LIMA ABAD LALU
ORANG BANGKA SUDAH DI LINGGA
Penulis:
Drs. Abdul Haji
Drs. H. Said Barakbah Ali, M.Pd.
DINAS KEBUDAYAAN KABUPATEN LINGGA
LIMA ABAD LALU
ORANG BANGKA SUDAH DI LINGGA
Penulis:
Drs. Abdul Haji
Drs. H. Said Barakbah Ali, M.Pd.
Penerbit:
Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga
xxvi + 94 halaman, 14 x 21 cm
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Isi di luar tanggung jawab percetakan
SAMBUTAN BUPATI LINGGA
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Alhamdulillah, bersyukur kepada Allah, selawat serta
salam kita persembahkan kepada Nabi Besar Muhammad
SAW, semoga sampai akhir zaman nanti kita menjadi
pengikutnya yang setia, Amin Ya Rabbal Alamain.
Saya menyambut gembira ada permintaan tim penulis
“Lima Abad Lalu, Orang Bangka Sudah di Lingga” untuk
memberikan sambutan.
Buku sejarah ini untuk melengkapi pembendaharaan
khazanah bahan-bahan kehidupan yang sudah ada,
sehingga kita dapat mewariskan nilai-nilai perjuangan
gerak langkah generasi muda dalam meneruskan cita-cita
selanjutnya.
Bersempena dengan ini, kami menyambut baik buah
pikir jajaran pemerintah dan tim penulis telah berupaya
untuk beraksi dalam penyusunan buku ini. Buku ini akan
menjadi bukti dan akan bermanfaat untuk mengkaji
iii
perjuangan rakyat Kabupaten Lingga dan Pemerintah
Bangka, semoga hubungan baik antara kedua pemerintah
ini bertambah erat. Disamping itu akan bermanfaat pula
untuk daerah-daerah lain sebagai sumber bahan
penyusunan buku-buku lainnya.
Semoga buku ini mendapat dukungan positif dari
masyarakat Kepulauan Riau umumnya, lebih khusus lagi
untuk masyarakat/pemerintah Pulau Bangka
Terimakasih kepada tim penulis.
Daik, 10 Desember 2018
Bupati Lingga,
H. Alias Wello, S.IP
iv
SAMBUTAN KETUA DPRD
KABUPATEN LINGGA
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa
buku sejarah “Lima Abad Lalu Orang Bangka Sudah di
Lingga” telah terbit. Buku ini menjadi cerminan bagi kita
dan generasi yang akan datang, juga mengatakan sejak
dulu telah ada hubungan timbal balik, kerjasama antara
kedua pemerintahan di bumi nusantara ini.
Dari nilai-nilai perjuangan dan kejuangan pahlawan-
pahlawan masa lalu harus menjadi contoh dan teladan
bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Mari kita teruskan perjuangan ini dan kita pertebalkan
masa persaudaraan, sehingga derap langkah dan gelora
hendaknya sesuai dengan situasi dan kondisi kemajuan
yang mengglobal. Ciptakan generasi muda produktif,
generasi muda yang bertanggungjawab, generasi muda
yang pancasila, generasi yang bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, generasi perjuangan bangsa.
v
Perkokoh rasa persatuan dan kesatuan dengan
mengamankan empat pilar kebangsaan yaitu tetap
kepada NKRI, bersatu dalam ke Bhineka Tunggal Ika,
mengamankan Pancasil, dan memegang teguh UUD
1945.
Daik, 10 Desember 2018
Ketua,
Drs. Riono
vi
SAMBUTAN SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN LINGGA
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Bersyukur kepada Allah SWT, selawat beriring salam
kita persembahan kepada Nabi Besar Muhammad SAW,
Allahummasalli ala Sayyidina Muhammad wa ala Ali
Sayyidina Muhammad.
Lingga memiliki peranan penting dalam perjalanan
sejarah Melayu. Banyak peninggalan sejarah yang dapat
dijumpai dan dilihat dibeberapa wilayah Kabupaten
Lingga yang dulu dikenal Kerajaan Kesultanan Lingga-
Riau-Johor- Pahang.
Peninggalan sejarah yang ada di Lingga merupakan
pesona bagi sebutan Bunda Tanah Melayu. Kota Pusaka
juga menjadi julukan untuk Lingga, karena di Lingga
penuh dengan pusaka alam, pusaka relegi, pusaka
budaya, pusaka peninggalan-peninggalan sejarah sudah
dipatri sejak dulu.
Satu di antara sekian banyak pusaka yang saya
vii
sebutkan di atas adalah adanya hubungan timbal balik
antara masyarakat Lingga dengan orang-orang Bangka.
Hubungan ini terjadi sejak lima abad lalu yang dituang-
kan dalam buku sejarah ini.
Hubungan sejarah ini semoga terbina sampai sekarang
dan untuk masa yang akan datang bertambah erat lagi.
Kepada tim penulis kami ucapkan terimakasih dan
semoga bermanfaat untuk generasi yang akan datang.
Daik, 10 Desember 2018
Sekretaris Daerah,
Drs. H.M. Juramadi Esram, SH.,MT.,MH.
viii
SAMBUTAN
KEPALA DINAS KEBUDAYAAN
KABUPATEN LINGGA
Bismillahirohmanirahim
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh
Tiada kata yang pantas kita agungkan nama Tuhan
Penguasa Alam, Allah SWT, rahmat dan karunianya kita
nikmati sampai sekarang. Kepada Nabi Besar Muham-
mad SAW kita sanjungkan, semoga kita mendapatkan
syafaat di hari kemudian nanti, amin.
Nama Lingga sudah dikenal sebelum Portugis meng-
injakkan kakinya di Melaka. Nama Lingga semakin
terkenal semenjak ibukota Kerajaan Kesultanan Melayu
Lingga-Riau-Johor-Pahang pindah ke Lingga.
Nilai-nilai perjuangan dan kejuangan raja-raja yang
memerintah di Kerajaan Lingga, mulai dari Sultan
Mahmud Riayat Syah sampai Sultan terakhir Sultan
Abdurahman Muazam Syah tetap dikenang dan menjadi
suri tauladan generasi dulu, sekarang, dan masa yang
ix
akan datang. Apatah lagi Sultan Mahmud Riayat Syah
satu-satunya pahlawan yang berasal dari Kesultanan
Lingga mendapat gelar Pahlawan Nasional Perang Grilya
Laut.
Sejak dulu, hubungan baik yang dijalin antara masya-
rakat Kerajaan Kesultanan Melayu Lingga-Riau-Johor-
Pahang dengan masyarakat Kepulauan Bangka harus
dibina terus, sehingga rasa persaudaraan tidak akan
terjerembab dengan isu-isu tidak menguntungkan antara
kedua belah pihak.
Kepada penulis, kami ucapkan terimakasih, selamat
karena sudah berkarya, semoga buku sejarah ini menjadi
bahan referensi untuk kita semua. Sabas.
Daik, 10 Desember 2018
Kepala,
Ir. Muhammad Ishak
x
PENGANTAR SEJARAHWAN DAN
KEBUDAYAAN BANGKA BELITUNG
Buku “Lima Abad Lalu, Orang Bangka Sudah di
Lingga” merupakan buku sejarah yang menjelaskan
diaspora orang Bangka di Lingga dan juga menjelaskan
tentang konstelasi politik dan ekonomi yang berkembang
di kawasan Selat Melaka dan Selat Karimata pada masa
hegemoni bangsa asing kulit putih mulai menancapkan
kuku kekuasaannya. Tarik menarik hubungan dan
pengaruh antar kekuasaan di wilayah yang dinamakan
kawasan pantai-pantai niaga yang favorit, antara
Kesultanan Palembang dengan Kerajaan Johor dan VOC
semakin meramaikan catatan sejarah kawasan ini.
