The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Ardi Novra, 2022-12-30 17:10:49

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat: Sustainable Integrated Farming System (SIFAS) Approach

BUKU_SIFAS_Ardi Novra

Keywords: Integrasi,SIFAS,Sapi,Industri,Peternakan

i

PENULIS
Dr. Ir. Ardi Novra, MP

ISBN: 9786025094637

EDITOR:
Ir. M. Afdhal, MSc., PhD
Prof. Dr. Ir. H. Nurhayati, MSc.agr
Dr. Sc.agr. Ir. Tedja Kaswari, MSc

PENYUNTING:
Dr. Ir. Pahantus Maruli, MSi

DESAIN SAMPUL DAN TATA LETAK:
Dr. Ir. Ardi Novra, MP

PENERBIT:
Unit Publikasi Fakultas Peternakan Universitas Jambi

REDAKSI:
Fakultas Peternakan Universitas Jambi
Kampus UNJA Pinang Masak Jl. Jambi - Muaro Bulian KM. 15
Mendalo Indah - JAMBI 36361
Tel. 0741-582907
Fax. 0741-582907
Email: fapet@unja.ac.id

DISTRIBUTOR TUNGGAL
Unit Publikasi Fapet Unja Kampus UNJA Pinang Masak
Jl. Jambi - Muaro Bulian KM. 15 Mendalo Darat - JAMBI 36361
Tel. 0741-582907
Fax. 0741-582907
Email: fapet@unja.ac.id

Cetakan Pertama, Desember 2019

Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan
cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

ii

PENGANTAR

Rektor Universitas Jambi

NKRI membutuhkan model kebijakan pembangunan yang mampu mendorong
pemanfaatan sumberdaya alam secara efisien, efisien dan berkelanjutan.
Kebijakan yang didasari pada keselarasan antara kebutuhan dan potensi yang
dikembangkan secara kreatif dan inovatif melalui riset dan pengembangan
jangka panjang. Kebijakan- kebijakan yang berorientasi untuk kemakmuran dan
berkeadilan melalui pemberdaan kelompok masyarakat sasaran.
Model pembangunan partisipatif dan kolektif pada sektor peternakan sapi potong
diharapkan mampu mengurangi dan bahkan melepaskan negara ini dari
ketergantungan yang tinggi kepada negara lain guna memenuhi kebutuhan salah
satu bahan pangan sumber protein hewani ini. Sumberdaya alam yang melimpah
dengan kondisi iklim yang mendukung kegiatan produksi sepanjang tahun sudah
selayaknya menjadikan Indonesia sebagai negara produsen atau ekportir daging
dan ternak sapi dunia.
Sebagai Rektor Universitas Jambi, saya sangat berharap curahan pemikiran staf
pengajar dalam buku ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
pengambilan kebijakan. Kepada dosen atau staf pengajar, saya menghimbau
untuk dapat memanfaatkan buku ini sebagai bahan ajar dalam matakuliah terkait.
Sangat jarang ditemui buku-buku yang disusun berdasarkan pengalaman
panjang sebuah riset dan didasarkan analisis kondisi lapangan. Melalui tulisan
yang komprehensif ini tujuan bersama kita untuk membekali dan memperluas
wawasan peserta didik dapat terwujud.
Akhir kata, saya ucapkan selamat kepada Penulis dan teruslah berkarya dengan
ilmu dan pengetahuan yang sudah dikarunia Allah SWT demi kemasyalahatan
umat manusia.
Wassalam dan terima kasih

Jambi, Januari 2020

Prof. Drs. H. Sutrisno, MSc., PhD
Rektor Universitas Jambi

iii

PENGANTAR

Dekan Fakultas Peternakan Universitas Jambi

Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris yang kaya akan sumber daya
alam termasuk sumber daya pendukung pengembangan sub sektor peternakan.
Ketersediaan daging yang cukup pada era orde baru dan awal reformasi mampu
memenuhi kebutuhan daging nasional sehingga tidak tergantung pada daging
impor. Pasca reformasi, situasi ini berubah dimana perubahan fungsi lahan yang
cukup signifikan menyebabkan sistem peternakan yang dikembangkan tidak
berkelanjutan dan penghargaan terhadap petani peternak semakin rendah.
Akibatnya upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani tidak dapat dicapai dan
solusi pemerintah melalui impor daging beku juga tidak dapat menyelesaikan
persoalan harga daging dan pemenuhan kebutuhan protein hewani. Terbitnya
buku ini ‘Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat, Sustainable
Integrated Farming System (SIFAS) Approach” diharapkan dapat menjadi acuan
bagi pemangku kepentingan terkait pengembangan peternakan rakyat sehingga
Indonesia tidak lagi menjadi negara pengimpor daging.
Buku ini selain menggambarkan kondisi peternakan rakyat dan permasalahan
yang ada juga memberikan alternatif solusi program dan kegiatan yang dapat
dilakukan guna kembali memberdayakan peternakan rakyat yang terintegrasi
dengan potensi wilayah setempat terutama dengan perkebunan sawit sehingga
dapat mengurangi biaya produksi, meningkatkan kuantitas dan kualitas daging
yang dihasilkan juga ramah lingkungan dengan memanfaatkan limbah
perkebunan sawit sebagai bahan pakan dan limbah peternakan sebagai pupuk di
lahan perkebunan.
Akhirnya semoga buku ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai
acuan bagi mahasiswa dan dosen Peternakan, pengambil kebijakan dan
pemangku kepentingan lainnya untuk kembali menjadikan Indonesia sebagai
negara penghasil daging yang cukup secara kualitas dan kuantitas guna
pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia.

Jambi, Januari 2020

Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, MSc. agr
Dekan Fapet Universitas Jambi

iv

PENGANTAR

Pengamat Pembangunan Peternakan

Diantara banyak penulis buku yang diterbitkan mengenai ternak sapi potong di
Indonesia, buku yang ditulis Saudara Ardi Novra, merupakan buku yang cukup
komprehensif mengungkap semua masalah yang terjadi mengenai
pembangunan peternakan sapi potong. Penulis mampu mengungkap berbagai
persoalan aktual dan sangat spesifik, mulai dari Kebijakan dasar pembangunan
peternakan sapi potong sampai kepada masalah zooteknis yang sangat detail.
Buku ini, sangat layak dibaca berbagai lapisan masyarakat terutama pelajar,
mahasiswa dan kalangan kampus karena akan sangat bemanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan ternak sapi potong. Sedangkan bagi para
praktisi dan pengusaha sangat penting karena mereka memerlukan informasi
aktual mengenai kebijakan dan aspeksosial ekonomi lainnya tentang
pembangunan peternakan terutama berkaitan dengan berbagai alternatif
pengembangan peternakan pada masa akan agar tidak lagi konvensional.
Beberapa contoh-contoh alternatif integrasi yang aktual dan implementatif dapat
diadopsi para penentu kebijakan, khususnya pemerintah baik pusat maupun
daerah.
Saya percaya dan sangat yakin dengan kemampuan dan pengalaman Penulis
menuangkannya dalam buku ini sangat sarat dengan data-data akurat. Sehingga
sangat pantas buku ini dijadikan rujukan bagi para pihak yang memerlukannya.
Sebagai rekan sejawat di Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan
(PERSEPSI), saya mengucapkan selamat atas penerbitan buku ini, kiranya kami
menunggu karya-karya berikutnya yang mampu mewarnai pembangunan
peteranakn sapi potong nasional.
Wassalam dan terima kasih

Bandung, 10 Januari 2020

Dr. Ir. Rochadi Tawaf, MS

v

PRAKATA

Indonesia adalah net importir daging sapi dengan trend perkembangan volume
dan nilai impor selama periode 2010 sampai 2017 terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Ketidakberdayaan produksi domestik guna memenuhi
kebutuhan konsumen yang terus meningkat menyebabkan negara yang kaya
sumberdaya alam peternakan ini terus mengalami pengurasan devisa. Salah
satu sumber yang diduga menjadi penyebab adalah inkonsistensi dalam
kebijakan seperti yang akan disajikan pada BAB I tentang analisis kebijakan
pembangunan peternakan sapi potong sejak dicanangkannya program PSDS
2007 sampai berlangsung program UPSUS SIWAB era pemerintahan kabinet
kerja sekarang. Inkonsistensi kebijakan yang menyebabkan tidak hanya terjadi
pembangunan yang tidak fokus dan tidak berkelanjutan tetapi juga menyebabkan
pemborosan sumberdaya dan kebingungan implementasi bagi instansi teknis
dan pengambil kebijakan di daerah. Semoga pada masa akan datang, kebijakan
yang didasari oleh ego sektoral dan kekuasan dan bahkan ego keilmuan tidak
lagi terjadi seiring dengan terbentuknya pemerintahan baru terlepas dari
siapapun nanti yang terpilih sebagai nahkoda Negara Kesatuan Republik
Indonesia tercinta ini.

