The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Teori Konflik dan Penerapannya pada Ilmu-Ilmu Sosial (Wahyudi) (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by puputakromah01, 2022-10-01 10:42:23

Teori Konflik dan Penerapannya pada Ilmu-Ilmu Sosial (Wahyudi) (z-lib.org)

Teori Konflik dan Penerapannya pada Ilmu-Ilmu Sosial (Wahyudi) (z-lib.org)

i

WAHYUDI

TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA
PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang

ii TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA
PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Hak Cipta  Wahyudi, 2021
Hak Terbit pada UMMPress

Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Raya Tlogomas No. 246 Malang 65144
Telepon: 0812 1612 6067, (0341) 464318 Psw. 140
Fax. (0341) 460435
E-mail: [email protected]
http://ummpress.umm.ac.id
Anggota APPTI (Afiliasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia)
Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia)

Cetakan Pertama, Februari 2021

ISBN 978-979-796-575-4
e-ISBN 978-979-796-574-7

xvi; 140 hlm.; 16 x 23 cm

Setting Layout & Design Cover : Septian R.

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak
karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, terma-
suk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit. Pengutipan harap
menyebutkan sumbernya.

iii

Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

iv TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Motto:
Orang yang baik adalah orang yang senantiasa memberikan

kemanfaatan bagi orang lain.

Kupersembahkan Untuk:
Istriku Tercinta Siti Rohani,

Terima kasih
telah bersama berjuang
mengarungi samodra kehidupan

v

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah, akhirnya naskah buku ini terbit juga setelah
beberapa tahun hanya tersimpan dalam file yang tak pernah usai.
Kesadaran akan keterpurukan akademis yang kronis, memaksa penulis
untuk melanjutkan draft naskah buku ini. Di tengah-tengah pandemi
covid-19 yang harus mematuhi protokol kesehatan, penulis dapat
memanfaatkan waktu luang yang lebih lama di rumah di banding
pada masa sebelum pandemi. Pada mulanya, penulis akan memberi
judul buku ini Teori dan Manifesto Konflik Sosial. Dengan beberapa
pertimbangan dan juga beberapa perubahan konten, maka jadilah judul
buku ini: Teori Konflik dan Penerapannya Pada Ilmu-ilmu Sosial.

Konflik sosial dalam kehidupan manusia merupakan suatu
keniscayaan, baik dalam level keluarga, kelompok, masyarakat,
bangsa, maupun internasional. Bahkan dalam level diri sendiri pun
pasti pernah mengalami konflik. Misalnya konflik pemikiran, dan/atau
konflik perasaan atau bathin. Diantara contoh konflik sosial misalnya
adalah perselisihan keluarga, pemberontakan atau perlawanan
petani, protes pendukung calon presiden yang kalah, gerakan buruh,
pemberontakan, kudeta militer, perang nasional, perang antar negara,
dan lain-lain. Atas fenomena konflik sosial yang pasti terjadi dalam
praktek kehidupan, maka muncul berbagai model resolus, dan/atau
manajemen konflik untuk menyelesaikannya, sehingga terwujud
tatanan sosial yang penuh kasih sayang, harmoni, dan damai. Namun
demikian, konflik senantiasa hadir di sepanjang kehidupan manusia
di dunia ini. Sepanjang masih ada kehidupan dunia, maka sepanjang
itu pula akan muncul aneka ragam konflik sosial. Konflik memiliki
dua wajah. Satu sisi merusak (destruktif), tetapi satu sisi membangun
(konstruktif). Satu wajah memecah belah, wajah yang lain menyatukan.
Fakta empirik ini menegaskan, bahwa konflik memiliki fungsi positif,

v

vi TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

sekaligus juga negatif yang senantiasa berdialektika dengan sukses
tidaknya konsensus yang dibuat.

Sejak dirumuskan oleh pencetus teori konflik, Karl Marx yang
kemudian dikembangkan, dan dikritisi oleh teoritisi lainnya seperti
Weber, Durkheim dan Cooser, Dahrendorf, dan lain-lain, teori konflik
telah digunakan diberbagai bidang ilmu sosial dan ilmu politik. Teori
konflik, menjadi salah satu perspektif teori sosiologi. Bidang ilmu
komunikasi, pekerjaan sosial, hubungan internasional, ilmu politik, dan
ilmu pemerintahan juga menempatkan teori konflik sebagai rujukan
untuk menjelaskan realitas yang menjadi ruang lingkup ilmunya.
Bagaimana teori konflik memberikan warna dan pengaruh pada ilmu
sosial dan politik? Buku ini mencoba menjelaskan penerapan teori
konflik dalam ilmu sosial dan ilmu politik. Lingkup kajian dalam ilmu
sosial dan ilmu politik yang dimaksud dalam buku ini adalah sosiologi,
ilmu komunikasi, pekerjaan sosial, hubungan internasional dan ilmu
politik.

Buku ini ditulis dengan tujuan untuk menjelaskan penggunaan
atau penerapan teori konflik dalam sosiologi, ilmu komunikasi,
pekerjaan sosial, hubungan internasional dan ilmu politik. Berdasarkan
pengalaman mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sejak tahun
1988, sesungguhnya teori konflik ada di setiap bidang ilmu tersebut.
Untuk menurunkan penjelasan teoritik konflik ke dalam bidang ilmu
yang disebutkan, perlu pemahaman yang komprehensip tentang teori
konflik. Penulis telah berupaya untuk menarik benang merah teori
konflik sebagai teori besar (grand theory) ke dalam teori pertengahan
(middle range theory) dan konsep-konsep sesuai bidang ilmu agar mudah
dipahami pembaca, khususnya mahasiswa FISIP.

Struktur buku yang terdiri dari enam bab. Bab 1 dibuka dengan
paparan konflik dalam kehidupan sehari-hari dan pandangan tentang
konflik. Bab ini menjadi bab pengantar untuk memahami bab-bab
selanjutnya. Bab 2 berisikan tentang penjelasan umum konflik yang
diawali dengan definisi konflik dan diakhiri tentang proposisi konflik.
Bab 3 tentang proposisi teori konflik dari Marx, Weber, Simmel,
Coser dan Dahrendorf. Bab 4 berisikan tentang ragam teori konflik
dari berbagai perspektif ilmu. Bab ini menegaskan bahwa sebab-
sebab konflik itu sangat variatif, bukan hanya karena determinasi

Prakata vii

ekonomi saja. Keterbatasan sumber daya, jenis kelamin, frustasi, dan
sifat agresi manusia dapat menyebabkan konflik. Ragam teori konflik
yang dijelaskan pada Bab 4 memiliki relevansi dengan Bab 5 yang
berisikan tentang penerapan teori konflik dalam ilmu sosial dan ilmu
politik. Sedangkan Bab 6 merupakan bagian penutup yang mencoba
memberikan rangkuman tekanan pemikiran dari buku ini. Dengan
struktur buku semacam ini, penulis berharap buku ini dapat menjadi
salah satu referensi dalam memahami teori konflik sosial sesuai bidang
keilmuannya. Selain itu, diharapkan pembaca, khususnya mahasiswa
FISIP, tidak hanya mengenal dan memahami penerapan teori konflik di
bidang keilmuannya saja, tetapi juga bidang ilmu lainnya.

Atas terbitnya buku ini saya sampaikan ucapan terima kasih
kepada seluruh kawan-kawan di FISIP dan Pascasarjana UMM yang
senantiasa saling mengingatkan agar kita senantiasa menggelorakan
semangat akademik sesuai dengan visi misi dan tujuan Universitas
Muhammadiyah Malang di bidang pendidikan nasional, Dari
Muhammadiyah Untuk Bangsa. Saya memohon maaf jika buku ini
masih terlalu jauh dari harapan.

Guna memudahkan pemahaman teori konflik sesuai bidang ilmunya,
penulis berupaya untuk menyederhanakan bahasa dan menampilkan
contoh-contoh (dalam konteks Indonesia dan global). Semoga buku ini
dapat memberi manfaat bagi mahasiswa FISIP khususnya dan peminat
teori konflik sosial pada umumnya. “Tiada gading yang tak retak”,
mohon kritik, saran, dan masukan atas kekurangan, dan kesalahan
buku ini melalui surat elektronik (e-mail) [email protected].

Malang, Februari 2021
Penulis,

Dr. Wahyudi, M.Si.

viii TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

ix

DAFTAR ISI

Prakata ~ v
Daftar Isi ~ ix
Daftar Tabel ~ xi
Daftar Gambar ~ xiii
Daftar Singkatan ~ xv

Bab I Pendahuluan ~ 1
A. Latar Belakang Masalah ~ 1
B. Rumusan Masalah ~ 8
C. Pandangan Umum tentang Konflik ~ 8
D. Metode Kajian ~ 12

Bab II Struktur Konflik ~ 15
A. Pengertian Konflik ~ 15
B. Faktor Penyebab Konflik ~ 18
C. Proses Konflik ~ 21
D. Jenis-jenis Konflik ~ 23
E. Manifestasi Konflik ~ 30
F. Fungsi Konflik ~ 32
G. Taksonomi dan Dimensi Konflik ~ 35

Bab III Proposisi Teori Konflik ~ 37
A. Proposisi Teori Konflik Karl Marx ~ 40
B. Proposisi Teori Konflik Max Weber ~ 43

ix

x TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

C. Proposisi Teori Konflik George Simmel ~ 50
D. Proposisi Teori Konflik Ralf Dahrendorf ~ 52
E. Proposisi Teori Konflik Lewis Coser ~ 54

Bab IV Ragam Teori Konflik ~ 61
A. Teori Konflik Karl Marx ~ 62
B. Teori Struktural Konflik ~ 66
C. Teori Konflik Marxis ~ 67
D. Teori Konflik Kapitalisme Internasional ~ 68
E. Teori Konflik Ekonomi ~ 69
F. Teori Konflik Realistik (Realistic Conflict Theory) ~ 70
G. Teori Konflik Biologis (Biological Conflict Theory) ~ 72
H. Teori Konflik Psikologis (Frustrasi-Kemarahan-Agresi)/
(Psychological Conflict Theory) ~ 75

Bab V Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial ~ 79
A. Konflik dalam Perspektif Sosiologi ~ 79
B. Teori Konflik dalam Ilmu Komunikasi ~ 97
C. Teori Konflik dalam Hubungan Internasional ~ 108
D. Teori Konflik dalam Pekerjaan Sosial ~ 114
E. Teori Konflik dalam Ilmu Politik ~ 119

Bab VI Kesimpulan ~ 125

Glosarium ~ 129
Daftar Pustaka ~ 131
Indeks ~ 139

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Fungsi Konflik ~ 33
Tabel 3.2 Proposisi Proses Konflik Sosial Karl Marx ~ 42
Tabel 3.3 Proposisi Proses Konflik Sosial Max Weber ~ 46
Tabel 3.4 Proposisi Tentang Geopolitik dan Konflik Max Weber ~ 49
Tabel 3.5 Proposisi Proses Konflik Menurut Simmel ~ 51
Tabel 3.6 Proposisi Konflik dari Dahrendorf ~ 53
Tabel 3.7 Proposisi Penyebab Konflik dari Coser ~ 54
Tabel 3.8 Proposisi Kekerasan Konflik dari Coser ~ 55
Tabel 3.9 Proposisi Durasi Konflik dari Coser ~ 56
Tabel 3.10 Proposisi Fungsi Konflik Bagi Masing-masing Pihak dari

