The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by TANJUNG FILES, 2021-03-30 22:40:34

TAMAN TAK BERNAMA - FILESKI

Taman Tak Bernama

Keywords: TAMAN TAK BERNAMA,FILESKI

yang diberikan kesempurnaan fisik, malah berpura-pura
cacat untuk mencari keuntungan. Sedang-kan hewan saja
masih ingin terlihat normal walaupun dia cacat.

Ken keluar kamar karena ingin menengok Ion. Ia
tidak menemukan Ion di semua sudut rumahnya. Saat
keluar rumah, Ken terkejut melihat Ion tengah berkelahi
dengan kucing lain. Ken mendekat dan berusaha melerai
kedua kucing itu. Ken mendamaikan kedua kucing itu
dengan mengajak mereka bersalaman. Usai bersalaman,
kucing yang mengajak Ion berkelahi akhirnya pergi.

Ken memang memiliki jiwa penyayang, pada hewan
sekalipun. Ia menganggap bahwa kucing sama halnya
dengan manusia, perlu didamaikan ketika berkelahi. Ken
berkeinginan bahwa jangan sampai Ion punya musuh
ataupun dimusuhi kucing lain. Di kehidupan sehari-hari, Ken
selalu berdamai dengan siapa pun. Tidak suka cari musuh
dan selalu bersikap ramah pada semua orang.

Pada hari itu juga, Ken tiba-tiba terpikir untuk
mengawinkan Ion dengan kucing betina, namun ia bingung
harus menemukannya di mana. Ia hanya menunggu ada
kucing betina yang tiba-tiba muncul di depan rumahnya,
agar bisa dikawinkan dengan Ion si kucing pincang. Ken
berpikir, mungkin belum ada kucing betina yang tertarik
pada Ion yang pincang. Atau mungkin Ion sendiri minder
dengan kucing betina, mengingat kondisinya yang cacat.

Taman Tak Bernama -- 45

Semesta seolah mendukung apa yang menjadi
harapan Ken. Keesokan harinya, setelah berkeinginan
mengawinkan Ion, Ken bertemu kembali dengan Velona di
Rilassato. Velona yang ketika itu memesan Caffe latte,
meminta Ken untuk menggambarkan wajah kucing di atas
Caffe latte pesanannya. Sontak Ken pun bertanya.

“Kamu penyuka kucing?”
“Ya, aku punya kucing di rumah. Namanya Loli. Dia
kucing betina yang aku pungut dari depan rumah.”
“Kenapa kita punya kisah yang sama. Aku juga
memungut kucing jantan dari depan rumahku.”
“Oh, ya? Kebetulan sekali. Eh, tapi aku rasa di dunia
ini tidak ada yang kebetulan.”
“Hmm... kucingmu masih single?”
“Masih, dia belum pernah beranak.”
“Bagaimana kalau kita kawinkan?”
“Ide bagus!”
Ken dan Velona membuat janji bertemu di rumah
Ken, untuk mengawinkan Ion dengan Loli. Mengetahui
keadaan Ion yang cacat, Velona tetap bisa menerima. Bagi
Velona, Ion tetap sama seperti kucing jantan lainnya. Velona
bersedia untuk menaruh Loli di rumah Ken sampai Loli hamil
dan beranak. Velona pun akan senang jika Loli memiliki
banyak anak yang lucu-lucu, begitu juga dengan Ken.

46 -- Fileski

Karena kucing mereka yang kawin, Ken dan Velona
semakin akrab dan menjadi sahabat. Keduanya masih
sama-sama single walaupun memiliki umur yang cukup
untuk menikah, yakni 29 tahun. Suatu ketika saat ngopi di
Rilassato, Velona melempar pertanyaan pada Ken. “Kucing
sudah kamu kawinkan, kapan kamu kawin? Haha... ingat
umur,” celetuk Velona. Ken pun berbalik menyerang Velona.

“Kamu sendiri kapan? Udah waktunya tuh,” ujar
Ken. Keduanya sama-sama belum terpikirkan untuk
menikah. Mereka masih sama-sama menikmati masa lajang
tanpa punya target kapan harus menikah. Tapi terbersit di
dalam hati Velona, mengapa ia tidak menikah saja dengan
Ken. Rupanya Ken juga mengalami hal yang sama, ia juga
sempat bergumam bahwa mungkin Velona adalah jodohnya.

Taman Tak Bernama -- 47

48 -- Fileski

Taman Tak Bernama -- 49

Taman
Tak Bernama

Janiva begitu akrab dengan taman tak bernama. Ia selalu
menemukan kisah di setiap sudutnya.

50 -- Fileski

Mungkin banyak taman-taman lain yang lebih

indah dari taman ini. Tak seindah Hitachi Seaside Park di
Jepang, Keukenhof Gardens di Belanda, atau Lavender
Fields di Prancis. Tapi, taman ini bagai miniatur kesetaraan
dan keindahan kehidupan. Tidak ada batas kaya-miskin,
tua-muda, semua tumpah ruah menjadi satu di sana.

Taman urban itu tak bernama. Luasnya sekitar 900
meter persegi. Konon, di dalam taman itu terdapat sebuah
makam tua, yang sekaligus menjadi tempat jujukan para
peziarah. Selain punya unsur mistis, taman itu juga punya
unsur modern. Ada sarana-sarana penunjang, seperti
skateboard dan BMX track, jogging track, panggung kecil
untuk berbagai jenis hiburan, akses Wi-Fi gratis, telepon
umum, area green park dengan kolam air mancur, taman
bermain anak-anak, hingga pujasera.

Satu dari sekian banyak penghuni yang mengisi
taman di hari itu adalah seorang perempuan muda nan
cantik bernama Janiva. Perempuan berponi itu terlihat
duduk di atas ayunan, kakinya menghadap ke jalan yang
berbatuan, matanya menatap bunga-bunga kana berwarna
jingga. Janiva memang kerap mengunjungi taman itu, ia
suka menyusuri sudut demi sudut taman, lalu mengamati
apa yang terjadi di sekelilingnya. Ayunan di taman itu
merupakan salah satu tempat favoritnya.