Kata orang bijak “menjadi berguna tidak harus menunggu jadi utama” adalah
ungkapan penuh makna yang dapat diaplikasikan dalam peningkatan peran
sektor peternakan dalam pembangunan. Posisi mayoritas usaha peternakan sapi
potong selama ini bukan sebagai sumber pendapatan (pekerjaan) utama tetapi
lebih sebagai sumber pendapatan tambahan dan malahan sebagai tabungan.
Posisi peternakan sapi potong dalam kenyataannya tidak membuat komoditas ini
merasa terabaikan karena mampu hadir sebagai solusi pemecahan masalah
dalam kehidupan masyarakat terutama rumah tangga pertanian. Pada BAB II
tentang Perkembangan Sistem Integrasi akan dijelaskan tentang peran usaha
ternak sapi potong dalam berbagai kondisi perekonomian. Usaha ternak sapi
potong bisa hadir sebagai solusi alternatif dalam krisis ekonomi 1997 dan
ekonomi global 2008, serta pasca kebakaran hutan dan lahan 2015 dan program
pengendalian karhutla berbasis pemberdayaan masyarakat sekitas kawasan
konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI). Bahkan peternakan sapi potong
berpotensi bisa hadir sebagai solusi pemecahan masalah kehilangan
pendapatan sementara (temporary lost income) sebelum dan selama proses
peremajaan sawit dan karet rakyat.

Buku sistem integrasi tanaman ternak berkelanjutan (Sustainable integrated
farming system atau SIFAS) ini merupakan rangkuman perjalanan panjang
kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, serta kerjasama
penyusunan rencana program dan kegiatan beberapa lembaga terkait sejak
tahun 2007, antara lain:

1. Percepatan Swasembada Daging Sapi 2012 menuju Surplus Produksi 2017:
Roadmap Produk Unggulan Peternakan Provinsi Jambi, kerjasama dengan
Dinas Peternakan Provinsi Jambi (2007)

2. Study Kelayakan Pengembangan Wilayah Integrasi Ternak Sapi Potong
Provinsi Jambi, kerjasama dengan Dinas Peternakan Provinsi Jambi (2008).

vi

3. Solusi Alternatif Penanganan Dampak Krisis Global Terhadap Keragaan
Sosial Ekonomi Rumah Tangga Perkebunan, Hibah Kompetitif Penelitian
Sesuai Strategis Nasional Bacth III, Kerjasama Kementan RI dan Dikti
(2009)

4. Kajian Teknologi Tepat Guna (TTG) untuk Mendukung Program SAMISAKE,
Kerjasama dengan BALITBANGDA Provinsi Jambi (2010)

5. Pengembagan Kelompok Mitra Pengelola “Buffer Stock” Ternak Sapi
Pemerintah untuk Tujuan Stabilisasi Harga Daging, kerjasama dengan
BAPPEDA Provinsi Jambi (2010)

6. Study Kelayakan Usaha Integrasi Sawit Sapi (ISS) PT. Perkebunan
Nusantara VI, kerjasama dengan PTPN VI Persero Wilayah Sumbar-Jambi
(2011)

7. Redesain Sistem Distribusi Ternak Bibit dalam Rangka Penguatan Kapasitas
Kelembagaan Untuk Penanganan Dini Pengurasan Sapi Betina Produktif,
Penelitian Hibah Bersaing DP2M Dikti (2012)

8. Desain Kebijakan dan Model Kelembagaan Partisipatif Program
Penanganan Pengurasan Ternak Sapi Betina Produktif, Hibah Penelitian
Hibah Strategis Nasional DP2M Dikti (2012 - 2013).

9. Pengembangan dan Penguatan Kelompok Usaha Pelaku Integrasi Sawit
Sapi berbasis Limbah di Kecamatan Mestong, IPTEKDA-LIPI (2013 dan
2015).

10. Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit Terkena Dampak
Kebakaran Hutan dan Lahan, Program Pengabdian kepada Masyarakat
(PPM) Karhutla LPPM Universitas Jambi (2016)

11. Rencana Pengembangan Kawasan SPR (Sentra Peternakan Rakyat)
Kabupaten Merangin, kerjasama dengan Dinas Perikanan dan Peternakan
Kabupaten Merangin (2016).

12. Model Aksi Kolektif untuk Kemandirian Rumah Tangga Menghadapi
“Temporary Lost Income” Program Replanting Karet Rakyat, Hibah
Penprinas MP3EI DPRM Kemenristek Dikti (2015 - 2017).

13. Implementasi Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Desa di
Sekitar Perkebunan Sawit PT. Bahari Gembira Ria, kerjasama LPPM Unja,
PT. BGR dan Minamas Plantation (2018)

Ucapan terima kasih disampaikan khusus kepada Rektor, Dekan Fakultas
Peternakan dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
(LPPM) Universitas Jambi. Teruntuk rekan-rekan staf pengajar Fapet Unja yang
selama ini telah berkerja sama dalam berbagai kegiatan penelitian, pengabdian
dan kerjasama terucap salah kompak selalu. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir.
Adriani, MSi., Dr. Ir. Yusrizal, MSc., Dr. Ir. Suparjo, MP, Dr. Firmansyah, SPt, MP.,
Ir. Sri Novianti, MP., Drs. Nelson, MSi, Ir. Abdul Latief, MSi., Ir. Suhessy Syarif,
MP dan lain-lain atas kerjasama dan dukungannya.

Ucapan terima kasih juga untuk Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kepala BAPPEDA dan BALITBANGDA Provinsi Jambi periode 2007 sampai
2016 atas kepercayaan yang telah diberikan. Terspesial untuk para petani mitra
kerjasama lapangan terutama Kelompok Tani Sumber Rezeki Desa Mestong
Kabupaten Batanghari dan Kelompok Tani Mekar Jaya Desa Dataran Kempas

vii

Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Semangat dan motivasi kalian adalah pemacu
bagi Penulis untuk dapat berkontribusi dalam lebih besar dalam
mengembangkan riset berbasis kebutuhan “At this type of event you meet people
that you wouldn’t ordinarily meet, and they can give you really interesting insights
into the kinds of things that are needed. And there are a lot of users here, as
opposed to researchers, and therefore you start thinking about the kinds of
products that we need to deliver as scientists. We essentially want to make our
research demand-driven”.
Bak kata pepatah Tidak Ada Gading yang Tak Retak karena kesempurnaan itu
hanya milik Sang Pencipta Langit dan Bumi Allah, SWT. Masih banyak
kelemahan dan kekurangan dalam tulisan ini dan untuk itu Penulis membuka luas
masukan dan kritikan.
Akhirnya, semoga isi dalam buku ini bermanfaat bagi kita semua baik dalam
pengambilan kebijakan, implementasi lapangan, dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Sbelumnya diucapkan salam dan terima kasih atas masukan dan
kritik yang disampaikan.
Jambi, 12 Januari 2020
Penulis

Dr. Ir. Ardi Novra, MP

viii

DAFTAR ISI

PENGANTAR .............................................................................................. iii
PRAKATA .................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi
BAB I. Ternak Sapi Potong: Masalah dan Kebijakan ............................. 1
2
1.1. Pemenuhan Kebutuhan Daging Nasional ........................... 6
1.2. Dilema Kebijakan Pengembangan Sapi Potong ..................
BAB II. Industrialisasi Peternakan: Reposisi Peran Usaha Ternak Sapi 10
Potong ......................................................................................... 11
2.1. Grand Desain Pengembangan Ternak Sapi dan Kerbau ....
2.2. Agenda Besar Pembangunan Peternakan Sapi Potong 14
16
2045 ..................................................................................... 18
2.2.1. Transformasi Usaha Peternakan Rakyat ................. 22
2.2.2. Membangkitkan Wirausaha Sapi Potong.................. 23
2.2.3. Jadi “Kita” Pilih yang Mana? ....................................
2.3. Reposisi Peran dan Kedudukan Peternakan Sapi Potong .. 24
2.3.1. Skala Makro: Spesialisasi Wilayah dan Fokus
29
Prioritas .................................................................... 34
2.3.2. Reposisi Skala Mikro: Berdaya Guna Tak Harus
34
Jadi yang Utama ......................................................
2.4. Implementasi: Beberapa Contoh Program dan Kegiatan .... 37

2.4.1. Penguatan Kelompok Usaha Pelaku Integrasi 41
Sawit-Sapi ................................................................ 47
47
2.4.2. Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit 49
Pasca Karhutla 2015 ................................................ 51
56
2.4.3. Pengembangan Intercropping Sekitar Tegakan 58
Karet Replanting ...................................................... 59
62
BAB III. Integrasi Ternak Sapi: Warisan Budaya dan Perkembangan....... 69
3.1. Integrasi: Warisan Budaya Melayu ...................................... 71
3.2. Usahatani Monokultur dan Kebangkitan Integrasi................ 72
3.3. Pembelajaran Kejadian Karhutla Besar tahun 2015 ............ 73
3.4. Pembelajaran Apa yang Bisa Diambil? ............................... 75
78
BAB IV. Kawasan Integrasi: Teori Dasar dan Model Integrasi ................. 80
4.1. Konsep Dasar Pengembangan Kawasan ............................ 82
4.2. Pengembangan Kawasan Peternakan ................................ 86
4.3. Kawasan Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi ....................
4.4. Interaksi Antar Komoditas Pada Sistem Integrasi ............... 93
4.4.1. Kawasan Integrasi Sapi Sawit .................................
4.4.2. Kawasan Integrasi Sapi Karet .................................
4.4.3. Kawasan Integrasi Sapi Pangan ..............................
4.4.4. Kawasan Integrasi Sapi Tebu ..................................
4.5. Profil Investasi Integrasi Tanaman Ternak Sapi ..................
4.5.1. Integrasi Pangan dan Sapi Potong Rakyat ..............
4.5.2. Integrasi Sawit dan Sapi Potong Rakyat ..................
4.5.3. Dukungan Kebijakan Pengembangan IFS Sapi
Potong Rakyat .........................................................