Coser ~ 57
Tabel 3.11 Proposi Fungsi Konflik Bagi Social Whole dari Coser ~ 58
Tabel 4.12 Tahapan Sejarah dan Konflik Kelas di Setiap Tahap ~ 66
Tabel 5.13 Poin Utama Perspektif Interaksionisme Simbolik ~ 84
Tabel 5.14 Poin Utama Perspektif Struktural Fungsional ~ 88
Tabel 5.15 Poin Utama Perspektif Konflik ~ 90
Tabel 5.16 Perbedaan Tiga Perspektif Sosiologi ~ 91

xi

xii TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Level Konflik ~ 1
Gambar 1.2 Peta Konsep Wacana Pembuka ~ 2
Gambar 1.3 Pandangan Tentang Konflik ~ 11
Gambar 2.4 Peta Konsep Memahami Konflik ~ 15
Gambar 2.5 Visualisasi Konflik ~ 16
Gambar 2.6 Segitiga Konflik ~ 16
Gambar 4.7 Peta Konsep Ragam Teori Konflik ~ 61
Gambar 4.8 Piramida Sistem Kapitalis ~ 63
Gambar 4.9 Sengketa Lahan ~ 71
Gambar 4.10 Lukisan Perang Dunia II Karya Tom Lea ~ 73
Gambar 4.11 Tokoh Stoick dan Hiccup dalam Film Animasi “How To

Train Your Dragon” ~ 77
Gambar 5.12 Ilustrasi Tentang Prespektif ~ 80
Gambar 5.13 Ritual Pemakaman Ari-ari Bayi di Masyarakat Jawa ~ 82
Gambar 5.14 Ilustrasi Harmoni Sosial dalam Bentuk Gotong Royong

~ 87
Gambar 5.15 Ilustrasi Konflik Sosial dalam Bidang Agraria ~ 90
Gambar 5.16 Penyelesaian Konflik Secara Sosiologis ~ 93
Gambar 5.17 Lima Gaya Manajemen Konflik Komunikasi ~ 104
Gambar 5.18 Keterkaitan Teori, Metode, dan Teknik Pekerjaan Sosial

~ 116

xiii

xiv TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

xv

DAFTAR SINGKATAN

ADR : Alternative Dispute Resolution
FISIP : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
GAM : Gerakan Aceh Merdeka
HI : Hubungan Internasional
KDRT : Kekerasan Dalam Rumah Tangga
MoU : Memorandum of Understanding
PHK : Pemutusan Hubungan Kerja
PPKM : Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
PSBB : Pembatasan Sosial Berskala Besar
TGPF : Tim Gabungan Pencari Fakta
TPF : Tim Pencari Fakta
TPFI : Tim Pencari Fakta Independen
3M : Mencuci Tangan, Memakai Masker, Menjaga Jarak

xv

xvi TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

(Halaman ini sengaja dikosongkan)

Pendahuluan 1

Bab I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konflik sosial dalam kehidupan manusia telah terjadi sejak awal
keberadaan manusia di muka bumi ini. Kitab suci (Al-Qur’an)
mengabadikan konflik pertama kali yang terjadi antara Habil dan
Qabil (putra Nabi Adam). Konflik saudara kembar ini bermula dari
perselisihan tentang persembahan kurban siapa yang diterima dan
tidak diterima. Perselisihan ini berakhir dengan terbunuhnya Habil
oleh Qabil yang kisahnya diabadikan dalam QS. Al-Maidah (5): 27 –
31. Setidaknya ada tiga pesan yang tersampaikan melalui kisah konflik
pertama kali di muka bumi tersebut, yaitu pengorbanan, pembunuhan,
dan penguburan. Sejak peristiwa tersebut hingga kini, konflik tetap
menjadi bagian kehidupan manusia. Level konflik meliputi konflik
dalam diri (konflik intrapersonal/bathin/pikiran), antar individu,
antar kelompok, antar masyarakat, dan konflik antar negara (konflik
internasional) yang dapat divisualisasikan sebagai berikut:

Konflik dalam diri sendiri (bathin
dan pikiran)

Konflik antar individu

Konflik kelompok

Konflik masyarakat

Konflik internasional

Gambar 1.1: Level Konflik

1

2 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Diantara level konflik tersebut, level manakah yang pernah Anda
alami dalam satu tahun terakhir ini? Bagaimana Anda menghadapi
konflik tersebut. Saat ini di belahan bumi lainnya sedang berlangsung
konflik dalam bentuk perang. Bacalah berita atau artikel yang terkait
dengan perang yang sedang berlangsung saat ini. Apa pandangan Anda
terhadap konflik yang Anda alami?

Pada Bab Pendahuluan ini dijelaskan tiga sub-pokok bahasan
sebagai pembuka wacana buku ini, sebagaimana peta konsep berikut
ini:

Pendahuluan

Latar Rumusan Pandangan Metode
Belakang Masalah Umum tentang Kajian
Masalah
Konflik

Gambar 1.2: Peta Konsep Wacana Pembuka

Dalam kehidupan sehari-hari di keluarga, kelompok, organisasi,
komunitas, masyarakat, dan negara sering ditemukan peristiwa konflik
sosial. Konflik sosial dalam keseharian seringkali dikonotasikan sebagai
hal yang negatif, merusak, dan membuat tidak nyaman. Meskipun
sebenarnya, perbedaan kepentingan yang ada di dalam masyarakat,
sama pentingnya dengan keberadaan kesepakatan, norma-norma, dan
aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Artinya, konflik sosial bisa
dipandang juga memiliki fungsi bagi keberlangsungan kehidupan
masyarakat itu sendiri.

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki keragaman
suku dan ras, agama dan keyakinan, bahasa dan kebiasaan, ideologi
politik dan kepentingan, sangat rentan bagi terjadinya konflik sosial.
Menurut Ali dalam karyanya yang berjudul “Menjadi Indonesia Tanpa
Diskriminasi” (2014: 43), setidaknya ada lima kasus konflik sosial
terburuk di Indonesia, yaitu konflik antara pemeluk Islam dan Kristen
di Maluku, konflik etnis Dayak dan Madura di Sampit Kalimantan
Tengah dan Sambas Kalimantan Barat, kekerasan yang dialami etnis
Tionghoa di Jakarta saat reformasi, pembantaian dan pengusiran

Pendahuluan 3

kelompok Ahmadiyah di Mataram dan pembantaian kelompok Hindu
di Lampung. Berikut ini dijelaskan beberapa contoh konflik sosial dalam
kehidupan sehari-hari.

Konflik tidak selamanya menghadirkan dua individu atau lebih.
Konflik bisa saja dialami oleh seorang individu, dalam psikologi
konflik semacam ini disebut konflik dalam diri (bathin). Dalam ilmu
komunikasi, konflik ini masuk dalam ranah komunikasi intrapersonal.
Konflik yang dialami oleh seorang individu dapat membuatnya serba
dilematis. Dilema merupakan situasi sulit yang dihadapi seseorang
saat dihadapkan pada berbagai alternatif pilihan yang sama sulitnya.
Misalnya, seorang lulusan SMA yang mengalami dilema antara
melanjutkan studi atau bekerja. Lantas, konflik bathin apa yang
pernah Anda alami dalam setahun terakhir ini? Bagaimana Anda
menyelesaikannya?

Dalam level keluarga, konflik sosial dapat terjadi antara suami
dan istri, antara orang tua dan anak, antara kakek/nenek dengan cucu
atau bahkan antar keluarga besar/kerabat. Konflik di keluarga dapat
disebabkan oleh banyak hal dan konflik keluarga dapat berakibat pada
keretakan, ketidakharmonisan, perpecahan keluarga dan perceraian.
Konflik di keluarga dapat mewujud dalam bentuk Kekerasan dalam
Rumah Tangga (KDRT). Di balik konflik sosial dalam level keluarga,
ada sisi positif yang dapat diambil pelajaran, diantaranya masing-
masing anggota keluarga melakukan instropeksi diri, dan harmoni
diantara anggota keluarga setelah adanya resolusi. Manajemen konflik
keluarga (Johar & Sulfinadia, 2020), komunikasi untuk penyelesaian
konflik keluarga (Wardyaningrum, 2013) dan keterlibatan lembaga adat
(Rusuly, dkk., 2017) dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik di
keluarga.

Konflik sosial dalam level kelompok, misalnya terjadi antara Majelis
Tafsir Alquran (MTA) dengan Nahdatul Ulama (NU) di Purworejo.
Menurut Asroni (2012), konflik kelompok MTA dan NU di Purworejo
didasarkan atas perbedaan teologi. MTA memiliki teologi yang disebut
“teologi konflik” yang diadopsi dari teologi salafi. Teologi ini di
kalangan NU dianggap tidak mau berkompromi dengan praktik tradisi
keagamaan seperti yang diamalkan kelompok muslim tradisional
(NU). Selain konflik kelompok organisasi keagamaan, di Indonesia juga
muncul konflik antar aliran atau faham, seperti konflik antar kelompok

4 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Sunni dan Syiah di Sampang Madura (Mahbub, 2018). Konflik kelompok
Sunni dan Syiah di Madura, bukan saja menjadi masalah nasional,
tetapi juga menjadi perhatian internasional. Konflik Sunni dan Syiah
yang pada mulanya dianggap sebagai konflik keluarga merupakan
simplifikasi masalah konflik yang sebenarnya sangat kompleks. Selain
contoh kedua konflik kelompok tersebut, konflik antara Front Pembela
Islam (FPI) dan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) di
Bandung juga menjadi contoh konflik antar kelompok (Hikam, 2017).
Konflik semacam ini merupakan contoh konflik yang terjadi antar
kelompok. Konflik tersebut merupakan fenomena yang tidak terlepas
dari perkembangan atau dinamika sosial yang terjadi di masyarakat.
Konflik sosial dalam level kelompok semacam ini menjadi ancaman
disintegrasi dan disharmoni diantara anggota masyarakat.

Sistem pendidikan di sekolah negeri tanpa disadari membuat
pelapisan kelas. Siswa yang memiliki kecerdasan dan bakat yang
tinggi kemungkinan besar berasal dari keluarga kaya. Keluarga yang
memiliki sumber daya keuangan yang dapat membantu keberhasilan
pendidikan anak-anaknya. Siswa dari keluarga kaya lebih banyak
berpeluang mendapatkan keterampilan untuk keberhasilan kuliah
dan karir masa depan. Sementara siswa yang berprestasi rata-rata dan
kesulitan keuangan tidak menerima peluang yang sama di kelas. Siswa
dari keluarga kurang mampu seringkali mengikuti ujian remedi agar
lulus dan berusaha untuk bekerja. Jika para siswa ini dapat melanjutkan
ke perguruan tinggi, mereka akan dirugikan secara ekonomi karena
keterbatasan biaya kuliah yang dimiliki. Konflik semacam ini telah
menimbulkan perdebatan tentang aksesibilitas dan keadilan perguruan
tinggi bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu.

