The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

buku ini berisi tentang gambaran singkat mengenai situs-situs sejarah di Kabupaten Lingga khususnya tentang makam-makam raja, situs benteng dan situs-situs bekas istana kesultanan lingga-riau

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Buku Sejarah Lokal Kabupaten Lingga, 2022-10-07 02:45:52

BUKU SAKU JURU PELIHARA

buku ini berisi tentang gambaran singkat mengenai situs-situs sejarah di Kabupaten Lingga khususnya tentang makam-makam raja, situs benteng dan situs-situs bekas istana kesultanan lingga-riau

Keywords: buku saku,sejarah,istana damnah,melayu,lingga-riau

Tahun 1523, tinggal di Bintan, setelah Sultan Mahmud
Syah kalah dalam perang di Bintan, dan terpaksa
menyingkir lagi ke pekantua, Kampar. Seorang anaknya
yang lain pergi ke Bangka, dan seorang lagi pergi ke
Lingga. Dialah yang di tugaskan menjadi laksamana
menjaga pulau lingga.

4. MAKAM MERAH
Disebut Makam Merah karena warna cat bangunan-

nya merah, tiangnya terbuat dari besi, pagarnya dari
besi dan atapnya dari seng tebal. Makam ini tidak
berdinding dan atapnya berbentuk segi empat meling-
kari makam. Makam ini letaknya tidaklah berapa jauh
dari bekas istana Damnah. Makam ini terkenal bukanlah
karena bangunan makamnya, tetapi karena yang
dimakamkan disini adalah Raja Muhammad Yusuf Yang
Dipertuan Muda Riau X.

Situs Makam Merah berada sekitar 800 meter di
sebelah timur situs Istana Damnah. Tokoh yang
dimakamkan di situs makam ini adalah Yang Dipertuan
Muda Riau X Raja Muhammad Yusuf (1859-1900).
Dinamakan Makam merah karena dahulu lantai selasar
dan bangunan cungkupnya berwarna merah semua
sehingga dikenal dengan nama Makam Merah.

Bangunan Makam Merah berupa bangunan cung-
kup berbentuk bujursangkar berukuran 12 x 12 meter
yang di tengah-tengahnya berupa halaman terbuka tanpa
atap. Sehingga bangunan cungkup tersebut sebenarnya

39

bukan untuk melindungi makamnya tetapi untuk
melindungi selasar yang mengelilingi makam Raja
Muhammad Yusuf yang berada di tengah-tengah. Lebar
selasar ini adalah 3,30 meter dengan lantai tegel
berwarna merah.

Bangunan cungkupnya ditopang oleh 32 buah tiang
yang masih asli yang terbuat dari besi silinder, dengan
tinggi 2,83 meter pada deret tiang luar dan tinggi 2,10
meter pada deret tiang dalam. Antara sisi dalam selasar
dengan makam dibatasi oleh dinding jeruji besi yang
juga masih asli setinggi 80 cm. Di luar bangunan
cungkup ini berupa halaman yang dibatasi dengan pagar
keliling jeruiji besi pada sisi pada barat dan tembok
bata pada sisi utara, timur, dan selatan setinggi 1,5
meter.

Luas halaman ini berukuran 28 x 24,30 meter. Di
luar pagar keliling sebelah barat terdapat bangunan
werkeet yang dibuat bersamaan dengan pemugaran
kompleks makam ini oleh Proyek Pembinaan dan
Pelestarian Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Riau
pada tahun 1994. Makam Raja Muhammad Yusuf
berada di tengah-tengah dengan sepasang nisan
berbentuk gada dari batu andesit. Makam ini tanpa jirat
dan jarak antara nisan di bagian utara dan selatan 1,90
meter, dengan tinggi nisan 80 cm dari permukaan tanah.

Tak hanya berjasa dalam dunia cendikiawan,
Muhammad Yusuf Al Ahmadi juga dikenang karena
melahirkan generasi penerus Kerajaan Riau Lingga.

40

Putranya, Abdul Rahman bergelar Sultan Abdul
Rahman Muazzam Syah (1885-1912) yang hasil
perkawinannya dengan Tengku Embong Fatimah binti
Sultan Mahmud Muzzaffar Syah menjadi Sultan Riau
Lingga terakhir. Putranya yang lain adalah Raja Ali
Kelana, kelana atau calon Dipertuan Muda Riau terakhir
Kerajaan Riau Lingga. Raja Ali hasil perkawinannya
dengan Encik Wan Sri Banun. Jadi Raja Ali Kelana dan
Sultan Abdulrahman Mu’azam syah statusnya saudara
tiri. Muhammad Yusuf Al Ahmadi jadi Dipertuan Muda
Riau Lingga terakhir. Raja Ali Kelana mengundurkan
diri sebagai kelana dan secara resmi jabatan Dipertuan
Muda dihapuskan 1904. Sejak saat itu jabatan dan tugas
Yang Dipertuan Muda Riau dipegang rangkap oleh
Sultan Abdulrahman Mu’azamsyah.

Pada sisi lain Pada masa pemerintahan Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah II ( 1857 – 1883 ) adalah
masa keemasan kerajaan Lingga Riau lebih terpandang
dan besar dari segala kerajaan di Tanah Melayu,
mangkat Sultan Sulaiman Tahun 1883 dengan kehendak
Raja Muhammad Yusuf YDM Riau X sendiri di Jadikan
Istrinya Tengku Embong Fatimah putri Sultan Mahmud
Muzafar Syah IV, Raja dilingga Riau selama 2 ( Dua )
Tahun Kemudian Tahun 1885 dengan mufakat Raja
Muhammad Yusuf YDM Riau dan Residen G.R.
Brvinkops di angkat Putranya Raja Abdurrahman
menjadi Sultan Lingga Riau, di tabalkan di lingga
kemudian pindah kepenyengat, sampai di pecat belanda

41

10 Februari 1911 atas tuduhan melanggar Treaty Riau
Lingga dan belanda dibuat tahun 1905. Pengangkatan
Raja Abdurrahman sebagai sultan, maka pihak raja
bugis telah melanggar sumpah setia antara turunan
sultan dengan pihak raja bugis yang menjabat Dipertuan
Muda, yang dibuat oleh sultan mahmud marhum Pahang
dengan yang Dipertuan Muda Riau yang ke VI Raja
Jakfar Tahun 1844 Mangkat Raja Muhammad Yusuf
maka jabatan Yang Dipertuan Muda di Tiadakan lagi
dan kekuasaannya dipegang oleh Residen Belanda
Sultan Sulimanlah sajalah Sultan yang terahkir yang
memerintah Lingga Riau dari pada Nila Utama Sumber
( Alm. Tengku Muhammad Saleh Damnah Lingga ).

Raja Muhammad Yusuf adalah raja yang alim. Dia
menganut tarekat Naksyahbandiyah. Sebagai seorang
yang punya pemahaman agama yang memadai, tentulah
pemegang hubungan agama dengan ilmu serta
hubungan ilmu dengan pustaka. Seorang Islam harus
lebih dulu punya ilmu tentang agama ini, baru kemudian
melaksanakan ajarannya. Tanpa ilmu, segala amal dan
ibadah menjadi percuma lagi sia-sia. Selanjutnya, ilmu
dan pustaka punya hubungan balas-membalas. Ilmu
telah melahirkan pustaka, kemudian pustaka telah
mendorong ilmu berkembang. Kutub Khanah Marhum
Ahmadi dapat dikatakan sebagai pustaka Islam pertama
di rantau Asia Tenggara. Sebab, ketika pustaka ini ditaja
tahun 1866, belum pernah kita ketahui ada pustaka
Islam yang lain di rantau ini. Mengapa Riau menjadi

42

pusat bahasa dan budaya Melayu dalam abad ke 19,
tak dapat dilepaskan dari peranan pustaka ini.

Mengapa Riau berhasil menampilkan Rusydiah
Klab sebagai semacam perkumpulan cendekiawan atau
pengarang, pustaka ini juga merupakan satu di antara
kuncinya. Khazanah kitab-kitab perpustakaan ini telah
ditanggulangi oleh Raja Muhammad Yusuf dengan
membeli kitab-kitab dari Timur Tengah, yang sebagian
besar adalah kitab mengenai kajian agama Islam. Jika
ditaksir harga kitab-kitab yang telah dibeli untuk
pustaka ini, tidak kurang dari 10.000 ringgit pada masa
itu. Pustaka telah mengambil tempat pada Masjid Sultan
Riau di Pulau Penyengat. Dengan demikian, para
jamaah, musafir yang singgah di masjid ini serta
pengunjung lainnya, dengan mudah memanfaatkan
pustaka ini, sambil datang ke masjid untuk salat
berjamaah serta kepentingan amal ibadah lainnya.

5. KOMPLEK MAKAM TEMENGGUNG
JAMALUDDIN DAN DATUK KAYA MONTEL
Tumenggung merupakan salah satu jabatan tertinggi

dalam struktur pemerintahan Kesultanan Lingga-Riau.
Tumenggung bertugas membantu Yang Dipertuan Muda
Riau dalam melaksanakan pemerintahan Kesultanan
Lingga-Riau. Dalam stratifikasi sosial pada masa
Kesultanan, Tumenggung merupakan golongan bang-
sawan termasuk didalamnya Teungku-teungku, Raja-
raja, dan Datuk Bendahara

43

Kompleks makam terdiri dari 43 buah makam,
dengan bentuk nisan pipih dan gada dengan bahan
sebagian besar terbuat dari batu andesit dan sebagian
kecil terbuat kayu. Bentuk nisan gada berjumlah 22
buah, sedangkan nisan pipih berjumlah 20 Buah, dan
nisan terbuat dari kayu sebanyak 1 buah. Kompleks
makam ini berada di daerah perbukitan yang seke-
lilingnya diberi pagar dari bata berplester semen
membentuk segi empat. Pintu masuk terdapat di sisi
utara, untuk masuk ke area pemakaman terdapat anak
tangga yang terbuat dari bata berplester semen yang
berjumlah 15 buah. Kompleks makam ini merupakan
makam Tumenggung Jamaluddin beserta kerabat dan
keturunannya. Makam Tumenggung Jamaluddin berada
tepat di depan pintu masuk di sisi timur. Makam ini
berjirat dari kayu berbentuk persegi panjang berukuran
280 cm x 165 cm, nisannya terbuat dari batu berbentuk
gada segi delapan yang dibagian atasnya berbentuk
seperti stupa171. Nisan kepala berukuran 89 cm x 22
cm dan nisan kaki berukuran 83 cm x 26 cm. Nisan
makam Tumenggung Jamaluddin polos tanpa motif
hias. Selain makam Tumenggung Jamaluddin, di
kompleks makam ini juga terdapat makam Datuk
Montel yang merupakan saudara Tumenggung
Jamaluddin. Makam Datuk Montel berada tepat di sisi
barat makam Tumenggung Jamaluddin. Makam ini
tidak berjirat dengan nisan berbentuk gada, bentuk nisan
ini sama dengan nisan Tumenggung Jamaluddin.