ix

4.6. Model dan Kelayakan Integrasi Sawit Sapi (ISS) BUMN 95
Perkebunan .......................................................................... 97
4.6.1. Analisis Potensi Pasar dan Strategi Pemasaran...... 101
4.6.2. Aspek Managemen dan Organisasi ......................... 105
4.6.3. Aspek Teknis dan Produksi ..................................... 109
4.6.4. Aspek Finansial dan Ekonomi ................................. 113
4.6.5. Kesimpulan Analisis Kelayakan ISS ........................ 116
117
BAB V. SIFAS: Sustainable Integrated Farming Siystem ........................ 119
5.1. Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak ................................ 120
5.2. Membangun Sistem Integrasi Berkelanjutan ....................... 122
5.2.1. Teknologi Sebagai Penghubung .............................. 124
5.2.2. Teknologi Introduksi dan Penguatan Kelembagaan.
5.2.3. Kebijakan Pendukung .............................................. 126
127
BAB VI. Kelembagaan SIFAS: Tatakelola Kolektif Industrialisasi Sapi 129
Potong ......................................................................................... 129
6.1. Model Kelembagaan SIFAS ................................................ 131
6.2. Peran dan Kedudukan Pelaku dalam SIFAS ...................... 136
6.2.1. Peran dan Kedudukan Rumah Tangga Peternak..... 139
6.2.2. Peran dan Kedudukan Kelompok Peternak ............. 142
6.2.3. Peran dan Kedudukan Sentra Jasa Layanan ..........
145
BAB VII. Penutup .......................................................................................
REFERENSI ................................................................................................ 153
APPENDIX 1. PANDUAN PRODUKSI: Trychokompos Insitu (Pupuk

Organik Padat) .....................................................................
APPENDIX 2. PANDUAN PRODUKSI: Biourine “A” Plus (Pupuk Organik

Cair) .....................................................................................

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Perkembangan Harga Daging Sejenis Lembu Negara Asal 4
Impor Indonesia (CIF: US$/kg) …………………………………. 44
45
Tabel 2.1. Produktivitas Tanaman Pangan Intercropping dan Estimasi 45
Biaya dan Penerimaan ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, 112

Tabel 2.2. Dampak Budidaya Intercropping terhadap Tanaman Karet 120
Replanting …………………………………………………………. 121
122
Tabel 2.3. Daya Substitusi Masing-masing Tanaman Pangan …………..

Tabel 4.1. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Integrasi Sapi-Sawit
PTPN VI ……………………………………………………………

Tabel 5.1. Daftar Teknologi Pengolahan Limbah Tersedia sebagai
Penghubung (Interfance) Sistem Integrasi Tanaman dan
Ternak Sapi ………………………………………………………..

Tabel 5.2. Matrix Skala Prioritas Kebutuhan Teknologi Penghubung
dalam Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi …………..

Tabel 5.3. Jenis Layanan Teknologi Introduksi yang Dibutuhkan dalam
Peningkatan Daya Saing Ternak Sapi dalam Sistem Integrasi

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Daging Sejenis 2
Lembu Indonesia (2010 - 2017) ………..…………………….
3
Gambar 1. 2. Negara Asal Impor Daging Sejenis Lembu Indonesia 4
Tahun 2017……………………………………………………...
5
Gambar 1. 3. Perkembangan Harga Daging Sapi Dunia 2010 - 2019 …... 11

Gambar 1. 4. Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak Sapi 14
dan Kerbau (2010 - 2017) ……………………………………. 26

Gambar 2.1. Roadmap Pengembangan Sapi dan Kerbau ………………. 28
33
Gambar 2.2. Tahapan Transformasi Struktur Produksi Daging Sapi dan 36
Kerbau 39
42
Gambar 2.3. Rumah Besar Industri Peternakan Sapi Potong …..……….
43
Gambar 2.4. Skema Pengembangan Industri Peternakan Sapi 65
Potong ………………………………………………………….. 67
72
Gambar 2.5. Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat…….. 73
74
Gambar 2.6. Model Tatakelola Usaha Kelompok KIAT ….………………. 77
78
Gambar 2.7. Aliran Sumberdaya Pada Kelompok Mekar Jaya …………. 80
83
Gambar 2.8. Mekanisme Pengelolaan Program Aksi Kolektif ..…………. 87
100
Gambar 2.9. Metode Sharing Cropping antara Kelompok dan Pemilik 102
Lahan…………………………………………………………….
103
Gambar 4.1. Model Pengembangan Cluster ………………………………. 104
119
Gambar 4.2. Konsepsi Pengembangan Sentra Peternakan Rakyat ……. 119

Gambar 4.3. Pola Interaksi Tinggi Wilayah Integrasi Sawit-Sapi ……….. 124

Gambar 4.4. Pola Interaksi Rendah Wilayah Integrasi Sawit-Sapi ……... 125

Gambar 4.5. Pola Interaksi Wilayah Integrasi Karet-Sapi ………………..

Gambar 4.6. Pola Interaksi Wilayah Integrasi Padi-Sapi …………………

Gambar 4.7. Potensi Integrasi Sapi-Pangan Lahan Kering ………………

Gambar 4.8. Pola Interaksi Wilayah Integrasi Tebu-Sapi …………..……

Gambar 4.9. Aliran Sumberdaya dalam Integrasi Pangan-Sapi………….

Gambar 4.10. Aliran Sumberdaya dalam Integrasi Sawit-Sapi…………….

Gambar 4.11. Fluktuasi dan Trend Harga Daging dan Sapi Siap Potong ..

Gambar 4.12. Aktivitas dalam Manajemen Fattening ……………………....

Gambar 4.13. Prosedur Tetap dan Tahapan Usaha Pembibitan Sapi
Potong …………………………………………………………..

Gambar 4.14. Struktur Manajemen Usaha Integrasi Sawit-Sapi …………..

Gambar 5.1. Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi ………………..

Gambar 5.2. Tiga Komponen dalam Menuju Integrasi Berkelanjutan……

Gambar 5.3. Unit Usaha dan Keuangan Jasa Layanan Teknologi
Introduksi ………………………………………………………..

Gambar 5.4. Rangkaian Program dalam Membangun Integrasi
Berkelanjutan …………………………………………………..

xii

Gambar 6.1. Kebijakan Satu Pintu dalam Tatakelola Kawasan SIFAS…. 128
Gambar 6.2. Bak Koleksi Urine dan Pengeringan Limbah Padat ………. 130
Gambar 6.3. Peran dan Kedudukan Kelompok Peternak ……………….. 132
Gambar 6.4. Pohon Industri Komoditas Sapi Potong ……………………. 134
Gambar 6.5. Pemberdayaan dan Kelembagaan Kelompok Peternak
Sapi ……………………………………………………………... 135
Gambar 6.6. Jasa Layanan Peternakan …………………………………… 136
Gambar 6.7. Siteplan Pengembangan Sentra Jasa Layanan …………… 137

xiii

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

Masalah utama dalam pengembangan
sapi potong di Indonesia masih berputar
pada kesenjangan antara konsumsi
(demand) dan produksi (supply) yang
menyebabkan harga daging sapi tidak
terjangkau dan bahkan menjadi barang
mewah (luxury) terutama bagi rumah
tangga berpendapatan rendah. Hal ini
menyebabkan kebijakan pembangunan
peternakan sapi potong masih fokus
pada sektor produksi tetapi dalam
pengambilan kebijakan seringkali terasa
tidak berkesinambungan. Pergantian
rezim dan pejabat pengambil keputusan
selalu diikuti dengan perubahan fokus
kebijakan sehingga terlihat beberapa
program yang belum tuntas diganti
dengan program dan kebijakan baru.

Kebijakan yang terkadang esensinya
sama tetapi diurai dalam kalimat berbeda
tidak hanya menimbulkan pemborosan
sumberdaya tetapi juga membingungkan
bagi pemerintah daerah dan pelaku
usaha baik dunia usaha maupun
peternak rakyat di lapangan. Fenomena
ini terlihat dari perjalanan kebijakan

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-1

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

pembangunan peternakan pasca reformasi sampai pada saat sekarang, dimana
konsistensi dan keberlanjutan tidak terjaga secara baik. Kebijakan baru sering
benar-benar baru dan mengabaikan program-program dalam kebijakan
sebelumnya. Padahal dalam suatu kebijakan baru seharusnya menjadi pelengkap
dan dapat diintegrasikan dengan program sebelumnya guna menghindari
terjadinya inefisiensi dalam pembangunan. Untuk itu pada bagian awal akan
dibahas tentang dilema kebijakan pembangunan peternakan sapi potong dengan
dasar kinerja dan permasalahan dalam pembangunan peternakan sapi potong itu
sendiri.

