The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Keberadaan orang Bangka di Lingga diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15, atau 300 tahun sebelum Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat kerajaan dari Riau ke Daik Lingga. Orang-orang Bangka ini yang pertama kali mendiami atau membuat perkampungan di Lingga bersama dengan keluarga Megat Mata Kuning dari Jambi, dan orang-orang Mantang atau Baroq. Ketiganya diperkirakan adalah suku asli Lingga yang pertama dan sudah beragama islam.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Buku Sejarah Lokal Kabupaten Lingga, 2022-10-06 22:53:54

LIMA ABAD LALU ORANG BANGKA SUDAH DI LINGGA

Keberadaan orang Bangka di Lingga diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15, atau 300 tahun sebelum Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat kerajaan dari Riau ke Daik Lingga. Orang-orang Bangka ini yang pertama kali mendiami atau membuat perkampungan di Lingga bersama dengan keluarga Megat Mata Kuning dari Jambi, dan orang-orang Mantang atau Baroq. Ketiganya diperkirakan adalah suku asli Lingga yang pertama dan sudah beragama islam.

Keywords: bangka,lingga,melayu,islam

Sultan Mamud, yakni Sultan Kerarajaan Lingga-Riau-
Johor-Pahang, yang pertama beristana di Daik Lingga.

Tapak sejarah yang lain kalau dilihat pertama kalinya
Megat Mata Kuning ini ke Lingga mengambil tempat
bermukim di Pulau Mapar. Karena Pulau Mepar yang
dikenal sejak dulu adalah tempat kedudukan Megat Mata
Kuning, dan turunannya sampai saat ini . Keturuan Megat
Mata Kuning saat ini bergelar encik, namun sebagian
besar mereka tidak menggunakan lagi gelar itu.

Sekedar menyebut contoh, mantan Camat Senayang
Encek Majid, anak-anaknya seperti almarhum Saiful
Anwar atau ayah An, tidak meggunaan gelar encek. Begitu
juga dengan kotoh masyarakat Kampung Seranggung
Encik Sarif, anak-anaknya Hafas, tidak menggukan gelar
encik. Ini sebenarnya merugikan komunitas atau
keturunan mereka sendiri, karena orang lain tetap
menggunakan gelar itu. Padahal tanah Lingga ini
keluarga megatlah bersama orang Bangka dan Mantang
atau Barok, yang pertama kali mendiami atau mem-
bangun perkampungan.

Orang Barok membangun perkampungan di Tanjung
Buton disamping Pulau Mepar. Kemudian orang-orang
dari Bangka, membuat perkampungan di darat. Mereka
naik kedarat dengan cara memasuki Sungai Marok, yang
letaknya persis di depan Pulau Mepar.

Di depan Pulau Mepar ada Pulau Pucung yang juga
disebutkan pulau pinjaman. Karena konon cerita yang

24

masih hidup dalam masyarakat di pulau inilah orang
Mepar meminjam barang-banrang milik orang Bunian
Gunung Daik. Kini di Pulau Pujung ini dibangun bak
penampungan air baku yang disuling dari Kampung
Kador. Maju lurus ke darat dari Pulau Pucung, terdapat
Pulau Kates. Tapak Pulau Kates ini sudah termasuk
muara Sungai Marok. Dengan memasuki sungai yang
kecil ini orang-orang Bangka naik kedarat dan partama
kali membangun pemukiman di Pasir Rubuh.

Bukti ini masih dapat dilihat adanya dusun-dusun
dan perkuburan orang Bangka sewaktu bermukim di
Pasir Rubuh. Lama kelamaan mereka bergeser ke darat
lagi dan membangun perkambungan di Kampung Tengah
yang masih bertahan sampai saat ini. Selain Sungai
Marok, orang-orang dari Bangka masuk ke Sungai Cenut
dan membangun perkampungan yang saat ini dikenal
dengan kampung Cenut.

Belum dapat ditemukan secara pasti siapa nama-nama
orang Bangka generasi pertama yang datang ke Lingga
bersama Megat Mata Kuning ini. Namun cerita dari
mulut kemulut dikalangan masyarakat Bangka Mera-
wang di Lingga, mereka dipimpin seorang Juru Kerah.
Juru kerah terakhir mereka bernama Haji Muhammmad
Arief. Gelar Juru Krah yaitu, semacam penghubung atau
juru bicara antara masyarakat Bangka dengan pihak
Kerajaan atau pihak lainnya. Dia mendapat tugas sebagai
penguhubung atau juru biraca, tentu memiliki kopetensi

25

atau kecakapan baik dibidang agama Islam, sosial
masyarakat dan pemerintahan.

Muhammad Arief mempunyai anak bernama Bujang,
Bujang mempunyai anak bernama Mahdani, Mahdani
pempunyai anak bernama Ayat, Asmanizam, Fauzan
Azima, Ros, Acut, yang sekarang masih hidup kecuali
Ayat, sudah meninggal beberapa bulan lalu di Tanjung-
pinang. Mereka semua memang sudah tinggal di
Tanjungpinang, kecuali Acut tinggal di Singgapura.
Ayat, Asmanizam, Fauzan Azima, Ros, kini sudah
memiliki cucu. Artinya keturunan Muhammad Arief,
sampai saat ini, tahun 2018 sudah memasuki keturunan
atau generasi ke-5 (lima). Kalau satu generasi diambil
rentang waktu 40 tahun, maka Muhammad Arief hidup
sekitar 200 tahun yang lalu, atau sekitar pada zaman
terakhir Kerajaan Lingga Riau berpusat di Daik Lingga
tahun 1900.

Nama Haji Muhammad Arief, tercatat dalam surat
tanah Pulau Nyamuk di Desa Mensanak, Kecamatan
Senayang. Pulau Nyamuk itu adalah pemberian Kerajaan
Lingga, kepada orang-orang Bangka, salah satunya Haji
Muhammad Arief. Anak Haji Muhammad Arief, Bujang
hijrah ke Pulau Mensanak bersama beberapa tokoh orang
Banggka lainnya, salah seorangnya bernama Haji
Mutalib. Haji Mustalib sendiri hijrah ke Pulau Mensanak
langsung berangkat dari Bukit Cening. Bukit Cening
memang salah satu perkampungan orang-orang Bangka

26

Merawang bersama keturunan Megat, kerena peran
mereka sebagai prajurid kerajaan penjaga Benteng yang
cukup terkenal itu.

Di Pulau Mensanak, Bujang dan Haji Mutalib beserta
rekan-rekannya berkebun menanam kelapa, termasuk di
Pulau Nyamuk. Keturunan Bujang tidak ada yang
menetap di Pulau Mensanak, tapi keturunan Haji Mutalib
semuanya menepat di Menanak. Haji Mutalib, mem-
punya anak bernama Ahdat dan Mak Yah. Ahdad
mempuyai anak diantaranya bernama Abdullah, Sulai-
man, Ahmad, Mainah.

Kemudian Abdullah mempunyai anak bernama Zainal,
Syamsul, Ita. Zainal mempunayi anak bernama ….. Kini
Zainal sudah memiliki cucuk, artinya mulai dari Haji
Mutalib, orang Bangka berada di Pulau Mensanak sudah
memasuki generasi ke-4 (empat) atau sekitar 160 tahun,
kalau dihitung satu generasi selama 40 tahun.

Juru Kerah atau Muhammad Arief, kuburnya atau
makamnya terdapat di perkuburan Kakek. Dikatakan
Perkuburan Kakek, karena yang bertama kali dikuburkan
disini adalah orang Tua yang dipangil kakek, seorang
ahli agama. Belum dapat diketahui secara pasti siapa
nama kekek ini sebenarnya. Ada yang mengatakan dia
adalah orang Aceh dan ada yang mengatakan dia orang
Jawa. Bukan orang Bangka. Kubur Juru Kerah tidak jauh
dari kubur Kakek. Bedanya, nisan kubur Kakek terbuat
dari batu sungai alami yang tetaknya tersendiri,

27

sedangkan kubur juru Kerah nisannya dari batu alam
Aceh yang berukir bulat panjang (tipe botol) , yang
tingginya kira-kira 70 centi meter. Nisan ini paling tinggi
dari teretan nisan-nisan lain yang sejejer (sejajar)
dengannya.

Dari kedatangan Megat Mata Kuning ke Lingga pada
abad ke-15 (1480-1490) ini, maka orang Bangka berada
di Lingga sudah ada sekitar 300 tahun lalu, sebelum
Sultan Mahmud Riayat Syah memindakan ibu Kota
Kerajaan Riau Lingga ke Daik Lingga tahun 1787. Bahkan
pada abat ke-15 itu Kerajaan Riau Lingga belum ada.
Pada abat ke-15 (4180-1490) itu baru ada Karajaan
Malaka yang berdiri dari tahun 1395 sampai 1528. Kurun
waktu 1480-1490 menurut Rida K Liamsi dalam
Mahmud Sang Pembanggang, Kerajaan Malaka dipim-
pin Sultan Awaluddin Riayat Syah (1477-1488)

Gelombang kedua, orang-orang Bangka pergi ke
Lingga dibawa oleh Panglima Raman (dalam teks sejarah
Bangka di katakan Panglima Rahman). Sekitar tahun
1788 hingga 1793, atau setelah Sultan Mahmud memin-
dahkan pusat Kerajaan dari Hulu Riau ke Daik Lingga,
Prajurid Kerajaan Lingga oleh Belanda disebut Lanun
atau Bajak Laut, di bawah pimpinan Panglima Raman,
Kesultanan Linggga, Riau, Johor, Pahang, Terenggano
merapok timah milik VOC di Kelabat dan Merawang di
Bangka. Selain membawa timah hasil rampokannya
pasukan Panglima Raman, juga membawa orang-orang

28

Bangka ke Lingga untuk meramaikan penduduk negeri.
Dari tapak sejarah yang ada saat ini, orang-orang

Bangka dari Merawang di bawa Penglima Raman ini
membuat perkampungan di Desa Merawang saat ini.
Letak Desa Merawang ini bersebelahan dengan Istana
Damnah, milik Sultan Mahmud. Antara Desa Merawang
dengan Istana Sultan Mahmud hanya dipisahkan Sungai
Tande (Tanda) atau tepatnya diseberang Lubuk Papan.
Di hulu Lubuk Papan ada Lubuk Patmah sedangkan di
Hilir Lubuk Papan ada Lubuk Muncung. Dulu ketiga
lubuk ini tempat orang-orang Desa Merawang pergi
mandi pagi dan petang hari.

