34 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
kelompok, antar masyarakat, maupun antar bangsa. Di dalam
kelompok, negosiasi dilakukan untuk melepaskan ketegangan
yang terjadi. Umumnya setelah terdapat konsensus dalam proses
negoisasi, maka antar pihak yang semula konflik akan dapat
bekerjasama kembali. Dalam dunia bisnis, setiap terjadi konflik
diupayakan resolusi konflik melalui negosiasi agar tercipta kerja
sama. Konflik yang berkepanjangan justru dapat menghancurkan
kedua belah pihak. Inilah pentingnya koneksi dalam bentuk
negosiasi.
2. Demarkasi (Pembatasan).
Fungsi konflik antar pihak dapat mempertajam batas luar antara
“kita” versus “mereka”. Antar pihak selanjutnya dapat membuat
definisi demarkasi secara tegas, sehingga mereka dapat menjalin
interaksi sosial dana tau bentuk proses sosial lainnya sesuai batas-
batas sosial yang ada.
3. Revitalisasi.
Fungsi konflik antar pihak juga dapat berwujud sebagai momen
untuk menghidupkan kembali nilai-nilai, norma-norma, dan/
atau tradisi sosial yang sudah terabaikan, yang dalam sejarahnya
pernah menjadi pengikat atau perekat sosial. Beberapa contoh
perangkat nilai, norma, dan/atau tradisi perekat sosial (social glue)
yang sudah mulai ditanggalkan dan ditinggalkan oleh kita semua
adalah gotong-royong, kekeluargaan, kekerabatan antar tetangga,
toleransi, tepo sliro, hormat menghormati, sedulur sikep (Suku Samin),
pela gandong (di masyarakat Ambon), dan lain-lain.
4. Pengintaian.
Fungsi konflik juga dapat berupa wahana untuk melakukan
pengintaian atas kemungkinan alternatif resolusi konflik. Atas
dasar fakta atau data dari hasil pengintaian, maka dapat dipetakan
kemungkinan kelanjutan konflik, apakah mau berlanjut pada fase
perang, damai, negosiasi, atau model kolaborasi tertentu.
5. Replikasi.
Fungsi konflik lain adalah replikasi terhadap serangkaian ideologi,
sistem nilai, sistem norma, serta ide-ide lain yang melekat (embedded)
pada ‘diri’ masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik. Contoh
terbesar adalah konflik ideology antara kapitalis/liberalis versus
Struktur Konflik 35
sosialis/marxis. Kita semua sekarang menyaksikan, bahwa negara-
negara yang sebelumnya sosialis/marxis telah melakukan replikasi
terhadap kapitalis/liberalis. Replikasi terjadi jika antar pihak
yang berkonflik memiliki sikap terbuka untuk melihat kelebihan
sekaligus kekurangan yang dimilikinya, sehingga masing-masing
pihak dapat melakukan perubahan yang konstruktif.
G. Taksonomi dan Dimensi Konflik
Taksonomi adalah upaya pengeleompokkan berdasarkan dimesi
tertentu. Taksonomi konflik dengan demikian berarti berupa upaya
pengelompokkan konflik berdasarkan dimensi yang ada dalam
konflik. Dengan demikian, secara taksonomi, kita bisa melihat konflik
dalam berbagai dimensi. Dalam dimensi tahapan konflik, dapat
dibedakan menjadi: Pra-Konflik, Konfrontasi, Krisis, Akibat Konflik,
dan Pasca Konflik. Selain kategori ini, dilihat dari tahapannya, juga
dapat diklasifikasikan menjadi: Konflik Laten (Laten Conflict), Konflik
Dipersepsikan (Perceived Conflict), Konflik Dirasakan (Felt Conflict),
Konflik Dimanifestasikan (Manifest Conflict), Pasca Konflik (Aftermath
Conflict) (Wirawan, 2010).
Dalam dimensi pelaku konflik, dapat dibedakan menjadi dua,
yakni: 1) konflik vertikal, yakni konflik antara pihak yang berada dalam
pelapisan sosial atas (upper or midle class) melawan pihak yang berada
dalam pelapisan sosial bawah (lower class). Misalnya antara pemerintah
dan rakyat, antara perusahaan, atau perkebunan melawan petani, dll.;
2) konflik horizontal, yakni konflik antar pihak yang secara stratifikasi
sosial relatif memiliki posisi yang setara. Misal, antara masyarakat yang
beragama A melawan masyarakat beragama B, antara etnis D melawan
etnis M, antara pendukung partai X melawan pendukung partai Y, dan
lain-lain.
Dalam dimensi kerealistikan dari tujuan konflik, dapat dibedakan
menjadi: 1) konflik yang memiliki tujuan yang realistik, yakni konflik
yang tujuannya jelas, masuk akal, dan terukur. Misal: konflik antara
perusahaan dan buruh pabrik yang bertujuan untuk memperjuangkan
kenaikan upah minimal regional (UMR) sesuai kebijakan pemerintah;
konflik antara pemerintah daerah melawan rakyat yang menuntut
dicabutnya ijin operasional hotel yang belum memiliki Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Sosial (AMDALSOS), dan lain-lain; 2)
36 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
konflik yang tidak memiliki tujuan yang realistik, yakni konflik yang
tujuannya tidak jelas, tidak masuk akal, dan tidak terukur. Misal: konflik
antar supporter sepakbola yang terjadi secara turun temurun, konflik
antar kelompok agama yang dipicu oleh ledakan permusuhan (hostile
outburs), dan lain-lain. Konflik yang tujuannya realistik akan mudah
diselesaikan, sebaliknya jika tujuannya tidak realistik, maka akan sulit
dipadamkan.
Selain taksonomi dan dimensi konflik sebagaimana dipaparkan
di atas, kita juga mengembangkan lagi taksonomi dan dimensi lain
sesuai dengan kepentingan telaah yang hendak kita lakukan. Misalnya,
taksonomi dan dimensi konflik dilihat dari akar konflik, aktor atau
pelaku utama konflik, penyebab konflik, tujuan konflik, proses konflik,
durasi konflik, fungsi konflik, dan lain-lain.
Proposisi Teori Konflik 37
Bab III
PROPOSISI TEORI KONFLIK
Teori konflik merupakan salah satu orientasi awal dari teori sosiologi.
Turner (1998) menulis, “conflict theory was one of sociology’s first
theoretical orientations, ...”. Teori ini berkembang bersamaan dengan
pandangan fungsionalisme dan pemikiran biologi yang terdapat
di dalam fungsionalisme tersebut. Beberapa teoritisi fungsional
pun, seperti Herbert Spencer (1898) juga telah mengembangkan
konseptualisasi konflik, meskipun, untuk lebih dari masa satu tahun,
pendekatan fungsional tersebut senantiasa menjadi sasaran serangan
pemikiran karena lebih menekankan pada konflik dan perubahan (=
bukan fungsional).
Spencer berargumentasi, bahwa perang antar penduduk telah
menjadi kekuatan evolusioner penting, sebab masyarakat yang
terorganisasi secara baik akan menang, dan ‘menyingkirkan’ yang
lemah, atau setidaknya menjadi dikenadalikan oleh si pemenang.
Analisis geopolitik semacam ini pada akhir pertengahan abad ke-20,
pernah menjadi bentuk teori konflik yang terkenal.
Dalam melihat fungsi kekuatan sosiokultural untuk mewujudkan
integrasi dan keperluan lainnya, kaum fungsionalis cenderung memberi
tekanan pada efek ketidakadilan yang secara sistematis melahirkan
konflik, disintegrasi, dan perubahan. Fungsionalisme Talcott Parsons,
telah mendapatkan serangan yang serius pada sepanjang akhir Tahun
1950 dan 1960 atas kegagalannya menyusun konsep mengenai proses
konflik secara memadai (Turner, 1998).
Pada perkembangan selanjutnya, yakni pada paro kedua abad ke-
20, lahir orientasi teori sosiologi baru yang kemudian dikenal dengan
teori konflik (conflict theory) sebagai antitesa dari teori fungsionalisme.
Teori fungsionalisme atau lengkapnya teori struktural fungsional
menawarkan asumsi, bahwa setiap yang eksis (termasuk di dalamnya
37
38 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
sistem sosial) itu pasti memiliki fungsi atas eksist ensinnya. Apabila
ia tidak memilki fungsi atas keberadaannya, maka ia akan digantikan
oleh sesuatu yang lain untuk menjalankan fungsi yang diperlukan itu.
Bahwa setiap sistem (system) itu terdiri dari sub-sub sistem (sub-systems),
dimana masing-masing sub-sistem memiliki fungsinya masing-masing
(functions) yang saling bergantung satu sama lainnya (interdependence),
serta selalu bergerak (dynamic) dalam keseimbangan (equilibrium) untuk
menciptakan keteraturan sosial (social order).
Sementara itu, teori konflik mengembangkan asumsi pokok yang
sebaliknya. Menurut teori konflik, sistem sosial itu tidak akan selamanya
berada pada situasi dan kondisi yang teratur. Dalam ‘gerak kehidupan’
sistem sosial justru akan selalu muncul persaingan, kompetisi,
ketegangan, pertikaian, pertentangan, dan permusuhan, karena
diantara para anggotanya memiliki perbedaan-perbedaan kepentingan
yang sulit terakomodir oleh para pihak yang sedang berinteraksi, Demi
menjaga, mempertahankan, dan bahkan meng-kapitalisasi pemenuhan
kepentingan yang ada, pihak yang kuat (strong power) akan cenderung
melakukan ekspansi, eksploitasi, koersi, dominasi, dan hegemoni
terhadap pihak yang lemah (powerless). Atas hokum sosial semacam ini,
maka sistem sosial akan terbagi menjadi dua lapisan, yakni kelompok
superordinate, dan kelompok subordinat.
Dalam pemikiran teori konflik, pada fase tertentu atas konflik
yang terjadi, para pihak tentu saja akan melakukan negoisasi untuk
mendapatkan konsensus dengan harapan akan tercipta sistem sosial
yang teratur, harmoni, dan damai. Namun kondisi semacam ini diyakini
tidak akan langgeng, karena secara alamiah, akan senantiasa terbuka
peluang bagi tindakan pelanggaran terhadap konsensus yang sudah
disepakati. Pengingkaran ataupun pelanggaran terhadap konsensus
tentu saja akan berlanjut pada terjadinya konflik lagi. Demikian
seterusnya, bahwa dalam sistem sosial itu mengikuti hukum dialektika
antara konflik, negoisasi, konsensus, pelanggaran, dan konflik lagi
secara siklus.
Teori konflik di dalam sosiologi dimulai dari karya Karl Marx
(1818 - 1883), tetapi dalam perkembangan pada pertengahan abad ke-
20 telah dikembangkan lagi oleh dua orang perintis sosiologi Jerman,
yakni Max Weber (1864 - 1920) dan Georg Simmel (1858 - 1918). Dengan
demikian, mereka bertiga, Karl Marx, Max Weber, dan Georg Simmel
Proposisi Teori Konflik 39
telah memberikan ide-ide pokok yang hingga kini masih memberikan
inspirasi pada pendekatan konflik kontemporer. Pada bagian berikut
ini akan disajikan masing-masing pendekatan dalam analisis konflik
melalui paparan rumusan proposisi teori konflik dari Marx, Weber,
Simmel, Coser, dan Dahrendorf yang bersumber dari buku Jonathan H.
Turner (1998) yang berjudul The Structure of Sociological Theory.
Saat kita belajar dasar-dasar logika, misalnya dalam mata kuliah
metode penelitian sosial, bahasa Indonesia atau yang lain, kemungkinan
kita pernah mendapat penjelasan tentang proposisi. Mungkin juga
dalam kesempatan presentasi atau diskusi, tanpa disadari kita telah
memberikan pernyataan suatu proposisi tertentu atas hasil logika kita.
Ketika kita menjelaskan realitas dengan menghubungkan antara dua
konsep atau lebih secara logis, maka sebenarnya kita telah menyatakan
proposisi. Proposisi diuangkapkan dalam bentuk pernyataan
(statement), bukan pertanyaan (question). Proposisi merupakan kalimat
pernyataan dari hasil hubungan antar konsep yang kebenarannya dapat
dipercaya dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Secara formula dapat
ditulis, Proposisi = Konsep1 + Konsep2 + Konsep3 + Konsep ∞.
Selanjutnya, hubungan antara proposisi satu dengan propisisi yang
lain akan menghasilkan suatu teori. Secara notasi dapat ditulis, Teori =
Proposisi1 + Proposisi2 + Proposisi3 + Proposisi∞. Dalam pendekatan
penelitian kualitatif, atau penelitian induktif (logika berpikir khusus ke
umum), peneliti diharapkan menemukan berbagai konsep pokok dari
lapangan, lalu konsep-konsep pokok tersebut dihubungkan sehingga
menjadi proposisi, serta kemudian proposisi-proposisi tersebut
dihubungkan sehingga menjadi bangun suatu teori. Dengan demikian,
cara membangun teori (theoretical building) adalah mengikuti langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Atas dasar kerangka pemikiran, kerangka teori, dan kerangka
penelitian, peneliti (researcher) turun lapangan (field research)
menstudi problems yang dipilih sesuai unit analisisnya untuk
mencari, mengidentifikasi, memilih dan memilah konsep-konsep
pokok yang ditemukan di lapangan.
2. Peneliti menguji serangkaian konsep-konsep pokok yang ditemukan
dengan menggunakan kerangka teori yang dipilih.
3. Peneliti menghubungkan berbagai konsep pokok tersebut menjadi
rumusan proposisi-proposisi tertentu, dan
40 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
4. Peneliti menghubungkan berbagai proposisi tersebut sehingga
menjadi suatu temuan teori (bisa mendukung teori lama,
memodifikasi teori lama, atau menemukan teori baru/novelty).
Dalam dunia penelitian, proposisi merupakan hasil analisis logis
atas temuan yang didukung oleh data empirik. Menurut Singarimbun
& Effendi (1995: 36) dalam penelitian sosial ada dua jenis proposisi,
yakni aksioma (postulat) dan teorema. Aksioma (postulat) ialah
proposisi yang kebenarannya tidak dipertanyakan lagi oleh peneliti,
sehingga tidak perlu diuji dalam penelitian. Misalnya, “interaksi antar
manusia (konsep 1) selalu berpotensi menimbulkan konflik (konsep
2)” atau “setiap perbedaan (konsep 1) yang ada pada diri individu
dapat menimbulkan konflik (konsep 2)” merupakan proposisi yang
kebenarannya tidak perlu dipertanyakan lagi.
