The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by TANJUNG FILES, 2021-03-30 22:40:34

TAMAN TAK BERNAMA - FILESKI

Taman Tak Bernama

Keywords: TAMAN TAK BERNAMA,FILESKI

kumpulan cerita

Taman Tak
Bernama

Taman Tak Bernama -- i

kumpulan cerita

Taman Tak Bernama

Cetakan Pertama : Maret 2016
Penulis : Fileski
Pemeriksa aksara : SN Ilmiyah
Penata Letak : SN Ilmiyah
Desain ilustrasi : Deviantart
Penata ilustrasi : Sholahuddin A
Desain sampul : Fileski

Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau
Seluruh isi buku tanpa seizin penerbit.

ISBN 978-602-6235-05-3

Diterbitkan oleh:

Oksana Publishing
Grogol RT 2/1 Tulangan, Sidoarjo
Telp : 083831498380
Email: [email protected]
Blog: www.penerbitoksana.blogspot.com

ii -- Fileski

kumpulan cerita

Taman Tak
Bernama

FILESKI

Taman Tak Bernama -- iii

Untuk AKS
Pembaca pertama yang selalu setia di setiap cerita

iv -- Fileski

Daftar Isi v
2
1. Daftar Isi 14
2. Akhir Sebuah Kutukan 30
3. Gang Rebel 40
4. Tikus 50
5. Ken dan Kucing Pincang 60
6. Taman Tak Bernama 68
7. Lover Night Carnival 78
8. Malam Pengantin 86
9. Senandung Ave Maria 94
10. Teror Bom Tukang Sate 103
11. Suami Bersama
12. Cuplikan

Taman Tak Bernama -- v



Taman Tak Bernama -- 1

Akhir
Sebuah Kutukan

Yono berubah menjadi kucing setelah dikutuk ibunya yang
murka. Ia akan kembali menjadi manusia jika menemukan
pasangan sejatinya.

2 -- Fileski

Di rumah sederhana itu, hanya ada dua orang yang

tinggal. Bu Biar dan anak semata wayangnya, Yono. Suami
Bu Biar yang bernama Pak Joko, yang juga merupakan
bapak dari Yono, telah lama meninggalkan mereka karena
sakit. Pak Joko meninggal dunia sejak Yono duduk di
bangku kelas enam sekolah dasar.

Untuk menyekolahkan Yono, sehari-hari Bu Biar
berjualan makanan di warung. Pelanggan Bu Joko biasanya
sopir taksi, sopir bus, sopir truk, sopir bemo, tukang ojek,
tukang becak, hinggga pegawai terminal. Maklum, warung
itu berlokasi di sekitar terminal dan dekat dengan pasar.

Yono setiap hari membantu ibunya berjualan di
warung. Hari-harinya lebih banyak dihabiskan di warung
daripada kongkow dengan teman-teman sekampungnya.
Hingga pada suatu ketika, Yono meminta doa restu ibunya
di pagi buta, untuk berangkat melamar kerja.

“Bu, aku pamit berangkat interview kerja. Doakan
anakmu supaya diterima,” ucap Yono sambil memasang
sepatu di kedua kakinya.

“Kamu melamar kerja di mana?” tanya Bu Biar.
“Anu, perusahaan baru buka, belum tahu apa, di
koran infonya gajinya bisa sampai puluhan juta. Coba-coba
aja siapa tahu rejeki,” jawab Yono seraya berdiri dan
mencium tangan ibunya.

Taman Tak Bernama -- 3

“Ya, Nak, Ibu doakan supaya kamu diterima, dapat
kerja yang gajinya puluhan juta buat beli rumah. Masa dari
dulu ngontrak terus,” ujar Bu Biar.

“Ya, Bu, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Sampai di lokasi tempatnya melamar kerja, Yono
menunggu giliran dipanggil untuk wawancara. Sudah satu
setengah jam menunggu, namun ia belum dipanggil juga.
Terlihat para pelamar kerja yang juga menunggu dengan
raut wajah berbeda-beda. Yono mengamatinya, ada yang
sumringah, ada yang masih ngantuk, dan ada yang jenuh
menunggu lama.
Tiba-tiba terdengar suara riuh dari lantai atas kantor
itu. seperti suara tepuk tangan bergemuruh diiringi yel-yel.
Yono sedikit terkejut dan bertanya-tanya, suara apa
gerangan. Mengapa suara itu lebih mirip suporter
pertandingan olahraga daripada para pekerja kantoran. Tak
lama kemudian, suara itu menghilang. Berganti dengan
langkah-langkah kaki yang berjalan turun menuju lantai satu
dan masuk ke sebuah ruangan.
Tak ada panggilan satu persatu untuk para pelamar
yang sudah menunggu. Yang ada, Yono dan pelamar lain
yang berjumlah belasan itu dipanggil bersamaan untuk
masuk ke dalam ruangan yang sama. Di ruangan itu, sudah
berkumpul banyak orang, jumlahnya belasan pula. Mereka

4 -- Fileski

membentuk kelompok masing-masing tiga orang, dan Yono
pun masuk ke dalam salah satu kelompok. Yono
kebingungan, mengapa tidak ada wawancara kerja, tahu-
tahu dia sudah di-briefing untuk menjual produk. Ya, produk
alat-alat kesehatan. Seperti alat pemijat, pengecil perut, dan
lain sebagainya.

Yono kebingungan, kini ia sudah berada di dalam
mobil dan menuju suatu tempat. Ia mulai diliputi rasa takut,
karena apa yang terjadi tidak sesuai apa yang ia gambarkan
sebelumnya. Tibalah Yono dan dua orang lain ke suatu
perkampungan. Satu orang laki-laki merupakan orang kantor
tempat Yono melamar kerja, satu laki-laki yang lain
merupakan pelamar kerja. Rupanya Yono diajak berputar
keliling kampung. Padahal ia sudah memakai pakaian rapi
lengkap dengan dasi dan sepatu pantofel hitam mengkilat
hasil disemir. Yono diajak masuk ke rumah warga yang
terlihat berduit, di dalamnya pegawai kantor yang membawa
Yono dan pelamar lain mulai melakukan aksi, yakni
menawarkan alat kesehatan.