Mereka mandi di lubuk ini membawa anggota
keluarga, terutama anak-anak. Sambil menunggu orang-
orang dewasa mencuci pakaian, anak-anak mandi sambil
bermain kejar-kejaran di sungai, dan ada yang menang-
guk (manangkap) anak-anak ikan, sekedar untuk
dijadikan mainan. Sudah menjadi kebiasaan orang-orang
Bangka zaman dahulu kalau pergi mandi ke sungai
membawa pakaian kotor untuk dicuci, dan membawa
becana tempat air, baik berupa botol, cerek, maupun
beledi (ember), sehingga setiap pulang mandi mereka
memabawa air pulang ke rumah untuk dijadikan air
minum maupun untuk mencuci piring.

Sepanjang jalan dari rumah ke lokasi mandi di tiga
lubuk ini terdapat tanaman durian, cempedak, langsat
(seperti buah duku), salak dan tanaman lainnya milik

29

masyarakat setempat. Tidak heran kalau musim buah,
mereka memakannya membawa ke sungai, sewaktu pergi
mandi.

Gelombang ketiga orang-orang Bangka ke Lingga,
pelarian dari keluarga Abang Tawi sekitar tahun 1792.
Mereka hijrah ke Lingga kerena marah dengan Sultan
Pelembang setelah kapal keluarga ini ditenggelamkan dan
ikut menewaskan Abang Tawi. Atas pristiwa itu Abang
Abdul Rauf Tawi, anak Abang Tawi yang berada di
Mentok Pulau Bangka memboyong keluraganya ke
Lingga. Sampai di Lingga menurut Abdul Malik, dalam
Sultan Mahmud Riayat Syah Pahlawan Besar Grilya
Laut, mereka diterima dengan baik oleh Sultan Mahmud
Riayat Syah, dan diberi hak untuk menambang timah di
Pulau Singkep. Di Lingga keluarga Abang Tawi ini untuk
pertama kali membangun perkampungan di Kampung
Mentok Dabo Singkep. Kini letak kampung Mentok Dabo
Singkep berada di tepi pantai antara Kampung Boyan
dengan Batu Berdaun. Di kawasan kampung Mentok Betu
Berdaun inilah terdapat meriam tegak. Dikatakan
meriam tegak, karena posisinya tergak sampai sekarang
dan tidak dapat di cabut. Menurut cerita rakyat, meriam
ini tegak dihentakan seorang pendekar wanita bernama
Cik Jebah alias Encek Jebah. Cik Jebah sendiri adalah
anak ke-6 dari 6 bersaudara,Temenggung Jamaluddin.
Karena ketangguhannya sebagai pendekar Cik Jebah
ditugaskan Sultan di Dabosingkep mengamankan

30

penambangan timah. Perkiraan keluarga Abang Tawi
membangun perkampungan di Dabosingkep terlebih
dahulu ini, karena mereka mendapat konsesi penam-
bangan timah dari Sultan. Sedangkan di Lingga khusunya
di Daik tidak ada potensi tambang timah.

Selain membangunan perkampungan di Dabosingkep,
keturunan Abang Tawi, juga membangunan perkam-
pungan di Daik Lingga. Kampung yang mereka bangun
itu di tepi Sungai Daik sebelah kanan masuk sungai yang
mereka beri nama Kampung Mentok. Di hulu sungai
sekitar satu liko meter dari Kampung Mentok terdapat
Istana Pangkalan Kenanga, juga di tepi sungai, sebelah
kiri masuk.

Di Pulau Bangka sekarang ini Mentok bukanlah sebuah
kampung seperti di Lingga, tapi sudah menjadi kota yang
berpenduduk padat, dan menjadi Ibu Kota Kabupaten
Bangka Barat. Kota Mentok merupakan kota tua yang
sudah ada sejak zaman kerajaan. Di sini terdapat
‘’Benteng Seribu’’ karena dibangun atas batuan Sultan
Pelembang dengan seribu (1000) pikul beras. Kemudian
ada Musium Timah, yang memuat dekumen sejarah
tambang timah mulai dari tambang tradisioal zaman
dahulu hingga menggunakan alat canggih seperti saat ini.
Karena musium ini milik PT Timah, tentu memuat semua
sejarah tambang timah yang ada di Indonesia, termasuk
sejarah tambang Timah yang ada di Pulau Singkep.
Musium timah di Mentok ini menggunakan bangunan

31

lama, yakni bekas kediaman Pimpinan VOC, setelah itu
pernah juga dijadikan tempat tinggal Soekarno, sewaktu
beliau di asing di Bangka.

Selain di Mentok, di Kota Pangkal Pinanang, juga ada
musiun timah, tapi ini milik Pemerintah Daerah Provinsi
Bangka Belitung, isinya hampir sama, Cuma bangunan-
nya lebih megah milik PT Timah. Hal menarik lainnya di
Kota Mentok ini, terdapat sebuah Masjid Tua berukuran
besar dan Kelenteng Tua, juga berukuran besar berha-
dapan, hanya dipisahkan jalan raya yang lebarnya sekitar
10 meter. Ini menggambarkan masyarakat Kota Mentok,
hidupnya cukup rukun dan damai, meskipun berlainan
agama.

Kembali masalah hijrahnya orang Bangka ke Lingga,
diluar tiga tahapan diatas, sebenarnya setelah Indonesia
merdeka orang-orang Bangka ke Lingga dan sebaliknya
orang-orang dari Kabupaten Lingga juga ada yang ke
Pulau Bangka. Pristiwa pada zaman kemerdekaan ini
penulisn menyebutnya orang Bangka generasi baru.
Sebutan generasi baru, karena perpindahan mereka
disebabkan paktor pekerjaan, khusunya bagi mereka yang
bekerja di PT Tambang Timah milik pemerintah, yang
ada di Singkep, Pulau Bangka, Pulau Karimun, dan Pulau
Kundur. Perpindahan generasi baru ini, tidak masuk
dalam bahasan buku ini, karena perpindahan dengan
faktor pekerjaan dengan perusahaan sudah lumrah terjdi
dimana-mana.

32

Akhmad Elvian, sejarawan Bangka mengatakan
perpindahan orang Bangka ke Lingga atau ke Riau, bukan
hanya terjadi satu arah. Tetapi sebaliknya ada kalanya
orang-orang dari Lingga atau dari Riau yang hijrah ke
Bangka. Contohnya pada abat ke-18 orang-orang dari
Johor dan Siantan, khususnya keluarga Wan Abdul
Jabar, hijrah ke Bangka dari Siantan. ‘’Sekitar tahun 70
hingga 80-an puluhan kapal nelayan dari Kijang Riau
menyerbu Pulau Bangka, mereka menangkap ikan disini,
Orang Bangka menerima kehadiran mereka. Sekarang
kalau ada kapal nelayan dari Riau mereka selalu
mengatakan dari Kijang,’’ kata Akhmad Elvian, penulis
utama tentang sejarah kepahlawanan Depati Amir ini.

Disamping itu saat ini, setiap harinya ada tiga kali
penerbangan pesawat Boing 737-800 dari Kota Batam
ke Pangkal Pinang, Bangka pulang pergi (PP). Ini
menunjukan cukup banyak orang-orang Bangka bekerja
atau tinggal di Kepri, khususnya Kota Batam. Tapi mereka
tidak dapat dikenal lagi mana orang Bangka dari
keturunan orang darat atau orang gunung, karena mereka
tidak lagi menggunakan bahasa ibu ditempat-tempat
umum, tapi menggunakan bahasa Melayu pada umum-
nya, bahkan anak-anak muda memakai bahasa gaul.

2. PERKAMPUNGAN ORANG BANGKA DI LINGGA
Selain membangun perkampungan di Kamung

Tengah, Kampung Merawang, dan Kampung Mentok.

33

Orang-orang dari Pulau Bangka ini masih banyak
menyebar dan membuat perkampungan. Tidak jauh di
komplek Istana Damnah, mengarah ke Sungai Daik,
setelah Kapung Pahang tempat perkampungan keluarga
Said atau Syarifah, orang-orang dari Bangka membuat
perkampungan dengan nama Kampung Sepincan, setelah
itu ada kampung Mading, ada Kampung Panggak Darat
dan paling ujung Kampung Resun, di Pinggir Sungai
Resun.

Sungai Resun ini bermuara ke laut yang diseberangnya
terdapat Kapung Pancur atau Duara. Disisi kiri muara
Sungai Resun ini ada Kampung Rantau Panjang, yang
juga banyak orang-orang Bangka yang pada mulanya dari
Desa Merawang dan Resun. Di Ujung Timur Pulau Lingga
orang-orang Bangka ini menyebar di Desa Teluk dan
Kampung Senempek.

Mengarah ke Sungai Tande, setelah Kampung Mera-
wang, Kampung Tengah, Kampung Cenut, ada Kampung
Malar, Penarik, Kelumu, Serteh, Metude, kampung-
kapung pesisir pantai ini semuanya didiami orang-orang
dari Pulau Bangka pada awalnya.

Sebelum keruntuhan Kerajaan Lingga Riau yang
perpusat di Daik pada tahun 1900, orang Bangka
Merawang perkampung di Cening. Bukti peninggalannya
masih dapat dilihat kuburan tua yang ada dibelakang
rumah dinas PNS (Pegawai Negeri Sipil) Kabupaten
Lingga saat ini. Belum dapat diketahui, mengapa mereka

34

meninggalkan Cening, dengan cara kembali ke Mera-
wang, Kampung Tengah, dan Cenut. Bahkan ada sampai
langsung ke Pulau Mensanak.

Ada kemungkinan setelah Sultan pindah dari Daik ke
Penyengat yang diikuti pembesar-pembesar kerajaan,
penduduk di Cening terus bekurang. Akibatnya para
pendekar yang masih bertahan, juga merasa takut tinggal
dibenteng yang cukup terkelan kuatnya itu. Mereka takut
kuatir ada serangan musuh yang tidak terduga, dan
akhirnya menyingkir ke Kampung asal, kerurunan Megat
pindah ke Kampung Seranggung dan Pulau Mepar, dan
keturunan Bangka ke Kampung Merawang, Kampung
Tengah, Cenut.