Sedangkan teorema ialah proposisi yang dideduksikan dari
aksioma. Teorema merupakan pernyataan yang masih perlu pembuktian
dan pengujian akan kebenaran sebuah realitas. Sebagai contoh teorema
“konflik (konsep 1) dalam kehidupan masyarakat dipengaruhi aspek
ekonomi (konsep 2)”. Proposisi semacam ini kebenarannya masih bisa
disangkal dan diperdebatkan. Hal ini dikarenakan, penyebab konflik
bukan hanya aspek ekonomi saja, tetapi bisa karena kekuasaan, ideologi,
agama, seks dan jender, dan sebagainya.
Dalam kajian teoritik, proposisi merupakan pernyataan ahli tentang
realitas tertentu yang dianggap menjadi dalil (sciencetific law). Di sinilah
letak sulitnya ilmu sosial dibanding ilmu eksak atau ilmu pasti. Dalam
ilmu sosial tidak ada rumus yang pasti dalam menjelaskan realitas sosial.
Mahasiswa program doktoral atau strata 3 ilmu sosial dan ilmu politik,
misalnya, ketika menulis disertasi, diharuskan merumuskan proposisi.
Proposisi inilah yang nantinya akan menjadi dalil yang kebenaranya
akan diuji atau dibuktikan oleh peneliti yang lain.
A. Proposisi Teori Konflik dari Karl Marx
Menurut Marx (dalam Turner: 1998: 156-157), dalam sepanjang
sejarah perjalanan kehidupan manusia maka materi akan menjadi faktor
determinan yang utama. Siapa saja yang dapat menguasai materi ---
means of production atau economic materials --- , maka ia bisa mendapatkan
segala yang diinginkannya. Menurutnya, keberadaan (existence) lah
Proposisi Teori Konflik 41
yang menentukan kesadaran (consciousness), bukan kesadaran yang
menentukan keberadaan. Manusia bukanlah pancaran dari ide-idenya,
melainkan merupakan fungsi dari keberadaannya dalam struktur sosial.
Karl Marx memulai penjelasannya tentang proses konflik sosial dari
tengarainya, bahwa konflik sosial itu terjadi karena adanya ketidak-
adilan distribusi sumber-sumber langka di masyarakat. Jika distribusi
sumber-sumber langka yang ada semakin tidak adil, maka menurutnya
akan semakin terjadi konflik kepentingan (conflict of interest) antara
golongan yang dominan (= superordinat) dan golongan subordinat.
Marx melanjutkan propisisinya, bahwa semakin golongan subordinat
mengetahui kebutuhan kolektifnya yang benar (true collective interest),
maka mereka akan cenderung mempersoalkan legitimasi dari pola
distribusi sumber-sumber langka yang dianggap tidak adil tadi.
Golongan subordinat akan dapat mengetahui true collective interest-
nya dengan baik, jika:
1. Perubahan yang dibuat oleh golongan dominan/superordinat
merusak atau mengganggu pola relasi antar anggota subordinat
yang sebelumnya telah terjalin dengan baik.
2. Tindakan yang dibuat oleh golongan dominan menyebabkan
keterasingan (alienation) pada anggota golongan subordinat, baik
alienasi dari dirinya sendiri, alienasi dari orang lain, alienasi dari
kemanusiaan, alienasi dari proses produksi, maupun alienasi dari
komoditi yang dihasilkannya.
3. Antar anggota subordinat dapat mengkomunikasikan keluhan
atau persoalan fundamental yang dialaminya satu sama lain. Hal
ini dapat terjadi jika para anggota subordinat itu berada dalam
konsentrasi ekologi yang sama, serta para anggotanya memiliki
kesempatan untuk meningkatkan tingkat pendidikannya.
4. Golongan subordinat dapat mengembangkan ideologi yang
mampu mempersatukannya. Hal ini dapat terwujud jika golongan
subordinat dapat melahirkan atau merekrut juru bicara ideology,
serta kegagalan dari golongan dominan/superordinat dalam
‘mengatur’ proses sosialisasi dan pola komunikasi dari golongan
subordinat.
Secara skematik, penjelasan proposisi Karl Marx tentang proses
konflik sosial dapat dilihat dalam Tabel 3.2 di bawah ini.
42 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
Tabel 3.2: Proposisi Proses Konflik Sosial dari Karl Marx
Proposisi Pernyataan proposisi
I. Semakin tidak adil distribusi sumber-sumber langka (scarce resources) di
masyarakat, maka semakin besar tercipta conflict of interest antara golongan
dominan dan subordinat.
II. Semakin golongan subordinat mengetahui collective interest-nya dengan benar,
maka mereka semakin cenderung mempersoalkan legitimasi pola distribusi
sumber-sumber langka tadi.
III. Golongan subordinat akan cenderung mengetahui collective interest-nya yang
benar adalah, jika:
A. Perubahan yang dibuat oleh golongan dominan mengacaukan atau
mengganggu (disrupt) relasi diantara golongan subordinat.
B. Tindakan yang dilakukan oleh golongan dominan dapat menciptakan
keterasingan (alienation).
C. Para anggota golongan subordinat dapat mengomunikasikan keluhan-
keluhannya (grievances) satu sama lain. Kondisi ini dapat terjadi, bila:
1. Ada konsentrasi ekologi (ecological concentration) diantara anggota
golongan subordinat.
2. Perluasan kesempatan pendidikan (expansion of education opportunity)
bagi golongan subordinat.
D. Golongan subordinat dapat mengembangkan ideologi persatuan (unifying
ideologies). Kondisi ini dapat terjadi, bila:
1. Memiliki kapasitas untuk merekrut atau melahirkan pembicara
ideology (ideological spokespeople).
2. Ketidakberdayaan golongan dominan dalam mengatur proses
sosialisasi dan jaringan komunikasi diantara golongan subordinat.
IV. Semakin golongan subordinat mengetahui kepentingan kolektifnya, dan
mempertanyakan legitimasi pola distribusi sumber-sumber langka, maka
mereka akan semakin cenderung bergabung untuk melawan golongan dominan,
khususnya ketika:
A. Golongan dominan tidak dapat bertindak ataupun mengartikulasi
kepentingan kolektif mereka.
B. Adanya eskalasi yang semakin meningkat proses deprivasi absolute menjadi
relative dari golongan subordinat.
C. Golongan subordinat dapat mengembangkan struktur kepemimpinan politik.
V. Semakin tercipta kesatuan ideologis, dan struktur kepemimpinan politik dari
golongan subordinat, maka kepentingan dan relasi antara golongan dominan dan
subordinat akan semakin cenderung terpolarisasi dan tidak terkonsiliasi.
VI. Semakin tercipta polarisasi antara golongan dominan dan subordinat, maka
konflik akan semakin keras.
VII. Semakin keras suatu konflik, maka akan semakin banyak perubahan struktural
di dalam masyarakat, dan semakin besar pula distribusi sumber-sumber langka.
Keterangan: Diterjemahkan dari Turner (1998: 157).
Proposisi Teori Konflik 43
Selanjutnya, Karl Marx melanjutkan proposisi tentang proses konflik
sosial dengan menyatakan, semakin golongan subordinat mengetahui
kebutuhan kolektifnya, dan semakin mereka mempertanyakan atau
tidak dapat menerima dengan baik legitimasi dari distribusi sumber-
sumber langka, maka para anggota golongan subordinat tersebut
akan semakin menggabungkan dirinya untuk bersama-sama melawan
golongan dominan/superordinate. Kondisi ini terjadi jika, golongan
dominan/superordinat gagal mengartikulasikan kepentingan golongan
subordinat, terjadi eskalasi proses deprivasi absolut menjadi relatif,
serta golongan subordinat mampu mengembangkan kepemimpinan
politik.
Apabila selanjutnya, golongan subordinat dapat mengembangkan
kesatuan ideologis dan kepemimpinan politik, maka menurut Karl
Marx, kepentingan dan relasi antara golongan subordinat dan dominan/
superordinat akan semakin terpolarisasi serta tidak terkonsiliasikan.
Polarisasi inilah yang akan semakin meningkatkan tensi konflik sosial.
Akhirnya, Marx berkeyakinan, bahwa jika konflik sosial berlangsung
semakin keras, maka akan dilakukan serangkaian perubahan kebijakan
struktural yang melahirkan pola distribusi sumber-sumber langka yang
baru sebagaimana keinginan golongan subordinat.
B. Proposisi Teori Konflik Max Weber
Max Weber secara implisit mengkritik teori konflik Karl Marx,
dimana menurutnya penggambaran sejarah masyarakat sebagaimana
dibayangkan oleh Marx itu tidak berlaku umum, melainkan mustinya
terkait dengan kondisi empiris masyarakat yang spesifik. Weber percaya,
bahwa konflik revolusioner itu tidak dapat diprediksi, melainkan
datang pada kondisi yang revolusioner pula sebagaimana digambarkan
oleh Marx.
Max Weber mengembangkan teori konflik dengan cara melakukan
konvergensi. Weber memandang, bahwa konflik itu sebagai sesuatu
yang secara kuat berhubungan dengan kemunculan kepemimpinan
karismatik (charismatic leaders) yang mampu memobilisasi golongan
subordinat. Tidak seperti Marx, Weber melihat bahwa kemunculan
pemimpin tersebut adalah tidak dapat diprediksi, dengan demikian
konflik revolusioner tidak dapat selalu diproduksi oleh suatu sistem
ketidakadilan.
44 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
Sebagian besar prinsip-prinsip tentang proposisi proses konflik
sosial dari Max Weber, akan dapat dilihat dalam transisi masyarakat
yang berbasis kewenangan tradisional (traditional authority) menuju
sistem yang diorganisasikan melalui kewenangan legal-rasional
(rational-legal authority).
Di dalam suatu masyarakat yang memandang kesucian dari
tradisi legitimasi politik dan aktivitas sosial, maka penarikan kembali
(withdrawal) legitimasi atas tradisi tersebut merupakan kondisi yang
krusial dari konflik (Proposisi I). Pertanyaannya adalah, apa penyebab
golongan subordinat mengundurkan diri atau tidak mengakui
legitimasi politik yang ada? Menurut Weber, salah satu penyebabnya
ialah adanya korelasi yang tinggi antara kekuasaan, kemakmuran,
dan prestise, atau dalam istilah Weber (Proposisi II-A), dengan posisi
kekuasaan politik (partai), posisi ekonomi (kelas), dan keanggotaan
dalam rangking sosial yang tinggi (kelompok status). Ketika seseorang
atau golongan tertentu menjadi elit ekonomi, juga sekaligus sebagai
elit sosial, dan politik, maka mereka akan otomatis akan mendapatkan
kekuasaan, kemakmuran, dan prestise. Rintangan atau hambatan atas
proses sosial semacam ini kepada golongan subordinat, tentu saja akan
membuat mereka menjadi marah dan merasa berkepentingan untuk
memilih jalan alternatif konflik sosial.
Kondisi lain yang dapat memicu konflik sosial adalah terkait dengan
diskontinuitas secara dramatik dalam distribusi ganjaran atau upah
(dramatic discontinuity in the distribution of rewards), serta adanya gap
yang lebar di dalam hirarki sosial, dimana dalam satu sisi memberikan
privilese yang besar kepada beberapa orang, tetapi di sisi lain hanya
memberi sedikit kepada yang lainnya (Proposisi II-B). Ketika hanya ada
sedikit orang yang memegang kekuasaan, kemakmuran, dan prestise,
serta sisanya tidak mendapatkan rewards tersebut, maka akan tercipta
ketegangan dan kemarahan. Kemarahan semacam ini akan menjadi
stimulus berikutnya (a further inducement) bagi orang-orang yang tidak
memiliki kekuasaan, prestise, dan kemakmuran untuk menarik diri
dari legitimasi orang-orang yang menguasai sumber-sumber.
Kondisi lain yang dapat menyebabkan golongan subordinat tidak
mengakui legitimasi politik golongan superordinat adalah rendahnya
angka mobilitas sosial (Proposisi II-C). Ketika orang-orang yang berada
di rangking bawah hanya memiliki peluang kecil untuk bergerak ke
Proposisi Teori Konflik 45
hirarki yang lebih atas, atau untuk memasuki kelas baru, partai, atau
kelompok status, maka kemarahan akan terakumulasi. Ketidakadaan
peluang untuk meningkatkan akses pada sumber-sumber akan menjadi
permasalahan yang serius, dan menghilangkan antusiasitas golongan
subordinat untuk menerima sistem kewenangan tradisional.
Kekuatan kritis yang membangkitkan (galvanized) kemarahan
tersebut adalah terletak pada persoalan ada tidaknya pemimpin
kharismatik. Weber meyakini, jika dalam suatu masyarkat ada
pemimpin kharismatik yang mau dan mampu memobilisasi kebencian
dan kemarahan golongan subordinat untuk menentang atau melawan
kewenangan tradisional yang dimiliki oleh golongan superordinate,
maka terbuka peluang terciptanya konflik dan perubahan struktural
dalam masyarakat tersebut (Proposisi III).
Menurut Max Weber, apabila upaya di atas sukses, pemimpin
kharismatik kemudian akan menghadapi problema organisasional
yakni berupa konsolidasi terhadap apa yang didapatkan. Sebagaimana
disebutkan di dalam Proposisi IV, salah satu hasilnya adalah Sang
pemimpin kharismatik akan menciptakan aturan formal, prosedur, dan
struktur untuk mengorganisasikan pengikutnya, setelah mereka sukses
memobilisasi golongan subordinat dalam menghadapi konflik yang
pernah terjadi sebelumnya.
Dalam Proposisi V dijelaskan, jika rutinisasi menciptakan pola
baru ketidak-adilan yang berbasis pada askripsi (routinization creates
new patterns of ascription-based inequalities), kewenangan tradisional,
maka konflik sosial yang baru akan lahir kembali, karena sebagaimana
ditegaskan oleh Weber, ada korelasi yang tinggi dalam keanggotaan di
kelas, status, dan partai dengan kemakmuran, prestise, dan kekuasaan.
Fenomena kelahiran konflik sosial baru ini terjadi karena sumber-
sumber langka dikuasi oleh kelompok elit baru, serta terhalangnya
mobilitas sosial untuk meraih hirarki yang lebih tinggi.
Sebaliknya, jika rutinisasi legal-rasional dalam menjalankan
kewenangan didasarkan atas penerapan hukum dan aturan secara
sama, serta performance maupun kemampuan yang dijadikan dasar
pertimbangan rekruitmen dan promosi di dalam struktur birokrasi,
maka kondisi semacam ini akan menurunkan potensi konflik sosial.
Atas dasar proposisi ini, berarti Weber meyakini, bahwa siklus konflik
sosial itu bisa berhenti atau setidaknya berkurang potensinya, jika
46 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
sang pemimpin kharismatik dalam menjalankan kewenangannya
berpedoman pada hokum legal formal dan aturan lain secara adil.