Dalam kehidupan kampus, konflik juga tidak dapat dihindari.
Aktor-aktor yang terlibat dalam konflik di kampus adalah sivitas
akademik, dosen, mahasiswa, dan tenaga administrasi. Bahkan di
perguruan tinggi swasta, konflik perebutan jabatan rektor, sering
kali berdampak pada merosotnya jumlah mahasiswa baru. Konflik
di kalangan mahasiswa dapat dilihat manaka kala terjadi perebutan
jabatan di organisasi intra ataupun ekstra kampus. Dalam pemilihan
ketua organisasi intra kampus, seperti Presiden Mahasiswa, Badan
Ekskutif Mahasiswa (BEM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM),
ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan/Program Studi (HMJ/Himaprodi),

Pendahuluan 5

seringkali diwarnai konflik antar pendukung calon. Konflik di kalangan
mahasiswa dapat berupa pertentangan pendapat, tetapi bisa juga
berujung pada konflik fisik. Konflik di lingkungan kampus dapat juga
berupa konflik yang terjadi di organisasi intra kampus maupun ekstra
kampus.

Dalam kehidupan partai politik, koalisi, konflik dan friksi
telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Konflik internal dan
perpecahan partai merupakan persoalan pelik yang pernah dialami
oleh hampir semua partai yang berkuasa di parlemen Indonesia selama
era reformasi. Konflik tak terhindarkan meskipun Undang-Undang
Partai Politik telah mengatur secara khusus mengenai konflik partai
dan cara penyelesaiannya (Budiatri, dkk., 2017; Romli, 2017) . Perebutan
jabatan ketua umum sering kali mewarnai kehidupan partai politik.
Pecahnya Partai Demokrasi Indonesia yang diketuai oleh Suryadi yang
didukung oleh pemerintahan Soeharto saat itu, akhirnya melahirkan
partai “tandingan” atau “sempalan” yaitu Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) yang diketuai Megawati Soekarno Putri. Konflik di
PDI, bermula dari bergabungnya Megawati Soekarnoputri di PDI tahun
1987. Di masa itu, pemerintahan Soeharto melakukan de-Soekarno-
isasi untuk membatasi ruang gerak putra-putri Soekarno (Presiden RI
pertama) bergerak dalam bidang politik. Konflik di PDI berujung pada
perebutan kantor pusat partai di Jl. Diponegoro Jakarta yang disebut
Kudatuli (Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli 1996). “Peristiwa Kerusuhan
27 Juli 1996, menyisakan misteri sekaligus membentuk Megawati
Soekarnoputri yang kita kenal saat ini. Hari itu, kantor DPP Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) diambil alih paksa lewat pertumpahan
darah. Suasana di Jalan Diponegoro, Jakarta, begitu mencekam.
Peristiwa Kudatuli bahkan disebut sebagai salah satu peristiwa terkelam
dalam sejarah demokrasi, terutama terkait dualisme partai politik di
Indonesia.” (Kompas.com - 27/07/2020, 10:17 WIB)

Dalam sistem peradilan pidana, lembaga peradilan terkadang
menjadi alat untuk menundukkan kelas bawah/kelas rendah. Kejahatan
yang dilakukan oleh anggota kelas yang lebih kaya, seperti pejabat
publik, CEO, atau selebriti sering kali menerima hukuman yang lebih
sedikit daripada kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dari
kelas sosial ekonomi rendah. Dalam pandangan teori konflik, hal ini
dikarenakan definisi kejahatan dan tindak pidana ditentukan oleh

6 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

mereka yang memiliki kekuatan sosial. Sistem peradilan pidana adalah
cara lain untuk menundukkan kelas sosial ekonomi rendah seraya
mengangkat kelas sosial lainnya lebih tinggi.

Sistem peradilan juga dapat menjadi alat untuk menindas,
menekan, dan mengalahkan perempuan yang berhadapan dengan
sistem kapitalis. Kasus Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional
Tangerang tahun 2008 dapat dijadikan contoh. Akibat email keluhan
Prita Mulyasari yang berjudul “Penipuan Omni Internasional Hospital
Alam Sutera Tangerang”, Prita harus berhadapan dengan RS Omni
Internasional. Tanggal 11 Mei 2009 Prita diputuskan kalah dalam kasus
perdata. Konsekuensinya Prita harus membayar ganti rugi materiil Rp
161 juta dan kerugian immateriil Rp 100 juta. Putusan ini pada akhirnya
melahirkan gerakan dukungan dan simpati kepada Prita Mulyasari
yang terkenal dengan “1000 Koin untuk Prita”. Ini adalah bentuk
perlawanan masyarakat terhadap sistem peradilan yang dianggap tidak
adil dan cenderung berpihak pada kepentingan pemilik modal (RS
Omni Internasional). Kasus Prita Mulyasari menarik perhatian publik
dan menjadi bahan kajian bidang hukum (Firmanto, 2014).

Tawuran antar kampung, perang antar suku, konflik sosial antar
desa merupakan contoh konflik yang terjadi di masyarakat. Tawuran
antar kampung sering kali bersifat manifes (mewujud) dan laten
(terselubung). Oleh karena itu, tawuran antar kampung seringkali
muncul dan tenggelam setelah dilakukan rekonsilisasi dan perdamaian.
Begitu pula dengan konflik antar suku yang sering terjadi di Papua.
Selain di Papua, konflik antar suku pernah terjadi antara Suku Dayak
dan Suku Madura yang terjadi di Sampit. Di Jakarta, juga pernah
terjadi konflik antar suku, yaitu Suku Betawi dengan Suku Ambon. Di
Lampung pernah terjadi antara keturunan Suku Jawa dengan keturunan
Suku Bali. Selain konflik sosial antar suku, konflik sosial antar ras juga
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kasus-kasu semacam itu
melahirkan kajian konflik sosial seputar sebab-sebab konflik, dampak
konflik, dan resolusi konflik tawuran antar warga, suku, atau desa
(misalnya, Lisdayanty & Dahri, 2016; Wahab, 2018).

Dalam skala makro, konflik sosial dapat melibatkan negara
sebagai kesatuan sosial terbesar. Konflik antar negara dalam bentuk
peperangan telah menjadi bagian dari dinamika konflik antar negara.
Lebih dari 100 tahun, konflik antar negara telah mewarnai kehidupan

Pendahuluan 7

bangsa-bangsa di dunia. Konflik antar negara dapat berupa pengerahan
kekuatan militer, pertentangan ideologi sampai persaingan dagang.
Seperti konflik dagang antar negara Tiongkok dan Amerika Serikat.
Konflik yang melibatkan militer seperti konflik Irak dan Iran, konflik
di Suria dan Afganistan, konflik negara Inggris dan Argentina, konflik
perbatasan negara Korea Selatan dan Korea Utara, konflik antara
Pakistan dan India merupakan contoh-contoh konflik internasional,
yaitu konflik yang melibatkan beberapa negara.

Konflik antar ras juga menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari,
terutama di negara yang memiliki keragaman ras, seperti Amerika
Serikat. Sosiolog Dubois (1969) mengeksplorasi kesadaran ganda,
yang merupakan sensasi memiliki dua identitas (dalam kasusnya,
seorang Amerika kulit putih dan seorang Amerika kulit hitam) yang
diperlakukan berbeda. Melalui pembentukan Teori Pembentukan
Rasial, Dubois menyatakan bahwa rasisme di Amerika bersifat sistemik
- dan bahwa individu rasis tidak diperlukan untuk mempertahankan
sistem diskriminatif. Black Lives Matter adalah gerakan sosial yang
memprotes kekerasan terhadap orang kulit hitam. Ini dimulai pada
2013 setelah George Zimmerman dibebaskan dalam penembakan
kematian Trayvon Martin. Pendukung gerakan terus berdemonstrasi
ketika orang kulit hitam dibunuh dalam situasi yang dianggap tidak
mengancam. Seperti gerakan hak-hak sipil yang datang lebih dari 60
tahun sebelumnya, Black Lives Matter adalah contoh lain dari revolusi
sosial setelah bertahun-tahun perlakuan tidak setara.

Konflik sosial telah menjadi salah satu tantangan terbesar yang
memengaruhi hubungan dan koeksistensi manusia. Di negara
multikultural seperti Amerika Serikat, konflik antar ras telah menjadi
konflik yang dominan dan berulang yang telah merenggut banyak
nyawa orang Afrika-Amerika, dan juga secara negatif memengaruhi
susunan psikologis mereka, Du Bois menyebutnya sebagai kesadaran
ganda. Kennedy (2017) pernah melakukan studi yang membahas efek
konflik rasial dalam Prinsip Kesadaran Ganda Du Bois dalam novel
Invisible Man yang ditulis Ralph Ellison (1952). Kesadaran Ganda
sebagai konflik, karena kepekaan rasial. Hampir setiap orang kulit
hitam di Amerika adalah pengkhianat dalam pandangan banyak orang
kulit putih Amerika, dan karena itu mereka memperlakukan orang
kulit hitam dengan jijik, curiga dan penghinaan. Dengan latar belakang

8 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

inilah orang dapat menghargai sikap standar ganda Bledsoe terhadap
protagonis dan pada saat yang sama keterasingan dan ketidaktampakan
protagonis novel. Masalah identitas telah menjadi inti kutukan
pertumbuhan Amerika Serikat.

Berdasarkan contoh-contoh konflik di atas, maka fenomena konflik
sosial telah menjadi bagian keseharian kehidupan manusia, masyarakat,
dan negara. Tidak ada hari tanpa konflik. Itulah mengapa, kajian konflik
selalu menarik para ahli. Teori konflik sejak dicetuskan oleh Karl Marx,
mengalami perkembangan yang luar biasa. Berbagai pandangan atau
pendekatan untuk menjelaskan konflik sosial telah dirumuskan para
ahli. Resolusi konflik sosial juga telah banyak dihasilkan oleh para
teoritisi untuk mengatasi konflik. Namun, kenyataannya hingga saat
ini konflik sosial tetap menjadi bagian dari kehidupan kemasyarakatan
(societal).

B. Rumusan Masalah
Memperhatikan paparan, rasionalitas, dan urgensi persoalan konflik

sosial, baik dalam level individu, keluarga, kelompok, komunitas,
masyarakat, dan antar bangsa di atas, maka agar kajian dalam buku
referensi ini sistematis maka di susun rumusan masalahnya sebagai
berikut:
1. Bagaimana struktur konflik?
2. Bagaimana proposisi teori konflik?
3. Bagaimana ragam teori konflik?
4. Bagaimana penerapan teori konflik dalam ilmu-ilmu sosial?

