The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Teori Konflik dan Penerapannya pada Ilmu-Ilmu Sosial (Wahyudi) (z-lib.org)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by puputakromah01, 2022-10-01 10:42:23

Teori Konflik dan Penerapannya pada Ilmu-Ilmu Sosial (Wahyudi) (z-lib.org)

Teori Konflik dan Penerapannya pada Ilmu-Ilmu Sosial (Wahyudi) (z-lib.org)

84 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Dengan kata lain, interaksionis simbolik mungkin kehilangan masalah
masyarakat yang lebih besar dan hanya berfokus pada aspek mikro.
Jika dianalogikan, individu terlalu dekat pada “pohon” (misalnya,
ukuran berlian di cincin kawin) daripada “hutan” (misalnya, kualitas
pernikahan).

Dalam perspektif interaksionisme simbolik, konflik itu bersifat
subyektif. Masing-masing pihak yang terlibat konflik akan
memberikan pemaknaan yang berbeda-beda. Manifestasi konflik
berupa simbol-simbol, verbal dan non-verbal yang memiliki makna
tertentu yang dipahami oleh pihak-pihak yang terlibat konflik.

Tabel 5.13: Poin Utama Perspektif Interkasionisme Simbolik

Poin utama perspektif interkasionisme simbolik
Poin Utama
1. Interaksionisme simbolik berakar pada fenomenologi, yang

menekankan pada makna subjektif dari realitas.
2. Interaksionisme simbolik memperkenalkan teori tentang diri (self),

pikiran (mind), cermin diri kita yang berada dalam pikiran orang lain
(looking glass self).
3. Interaksionis simbolik mempelajari makna dan komunikasi serta
cenderung menggunakan metode kualitatif.
4. Interaksionisme simbolik dikritik karena gagal memperhitungkan
struktur dan kekuatan sosial makro.
Istilah Kunci
1. Behaviorisme: pendekatan psikologi sosial yang berfokus pada
perilaku, menyangkal signifikansi independen apa pun untuk pikiran,
dan mengasumsikan bahwa perilaku ditentukan oleh lingkungan.
2. Fenomenologi: filsafat yang mempelajari pengalaman intuitif atau
pengalaman moral, dan menawarkan premis bahwa realitas terdiri
dari objek dan peristiwa yang secara sadar dirasakan oleh manusia.

Sumber: https://courses.lumenlearning.com/boundless-sociology/chapter/ theoretical-
perspectives-in-sociology diunduh Jumat 29 Januari 2021 pukul 07.10.

Perspektif Struktural Fungsional

Teori struktural fungsional (fungsionalisme), memandang
masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling
terkait yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya.
Fungsionalisme berkembang dari pemikiran Hebert Spencer (1820-

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 85

1903), yang melihat kesamaan antara masyarakat dan tubuh manusia,
atau organisme. Spencer (1898) berpendapat bahwa seperti halnya
berbagai organ tubuh manusia yang bekerja sama untuk menjaga agar
tubuh tetap berfungsi, berbagai bagian masyarakat bekerja sama untuk
menjaga fungsi masyarakat. Bagian masyarakat yang dimaksud Spencer
adalah pranata sosial, atau pola-pola sosial lain yang dimaksudkan
sebagai pedoman cara para anggotanya dalam memenuhi kebutuhan
sosial, seperti pemerintahan, pendidikan, keluarga, kesehatan, agama,
dan ekonomi.

Dalam perkembangan selanjutnya, Émile Durkheim mengem-
bangkan teori Spencer untuk menjelaskan bagaimana masyarakat
berubah dan bertahan dari waktu ke waktu. Durkheim (1893) percaya
bahwa masyarakat adalah sistem kompleks dari bagian-bagian yang
saling terkait dan saling bergantung yang bekerja sama untuk menjaga
stabilitas, dan bahwa masyarakat disatukan oleh nilai-nilai, bahasa, dan
simbol bersama.

Durkheim percaya bahwa individu dapat membentuk masyarakat,
tetapi untuk mempelajari masyarakat, sosiolog harus melihat fakta sosial
di luar individu. Fakta sosial seperti hukum, moral, nilai, kepercayaan
agama, adat istiadat, ritual, dan semua aturan budaya yang mengatur
kehidupan sosial. Masing-masing fakta sosial ini melayani satu atau
lebih fungsi dalam masyarakat. Misalnya, salah satu fungsi hukum
masyarakat adalah untuk melindungi masyarakat dari kekerasan,
sementara fungsinya yang lain adalah untuk menghukum perilaku
kriminal, serta untuk menjaga keamanan publik.

Kaum Struktural fungsional lain yang sangat terkenal adalah
Robert King Merton (1910-2003). Merton mengajak kita dalam melihat
struktur sosial itu bukan hanya fungsinya saja, melainkan juga harus
dilihat fakta lainnya, yakni disfungsi. Dalam menganalisa fungsi
struktur sosial, Merton memperkenalkan dua kategori fungsi, yakni
fungsi manifes (intended function) dan fungsi laten (unintended function).
Fungsi manifes adalah fungsi yang diinginkan atau diharapkan dari
suatu struktur sosial tertentu. Sedangkan fungsi laten adalah fungsi
yang tidak dikehendaki atau tidak diinginkan.

Sebagai sebuah contoh, fungsi manifest dari lembaga perguruan
tinggi adalah sebagai tempat untuk memperoleh atau menimba Ilmu
Pengetahuan, Teknologi, Seni dan Budaya (IPTEKSB). Sedangkan

86 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

fungsi laten ketika seseorang menempuh kuliah di perguruan tinggi
diantaranya adalah mendapatkan pasangan hidup, menjadi aktivis
yang memperjuangkan nasib petani, atau kaum rakyat jelata yang
tertindas. Normalnya, fungsi tersebut harus diemban oleh para politisi,
bukan oleh mahasiswa yang ultimate goals-nya adalah menuntut ilmu
pengetahuan.

Menurut perspektif struktural fungsional, setiap aspek masyarakat
saling bergantung satu sama lainya, serta saling berkontribusi untuk
menjalankan fungsi masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah
pusat, atau pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota), misalnya,
memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak dari keluarga tidak
mampu. Pada saatnya nanti, ketika anak-anak telah bekerja dan berhasil,
diharapkan membayar pajak yang merupakan pemasukan bagi negara.
Artinya, keluarga bergantung pada sekolah untuk membantu anak-
anak tumbuh besar agar memiliki pekerjaan yang baik sehingga dapat
membesarkan dan menghidupi keluarganya sendiri.

Dalam proses selanjutnya nanti, anak-anak menjadi warga negara
yang taat hukum, membayar pajak, yang pada gilirannya mendukung
negara. Jika semuanya berjalan lancar, bagian-bagian masyarakat
menghasilkan keteraturan, stabilitas, dan produktivitas. Jika sebaliknya,
maka bagian-bagian masyarakat harus beradaptasi dengan tatanan
baru, stabilitas, dan produktivitas. Misalnya, selama masa pandemi
covid-19 (2020-2021), pemerintah memberlakukan pembatasan sosial
berskala besar (PSBB) dan dilanjutkan pemberlakukan pembatasan
kegiatan masyarakat (PPKM). Akibat pembatasan sosial ini, sektor
industri dan ekonomi masyarakat terganggu, kasus pemutusan
hubungan kerja (PHK) meningkat, pendapatan keluarga berkurang,
perceraian meningkat, kejahatan konvensional meningkat, seluruh
sektor kehidupan terdampak. Masyarakat harus mengikuti protokol
kesehatan dengan mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga
jarak (3M). Di bawah sekedar contoh ilustrasi harmoni masyarakat
dalam bentuk gotong royong.

Fungsionalis percaya bahwa masyarakat disatukan oleh konsensus
sosial, atau kohesi, di mana anggota masyarakatnya sepakat, dan
bekerja sama untuk mencapai, apa yang terbaik bagi masyarakat
secara keseluruhan. Durkheim menyatakan bahwa konsensus sosial
mengambil salah satu dari dua bentuk, yaitu solidaritas mekanis

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 87

dan solidaritas organis. Solidaritas mekanis adalah bentuk kohesi
sosial yang muncul ketika orang-orang dalam suatu masyarakat
mempertahankan nilai dan keyakinan yang sama dan terlibat dalam
jenis pekerjaan yang serupa. Solidaritas mekanis paling sering terjadi
dalam masyarakat tradisional dan sederhana. Misal masyarakat Baduy
dalam di Banten, suku Anak Dalam di Jambi, suku Samin di Blora,
Bojonegoro, dan Pati.

Gambar 5.14: Ilustrasi Harmoni Sosial dalam Bentuk Gotong Royong

Sumber: https://www.google.com/search?q=sketsa+gotong+royong+di+masyarakat
(download, 24 Februari 2021)

Sebaliknya, solidaritas organik adalah bentuk kohesi sosial yang
muncul ketika orang-orang dalam suatu masyarakat saling bergantung,
tetapi berpegang pada nilai dan keyakinan yang berbeda-beda dan
terlibat dalam berbagai jenis pekerjaan. Solidaritas organik paling sering
terjadi di masyarakat perkotaan, industri, dan tipe sistem sosial yang
kompleks di kota-kota seperti: Malang, Batu, Surabaya, Yogyakarta,
Semarang, DKI Jakarta, Bandung, Medan, Makassar, Denpasar, dan
lain-lain.

Teori struktural fungsional memandang konflik sebagai sesuatu yang
dapat mengganggu harmoni dan integrasi sosial masyarakat. Oleh
karena itu, para pendukung teori struktural fungsional cenderung
menghidari konflik dan mempertahankan status quo. Menurut
para penganutnya, di balik konflik, diyakini ada fungsi yang dapat
memberikan manfaat atau kegunaan untuk keberlangsungan
kehidupan sosial.

Fungsionalisme mendapatkan kritik karena mengabaikan fungsi
negatif dari suatu peristiwa, misalnya kemiskinan, pengangguran,
perceraian, dan lain-lain. Diantara aspek yang dapat dikritik

88 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

dari perspektif fungsionalisme adalah tentang analisanya yang
menguntungkan status quo, atau yang pro pada kemapanan
(establishment). Fungsionalisme tidak mendorong orang untuk
mengambil peran aktif dalam mengubah lingkungan sosialnya,
bahkan ketika perubahan tersebut dapat menguntungkan mereka.
Lebih parah lagi, para fungsionalis juga cenderung melihat perubahan
sosial itu sebagai suatu ancaman terhadap eksistensi nilai dan norma
yang sudah ada.

Tabel 5.14: Poin Utama Perspektif Struktural Fungsional

Poin utama perspektif struktural fungsional

Poin Utama
1. Masyarakat dianalogkan dengan tubuh manusia, atau organisme.
2. Institusi sosial muncul dan bertahan karena mereka memainkan fungsi

dalam masyarakat, mendorong stabilitas dan integrasi.
3. Fungsionalisme telah dikritik karena kegagalannya memperhitungkan

perubahan sosial dan agensi individu; sikap tersebut dianggap
konservatif.
4. Fungsionalisme telah dikritik karena mengaitkan kebutuhan manusia
dengan masyarakat.
5. Karya Emile Durkheim dianggap sebagai dasar teori fungsionalis
dalam sosiologi.
6. Merton mengamati bahwa struktur sosial dapat memiliki fungsi
manifes dan laten.

Istilah Kunci
1. Struktural fungsional, atau fungsionalisme, adalah sebuah kerangka

teori yang memandang masyarakat sebagai sistem kompleks yang
bagian-bagiannya bekerja sama untuk mendorong solidaritas dan
stabilitas.
2. fungsi manifes (intended function): fungsi yang diinginkan atau
diharapkan.
3. fungsi laten (unintended function): fungsi yang tidak diinginkan atau
tidak diharapkan.
4. lembaga sosial: struktur dan mekanisme tatanan sosial untuk mengatur
perilaku sekumpulan individu dalam sistem sosial kemasyarakatan.
Diantara contoh lembaga adalah keluarga, agama, kelompok sebaya,
sistem ekonomi, sistem hukum, sistem pemasyarakatan, bahasa, dan
media.

Sumber: https://courses.lumenlearning.com/boundless-sociology/chapter/ theoretical-
perspectives-in-sociology diunduh Jumat 29 Januari 2021 pukul 07.10.

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 89

Perspektif Konflik

Perspektif konflik, berakar dari pemikiran Karl Marx tentang
perjuangan kelas. Marx menampilkan masyarakat dalam sudut
pandang yang berbeda dari perspektif fungsionalis dan interaksionis
simbolik. Perspektif struktural fungsional berfokus pada aspek positif
masyarakat yang berkontribusi pada stabilitas, sedangkan perspektif
konflik berfokus pada sifat masyarakat yang negatif, yaitu bersaing,
dan berkonflik. Tidak seperti fungsionalis yang mempertahankan
status quo, menghindari perubahan sosial, dan percaya orang bekerja
sama untuk memengaruhi tatanan sosial. Para pendukung teori konflik
justru bermusuhan dengan status quo, mendorong perubahan sosial
(melalui revolusi sosial), dan percaya orang kaya dan berkuasa sengaja
merekayasa tatanan sosial untuk menjalankan misi eksploitasi terhadap
masyarakat miskin dan lemah.

Sosiolog Amerika pada 1940-an dan 1950-an umumnya
mengabaikan perspektif konflik. Namun saat terjadi kekacauan 1960-
an, sosiolog Amerika mendapatkan minat yang cukup besar dalam teori
konflik. Mereka juga memperluas gagasan Marx bahwa konflik utama
yang terjadi di masyarakat lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Saat
ini, para ahli teori konflik menemukan fakta bahwa konflik sosial antara
kelompok sosial mana pun berpotensi menimbulkan ketidaksetaraan
ras, gender, agama, politik, ekonomi, dan sebagainya. Mereka mencatat
bahwa kelompok yang tidak setara biasanya memiliki nilai dan
agenda yang bertentangan, menyebabkan mereka bersaing satu sama
lain. Persaingan konstan antar kelompok ini menjadi dasar bagi sifat
masyarakat yang selalu berubah.