Pemikiran Weber tidak seperti pemikiran Marx, yang
berkecenderungan untuk terlalu memberikan tekanan pada persoalan
basis ekonomi yakni ketidak-adilan distribusi sumber-sumber langka,
serta polarisasi masyarakat ke dalam kelas yang memiliki properti
dan kelas yang tidak memiliki properti sebagai akibat dari adanya
eksploitasi. Sementara itu, Weber, sebagaimana nampak dalam
Proposisi I dan II, lebih percaya, bahwa sumber persoalan kritis yang
bisa mengarah pada terjadinya konflik sosial adalah variasi distribusi
kekuasaan, kemakmuran, dan prestise di masyarakat. Secara skematik,
proposisi Max Weber tentang proses konflik sosial tersebut dapat dibaca
dalam Tabel 3.3 di bawah ini.
Tabel 3.3: Proposisi Proses Konflik Sosial dari Max Weber
Proposisi Pernyataan proposisi
I. Golongan subordinat akan lebih cenderung terlibat dalam konflik
dengan golongan superordinat ketika mereka menarik diri dari legitimasi
kewenangan politik yang ada (withdrawal legitimacy from political authority).
II. Golongan subordinat akan cenderung menarik diri dari legitimasi
kewenangan politik yang ada, jika:
A. Korelasi antara keanggotaan golongan subordinat di dalam kelas, status
group, dan hirarki politik adalah tinggi.
B. Ada diskontinuitas atau tingkat ketidakadilan dalam distribusi sumber-
sumber di dalam hirarki sosial adalah tinggi.
C. Angka moblitas sosial vertikal dalam hirarki sosial yang terkait dengan
kekuasaan, prestise, dan kemakmuran adalah rendah.
III. Konflik antara golongan superordinat dan subordinat akan cenderung
tercipta ketika pemimpin kharismatik (charismatic leaders) mampu
memobilisasi kebencian atau kemarahan golongan subordinat kepada
golongan superordinat.
IV. Ketika pemimpin kharismatik sukses di dalam berkonflik, maka akan ada
tekanan kepada kewenangan rutin (routinize authority) melalui sistem aturan
dan administrasi baru (new system of rules and administration).
V. Ketika sistem aturan dan kewenangan admistratif ditekan atau diganggu,
maka akan cenderung kondisi dalam proposisi II (A, B, dan C) dapat muncul
lagi, dimana golongan subordinat yang baru akan menarik diri dari legitimasi
kewenangan politik, serta berusaha berkonflik dengan golongan superordinat
baru, khususnya ketika bentuk-bentuk dominasi politik tradisional dan
askriptif yang baru tersebut, selalu ditekan oleh para elit.
Keterangan: Diterjemahkan dari Turner (1998: 158).
Proposisi Teori Konflik 47
Sebagai tambahan dari Proposisi Tabel 3.3 di atas, di bawah ini
disajikan Tabel 3.4 tentang geopolitik dan konflik. Proposisi ini utamanya
terkait dengan konflik antar masyarakat. Weber mengembangkan ide-
ide teoritik tentang proses hubungan antar masyarakat (intersocietal
processes). Pemikiran Weber ini dipengaruhi oleh Herbert Spencer,
dimana menyebutkan bahwa konflik antar masyarakat adalah
merupakan kondisi dasar masyarakat manusia yang berada dalam
teritori dan perkembangan kepemimpinan politik tertentu. Atas dasar
hal ini, Weber juga menganalisa konflik antar masyarakat, atau apa
yang ia sebut sebagai “geopolitik” antar masyarakat.
Penekanan tentang geopolitik dan konflik dari Weber ini telah
menjadi tema yang terkenal dalam proses revitalisasi sejarah sosiologi,
baik dalam bentuk neo-Marxian maupun neo-Weberian. Weber percaya,
bahwa tingkat legitimasi kewenangan politik di dalam sistem sangat
tergantung pada kemampuan kewenangan dalam menghasilkan atau
membangkitkan prestise di dalam sistem geopolitik secara luas, atau
apa yang hari ini kita sebut dengan sistem dunia (world system). Dengan
demikian, pengunduran diri dari legitimasi adalah bukan hanya
sekedar sebagai hasil dari kondisi sebagaimana dalam Proposisi II (A,
B, C) saja, namun legitimasi juga tergantung pada kesuksesan (success)
dan prestise (prestige) dari negara dalam hubungannya dengan negara
lain.
Legitimasi politik sering berada dalam situasi yang tidak stabil,
karena ia terkait dengan kemampuan kewenangan politik dalam
menemukan kebutuhan diantara anggota sistem dalam hal pertahanan
dan penyerangan melawan musuh eksternal, bahkan di sepanjang
priode yang relatif aman sekalipun. Tanpa adanya rasa ancaman (sense
of threat) tersebut, dan hubungan “sukses” dengan ancaman itu, maka
legitimasi akan berkurang atau menurun.
Weber tidak berargumentasi bahwa legitimasi selalu diperlukan
golongan superordinat untuk mendominasi --- di sana ada periode apatis
(period of apathy) diantara para anggota penduduk, yang disebabkan oleh
nilai-nilai tradisi dan rutinitas. Sebaliknya, di sana juga bisa ada periode
kekuatan yang memaksa (period of coercive force) yang dilakukan oleh
golongan superordinat untuk mengontrol potensi pembangkangan.
Weber tidak berargumentasi bahwa “external enemies” harus selalu ada
untuk menjaga agar legitimasi tetap tinggi, namun, menurutnya konflik
48 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
internal yang bisa menjadi ancaman dapat juga memberikan legitimasi
kepada kewenangan politik.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa banyak proses yang
kemungkinan dapat mengarah bagi terjadinya pengunduran diri dari
legitimasi, dan inisiatif konflik di bawah kepemimpinan karismatik
kadangkala juga dapat memperkuat legitimasi kewenangan politik,
jika kelompok lain di dalam masyarakat merasa terancam. Weber
berargumentasi, bahwa kewenangan politik sering diarahkan
oleh “musuh” internal maupun eksternal sebagai strategi untuk
meningkatkan legitimasi dan kekuasaannya dalam mengkontrol
distribusi sumber-sumber.
Walaupun demikian, perhatian dari kewenangan politik pada sistem
eksternal adalah tidak selalu terkait persoalan politik belaka. Prestise,
secara sendiri (per se), dapat mendorong suatu kelompok mempersuasi
militer dan bentuk kontak lain dengan masyarakat luar, serta lebih
penting lagi adalah kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi
dimaksud --- kolonial dan booty kapitalis, pedagang ternama, pedagang
finansial, para pengekspor, dan sejenisnya --- yang mengandalkan
negara untuk melanjutkan ekspansi militer ke luar negeri (foreign
military expansion), dimana sebagaimana kepentingan ekonomi tersebut
menyandarkan diri pada dinamika pasar dan perdagangan bebas
akan selalu melawan ekspansi militer, sebab hal itu akan mengganggu
produktivitas domestik, atau keuntungan di dalam pasar eksternal.
Max Weber (dalam Turner: 1998: 157 - 158) melihat konflik sosial
sebagai hasil dari kontingensi kemunculan pemimpin kharismatik
(charismatic leaders) yang kemudian mampu memobilisasi golongan
subordinat. Berbeda dengan Marx yang menganggap bahwa revolusi
sosial adalah sesuatu yang tidak dapat terhindarkan dalam serangkaian
proses konflik sosial, justru Weber berpikir bahwa konflik revolusioner
tidak selalu muncul dalam sistem yang tidak adil. Secara lebih rinci
proposisi proses konflik sosial yang digagas Weber adalah seperti
tersebut di bawah ini.
Menurut Max Weber, persoalan legitimasi politik adalah merupakan
situasi yang berbahaya (precarious) karena hal tersebut menyandarkan
diri pada kemampuan kewenangan politik untuk menemukan (to
meet) kebutuhan para anggota sistem dalam bertahan atau menyerang
musuh dari luar (external enemies), bahkan ketika berada pada periode
Proposisi Teori Konflik 49
yang relative aman sekalipun. Tanpa adanya rasa “ancaman” dan upaya
meraih “sukses” yang terkait dengan ancaman tersebut, maka legitimasi
akan berkurang.
Pada pemikiran selanjutnya, Weber melihat bahwa berkurangnya
legitimasi itu sebagai akibat dari peningkatan suasana konflik yang
berhubungan dengan proses konflik baik internal maupun eksternal.
Pendapat Weber ini dapat dilihat dalam proposisi yang terkait antara
geopolitik dan konflik dalam Tabel 3.4 di bawah ini.
Tabel 3.4: Proposisi tentang Geopolitik dan Konflik dari
Max Weber
Proposisi Pernyataan proposisi
I.
II. Kemampuan dari kewenangan politik dalam mendominasi masyarakat
III. tergantung pada legitimasinya.
IV. Semakin suatu kekuasaan mampu memelihara rasa prestise (sense of
prestige) dan sukses dalam menjalin relasi masyarakat luar (external
V. societies), maka kemampuan pemimpinnya akan semakin mendapatkan
VI. legitimasi yang tinggi.
VII.
Ketika sektor-sektor produktif yang ada di masyarakat kelangsungan
hidupnya tergantung pada kewenangan politik, maka mereka
cenderung untuk menganjurkan kepada kewenangan politik untuk
mempergunakan ekspansi militer demi interes mereka. Ketika ekspansi
itu sukses, maka prestise dan legitimasi kewenangan politik akan
meningkat.
Ketika sektor-sektor produktif kelangsungan hidupnya tidak
tergantung, maka mereka cenderung menganjurkan pada kewenangan
politik untuk memilih tindakan ko-optasi daripada ekspansi militer,
dan ketika langkah ini sukses maka juga dapat meningkatkan prestise
serta legitimasi kewenangan politik.
Semakin suatu kekuasaan dapat menciptakan rasa tentang adanya
ancaman dari luar (a sense of threat from external forces), maka kekuasaan
itu semakin akan dipandang legitimate.
Semakin suatu kekuasaan dapat menciptakan rasa tentang adanya
ancaman terhadap mayoritas oleh karena adanya konflik internal
dengan minoritas, maka kekuasaan itu juga semakin akan dipandang
legitimate.
Ketika kewenangan politik tidak dapat memelihara rasa legitimasi
(sense of legitimacy), maka akan tercipta konflik internal, dan ketika
kewenangan politik kehilangan prestise dalam sistem internal, maka
akan kehilangan legitimasi, dan akhirnya konflik internal akan semakin
meningkat.
Keterangan: Diterjemahkan dari Turner (1998: 160).
50 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
C. Proposisi Teori Konflik George Simmel
Proses konflik menurut Simmel (dalam Turner, 1998: 161-162)
merupakan bagian dari penjelasannya mengenai form of basic social
processes. Menurutnya koflik sosial itu bisa terjadi dimana-mana.
Tidak seperti Marx yang melihat konflik sosial akan selalu mengarah
pada tindak kekerasan, revolusioner, dan akhirnya terjadi perubahan
struktural suatu sistem, Simmel justru melihat adanya fenomena
yang sebaliknya dalam konflik sosial. Konflik sosial itu justru dapat
mendorong bagi terciptanya solidaritas, integrasi atau kesatuan
(unification), dan perubahan tata kehidupan. Adapun konflik yang
dimaksud adalah konflik yang kurang intens dan kurang keras (less
intense and violent conflicts).
Dalam proposisinya, Simmel berbicara tentang level atau tingkat
kekerasan dalam konflik, baik terkait dengan persyaratan peningkatan
maupun penurunan level konflik. Selain itu, Simmel juga berbicara
tentang hasil yang didapat dari konflik, termasuk di dalamnya fungsi
integratif dari suatu konflik.
Menurut Simmel, level konflik akan meningkat, jika:
1. Kelompok yang berkonflik memiliki tingkat keterlibatan emosi yang
tinggi. Hal ini terkait dengan tingkat emosional dari masing-masing
kelompok yang berkonflik. Semakin tinggi tingkat solidaritas dari
para anggota kelompok pada kelompoknya, maka akan semakin
tinggi pula tingkat keterlibatan emosionalnya.
2. Masing-masing anggota kelompok merasa bahwa konflik tersebut
dianggap jauh lebih penting daripada kepentingan dirinya sendiri.
Kondisi ini berkaitan dengan jenis isu nilai-nilai yang ditanamkan
dalam konflik.
Sebaliknya, level konflik juga dapat menurun manakala konflik yang
terjadi bersifat instrumental, dan konflik tersebut disikapi oleh masing-
masing kelompok yang berkonflik sebagai sarana untuk mencapai tujuan
yang jelas dan tujuan tersebut juga memiliki batasan yang jelas pula.
Poin penting dalam proposisi ini adalah adanya pertimbangan rasional
instrumental. Sedangkan dalam proposisi pertama pertimbangannya
adalah emosional.
Dalam proposisinya yang ke III, Simmel menyusun rumusan
tentang hasil konflik, yakni:
Proposisi Teori Konflik 51
1. Penegasam batas antar kelompok yang berkonflik semakin jelas.
2. Sentralisasi kewenangan dan kekuasaan dalam kelompok.
3. Berkurangnya toleransi terhadap penyimpangan dan ketidak-
sepakatan (dissent) yang terjadi dalam kelompok.
4. Peningkatan solidaritas dari masing-masing kelompok yang
berkonflik, khususnya kelompok minoritas, dan/atau kelompok
yang harus mempertahankan diri atas eksistensinya di masyarakat.
Tabel 3.5: Proposisi Proses Konflik dari Simmel
Proposisi Pernyataan proposisi
I. Level kekerasan dalam konflik akan meningkat, jika:
A. Kelompok yang berkonflik memiliki tingkat keterlibatan emosi yang tinggi
(a high degree of emotional involvement), dimana hal ini terkait dengan masing-
masing tingkat solidaritas diantara kelompok yang berkonflik.
B. Para anggota dari masing-masing kelompok yang berkonflik merasa bahwa
konflik tersebut adalah lebih penting daripada kepentingan individunya
sendiri (individual self-interest), dimana hal ini terkait dengan cakupan
apakah konflik tersebut berhubungan dengan isu nilai-nilai isu yang
ditanamkan.
II. Level kekerasan dari konflik akan menurun ketika konflik bersifat instrumental
dan disikapi oleh masing-masing kelompok yang berkonflik sebagai sarana
untuk mencapai tujuan yang jelas dan memiliki batasan yang jelas pula.
III. Setiap konflik antar kelompok akan menghasilkan hal-hal berikut:
A. Batas-batas kelompok yang jelas.
B. Sentralisasi kewenangan dan kekuasaan.
C. Berkurangnya toleransi terhadap penyimpangan dan ketidaksepakatan
(dissent).