Entah jurus apa yang digunakan pegawai kantor itu,
dengan mudahnya warga yang dihampiri rumahnya membeli
produk itu tanpa pikir panjang. Padahal harganya tidak
terbilang murah untuk alat pijat sederhana, yakni satu juta
rupiah. Setelah selesai bertamu ke satu rumah, Yono akan
diajak ke rumah warga yang lain. Namun belum sempat

Taman Tak Bernama -- 5

masuk ke rumah yang lain, Yono memilih kabur tanpa
mengucap sepatah kata. Ia merasa ditipu dengan lowongan
yang ia baca di koran seminggu lalu. Dan akhirnya pulang
dengan tangan hampa.

***
Yono kembali beraktivitas di warung ibunya. Warung
makan sederhana yang ditutup terpal itu nampak dipenuhi
para pembeli yang tengah lapar. Yono membuatkan
minuman pesanan, sedangkan ibunya menyajikan nasi
beserta lauk-pauknya di atas piring. Dalam lamunannya
sambil mengaduk teh, Yono berpikir bahwa ia tidak bisa
lama-lama beraktivitas di warung. Ia ingin kembali mencari
kerja, mendapat penghasilan sendiri dan mulai hidup
mandiri.
Datanglah seorang teman SMA Yono bernama
Wawan yang mampir membeli makan. Wawan menawari
lowongan pekerjaan pada Yono, yakni cleaning service di
hotel berbintang lima. Wawan yang juga bekerja sebagai
cleaning service di sana, mengatakan pada Yono bahwa gaji
yang ia dapat lumayan juga, itu jikalau tamu hotel
memberinya tip. Yono pun tertarik dan akhirnya berangkat
melamar kerja.
Diterima sebagai cleaning service di hotel berbintang
lima, Yono sudah tak pernah lagi membantu ibunya di
warung. Hal itu membuat Bu Biar kewalahan di warung.

6 -- Fileski

Yono pun jarang terlihat di rumah. Kalaupun pulang ia hanya
mandi dan tidur. Bahkan sempat Yono pulang ke rumah
dalam keadaan teler sehabis pulang dugem bersama
teman-temannya. Bu Biar merasa anaknya sudah berubah,
cek-cok di antara keduanya pun kerap terjadi. Yono
berkeinginan untuk pergi dari rumah dan ngekos, namun
dilarang oleh Bu Biar. Terjadilah sebuah pertengkaran.

“Kamu ini belum bisa ngasih Ibu apa-apa saja sudah
berani meninggalkan rumah! Ingat ya, kamu itu sudah Ibu
besarkan dengan susah payah! Semenjak bapakmu
meninggal, aku yang banting tulang buat sekolahin kamu
sampai lulus SMA,” kata Bu Biar dengan lantang.

“Bu, aku ini sudah besar. 23 tahun! Jangan dianggap
seperti anak kecil lagi! Aku pengen hidup mandiri, tinggal
sendiri. Aku juga bakalnya jadi kepala keluarga. Sampai
kapan aku ikut Ibu terus. Masa aku main sama teman
pulang malam-malan dimarahi. Aku ini laki-laki, Bu, bisa
jaga diri! Kalaupun nyoba dugem lalu minum-minum,
namanya juga anak muda.”

“Dasar kamu anak durhaka! Berani ngelawan ibumu!
Ibu kutuk kamu jadi kucing!”

Yono pun pergi masuk ke dalam kamarnya dan
menutup pintu dengan keras. “Brakkk!”

***

Taman Tak Bernama -- 7

Pagi itu Yono tak nampak keluar dari kamarnya.
Padahal jam sudah menunjukkan waktu di mana Yono harus
berangkat kerja. Bu Biar yang sedari tadi meneriaki Yono
tidak pula mendapat jawaban. Bu Biar pun memaksa diri
untuk masuk ke kamar Yono. Bu Biar terkejut melihat tempat
tidur Yono yang tak berpenghuni. Hanya ada bantal dan
guling yang tak tertata rapi. Bu Biar kembali meneriaki Yono
di segala penjuru rumah. Namun tak juga menemukan
Yono.

“Yon... Yono...! Kamu di mana?”
“Miauuwww....” tiba-tiba ada suara kucing keluar dari
kamar Yono.
“Yon? Yono?!”
“Miauwww....” kucing itu pun mendekat ke kaki Bu
Biar.
Bu Biar bingung, mengapa ada kucing keluar dari
kamar Yono. Seketika Bu Biar mengingat kata-katanya
semalam. “Kamu anak durhaka! Berani ngelawan ibumu! Ibu
kutuk kamu jadi kucing!” Bu Biar pun menangis sejadi-
jadinya, mengetahui anaknya telah berubah menjadi seekor
kucing.
Semenjak kejadian itu, Bu Biar mengurung diri di
dalam rumah. Ia jatuh sakit, dan tidak berjualan di
warungnya. Banyak yang bertanya-tanya mengapa Bu Biar

8 -- Fileski

sudah berhari-hari tidak jualan. Termasuk tetangganya, Bu
Subur, yang akhirnya mencoba mengunjungi Bu Biar.

“Assalamualaikum... Bu, Bu Biar... Bu?” kata Bu
Subur sambil mengetuk pintu rumah Bu Biar.

Bu Biar pun akhirnya keluar kamar dan membuka
pintu. “Iya Bu, ada apa?”

“Boleh saya masuk, Bu?”
“Oh iya, silakan.”
Bu Subur duduk di kursi tamu rumah Bu Biar, lalu Bu
Biar pergi ke dapur untuk membuatkan minuman dan
membawakan camilan.
“Ibu kenapa? Kok beberapa hari ini tidak kelihatan
keluar rumah. Jualannya juga libur, ya?” tanya Bu Subur.
“Iya, saya beberapa hari ini sakit demam, pusing,
makanya tidak keluar rumah, jualan juga libur dulu,” jawab
Bu Biar.
“Lho, si Yono ke mana ya, Bu? Kok beberapa hari ini
juga tidak terlihat.”
Pertanyaan itu membuat Bu Biar kembali sedih, lalu
menangis tersedu-sedu. Bu Subur pun bingung, melihat Bu
Biar tiba-tiba menangis. Akhirnya Bu Subur memutuskan
untuk pergi dan menyuruh Bu Biar beristirahat kembali.
Sudah satu bulan Yono berubah menjadi kucing. Ia
menjalani hidupnya layaknya kucing. Tidur, jalan-jalan
keliling sekitar rumah, bermain dengan kucing lainnya, dan

Taman Tak Bernama -- 9

makan makanan yang sudah disiapkan Bu Biar. Walaupun
seorang kucing, Yono masih bersikap seperti manusia.
Hanya saja dia tidak bisa berbicara dengan bahasa
manusia, hanya bisa mengeong jika ingin sesuatu pada
ibunya.