Hubungan yang erat antara Bangka dan Lingga dalam
konteks politik, sosial dan ekonomi sudah terajut ketika
seorang depati dari tanah Bangka Depati Djeroek,
bernama Depati Karim dan Depati Anggoer ikut
membantu Panglima Raman dari Lingga berperang
melawan VOC dan Palembang. Depati Karim luka-luka
xi
dan gugur, puteranya yang masih kecil bernama Bahrin
kemudian dipelihara dan dididik Panglima Raman di
Lingga (Bakar, 1969:21). Epp (1900) sebagaimana dikutip
Heidues (2008:21) menyatakan: Bahrin dibesarkan
sebagai seorang pemuda oleh Panglima Raman, seorang
pemimpin orang Laut di Pulau Lingga. Untuk meredakan
ketegangan antara Lingga dan Palembang, pada tahun
1083, diangkatlah Bahrin putera Depati Karim sebagai
depati di Pulau Bangka untuk wilayah Djeroek. Bahrin
dikenal sebagai pemimpin Bangka yang dekat dengan
Lingga dan dekat juga dengan Palembang.
Panglima Raman dari Lingga yang datang ke Bangka,
melawan banyak orang Bangka ke Lingga. Kemudian or-
ang-orang Bangka banyak yang datang untuk menikmati
hidup di Lingga dan mereka mendirikan kebun-kebun
dan kampung-kampung dan tidak mau kembali lagi. Or-
ang Bangka yang datang secara sukarela ke Lingga adalah
keluarga Abang Tawi di Mentok, Kepindahanan mereka
ke Lingga dipimpin oleh Abang Abdoelraoef, putera
Abang Tawi. Orang Mentok yang pindah dibantu oleh
Panglima Raman dan kemudian ditempatkan Lingga di
Pulau Singkep. Orang-orang mentok keluarga Abang
Tawi, kemudian banyak membawa orang-orang dari
Sungailiat dan Marawang untuk menambang timah di
Singkep.
Beberapa dasawarsa kemudian baik antara Lingga
dengan Bangka tampak dalam upaya perlawanan
xii
bersama melawan penjajahan Belanada. Dalam sedikit
catatan pada laporan Belanda dikatakan, bahwa sekitar
tanggal 26 September 1850, didatangkan bantuan
pasukan dipimpin Kapten Buys dengan kekuatan dan
kapal perang bertenaga uap yaitu kapal uap Bromo dan
kapal uap Cipanas yang dilabuhkan di Teluk Kelabat
Bangka. Kapal perang uap tersebut dikirim untuk
mempermudahkan dan mempercepat transfortasi dan
logistik pasukan meliter Belanda ke ibukota keresidenan
Bangka di Kota Mentok serta dalam rangka memblokade
perairan pulau Bangka agar Depati Amir tidak dapat
menerima bantuan logistik dan persenjataan dari luar
pulau Bangka, terutama dari saudara-saudaranya yang
berada di Lingga. Sebelumnya, orang-orang Lingga
dengan perahu bercap dari Raja Lingga telah membantu
Amir dengan menyerang wilayah pesisir di Teluk Kelabat,
di Teluk Jebus, dan di Pantai Timur Laut perairan
Sungailiat. Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan
kapal uap Onrust dan Tjipanas bersama dua perahu
bersenjata untuk mengejar orang-orang Lingga tersebut.
Para penglima perang Amir pun mendapatkan
perlindungan dari saudaranya di Lingga, ketika mereka
dikejar dan dikepung di Bangka. Residen Riau mendapat
surat dari sekretaris pemerintah pada tanggal 24 Februari
1850, Nomor 487, yang memerintahkan Residen Riau
diizinkan menyeru kepada Sultan Lingga dan Raja Riau
untuk menangkap pemberontak Amir dari Bangka yang
xiii
berhasil melarikan diri ke Lingga.
Diaspora orang Bangka di Lingga dan orang Lingga di
Bangka atau saling kunjung antar keluarga di Lingga dan
di Bangka sangat tampak pada berkembangnya dialek
Rijau-Lingga dialection (dialek Riau Lingga) di Kere-
sidenan Bangka. Dalam Schets-Taalkaart van de Residen
Bangka, K.F. Holle, tahun 1889, dialek Rijau-Lingga atau
Rijau-Lingga dialection, penuturannya berada pada
onderdistricten Muntok di districten Muntok, onder-
districten Telang di districten Djeboes, onderdistricten
Pandji Sekak di districten Belinjoe, onderdistricten
Soengailijat di districten Soengailijat, onderdistricten
Merawang di districten Merawang dan di onderdistricten
Koba di districten Koba. Berkembangnya dialek Riau
Lingga di Bangka menunjukan besarnya instensitas
komunikasi masyarakat Bangka dengan masyarakat
Lingga.
Buku “Lima Abad Lalu, Orang Bangka Sudah di
Lingga” menjadi penting karena berisi catatan tentang
sejarah dan budaya antar dua wilayah administratif
pemerintahan yang berbeda. Disaat kondisi Indonesia
yang rawan disintegrasi saat ini upaya menyambungkan
jembatan budaya antar Bangka dan Lingga adalah contoh
menarik untuk membangun dan memupuk semangat
keindonesiaan. Bagi masyarakat di pulau Bangka akan
diperoleh data dan informasi sejarah tentang masyarakat
pulau Bangka yang berada di luar pulau Bangka.
xiv
Kebutuhan terhadap sebuah tulisan sejarah dan budaya
masyarakat pulau Bangka adalah sesuatu yang sangat
penting dan mendasar, menginat sejarah dan budaya
pulau Bangka selama ini belum terekam dengan baik
dalam bentuk tulisan sejarah sehingga cerita-cerita lisan
maupun sastra lisan dan interprestasi-interprestasi
terhadap sumber-sumber sejarah dan budaya tentang
pulau Bangka begitu mudah terlupakan. Mudah-
mudahan buku ini dapat menjadi sumber edukasi,
informasi, inspirasi dan rekreasi, terutama untuk
menumbuhkan semangat kesadaran sejarah dan kesa-
daran budaya serta kecintaan generasi muda pada bangsa
dan negara.
Sejarahwan dan Budayawan
Bangka Belitung
Dato’ Akhmad Elvian DPMP
xv
PETA KABUPATEN LINGGA
xvi
PETA PROVINSI KEPULAUAN RIAU
xvii
PETA PROVINSI BANGKA BELITUNG
xviii
PENGANTAR TIM PENULIS
Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Semoga pancaran kebenaran ilmu pengetahuan,
keimanan, dan kebaikan budi pekerti senantiasa
dianugrahkan-Nya kapada kita sebagai pedoman hidup
di dunia ini dan menjadi bekal abadi diakhirat nantinya.
Selawat dan salam kami tujukan kepada Nabi Mu-
hammad SAW, pada keluarga Baginda, sahabat-sahabat
Baginda, serta pengikut-pengikut Baginda sampai ke
akhir zaman.
Buku ini membahas tentang hijarahnya orang-orang
Bangka dari Pulau Bangka ke Lingga. Pentingnya masalah
ini dibahas, kerena keberadaan mereka cukup dominan
dan cukup memberi warna dalam kehidupan masyarakat
Kabupaten Lingga, baik dibidang sosial budaya,
ekonomi, maupun politik.
Orang Bangka pertama kali ke Lingga pada abat ke-15
(1480-1490) yakni 300 tahun atau tiga abad sebelum
Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat
kerajaan di Daik Lingga dari Riau. Sultan Mahmud
pindah ke Daik Lingga pada abat ke-18 (1787-1812), jadi
sampai sekarang 2018, orang Bangka di Lingga sudah
mencapai kurang lebih 500 tahun, atau lima (5) abad.