Sewaktu masih berkampung di Cening, orang-orang
Bangka Merawang ini kalau perkunjung ke Kampung
Marok (Kampung Tengah), dan Cenut mereka tidak
melewati Tajung Buton bila gelombang kuat. Tapi
melewati sungai terusan. Kini sungai terusan sudah
tertutup gorong-gorong yang ada ditengah jalan aspal
menjelang masuk ke Tanjung Buton, kalau dari Daik

Dari Pulau Lingga, orang-orang Merawang ekspansi
ke Pulau Singkep. Mereka menyebar di Desa Kute,
Sedamai, Sungai Buluh. Sedangkan di Dabo Singkep,
orang-orang Bangka dari Merawang membangun
Perkambungan di Sekop Darat, Sekop Laut, Pasir Kuning,
Kampung Telek, Dabo Lama sekitarnya. Kemudian
Kamung Resang Desa Marok Kecil, ada juga orang

35

Bangka dari Merawang di sana.
Mengarah ke Utara Pulau Lingga, peranakan orang-

orang Bangka ini membuka lahan perkebunan dan
membuat perkampunngan di Belakang Utan (Hutan) dan
Kampung Limas Pulau Sebangka. Pulau Mensanak dan
Pulau Benan, dan di Kampung Secawar di Pulau Bakong
Senayang.

Orang-orang Bangka peranakan dari Lingga ini
ekspansi ke Pulau Bintan, tepatnya di Kawasan Bintan
Utara, khususnya di Desa Berakit dan sekitarnya. Di sini
pada awalnya mereka membuka perkebunan kepala. Dulu
daerah Berakit ini orang Bangka di Merawang Lingga
menyebutnya Belakang Bintan.

Pada umumnya perkampungan orang-orang Bangka
dari Lingga ini berada di tengah-tengah kebun atau dusun
milik mereka, dari hasil kerja keras mereka menebang
hutan untuk berkebun. Cara orang Bangka Merawang
berkebun, setelah hutan ditebang dan lahannya dibesih-
kan denga cara dibakar, yang pertama kali ditanam
adalah tanaman muda. Tanaman muda yang dimaksud
seperti ubi, keledek, pisang, kemilik, jagung, serta sayur-
sayuran. Hasil tanaman ini dapat dijadikan makanan
pokok, dan dijual untuk modal menjaga kebun. Menje-
lang tanaman muda dapat dipanen, mereka juga menam
tanaman keras seperti durian, karet, sagu, petai, jering
(jengkol).

Begitu tanaman tua ini sudah besar dan dapat

36

ditinggalkan, mereka membuka hutan lagi untuk
berkebun, dengan menanam tanaman yang sama, bisa
juga tanaman jenis lain, bisanya dilihat jenis tanah,
tanaman apa yang sesuai ditanam. Mereka berpindah
biasanya tidak jauh dari tempat semula selama masih ada
lokasi diatas atau di kepala tanah dari kebun yang
pertama. Pada kebun yang kedua ini, penghasilan orang
Bangka tidak lagi tertumpu pada hasil kebun dari
tanaman muda, karena kebun pertama sudah meng-
hasilkan seperti karet sudah dapat di toreh, durian bila
sampai musimnya sudah berbuah. Dengan cara beginilah,
maka orang Bangka memiliki kebun atau dusun mulai
dari pantai hingga ke kaki gunung.

Kalau tanah atau hutan tidak ada lagi disekitar kebun
yang sudah menjadi tanaman tuanya, maka mereka
berpindah ketepat lain yang tanahnya dinilai subur.
Dengan prinsip inilah orang Bangka Merawang, mela-
kukan ekspansi sampai ke Pulau Mensanak, Sebangka,
Secawar, bahkan ke Berakit di Pulau Bintan.

3. PERBEDAAN ORANG BANGKA MERAWANG DAN
MENTOK
Ada perbedaan mendasar antara orang Bangka

Merawang dan orang Bangka Mentok di Pulau Bangka.
Disini perlu dijelaskan sebutan orang Bangka Merawang
bukan hanya mereka yang tinggal Desa Merawang Lingga
saat ini, tapi mencakup yang tingal di Kampung Sepincan,

37

Panggak Darat, Resun, dan lain-lainnya. Karena dari
teks-teks sejarah yang didapati orang Pulau Bangka yang
ke Lingga ini bukan hanya bersal dari Kecamatan
Merawang yang ada di Bangka, banyak dari daerah lain
seperti dari kampung Tua Tunu, Sungai Liat, Beliyu, Batu
Rusa dan sekitarnya.

Mempelajari perbedaan orang Merawang di Lingga
dengan Orang Kampung Mentok di Lingga sekedar untuk
mengetahui asal usul sejarah. Sedangkan dari fakta
sejarah hari ini antara orang Merawang di Lingga dengan
orang Kampung Mentok memiliki hubungan saudara
hubungan darah atau nasab yang dekat, karena sudah
banyak mengalami perkawinan silang.

Dari teks-teks sejarah yang ada baik sejarah tertulis
maupun sejarah lisan masyarakat yang ada di Pulau
Bangka saat ini, orang Bangka Merawang adalah orang
asli Pulau Bangka. Awalnya mereka bermukim di daerah
Mapur. Mapur itu sendiri terdiri dari beberapa tempat
pemukiman atau kampung lagi, yakni Kampung Air Abik,
Tuing, Mapur. Asal usul orang Mapur ini sendiri dari
Champa, daratan Cina.

Sekitar abat X (sepuluh) lalu orang dari Champa
terdampar di Tanjung Tuing Pulau Bangka. Dari Pantai,
mereka naik kedarat lama kelamaan sampai di kaki-kaki
gunung untuk mencari kehidupan baru yang aman.
Karene mereka ini merupakan pelarian dari Champa
setelah diserang Kerajaan Viatnam.

38

Orang Bangka menyebut penduduk pedalaman di
sekitar Air Abik, Tuing dan Mapur ini Urang Lom (Orang
Lum ), karena mereka belum memeluk Islam. Sedangkan
yang sudah memeluk Agama Islam, mereka hidup keluar
hutan dan berbaur di perkotaan, mereka yang sudah
masuk Islam ini disebut Urang Lah (Orang Lah).

Menurut Teungku Sayyid Deqy, dalam bukunya
berjudul KORPUS MAPUR DALAM ISLAMISASI
BANGKA, dalam buku setebal 550 halaman berukuran
besar, dari hasil riset selama delapan (8) tahun ini, Deqy
menjelaskan, ajaran Islam masuk ke Bangka sekitar abat
ke 11-12 dibawa oleh ulama dari Hadhramaut Yaman
bernama Syekh Syarif Abdul Rasheed, yang lebih populer
disebut orang-orang Bangka Akek Antak.

Sedangkan orang Bangka di Mentok yang ke Lingga
adalah keluarga Abang Tawi. Kata Abang dibelakang
nama Tawi adalah gelar Bangsawan yang diberikan
Sultan Palembang untuk keluarga atau keturunan Wan
Abdul Jabar. Sedangkan untuk keturunan Wan Abdul
Jabar yang perempuan didepan namanya diberi gelar
Yang .

Wan Abdul Jabar sendiri perserta saudaranya Wan
Akop, dan Wan Sirin datang dari Siantan (kini Kabupaten
Anambas) ke Bangka sekitar tahun 1724. Mereka adalah
anak dari Wan Abdul Hayat. Dalam catatan sejarah
Kesultanan Johor, Abdul Hayat adalah orang Cina
bernama asli Lim Tau Kian. Lim Tau Kian adalah

39

seorang pejabat tinggi Kerajaan Cina yang melarikan diri
ke Johor karena konplik internal.

Oleh Sultan Johor diberi pelindungan dan di Islamkan.
Setelah masuk Islam namanya berganti menjadi Abdul
Hayat. Karena keahliannya Abdul Hayat diangkat
menjadi kepala Negeri di Siantan oleh Sultan Johor
dengan gelar ‘’Ce’ Wan Abdul Hayat’’.

Kata Wan didepan nama Abdul Hayat diambil dari
suku kata terakhir dari kata BangsaWan. Sedangkan kata
Abang didepan nama Tawi di Bangka diambil dari suku
kata pertama dari kata BangSaWan, yakni kata Bang
ditambah awalan A sehingga menjadi Abang. Kata Yang
didepan mana orang perempuan keturunan Wan Abdul
Jabar diambil dari kata bantu Yang untuk menunjukan
sesuatu. Kalau kata Yang di digabungkan dengan kata
Abang dan kata Sawan, sehingga menjadi Yang
BangsaWan. Ini menujukan seseorang itu berasal dari
keturunan kaum Bangsawan.

Jadi Abdul Hayat mendapat gelar Wan dari Sultan
Johor, sedangkan gelar untuk keturunan Wan Abdul
Jabar dan saudaranya di Bangka mendapat gelar Yang
dan Abang dari Sultan Palembang.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa Orang
Bangka Merawang di Bangka asal usulnya orang Champa,
tapi sebagian mereka Islamnya belum sempurna sampai
hari ini. Mereka mengaku memeluk ugama (agama) adat.
Sedangkan sebagian mereka Islamnya sudah sempurna

40

berpencar menetap di Pulau Bangka.
Jadi baik Orang Bangka Mentok maupunn Bangka

Merawang nenek Moyang mereka sama-sama dari
dataran Cina. Bedanya keluarga Wan Abdul Jabar
sewaktu sampai di Bangka Islamnya sudah sempurna,
sedangkan orang Champa Islamnya sebagian belum
sempurna. Namun diyakini mereka yang hijrah ke Lingga
semua sudah memeluk agama Islam dengan Sempurna.
Buktinya tidak ada orang Bangka Merawang yang
memegang agama adat setelah sampai di Lingga.

4. HIJRAH KARENA TIDAK AMAN DI BANGKA
Kalau disimak mengapa orang-orang dari Pulau

Bangka ini hijrah ke Lingga, jawabnya satu, yakni mereka
merasa kehidupannya tidak aman lagi di Pulau Bangka.
Hidup mereka tertekan, karena dibunuh, harta mereka
dirapok para lanun atau bajak laut karena persoalan
ekonomi. Ada juga kelompok mereka dibunuh karena
masalah politik

Orang Bangka gelombang pertama ke Lingga meng-
ikuti rombongan Megan Mata Kuning. Pada abat ke-15
(1480-1490) rombongan Megat Mata Kuning melakukan
pelayaran dari Jambi ke arah laut. Begitu menyusuri
Pantai Sumara bertemu sekelompok orang yang mengaku
dari Reteh dan Palembang, yang juga ada orang deri
Bangka untuk mencari penghidupan baru. Dari
pertemuan itu mereka sepakat berlayar menuju laut dan

41

sampailah di Pulau Singkep dan Lingga. Sampai di Lingga
mereka sepakat membuat perkampungan di Daik Lingga.

Pertanyaan, mengapa ketika bertemu Megat Mata
Kuning ini mereka mengaku ingin mencari kehidupan
baru. Jawabannya tentulah orang-orang menyebut
dirinya sendiri orang Mantang dan Baroq ini merasa tidak
aman dengan berbagai alasan di tempat asalnya,
termasuk di Pulau Bangka, dan mencari tempat yang
aman untuk menyambung hidup.