44

Ukuran nisan kepala 79 cm x 23 cm, sedangkan nisan
kaki berukuran 76 cm x 24 cm. Tiga buah makam
penting lainnya adalah makam Datuk Kaya Muhammad
Seman, Datuk Kaya Inu, dan Encik Jebah Istri S.
Abdullah. Ketiga tokoh tersebut merupakan saudara
kakak beradik dengan Tumenggung Jamaluddin dan
Datuk Montel. Tiga buah makam tersebut berjirat dari
batu berbentuk persegi panjang. Nisan makam datuk
Kaya Inu dan Datuk Kaya Muhammad Seman terbuat
dari batu berbentuk gada segi delapan dengan bagian
atasnya berbentuk seperti stupa. Sedangkan makam
Encik Jebah berbentuk pipih.

3.3 ANALISIS SITUS SEJARAH ISTANA
KESULTANAN LINGGA

1. SITUS ISTANA DAMNAH
Yang tersisa dari bangunan yang dahulunya sangat

megah ini hanyalah tangga muka, tiang – tiang dari
sebahagian tembok pagarnya yang seluruhnya terbuat
dari beton. Sekarang puing istana ini terletak dalam
hutan belantara yang disebut Kampung Damnah.

Istana Damnah didirikan oleh Raja Muhammad
Yusuf Al-Ahmadi, Yang Dipertuan Muda Riau X (1857-
1899). Dalam tahun 1860 olehnya didirikan istana
Damnah untuk kediaman Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah II, dimana sebelumnya Sultan ini di Istana Kota
Baru tak berjauhan dari pabrik sagu yang didirikannya.

Berhadapan dengan istana ini terletak bekas Balai

45

Kerajaan yang disebut “Balai Rung Sari”, bekas
Balairung Sari hanya berupa pondasi saja. Di halaman
Balai itu terdapat tiang bendera yang pangkalnya terbuat
dari besi cor buatan Inggris (Glasgow).

Menurut cerita orang tua – tua tempatan, dahulu di
sekitar istana itu terdapat perkampungan yang dihuni
oleh sekitar 2.000 orang penduduk, sebagian besar
diantaranya kerabat Sultan. Bekas perkampungan itu
kini ditandai oleh banyaknya tanaman tua (jenis buah
– buahan) seperti durian, manggis, dan sebagainya.
Beberapa orang tua di Daik masih ingat bagaimana
ramainya di sekitar istana itu, karena mereka pernah
waktu kecilnya tinggal di sana.

Dengan dipecatnya Sultan Abdul Rahman (1911)
oleh Belanda, maka istana itupun mulai diabaikan pula.
Penduduk kampung Damnah sebagian turut pindah ke
Singapura atau ke daerah lain, sedangkan sisanya
selama beberapa tahun kemudian berangsur pula pindah
ke kampung Daik yang sekarang ini.Akhirnya kampung
itu tinggal sama sekali dan istana itupun roboh berikut
Balai Rung Sarinya.

Selama berpuluh – puluh tahun daerah itu tidak
dikunjungi orang, hingga menyebabkan daerah itu
ditutupi hutan belantara. Jalan raya yang terbentang dari
istana ke pelabuhan Daik selama puluhan tahun tak
ditempuh lagi menjadi hutan pula. Tetapi parit dan
tambak jalannya masih jelas kelihatan sampai sekarang.

Bagaimana bentuk istana dan balai itu, sekarang

46

belum lagi dibuat rekonstruksinya, tetapi sebagian
orang tua – tua di Daik masih dapat mengingatnya
walaupun tidak mendetail.

Peninggalan Istana Damnah yang masih utuh yaitu
2 buah patung singa dari Keramik Cina. Pada mulanya
dipindahkan oleh Konteler Belanda di Penuba Lingga,
kemudian dibawa ke Dabo yang kini terpampang di
depan Kantor Dinas Kabupaten Lingga di pusat kota
Dabo. Sedangkan pondasi tiang bendera Istana Damnah
ditempatkan kembali di istana Damnah sebelumnya di
pindahkan di kantor Bupati Lingga di Daik yang lama.

Jika kita mengamati denah bangunan Istana
Damnah, maka akan tampak seperti pola atau motif
Gajah Menyusu Anak atau Ibu Menggendong Anak
menurut orang tua – tua dahulu. Pondasi bangunan
paling depan yang dulunya merupakan Balai Rung Sari,
dibuat dari campuran semen dan batu bata, dikeliingi
tangga-tangga kecil yang berjumlah 32 buah, bangunan
Balai Rung Sari tidak berlantai panggung. Semakin
masuk kedalam setelah Balai Rung Sari terdapat 2
tangga naik menuju Istana Induk. Tangga ini sejajar
menghadap Balai Rung Sari, bangunan ini adalah yang
paling terlihat menjolok jika kita melihat dari jalan
menuju komplek Istana Damnah tersebut, karena semen
pelapis bagian luarnya masih tampak dan terdapat pula
pecahan keramik tangga tersebut. Tangga tersebut
sangat kokoh dan memiliki gaya arsitektur yang cukup
bagus dengan seni yang tinggi untuk ukuran saat itu.

47

Bangunan Istana Induk ini berbentuk pangung, juga
diperkuat dengan tonggak semen yang berjumlah 22.
Terpisah dari Istana Induk, yaitu dapur Istana, memiliki
sebuah kolam kecil untuk mencuci kaki, kolam tersebut
berada di dapur bagian muka yang terbuat dari susunan
batu bata. Kolam itu berfungsi untuk mencuci kaki
setelah keluar dari dapur untuk menuju Istana Induk,
tidak beberapa jauh dari kolam itu terdapat susunan batu
bata yang berbentuk persegi Panjang yang diperkirakan
berfungsi sebagi tempat menghangatkan badan. Istana
itu juga memiliki kamar kecil (WC) dilengkapi dengan
kolam penampung.

WC itu, menyerupai colos’ete yang umumnya
dipakai masyarakat saat ini, hanya saja terbuat dari
campuran batu bata yang dilapisi semen. Disana juga
terdapat satu kolam yang nyaris tidak mendapat
perhatian, karena hanya berupa cengkungan (kolam
tanah biasa), yang terpisah dari dapur. Kolam ini
digunakan sebagai tempat pemandian, dikomplek Istana
Damnah bagian belakang dibuat parit Istana untuk
memisahkan bangunan dengan dunia luar. Diselah kiri
dan kanan komplek Istana terdapat bangunan yang
menyerupai tugu sabagai pintu gerbang masuk
komplek Istana Damnah, sebab satu pintu gerbang
terdiri dari 2 tiang, saat ini yang tersisa hanya 3 tiang
yang dengan bahan dasar bangunan berupa batu bata. 

48

2. SITUS ISTANA KOTA BATU
Istana Kota baru adalah Istana yang di buat Oleh

Sultan Mahmud Muzafar Syah diperkirakan Tahun
1850/1851 Yang terletak di lereng bukit pergunungan
antara Gunung Daik sama Gunung Sepincan. Istana
Kota Baru adalah dalam ingatan orang – orang tua
dahulu adalah Istana Robat. Istana Kota Baru yang
bermakna Kota Batu dalam Syair Sultan Mahmud
Muzafar Syah.

Melalui syair ini dapat diketahui, bahwa istana yang
disebut Rumah Batu itu, dibangun dihulu Sungai Tanda,
anak sungai Daik, di sebuah tanah lapang di kaki
Gunung Sepincan, salah satu dari tiga cabang Gunung
Daik. Istana itu memiliki pemandangan yang indah
menghadap Gunung Daik, dari sana dapat menyaksikan
pantai berpasir putih.

Belum di ketahui pasti Istana itu dibangun dari
rekontruksi syair itu, diperkirakan sekitar tahun 1850/
1851 sebelum sultan mahmud muzafar syah meni-
kahkan putrinya Tengku Embung Fatimah dengan Raja
Muhammad Yusuf. Tak lama setelah istana siap maka
mahmud menikahkan anaknya Tengku Embung
Fatimah dalam suatu acara yang meriah pernikahan itu
terjadi sekitar tahun 1851.

Setelah pernikahan itu, menurut syair itu, istana itu
dilanjutkan pengerjaan menjadi lebih hebat dan mewah.
Raja Ali, wafat, dan itu terjadi bulan juli tahun 1856. Ini
beberapa kuplet yang menceritakan pembangunan istana itu.

49

Ada kepada suatu hari
Baginda berpikir seorang diri
Hatinya gundah tidak terperi
Dimakah baik kutaruh putri

Ini syair yang ke – 44, yang mengambarkan
kerisauan Sultan Mahmud Muzafar Syah untuk
menempatkan putrinya Tengku Embung Fatimah dan
Ibundanya, karena Istananya yang selama ini di tempati,
bekas Istana ayahnya di Damnah tidak memadai lagi,
dan terlihat kuno, jika dibandingkan dengan Istana
Temenggong Ibrahim di Teluk Belanga, Sementara
Istana Damnah yang menjadi kantor dan kediaman
Sultan Mahmud Muzafar Syah, adalah bangunan lama,
dengan bahan sebahagiannya adalah kayu. dengan
arsitektur yang sudah ketinggalan Zaman. Ayahnya,
Sultan Muhammad syah, pernah punya rencana
membangun Istana 44 Bilik. Tak jauh dari Istana
Damnah. Tetapi belum terlaksana meskipun rancangan
sudah jadi. Bahkan tapak ( pondasi ) Istana itu dari beton
( Batu Bata ) sudah dibangun. Namun karena terburu
wafat ( ayahnya wafat dalam usia baru 38 tahun ) yaitu
Sultan Muhammad Syah dengan gelaran Marhum
kedaton makamnya di Bukit Cengkih, oleh sebab itu
lah Istana ini belum selesai.