Orang-orang Bangka adalah orang yang pertama kali
xix
diam atau membuat perkampungan di Lingga, bersama
dengan keluarga Megat Mata Kuning dari Jambi, dan
orang-orang Mantang atau Baroq. Mereka inilah
diperkirakan suku asli Lingga, yang pertama.
Tiga suku ini dapat hidup dengan damai di Lingga,
mereka beranak pinak, bahkan melakukan perkawinan
silang. Ini dapat dilihat antara keturunan Megat di Pulau
Mepar, keturunan Baroq di Tanjung Buton, dan orang-
orang Bangka Merawang sampai hari ini sudah ada
hubungan darah atau saudara, karena melakukan
perkawinan silang.
Sejak pertama kali ketiga suku ini sampai di Lingga
abad ke-15 lalu, ketiga suku ini sudah beragama Islam.
Megat Mata Kuning sudah Islam sejak dari Jambi, orang
Bangka sudah Islam sejak dari Bangka, sedangkan orang
Baroq di Tanjung Buton, diperkirakan diislamkan Megat
Mata Kuning setelah berada di Lingga atau di Tanjung
Buton. Karena Megat Mata Kuning dan keturunannya
manjadi pemimpin mereka selama berada di Lingga
sampai zaman kerajaan. Sampai haripun keturunan
Megat ini disehgani masyarakat.
Begitu zaman kerajaan yang ditandai dengan pin-
dahnya Sultan Mahmud Riayat Syah ke Daik Lingga dari
Riau tahun 1787. Daik Liggga dijadikan pusat kerajaan,
keturunan Megat Mata Kuning, Dato’ Djamaluddin
diangkat Sultan Menjadi Temenggung berkedudukan di
Pulau Mepar. Selain diangkat sebagai Temenggung,
xx
Sultan juga mengangkat keturunan Megat Mata Kuning
sebagai Datok Kaya, seperti Dato’ Kaye Montel, dan
seterusnya.
Pada masa Kepemimpnan Sultan Mahmud Riayat
Syah, di Daik Lingga 1787-8012, orang-orang Bangka
semakin banyak hijrah ke Lingga. Mereka datang dengan
cara mengikuti seorang Panglima Prajurid Kerajaan
Lingga Riau, Panglima Raman sewaktu pulang ke Lingga
dari Bangka. Di Bangka, Panglima Raman, merampok
timah. Berkali-kali Raman ini Merampok timah di
Bangka dan srtiap pulang ke Lingga mambawa orang
Bangka ke Lingga.
Kata merampok atau merompak timah di Bangka ini,
kata yang terdapat dalam teks sejarah yang ditulis dalam
dekumen milik Belanda. Namun pendapat dan sebagian
teks sejarah di Pulau Bangka, Raman menyerang VOC
atau Belanda dengan tujuan melumpuhkan kekuatan
Belanda sekaligus melumpuhkan kekuatan Sultan
Palembng. Karena dengan kekuatan ekonomi dari
konsesi penambangan timah dari Sutan Pelembang inilah
Belanda terus menerus ingin menyerang Kesultan Lingga
Riau.
Karena tujuan untuk melumpuhkan kekuatan eko-
nomi Belanda inilah Panglima Raman mendapat simpati
dan bantuan dari Depati Djeruk di Bangka, yang bernama
Depati Karim. Dalam suatu pertempuran melawan
Belanda, Depati Karim mendapat luka parah dan dibawa
xxi
Raman pulang ke Lingga, bersama anaknya Bahrin.
Sampai di Lingga Karim meninggal, Bahrin anak, Karim
dijadikan Panglima Raman sebagai anak angkat dan
dibesarkan di Lingga. Setelah dewasa baru pulang ke
Bangka. Sampai di Bangka, Bahrin diangkat Sultan
Palembang sebagai Depati Djeruk. Depati Bahrin
mempunyai anak bernama Hamzah dan Amir yang
keduanya kelak juga menjadi Depati di Djeruk. Depati
Amir kini sudah mendapat gelar Pahlawan Nasional dari
Pemerinhan RI
Rombongan lain orang Bangka ke Lingga, keluarga
Abang Tawi. Keluarga Abang Tawi ke Lingga tahun 1892,
karena marah dengan Sultan Palembang yang mebunuh
kelurga Abang Tawi dengan tuduhan ingin membelot dan
menyerang Palembang.
Kini, karena sudah terlalu lama orang Bangka di
Lingga ada yang sudah lima abad dan ada yang dua abad,
mereka sudah menyebar kebeberapa tempat seperi di
Singlep, Senayang, dan Bintan. Ditempat yang baru
biasanya mereka tidak lagi menggunakan bahasa ibu,
yakni bahasa Melayu dialek Bangka.
Bahasa asli Melayu Bangka yang masih digunakan di
Lingga antar lain di Kampung Tengah, Merawang, Cenut,
Mentuda. Di Singkep mereka yang tinggal di Telek, Bukit
Abun, yang masih menggunakan bahasa Bangka.
Kemudian sebagian kecil di Pulau Mensanak, Belakang
Hutan, dan Limas di Pulau Sebangka.
xxii
Kaper sampul depan buku ini memuat Kantor Bupati
Lingga di Daik dengan latar belakang Gunung Daik
Bercabang Tiga. Puncak tertinggi Gunung Daik kurang
lebih 1060 meter diatas permukaan laut. Kemudian ada
gambar tower marcu suar di Pantai Kelian (asal katanya
keliat –bahasa Bangka. Kalau bahasa Melayu nampak
atau kelihatan) di Pulau Bangka, Tower ini dibangun
Inggris abat ke-18 dengan tingga lebih 80 meter.
Demikian sekilas isi buku itu. Buku ini diselesaikan
tidak terlepas dari dorongan Sekretaris Daerah Kabu-
paten Lingga, Drs Muhammad Juramadi Esram, SH, MT,
MH, Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga, Ir
Muhamaad Ishak MM. Kemudian Bapak Nadar Ali, SAg,
dan Bapak Agus Suwandi. Kemudian nara sumber,
informan, serta penghubung selama kami berada di
Bangka untuk melengkapi data menyelesaikan buku ini,
mereka adalah; Drs Akhmad Elvian (sejarawan), Andi AS
(seniman), Mahmudin (seniman), Said Murad Ali dan
keluarga, Zakaria Bin Mahdan, Muhammad Nur, kepada
mereka penulis ucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya mudah-mudahan menjadi amal zariah bagi
mereka.
Kiranya sekian yang disampaikan kepada para
pembaca, mudah-mudahan buku ini bermanpaat, bagi
semua golongan, baik masyakat umum, pelajar, ma-
hasiswa, guru, dosen, sejarawan, sosiolog, antropolog,
maupun guru-guru agama Islam. Karena untuk melihat
xxiii
eksistensi hijrahnya orang Bangka ke Lingga penulis
melihatnya dari lintas disiplin ilmu. Sekian, dan terima
kasih.
Daik, Desember 2018
Tim Penulis
Drs Abdul Haji
Drs H Said Barakbah Ali MPd
xiv
DAFTAR ISI
Sambutan
- Bupati Lingga .......................................................... iii
- Ketua DPRD Kabupaten Lingga ............................ v
- Sekretaris Daerah Kabupaten Lingga ................... vii
- Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga ..... ix
- Pengantar Sejarahwan dan Kebudayaan Bangka xi
- Pengantar Tim Penulis ........................................... xix
BAB I PENDAHULUAN ........................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................... 1
4
1.2 Permasalahan ................................ 5
1.3 Tujuan Penulisan ..........................
1.4 Sekilas Kerajaan Kesultanan 5
Melayu Linga-Riau ........................