Taman Tak Bernama -- 51

Janiva beranjak dari ayunan lalu berjalan ke arah
makam yang berada di dalam taman tak bernama. Makam
itu adalah makam sesepuh yang dipercayai turut andil dalam
menyebarkan suatu ajaran. Maka dari itu ia dihormati dan
makamnya tak pernah sepi. Lagi-lagi Janiva menemui
seroang pria yang sama di makam itu. Yang setiap siang di
jam istirahat kerja selalu mengunjungi makam itu, usai
menyantap rawon di warung yang tak jauh dari makam. Pria
berpakaian kantoran itu terlihat duduk tenang di dekat
makam. Kadang ia sampai ketiduran usai berbaring di salah
satu pendopo makam itu.

Orang berpakaian serba putih turun dari bus
pariwisata berbondong-bondong menuju makam itu.
Melewati gerbang paduraksa di dalam makam, yang
membatasi bagian luar dengan bagian tengah makam.
Sebagian dari mereka menuju surau kecil di sana, yang
konon dibangun oleh sesepuh. Ada juga yang langsung
mendekati makam yang berada di dalam sebuah cungkup,
di mana berjajar makam yang nisan dan badan kuburannya
ditutupi kain putih. Usai berziarah, mereka menikmati
peninggalan yang hingga kini masih terjaga, yakni air sumur
buatan sesepuh untuk diminum. Ada yang sudah membawa
botol plastik, agar bisa diisi air yang dianggap bertuah itu
untuk dibawa pulang.

52 -- Fileski

Di pujasera yang dekat dengan lokasi makam,
nampak warung-warung berjajar, mulai dari warung nasi
hingga warung kopi. Janiva melihat seorang perempuan
duduk di salah satu warung kopi, tepat di bawah pohon
beringin besar. Ia tengah bersama laki-laki yang berkulit
hitam dan bermata cokelat. Laki-laki bertubuh tidak terlalu
tinggi itu seperti keturunan India. Janiva mendengarkan
percakapan mereka.

“Kamu sudah punya pacar, ya?”
“Kok kamu tahu?”
“Iya, aku pun tahu kamu sudah tidak perawan.”
“Tahu dari mana?”
“Aku bisa menerawang. Dia, laki-laki yang
merenggutmu itu, memang cuma nafsu sama kamu, bukan
cinta. Kasihan juga kamu ditinggal dia pergi. Setiap hari
kamu ngopi di sini?”
“Iya. Sudahlah, biarkan saja. Tempat ini memang
biasa jadi pelarianku. Ketika jenuh di rumah, aku pergi ngopi
di sini bersama teman-temanku.”
“Aku melihat kemarin kamu sedang berduaan dengan
laki-laki? Itu pacarmu yang sekarang?”
“Kok kamu bisa tahu sih, padahal kita baru saja
ketemu.”
“Gini, aku mau menawarkanmu sesuatu. Aku bisa
mengembalikan keperawananmu. Tapi, kamu punya apa?”

Taman Tak Bernama -- 53

“Maksudnya??”
“Maksudnya kamu mau kasih aku imbalan apa?”
Perempuan itu pun terdiam sembari berpikir. Ia
merasa tidak punya apa-apa untuk diberikan, karena uang
jajan saja ia masih minta ke orangtuanya. Maklum, masih
anak SMA.
“Bagaimana kalau handphone-mu? Aku jamin kamu
bisa kembali seperti dahulu. Sini lihat tanganmu.”
Perempuan itu menunjukkan telapak tangannya pada
pria yang tak ia kenal, yang berani menghampirinya saat
tahu ia sendirian.
“Kamu ini punya garis tangan yang bagus. Apa yang
kamu inginkan bisa sangat mudah terwujud. Garis tanganmu
ini menandakan doa-doamu mudah menembus ke langit.”
“Hmm... begitu ya.”
“Kamu tahu tidak, warung-warung di sini, masing-
masing ada penunggunya. Persaingan satu sama lain,
mereka pakai pelaris. Itu semua pesanan, ada yang
bertubuh tinggi hitam, ada yang berwujud kera, intinya
semua makhluk halus yang tak bisa dijangkau mata. Entah
kenapa mereka mempercayakan rejekinya pada hal klenik.
Tapi tak dapat dipungkiri, di sini tak pernah sepi.”
Setelah berbincang panjang lebar dan menjanjikan,
akhirnya perempuan itu menyerahkan handphone-nya. Pria
itu memang kerap mencari mangsa di taman tak bernama.

54 -- Fileski

Dengan modus ramal-meramal, ia sudah meraup untung
nominal rupiah dan barang berharga.

Janiva berpindah ke sudut lainnya, masih di warung
kopi. Ia melihat berbagai kalangan berkumpul, ada muda-
mudi, ada pebisnis, ada juga politikus yang tengah
berdiskusi. Membahas taktik kampanye menjelang
pemilihan umum. Ada juga kalangan sosialis, yang
berkumpul membentuk lingkaran tak jauh dari skatepark
yang nampak diisi beberapa anak muda dengan papan
skate-nya. Mereka berkumpul untuk membahas kegiatan
bakti sosial. Mengumpulkan beras dari masing-masing
anggota untuk diberikan bagi yang membutuhkan. Di
belahan taman yang lain, ada banyak sepasang suami istri
yang membawa anak kecilnya untuk bermain-main di taman
bermain. Ada yang asyik dengan jungkat-jungkit, perosotan,
ayunan, hingga merasakan cipratan air mancur hingga
membuat si anak basah kuyup namun girang bukan main.

Hari mulai gelap. Suasana yang tadinya realistis
berubah menjadi romantis. Taman tak bernama berhiaskan
lampu-lampu temaram. Para sejoli pun mulai berdatangan
dengan bergandengan tangan menuju taman. Mereka
mencari ruang-ruang yang bisa disinggahi untuk
menghabiskan jam demi jam. Melepaskan penat seharian,
mengobrol apa saja, dan menikmati kopi-kopi yang dijajakan
para penjual kopi keliling. Ada pun pengamen yang datang

Taman Tak Bernama -- 55

menawarkan hiburan. Mereka menjadi satu rombongan.
Memainkan lagu cinta dengan nada yang mengalun dari
instrumen choke, perkusi, cello, dan biola.

Janiva kembali berjalan mengelilingi taman. Ia
berhenti sejenak di bawah lampu taman. Tak jauh dari situ
ada dua orang perempuan yang duduk di bangku taman.
Tak sepatah kata pun terucap dari bibir mereka berdua.
Mata mereka menerawang jauh, namun dengan jarak tubuh
yang begitu dekat. Di antara pangkal paha mereka rupanya
ada telapak tangan yang saling menggenggam erat. Lalu
sesekali mereka saling bertatap mesra. Seolah saling ingin
menerkam lembut bibir satu sama lain. Tiba-tiba ada
sesosok pria datang menghampiri mereka berdua. Terkejut
dan langsung membuang jauh-jauh genggaman itu, salah
satu perempuan di situ berdiri seraya menyambut pria yang
datang. Pria itu pun merangkul pundak si perempuan dan
berjalan pergi. Sementara perempuan yang satunya
mengikuti mereka berdua dari belakang.

