan Melayu
Riau-Lingga sejak Tahun 1800 ketika Sultan Mahmud
Riayatsyah (1761-1812) memindahkan pusat pemerin-
tahan dari Bintan ke Lingga. Sultan yang pernah
berkedudukan di Lingga yaitu :
1. Sultan Mahmud Syah III (1761-1812)
2. Sultan Abdurrahman Muazam Syah (1812-1832)
3. Sultan Muhammad Syah
4. Sultan Mahmud Muzafar Syah
5. Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah III (1857-1883)
6. Sultan Abdurrahman (1887-1900)
Dari keempat Sultan tersebut, pada masa pemerin-
tahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah III kerajaan
16
Melayu Riau-Lingga mengalami masa kejayaan di
bidang ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi yang
dilakukan antara lain : penanaman gambir yang hasilnya
dapat diekspor ke luar negeri, membuka penambangan
timah di Dabo, Pulau Singkep, dan mengganti tanaman
padi dengan sagu di Lingga karena kondisi tanah di
Lingga tidak cocok untuk tanaman padi. Dengan keber-
hasilan ekonomi tersebut maka Sultan Sulaiman Badrul
Alamsyah III membangun Istana Damnah yang cukup
megah, sekalipun kini tinggal puing–puingnya saja.
17
BAB III
TAPAK SEJARAH BEKAS
PENINGGALAN KESULTANAN
KERAJAAN LINGGA
3.1 ANALISIS SEJARAH MASJID
KESULTANAN LINGGA
1. MASJID JAMI’ SULTAN LINGGA
Masjid Sultan Lingga merupakan salah satu masjid
yang ada di kota Daik, Kecamatan Lingga, Kabupaten
Lingga. Keberadaannya menjadi pertanda sampainya
syiar Islam ke daerah ini. Masjid Sultan Lingga
dibangun pada masa pemerintahan Sultan Mahmud
Syah III yang memerintah Kerajaan Melayu Riau –
Lingga sekitar Tahun 1784 – 1812 M yaitu pada masa
awal beliau memindahkan pusat kerajaan dari Hulu
Riau Pulau Bintan ke Lingga. Pembangunan masjid ini
juga merupakan pertanda kerajaan Melayu Riau–Lingga
pernah bertempat tinggal di Daik Lingga. Sumber
tempatan menyebutkan bahwa bangunan masjid ini
dimulai sekitar tahun 1803, dimana bangunan aslinya
seluruhnya ternbuat dari kayu. Kemudian setelah
Masjid Penyengat selesai dibangun, maka bangunan
masjid ini dirombak dan dibangun lagi dari beton.
Sejarah berdirinya Masjid Jami’ Sultan Lingga ini
tidak terlepas dari sejarah pemerintahan Sultan Mahmud
19
Syah III. Pada waktu itu, Sultan Mahmud Syah III
merupakan sultan yang memimpin daerah Lingga,
Riau, Johor, serta Pahang. dan semenanjung lainnya
Menurut riwayat, Masjid Sultan Lingga ini pernah
dipindahkan ke Pahang yang hanya digunakan untuk
melaksanakan sholat jum’at satu kali. Keunikan dari
Masjid sultan Lingga ini di dalam bangunannya tidak
memakai penyangga tengah atau tiang berdasarkan
sumber Masjid Sultan Lingga waktu dulu terbuat dari
bahan kayu jadi lama kelamaan rusak dimakan zaman
maka dari itulah permerintah setempat menggantikan
dan merenofasikanya dengan yang baru dan tidak
mengubah sedikitpun tatanan letak dari Masjid tersebut.
Dari Sebuah catatan tentang sejarah ringkas masjid
Raya Daik data yang di berikan keterangan oleh Alm.