Yono menjadi kucing yang punya hobi nonton televisi.
Ia selalu minta disetelkan televisi di malam hari oleh Bu Biar.
Tidak seperti kucing lainnya, Yono selalu pergi ke kamar
mandi jika ingin buang air. Bu Biar meratapi nasib anaknya
yang berubah menjadi kucing. Ia begitu menyesal dengan
ucapan yang ia ucapkan pada anaknya, Yono. Bu Biar
berjanji pada dirinya sendiri, untuk berhati-hati dalam
berucap, karena sabda yang ia ucap sangat kabul.

Hari demi hari telah Yono lewati dengan menjadi
seekor kucing. Yono sudah pasrah pada takdirnya yang
berubah menjadi kucing. Ia sudah bukan lagi manusia,
melainkan kucing. Sudah terhitung satu tahun menjadi
kucing, Yono bertemu Si Manis, kucing betina yang
membuat Yono naksir. Si Manis membuat Yono jarang
pulang ke rumah. Ia lebih suka menghabiskan waktunya
untuk berduaan dengan Si Manis. Bermain-main di atas
genteng, mengunjungi taman dan duduk di bawah pohon,
juga pergi ke dekat restoran untuk mencari sisa makanan
yang bisa mereka berdua makan. Dengan bahasa kucing,
Yono mengungkapkan perasaannya dengan Si Manis. Yono

10 -- Fileski

mencintai Si Manis, dan akhirnya mereka saling berjanji
untuk setia.

Malam usai mengucap cinta pada Si Manis, ada
sesuatu aneh terjadi pada Yono. Tubuh Yono terasa gatal-
gatal, hingga membuatnya berguling-guling di tanah. Saat
itu juga tiba-tiba ia berubah wujud. Yono pun terkejut. Ia
bukan lagi menjadi kucing, melainkan Yono, seonggok
daging dan tulang yang berbentuk manusia. Yono pun
bergegas mencari pujaan hatinya Si Manis. Saat bertemu, Si
Manis rupanya tetap seekor kucing. Yono pun menangis.
Rupanya ia bisa berubah menjadi manusia ketika
menemukan pasangan sejatinya. Bukannya malah senang,
Yono malah bersedih. Ia ingin kembali lagi menjadi kucing,
karena belum sempat mengucap perpisahan pada Si Manis.
Ia kini tidak lagi sama dengan Si Manis. Ia kini menjadi
seperti asalnya manusia, dan Si Manis pun tak bisa
mengenali Yono karena telah berubah menjadi manusia.

Taman Tak Bernama -- 11

12 -- Fileski

Taman Tak Bernama -- 13

Gang Rebel

Namaku Ales. Laki-laki yang dulunya individual dan
penyendiri. Semasa SMA aku kerap dibully.
Diteriaki cupu, kuper, bercelana komprang, rambut belah
tengah, dan membawa buku ke mana-mana. Pernah aku
sampai berkelahi dengan teman sekelas, karena dia
menggunjingku lalu menyemprotku dengan air got.
Jelas saja aku emosi. Kutonjok mukanya,
dia langsung jatuh tak berdaya. Teman-temannya lantas
mengeroyokku. Aku dan geng resek itu pun dipanggil kepala
sekolah. Tak malah mendamaiakan, kami malah digampar.

14 -- Fileski

Setelah lulus lalu kuliah, aku bertekad untuk

mengubah diri. Aku tidak mau lagi di-bully gara-gara suka
menyendiri. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke jalan
mencari teman. Aku ingin menjadi Ales yang punya banyak
teman. Pergilah aku ke tengah kota. Naik bis, lalu turun di
tengah kota. Di kawasan tempat nongkrong anak-anak
muda. Berjalan kaki menyusuri trotoar yang bermandikan
lampu kota.

Sampailah aku di sebuah gang yang diapit restoran
cepat saji ala Amerika dan sebuah bank swasta asing. Di
situ ada sekumpulan anak muda dengan dandanan tidak
biasa. Celana ketat dan lusuh, jaket kulit, sepatu boots,
lengkap dengan rantai dan emblem berlambang anarki.
Gaya mereka semakin total dengan rambut mohawk
berwarna-warni, mulai biru, merah, hingga pink. Lem apa
yang digunakan agar rambut mereka terlihat kaku dan tegak
ke atas aku sendiri tidak tahu. Yang pasti jika ada anak-anak
membawa balon di dekat mereka, anak-anak itu harus
berhati-hati agar balonnya tidak meletus terkena rambut.

Aku sebetulnya takut mendekati mereka. Namun
tekadku yang begitu besar untuk bersosialisasi dengan
siapa saja, membuat rasa takut itu sirna. Dengan begitu
percaya diri, aku meminta bergabung untuk duduk sama
rata sama rasa bersama mereka.

Taman Tak Bernama -- 15

“Boleh duduk bersama kalian?”
“Woho... kita kedatangan tamu. Perlu kita beri
sambutan selamat datang nih,” kata salah seorang dari
mereka.
“Siapa namamu?” tanya si rambut mohawk biru.
“Ales, kamu?”
“Aku Ahmad, biasa dipanggil Mad. Kenalkan temanku
juga. Ada Boy, Ody, Johny, dan Papski. ”
“Ok, senang bisa bergabung dengan kalian.”
“Welcome drink,” kata Mad sambil menyodorkan
segelas minuman
Oh, tidak. Sebetulnya aku belum pernah menyen-tuh
minuman keras, tapi karena aku berusaha respect terhadap
mereka, aku terima saja. Kami duduk melingkar. Gelas
berisi arak itu pun berjalan memutar. Aku tidak bisa
menghindari giliranku. Namun berusaha tetap kontrol agar
tidak terlihat mabuk. Dari welcome drink itu, aku akhirnya
larut dengan obrolan mereka. Walaupun mungkin
dipandang negatif, aku mencoba mengambil sisi positifnya.
Ada pelajaran yang aku petik dari sana. Setidaknya aku
merasakan bagaimana bergumul di jalanan. Melihat
pandangan mereka mengenai kehidupan. Seru juga.