Perspektif konflik memandang konflik sebagai sesuatu hal yang
wajar, alamiah dan pasti terjadi dalam kehidupan individu,
kelompok, organisasi, masyarakat, negara, dan dunia. Konflik tidak
dapat dihindari karena di masyarakat ada perbedaan antagonistik
yang tidak bisa diperdamaikan.

Di bawah ini salah satu contoh ilustrasi konflik agraria di Indonesia
yang sampai dengan saat ini belum dapat terselesaikan dengan baik.
Akibatnya, status tanah yang diduduki oleh petani belum jelas, karena
belum memiliki kekuatan legal formal.

90 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Gambar 5.15 Ilustrasi Konflik Sosial dalam Bidang Agraria

Sumber: https://www.google.com/search?q=sketsa+konflik+agraria&tbm

Memperhatikan elaborasi perspektif konflik di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa poin utamanya sebagaimana tertera dalam
Tabel 5.15 di bawah ini.

Tabel 5.15: Poin Utama Perspektif Konflik
Poin utama perspektif konflik

Poin Utama
1. Teori konflik melihat kehidupan sosial sebagai manifestasi dari

persaingan, kompetisi, pertikaian, dan konflik untuk memperebutkan
sumber daya, kekuasaan, dan kemakmuran.
2. Teori konflik lebih realistis dalam menjelaskan perubahan sosial, dan
namun lemah dalam menjelaskan stabilitas sosial.
3. Teori konflik berakar dari pemikiran Karl Marx.
Istilah Kunci
1. teori konflik: Perspektif ilmu sosial yang berpendapat bahwa
stratifikasi tidak berfungsi dan berbahaya dalam masyarakat, dengan
ketidaksetaraan yang terus berlanjut karena menguntungkan yang
kaya dan berkuasa dengan mengorbankan yang miskin.
2. Fungsionalisme: Fungsionalisme struktural, atau sederhananya
fungsionalisme, adalah kerangka kerja untuk membangun teori yang
memandang masyarakat sebagai sistem kompleks yang bagian-
bagiannya bekerja sama untuk mendorong solidaritas dan stabilitas.
Sumber: https://courses.lumenlearning.com/boundless-sociology/chapter/ theoretical-
perspectives-in-sociology diunduh Jumat 29 Januari 2021 pukul 07.10.

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 91

Tabel 5.16: Perbedaan Tiga Perspektif Sosiologi

Level Interaksionisme Struktural Konflik Sosial
analisis Simbolik Fungsional
Sifat Makro
masyarakat Mikro Makro
Kumpulan
Dasar Masyarakat sebagai Masyarakat orang-orang, dan/
interaksi suatu sistem dan mengejawantah atau kelompok
sosial struktur makro yang dalam sistem kepentingan
keberadaannya dan struktur yang senantiasa
Fokus kajian mendahului individu, makro, yang bersaing untuk
Keunggulan namun ‘kehendak’ bagian-bagiannya mendapatkan
makro sistem tersebut mengemban kekuasaan
Kelemahan tetap akan diseleksi fungsi (ekonomi, sosial,
atau difilter oleh interdependensi dan politik)
individu sejalan dengan untuk
hasil pemaknaannya menciptakan Persaingan,
terhadap simbol-simbol keteraturan sosial. permusuhan,
yang dipancarkan oleh Konflik,
masyarakat. Paksaan untuk
mendapatkan
Tindakan Subyektif atas Interdependensi kekuasaan
(ekonomi, sosial,
dasar hasil pemaknaan Fungsional untuk dan politik)
Konflik Sosial
terhadap symbol- menciptakan
Penjelasan
simbol yang ada dalam Keteraturan Sosial tentang fungsi
konflik sosial
proses interaksi sosial dalam upaya
mewujudkan
Inner Subyektif Sistem dan perubahan sosial
Individu Struktur Sosial yang konstruktif
Pemahaman tentang
manusia sebagai akator Pemahaman Mengabaikan
bagi dirinya sendiri. tentang dinamika realita tentang
sosial yang keseimbangan
Mengabaikan realita bergerak dalam sosial, solidaritas
tentang kontribusi keseimbangan sosial, integrasi
sistem dan struktr untuk sosial, dan
makro dalam diri menciptakan sejenisnya
individu. keteraturan sosial

Mengabaikan
realita tentang
kemampuan dan
peran individu
dalam dinamika
masyarakat

92 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

2. Penerapan Sosiologi Konflik

Selama bertahun-tahun, sosiologi sebagai disiplin ilmu telah
menunjukkan perspektif uniknya dalam teori, praktik, dan penelitian
konflik. Dalam beberapa tahun terakhir, minat semakin meningkat
dalam studi konflik dan resolusi konflik. Resolusi konflik dapat
berarti pengurangan, pengelolaan, pemrosesan, atau penyelesaian
perbedaan di antara orang-orang yang sedang bertikai. Resolusi
konflik dapat dianalogkan seperti orang yang berada di pantai saat
ombak menuju ke pantai. Orang pertama tetap berdiri sampai ombak
menerpa tubuhnya dan akhirnya terhempas ke pantai. Orang kedua,
menenggelamkan diri (menyelam) sebelum ombak menerpa tubuhnya.
Orang ketiga, memanfaatkan ombak dan mengikuti pusaran ombak
untuk berselancar. Dalam resolusi konflik, orang pertama merupakan
tipe orang yang menghadapi konflik dengan berbagai resikonya. Orang
kedua adalah tipe orang yang menghindari konflik dan orang ketiga
adalah tipe mengelola konflik.

Di sinilah letak pentingnya seorang sosiolog memahami teori konflik,
menguasai realitas konflik dan praktik resolusi konflik. Menyelesaikan
konflik memiliki garis kontinum mulai dari penghindaran hingga
pemusnahan. Penghindaran merupakan gaya resolusi konflik yang
lebih umum dan dapat diterima. Misalnya, individu memutuskan
hubungan, menarik diri, atau menjauh untuk menghindari interaksi
yang merusak hubungan. Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari,
pasangan suami-istri yang terlibat konflik, untuk beberapa saat tidak
saling bertegur sapa. Tidur di kamar yang berbeda. Istri tidak lagi
menyiapkan sarapan suaminya. Di sisi lain, sementara pemusnahan
dapat dianggap sebagai cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan
konflik, biasanya terjadi dalam keadaan yang sangat terbatas dan
spesifik seperti perang dan pembunuhan.

Selain penghindaran dan pemusnahan, rentang proses
penyelesaian konflik lainnya meliputi; formal atau informal, mahal
atau murah, memaksa atau non-koersif. Dalam proses resolusi konflik,
adakalanya hanya pihak yang berkonflik saja yang terlibat. Namun
dalam kasus resolusi konflik lain, ada yang melibatkan pihak ketiga
untuk membantu menyelesaikan konflik yang terjadi. Pihak-pihak
yang terlibat konflik biasanya hanya beberapa kali bertemu untuk
mencapai kesepahaman.

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 93

Pada sub-bab ini akan dijelaskan praktik penyelesaian konflik secara
sosiologis dengan menerapkan negosiasi, mediasi dan penyelesaian
sengketa alternatif (alternative dispute resolution /ADR).

Penyelesaian konflik

Negosiasi Mediasi ADR (Alternative
Dispute Resolution)

Gambar 5.16: Penyelesaian Konflik Secara Sosiologis

Negosiasi (Perundingan)

Umumnya individu atau kelompok yang terlibat konflik, berupaya
melakukan negosiasi untuk menyelesaikan konflik. Tetapi, tidak
semua individu atau kelompok bernegosiasi secara optimal dan tidak
semuanya bisa dinegosiasikan dengan mudah. Negoisasi adalah proses
perundingan yang dilakukan oleh dua pihak yang sedang terlibat
konflik untuk membahas dan mencari cara penyelesaian konflik.

Ada dua kerangka utama dalam negosiasi, yaitu negosiasi
kompetitif dan kolaboratif. Negosiasi kompetetif adalah perundingan
yang ditandai dengan salah satu pihak ingin menang dengan segala
cara. Negoisasi kolaboratif mengarahkan pihak yang berselisih untuk
mempertimbangkan kepentingan bersama dan mencari cara kreatif
di mana keduanya bisa menang (win-win solutions). Pendekatan ini
seringkali membutuhkan usaha yang cukup besar dari pihak-pihak
yang berselisih. Negosiasi kolaboratif, dipandang sebagai cara yang
lebih memuaskan untuk menyelesaikan konflik.

Terlepas dari perbedaan dalam gaya negosiasi, komunikasi yang
efektif, keterampilan verbal dan nonverbal, mendengarkan secara aktif,
banyak akal, keterbukaan, dan pemahaman tentang posisi pihak lain
adalah inti dari semua upaya negosiasi. Ketika pihak yang berselisih
tidak dapat atau tidak akan terus berinteraksi satu sama lain, negosiasi
menemui jalan buntu (Volpe & Maida, 1992). Ketika negosiasi mengalami
jalan buntu, maka yang dilakukan adalah melibatkan pihak ketiga.

Proses intervensi pihak ketiga sering digunakan untuk
menggerakkan pihak-pihak yang berkonflik untuk keluar dari jalan
buntu. Dalam beberapa kasus, seperti mediasi dan konsiliasi, pihak

94 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

ketiga bekerja dengan pihak yang berselisih dengan harapan para
pihak itu sendiri mencapai solusi yang dapat diterima untuk masalah
mereka. Dalam kasus lain, seperti arbitrase dan ajudikasi, pihak ketiga
membuat keputusan bagi pihak yang berselisih. Selain itu, sejumlah
proses penyelesaian konflik lainnya telah muncul di mana pendekatan
inovatif menggunakan variasi dari yang disebutkan di atas, termasuk
media dan arbitrasi, penggunaan ombudsman, pencarian fakta, dan
sidang peradilan. Pendekatan ini secara luas disebut sebagai proses
penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolutions/ADR).

Contoh negosiasi

Helsinki, Finlandia tanggal 15 Agustus 2005 Pemerintah Indonesia dan
Gerakan Aceh Merdeka sepakat untuk berdamai setelah terlibat konflik
selama 29 tahun yang merenggut nyawa hampir 15 ribu korban jiwa.
Perjanjian damai yang dicetuskan Wakil Presiden (Jusuf Kalla), ditandatangi
oleh Menteri Hukum dan HAM (Hamid Awaludin), sedangkan GAM
mengutus Malik Mahmud Al Haytar untuk menandatangani Memorandum
of Understanding (MoU) tersebut. Sejumlah kesepakatan ditandatangani
kedua belah pihak, intinya GAM mencabut tuntutan untuk memisahkan
diri dari Indonesia. Pemerintah Indonesia memberi kebebasan kepada
GAM untuk membentuk partai politik dalam rangka menjamin kehidupan
berdemokrasi di Aceh. Indonesia juga sepakat untuk membebaskan
tahanan GAM. Keberhasilan pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan
konflik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melalui Memorandum of
Understanding (MoU) merupakan contoh resolusi konflik melalui negosiasi.

Sumber: Liputan6.com. Jakarta, 15/8/2015, pukul 06.00 WIB.

Mediasi

Mediasi merupakan suatu upaya penyelesaian konflik antara dua
pihak yang berselisih dengan melibatkan pihak ketiga atau pihak
penengah. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang diterima
secara luas dan bahkan dilembagakan. Mediasi merupakan proses
intervensi partisipatif yang berjangka pendek, terstruktur, berorientasi
pada tujuan, di mana mediator membantu pihak yang berselisih
mencapai solusi yang bisa diterapkan untuk mengatasi perbedaan
yang terjadi. Di luar ini, hanya ada sedikit aturan yang tegas dan cepat
tentang mediasi. Premis utama dari proses mediasi adalah bahwa
para pihak itu sendiri yang akan mengontrol pengambilan keputusan
karena pihak ketiga tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 95

keputusan kepada mereka, dalam beberapa situasi mediator diminta
untuk membuat rekomendasi(Volpe & Maida, 1992).

Praktik mediasi sangat bervariasi dengan gaya dan keterampilan
mediator, konteks mediasi dilakukan, hubungan masa lalu antara pihak-
pihak yang terlibat, gaya negosiasi, dan sifat masalah yang dimediasi.
(Folberg dan Taylor 1984; Moore 1986) Secara umum, mediasi melibatkan
sesi tatap muka dengan para pihak. Apakah mediator bertemu secara
terpisah dengan masing-masing pihak dalam sesi individu bergantung
pada beberapa variabel di atas. Terlepas dari formatnya, biasanya para
mediator memastikan kerahasiaan sesi, baik yang diadakan dengan
semua pihak secara bersama-sama maupun yang diadakan dengan
masing-masing pihak secara terpisah. Di beberapa kasus, kerahasiaan
dalam mediasi tidak diperlukan. Misalnya, mediator yang mencoba
menangahi suami istri yang akan bercerai.

Mediator bekerja dengan para pihak untuk mengumpulkan
informasi yang relevan, membingkai masalah, mengisolasi poin
kesepakatan dan ketidaksepakatan, menghasilkan alternatif, dan
mempertimbangkan kompromi untuk kemungkinan kesepakatan di
masa depan. Selain membantu para pihak untuk bernegosiasi, seorang
mediator mungkin diminta untuk mengambil peran lain tergantung
pada keadaan. Stulberg (1987: 37-41) membuat daftar karakteristik dan
keterampilan sebagai mediator, yaitu: netral, obyektif/ tidak memihak,
cerdas, fleksibel, pandai bicara, kuat dan persuasif, empati, efektif
sebagai pendengar, imajinatif, dihormati di masyarakat, skeptis, mampu
mendapatkan akses kepada sumber daya, jujur, dapat diandalkan, tidak
defensif, memiliki selera humor, sabar, tekun, dan optimis.

Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR)

Tidak semua konflik dapat diselesaikan oleh para pihak yang
berselisih. Ketika pihak yang berselisih tidak dapat atau tidak ingin
melanjutkan negosiasi dan tidak mau berpartisipasi dalam mediasi,
ada berbagai proses penyelesaian sengketa alternatif (alternatif dispute
resolution/ADR) yang meliputi ajudikasi, arbitrase, mediasi-arbitrase
(med-arb), ombuds, dan pencarian fakta.