Tengku Muhammad Saleh zuriat dari kesultanan lingga
titisan dari Sultan Mahmud Syah III, Masjid Jami’ Daik
Lingga dibangun pada masa pemerintahan Sultan
Mahmud Ri’ayat Syah disaat ia memindahkan pusat
kerajaan dari bentan ke lingga pembangunan masjid di
mulai sekitar tahun 1803 M. seluruh bangunan asli
masjid berasal dari kayu, yang dapat menampung
sebanyak 40 orang jama’ah. Ketika masjid penyengat
selesai dibangun, masjid jami, kemudian diperbaharui
dan dibangun kembali lagi dari beton. Struktur ruang
utama Masjid Jami tidak menggunakan tiang menyang-
ga, pada mimbar terdapat tulisan tepahat dalam akasara
arab melayu ( Jawi ) bertulisakan “Mahammad SAW.
20
Pada 1212 H, hari isnin 12 Rabiul awal kepada
membuat mimbar didalam negari semarang Tamma-
tulkalam,” inilah keterangan yang di dapat dan ditulis
oleh Alm Tengku Muhammad Saleh pada waktu ia masi
hidup.
Peninggalan yang amat berharga dalam Masjid ini
adalah Mimbar dan Papan Sekat berukir. Mimbar
Masjid ini hampir seluruhnya sama dengan mimbar
yang ada dimasjid penyengat, tetapi ukurannya sedikit
lebih besar. Pada mimbarnya terdapat tulisan yang
terpahar dalam tulisan Arab Melayu ( jawi ) berisi :
Muhammad SAW. Pada 1212 H 12 hari bulan Rabiul
awal kepada hari isnen membuat mimbar di dalam
negeri Semarang Tammatulkalam,” Walaupun Tulisan
itu menyebutkan bahwa tulisan itu dibuat di Semarang,
namun sebagian sumber local menyebutkan, bahwa
mimbar itu dibuat di
Daik, dan tukangnya
didatangkan dari
Jawa. Dengan demi-
kian, maka motif
ukiran yang terdapat
pada mimbar itu
mencerminkan
pembaruan antara
motif ukiran Melayu
dengan Motif Jawa
21
Tenas Effendi dan Drs. Herizal dalam Penelitiannya
menyebutkan bahwa memang kelihatan adanya
perpaduan Motif itu” Kelopak Pakis” ( Kalok Paku ) “
Lambai – lambai” pahatannya memang lebih dominant
pahatan Jawa. Kenyataan ini memberi petunjuk, bahwa
kalaupun tidak dibuat seluruhnya di Daik, tetapi desain
motifnya tentulah dibuat di Daik atau oleh pengukir
Melayu sedangkan pahatannya adalah ahli – ahli ukir
dari jawa
22
Pengaruh Jawa, selain dari gaya ukiran, terdapat
pula bentuk atap” Kemuncak” Mimbar. Akan tetapi,
hiasan pada sudut – sudut pertemuan atap mimbar serta
hiasan pada puncak atapnya, mencerminkan ukiran
Melayu yang disebut “Sayap Layang – Layang “ Kunyit
– Kunyit”.
Pengaruh lain yang tampak dalam ukiran mimbar
ini adalah pengaruh ukiran cina, terutama terdapat pada
bingkai – bingkai mimbar dan pada hiasan pintu bagian
sebelah atasnya. Ukiran yag disebut “
Pada bagian kiri muka,
kelihatan ukiran “Ge-
dombak” dengan va-
riasi “Buah Mengku-
du” Motif ini amat
sering digunakan oleh
masyarakat jawa dan
Melayu, tetapi penem-
patannya berbeda Da-
lam tradisi ukiran Me-
layu, ditempatkan pada
kemuncak atap, sedangkan dalam tradisi jawa dapat
ditempatkan pada bagian – bagian lain sepanjang tidak
menganggu motif lainnya. Ukiran ini lazimnya disebut
“Lambai – Lambai Bujang” karena tengahnya tidak
diberi hiasan tambahan. Bentuk ini banyak terdapat
dalam ukiran jawa dan cina, karena merupakan salah
23
satu bentuk hiasan uta-
ma. Ukiran ini, dibebe-
rapa daerah lainya di
Riau ( seperti di Lima
Kota Kampar, Rokan
dan Kuantan ), di pergu-
nakan pula untuk hiasan
bawah anak tangga.