Hari menjelang tengah malam. Janiva mulai
merasakan dingin dan ingin pulang. Taman itu tak pernah
sepi, manusia silih berganti. Ada mereka yang datang
tengah malam ke taman hingga pagi, karena tak bisa tidur
nyenyak di rumah. Ada juga yang karena terlalu keasyikan
bersama orang di sebelahnya lalu lupa rumah. Janiva pun

56 -- Fileski

berjalan menyepi, menuju kegelapan, lalu sosoknya hilang
perlahan ditelan kabut malam.

Taman Tak Bernama -- 57

58 -- Fileski

Taman Tak Bernama -- 59

Lover
Night Carnival

Aku menemukan Filea di sebuah wahana bermain.
Komidi putar. Ia naik di punggung kuda-kudaan,
dan berputar dalam sebuah platform datar.
Seperti anak-anak yang bahagia ketika menemukan
mainannya

60 -- Fileski

Sore ini hujan. Aku mengamatinya dari balik

jendela kamar. Tetesan-tetesan yang kusebut air mata
bidadari itu jatuh membasahi daun-daun yang tumbuh
segar. Awalnya deras, namun lama-lama mereda hingga tak
ada lagi yang tersisa. Hanya tinggal basah dan aku yang
resah. Sedang apa ia di sana? Ia yang namanya terukir di
dalam dada. Filea.

Pemilik nama itu adalah orang yang ketika pertama
kali kutatap wajahnya, saat itu juga aku ingin bilang
padanya, “Aku ingin jatuh cinta padamu, jatuh ke dalam
pelukmu, hingga tak ada lain yang mampu kucintai
selainmu.”

Aku menemukan Filea di sebuah wahana bermain.
Komidi putar. Ia naik di punggung kuda-kudaan, dan
berputar dalam sebuah platform datar. Seperti anak-anak
yang bahagia ketika menemukan mainannya. Senyumnya
terlepas bebas, lalu berpose dua jari saat temannya
meneriaki dan menangkapnya dengan kamera. Filea
mencuri perhatianku di Lover Night Carnival yang aku
kunjungi sendiri malam itu.

Aku sejenak terpaku menatap wajah Filea dari
bangku taman yang tak jauh dari komidi putar. Kutemukan
keteduhan di matanya yang berbinar. Kutemukan pengusir
lelah di senyumnya yang membuatku bergetar. Caranya

Taman Tak Bernama -- 61

bergerak membuatku dikepung rasa penasaran. Namun
awalnya aku hanya berani memandanginya dari kejauhan.
Dan ia pun berlalu pergi setelah puas menaiki komidi putar.

Aku terus berjalan menyusuri Lover Night Carnival.
Riuh rendah suara suka cita tak henti-hentinya mengisi
malam. Anak-anak hingga orang dewasa larut menjadi satu
di bawah gemerlap lampu warna-warni. Aku menemukan
Filea lagi. Saat ia tengah memesan kembang gula yang
sudah tak sabar untuk ia nikmati.

“Kembang gula ini ringan, manis, berwarna merah
muda. Sama seperti cinta yang tengah bersemi,” ucapku
saat mendekati penjual kembang gula.

“Iya. Itulah mengapa jika ke sini aku selalu tak lupa
membelinya,” sahut Filea. Jantungku berdebar lebih
kencang ketika Filea membalas perkataanku. Saat itu aku
hanya ingin lebih dekat dengan Filea, walaupun harus
beralasan membeli kembang gula.

“Kenalkan namaku Filea,” ia mengulurkan
tangannya untuk bersalaman denganku.

“Aldino,” aku menyambutnya dengan perasaan
bahagia.

Aku seolah tak percaya dengan apa yang telah
terjadi. Semesta mengabulkanku. Gadis manis bernama
Filea itu mengajakku berkenalan. Malam itu di Lover Night
Carnival, aku dengannya sempat mengobrol dan duduk di

62 -- Fileski

bangku taman yang sama, sambil menikmati kembang gula.
Pertemuan pertama itu membawa kami pada pertemuan
lanjutan. Entah untuk sekadar makan malam, nonton di
bioskop, menikmati live music di tepi pantai, dan melihat
pemandangan bintang-bintang di bukit. Kecocokan di antara
kami bedua membuat kami hampir tiap malam bertemu.

Aku masih ingat ketika Filea datang ke rumah
malam itu. Di luar hujan deras, Filea datang membawa
popcorn dan film drama komedi. Aku membuatkan cokelat
hangat, minuman kesukaan Filea, dan kami menonton
bersama di ruang tengah. Aku benar-benar merasakan
kenyamanan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Di dekatnya adalah hal yang tak ingin aku akhiri. Waktu dua
puluh empat jam dalam sehari bahkan tak cukup untuk
menebus keinginanku agar bisa selalu di dekatnya. Malam
yang benar-benar indah ketika itu. Usai lelah dengan canda
tawa, Filea mulai lelah. Ia menaruh kepalanya di bahuku.
Aku pun berusaha memberinya rasa nyaman dengan
membelai rambutnya yang hitam dan tebal. Bersandarlah di
sini selamanya Filea. Bahuku selalu untukmu.

Bulan demi bulan telah kami lewati bersama. Tanpa
bilang sayang atau cinta, juga tanpa rencana. Semua
mengalir begitu saja. Yang aku tahu Filea selalu ingin aku
ada kapan pun ia mau, pun begitu sebaliknya. Filea adalah
wanita yang penyayang, cerdas, juga punya sisi nakal.

Taman Tak Bernama -- 63

Bagiku ia adalah paket komplit. Aku menemukan segala hal
darinya. Aku belajar banyak hal dari setiap cerita yang ia
kisahkan padaku. Aku juga menggilai caranya menyentuhku.
Caranya memelukku dari belakang. Caranya mencium
keningku, kedua kelopak mataku, pipiku, hidungku, juga
bibirku. Ia selalu memberikan kejutan-kejutan yang tidak
pernah kusangka. Ia bisa tiba-tiba datang ke rumah
membawakanku makanan kesukaanku. Ia juga pernah tiba-
tiba membelikanku tiket konser band rock favoritku. Ia
sempurna di mataku.