Pada dasarnya Sultan Mahmud Syah sudah berniat
ingin menyambung kembali apa yang telah di
laksanakan Ayahnya, namun banyaknya pengalaman

50

Sultan Mahmud Muzafar Syah ini melihat bangunan –
bangunan yang ada di singapura, Pahang, Terenganu
dan lainnya, dia mersa apa yang teleh direncanakan oleh
ayahnya kurang begitu modern, dan belum menyamai
bangunan megah seperti orang-orang belanda dan eropa.

Istana Damnah itu, sesungguhnya bagus, karena
Sultan Muhammad Syah, ayah Sultan Mahmud
dikatakan seorang Sultan yang menyukai seni, terutama
seni ukir dan tenun. Dia banyak mendatangkan orang
– orang ahli – ahli ukir dan tenun khususnya songket
dari Terengganu. Sultan Mahmud tidak lagi berniat
meneruskan apa yang di rencanakan ayahnya tatapi di
lebih mem focuskan pada rancangan yang ia sendiri
bangun yaitu Istana Kota Batu, yang lokasinya berbeda.

Sultan Mahmud Syah membangun Istana Kota Batu
tetapi agak jauh dari pusat pemerintahan yang lama di
arah hulu sungai Tanda anak sungai Daik. Gambaran
itu dapat di lihat dari syair – syair yang ditulis dalam
syair tentang sultan mahmud itu :

Di dalam pikiran duli kholifah
kehulu negeri hendak berpindah
putri ke dua yang pindah
Hati baginda sangatlah gundah

Seketika semayam duli baginda
Berdatang sembah kepada Ananda
Sebabpun maka menghadap baginda
Ada hajat didalam dada

51

Syair – syair itu menginformasikan tentang niat
Sultan Mahmud untuk membangun istana yang baru di
ulu sungai Daik, karena berdekatan dengan sumber mata
air pegunungan dengan pemandangan yang luas di
tengah padang dan tempat bangunan itu juga besar. Dia
menyampaikan keinginan itu pada Bunda suri,
Ibundanya Tengku Tih ( Tengku Khatijah ). Setelah
ibundanya setuju maka istana itu mulai dibangun, dan
ibundanya mulai menitipkan adiknya Tengku Usman (
Tengku Embong ) untuk membantu, dan Sultan
Mahmud setuju, dan kepada adik lain ibu itulah dia
ditugaskan untuk memimpin pembangunan istana itu.

3. SITUS ISTANA KENANGA
Suatu peninggalan sejarah yang amat berharga pada

awal pemerintahan kesultanan malaka yang banyak
menyimpan khazanah sejarah yang tidak terhingga yang
memberikan suatu pedoman hidup dalam perjuangan
membela bangsa dan negeri di tanah air.Akhir dari suatu
kisah yang banyak menceritakan kejayaan kesultanan
melayu di bumi melayu melawan penjajah belanda,
Sultan Mahmud Ria’yat Syah adalah Sultan yang
banyak memberikan integritas – integritas penting di
dalam peradaban sejarah masyarakat melayu.

Kembalinnya kepelukan bunda adalah solusi bagi
seorang Sultan untuk melindungi rakyatnya di tengah
bergejolaknya darah di dalam tubuh saat itu Sultan
Mahmud Ria’yat Syah sempat berpikir untuk mencari

52

arah yang dapat melindungi rakyatnnya negeri bertuah
adalah pilihannya untuk membuat imperium baru
dengan mengatur langkah - langkah dan strategi dalam
melawan penjajahan di bumi melayu. Saat waktu dulu
di zaman nenek moyangnya pernah singgah untuk
bersembunyi di Daik Lingga di karnakan melawan
kehendak titah perintah negeri seberang ( Aceh ) oleh
karna itu negeri melayu tidak akan pernah tunduk.
Sultan Mahmud Ria’yat Syah di dalam ingatannya
selalu mengingat apa yang pernah di buat oleh nenek
moyangnya waktu itu, maka dari ltulah tempat yang
dijadikan persembunyian dan menata tahta, kuasa, serta
mengurusi imperium kerajaan ia memilih Lingga sebagi
tempat yang paling baik dan terbaik.

Sebagaimana kita ketahui masuknya Sultan
Mahmud Ria’yat Syah ke negeri Daik Lingga pertama
sekali awalnya masuk di Kuala Sungai Daik terus
menuju ke hulu sungai Daik dan tepat di bawah kaki
gunung Daik dan Sepincan dan di sinilah awal Istana
di mulai oleh baginda Sultan Mahmud Ria’yat Syah

Dalam ingatan orang – orang tua dulu adalah istana
yang jauh kedalam di sebutlah Istana Dalam tetapi ada
juga yang menyebutnya Istana Kenanga. Disinilah awal
Imperium kekuasan kerajaan Kesultanan Lingga di
Mulai dalam membangun infrastruktur, pemerintahan
dan strategi.

53

4. GEDUNG BILIK 44
Yang disebut Gedung Bilik 44 adalah pondasi

gedung yang akan dibangun oleh Sultan Mahmud
Muzafar Syah. Gedung ini baru dikerjakan pondasinya
saja karena Sultan keburu dipecat Belanda tahun 1812.
Lokasinya terletak di lereng gunung Daik.

Walaupun gedung ini belum sempat berdiri, tetapi
dari pondasinya yang berjumlah 44 itu sudah dapat kita
bayangkan betapa besarnya minat Sultan Mahmud
untuk membangun negerinya. Di gedung ini, menurut
rencana Sultan akan ditempatkan para pengrajin yang
ada di Kerajaan Riau-Lingga, supaya mereka dapat
bekerja lebih tenang serta mengembangkan keahlian-
nya. Namun cita – cita Sultan Mahmud terkandas oleh
penjajah asing.

Dinamakan Gedung Bilik 44 karena rencananya
gedung itu akan dibangun dengan 44 buah biliknya.
Tetapi rupanya bangunan itu tak sempat diselesaikan,
karena Sultan Muhamad Syah (1832-1841) mangkat.
Namun demikian, bangunan itu sempat siap sebagian,
dengan jumlah bilik kurang dari 44.

Sisa bangunan ini sekarang ditandai dengan pondasi
bilik – biliknya yang terletak sekitar 500 meter dari
Istana Damnah. Lokasi inipun seperti halnya lokasi
Istana Damnah terletak dalam hutan belantara.

Menurut cerita orang tua – tua di Daik, salah satu
tujuan Sultan Muhamad yang amat mencintai seni bina
(arsitektur) dan seni ukir itu adalah untuk membuat

54

bangunan yang lengkap dengan berbagai karya ukir dan
contoh keunggulan arsitektur zaman itu. Sebagian
ruangan gedung itu dicadangkannya untuk tempat
kediaman para arsitektur dan ahli ukir, sehingga beliau
dapat melihat secara langsung kehandalan mereka.

Selanjutnya para orang tua – tua di Daik sangatlah
menentang tuduhan keji yang dilemparkan orang,
bahwa istana (gedung) itu dibangun untuk tempat Sultan
menyimpan gundik – gundiknya. Sebab beliau, seperti
ayahandanya, dikenal pula sebagai seorang yang alim,
ahli Fiqih dansangatmenjagadirinya dariperbuatan maksiat.

Jadi menurut orang tua – tua itu, gedung itu kalaulah
terwujud akan dapat menjadi semacam museum
kerajaan dan sekaligus menjadi pusat pengembangan
seni bina dan seni ukir melayu. Tetapi beliau hanya
memerintah selama 9 tahun, maka cita – cita itu tidaklah
kesampaian. Sedangkan penggantinya yakni Sultan
Mahmud Muzaffar Syah tidak pulak melanjutkan cita
– cita beliau, karena Sultan ini lebih suka berlayar
sambil bersikap anti Belanda (beliau kemudian dipecat
Belanda pada 23 September 1857). Dengan demikian,
gedung itu tidaklah pernah selesai sebagaimana mestinya,
walaupun namanya tetaplahdisebut Gedung Bilik44.

3.4 ANALISIS SITUS BENTENG – BENTENG
PERTHANAN KESULTANAN LINGGA

1. SITUS BENTENG PULAU MEPAR
Daik sebagai pusat kerajaan Riau – Lingga tentulah

55

memerlukan pengawalan ketat. Perairan selat Malaka
yang masa silam selalu ramai dengan desingan peluru
dan asap mesiu. Untuk menjaga berbagai kemungkinan
dalam pertempuran, di Daik Lingga dan sekitarnya
didirikan kubu – kubu yang kokoh dengan persenjataan
lengkap menurut keadaan zamannya, yang terdapat di
pulau Mepar, Benteng (Kubu) Bukit Ceneng dan
Benteng (Kubu) Kuala Daik dengan puluhan pucuk
meriam – meriamnya.

Benteng Pertahanan Pulau Mepar merupakan
benteng pertahanan lapis pertama, penuh dengan
meriam-meriam besar, salah satunya adalah meriam
Sumbing yang memiliki keistimewaan, terletak diatas
Bukit Mepar.

Bekas benteng itu terdapat di Mepar berisi 8 buah
meriam, Bukit Cening berisi 18 buah meriam, Kota Parit
berisi 8 buah meriam (terletak di lokasi Kantor Bupati
Lingga sekarang), Benteng Kuala Daik berisi 4-5 buah
meriam, Lubuk Palawan berisi 2 buah meriam. Di antara
meriam – meriam kuno itu terdapat meriam tembaga
dalam ukuran besar, yang sekarang terletak di halaman
rumah Bupati Lingga.

Meriam – meriam itu sebagian sudah diselamatkan
(8 buah di halaman kantor Bupati Lingga, 2 buah di
halaman rumah Bupati Lingga, 1 buah di halaman
Masjid Jami’ Daik, 1 buah dibawa ke Tanjungpinang),
sedangkan selebihnya masih banyak yang terlantar,
bahkan ada yang terbenam di dalam tanah.