1.1. Pemenuhan Kebutuhan Daging

Indonesia merupakan negara net impor produk daging sapi dengan volume dan
nilai impor (harga CIF) pada tahun 2017 masing-masing 160.198 ton dan US $
572.029 ribu. Volume dan nilai impor daging sejenis lembu ini mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun seperti disajikan pada Gambar 1.1

Gambar 1.1.
Perkembangan Volume dan Nilai Impor Daging Sejenis Lembu Indonesia (2010 - 2017)

Volume impor daging sejenis lembu mengalami peningkatan sebesar 20,04% dari
140.141 ton tahun 2010 menjadi 160.198 ton pada tahun 2017 atau mengalami
peningkatan rata-rata 2,86% (2.865 ton) setiap tahunnya. Peningkatan laju
pertumbuhan volume impor diikuti dengan kenaikan laju pertumbuhan nilai impor
yang lebih besar yaitu 48,59% dari US$ 394.99 juta tahun 2010 menjadi US$

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-2

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

572,03 juta pada tahun 2017 atau mengalami peningkatan sebesar 6,94% (US$
177,04 juta) setiap tahunnya. Perkembangan data impor daging ini tidak hanya
menyajikan laju pertumbuhan impor yang semakin meningkat tetapi dengan laju
pertumbuhan nilai yang lebih besar dibanding volume impor mengindikasikan
terjadinya kenaikan harga daging sapi di pasar internasional atau negara asal
daging impor..

Negara utama asal impor daging sejenis lembu di Indonesia berdasarkan data
perdagangan luar negeri Badan Pusat Statistik (BPS) adalah Australia, Amerika
Serikat dan Selandia Baru seperti disajikan pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2.
Negara Asal Impor Daging Sejenis Lembu Indonesia Tahun 2017

Pada tahun 2017 negara asal terbesar impor daging sejenis lembu adalah
Australia dengan proporsi 53,18% atau lebih dari separo impor daging Indonesia,
kemudian diikuti Selandia Baru dan USA. Komposisi impor daging terbesar dari
Australia dan Selandia Baru ini diduga bukan karena faktor harga yang lebih
murah tetapi lebih kepada sejarah hubungan perdagangan bilateral antara kedua
negara serta faktor kedekatan wilayah dan ketersediaan daging di Australia dan
Selandia Baru. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan harga daging (CIF)
masing-masing negara asal impor daging Indonesia pada Tabel 1.1.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-3

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

Tabel 1.1.
Perkembangan Harga Daging Sejenis Lembu Negara Asal Impor Indonesia

(CIF: US$/kg).

No Negara Asal Harga (US$/kg) Kenaikan pertahun
1 Australia
2010 2017 US$/kg %

2,88 3,48 0,09 2,69

2 Selandia Baru 3,04 3,44 0,06 1,78

3 Amerika Serikat 1,90 3,88 0,28 9,81

4 Lainnya 1,82 3,68 0,27 9,70

Rataan 2,82 3,57 0,11 3,36

Sumber: Olahan Data BPS (2018)

Harga CIF (Cost Insurance, and Freight) adalah harga daging setelah
ditambahkan dengan biaya pengiriman termasuk asuransi sampai ke pelabuhan
Indonesia yang ditanggung oleh eksportir. Perbandingan harga CIF ini
mengindikasikan bahwa harga pokok pembelian daging sapi pada setiap negara
hampir sama tetapi karena biaya pengiriman dari Australia lebih murah maka
harga CIFnya juga lebih rendah. Terkait dengan perkembangan harga impor,
yang lebih menarik untuk dibahas adalah terjadinya kenaikan harga pada pasar
internasional. Selama periode tahun 2010 - 2017 setiap tahun harga daging impor
mengalami kenaikan sebesar 3,36% (US$ 0,11/kg). Kenaikan volume yang diikuti
dengan kanaikan harga impor akan menyebabkan semakin besarnya devisa
negara terkuras untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.

Gambar 1.3. Halaman-4
Perkembangan Harga Daging Sapi Dunia 2010 - 2019

SIFAS (sustainable integrated farming system)

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

Kenaikan harga daging sapi global (Gambar 1.3) diduga karena peningkatan
permintaan (demand) daging sapi dunia lebih besar dibanding pertumbuhan
produksi (supply). Harga daging sapi dunia sudah mulai mengalami kenaikan
sejak tahun 2010 sampai mencapai puncaknya pada tahun 2014 dimana harga
mendekati sekitar US$ 5/kg. Harga tertinggi ini tidak bertahan lama karena pada
tahun 2015 terjadi penurunan drastis sehingga mencapai tingkat harga US$ 4,061
pada tahun 2016. Trend kenaikan volume, nilai dan harga daging impor ternyata
belum mampu mendorong perbaikan kinerja peternakan sapi potong domestik
yang terlihat dari laju pertumbuhan populasi yang negatif seperti Gambar 1.4.

Gambar 1.4.
Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak Sapi dan Kerbau (2010 - 2017)

Selama periode tahun 2010 - 2017 masih terjadi peningkatan pemotongan ternak
sapi domestik yang menyebabkan populasi ternak sapi mengalami penurunan
penurunan. Laju pertumbuhan pemotongan ternak sapi 2,72%/tahun diikuti
dengan laju penurunan populasi sebesar 2,35%/tahun. Peningkatan jumlah
pemotongan ternak sapi berkaitan dengan menurunnya laju pertumbuhan
pemotongan ternak kerbau. Laju penurunan pemotongan ternak kerbau
6,91%/tahun diikuti dengan laju penurunan populasi yang lebih cepat yaitu
14.32%/tahun. Banyak indikasi yang dapat kita ambil dari perkembangan kinerja
kedua jenis ternak ruminansia besar ini antara lain tekanan terhadap populasi
ternak sapi masih terus terjadi dengan semakin meningkatnya pemotongan dan
semakin langkanya ketersediaan barang substitusi sempurnanya yang berasal
dari pemotongan ternak kerbau.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-5

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

1.2. Dilema Kebijakan Pengembangan Sapi Potong

Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 yang merupakan program yang
keempat kalinya sejak dicanangkan pada tahun 1995 telah gagal dalam
pencapaiannya (Tawaf, 2015). Penyebab kegagalan karena ‘kesalahan hitung”
yang dikemukakan Mentan Suswono pada akhir masa jabatannya merupakan
manivestasi dari kontroversi yang terjadi antara ‘farming system versus sistem
agribisnis’ yang sejak lama menjadi perdebatan dalam implementasi. Pilihan
antara pengembangan farming system yang lebih dikenal dengan istilah usaha
ternak rakyat/peternakan rakyat, atau perusahaan peternakan yang menganut
konsep sistem agribisnis dalam membangun peternakan.

Kebijakan pembangunan peternakan di Indonesia terutama pasca reformasi
cenderung berubah, inkonsistensi dan dapat dikatakan tanpa keberlanjutan.
Anekdot “kebijakan berubah sesuai selera penguasa” maka salah satunya dapat
ditemukan dalam kebijakan pembangunan sektor peternakan. Pada awal
terbentuknya Kabinet Indonesia Kerja 2014 - 2019, pemerintah melalui dirjend
PKH mencanangkan program SPR (Sentra Peternakan Rakyat) sebagai
pengganti Program Swasembada Daging Sapi (PSDS). Program SPR menurut
Dirjend PKH Muladno (2016) merupakan program penataan ternak sekaligus
peternak rakyat bertujuan untuk mewujudkan usaha peternakan rakyat dalam
suatu perusahaan kolektif yang dikelola dalam satu manajemen, meningkatkan
daya saing usaha peternakan melalui peningkatan pengetahuan, kesadaran dan
penguatan keterampilan peternak rakyat. Program yang lebih menekankan pada
transfer pengetahuan dan teknologi (knowledge and technolgy transfer) ini pada
awalnya disebut sebagai salah satu terobosan baru yang bertujuan untuk
menyejahterakan rakyat Indonesia.

Program SPR baru berjalan dalam hitungan tahunan (< 2 tahun) tiba-tiba
digantikan dengan Upsus-Siwab (Upaya Khusus Percepatan Populasi Sapi dan
Kerbau Bunting). Salah satu penyebab program ini belum berjalan baik karena
masih ada tarik menarik soal jumlah SPR antara Dirjen PKH yang mencanangkan
500 ribu SPR, sementara Menteri Pertanian hanya menginginkan 50 SPR.
Program Upsus Siwab yang diluncurkan Kementan sejak 2016 mencakup dua
program utama yaitu peningkatan populasi melalui Inseminasi Buatan (IB) dan
Intensifikasi Kawin Alam (Inka). Secara teoritis menurut Ilham (2017) kerangka

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-6

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

pikir siklus kerja dan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan program Upsus
Siwab dimulai dari kondisi ternak betina sasaran, kondisi ternak pejantan atau
petugas, fasilitas IB, dan kemampuan peternak. Program Siwab merupakan
amanat dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016
tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau
Bunting menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah penanganan
gangguan reproduksi dan IB yang membutuhkan keahlian dan dukungam fasilitas
berupa kontainer di depo Kabupaten/Kota, serta komunikasi dan harmonisasi
pelaksanaan lapangan.