C. Pandangan Umum tentang Konflik
Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin

“configure”, kata “con” berarti bersama dan “figere” yang berarti
benturan atau tabrakan. Berdasarkan asal istilah tersebut, maka konflik
artinya percekcokan, perselisihan, pertentangan atau saling memukul.
Secara sosiologis, konflik sosial merupakan suatu proses sosial antara
dua orang atau lebih di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan
dan/atau mengalahkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau
membuat lawannya tidak berdaya. Istilah konflik merupakan salah satu

Pendahuluan 9

terma kehidupan yang sangat populer. Hampir setiap hari, peristiwa
konflik sosial, atau orang umum sering hanya menyebutnya dengan
kata konflik saja, senantiasa terjadi dalam kehidupan individu, keluarga,
kelompok, organisasi, komunitas, masyarakat, dan negara.

Dalam buku ini, konflik sosial diberi pengertian sebagai proses
interaksi yang disosiatif antara orang satu dengan orang lainnya dalam
kehidupan sosialnya, baik dalam level hubungan antar individu,
keluarga, kelompok, masyarakat atau bangsa, dan dunia internasional.
Konflik sosial dipandang sebagai realitas sosial yang niscaya terjadi,
baik karena dikehendaki secara sadar, ataupun tidak dikehendaki oleh
para pihak yang terlibat konflik.

Kira-kira jawaban apa yang diberikan oleh warga DKI Jakarta yang
tempat usahanya dibakar massa pada saat terjadi unjuk rasa di awal era
reformasi tahun 1998? Apa pandangan warga kampung di DKI Jakarta
yang sering terjadi tawuran antar kampung? Kerugian apa saja yang
mereka derita akibat konflik sosial tersebut? Tanyakan pada saudara,
kerabat, teman atau orang-orang yang pernah terlibat konflik sosial
keagamaan di Ambon pada Januari - Maret 1999? Bagaimana perasaan
mereka yang mengalami kerugian harta dan jiwa akibat konflik sosial
keagamaan tersebut? Coba tanyakan pada orang-orang dari suku Dayak
dan suku Madura yang pernah terlibat konflik antar etnis di Sampit
tahun 2001? Coba telusuri, apa pandangan orang-orang beraliran Syiah
di Madura yang diusir dari tempat tinggalnya dan untuk beberapa saat
harus hidup di pengungsian dengan pengawalan dari aparat keamanan?
Orang-orang yang terlibat dalam konflik sosial dan terdampak akibat
konflik, bisa jadi memiliki pandangan bahwa konflik sosial itu merusak,
merugikan, menghancurkan, memisahkan, dan membuat menderita.
Biasanya pandangan semacam ini disampaikan oleh orang-orang
yang mengalami traumatik, penderitaan, kerugian, kehilangan, dan
penyesalan. Mereka memandang konflik sosial itu sebagai sesuatu yang
menghancurkan, merugikan, dan merusak. Pandangan semacam ini
tidaklah salah, karena bagi mereka akibat konflik senantiasa membawa
kehancuran dan kerugian. Dalam kajian konflik, pandangan semacam
ini disebut sebagai pandangan tradisional (the traditional view).
Pandangan tradisional menempatkan konflik sebagai sebuah proses
sosial yang berdampak pada kehancuran (distructive), disharmoni,
disfungsional, disintegrasi, dan irrasional. Konflik dipandang sebagai

10 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

sesuatu yang menggangu harmoni dan integrasi masyarakat. Oleh
karena itu, konflik sosial diupayakan dicegah dan dihindari agar tidak
terjadi. Penelitian tentang konflik sosial, kiranya perlu melihat konflik
sosial dari beberapa hal, yaitu (1) apakah akar dari konflik sosial itu, (2)
faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya konflik sosial?, (3) apa
dampak konflik sosial bagi individu dan kelompok?, (4) siapa saja aktor
yang terlibat dalam konflik sosial?, (5) apa fungsi sosial atas terjadinya
konflik dalam masyarakat?

Tanyakan pada pasangan suami/istri yang kadang terlibat
percecokan di keluarga. Tanyakan pada sahabat yang terkadang
terlibat pertikaian dengan teman-temannya. Tanyakan pada aparatur
sipil negara yang bekerja di sebuah instansi, dalam sebulan berapa
kali mereka mengalami perselisihan, perbedaan pendapat, bahkan
pertengkaran dengan teman sekantornya? Tanyakan pada karyawan
perusahaan, dalam satu minggu berapa kali mereka mengalami konflik
dengan teman seperusahaannya? Lakukan survei pada pengurus partai
politik, dalam satu bulan berapa kali mereka bertikai dengan pengurus
lainnya? Bagi pasangan suami/istri, pasangan sahabat, pegawai,
karyawan dan pengurus partai politik, konflik dalam kehidupan sehari-
hari merupakan hal yang biasa dan wajar. Bagi mereka, konflik sosial
telah menjadi bagian dari kehidupan kelompok atau organisasi. Konflik
tidak dapat dihindari.

Pandangan di atas, dalam kajian konflik disebut sebagai pandangan
hubungan manusia (the human relation view). Pandangan semacam ini
menempatkan konflik sosial sebagai dampak dari hubungan antar
manusia. Konflik sosial menjadi bagian dinamika hubungan antar
manusia. Tidak selamanya hubungan antar manusia berlangsung
dalam bentuk kerja sama semata, tetapi kadang juga diwarnai konflik.
Pandangan ini menempatkan konflik sosial sebagai sesuatu yang wajar,
normal atau alami dalam kehidupan kelompok dan organisasi. Dalam
pandangan Islam, konflik sosial juga merupakan sunatullah, yaitu
bagian dari hukum alam atau kehendak Allahuntuk menguji keimanan
ummat-Nya. Selain berfungsi untuk menguji keimanan ummat-Nya,
Konflik sosial juga bisa terjadi disebabkan oleh perbedaan tafsir atas
ajaran yang ada.

Di luar dua pandangan tersebut, ada orang-orang yang memiliki
pandangan bahwa konflik perlu diciptakan dalam kehidupan kelompok

Pandangan tentang konflik Pendahuluan 11

dan organisasi. Mereka meyakini bahwa konflik dapat menyebabkan
kelompok dan organisasi lebih dinamis. Tidak mengherankan, dalam
kehidupan sehari-hari konflik sengaja dibuat. Melalui konflik, orang-
orang dapat melihat keberpihakan satu sama lain. Melalui konflik
dapat terwujud integrasi sosial. Konflik yang sengaja diciptakan dapat
membuat dinamika sosial dalam kehidupan kelompok, organisasi,
komunitas, masyarakat, atau bahkan negara. Pandangan semacam ini
disebut pandangan interaksionis (the interactionist view). Tanpa konflik,
kehidupan kelompok atau organisasi akan stastis dan tidak responsif.
Pandangan interaksionis sangat berlawanan dengan pandangan
tradisional. Jika pandangan tradisional berusaha menghindari konflik,
maka pandangan interaksionis justru memandang konflik sosial itu
fungsional. Beberapa alternatif tema penelitian tentang konflik dalam
pandangan interaksionis, perlu melihat konflik dari beberapa hal,
yaitu (1) siapa yang menciptakan konflik?, (2) untuk tujuan apa konflik
diciptakan?, dan (3) kepada siapa konflik itu ditujukan?.

Berikut ini ringkasan dalam bentuk bagan tentang pandangan
konflik, mengacu pada pemikiran Robbin (2003). Meski pemikiran
Robbin tentang pandangan konflik dalam konteks organisasional,
namun ketiga pandangan tersebut juga dapat diterapkan dalam konteks
kehidupan sosial kemasyarakatan.

Pandangan tradisional

Pandangan hubungan
manusia

Pandangan interaksionis

Gambar 1.3: Pandangan tentang Konflik

12 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Ketiga pandangan tersebut di atas, dapat dijadikan kerangka
acuan dalam memahami sebab-sebab konflik, pihak-pihak yang terlibat
konflik, dan dampak konflik dalam kehidupan sosial. Artinya, masing-
masing orang memiliki pandangan yang berbeda tentang konflik. Jika
ketiga pandangan tersebut dikaitkan dengan perkembangan teori atau
ilmu pengetahuan, maka pandangan tradisional dapat diposisikan
sebagai tesis. Pandangan interaksionis dapat diposisikan sebagai anti
tesis dan pandangan hubungan manusia dapat diposisikan sebagai
sintesis. Tesis dan anti tesis dalam perkembangan teori atau ilmu
pengetahuan, merupakan bentuk konflik pemikiran.

Penjelasan tentang konflik pemikiran, dapat mengacu pada karya
Thomas Kuhn yang berjudul The Structure of Scientific Revolution
(1960). Menurut Kuhn, kelahiran paradigma ilmu pengetahuan
baru merupakan buah dari proses ‘konflik’ antara das sollen dan das
sein. Keberadaan ilmu pengetahuan yang telah mengalami anomali
ditolak (konflik) melalui bukti-bukti empirik-obyektif yang dapat
dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Pada fase ini, dapat dipahami
bahwa ‘konflik’ berkontribusi pada pembentukan paradigma baru suatu
ilmu pengetahuan. Kuhn menolak pandangan yang menyatakan “bahwa
ilmu pengetahuan terdahulu adalah tidak dapat ditolak kebenarannya”.
Pandangan umum (mindstream) yang meyakini secara kakusuatu
kebenaran pengetahuan adalah cara yang salah. Dalam perkembangan
teori atau ilmu pengetahuan, selalu ada kemungkinan bagi teoritisi
atau ilmuwan untuk menemukan versi kebenaran baru yang akan
menggantikan versi kebenaran yang lama. Untuk memperoleh teori
yang lebih mutakhir, teoritisi atau ilmuwan harus membantah hipotesa
lama yang dianggapnya sudah tidak relevan dengan kondisi yang ada.
Atas dasar logika Kuhn tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ‘konflik’
adalah jalan bagi ditemukannya sesuatu yang baru.

D. Metode Kajian

Buku referensi ini disusun berdasarkan hasil studi kepustakaan
(library study), yakni kajian berdasarkan berbagai sumber pustaka yang
membahas tentang konflik atau konflik sosial. Referensi yang digunakan
berupa berbagai buku sosiologi, tulisan di jurnal, serta berita-berita yang
terkait dengan konflik sosial. Peta pemikiran yang berasal dari berbagai
referensi atau sumber tersebut, selanjutnya dipergunakan sebagai tools

Pendahuluan 13

of analysis terhadap fenomena konflik sosial yang terjadi, khususnya di
bidang sosiologi, Ilmu Komunikasi, Hubungan Internasional, Pekerjaan
Sosial, dan Ilmu Politik.

Secara aksiologi, buku referensi diharapkan dapat menjelaskan
kontribusi teori konflik dalam berbagai ragam ilmu sosial sebagaimana
dimaksud di atas. Keputusan semacam ini dibuat berdasarkan
kesadaran, bahwa saat ini ‘wilayah kerja’teori konflik tumbuh subur di
luar disiplin sosiologi. Ekstensi kerja teori konflik semacam ini lah yang
menjadi pijakan dari niat penyusunan buku referensi ini.