56

Meriam – meriam itu, dahulu selain dipergunakan
sebagai senjata menangkis serangan musuh, ada pula
yang dipergunakan untuk upacara penobatan Sultan dan
untuk dibunyikan dalam bulan puasa. Diantara meriam
– meriam itu ada yang diberi nama, seperti meriam
Padam Pelita, meriam Pecah Piring dan meriam
Sumbing.

Satu hal yang perlu dicatat adalah kokohnya
benteng – benteng yang terdapat di kawasan ini.
Menurut cerita orang tua – tua yang mendengarnya dari
beberapa pendatang bangsa asing. Sistem pertahanan
di kawasan ini amatlah sempurna untuk zamannya,
karena ditunjang oleh beberapa faktor seperti pem-
buatannya, letak yang strategis serta adanya wilayah
penunjang baik untuk mengundurkan diri maupun untuk
bantuan logistik. Benteng – benteng itu sekarang masih
ada dan sebagian sudah diselimuti semak belantara.

Seperti Benteng Mepar, jika kita mendaki ke
benteng Segi Empat Mepar maka kita akan berdecak
kagum, kita dapat menyaksikan pemandangan bawah
dari segala penjuru. Menurut cerita orang – orang tua
di Mepar, di dalam benteng dahulu terdapat semen
bekas Tiang Bendera. Setelah ditelusuri tapak tiang
bendera benteng itu sudah tidak ada lagi.

2. SITUS BENTENG BUKIT CENING
Benteng Bukit Cening yang berada di ketinggian

lebih kurang 100 Mdpl menghadap ke arah laut Pulau

57

Kelombok menyimpan daya tarik tersendiri. Menurut
sejarah, Benteng Bukit Cening ini merupakan
pertahanan kedua setelah Pulau Mepar dari kerajaan
Riau-Lingga-Johor-Pahang saat menjadikan Daik
sebagai pusat pemerintahan Sejak beberapa tahun
belakangan, benteng yang berada di puncak bukit
tersebut telah menjadi salah satu situs sejarah penting
yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Lingga. Terletak
di atas bukit cukup tinggi dan memiliki luas 32 m x 30
m, Benteng ini secara administratif berada di Kampung
Seranggung Kelurahan Daik Kecamatan Lingga.
Literatur yang ada menyebut benteng ini dibangun pada
masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah III yang
berkuasa pada masa Kesultanan Lingga tahun 1761-
1812.

Benteng yang memiliki 19 unit meriam peninggalan
Sultan Mahmud Riayat Syah di Bukit Cening itu
termasuk salah satu dari 106 peninggalan sejarah di
Lingga. Dari 19 meriam yang ada tersebut, tentu saja
memiliki keunikan tersendiri. Terutama yakni meriam
yang paling besar di benteng tersebut. Meriam Tupai
Beradu, itu lah meriam terbesar dari 19 meriam yang
ada di Bukit Cening. Panjangnya 2,8 meter dengan
diameter 12 cm. Dalam penuturan warga, meriam ini
diapit oleh meriam Mahkota Raja. Meriam Tupai
Beradu juga dikenal sebagai meriam penghancur.
Mungkin, sebutan meriam penghancur muncul karena
meriam tersebut lebih besar dari yang lainnya. Saat ini,

58

susunan meriam itu disesuaikan dengan kisah-kisah
yang tersebar di masyarakat. Selain itu, di benteng itu
juga ditemukan angka 1783 dan 1797 serta tulisan VOC
yang diduga sebagai tahun pembuatan meriam. Tulisan
“VOC” menandakan meriam itu dibeli dari pemerintah
Hindia Belanda. Keterangan itu tertulis pada prasasti
di bagian depan benteng. Namun, sayangnya benteng
yang juga bisa dijadikan lokasi bersantai ketika sore
hari dengan pemandangan laut Pulau Kelombok dan
megahnya Gunung Daik bercabang tiga serta Bukit
Permata tersebut selalu di dalam perawatan.

Hal demikian dapat dilihat dengan semakin
tingginya pepohonan yang berada di depan moncong
benteng mengarah ke Pulau Kelombok. Sehingga,
pemandangan yang dulunya menuju arah laut tersebut
terlihat mudah oleh mata, kini mulai dilindungi
pepohonan. Selain itu, dedaunan kering juga selalu
dibersihkan di dalam lokasi benteng. benteng yang
berdiri megah itu adalah saksi bisu kemaharajaan
kerajaan kesultanan Lingga Riau begitu Sebagaimana
diketahui, benteng yang ada tersebut dibangun pada
abad ke-18 sejak pemerintahan Sultan Mahmud Riayat
Syah III pindah dari Hulu Riau ke Daik Lingga.

3. SITUS BENTENG KUALA DAIK
Dibenteng Kuala Daik terdapat meriam-meriam

yang banyak dan masih terbenam di Kuala Daik,
merupakan tempat lalu lintas sungai Daik yang dulunya

59

dalam dan lebar, dapat dilewati kapal dagang Kerajaan
sampai ke kampung Pahang, bahkan sampai ke Pabrik
Industri Sagu Kerajaan. Kuala daik berhampiran dengan
depan pulau Kelombok. Benteng Kuala Daik ini disebut
sebagai benteng pertahanan lapis ketiga. 

Banteng kuala Daik merupakan banteng yang
berfungsi sebagai sarana pertahanan. Keberadaan
banteng Kuala Daik tidak terlepas dari system
pertahanan berlapis yang di terapkan oleh Sultan dalam
mengantisipasi serangan musuh. Dalam system
pertahanan ini terdapat tiga kubu pertahanan yang saling
terkait. Banteng lapis pertama adalah banteng Pulau
Mepar banteng ini berfungsi untuk menghadapi musuh
yang datang dari arah utara melawati Pulau Mepar di
depan pelabuhan Tanjung Buton. Benteng pertahanan
lapis kedua adalah Benteng Bukit Cening yang terletak
di atas bukit. Benteng Kuala Daik menjadi Benteng lapis
ketiga. Benteng Kuala Daik dan Benteng Bukit Cening
merupakan system pertahanan yang saling terkait erat.

Selain lokasinya yang strategis dalam menganti-
sipasi serangan musuh, system pertahanannya juga
menggunankan system penjagaan prajurit yang saling
bergantian. Sebelum prajurit di banteng Kuala Daik ke
Benteng Bukit Cening terlebih dahulu ke prajurit
menuju ke istana ( Damnah ) yaitu bergantian dengan
penjaga Istana. Penjaga Istana kemudian menuju ke
banteng Bukit Cening, dan prajurit yang berada di Bukit
Cening beralih

60

Benteng Kuala Daik telah terdaftar sebagai cagar
budaya di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
(BP3), dengan nomor registrasi 09/BCB -TB/C/04/
2007. Benteng Kuala Daik ini berupa struktur batu
bauksit yang disusun berbentuk tanggul empat persegi
pada sisi timur yang terbuat dari susunan batu karang,
berukuran rata-rata (bentuk banteng tidak simetris)11,7
x 8,50 meter. Tinggi rata-rata ( permukaan tanah
sekeliling tanggul tidak rata) 75 cm dan lebar tanggul
70 cm di sisi utara,timur,barat dan 120 cm di sisi selatan.
Pada dinding sisi barat,terdapat celah, yang mungkin
berfungsi sebagai pintu masuk atau di sebelah barat
struktur banteng terdapat juga susunan batu andesit yang
sudah mulai rata, tetapi masih lebih tinggi dari
permukaan tanah sekelilingnya dengan ukuran Panjang
struktur rata-rata (banteng struktur tidak simetris) 22
m dan lebar 14 m.

Pada dinding sisi selatan yang langsung bersentuhan
dengan air laut terdapat dua buah Meriam yang sebagian
masih terpendam di dalam tanah dan dinding, mengarah
ke selatan ke arah laut , Dua buah Meriam ini berukuran
sama,yaitu Panjang 3,00 meter, diameter bagian ujung
40 cm dan diameter bagian pangkal 50 cm. sedangkan
pada dinding timur terdapat 2 meriam yang lebih kecil
dan sebagian terpendam tanah .kondisi ke empat
Meriam sudah mengalami pengkaratan dan pelapukan
karena diterpa oleh percikan ombak air.Bahkan pada
musim angin selatan, menurut informasi setempat

61

Meriam dan dinding banteng ini sering terendam oleh
air laut.selain itu, dinding banteng dan halaman dalam
sudah tertutup ditumbuhi oleh semak.

4. SITUS BENTENG TANJUNG CENGKEH
Benteng Tanjung Cengkeh terletak di daerah pasir

Panjang Desa Mala, Kecamatan Lingga Kabupaten
Lingga yang letak georafisnya di atas bukit, akses untuk
pergi kesana dapat ditempuh dengan kendaraan motor
atau mobil dan untuk melanjutkan lagi harus berjalan
kiki sekitar 10 menit untuk sampai di atas bukit.
Benteng ini dibangun semasa Sultan Mahmud Ria’yat
Syah, atau sezaman dengan benteng kuala daik. Benteng
ini berfungsi sebagai benteng pengintaian di pulau
lingga. Benteng terbuat dari susunan batu-batu gundul
dan pecahan yang disandarkan pada bagian lereng tanah
pada bukit tanjung cengkeh. Panjang keliling susunan
batu tersebut mencapai 200 meter, dengan denah empat
persegi panjang. Tinggi susunan batu 123 cm dengan
ketebalan 100 cm.

Di bagian dalam benteng, terdapat batu-batu andesit
berukuran cukup besar, yang dapat dipakai untuk ber-
lindung orang yang sedang melakukan pengintaian. Di
luar susunan batu benteng terdapat shelter yang di-
bangun sebagai pelengkap keberadaan benteng karena
diproyeksikan sebagai salah satu ODTW di kabupaten
lingga.