Penempatan pada anak
tangga itu di sebut “
Lebag Bergantung
Anak “, tidak lagi di sebut “ Lambai- lambai “ . Motif
lain yang sering dipergunakan adalah “Awan Darat”
dan “ Kalok Pakis “, yang mengisi bidang luas. Ukiran
yang terdapat pada dinding mimbar dalam motif Melayu
di sebut “ Bunga bersusun “ atau “ Kelopak Menganga
“ yang disusun dalam variasi “ Siku Keluang “
pemakaian ukiran ini, selain untuk dinding , diper-
gunakan pula untuk
ventilasi yang disebut “
Lobang Angin “ Pe-
nempatan ukiran dalam
dua bidang segi empat
(besar dan kecil), me-
nunjukan fungsinys
sebagai ventilasi bukan
sebagai dinding. Apa-
bila segi empat itu di-
24
pasang, secara datar, maka disebut “Empat Berlapis”,
tetapi bila dipasang dengan sudut-sudutnya diatas dan
disamping, di sebut “Wajik-wajik”. Pada bidang segi
empat yang kecil ( ditengah segi empat yang besar)
motif yang dipakai adalah motif jawa. Dalam ukiran
Melayu, motif seperti ini hampir tidak pernah
digunakan. Tetapi pada bidang-bidang kelilingnya,
nampak penggunaan motif Melayu, penggunaan motif
Melayu (Siku Keluang dan Bunga Bersusun). Penem-
patan motif inipun agak janggal bagi ukiran Melayu,
Sebab lazimnya motif
ini di tempatkan di
Plafon (Loteng) dise-
but “ kelopak Bin-
tang”.
Pada sisi lain yakni
pada dinding bagian
tengah Mimbar ter-
dapat pula ukiran Tera-
wang dengan motif “
Kalok Pakis Tunggal “
yang mengisi bidang dengan dominan. Bentuk seperti
ini banyak dipergunakan dalam ukiran Melayu, tetapi
sebatas lubang anginya saja. Pada ventilasinya, motif
“ Kalok pakis Tunggal “ diberi hiasan “ Kuntuk Tak
Jadi “ yakni hiasan yang sering dipergunakan untuk
mengisi bidang motif “ Awan Larat “ atau “ Kalok Pakis
Penuh “
25
Pada bagian samping mimbar dalam bidang me-
manjang sebagai pengisi antara tiang dan tiang , terdapat
pula ukiran terawang degan motif “Awan Larat “ dihiasi
motif “ Siput Daun “. Motif ini amat digemari orang
Melayu, karna dapat digunakan dalam berbagai bidang
memanjang, baik untuk ventilasi, pintu, jendela, kambi,
tiang maupun untuk hiasan kaki dinding dan sebagainya.
Ukiran yang dipergunakan pada mimbar ini,
merupakan perpaduan antara motif “ Kalok Pakis “, “
Siput Daun “ dengan “ Kelopak Terbuka “. Perpaduan
ini ada kalanya dibuat dengan rata ( datar ) tetapi sering
pula dilakukan dalam bentuk bertindih dan berseluk.
Semakin banyak tindih dan seluknya, semakin tinggi
mutu ukiran itu. Dahulu , Kemahiran tukang – tukang
ukiran Melayu selalu dilihat dari kemampuan mereka
membuat ukiran berseluk ini.
Ukiran berseluk ini, lazimnya dibuat rapat, tidak
menimbulkan lubang yang besar antara satu motif
dengan motif lainya. Tetapi pada ukiran mimbar ini
,nampaknya pengukiranya menyimpang daru tradisi itu,
sehingga antara motif lainya terdapat lubang-lubang
yang besar, sehingga mengurai keserasian antara satu
dengan yang lainya.
Penyimpanan ini agaknya, karena pengukirnya
mengangap penempatan motif itu hanya sekedar pengisi
bidang – bidang pemisah antara tiang dengan tiang .
yang terletak disamping, sehingga tidak kelihatan
menojol. Penyimpangan lainya dalam ukiran ini, adalah
26
kurang seimbangnya perbandingan antara batang
dengan daun dan kelopak dalam ukiran itu. Dalam
tradisi ukiran Melayu jauh lebih kecil dari daun dan
kelopaknya, Tradisi itu pun terdapat juga seni ukir Jawa
dan Cina.