Filea... Filea... di mana sekarang kamu berada?
Filea yang terakhir kali aku ketahui, ia akan menikah.
Walaupun sampai detik ini aku masih belum bisa move on
darinya. Bagaimana bisa, Filea masih saja tetap
menghubungiku. Filea masih saja mengajakku ke mana pun
ia mau. Filea juga masih saja memeluk dan menciumiku.
Filea masih sayang padaku.

Pria yang katanya menjadi calon suami Filea adalah
anak dari teman ayahnya. Filea bilang bahwa ia terpaksa
mau dinikahkan oleh pria yang bernama Radit itu. Perihal
bisnis, itulah yang menjadi alasannya. Ayah Filea kabarnya
akan mendapat saham di bisnis properti yang dibangun
temannya itu, jika Filea mau menikah dengan Radit yang
menyukai Filea sejak dahulu. Kondisi ekonomi keluarga

64 -- Fileski

Filea memang sedang di ujung tanduk, itulah yang membuat
Filea berusaha menyingkirkan egonya.

Berada di antara mereka berdua adalah hal yang
sebetulnya sangat tidak aku inginkan. Aku ingin tetap Filea.
Aku ingin tetap menjadi bagian dari Filea. Sedikit pun aku
tidak terpikir untuk pergi. Biarlah apa yang terjadi nanti, yang
terpenting aku masih bisa merasakan sekarang ini. Filea
adalah sekarangku, ya, sekarang dia masih milikku. Hanya
hari ini saja aku tidak bertemu, namun kerinduanku semoga
disampaikan oleh hujan yang sempat turun.

Filea masih menggenggam tanganku semalam. Ia
bilang bahwa ia masih ada untukku dan tak akan pergi
meninggalkanku. Beruntung, saat ini bukan Radit yang
mengisi hari-hari Filea, melainkan aku. Radit masih
menyelesaikan studinya di luar negeri, yakni Maroko. Saat
ini aku yang menang. Aku yang memiliki hati Filea.

Aku ingin tetap menjadi miliknya. Aku ingin terus
memeluknya hingga tak bernapas. Aku ingin tetap menjadi
bagian dari tawanya. Aku ingin tetap menjadi bagian dari
kekesalannya. Aku juga ingin tetap menjadi bagian dari tiap
sentuhannya. Aku ingin ujung bibirnya tetap mendarat di
keningku, kedua kelopak mataku, kedua pipiku, hidungku,
hingga bertemu ujung bibirku. Sekalipun ia menjadi milik
yang lain, aku akan memohon dan terus memohon. Tuhan,

Taman Tak Bernama -- 65

izinkan ia memiliki suami dua. Aku mau menjadi kedua, asal
tetap bersamanya.

Mungkinkah Radit mau berbagi Filea denganku?
Ini memang gila. Tapi begitulah adanya.
Aku ingin kembali ke Lover Night Carnival. Ingin
menumpang kebahagiaan di keramaian. Bosan menyepi,
dan tanpa kabar Filea pujaan hati. Mencoba mengusir
segala gundah dalam hati. Aku ingin duduk di tempat yang
sama saat aku menemukan Filea. Membayangkan ketika ia
di komidi putar. Naik di punggung kuda-kudaan, dan
berputar dalam sebuah platform datar. Seperti anak-anak
yang bahagia ketika menemukan mainannya. Sama seperti
itu. Saat Filea menemukanku, aku adalah tempatnya
bermain sesuka hati. Ia boleh pergi setelah puas, dan
datang kapan pun ia mau. Paling tidak aku dapat membuat
Filea tertawa bahagia.

Surabaya, 2016

66 -- Fileski

Taman Tak Bernama -- 67

Malam
Pengantin

Hingar bingar resepsi pernikahan telah berakhir. Bagas dan
Lita telah berada di kamar pengantin. Kamar yang beraroma
semerbak bunga, dengan ranjang merah dan kelambunya
yang berwarna putih. Bagas dan Lita akan membelah
malam pertama mereka. Mencecap surga dunia. Berharap
bahagia.

68 -- Fileski

Sayangnya, bahagia yang dirasa Lita, tak

sebaliknya dirasa Bagas. Ternyata Bagas kecewa.
"Kenapa kamu tidak jujur dari awal. Ternyata kamu

sudah tidak perawan."
"Maaf Mas, aku hanya takut mengungkapkan yang

sejujurnya. Itu masa lalu yang pahit buatku."
"Aku kecewa sama kamu."
Lita pun hanya bisa menangis tanpa suara.
"Kalau begitu, aku akan mengembalikanmu pada

orangtuamu. Maaf aku tidak bisa meneruskan pernikahan
ini. Aku sungguh kecewa denganmu."

"Lalu? Pesta pernikahan ini? Ijab kabul ini?
Bagaimana dengan semua ini? Kita kan baru saja
memulainya."

"Semua sudah percuma. Aku hanya tidak ingin kamu
dan aku tidak hidup bahagia dengan pernikahan ini."

***
Lita mengaduk-aduk sup dalam panci yang ada di
atas kompor. Ia masih dirundung kesedihan akibat sebuah
kegagalan yang belum lama menimpanya. Sup yang ia aduk
dan hampir matang, tak ubahnya perasaannya yang diaduk-
aduk oleh sebuah pernikahan yang berakhir dalam waktu
sehari. Bercampur lebur, layu, dan panas. Lita pun dengan

Taman Tak Bernama -- 69

segera membawa supnya, yang siap dihidangkan di meja
makan.

Hari itu hari di mana Lita libur bekerja, dan
memanfaatkan waktunya untuk memasakkan ibu dan
bapaknya. Lita adalah putri tunggal. Bapaknya seorang
dosen universitas negeri di Yogyakarta. Ibunya sehari-hari
menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.
Kehidupan mereka harmonis, hampir tidak pernah terjadi
keributan di rumah. Lita merupakan anak yang penurut
dengan orangtua. Ia dikenal sebagai pribadi yang santun,
pintar, dan banyak disukai pria karena kecantikannya.