14 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

(Halaman ini sengaja dikosongkan)

Struktur Konflik 15

Bab II

STRUKTUR KONFLIK

Konflik sosial atau sering disebut dengan kata ‘konflik’ saja adalah
suatu proses sosial yang telah menarik perhatian banyak ahli
untuk merumuskannya menjadi suatu teori. Teori konflik sosial pada
umumnya berusaha untuk menjelaskan akar, sebab, dan dampak
konflik, aktor yang terlibat, proses konflik, sampai upaya untuk
penyelesaian konflik yang sering disebut resolusi atau manajemen
konflik. Pada bab ini dijelaskan konsep-konsep dasar untuk memahami
konflik sosial secara konprehensif. Penjelasan diawali dari definisi
konflik dan diakhiri dengan taksonomi dan dimensi konflik. Berikut ini
peta konsep bab 2.

Gambar 2.4 : Peta Konsep Memahami Konflik

A. Pengertian Konflik
Definisi konflik sangat beragam. Para ilmuwan dan pemerhati

konflik sosial berusaha memberikan pengertian sesuai dengan
pengalaman ilmiahnya. Secara umum, konflik dapat didefinisikan
sebagai ketidakcocokan kepentingan, tujuan, nilai, kebutuhan, harapan,
dan/atau kosmologi sosial (atau ideologi). Dalam Kamus Webster, konflik
didefinisikan sebagai bentrokan, persaingan, saling campur tangan dari
kekuatan atau kualitas yang berlawanan atau tidak kompatibel dalam
hal ide, minat, dan keinginan. Coser (1956) mendefinisikan konflik sosial
sebagai perebutan nilai dan klaim atas status, kekuasaan, dan sumber
daya yang langka di mana tujuan lawannya adalah untuk menetralkan,
melukai atau melenyapkan saingan mereka.

15

16 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Menurut Galtung (1965), suatu sistem aksi dikatakan konflik jika
sistem tersebut mempunyai dua atau lebih tujuan yang tidak sesuai.
Dalam kasus satu orang, konflik disebut dilema, dimanjakan dengan
pilihan (l'embarras de choix), atau konflik intra-individu, yang terdiri
dari kecenderungan motivasi atau perilaku yang tidak sesuai. Konflik
dapat divisualisasikan seperti gambar di bawah ini.

Gambar 2.5 : Visualisasi Konflik

Sumber: https://www.smartstrata.com/conflict-interest-strata/ diunggah
Rabu 20 Januari 2021 pukul 18.08

Menurut Galtung (1965), perlu dibedakan antara konflik, sikap
konflik, dan perilaku konflik, yang dapat digambarkan sebagai segitiga.

Gambar 2.6 : Segitiga Konflik
Proses konflik dapat dimulai di setiap sudut segitiga. Konflik dapat
terjadi baik secara nondestruktif ataupun destruktif (kekerasan) sebagai
suatu kontinum dan bukan dikotomi. Galtung (1965) merumuskan dua

Struktur Konflik 17

proposisi tentang konflik, yakni: 1) Bahwa perilaku konflik cenderung
menjadi perilaku destruktif (karena siklus agresi-frustrasi), dan 2)
Bahwa perilaku destruktif cenderung menjadi penguatan diri bagi para
aktornya. Mnurutnya, mekanisme penyelesaian konflik dapat dilakukan
melalui mekanisme pemberian kesempatan, hukuman berat, perang,
perkelahian, pertarungan pribadi, debat yudisial, konflik verbal, debat,
mediasi, arbitrase, pengadilan, pemungutan suara.

Fink (1968) mendefinisikan konflik sosial sebagai situasi atau proses
sosial di mana dua atau lebih entitas sosial dihubungkan oleh setidaknya
satu bentuk hubungan psikologis antagonis atau setidaknya satu bentuk
interaksi antagonis. Ia menekankan bahwa antagonisme adalah unsur
umum dalam semua konflik. Fink (1968) dengan demikian membagi
penyebab konflik sosial menjadi dua, yakni antagonisme psikologis,
dan antagonisme interaksi sosial.

Penulis memberikan pengertian konflik sosial sebagai pertentangan,
pertikaian, dan permusuhan antar pihak yang disebabkan oleh
gagalnya proses akomodasi atas serangkaian perbedaan ideologi, nilai-
nilai, norma-norma, ide-ide lain, dan kepentingan dalam kehidupan
sosial. Dengan demikian, trigger atau pemicu konflik sosial itu adalah
kegagalan proses akamodasi antar pihak atas perbedaan yang ada
diantara mereka.

Pemikiran lain tentang konflik sosial diintroduksi oleh Karl Marx.
Berikut ini beberapa pemikiran pokok teori konflik dari Karl Marx:

1. Masyarakat senantiasa terlibat dalam persaingan tanpa akhir untuk
memperebutkan alat produksi.

Dalam masyarakat kapitalis, ditandai adanya persaingan antara
kelas borjuis dan kelas proletar (pekerja). Kelas borjuis akan selalu
berjuang untuk mempertahankan alat produksi (means of production)
yang mereka kuasai dengan cara ‘menindas’ kelas proletar.
Sementara kelas proletar berusaha ingin naik kelas melalui upaya
merebut alat produksi yang dimiliki kelas borjuis. Perjuangan kelas
proletar (class struggle) tersebut dilakukan melalui revolusi sosial
(social revolution). Konflik tanpa akhir antara kelas borjuis dan
kelas proletar ini diprediksi baru akan berhenti jika ada perubahan
kebijakan yang berupa redistribusi sumber-sumber langka yang
diperebutkan.

18 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

2. Ketimpangan pendapatan (economic gap) terbangun dengan
sendirinya dalam sistem sosial ekonomi yang kapitalistik
sebagaimana dikembangkan oleh kelas borjuis.

Jumlah populasi dari kelas proletar (pekerja) jauh lebih banyak
dibanding dengan populasi dari kelas borjuis. Kelompok borjuis
mengembangkan sistem sosial ekonomi yang kapitalistik dalam
struktur masyarakat, untuk tidak memberi ruang pengaruh kelas
proletar yang jumlah populasinya lebih banyak tersebut. Para
eksekutif perusahaan bekerja sama untuk mendevaluasi tenaga
kerja kelas pekerja, dan menetapkan upah rendah. Sementara itu,
pemerintah berkecenderungan membuat peraturan yang tidak
berpihak pada kelas proletar. Bahkan sebaliknya, cenderung
membuat kebijakan yang memungkinkan kaum borjouis memiliki
akses yang sangat longgar untuk mendapatkan bantuan pendanaan
yang besar.

3. Ketimpangan sosial ekonomi mendorong revolusi sosial.

Seperti kelas borjuis bersekutu satu sama lain untuk menindas
kelas proletar, begitu pula kelas proletar dapat mengorganisir diri
mereka sendiri untuk melakukan revolusi sosial yang dramatis dan
seringkali dengan kekerasan. Marx percaya bahwa revolusi sosial
sangat mungkin terjadi dalam masyarakat kapitalis karena tidak
ada jalan lain bagi kelas proletar untuk keluar dari masalahnya,
kecuali hanya melalui revolusi sosial. Marx memandang, bahwa
dominasi klas borjouis atas klas proletar tersebut, bukan masalah
hukum, sehingga tidak mungkin diselesaikan melalui jalur hukum.
Jalan penyelesaiannya hanya satu, yakni revolusi sosial.

B. Faktor Penyebab Konflik

Konflik merupakan fenomena sosial yang bersifat umum, karena
dapat terjadi di setiap waktu dan tempat. Tidak ada masyarakat yang
dalam sejarah keberadaannya tidak pernah mengalami konflik. Aneka
ragam sebab konflik dirumuskan oleh beberapa ahli menurut sudut
pandang keilmuannya masing-masing, diantaranya:

1. Berkurangnya pasokan sarana penghidupan (Malthus).

2. Perjuangan untuk eksistensi diri atau survival of the fittest (Darwin).

3. Ketidak-adilan atas kepemilikan alat produksi (Marx).

Struktur Konflik 19

4. Perbedaan kekuasaan (Dahrendorf).

5. Naluri untuk berkuasa atas orang lain (Freud).

Berbagai penyebab konflik tersebut di atas, muncul karena
adanya naluri, perbedaan, benturan kepentingan antar manusia dalam
kelompok dan/atau masyarakat. Konflik juga terjadi sebagai akibat
dari perbedaan antara laju perubahan norma moral suatu masyarakat,
keinginan, harapan, ketidakpuasan, dan tuntutan manusia. Norma
moral bahwa buruh pabrik harus patuh dan diam pada manajemen
perusahaan telah berlangsung sejak dulu, tetapi sekarang buruh
telah memiliki keberanian untuk memprotes manajemen perusahaan.
Akibatnya, konflik antara buruh dan majikan saat ini lebih sering
terjadi dibanding masa sebelumnya. Kadang-kadang norma moral
begitu luas cakupannya sehingga pihak yang berkonflik sering kali
dapat mengklaim norma serupa untuk membenarkan tuntutan mereka
yang terpisah. Misalnya, buruh melakukan protes dan mogok kerja
karena tuntutan kenaikan upahnya tidak dipenuhi oleh manajemen
perusahaan. Sedangkan manajemen perusahaan membenarkan
keputusannya untuk tidak menaikkan upah buruh karena perusahaan
sedang mengalami defisit. Contoh lain, orang tua calon siswa protes
kepada kepala sekolah dan/atau dinas pendidikan karena kebijakan
pembatasan usia saat masuk sekolah. Usia yang lebih tua diprioritaskan
dibanding usia yang lebih muda. Kebijakan ini dianggap tidak adil oleh
orang tua, tetapi menurut kepala sekolah dan/atau dinas pendidikan
kebijakan ini memberikan kesempatan pada calon siswa yang usianya
lebih tua.

Penulis berpendapat, bahwa konflik sosial itu terjadi karena adanya
perbedaan sistem moral sosial. Dalam masyaraat ada kecenderungan
untuk menganggap, bahwa sistem moral sosial yang dimilikinya
merupakan satu satunya ukuran yang paling benar. Sedangkan sistem
moral sosial dari ‘pihak lain’ itu dianggap salah. Atas perbedaan moral
sosial ini, maka kemudian tumbuh negativisme sosial, yakni suatu
sikap, tindakan, dan perilaku yang cenderung negatif atas serangkaian
atribut sosial yang berbeda dari yang dimilikinya. Negativisme sosial
ini lah yang kemudian menjadi embrio, sekaligus pemicu terjadinya
konflik sosial. Selama manusia menganggap, bahwa kebenaran absolut
itu adalah tunggal (= kebenaran yang dimilikinya saja), maka selama itu
pula akan tumbuh subur peluang terjadinya konflik sosial.