D. Peningkatan solidaritas diantara masing-masing kelompok, khususnya
bagi anggota minoritas dan kelompok yang berada dalam posisi
mempertahankan diri (self defense).
IV. Konflik akan memiliki konskuensi integratif bagi the social whole, jika:
A. Konflik sering terjadi, tetapi intensitas dan kekerasannya rendah, dimana
hal ini akan dapat memberi kesempatan kepada yang berselisih melepaskan
rasa permusuhannya.
B. Konflik terjadi di dalam sistem dimana para anggota dan sub unitnya
menampakkan adanya hubungan fungsional interdependensi dalam
level yang tinggi, oleh karena itu mereka akan cenderung menganjurkan
penciptaan perjanjian normatif untuk mengatur konflik sehingga
pertukaran sumber-sumber yang ada tidak terganggu.
C. Konflik menghasilkan koalisi diantara masing-masing kelompok yang
berkonflik.
Keterangan: Diterjemahkan dari Turner (1998: 161).
52 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
Dalam Proposisinya yang ke IV, Simmel menegaskan bahwa
konflik akan memiliki konskuensi integratif bagi keseluruhan sistem
sosial, jika:
1. Konflik itu sering terjadi, namun dalam intensitas yang rendah, dan
tindak kekerasan yang rendah pula, sehingga memberi kesempatan
kepada yang berselisih melepaskan rasa permusuhannya.
2. Konflik terjadi di dalam level sistem, dimana para anggota
dan sub unitnya menampakkan adanya hubungan fungsional
interdependensi dalam level yang tinggi, oleh karena itu mereka
akan cenderung menganjurkan penciptaan perjanjian normatif
untuk mengatur konflik sehingga pertukaran sumber-sumber yang
ada tidak terganggu.
3. Konflik menghasilkan koalisi diantara masing-masing kelompok
yang berkonflik
Lebih lengkap tentang pemikiran Simmel adalah sebagaimana
dirinci dalam proposisi yang menggambarkan konflik antar kelompok
sebagaimana dalam Tabel 3.5 di atas.
D. Proposisi Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Menurut Dahrendorf (dalam Turner, 1998: 165-167), setiap
masyarakat itu memiliki dua sisi, yakni konsensus dan konflik. Oleh
karena itu, jika hendak menganalisa peristiwa konflik yang terjadi, kita
tidak boleh hanya melihat satu sisinya saja secara terpisah --- seperti
halnya utopia yang dikembangkan oleh kaum fungsionalis, melainkan
harus melihat kedua sisinya sekaligus secara dialektik. Teori yang
demikian oleh Dahrendorf disebut dengan teori dialektika konflik.
Perspektif konflik dialektik yang dikembangkan Dahrendorf,
hingga kini masih dianggap sebagai karya terbaik dalam memahami
konflik jika dibandingkan dengan pemikiran Karl Marx, Max Weber,
dan Georg Simmel. Dahrendorf percaya bahwa proses institusionalisasi
itu melibatkan penciptaan “asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa”
atau “imperatively coordinated associations” (ICA), yang direpresentasikan
oleh perbedaan peran-peran dalam organisasi. Menurutnya, berbagai
unit-unit sosial, mulai dari organisasi yang kecil hingga yang besar
adalah merupakan asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa, yakni
melalui penciptaan relasi kewenangan (authority relations), dimana posisi
Proposisi Teori Konflik 53
tertentu memiliki hak normatif (normative right) untuk mendominasi
yang lain. Keteraturan sosial itu dipelihara melalui proses penciptaan
relasi kewenangan dengan berbagai tipe ICA di seluruh lapisan sistem
sosial. Pemikiran Dahrendorf secara rinci dapat dilihat di dalam
proposisinya tentang konflik pada Tabel 3.6 di bawah ini.
Tabel 3.6: Proposisi Konflik dari Dahrendorf
Proposisi Pernyataan proposisi
I. Konflik cenderung terjadi jika para anggota dari suatu kelompok semu (quasi
groups) di dalam ICA menyadari kebutuhan obyektifnya, lalu membentuk
kelompok konflik, dimana hal ini terkait dengan:
A. Kondisi “teknik” organisasi, yang tergantung pada:
1. Formasi kader kepemimpinan diantara kelompok-kelompok
semu.
2. Kodifikasi sistem ide, atau anggaran dasar/piagam (charter).
B. Kondisi “politik” organisasi, dimana hal ini tergantung pada kelompok
dominan dalam memberikan ijin kepada organisasi yang memiliki
kepentingan oposisi.
C. Kondisi “sosial” organisasi, dimana hal ini berhubungan dengan:
1. Peluang bagi anggota kelompok semu untuk saling berkomunikasi.
2. Peluang untuk melakukan rekruitmen anggota.
II. Semakin kurang atau rendah kondisi teknik, politik, dan sosial suatu
organisasi, maka konflik akan semakin menguat (intense).
III. Semakin distribusi kewenangan dan rewards berhubungan dengan yang
lain (melapiskan ke atas/superimposed), maka konflik akan semakin menguat.
IV. Semakin rendah mobilitas antara kelompok superordinat dan subordinat,
maka konflik akan semakin menguat.
V. Semakin kurang atau rendah kondisi teknik, politik, dan sosial suatu
organisasi, maka konflik akan semakin berlangsung dengan keras (violence).
VI. Semakin terjadi perubahan deprivasi absout menjadi relative dalam hal
distribusi penghargaan (rewards), maka konflik akan semakin berlangsung
dengan keras.
VII. Semakin rendah kemampuan kelompok yang berkonflik dalam
mengembangkan regulasi perjanjian, maka konflik akan semakin
berlangsung dengan keras.
VIII. Semakin menguat suatu konflik, maka tingkat perubahan struktural dan
reorganisasi akan meningkat.
IX. Semakin keras suatu konflik, maka angka perubahan struktural dan
reorganisasi juga akan meningkat.
Keterangan: Diterjemahkan dari Turner (1998: 169).
54 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
E. Proposisi Teori Konflik Lewis Coser
Lewis Coser memperkenalkan teori konflik fungsionalisme (dalam
Turner, 1998: 171 – 175), Coser memberikan batasan konflik sebagai suatu
fenomena penyimpangan dan tindakan penolakan terhadap sesuatu
hal, yang disebutnya dengan “patologi” dalam keseimbangan sistem
sosial. Berbeda dengan Marx dan Dahrendorf yang melihat konflik
senantiasa membawa konskuensi yang mengganggu (disruptive), Coser
justru berpikir sebaliknya, bahwa konflik memiliki fungsi integratif dan
adaptif.
Analisis Coser menyebutkan: (1) Ketidakseimbangan di dalam
integrasi bagian-bagian sistem akan membawa ke arah (2) munculnya
aneka jenis konflik diantara bagian-bagian sistem tersebut, dimana
hal ini akan menyebabkan (3) proses reintegratif temporer sistem,
yang kemudian mengarah pada (4) peningkatan fleksibilitas struktur
sistem, peningkatan kemampuan dalam memecahkan masalah
ketidakseimbangan yang akan terjadi di kemudian hari melalui konflik,
serta peningkatan kemampuan untuk beradaptasi terhadap kondisi
yang berubah.
Tabel 3.7: Proposisi Penyebab Konflik dari Coser
Proposisi Pernyataan proposisi
I. Para anggota dari kelompok subordinat yang berada di dalam sistem
yang tidak adil, akan semakin cenderung mengambil inisiatif untuk
bekonflik ketika mereka mempersoalkan legitimasi dari keberadaan pola
distribusi sumber-sumber langka, dimana hal ini disebabkan oleh:
A. Sedikitnya saluran untuk menyalurkan keluhan-keluhan.
B. Rendahnya angka mobilitas untuk posisi yang lebih istimewa.
II. Kelompok subordinat kebanyakan akan cenderung mengambil inisiatif
untuk berkonflik dengan kelompok superordinat ketika di sana terdapat
rasa deprivasi relative (sense of relative deprivation) yang disebabkan oleh
peningkatan ketidakadilan, dimana hal ini berhubungan dengan:
A. Keluasan pengalaman sosialisasi kelompok subordinat tidak
membuahkan rintangan-rintangan ego internal.
B. Kegagalan kelompok superordinat dalam mempergunakan
konstrain eksternal terhadap kelompok subordinat.
Keterangan: Diterjemahkan dari Turner (1998: 172).
Secara lebih rinci di bawah ini akan disajikan secara berturut-turut
proposisi Coser tentang penyebab konflik, kekerasan konflik, durasi
Proposisi Teori Konflik 55
konflik, dan fungsi konflik baik bagi masing-masing yang berkonflik,
maupun bagi keseluruhan sistem sosial (social whole).
Dalam Tabel 3.7 di atas ditampilkan rumusan Coser tentang
penyebab konflik sosial. Coser menyebutkan, bahwa para kelompok
subordinat yang hidup di sistem sosial kemasyarakatan yang tidak
adil, memiliki kecenderungan untuk berkonflik dengan kelompok
superordinat, ketika mereka memiliki ruang untuk mempersoalkan
legistimasi pola distribusi sumber langka. Menurut Coser, sikap dan
tindakan kelompok subordinat tersebut terjadi manakala di dalam sistem
sosial kemasyarakatan itu tidak ada saluran yang dapat dipergunakan
untuk menyampaikan keluhan-keluhannya, serta rendahnya peluang
mobilitas vertikal bagi kelompok subordinat untuk menduduki status
sosial yang istimewa atau memiliki privilese.
Selanjutnya, Coser juga merumuskan proposisi tentang kekerasan
konflik sebagaimana disajikan dalam Tabel 3.8 di bawah ini.
Tabel 3.8: Proposisi Kekerasan Konflik dari Coser
Proposisi Pernyataan proposisi
I. Ketika kelompok terlibat dalam konflik atas isu-isu realistis (tujuan yang jelas
dan masuk akal), mereka lebih cenderung mencari kompromi atas cara untuk
mewujudkan kepentingan mereka, dan karenanya, konflik yang terjadi akan
semakin berkurang.
II. Ketika kelompok terlibat dalam konflik atas isu-isu non-realistik, semakin
besar tingkat gairah dan keterlibatan emosional dalam konflik, dan karenanya,
konflik akan semakin keras, terutama ketika:
A. Konflik terjadi atas nilai-nilai inti.
B. Konflik bertahan dari waktu ke waktu.
III. Ketika saling ketergantungan fungsional antar unit sosial rendah, semakin
sedikit ketersediaan sarana kelembagaan untuk menyerap konflik dan
ketegangan, maka konflik akan semakin keras.
Keterangan: Diterjemahkan dari Turner (1998: 173).
Kelompok subordinat juga berkecenderungan untuk mengambil
inisiatif untuk berkonflik dengan kelompok superordinate, manakala
mereka mengalami deprivasi relative, yakni kondisi psikologis
seseorang yang berupa kemarahan, kebencian, ketidak-puasan, dan
sejenisnya kepada kelompok superordinat, karena secara subyektif
merasa telah diperlakukan secara tidak adil. Kecenderungan kelompok
subordinat untuk memilih jalan konflik tersebut terjadi karena mereka
56 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
berhasil menggalang sosialisasi yang efektif pada para anggotanya, serta
juga karena kegagalan dari kelompok superordinat dalam mencegah
tindakan dimaksud.
Dalam menjelaskan tentang kekerasan (violence) konflik, Coser
mengkaitkannya dengan jenis isu yang muncul dalam konflik.
Menurutnya, jika konflik tersebut disebabkan oleh isu-isu yang realistic,
maka konflik tidak akan berlangsung dengan keras, karena para pihak
yang berkonflik akan cenderung memilih kompromi. Sebaliknya, jika
konflik itu terjadi karena isu-isu yang non-realistik, maka konfliknya
akan cenderung berlangsung dengan keras, terutama jika isu-isu yang
non realistic tersebut terkait dengan nilai-nilai inti yang ada dalam
masyarakat tersebut, serta konfliknya telah berlangsung lama.
Terkait dengan kekerasan konflik, Coser menambahkan, bahwa
jika interdependensi fungsional antar unit sosial rendah, serta semakin
sedikit sarana kelembagaan sosial yang dapat menyerap aspirasi dari
para pihak yang berkonflik, maka konflik akan berlangsung dengan keras.
Coser juga mengembangkan proposisi tentang durasi konflik
sebagaimana digambarkan dalam Tabel 3.9 di bawah ini.
Tabel 3.9: Proposisi Durasi Konflik dari Coser
Proposisi Pernyataan proposisi
I. Konflik akan berkepanjangan bila:
A. Tujuan para pihak yang menentang konflik bersifat ekspansif.
B. Tingkat konsensus atas tujuan konflik rendah.
C. Pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dengan mudah menafsirkan
poin simbolis kemenangan dan kekalahan musuh mereka.
II. Konflik akan dipersingkat jika:
A. Pemimpin pihak yang berkonflik percaya bahwa pencapaian tujuan
yang menyeluruh hanya mungkin dapat dilakukan dengan biaya
yang sangat tinggi, yang, pada gilirannya, terkait dengan:
1. Kesetaraan kekuatan antara kelompok yang berkonflik.
2. Kejelasan indeks kekalahan atau kemenangan dalam konflik.
B. Kemampuan pemimpin untuk membujuk pengikut untuk
mengakhiri konflik, yang selanjutnya terkait dengan:
1. Sentralisasi kekuasaan di pihak yang berkonflik.
2. Integrasi dalam pihak yang berkonflik.
Keterangan: Diterjemahkan dari Turner (1998: 174).
Proposisi Teori Konflik 57
Konflik sosial dapat berlangsung panjang maupun singkat.
Menurut Coser, konflik dapat berlangsung panjang, apabila tujuan
dari pihak yang menentang konflik itu ekspansif atau meluas; tingkat
konsensus atas tujuan konflik rendah; serta ketidak-mampuan mereka
dalam menterjemahkan ukuran kemenangan dan/atau kekalahan dalam
konflik yang berlangsung tersebut.
Sebaliknya, menurut Coser, konflik juga dapat berlangsung singkat,
jika pemimpin para pihak yang berkonflik menyadari, bahwa untuk
mencapai tujuan konflik secara menyeluruh dibutuhkan biaya yang
sangat tinggi, apalagi jika para pihak yang berkonflik itu kemudian
merasa memiliki kekuatan yang setara, serta saling bisa mengukur
kekalahan dan kemenangan yang ada. Faktor lain yang menurut
Coser dapat mempersingkat durasi konflik adalah jika pemimpinnya
mampu membujuk para anggotanya untuk mengakiri konflik. Hal ini
membutuhkan dukungan sentralisasi kekuasaan, dan integrasi dari
kelompok yang berkonflik.