Lita dikuliahkan di sekolah tinggi ilmu kesehatan oleh
bapaknya, agar kelak menjadi seorang perawat. Keinginan
bapaknya pun terwujud. Setelah lulus, Lita diterima bekerja
di sebuah rumah sakit di Yogyakarta. Saat menjadi perawat
itulah, awal mula Lita bertemu Bagas. Kala itu Bagas
menjaga bapaknya yang sedang dirawat di rumah sakit
karena stroke, sedangkan Lita bertugas merawat bapaknya
Bagas. Kecantikan dan kelembutan Lita membuat Bagas
terpikat. Bagas pun melakukan pendekatan, hingga akhirnya
berniat untuk meminang Lita. Tak butuh waktu lama bagi
Bagas untuk segera melamar Lita yang ketika itu berumur
23 tahun. Terbilang masih muda, namun Lita siap untuk
menikah.

70 -- Fileski

Hari itu tak seperti hari-hari biasanya. Suasana di
meja makan berubah dingin. Terlihat raut kesedihan di
wajah ibu Lita yang tengah melamun, sedangkan bapaknya
terlihat tidak terlalu nafsu untuk makan. Lita pun hanya
tertunduk dan diam seribu bahasa.

“Nak, Ibu ingin bertemu dengan keluarga Bagas. Ini
harus dibicarakan secara kekeluargaan,” ucap ibu Lita
memecah hening.

“Bu, aku mengerti perasaan Ibu. Tapi sudahlah, Bu...
lebih baik ikhlaskan. Lagi pula Ibu menemui keluarganya
juga bukan jadi solusi. Tidak akan mengubah keputusan
Bagas dan keluarganya.”

Tiba-tiba bapak Lita memotong pembicaraan, “kamu
itu perempuan yang tidak bisa jaga kehormatan. Bikin Bapak
malu saja!”

“Pak...,” tukas ibu Lita.
Bapak Lita lalu meninggalkan meja makan dengan
wajah kesal, dan pergi menuju kamar.
“Nak, temukan Ibu dengan orang yang telah
merenggut keperawananmu. Dia semestinya bertanggung
jawab dengan perbuatannya. Kamu sadar tidak, kalau dia
adalah akar dari permasalahan ini.”
“Bu, untuk apa kita mengejar masa lalu. Itu yang
membuat seseorang sulit bahagia. Terlalu memikirkan masa
lalu, dan mudah cemas dengan masa depan.”

Taman Tak Bernama -- 71

“Tapi bagaimana jika ke depannya tidak ada laki-laki
yang bisa menerimamu? Ingat Nak, perempuan itu menjadi
tak lagi dihargai jika ia sudah kehilangan kehormatannya.”

“Bu, Tuhan itu Mahaadil.”
Semenjak ditimpa permasalahan pelik, yakni
mengalami masa pernikahan yang hanya sehari, membuat
Lita menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijak. Ia tak ingin
lagi berlarut-larut dalam kesedihan. Momentum itulah yang
membuat Lita makin mendekatkan diri pada Rabb-nya. Ia
tak lagi menganggap pernikahan sebagai tujuan utama
dalam hidupnya. Ia menikmati masa-masa pemulihan jiwa,
hingga menemukan hakikat hidupnya. Lita menjadi pribadi
yang pasrah setelah melalui sebuah ujian dengan soal yang
rumit dalam kehidupannya.

***
Bagas adalah pria 28 tahun yang bekerja sebagai
pegawai bank. Ia lahir sebagai anak terakhir dari tujuh
bersaudara. Kedua orangtuanya adalah pensiunan pegawai
negeri sipil. Bagas lulus sebagai sarjana akuntansi, dan
sudah tiga tahun bekerja sebagai pegawai bank di
Yogyakarta. Selama hidupnya, Bagas terbilang pemuda
yang tidak pernah aneh-aneh. Ia selalu berusaha melakukan
hal yang lurus-lurus saja. Tidak suka mencoba hal-hal yang
tidak disukainya, seperti merokok, minum-minuman keras,
atau berganti-ganti perempuan. Selama hidupnya pun

72 -- Fileski

Bagas hanya pernah pacaran sekali, saat kuliah dan putus
menjelang wisudanya. Bagas masih perjaka. Tak pernah
sekalipun ia melakukan hubungan seks di luar nikah.
Pengalamannya hanya sekadar ciuman bibir dengan
mantan pacarnya dahulu. Bagas merupakan pemuda yang
punya prinsip, tidak akan melepas keperjakannya sebelum
menikah.

Di ruang tamu rumahnya, Bagas berbincang-bincang
dengan ibunya. Sementara bapaknya telah meninggal dua
bulan sebelum Bagas dan Lita menikah.

“Ibu benar-benar tidak menyangka, Gas, kalau Lita itu
sudah jebol duluan,” kata ibu Bagas.

“Aku juga tidak menyangka, Bu. Waktu di kamar
pengantin, dia menceritakan itu terlebih dahulu. Kami belum
sempat melakukan hubungan suami istri. Aku kaget dan
sangat menyayangkan sekali. Padahal aku sebagai laki-laki
bisa menjaga sampai waktunya, dan berharap mendapat
perempuan yang juga bisa menjaga kehormatannya sampai
waktunya. Ternyata Tuhan berkehendak lain. Apa mau
dikata kalau sudah begini akhirnya. Aku tidak bisa, Bu,”
ucap Bagas.

“Carilah perempuan yang masih perawan. Karena di
situlah sumber kebahagiaan sebuah pernikahan. Biar kamu
tidak menyesal di tengah perjalanan,” ucap ibunya.

Taman Tak Bernama -- 73

Semenjak memutuskan untuk mengakhiri pernikah-an
yang hanya sehari itu, Bagas kembali membuka diri untuk
perempuan lain. Kali ini ia semakin selektif dalam memilih
calon istri. Bertemulah Bagas dengan sosok Eva,
perempuan berusia 26 tahun, pegawai bank yang sama
dengan Bagas, namun berbeda cabang. Bagas merasa
cocok dengan Eva, dan tak butuh waktu lama untuk
memutuskan menikah.

Tiba hari pernikahan Bagas dan Eva. Hingar bingar
resepsi kembali digelar. Usai merayakan hari bahagia,
Bagas dan Eva menuju kamar pengantin yang telah
disiapkan. Di sanalah tempat mereka berdua memadu kasih.
Malam itu menjadi malam yang tak akan pernah Bagas lupa.
Malam itu adalah malam di mana Bagas melepas
keperjakaannya.