20 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Konflik sosial dapat disebabkan oleh adanya perbedaan yang
antagonistik. Sementara itu, kemunculan perbedaan yang antagonistik
dalam kehidupan sosial adalah kodrat alamiah. Atas dasar hukum
sosial semacam ini, maka konflik sosial adalah suatu keniscayaan dalam
kehidupan manusia. Berikut ini beberpa perbedaan yang juga dapat
menjadi faktor penyebab terjadinya konflik yaitu:

1. Perbedaan Karakter Individu.

Tidak ada manusia yang sama di muka bumi ini dari aspek sifat,
sikap, cita-cita, dan minatnya. Itulah mengapa manusia disebut
sebagai mahluk yang unik. Perbedaan-perbedaan yang ada pada
individu terkadang gagal diakomodasi dalam proses interaksi
sosial, sehingga dapat menimbulkan konflik di antara individu.

2. Perbedaan Budaya.

Budaya adalah sistem pengetahuan yang terkait dengan kebiasaan
atau cara hidup yang dimiliki suatu kelompok masyarakat. Masing-
masing masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda masyarakat
lain. Perbedaan budaya itu dapat berupa perbedaan sistem bahasa,
sistem organisasi, sistem teknologi, sistem ekonomi, sistem religi,
sistem kesenian, dan lain-lain. Perbedaan budaya antar kelompok
terkadang menimbulkan ketegangan dan konflik. Perbedaan agama
dapat menyebabkan konflik dan kekerasan mengatasnamakan
agama. Israel (Yahudi, Protestan) dan Palestina (Islam) mengalami
konflik berkepanjangan karena perbedaan agama. Perbedaan ras
diantara warga negara kulit hitam dan putih di Amerika Serikat,
sering menimbulkan konflik. Perang antar suku di Papua, terjadi
karena adanya perbedaan budaya diantara mereka.

3. Perbedaan Kepentingan.

Kepentingan orang atau kelompok yang berbeda dapat
menyebabkan konflik. Bentrok atau pertikaian antar kelompok
merupakan salah satu artkulasi dari perbedaan kepentingan.
Konflik antara buruh dan pengusaha juga merupakan manifestasi
dari perbedaan kepentingan. Bentrok antara Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) dengan para pendukung calon presiden
tertentu terkait dengan hasil penghitungan suara terjadi karena
adanya perbedaan kepentingan. Kekerasan yang terjadi pada
aksi unjuk rasa menentang pengesahan UU Cipta Kerja antara

Struktur Konflik 21

massa pengunjuk rasa dengan aparat keamanan, juga merupakan
konflik yang disebabkan perbedaan kepentingan. Pengunjuk
rasa merasa memiliki kepentingan untuk menyuarakan hak-hak
buruh, sementara aparat keamanan memiliki kepentingan untuk
mengendalikan dan menciptakan suasana unjuk rasa yang tertib
dan kondusif.

4. Perbedaan Arah Perubahan Sosial.

Perbedaan arah perubahan sosial juga bisa menjadi penyebab
konflik. Ketika sebagian anggota masyarakatnya berkeinginan untuk
terjadinya perubahan, sementara sebagian anggota masyarakat
lainnya kekeh tetap ingin mempertahankan sistem sosial yang
lama. Ada sebagian anggota masyarakat yang menghendaki
perubahan sosial dilakukan secara evolutif, ada pula anggota
masyarakat yang lain yang berhasrat dilakukan perubahan sosial
secara revolutif. Remaja sekarang dengan akses internet yang lebih
mudah, memungkinkan untuk bertukar kebiasaan dengan budaya
masyarakat lain secara cepat. Seperti sebagian remaja Indonesia
yang sangat fasih berbicara bahasa bangsa lain, menyukai makanan,
musik, dan pakaian Korea karena mereka ‘berguru’ langsung di
media sosial. Begitu pula, dengan sebagian remaja Korea yang fasih
berbahasa Indonesia, menyukai masakan dan musik Indonesia.
Sementara, kelompok generasi tua, melihat fenomena semacam ini
sebagai hal yang aneh.

C. Proses Konflik

Proses konflik yang dijelaskan pada sub-bab ini mengacu pada
pemikiran Chalmers Ashby Johnson melalui karyanya yang berjudul
Revolutionary Change (1966). Johnson menyajikan teori dinamika revolusi
yang menggabungkan perspektif konsensus-ekuilibrium tentang
masyarakat dan konflik atau pandangan koersif. Revolusi terjadi dalam
tatanan sosial, dan konteks sosial. Johnson memandang masyarakat
sebagai sistem peran dan perilaku berorientasi status yang dipandu
oleh norma. Peran, status, dan norma adalah elemen sosial utamanya,
dan nilai sebagai media sosialnya. Nilai adalah ekspektasi perilaku atau
isyarat sosial (1966: 24), yang mengoordinasikan sistem sosial.

Masyarakat yang harmonis adalah masyarakat yang memiliki
keseimbangan antara nilai dan pembagian kerja (lingkungan). Ada

22 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

“sinkronisasi” antara nilai-nilai dan pembagian sumber daya dan
tenaga kerja. Dalam semua masyarakat, perubahan terjadi baik
dalam nilai maupun lingkungan, seperti melalui komunikasi global,
munculnya kelompok referensi eksternal, inovasi intelektual dan ide-
ide baru, perkembangan teknologi, menciptakan suatu kebutuhan yang
konstan untuk penyesuaian antara nilai dan lingkungan untuk menjaga
keseimbangan.

Semua masyarakat memiliki perangkat homeostatis untuk
mempertahankan keseimbangan nilai, seperti pengendalian penyim-
pangan, dan penghindaran atas peluang terjadinya konflik (misalnya,
undang-undang perundingan bersama), dan sanksi hukum. Selain
itu, ada cara untuk secara bertahap mengubah struktur masyarakat.
Misalnya, melalui akumulasi undang-undang (seperti UU Omnibuslaw
di Indonesia yang menggabungkan beberapa UU) atau serangkaian
reinterpretasi yudisial atas sebuah konstitusi. Di Indonesia, untuk
menguji suatu produk undang-undang dibentuklah Mahkamah
Konstitusi (MK). Pembentukan MK merupakan contoh penyesuaian
yang bermaksud untuk merubah suatu sistem, atau kebijakan
sehingga terwujud sinkronisasi antara nilai dan lingkungan yang terus
berdinamika. Di Amerika Serikat pada tahun 1960-an dan 1970-an
dibentuk undang-undang tindakan afirmatif untuk mengintegrasikan
persoalan rasial yang sering muncul ketika itu.

Jika perangkat homeostatis gagal, ketidakseimbangan antara
lingkungan dan nilai yang berkembang dapat menciptakan situasi
revolusioner. Menurut Johnson, proses revolusi meliputi:

1. Perubahan nilai, atau lingkungan, atau keduanya karena ada
ketidakseimbangan di antara keduanya;

2. Perangkat homeostatis, termasuk penyesuaian inkremental dan
kebijakan perubahan struktural, gagal memulihkan sinkronisasi;
atau elit mungkin menolak membuat perubahan yang diperlukan;

3. Terjadi deflasi kekuasaan yang berarti para elit harus semakin
mengandalkan kekuatan untuk menjaga ketertiban;

4. Kekuasaan kehilangan otoritas, yang berarti bahwa penggunaan
kekerasan oleh para elit dipandang tidak sah, dan ancaman sanksi
menjadi alat pengaturan masyarakat;

5. Ketegangan antar pribadi meningkat;

Struktur Konflik 23

6. Kepentingan laten yang terkait dengan divisi superordinat-bawahan
dalam masyarakat terpolarisasi menjadi kelompok kepentingan
nyata yang mendukung atau menentang status quo; dan

7. Perkembangan ideologi revolusioner yang dikembangkan oleh
kelompok sub-ordinat sangat cepat, sehingga mampu mengalahkan
upaya kelompok status quo dalam mencegah konflik.

Proses sebagaimana dijelaskan di atas adalah proses yang
mengarah pada situasi revolutif. Dalam hal ini, terdapat perpecahan
nyata dalam masyarakat antara pendukung dan penentang status
quo. Situasi ini ditandai oleh peristiwa dimana ada kelompok pemicu
(“akselerator”) yang mampu merampas kekuatan elit (misalnya,
pemberontakan oleh divisi militer), atau mampu membuktikan kepada
kaum revolusioner bahwa mereka memiliki peluang untuk berhasil
(misalnya, menunjukkan kelemahan elit, seperti ketidakmampuan
untuk menghentikan demonstrasi). Secara skematis penyebab konflik
dapat dirumuskan sebagai berikut:

disinkronisasi + deflasi daya + hilangnya otoritas + akselerator = revolusi

D. Jenis-jenis Konflik
Pengalaman dalam kehidupan masyarakat menunjukkan bahwa

ada banyak jenis dalam konflik sosial. Sebagaimana telah dijelaskan
pada bab 1. Masing-masing bidang ilmu memiliki perbedaan dimensi
atau unit analisis terhadap konflik sosial, misalnya:
1. Sosiologi mempelajari konflik antar manusia yang terjadai dalam

proses interaksi sosial, baik dalam level keluarga, kelompok,
masyarakat, bangsa, atau antar bangsa (internasional).
2. Pekerjaan Sosial mengkaji tentang dampak perundang-undangan
sosial terhadap social order dari sistem sumber yang ada (informal,
formal, dan non-formal).
3. Psikologi menstudi konflik intra-personal (konflik batin, konflik
dalam diri individu) dari aspek kejiwaan.
4. Ilmu Sejarah menggambarkan ragam konflik yang pernah terjadi
dalam sejarah perkembangan suku, kelompok, masyarakat,
kerajaan, dan/atau bangsa.

24 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

5. Ilmu Politik mengambil fokus pada managemen konflik sebagai
upaya memperoleh, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan
dalam suatu bangsa dan negara.

6. Ilmu Komunikasi memberikan ruang riset pada konflik
kepentingan dalam proses komunikasi, baik terkait dengan unsur-
unsur komunikasi (komunikator, komunikan, obyektivitas pesan,
kualitas sarana penyampai pesan), perselingkuhan media dengan
kekuasaan, kepentingan pemilik modal, serta agenda setting global
internasional.

7. Ilmu Hubungan Internasional mengkaji konflik antar negara dan/
atau antar bangsa sebagai akibat perbedaan yang antagonistic
dalam kepentingan ideologi, ekonomi, dan politik.

Masing-masing bidang ilmu berusaha untuk menjelaskan dan
merumuskan hukum konflik sosial sesuai dengan ruang lingkup
keilmuannya atau obyek formal dari masing-masing bidang ilmu
tersebut. Atas dasar inilah, maka disusun buku ini. Oleh karena itu,
pada bab selanjutnya (bab 4) lebih banyak menjelaskan penerapan
teori konflik p, seperti sosiologi, hubungan internasional, ilmu politik,
pekerjaan sosial, dan ilmu komunikasi.