Sedangkan gelombang kedua orang dari Pulau Bangka
ke Lingga mengikuti Panglima Raman atau Rahman, yang
pulang merampok timah di Pulau Bangka. Rombongan
Raman berkali-kali datang ke Bangka untuk merampok
dalam kurun waktu 1787 sampai 1790. Dalam teks buku
sejarah ditulis orang Bangka, untuk mendapatkan harta
benda penduduk Bangka, pasukan Raman digambarkan
sangat kejam, begis, dan mengerikan. Mereka membunuh
dan harta benda penduduk dirampas. Mayat-mayat
dicampak ke sungai, yang dapat menyelamatkan diri
banyak mati kelaparan dan diserang berbagai penyakit.
‘’Berkali-kali Panglima Raman itu merampok di Banga
ini. Dia sangat garang dan kejam. Banyak penduduk
dibunuhnya, jumlah hanya sekitar sepertiga saja
penduduk Bangka ini dapat melarikan diri dan hidup,’’
kata Ahmad Sarkati (82) pimpinan Pokdok Pesanren di
Merawang Pulau Bangka, kepada penulis, Selasa, 30
Oktober 2018, di kediamannya.

42

Dalam tulisan Linda, HTTP:sport turism, 8-11-2018,
mengutif naskah lama yang tersimpan di Arsif Nasional
RI, mengatakan, pada suatu pertempuran Panglima
Raman diserang Batin Tikal dari Darat dan Pasukan
Sultan Palembang dari laut, keadaan Bangka sangat
menyedihkan. Penduduk Pulau Bangka diperkirakan
hanya tinggal sepuluh persen saja.

Dibagian lain dilaporkan Panglima Raman merampak
di Bangka dibantu oleh Depati Anggur, (depati pejabat
setingkat walikota) di Bangka. Ini terungkap setelah
Kesultanan Palembang dipimpin Sultan Mahmud
Badaruddin II, Raman mengirim Bahrin pulang ke
Bangka dari Lingga. Bahrin membawa surat dari Raman,
untuk Sultan. Isi surat itu, menerangkan bahwa Bahrin
adalah anak Depai Anggur bernama Karim, yang mati di
Lingga. Kemtian Depati Karim ini disebabkan luka yang
cukup parah ketika bertempur melawan pasukan sultan
Palembang ketika dia membantu Panglima Raman,
merampok timah.

Dalam surat itu Raman mengaku salah, tapi Bahrin
tidak bersalah, karena waku Depati Anggur terluka dan
mati di Lingga, Bahrin masih kecil, tidak tahu apa-
apa.Karena masih kecil dia dibawa ke Lingga untuk
dididik dan dibesarkan. Mencermati surat Raman itu,
Bahrin dapat pengampunan, dan di angkat sebagai
Depati Jeruk atau Depati Anggur di Pulau Banga.

Dari gambaran di atas tentu tidak semua orang Bangka

43

yang dirampok Panglima Raman ini dibunuh, tapi
banyak juga yang hidup. Mereka yang masih hidup ini
dipujuk supaya mau ke Lingga. Karena merasa tidak
punya harta benda lagi dan hidup di Bangka sudah tidak
punya rasa aman, sehingga mereka mau menerima
tawaran pasukan Bajak Laut Sultan Mahmud ini.

Menurut Abdul Malik, dalam Sultan Mahmud Riayat
Syah Pahlawan Besar Grilya Laut, halaman 183
mengatakan, Palima Raman atau Panglima Rahman anak
didik Raja Melayu Engku Muda Muhammad, Temeng-
gung Johor, Singapura, Batam, Bulang, Karimun dan
sekitarnya sampai ke Temiang. Pasukan Panglima Raman
ini, cukup kuat, didukung sebanyak 10.030 orang dengan
84 buah perahu.

Engku Muda wafat tahun 1806. Sultan Mahmud,
mengangkat keponakan Engku Muda bernama Abdul
Rahman, sebagai Temenggung Johor, Singapura dan
sekitarnya. Penulis melihat ada kemiripan nama antara
Raman, Rahman, dan Abdul Rahman. Kalau Raman dan
Rahman jelas orangnya sama, karena Raman itu persi
teks sejarah yang ada dalam Tuhfat al Nafis, sedangkan
yang termuat dalam teks sejarah di Pulau Bangka
Panglima Rahman. Begitu Engku Muda wafat, timbul
nama Abdul Rahman yang menggantikannya.

Memang perlu kajian mendalam lagi untuk membuat
kesimpalan yang mutlak untuk mengatakan Raman,
Rahman, dan Abdul Rahman adalah orangnya sama.

44

Namun kalau dilihat dari kebisaan seorang Sultan
mengangkat pejabat tentulah dari orang kepercayaan dan
sudah berjasa.

Bukankah Panglima Raman sudah berjasa besar
dengan kerajaan, dengan berkali-kali merampok timah
di Bangka untuk mengisi kas kerajaan. Atas jasanya itu,
sangat pantas bila dia diangkat sebagai pejabat kerajaan
seperti Temenggung. Kalau dikatakan Abdul Rahman itu
adalah Rahman, menurut persi sejarawan Bangka,
diungkapkan Teungku Sayyaid Teqy, Rahman mati
terbunuh di di Sungai Tangkalat, Bangka.

Dalam catatan sejarah Bangka yang lain dikatakan,
Raman dibunuh cucu angkatnya sendiri di Sungai, yakni
Bantin Amir anak Batin Baharin. Amir sakit hati dengan
Raman, karena orang tua yang sudah tua bangka inilah
yang tidak mau mengakui kehebatan Amir.

Pada suatu ketika Amir pura-pura baik dengan kakek
angkatnya ini. Dengan cara mangajak mandi bersama
dihulu sungai berpergian dengan menggunakan sampan.
Sampai di lokasi sepi, Amir menyuruh Panglma ini mandi
dan menaggal seluh pakainnya, dengan alasan orang tua
yang tidak pernah mandi, dapat membersihkan
badannya.

Padahal tujuan Amir kalau seluruh pakaian sudah
dilucutkan, jimat yang ada pada Raman juga lepas. Ketika
jimat sudah lepas inilah Amir membunuh Raman dengan
cara menimpanya dengan pohon pelawan yang besar.

45

Raman adalah anak Bangsawan Bugis Wajo dan ibunya
orang Lingga yang juga dari kalangan Bangsawan, suku
laut.

Begitu juga dengan keluarga Abang Tawi, yang berasal
dari Mentok Pulau Bangka, mereka ke Lingga pada tahun
1792, karena marah dengan Sultan Palembang yang
membunuh keluarganya sehngga semuanya mati.
Perbuatan ini, karena Sultan menduga Keluarga Abang
Tawi ingin membelot dan menyerang Palembang, setelah
Abang Tawi membangun Benteng di Mentok.

Menurut Husnial Husin Abdullah, dalam Sejarah
Perjuangan Kemerdekaan RI di Bangka Belitung, pada
halaman 14 hingga 15 dikatakan Pulau Bangka memang
menjadi sasaran bajak laut atau ilanun, sehingga banyak
menimbulkan mala petaka. Untuk mengatasi keganasan
bajak laut ini Sultan Johor dengan bersekutu dengan
Sultan Minangkabau mengirimkan Panglima Tun Sarah
dan Panglima Raja Alam Harimau Garang.

Kedua panglima ini berhasilkan menjalankan tugasnya
dengan baik. Usai menumpas para bajak laut ini Tun
Sarah menetap di Bangka Kota dan Raja Alam menetap
di Kota Berigin mengembangkan Agama Islam dalam
waktu yang tidak lama, dan masing-masing pulang ke
daerahnya. Setelah itu bajak laut kembali menyerang
Bangka. Dari gambaran ini jelas situasi di Bangka tidak
dapat memberi rasa aman bagi penduduk, jadi wajar
kalau sebagian mereka ke luar untuk mencari rasa aman,

46

termasuk hijrah ke Lingga.

5. DI LINGGA MENDAPAT PEKERJAAN YANG LAYAK
Sampai di Lingga orang-orang dari Pulau Bangka ini

mendapat pekerjaan yang layak . Rombongan yang
mengikuti Megat Mata Kuning pada abat ke-15 umpanya,
mereka naik ke darat dengan cara masuk dari Sungai
Marok, Sungai Mantan, dan Sungai Cenut, yang ada di
depan Pulau Mepar. Kemudian ada juga yang masuk ke
Sungai Tande dan Sungai Budus yang berada dibagian
Timur Pulau Mepar.

Sampai di darat membuat kebun dan dusun. Kebun
dan Dusun yang mereka buat cukup luas, mulai dari garis
pantai atau diatas hutan bakau sampai dibukit-bukit.
Bukti sejarah ini masih dapat dilihat dengan adanya
tanaman sagu, karet baik berupa getah para maun getah
merah. Tanaman tua lainnya berupa pokok durian serta
tanaman pengikutnya seperti langsat, duku, manggis,
rambai, cempedak,. Oran Bangka Merawang juga
menanam sahang atau lada hitam, kemudian menanam
sirih.

Khusus tanaman sirih, biasanya yang berkebun sirih
ini dilakukan kaum perempuan, baik merawat, dan
memetiknya (memanen). Sedangkan kaum lelaki cukup
untuk membuat hamparan lahan, serti membersih lahan
dan membuat petak di lahan. Karena tanaman sirih
hidupnya ditanah tinggi. Dengan demikian tanah

47

dipetak-petak dengan ukuran 10 x 10 meter. Disekeliling
tanah berukuran 10 x 10 meter itu dibuat parit dengan
kedalaman kira-kira ½ sampat 1 meter, tergantung
keadaan hamparan lahannya.

Terakhir orang Merawang berkebun sirih di kawasan
Budus, Desa Merawang yakni sebelah kiri sebelum SD
(Sekolahh Dasar) Merawang, kalau dari Budus menuju
Kampung Tengah. Ada belasan orang yang berkebun di
sana, antara lain, Nek Raga (istri Mutalib, kepala Desa
Merawang sebelum tahun 1985), Nek Gayah, Nek Lijod,
Mak Teh Yam dari Kampung Merawang. Kemudian dari
Kampung Tengah ada Nek Timah, Nek Andak, Nek Teh
Sakniah, Nek Zizah, Mak Cu Nurinah, Mak Cik Nurisah,
Mak Ndak Meliah. Kini dari sekian nama-nama itu masih
dua orang yang ada, yakni Mak Cik Nurisah dan Mak
Andak Minah (Aminah), keduanya kini tinggal di
Tanjungpinang mengikuti anak. Selebihnya sudah
meninggal dunia sejak tahun 90-an lalu. Teh Nyam
meninggal, di Pangkal Pinang Bangka, kerena sejak tahun
80-an sudah hijrah ke Bangka, mengikuti anaknya.