Coser juga merumuskan tentang fungsi konflik bagi masing-masing
pihak yang terlibat konflik sebagaimana digambarkan dalam Tabel 3.10
di bawah ini.
Tabel 3.10: Proposisi Fungsi Konflik bagi Masing-masing
Pihak dari Coser
Proposisi Pernyataan proposisi
I. Semakin keras atau intens konfliknya, maka konflik tersebut akan semakin
banyak menghasilkan:
A. Batasan yang jelas untuk setiap pihak yang berkonflik.
B. Struktur pengambilan keputusan terpusat untuk setiap pihak yang
berkonflik, terutama ketika pihak-pihak ini dibedakan secara struktural.
C. Solidaritas struktural dan ideologis di antara anggota masing-masing
pihak yang berkonflik, terutama bila konflik dirasakan berdampak
pada kesejahteraan semua segmen pihak yang berkonflik.
D. Penindasan atas perbedaan pendapat dan penyimpangan dalam
masing-masing pihak yang berkonflik serta pemaksaan kepatuhan
terhadap norma dan nilai.
II. Semakin banyak konflik antar pihak yang mengarahkan pusat kekuasaan
untuk memaksakan konformitas di dalam kelompok yang konflik, semakin
besar akumulasi permusuhan dan semakin besar kemungkinan konflik
internal kelompok muncul dalam jangka panjang.
Keterangan: Diterjemahkan dari Turner (1998: 175).
58 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
Menurut Coser, semakin keras atau intens suatu konflik, maka
akan menghasilkan beberapa hal, baik yang positif maupun negatif.
Diantaranya adalah diketahuinya batas yang jelas dari para pihak
yang berkonflik; struktur pengambilan keputusan yang terpusat;
terbangunnya solidaritas structural dan ideologis diantara para anggota
masing-masing pihak yang berkonflik; serta penindasan atas perbedaan
pendapat atau penyimpangan yang terjadi dalam kelompok yang
berkonflik.
Selain hasil sebagaimana tersebut di atas, menurut Coser, konflik
juga akan memiliki efek terkait kemungkinan munculnya konflik
internal di dalam kelompok, yakni apabila tekanan kepada kekuasaan
untuk melakukan konformitas sangat tinggi. Keadaan ini diduga
akan memicu terjadinya permusuhan internal kelompok, karena para
anggota yang ada akan terjebak dalam sikap pro dan kontra atas sikap
konformitas yang diambil oleh sang pemimpin kelompok.
Konflik sosial yang terjadi, menurut Coser, tidak hanya bermanfaat
bagi masing-masing pihak yang terlibat konflik, namun juga memiliki
kegunaan bagi sistem sosial masyarakat secara keseluruhan. Pemikiran
ini dapat dilihat dalam Tabel 3.11 di bawah ini.
Tabel 3.11: Proposi Fungsi Konflik bagi Social Whole dari Coser
Proposisi Pernyataan proposisi
I. Semakin unit-unit di dalam sistem berbeda dan secara fungsional memiliki
hubungan interdependensi, maka konflik akan cenderung sering terjadi
tetapi dalam tingkat kekuatan dan kekerasan yang rendah.
II. Semakin rendah kekuatan dan kekerasan suatu konflik, maka suatu konflik
akan cenderung:
A. Meningkatkan level inovasi dan kreativitas unit-unit sistem.
B. Melepaskan rasa permusuhan sebelum mereka mempertentangkan
unit-unit sistem.
C. Mendorong terwujudnya regulasi normative tentang relasi konflik
(conflict relations).
D. Meningkatkan kesadaran tentang isu-isu yang realistik.
E. Meningkatkan jumlah asosiasi koalisi diantara unit-unit sosial.
III. Semakin suatu konflik mendorong bagi terwujudnya 2 A dan 2 E, maka
akan semakin meningkat level integrasi sosial internal dari keseluruhan
sistem, sehingga akan meningkatkan pula kemampuan adaptasi terhadap
lingkungan eksternal.
Keterangan: Diterjemahkan dari Turner (1998: 175).
Proposisi Teori Konflik 59
Dalam proposisi Coser tentang fungsi konflik bagi keseluruhan
sistem sosial (social whole), dibangun tiga rumusan. Pertama, Coser
menyebut, jika sub-sub sistem secara fungsional memiliki fungsi yang
berbeda, maka aka nada kecenderungan untuk terjadi konflik antar
sub-sistem secara berkepanjangan, namun dalam level konflik yang
rendah. Kedua, jika konflik itu berada dalam level yang kekuatan dan
kekerasan yang lemah, maka konflik akan cenderung menghasilkan:
1) meningkatkan level inovasi dan kreativitas yang ada di dalam unit-
unit sistem, 2) pelepasan permusuhan terlebih dahulu, sebelum mereka
terlibat dalam pertentangan antar unit sistem, 3) terwujudnya regulasi
normatif untuk mengatur relasi dalam konflik, 4) meningkatkan
kesadaran tentang isu-isu yang realistic, serta 5) meningkatkan asosiasi
koalisi antar unit-unit sistem.
Coser menambahkan, bahwa semakin suatu konflik dapat
meningkatkan level inovasi dan kreativitas di dalam unit-unit sistem;
serta ada peningkatan pula kemuncullan asosiasi-asosiasi koalisi
antar unit-unit sistem, maka akan meningkatkan pula kemampuan
adaptasi suatu sistem yang berkonflik tersebut terhadap lingkungan
eksternalnya.
Beberapa proposisi sebagaimana dipaparkan di atas, baik dari
Karl Marx, Max Weber, Georg Simmel, Ralf Dahredorf, maupun Lewis
Coser merupakan bagian dari serangkaian pemikiran teoritisi klasik,
maupun modern tentang hukum sosial dari konflik yang terjadi.
Selain pemikiran-pemikiran tersebut, dapat pula daditelusuri karya
akademik lain yang juga mengkaji tentang konflik dalam perspektifnya
masing-masing. Diantaranya adalah dari Jonathan H. Turner tentang
Teori Konflik Sintetik sebagai hasil kerjasamanya dengan Dahrendorf
(Turner, 1998: 177 -183); selanjutnya juga ada karya para Neo Weberian
(Turner, 1998: 184 - 211), seperti: Randall Collins tentang pendekatan
analitik, Barrington Moore tentang perbandingan sejarah: asal usul
sistem dikatator dan demokrasi, Jefrey Paige tentang teori revolusi
agrarian, Charles Tilly tentang teori mobilisasi sumber, Theda Skocpol
teori tentang negara dan revolusi sosial, Jack Goldstone teori tentang
Kehancuran atau Kerusakan Negara.
60 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
(Halaman ini sengaja dikosongkan)
Ragam Teori Konflik 61
Bab IV
RAGAM TEORI KONFLIK
Teori konflik sering digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena
sosial, seperti: persaingan, ketimpangan struktural, perang, revolusi,
kemiskinan, diskriminasi, dan kekerasan. Prinsip utama teori konflik
berkaitan dengan konsep ketidaksetaraan sosial, ketidakmerataan
pembagian sumber daya, dan konflik yang terjadi di antara kelas sosial
ekonomi yang berbeda. Teori konflik merupakan teori sosiologi yang
berhubungan dengan pemikiran Karl Marx yang berusaha menjelaskan
peristiwa politik dan ekonomi dalam kerangka perjuangan kelas yang
berlangsung atas sumber daya yang terbatas. Dalam perjuangan kelas,
Marx menekankan hubungan antagonis yang terjadi antara kelas-kelas
sosial, yaitu kelas “borjuasi” dan kelas “proletariat”. Borjuis adalah
pemilik kapital (pemilik alat dan sarana produksi) dan kelas proletar
adalah pekerja (pemilik tenaga). Kedua kelas sosial ini ditemukan pada
masyarakat kapitalistik. Teori konflik memiliki pengaruh besar pada
pemikiran abad ke-19 dan ke-20 dan terus memengaruhi perdebatan
hingga hari ini. Saat ini teori konflik, tidak hanya melihat penyebab
konflik dari dimensi ekonomi saja, tetapi juga dari dimensi lain, seperti
ras dan suku, seks dan jender, agama dan keyakinan, kekuasaan,
kepentingan, ideologi dan lainnya.
Teori Konflik
(TK)
Konflik Konflik Marxis Kapitalis Konflik Konflik Konflik
Marx Struktural Internasional Realis Biologis Psikologis
Gambar 4.7: Peta Konsep Ragam Teori Konflik
Teori konflik juga menjelaskan tentang sebab-sebab terjadinya
konflik. Penyebab konflik sangat banyak dan kompleks sehingga
menimbulkan masalah analisis situasi konflik tertentu. Teori
dikembangkan untuk menyederhanakan penyebab dengan melihatnya
61
62 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
dalam kategori tertentu. Bab ini akan menjelaskan penyebab konflik
dari teori konflik Marx, teori struktural konflik, teori konflik Marxis,
teori kapitalis internasional, teori konflik realis, teori konflik biologi,
dan teori konflik psikologis.
A. Teori Konflik Karl Marx
Fokus penjelasan teori konflik Marx adalah konflik antara dua kelas
sosial masyarakat kapitalis, yaitu kelas borjuasi dan kelas ploretariat.
Masing-masing kelas terdiri dari sekelompok individu yang terikat oleh
kepentingan bersama dan kepemilikan sarana produksi pada tingkat
tertentu. Kelas borjuasi adalah sekelompok individu yang mewakili
anggota masyarakat sebagai pemegang mayoritas kekayaan dan alat
sarana produksi. Proletariat adalah kelompok yang hanya memiliki
tenaga dan tidak memiliki alat dan sarana produksi. Kelompok
ploretariat meliputi kelas pekerja atau kelas miskin.
Teori konflik Marx memusatkan perhatian pada “mode
produksi”dan “hubungan produksi”. Mode produksi merujuk pada
organisasi produksi ekonomi tertentu dalam masyarakat tertentu. Cara
produksi mencakup alat produksi yang digunakan oleh masyarakat
tertentu, seperti pabrik dan fasilitas lain, mesin, dan bahan mentah.
Ini juga mencakup tenaga kerja dan organisasi angkatan kerja. Istilah
hubungan produksi mengacu pada hubungan antara mereka yang
memiliki alat-alat produksi (kapitalis atau borjuasi) dan mereka
yang tidak (kaum buruh atau proletariat). Menurut Marx, sejarah
masyarakat berkembang melalui interaksi antara corak produksi dan
hubungan produksi. Cara produksi terus berkembang menuju realisasi
dari kapasitas produktifnya yang paling penuh. Evolusi semacam
ini menciptakan antagonisme di antara kelas-kelas manusia yang
ditentukan oleh hubungan produksi — pemilik dan pekerja.
Kapitalisme adalah cara produksi yang didasarkan pada
kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Para kapitalis memproduksi
komoditas untuk pasar pertukaran yang sangat kompetitif. Oleh
karena itu, kapitalis harus mengekstraksi sebanyak mungkin tenaga
kerja dari para pekerja dengan biaya serendah mungkin. Kepentingan
ekonomi kapitalis adalah membayar pekerja serendah mungkin, yang
hanya cukup untuk membuatnya bertahan hidup dan produktif. Para
pekerja, menyadari bahwa kepentingan ekonomi mereka terletak pada
Ragam Teori Konflik 63
pencegahan kapitalis untuk mengeksploitasi mereka dengan cara ini.
Hubungan sosial produksi secara inheren bersifat antagonis, sehingga
menimbulkan perjuangan kelas yang menurut Marx akan mengarah
pada penggulingan kapitalisme oleh kaum proletar. Kaum proletariat
akan mengganti corak produksi kapitalis dengan corak produksi yang
didasarkan pada kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi, yang
disebut komunisme.
Kaum borjuasi memiliki dan mengontrol alat dan sarana produksi,
yang mengarah pada eksploitasi karena motif keuntungan. Dalam
pengaturan ini, kaum proletar hanya memiliki tenaga untuk dijual,
dan tidak memiliki atau mengendalikan modal. Kondisi semacam ini
memunculkan kesadaran palsu. Kesadaran palsu adalah istilah Marx
untuk menjelaskan ketidakmampuan kaum proletar melihat posisinya
yang sebenarnya di dalam sistem kelas, sebuah kesalahan pengakuan
yang diperumit oleh kontrol yang sering dilakukan oleh kaum borjuis
atas saluran media yang menyebarkan dan menormalkan informasi. Ini
merupakan kendala struktural yang mencegah pekerja untuk bergabung
bersama dalam kesadaran kelas, atau identitas kelompok yang sama
sebagai kaum proletar yang dieksploitasi dan calon revolusioner.
Gambar 4.8 : Piramida Sistem Kapitalis
Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/File:Pyramid_of_Capitalist_System.png
64 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
Dengan bangkitnya kapitalisme, kelas borjuasi menggunakan
pengaruhnya untuk menindas proletariat (sebagai kelas mayoritas).
Cara berpikir ini terkait dengan gambaran umum tentang teori
konflik berbasis masyarakat; penganut filosofi ini cenderung percaya
pada pengaturan piramida dalam hal bagaimana barang dan jasa
didistribusikan di masyarakat; di puncak piramida adalah sekelompok
kecil elit yang mendikte syarat dan ketentuan kepada sebagian besar
masyarakat karena mereka memiliki kendali yang sangat besar atas
sumber daya dan kekuasaan. Berikut ini ditampilkan piramida sistem
kapitalis.
Gambar di atas menunjukkan bahwa kapitalis (borjuis) yang
jumlahnya sedikit, menduduki posisi paling atas dan dapat mengatur
struktur kekuasaan di bawahnya. Dalam piramida tersebut, kapitalis
adalah kelompok elit. Jumlahnya sedikit, tetapi memiliki kekuasaan
mengatur atau memengaruhi lapisan di bawahnya. Struktur kekuasaan
yang dikendalikan oleh kapitalis adalah pemerintah (we rule you),
yang berwenang membuat berbagai peraturan yang menguntungkan
kapitalis. Lembaga peradilan (we fool you), adalah lembaga yang memiliki
kewenangan untuk menegakkan keadilan demi kepentingan kapitalis.
Militer (we shoot at you) adalah institusi yang memiliki kewenangan
untuk menjaga keamanan dan pertahanan alat dan sarana produksi
yang dimiliki kapitalis. Orang-orang kaya (we eat for you) adalah kelas
sosial yang menikmati jerih payah kelas proletar atau kelas pekerja.
Orang-orang kaya inilah yang menopang keberlangsungan kapitalis
secara ekonomi. Sementara pada lapisan paling bawah adalah pekerja
(proletar) yang bekerja (we work for all) dan memberi makan untuk semua
(we feed all) lapisan di atasnya.