Sosiolog Jerman Georg Simmel (1858-1918) percaya bahwa konflik
dapat membantu mengintegrasikan dan menstabilkan masyarakat.
Intensitas konflik, menurutnya berbeda-beda, bergantung pada
keterlibatan emosional para pihak, tingkat solidaritas kelompok lawan,
kejelasan dan keterbatasan tujuan. Sementara itu, Simmel (1918) juga
menjelaskan bahwa suatu kelompok dapat bekerja untuk menciptakan
solidaritas internal, memusatkan kekuasaan, dan mengurangi perbedaan
pendapat. Menyelesaikan konflik dapat mengurangi ketegangan dan
permusuhan serta dapat membuka jalan bagi kesepakatan di masa
depan. Simmel (1918) membedakan empat jenis konflik, yaitu:

1. Perang

Perang adalah jenis konflik kelompok yang paling populer. Sebelum
perdagangan antar-teritorial berkembang, perang merupakan satu-
satunya sarana kontak antara kelompok asing. Meskipun perang
bersifat disosiatif, tetapi dalam sisi tertentu juga memiliki efek
asosiatif. Simmel mengaitkan perang dengan dorongan antagonis
dalam diri manusia. Untuk membawa dorongan antagonis ke

Struktur Konflik 25

tindakan diperlukan beberapa tujuan yang pasti, mungkin berupa
keinginan untuk mendapatkan kepentingan materi. Dorongan
antagonis memberikan landasan bagi terciptanya konflik.

2. Perselisihan atau Perseteruan Antar Faksi

Perseteruan merupakan salah satu bentuk perang intra kelompok
yang mungkin timbul karena ketidakadilan yang diduga dilakukan
oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya. Perselisihan
semacam ini dapat ditemui dalam dinamika partai politik,
serta organisasi bisnis yang besar, yang sering disebut dengan
faksionalisasi.

3. Litigasi

Litigasi adalah bentuk konflik yuridis ketika individu atau
kelompok, menegaskan klaimnya atas hak-hak tertentu atas dasar
faktor obyektif.

4. Konflik Ideologi (cita-cita impersonal).

Konflik ideologi (cita-cita impersonal) adalah konflik antar
pihak yang masing-masing kekeh memperjuangkan ideologinya
sebagai satu kebenaran tunggal yang absolut. Dalam konflik yang
demikian masing-masing pihak berusaha untuk menjustifikasi
kebenaran ideologinya (cita-citanya impersonalnya sendiri)
sebagai the only one best way dalam mencapai cita-citanya. Contoh
konflik semacam ini dapat dilihat pada konflik ideologi kanan
(konservatifisme), liberalisme, dan komunisme, yang hingga saat
ini belum berakhir.

Teoritisi lain, Gillin dan Gillin (1948) menyebutkan terdapat lima
jenis konflik, yaitu:

1. Konflik pribadi.

Konflik pribadi adalah konflik antara dua orang dalam satu
kelompok. Konflik antara dua siswa, konflik antara suami dan istri,
konflik antara customer service dengan pelanggan, pertikaian antar
pengurus partai, merupakan konflik pribadi.

2. Konflik rasial.

Konflik rasial antara kulit putih dan negro di Amerika Serikat
merupakan contoh konflik rasial. Sikap rasis di pertandingan
sepak bola yang berujung pada penghinaan pada ras tertentu dan

26 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

berujung pada bentrok antar ras, merupakan contoh lain konflik
rasial. Kerusuhan antar ras pernah terjadi di Malaysia pada 13 Mei
1969. Kelompok dari ras Melayu bersitegang dengan kelompok
Tionghoa di Kuala Lumpur, Malaysia. Keduanya saling serang
dengan menggunakan senjata tajam, parang, dan bahkan pistol.
Korban berjatuhan dan mengakibatkan banyaknya kerusakan di
kota tersebut (Kompas.com, 13/05/2019, 18:41 WIB)

3. Konflik kelas.

Konflik kelas adalah konflik antara dua kelas. Menurut Karl Marx,
masyarakat selalu terbagi antara dua kelas ekonomi yaitu kelas
borjuis dan kelas proletar. Kelas pengeksploitasi dan tereksploitasi,
yang selalu bertentangan satu sama lain. Kelas penguasa dan
kelas massa, yang terlibat konflik karena kebijakan kelas penguasa
dianggap merugikan kelas massa.

4. Konflik politik

Konflik politik adalah konflik antar partai untuk memperebutkan
kekuasaan politik. Misalnya, konflik antara Partai Republik dan
Partai Demokrat di Amerika Serikat. Sikap sebagai partai oposan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD) dalam
kepemimpinan Joko Widodo - Ma’ruf Amin juga merupakan varian
dalam konflik politik.

5. Konflik internasional.

Konflik internasional adalah konflik antara dua negara. Konflik
antara negara Indonesia dan Malaysia yang memperebutkan
pulau Sipadan dan Ligitan. Konflik antara India dan Pakistan
atas masalah Kashmir. Konflik antara Israel dan Palestina terkait
perbatasan kedua negara. Konflik antara Korea Utara dan
Korea Selatan merupakan sebagian contoh-contoh dari konflik
internasional.

Sementara itu, Folarin (2015) menjelaskan ada tujuh jenis konflik,
yakni konflik intra-pribadi, konflik antar pribadi, konflik manusia
melawan masyarakat dan manusia melawan alam, konflik keluarga,
konflik antar kelompok, konflik dalam negara, serta konflik antar
negara. Pemikiran tentang jenis konflik dari Folarin ini akan dijadikan
kerangka pemikiran untuk menjelaskan jenis konflik yang sering terjadi
dalam kehidupan sehari-hari.

Struktur Konflik 27

1. Konflik intra-pribadi

Konflik intra-pribadi disebabkan oleh ledakan pemikiran yang
tidak bisa dikendalikan oleh individu itu sendiri. Keadaan manusia
seperti ini sebagian besar ditentukan oleh keadaan di sekitarnya.
Misalnya, kemarahan, depresi, kebingungan, frustrasi yang dapat
menyebabkan agresi, serta perilaku tidak menentu, kecanduan,
dan dalam kasus ekstrim, bunuh diri (Ross, 1993). Konflik intra-
pribadi adalah jenis konflik yang telah digambarkan sebagai
“manusia melawan diri sendiri” (Lamb, 2008), di mana manusia
terus berjuang atau berkonflik dengan pikiran dan kebiasaannya.
Perokok, penggunaan narkoba, alkoholisme, serta berbohong
adalah beberapa kebiasaan adiktif yang mungkin terus-menerus
dihadapi manusia; bahkan ketika dia ingin berhenti, dia mungkin
mendapati dirinya melanjutkannya.

2. Konflik antar pribadi

Konflik antar pribadi adalah konflik “manusia melawan manusia”
dalam pengertian mikro. Jenis konflik ini mungkin merupakan
pertentangan langsung, seperti saling memukul, baku tembak,
perampokan, atau mungkin konflik yang lebih halus antara
keinginan dua orang atau lebih (Nikolajeva, 2005). Konflik antar
pribadi dapat termanifestasikan dalam perkelahian secara phisik,
namun bisa juga secara bathin antar individu yang berkonflik.
Contoh konflik antar pribadi secara phisik, baku pukul antara suami
dan istri karena kedapatan pasangannya selingkuh. Sedangkan
contoh konflik antar pribadi secara non phisik atau bathin, tidak
saling menyapa dengan tetangga dan/atau teman sekantor (Bahasa
Jawa = satru).

3. Manusia melawan Masyarakat dan Manusia melawan Alam.

Jenis konflik ini lebih luas dibanding konflik intra-pribadi dan antar
pribadi. Jenis konflik ini sangat menarik. Morell (2009) berpendapat
bahwa jenis konflik “manusia melawan masyarakat” muncul
ketika manusia melawan institusi atau praktik kehidupan buatan
manusia, seperti perbudakan, perdagangan manusia, pelacuran
anak, pelanggaran hak asasi manusia, penindasan, korupsi,
pemerintahan yang buruk, dan sebagainya. Menurut Morell,
konflik “manusia melawan manusia” dapat berkembang menjadi
“manusia melawan masyarakat”. Sedangkan, konflik “Manusia

28 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

melawan alam” adalah jenis konflik yang menggambarkan keadaan
perselisihan antara manusia dan lingkungannya (Lamb, 2008),
seperti pemanasan global, perubahan iklim, penipisan lapisan
ozon, polusi karena limbah industri, pandemic Covid-19, dan lain-
lain yang menciptakan situasi di mana manusia berperang dengan
alam untuk mengatasinya.

4. Konflik keluarga

Jenis konflik ini terjadi dalam satu unit keluarga. Dalam
kebanyakan kasus, konflik ini muncul dari krisis yang disebabkan
oleh stats dan peran keluarga, serta ekspektasi dari masing-masing
anggota keluarga yang tidak terpenuhi. Contohnya antara lain
ayah-anak, ibu-ayah, suami-istri, konflik kakak-adik. Ini juga
dapat menyiratkan konflik sepupu-sepupu, keponakan-paman,
saudara ipar perempuan atau saudara ipar. Konflik tersebut dapat
disebabkan oleh faktor-faktor seperti kekasaran, klaim senioritas,
kemalasan, bolos di sekolah, berbohong; untuk kasus ekstrim
seperti perebutan tanah, properti, warisan dan perselisihan. Di
Bandung (Januari 2021) ada kasus konflik keluarga, antara anak dan
ayah kandungnya. Sang anak menggugat ayah kandung sebesar
Rp 3 miliar karena masalah rumah. Sebelum masuk persidangan,
sebenarnya upaya mediasi antara anak dan ayah tersebut telah
dilakukan. Namun, kasus ini tetap masuk ke ranah persidangan.
Gugatan tersebut dilayangkan oleh anak bernama Deden terhadap
ayah kandungnya Koswara (85). Gugatan tersebut dilayangkan
berkaitan dengan masalah sebagian rumah yang disewa oleh Deden
di Jalan AH Nasution, Kota Bandung (Detik.com. Rabu, 20 Januari
2021. Pukul 11:26 WIB).

5. Konflik antar-kelompok

Konflik ini mengacu pada jenis ketidaksepakatan atau perseteruan
yang terjadi antara dua atau lebih sektarian atau kelompok
agama, kelompok etnis, komunitas, atau kelompok kepentingan.
Perselisihan antara umat Kristen dan Muslim di Maluku. Konflik
etnis Dayak dan Madura di Sampit. Perselisihan antara warga
Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) dalam beberapa
aspek praktek keagamaannya. Konflik antar kelompok pendukung
calon kepala daerah dan konflik antar calon kepala daerah dalam
pemilihan kepala daerah. Konflik semacam ini disebut juga konflik

Struktur Konflik 29

horizontal. Hasil telaah Jafar (2018) menunjukkan bahwa Pilkada
sering menimbulkan konflik horizontal di masyarakat karena
jarak emosi antara figur calon dan massa pendukung atau massa
pemilihnya sangat dekat. Akibatnya, kadar dan rasa kepemilikannya
serta keterlibatannya terhadap agenda-agenda politik masing-
masing calon sangat tinggi. Faktor-faktor tersebut dapat menjadi
pemicu munculnya konflik horizontal.