Ajudikasi merupakan standar yang digunakan untuk penyelesaian
perselisihan melalui sistem dan lembaga hukum. Pihak yang berselisih
dipertemukan satu sama lain dalam peradilan yang melibatkan

96 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

pengacara, dan hakim. Ajudikasi merupakan strategi menyelesaikan
konflik melalui lembaga peradilan dengan keputusan menang-kalah
bagi pihak yang berselisih.

Arbitrase mirip dengan ajudikasi karena pihak yang berselisih juga
menyampaikan fakta-faktanya kepada arbiter yang akan mengambil
keputusan. Ada beberapa perbedaan utama, dalam arbitrase, aturan,
bukti dan prosedur dilonggarkan, prioritas diabaikan dan sesi sering
dipimpin oleh para ahli dalam pengaturan pribadi. Bergantung pada
kasusnya, pihak yang berselisih dapat memilih arbiter mereka dan
menetapkan aturan dasar. Meskipun keputusan arbitrase umumnya
mengikat, keputusan tersebut bisa tidak mengikat. Bergantung pada
sifat sengketa, arbitrase dapat bersifat sukarela atau wajib bagi pihak
yang bersengketa.

Med-arb adalah kombinasi mediasi dan arbitrase. Awalnya, para
pihak mengatasi perbedaan mereka dengan bantuan seorang mediator.
Jika mereka tidak dapat menyelesaikan, ketidaksepakatan mereka
akan diselesaikan melalui arbitrase. Pengaturan resolusi perselisihan
menentukan bagaimana med-arb dilakukan. Dalam beberapa kasus,
orang yang bertindak sebagai mediator berperan sebagai arbiter dan
mengambil keputusan berdasarkan informasi yang diterimanya.

Ombuds adalah pihak ketiga yang menyelidiki keluhan dalam
lingkungan organisasi publik ataupun organisasi privat. Penyelesai
sengketa dilakukan oleh Ombuds untuk menangani keluhan, menangani
masalah secara netral, ketidakberpihakan, dan kerahasiaan. Pencari
fakta adalah pihak ketiga yang mengumpulkan informasi penting bagi
pihak yang berselisih dan biasanya memberikan rekomendasi sebagai
bagian dari laporan.

Di Indonesia, sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 37
tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia telah dibentuk
lembaga Ombudsman.

Tangani 293 Kasus Properti, Ombudsman DIY: Kebanyakan Masyarakat
Penghasilan Rendah Kompas.com - 30/12/2020, 05:08 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Ombudsman DIY mencatat
selama tahun 2018- 2020 menangani beberapa kasus seperti di sektor
pendidikan, keuangan, dan pertanahan atau properti, dan ketenagakerjaan.

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 97

Ketua LO DIY Suryawan Raharjo mengatakan, pada tahun 20018- 2020 paling
dominan adalah kasus sektor properti, kebanyakan dialami oleh masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR). Di mana mereka mengakses perumahan
melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan ( FLPP).

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Tangani 293 Kasus
Properti, Ombudsman DIY: Kebanyakan Masyarakat Penghasilan Rendah”,
Klik untuk baca: https://regional.kompas.com/read/2020/12/30/05080051/
tangani-293-kasus-properti-ombudsman-diy--kebanyakan-masyarakat-
penghasilan.

Selanjutnya adalah pencari fakta, di Indonesia sering digunakan
istilah Tim Pencari Fakta (TPF) atau Tim Pencari Fakta Independen
(TPFI) yang biasanya mempunyai tugas untuk menghimpun informasi,
keterangan ataupun data terkait dengan adanya kasus yang menarik
perhatian publik. Pasca peristiwa kerusuhan massa tahun 1997
pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk
mengusut berbagai kekerasan yang terjadi di awal era reformasi.
Kasus penembakan di Intan Jaya Papua. Tugas TPF adalah menyelidiki
kasus yang terjadi dengan menghimpun fakta sebanyak-banyaknya
yang selanjutnya dilaporkan kepada pemerintah. Beberapa TPF yang
pernah dibentuk pemerintah Indonesia diantaranya untuk menyelidiki
kasus tewasnya Munir (aktivis HAM), dan penembakan 6 anggota FPI.
Pembentukan TPF adalah dalam rangka penyelesaian perselisihan
secara independen dan transparan.

B. Teori Konflik dalam Ilmu Komunikasi

1. Konflik dalam Komunikasi Antarpersonal
Konflik antarpribadi terjadi dalam interaksi di mana ada tujuan

yang nyata atau dianggap tidak sesuai, sumber daya yang langka,
atau sudut pandang yang berlawanan. Konflik antarpribadi dapat
diekspresikan secara verbal atau nonverbal. Konflik antarpribadi,
berbeda dari kekerasan antarpribadi, yang melampaui komunikasi.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah serius dan bagian dari
“Sisi Gelap Hubungan”.

Konflik adalah bagian yang tak terhindarkan dari hubungan dekat
dan dapat menimbulkan dampak emosional yang negatif. Konflik tidak

98 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

selalu negatif atau tidak produktif. Faktanya, banyak penelitian telah
menunjukkan bahwa kuantitas konflik dalam suatu hubungan tidak
sepenting bagaimana konflik tersebut ditangani (Markman et al., 1993).
Selain itu, ketika konflik dikelola dengan baik, itu berpotensi mengarah
pada hubungan yang lebih memuaskan (Canary & Messman, 2000).

Konflik hadir dalam kehidupan pribadi dan profesional, kemampuan
untuk mengelola konflik dan menegosiasikan hasil yang diinginkan
dapat membantu kedua belah pihak yang berkonflik. Mampu mengelola
situasi konflik dapat membuat hidup lebih menyenangkan daripada
membiarkan situasi berhenti atau memanas. Dampak negatif dari
konflik yang tidak ditangani dengan baik dapat berkisar dari beberapa
minggu terakhir semester yang canggung dengan teman sekamar
kuliah hingga kekerasan atau perceraian. Namun, tidak ada cara benar
atau salah yang mutlak untuk menangani konflik. Ingatlah bahwa
menjadi komunikator yang kompeten tidak berarti Anda mengikuti
seperangkat aturan mutlak. Sebaliknya, komunikator yang kompeten
menilai berbagai konteks dan menerapkan atau menyesuaikan alat dan
keterampilan komunikasi agar sesuai dengan situasi dinamis.

Menurut Stoner & Wankel (1993) terdapat lima jenis konflik, yaitu:

a. Konflik Intrapersonal.

Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya
sendiri. Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang
memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.
Kalau konflik dibiarkan maka akan menimbulkan keadaan yang
tidak menyenangkan. Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal
yaitu: (1) Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang
dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menarik. (2) Konflik
pendekatan - penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan
pada dua pilihan yang sama menyulitkan. (3) Konflik penghindaran-
penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal
yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.

b. Konflik Interpersonal.

Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan
orang lain karena pertentangan kepentingan atau keinginan. Hal ini
sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang
kerja dan lain-lain. Konflik interpersonal ini merupakan suatu

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 99

dinamika yang amat penting dalam perilaku organisasi. Konflik
semacam ini akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa
anggota organisasi yang tidak bisa tidak akan memengaruhi proses
pencapaian tujuan organisasi tersebut.

c. Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok.

Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi
tekanan-tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan
kepada mereka oleh kelompok kerja mereka. Sebagai contoh
dapat dikatakan bahwa seseorang individu dapat dihukum oleh
kelompok kerjanya karena ia tidak dapat mencapai norma-norma
produktivitas kelompok dimana ia berada.

d. Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama.

Konflik ini adalah merupakan tipe konflik yang banyak terjadi
di dalam organisasi. Konflik antar lini dan staf, pekerja dan
pekerja - manajemen merupakan dua macam bidang konflik antar
kelompok.

e. Konflik antara organisasi

Contoh seperti di bidang ekonomi dalam bentuk persaingan bisnis.
Persaingan antar sesama industri telepon genggam, pabrikan
mobil, pelaku e-commerce. Konflik ini berdasarkan pengalaman
ternyata telah menyebabkan timbulnya pengembangan produk-
produk baru, teknologi baru dan servis baru, harga lebih rendah
dan pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien.

2. Konflik dalam Komunikasi Organisasi

Banyak faktor yang menghalangi karyawan untuk berkomunikasi
secara langsung dan terbuka - akibatnya adalah situasi konflik yang
berisiko tinggi. Jika pengelola menerapkan komunikasi langsung
tepat waktu maka konflik dapat dihindari, atau dampaknya dapat
diminimalisir. Konflik terjadi setiap hari dan manajemen yang sukses
merupakan elemen kunci dari kesuksesan organisasi dan manajerial.
Terakhir, konflik adalah fakta kehidupan kita dan jika kita mampu
memahaminya dan dampaknya terhadap efektivitas kerja, kita dapat
membuat konflik berguna dan menggunakannya untuk mencapai hasil
yang lebih baik. Ada beberapa definisi konflik. Konflik adalah proses
interaksi sosial dan situasi sosial, di mana kepentingan dan aktivitas
partisipan (individu atau kelompok) sebenarnya, atau tampaknya,

100 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

menghadapi, menghalangi, dan menonaktifkan realisasi tujuan satu
pihak (Jambrek, & Penić, 2008).

Selain itu, konflik adalah proses dimana orang A dengan sengaja
melakukan upaya untuk mencegah upaya orang B dengan tindakan yang
berlawanan, yang akan mengakibatkan orang B frustasi untuk mencapai
tujuannya atau memuaskan kepentingannya (Robbins, 2003). Konflik
organisasi terjadi, ketika aktor terlibat dalam aktivitas yang tidak sesuai
dengan rekan kerja dalam jaringan mereka, anggota organisasi lain, atau
individu yang tidak terafiliasi yang memanfaatkan layanan atau produk
organisasi (Rahim, 2002). Penulis yang sama mengkonseptualisasikan
konflik sebagai proses interaktif yang diwujudkan dalam ketidakcocokan,
ketidaksepakatan, atau disonansi di dalam atau di antara entitas sosial
(kelompok individu, organisasi, dan lain-lain). Ada beberapa pendekatan
untuk jenis konflik organisasi (Hener, 2010):

a. Konflik vertikal

Konflik vertikal di dalam organisasi, biasanya terjadi antara
pimpinan dan bawahan, supervisor dan supervisee, manajer dan
karyawan. Konflik vertikal terjadi karena adanya perbedaan posisi
di dalam organisasi. Hubungan atau komunikasi antara atasan dan
bawahan sangat formal dan kaku. Sumber konflik dapat berasal
dari instruksi atau perintah atasan yang tidak jelas atau bawahan
tidak menjalankan tugasnya sesuai instruksi atau perintah atasan.

b. Konflik horizontal

Konflik horizontal terjadi antara individu yang memiliki tingkat
hirarki yang sama. Konflik ini biasanya terjadi di dalam bidang,
unit, divisi, bagian atau departemen yang sama. Konflik horizontal
juga bisa terjadi antar bidang. Konflik ini dapat memanifestasikan
dirinya karena berbagai alasan, seperti perbedaan minat, ide,
kesempatan yang terkait dengan distribusi sumber daya.

c. Konflik Staf Lini

Konflik staf lini terjadi antara staf pendukung dan karyawan lini,
dalam suatu departemen atau organisasi.

d. Konflik peran

e. Konflik peran dapat berasal dari pemahaman yang tidak lengkap
atau keliru tentang penugasan yang diberikan kepada karyawan
pada waktu tertentu.

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 101

Konflik dapat berdampak positif dan negatif pada organisasi
(Bahtijarević, 1993, 57):

a. Efek positif konflik adalah terjadinya perubahan sosial yang
diperlukan, mengembangkan ide-ide kreatif dan inovasi,
menghadirkan masalah penting, membuat keputusan yang
berkualitas dan menyelesaikan masalah, rekayasa ulang organisasi,
mengembangkan solidaritas dan kohesi kelompok.

b. Efek negatif konflik mirip dengan kerjasama yang buruk, karena
membuang waktu dan energi yang seharusnya dapat digunakan
untuk yang lebih produktif.

Goldhaber (1986) mendefinisikan komunikasi organisasi: “sebagai
proses menciptakan dan saling tukar menukar pesan dalam satu jaringan
hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi
lingkungan yang tidak pasti.” Definisi tersebut terdapat tujuh konsep
kunci, yaitu proses, pesan, jaringan, ketergantungan satu sama lain,
hubungan, lingkungan dan ketidakpastian. Berikut penjelasan konsep
kunci komunikasi organisasi (Muhammad: 2005).

a. Proses

Organisasi merupakan sistem terbuka yang dinamis, menciptakan
pesan dan saling menukar pesan diantara anggotanya. Proses
mencipta dan menukar pesan berlangsung terus menerus dan tidak
ada hentinya. Oleh karena komunikasi organisasi sebagai sebuah
proses.

b. Pesan

Pesan merupakan susunan simbol yang memiliki banyak arti
tentang peristiwa, objek, atau kejadian yang dihasilkan dari interaksi
dengan orang lain. Untuk berkomunikasi, seseorang harus sanggup
menyusun suatu gambaran mental, memberi nama pada gambaran
tersebut dan mengembangkan suatu perasaan terhadapnya.
Komunikasi tersebut efektif jika pesan yang dikirimkan itu diartikan
sama dengan apa yang dimaksudkan oleh si pengirim.

c. Jaringan Organisasi

Jaringan organisasi terdiri dari satu seri orang yang tiap-tiapnya
menduduki posisi atau peranan tertentu dalam organisasi. Ciptaan
dan pertukaran pesan dari orang-orang terjadi melalui jaringan

102 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

komunikasi. Suatu jaringan komunikasi ini mungkin mencakup
hanya 2 orang, beberapa orang atau bahkan seluruh organisasi.
Hakikat dan luas jaringan ini dipengaruhi banyak faktor, antara
lain: hubungan peranan, arah dan arus pesan, hakikat seri dan arus
pesan, dan isi dari pesan.

d. Ketergantungan

Keadaan saling tergantung merupakan karakteristik utama dalam
organisasi. Ketergantungan ini terjadi karena di dalam organisasi
ada beberapa divisi, unit, bidang, bagian, atau seksi yang saling
tergantung satu sama lain. Bila ada salah satu bagian yang disfungsi
atau mengalami gangguan, maka akan berpengaruh pada bagian
yang lainnya dan mungkin juga pada seluruh sistem organisasi.
Sebagai contoh, apabila bagian produksi suatu perusahaan
mengalami gangguan, maka bagian pergudangan, distribusi, dan
pemasaran akan mengalami gangguan. Adanya bagian dalam
organisasi, melahirkan sistem jaringan komunikasi untuk saling
melengkapi agar organisasi dapat berjalan dengan baik.

e. Hubungan

Organisasi merupakan suatu sistem terbuka, yang keberfungsiannya
sangat bergantung dari hubungan orang-orang di dalamnya.
Jaringan komunikasi organisasi sangat ditentukan oleh pertukaran
pesan diantara orang-orang di dalamnya. Oleh karena itu hubungan
manusia dalam organisasi yang memfokuskan kepada tingkah laku
komunikasi dari orang yang terlibat dalam suatu hubungan perlu
dipelajari. Hubungan manusia dalam organisasi meliputi hubungan
antara dua orang (diadik), hubungan tiga orang (triadik), hubungan
di dalam kelompok kecil (klik), maupun kelompok besar di dalam
organisasi.

f. Lingkungan

Lingkungan adalah semua totalitas secara fisik, psikis, sosial
dan budaya yang diperhitungkan dalam pembuatan keputusan
mengenai individu dalam suatu sistem. Lingkungan ini dapat
dibedakan menjadi lingkungan internal (karyawan, staf, golongan
fungsional dari organisasi dan komponen organisasi lainnya
seperti tujuan, produk, dan sebagainya) dan lingkungan eksternal
(pelanggan, pesaing dan teknologi).