Program Upsus-Siwab yang kinerjanya dinyatakan cukup berhasil pada tahun
2017 dimana capaian kinerja pelayanan IB dari Januari 2017 sampai Maret 2018
(14 bulan), yaitu a) relisasi IB pada 4.905.881 ekor jauh melebihi target yang
ditetapkan yaitu 4 juta ekor, b) menghasilkan sapi dalam kondisi bunting
2.186.892 ekor dan kelahiran ternak sampai bulan Maret 2018 sebanyak
1.051.688 ekor. Penulis coba komparasi dengan target yang ditetapkan
pemerintah yaitu dari 4 juta ekor betina produktif apsektor IB ditargetkan minimal
75% (3 juta ekor) dapat bunting dan memperoleh pedet baru (Kementan 2017).
Sepertinya dengan angka konsepsi (conception rate) 44,56% dan kelahiran
(fertilty rate) sementara 21,44% baru target realisasi pelaksanaan IB yang sudah
dan bahkan melampaui target tetapi capaian kinerja IB itu sendiri masih jauh di
bawah yang ditargetkan.

Melakukan justifikasi apakah program Upsus-Siwab telah berhasil atau gagal
dengan perjalanan yang masih pendek 1 - 2 tahun bukan merupakan sesuatu
yang fair juga. Secara teknis apakah itu efektif dalam akselerasi pertumbuhan
populasi dan secara ekonomi apakah efektif mendorong kesejahteraan
masyarakat peternak kita harus menunggu beberapa tahun lagi. Namun demikian
ada satu hal yang perlu dipertimbangkan yaitu penggunaan kata WAJIB dalam
Siwab (betina produktif wajib bunting) yang sepertinya mendahului kehendak
yang maha kuasa, karena menyangkut makhluk hidup (bernyawa) yang hanya
Tuhan yang maha berkehendak. Sekedar untuk penyegaran saja sebelum
membaca lebih lanjuta “takutnya nanti akan timbul pula peraturan yang mengatur
sanksi bagi betina bunting karena adanya kata WAJIB tersebut”. Sebagai bangsa
yang berkeTuhanan Yang Maha Esa kita hanya bisa berusaha untuk akselerasi
pertumbuhan populasi ternak sapi potong sementara haslnya adalah atas izinNya.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-7

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

Meski terkesan “receh bin remeh” selayaknya juga dipertimbangkan misalnya
mengganti kata Wajib Bunting dengan Ayo Bunting (Siwab menjadi Siab) atau
lainnya sepanjang tidak merubah esensi dari program ini sendiri.

Program Upsus-Siwab tidak hanya menyebabkan program SPR menjadi tidak
tuntas tetapi membuat para pengambil kebijakan di daerah menjadi “sedikit
bingung dan pusing” tentang pengelolaan kawasan yang telah ditetapkan.
Perangkat SPR berupa 50 Gugus Perwakilan Pemilik Ternak (GPPT) yang telah
direkrut, dilatih dan bahkan sudah diperintah untuk melakukan koordinasi
pelaksanaan kegiatan pada tahun 2016 mau diarahkan kemana?. Bagaimana
kelanjutan nasib para manajer SPR dan perangkat yang dipimpinnya serta
peternak yang sudah dilatih dan diberi berbagai program pembekalan. Banyak
pertanyaan yang muncul dan tidak akan terjawab tetapi “kebingungan terbesar”
adalah menjawab ketika masyarakat bertanya dan menagih janji yang telah
tersosialisasikan. Guna meningkatkan produksi peternakan sapi potong
pemerintah gencar menggulirkan program baru yaitu program Sentra Peternakan
Rakyat (SPR) yang rencananya mulai dilaksanakan tahun 2016 dan setiap SPR
mendapatkan alokasi dari APBN sekitar Rp 1 Miliar (Jatimprov.go.id, 2015).

Sebelum program SPR ada kawasan sentra-sentra produksi (KSP) yang
terbengkalai atau dalam istilah kita bersama sudah menjalani “mati suri” dan
sekarang menyusul kawasan SPR yang bernasib sama. Padahal menurut
pemikiran Penulis antara program SPR dan Upsus-Siwub potensial dan sangat
baik bila diintegrasikan dalam suatu program pembangunan peternakan yang
berkelanjutan. Program SPR yang bertujuan untuk menata usaha peternakan
rakyat melalui aksi kolektif dimana setiap SPR terdiri dari beberapa kelompok
dengan jumlah ternak sapi minimal 1.000 ekor akan meningkatkan efektivitas dan
efisiensi biaya implementasi program Upsus-Siwub. Kita semua pasti sepakat
dengan populasi ternak yang terkonsentrasi dan terkoordinasi pada suatu
kawasan SPR akan memudahkan implementasi sinkronisasi birahi dan IB
(Inseminasi Buatan) yang menjadi rohnya Upsus-Siwub. Monitoring dan evaluasi
keberhasilan program Upsus-Siwub akan lebih mudah termasuk dalam
menentukan lokasi dan kapasitas sarana dan prasarana pendukung seperti ruang
dan tabung penyimpanan sperma IB dan bahan untuk sinkronisasi birahi, evaluasi
keberhasilan dan transfer IPTEK reproduksi terkoordinasi melalui kelembagaan
yang terstruktur dan jelas. Harapan kita bersama semoga dengan terbentuknya

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-8

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

kabinet baru diiringi dengan kebijakan yang lebih implementatif, terintegrasi dan
berkelanjutan. Kebijakan yang lebih mengutamakan kemakmuran stakeholder
peternakan dan bukan karena adanya ego kekuasaan, ego sektoral apalagi ego
bidang keilmuan.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-9

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Industrialisasi peternakan yang tangguh,
terjadi karena terintegrasinya proses
produksi dari hulu ke hilir yang dibangun
berdasarkan potensi dan kemampuan
industri hulu. Pembangunan peternakan
berbasis industri dimulai sejak pemerintah
menetapkan konsep sistem agribisnis,
pada era tahun 2000an. Pada era
digitalisasi saat ini, konsep pembangunan
industrialisasi peternakan tidak bisa lepas
dari efisiensi usaha dengan memadukan
sistem agribisnis dengan pengembangan
usaha peternakan rakyat. Konsep ini bisa
dilakukan melalui pola klustering, dimana
para peternak rakyat dengan usaha
sejenis beraktiivtas dalam suatu kawasan
(horizontal agribisnis). Kegiatan lanjutan
dari klustering ini dihubungkan oleh
sistem aplikasi digital yang bersifat
tertutup secara vertikal antar kelompok
peternak kluster.

Hubungan usaha antar sub-sistem
bersifat kaptif akan memberikan suatu
kepastian (certainty) pasar dan jaminan
(insurance) dalam menjalankan usaha.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-10

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Konsep ini merupakan model industri peternakan pada masa akan datang yang
menggabungkan antara konsep farming system dengan sistem agribisnis yang
berkerakyatan (Tawaf, 2019). Arah dan kebijakan pembangunan peternakan sapi
potong terlihat dari grand desain atau lebih terinci pada roadmap (peta jalan)
pengembangan sapi dan kerbau tahun 2016 - 2045.

2.1. Grand Desain Pengembangan Sapi dan Kerbau

Grand desain pengembangan sapi dan kerbau tahun 2045 dicapai melalui 4
(empat) tahapan sesuai dengan roadmap pengembangan sapi dan kerbau
(Gambar 2.1), yaitu a) swasembada dan rintisan ekspor pada tahun 2022, b)
ekspor pada tahun 2026, c) pemantapan ekspor pada tahun 2035, dan d)
lumbung pangan Asia pada tahun 2045.

Gambar 2.1.
Roadmap Pengembangan Sapi dan Kerbau

(Sumber: Dirjen PKH)

Pondasi menuju swasembada daging sapi tahun 2022 yaitu dengan percepatan
peningkatan populasi sapi, khususnya jumlah indukan sapi sebagai basis sumber
produksi melalui program Upsus Siwab 2017 dengan target kebuntingan
sapi/kerbau tiga juta ekor dari empat juta ekor asepktor (75%). Kebijakan

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-11

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

pengembangan sapi adalah peningkatan populasi untuk mendorong peningkatan
share produksi daging domestik/lokal, meningkatnya kemampuan ekspor dan
bertambahnya usaha sapi berskala komersial. Upaya mewujudkan capaian
tersebut menurut Dirjen PKH Kementan Diarmita dalam Infovet (2018). yaitu

1. Melakukan sosialisasi tentang program dan kegiatan tersebut baik pada
jajaran pemerintah, akademisi, swasta dan masyarakat peternak. Kemudian
mendorong kinerja petugas teknis lapangan dengan melakukan bimbingan
teknis pelaporan untuk petugas inseminator, pelatihan petugas baru dibidang
IB (inseminator, PKb dan ATR) dan menyediakan alat dan sarana IB (semen
beku, N2 cair, kontainer, gun, plastik glove dan lain lain), serta menyediakan
insentif berupa biaya operasional pelayanan kepada para petugas
inseminator, PKb dan ATR.

2. Memperkuat aspek perbenihan dan perbibitan untuk menghasilkan benih dan
bibit unggul berkualitas dan tersertifikasi dengan penguatan tujuh Unit
PelaksanaTeknis (UPT) Perbibitan yaitu BPTU HPT (Balai Pembibitan
Ternak Unggul) Padang Mangatas, BPTU HPT Siborong-borong, BPTU HPT
Pelaihari, BPTU HPT Denpasar, BPTU HPT Sembawa, BPTU HPT
Baturraden, BPTU HPT Indrapuri, dengan demikian diharapkan adanya
peningkatan kualitas genetik dan populasi di masing-masing UPT Perbibitan.