Motif ukiran Melayu yang terdapat dalam Papan
Sekat ini hanya motif “ Kalok Pakis”, “ Tampok
Manggis “ serta “ Daun Bersusun “. Penempatan motif
itupun sebagai hiasan saja, tidak menjadi motif
dasarnya.
Walaupun pada bingkai – bingkai dan kiri kanan
kemuncak Papan Sekat itu terdapat motif Melayu, tetapi
penempatan hampir hilang karena gaya jawa dan cina
yang mendominasi keseluruh ukiran itu. Pengaruh cina
dan jawa itu semakin menonjol pada ukiran pusat di
tengah papan sekat.
Kalu dilihat sepintas lalu, motif yang dipergunakan
dipusat papan sekat itu ada pula pengaruh Eropa. Tapi
bila diteliti ,yang menonjol sebenarnya adalah pengaruh
Cina. Motif Melayu hanya terdapat pada beberapa
tangkai bunga yang disebut “ Tampuk Manggis “ atau
“ Tampuk Kesemak “
Pada bagian bawahnya terdapat motif “ Kalok Pakis
“ Tetapi penempatannya tidaklah menurut gaya melayu.
Hiasan bagian atasnya secara sepintas mirip dengan
motif “ Seluk Daun “, tetapi penempatanya terbalik,
sebab motif Melayu selalu menempatkan pusat ukiran
dibagian bawah atau disamping, tidak menggantung
27
dari atas. Kalaupun ada yang menggatung seperti itu,
maka di bagian bawahnya haruslah ada ukiran ini
hampir tidak ditemui dalam ukiran Melayu.
Pada ukiran pengapit kiri dan kanan Papan Sekat,
motif ukiran Melayu agak banyak keliatan, antara lain
pada : Pusat bidang yang berbentuk bunga , pada kiri
dan kanan yang berupa “ Kalok Pakis “ yang
dikombinasikan dengan motif “ Kuntum Tak Jadi “.
Dalam tradisi ukiran Melayu, ukiran seperti ini
selalu dibuat simetris antara motif bawah dan motif
bagian atas.Apalagi kalau motif pusat yang mem-
pertemukan kedua motif itu berbentuk simetris pula.
Keharmonisan ukiran itu selalu dikaitkan dengan
keseimbangan “Ramai” atau tidak adanya motif yang
dipergunakan. Apabila dibagian bawahnya “Ramai”,
maka motif sebelah atasnya harus pula “Ramai”
sehingga menjadi perpaduan yang serasi antara kedua
bagian itu.
Pada motif kelok pakis yang terdapat pada papan
sekat ini, penggunaannya agak berbeda pula dengan
yang lazim dipakai pengukir Melayu. Kelok pakis
Melayu “Rumpun” ukirannya selalu jelas dan bertali
sambung sampai ke ujungnya. Selanjutanya sambungan
motif itu kemudian bercabang dalam beberapa tangkai
yang membentuk simpul.
Pada ukiran kaki papan sekat nampak digunakan
motif kelok pakis, tetapi berbeda dengan pemakaian
menurut tradisi melayu. Pemakaian seperti ini selalu
28
terdapat dalam ukiran jawa, cina, Eropah dan india.
Yang agak sesuai dengan penempatan motif melayu
adalah ukiran pada tapak kaki papan sekat itu. Gaya
ukirannya telah mendekati gaya ukiran Melayu,
walaupun dibuat dalam bentuk yang sangat sederhana.
Rakukan – rakukan pada ukiran itu, mengingatkan
kita kepada ukiran “Tiang Gantung” atau ukiran Kepala
Kasau” atau ukiran “Pegangan Tangga” dalam tradisi
ukiran Melayu. Oleh sebab itu, ada kencendrungan kita
berpendapat bahwa ukiran itu dibuat kemudian, karena
ukiran aslinya sudah rusak. Dugaan ini diperkuat
apabila kita melihat mutunya, yang jauh lebih sederhana
jika dibandingkan dengan keseluruhan ukiran lainnya.