Ayat Tembakau Hilang dari Undang-undang Kesehatan
Oleh : Tempo.co
Rabu, 7 Oktober 2009 15:52 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta - Ayat yang mengatur tembakau hilang
dari UU Kesehatan yang telah disahkan dalam sidang Paripurna DPR
bersama pemerintah pertengahan September 2009. Ayat dalam pasal 113
yang mengatur pengamanan zat adiktif tersebut, raib sebelum undang-
undang ditandatangani oleh presiden dan dicatat dalam lembar negara di
Sekretariat Negara.
Ragam Teori Konflik 65
Ayat 2 yang hilang itu berbunyi “Zat adiktif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau
padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat
menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/ atau masyarakat sekelilingnya”.
Namun, dalam bagian penjelasan pasal 113 masih terdiri dari tiga ayat
termasuk penjelasan tentang ayat 2.
Cuplikan berita tersebut di atas, dapat dijadikan contoh, bahwa
kapitalis (pengusaha produk tembakau/zat adiktif) dapat mengontol
pemerintah (legislatif dan eksekutif) pada saat pembentukan undang-
undang. Pasal-pasal yang dianggap dapat merugikan keberlangsungan
pengusaha dapat dihilangkan melalui negosiasi di balik layar.
Distribusi yang tidak merata dalam masyarakat kapitalis
dipertahankan melalui paksaan ideologis; kaum borjuasi akan
memaksakan penerimaan kondisi saat ini oleh proletariat. Teori konflik
mengasumsikan bahwa elit akan membentuk sistem hukum, tradisi, dan
struktur masyarakat lainnya untuk lebih mendukung dominasi mereka
sendiri sambil mencegah orang lain bergabung dengan lapisan mereka.
Marx berteori bahwa, ketika kelas pekerja dan orang miskin mengalami
kondisi yang semakin buruk, kesadaran kolektif akan meningkatkan
kesadaran tentang ketidaksetaraan, dan ini berpotensi menghasilkan
pemberontakan.
Sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai sekarang adalah
sejarah perjuangan kelas. Freeman dan budak, bangsawan dan
kampungan, tuan dan budak, guild-master dan pekerja harian, dengan
kata lain, penindas dan tertindas, berdiri dalam pertentangan konstan
satu sama lain, melakukan pertarungan secara tersembunyi, ataupun
terbuka, pertarungan yang masing-masing waktu berakhir, baik dalam
re-konstitusi revolusioner masyarakat pada umumnya, atau dalam
kehancuran bersama kelas-kelas yang bersaing. (Marx & Engels, 1998: 35).
Menurut Marx (dalam Turner: 1998: 156-157), sepanjang sejarah
perjalanan kehidupan manusia, materi akan menjadi faktor determinan
utama. Siapa saja yang dapat menguasai materi (means of production atau
economic materials), maka ia bisa mendapatkan segala yang diinginkannya.
Menurutnya, keberadaanlah (existence) yang menentukan kesadaran
(consciousness), bukan kesadaran yang menentukan keberadaan.
Manusia bukanlah pancaran dari ide-idenya, melainkan merupakan
66 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
fungsi dari keberadaannya dalam struktur sosial. Untuk memperjelas,
bahwa sejarah perjalanan masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas,
berikut ini ditampilkan tahapan sejarah konflik antar kelas. Tahapan
komunisme, sebagaimana yang diangankan oleh Marx tidak pernah
terjadi sampai saat ini, karena pada dasarnya tidak ada masyarakat
tanpa kelas dan tanpa konflik. Pada titik inilah, pemikiran Marx tentang
masyarakat komunisme tidak pernah terjadi dan dianggap utopia.
Tabel 4.12: Tahapan Sejarah dan Konflik Kelas di Setiap Tahap
Tahapan Kelas yang menindas Kelas tertindas
Primitif komunisme
Perbudakan Tidak ada kelas = tidak ada konflik
Feodalisme
Kapitalisme Pemilik budak Budak
Sosialisme
Komunisme Pemilik tanah Penggarap tanah
Borjuis Proletariat
Manager negara Pekerja
Tidak ada kelas = tidak ada konflik
B. Teori Konflik Struktural
Teori konflik struktural mencoba menjelaskan konflik sebagai
produk dari ketegangan antar struktur yang muncul ketika mereka
bersaing untuk mendapatkan sumber daya yang langka. Beberapa
contoh konflik strktural adalah konflik kelompok Syiah dan Sunni di
Irak, konflik antara kulit hitam dan putih di Amerika Serikat (rasisme
struktural), konflik Partai Demokrat dan Partai Republik di Amerika
Serikat, konflik ideologi liberal (barat) dan komunisme (timur), konflik
antara perkebunan dan petani, konflik antara perusahaan dan buruh,
konflik antara pemerintah dan rakyat, konflik peran antara kelompok
laki-laki dan perempuan secara budaya, dan lain sebagainya.
Argumen utama dalam teori konflik struktural, bahwa konflik
diciptakan ke dalam cara-cara tertentu dalam menyusun atau mengatur
masyarakat. Teori konflik struktural mengidentifikasi kondisi seperti
pengucilan sosial, perampasan, penindasan, ketidaksetaraan kelas,
ketidakadilan, marjinalisasi politik, ketidakseimbangan gender,
segregasi rasial, eksploitasi ekonomi, hegemoni budaya, dominasi
politik, dan sejenisnya, yang kesemuanya sering menimbulkan konflik
(Oakland, 2005).
Ragam Teori Konflik 67
Teoriti konflik struktural juga melihat bahwa konflik terjadi karena
sifat eksploitatif dan tidak adil dari masyarakat manusia atau karena
dominasi satu kelas oleh kelas lain. Teori ini kurang memihak dalam
melihat penyebab konflik. Teori konflik struktural tidak melihat sisi
terang dari keragaman ras atau etnis dan kekuatan yang dapat diperoleh
masyarakat dari pluralisme. Teori konflik struktural menekankan
perspektif makro, mengkaji masyarakat secara keseluruhan dan
bagaimana struktur sosial tersebut membentuk perilaku dan gagasan
dari para anggota masyarakat (Brym & Lie, 2009).
Meminjam perspektif paradigma sosiologi yang dibangun
oleh George Ritzer, maka teori konflik struktural ini berada dalam
paradigma fakta sosial (social fact paradigm), yang memandang bahwa
realita itu (dalam buku ini: konflik sosial) diatur (regulated), dikonstruksi
(constructed), dibentuk (formulated), atau dipengaruhi (influenced) oleh
eksternal faktornya (by their externals factors). Dalam kaitan dengan
kajian konflik sosial, manusia sebagai anggota masyarakat itu tunduk
dan patuh pada struktur sosial makro obyektifnya. Dalam paradigma
ini, manusia sebagai anggota masyarakat itu tunduk dan patuh pada
eksternal faktornya. Misalnya, budaya, dan sub-budaya, hukum, dan
aturan. Manusia itu bukan aktor bagi dirinya.
C. Teori Konflik Marxis
Teori konflik marxis merupakan teori konflik yang berakar dari
pemikiran konflik Karl Marx, namun kemudian direvisi oleh para
pengembangnya sesuai dengan hasil kajian ilmiahnya masing-masing.
Sebagaimana Karl Marx, para Marxian juga membagi strata atau
pelapisan sosial masyarakat hanya menjadi dua, yakni the have and the
have not, the rulling class and the ruled class, superordinat dan subordinat,
dan taksonomi konflik lain yang serupa.
Jika Karl Marx kekeh meyakini bahwa faktor diterminan (the
determinant factors) dalam konflik adalah ekonomi, maka para
pendukungnya (Marxian), selain menempatkan ekonomi sebagai salah
satu faktor penyebab, mereka juga mengintrodusir faktor penyebab
lain, seperti politik, budaya, serta sosiologis.
Pemikiran konflik marxis sangat simpel, atau sederhana, sehingga
mudah dipahami, namun cenderung menaifkan realita kompleksitas
68 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
pelapisan atau strata sosial. Dalam kenyataannya, kita tidak bisa hanya
mengkategorikan klas sosial hanya menjadi dua klas saja. Pembagian klas
sosial oleh para Marxian itu sesungguhnya hanya untuk mempermudah
analisa saja, namun tidak sejalan dengan potret sosial yang berkembang.
Dalam sepanjang sejarahnya, kedua pelapisan sosial ini akan selalu
terlibat dalam konflik sosial untuk memperjuangkan kepentingan
kelompoknya masing-masing, dan/atau bahkan kepentingan pribadi
(vested interest) dari para aktor yang ada. Salah satu contoh teoritisi
konflik marxis yang terkenal adalah Ralf Dahrendorf dengan teori
konflik dialektiknya.
Salah satu pandangan kamu Marxis yang menarik adalah manakala
mereka memandang bahwa negara itu sendiri adalah produk dari
antagonisme kelas yang tidak dapat didamaikan (Lenin, 1917). Oleh
karena itu, negara disusun untuk terus berada dalam keadaan konflik.
Kelompok orang kaya mengontrol negara untuk mempertahankan
kekayaannya, meskipun untuk mencapai tujuan itu harus mengorbankan
kelompok orang miskin sekalipun.
Menurut kaum Marxis, kelompok orang kaya kapitalistik itu
berada di dalam jantung negara, sehingga mereka bisa dengan leluasa
mempengaruhi kebijakan yang eksploitatif dan menindas, baik dengan
cara yang terang-terangan (misal melalui pembuatan undang-undang,
dan/atau produk hukum yang koersif), maupun dengan cara yang halus
(misal, rancangan hegemoni ideologi).
D. Teori Konflik Kapitalis Internasional
Teori ini menjelaskan tentang sejarah kolonialisme dan imperialisme.
Menurut Hobson (2006; 192), dalam bukunya yang berjudul, Imperialism:
A Study, dorongan eksternal negara-negara barat yang didorong oleh
Revolusi Industri mulai menciptakan banyak platform atau program
yang bisa menimbulkan konflik. Pencarian bahan mentah, kebutuhan
untuk menginvestasikan surplus modal dan mencari pasar baru di
luar Eropa memaksa jalur imperialis karena negara-negara barat mati-
matian mencari pasar, bahan mentah dan iklim investasi seperti itu
dengan mengorbankan perdamaian dan kemakmuran penduduk lokal
di tempat yang ada. Ini menyebabkan kolonisasi, serta benturan budaya
dan peradaban dan akhirnya konflik. Penjelasan semacam ini sangat
Ragam Teori Konflik 69
sesuai dengan kolonialisme yang dilakukan Belanda di Nusantara
(Indonesia) selama tiga setengah abad. Belanda ke Nusantara dalam
rangka mencari rempah-rempah yang banyak tersedia di negara
kepulauan tersebut.
Hobson sangat skeptis tentang tujuan dan klaim pemikiran
imperialistik pada saat kekaisaran Inggris menguasai sebagian besar
dunia. Untuk mengkritik apa yang dia lihat sebagai pandangan
politik yang beralasan salah dan tidak bermoral. Hobson mengambil
pendekatan analitis yang tajam terhadap praktek imperialisme. Hobson
tidak setuju pada pendapat yang mengatakan, bahwa imperialisme
adalah persoalan nasionalisme. Menurutnya, imperialisme adalah
produk kapitalisme. Bahwa imperialisme bukanlah masalah ideologi
politik, tetapi lebih merupakan produk dari kebutuhan mendesak
untuk membuka pasar baru dan memperbaiki stagnasi ekonomi di
dalam negeri.
Imperialisme dengan demikian menjadi tahap terakhir dan tertinggi
dari kapitalisme (Lenin, 1917: 43). Teori kapitalisme internasional ini
menjelaskan kolaborasi pasar keuangan dan modal Barat yang tujuan
utamanya adalah untuk memperkuat dan memperluas pengaruh
ekonomi ke seluruh dunia, serta memanfaatkannya untuk eksploitasi
ekonomi negara-negara berkembang, sehingga diantara dampaknya
adalah terciptanya ketidakseimbangan antara negara-negara Utara dan
Selatan sampai dengan saat ini.
E. Teori Konflik Ekonomi
Teori konflik ekonomi menjelaskan, bahwa penyebab konflik
adalah arus bawah ekonomi, diantaranya sumber daya atau nilai dan
kelangkaan. Orang mencari kekuasaan, karena kekuasaan merupakan
alat untuk mencapai tujuan (utamanya tujuan ekonomi). Perselisihan
masyarakat atas lahan pertanian, ladang penggembalaan, sumber daya
air, dan lain-lain, dan kelompok-kelompok memperebutkan kekuasaan
atas alokasi sumber daya atau pendapatan yang langka. Kelangkaan,
keinginan, kebutuhan, atau ketakutan akan kelangkaan seringkali
menjadi pendorong kekuatan politik, perselisihan untuk penguasaan
sumberdaya, dan lain sebagainya. Dengan demikian, konflik tidak
dibuat-buat dalam perjalanan ketakutan atau ancaman kelangkaan yang
70 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
begitu nyata. Sama seperti ketakutan akan kemiskinan dan kekurangan
bisa menyebabkan penipuan atau korupsi; begitu juga ancaman atau
kelaparan nyata, perampasan, salah kelola sumber daya yang langka,
dapat mendorong konflik atas kendali sumber daya.
Konflik adalah fenomena manusia yang ada di mana-mana dan
terus berulang secara permanen. Sebagian besar konflik ini disebabkan
secara ekonomi, dan telah menghambat sains, teknologi, dan keamanan
negara bangsa. Ada penjelasan/pendekatan berbeda untuk memahami
konflik di seluruh dunia. Kenyataannya adalah bahwa ini dapat
dijelaskan menggunakan indeks ilmiah dan non-ilmiah. Teori konflik
ekonomi menjelaskan alasan, pemicu, katalisator, ruang lingkup, dan
pencerahan mengapa konflik terjadi. Untuk mengurangi dampak
konflik ekonomi, Charles & Osah (2018) menyarankan perlunya keadilan
ekonomi, penciptaan pertahanan dan keamanan yang kuat, pendidikan
nasionalisme, perlindungan hak asasi manusia dan pembangunan
infrastruktur berkelanjutan dari masyarakat yang rentan terhadap
konflik yang timbul dari indeks ekonomi.
Teori konflik ekonomi sering menentukan hubungan terbalik
antara kondisi ekonomi dan kejahatan. Dukungan empiris anggapan ini
dalam analisis deret waktu, telah diungkapkan secara tidak konsisten
dalam literatur, di mana hasil positif, terbalik, dan nol semuanya
telah ditemukan. Sebagian dari masalah ini mungkin disebabkan oleh
ketidakmampuan ukuran tradisional tentang deprivasi ekonomi untuk
sepenuhnya menangkap dinamika pasar ekonomi yang berubah.