62

5. SITUS KUBU PERTAHANAN PARIT
Kubu Pertahanan Parit adalah salah satu pening-

galan bersejarah para masa kesultanan lingga di bawah
pimpinan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah. Zonasi dari
arah system pertahanan ini memasuki arah perairan di
sungai Daik yang tidak jauh dari perkampungan
melukap Kecamatan Lingga, Kabupaten Lingga.
Kategori dari benda dari cagar budaya ini adalah
Meriam yang disusun secara berderet, sebulumnya
masih berserakan di pasir dan terbenam di lumpur dan
sungai. Bentuk dari kubu pertahanan parit ini adalah
salah satu benteng yang selalu siap dari keadaan darurat
perang.

Akses untuk ke lokasi hanya dapat ditempuh dengan
perahu menyusuri Sungai Daik menuju laut, dengan
waktu tempuh 10 – 15 menit dari dermaga Desa
Melukap. Situs ini pada awalnya merupakan tempat
temuan beberapa meriam yang berserakan di tanah.
Pada tahun 2000, seluruh meriam dikumpulkan di satu
tempat yang agak tinggi dari sekelilingnya dan
kemudian pada tahun 2010 ditata dan diberi kedudukan
dari beton.

Jumlah meriam yang ada di situs ini 16 buah dan
dahulunya merupakan persenjataan perang yang terkait
dengan Kubu Kuala Daik. Situs kompleks meriam
pertahanan kubu berada di tepi Sungai Daik, berjarak
sekitar 40 m dari tepian sungai. Ke-16 meriam saat ini
diletakkan di atas pondasi beton, yang keseluruhan

63

meriam menghadap ke arah selatan. Lokasi meriam ini
berada di tanah yang relatif tinggi dari areal seke-
lilingnya dengan panjang gundukan 68 - 70 m dan lebar
antara 3, 5 m – 5 m. Dari ke-16 meriam, ada beberapa
Situs kompleks meriam pertahanan kubu berada di tepi
Sungai Daik, berjarak sekitar 40 m dari tepian sungai.
Ke-16 meriam saat ini diletakkan di atas pondasi beton,
yang keseluruhan meriam menghadap ke arah selatan.
Lokasi meriam ini berada di tanah yang relatif tinggi
dari areal sekelilingnya dengan panjang gundukan 68 -
70 m dan lebar antara 3, 5 m – 5 m. Dari ke-16 meriam,
ada beberapa meriam yang masih menyisakan data -
data arkeologis berupa inskripsi, yang berupa angka
tahun dan simbol VOC. Deskripsi dan penamaan ke-
16 meriam dimulai dari meriam sisi timur (M1) dan
seterusnya ke arah barat sampai M16;
1. Meriam 1 : panjang 235 cm
2. Meriam 2 : panjang 238 cm
3. Meriam 3 : panjang 234 cm
4. Meriam 4 : panjang 234 cm
5. Meriam 5 : panjang 231 cm , ada inskripsi huruf

seperti huruf F pada salah satu
pegangan sisi kanan
6. Meriam 6 : panjang 223 cm
7. Meriam 7 : panjang 232 cm ada inskripsi angka
tahun 1786 pada pegangan sisi kiri
dan angka tahun tapi sudah kabur
8. Meriam 8 : panjang 254 cm

64

9. Meriam 9 : panjang 255 cm
10. Meriam 10 : panjang 236 cm ada simbol VOC

pada sisi atas dekat sumbu
11. Meriam 11 : panjang 234 cm
12. Meriam 12 : panjang 232 cm ada inskripsi angka

tahun 1786, tapi sudah mulai kabur
13. Meriam 13 : panjang 240 cm
14. Meriam 14 : panjang 203 cm
15. Meriam 15 : panjang 167 cm
16. Meriam 16 : panjang 250 cm

6. SITUS PERIGI HANGTUAH DAN
SEJARAHNYA
Di masa Kerajaan Melayu Melaka di bawah

pemerintahan Sultan Mansur Syah, muncul sesosok
tokoh yang amat menonjol dalam sejarah, Hang Tuah.
Selain seorang diplomat ulung sehingga dipercaya
menghadap Betara Majapahit untuk mendapatkan
Siantan (bagian dari Pulau Tujuh, Kepulauan Riau
sekarang), Hang Tuah juga dikenal sebagai satria atau
pendekar.

Hang Tuah lahir di Sungai Duyung, Singkep
(Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau sekarang).
Mendekati remaja (berkisar umur sepuluh tahun) ia
diboyong orang tuanya, ayah Hang Mahmud dan ibu
Dang Merdu, ke Pulau Bentan. Sesampainya di Bentan,
Hang Mahmud mendirikan sebuah rumah berhampiran
dengan kediaman Bendahara Paduka Raja, penasihat

65

raja di negeri itu. Di sanalah beliau, dibantu istrinya,
membuka kedai makanan. Sebagaimana ditulis Abel
Tasman dalam buku Hang Tuah dan Empat Sahabat,
selain nasi dan lauk pauk, di kedai itu juga menjual
aneka penganan khas Melayu.

Demi masa depan anaknya, Hang Mahmud kemu-
dian mengantar anaknya mengaji Al-Quran kepada
seorang lebai (guru). Setelah tamat mengaji Al-Quran,
Hang Tuah bermohon kepada ayahandanya untuk
diantar mempelajari bahasa Keling (India). Dengan
sukacita Hang Mahmud mengantar anaknya kepada
seorang lebai Keling. Setelah tamat mempelajari bahasa
Keling, Hang Tuah kemudian memohon kepada
ayahandanya diantar mempelajari bahasa Siam (Thai-
land). Hang Mahmud pun mengantar anak kesa-
yangannya itu kepada seorang lebai bahasa Siam.
Setelah tamat dan menguasai bahasa Siam, Hang Tuah
meminta pula kepada ayahandanya untuk diantar belajar
bahasa China. Setelah menguasai bahasa China, Hang
Tuah pun belajar bahasa Jawa. Singkat kisah, Hang
Tuah pun menguasai bahasa Jawa. Lengkap sudah
bahasa penting di zaman itu, selain Melayu, di-
kuasainya. Tengah mengaji Al-Quran dan belajar
berbagai bahasa, Hang Tuah juga mendalami ilmu silat.

Sehari – hari Hang Tuah kecil membantu sang ayah
mencari kayu bakar di hutan untuk dijual dan keperluan
memasak di kedai makan mereka. Bila tidak ke hutan
mencari kayu bakar, Hang Tuah membantu ibunya di

66

kedai melayani pembeli. Pada masa senggang Hang
Tuah bermain dengan para sahabatnya Hang Jebat,
Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Kelima
sahabat itu sangat setia. Menggambarkan keakraban
lima sahabat itu, Hikayat Hang Tuah menyebutkan,
“Jika makan pun bersama – sama, seperti orang
bersaudara sungguh lakunya.”

PETUALANGAN PERTAMA
Pada suatu ketika, lima sahabat kecil itu mencoba

bertualang. Mereka meminjam lading (perahu layar)
milik ayahanda Hang Tuah. Setelah meminta izin
kepada orang tua masing – masing, mereka dibekali
setiap seorang oleh orang tua masing – masing sepuluh
gantang beras. Selain itu, Hang Tuah dan empat
sahabatnya dibekali orang tua mereka pula dengan
sebilah keris dan sebuah parang.

Setelah beberapa lama berlayar di selat, suak dan
rantau kepulauan Bentan, terlihat oleh lima sahabat itu
tiga buah perahu menuju ke arah mereka. Sebagaimana
dikutip dari Hikayat Hang Tuah, lima sahabat itu
berdialog :

“Maka kata Hang Tuah, ‘Hai handaiku keempat,
ingat – ingat kita; perahu musuh rupanya yang
datang kelihatan tiga buah itu.’ Maka dilihatnya
benarlah seperti kata Hang Tuah itu. Maka kata Hang
Jebat, ‘Perahu musuhlah lakunya. Apa bicara kita
sekalian?’ Maka sahut Hang Kesturi, ‘Apatah yang
kita endahkan? Yang kita kehendak pun bertemu

67

dengan perahu musuh.’ Maka sahut Hang Lekir dan
Hang Lekiu, ‘Mengapa pula begitu! Masa beta
tuangkan; sehingga mati sudahlah.’ Maka kata Hang
Tuah seraya tersenyum, ‘Hai saudaraku, pada bicara
hamba, baik juga perang di atas pulau karena perahu
kita kecil; tewas juga kita kerana ia tiga buah dengan
besarnya dan senjata pun banyak dan orang pun
banyak; sukar melawan dia.’ Maka kata Hang
Kesturi, ‘Yang mana benar segeralah kita kerjakan,
karena makin hampir.’ Oleh Hang Tuah dibelokkan
perahunya itu menuju pulau itu.”

Orang – orang dalam tiga buah perahu itu bertemu
dengan Hang Tuah dan empat sahabatnya di pulau
terdekat. Melihat anak – anak, mereka mengurungkan
niat untuk berlaku jahat dan tak mau membuang waktu.
Tetapi demi melihat Hang Tuah dan empat sahabatnya
baik rupa atau terlihat bersih dan gagah – gagah, orang
– orang dalam perahu itu berubah niat. “Sekali ini
dapatlah budak – budak akan penakawan kita.” Mereka
berencana menangkap budak – budak (anak – anak)
yang gagah – gagah itu untuk dijadikan penakawan
(anak buah atau pekerja di kapal mereka). Mereka
akhirnya mengejar Hang Tuah dan sahabatnya yang
sudah sampai ke darat di pulau terdekat.

Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir,
serta Hang Lekiu berdiri gagah di pantai menghadang
kedatangan orang – orang sasa (berwajah keras) yang
berniat jahat itu. Masing – masing mereka memegang
tiga bilah senjata bernama seligi. Hikayat Hang Tuah

68

menceritakan begini :

“... Maka tatkala itu Hang Tuah kelima bersaudara
itu pun sudah memegang tiga bilah seligi pada
seorang. Apabila hampir musuh itu ke hadapan Hang
Tuah, maka ditikam oleh Hang Tuah, kena pahanya,
lalu terduduk tiada dapat bangkit lagi. Maka ditikam
pula oleh Hang Jebat, kena seorang, lalu lari ke
perahunya mengambil sumpitan dan seligi. Maka
disumpitnya akan Hang Tuah dan kelima orang itu,
seperti hujan yang lebat. Maka segala musuh itu pun
bersorak, katanya, ‘Bunuhlah budak celaka, tiada
kasih akan ibu-bapanya.’ Maka kata seorang lagi,
‘Jangan kita bunuh.’ Maka kata seorang lagi, ‘Hai
budak – budak, baik engkau menyembah menye-
rahkan dirimu supaya engkau tiada kubunuh.’ Maka
kata Hang Jebat sambil menangkis seligi dan anak
damak yang seperti hujan datangnya itu dengan
seketika pada tangannya itu, katanya, ‘Cih, mengapa
aku menyembah? Engkau – engkau sekalian
menyembah akan kami, supaya kuampuni dosamu,’
serta ditikam oleh Hang Tuah dan Hang Jebat
kelimanya. Maka kena pula lima orang musuh itu
lalu rebah terduduk tiada boleh bangkit lagi. Setelah
dilihat oleh temannya yang dua puluh lagi itu, ia
pun terlalu marah, katanya, ‘Bunuhlah budak celaka
ini,’ serta ditikamnya dan disumpitnya dengan
bersungguh – sungguh akan budak lima itu. Maka
Hang Tuah pun menghunus kerisnya dan yang
keempat itu pun menghunus kerisnya lalu menyer-
bukan dirinya pada musuh yang dua puluh itu. Maka
ditikamnya oleh Hang Tuah, dua orang mati. Maka

69

ditikam pula oleh Hang Jebat dan Hang Kesturi,
Hang Lekir dan Hang Lekiu, empat orang pula mati.
Maka yang tinggal lagi sepuluh orang itu larilah
menyusur perahunya, lalu dikayuhnya ke perahu
besar tiga buah.”

Selanjutnya Hikayat Hang Tuah menceritakan,
Hang Tuah dan para sahabatnya meneruskan petua-
langan mereka dengan membawa sepuluh orang musuh
yang terluka dan tak berdaya sebagai tawanan. Dalam
perjalanan mereka bertemu dengan rombongan Batin
(penghulu) Singapura yang tengah berlayar menuju
Bentan. Kepada Penghulu Singapura Hang Tuah dan
sahabatnya menceritakan hal-ikhwal yang telah terjadi
serta menyerahkan tawanan tersebut.

Penghulu Singapura sangat heran, tapi akhirnya
percaya karena para tawanan itu juga menceritakan apa
saja yang telah berlaku. Penghulu Singapura mene-
ruskan perjalanan ke Bentan sekaligus akan menyerah-
kan tawanan yang ternyata para perompak dari Jemaja
itu ke hadapan Bendahara Paduka Raja. Mengingat
teman – teman para tawanan itu pasti akan menyisir
kawasan itu mencari Hang Tuah dan sahabatnya,
Penghulu Singapura mengajak serta Hang Tuah dan
sahabatnya untuk turut beserta perahunya ke Bentan.

MENGABDI DI ISTANA BENTAN
Tak lama setelah petualangan yang sangat

mengesankan itu, Hang Tuah dan sahabatnya pergi

70

memperdalam ilmu silat sekaligus memperkaya batin
dengan berguru kepada seorang bernama Aria Putra di
Bukit Pancalusa (Bukit Lengkuas). Setelah sekian lama
menuntut ilmu, Hang Tuah dan sahabatnya kembali ke
Bentan dan menjalani kehidupan sebagaimana layaknya
masyarakat Melayu pada masa itu.

Pada suatu hari, terjadi huru hara. Gemparlah negeri
Bentan. Orang – orang berlarian dikejar seseorang yang
mengamuk. Sudah banyak yang luka kena tikam bahkan
ada yang mati. Ketika itu Hang Tuah sedang membelah
kayu bakar di depan rumahnya. “Hai Hang Tuah,
hendak matikah engkau maka tidak lari?” hardik salah
seorang yang lari. Maka kata Hang Tuah sambil
membelah kayu api, “Apatah yang ditakutkan orang
mengamuk sekian itu? Bukan negeri tiada berhu-
lubalang dan pegawai akan mengembari; di sana juga
ia mati dibunuh orang?”

Tak lama berselang muncul orang yang mengamuk
itu dengan keris berlumuran darah terhunus di tangan
menuju ke arah Hang Tuah. Hang Tuah bersenjatakan
kapak pembelah kayu sedangkan orang yang mengamuk
itu menikam – nikam dengan kerisnya penuh nafsu.
Terjadi pergumulan seru antara keduanya. Akhirnya,
kepala orang yang mengamuk itu belah dua seperti kayu
bakar dihantam kapak.

Penduduk negeri Bentan himpun-pepat menyaksi-
kan jasad si pengamuk yang tergeletak. Di tengah orang
yang himpun-pepat berkerumun juga ada Hang Jebat,

71

Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Mereka
heran, tapi juga percaya bahwa sahabat mereka Hang
Tuah-lah yang membelah kepala orang itu dengan
kapaknya. Hang Tuah lalu membawa empat sahabatnya
itu naik ke rumahnya. Dijamunya makan minum.

Di tengah para sahabat itu bersuka-ria makan
minum dengan lezatnya, terdengar suara ribut dari luar
mengabarkan bahwa ada lagi orang mengamuk di dalam
kampung Bendahara Paduka Raja. Kelima sahabat yang
tengah asyik makan itu, melenting turun ke tanah.
Ternyata, yang mengamuk kali ini berjumlah empat
orang, masing – masing mengacung – acungkan
kerisnya kepada orang kampung, bahkan kepada
rombongan Bendahara Paduka Raja yang tengah
menuju istananya. Dari tindak – tanduknya, keempat
pengamuk itu berhajat hendak membunuh Bendahara
Paduka Raja.

Lima sahabat itupun memengkis sembari menghu-
nuskan keris masing – masing, menghalangi si
pengamuk yang ingin menikam Bendahara Paduka
Raja. Keempat pengamuk itu marah tiada kepalang.
Akhirnya terjadilah perkelahian seru antara lima sahabat
dan empat pengamuk. Bendahara Paduka Raja terheran
– heran melihat lima sahabat yang masih muda belia
itu bersilat dengan campinnya, melompat, menikam dan
menangkis, menendang dan memukul dengan berani
dan penuh percaya diri. Setelah sekian lama berjibaku,
keempat pengamuk berada di tanah, terkapar tak

72

berdaya, lalu mati. Sedangkan lima sahabat berdiri
mengangkang dengan semangat bergelora. Bendahara
Paduka Raja dan orang kampung terpana.

Bendahara Paduka Raja memegang tangan Hang
Tuah dan membawa kelimanya ke istana. Hang
Mahmud, ayahanda Hang Tuah, juga diajak serta. Datuk
Bendahara sangat berterima kasih kepada lima sahabat
itu. Kepada Hang Mahmud, Datuk Bendahara Paduka
Raja bertanya, siapakah orang tua pendekar yang empat
lainnya? Setelah Hang Mahmud menjelaskan para orang
tua keempat teman Hang Tuah, Datuk Bendahara
Paduka Raja memerintahkan orang istana untuk
memanggil orang tua masing – masing pendekar muda
yang empat itu. Bendahara Paduka Raja pun menjamu
mereka di balai istana. Sebagaimana dikutip dari
Hikayat Hang Tuah, Bendahara Paduka Raja pun
berujar, “Wah, kusangka orang mana – mana gerangan
empunya anak ini, tidak kutahu anak Kak Dolah dan
Kak Mesamut, dan Hang Mansor dan Hang Shamsu
ada anak (juga rupanya). Jika aku tahu akan tuan – tuan
itu ada anak lelaki, selamanya sudah ku ambil (dan)
kujadikan biduanda (pelayan istana), karena tuan – tuan
ini pun berasal (usul) juga.”

Selanjutnya sahabat berlima serta orang tua masing
– masing dijamu makan oleh Bendahara Paduka Raja.
Istri Bendahara Paduka Raja pula menyuruh panggil
ibunda kelima pendekar muda itu. Maka datanglah
Dang Merdu (ibunda Hang Tuah), Dang Bawa (ibunda

73

Hang Jebat), Dang Sekanda (ibunda Hang Kesturi),
Dang Hebah (ibunda Hang Lekir), serta Dang Seri
(ibunda Hang Lekiu). Sebelum pulang, semuanya
dipersalin (diberi pakaian) yang pantas dan indah –
indah. Bendahara Paduka Raja kemudian menghadap
Raja melaporkan semua yang terjadi. Sedangkan Hang
Tuah dan sahabatnya sejak saat itu diangkat anak oleh
istri Bendahara Paduka Raja.

Tak lama kemudian, Hang Tuah dan para sahabat-
nya dipanggil oleh raja di negeri itu dan diangkat
sebagai pegawai istana. Di kalangan pegawai istana,
Hang Tuah dan Hang Jebat serta para sahabatnya sangat
disegani. Raja pun sangat dekat dan kasih kepada
mereka, terutama Hang Tuah yang dituakan dari mereka
berlima. Hang Tuah sangat dipercaya oleh raja,
sehingga muncul ungkapan, “Apa yang dikatakan Hang
Tuah itulah yang dikatakan raja.” Hang Tuah sangat
leluasa keluar masuk istana, sehingga baginya istana
itu seolah tak berpintu. Segala pekerjaan penting selalu
diamanahkan raja kepada Hang Tuah. Dalam musya-
warah di kalangan istana pun, apapun pembicaraan
belum dianggap putus bila Hang Tuah tiada ikut.

3.5 ANALISIS KEBERADAAN SUKU DI DAIK
LINGGA

1. AWAL PERADABAN SUKU BUGIS DI
TANAH DAIK
Sultan yang pindah ke Daik telah membawa

74

rakyatnya untuk mendiami daerah Daik dan daerah –
daerah lainnya di Pulau Lingga. Orang – orang Riau
yang turut dibawa ke Daik bukan saja orang Melayu,
tentunya ada suku lainnya, salah satu suku yang
berpengaruh di pemerintahan adalah suku Bugis. Sultan
telah membawa pindah suku peranakan Bugis dan orang
Bugis yang telah lama bermukim di Riau, sedangkan
sebagian orang Bugis yang berpengaruh di kerajaan
khususnya di bawah perintah Yang Dipertuan Muda
Raja Ali, dihalau secara paksa oleh VOC Belanda yang
mengakibatkan Raja Ali dan orang – orangnya pindah
ke Sukadana Kalimantan. Kemungkinan sebelumnya
orang Bugis sudah ada tinggal di Daik, dengan
perpindahan Sultan Mahmud Syah III mengakibatkan
bertambah ramainya daerah Lingga dengan Suku Bugis,
sebagai pusatnya berada di Daik, orang – orang Bugis
itu berkampung di sebuah tempat di tepi Sungai Daik,
kemudian kampung itu dinamakan Kampung Bugis.
Orang – orang Bugis juga menyebar di Lingga.