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 103

g. Ketidakpastian

Ketidakpastian terjadi karena adanya perbedaan informasi yang
tersedia dengan informasi yang diharapkan. Untuk mengurangi
faktor ketidakpastian dalam komunikasi, organisasi menciptakan
dan menukar pesan diantara anggota, melakukan riset serta
pengembangan organisasi. Ketidakpastian dalam suatu organisasi
juga disebabkan terlalu banyak informasi yang diterima daripada
sesungguhnya yang diperlukan untuk menghadapi lingkungan
organisasi. Oleh karena itu salah satu tugas utama komunikasi
organisasi adalah menentukan dengan tepat banyaknya informasi
yang diperlukan untuk mengurangi ketidakpastian tanpa informasi
yang berlebihan.

3. Gaya Manajemen Konflik Komunikasi

Apakah Anda akan mendeskripsikan diri Anda sebagai seseorang
yang lebih memilih untuk menghindari konflik? Apakah Anda suka
mendapatkan apa yang Anda inginkan? Apakah Anda pandai bekerja
dengan seseorang untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan?
Kemungkinannya adalah Anda pernah berada dalam situasi di mana
Anda bisa menjawab “ya” untuk setiap pertanyaan tersebut. Cara kita
memandang dan menangani konflik dapat dipelajari dan kontekstual.
Apakah cara Anda menangani konflik mirip dengan cara orang tua
menangani konflik? Jika Anda berusia tertentu, Anda cenderung
menjawab pertanyaan ini dengan “Tidak!” Baru pada usia akhir dua
puluhan dan awal tiga puluhan saya mulai melihat betapa miripnya
saya dengan orang tua saya, meskipun saya, seperti banyak orang,
menghabiskan waktu bertahun-tahun mencoba membedakan diri saya
dari mereka. Penelitian Weber & Haring (1998) menunjukkan bahwa
ada transmisi sifat antargenerasi yang berkaitan dengan pengelolaan
konflik. Saat masih anak-anak, anak-anak cenderung menyelesaikan
konflik dengan temannya, dengan melihat orang tua dan saudara
kandungnya dalam menyelesaikan konflik. Kemudian, saat memasuki
masa remaja dan mulai mengembangkan hubungan di luar keluarga,
remaja mulai menguji apa yang telah dipelajari dari orang tuanya dan
diterapkan di lingkungan lain. Jika seorang anak telah mengamati
dan menggunakan gaya manajemen konflik negatif dengan saudara
kandung atau orang tua, dia cenderung menunjukkan perilaku tersebut
dengan anggota non-keluarga.

104 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Telah banyak penelitian yang dilakukan tentang berbagai jenis gaya
manajemen konflik, yaitu strategi komunikasi yang berusaha untuk
menghindari, menangani, atau menyelesaikan suatu konflik. Alat
yang ampuh untuk mengurangi konflik adalah pertukaran informasi.
Mencari lebih banyak informasi sebelum bereaksi terhadap peristiwa
yang memicu konflik adalah cara yang baik untuk mencari pemicu
konflik dan mengendalikan reaksi konflik. Elemen kunci lainnya
adalah apakah seorang komunikator berorientasi pada tujuan yang
berpusat pada diri sendiri atau tujuan yang berpusat pada orang lain.
Misalnya, jika tujuannya adalah untuk “menang” atau membuat orang
lain "kalah", ini menunjukkan perhatian yang tinggi pada diri sendiri
dan rendah perhatian terhadap orang lain. Jika tujuannya adalah untuk
memfasilitasi resolusi atau hasil “menang/menang”, menunjukkan
perhatian yang tinggi terhadap diri sendiri dan orang lain. Secara umum,
strategi yang memfasilitasi pertukaran informasi dan memasukkan
perhatian pada tujuan bersama akan lebih berhasil dalam mengelola
konflik (Sillars, 1980).

Gambar 5. 17: Lima Gaya Manajemen Konflik Komunikasi
Gaya Bersaing (Competing Style)

Gaya bersaing menunjukkan orang tersebut memberikan
penghargaan atau penilaian yang tinggi terhadap diri sendiri dan
rendahnya penghargaan terhadap orang lain. Saat seseorang bersaing,
sebenarnya sedang berusaha untuk “memenangkan” konflik, yang
berpotensi mengorbankan atau “kehilangan” orang lain. Salah satu
cara mengukur kemenangan adalah dengan diberikan atau mengambil

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 105

konsesi dari orang lain. Gaya bersaing juga melibatkan penggunaan
kekuasaan, yang dapat bersifat non-koersif atau koersif (Sillars,
1980). Strategi non-koersif termasuk meminta dan membujuk. Saat
meminta, disarankan mitra konflik mengubah perilaku. Meminta tidak
membutuhkan pertukaran informasi tingkat tinggi. Namun, ketika
membujuk, perlu memberikan alasan kepada mitra konflik untuk
mendukung permintaan atau saran, yang berarti ada lebih banyak
pertukaran informasi, yang dapat membuat persuasi lebih efektif
daripada meminta.

Bersaing dikaitkan dengan agresi, meski keduanya tidak selalu
berpasangan. Jika ketegasan tidak berhasil, ada kemungkinan hal
itu bisa meningkat menjadi permusuhan. Ada pola eskalasi verbal:
permintaan, tuntutan, keluhan, pernyataan marah, ancaman, pelecehan,
dan pelecehan verbal (Johnson & Roloff, 2000). Komunikasi yang agresif
dapat menjadi berpola, yang dapat menciptakan lingkungan yang tidak
stabil dan tidak bersahabat.

Gaya bersaing dalam pengelolaan konflik tidak sama dengan
memiliki kepribadian yang kompetitif. Persaingan dalam relasi sosial
tidak selalu negatif, dan orang yang senang terlibat dalam persaingan
mungkin tidak selalu melakukannya dengan mengorbankan tujuan
orang lain. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa beberapa
pasangan terlibat dalam aktivitas bersama yang kompetitif seperti
olahraga atau permainan untuk mempertahankan dan memperkaya
hubungan mereka (Dindia & Baxter, 1987). Meskipun daya saing itu
adalah gender, penelitian sering menunjukkan bahwa perempuan sama
kompetitifnya dengan laki-laki (Messman & Mikesell, 2000).

Gaya Menghindar (Avoiding Style)

Gaya pengelolaan konflik yang menghindari sering menunjukkan
penghargaan atau penilaian yang rendah pada diri sendiri dan
penghargaan yang rendah pula terhadap orang lain, dan antar pihak
yang berkonflik tidak ada komunikasi langsung tentang konflik
yang terjadi. Namun, dalam beberapa budaya yang menekankan
keharmonisan kelompok di atas kepentingan individu, dan dalam
beberapa situasi, menghindari konflik dapat menunjukkan perhatian
tingkat tinggi terhadap yang lain. Sebagai contoh, budaya Jawa yang
lebih mengedepankan harmoni, pihak-pihak yang terlibat konflik
terkadang memilih gaya menghindar. Minghindar, bukan berati tidak

106 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

bisa berkomunikasi. Bahkan ketika kita mencoba untuk menghindari
konflik, kita mungkin secara sengaja atau tidak sengaja memberikan
perasaan kita melalui komunikasi verbal dan nonverbal. Gaya
menghindar bersifat pasif atau tidak langsung, yang berarti hanya
ada sedikit pertukaran informasi, yang mungkin membuat strategi ini
kurang efektif dibandingkan yang lain. Menghindari konflik karena
berbagai alasan, diantaranya konflik itu tidak terlalu penting, lebih
baik diabaikan. Jika orang yang berkonflik bekerja di kantor yang
sama, mungkin menganggap konflik hanya sementara dan memilih
untuk menghindarinya dan berharap konflik itu akan selesai dengan
sendirinya. Jika tidak terlibat secara emosional dalam konflik tersebut,
mungkin dapat mengubah sudut pandang dan melihat situasi dengan
cara yang berbeda untuk menyelesaikan masalah.

Gaya menghindar dalam penyelesaian konflik tentu tidak
membutuhkan investasi waktu yang banyak, emosi, atau keterampilan
komunikasi yang tinggi. Penghindaran dapat dimanifestasikan dalam
banyak cara, mulai dari mengubah topik pembicaraan, kemudian
berkembang menghindari masalah, menghindari lawan konflik, bahkan
mengakhiri hubungan.

Gaya Mengakomodasi (Accommodating Style)

Gaya pengelolaan konflik yang akomodatif menunjukkan
rendahnya penghargaan atau penilaian terhadap diri sendiri dan
penghargaan yang tinggi terhadap orang lain dan sering dipandang
sebagai pasif atau penurut, yaitu seseorang menuruti atau mewajibkan
orang lain tanpa memberikan masukan pribadi. Konteks dan motivasi
di balik akomodatif memainkan peran penting, apakah itu merupakan
strategi yang tepat atau tidak. Umumnya, orang yang memilih gaya
mengakomodasi karena memiliki karakter murah hati, menurut, atau
mengalah (Bobot, 2010). Jika kita murah hati, kita mengakomodasi
karena kita benar-benar ingin. Jika kita patuh/penurut, kita tidak punya
pilihan selain mengakomodasi (mungkin karena potensi konsekuensi
atau hukuman negatif). Jika kita mengalah, kita mungkin memiliki
pandangan atau tujuan kita sendiri tetapi menyerah karena kelelahan,
keterbatasan waktu, atau karena solusi yang lebih baik telah ditawarkan.

Mengakomodasi dapat menjadi tepat ketika ada sedikit
kemungkinan bahwa tujuan kita sendiri dapat dicapai, ketika kita
tidak memiliki banyak kerugian dengan mengakomodasi, ketika kita

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 107

merasa kita salah, atau ketika mengadvokasi kebutuhan kita sendiri
dapat berdampak negatif pada hubungan (Isenhart & Spangle, 2000).
Akomodasi sesekali dapat berguna dalam memelihara hubungan,
karena menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan diri
sendiri sebagai cara untuk mencapai tujuan relasional. Penelitian Cai
& Fink (2002) menunjukkan bahwa gaya akomodatif lebih mungkin
terjadi ketika ada batasan waktu dan kecil kemungkinannya terjadi
ketika seseorang tidak ingin terlihat lemah.

Gaya Kompromi (Compromising Style)

Gaya kompromi menunjukkan penghargaan atau penilaian yang
moderat untuk diri sendiri dan orang lain, serta mungkin menunjukkan
bahwa orang tersebut keterkaitannya dengan konfik yang terjadi
rendah. Meskipun kita sering mendengar bahwa cara terbaik untuk
menangani konflik adalah berkompromi, gaya kompromi bukanlah
solusi menang-menang; ini merupakan kemenangan/kekalahan parsial.
Intinya, ketika kita berkompromi, kita melepaskan sebagian atau
sebagian besar dari apa yang kita inginkan. Memang benar bahwa
konflik tersebut diselesaikan untuk sementara, tetapi pemikiran yang
tertinggal tentang apa yang Anda serahkan dapat menyebabkan konflik
di masa depan. Berkompromi mungkin merupakan strategi yang baik
ketika ada batasan waktu atau ketika konflik berkepanjangan dapat
menyebabkan kerusakan hubungan. Kompromi mungkin juga baik
ketika kedua belah pihak memiliki kekuatan yang sama atau ketika
strategi resolusi lainnya tidak berhasil (Macintosh & Stevens, 2008). Hal
negatif dari kompromi adalah dapat digunakan sebagai jalan keluar
yang mudah dari konflik. Gaya kompromi paling efektif jika kedua
belah pihak menemukan solusi yang sesuai.

Gaya Berkolaborasi (Collaborating Style)

Gaya berkolaborasi menunjukkan penghargaan atau penilaian yang
tinggi terhadap diri sendiri dan orang lain. Meskipun gaya berkolaborasi
mengambil pekerjaan paling banyak dalam hal kompetensi komunikasi,
namun pada akhirnya mengarah pada situasi menang-menang (win-
win solutions) di mana tidak ada pihak yang harus membuat konsesi
karena solusi yang saling menguntungkan ditemukan atau dibuat.
Keuntungan yang jelas adalah bahwa kedua belah pihak merasa puas,
yang dapat mengarah pada penyelesaian masalah yang positif di masa

108 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

depan dan memperkuat hubungan secara keseluruhan. Kerugiannya
adalah bahwa gaya ini sering memakan waktu, dan hanya satu orang
yang mungkin mau menggunakan pendekatan ini sementara orang
lain sangat ingin bersaing untuk mencapai tujuan mereka atau bersedia
untuk mengakomodasi.