F. Teori Konflik Realistik (Realistic Conflict Theory)
Sejauh manusia hidup dengan 'emosi', konflik akan tetap menjadi
bagian dari lingkungannya. Selama manusia menjadi 'hewan politik'
(zoon politicon) dengan kepentingan yang berbeda dari yang lain, konflik
kepentingan akan tetap menjadi ciri masyarakat. Lebih penting lagi,
selama ada sumber daya yang langka di mana kebanyakan pria dengan
ambisius mencari kenyamanan atau kendali atas sumber daya, konflik
tidak dapat dihindari. Teori konflik realis menggambarkan konflik
sebagai produk dari sifat egois bawaan manusia, yang terus mengejar
kepentingan terbaiknya sendiri. Sifat egois manusia ini mengarah
pada “proses persaingan” antara para aktor yang berusaha memiliki
Ragam Teori Konflik 71
semua atau sebagian besar sumber daya yang tersedia. Atribut seperti
itulah yang dibawa ke tingkat antar negara, yang mengarah pada
perilaku tidak menentu, kecenderungan hegemonik, imperialisme,
dan sebagainya, yang dapat mendorong perlawanan serta oposisi yang
kejam dan akibatnya memanaskan sistem internasional.
Ketika sumber daya terbatas, maka ini mengarah pada konflik,
prasangka dan diskriminasi antara kelompok yang mencari sumber
daya bersama tersebut. Begitu permusuhan muncul, sangat sulit untuk
kembali ke hubungan normal dan perselisihan yang berkelanjutan
dapat muncul (Levine & Campbell, 1972).
Teori konflik realis adalah model sosial yang mencoba menjelaskan
mengapa prasangka, stereotip negatif, dan diskriminasi berkembang
terhadap anggota kelompok sosial lain. Status sosial ekonomi, etnis,
dan gaya hidup yang berbeda seringkali merupakan contoh faktor yang
memisahkan orang ke dalam kelompok yang berbeda (Jackson, 1993).
Teori konflik realis adalah teori sosial yang menyatakan bahwa konflik
dapat muncul di antara berbagai kelompok orang yang memiliki tujuan
berbeda dan bersaing memperebutkan sumber daya yang terbatas.
Jika konflik berasal dari konflik atas sumber daya yang langka, maka
konflik berkurang ketika kerjasama menghasilkan lebih banyak sumber
daya bersama. Untuk mengurangi prasangka, tujuan-tujuan yang lebih
tinggi dapat dibuat. Di sinilah sumber daya hanya dapat dimenangkan
jika kelompok bekerja sama daripada bersaing (Sherif, M., et.all, 1961).
Gambar 4.9: Sengketa Lahan
Sumber: https://rakyatmaluku.com/tanah-dati-di-ambon-sudah-tak-murni-lagi/
72 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
Ketika dua atau lebih kelompok bersaing memperebutkan sumber
daya yang terbatas (baik yang nyata atau dianggap kelangkaan) perasaan
prasangka dan stereotip negatif dapat berkembang ke arah kelompok
lain. Konflik dan sikap negatif terhadap kelompok lain dapat dikurangi
jika kedua kelompok memiliki tujuan yang superordinat (tujuan yang
saling menguntungkan bagi kedua kelompok dimana kedua kelompok
perlu berpartisipasi untuk mencapai tujuan).
Teori konflik realis menyatakan bahwa setiap kali ada dua atau
lebih kelompok yang mencari sumber daya terbatas yang sama, hal
ini akan menimbulkan konflik, stereotip dan kepercayaan negatif, dan
diskriminasi antar kelompok. Konflik dapat meningkatkan permusuhan
terhadap kelompok dan dapat menyebabkan perseteruan yang terus
berkembang.
Konflik, stereotip dan keyakinan negatif, dan diskriminasi antar
kelompok dapat dikurangi dalam situasi di mana dua atau lebih
kelompok berusaha untuk mendapatkan beberapa tujuan yang lebih
tinggi. Tujuan superordinat adalah tujuan yang diinginkan bersama
yang tidak dapat diperoleh tanpa partisipasi dua atau lebih kelompok.
Seringkali, orang melihat persaingan karena memperebutkan
sumber daya yang langka padahal sumber daya yang tersedia cukup.
Misalnya, karena turunnya angka kelahiran dan populasi yang menua,
sebagian besar negara Eropa membutuhkan imigran untuk datang dan
melakukan pekerjaan serta membayar pajak - ada banyak pekerjaan
yang perlu dilakukan oleh imigran.
Allport (1954) mengajukan hipotesis kontak, yang mengatakan
bahwa semakin banyak orang melakukan kontak dengan kelompok
luar, semakin berkurang prasangkanya pada orang lain. Ini disebut
“rekonseptualisasi kategori kelompok”. Kelompok harus bekerja sama
menuju tujuan yang lebih tinggi, kelompok tersebut harus memiliki
status yang sama ketika mereka bertemu. Allport (1954) menambahkan
bahwa perlu ada kontak pribadi antara kelompok - mereka harus
berbaur dan saling mengenal untuk menantang stereotip.
G. Teori Konflik Biologis (Biological Conflict Theory)
Teori ini menjelaskan bahwa sifat manusia secara genetik diturunkan
dari generasi ke generasi. Orang tua secara genetik menurunkan ciri-ciri
Ragam Teori Konflik 73
biologis, sifat-sifat, dan kecerdasannya kepada keturunannya (anaknya).
Begitu pula sifat jahat manusia dapat diturunkan secara genetik.
Argumennya, karena nenek moyang manusia secara naluriah adalah
makhluk yang kejam dan sejak berevolusi, manusia memiliki impuls
agresif atau destruktif dalam gennya Teori ini menjelaskan bahwa
ledakan impuls kekerasan yang tak tertahankan dianggap berasal dari
kecenderungan biologis yang tetap. Oleh karena itu, agresi terjadi secara
spontan dan tidak dapat dikendalikan. Pemikiran ini menggarisbawahi
asumsi tentang kebesaran orang, marga atau keluarga tertentu; atau
kebanggaan, arogansi dan agresivitas suatu bangsa atau kelompok
tertentu.
Konflik bersenjata dan konsekuensinya dapat dijelaskan dengan
teori konflik biologis. Dalam buku, Sex and War: How Biology Explains
War and Terrorism and Offers a Path to a Safer World, Potts & Hayden
(2008) berpendapat bahwa peperangan dan terorisme tertulis dalam
DNA manusia. Tapi itu bukan berarti umat manusia ditakdirkan untuk
masa depan yang kejam seperti masa lalu. Memahami dasar biologis
dari naluri berperang, memberi harapan terbaik untuk mengurangi
frekuensi dan kebrutalan peperangan.
Gambar 4.10: Lukisan Perang Dunia II Karya Tom Lea
Sumber: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2597015/lukisan-ini-gambarkan-
tragisnya-perang-dunia-ii diunduh 23 Januari 2021 pukul 17.52.
Secara biologis, perang adalah perilaku yang tidak biasa — sangat
sedikit hewan yang sengaja membunuh anggota spesiesnya sendiri.
Bersama dengan simpanse, yang berbagi nenek moyang evolusioner
74 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
yang sama, manusia memiliki kecenderungan perilaku yang langka dan
mengerikan. Laki-laki muda, dalam masa puncak kehidupan, cenderung
bersatu dan menyerang anggota kelompok tetangga. Konflik yang saat
ini sedang berlangsung di beberapa negara semuanya memiliki banyak
penyebab langsung — politik, agama, lingkungan, dan lainnya. Namun,
bertentangan dengan keyakinan lama tentang akar budaya perang,
bahwa perilaku yang memungkinkan pembantaian sistematis terhadap
manusia lain didasarkan pada serangkaian kecenderungan perilaku
yang berkembang, yang disebut “agresi tim.”
Siapa pun yang pernah bertempur, bahwa dia berjuang bukan untuk
bendera, atau demokrasi, atau abstraksi lain, tetapi untuk temannya di
parit, pasangannya di kapal torpedo, atau prajurit di sebelahnya dengan
kendaraan lapis baja. Kesetiaan yang kuat untuk rekan, bersama dengan
hilangnya empati untuk anggota musuh, berada di jantung agresi tim,
peperangan dan terorisme. Kecenderungan ini sudah ada sejak lebih dari
tujuh juta tahun yang lalu sejak pertempuran awal nenek moyang kera
untuk bertahan hidup. Pemenang konflik yang tak terhitung banyaknya
atas sumber daya, wilayah, dan hak untuk kawin merupakan sifat yang
diwariskan. Sifat warisan ini ada dalam perilaku dan dorongan konflik
yang mematikan, bahkan ketika solusi konflik sudah tersedia.
Pertanyaan besarnya bukanlah, “Mengapa perang pecah?”
melainkan, “Mengapa perdamaian pecah?”. Memahami akar biologis
perang dapat mengarahkan pada kebijakan untuk meningkatkan
kemungkinan perdamaian, yang juga memiliki akar yang kuat dalam
biologi manusia. Langkah pertama menuju perdamaian adalah
melakukan segala kemungkinan untuk memberi perempuan kekuatan
pengambilan keputusan yang lebih besar di masyarakat. Agresi tim
pada dasarnya adalah dorongan laki-laki, dan perempuan cenderung
kompetitif dan mampu bertarung dengan berani dan ganas. Dalam
perjalanan panjang sejarah manusia tidak ada satu pun catatan tentang
perempuan yang bersatu secara spontan untuk menyerang tetangga
mereka. Potts & Hayden (2008) berpendapat bahwa ketika perempuan
memiliki lebih banyak hak pilihan, masyarakat menjadi kurang suka
berperang.
Ukuran populasi dan tingkat pertumbuhan adalah dua faktor
kunci dalam pencarian perdamaian. Pertumbuhan populasi yang
cepat meningkatkan persaingan atas sumber daya, meningkatkan
Ragam Teori Konflik 75
pengangguran, dan meningkatkan rasio laki-laki muda dan laki-
laki yang lebih tua, dan semua faktor ini membantu memfasilitasi
ekstremisme dan kekerasan. Akan tetapi, pengalaman menunjukkan
bahwa ketika perempuan memiliki kesempatan untuk mengontrol
kesuburan mereka sendiri, ukuran keluarga dan pertumbuhan populasi
menurun — menunjukkan bahwa program keluarga berencana sukarela
yang dapat diakses merupakan alat yang ampuh untuk perdamaian.
Ada pepatah: “Jika Anda menginginkan perdamaian, pahami perang.”
Potts & Hayden (2008) berpendapat bahwa memahami perang juga
berarti memahami biologi dan sejarah evolusi manusia. Jika dapat
melakukannya, maka dapat menemukan lebih banyak cara untuk
membantu biologi perdamaian memenangkan biologi perang.
H. Teori Konflik Psikologis (Frustrasi-Kemarahan-Agresi)/
(Psychological Conflict Theory)
“Sejumlah Pendukung Trump Ingin Wapres AS Digantung karena
Dianggap Berkhianat”
Massa pendukung Trump melanggar penghalang di Gedung Capitol,
masuk ke dalam gedung, dan menggeledah kantor anggota Kongres
AS. Aparat keamanan lantas berusahan sekuat tenaga menghalangi para
perusuh dan mengevakuasi anggota Kongres AS dan Pence sebagaimana
dilansir dari Business Insider, Jumat (8/1/2021) pekan lalu. Situasi dalam
kerusuhan tersebut cukup mencekam, sejumlah staf Gedung Putih
mencoba berlindung di dalam kantor. Kerusuhan tersebut mengakibatkan
lima orang tewas. Salah satunya adalah seorang wanita yang tewas setelah
tertembak. Seorang petugas Kepolisian Capitol juga tewas karena dipukul
hingga tewas oleh para pendukung presiden Trump, sedangkan tiga orang
lainnya meninggal karena keadaan darurat medis (Kompas.com. Senin, 11
Januari 2021. Pukul 11.11 WIB).
Cuplikan berita tersebut di atas menunjukkan perilaku marah dan
agresi sebagai akibat frustasi pendukung presiden Amerika Serikat
Donald Trump yang kalah dari Joe Bidden dalam pemilihan presiden.
Frustasi, kemarahan dan agresi merupakan wujud konflik yang bersifat
psikologis. Hipotesis konflik psikologis adalah wajar bagi manusia
untuk bereaksi terhadap situasi yang tidak menyenangkan. Hipotesis ini
diambil dari teori agresi-frustrasi yang dikemukakan oleh Dollard, dkk
76 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
(1939), dan dikembangkan lebih lanjut oleh Miller (1948) dan Berkowitz
(1969). Dollard dkk. menyatakan bahwa dalam setiap frustrasi selalu
menimbulkan perilaku agresi. Walaupun frustrasi menimbulkan
perilaku agresi tetapi perilaku agresi dapat dicegah jika ada hukuman
terhadap perilaku agresi. Teori tersebut mengatakan bahwa agresi adalah
hasil dari menghalangi, atau membuat frustrasi, upaya seseorang untuk
mencapai suatu tujuan. Frustrasi digambarkan sebagai perasaan yang
didapatkan ketika seseorang tidak mendapatkan apa yang diinginkan.
Atau ketika sesuatu mengganggu pencapaian tujuan yang diinginkan.
Kemarahan menyiratkan perasaan marah sebagai respons terhadap
frustrasi atau cedera; sedangkan agresi mengacu pada luapan emosi
(Tucker-Lad, 2013).
Teori agresi frustasi menyatakan bahwa agresi disebabkan oleh
frustasi. Ketika seseorang dihalangi untuk mencapai targetnya, dia
menjadi frustrasi. Frustrasi ini kemudian bisa berubah menjadi amarah
dan kemudian agresi ketika sesuatu memicunya. Ketika harapan
gagal untuk mencapai tujuan, kecenderungannya adalah orang-orang
menghadapi orang lain yang mereka anggap bertanggung jawab atas
kegagalan tersebut. Hal ini membuat frustrasi atas ambisi yang tidak
tercapai, dan selanjutnya menggunakan orang lain untuk melampiaskan
rasa frustrasinya. Ketika agresi tidak dapat diekspresikan terhadap
sumber frustrasi yang sebenarnya, permusuhan dapat ditargetkan
untuk menggantikan objek, yaitu, agresi ditransfer ke objek alternatif.
Hipotesis frustrasi-agresi dikembangkan Berzkowitz menjadi perspektif
cognitive neo assiciationist pada tahun 1990. Perspektif ini menyatakan
bahwa peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan akan menstimulasi
perasaan negatif (afek negatif). Perasaan negatif akan menstimulasi
secara otomatis berbagai fikiran, ingatan, respon fisiologis, dan reaksi
motorik; yang berasosiasi dengan reaksi melawan atau menyerang.