Selain dari mimbar dan papan sakat berukir, di
Masjid itu terdapat pula ukiran lainnya, Ukiran Kilik –
Kilik di serambi Mesjid, ukiran pada pagar makam
Sultan Mahmud Riayat Syah di halaman belakang
mesjid dan ukiran “Lebah Bergantung” pada resplang
keliling cucuran atap Masjid.
Ukiran Kilik – kilik mesjid jami’ ini terbuat dari
besi tuang, motif merupakan perpaduan antara “Seluk
Daun” dengan “kumbang berteduh” Motif seperti ini
hampir mirip dengan motif dengan motif Kilik – Kilik
tangga di istana Sultan Siak, yang juga tersebuat dari
besi. Motif ini dalam adad ke -18 dan ke -19 amat sering
dipergunakan, terutama di rumah – rumah kaum
bangsawan. Kalau dibuat dari kayu (papan) Kese-
luruhannya disebut “Papan Tebuk” Variasinya ber-
29
macam – macam, ada yang bermotif tumbuh –
tumbuhan, ada pula yang bermotif wajik dan bintang –
bintang.
Ukiran yang terdapat pada pagar makam Sultan
Mahmud Riayat Syah, juga terbuat dari besi. Motif
dasarnya adalah perpadaun antara “itik pulang petang”
“ Kelok Pakis” dan “Tolok Berantai”. Motif yang mirip
seperti ini terdapat pula di Makam Merah ( Makam Yang
dipertuan Muda Raja Muhammad Yusuf ).
Patut juga dicatat, bahwa nisan makam Sultan
Mahmud Riayat Syah terbuat dari kayu Tembesu, yakni
kayu yang secara tradisional memang sering diper-
gunakan untuk nisan dan bahan bangunan rumah kaum
bangsawan. Kayu ini amat kuat daya tahannya. Hal ini
dapat dibuktikan dengan banyaknya ukiran nisan yang
terbuat dari kayu Tembesu yang sudah berusia ratusan
tahun dan masih utuh.
2. MASJID SULTAN ABDURRAHMAN DI
KAMPUNG PAHANG
Sultan Mahmud Syah lll/Marhum Mesjid, pendiri
Mesjid Jami’. Sebelum Mesjid Jami’ dipugar, atas
kemauan Sultan mahmud Syah lll dibangun lagi mesjid
di kampung Pahang dan hanya dipakai untuk sekali
Jum’at, karena keadaan tanah yang kurang bagus,
mesjid yang dibangun di kampung pahang tersebut jadi
memburuk,hingga sekarang bangunan mesjid yang
berupa reruntuhan tersebut masih dapat kita lihat.
30
Setelah Masjid yang pertama runtuh, maka kira –
kira 2 tahun 1302 H / 1884 M. oleh Sultan Abdurrahman
Muadzam Syah II dibuat pula sebuah Masjid yang
letaknya disebelah kiri jalan kekampung hulu. Bentuk
atasnya dengan 4 buah kembung dan 4 buah Menara.
Semuanya diperbuat dari pada batu, dan lantainya dari
marmer. Ongkos dari pembuatan Masjid ini diambil dari
Khazanah Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II
Tukangnya ialah dari orang – orang Tionghua dari
singapura. Tetapi Masjid yang ke dua (2) ini tidak dapat
dipakai sebab bagian atasnya mulai patah – patah,
karena dikhawatirkan akan mendatangkan bahaya
kepada orang – orang yang sedang beribadat, maka
kira–kira 6 tahun saja dipergunakan Masjid ini.
Sultan tidak membenarkan lagi memakai Masjid ini
dan tempat beribadah untuk sementara pindah kerumah
bekas kantor hakim juga. Letaknya tidak jauh dengan
Masjid Raya yang ada sekarang ini, yang disebut Masjid
Kantor Sumber ini adalah dari Tengku Muhammad
Saleh pewaris kesultanan Lingga Riau, mengetahui hal
ini diketik oleh Abdullah dan Muhammad.