Orang – orang Bugis tambah berpengaruh setelah
kembalinya Yang Dipertuan Muda Raja Ali ke Riau
pada Tahun 1800. Sultan Mahmud Ri’ayat Syah III
memulihkan kedudukan Raja Ali sebagai Yang
Dipertuan Muda dan menerima kembali orang – orang
Bugis masuk ke Riau dan Lingga. Pada zaman Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah II, yang mengurusi orang
– orang Bugis tempatan dan pendatang adalah Datuk
Punggawa. Pejabat Bugis yang berpengaruh di Lingga

75

adalah Datuk Seluwatang Encek Ibrahim sebagai wakil
Raja Muda Jakfar pada zaman Sultan Abdurrahman
Syah I, keturunan Datok Seluwatang ini kemudian
secara turun temurun menjabat sebagai Laksmana.
Orang – orang Bugis di zaman kerajaan Lingga – Riau
telah diatur oleh Raja Muda tentang aturan Mas kawin.
Untuk orang Bugis 40 mas kawinnya $ 88 (delapan
puluh delapan ringgit) dan bagi Bugis rakyat biasa mas
kawinnya $ 66 (enam puluh enam ringgit), orang –
orang Bugis keturunan Laksamana dan Seluwatang
ditetapkan mas kawinnya $ 100 (seratus ringgit)
walaupun orang – orang Bugis mempunyai pengaruh
di pemerintahan, namun orang – orang Bugis di Daik
Lingga kemudian kehilangan identitas asli Bugis,karena
berada di daerah Melayu dan terjadi perkawinan dengan
orang – orang Melayu, keturunan Bugis lebih condong
menyerap Budaya Melayu.

Pada masa kini orang – orang keturunan Bugis di
Daik disebut suku Melayu, yang sangat mudah dikenali
sebagai keturunan Bugis adalah Orang Melayu yang
bergelar Raja mereka dapat ditemui di Provinsi
Kepulauan Riau. Mereka adalah keturunan dari Raja
Muda. Adat istiadat Bugis seakan lenyap bahkan
keturunan Bugis tidak mengetahui berasal dari suku
Bugis walaupun orang Bugis telah berkuasa lebih
kurang seratus sembilan puluh satu tahun, namun
keturunan mereka seakan telah menjelma menjadi orang
Melayu.

76

2. AWAL PERADABAN SUKU MELAYU LADI
DI DAIK
Orang melayu ladi di Desa Kelumu, salah satu suku

Melayu Daik, suku Melayu ini masih menggunakan mas
kawin yang ditetapkan kerajaan sebagai tanda bahwa
mereka adalah suku Melayu Ladi, mas kawin suku
Melayu Ladi tersebut ada dua jenis yakni $12 (dua belas
ringgit) jika pernikahan antar sesama suku, sekarang
diubah menjadi Rp 12.000,- sesuai nilai uang sekarang.
Jika laki – laki dari suku lain menikahi wanita Melayu
Ladi mas kawinnya $27 (dua puluh tujuh ringgit)
sekarang diubah Rp 27.000,-. Menurut Auzar salah satu
tokoh Melayu Ladi desa Kelumu bahwa orang Melayu
Ladi berasal dari Daik dan orang – orang kesayangan
Sultan, pada masa zaman kesultanan ada seorang dukun
bernama Pak Penuin di pemukiman orang Melayu Ladi
yang telah banyak berbuat kejahatan seperti menyihir
orang dan mencabuli anak kandung sendiri, kelakuan
dukun ini membuat resah sehingga seorang laki – laki
Melayu Ladi yang bernama Adam telah mengadakan
pembunuhan terhadap dukun itu. Lalu Adam melarikan
diri keluar dari Daik. Pihak kerajaan yang sudah
mempunyai aturan dan hukum melarang membunuh
sebarang penjahat tanpa terlebih dahulu diputuskan oleh
pengadilan kerajaan, sehingga pihak kerajaan ingin
menjatuhkan hukuman terhadap Adam namun Adam
sudah melarikan diri. Orang Melayu Ladi menghadap
Sultan dan jika Adam mau dihukum maka hukumlah

77

Melayu Ladi semua, maka Sultan memutuskan orang
Melayu Ladi dihukum diturunkan mas kawinnya dari
seratus ringgit menjadi dua belas ringgit dan dua puluh
tujuh ringgit. Namun pak Auzar tidak mengetahui di
zaman sultan Lingga yang mana kejadian ini terjadi.
Dalam buku “Karena Emas di Bunga Lautan”
sekumpulan esei – esei sejarah dari Hasan Junus,
cetakan kedua dari Unri Press, 2002, hal 303 dituliskan:

Haji Ibrahim Orang Kaya Muda dalam bukunya
“Cakap – cakap Rampai – Rampai bahasa Melayu
Johor” yang dicetak pada percetakan Gubernemen
di Bandar Betawi tahun 1868 lebih rinci meng-
gambarkan pembagian tugas orang pesukuan laut :
“Yang persukuan itu memang masing – masing
kerjanya. Adapun suku orang Rempang dengan suku
orang Ladi itu pendayung kenaikan Raja dan suku
orang Kupit dan Sengira itu perempuannya penjawat
dandan selampai, dan suku Kerayung itu tukang besi
serta suku Beting. Yang Suku orang Ladi itu apabila
Raja hendak membuat istana maka ialah mengum-
pulkan kayu – kayu istana, maka beramulah ia masuk
ke hutan”.

Tidak diketahui secara pasti apakah orang Melayu
Ladi adalah orang Pesukuan Laut atau ada dua suku
yang mempunyai nama yang sama ataupun orang
Melayu Ladi adalah orang Pesukuan Laut. Orang
Melayu Ladi masa ini hanya berkampung di Desa
Kelumu sedangkan keturunan lainnya sudah menyebar
dan sebagian tidak mengetahui lagi asal usulnya dari

78

Melayu Ladi. Belum dapat dipastikan karena keter-
batasan sumber sejarah, sejak kapan Suku Melayu Ladi
bermukim di Lingga dan dahulunya pernah menjadi
suku kesayangan Sultan dan suku Melayu golongan atas
dari rakyat jelata suku Melayu Ladi ini.

3. AWAL PERADABAN SUKU MELAYU
BANGKA DI DAIK
Masuknya orang Bangka ke Daik membuka

perkampungan untuk menetap dikirakan pada zaman
Sultan Mahmud Ri’ayat Syah, sebelum Sultan Mahmud
Syah berdamai dengan VOC Belanda. Armada angkatan
laut Sultan dipimpin Panglima Rama terus mengadakan
rompakan di perairan Lingga-Riau sampai ke Laut Jawa
dan Bangka. Orang – orang Bangka yang tertawan
dibawa masuk ke Daik. Orang – orang Bangka itu
kemudian betah tinggal di Daik, membuka kebun dan
dusun, menjadi rakyat Kerajaan. Orang – orang Bangka
di Pulau Bangka berdatangan ke Daik setelah
mengetahui sanak saudaranya menetap di Daik, sejak
itu ramailah orang Bangka berkampung di Daik.
Ibrahim ketua Sanggar Bangsawan dari Kampung
Budus mempunyai sebuah cerita tentang orang Bangka
Daik.

Dahulunya orang Bangka Daik tinggal di Sungai
Maruk, yang berada di sekitar daerah Tanjung Buton.
Sungai itu dahulunya bernama Sungai Muhammad
Arif berkenaan seorang Bangka yang menjadi juru

79

kerah dan ketua orang Bangka yang bermukim di
tepian sungai tersebut. Orang Bangka di daerah itu
bekerja berkebun sirih. Karena takut akan serangan
lanun, orang Bangka pindah ke tempat lain sedikit
masuk ke daratan. Orang Bangka ini membuka
kampung baru, kampung itu adalah Kampung
Merawang, Kampung Tengah dan Kampung Cenot.
Kampung Merawang dinamakan berkenan didiami
orang – orang Bangka yang berasal dari daerah
Merawang di Pulau Bangka.

Pada masa kini pemukiman orang Bangka masih
ada di Lingga, di desa Merawang terdapat di kampung
Merawang, di kampung Tengah dan kampung Cenut,
di Kelurahan Daik pemukiman orang Bangka di
kampung Sepincan. Kampung Mentok dahulunya juga
sebagai pemukiman orang Bangka, yang berasal dari
pulau Mentok Bangka.Walaupun orang Melayu Bangka
sudah lebih dari dua abad lebih menetap di Daik, namun
dari segi bahasa mereka masih dapat mempertahankan
bahasa aslinya antar sesama orang Bangka.

4. AWAL KEBERADAAN ORANG INDIA DI
DAIK LINGGA
Belum dapat diketahui secara pasti sejak kapan

orang – orang India mulai berhijrah ke Daik dan
membuka perkampungan Keling di Daik. Kedatangan
orang India dan bermukim di Daik kemungkinan besar
setelah Daik dijadikan Sultan Mahmud Ri’ayat Syah

80

sebagai pusat Kerajaan Lingga, Riau, Johor dan Pahang,
sebagai pusat pemerintahan Daik menjadi sebuah
bandar yang memberikan kesempatan bagi orang –
orang India untuk berniaga dan bekerja, orang India
disebut orang Keling di Daik. Orang Keling ini
mempunyai perkampungan di Daik dinamakan
Kampung Keling. (Kampung ini dikirakan terletak
antara Kampung Cina dan Kampung Bugis). Orang
Keling adalah bagian dari masyarakat Lingga. Tudong
Manto atau disebut juga tudong Melayah menurut
seorang sumber berasal dari kebudayaan orang India.
Menurut ceritanya orang – orang Melayu Daik belajar
dari orang India membuat Tudong Melayah, namun
belum diketahui sejak kapan orang Melayu mem-
pelajarinya, sebelum Zaman Sultan Mahmud Ri’ayat
Syah III ataukah sesudahnya, namun yang dapat
diketahui tudong Melayah adalah pakaian adat Melayu
Daik. Di Daik sendiri ada beberapa tempat yang
dinamai dengan nama keling, seperti surau Keling
(masa sekarang tidak ada lagi, letaknya di sekitar
Kampung Cina), Gertak Keling dan Kolam Keling.
Orang Keling kemungkinan besar sebagian besar
beragama Islam karena mereka mempunyai sebuah
surau yang dinamakan surau Keling.