Berikut beberapa tip untuk berkolaborasi untuk mencapai hasil
Win-win Solution (Hargie, 2011):

1) Jangan melihat konflik sebagai kontes yang ingin dimenangkan.

2) Tetaplah fleksibel dan sadari bahwa ada solusi yang belum
ditemukan.

3) Bedakan orang dari masalahnya (jangan menjadikannya masalah
pribadi).

4) Tentukan kebutuhan mendasar yang mendorong permintaan orang
lain (kebutuhan masih dapat dipenuhi melalui permintaan yang
berbeda).

5) Identifikasi area kesamaan atau kepentingan bersama yang dapat
digunakan untuk mengembangkan solusi.

6) Ajukan pertanyaan untuk memungkinkan menjelaskan dan
membantu dalam memahami perspektif lawan konflik.

7) Dengarkan baik-baik dan berikan umpan balik verbal dan
nonverbal.

C. Teori Konflik dalam Hubungan Internasional
Perang dan konflik antar negara menjadi bagian tidak terpisahkan

dalam kehidupan di dunia. Setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II
berakhir, perang berlanjut menjadi Perang Dingin. Amerika Serikat dan
Uni Soviet menjadi dua negara besar yang saling berhadapan dalam
Perang Dingin. Perang Dingin usai, perang teluk yang melibatkan
Irak dan Iran terjadi. Begitu pula perang dan konflik lainnya yang
melibatkan beberapa negara. Konflik internal di lingkup negara juga
terjadi di beberapa negara, seperti Suriah, Afganistan, dan sebagainya.
Sejak Perang Dunia I, banyak ahli teori dan ilmuwan politik telah
mencoba menjelaskan konflik antar negara (konflik internasional) dan
mencari solusi tentang upaya menciptakan lingkungan internasional
yang damai tetapi sampai saat ini belum tercapai dalam kehidupan

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 109

nyata. Perang dan konflik antar negara tetap mewarnai hubungan antar
negara (Hubungan Internasional).

1. Pandangan HI tentang Konflik Internasional

Konflik antar negara (konflik internasional) merupakan fenomena
umum yang hampir terjadi di setiap saat dan tempat. Berbagai upaya
untuk menyelesaikan konflik antar negara telah diupayakan, namun
konflik antar negara tetap terjadi. Berbagai bentuk kerja sama antar
negara telah diupayakan dan menjadi salah satu topik dalam hubungan
internasional atau politik dunia. Untuk menjelaskan konflik antar
negara, ada dua pandangan yaitu pandangan “konflik adalah normal”
dan pandangan “konflik adalah abnormal”.

Pandangan Pertama: “Konflik Adalah Normal”

Pandangan pertama adalah “konflik adalah normal” Teori arus
utama HI, realisme, institusionalisme liberal, dan aliran kiri baru
misalnya, cenderung memahami konflik sebagai hal yang normal.
Konflik adalah normal dalam kehidupan manusia, dalam lingkungan
sosial, dan dalam hubungan internasional. Asumsi ini berakar pada
kerangka Kantian-Hegelian tentang hubungan diri-orang lain,
yang menyatakan bahwa diri selalu membutuhkan orang lain yang
bermusuhan untuk membangun identitasnya. Dialektika Hegelian
membantu mengembangkan lebih jauh asumsi fundamental ini dan
berpendapat bahwa interaksi kutub yang berlawanan, yaitu, tesis
dan antitesis, merupakan dinamika kehidupan. Ia melihat kemajuan
sosial dalam interaksi konfliktual dari kekuatan kontradiktif dalam
kompetisi tesis-versus-antitesis. Dalam hubungan internasional, konflik
lebih mencolok dan serius karena pemahaman yang mengakar dari
masyarakat internasional sebagai hutan anarkis di mana setiap orang
bertarung melawan orang lain karena tidak adanya Leviathan. Di dalam
filsafat Hobbes, Leviathan merupakan simbol suatu sistem negara.
Seperti Leviathan, negara haruslah berkuasa mutlak dan ditakuti oleh
semua rakyatnya, karena hanya dengan cara inilah manusia-manusia
dapat mengalami ketertiban dan kebahagiaan.

Teori HI arus utama, misalnya, berpendapat bahwa konflik
adalah sifat kehidupan internasional. Teori realisme berpendapat
bahwa perebutan kekuasaan selalu menjadi tema sentral hubungan
internasional. Teori institusionalisme liberal juga meyakini bahwa

110 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

konflik itu ada sebagai sesuatu yang wajar, meskipun lebih optimis
terhadap penyelesaian konflik melalui lembaga internasional. Para
sarjana kiri baru yang menggunakan dialektika Hegel selalu memberikan
penekanan khusus pada konflik antara kelas sosial ekonomi yang
berbeda dan mencoba untuk mengidentifikasi kontradiksi utama
dalam ekonomi politik dunia. Interpretasi kehidupan internasional
ini berbagi tradisi Kantian-Hegelian yang sama mengenai sifat konflik
dalam kehidupan manusia dan sosial: konflik itu normal, karena itu
merupakan keadaan alami. Asumsi penting terkait dari pendekatan
ini adalah bahwa konflik berasal dari perbedaan. Begitu dua aktor,
apakah individu, kelompok, atau bangsa, berbeda, mereka cenderung
berkonflik satu sama lain. Dengan kata lain, perbedaan menyebabkan
konflik. Logika penalaran ini tercermin dalam banyak pemikiran
internasional yang terkenal (Yaqing, 2018).

Pikirkan tentang dua teori penting, satu di awal Perang Dingin dan
yang lainnya di akhir Perang Dingin. Setiap orang yang mempelajari
hubungan internasional tahu betul telegram panjang oleh George
Kennan, yang menyatakan bahwa hubungan konfliktual akan terbentuk
setelah Perang Dunia Kedua antara Amerika Serikat dan Uni Soviet,
dua negara yang telah bangkit sebagai negara adidaya setelah perang.
Setelah analisis terperinci tentang Uni Soviet, Kennan menyimpulkan
bahwa perbedaan ideologis antara dua pemain utama itulah yang
pada akhirnya akan mengarah pada konflik yang tak terhindarkan
antara kedua raksasa tersebut. Pada akhir Perang Dingin, ketika dunia
menyaksikan runtuhnya bipolaritas konfliktual, argumen “benturan
peradaban” dikemukakan. Ini membagi dunia menjadi beberapa
peradaban besar dan membahas perbedaan di antara mereka. Peradaban
yang berbeda cenderung saling bertentangan dan dunia ideologi politik
yang berbeda yang telah mencirikan tahun-tahun Perang Dingin akan
digantikan oleh dunia peradaban atau negara peradaban yang berbeda,
keduanya pasti mengarah ke konflik. Dengan alur pemikiran yang
sama, teori Huntington (1996) mendukung argumen bahwa perbedaan
mengarah pada konflik. Resolusi konflik pada dasarnya didasarkan
pada penghapusan perbedaan, dan dibutuhkan untuk pembentukan
identitas. Dengan menghilangkan yang lain, potensi konflik antara
diri dan orang lain dihilangkan, meskipun mungkin untuk sementara
waktu. Seringkali strateginya adalah menggunakan kekerasan. Dengan

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 111

melenyapkan musuh kita menyelesaikan konflik. Pentingnya kekuatan
material yang keras telah ditekankan, karena dianggap sebagai cara
paling efektif untuk melenyapkan pihak lain yang bermusuhan.
Kekuatan lunak, bagaimanapun, sama atau bahkan lebih efektif untuk
tujuan yang sama, karena itu untuk mengkooptasi yang lain, membuat
yang lain menjadi sama dengan diri. Begitu pihak lain ingin melakukan
apa yang Anda ingin mereka lakukan, dia tidak lagi berbeda dan
kemungkinan konflik sebagian besar menghilang.

Pandangan Kedua: “Konflik Adalah Abnormal”

Pemahaman tradisional Tiongkok tentang konflik berbeda. Untuk
Taoisme dan Konfusianisme, keadaan alam adalah harmoni, baik
harmoni antara manusia dan alam dan mungkin terutama di antara
manusia. Dialektika Cina, melihat dunia dalam istilah kutub dan
interaksi gaya kutub sebagai penggerak utama kemajuan. Tidak seperti
dialektika Hegelian, ia melihat gaya kutub saling terkait dalam interaksi
yang saling melengkapi dan harmoni yang inklusif. Mereka saling
melengkapi, memberdayakan, dan memberi kehidupan satu sama
lain. Dengan kata lain, mereka bukanlah tesis dan antitesis. Mereka
adalah tesis, bergantung satu sama lain untuk hidup. Jadi, konflik
itu tidak normal. Sesuai dengan pandangan dunia bahwa hubungan
diri-orang lain itu harmonis pada awalnya. Oleh karena itu, harmoni
adalah keadaan alam. Pemahaman seperti itu, serta pandangan dunia
di baliknya, bertentangan dengan teori bahwa konflik itu normal
(Yaqing, 2018).

Konflik dipahami sebagai penyimpangan dari yang normal dan
sebagai konstruksi buatan manusia. Dialektika Cina menafsirkan
hubungan diri-orang lain dalam istilah hubungan yin-yang. Yin dan
Yang adalah dua kekuatan yang berlawanan dan agak mirip dengan
tesis dan antitesis Hegelian. Tetapi perbedaan utama antara tradisi Cina
dari model Hegelian adalah tentang hubungan antara yang berlawanan.
Model Hegelian bersifat konfliktual, sedangkan tradisi Cina pada
dasarnya harmonis. Dua istilah yang berlawanan menurut definisi
saling melengkapi dan inklusif satu sama lain. Bersama-sama mereka
menciptakan kehidupan dan menghasilkan dinamika untuk kemajuan.
Ada konflik kepentingan, keinginan, preferensi, dan nilai, tetapi
konflik tersebut tidak menikmati status yang sama dengan harmoni.
Hanya ketika orang menyimpang dari jalan yang benar, konflik

112 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

muncul. Kekuatan yang berlawanan berpotensi saling melengkapi,
alasan bersama selalu mungkin dilakukan. Karena itu konflik bisa
diselesaikan. Konflik disebabkan oleh perbedaan, dan dibutuhkan
perbedaan sebagai dasar dan syarat yang diperlukan untuk harmoni.
Hal ini dapat dianalosikan seperti nada yang berbeda menghasilkan
musik yang indah.

Dengan kata lain, melihat keindahan dalam perbedaan, dalam
heterogenitas, dan dalam pluralitas. Yin dan Yang sangat berbeda,
misalnya mewakili kekuatan pria dan wanita. Tapi justru karena mereka
berbeda, mereka membuat hidup bersama. Demikian pula, dunia
bermakna karena majemuk dengan budaya, peradaban, dan gaya hidup
yang berbeda. Pada dasarnya, mereka tidak boleh dianggap sebagai
sumber konflik. Dari logika ini, resolusi konflik bukanlah tentang
penghapusan perbedaan. Melainkan mencari cara agar elemen-elemen
berbeda bekerja sama secara kooperatif. Bagaimana mengatur mereka
untuk bekerja sama adalah prinsip fundamental untuk resolusi konflik,
yang bergantung pada tiga langkah terkait. Pertama adalah mencari
landasan bersama. Logika ini tidak pernah percaya bahwa tidak ada
kesamaan untuk dua gaya yang berlawanan. Kekuatan tersebut bersifat
inklusif dan saling melengkapi satu sama lain dan oleh karena itu harus
ada kepentingan bersama di antara mereka. Dua makhluk sosial mana
pun cenderung berbagi sesuatu.

Kedua adalah mendorong perbedaan yang saling melengkapi. Ini
berarti bahwa solusi untuk konflik bergantung pada perbedaan daripada
pada penghapusan perbedaan. Justru karena perbedaan itulah saling
melengkapi menjadi mungkin. Dalam hal integrasi regional, misalnya
ada model Eropa dan ASEAN way. Mereka berbeda. Namun, mereka
tidak boleh dilihat sebagai model saingan atau alternatif satu sama lain.
Faktanya, ada banyak hal yang dapat mereka lakukan untuk saling
melengkapi dengan mempelajari perbedaan yang dapat menutupi
kelemahan mereka sendiri. Tingkat fleksibilitas yang tinggi dari ASEAN
dapat mengurangi kekakuan Uni Eropa sementara kepatuhan pada
institusionalisme berbasis aturan dapat membuat ASEAN lebih efektif.

Ketiga, mediasi memberikan cara yang lebih berkelanjutan
untuk penyelesaian konflik. Cara orang Cina menghargai mediasi.
Penghapusan perbedaan seharusnya tidak menjadi pilihan utama untuk
penyelesaian konflik hanya karena hal itu tidak mungkin. Perbedaan

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 113

itu ada. Itu normal dan alami. Tidak ada yang bisa menghilangkan
perbedaan. Penghapusan melalui asimilasi dengan kekuatan lunak
juga tidak mungkin. Penyelesaian konflik praktis membutuhkan kedua
pihak yang berkonflik untuk bergerak menuju satu sama lain dan
menuju ke tengah yang sesuai yang biasanya merupakan kesamaan
kesamaan mereka. Mediasi mendorong mereka untuk mengambil
tindakan seperti itu dan oleh karena itu merupakan cara yang berguna
untuk penyelesaian konflik. Sebuah keyakinan bahwa selalu ada dasar
bersama yang dapat ditemukan. Perbedaan dapat menjadikannya
elemen positif dan pelengkap untuk kerja sama, bahwa mediasi
seringkali lebih berkelanjutan daripada eliminasi sebagai solusi untuk
konflik (Yaqing, 2018).