***
Kamar Mad dipenuhi pernak-pernik punk. Di
dindingnya terpampang poster besar Sid Vicious dan ada

16 -- Fileski

poster perempuan seksi berbikini. Terdengar musik-musik
punk yang ia putar, mulai dari Sex Pistol, Ramones, The
Clash, Bad Religion, NOFX, hingga Rancid.

Di kamar Mad, aku, Boy, Johny, Papski, dan Ody
berkumpul. Banyak yang mereka ceritakan tentang
kehidupan mereka. Termasuk band yang mereka bentuk,
yakni Gang Rebel. Nama itu juga menjadi nama gang
tempat mereka berkumpul. Gang yang berada di antara
restoran cepat saji ala Amerika dan bank swasta asing.

Mereka memberiku edukasi tentang Punk. Merupakan
subkultur yang lahir di London, Inggris. Punk juga dapat
berarti jenis musik yang lahir pada awal 1970-an. Punk juga
bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan
politik.

Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak
kelas pekerja itu dengan segera merambah Amerika yang
mengalami masalah ekonomi, dipicu kemerosotan moral
oleh para tokoh politik yang memicu tingkat pengang-guran
dan kriminalitas tinggi. Punk berusaha menyindir para
penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan
lirik dan musik sederhana namun terkadang kasar dengan
beat yang cepat dan menghentak.

Lewat Gang Rebel, Mad, Boy, Johny, dan Papski juga
ingin menyuarakan rasa ketidakadilan mereka yang dipicu
ulah pemerintah. Juga menyinggung kaum kapitalis maupun

Taman Tak Bernama -- 17

borjuis. Bagi mereka, punk juga merupakan sebuah gerakan
perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan
we can do it ourselves. Penilaian punk dalam melihat suatu
masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita
tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi,
ideologi, sosial dan bahkan masalah agama.

Punk lebih terkenal dari hal fashion yang dikenakan
dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan
rambut mohawk ala suku indian dan diwarnai dengan
warna-warna terang. Sepatu boots, rantai dan spike, jaket
kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh,
antikemapanan, antisosial, kaum perusuh dan kriminal dari
kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga banyak yang
mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah
layak untuk disebut sebagai punker. Banyak yang
menyalahartikan punk sebagai perusuh karena di Inggris
pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk
mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula
yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang
berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak
kriminal.

Punk dapat dikategorikan sebagai bagian dari dunia
kesenian. Gaya hidup dan pola pikir para pendahulu punk
mirip dengan para pendahulu gerakan seni avant-garde,
yaitu dandanan nyeleneh, mengaburkan batas antara

18 -- Fileski

idealisme seni dan kenyataan hidup, memprovokasi audiens
secara terang-terangan, menggunakan para penampil
berkualitas rendah dan mereorganisasi secara drastis
kemapanan gaya hidup. Para penganut awal kedua aliran
tersebut juga meyakini satu hal, bahwa hebohnya
penampilan harus disertai dengan hebohnya pemikiran.

“Lalu, bagaimana Punk di Indonesia?” tanyaku pada
mereka.

“Karena di Indonesia istilah anarkisme digunakan oleh
media massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan,
perkelahian, atau kekerasan massal, jadi punk yang identik
dengan anarkisme juga dianggap seperti itu. padahal
menurut pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph
Proudhon, dan Mikhail Bakunin, anarkisme adalah sebuah
ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa
negara, dengan asumsi bahwa negara adalah sebuah
bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri,” jawab Mad.

“Negara menetapkan pemberlakuan hukum dan
peraturan yang sering kali bersifat pemaksaan, sehingga
membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung
jawab atas pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan
bila dominasi negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk
memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusia
akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu

Taman Tak Bernama -- 19

memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan
negara,” tukas Boy.

“Kami memaknai anarkisme tidak hanya sebatas
pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup,
anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari
masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka
bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan
rekaman sesuai keinginan mereka. Punk etika semacam
inilah yang lazim disebut DIY (do it yourself) atau lakukan
sendiri,” sahut Johny.

“Berbekal etika DIY, beberapa komunitas punk di
kota-kota besar di Indonesia merintis usaha rekaman dan
distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri
untuk menaungi band-band sealiran sekaligus
mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini
berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim
disebut distro,” kata Ody.

“CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang
dagangan. Mereka juga memproduksi dan mendistribusikan
t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik
dan tatoo. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga
yang amat terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk, distro
adalah implementasi perlawanan terhadap perilaku
konsumtif anak muda pemuja barang bermerek luar negeri,”
ujar Papski.

20 -- Fileski

“Oh iya, ada yang ketinggalan. Pada awalnya,
kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead.
Namun, sejak tahun 1980-an, saat punk merajalela di
Amerika, golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu,
karena mempunyai semangat yang sama. Di Gang Rebel
juga kadang kedatangan anak-anak skinhead, dan kami
ngumpul bareng,” tambah Mad.

“Skinhead?” tanyaku.
“Ya, besok malam minggu mereka datang di Gang
Rebel,” pungkas Mad.

***
Malam itu di Gang Rebel, sekumpulan anak muda
datang bersama vespanya. Terlihat enam laki-laki, dan satu
wanita. Mereka nampak berbeda dari yang lain dengan
pakaian yang mereka kenakan. Mengenakan setelan sejenis
Polo shirt, suspender, celana jeans ketat, boots Dr. Martens,
jaket jeans, Harrington, dan sweater. Yang menjadi ciri khas
mereka adalah potongan rambut pendek cepak.
Mereka sekumpulan anak-anak skinhead. Subbudaya
yang lahir di London, Inggris pada akhir tahun 1960-an.
Sekarang skinhead sudah menyebar ke seluruh belahan
bumi. Pada awalnya skinhead adalah kaum tertindas dari
kelas pekerja (utamanya buruh pelabuhan) di London,
Inggris. Skinhead juga bisa merujuk kepada kepada

Taman Tak Bernama -- 21

kelompok orang yang merupakan fans musik Oi!/streetpunk,
Ska, Reggae, Rocksteady, dan Soul.

Aku dan anak-anak punk menyambut kedatangan
anak-anak skinhead. Mereka yang baru datang memberikan
salam kepalan tangan dan disambut pula kepalan tangan
oleh anak-anak punk.