Pada zaman Sultan Abdurrahman Muazzam Syah
(1885-1911), seorang India Islam bernama Abdur-
rahman bin Mahmud telah menjabat pangkat Letnan
Keling yang dilantik oleh Sultan Abdurrahman

81

Muazzam Syah. Letnan Keling Abdurrahman termasuk
pejabat kerajaan, ia termasuk ahli Al Mahkamah
Kerajaan di Lingga. Rumah Letnan Keling Abdur-
rahman masih ada di Kampung Cina, keturunan orang
Keling masih ada di Daik namun mereka telah menjadi
orang Melayu.

82

BAB IV
RINGKASAN PARA TOKOH
SEJARAH SEBUTAN DALAM

SEJARAH MELAYU

Berikut ini dirangkum para tokoh sebutan dalam Sejarah
Melayu :
1. Iskandar Zulkarnain

Ditengarai sebagai asal usul nenek moyang raja –
raja Melayu. Dalam banyak naskah, teks, dan kronik
Melayu, raja – raja Melayu berasal usul dari tokoh
ini. Tentang siapa sebenarnya Iskandar Zulkarnain
secara referensial sulit ditelusuri. Sulalatus Salatin
hanya menyebutkan raja dari Muqaduniah.
2. Raja Culan / Raja Suran
Disebutkan Sulalatus Salatin sebagai Zuriat
Iskandar Zulkarnain yang menurunkan para
putranya di Bukit Siguntang Mahameru. Para
putranya itu adalah Sang Sapurba, Nila Pahlawan,
dan Krisna Pandita.
3. Demang Lebar Daun
Penguasa terakhir Kerajaan Palembang yang
ditengarai menyerahkan jabatannya kepada Sang
Sapurba, salah seorang dari keturunan Iskandar
Zulkarnain yang turun di Bukit Siguntang Maha-
meru. Demang Lebar Daun turut mendampingi

83

Sang Sapurba ke Bentan, kemudian bersama Sang
Nila Utama ke Temasek. Beliau meninggal di
Temasek atau Singapura.
4. Wan Sendari
Putri Demang Lebar Daun yang menikah dengan
Sang Sapurba. Mereka memiliki putra, yaitu Sang
Maniaka dan Sang Nila Utama, dan putri yaitu Putri
Seri Dewi dan Putri Cendana Dewi. Zuriat atau
keturunan dari pasangan Sang Sapurba dan Wan
Sendari inilah kelak yang menjadi raja – raja
Melayu.
5. Wan Empuk dan Wan Malini
Dua perempuan peladang yang menemukan Sang
Sapurba, Nila Pahlawan dan Krisna Pandita di
ladangnya. Kelak Wan Empuk menikah dengan Nila
Pahlawan, sedangkan Wan Malini menikah dengan
Krisna Pandita. Anak keturunan dari kedua
pasangan ini kelak menjadi pelayan istana dengan
sebutan Awang untuk lelaki dan Dara untuk
perempuan. Sejak itulah dikenal istilah Awang dan
Dara sebagai pelayan dalam istana Melayu.
6. Sang Nila Utama / Seri Tri Buana
Adalah putra Sang Sapurba hasil pernikahannya
dengan Wan Sendari. Kelak Sang Nila Utama
menikah dengan Wan Seri Beni putri Kerajaan
Bentan. Kemudian menjadi raja di Bentan, lalu
mendirikan Kerajaan Melayu Singapura di Tema-
sek. Memerintah di Singapura dalam masa 48 tahun.

84

Meninggal dan dimakamkan di Singapura. Diteng-
garai sebagai leluhur raja – raja Melayu di kawasan
Tanah Semenanjung.
7. Sang Maniaka
Juga putra Sang Sapurba hasil pernikahannya
dengan Wan Sendari. Kelak menikah dengan putri
Kerajaan Tanjungpura.
8. Azhar Aya
Raja yang mendirikan Kerajaan Bentan yang
berpusat di Bukit Batu.
9. Raja Iskandar Syah
Penerus penguasa di Kerajaan Bentan mengganti-
kan ayahandanya AzharAya. Di masa pemerintahan
Iskandar Syah, Kerajaan Bentan menguasai
sepenuhnya kawasan yang sekarang dikenal sebagai
Kepulauan Riau dan pulau – pulau di sekitarnya.
10. Permaisuri Iskandar Syah
Penerus penguasa di Kerajaan Bentan menggan-
tikan suaminya Raja Iskandar Syah, yang kemudian
menyerahkan tahtanya kepada Sang Nila Utama
sang menantu, yang datang dari Palembang bersama
Sang Sapurba.
11. Wan Seri Beni
Putri penguasa Bentan Raja Iskandar Syah yang
menikah dengan Sang Nila Utama. Bersama Sang
Nila Utama ikut pindah ke Temasek atau Singapura.
Meninggal dan dimakamkan di Singapura, di
samping pusara Sang Nila Utama.

85

12. Arya Bupala dan Indra Bupala
Duo pembantu utama Permaisuri Iskandar Syah
menerajui Kerajaan Bentan. Kedua orang inilah
yang menjemput Sang Sapurba dan rombongan ke
Selat Sambu pada saat kedatangan penguasa
terakhir Kerajaan Palembang itu ke Kerajaan
Bentan.

13. Tun Telanai / Datuk Bendahara Bentan
Yang mengendalikan Kerajaan Bentan selepas
ditinggalkan Permaisuri Iskandar Syah dan Sang
Nila Utama. Ditengarai sebagai putra Demang
Lebar Daun.Ada juga versi yang mengatakan putra
dari Arya Bupala.

14. Sri Pikrama Wira
Raja Singapura yang menggantikan ayahandanya
Seri Tri Buana. Semasa pemerintahannya pernah
datang utusan dari Majapahit yang meminta
Singapura tunduk di bawah Majapahit. Tetapi
ditolak Sri Pikrama Wira. Semasa pemerintahannya
juga terjalin hubungan dengan kerajaan besar
seperti China dan India. Sri Pikrama Wira
memerintah selama 15 tahun.

15. Raja Kecil Muda / Tun Permatah Permuka Berjajar
Putra kedua Seri Tri Buana yang menjadi Bendahara
Kerajaan Melayu Singapura semasa pemerintahan
Sri Pikrama Wira. Datuk Bendahara Raja Kecil
Muda bergelar Tun Permatah Permuka Berjajar.
Dalam sistem pemerintahan di masa itu, orang

86

kedua adalah bendahara. Para menteri berada di
bawah perintah bendahara.
16. Tun Perpatih Permuka Sekalar
Adalah putra Demang Lebar Daun, menjabat
sebagai perdana menteri. Bersama Sri Pikrama Wira
dan Raja Kecil Muda membangun Singapura,
sehingga kerajaan ini kian makmur dan terkenal.
17. Sri Rana Wikrama
Putra mahkota yang menggantikan ayahandanya Sri
Pikrama Wira. Ketika naik tahta Raja Muda bergelar
Sri Rana Wikrama. Semasa pemerintahan Sri Rana
Wikrama inilah Kerajaan Melayu Singapura
memiliki hulubalang perkasa bernama Badang yang
berasal dari Sayung, sebuah kawasan dalam
pemerintahan Kerajaan Melayu Singapura. Sri Rana
Wikrama memerintah dengan adil dan bijaksana
selama 13 tahun.
18. Paduka Sri Maharaja
Menggantikan Sri Rana Wikrama adalah anaknya
bernama Damiya Raja yang bergelar Paduka Sri
Maharaja. Pada masa pemerintahan Paduka Sri
Maharaja inilah Kerajaan Melayu Singapura
ditimpa bencana dahsyat yang dalam Sulalat al-
Salatin dikisahkan sebagai Singapura Dilanggar
Todak. Beliau memerintahdalammasa 12 tahun6 bulan.
19. Tun Jana Khatib
Seorang ulama dari Aceh yang diperintahkan oleh
Paduka Sri Maharaja untuk dibunuh, karena sang

87

raja cemburu kepada ulama ini. Kala itu, Tun Jana
Khatib berjalan – jalan di pasar Singapura yang
ramai. Ketika ulama itu melintas di depan istana,
berpapasan pandanglah beliau dengan tuan
permaisuri. Di depan istana itu ada sebatang pohon
pinang, lalu dipandang oleh Tun Jana Khatib,
jadilah batang pinang itu dua batang. Paduka Sri
Maharaja yang melihat itu marah besar dan cemburu
tiada kepalang. Menurut persangkaannya ulama itu
telah memperlihatkan kehebatan ilmunya untuk
memikat hati permaisuri. Menurut Sulalatus
Salatin, setelah Tun Jana Khatib dibunuh, Kerajaan
Singapura kemudian ditimpa bala yang terkenal
dengan kisah “Singapura Dilanggar Todak.”
20. Kabil
Seorang anak bernama Kabil yang berasal dari
Bintan Penaungan. Ketika melihat Singapura
dilanggar todak dan banyak orang yang mati karena
diperintahkan raja menjadi pagar hidup di tepi
pantai, sang anak ini menyarankan agar pagar
manusia diganti dengan batang pohon pisang. Sejak
saran anak ini dilaksanakan, tiada lagi jatuh korban,
bahkan ikan todak menancap di batang pohon
pisang. Tetapi, karena cemburu kepada sang anak
yang pintar, Paduka Sri Maharaja menghukum sang
anak dengan dirantai dan dibuang ke laut.
21. Prameswara / Permaisura / Raja Iskandar Syah
Semangkatnya Paduka Sri Maharaja, beliau

88


Click to View FlipBook Version