3. Penambahan indukan impor baik oleh pemerintah ataupun melalui peran dan
kontribusi swasta (feedlotter) yang memasukkan indukan sebagai prasyarat
impor sapi bakalan. Penambahan sapi indukan impor pengembangannya
akan difokuskan pada enam UPT Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan,
yaitu BPTU-HPT Indrapuri, Siborong-borong, Sembawa, Padang Mangatas,
Pelaihari dan BBPTU-HPT Baturraden, 39 UPTD provinsi/kabuapten/kota
dan padang penggembalaan milik pemerintah daerah.

4. Pengembangan HPT (Hijauan Pakan Ternak) melalui penyediaan
lahan/penanaman HPT seluas 338,5 ha pada 2018. Pengembangan HPT
untuk pengembangan sapi potong juga dilakukan melalui pengembangan
padang penggembalaan dengan target pembangunan seluas 200 ha pada
2018, melalui optimalisasi lahan ex-tambang dan kawasan padang
penggembalaan di Indonesia Timur. Selain itu, juga dilakukan pemeliharaan

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-12

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

terhadap 600 ha padang penggembalaan yang sudah dibangun oleh Ditjen
PKH.

5. Penanganan gangguan reproduksi bertujuan untuk mempertahankan jumlah
sapi betina produktif, sehingga angka jumlah akseptor yang akan dilakukan
IB dan bunting meningkat. Target pelaksanaan gangguan reproduksi sebesar
200.000 ekor. Operasional pendanaan penanganan gangguan reproduksi
dialokasikan pada delapan UPT Kesehatan Hewan (BBVet atau Bvet) dan
lima provinsi, yaitu Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan
dan Lampung. Komponen penanganan gangguan reproduksi terdiri dari
pelaksanaan identifikasi status reproduksi, pengadaan obat dan hormon.

6. Pengendalian pemotongan betina produktif, bekerjasama dengan Baharkam
Mabes Polri, bertujuan untuk menurunkan jumlah pemotongan sapi betina
produktif, mempertahankan akseptor Upsus-Siwab dan menyelamatkan
kelahiran pedet melalui pencegahan pemotongan sapi betina bunting.

Target bertambahnya usaha sapi skala menengah dan besar jika dimaknai
dengan peningkatan skala kepemilikan rumah tangga dan target kontirbusi usaha
peternakan rakyat 20% tahun 2045, maka ada beberapa simpulan yang bisa
diambil:

1. Ada upaya mendorong perkembangan populasi ternak dalam rumah tangga
meskipun tidak disebutkan secara rinci besaran skala menengah dan besar
tersebut.

2. Peningkatan skala usaha rakyat menjadi skala menengah dan besar secara
tidak langsung akan menggeser peran usaha ternak sapi dalam rumah
tangga dari usaha sambilan atau sekedar tabungan menjadi industri atau
usaha pokok (utama) atau minimal cabang usaha.

3. Tranformasi dari usaha peternakan rakyat (skala kecil) menuju usaha
peternakan menengah dan besar sebagai andalan dalam pemenuhan
kebutuhan daging nasional dan untuk tujuan ekspor.

Tahapan swasembada dan rintisan ekspor tahun 2022, berdasarkan roadmap
pengembangan sapi potong dan kerbau (Gambar 2.1) menargetkan a) populasi
ternak sapi dan kerbau mencapai 23,23 juta ekor, b) kebutuhan dan produksi
domestik masing-masing 769.566 ton dan 688.914 ton (90% kebutuhan)

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-13

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

diharapkan 75% masih dari usaha peternakan rakyat. Memasuki SDG
(sustainable development goal) yaitu pada tahun 2045 diharapkan Indonesia
telah menjadi lumbung pangan dunia (daging sapi) dengan populasi sapi dan
kerbau mencapai 41,74 juta, produksi domestik menembus angka satu juta yaitu
1.151. 698 ton dengan kontribusi usaha peternakan rakyat hanya tinggal 5% dan
sisanya 95% dari peternakan menengah dan besar. Pada tahun 2045 jumlah
penduduk di Indonesia diroyeksi mencapai 309 juta jiwa (Mulyani, 2019)
sedangkan konsumsi daging sapi meningkat menjadi 2,79 kg/kapita/tahun (10,3%)
pada tahun 2025, dan 3,04 kg/kapita/tahun (20,4%) pada tahun 2045 (Arifin,
2019). Artinya, pada tahun 2045 Indonesia membutuhkan daging sapi sekitar
939,36 ribu ton/tahun atau hampir 78,28 ribu ton/bulan atau 2,57 ribu ton/hari.
Artinya dengan angka proyeksi kebutuhan tahun 2045 sebesar 1.151.698 ton
dipenuhi dari ternak sapi 939,36 ribu ton dan kerbau 212,34 ribu ton.

2.2. Agenda Besar Pembangunan Peternakan Sapi Potong 2045

Agenda besar pencapaian target sasaran untuk menjadi lumbung pangan Asia
tahun 2045 tidak hanya ditandai dengan peningkatan produksi, populasi dan
ekpor komoditas ternak sapi dan kerbau tetapi juga dengan perubahan struktural
pelaku usaha peternakan. Jika selama ini pemasok utama kebutuhan daging
domestik adalah usaha peternakan rakyat, maka pada tahun 2045 lebih
mengandalkan usaha ternak sapi potong skala menengah dan besar (80%) dan
sisanya 20% dari usaha peternakan rakyat (Gambar 2.2)..

Gambar 2.2.
Tahapan Transformasi Struktur Produksi Daging Sapi dan Kerbau

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-14

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Hasil sensus peternakan tahun 2013 sebagai basis, maka 5,07 juta rumah tangga
peternak sapi potong dimana 66,34% mengusahakan hanya 1 - 2 ekor ternak sapi
dan 75,75% tujuan pemeliharaan rumah tangga adalah untuk dikembangbiakan
dan bukan untuk dijual. Pemeliharaan ternak sapi hanya 65,96% dari 5,07 juta
rumah tangga peternak yang mengandangkan ternaknya, sedangkan 34,14%
sengaja dilepas seperti pola peternakan di Australia (Suryamin, 2014). Survey
Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 mencatat populasi ternak sapi potong
mencapai 16,4 juta ekor, sapi perah 0,58 juta ekor dan kerbau 0,89 juta ekor yang
dijadikan sebagai Angka Tetap (Populasi Awal) untuk estimasi angka populasi
sampai sensus berikutnya tahun 2023. Jika kita asumsikan bahwa jumlah
populasi ternak sapi yang dipelihara usaha peternakan rakyat tahun 2045 adalah
8,35 juta (20% dari 41,74 juta). Artinya, dengan rata-rata kepemilikan 2 ekor maka
akan diperoleh jumlah rumah tangga peternak rakyat sekitar 4,17 juta. Suatu
angka penurunan yang sangat cukup realistis dari 5,07 juta rumah tangga tahun
2013 atau menurun sebesar 0,90 juta atau mengalami penurunan 17,75% selama
kurun waktu 2013-2045 (32 tahun) atau rata-rata menurun sekitar 0.55%/tahun.

Bak “Naik Turun Tangga”, menurun akan terasa lebih mudah dibanding dengan
naik tangga yang membutuhkan sumberdaya dan energi yang lebih besar untuk
sampai pada anak tangga terakhir. Turun dalam roadmap tidak serta merta
diartikan sebagai penurunan total jumlah rumah tangga peternak tetapi sebagian
peternak rakyat bertransformasi menjadi peternak skala menengah dan/atau
besar. Transformasi struktural inilah yang seharusnya menjadi agenda terbesar
dalam pencapaian target dan sasaran grand desain dan roadmap pengembangan
sapi dan kerbau, yaitu melalui.

1. Transformasi sebahagian usaha peternakan skala kecil (rakyat) menjadi
usaha skala menengah/besar (peningkatan kepemilikan ternak pada tingkat
rumah tangga).

2. Peningkatan jumlah pelaku wirausaha atau pengusaha baru pada sektor
usaha peternakan sapi potong.

Artinya bahwa tidak akan ada niat dari pemerintah untuk mengurangi atau
menghambat peternakan rakyat tetapi didorong untuk memiliki skala ekonomis
dengan tetap memotivasi timbulnya wirausaha baru. Kembali kepada naik turun
tangga maka kita abaikan cara untuk turun dan fokus pada bahasan cara naik

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-15

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

karena butuh energi besar dan kadang banyak ditemui kendala. Pengalaman
berbagai program dan kegiatan pada masa lalu tentu dapat menjadi rujukan agar
lebih mudah menapaki setiap anak tangga untuk mencapai tujuan utama. Agar
pada masa datang tak timbul lagi “kebijakan yang tidak bijak” dan bahkan
bernuansa “komedi”. Kebijakan yang katanya berorientasi kepada rakyat tetapi
dalam implikasinya terkesan mengabaikan peternakan rakyat, kebijakan yang
katanya berbasis pemanfaatannya potensi sumberdaya yang kaya raya tetapi
dalam skenarionya masih tetap fokus pada wilayah prioritas tertentu yang kadang
sudah eksis dan sulit dipaksakan untuk berkembang. Pada program PSDS 2014,
dari 18 provinsi sebagai sentra sapi potong telah dikelompokkan menjadi 3
kelompok daerah prioritas.