BAB II Eksistensi Orang Bangka di Lingga ............. 17
2.1. Sejaran Orang Bangka di Lingga ......... 17
2.2. Perkampungan Orang Bangka
di Lingga ................................................ 33
2.3. Perbedaan Orang Bangka Merawang
dengan Mentok ..................................... 37
2.4. Hijrah Karena Tidak Aman
di Bangka............................................... 41
2.5. Di Lingga Mendapat Pekerjaan
xxv
Yang Layak ............................................ 47
2.6. Kemakmuran Orang Bangka
di Lingga ................................................ 54
2.7. Seni Budaya Orang Bangka di Lingga 57
2.8. Persamaan Budaya Orang Bangka ...... 61
2.9. Orang Bangka Sudah Islam ................. 62
2.10. Hubungan Lingga Dengan Bangka ..... 66
2.11. Hubungan Orang Bangka Dengan
Kerajaan ................................................ 69
2.12. Bahasa Orang Bangka Merawang
Lingga .................................................... 74
BAB III Penutup ....................................................... 79
Lampiran ..................................................................... 83
xxvi
BAB. I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabupaten Lingga (selanjutnya hanya disebut Lingga)
yang memiliki sekitar 600 buah pulau besar dan kecil
penduduknya cukup banyak beretnis Melayu Bangka.
Konsentrasi penduduk Lingga asal Pulau Bangka ini
pertama kalinya terbesar di Pulau Lingga, kemudian
ekspansi ke Pulau Singkep, dan beberapa pulau di
Kecamatan Senayang.
Meski tidak ada data statistik tentang orang Bangka
di Lingga, (karena orang Bangka hanya disebut suku
Melayu dan beragama Islam), namun kalau dilihat dari
perkampungan, kebun, dusun yang dimiliki mereka
cukup banyak dan luas mengalahkan etnis-etnis lainnya.
Sebagai gambaran, perkampungan orang Bangka beserta
dusunnya, memanjang di sepanjang sungai Tande mulai
dari lubuk Suluk hingga mencapai air terjun sungai
Tande. Dari tebing (pinggir) sungai tande diseberang
Istana Damnah milik Sultan Mahmud hingga ke Desa
Kelumu, mulai dari garis pantai hingga ke kaki bukit
terdapat kebun atau dusun milik orang Bangka sejak
dahulu, meskipun saat ini sudah banyak bepindah tangan
karena dijual.
1
Kemudian mulai dari tebing Sungai Daik, khususnya
dari Kampung Sepincan hingga ke desa Resun, di kiri
kanan jalan kebun dan dusun milik orang Bangka. Kebun
atau dusun orang Bangka di Lingga memiliki tanaman
khas, yakni karet (getah para dan getah merah) kemudian
durian dengan tanaman pengikutinya seperti cempedak,
manggis, langsat, duku, rambai, rambutan, salak, tampoi.
Kemudian ada tanaman sahang dan sirih. Untuk meng-
angkut hasil buah-buahan orang Bangka menggunakan
suyak (ambung).
Selain orang Bangka di Lingga yang menggunakan
suyak adalah keturunan Megat dari Pulau Mepar, yang
digunakan kaum perempuan untuk berjualan ikan
tamban salai. Dari Mepar menggunakkan kolek (sejenis
sampan berukuran kecil) menyeberang ke Tanjung
Buton. Dari Tanjung Buton ke Daik berjalan kaki, setelah
habis ikan jualan, mereka pulang, dan besoknya pergi
jualan lagi dengan berjalan kaki. Begitulah setiap hari,
keadaan sebelum tahun 2000.
Di Pulau Singkep, perkampungan orang Bangka dari
Pulau Lingga di Sekop Laut, Sekop Darat, Telek, Bukit
Abun. Kemudian di pesisir Singkep, desa Sungai Buluh,
Desa Kote, dan Berindat.
Kemudian, dari Pulau Lingga menyebar di kawasan
Kecamatan Senayang, seperti di Belakang Hutan, Limas,
Mensanak, Secawar Tanjung Kelit, dan Pena’ah. Melihat
banyaknya orang Bangka di Lingga ini timbul pertanyaan,
2
sejak kapan mereka hijrah dari Pulau Bangka ke Lingga.
Kemudian mengapa mereka hijrah. Bagaimana kehi-
dupan mereka setelah menetap di Lingga, baik dari segi
ekonomi, pendidikan, dan budaya.
Hijrah dari satu tempat ketempat lain, sudah menjadi
hal biasa, termasuk di lakukan Nabi Muhammad SAW,
yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan alasan
merasa tidak nyaman di Mekkah, dan ingin mengem-
bangkan dakwah Islam di Madinah.
Hal sama dilakukan Sultan Mahmud Riayat Syah, yang
kekuasaannya mencakup Riau, Lingga, Johor, Tumasik
(Singapura), Terengganu, yang hijrah dari Riau ke Daik
Lingga pada tahun 1787. Alasan hijrahnya Sultan
Mahmud, karena merasa tidak aman di Riau (sekarang
Sungai Carang), dan ingin membangun kekuatan baru
di Daik Lingga.
‘’Tiadalah saya sekalian terhemat duduk di dalam
negri Riau. Sebab Belada itu tentu datang semula
ia melanggar negeri ini, padahal kekuatan di dalam
negeri sudah tidak ada lagi, jikalau begitu baik saya
pindah ke Lingga,’’ kata Sultan Mahmud dihadapan
para pembesar kerajaan. Para pembesar kerajaan
pun setuju ajakan Sultan itu. ‘’Mana-mana titah
sahajalah, adanya,’’ kata para pembesar kerajaan,
menjawab usulan Sultan. (Tuhfat al-Nafis; Raja Ali
Haji Riau;hal 221)
3
Zaman Kemerdekaan, era kepemimpinan Presiden
Soeharto, program memindahkan orang-orang dari
berpenduduk padat di Pulau Jawa, ke Sumatra, Ka-
limantan, dan pulau-pulau lainnya dilakukan. Mulai
tahun 1969 dalam REPELTA (Rencana Pembangunan
Lima Tahun) dalam APBN (Anggaran Pembangunan
Belanja Negara) pemerintah memindahkan orang-orang
Jawa dengan nama proyek transimigrasi keluar Jawa.
Program transimigrasi di zaman Soeharto ini juga
sampai di Lingga dengan mengambil lokasi mulai dari
Desa Musai hingga ke Desa Sungai Pinang. Hasilnya
banyaklah orang-orang Jawa berdiam, dan menjadi
penduduk tetap Lingga sekarang ini.
Kembali ke permasalahan awal, tulisan atau peneliian
ini, khusus untuk mencari tahu tentang hijrahnya orang-
orang Bangka dari Pulau Bangka ke Lingga. Mudah-
mudahan ada manfaat bagi pemerintah, orang-orang
Bangka, maupun membaca pada umumnya.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang dan kerangka yang
dibangun dalam paparan diatas, dapat diungkapkan
rumusan masalah sebagai berikut;
Apakah faktor keamanan dan ekonomi, mem-
pengaruhi orang-orang dari Pulau Bangka hijrah ke
Lingga. Kemudian setelah berada di Lingga apakah
orang-orang Bangka membangun kerkampungan,
4
membuat kebun dan dusun, serta memiliki kebudayaan.
1.3. Tujuan Penulisan
Ada beberapa tujuan penulisan tentang eksistensi
orang-orang dari Pulau Bangka ke Lingga, diantaranya.