2. Analisis Konflik Hubungan Internasional

Analisis konflik menyangkut studi sistematis tentang penyebab,
aktor, proses, dan penyelesaian konflik di seluruh dunia. Analisis konflik
HI mengacu pada sejumlah disiplin ilmu yang berusaha menghasilkan
saran yang relevan tentang bagaimana mengelola dan menyelesaikan
konflik (Aggestam, 2014) . Fokus analisis konflik HI tercermin dalam
banyaknya pendekatan metodologis yang digunakan. Keragaman
ini sebagian berkaitan dengan perbedaan dalam tujuan penelitian
yang menyeluruh. Misalnya, beberapa penelitian berusaha untuk
memprediksi perilaku dan sikap konflik dengan pemanfaatan teori
permainan dan/atau simulasi. Studi lain bertujuan untuk menganalisis
relevansi kebijakan dan untuk menjembatani kesenjangan teori-praktik.
Dalam studi konflik HI, perbandingan terfokus, terstruktur dan/atau
metode studi kasus tunggal sering digunakan tidak hanya untuk
kemajuan teori analisis konflik, tetapi juga untuk resep generik dan
normatif. Misalnya, menyangkut kapan dan bagaimana strategi resolusi
konflik tertentu dianggap paling efisien untuk diterapkan selama
siklus konflik. Saat ini semakin banyak penelitian yang menggunakan
etnografi dan naratif sebagai metode untuk mengungkap kompleksitas
antara politik identitas, fitur kontekstual spesifik dari konflik dan
struktur global (Nesbitt-Larking & Kinnvall, 2014). Singkatnya, bidang
penelitian dan praktik analisis konflik HI sangat luas. Berikut ini
ditampilkan beberapa contoh analisis konflik HI.

Ariyati (2019) melakukan analisi konflik di wilayah Sahara
Barat merupakan konflik yang disengketakan oleh Maroko dan

114 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Front Polisario. Konflik ini disebabkan oleh perbedaan pandangan
atas kepemilikan wilayah dan otoritas yang berhak mengelola
wilayah tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji penyebab,
aktor, kepentingan aktor, dan resolusi yang mungkin hadir dalam
penyelesaian konflik. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah
deskriptif melalui studi kepustakaan. Temuan kajian ini menunjukkan
bahwa kegagalan analisis yang tepat dalam konflik membuat proses
penyelesaian konflik menjadi terhambat. Selain itu, kerjasama dan
kompromi dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik juga turut
mempengaruhi proses resolusi konflik.

Aiqani (2018) menyatakan, bahwa konflik antara China dan Tibet
merupakan konflik bersejarah. Dua wilayah tersebut telah berkonfrontasi
dalam jangka waktu yang lama. Tibet kukuh dengan pendirian untuk
menjadi negara merdeka. Sementara, China selalu menggunakan
kekuatan militer atau kekerasan untuk meredam aksi penolakan dan
upaya-upaya merebut kemerdekaan yang dilakukan oleh Tibet. Sehingga
untuk menganalisis hal tersebut, penulis menggunakan beberapa
indikator terwujudnya perdamaian demokratis, Pertama, keterhubungan
dalam satu lembaga atau organisasi internasional. Kedua, Kedekatan
secara geografis. Ketiga, adanya satu aliansi. Keempat, Distribusi dan
alokasi sumberdaya yang merata. Kelima, stabilitas politik yang terjamin.
Hasil penelitian menemukan bahwa hampir semua indikator tersebut
tidak terpenuhi dengan baik dalam relasi China dan Tibet. Relasi tersebut
memperlihatkan adanya kesenjangan yang lebar antara China dan Tibet.
Sehingga atas dasar ini konflik sukar untuk dihentikan.

D. Teori Konflik dalam Pekerjaan Sosial

Pekerjaan sosial merupakan salah satu ilmu dan praktik profesional
yang berpusat pada layanan dan dukungan bagi mereka yang
membutuhkan bantuan. Pekerjaan sosial, membantu individu dan
keluarga untuk meningkatkan kesejahteraannya, atau membentuk
kebijakan yang berdampak pada kondisi sosial komunitas dan kelompok.
Pekerja sosial akan memberikan kesempatan kepada individu, keluarga
dan komunitas dengan memberi dukungan, alat, dan sumber daya
untuk keberfungsian sosial dan berkembang di lingkungan masing-
masing. Tapi apa sebenarnya artinya ini? Dan seperti apa pekerjaan
sosial itu? Bagaimana sebenarnya pekerja sosial membantu orang?

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 115

Konstruksi teoretis dan model praktik ini menunjukkan sifat
interdisipliner dari pekerjaan sosial, dan mereka melukiskan gambaran
yang jelas tentang pekerjaan sosial yang sedang berlangsung. Selain
itu, halaman ini berfungsi sebagai titik awal yang luar biasa jika Anda
baru belajar tentang pekerjaan sosial untuk pertama kalinya, jika Anda
ngebut untuk ujian, atau jika Anda sedang mempertimbangkan untuk
mendapatkan gelar pekerjaan sosial tetapi tidak yakin mulai dari mana.

1. Teori-teori Pekerjaan Sosial

Pekerjaan sosial merupakan ilmu dan praktik yang berfokus pada
layanan sosial dan bersifat interdisipliner. Intervensi profesi pekerjaan
sosial meliputi individu, keluarga, komunitas, dan masyarakat. Oleh
karena itu, pekerjaan sosial membutuhkan ilmu-ilmu sosial seperti
sosiologi, psikologi, kriminologi, ekonomi, pendidikan, kesehatan,
dan ilmu politik yang memiliki kedudukan penting dalam pekerjaan
sosial. Ilmu-ilmu tersebut, berkontribusi dalam praktik pekerjaan sosial
pada tingkat mikro, meso, dan makro. Itu artinya, pekerjaan sosial
sebagai ilmu dan praktik dibangun dari serangkaian model teoritis,
yang dirancang guna mendamaikan atau menggabungkan perbedaan-
perbedaan yang ada untuk memahami dan memperbaiki kondisi sosial.

Kredo pekerjaan sosial adalah “membantu orang agar dapat
membantu diri mereka sendiri” (to help people to help themselves). Pekerja
sosial memfasilitasi perubahan perilaku individu, baik dalam skala
besar (seperti, sekolah, komunitas) maupun kecil (seperti, keluarga).
Pekerja sosial dapat memberikan layanan sosial secara langsung untuk
menangani masalah individu, membantu meningkatkan kapasitas
individu untuk memenuhi kewajiban sosial. Layanan sosial tidak
langsung, dapat dilakukan oleh pekerja sosial dalam pembangunan
kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk memperbaiki masalah jangka
panjang di masyarakat.

Singkatnya, pekerjaan sosial adalah ilmu, praktik, dan seni untuk
memberdayakan individu, kelompok, dan masyarakat. Pekerjaan sosial
mengambil berbagai kerangka teori yang digunakan dalam praktik
pekerjaan sosial. Teori adalah sistem konsep logis untuk menjelaskan
realitas yang terjadi dengan cara ilmiah. Teori mempunyai fungsi untuk
menjelaskan permasalahan sosial yang selanjutnya dijadikan dasar untuk
menyusun metode. Selanjutnya metode digunakan secara praktis untuk
memecahkan permasalahan sosial. Dari metode, kemudian diturunkan

116 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

ke dalam berbagai teknik. Penjelasan tersebut dapat divisualisasikan
seperti gambar berikut ini:

Gambar 5.18: Keterkaitan Teori, Metode, dan Teknik Pekerjaan Sosial
Berikut ini teori-teori yang dipelajari dalam bidang pekerjaan sosial:

a. Teori Pekerjaan Sosial Umum
b. Teori Konflik
c. Teori Perkembangan
d. Teori Siklus Hidup Keluarga
e. Teori Humanistik
f. Teori Psikodinamik
g. Teori Perkembangan Psikososial
h. Teori Pilihan Rasional
i. Teori Konstruksi Sosial
j. Teori Belajar Sosial
k. Teori Sistem
l. Teori Transpersonal

Dari deretan teori tersebut di atas, teori konflik merupakan salah
satu teori yang dipelajari dalam pekerjaan sosial.
2. Aplikasi Teori Konflik dalam Pekerjaan Sosial

Asumsi dasar teori konflik adalah semua masyarakat pada
dasarnya tidak setara, dan bahwa perbedaan kekuasaan berdampak

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 117

langsung pada kehidupan masyarakat. Asumsi ini sering dikaitkan
dengan pemikiran Karl Marx tentang konflik. Teori konflik menunjuk
pada sederetan perbedaan sosioekonomi, ras, seks, dan kelas yang
berkontribusi pada kesenjangan yang signifikan dalam kesempatan,
kualitas hidup, dan bahkan usia harapan hidup. Contohnya, kelas
atas (high class) yang memiliki sumber daya ekonomi yang melimpah,
memungkinkan untuk mengakses layanan kesehatan dan pendidikan
secara memadai. Pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup
dan memungkinkan untuk meningkatkan usia harapan hidup.
Ketimpangan sosial, diskriminasi dan marjinalisasi kelas bawah (lower
class) atau kelompok masyarakat miskin, merupakan wujud konflik
dalam perbedaan kelas.

Perbedaan seks (jenis kelamin) yang ada di masyarakat meungkinkan
terjadinya konflik antara laki-laki dan perempuan. Kekerasan
dalam keluarga (KDRT) seringkali menempatkan laki-laki sebagai
pelaku dan perempuan sebagai korban. Disinilah letak pentingnya
perberdayaan perempuan untuk meningkatkan kemandirian,
kapasitas, dan kemampuan dalam mengambil keputusan. Kesetaraan
gender merupakan upaya yang dapat dilakukan pekerja sosial dalam
mengurangi ketegangan dan konflik antara laki-laki dan perempuan.

Marx berpendapat bahwa konflik melekat dan diperlukan sebagai
cara untuk melawan atau menumbangkan ketidaksetaraan struktural.
Teori konflik membantu menjelaskan bagaimana struktur kekuasaan
dan perbedaan kekuasaan memengaruhi kehidupan orang. Kekuasaan
terbagi secara tidak merata di setiap masyarakat, dan semua masyarakat
melanggengkan berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan
melalui ketidaksetaraan struktural dari kesenjangan kekayaan sampai
diskriminasi. Singkatnya, kelompok dan individu mengedepankan
kepentingannya sendiri di atas kepentingan orang lain. Kelompok
dominan menjaga ketertiban sosial melalui manipulasi dan kontrol,
perubahan sosial dapat dicapai melalui konflik. Dalam praktik
pekerjaan sosial, aksi sosial dalam bentuk demonstrasi merupakan
metode penyelesaian masalah melalui konflik. Advokasi sosial yang
terkadang juga dilakukan dengan cara berdebat, merupakan contoh
penerapan teori konflik.

Dalam teori konflik, kehidupan dicirikan oleh konflik, baik secara
terbuka atau melalui eksploitasi, maupun tertutup melalui konsensus.

118 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Oleh karena itu, dengan menangani hubungan kekuasaan yang asimetris
ini, pekerja sosial bertujuan untuk meratakan skala dan mengurangi
keluhan antara orang atau kelompok. Pekerja sosial menangani
hubungan kekuasaan asimetris ini dengan membantu menghadapi
gejala ketimpangan sosial. Teori konflik dianggap sebagai salah satu
perspektif utama di bidang sosiologi, dan berfungsi sebagai komponen
penting pekerjaan sosial. Teori konflik memberikan penjelasan tentang
bagaimana perbedaan kekuasaan berdampak pada kehidupan sehari-
hari individu dan komunitas.

Berbagai teori sosial diterapkan dalam praktik pekerjaan sosial
baik di tingkat mikro, meso maupun makro yang berfokus terutama
pada pertumbuhan dan perkembangan manusia, fungsi psikologis
dan sosial, keadilan sosial dan ekonomi. Praktisi pekerjaan sosial,
secara umum mengkonseptualisasikan kerangka kerja teori-teori
sosial yang dikembangkan dari perspektif sejarah untuk memecahkan
suatu masalah guna meningkatkan dan menciptakan perubahan.
Teori-teori sosial hanyalah sekumpulan gagasan yang dikembangkan
secara konsekuen dalam filsafat, psikologi, disiplin sosiologi menurut
tanggapan manusia terhadap situasi yang berbeda.

Teori konflik dapat ditelusuri dari karya Karl Marx, Max Weber,
George Simmel, Lewi Coser, dan Ralph Dahrendorf. Mereka menyoroti
kehidupan sosial yang diwarnai konflik dan menjelaskan perubahan
sosial. Konflik muncul karena persaingan memperebutkan sumber
daya yang terbatas. Salah satu metode yang perlu dikuasai pekerja
sosial adalah mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber daya untuk
kesejahteraan. Selain itu, tatanan sosial dipertahankan oleh dominasi
dan kekuasaan, yaitu mereka yang memiliki kekayaan selalu berusaha
untuk menekan yang lebih miskin.

Konflik kelas di masyarakat bukan hanya disebabkan faktor ekonomi
saja, tetapi juga jenis kelamin, usia, ras dan etnis, ideologi, kepentingan
dan agama. Perubahan masyarakat dari bentuk sederhana ke kompleks
merupakan fenomena umum, dan setiap perubahan dapat melahirkan
pertentangan. Konflik atau pertentangan dalam perubahan sosial
terjadi antara yang menerima dan menolak perubahan. Antara generasi
tua dengan generasi muda. Antara yang mudah menerima perubahan
dang yang sulit menerima perubahan. Perubahan sosial pada akhirnya
berpengaruh pada hubungan sosial yang secara bertahap menjadi lebih

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 119

bergantung pada kepentingan dan kesejahteraan komunal. Orang
hanya akan memberikan tenaga mereka untuk menerima upah daripada
melakukan tugas secara sukarela.

E. Teori Konflik dalam Ilmu Politik

1. Konsep Konflik Politik

Politik bukan hanya berbicara tentang perebutan dan distribusi
kekuasaan. Dalam konteks konflik, politik merupakan metode khusus
untuk menyelesaikan perselisihan. Ini menunjukkan bahwa di balik
peristiwa konflik, terdapat upaya untuk menyelesaikan konflik. Politik
bukan hanya sebagai sumber penyebab konflik, tetapi juga sebagai
metode untuk menyelesaikan perselisihan politik.