Sirih termasuk tanaman manja, tanaman yang
menjalar di kayu yang ditegakan, setiap hari harus
dirawat. Caranya seperti membersihkan rumput,
pengasapan dengan cara menghidup api di tengah-tengah
kebun setiap hari. Dalam waktu tententu harus dipupuk
dengan cara disiram dengan air pelimbah (air tatong –
bahasa Merawang).

48

Daun sirih ini di jual di Kampung Cina Daik. Ada dua
orang Cina yang menampung sirih, yakni Cungi yang
punya ‘’Toko Baru ‘’ dan Panjang . Dari dua kedai ini,
banyak orang-orang Daik membelinya untuk dimakan.
Sekitar tahun 1990-an kebun sirih orang Merawang di
Budus ini mati, karena tidak dirawat sejalan dengan
pemiliknya banyak meninggal. Sedangkan generasi
berikit tidak kurang berminat melanjutkan usaha orang
tua mereka. Jarak dari Kampung Merawang maupun
Kampung Tengah ke kebun sirih kira-kira 15 sampai 20
menit berjalan kaki. Letaknya dikelilingi dusun durin dan
dusun getah merah. Karena jauh dari kampung mereka
kalau ke kebun ini bersama-sama, minimal dua orang.

Ciri khas mereka ke kebun ini tetap membawa Suyak
yang tergantug dibelakang (diambin-bahasa Bangka)
masing-masing. Didalam suyak ini, isinya macam-
macam, seperti parang, pisau untuk alat kerja, ada juga
bekal (makanan). Kalau pulang, dalam suyak itu ada daun
sirih yang siap untuk dijual, sayur, atau kayu bakar (kayu
api) untuk menghidup api di rumah bila memasak
makanan. Sekarang tidak ada lagi orang berkebun sirih,
orang di Daik pun tidak ada lagi yang makan sirih.

Cara makan daun sirih, daun sirih dicampur dengan
kapur, gambir, buah pinang, kemudian sirih dilipat-lipat
lalu dikunyah-kunyah dalam mulut. Sedangkan tem-
bakau menggunakannya dengan cara digosok-gosok ke
gigi sambil tetap mengunyah sirih. Bagi orang tua yang

49

sudah tidak punya gigi lagi, mereka makan sirih dengan
cara ditumbuk (dilumat) dalam lesung batu. Ada juga
menggunakam kubiek, yakni alat untuk melumatkan
sirih, bentuknya seperti paralon kecil. Besar kubik ini
kira-kira sebesar jempol kaki orang tua, panjang 15 cm,
terbuat dari tembaga.

Mampaat makan sirih adalah obat, untuk menahan
gigi, menghilang bau mulut, dan menghidari penyakit
paru-paru. Karena daun sirih, kapur, gambir, buah
pinang, dan tembakau dapat membunuh kuman
penyakit.

Selain tanaman sirih, taman yang unik lainnya adalah
getah merah. Kalau sirih tanaman merambat, getah
merah termasuk tanaman tua, yakni berumur 10 tahun
baru dapat dipanen. Cara memanennya, batangnya di
toreh sampai mengeluarkan getah. Cara norehnya mulai
dari pangkal, sampai ujung pohon yang tingginya ada
yang lebih 20 meter.

Memanjat pohon getah ini menggunakan tangga
terbuat dari kayu atau buluh (bambu) satu batang. Cara
kerjanya, satu tangan berpegang pada pohon getah,
tangan satunya menoreh batang getah. Kerja menoreh
(memotong – bahasa Merawang) getah merah berisiko
tinggi. Ada juga yang jatuh dari atas pohon sampah patah
tulang, bahkan ada yang sampai meninggal dunia.

Tanaman-tanaman yang ditanaman orang Merawang
ini pada umumnya juga di lakukan orang Bangka di

50

Pulang Bangka, kecuali getah merah yang tidak ada
ditemukan di Bangka. Menurut Zakaria bin Mahdan (75)
orang Bangka Merawang Lingga asal Desa Resun, getah
merah yang ada di Lingga berasal dari Serawak Kali-
mantan. ‘’Tidak ade getah merah di Pulau Bangke ini, kite
di Daik tu asal getah merah dari Kalimantan,’’ kata lelaki,
merantau ke pulau timah ini sejak tahun 1963 lalu.

Pada waktu itu Zakaria tidak sendiri ke merantau ke
Pulau Bangka, tapi bersama dua orang temannya, yakni
Said Murad bin Said Ali, dan M Nur. Mereka naik pesawat
dari Dabosingkep. Mereka ke Bangka untuk sekolah,
Zakaria dan Murad masuk STM (Sekolah Teknik
Menengah), sedangkan M Nur masuk SMEA (Sekolah
Menengah Ekonomi Atas). Tamat sekolah mereka tidak
pulang ke Daik Lingga, tapi memilih menetap di sana.
Sejak tamat sekolah Zakaria memilih berwiraswasta,
sedangkan Said Murad dan M Nur, menjadi karyawan
PT Timah.

Kebun atau dusun orang-orang Bangka di Pulau
Lingga tidak hanya terbatas disepanjang aliran Sungai
Marok, Mantan, dan Sungai Cenut saja. Tapi kalau dilihat
dari kawasan Istana Sultan-sultan Lingga Riau yang
membentang dari piggir Sungai Daik hingga ke pinggir
Sungai Tande di seberang kedua Sungai ini setelah
kawasan istana terdapat dusun-dusun orang Bangga
Merawang.

Bersebelah dengan Istana Damnah milik Sultan

51

Mahmud dipinggir Lubuk Papan Sungai Tande, disebe-
rang Sungai Tande sudah terdapat dusun, durian dengan
tanaman pengikutnya, serta dusun getah merah. Dusun
ini membentag mulai dari pinggir Lubuk Solok di hilir
sungai sampai ke hulu sungai di atas Lubuh Patmah
Sungai Tanda.

Dari pinggir sungai Tande ini memanjang mengikuti
garis pantai hingga ke Sungai Setajam di Desa Kelumu
dengan melewati Sungai Budus, Sungai Mantan, Sungai
Cenut, Sungai Kador, Sungai Malar, dan Sungai Lebuk.
Naik ke atas dari garis pantai dusun-dusun orang Bangka
Merawang ini naik kedarat hingga ke lereng-lereng bukit
yang tinggi dan tidak mampu dinaiki lagi. Selain di daerah
ini orang-orang Bangka merawang membuat perkam-
pungan dan dusun di Desa Kelumu. Dusun Durian di atas
Bukit Desa Kelumu cukup luas. Kemudian Dusun Durian
di Hulu Sungai Kalas Desa Mentuda juga cukup luas,
khusus di Sungai Kalas ini sudah tidak memiliki
perkampungan lagi . Kalau dilihat dari tapak sejara yang
ada, di muara Sungai Kalas, tepatnya sebelah kanan
masuh ke Selat Sebudoi kalau belayar dari Laut Tanjung
Datok menuju Desa Mentude, terdapar perkuburan Islam
dengan nisan batu Aceh. Kemudian dusun durian yang
cukup luas terdapat di Desa Mentude sendiri. Dusun
durian disini membentang mulai dari Bukit Teluk Dalam
di muara Sungai Kalas hingga hulu sugai Mentude.

Selain membuat kebun dan dusun, sebagian orang-

52

orang Bangka Marawang juga berniaga, seperti membuka
kedai, berlayar keliling pulau membawa barang-barang
hasil kebun. Bahkan mereka berlayar membawa da-
gangan dengan perahu layar sampai ke pesisir Sumatra,
seperti ke Kuala Tungkal, Jambi Tembilahan, bahkan
sampai ke Singapura dengan berdayung sapan.

Orang Bangka Merawang Lingga kalau belayar dengan
perahu menuju Tungkal atau Tembilahan, dari Daik
mereka menuju Pulau Buaya, atau Batu Belubang. Dari
situ baru menuju mata angin Barat. Karena tidak lama
mereka berlayar kearah Barat sudah nampak daratan
Sumatra. Begitu juga waktu pulang tetap menuju Pulau
Buaya, dahulu. ‘’Jadi Pulau Buaya itu sebagai penujuk
jalan, kalau mau ke Sumatra,’’ kata Arifin (84) tokoh
masyarakat Bangka di Mentuda.

Beda kalau mereka ke Singapura menggunakan perahu
atau sampan dayung waktu dibawah tahun 80-an.
Mereka ke Singapura dengan berdayung sampan
memasuki pulau-pulau kecil di Kecamatan Senayang,
selanjutnya dari daerah Pulau Nopong Senayang
menyeberang di kawasan pulau-pulau kecil di Galang.
Masuk selat keluar selat yang kecil sampai ke Pulau
Belakang Padang. Dari Belakang Padang inilah mereka
menyeberang ke Singapura pada malam hari. Orang
Bangka Merawang kalau ke Singapura menggunakan
sampan dayung selalu membawa sahabatnya, dari
kalangan orang Mantang, sebagai pendayung. Setelah

53

pulang, orang mantan diberi upah, selain uang, juga
barang makanan, termasuk perhiasan seperti jam tangan
dan radio.

Orang-orang Bangka juga mahir pekerja sebagai
nelayan, dengan menggunakan alat tangkap pancing,
rawai, tangkul, pekap, bubu, jaring, jale, kise, empang,
pukat, pinto. Kelong, dan sebagainya.

6. KEMAKMURAN ORANG BANGKA DI LINGGA
Dengan cara berkebun dan membuat dusun yang

cukup luas, perekonomian orang Bangka Merawang
cukup lumayan. Hal ini dapat dilihat dari rumah tempat
tinggal mereka pada zaman dulu banyak orang merawang
membuat rumah tinggal bentuk rumah adat yang cukup
mewah dan megah.

Dikatakan demikian, karena rumah adat orang Bangka
Merawang di Lingga, rumah panggung dengan tongkat
kayu yang tinggi. Ukuran tingginya, kalau orang dewasa
berjalan dibawah rumah, kepala orang itu tidak men-
yentuh lantai rumah. Rumah adat orang Bangka
Merawang, terdiri dari dua unit, satu rumah induk
berukuran besar, satu unit rumah untuk dapur, ukuran-
nya sedikit kecil.