“Boleh duduk di sebelahmu?” kata wanita yang
merupakan satu dari segerombolan skinhead padaku.

“Ini negara demokrasi, kamu bebas memilih duduk di
mana saja,” jawabku.

Wanita itu lalu tersenyum dan menepuk pundakku.
Di antara mereka, aku terlihat tidak sama. Tidak
menggunakan atribut idealis seperti mereka. Hanya
berpakaian biasa, mengenakan kaos hitam, celana jeans
dan sneakers. Untungnya mereka tidak mempermasalahkan
itu. Mereka mungkin juga sekadar menganggapku tamu,
bukan bagian dari mereka. Bahkan mungkin dianggap
seseorang yang sedang melakukan penelitian untuk tugas
kampus.
Tujuh anak skinhead itu bernama Rudi, Ali, Don, Billy,
Vega, Dave, dan Linda. Kami larut dalam obrolan malam
minggu, ditemani red wine yang membuat suasana makin
hangat. Sesekali Ody memainkan ukulele, diiringi nyanyian
Johny, Billy, juga Linda. Hari semakin malam, dan angin

22 -- Fileski

semakin terasa dingin. Pada akhirnya Rudi membahas
suatu hal.

“Don, kamu menganggap dirimu Cina atau
Indonesia?” tanya Rudi pada Don yang keturunan Cina.

“Indonesia,” Don menjawab walaupun sedikit lama.
“Lalu kamu, menganggap dirimu Arab atau
Indonesia?” Rudi bertanya pada Ali yang keturunan Arab.”
“Indonesia,” jawab Ali.
“Bagus. Aku suka jawabanmu. Aku bangga. Itulah
yang kita butuhkan, dan itulah mengapa bangsa ini
dibangun,” kata Rudi.
Suasana tiba-tiba hening, dan Rudi melanjutkan
pembicaraannya dengan berapi-api.
“Bertahun-tahun negara ini dijajah oleh orang-orang
yang datang ke sini, dan menginginkan semua yang ada di
sini. Perjuangan pahlawan mati-matian apa? Supaya kita
tetap bisa mengibarkan bendera dan berkata, ya ini
Indonesia! Dan untuk apa sekarang? Supaya kita bisa
membiarkan mereka semua masuk?”
Semua terdiam, tak ada yang bebicara.
“Ya, masuklah! Turun dari kapalmu. Apakah
perjalananmu menyenangkan? Ini dia ada tempat, lebih baik
tinggal. Kenapa tidak bangun toko? Kemudian bangun
sekolah? Ketika di luar sana banyak rakyat miskin tidak
punya tempat tinggal, dan mereka yang berkuasa

Taman Tak Bernama -- 23

memberikannya untuk asing dan pemodal berduit tebal,
berarti kita memberi tempat tinggal pada para bedebah itu
kan?”

Suasana semakin beku, sedangkan Rudi masih
menggebu-gebu.

“Berapa persen pribumi yang mendapat bagian? Ada
jutaan pengangguran. Kapitalis mengambil semuanya.
Tenaga kerja dibayar murah. Ini bukan lelucon! Kita
terpinggirkan, sebagian orang bilang kita rasis. Tidak. Kita
realistis. Kita bukan Nazi. Kita nasionalis.”

Mad, Boy, Johny, Ody, dan Papski saling melirik satu
sama lain. Sedangkan di antara Ali, Don, Billy, Dave, Vega,
dan Linda, ada yang menunduk, ada yang mendengarkan
dengan saksama, dan ada yang berpaling muka.

“Mereka takut karena kitalah suara sebenarnya dari
rakyat negeri ini. Mereka yang mempekerjakan kita harus
kembali ke asalnya. Inilah waktunya bangkit dan bertindak.
Negara kita jangan diam saja, sudah saatnya untuk ambil
alih.”

“Sudah! Aku muak dengan kampanye ala partaimu.
Persetan dengan ocehanmu,” Don memotong pembi-caraan
Rudi dan berlalu pergi.

“Lihatlah dia. Itulah contoh pecundang,” kata Rudi
yang mengacungkan jari tengah pada Don yang pergi.

24 -- Fileski

“Ayo, siapa lagi yang tidak setuju padaku, boleh
pergi,” lanjut Rudi.

Mad, Boy, Johny, Ody, Papski, Ali, Dave, dan Linda
memilih pergi. Entah tidak tertarik dengan obrolan Rudi atau
sekadar ingin mendamaikan keadaan aku tak tahu. Hanya
tersisa Billy, Vega, aku, dan Rudi. Aku masih tinggal bukan
karena memihak siapa-siapa, namun hanya tercengang,
mengapa suasana yang tadinya baik-baik saja tiba-tiba
menjadi panas.

Menggali lebih dalam tentang skinhead, memang
subkultur ini sempat mendapat cap rasis. Hal itu ketika
skinhead terlibat bentrok beberapa kali dengan imigran
Pakistan dan imigran dari Asia Selatan di Inggris pada era
’60-an. Tindak kekerasan tersebut dipicu oleh masalah
pekerjaan. Para Skinhead yang merupakan kaum pekerja
merasa lahan pekerjaan mereka semakin sempit. Mereka
terdesak oleh kedatangan imigran yang bersedia dibayar
lebih rendah. Label rasis kemudian semakin melekat, salah
satunya setelah beberapa Skinhead tergabung dan
dihubungkan dalam organisasi white power, National Front
yang terbentuk di awal ’70-an. Militansi dan karakter
skinhead yang keras khas kaum pekerja sempat membuat
mereka dijadikan alat maupun berbagai kepentingan politik.
Termasuk dihubungkan dengan paham Neo Nazi. Meskipun

Taman Tak Bernama -- 25

seperti itu, kenyataan yang ada bisa menunjukkan fakta
yang berbeda. Tidak semua skinhead itu rasis.