Pemikiran di atas dikuatkan oleh pendapat ilmuwan politik Bernard
Crick (1929-2008). Crick mendefinisikan (2005: 21) politik sebagai aktivitas
di mana berbagai kepentingan dalam unit aturan tertentu didamaikan
dengan memberi mereka bagian dalam kekuasaan sebanding dengan
kepentingannya bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup seluruh
komunitas.

Crick (2005: 30) juga memberikan pengertian politik lebih luas lagi,
bahwa politik adalah solusi untuk masalah ketertiban yang memilih
konsiliasi daripada kekerasan atau paksaan. Menurutnya, politik itu
berbeda dengan kekerasan. Pengertian politik yang senada dengan
resolusi konflik tanpa kekerasan sesungguhnya juga hadir dalam bahasa
sehari-hari. Misalnya, solusi politik untuk penyelesaian masalah antar
negara seperti sengketa wilayah antara India dan Pakistan di Kashmir,
atau Perang Saudara Libya tahun 2011, adalah salah satu contoh peran
politik dalam resolusi konflik yang melibatkan negosiasi damai dan
arbitrase.

Meskipun definisi politik sebagai cara pemecahan masalah yang
berbeda dari kekerasan tidak selalu berarti bahwa itu mengambil
bentuk politik partai. Bagi sebagian orang, penafsiran Crick tentang
politik masih terlalu sempit, jika tidak pada negara, maka pada jenis
proses politik tertentu - yang terkait erat dengan demokrasi pluralis dan
memiliki sedikit relevansi dalam non-demokratis atau non-pluralis.

Heywood (2013: 2) menawarkan definisi politik yang agak lebih luas,
yaitu politik sebagai aktivitas di mana orang membuat, melestarikan dan

120 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

mengubah aturan umum di mana mereka hidup. Politik dicirikan sebagai
proses resolusi konflik, di mana upaya dilakukan untuk mendamaikan
kepentingan saingan. Meskipun pada akhirnya konflik tidak dapat
diselesaikan, politik diwarnai dengan pencarian penyelesaian tersebut.
Dengan fokusnya pada resolusi konflik, definisi ini memiliki beberapa
kesamaan dengan Crick, namun ada juga beberapa perbedaan. Crick
mendefinisikan politik sebagai cara tertentu untuk menyelesaikan
konflik, pembagian kekuasaan yang proporsional dengan kepentingan
yang berbeda, dan mempersempit ruang lingkupnya dengan mencatat
bahwa itu terjadi ‘dalam unit aturan tertentu’ (seperti negara). Bisa
dibilang, definisi Heywood lebih luas, dengan mempertimbangkan
aktivitas politik di luar ‘unit aturan’, dan mendefinisikannya sebagai
pencarian konsiliasi dan bukan pencapaiannya.

Konflik sebagai perhatian utama sistem politik mungkin diberikan
rumusannya yang paling ringkas dan berpengaruh oleh Schattschneider
dalam pidato kepresidenannya tahun 1957 pada American Political
Science Association. Politik adalah pengelolaan konflik, pertama-tama
perlu untuk menyingkirkan beberapa konsep konflik yang sederhana.
Konflik politik pada dasarnya atau biasanya bukan soal benturan
langsung atau adu kekuatan, karena alasan yang bagus: orang yang
cerdas lebih suka menghindari adu kekuatan, tentang masalah yang
lebih serius daripada olahraga, kecuali jika mereka yakin akan menang.
Konflik politik juga tidak seperti debat antar-perguruan tinggi di mana
para penentangnya sepakat terlebih dahulu tentang definisi masalah.
Definisi alternatif adalah instrumen kekuasaan tertinggi; antagonis
jarang dapat menyetujui apa masalahnya karena kekuasaan terlibat
dalam definisi. Politik menjalankan negara karena definisi alternatifnya
adalah pilihan konflik, dan pilihan konflik mengalokasikan kekuasaan
(Mair, 2002).

Pemahaman Heywood tentang politik adalah definisi konflik
dan resolusinya. Politik adalah proses pembangunan konsensus,
proses permusuhan, di mana rekonsiliasi dan konsensus belum
tentu merupakan hasil yang diinginkan. Resolusi konflik merupakan
penyelesaian konflik yang ditandai adanya konsensus (kesepakatan
bersama) atau kesepakatan mayoritas.

Baik Heywood dan Crick mendefinisikan politik sebagai proses
yang tujuan akhirnya adalah rekonsiliasi perbedaan dan penyelesaian

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 121

konflik. Jadi, dapat dikatakan bahwa definisi politik didasarkan pada
asumsi bahwa perbedaan dan konflik itu kondisi yang tidak diinginkan,
dan rekonsiliasi serta penyelesaiannya merupakan hal yang diinginkan.
Baik Crick maupun Heywood memulai dari asumsi normatif bahwa
perbedaan dan konflik adalah sesuatu yang ‘buruk’ dan rekonsiliasi
atau resolusi adalah sesuatu yang ‘baik’. Oleh karena itu, definisi politik
Crick dan Heywood, sebenarnya dibangun di atas asumsi normatif
tentang apa yang ‘baik’ dan ‘buruk’, ‘diinginkan’ dan ‘tidak diinginkan’.
Hal ini penting untuk disadari, karena analisis politik sebagian tentang
menggali asumsi normatif yang seringkali tersirat dalam pernyataan
dan praktik politik.

Anda mungkin bertanya-tanya apakah ada orang yang benar-benar
menghargai konflik. Bukankah konsensus atau rekonsiliasi perbedaan
selalu merupakan hal yang baik? Adakah yang benar-benar berpendapat
bahwa konflik itu diinginkan? Memang ada orang yang melakukannya
dan yang atas dasar penilaian normatif yang mungkin berlawanan
dengan intuisi ini, menawarkan definisi politik dengan fokus yang agak
berbeda. Di antara mereka adalah ahli teori yang menganut mazhab
pemikiran yang dikenal sebagai agonisme. Agonisme menekankan
aspek positif dari konflik dan tidak melihat rekonsiliasi perbedaan atau
penyelesaian konflik sebagai satu-satunya hasil politik yang diinginkan.
Bonnie Honig adalah salah satu pendukung agonisme yang berpendapat
perlunya mengidentifikasi ‘dimensi afirmatif dari kontestasi’ (Honig,
1993: 15).

Bagi ahli teori politik agonis, politik adalah proses yang
memungkinkan terjadinya perbedaan dan konflik secara berdampingan.
Dengan kata lain, politik adalah proses di mana kita hidup bersama dan
menghormati mereka yang berbeda, tanpa kita berusaha meyakinkan
mereka untuk menjadi ‘seperti kita’, atau mereka mencoba meyakinkan
kita untuk menjadi ‘seperti mereka’. Ini juga merupakan proses di mana
konflik diorganisir, dan pada kenyataannya dibuat produktif, bukannya
dihapus.

Definisi agonis tentang politik memiliki beberapa kesamaan dengan
definisi politik seperti yang dikemukakan oleh Crick dan Heywood.
Keduanya berasumsi, misalnya, perbedaan dan konflik merupakan ciri
fundamental masyarakat dan bahwa politik menawarkan cara hidup
dengan perbedaan dan konflik tersebut. Ada perbedaan normatif,

122 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

dengan teori agonis lebih menekankan pada keinginan dan aspek
produktif dari konflik, sebagai lawan dari pencarian konsiliasi. Memang,
bagi beberapa ahli teori agonis, persistensi perbedaan dan perselisihan
justru menunjukkan adanya kebebasan.

“Jika kita ingin orang bebas, kita harus selalu mengizinkan kemungkinan
munculnya konflik dan ... menyediakan arena di mana perbedaan dapat
dikonfrontasi” (Chantal Mouffe)

2. Kekuasaan dan Konflik

Kekuasaan dan konflik merupakan dua hal yang akan selalu
ditemukan dalam kehidupan sosial. Apabila orang menghendaki
keberhasilan dalam organisasi, maka organisasi perlu mengembangkan
nilai-nilai positif kekuasaan, dan mengindari nilai-nilai negatif
kekuasaan. Kekuasaan dapat menjadi sumber munculnya konflik, tetapi
juga dapat dijadikan sarana untuk menyelesaikan konflik. Organisasi
yang berhasil, adalah organisasi yang dapat mengelola setiap konflik
yang ada. Kekuasaan dalam kehidupan politik memiliki peran dalam
sebagian besar terjadinya konflik.

Coleman (1974) menemukan empat perspektif tentang kekuasaan.
Pertama, “kekuasaan atas (power over) adalah kemampuan untuk
memaksa seseorang melakukan sesuatu”. Pandangan ini menunjukkan
pandangan kekuasaan sebagai koersif dan kompetitif. Coleman
berpendapat bahwa pemahaman utama tentang kekuasaan adalah
pandangan kompetitif “kekuasaan atas”. Dengan pemahaman ini,
konflik kekuasaan kemudian dipandang sebagai kompetisi menang-
kalah, sehingga merusak peluang mereka untuk mendapatkan
penyelesaian yang memuaskan. Dibutuhkan lebih banyak penekanan
pada kekuatan kooperatif, bergantung dan mandiri.

Kedua, “kekuatan dengan” (power with) yang menekankan
keefektifan tindakan bersama atau kooperatif. Konflik kerja sama,
sebenarnya membangkitkan kekuasaan, yang dipahami sebagai
“kekuasaan dengan”. Konsepsi kekuasaan membentuk strategi yang
digunakan dalam konflik. Ini merupakan pemahaman yang lebih luas
tentang kekuasaan akan menawarkan alternatif-alternatif dari strategi
bersaing.

Ketiga, “ketidakberdayaan dan ketergantungan”. Ketika mengevaluasi
keseimbangan kekuasaan antara pihak-pihak yang berkonflik, penting

Penerapan Teori Konflik Pada Ilmu-ilmu Sosial 123

untuk dicatat bahwa kekuatan beberapa pihak mungkin tidak relevan
atau tidak berguna dalam situasi tertentu. Penilaian kekuasaan relatif
harus berfokus pada kekuasaan yang relevan. Demikian pula, para
pihak harus merefleksikan dengan hati-hati tujuan mereka dalam suatu
konflik, dan bertanya pada diri sendiri jenis kekuasaan mana yang bisa
efektif, dan mana yang merugikan, dalam mencapai tujuan tersebut.

Keempat, ”pemberdayaan dan kemandirian” (empowerment and
independence). Para ahli teori pemberdayaan menggunakan gagasan
“kekuasaan untuk” (power for), seperti halnya kekuasaan untuk bertindak
secara efektif tanpa kendala atau cacat. Kelompok strong power
cenderung menyukai kekuasaan, menggunakannya, membenarkan
memilikinya, dan berusaha mempertahankannya. Mereka kurang
memperhatikan orang-orang yang powerless (Coleman, 1974: 124-
125). Kelompok strong power cenderung mengasingkan kelompok
powerless, dan sehingga pada gilirannya memicu perlawanan dari
kaum lemah tersebut. Sebaliknya, kelompok powerless cenderung
berpandangan sempit dan tidak puas.

Coleman (1974: 113) mendefinisikan kekuasaan sebagai interaksi
timbal balik antara karakteristik seseorang dan karakteristik situasi,
di mana orang tersebut memiliki akses ke sumber daya yang berharga
dan menggunakannya untuk mencapai tujuan pribadi, relasional,
atau lingkungan. Untuk mendapatkan kekuasaan diantaranya melalui
penggunaan strategi pengaruh. Kekuasaan dipahami dalam konteks
relasional.

Coleman (1974) berusaha juga mengkaji relevansi faktor pribadi
orang dan kekuasaan. Faktor pribadi dimaksud meliputi orientasi
kognitif, motivasi diri, dan orientasi moral terhadap kekuasaan. Dalam
hal motivasi diri, sebagian orang memiliki orientasi otoriter yang
menekankan pada ketaatan pada otoritas. Orang mungkin termotivasi
untuk mengejar kekuasaan pribadi, atau kekuasaan untuk kelompok
mereka. Orientasi moral seseorang terhadap kekuasaan bervariasi
sejalan dengan tingkat perkembangan moral mereka masing-masing.
tingkat sentimen egaliter, dan persepsinya tentang keadilan.

Sebagai kesimpulan, Coleman memberikan saran untuk
pelatihan dalam resolusi konflik, dan menawarkan contoh latihan
yang bermanfaat. Peserta harus merefleksikan konsepsinya tentang
kekuasaan, dan reaksi khas mereka sendiri untuk menjadi kuat tanpa

124 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

daya. Mereka harus menyadari sumber struktural dari keistimewaan
atau kerugian. Peserta harus dapat mengidentifikasi berbagai jenis
kekuasaan, orientasi pribadi terhadap kekuasaan, sumber dan strategi
kekuasaan yang tersedia dalam pengaturan konflik tertentu.

Kesimpulan 125

Bab VI

KESIMPULAN

Konflik sosial merupakan fenomena umum yang terjadi di setiap
tempat dan waktu. Tidak ada individu, kelompok, organisasi,
masyarakat, dan negara yang dalam perjalanannya tidak pernah
berhadapan dengan konflik. Konflik sosial memiliki sejarah yang
panjang, sepanjang keberadaan manusia di muka bumi ini. Setiap
individu memiliki pandangan yang berbeda tentang konflik. Ada
yang memandang konflik itu merugikan, merusak, menghancurkan
dan harus dihindari. Sebagian yang lainnya memandang konflik
sebagai sesuatu yang alami, wajar, dan tidak dapat dihindari sebagai
konsekuensi dari hubungan antar manusia. ada pula yang memandang
konflik itu perlu diciptakan dan dikelola agar kehidupan kelompok dan
organisasi menjadi lebih dinamis.