1. Menambah pengetahan masyarakat tentang asal usul
penduduk yang ada di Kabupaten Lingga saat ini, dan
diharapkan dapat memupuk rasa persaudaraan.
2. Memberi masukan kepada Pemerintah Kabupaten
Lingga Provinsi Kepulauan Riau dan Pemerintah
Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung dalam rangka meningkatkan kerjasama
diberbagai bidang.
1.4. Metodologi Penelitian
Penelitian ini mencari tahu kapan orang-orang Bangka
hijrah ke Lingga, mengapa mereka berhijrah, dan bagai-
mana keadaan setelah mereka berada di Lingga.
Penelitian ini sepenuhnya menggunakan dua tahap,
tahap pertama menganalisis dan sintesis data. Tahap ini
pengumpulan sumber data yang relevan.
Sumber data yang dimaksud, berupa buku, peta, kisah,
termasuk sejarah lisan melalui wawancara dari tokoh-
tokoh yang kompeten. Tokoh yang kompeten dimaksud,
adalah orang-orang yang memiliki warisan sejarah lisan
dari turun temurun sebagai memori kolektif tentang kisah
atau sejarah orang-orang Bangka, baik mereka yang ada
5
di Pulau Bangka maupun yang ada di Lingga, dalam
kurun waktu dua bulan, yakni pada bulan Oktober dan
November 2018.
Selain melakukan wawancara, juga dilakukan peng-
amatan langsung (data impirik) ke setiap objek sejarah
dan budaya yang ada kaitannya dengan kisah hijrahnya
orang-orang Bangka ke Lingga. Pengamatan itu dilaku-
kan di dua tempat, di Pulau Bangka dan di Lingga sendiri.
Selanjutnya dilakukan kritik internal dan ekternal untuk
mendapatkan data yang akurat dan relevan. Setelah
melalui tahapan-tahapan di atas, baru dilakukan sintesis
data yang meliputi interpretasi dan penyusunan kisah
sejarah hijrahnya orang-orang Bangka ke Lingga. Selesai
tahapan ini baru dilakukan penulisan sejarahnya
huijrahnya orang-orang Bangka ke Lingga, yang disajikan
dalam bab-bab (bagian) seterusnya.
1.5. Sekilas Kerajaan Kesultanan Melayu Lingga-Riau
Kerajaan Kesultanan Melayu Lingga-Riau berdiri sejak
tahun 1787 M sampai 1900 M dengan pusat kerajaan di
Daik Lingga. Kerajaan ini bermula dari Kesultanan Riau-
Johor, Pahang, Lingga yang semula perusat di Ulu Riau
Tanjungpinang, oleh Sultan Mahmud Riayat Syah pusat
kerajaan ini dipindahkan ke Daik Lingga dari Ulu Riau,
untuk menghindari serangan dari Belanda yang ketika
itu bermarkas di Melaka.
Kemudian maka meshurat-lah baginda dengan
6
Raja Indra Bungsu dan Dato’ Bendahara sekalian. Maka
titah baginda. ‘’Tiadalah saya sekalian terhemat duduk
didalam Negeri Riau. Sebab Belanda itu tentu datang
semula ia melanggar negeri ini, padahal di dalam negeri
kekuatan-nya sudah tiada lagi, jikalau begitu baik saya
pindah ke Lingga,’’. Maka sembah segala orang-orang
besarnya. ‘’Mana2 titah sahaja-lah , ada nya. (Tuhfat al
Nafis, Al Marhum Raja Ali Haji Riau, hal 221).
Kuatir Belanda akan membalas kekalahaanya Sultan
Mahmud juga bermusyawarah untuk mencari daerah
yang aman bagi para pembesar istana, seperti Bendahara,
Dato’ Temenggung, Raja Indera Bungsu, Raja Ali, Raja
Jakfar, Raja Sulaiman, Raja Ibrahim, Raja Idris, Raja
Tuha, hadir dalam meshuarat. ‘’Tiada terhemat duduk
di dalam negeri Riau, sebeb Holand-Holand itu tentu
datang semule, La pasti menggar negeri Riau. Lebih patut
berlayar di lautan dari pada bertahta di singasan kerajaan
yang ada di campur tangan Holand,’’ (Tuhfat Al-Nafis ,
Al-Marhum Raja Ali Haji Riau)
Maka Sultan bersama pembesar Kerajaan disertai
pengawal meninggalkan Riau (Bintan) menuju Daik
Lingga. Angkatan pengawal yang ikut sebanyak 200 buah
perahu.
Begitu pusat kesultanan pindah ke Daik Lingga, maka
nama Kerajaan berubah menjadi Kesultanan Lingga,
Riau, Johor, Pahang. Meski namanya berubah, namun
wilayah kekuasaannya tetap seperti semula. Wilayah
7
kekuasaan kerajaan ini meliputi Laut Cina Selatan mulai
dari Natuna, Anambas, Batam, Bintan, Karimun, Kundur,
Senayang, Lingga, Singkep, dan pulau-pulau lainnya
disekitar Selatan Selat Singapura. Paling ujung di Utara
adalah Pulau Laut di Natuna dan paling Selatan adalah
Pulu Berhala di Singgkep, serta Pekajang atau Pulau
Tujuh di Lingga, berbatasan dengan Bangka.
Di Daik Lingga Sultan Mahmud menata peradaban
kerajaan dengan baik. Di bidang ekonomi, Sultan
Mahmud membuka tambag Timah di Pulau Singkep.
‘’Maka dengan takdir Allah taala maka terbukalah
tanah Singkep, maka bagindapun menyuruhlah orang-
orang Melayu dan peranakan Bugis mengerjakan
timah-timah disitu terta masing-masing punya bagian.
Maka datanglah kapal-kapal Inggeris ke situ dan
meninggalkan beberapa wang cengkeraman timah-
timah pulang pergi. Maka dapatlah sedikit-sedikit rezeki
dan kedupan orang-orangnya . Dan perahu-perahu
dari timurpun datanglah membawa beras ke Lingga
dan wangkang-wangkang Cina pun datang juga. Maka
di dalam hal itu perampok-perampok pun banyak juga
karena baginda belum berdamai dengan kompeni
Holand. Maka kompeni Inggeris pun selalu membawa
ubat bedil dan peluru dan meriam dan senapan berpalu
dengan timah-timah dan lainnya. Maka besarlah
perampok seketika itu. Adalah kapalnya Panglima
Raman namanya hingga merampoklah ia hingga
8
ketanah Bangka lalu ke Jawa. Maka banyaklah orang-
orang Bangka dan Jawa ditawannya dan dibawanya
ke Lingga dijadikannya isi negeri Lingga. Lama-lama
sukalah orang-orang Bangka itu tinggal di Lingga
memperbuat kebun dan dusun tiadalah ia mau balik lagi
ke Bangka,’’.
Kedudukan Sultan Mahmud di Daik Lingga memang
cukup kuat, selain dia memiliki Benteng alam dan
Benteng buatan yang handal, Sultan juga memiliki
pasukan pajak laut yang tangguh. Salah seorang Panglima
Pajak laut yang terkenal itu adalah Panglima Raman atau
Rahman. Panglima Raman pernah menyerang Bangka
dengan tujuan menaklukan Sultan Palembang yang
bersekutu dengan Belanda dalam pengelola timah disana.
Memang ada beberapa sebab penyerangan Bangka oleh
Sultan Mahmud melalui Panglima Raman ini. Pertama
untuk melemahkan kedudukan Sultan Palembang dan
Belanda. Kemudian tujuan ekonomi terutama tentang
persaingan perdagangan timah. Alasan lain atas per-
mintaan keluarga Abang Tawi yang dihukum mati oleh
Sultan Palembang, juga menjadi sebab, Kesultan Lingga
menyerang Bangka ini.