Material atau bahan bangunan rumah adat ini adalah
kayu-kayu tropis yang keras, seperti kayu jenis resak dan
teras kayu merah untuk bagian bawah seperti tongkat,
rasuk, dan gelegar. Sedangkan untuk bangain atas tiang,

54

kayu alang, berjenis kayu kapur, punak, pelajau, kruing,
seraya. Untuk kasau (kayu untuk mengikat atap) bagian
atas digunakan kayu kenis mentangor, medang dan
sejenisnya.

Papan dinding dan lantai juga dari kayu-kayu berjenis
keras seperti kayu kapur, seraye, goronggang, dan
sejenisnya. Paling unik untuk tetup atau daun lawang
(pintu) dan tingkap (jendela) rumah ini dari kayu
sebatang yang ditarah hingga pipih menjadi papan.

Tutup atau daun lawang (tutup pintu) dipasang
berdiri. Sedangkan daun tingkap (tutup jendela) dipasang
melintang atau memanjang. Rumah adat Orang Bangka
zaman dulu tidak menggunakan paku untuk merekat
kayu satu dengan yang lainnya, tapi semuanya pakai
pasak yang dibuat dari kayu juga.

Pada tahun 80-an rumah rumah berbubung tinggi
lancip ini masih dapat dilihat beberapa unit di Kampung
Tengah, Kampung Merawang, dan Kapung Sepincan.
Kemewahan lain yang dapat dilihat adalah peralatan
rumah tangga, seperti tikar dari permai dani, tabir (kain
pelindung dinding ) yang terbuat dari kain berkualitas
tinggi, sehingga dapat digunakan dalam waktu lama.

Bagitu juga peralatan dapur ada yang terbuat dari
tembaga dan perak. Barang yang terbuat dari tembaga
seperti kuali, dalong (sejenis kuali, tempat masak nasi),
cerek, talam, baki (talam kecil), paha (talam berkaki),
kaki batel (paha kecil), sanggan (tempat air cuci

55

tangan), sangku (sejenis sanggan), sendok. Barang lain
terbuat dari tebaga, tepak sirih, kaki dian (lilin), dulang
(tempat penyimpan pakaian), keto (tempat berludah).

Kamudian di rumah orang Bangka tempo dulu banyak
menyimpan barang pecah belah seperti pinggan (piring)
makan, pinggan lauk, teko, mangkok nasi, mangkok
lauk, dari jenis porslin buatan cina kualitas tinggi.
Barang-barang ini digunakan bila ada pesta kawain, atau
doa arwah (haol jamak) di Masjid atau Surau.

Sedangkan barang pakaian, seperti kain songket, kain
telepok, kain sutra, todong manto, banyak juga dimiliki
orang Bangka Merawang. Barang-barag ini, melam-
bangkan kemewahan atau kemakmuran orang-orang
Bangka di Lingga. Kemakmuran yang dimiliki ini tidak
terlepas kerja keras mereka membuka hutan secara
berpindah-pindah untuk membuat kebun dan dusun.
Kemakmuran ini juga sekaligus menegaskan bahwa
hubungan orang-orang Bangka dengan pihak Kerajaan
Lingga Riau cukup baik, kalau tidak mana mungkin
mereka dapat membuat ladang berpidah sesuka hati, dan
hasilnya dapat membeli barang-barang mewah.

Barang mewah berupa pakaian baru digunakan kalau
ada hajatan, seperti nikah kawin, atau pada hari lebaran.
Mereka berjalan ke rumah-rumah keluarga antar
kampung baru menggunakan pakaian mewah ini, atau
ke Masjid pada waktu sebayang Hari Raya.

Begitu juga dengan barang pecah belah seperti

56

pinggan, piring, gelas buatan Tiongkok baru digukan bila
ada kenduri atau hajatan. Sedangkan pakaian untuk kerja
di kebun atau dusun orang Bangka Merawang biasanya
menggunakan pakaian khusus untuk ke kebun.

7. SENI BUDAYA ORANG BANGKA MERAWANG
LINGGA
Sekilas orang Banga Merawang di Lingga tidak

memiliki kesenian, seperti tari dan lagu (nyanyian) pada
umumnya. Namun ada kesenian khas yang ditekuni, tepo
dulu, seni musik gambus untuk tari zapin. Kemudian
gendang marawis untuk tari inai, gendang panjang dan
gong, untuk pencak silat. Kesenian lainnya yang lebih
bernuansa ibadah seperti maulut dan berzanj, adanya
hadrah (sejenis kompang).

Selain tari zapin dan tari inai, tidak ada yang hidup
dalam masyarakat Merawang di Lingga. Kecuali tari joget.
Tari gojet ini hanya dilakukan orang Bangka Merawang
yang laki-laki sebegai pengebeng, sedangkan jogetnya
dari luar masyarakat Bangka. Dulu joget dangkong (jeget
tradisional), bersal dari sejumlah pulau, seperti Joget
Posek, Joget Pasir Gagah, Joget Pulau Medang, Gojet
Kukang dari Duara. Joget ini datang ke kampung-
kampung orang Bangka, kalau diundag sewaktu ada
keramaian seperti hajad nikah kawin.

Tata cara berjoget zaman dulu, penari atau jogetnya
berjumlah sekitar empat (4) orang semuanya perempuan.

57

Mereka menari mendapat jasa dari pengebeng. Sambil
menari joget juga bernyanyi, bahkan ada lirik-lirik lagu
sepeti pantun. Kalau lagu seperti ini, biasanya pengebeng
juga ikut bernyanyi, sambil berbalas pantun. Ini yang
menarik bagi orang-orang yang suka joget, termasuk yang
menonton. Alat musik yang digunakan dalam joget
dangkung ini, biola, gong (tawak-tawak), tambur
(gendang besar) dan krutok (gendang kecil, kembar dua).

Pada malam hari, orang-orang Merawang senang
mendongeng, sebagai pengantar tidur bagi anak-anak.
Cerita yang selalu didongengkan seperi hikayat Akek
Antak. Bagi orang Bangka Merawang, Akek Antak, adalah
leluhur mereka orang Bangka yang sangat sakti.
Orangnya tinggi besar, tegap, jagok, dan geraknya lincah.
Kalau berjalan dari Pulau Bangka ke Lingga hanya dua
langkah. Kisah atau hikayat ini, tidak terjangkau pikiran
kita yang normal sekarang ini, tapi orang-orang tua
tempo dulu menyakinkan anak-anaknya, bahwa Akek
Antak seperti yang diceritakan itu memang banar-benar
ada.

Kisah Akek Antak ini sebenarnya sama dengan kisah
Said Abdullah Al-Yahya. Seperti dituturkan Aswandi
Syahri Dkk, dalam (Laporan Penulisan Sejarah Pulau
Mepar, Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga, 2018,
hal;55). Pernah suatu hari terjadi kebakaran di Pulau
Mepar, saat itu Said Abdullah Al-Yahya yang juga
dipanggil Habib itu masih menetap di Mala, salah satu

58

dusun persis diseberang Pulau Mepar. Melihat asap tebal
di Pulau Mepar dari Mala dengan izin dan pertolongan
dari Yang Maha Kuasa, Tuan Habib melompat ke Mepar
untuk membantu memadamkn kebakaran.

Sampai di Mepar, tuan Habib mengumandangkan
azan, mengagungkan kebesaran Allah serta upaya
penduduk menyiram api menggunakan sekol (tempat air
dari tempurung kelapa) dan pesian (tempat air dari
buluh) dan seketika api pun padam. Tuan Habib atau Said
Abdullah Al-Yahya adalah seorang ulama dari Palembang
yang datang ke Lingga menyebarkan menyebarluaskan
agama Islam. Secara akal sehat tidak mungkin dari Mala
ke Pulau Mepar dapat dengan lompatan, begitu juga dari
Lingga ke Pulau Bangka tidak mungkin dapat dijangkau
dengan dua langkah. Kisah mistis ini memang tidak
terjangkau dengan akal sehat. Sama hal dengan kete-
rangan tokoh masyarakat Bangka Merawang di Pulau
Bangka, Muhammad Sarkati, Depat Bahrin, atau bapak
Depti Amir. Menurut lelaki 80 tahun ini, Bahrin memiliki
kesaktiak dapat menghilang seketika dan dapat berjalan
diatas air.

Sewaktu berjuang melawan Belanda di Bangka,
menurut Sarkati, Bahrin dibatu pendekar-pendekar dari
Daik Lingga, salah seorang bernama Akek Gok. Akek Gok
juga disebut juga panglima mata biru, dan kuburnya
berada di Kupang Nusa Tenggara, lari karena dikejar-
kejar Belanda. Anggota DPR-RI asal Lingga, Nyat Kadir

59

mengaku pernah sampai di Kupang dan ziarah ke Makam
Panglimma Daik. Mungkin Panglima Daik yang dikata-
kan orang Kupag inilah makam Akek Gok. Nama
pendekar yang lain membantu Bahrin, adalah Akek Pok,
Akek Sendil atau Penglima Sedi. ‘’itu nama-nama
panggilan. Untuk menyamarkan Belanda,’’ kara Sarkati.

Kembali tentang Akek Antak, sampai hari ini di Pulau
Bangka, cerita ketokohan Akek Antak, ini masih hidup.
Namun menurut TS Deqy, ketokohan Akek Antak ini
seorang pendakwah agama Isam, di Pulau Bangka, yang
hidup sekitar abad ke-10 atau 12. Nama asli Akek Antak
adalah Syekh Syarif Abdul Rasheed, orang Arab Putih dari
Hadhramaut-Yaman.

Selain tentang hikayat Akek Antak, cerita lebai malang,
cerita kancil, batu bertangkup, bawang putih bawang
merah, siburuk rupa, menjadi cerita pengantar tidur bagi
orang Bangka merawang tepo dulu.Kini zaman sudah
semakin maju dengn adanya berbagai senetron di layar
kaca, dongeng-dongeng itu sudah jarang terdengar
diceritakan sebagai pengantar tidur ataupun diwaktu-
waktu santai dalam keluarga.

Dari segi budaya atau kebiasaan sehari-hari pakaian,
orang Bangka perempuan dewasa tempo dulu untuk
keluar rumah menggunakan pakian baju kurung, atau
baju kebaya, bagian atasnya. Sedangkan bagian bawah
kain sarung. Bagi laki-laki dewasa pakaian keluar rumah,
celana panjang longgar dan baju kemeja, dan kepala

60

mengenakan songkok (kupiah) terbuat dari empulur
resam.

Peralatan kerja untuk membuka kebun, orang Bangka
menggunakan parang dengan berbajai jenis dan ukuran.
Kemudian kapak untuk menebang kayu berukuran besar.
Untuk mengolah tanah, menggnakan cangkul dan
penggali.