3.2 ANALISIS SITUS MAKAM KERABAT
KESULTANAN LINGGA
1. MAKAM SULTANMAHMUD RIA’YATSYAH III
Makam Sultan Mahmud syah lll /Yang Dipertuan
Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl Sultan
Mahmud Syah lll mangkat di Daik Lingga pada tanggal
31
12 Januari 1812 dan dimakamkan di halaman belakang
Mesjid Jami’ dan digelar Marhum Mesjid. Makam
Pembesar Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga dan
Kerajaan Riau Lingga Makam kerabat Diraja, Pem-
besar-pembesar Kerajaan, dapat dilihat dari bentuk
nisan besar dipagari tembok yang sudah runtuh, juga
terdapat disekitar Mesjid Jami’.
Paduka Sri al - Wakil al – Imam Sultan Mahmud
Ria’yat Syah Zilullah fil Alam Khalifat ul – Muminin
ibni al – Marhum Sultan Abdul Jalil Syah atau dikenal
dengan Sultan Mahmud Syah III Selama masa
kekuasannya, Sultan Mahmud Syah III Selaku Sultan
didampingi oleh empat orang yang dipertuan Muda
(YDM), yakni secara berturut – turut (YDM) Daeng
Kemboja ( 1745 – 1777 ), ( YDM ) Raja Haji Fisabilillah
( 1777 – 1784 ), ( YDM ) Raja Ali ( 1784 – 1805 ) dan
( YDM ) Raja Jaafar ( 1805 – 1831 ).
Selama hidupnya, Sultan Mahmud menikahi
beberapa perempuan, di antaranya :
1. Encik Engku Putih binti Tun Abdul Majid (mening-
gal di Kuala Pahang ) tahun 1803, tidak memiliki
keturunan )
2. Encik Makoh binti Encek Jaafar ( Daeng Matarung,
seorang pembesar bugis ) dari pernikahan ini lahir
Hussain Syah dari johor ( Sultan Johor yang
diangkat oleh colonial inggris )
3. Encik Mariam ( meninggal di Lingga, 1831) binti
dato hassan ( pembesar dari Sidenreng, Sulawesi
32
selatan ) menikah tahun 1780. Dari pernikahan ini
lahir Abdul Rahman Muazam Syah dari Lingga (
Sultan Johor setelahnya dan Sultan Riau – Lingga
Pertama )
4. Raja Hamidah ( Engku Putri, 1764 – 05 Agustus
1844 Binti Raja Haji Fisabilillah, menikah di Riau
tahun 1804 dengan pulau penyengat sebagai mas
kawinnya
Tokoh sentral yang terdapat pada Kompleks Makam
Sultan Lingga adalah Sultan Mahmud Riayat Syah III,
beliau adalah Sultan Kerajaan Melayu Johor-Pahang-
Riau- Lingga yang memerintah pada tahun 1761-1812.
Makam beliau terletak di dalam halaman sisi barat dari
masjid, selain memiliki pagar yang terbuat dari
kombinasi antara susunan bata dengan coran beton,
makam Sultan mahmud Riayat Syah telah diberi pagar
tembok yang di dalamnya hanya makam beliau saja.
Makam Sultan Mahmud Riayat Syah III terdiri dari
jirat dan nisan. Jirat makam Sultan Mahmud Riayat
Syah III terbuat dari batu lempeng dengan bahan granit,
saat ini jirat tersebut diberi pewarna dengan warna
kuning. Tidak ada hiasan melekat pada jirat makam
Sultan Mahmud Riayat Syah III. Di dalam jirat tersebut,
tepatnya pada permukaan makam Sultan Mahmud
Riayat Syah ditutupi oleh pasir. Jirat dari makam Sultan
Mahmud Riayat Syah III memang tidak memiliki
keistimewaan sebagaimana kebanyakan dari makam
33
makam seorang sultan atau raja yang biasanya memiliki
motif hias yang raya sebagai penanda akan kebesaran
seorang raja.