***
Dalam sebuah gigs akhir pekan, anak punk dan
skinhead berkumpul jadi satu. Mereka menikmati musik-
musik punk dengan beat yang cepat dan menghentak. Tak
sedikit yang pogo. Mereka yang datang di bagian depan
melompat naik turun di pinggiran panggung. Tarian mereka
penuh tenaga dengan tangan yang mengepal. Ada yang
meronta, saling menendang, bertabrakan, melompat ke
segala arah, dan berputar di udara.
Aku datang bersama anak-anak Geng Rebel yang
juga akan tampil membawakan lagu. Aku tak ikut dalam
kerumunan itu. Hanya mengamati dari kejauhan. Saat Geng
Rebel mendapat giliran akan tampil, aku mendekat, ikut naik
ke atas panggung, dan mengeluarkan handycam untuk
merekam aksi mereka. Seru juga rupanya, merekam aksi
band punk rock sekaligus penontonnya yang penuh
semangat walau sedikit brutal. Ada yang terlihat mabuk, ada
yang masih sadar penuh. Semua larut menjadi satu dalam
alunan musik dengan lirik penuh kritik.
Di tengah-tengah lagu kedua yang dibawakan Geng
Rebel, tiba-tiba terjadi keributan. Terlihat dua laki-laki saling
memberi pukulan. Setelah kuamati, ternyata itu Rudi dan
Don. Geng Rebel yang dikomando Mad pada gitar seketika

26 -- Fileski

menghentikan aksinya. Mad bergegas turun dan melerai
Rudi vs Don.

Berniat melerai, Mad malah ikut terkena pukulan oleh
Rudi. Mad membalas pukulan Rudi pula. Situasi semakin
memanas. Aku berusaha melerai mereka namun tak
berhasil. Linda pun datang dan ikut melerai. Ia menarik Mad,
sementara Vega dan Dave menghentikan Don dan Rudi.

Gigs yang tadinya berhenti, kembali dilanjutkan.
Namun aku dan mereka yang sebelumnya berkumpul di
Gang Rebel, memilih menyepi di tempat tak jauh dari sana.
Saat situasi mereda, Billy mulai bicara.

“Kalian boleh berbeda pendapat. Tapi jangan sampai
bermusuhan. Ingat, kita hidup di tanah yang terdiri dari
banyak suku, adat, kultur dan agama. Tapi lihat, negara ini
hebat, walaupun berbeda-beda masih tetap satu. Bhineka
Tunggal Ika. Perbedaan itu indah kawan, mari kita sikapi
dengan bijak..”

“Yang terpenting, ingatlah persahabatan kita.
Solidaritas yang telah berhasil kita bangun di Gang Rebel.
Solidaritas antar punk dan skinhead. Unity!” tutur Linda.

Dan akhirnya mereka yang bertengkar pun saling
berpelukan.

Surabaya, 2016

Taman Tak Bernama -- 27

28 -- Fileski

Taman Tak Bernama -- 29

Tikus

Dan entah bagaimana mulanya,
KPK ternyata sudah mencium perkara korupsi yang
dilakukan si boss. Pada hari Minggu pagi, KPK secara
rahasia menyambangi rumah si boss untuk melakukan
pemeriksaan, tanpa pemberitahuan kepada yang
bersangkutan. KPK mencari si boss dalam rumahnya yang
besar itu. Sontak semua orang tercengang ketika melihat si
boss sedang…

30 -- Fileski

Ia seorang pejabat di salah satu instansi

pemerintahan dengan posisi jabatan yang tinggi. Selain
kaya raya, ia juga sangat populer, baik di kalangan
intelektual dan juga kalangan rakyat kecil. Tak heran jika ia
bisa sepopuler ini, karena memang ia sering muncul di
koran dan televisi. Keramahan yang terpancar dari
senyumnya yang lebar dan karakter yang selalu
bersemangat. Setiap orang yang pernah bertemu pasti
mengatakan ia adalah orang baik dan bersih.

Gedung kantornya yang tinggi, dengan ketinggian di
atas rata-rata, menampung banyak karyawan. Ruangan
pribadinya berada di lantai paling atas. Semua karyawan
hormat dan kagum padanya, karena ia tak pernah terlihat
marah-marah. Mungkin urusan marah-marah sudah ia
limpahkan ke orang lain. Sebab ia sadar, setiap geraknya
selalu terekam kamera, dan ia tidak ingin citra
keramahannya luntur karena tertangkap kamera ketika
sedang marah.

Ia selalu berangkat pagi menuju kantor, baginya
berangkat pagi adalah prinsip yang harus dijaga. Prinsip
tentang seorang pemimpin yang mesti memberikan teladan
bagi seluruh karyawan. Walaupun bisa dibilang ia datang ke
kantor hanya untuk sekadar minum kopi di ruangannya. Ia
tak pernah lama duduk di ruangan kantornya. Sekitar satu

Taman Tak Bernama -- 31

sampai dua jam saja biasanya. Jika tak ada urusan lagi, ia
langsung bergegas pergi meninggalkan kantor. Pikirnya
tidak ada gunanya ia berlama-lama di kantor, sebab segala
urusan sudah ditangani orang-orang yang ia rekrut.

Dalam rumahnya yang besar, ia punya sebuah
ruangan yang menyimpan banyak uang. Sebuah ruangan
yang tak seorang pun boleh masuk kecuali atas izinnya.
Entah berapa banyak uang dalam ruangan itu, yang pasti
sangat banyak dan bertumpuk-tumpuk. Ada beberapa uang
yang berserakan, terlepas dari tumpukan. Tidak ada uang
recehan, semuanya uang pecahan seratus ribu dan lima
puluh ribu.

Semua uang itu adalah hasil dari korupsi dan lobi-lobi
proyek kanan kiri. Sedangkan uang yang tersimpan dalam
rekeningnya hanya untuk menyimpan gajinya dari kantor.
Maka dari itu ia membuat ruang rahasia yang menyimpan
seluruh hasil korupsinya. Ia paham sistem, sehingga cara ini
bisa untuk mengelabui sistem itu. Berapa kekayaan yang ia
laporkan saat mulai menjabat dan jumlah gaji setiap
bulannya selalu dipantau lewat rekeningnya. Andaikan
kekayaannya dalam rekening melonjak drastis secara tidak
wajar, pasti langsung tercium KPK. Maka untuk urusan
korupsi ia tak pernah melakukan transaksi elektronik melalui
rekening.