Dan bagi Eva, itu bukan malam pertamanya. Saat
berusia 16 tahun, ia sudah pernah melepas kepera-
wanannya. Namun itu menjadi rahasia bagi Eva, dan tak
akan pernah diungkapnya kepada siapa pun selama-
lamanya. Sampai di kamar pengantin pun, rahasia itu tetap
terjaga. Eva hanya meyakini, bahwa dia bisa kembali
perawan karena hanya sekali pernah berhubungan. Itupun
sudah sepuluh tahun silam dengan pacarnya. Yang ia tahu,
vaginanya akan kembali rapat seperti masih perawan.

74 -- Fileski

“Istriku, aku baru pertama kali melakukan ini. Maaf
kalau aku sedikit grogi.”

“Tidak apa-apa suamiku, aku juga baru pertama kali.”
Dan setelah milik Bagas telah masuk ke milik Eva...
“Istriku, tidak keluar darahnya?”
“Kan tidak semua perempuan perawan bisa keluar
darah, Suam....”
“Oh, iya ya... aku juga pernah baca tentang hal itu...
Istriku mau lanjut atau sudah?”
“Udahan dulu yuk, sudah tiga kali keluar, Suam nggak
capek? Kita tidur yuk, besok bangun aku masakin kamu.”
“Ok, selamat malam istriku tercinta.”
“Malam suamiku....”

Taman Tak Bernama -- 75

76 -- Fileski

Taman Tak Bernama -- 77

Senandung
Ave Maria

Namanya Dedy. Dia bisa tiba-tiba bertingkah aneh. Jika
melihat perempuan di depannya, dia berjalan pelan lalu
menyanyikan lagu Ave Maria. Dihampirinya si perempuan
dengan nyanyian yang menakut-nakuti seperti hantu. Jari-
jari tangannya juga menggapai pundak perempuan yang
dihampirinya saat itu.

78 -- Fileski

Langkahku masih malu-malu menuju

kampusku yang baru. Kampus Islam negeri paling diminati.
Aku menjadi mahasiswa yang baru pindah dari kampus
lama, namun masih mengambil fakultas yang sama, yakni
Humaniora.

Memasuki gedung fakultas pagi itu, aku merasa
asing. Belum ada satu pun yang kukenal. Aku juga masih
bingung, ruang kelas mana yang mesti kutuju. Kucari-cari
ruang 09, tak kutemukan di lantai satu. Aku naik satu lantai
lagi, akhirnya ketemu. Ruangan masih kosong, jam kuliah
masih lima belas menit lagi. Aku menunggu di kursi panjang
yang tepat berada di depan kelas. Tak lama aku duduk di
situ, tiba-tiba ada laki-laki yang tubuhnya sedikit gendut, dan
berkacamata. Dia yang tadinya berjalan biasa saja dari
tangga, tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia lalu diam
dan menatapku tanpa kata

“Ave maria... Jungfrau mild... Erhore einer Jungfrau
Flehen...” Tiba-tiba dia menyanyikan lagu berirama seriosa
itu sambil berjalan pelan menghampiriku. Jari-jari tangannya
lalu menggapai pundakku. Aku terkejut, juga diliputi rasa
takut. Reflek aku berdiri dari tempat dudukku, namun tak
bisa berkata sedikit pun atau menyuruhnya pergi. Baru
sehari datang ke kampus aku sudah merasa horor begini.

Taman Tak Bernama -- 79

“Dedy, jangan ganggu dia... nanti dia takut. Sudah
pergi sana,” teriak seorang mahasiswa yang baru datang
bersama gerombolannya. Setelah laki-laki aneh itu pergi,
gerombolan mahasiswa itu melihatku sambil tertawa. Aku
sebisa mungkin menyembunyikan ekspresi ketakutan
dengan senyum ringan.

Ternyata namanya Dedy. Aku masih bingung, apa
benar dia juga mahasiswa di Fakultas Humaniora. Dia lebih
terkesan seperti orang gila yang nyasar ke kampus. Aku
tidak habis pikir, bagaimana caranya orang semacam Dedy
bisa menjadi mahasiswa di kampus ini. Dia lebih mirip
pasien di rumah sakit yang terganggu jiwanya.

Di kelas aku masih terngiang-ngiang lagu yang
dinyanyikan Dedy. Ave Maria. Dia ada di sana, di bangku
paling depan ujung. Sedangkan aku di baris kedua di ujung
yang berlawanan dengannya. Kuamati dia di kelas rupanya
biasa-biasa saja, seperti orang normal. Menyimak dan
mencatat apa yang dijelaskan oleh dosen.

Saat jam pulang kuliah, aku berpapasan lagi dengan
Dedy. Dia kembali menggodaku dengan nyanyian Ave
Maria, dan jari-jari tangannya menggapai pundakku. Kali ini
aku mencoba tak takut. Aku mengajaknya berbicara.

“Hey, namamu siapa?”
“Dedy.”
“Kenapa kamu suka menyanyi lagu itu?”

80 -- Fileski

Belum sempat terjawab, Dedy beranjak pergi.
Di lantai bawah, aku lagi-lagi melihat Dedy. Dia
kembali menyanyikan lagu Ave Maria di hadapan teman
perempuan lainnya. Jari-jarinya seolah menggapai pundak
perempuan itu. Si perempuan cuek saja dan berlalu pergi.
Sepertinya sudah terbiasa dengan tingkah Dedy. Si Dedy
masih tetap dengan nyanyiannya. Kini dia bernyanyi sendiri,
namun dengan jari-jari yang digerak-gerakkan tepat di
depan dadanya. Dedy mondar-mandir dari ujung ke ujung
ruangan di lantai bawah sambil menyanyi lagu Ave Maria.
Kulihat punggungnya basah dipenuhi keringat.
Untuk memenuhi rasa penasaranku dengan lagu Ave
Maria, aku menjelajahi Google dan membuka Youtube di
rumah. Rupanya lagu itu milik Schubert, seorang komponis
berkebangsaan Austria yang lahir tahun 1797. Lagu itu
berulang-ulang kudengarkan, walaupun tak tahu makna
liriknya yang berbahasa Jerman. Ada yang mengatakan lagu
itu memiliki arti sama dengan doa Salam Maria dalam
agama Katolik.
Di hari berbeda. Aku kembali masuk ruang kuliah. Kali
ini dia terlihat berbeda. Dedy berdiskusi masalah tugas
kuliah dengan aku dan beberapa teman sekelas. Dia
nampak normal, kritis jika membahas tugas. Aneh. di satu
sisi dia terlihat mengerikan, di sisi lain dia brilian. Ada waktu

Taman Tak Bernama -- 81

di mana Dedy bisa kumat, ada waktu di mana Dedy menjadi
normal seperti mahasiswa yang lain.