1. Kelompok I Daerah Prioritas Inseminasi Buatan yaitu Provinsi Jawa Barat,
Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Bali.

2. Kelompok II Daerah Campuran Inseminasi Buatan dan Kawin Alam yaitu
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa
Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.

3. Kelompok III Daerah Prioritas Kawin Alam yaitu Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

2.2.1. Transformasi Usaha Peternakan Rakyat

Upaya mendorong peningkatan skala kepemlikan (usaha) rumah tangga peternak
sapi potong selama ini dapat dikatakan kurang berhasil dan selalu dikaitkan
dengan faktor permodalan. Faktor ketersediaan modal diakui memang menjadi
salah satu faktor kendala tetapi hanya menjadi bagian kecil karena lebih banyak
dipengaruhi oleh karakteristik dan perilaku rumah tangga peternak sapi itu sendiri.
Fenomena lapangan yang terjadi selama ini menunjukkan beberapa karakteristik
dan perilaku yang melekat pada rumah tangga peternak potensial menjadi faktor
kendala peningkatan skala usaha, antara lain:

1. Ternak sapi yang dipelihara oleh mayoritas rumah tangga peternak sapi
rakyat adalah bagian tak terpisahkan dari usahatani lainnya baik rumah
tangga petani pangan maupun perkebunan atau dengan kata lain usaha
ternak sapi bukan merupakan usaha tunggal (utama) .

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-16

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

2. Tujuan utama pemeliharaan ternak sapi bagi rumah tangga perdesaan bukan
untuk dijual tetapi lebih sebagai tabungan yang hanya akan dilepas untuk
memenuhi kebutuhan yang memerlukan dana besar seperti acara selamatan
(aqiqah, kitanan, pernikahan), memasuki tahun ajaran baru sekolah, dan
ibadah (haji, umroh dan lainnya) serta kebutuhan acara adat istiadat terkait
dengan budaya setempat.

3. Usaha ternak bukan merupakan sumber pendapatan yang bersifat harian
dan bahkan bulanan (short run) tetapi lebih bersifat tahunan (long run) bagi
rumah tangga terutama untuk ternak sapi pembibitan. Harga jual ternak sapi
berfluktuasi sepanjang tahun tetapi memiliki kecenderungan terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Fluktuasi harga pasar komoditas ternak
sapi sudah sangat mudah diprediksi sehingga proses pelepasan ternak oleh
rumah tangga biasanya dilakukan pada periode waktu tertentu.

4. Ternak sapi bagi rumah tangga usahatani terdiversifikasi adalah asset yang
fleksibel, sehingga ketika terjadi kelangkaan sumberdaya tenaga kerja maka
dalam rangka rasionalisasi pilihan prioritas utama adalah pelepasan ternak
sapi dibanding pelepasan asset lain seperti lahan. Kasus yang dapat
dijadikan contoh adalah pada saat musim kemarau panjang dan kebakaran
hutan dan lahan akibat elnino tahun 2015. Pada saat terjadi kelangkaan
sumber pakan hijauan ternak banyak rumah tangga yang melakukan
rasionalsasi usaha ternak dengan menjual ternak sapi karena tenaga kerja
yang tersedia tidak mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak.

5. Peningkatan kesejahteraan dan aktiivtas ekonomi rumah tangga pada
beberapa kasus juga menjadi faktor pendorong pelepasan ternak sapi.
Contoh kasus pada rumah tangga petani eks-transmigran di Provinsi Jambi
yang berhenti melakukan usaha ternak sapi pasca tanaman karet dan sawit
sudah mampu memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga terutama pasca
krisis ekonomi 1997 dimana harga kedua komoditas melambung tinggi.
Kecamatan Rimbo Bujang, Jujuhan, Kuamang Kuning, Sungai Bahar dan
Rantau Rasau yang dulunya dikenal sebagai lumbung ternak sapi mengalami
pengurasan populasi yang sangat drastis.

Beberapa karakteristik dan perilaku tersebut diatas tidak akan pernah terungkap
dalam data statistik termasuk dalam buku-buku teks tetapi merupakan realita

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-17

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

yang diyakini pasti ada pada peternakan sapi potong rakyat. Secara teoritis ilmu
ekonomi semua dapat dijelaskan yang akan berujung pada suatu kesimpulan
bahwa “rumah tangga peternak sapi potong adalah pelaku ekonomi yang
rasional” yang selayaknya jadi bahan pemikiran dalam pengambilan keputusan
atau kebijakan. Selama ini mereka hanya dianggap sebagai objek bagi kita yang
“merasa sangat tahu”, padahal peran mereka sebagai pelaku sangat menentukan
keberhasilan suatu kebijakan. Semuanya tergantung para pemegang kuasa
kebijakan, apakah akan memaksakan target skala usaha dengan mengabaikan
perilaku peternak atau tetap mengakomodir perilaku tersebut dengan mengurangi
target sasaran yang ingin dicapai.

2.2.2. Membangkitkan Wirausaha Sapi Potong

Agenda kedua dalam transformasi dari usaha peternakan skala kecil menuju
usaha menengah dan besar adalah membangkitkan wirausaha baru dalam
bidang usaha peternakan sapi potong. Selama ini investasi dalam usaha
peternakan sapi potong masih relatif “sangat rendah” dan hanya terbatas pada
sektor jasa dan perdagangan seperti feedlot (penggemukan). Feedlot adalah
suatu sistem manajemen di mana penggembalaan ternak sapi dilakukan secara
alami pada areal terbatas yang tidak menghasilkan pakan dan pakan ternak
dipasok dari tempat lain atau stok pakan yang ada. Sejauh ini dikenal empat
sistem penggemukan yang diterapkan, yakni sistem pasture fattening, dry lot
fattening, sistem kombinasi yakni pasture dan dry lot fattening, dan sistem
kereman (penggemukan) dry lot fattening yang lebih sederhana.

Penggemukan merupakan usaha budidaya ternak dalam waktu tertentu dengan
cara membeli bakalan untuk kemudian diberi pakan untuk meningkatkan bobot
badan sapi, dan pada waktu yang telah ditentukan sapi tersebut dijual untuk
dipotong. Pada feedlot pemeliharaan dan penggemukan dilakukan secara intensif
dengan waktu tertentu yang telah ditetapkan (misalkan 3, 4, 6 dan 9 bulan) dan
sering dilakukan rekayasa pakan untuk mendapatkan pakan dengan kualitas
nutrisi baik tapi bernilai ekonomis, sehingga bobot potong yang tinggi dan kualitas
karkas yang baik dapat tercapai. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan
menerapkan teknologi feedlot dibandingkan dengan penggemukan yaitu lahan
yang dibutuhkan untuk budidaya relatif tidak sebanyak biasanya, karena sudah
diprogram dengan lahan tertentu untuk jumlah ternak tertentu dan dalam jangka

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-18

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

waktu tertentu ternak tersebut diganti dengan ternak bakalan yang baru.
Manajemen tata laksana pemeliharaannya juga relatif lebih mudah dan lebih
sederhana, sehingga kita dapat dengan mudah melakukan pengawasan terhadap
aktivitas usaha ternak.

Pada sisi lain, investasi dalam usaha peternakan sapi untuk tujuan pembibitan
masih sangat langka dan mayoritas merupakan investasi publik yang dilakukan
terbatas hanya oleh pemerintah pusat. Peran pemerintah daerah dan dunia usaha
dalam usaha pengembangbiakan ini masih sangat rendah karena membutuhkan
investasi besar dan bersifat jangka panjang (long-run investment) serta memiliki
margin keuntungan yang rendah. Hasil analisis kelayakan Balai Pembibitan
Ternak (BPT) Sapi Potong Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi
menunjukkan bahwa pada aspek finansial diperoleh tingkat pengembalian modal
(IRR) hanya 3,56% (Novra et al, .2009).

Pengembangan BPT ini meskipun masih layak bagi proyek pembangunan sektor
publik tetapi kurang diminati para pemilik modal swasta karena daya saing
investasi sektor atau proyek pembibitan sapi potong relatif lebih rendah dibanding
sektor lainnya. Padahal dari aspek ekonomi dampak pegembangan BPT Sapi
Potong melalui pola kemitraan memberikan keuntungan finansial bagi masyarakat
mitra binaan, mengurangi ketergantungan dan belanja daerah untuk pengadaan
bibit, memperkuat daya tahan ekonomi rumah tangga perdesaan melalui
diversifikasi sumber-sumber pendapatan serta dapat diintegrasikan dengan
pengembangan desa mandiri energi dan pangan, pemenuhan kebutuhan pupuk
organik substitusi pupuk komersial dan upaya transformasi sistem pemeliharaan
menuju sistem pemeliharaan ternak sapi secara intensif.

Pengembangan usaha pembibitan sangat penting karena selama ini usaha
penggemukan skala menengah mulai mengalami kelangkaan pasokan bakalan,
sedang usaha feedlot skala besar lebih mengandalkan pasokan bakalan dari luar
negeri (impor). Kementerian Pertanian mencatat realisasi impor sapi bakalan
hingga akhir 2018 mencapai 205.527 ekor, sementara impor sapi indukan baru
sebanyak 21 ribu ekor. Permentan No. 02/Permentan/PK.440/2/2017 tentang
perubahan Permentan No. 49/Permentan/PK.440/10/2016 tentang Pemasukan
Ternak Ruminisia Besar ke Dalam Wilayah RI telah menerbitkan skema 5 : 1 bagi
importir sapi. Skema 5:1 mewajibkan perusahaan pengimpor sapi diwajibkan lima

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-19

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sapi bakalan dan satu sapi indukan yang diperuntukkan untuk budidaya kembali
oleh petani.