32 -- Fileski

Suatu hari ia pulang kantor dengan tergesa-gesa,
karena perasaannya tidak enak. Firasatnya ada yang
mengusik uang simpanannya di ruang rahasia itu. Dengan
cekatan ia memencet tombol password ruang rahasia itu.
Pintu besi mulai terbuka. Ia lega karena uangnya masih
utuh. Dengan perasaan lega ia melihat-lihat tumpukan uang
miliknya. Namun ada yang aneh, ada suara hewan yang
sedang mengerat sesuatu. Seperti suara tikus yang
memakan tulang. Dengan panik ia langsung mencari
sumber suara itu. Ia tengok-tengok di sela-sela tumpukan
uangnya. Ternyata benar ada seekor tikus yang sedang
mengerat uangnya.

Ia langsung berteriak “Ada tikusss… ada tikussss!”
Anak buahnya dari luar ruangan langsung masuk
“Ada apa, Bos, mana tikusnya?”
“Ini tikusnya, cepet ambilkan sapu buat mukul!”
bentak si boss
Bergegas anak buahnya mengambilkan. “Ini Bos,
sapunya.”
“Mana, biar aku pukul tikus bangsat itu!” menyahut
sapu yang disodorkan
Dengan penuh kemarahan ia pukulkan sapu itu.
Sayangnya tikus teramat lihai dan pukulan itu justru
membuat tikus kabur lewat pintu yang terbuka.

Taman Tak Bernama -- 33

“Cepat kejar tikus itu, cari sampai dapat!!!” perintah si
bos.

Ia heran bagaimana tikus itu masuk, padahal ruangan
itu hanya satu pintu, tidak ada lubang masuk kecuali lewet
pintu besi. Hanya yang tahu password yang bisa masuk
ruangan ini. Ia makin bingung dan memutuskan untuk masa
bodoh. Yang terpenting uangnya masih utuh dan tikus itu
sudah pergi.

***
Pada suatu pagi, sebelum berangkat ke kantor ia
terlebih dulu memeriksa uangnya di ruang rahasia. Setelah
memencet tombol password dan pintu besi terbuka. Ia
sangat kaget ketika melihat tumpukan uangnya surut tinggal
sedikit. Dari sela-sela tumpukan uang, keluar tikus yang
sangat banyak. Spontan ia langsung berteriak.
“Banyak tikus… banyak tikus, di ruangan ini!” teriak si
bos.
Tak lama, beberapa anak buahnya masuk ruangan
“Ada apa, Bos, mana tikusnya?”
“Tadi banyak tikus di sini, mereka memakan uangku,”
bergumam sambil ketakutan.
“Tidak ada tikusnya, Bos, dan uangnya masih utuh,”
kata salah seorang anak buah.

34 -- Fileski

Sambil mengucek mata, ia memperhatikan uangnya
lebih teliti. Dan memang benar tumpukan uangnya masih
utuh seperti biasanya, tidak ada satu tikus pun yang terlihat.

***
Ia selalu bangun pagi setiap hari. Melihat istrinya yang
masih terlelap, ia tak mau mangganggu tidur istrinya. Ia tahu
semalam istrinya pulang larut malam. Dan ia tak peduli apa
yang dilakukan istrinya di luar sana, sekalipun istrinya main
gila sama lelaki lain ia tak peduli. Karena ia sendiri juga
sering main serong sama pelacur berkelas di hotel bintang
lima. Mungkin ia dan istrinya sama-sama paham untuk tak
mencampuri urusan masing-masing. Toh membahas hal
seperti itu hanya membuat keributan dalam rumah. Ia sendiri
orang yang malas untuk ribut-ribut.
Seusai mandi ia memakai baju kantor, berdandan rapi
seperti biasanya. Menuju ruang makan dengan hidangan
sarapan yang super lengkap, sudah disiapkan oleh
pembantunya. Di depan meja makan sebesar itu, beserta
hidangan selengkap itu ia makan sendiri. Hal itu sudah biasa
baginya.
Ada pemandangan yang tak biasa. Di meja makannya
muncul tikus. Bahkan tidak hanya satu, beberapa tikus. Ia
tidak kaget lagi, sepertinya sudah mulai terbisa dengan
kehadiran para tikus. Dan tidak lagi memanggil anak
buahnya untuk mengusir tikus-tikus itu. Ia terus saja

Taman Tak Bernama -- 35

melanjutkan makan, seolah tidak ada tikus di sekitarnya.
Bahkan sekalipun di bawah meja ada tikus menggerat ujung
sepatunya. Ia tetap cuek, berusaha meyakinkan dirinya
bahwa tikus-tikus itu hanya halusinasi.

***
Hari demi hari berlalu, ia semakin terbiasa dengan
kehadiran tikus. Bahkan tikus itu tidak hanya hadir di ruang
makannya. Di ruang kantornya, di tempat tidur, di kamar
mandi, bahkan di dalam mobil, di mana-mana ada tikus.
Tapi ia tidak pernah membahas soal tikus dengan orang
lain, sebab setiap kali ia memberi tahu ke orang lain, tikus
itu jadi hilang entah ke mana, dan orang akan
menganggapnya suka berhalusinasi, atau sudah gila.
Mungkin benar kata pepatah Jawa, witing tresno
jalaran soko kulino. Semenjak terbiasa dengan kehadiran
tikus, ia malah terhibur dengan adanya para tikus. Karena
sebenarnya ia kesepian. Istrinya sibuk dengan urusannya
sendiri, di kantor ia tidak ingin terlalu akrab dengan
karyawan karena kedekatan bisa membuat orang lain tahu
kedok jati dirinya. Maka hanya para tikus yang setia
menemaninya.

***
Dan entah bagaimana mulanya, KPK ternyata sudah
mencium perkara korupsi yang dilakukan si bos. Pada hari
Minggu pagi, KPK secara rahasia menyambangi rumah si

36 -- Fileski

bos untuk melakukan pemeriksaan, tanpa pemberitahuan
kepada yang bersangkutan. KPK mencari si bos dalam
rumahnya yang besar itu.

Sontak semua orang tercengang ketika melihat si bos
sedang asik makan biskuit bersama para tikus di dalam
ruangan yang penuh tumpukan uang (*)

Taman Tak Bernama -- 37

38 -- Fileski

Taman Tak Bernama -- 39

Ken dan
Kucing Pincang

Ken menemukan seekor kucing berkulit belang putih dan
hitam di depan rumahnya. Mata tajamnya menatap Ken
cukup lama. Dihampirilah kucing itu. Ken menggendongnya,
lalu dibawa masuk ke dalam rumahnya. Saat dilepaskan
agar kucing itu berjalan, Ken terkejut melihat kaki kucing itu
pincang.