Sebelum dihukum mati Abang Tawi dipitnah mem-
bangun benteng untuk menyerang Palembang. Abang
Tawi juga pernah ke Terengganu dan menghadap Sultan
Lingga. Ini dijadikan alasan SultanPalembang meng-
atakan Abang Tawi ingin membelot.
9
Sultan Mahmud Riayat Syah memerintah di Daik
Lingga dari tahun 1787 hingga 1832. Kemudian dilan-
jutkan Sultan Muhammad Muazzam Syah (1832-1842),
Sultan Mahmud Muzaffar Syah (1842-1858), Sultan
Sulaiman Badrul Alam Syah (1858-1883), Sultan
Abdurrahman Muazam Syah (1885-1913).
Pada waktu Sultan Mahmud memindahkan pusat
kerajaan ini, di Lingga sudah ada penduduk dari atau
suku bangsa dari keturunan Megat Mata Merah dari
Tanjung Jabung Jambi. Selain itu ada Suku Bangka,
Suku Mantang, Suak, Baroq, Tambus, Nyenyah.
Untuk menata kehidupan dan penghidupan di negara
manapun di dunia ini faktor keamanan menunjang
peranan penting. Apabila negara aman, maka semua
sektor akan berjalan lancar.
Di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden BJ
Babibie adanya desakan untuk diadakan segera Sidang
Istimewa (SI) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Penyelenggaraan SI MPR diwarnai bermacam-macam
sikap, ada sikap yang tidak setuju dan menentang dan
pihak lain setuju atau mendukungnya.
Pada akhirnya perjuangan untuk melaksanakan sidang
istimewa MPR membuahkan hasil. Rasa aman dalam
sidang dan keputusan penting untuk melanjutkan
reformasi berjalan lancar. Kesemuanya ini adalah
perjuangan aparat keamanan yang bertugas pada hari itu.
‘’Untuk mendapat kekuasaan dengan mengor-
10
bankan rakyat adalah pikira yang tidak perlu saya
pertimbangkan lagi sebab hanya akan memper-
panjang ketidakpastian nasip negeri ini. Lagipula
bertentangan dengan hatinurani saya,’’ (Bersaksi di
Tengah Badai, Wiranto, Jenderal Purnawirawan,
Aidul Fitriciada Azhari, hal; 142)
Penulis menghubungkan dan membandingkan situasi
keamanan yang dialami Kerajaan Kesultanan Melaku
Lingga-Riau, dibawah Sultan Mahmud Riayat Syah
dengan keadaan Indonesia pada masa Presiden BJ
Habibie, yakni keamanaannya harus terjaga.
Sultan Mahmud Riayat Syah (1787-1812), bukanlah
seorang Raja yang pertama memerintah di Lingga.
Menurut (Rida K Liamsi Dkk, dalam Sejarah Pem-
bentukan Kabupaten Lingga, Dinas Kebudayaan
Kabupaten Lingga, 2018, hal 14) Raja Pertama di Lingga
bernama Ma‘Nyah raja orang suku laut atau Mantang,
sebelum tahun 1400 M. Tahun 1400 M kekuasaan
Ma’yah, direbut Megat Mata Merah dari Jambi, pusat
kerajaan Mata Merah di Lingga, pertama di Limbung,
kemudian berpindah pindah, hingga sampai di Tembuk-
Jelutung Desa Mentuda. Tidak ada catatan sejarah
sampai tahun berapa Megat Mata Merah menjadi Raja
di Lingga.
Sultan Melaka, Mansyur Syah (1459-1477) Sultan
Melaka ke-6, sewaktu melakukan kunjungan ke Kerajaan
11
Maja Pahit di Jawa, dia singgah di Lingga untuk
membawa Raja Lingga, namun tidak disebutkan siapa
nama raja itu. Selain Raja Lingga dalam rombongan itu
juga ada Raja dari Indragiri bernama Sultan Jamaluddin
Inayatsyah (1400-1473), Raja Jambi, dan Raja Pa-
lembang. Waktu itu Majapahit dipimpin Ratu Sahitna.
Pada tahun 1508 terdengar seorang Raja Lingga
bernama Maharaja Isap. Mahara Isap berasal dari
Kerajaan Keritang (Inderagiri) karena kalah perang
melawan pewaris sah tahta kerajaan, yaitu Nara Singa II
yang baru datang dari Melaka. Di Lingga Maharaja Isap
diterima dengan baik oleh Raja Lingga bahkan dia
dinikahkan dengan anak Raja Lingga.
Maharaja Isap tidak lama menjadi Raja di Lingga,
Karena Nara Singa II terus menerus menyerang Lingga,
sehingga Sultan Malaka Mahmudsyah I ketika itu berada
di Bintan, turun tangan mendamaikan. Usaha damai itu
gagal, karena Sultan Mahmudsyah lebih menyukai Nara
Singga II dan dinikahkan dengan anaknya serta diangkat
menjadi Sultan di Inderagiri. Sedangkan Maharaja Isap
tetap dijadikan Laksamana, tapi tidak diakui sebagai Raja
Lingga. Maharaja Isap kecewa dan membelot membantu
Portugis menyerang Inderagiri.
Sultan Mahmudsyah murka, dan mengirim pasukan
menyerang Raja Isap ke Lingga, namun sampai di Lingga
Kapal Perang Portugis sudah ada di Lingga, pasukan
Sultan Mahmudsyah kalah. Untuk membalas kekalahan
12
Sultan Mahmud ini, Nara Singa II mengirim pasukan ke
perairan Lingga menyerang armada Portugis, dan
berhasil dikalahkan. Jenderal Portugis bernam Padri
Marlos, ditawan Nara Singa II. Raja Isap yang berada di
Armada Portugis lainnya ikut mendukur ke Malaka, dan
tidak diketahui lagi nasipnya. Sementara Sultan Mah-
mudsyah mundur ke Kuala Kampar, daratan Sumatra.
Sebelum mundur ke Kuala Kampar Mahmudsyah I,
sudah menunjuk Maharaja Indera sebagai Temenggung
Bintan. Dia menggantikan Temenggung Seri Undana
yang gugur dalam perang melawan Portugis. Maharaja
Indera adalah bangsawan berasal dari Aceh yang menikah
dengan Tun Jamaliah, cucu Bendahara Malaka yang
bernama Tepok. Perkawinan Maharaja Indera dengan
Tun Jamaliah mendapat tiga orang anak, yakni Megat
Tun Laut, Paduka Sri Rama, dan Megat Sri Rama.
Karena Maharaja Indera dan istrinya Tun Jamaliah
lebih memilih menjadi ulama dan menyebarkan agama
Islam, dia menunjuk Megat Tun Laut menggantikan
posisinya sebagai Temenggung Bintan. Megat Tun Laut
tidak lama memerintah di Bintan, karena dia lebih
memilih menjadi Raja di Lingga atas permintaan rakyat
Lingga, setelah Maharaja Isap mengikuti Portugis ke
Melaka.
Posisinya di Bintan digantikan adiknya Paduka Seri
Rama. Paduka Seri Rama, juga tidak lama menjadi
Temenggung Bintan, kerena dia ke Bangka untuk menjadi
13
Raja di sana. Dalam teks sejarah di Bangka pada abad
ke-16 Sultan Johor bersama sekutunya Sultan Minang-
kabau mengirimkan Panglima Tun Sarah dan Panglima
Raja Alam Harimau Garang ke Bangka untuk menum-
paskan Lanun. Setelah berhasil menjalankan tugasnya,
Tun Sarah dan Raja Alam mengembangkan agama Islam
di Bangka. Apakah Paduka Seri Rama dan Tun Sarah
adalah orang yang sama, belum ditemukan teks seja-
rahnya. Bukankan Seri Rama atau Paduka Sri Rama
ibunya bernama Tun Jamaliayan cucu Bendahara
Melaka. Kuat dugaan Paduka Seri Rama dan Tun Sarah
adalah orang yang sama.