Alat angkut atau wadah untuk menyimpan hasil kebun,
menggunakan rage, bakul, kijing yang terbuat dari buluh
(mambu) atau rotan yang dibelah dan diraut rapi. Untuk
mengangkut hasil panen menggunakan suyak (ambung)
yang juga terbuat dari rotan atau buluh. Peralatan dapur
ada penampi (nyiru) anyaman buluh, penapis untuk
mengabil santan kelapa.

8. PERSAMAAN BUDAYA ORANG BANGKA
Pada kesempatan ini sedikit digambarkan persamaan

budaya atau adat yang dimiliki orang Bangka di Lingga
dengan mereka di Pulau Bangka. Pada umumnya dari segi
bahasa sehari-hari sama, baik orang Bangka Merawang
maupun orang Bangka Mentok.

Jenis tanaman yang mereka tanam di kebun atau
dusun pada umumnya juga sama, yakni karet, sahang,
durian, dan buah-buahan lainnya. Alat angkut suyak atau
ambung pada zaman dahulu juga ada dikedua tempat
baik di Lingga maupun di Pulau Bangka. Penyebutan
nyiru (tempat mencuci beras) sama, yakni penampi. Alat

61

tangkap untuk menangkap (berburu) binatang pelanduk
(kancil), juga sama menggunakan lapon.

Bentuk rumah tinggal atau rumah adat juga masa.
Rumah orang Mentok di Pulau Bangka dengan rumah
orang Mentok di Lingga srukturnya sama. Seperti rumah
Melayu lama yang ada di Kampung Mentok, Kampung
Pahang, dan dibeberapa kampung di Lingga. Bentuk
rumahnya berkaki agak tinggi. Begitu naik ke rumah dari
tangga, kita berada di ruang seperti peranginan atau
beranda, sebagai tempat bersantai keluarga atau tamu.

Begitu juga dengan rumah adat orang Bangka
Merawang, yakni rumah tinggi dengan atap tinggi lancip,
zaman dahulu juga ada di Merawang Pulau Bangka.
Bentuk rumah ini, lebih tinggi dari rumah Melayu Bangka
Mentok. Rumah adat orang Merawang pada umumnya
daun tingkap (jendela) dan daun lawang (pintu) dari kayu
sebatang yang ditarah (dibuat papan yang tebal). Tingkap
rumah adat orang Merawang dipasang memanjang
horizontal.

9. ORANG BANGKA KE LINGGA SUDAH ISLAM
Ditinjau dari sudut rentang waktu pertamakalinya

orang Bangka ke Lingga abat ke-15 (1480-1490) meng-
ikuti Megat Mata Kuning, dapat dipastikan mereka
semuanya sudah beragama Islam. Kepastian ini dapat
dilihat dari dua fakta sejarah yang ada. Pertama Megat
Mata Kuning anak dari megat mata merah, memang

62

sudah beragama Islam sejak dari Jambi. Bukti fisik ke-
Islaman Megat Mata Kuning ini sendiri dapat dilihat dari
makamnya yang ada di Bukit Keramat Daik Lingga, yang
nisanya memang menggambarkan kubur orang beragama
Islam.

Fakta kedua, Teungku Sayyid (TS) Deqy, Islam sudah
masuk ke Pulau Bangka pada abad ke-11 atau 12.
Pendapat ini diungkapkan TS Deqy, dalam bukunya
Korpus Mapur Dalam Islamisasi Bangka, dengan
panjang lebar. Buku setebal 550 halaman; 21 x 29 cm ini
hasil risetnya selama delapan (8) tahun dengan
mengambil kolasi sampai ke Champa daratan Cina,
Hadramaut-Yaman di Arab, di Jawa, Aceh, dan beberapa
daerah tapak sejarah Islam lainnya.

Dalam buku itu TS Deqy, menjelaskan pada abat ke-
11 atau 12 itu Islam masuk ke Pulau Bangka, di daerah
Mapur oleh Akek Antak, yang bernama asli Syekh Syarif
Abdul Rasheed, dari Hadramaut-Yaman. Dikalangan
orang Bangka, nama Akek Antak sangat spektakuler,
karena dalam cerita dari mulut kemulut lelaki ini sangat
luar biasa, padannya tinggi tegap, sakti. Kalau perpergian
dari Pulau Bangka ke Lingga cukup dua langkah saja,
cerita ini tentu sangat mistis, kata TS Deqy.

Namun Akek Antak yang sebenarnya adalah seorang
tokoh Agama Islam yang cerdas dan bijaksana. Dialah
yang menyebar agama Islam di Pulau Bangka khususnya
disekitar Mapur. Dari Mapur inilah asal susul orang

63

Bangka Merawang di Pulau Bangka, kemudian orang
Bangka Merawang di Lingga asal susul mereka dari
Merawang di Pulau Bangka, kini Merawang di Pulau
Bangka merupakan wilayah kecamatan masuk dalam
Kabupaten Bangka yang berpusat di Sungai Liat.

Asal mula orang Bangka Merawang Lingga ini dari
daerah Marawang di Pulau Bangka, dapat dilihat dari
beberapa kesamaan diantaranya bahasa sehari-hari,
rumah adat, termasuk tentang leginda Akek Antak.
Kesamaan pandangan tentang Akek Atak ini, umpama-
nya orang Merawang mengaku mereka keturunan dari
Akek Antak. Bagi orang Mewarang termasuk orang
Bangka di Pulau Bangka pada umumnya menggam-
barkan Akek Antak adalah orangnya tinggi besar, sakti,
dan serba bisa.

Tahap kedua masuknya Islam di Bangka pada abad ke
13-14 dibawah oleh Syeh Sulaiman di wilayah Maras dan
Bangka Kota. Kamudian pada abat ke-15 Islam di Bangka
dibawa oleh armada Perang dari Demak dalam perja-
lanannya ke Malaka yang singgah di Bangka. Kemudian
abat ke 15-16 Islam di Bangka dikembangkan Syekh
Cermin Jati. Terakhir pada abat ke 16 hingga 19 Islam di
Pulau Bangka secara berturut-turut dikembangkan oleh
Tun Syarah yang dikirimkan Sultan Johor, kemudian
Raja Alam Harimau Garang dari Minangkabau. Setelah
itu Ratu Bagus dari Kerajaan Banten, terakhir dilakukan
seorang Ulama dari Banjar yang bernama Syekh

64

Abdurrahman Siddiq.
Melihat dari tahapan Islam masuk ke Bangka di atas,

maka Orang Bangka ke Lingga mengikuti Megat Mata
Kuning pada abat ke-15, maka pada waktu itu Islam di
Bangka sedang dikembangkan para armada perang dari
Demak. Namun tidak dapat diketahui, setelah Megat
Mata Kuning dan orang Bangka sampai di Lingga,
bagaimana cara mereka manjalankan syariat Islam dan
cara penyebarannya. Karena belum dapat diungkapkan
dimana Masjid atau Surau tertua di Lingga selain Masjid
Sultan Riau yang kini berada di Daik Lingga. Masjid
Sultan Riau di Daik ini dibangun Sultan Mahmud
Riayatsyah, sekitar tahun 1787.

Salah satu tapak sejarah pemukiman orang Islam yang
cukup lama di Lingga ada di kawasan Batu Peti, selat
Sebudoi, Desa Mentude, Kecamatan Lingga. Di sana ada
hamparan perkuburan orang Islam yang relatif banyak
jumlahnya. Sampai sekarang belum dapat diketahui apa
nama perkampungan tersebut dan kemana keturunan
orang-orang dari situ dulunya lari atau membuat
perkampungan baru.

Kalau ditanya dengan orang-orang tua di Desa
Mentuda, mereka mengaku tidak mengetahui apakah
dulunya ada perkampungan atau tidak . ‘’Kubur orang
Islam memang banyak di kawasan Selat Sebudoi itu. Tapi
orang tua-tua dulupun tidak tahu siapa pemiliknya,’’ kata
Arifin (87), seorag tokoh masyarakat Desa Mentuda.

65

Kembali kepada rombongan Megat Mata Kuning dari
Sungai Jambi ke Lingga pada abad ke-15 diperkirakan
Megat Mata Kuning selain mengajak mengikutnya
membuka kebun dan mengembara mengitari pantai
gugusan Pulau Lingga juga mengembangkan ajaran
Islam. Ini dapat dilihat dari keberadaan orang-orang
Baroq yang ada di Tanjung Buton, Desa Mepar dari dulu
mereka memang sudah beragama Islam, sama dengan
orang Bangka Merawang di Lingga. Padahal orang-orang
Baroq diluar Tanjung Buton, di Lingga baru sekitar tahun
80-an di Islamkan tokoh-tokoh agama bekerjasama
dengan pemerintah kecamatan di Lingga.

10.HUBUNGAN ORANG BANGKA DENGAN KERAJAAN
Melihat banyaknya orang Bangka Merawang tinggal

di Lingga, kemudian membuat perkampungan yang
sistematis dan strategis, tentu mereka memiliki hu-
bungan yang dekat dengan pihak Kerajaan. Dikatakan
sistemias, karena perkampungan orang Bangka letak
berjejer, seperti Kampung Merawang, Kampung Tengah,
Cenut, Kador, Malar, seterusnya sampai di Kelumu,
Serteh, dan Metude. Ini kalau dilihat ditelisik secara
seksama jalan kapal-kapal Kerajaan kalau mau ber-
pergian ke Bintan, Singapura, dan ke Johor.

Disepanjang jalan mengarungi lautan , orang-orang
Bangka disepanjang pantai inilah yang mengawasi kapal-
kapal kerajaan. Pihak kerajaan menyebut keberadaan

66

perkampungan orang Bangka yang berjejer disepanjang
jalan akses para Sultan keluar masuk Lingga ini sebagai
pagar alam. ‘’Kapung-kampung orang Bangka itu
memang dibuat seperti untuk menjaga keamanan
kerjaan. Karena dia sebagai pagar alam bagi kerajaan,’’
kata Radiono, seorang Tokoh Bangka yang tingga di Desa
Kelumu. Lelaki tinggi jangkung ini mencapai 30 tahun
menjadi Kepala Desa, ditempatnya. Bapaknya bernama
Akek Dayang, dikenal sebagai seorang pendekar tangguh,
yang disegani.

Melewati Desa Mentude, setelah memasuki Desa
Tanjung Kelid, kapal-kapal kerajaan sudah diawasi
penduduk dari Kalangan Megat, atau Dato’ Kaya dengan
prajuridnya orang Suku Laut. Kepatuhan orang-orang
Suku Laut dengan keturunan Dato’ Kaya dan sebagian
orang-orang di Kecamatan Senayang masih dapat
rasakan sampai hari ini. Contohnya mereka, masih
menggunakan kata ‘ambe’, (hamba). Kata ambe, untuk
orang pertama tunggal, yang artinya saya, menunjukan
orang tersebut sebagai ‘hamba’ terhadap keluarga Raja
atau Sultan, atau orang yang lebih dihormati atau
dihargai seperti keturunan Dato’ Kaya.