Di waktu dia sedang normal, aku berkeinginan
ngobrol dengannya sendiri. Mengorek apa yang sebetulnya
terjadi. Mengetahui latar belakangnya secara pasti. Tepat di
jam pulang kuliah. Dia nampak duduk sendiri di kantin yang
mulai sepi. Sambil membaca buku, dia asyik mencamil kripik
singkong diiringi sebotol teh. Aku menggodanya dengan
lagu Ave Maria. Dia pun tertawa.

“Dedy si Ave Maria!”
“Ave maria... Jungfrau mild... Erhore einer Jungfrau
Flehen...”
Kali ini Dedy menyanyikan lagu itu dengan mata
berkaca-kaca. Tanpa kuminta, dia dengan mengalir
menceritakan sebuah kisah pahit dalam hidupnya.
Ibu Dedy ternyata menikah diam-diam dengan
ayahnya. Hal tersebut dikarenakan tidak disetujuinya
hubungan keduanya sebab berbeda agama. Ibu Dedy
sempat tak dianggap lagi sebagai anak di keluarganya
karena pindah agama. Ia dianggap domba yang hilang, dan
dianggap terkena ilmu sihir atau kerasukan jin hingga mau
masuk Islam. Bahkan keluarga Ibu Dedy mengira bahwa
ayat-ayat di kitab suci umat Islam bisa digunakan untuk ilmu
pelet. Entah persepsi dari mana, yang jelas keluarga Ibu
Dedy waktu itu sedang dilanda Islamophobia.

82 -- Fileski

Ibu Dedy sempat mengalami kekerasan usai
ketahuan melakukan salat di rumahnya. Puncaknya adalah
saat Ibu Dedy mengakui bahwa ia telah masuk Islam dan
menikah diam-diam. Emosi tak terbendung. Ibu Dedy
dikeroyok orangtuanya hingga babak belur. Kejadian itu
berlangsung tengah malam. Beruntung, Ibu Dedy berhasil
kabur. Tanpa alas kaki ia berlari sekencang-kencangnya
meninggalkan rumah. Kondisi itu ia alami saat perutnya
tengah mengandung Dedy.

Ibu Dedy merasa ketakutan karena dia diancam akan
dicari dan dibunuh oleh keluarganya. Entah itu sekadar
menakut-nakuti atau sungguh-sungguh. Sedang-kan waktu
itu ada Dedy di dalam perutnya. Ayah Dedy lah satu-satunya
pelindung. Ayah Dedy membawa Ibu Dedy bersembunyi di
tempat yang tidak seorang pun tahu, hingga akhirnya
lahirlah Dedy.

Seiring lahirnya Dedy, Ayah Dedy mengira bahwa
tekanan yang dirasakan Ibu Dedy akan reda. Namun hal itu
salah. Ibu Dedy justru memilih mengakhiri hidupnya. Malang
sekali nasib si Dedy kecil. Sepucuk surat pun ditinggalkan
Ibu Dedy di bawah bantal. “Titip Dedy ya Ayah...,” begitu
isinya.

Oleh ayahnya, Dedy dirawat penuh kasih sayang. Ia
disekolahkan di sekolah-sekolah Islam sejak kecil, agar
mendapat pelajaran agama yang cukup. Ayah Dedy

Taman Tak Bernama -- 83

berharap agar Dedy tumbuh menjadi anak yang salih dan
tegar manghadapi cobaan hidup. Sayang, kondisi mental
Dedy agak terganggu. Sewaktu-waktu ia bisa bertingkah
aneh. Jika melihat perempuan di depannya, dia berjalan
pelan lalu menyanyikan lagu Ave Maria. Dihampirinya si
perempuan dengan nyanyian yang menakut-nakuti seperti
hantu. Jari-jari tangannya juga menggapai pundak
perempuan yang dihampirinya saat itu. Namun di sisi lain,
Dedy anak yang juga cerdas dalam akademik.

Entah di mana letak hubungan antara cerita yang
diungkapkan Dedy dengan lagu Ave Maria. Mungkin saat
mengandung Dedy, Ibu Dedy pernah melihat Eyang Dedy
menyenandungkan lagu Ave Maria. Mungkin saja itu
berlangsung saat malam sebelum kejadian pengeroyokan
Ibu Dedy di rumahnya sendiri. Atau mungkin malah ketika
Dedy lahir, Ibu Dedy sempat menyenandungkan lagu Ave
Maria saat Dedy mungil masih dalam gendongannya. Hal itu
masih menjadi misteri yang belum terpecahakan.

84 -- Fileski

Taman Tak Bernama -- 85

Teror Bom
Tukang Sate

Bom yang kembali meledak, memunculkan lagi kepulan
asap. Tak jauh dari sana, ada asap lain yang juga
mengepul. Bukan berasal dari bom, melainkan dari rombong
sate.

86 -- Fileski

Pagi itu, langit kota Jakarta tampak cerah.

Diterangi cahaya surya yang memancar bak lampu dari atap
rumah. Jalanan dipadati kendaraan yang lalu-lalang. Mulai
motor, mobil mewah, hingga angkutan umum yang
mengikuti ritme lampu lalu lintas. Gedung-gedung pencakar
langit digerakkan aktivitas para pekerja yang memenuhi
lantai demi lantai. Terbentuk sistem yang turut memutar
perekonomian. Mall-mall dan gerai kopi yang baru saja
dibuka, sudah mulai diisi pengunjung dengan tujuan masing-
masing. Di jalan terlihat polisi lalu lintas yang bertugas, ada
pula loper koran dan pedagang asongan yang menjajakan
barang dagangan. Ada juga yang baru saja menginjakkan
kaki di Jakarta untuk melamar pekerjaan. Kehidupan Jakarta
di pagi hari yang padat namun berisi.

Menuju siang hari, tepat pukul 10.45, suasana Jakarta
yang tadinya kondusif tiba-tiba ricuh dengan adanya suara
ledakan yang memekakkan telinga. Satpam gedung yang
tadinya melamun tiba-tiba terbelalak, tukang sapu yang
tadinya asyik menyapu trotoar tiba-tiba tersentak, tukang
ojek yang tadinya melaju kencang tiba-tiba ngerem
mendadak. Semua dikejutkan oleh suara itu yang disusul
kepulan asap.