Pada tahun 1618 Sultan Johor, Abdullah Muayatsyah
(1615-1626) pernah menjadikan Lingga sebagi ibu kota
sementara, ketika menyingkir dari serangan Kerajaan
Aceh. Sekitar 5 tahun bermastautin di Lingga, baru
Abdullah Muayatsyah, pindah ke Tambelan dikawasan
pulau Tujuh dan wafat disana tahun 1626. Laksamana
Tun Abdul Jamal melantik Raja Bujang sebagai Sultan
Johor dengan gelar Sultan Abdul Jalilsyah III. Tahun
1640, ibu kota dipindahkan dari Tambelan ke Batu Sawar
daratan Johor.
Tahun 1756 Lingga juga pernah menjadi tempat
pemerintahan sementara Yang Dipertuan Muda (YDM)
Kerajaan Riau-Johor-Pahang III, Daeng Kamboja (1748-
1777) ketika terjadi konplik puak Melayu dan Bugis.
Daeng Kamboja membawa pasukan perangnya lengkap
14
dengan persenjataan, termasuk meriam ke Lingga untuk
menyerang Ulu Riau, semasa Kerajaan dipimpin Sultan
Sulaiman Barul Alamsyah I.
Penyerangan ini tidak terjadi, dan Daeng Kamboja
memindahkan pasukannya ke Selangor di Semenanjung
Malaka. Konplik Melayu-Bugis ini dipicu perebutan
tahkan Kerajaan Siak Sri Indrapura antara Tengku Buang
Asmara, putra kedua Raja Kecik yang menggantikannya
sebagai Sultan Siak, dengan Tengku Alam. Tengku Alam
adalah putra pertama Raja Kecil dari isterinya berasal
dari Palembang.
Sultan Sulaiman memihak Tengku Buang Asmara
karena ibunya Tengku Kamariyah adalah adiknya.
Sementara Daeng Kamboja memihak Tengku Alam,
karena Tengku alam adalah ipar Daeng Kamboja.
Tahun 1720, Raja Kecik sendiri pernah menjadikan
Lingga sebagai pusat pertahanan sementaranya ketika
mundur dari Ulu Riau, ketika mundur dari serbuan
pasukan Tengku Sulaiman dan empu-empu Bugis
besaudara dalam perang perebutan tahta kerajaan Johor.
Sebelumnya Raja Kecil merubut tahta Kerajaan Johor
dari tangan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah, dan meng-
angkat dirinya sebagai Sultan dengan Gelar Sultan Abdul
Jalil Rahmatsyah dan memidahkan ibu kota dari Johor
ke Ulu Riau.
Di Lingga Raja Kecik tidak bertahan lama, karena terus
menerus diserang pihak Melayu dan Bugis dan dia
15
menyingkir kedaratan Sumatra menuju Sungai Siak. Dari
Siak Raja Kecik berkali-kali menyerang Ulu Riau dan
berkali-kali kalah dan akhirnya berdamai. Raja Kecik
menetap di Buantan, Siak dan Mendirikan Kerajaan Baru
bernama Siak Sri Indrapura. Demikian dipaparkan (RIda
K Liamdi Dkk, dalam Sejarah Pembentukan Kabupaten
Lingga, hal;14-21)
16
BAB. II SEJARAH ORANG
BANGKA MERAWANG
1. SEJARAH ORANG BANGKA MERAWANG
Menurut seorang sejarawan Bangka, Drs Akhmad
Elvian, orang Bangka terbentuk dari empat etnis group.
Pertama disebut pribumi Bangka yaitu orang darat atau
orang gunung (hill people) . Kedua pribumi Bangka orang
laut (sea weller) atau pengembara laut yang disebut juga
dengan orang sekoh/sekah. Ketiga orang Melayu yang
berasal dari Siantan, Johor, dan Lingga, keempat etnis
group adalah orang Cina dari Guang Chou terdiri dari
suku Khek atau Keija dan Suku Hokkian atau Hoklo.
‘’Keempat etnis group inilah membaur menjadi edentitas
yang disebut orang Bangka,’’ kata Elvian, dalam
kesematan wawancara dengan penulis di sekretaris
DPRD Kota Pangkal Pinang, Bangka, 30 Oktober 2018
lalu. Selain sejarawan dan pemerhati budaya Bangka,
Elvian adalah seorang birokrat, yang kini menjabat
sebagai Sekretaris DPRD Kota Pangkal Pinanang.
Dari empat etnis orang Bangka yang dipaparkan
Akhmad Elvian diatas, dalam kesempatan ini yang akan
diketengahkan adalah hijrahnya orang darat atau orang
gunung di Bangka ke Lingga. Karena memang kelompok
orang darat di Bangka inilah yang hijrah ke Lingga, yang
17
dikenal dengan orang Bangka Merawang. Dikatakan
demikian paling tidak ada beberapa persamaan dasar
antara mereka yang masih ada di Pulau Bangka dengan
mereka yang ada di Lingga. Contoh Orang Bangka
Merawang di Lingga tinggalnya di darat bahkan kebun
atau dusun mereka sampai di kaki-kaki gunung. Orang
Daik, memanggil orang Bangka Merawang dengan
sebutan orang darat, atau mak darat, baik mereka
berasal dari Desa Merawang, Panggak Darat, maupun
dari Resun, orang Daik menyebutnya Mak Darat.
Kemudian Bahasa, orang darat di Pulau Bangka dengan
bahasa orang Bangka Merawang di Lingga juga sama.
Beda dengan keturunan Megat Mata Kuning, yang
umumnya tinggal di pesisir pantai dan di aliran sungai
seperti di Panggak Laut, Musai, Nerekeh, Kerandin,
Sungai Pinang, Teluk. Orang Daik menyebut orang-orang
ini, orang Suak Sungai.
Dilihat dari sebutan orang Daik memanggil orang
Bangka dengan sebutan Mak Darat dan orang Suak
Sungai untuk orang-orang yang tinggal di aliran sungai,
maka orang Daik ini asal usulnnya rakyat dari Riau yang
dibawa Sutan Mahmud, sebanyak 200 kapal waktu
pindah dari Riau ke Daik tahun 1787. Orang-orang ini
tinggalnya memang masih dalam kawasan Istana Sultan,
yakni antara sungai Daik dengan Sungai Tande.
Tentang hijrahnya orang Bangka ke Lingga, dalam teks
sejarah yang dapat ditemukan, paling tidak ada tiga tahap
18
orang Bangka datang dari Pulau Bangka ke Lingga, pada
zaman dahulu. Pertama kali mereka datang bersama
Dato’ Megat Mata Kuning sekitar penghujung abat ke-
15 (1480-1490). Megat Mata Kuning adalah anak
Temengung Mata Merah, penguasa Air Hitam Pauh, Raja
Tembesi. Kakak Megat Mata Kuning bernama Putri
Mayang Mengurai, karena rambutnya panjang.
Menurut Rida K Liamsi,dkk, dalam bukunya Sejarah
Pebentukan Kabupaten Lingga, halaman 14, mengata-
kan; sekitar tahun 1400, Megat Mata Merah, pernah
menjadi Raja di Lingga yang merebut kekuasaan itu dari
Ma’Yah, orang Suku Laut, Mantang, Baroq, dan Buto.