40 -- Fileski

Sore itu, pukul 17.00 WIB, Ken mengakhiri

aktivitasnya bekerjanya—sebagai barista di sebuah kafe
yang terletak di pusat kota Surabaya. Kebetulan hari itu Ken
mendapat shift pagi. Shift yang paling Ken sukai, karena
malamnya ia bisa berlama-lama santai di kamar sambil main
gitar, membaca buku, atau nonton televisi. Sudah empat
tahun Ken bekerja di kafe yang bernama Rilassato, diambil
dari bahasa Italia, yang berarti santai. Tak hanya namanya
saja yang berbau Italia, kafe itu juga menjual menu kopi
khas Italia seperti Espresso, Cappucino, dan Caffe Latte.

Di perjalanan pulang kerja yang macet, Ken dengan
tenang mengendarai motor klasiknya, Vespa Corsa 125
keluaran tahun 1991. Dengan jaket bomber dan sepatu Dr
Martens tiga lubang warna biru dongker, Ken terlihat
fashionable saat berkendara. Di telinganya terpasang
headset yang dialiri musik oldschool. Pantas saja Ken tidak
merasa sumpeg dan begitu menikmati perjalanan yang
macetnya bisa membuat geram para pekerja yang pulang
kerja. Ken akhirnya tiba di rumah pukul 17.59 WIB.

Saat akan menutup pagar rumah, Ken menemukan
seekor kucing berkulit belang putih dan hitam di depan
rumahnya. Mata tajamnya menatap Ken cukup lama.
Dihampirilah kucing itu. Ken menggendongnya, lalu dibawa
masuk ke dalam rumahnya. Saat dilepaskan agar kucing itu

Taman Tak Bernama -- 41

berjalan, Ken terkejut melihat kaki kucing itu pincang. Kaki
belakang sebelah kanan kucing itu terseret-seret saat
berjalan, memilukan. Meski begitu, kucing itu masih terlihat
lincah dan gemuk walaupun sedikit malu-malu setelah orang
tahu caranya berjalan seperti itu.

Ken mencoba mengamati lagi kaki si kucing. Rupanya
itu bukan bekas tabrak lari seperti yang ia kira sebelumnya,
melainkan cacat sejak lahir. Karena merasa sayang pada
pandangan pertama, Ken memutuskan untuk memelihara
kucing malang itu. Ken menyematkan nama “Ion” pada si
kucing. Ken berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi
sahabat bagi si Ion, si kucing pincang yang malang.

***
Siang mulai menghampiri. Walaupun terik matahari
menyengat, Ken tetap bersemangat. Seperti biasa jika
mendapat shift siang, Ken berangkat ke Rilassato pukul
14.00 WIB. Berangkat mengendarai Corsanya, Ken begitu
menikmati perjalanan hingga sampai di tujuan.
Sesampainya di Rilassato, Ken selalu terlebih dahulu
menyapa sudut bar, di mana ia biasa meracik kopi-kopi
pesanan. Di atas mejanya terdapat french press bermerek
Italia, juga terlihat cangkir-cangkir yang menggantung.
Majalah-majalah untuk dibaca terlihat dipajang di bagian
muka meja. Ada papan tulis berdiri di samping meja tempat
meracik kopi. Di situ tertulis menu-menu kopi dengan kapur

42 -- Fileski

tulis. Nuansa hangat begitu terasa di kafe ini. Lampu-lampu
temaram menyala redup. Dinding-dindingnya dibiarkan
minimalis. Batu bata dibiarkan terlihat, di sela-selanya
dilapisi cat hitam. Ken berada di belakang meja bar. Ia
hanya nampak setengah badan sambil sibuk meramu kopi
pesanan pelanggan. Ada dua orang lain yang juga ikut sibuk
melayani pelanggan, mereka bagi tugas dengan Ken.

Ada yang masuk dari luar pintu Rilassato. Seorang
perempuan dengan celana jeans, kaos putih polos, rambut
terurai sepunggung, dan kacamata hitam yang terselip di
atas rambutnya. Perempuan itu seketika memilih tempat
duduk tepat di kursi kayu depan meja bar. Di situ ada lima
kursi kayu dan perempuan itu duduk di salah satunya, tepat
berhadapan dengan Ken.

“Selamat siang, mau pesan apa?”
“Hmm.... Caffe latte.”
“Ok, ditunggu pesanannya, atas nama siapa?”
“Velona.”
“Ok, Velona,” tutup Ken dengan senyuman.
Menunggu pesanan, Velona mengamati Ken yang
tengah meracik kopi. Tiba-tiba ia menyodorkan pertanya-an
pada Ken.
“Siapa ya yang pertama kali menemukan Caffe latte.
Setiap datang ke kedai kopi aku selalu memesannya.”

Taman Tak Bernama -- 43

“Minuman ini pertama kali ditemukan pada akhir 1950
oleh Lino Meiorin, seorang barista dan pemilik sebuah kafe
di Italia,” jawab Ken.

“Wow... iyakah? Wawasanmu ok juga.”
“Mau lebih detail lagi? Caffe latte itu espresso yang
dicampur susu dan memiliki lapisan busa tipis di atasnya.
Perbandingan antara susu dengan espresso pada Caffe
latte adalah dua banding satu. Minuman ini dibuat untuk
pengunjung yang tidak terbiasa dengan rasa cappuccino
yang tajam. Awalnya disajikan dalam mangkuk, kemudian
beralih menggunakan gelas bir, dan kini disajikan dalam
cangkir seperti ini, silakan,” jelas Ken sambil menyuguhkan
Caffe latte pesanan Velona. Ken membuat bentuk love pada
busa tipis di Caffe latte milik Velona.
“Terima kasih, oh ya namamu?”
“Panggil saja Ken.”
“Oh, ok Ken.”
Dan Ken pun melanjutkan kesibukannya melayani
pelanggan, sedangkan Velona asyik membaca majalah.

***
Bersantai di kamar sambil menonton televisi, Ken
menyaksikan siaran berita. Tentang razia gelandangan dan
pengemis di tengah kota. Rupanya ada yang berpura-pura
pincang untuk mendapatkan iba. Seketika Ken teringat Ion,
kucing yang pincang. Ia terheran-heran, mengapa manusia

44 -- Fileski


Click to View FlipBook Version