6. Konflik dalam Negara

Jenis konflik ini terbatas dalam batas-batas negara berdaulat.
Beberapa faktor ekonomi (tanah, ketenagakerjaan, ketersediaan
sembako, dan lain-lain), faktor pembangunan yang tidak merata,
penguasaan sumber daya yang timpang, dan formula pembangunan
kesejahteraan sosial yang dianggap tidak adil dapat menyebabkan
konflik dalam negara. Contohnya, konflik yang pernah terjadi
di masyarakat di sekitar pertambangan di Cepu, di Aceh, serta
di Freeport Papua yang merasa diperlakukan tidak adil oleh
pemerintah pusat.

7. Konflik antar Negara

Jenis konflik ini disebut juga sebagai konflik internasional.
Ini adalah konflik antara dua atau lebih negara. Konflik antar
negara dapat disebabkan oleh perambahan wilayah oleh negara
lain, putusnya hubungan diplomatik, ekspor barang beracun
atau barang selundupan ke negara lain, dan lain-lain. Indonesia
dan Malaysia pernah berkonflik memperebutkan pula Sipadan
dan Ligitan. Konflik ini pada akhirnya dibawa ke mahkamah
Internasional dan tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah
Internasional di Den Haag memutuskan, Pulau Sipadan dan
Ligitan adalah wilayah Malaysia. Sebelum Pulau Sipadan dan
Ligitan jatuh ke tangan Malaysia, Indonesia dan Malaysia saling
mengakui keberadaan pulau tersebut, sehingga Indonesia dan
Malaysia pun berselisih karena perebutan kedua pulau tersebut
(Lestari & Arifin, 2019). Contoh lain, tentang pemutusan hubungan
diplomatik yang dilakukan pemerintah Indonesia saat dipimpin
oleh Soeharto. Pemerintah Indonesia pernah memutuskan
hubungan diplomatik dengan Tiongkok (Republik Rakyat Cina)
pada Minggu 1 Oktober 1967. Hubungan diplomatik Indonesia
dan Tiongkok akhirnya dibuka kembali oleh Soeharto pada tahun

30 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

1989 (Dwipayana & Sjamsuddin, 2003; Firdaus, 2020). Ada juga
kasus konflik global yang tidak secara langsung disebabkan oleh
negara. Meningkatnya terorisme telah meningkat menjadi konflik
global di mana seluruh dunia sedang berjuang melawan terorisme
global dan bekerja sama untuk melawannya. Jaringan Al Qaedah
dan ISIS merupakan kelompok yang dianggap sebagai ancaman
terorisme global.

E. Manifestasi Konflik

Terdapat beberapa manifestasi konflik sosial dalam kehidupan
manusia. Berikut ini dijelaskan manifestasi konflik yang dimaksud.

1. Perang

Perang merupakan salah satu manifestasi konflik sosial, baik
perang antar negara ataupun perang di dalam negara sendiri.
Perang antar negara ditandai dengan pengerahan kekuatan militer
dengan segala persenjataannya. Perang antar negara merupakan
bentuk konflik berskala makro, karena yang terlibat dalam konflik
adalah aktor negara dan yang menjadi korban adalah penduduk
sipil. Perang Dunia Pertama (PD I) dan Perang Dunia Kedua (PD
II) dengan korban jiwa jutaan orang, dan kerugian material yang
tidak sedikit, merupakan bukti dampak konflik antar negara. Pasca
PD I dan PD II, perang tidak selalu ditandai dengan adu kekerasan
kekuatan fisik (militer), tetapi bisa saja perang bersifat terselubung
(latent). Perang dingin yang terjadi antara blok Barat (Amerika
Serikat dengan ideologi liberal) dan blok Timur (Uni Soviet dengan
ideologi komunis), berebut pengaruh di negara-negara Asia, dan
Amerika Latin. Selain perang ideologi, perang dagang merupakan
contoh lain dari bentuk konflik.

2. Kudeta

Kudeta adalah tindakan pengambil-alihan kekuasaan secara
paksa atau melawan hukum yang dilakukan oleh sekelompok
orang yang sedang tidak memegang tampuk kekuasaan yang
legitimit. Kelompok yang melakukan kudeta tersebut dapat berasal
dari kalangan militer, sipil, dan/atau kumpulan dari keduanya.
Beberapa contoh kudeta diantaranya kudeta di Turki, dan kudeta di
Thailand. Thailand merupakan negara di Asia Tenggara yang relatif

Struktur Konflik 31

sering mengalami kudeta militer. Sejak 1933 sampai dengan 2014,
di Thailand telah terjadi kudeta sebanyak 11 kali. Menurut Farrelly
(2013), kecenderungan Thailand mengalami kudeta, karena militer
selalu memainkan peran utama dalam politik, dan demokrasi tidak
pernah benar-benar berakar di kalangan elite militer.

3. Pemberontakan

Pemberontakan biasanya mengacu pada perlawanan rakyat pada
kekuasaan sah. Dalam beberapa kasus tertentu, pemberontakan
dapat berujung pada revolusi bila para pemberontak mampu
mengorganisir kekuatan rakyat melalui people power. Pemberontakan
bisa dipimpin oleh kelompok agama, kelompok etnis, partai politik
atau oknum militer. Tujuannya pemberontakan biasanya untuk
mengguncang negara agar keinginannya diakomodir. Dalam
sejarah Indonesia, pemberontakan telah terjadi beberapa kali,
diantaranya pemberontakan PKI di Madiun (1948), pemberontakan
DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (1949), pemberontakan
Republik Maluku Selatan (1950), pemberontakan Andi Azis di
Makassar (1950), pemberontakan Permesta/Perjuangan Rakyat
Semesta (1957), pemberontakan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958, pemberontakan Gerakan
PKI 30 September 1965 dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang
berlangsung mulai tahun 1976 sampai dengan 2005.

4. Protes

Protes merupakan salah satu bentuk konflik yang berupa aksi damai
dan/atau kekerasan. Protes dapat berupa demonstrasi (massa)
yang terorganisir menentang pemerintah, tindakan atau kebijakan/
keputusan yang tidak populer. Umunya, jika aksi protes tidak
dapat diterima dengan baik oleh target maka dapat menyebabkan
terjadinya tindak kekerasan. Misalnya, pada 2012, polisi Afrika
Selatan membunuh 34 penambang yang dengan damai memprotes
kondisi layanan yang buruk. Ada banyak contoh tentang protes
yang terjadi di Indonesia, diantaranya: protes mahasiswa dan
masyarakat tentang kenaikan harga BBM, protes UU Cipta Kerja,
protes masyarakat desa Kedung Ombo saat pembangunan waduk
Kedung Ombo, protes warga sekitar pertambangan Freeport di
Papua. Protes yang dilakukan oleh pendukung presiden Amerika
Serikat Donald Trump yang kalah dalam pemilihan presiden tahun

32 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

2020. Pendukung Trump sempat menduduki gedung Capitol DC
Washington (Januari 2021).

F. Fungsi Konflik

Konflik merupakan kejadian yang akan selalu dialami oleh manusia,
masyarakat, dan bangsa manapun di dunia ini. Konflik adalah salah
satu ciri yang mendasar dalam setiap masyarakat. Setiap manusia di
dalam masyarakat memiliki sikap primordialisme atas seperangkat nilai
dan norma yang diyakininya. Hal ini lah yang dapat menjadi salah satu
faktor pemicu konflik. Atas nilai-nilai primordialisme yang dimilikinya,
maka mereka senantiasa terdorong untuk memperjuangkan eksistensi
nilai-nilai tersebut di sepanjang sejarah keberadaannya.

Simmel (1971) berpendapat bahwa kelompok harmonis yang
bebas konflik secara praktis tidak mungkin ditemukan dalam
kehidupan di dunia ini. Tidak dapat disangkal bahwa masyarakat
membutuhkan pembentukan dan pertumbuhannya baik harmoni
dan ketidakharmonisan, asosiasi dan disassosiasi. Bahwa konflik
dapat menghasilkan sesuatu yang konstruktif mupun positif, atau
kombinasi dari keduanya. Pada tingkat tertentu, memang konflik
dapat menghasilkan eliminasi atau pemusnahan lawan. Namun,
dalam pengalaman masyarakat manusia, sebagian besar konflik sosial
yang terjadi akan berakhir dengan kesepakatan atau akomodasi atau
perpaduan dari dua elemen tersebut.

Dalam konflik antar kelompok dan masyarakat, solidaritas
dan perasaan sesama meningkat. Pihak-pihak yang terlibat konflik
memperoleh kohesi dan kekuatan. Harmoni internal dan konflik
eksternal merupakan sisi berlawanan dalam peristiwa konflik. Konflik
yang menyebabkan perang atau bermusuhan dapat menghancurkan
kehidupan dan harta benda, dan terlebih lagi, dapat menyebabkan
kerusakan psikologis dan moral yang besar. Namun, perang juga dapat
melahirkan sikap nasionalisme dan patriotisme.

Akibat dari konflik pribadi yaitu konflik intra-kelompok sebagian
besar bersifat negatif sehingga perjuangan seperti itu menurunkan
moral dan melemahkan solidaritas kelompok. Pertikaian antara atasan
yang dianggap arogan dengan bawahan, memungkinkan bawahan
untuk menyalurkan agresi atau kritik untuk perubahan perilaku atasan.

Struktur Konflik 33

Demikian pula, konflik verbal antara teman, kekasih, atau pasangan
suami-istri sering kali menjernihkan suasana dan dapat menguatkan
hubungan. Berikut ini ditampilkan fungsi konflik yang diadaptasi dari
Coser (1956).

Tabel 2.1: Fungsi konflik

Fungsi Antar kelompok Di dalam kelompok
Koneksi
Demarkasi Menegaskan hubungan Memelihara hubungan
Revitalisasi dengan kelompok atau pihak antar anggota dengan
lain melepaskan ketegangan
Pengintaian
Mempertajam batas luar Menegaskan dan
Replikasi dengan kelompok atau pihak memperkokoh batas
lain internal kelompok

Merevitalisasi adat istiadat, Memperkuat nilai-
tradisi, dan atribut sosial nilai dan/atau norma-
lain yang sebelumnya dinilai norma yang mendasari
konstruktif atas eksistensi keanggotaan
kelompoknya
Mendapat informasi untuk
Mendapat informasi untuk dijadikan konsideran
dijadikan konsideran, apakah apakah akan dilakukan
berlanjut pada perdamaian tindakan kooptasi atau
atau kah perang kah sanksi terhadap para
penyimpang
Adopsi dan/atau modifikasi
sistem atau tata nilai yang Menghasilkan kesamaan
dimiliki oleh pihak lawan sikap, tindakan, dan
yang dianggap unggul, untuk perilaku dari para anggota
diterapkan di kelompoknya kelompok
dengan tujuan kelompoknya
akan memilki kekuatan yang
seimbang, atau bahkan dapat
melampaui lawan nantinya

1. Koneksi.

Konflik dapat berfungsi sebagai media koneksi atau relasi antar
pihak. Koneksi merupakan bentuk dasar dari interaksi sosial yang
di dalam pasti berlangsung pertukaran (exchange). Fungsi koneksi
dalam konflik dapat berupa negosiasi. Konflik menyediakan cara
untuk menegaskan hubungan antar pihak, baik antar orang, antar


Click to View FlipBook Version