Sebuah bom. Pertama kali meledak di sebuah gerai
kopi. Pengunjung yang tadinya tenang, santai, asyik ngobrol

Taman Tak Bernama -- 87

dan menyeruput kopi, tiba-tiba berhamburan. Ada yang tak
bisa lagi mengelak semburan paku, gotri, dan baut yang
berasal dari racikan bom. Berdarah-darah, lalu telinga tak
hentinya berdengung. Ada yang sudah tergeletak dengan
tubuh yang tak lagi utuh. Belum pulih kericuhan di gerai
kopi, ada bom lagi yang datang menyusul.

Buummm...! terdengar suara ledakan lagi yang
asalnya dari pos polisi. Terlihat beberapa tubuh berceceran
di jalan dengan kondisi mengenaskan. Salah satu polisi pun
menjadi korban.

Indonesia diteror lagi. Situasi ibu kota yang tadinya
aman jadi mencekam. Ulah peneror berhasil menyedot
seluruh perhatian. Orang-orang di sekitar lokasi kejadian
pun merapat. Melihat apa yang telah terjadi secara lebih
dekat. Perhatian orang-orang berhasil dicuri, sehingga
mereka berkerumun pada satu titik. Lalu kemudian, Dorr...!
Suara tembakan muncul dari kerumunan. Mereka yang
berkerumun bubar lalu lari menyelamatkan diri. Tertinggal
satu orang tergeletak di tengah jalan, ia yang terkena
tembakan di kepala hingga membuat batang otaknya mati.
Si penembak menepi, jalan disterilkan oleh polisi, serangan
balik pun dimulai.

Di ujung sana, tak jauh dari lokasi adu tembak antara
teroris dengan polisi, ada seorang gelandangan yang tengah
mengamati. Memakai baju compang-camping dan lusuh,

88 -- Fileski

membawa bungkusan kresek yang berisi sesuatu. Karena
kondisi kejiwaannya yang tidak sehat, ia hanya terdiam dan
mengamati dari kejauhan apa yang terjadi. Sesekali ia
menyengir tanpa sebab lalu tertawa terbahak-bahak.
Gelandangan itu tiba-tiba beranjak dari peraduannya, lalu
mendekat ke lokasi adu tembak polisi dan teroris. Berjalan
mengendap-endap lalu tiarap di perbatasan jalan. Polisi
yang melihatnya pun lalu menarik tubuhnya dan
menyuruhnya pergi.

“Woy!!! Jangan di sini! minggir-minggir.... Kena bom
baru tahu rasa lu!”

Gelandangan itu pun menyingkir dengan wajah
bingung.

Di dalam sebuah gedung bertingkat, dari lantai 21,
sekumpulan karyawan sebuah perusahaan mengamati aksi
teroris versus polisi. Ada yang sambil merekam lewat
kamera ponselnya. Seisi ruangan pun tegang, bak
menonton film action di layar kaca. Ada yang tak henti-
hentinya berdoa agar tempatnya bernaung tak ikut diserang
teroris, ada yang bagai komentator acara pertandingan bola,
mengamati gerak-gerik teroris dan polisi. Mereka tak bisa ke
mana-mana, memilih berlindung di dalam ruangan
menunggu suasana mencekam itu mereda.

“Itu polisi ya yang nembakin?”
Lalu bom muncul lagi, Buuummmmm...!

Taman Tak Bernama -- 89

“Aaauw! Astaghfirullah. Kena sendiri.”
“Mati tuh. Bunuh diri... bunuh diri... bunuh diri ya?”
Bom lagi. Buummmmm...!
“Allahuakbar.”
Bom yang kembali meledak, memunculkan lagi
kepulan asap. Tak jauh dari lokasi bom meledak, sekitar
seratus meter, ada asap lain yang mengepul. Bukan berasal
dari bom, melainkan dari rombong sate. Penjual sate yang
bernama Jamal itu masih asyik mengipasi sate pesanan
pembeli. Rupanya masih ada juga yang lapar disela-sela
kejadian yang menegangkan itu. Jamal pun sepertinya tak
gentar. Tak takut dengan ancaman teror bom. Ia memilih
bertahan dengan rombong satenya. Jamal hanya takut jika
berlari sendiri meninggalkan rombong sate yang merupakan
sumber penghasilannya. Ketakutan Jamal bukanlah pada
teror bom, melainkan Satuan Polisi Pamong Praja yang bisa
sewaktu-waktu menggusurnya dan mengangkut
rombongnya.
Entah apa yang menyebabkan teror bom muncul lagi.
Muncul juga berbagai spekulasi. Mulai dari gerakan radikal
yang kian menunjukkan eksistensi, hingga anggapan bahwa
kekerasan negara pada warga miskin yang dapat membuka
jalan bagi terorisme. Ketika pemasukan warga dibongkar
aparat tanpa kompensasi, lalu tempat tinggal warga digusur
demi bangunan apartemen, kehidupan layak warga tak

90 -- Fileski

mampu dijamin negara. Saat warga tak bisa mendapat
kepastian hidup, radikalisme agama berikan jaminan dunia-
akhirat.

Apapun itu, yang jelas, wartawan menjadi tertarik
untuk memunculkan sosok Jamal si tukang sate ke
permukaan. Menisbikan kepahlawanan tukang sate lewat
tagar “Kami tidak takut”.

***
Malam sebelum kejadian teror bom, gelandangan itu
mengigau dalam tidurnya. Ia memimpikan sesuatu. “Bom...
bom... bom..” begitu ia meracau.
Karena lantai yang ditidurinya terasa makin dingin,
gelandangan itu bangun dari tidur. Mengucek-ucek matanya
yang masih buram, lalu mulai melihat sesuatu dari kejauhan.
Saat didekati, gelandangan itu mendapati beberapa mayat.
Mereka tergeletak bersimbah darah tepat di halaman parkir
gerai kopi. Gelandangan itu berusaha membangunkan
mayat-mayat itu dengan menggoyang-goyangkan
badannya. Tak mendapat sahutan, gelan-dangan gila itu lari
mencari pertolongan. Ia berteriak ketakutan. Tak ada satu
pun yang menghiraukan. Orang-orang di sekelilingnya justru
malah takut. Melihat orang gila dengan pakaian compang-
camping berteriak-teriak.

Taman Tak Bernama -- 91

92 -- Fileski

Taman Tak Bernama -- 93

Suami Bersama

Dua keluarga yang berbeda, namun satu cerita.
Dua ibu rumah tangga yang sama-sama memiliki suami
yang tidak pulang ke rumah.

94 -- Fileski


Click to View FlipBook Version