Asosiasi ini menimbulkan perasaan marah dan takut.
Hasil studi Bohm, Rusch & Baron (2020) tentang konflik
antarkelompok dalam perspektif psikologi, menunjukkan bahwa
pertama, hasil studi menguraikan perspektif psikologis tentang
bentuk dan fungsi kelompok. Kedua, menyajikan teori psikologis yang
paling berpengaruh tentang konflik antarkelompok dan menjelaskan
persamaan dan perbedaan dalam memprediksi prasangka individu,
diskriminasi, dan keterlibatan konflik. Ketiga, meninjau ukuran
Ragam Teori Konflik 77
populer dari diskriminasi antarkelompok, termasuk ukuran penilaian,
tindakan perilaku, dan tugas alokasi. Keempat, menyoroti beberapa
intervensi yang dapat menghilangkan bias hubungan antarkelompok
dan memfasilitasi resolusi konflik. Kelima, penelitian tentang psikologi
konflik antarkelompok dapat memperoleh manfaat dari orientasi
interdisipliner yang lebih kuat mengenai perspektif teoritis dan metode
yang digunakan dan menunjukkan jalan yang menjanjikan untuk
penelitian di masa depan.
Gambar 4.11: Tokoh Stoick dan Hiccup dalam Film Animasi
“How to Train Your Dragon”
Selain studi di atas, Dewinta (2019) melalui penelitiannya yang
berjudul “Psychological Conflict between Characters of Father and Son in
Animated Movie How to Train Your Dragon” mencoba mengungkap
konflik secara psikologis. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh
ketertarikan Dewinta pada konflik dalam film Animated Movie How to
Train Your Dragon. Fokus analisis ditujukan pada dua tokoh antagonistis
antara Sang Kepala Suku Viking (Stoick) yang berperawakan kuat dan
Hiccup, anaknya yang memiliki fisik lemah. Ayah dan anak ini memiliki
pandangan yang berbeda tentang keberadaan naga. Konflik internal
antara ayah dan anak dianalisis secara psikologi. Analisis psikologi
digunakan untuk menjelaskan perselisihan ego antara tokoh Stoick
(ayah) dan Hiccup (anak) dan bagaimana keduanya mempertahankan
78 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
egonya masing-masing. Analisis tokoh dan konflik dilakukan untuk
memahami penokohan dan konflik yang terjadi pada kedua tokoh
utama. Pendekatan psikologi digunakan untuk menganalisis perilaku
dan kepribadian tokoh guna mengetahui alasan munculnya konflik
internal pada dua karakter tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa
secara psikologi, ego dan perilaku mereka didorong oleh superego.
Perbedaan superego dan hubungan antara ayah dan anak membuat
konflik semakin rumit. Konflik tersebut berakhir setelah Stoick
menerima ego anaknya yang kemudian berpengaruh besar terhadap
hubungan mereka berdua.
Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 79
Bab V
PENERAPAN TEORI KONFLIK PADA
ILMU-ILMU SOSIAL
Publik memahami, bahwa teori konflik itu identik dengan karya Karl
Marx yang menjelaskan konflik berdasarkan determinasi ekonomi
(economic determinism theory). Teori konflik Marx menjadi salah satu
teori ilmu sosial klasik dan diposisikan sebagai teori besar (grand theory).
Kajian atau penelitian dengan tema konflik, seolah “wajib” merujuk
pemikiran Marx. Saat ini perkembangan teori konflik telah merambah
pada ilmu-ilmu di luar sosiologi, seperti ilmu komunikasi, hubungan
internasional, pekerjaan sosial, ilmu politik, dan ilmu sosial lainnya.
Pada bab ini, akan dijelaskan penerapan teori konflik pada lima ilmu
tersebut di atas. Meskipun, ilmu-ilmu yang ada di bawah rumpun ilmu
sosial dan politik bukan hanya sebatas kelima ilmu tersebut. Dipilihnya
kelima bidang ilmu tersebut, karena penulis mengajar di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM) yang memiliki program studi Ilmu Kesejahteraan Sosial,
Ilmu Komunikasi, Ilmu Pemerintahan, Sosiologi, dan Hubungan
Internasional. Atas dasar itulah, buku ini ditulis agar menjadi salah satu
buku referensi untuk mahasiswa ilmu sosial dan ilmu politik.
A. Konflik dalam Perspektif Sosiologi
Perhatikan gambar di bawah? Jawaban mana yang benar tentang
jumlah balok? Menurut Anda berapa jumlah balok yang diperdebatkan?
Jika, Anda menjawab 3 (tiga), jawaban Anda benar. Apabila Anda
menjawab ada 4 (empat) balok, jawaban Anda juga benar. Itulah yang
disebut dengan perspektif (sudut pandang). Akibat sudut pandang
yang berbeda, pada obyek yang sama, dua orang atau lebih dapat
berdebat sengit (konflik). Masing-masing orang yang terlibat dalam
perdebatan berusaha memberikan kerangka konseptual dan asumsinya
dari perspektif yang berbeda.
79
80 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
Gambar 5.12: Ilustrasi Tentang Perspektif
Sumber: https://www.kompasiana.com/half.fadli/5529bcf06ea8341b79552cfe/
perspektif
Perspektif sosiologi merupakan seperangkat asumsi, konsep pokok,
aksioma, dan kerangka teori yang menjelaskan bagaimana masyarakat
ada atau mengada (how society is possible). Dalam kaitannya untuk
melihat realita sosial, sosiologi menawarkan empat perspektif yang
berbeda yang saling melengkapi satu sama lainnya. Perspektif pertama,
bahwa realita itu adalah dibentuk (formulated), diciptakan (created),
diatur (regulated), atau dipengaruhi (influenced) oleh faktor eksternalnya
(external factors). Meminjam perspektif ini, jika unit analisis kita
adalah individu, maka kita bisa mengatakan bahwa individu adalah
produk masyarakat. Pemikiran, ide, sikap, tindakan, dan perilaku
individu merupakan bentukan dari sistem dan struktur sosial makro
obyektifnya. Dalam perspektif ini, yang riil itu adalah masyarakat,
sedangkan individu itu sekedar ‘buah karya’ dari masyarakat. ‘Hidup
dan kehidupan’ individu itu diarahkan oleh ‘kehendak’ sistem dan
struktur sosial masyarakatnya. Perspektif semacam ini disebut juga
dengan perspektif makro.
Perspektif kedua, bahwa realita itu berada di dalam diri individu
itu sendiri. Individu adalah aktor bagi dirinya sendiri. Masyarakat
hanyalah kumpulan dari individu-individu saja. Individu tidak tunduk
dan tidak patuh pada kemauan sistem dan struktur makro obyektifnya
semata. Para individulah yang memberikan warna kepada masyarakat,
bukan masyarakat yang mewarnai individu. Ke-diri-an individu
tersebut terletak pada norma subyektifnya atau inner subyektifnya
(Self = I + Me), dan pemikirannya (mind) yang telah menginternal dan
Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 81
telah tersimpan di dalam stock of knowledge-nya. Perspektif ini disebut
juga dengan perspektif mikro.
Perspektif ketiga, bahwa realita yang berupa perilaku sosial itu
merupakan respon atas stimulus yang mengenainya. Perspektif ini
dipengaruhi oleh pandangan psikologi sosial, yang secara umum
mengikuti formula S-O-R (Stimulus-Organism-Response). Perilaku
sosial manusia itu terkait dengan upayanya untuk mengejar rewards,
dan sekaligus menjauhi punishment me lalui pengeluaran (cost) yang
minimum untuk mendapatkan keuntungan (benefit) yang setinggi-
tingginya. Perspektif ini disebut juga dengan perspektif behavioristic.
Perspektif keempat, bahwa pemikiran, sikap, tindakan, dan prilaku
manusia yang sejati, atau yang sesungguh-sungguhnya itu berada di
balik struktur yang nampak. Seluruh pemikiran, sikap, tindakan, dan
perilaku manusia yang nampak itu patut diduga palsu, atau semu.
Struktur ‘ke-manusia-an yang nampak atau terartikulasikan itu adalah
topeng, masker, atau hijab untuk menutupi segala hal yang senyatanya.
Manusia tidak bisa menjadi dirinya yang seutuhnya, atau sejujur-
jurnya, karena ia terhegemoni, terkooptasi, teralienasi, tersubordinasi,
dan terimperialisasi oleh sistem kapitalis yang dianggap sebagai biang
masalah kehidupan ini. Atas sistem yang kapitalistik ini, maka manusia
statusnya berubah dari subyek menjadi obyek kehidupan. Manusia
adalah barang (things) atau komoditi (commodity) yang diperjual belikan
di pasar bebas untuk memenuhi nafsu ekonomi yang tidak terbatas.
Perspektif ini disebut dengan perspektif kritis.
Klasifikasi perspektif sosiologi ke dalam empat kategori di atas,
hanyalah salah satu pendapat dari berbagai karya pemikiran tentang
cara membaca hakekat suatu realita sosial (what is nature of social reality).
Dalam pemikiran lain, kita juga bisa melihat realita sosial melalui
perspektif interaksionisme simbolik, struktural fungsional, dan konflik
sebagaimana dipaparkan di bawah ini.
1. Tiga Perspektif Utama Sosiologi
Perspektif Interaksionisme Simbolik
Pernahkah Anda melihat orang tua yang menanam ari-ari (placenta)
sesaat kehadiran bayi di keluarganya?Apa makna menanam ari-ari (Jawa,
mendhem ari-ari) di sekitaran rumah? Ari-ari (placenta) dalam keyakinan
masyarakat Jawa (Indonesia secara umum) dianggap sebagai ‘saudara’
82 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL
bayi. Ari-ari memiliki peran penting saat bayi masih dalam kandungan.
Melalui ari-ari inilah janin di dalam kandungan mendapatkan asupan
nutrisi. Fungsi penting inilah yang menyebabkan generasi terdahulu
(nenek moyang) memperlakukan ari-ari secara baik. Bahkan, pada
saat menanam ari-ari tidak dilakukan secara sembarangan. Ari-ari
dibersihkan dulu dan dimasukkan ke dalam kendil/ gerabah, sebelum
di kuburkan. Tempat menanam ari-ari di sekitaran rumah, laki-laki
di depan rumah dan perempuan di belakang rumah. Ada pula yang
menanam ari-ari bayi perempuan di sebelah kiri rumah, dan laki-laki
di sebelah kanan rumah. Di atas tempat menanam ari-ari diberi lampu
(penerangan). Maknanya, bahwa keluarga tersebut kehadiran anggota
keluarga baru. Atau siapapun yang melintas di rumah tersebut tidak
berbuat gaduh, agar tidak mengganggu si bayi. Ternyata dalam ritual
mendhem ari-ari, banyak simbol dan makna di dalamnya. Jika Anda
berfikir dan bertindak lebih banyak dikendalikan oleh simbol dan
maknanya, hal tersebut bagian dari interksionisme simbolik. Di bawah
ini adalah salah contoh dari rangkaian ritual penguburan ari-ari bayi di
masyarakat Jawa.
Gambar 5.13: Ritual Pemakaman Ari-ari Bayi di Masyarakat Jawa
Sumber:https://www.google.com/search?q=sketsa+gambar+ritual+pemakam
an+ari-ari+bayi+di+jawa&safe=strict&rlz=1C1CHBD_idID909ID909&source=
lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwia_aXy_YDvAhWqzjgGHYOMB2cQ_
AUoAXoECAMQAw&biw=1366&bih=657 (Dowhload tanggal 24 Februari 2021)
Perspektif interaksionis simbolik (interaksionisme simbolik),
mengarahkan sosiolog untuk mengkaji simbol-simbol, makna, serta
proses perubahan makna atas simbol yang ada di sepanjang interaksi
sosial berlangsung. Asumsi pokok teori interaksionisme simbolik
menyatakan, bahwa interaksi manusia satu dengan yang lain senantiasa
diperantarai oleh simbol-simbol tertentu, yang mana simbol-simbol
Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 83
tersebut memiliki makna tersendiri bagi para pihak yang melangsungkan
interaksi sosial dimaksud.
Teori interaksionisme simbolik dipengaruhi oleh pemikiran
Max Weber tentang tindakan sosial. Menurut Weber, setiap individu
itu bertindak sesuai dengan hasil interpretasi terhadap dunianya.
Interpretasi tersebut dilakukan dengan menggunakan rasionalitas
yang dimilikinya. Pemikiran Weber tentang tindakan sosial inilah yang
kemudian menjadi akar kelahiran teori interaksionisme simbolik yang
dikembangkan dan dipopulerkan oleh George Herbert Mead (1863-
1931) pada tahun 1920-an, dan Herbert Blumer (1962) di bawah payung
madzab Chicago.
Menurut perspektif interaksionis simbolik, individu memberikan
makna pada simbol, dan kemudian mereka bertindak sesuai dengan
interpretasi subjektifnya terhadap simbol-simbol tersebut. Sebagai
sebuah contoh, percakapan verbal, di mana kata-kata yang diucapkan
berfungsi sebagai simbol utama. Kata-kata tersebut memiliki arti
tertentu untuk “pengirim” pesan, dan, selama komunikasi berlangsung
efektif, kata-kata tersebut diharapkan memiliki arti yang sama untuk
“penerima” pesan. Dalam tradisi interaksionisme simbolik, kata-kata
bukanlah “benda” statis, melainkan suatu simbol yang sarat makna dan
memungkinkan terjadinya nteerpretasi yang dinamis.
Berikut ini contoh penerapan yang menggunakan teori
interaksionisme simbolik pada konflik keluarga. Pada saat suami dan
istri terlibat pertengkaran rumah tangga, dapat dicermati dari perilaku
masing-masing pihak yang terlibat pertengkaran (konflik). Misalnya,
istri tidak lagi menyediakan minuman hangat di pagi hari, tidak lagi
menyiapkan sarapan untuk keluarganya, bangun tidur lebih siang,
tidak keluar dari kamar tidur saat suami berangkat kerja, dan tidur di
kamar yang berbeda dengan suami. Begitu pula dengan perilaku suami,
yang tidak membangunkan istrinya, tidak bertegur sapa, berangkat
kerja tanpa pamit istri, dan tidak lagi mengabarkan saat tiba di kantor.
Perilaku semacam itu, ditafsirkan atau dimaknai oleh masing-masing
pihak (suami istri) sebagai cara untuk meredakan atau menghindar
dari konflik agar tidak lebih parah. Masing-masing pihak memiliki cara
pandang yang berbeda dalam menghadapi konflik.
Kelemahan perspektif interaksionisme simbolik adalah
mengabaikan realitas pada tingkat makro dari interpretasi sosial.