Teori konflik seringkali dikaitkan dengan pemikiran Karl Marx
tentang kehidupan pada masyarakat kapitalis. Menurut Marx,
sepanjang perjalanan kehidupan manusia adalah perjuangan antar
kelas, yaitu kelas borjuasi dan kelas proletariat. Meski pemikiran Marx
banyak dikritik, tetapi banyak juga yang mengembangkannya. Konflik
tidak selamanya berkaitan dengan determinasi ekonomi. Sebab-sebab
konflik sosial bukan hanya sebatas kelangkaan sumber daya ekonomi,
tetapi juga kekuasaan. Sebab-sebab konflik merentang mulai dari ras
dan etnis, agama, kepentingan, ideologi, aspek biologis dan aspek
psikologis.

Proposisi konflik sosial yang dirumuskan oleh Marx, Weber,
Simmel, Coser, Dahrendorf, menunjukkan bahwa konflik itu sangat
kompleks. Teori konflik tidak hanya menjelaskan sebab-sebab konflik
semata, tetapi juga dampak, aktor, proses, dan resolusi konflik. Para ahli
konflik telah banyak menawarkan model dan pendekatan konflik dalam
bentuk resolusi konflik. Ilmu lain menyebutnya sebagai manajemen

125

126 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

konflik. Ternyata, model yang ditawarkan dalam penyelesaian konflik
tidak mampu menghilangkan fenomena konflik dalam kehidupan
masyarakat. Perang sebagai manifestasi konflik yang dilakukan oleh
negara, dapat dipandang sebagai sesuatu yang normal, sebagian lainnya
memandang sebagai hal yang abnormal.

Konflik dalam tiga perspektif utama sosiologi dipandang sebagai
makna subyektif bagi pihak-pihak yang terlibat konflik (perspektif
interaksionisme simbolik). Konflik memiliki fungsi atau manfaat
bagi keberlangsungan kehidupan manusia (perspektif struktural
fungsional). Konflik merupakan hal yang normal, wajar, dan pasti terjadi
dalam kehidupan masyarakat (perspektif konflik). Perspektif konflik
telah banyak memberikan warna dan kontribusi pada teori-teori ilmu
sosial dan politik. Dalam ilmu komunikasi, ilmu kesejahteraan sosial
dan pekerjaan sosial, hubungan internasional, ilmu politik, apalagi
sosiologi, perspektif konflik dijadikan dasar penjelas realitas masing-
masing bidang ilmu. Inilah yang menyebabkan, munculnya keragaman
teori konflik yang merentang mulai dari yang makro sampai dengan
yang mikro. Mulai dari faktor ekonomi sampai faktor psikis.

Bagian akhir dari buku ini (bab 5), penulis mencoba menjelaskan
penerapan teori konflik di lima bidang ilmu sosial dan politik, yaitu
sosiologi, ilmu kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial, ilmu
komunikasi, hubungan internasional dan ilmu politik. Tujuannya
adalah agar mahasiswa ilmu sosial dan politik mampu “membumikan”
teori konflik sesuai bidang keilmuannya.

Saat ini konsep-konsep sosiologi banyak diturunkan untuk
kepentingan praktis, diantaranya teori konflik yang diturunkan menjadi
resolusi konflik. Negosiasi, mediasi, arbitrase, mediasi - arbitrase (med
-arb), ombuds dan pencarian fakta, merupakan bentuk-bentuk resolusi
konflik yang dapat dipraktikkan dalam menyelesaikan pertikaian.

Dalam ilmu komunikasi, konflik dapat terjadi dalam komunikasi
antarpersonal dan komunikasi organisasi. Konflik dalam komunikasi
dapat memengaruhi kualitas hubungan antara pihak-pihak yang
terlibat dalam komunikasi. Untuk menyelesaikan konflik komunikasi,
ada lima gaya yang dapat digunakan, yaitu: gaya kompetisi, kolaborasi,
kompromi, menghindar dan akomodasi.

Pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial merupakan bidang ilmu
praktis yang berfokus pada pelayanan sosial pada manusia. Baik sebagai

Kesimpulan 127

individu, keluarga, kelompok, organisasi, komunitas dan masyarakat.
Keberadaan konflik dapat mengganggu keberlangsungan fungsi
sosial individu dan kelompok. Individu dan kelompok yang sedang
mengalami disfungsi sosial, maka akan mengganggu pelaksanaan
peran dan tanggung jawab sosialnya.

Konflik internasional merupakan salah satu kajian ilmu hubungan
internasional. konflik internasional dapat berwujud konflik antar negara
yang disebut perang. Pandangan hubungan internasional terhadap
perang adalah “perang sebagai hal yang normal” dan “perang sebagai
hal yang abnormal”. Untuk menganalisis konflik internasional, maka
diperlukan pendekatan analisis konflik internasional.

Dalam ilmu politik, teori konflik dapat dijadikan dasar untuk
menganalisis relasi politik dan konflik, serta kekuasaan dan konflik.
Relasi kekuasaan dan konflik, oleh Coleman (1974) dikonseptualisasikan
sebagai “power over”, “power with”, “empowerment and independence” dan
“power for”.

128 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

(Halaman ini sengaja dikosongkan)

Glosarium 129

GLOSARIUM

Ajudikasi pada umumnya merupakan standar yang digunakan untuk
penyelesaian perselisihan melalui sistem dan lembaga hukum.

Arbitrase mirip dengan ajudikasi karena pihak yang berselisih juga
menyampaikan fakta-faktanya kepada arbiter yang akan
mengambil keputusan.

Efek positif konflik adalah terjadinya perubahan sosial yang diperlukan,
mengembangkan ide-ide kreatif dan inovasi, menghadirkan
masalah penting, membuat keputusan yang berkualitas dan
menyelesaikan masalah, rekayasa ulang organisasi, mengem-
bangkan solidaritas dan kohesi kelompok.

Efek negatif konflik mirip dengan kerjasama yang buruk, karena
membuang waktu dan energi yang seharusnya dapat digunakan
untuk yang lebih produktif.

Komunikasi organisasi: “sebagai proses menciptakan dan saling tukar
menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang saling
tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang
tidak pasti.”

Konflik adalah bagian dari proses interaksi sosial, di mana interaksi
yang terjadi tidak dapat berlangsung normal, karena upaya
yang dilakukan para pihak dalam memenuhi kebutuhan atau
pencapaian tujuannya menghadapi rintangan dari pihak lain.

Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri.
Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki
dua keinginan atau lebih yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus.

Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan
orang lain, karena memiliki kepentingan atau keinginan yang
berbeda. Hal ini sering terjadi antara dua orang atau lebih yang
berbeda status, peran, motif, dan tujuannya.

129

130 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Konflik Sosial adalah konflik yang terjadi dalam proses interaksi antara
manusia satu dengan manusia lain dalam kehidupan sosialnya.

Mediasi merupakan suatu upaya penyelesaian konflik antara dua
pihak yang berselisih dengan melibatkan pihak ketiga atau pihak
penengah.

Med-arb (mediasi-arbitrasi) adalah kombinasi mediasi dan arbitrase.
Awalnya, para pihak mengatasi perbedaan mereka dengan
bantuan seorang mediator. Jika mereka tidak dapat menyelesaikan,
ketidaksepakatan mereka akan diselesaikan melalui arbitrase.

Negosiasi adalah proses perundingan yang dilakukan oleh dua pihak
yang sedang terlibat konflik untuk membahas dan mencari cara
penyelesaian konflik.

Negosiasi kompetetif adalah perundingan yang ditandai dengan salah
satu pihak ingin menang dengan segala cara.

Negosiasi kolaboratif adalah perundingan yang mengarahkan pihak
yang berselisih untuk mempertimbangkan kepentingan bersama
dan mencari cara kreatif di mana keduanya bisa menang.

Ombudsman adalah pihak ketiga yang menyelidiki keluhan dalam
lingkungan organisasi publik ataupun organisasi privat.

Politik adalah ‘solusi untuk masalah ketertiban yang memilih konsiliasi
daripada kekerasan atau paksaan’, politik berbeda dari kekerasan.

Resolusi Konflik Sosial adalah suatu upaya untuk menyelesaikan atau
setidaknya menghentikan konflik sosial yang terjadi.

Yin dan Yang adalah dua kekuatan yang berlawanan dan agak mirip
dengan tesis dan antitesis Hegelian.

Daftar Pustaka 131

DAFTAR PUSTAKA

Aggestam, K. (2014) “Conflict Analysis and International Relations”. In:
Nesbitt-Larking P., Kinnvall C., Capelos T., Dekker H. (eds) The
Palgrave Handbook of Global Political Psychology. Palgrave Studies in
Political Psychology Series. Palgrave Macmillan, London. https://
doi.org/10.1007/978-1-137-29118-9_9

Ali, D.J. (2014) Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi. Jakarta: Gramedia
Pustaka.

Allport, G. W. (1954) The nature of prejudice. Cambridge, Mass: Addison-
Wesley.

Berkowitz, L. (1969) “The Frustration-Aggression Hypothesis
Revisited” in Berkowitz, L. ed. (1969) Roots of Aggression. Ney
York: Atherton.

Brym, R & Lie, J. (2009) Sociology: Your Compass for a New World, Brief:
Research Update International Edition (Second Edition).

Canary, D. J. & Susan J. Messman, “Relationship Conflict,” in Close
Relationships: A Sourcebook, eds. Clyde Hendrick and Susan S.
Hendrick (Thousand Oaks, CA: Sage, 2000), 261–70.

Coleman, J.S. (1974) Power and Structure of Society. New York: Norton.
Coser, L. (1956) The Functions of Social Conflict. New York: Free Press.
Crick, B. (2005) In Defence of Politics. Continuum International Publishing

Group,.
Dollard, J., Miller, N. E., Doob, L. W., Mowrer, O. H., & Sears, R. R.

(1939) Frustration and aggression. Yale University Press. https://doi.
org/10.1037/10022-000
Du Bois, W.E.B. (1969) The Souls of Black Folk. Chicago, USA: A. C.
McClurg & Co.

131

132 TEORI KONFLIK DAN PENERAPANNYA PADA ILMU-ILMU SOSIAL

Dwipayana, G & Sjamsuddin, N. (ed). (2003) Jejak Langkah Pak Harto 01
Oktober 1965 – 27 Maret 1968. Jakarta: Team Dokumentasi Presiden
Republik Indonesia dan diterbitkan PT. Citra Kharisma Bunda
Jakarta.

Folberg, J. & Taylor, A. (1984) Mediation: A comprehensive guide to resolving
conflicts without litigation. San Francisco: Jossey-Bass.

Gillin, J.L & Gillin, J. (1948) Cultural sociology. New York : Macmillan.

Goldhaber, G.M. (1986) Organizational Communication. Iowa Wm: Brown
Publisher Ig.

Hargie, O., (2011) Skilled Interpersonal Interaction: Research, Theory, and
Practice. London: Routledge.

Heywood, A. (2005). Politics. London : Macmillan International Higher
Education.

Hobson, J.A. (2006) Imperialism: A Study. Cosimo Inc.

Huntington, S.P. (1996) The Clash of Civilization and Remarking of World
Order. New York: Simon & Schuster.

Isenhart, M. W. & Michael Spangle, M. (2000) Collaborative Approaches to
Resolving Conflict. Thousand Oaks, CA: Sage.

Johnson, C. (1966) Revolutionary Change. Boston: Little, Brown.

Kuhn, T. (1960) The Structure Of Scientific Revolution. USA: University of
Chicago Press.

Lamb, N. (2008) The Art and Craft of Storytelling. F+W Media, Inc.

Lenin, V.I. (1917) The State and Revolution: Marxist Theory of the State.
Moscow: Progress Publishers.

Levine, R. A. & Campbell, D. T. (1972) Ethnocentricism: theories of conflict,
ethnic attitudes and group behavior. New York: Wiley.

Marx, K & Engels, F. (1998) The Communist Manifesto, introduction by
Martin Malia (New York: Penguin group.

Moore, C. (1986) The mediation process: Practical strategies for resolving
conflict. San Francisco: Jossey-Bass

Morell, J. (2009) Thanks, but this isn’t for us. London: Penguin.

Muhammad, A. (2005) Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Nesbitt, L. P., Kinnvall C., Capelos T., Dekker H. (eds). (2014) The
Palgrave Handbook of Global Political Psychology. Palgrave Studies in

Daftar Pustaka 133

Political Psychology Series. London: Palgrave Macmillan. https://
doi.org/10.1007/978-1-137-29118-9_9
Nikolajeva, M. (2005) Aesthetic Approaches to Children's Literature: An
Introduction. Scarecrow Press.
Potts, M & Hayden, T. (2008) Sex and War: How Biology Explains Warfare
and Terrorism and Offers a Path to a Safer World 1st Edition. Dallas,
TX: Ben Bella Books.
Robin, S.P. (2003) Perilaku Organisasi. Jakarta: Indeks Gramedia.
Ross, E.I. (1993) Write Now. Barnes & Noble Publishing.
Sherif, M., et. all (1961) Intergroup cooperation and competition: The Robbers
Cave experiment. Norman, OK: University Book Exchange
Simmel, Georg (1971). : “The Conflict in Modern Culture”, pp. 375–93,
1971 in: Georg Simmel: On Individuality and Social Forms, edited by
Donald N. Levine, Chicago: University of Chicago Press.
Singarimbun, M & Efendi. (1995) Metode Penelitian Survey. Jakarta: PT.
Pustaka LP3ES.
Herbert ,Spencer (1898). The Principles of Sociology (New York: D.
Appleton, 1898).
Stoner, A.F & Wankel, C. (1993) Manajemen. (Terj. Bakowaton, W.W).
Jakarta: Intermedia
Stulberg, J. (1987) Taking charge, managing conflict. Lexington, MA:
Lexington Books.
Turner, Jonathan H. (1998), The Structure of Sociological Theory, Edisi
Enam. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
Weiler, B. “Ratzenhofer, Gustav (1842–1904)”. The Blackwell Encyclopedia
of Sociology. First published: 15 February 2007. https://doi.
org/10.1002/9781405165518.wbeosr028
Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori. Aplikasi, dan
Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika

Jurnal Ilmiah
Aiqani, N.A. “Analisis Konflik Tiongkok dan Tibet: Studi kasus

Pendudukan Wilayah Tibet oleh Tiongkok.” Jurnal Ilmiah
Hubungan Internasional. Vol. 14, No. 2. (2018).


Click to View FlipBook Version