Mula-mula pusat pemerintahan Megat Mata Merah di
Limbung, kemudian pihdah ke Tembok (Desa Mentude),
pindah lagi ke Tande, pindah ke Daik, dan pindah ke
Pulau Mepar. Kalau begitu, kedatangan Megat Mata
Kuning ke Lingga pada abat ke-15 (1480-1490) untuk
mengganti posisi orang tuanya sebagai Raja di Lingga.
Dalam Legenda Orang Kaya Hitam, blogspot.
com.2014, dikatakan, Orang Kaya Hitam adalah anak
ketiga Dato’ Pusaka Berhala, yang bernama asli Ahmad
Salim. Abang tertua orang Kaya Hitam bernama Orang
Kaya Pingai, menjadi Raja Jambi (1480-1490), yang
nomor dua Orang Kaya Kedataran, dan adiknya Orang
Kaya Gemuk, perempuan. Dato’ Pusaka Berhala sendri
anak Raja Turki bernama Sultan Saidina Zainal Abidin,
keturunan ke-7 Nabi Muhammad SAW.
19
Orang Kaya Hitam menikah dengan Putri Mayang
Mengurai, sebelumnya dia sudah menikah dengan Putri
Ratu Mataram . Pernikahan Orang Kaya Hitam dengn
Putri Mayang Mengurai ini cukup meriah, dengan pesta
selama tujuh hari, tujuh malam. Usai menikah, sepasang
suami istri ini hilir mengikuti aliran sungai Tembesi dan
Sungai Batang Hari, membawa sepasang itik besar
(angsa).
Pesan mertua Orang Kaya Hitam, Temenggung atau
Megat Mata Merah, dimana itik itu berhenti naik kedarat
dan mupur (mandi tanah) disitulah pasangan suami istri
ini harus berhenti dan membuat perkampungan. Setelah
beberapa lama suami istri ini menyusuri sungai meng-
ikuti itik yang berenang itu, akhirnya itik ini naik kedarat
dan mupur di kawasan tanah putih, tempat itu kini
dinamakan angsa dua di Kota Jambi.
Setelah Orang Kaya Hitam dan istrinya membangun
negeri Angsa Dua itu, Magat Mata Kuning berkunjung
ketempat kakaknya itu. Namun tidak lama, karena jiwa
mudanya meng gelora untuk merantau ke daerah laut.
Keinginan Megat Mata Kuning itu disampaikan ke Orang
Kaya Hitam, dan disetujui Orang Kaya Hitam, dan Orang
Kaya Pingai, Raja di Jambi.
Orang Kaya Hitam, memberikan kapal bernama
Harimau Jantan kepada adik iparnya itu, dan membaca
do’a selamat serta tolak bala untuk melepas kebe-
rangkatan Megat Mata Kuning ini. Usai do’a, Magat Mata
20
Kuning berlepas menuju lautan beserta beberapa
rekannya. Setelah belayar, pulau pertama yang disinggahi
bertemu dengan orang yang mengaku dari Kuala Reteh
Indragiri, ada yang mengaku dari Pelembang, dan daerah
lain. Mereka semua menyebut diri mereka sendiri
kelompok bangsa Mantang atau Baroq.
Tidak jauh dari sana nampak Pulau Singkep dan
sebuah lagi ada pulau yang pucuk gunungnya bercabang
tiga disebut Pulau Lingga, dan satu pulau lagi disebut
Pulau Pandan. Pulau-pulau ini tidak berpenghuni.
Setelah ditimang-timang rombongan Megat Mata Kuning
ini sepakat membuat pemukiman di Lingga. Untuk
meramaikan negeri, diajaknya orang-orang dari gugusan
Pulau Bangka datang ke Lingga. Bersama orang dari
Bangka inilah Megat Mata Kuning membuka Kampung
Daik dan Kampung Tande, seperti diungkapkan Aswandi
Syahri dkk, dalam ‘’Laporan Penulisn Sejarah Pulau
Bangka’’ tahun 2018, Dinas Kebudayaan Kabupaten
Lingga, tahun 2018.
Diungkapkan Aswandi Syahri, pada halaman 17.
Menurut Aswandi, dalam Undang-Undang Piagam dan
Kisah Negeri Jambi, kisah pembukaan Kampung Lingga
Daik dan Kampung Olak Sungai Tando, sebagai berikut;
‘’…Telah selesai dari berkata-kata itu maka
berangkatlah mudik menurut sungai dari itu
masing-masing entah berapa lama-lamanya
mudik itu, maka bertemulah Orang Kayo dengan
21
anak sungai Daik itu! Dilihatnya bagus tempat itu.
Maka Orang Kayo pun mukul tawak-tawak maka
datanglah orang Bangka bertemu orang Kayo.
Sembah orang Bangka. ‘’Disini baguslah Datok
membuat tempat singgah inilah kita mudiknya
kita,’’ kata orang Bangka. Jawab orang Kayo,
‘’Baiklah Sungai anak Sungai Daik kita namai
Sungai Linggah! Maka bernama kini Kampung
Datok Kayo ini Linggah Daik, dan hamba orang
Bangka membuat Kampung disebelah Sungai
yang hamba ikut, itulah sudah haba tandai itu
tempat masing-masing.
Maka titah orang Kayo, ‘’Kita namai sungai
yang engkau ikut itu, sungai Tanda maka bernama
kampung kamu itu, Kapung Olak Sungai Dirajo
Tando’’. Lalulah berkampung tempat itu. Orang-
pun banyak makin lama makin banyak datangnya
mempertambahkan orang Kayo Singo Dirajo
hingga bertinggallah Pulau Singkep dan Pulau
Daik dengan manusia. Maka orang Kayo pun
senanglah hatinya, orang sudah ramai, negeri
sudah aman, semua orang patuh dibawah perin-
tah Orang Kayo Singo Dirajo…’’.
Dari teks sejarah diatas kalau dilihat dari tapak sejarah
saat ini perkapungan orang Bangka pertama kali adalah
Kampung Tanda. Orang Bangka Merawang terakhir kali
22
tinggal di Tanda atau Tande ini adalah Akek Mamud,
rumahnya persis disebelah kanan Jembatan Sungai
Tende, kalau dari Daik ke Merawang. Kemdian dihulunya
sekitar satu kilometer dari rumah Akek Mamud ada
rumah dan dusun durian Akek Abu, yang kini rumahnya
masih ada meskipun sudah beberapa kali mengalami
perbaikan.
Semasa hidupnya sekitar tahun 70-an, Akek Mamud
berpindah-pindah antara di Kampung Tande dengan
Kampung Cening, tempat dia tinggal. Di Kampung
Cening Akek Mamud berkebun dan menjadi guru mengaji
(mengajar membaca Al-Qur;an), muridnya anak-anak
dari Kampung Merawang.
Akek Mamud juga pernah menjadi tentara Jepang. Dia
adalah salah seorang saksi hidup ketika Jepang menarik
pasukannya di Tanjung Terudas Sungai Tenam, Desa
Mentuda, menggunakan kapal selam. Di Tanjung Terudas
ini terdapat bangker tempat Panglima Tentara Jepang,
sekaligus gudang logistik keperluan perang. Akek Mamud
mengetahui apa-apa saja isi bangker, karena dia juga
membantu mengeluarkan barang-barang penting ketika
penarikan terakhir pasukan Jepang tahun 1943 itu.
Setelah Kampung Tande, dihulu sungai Tande ini
terdapat Kampung Merawang. Kampung Merawang ini
disebelah kiri Sungai Tande, yakni antara lubuk Muncung
dengan lubuk Patmah. Bersebelahan dengan Kampung
Merawang ini lokasi komplek Istana Damnah milik
23