Namun kata ‘ambe’ dalam percakapan sebagian orang-
orang daerah Kecamtan Senayang hari ini sudah menjadi
megembangan arti atau makna. Maksudnya kata ambe,
tidak lagi digunakan bila berhadapan dengan orang-
orang derajadnya lebih tinggi, tapi dengan teman sebaya

67

juga mereka menggunakan kata ‘ambe’. Bahkan orang
lebih tua sekalipun, bila berbicara dengan orang yang
umurnya lebih muda, mereka juga mengunakan kata
‘ambe’.

Kembali tentang hubungan baik antara orang Bengka
Merawang di Lingga dengan Kerajaan, juga dapat dilihat
dari kebaikan Sultan, menyerahkan atau memberikan
pulau-pulau kepada orang-orang Bangka. Sebagai
contoh, keluarga keturunan Abang Tawi, mendapat
beberapa pulau dikawasan Pulau Mena’ah di Kecamatan
Senayang. Pulau Pena’ah itu kini lebih dikenal milik
keluarga Abang Ajiz, orang Kampung Mentok, Lingga.

Kemudian di Mensanak, Pulau Nyamuk diserahak
pihak Sultan kepada Keluar Mahdani, orang Bangka dari
Kampung Tengah, Merawang Lingga. Keluarga Akek
Dayang di Desa Kelumu, dapat menerima sebilah keris
dari Sultan, atas jasanya dapat menyembuh keluarga
Sultan yang menderita sakit. Kini keris itu masih ada
dipegang Radiono, anak Akek dayang di Desa Kelumu
Kecamatan Lingga.

Kebaikan pihak Kerajaan atau Sultan dengan orang-
orang Bangka tidaklah serta merta, tapi paling tidak
dilandasi dua fakta sejaran. Petama sebelum Sultan
Mahmud Riauyat Syah tinggal atau datang di Lingga
orang Bangka sudah 300 tahun atau tiga abat lamanya
mendiami Lingga. Jadi posisi Sultan di Lingga pada
awalnya seperti orang menumpang.

68

Fakta sejarah lain, begitu sampai di Daik Lingga orang-
orang Bangka bersama keturunan Megat Mata Kuning
dan orang Baroq inilah yang melindungi Sultan. Mereka
mengaku Mahmud Riayatsyah sebagai pemimpin
mereka, dan rela keturuanan Megat yang sebelumnya
adalah pemimpin tertinggi orang Bangka dan Baroq,
hanya dijadikan Sultan sebagai Temenggung di Pulau
Mepar. Jabatan Temenggung itupun hanya diberikan
kepada Djamaluddin, sedangkan turunannya kebawah
tidak tidak diberikan lagi. Begitu Temenggung Djaaluddin
mangkat, anak-ananknya hanya diberikan gelar Dato’
Kaya. Dari dua fakta sejarah inilah membuat Sultan
‘hormat’ dengan orang Bangka, termasuk dengan orang-
orang Bangka yang baru datang setelah Sultan berada di
Daik.

11.HUBUNGAN LINGGA DENGAN BANGKA
Setelah mencermati semua paparan diatas tahap demi

tahap, ada hubungan yang erat antara masyarakat Bangka
dengan masyarakat Lingga sejak dahulu. Meskipun pada
masa-masa tertentu mengalami situasi yang menye-
dihkan dan mengerikan, seperti Panglima Raman
merampok dan membunuh orang-orang Bangka. Disisi
lain Raman juga membawa orang-orang Bangka ke
Lingga dan sampai di Lingga mereka dididik, dan ada
yang menjadi pendekar tangguh, seperti Bahrin.

Bahrin dibawa ke Lingga, karena bapaknya, Depati

69

Anggur, bernama Karim, sahabat Raman mati di Daik
Lingga, meski belum dapat diketahui dimana kuburnya.
Dalam catatan sejarah di Bangka, sewaktu dibawa ke ke
Lingga bersama anaknya Bahrin, Karim memang sakit
kuat, kerena luka-luka sewaktu membantu Panglima
Raman dalam pertempuran dengan pasukan Sultan
Palembang. Pertempuran itu terjadi karena pasukan
Panglima Raman berkali-kali merampok timah di Bangka
dan dibantu Depati Karim.

Ada dua tujuan pasukan Kerajaan Lingga yang
dipimpin Panglia Raman merampok timah di Bangka itu.
Tujuan pertama, bermotof politik, yakni untuk mele-
mahkan kedudukan Belanda dan Sultan Palembang atas
monopoli perdagangan timah di Bangka yang membeli
dari rakyat dengan harga murah. Tujuan kedua bermotif
ekonomi atau persaingan perdagangan timah itu sendiri,
karena timah hasil rampkan itu dibawa pulang ke Daik
Lingga, dan dijual ke Inggeris, duitnya digunakan
Kerajaan Lingga untuk membangun negeri, termasuk
membeli meriam-meriam yang ditempatkan di benteng-
benteng pertahanan, seperti Benteng Bukit Cening dan
Benteng Pulau Mepar.

Begitu Karim meninggal, anaknya Bahrin tetap tinggal
di Daik Lingga bersama Panglima Raman. Di Lingga
Bahrin dibesarkan dan dididik sampai menjadi pendekar
tangguh. Setelah dinilai dapat berdikari, Bahrin diki-
rimkan pulang ke Bangka. Begitu sampai di Bangka dia

70

diangkat Sutan Palembang menjadi Depati Djeruk.
Bersamaan dengan itu Sultan Palembang juga meng-
angkat Abang Ismail bergelar Temenggung Karta-
manggala sebagai Temenggung di Metok pada tahun
1803.

Pengangkatan Bahrin sebagai Depati ini sebagai usaha
Sultan Pelembang untuk meredamkan memanasnya
hubungan Palembang dengan Lingga. Meski sudah
diangkat sebagai Depati, Bahrin terus menantang
Belanda yang menguras kekayaan Bangka, berupa timah
dan lada hitam. Anak angkat Raman ini, menantang
Belanda ditanah kelahirannya, dibantu dua orang
putranya, yakni Amir dan Hamzah, yang kelak keduanya
ini juga menjadi depati.

Meskipun pada akhinya berhasil ditangkap Belanda,
namun jasa-jasanya telah dicatat dengan tinta emas
dalam sejarah rakyat Bangka dalam ketangguhannya
melawan Belanda. Bahkan Depati Amir, sudah diangkat
Pemerintah RI Sebagai Pahlawan Nasional pada tahun
2018. Dari Lingga, tahun 2017, Sultan Maumud Riayat
Syah, yang Sultan pertama di Daik Lingga, diangkat
sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI.

Hubungan Lingga dengan Bangka tidak hanya dapat
dilihat dari hubungan Panglima Raman dengan Depati
Bahrin. Dalam catatan sejarah perjuangan Depati Amir,
melawan Belanda, sewaktu mendatangi kantor peme-
rintah sekitar tahun 1849, terdapat nama Budjang

71

Singkep. Kata Singkep dibelakang nama Budjang, tentu
menujukan tempat asalnya, yakni dari Pulau Singkep,
Lingga.

Dalam kebiasaan masyarakat Bangka khususnya di
Lingga, orang memang senang memanggil anak laki-laki
dengan sebutan Budjang. Karena banyaknya yang
dipanggil Budjang, sehingga pada ujungnya ditambah
kata-kata lain, umpamanya, Budjang Pendek, karena
badannya pendek. Kalau dia tinggi, dipanggil Budjang
Tinggi, begitu seterusnya orang memanggil nama
Budjang dalam tradisi masyarakat Bangka di Lingga.

Banyaknya pertautan orang Bangka di Pulau Bangka
dengan orang di Lingga, juga tidak terlepas dari kesamaan
penghasilan di dua daerah, yakni sama-sama menghasil
timah. Keluarga Abang Tawi, yang lari ke Lingga sekitar
tahun 1892, langsung diberikan Sultan Mahmud lokasi
tambang timah di Singkep, dengan dasar, mereka
memang sudah terbiasa melakukan tambang timah di
Pulau Bangka.

Jauh sebelumnya sekitar abad ke-16 Sultan Johor
bersama sekutunya Sultan Minangkabau mengirimkan
Panglima Tun Syarah dan Panglima Raja Alam Harimau
Garang ke Bangka untuk penumpas para Lanun. Setelah
berhasil menumas Lanun, Tun Syarah dan Raja Alam
menetap di Bangka untuk membimbing masyarakat
Bangka khususnya mengajar Agama Islam, di Bangka
Kota.

72

Tahap berikutnya sekitar abad ke-18, Muhammad
Badaruddin, anak Sultan Palembang Abdurrahman,
membawa orang-orang dari Kesultanan Johor, yakni
Wan Akop, Wan Abdul Jabar, dan Wan Sirin ke Bangka
dalam rombongan angkatan perang Johor. Misi Mu-
hammad Badaruddin membawa orang-orang dari Johor
dan Siantan ke Bangka ini adalah untuk menyerang
Kesultan Palembang, dan berhasil merebut kekuasaan
dari pamannya Ratu Anom Badaruddin pada tahun 1724
Masehi. Begitu menjadi Sultan Palembang, Muhammad
Badaruddin mengangkat Wan Abdul Akop, sebagai
pemimpin di Pulau Bangka.

Pada tahun 70-an, masyarakat Bangka dan Kepulauan
Riau pernah mewancanakan untuk membuat sebuah
provinsi dengan nama Baberi (Bangka, Belitung, Riau),
karena merasa ada kesamaan sejarah dan budaya. Namun
wacana ini tenggelam, karena pemerintahan Provinsi
Riau berkedudukan di Pekanbaru tidak mau kehilangan
Kepulauan Raiu, yang menghasilkan timah di Pulau
Singkep dan Karimun. Begitu juga dengan Bangka dan
Belitung, pemrintahan Provinsi Sumatra Selatan yang
berkedudukan di Palembang tidak mau kehilangan
Bangka dan Belitung yang juga penghasil timah. Mimpi
kedua daerah ini untuk menjadi provinsi sendiri, setelah
zaman reformasi. Provinsi Kepulauan Riau terbentuk
tahun 2004, sedangkan Provinsi Bangka Belitung, tahun
2003. Terbentuknya Provinsi Kepulauan Riau juga tidak

73


Click to View FlipBook Version