Nisan ini terbuat dari kayu tembesu, kayu yang
disenangi oleh Sultan – sultan dahulu dan keluarga
bangsawan - bangsawan, Nisan dari makam ini
berbentuk silinder, berdasarkan klasifikasi nisan yang
dibuat oleh Othman Yatim, maka nisan Sultan Mahmud
Riayat Syah adalah salah satu varian dari nisan tipe
Aceh. Dan berdasarkan analisisnya pula bahwa tipe
nisan seperti ini adalah tipe nisan yang berkembang
atau banyak digunakan pada kisaran abad ke-18 M.
Bagian kepala dari nisan makam Sultan Mahmud Riayat
Syah III memiliki bentuk seperti buah jambu, di bawah
bagian kepala nisan terdapat bagian bahu yang memiliki
profil dengan bentuk setengah lingkaran. Bagian tubuh
dari nisan tidak memiliki ukiran, memanjang dari atas
yang berbatasan dengan bahu hingga ke bawah yang
berbatasan dengan bagian kaki, bbentuknya adalah
silinder yang polos. Pada bagian badan agak ke bawah
(sebut saja pinggang) terdapat bagian profil setengah
lingkaran yang mengeliling. Bagian kaki nisan memiliki
ukuran diameter lebih besar dari bagian tubuh, namun
memiliki ukuran diameter yang sama dengan bagian
bahu nisan.
2. MAKAM BUKIT CENGKEH
Di Bukit Cengkeh, Daik, terdapat kompleks makam
34
raja–raja Riau Lingga. Bangunan ini dulunya amat
indah, bentuknya segi delapan dengan kubah bergaya
arsitektur Turki. Kini makam ini sudah runtuh, yang
tersisa hanya sebagian dindingnya dan pagar beton
kelilingnya. Di kompleks makam ini terdapat pusara
Sultan Mahammad Syah (1832-1841) yang terletak di
dalam cungkup makam, makam Sultan Abdurrahman
Syah (1812-1832), dan makam Sultan Sulaiman Badrul
Alam Syah II (1857-1883) yang terletak di sebelah
cungkup makam. Selain itu terdapat pula beberapa
makam anggota keluarga kerajaan Riau-Lingga, yang
jumlahnya sekitar 15 buah. Makam ini tidaklah sulit
dicapai karena terletak di pinggir jalan raya, di atas
Bukit Cengkeh yang indah pemandangannya.
Dinding kompleks makam terbuat dari beton
dengan Gerbang berpintal besi, keadaan tembok
kelilingnya masih baik, demikian pula pintu gerbang-
nya. Bentuk gerbang dan pagarnya hampir sama dengan
pagar dan gerbang yang terdapat di makam Pulau
Penyengat.
Kompleks makam Bukit Cengkeh Daik, dahulu
merupakan kompleks makam yang indah, karena di
dalamnya terdapat cungkup makam yang atapnya diberi
hiasan khusus. Saat ini, cungkup makam itu hanya
tinggal beberapa bagian dindingnya, sedangkan atapnya
sudah habis sama sekali. Yang lebih menyedihkan lagi,
sampai saat ini, belum ditemui sumber atau catatan yang
dapat memberi petunjuk bagaimana bentuk atap
35
cungkup makam. Sisa – sisa ukiran cungkup makam
yang masih tersisa adalah hiasan dinding cungkup
makam, dan sebuah hiasan “Kemuncak” cungkup
makam, yang ditemui dalam keadaan yang sangat rusak,
sekarang disimpan di Museum Linggam Cahaya
Menurut pengetahuan orang – orang tua di Daik,
sepanjang yang mereka dengar dari orang – orang tua
mereka, bentuk cungkup makam itu merupakan kubah.
Tetapi mereka tidak dapat memastikan apakah seperti
kubah mimbar Mesjid Jami’ atau seperti kubah makam
– makam yang terdapat di Pulau Penyengat. Yang jelas
atapnya terbuat dari genteng.
Ukiran dinding berupa ukiran terawang yang terbuat
dari semen yang dicetak dengan motif Cina. Pemakaian
motif dan hiasan ini sering dijumpai pada makam –
makam di Pulau Penyengat. Pada makam ini, terdapat
beberapa motif makam yang berbeda, dibuat dengan
bentuk yang artistic. Sebagian masih utuh, sedangkan
sebagiannya sudah rusak.
Pada permulaan abad ke-18 dan penghujung abad
ke-19 motif – motif ini banyak dipakai di rumah – rumah
bangsawan Melayu, baik yang terbuat dari semen cetak,
maupun yang terbuat dari kayu. Motif ini kemudian
dimodifikasi dengan motif – motif Melayu sehingga
melahirkan berbagai hiasan terawang yang menjadi
penghias pada ventilasi dan sebagainya.
Hiasan ini belumlah dapat diketahui, apakah
didatangkan dari luar negeri ataupun dibuat di dalam
36
negeri. Tetapi melihat motifnya, kemungkinan
didatangkan dari negeri Cina atau Singapura.
3. MAKAM MEGAT KUNING
Sejarah berasal Megat Kuning ialah dari pangkalan
lama kota Kandis Jambi. Makam Megat Kuning yang
bereda di Bukit Keramat / Bukit Nyiur Kampung
Mading Kelurahan Daik Lingga Raja pertama di Lingga
awal 1400 M, setelah menaklukkan yang bernama
Ma’Yah ( Cik Si Ma’Yah ) Raja Suku Laut, dengan
mematahkan satu cabang Gunung Daik hingga tinggal
dua cabang. Mulai saat itulah Ma’Yah dan Rakyatnya
bersumpah ber – raja – kan Datuk untuk tunduk taat
dan setia hingga ke anak cucu turun – temurun. dan
tiap – tiap negeri tak lukannya dari tiap tiap pula Datuk
Mengat Kuning meletakkan sebiji lada kedalam
gantang, hingga penuh melimpah istana Datuk di Hulu
Sungai Daik, yaitu Istana Tujuh Bandung.
Pada masa Datuk Kaya Jamaluddin berkuasa, Sultan
Riau – Johor Pahang hijrah ke Lingga pada 1215 H (
1787 ), yaitu Sultan Mahmud Marhum Masjid di tawan
karena dikira kumpulan lanun ternyata adalah sultan,
setelah mengetahui tawanan adalah sultan, maka Datuk
Kaya Jamaluddin oleh karena senoyang, menabalkan
Sultan Mahmud Menjadi Sultan Lingga Petama
Setelah itu Datuk Kaya Jamluddin ditabalkan oleh
Sultan Mahmud menjadi Datuk Temenggung Orang
Kaya, Datuk Temenggung Lingga Riau dan tetep
37
beristana Tujuh Bandung, yang sekarang dikenal
sebagai Istana Kenanga.
Orang suku laut tetap berajakan kepada Datuk
sesuai sumpah rajanya terdahulu ( Ma’Yah ) Tua Datuk
dari pada Sultan di Tanah Lingga. Datuk Kaya Megat
Kuning terkenal kehandalannya Meriam baja dibuatnya
tongkat. Dan kapal belanda di pijak menjadi miring
dengan sebelah kakinya. Dalam sebuah pantun
Anak Ulat di Lubang Kayu
Anak Belanda bermain teropong
Besar Daulat panglima Melayu
Tunda kapal dengan jongkong
Sumber lokal menyebutkan, bahwa Raja Pertama
di pulau Lingga bernama Megat Kuning, anak Megat
Mata Merah yang berasal dari pangkalan Rama, Jambi,
makam Megat Kuning itu ada di Daik, diantara ratusan
makam – makam tua di sana dan terletak di kampung
keramat, desa Sepincan, Daik
Tetapi Sejarah Melayu Tun Seri Lanang, mencatat,
Raja pertama di Daik berasal dari keturunan Bendahara
Tepok, Bendahara Melaka, di masa akhir kerajaan
Melaka. Tahun 1513, Ketika Sultan Melaka Terakhir,
Mahmud Syah I menyingkir ke Bintan, Karena Melaka
jatuh di tangan Portugis ( 1511), maka dalam
rombongan para pembesar dan prajurit Melaka yang
ikut mengungsi ke Bintan, adalah anak cucu bendahara
tepok. Seorang menantunya bernama Magat Seri Rama,
38