Upaya pemerintah dalam mendorong lahirnya para peternak atau pengusaha
peternakan sapi potong skala menengah sudah pernah dilakukan melalui jalur
akademisi yaitu program SMD (Sarjana Membangun Desa). Kegagalan program
SMD dalam mencetak wirausahawan baru usaha sapi potong dapat dijadikan
proses pembelajaran untuk membangun industri sapi potong skala menengah.
Kegagalan program ini menunjukkan bahwa mencetak pengusaha bukan hanya
sekedar penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) tetapi lebih
dari itu adalah bagaimana membangkitkan motivasi. Saat seleksi sering timbul
pertanyaan tentang siapa dan bagaimana kriteria calon pengusaha yang kita cari,
apakah yang kita cari calon peternak atau pengusaha ternak sapi. Jawaban
“pasti” semua pihak adalah kita mencari calon pengusaha ternak sapi tetapi
mayoritas yang terjaring malah “calon wirausaha berCAP pengusaha” bukan
“calon wirausaha yang pengusaha”. Banyak peserta SMD yang kemudian
usahanya tidak berkembang dan bahkan meninggalkan usaha kelompoknya
karena mendapatkan pekerjaan baru.

Padahal keberadaan SMD di kelompok ternak berbekal ilmu dan teknologi,
kreativitas serta wawasan agribisnis, diharapkan dapat berinteraksi dan bersinergi
membangun kerjasama yang harmonis dengan mengelola agribisnis berbasis
peternakan. Program SMD dilaksanakan sejak tahun 2007 dan sampai tahun
2012 tercatat jumlah total penerima manfaat program sebanyak 2,694 kelompok
dengan total anggaran yang telah dikucurkan sebesar Rp 778.82 Miliar. Hasil
penelitian Refita et al (2017) menunjukkan bahwa program SMD belum
dilaksanakan berdasarkan potensi wilayah kelompok penerima dan belum efektif
baik ditinjau dari indikator ekonomi dan teknis maupun kelembagaan. Faktor
penghambat efektivitas program SMD adalah belum adanya rencana strategis,
partisipasi para pemimpin pemerintahan dan masyarakat setempat masih rendah,
dan kurang efektivitasnya proses seleksi (perekrutan), pelaporan, serta
monitoring dan evaluasi program.

Gambaran singkat tentang program SMD dalam menciptakan para pengusaha
peternakan terutama sapi potong ini sangat mirip dengan struktur pasar tenaga
kerja alumni perguruan tinggi peternakan dan kesehatan hewan. Meskipun tidak
tersedia data dan informasi yang cukup valid tapi dari fenomena yang ada sangat

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-20

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sedikit dari mereka yang bertahan jadi pengusaha peternakan sapi potong.
Banyak penyebab dari kegagalan bertahan tersebut dan tidak hanya berkaitan
dengan hal teknis misalnya kerugian usaha akibat kinerja usaha tidak mencapai
target sasaran. Sebahagian ada yang berhenti karena mendapatkan pekerjaan
baru dan bahkan karena performans yang bagus diangkat menjadi pegawai
pemerintah meskipun sebagai honorer dengan gaji yang lebih kecil.

Makna di balik semua itu adalah ternyata mereka yang sudah mencoba untuk
terjun jadi pengusaha peternakan sapi potong itu sendiri tidak percaya bahwa
usaha yang dimodali pemerintah bisa menjadi jaminan hidup. Mereka lebih
memilih pekerjaan lain meskipun untuk sementara harus mendapat gaji yang
lebih kecil tetapi lebih bisa menjamin keberlangsungan kehidupan masa depan.
Menyalahkan mereka juga “sesuatu yang salah” karena memang realitanya
seperti itu karena hal yang sama juga terjadi pada para pengusaha yang sudah
teruji memiliki naluri bisnis. Seberapa banyak para pemilik modal dinegeri ini yang
tertarik untuk investasi pada usaha peternakan sapi potong dan jika ada
mayoritas cenderung pada bisnis perdagangan dan feedlotter dibanding sektor
produksi. Padahal dari sisi ilmu ekonomi, insentif apa yang kurang dari komoditas
penghasil daging merah di negeri ini. Bukankah, harga yang tinggi dan cenderung
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun merupakan insentif untuk investasi dan
didukung dengan pangsa pasar terbuka lebar dan selalu akan meningkat seiring
meningkatnya pendapatan dan taraf hidup konsumen.

Pemerintah juga sudah berupaya memotivasi dengan berbagai insentif seperti
kredit pembiayaan bunga rendah (subsidi) seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR)
khusus Peternakan. KUR yang mulai disalurkan pada tanggal 6 Desember 2018
sebesar Rp 8,9 miliar pada 69 anggota kelompok peternakan rakyat di Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah dengan skema subdisi bunga. Suku bunga yang
sebelumnya 12% selanjutnya sejak 1 Januari 2018, tersebut diturunkan pada titik
terendah sebesar 7%. Pada pemerintahan periode sebelumnya dikenal juga
Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) yang diatur melalui Peraturan Menteri
Pertanian No. 40/Permentan/PD.400/9/2009 tanggal 8 September 2009 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Pembibitan Sapi. Suku bunga yang
dibebankan kepada pelaku usaha sebesar 5 %/tahun dalam jangka waktu kredit
paling lama 6 tahun, dengan masa tenggang (grace period) paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan. Meski menjadi tulang punggung pencapaian swasembada

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-21

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

daging sapi 2014, program KUPS belum berjalan seperti yang diharapkan dan
terbukti hingga tanggal 4 Mei 2010 hanya terealisasi Rp 56,75 milyar dari plafon
alokasi anggaran Rp. 145 milyar. Menurut hasil penelitian Susanti et al (2012)
menyimpulkan bahwa realisasi pencapaian kinerja KUPS penambahan induk,
penambahan pelaku usaha pembibitan, dan penyaluran kredit sangat rendah
sehingga kredit program KUPS belum berhasil dan efektif untuk mendukung
Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014.

Rendahnya tingkat efektivitas program SMD dalam mencetak wirausaha baru dan
serapan kredit usaha peternakan bunga bersubsidi menunjukkan ada sesuatu
yang salah. Berbagai insentif kebijakan pada sektor riel yang diharapkan mampu
menggerakkan sisi supply belum bekerja secara efektif dan efisien dalam
mendukung pencapaian swasembada daging. Insentif kebijakan dianggap belum
mampu mendorong “brand image” agribisnis peternakan sebagai salah satu
ladang bisnis yang menarik dan menguntungkan. Untuk itu, pada masa akan
datang dibutuhkan arah dan kebijakan yang tidak hanya mampu menjanjikan
tingkat keuntungan atau pengembalian modal yang berdaya saing tetapi juga
mampu memberikan jaminan keberlansungan pendapatan dan kehidupan para
pelaku usaha. Berbagai usaha dapat dilakukan antara lain dengan mendorong
peningkatan nilai tambah (value added) dan diversifikasi nilai manfaat usaha
peternakan itu sendiri dengan tetap berbasis pada usaha ternak sapi potong yang
efisien dan bersandar pada potensi sumberdaya yang tersedia.

2.2.3. Jadi “Kita” Pilih yang Mana?

Setelah membaca dan memahami berbagai kendala yang akan dihadapi dalam
transformasi struktural peternakan sapi potong diatas, akan timbul pertanyaan
“Kita Akan Pilih yang Mana?. Jika Penulis sebagai pengambil kebijakan akan
menjawab “Saya Akan Pilih Keduanya” tetapi dengan “Syarat dan Ketentuan
Berlaku” (meminjam istilah populer dalam masyarakat bisnis jasa di Indonesia).
Menurut Tawaf (2019), terdapat dua model pendekatan pembangunan
peternakan yang digunakan selama ini yaitu sistem agribisnis yang
diintroduksikan era tahun 2000an (lahir di Amerika serikat tahun 1950an yang
berbasis korporasi) dan konsep usaha tani rakyat (farming system) yang lebih
dikenal dengan konsep ekonomi kerakyatannya (ekonomi Pancasila). Kedua
model pendekatan ini sebenarnya dapat dikombinaskan dan secara kasat mata

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-22

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sebenarnya ada dalam rohnya program Sentra Peternakan Rakyat (SPR) yang
sempat dikembangkan.

Pada program SPR bukan usahanya yang diubah dari usaha tani rakyat (farming
system) menjadi agribisnis tetapi lebih ditekankan pada perubahan perilaku.
Usaha peternakan tetap sebagai usaha rakyat tetapi dalam menjalankan usaha
menerapkan kaedah-kaedah bisnis yang dilakukan secara kolektif dalam suatu
kelembagaan yang disebut SPR. Konsep SPR menawarkan jasa layanan yang
terintegrasi termasuk jasa layanan iptek produksi, reproduksi, kesehatan hewan,
pengolahan pakan dan limbah sampai pengolahan hasil pasca pemotongan.
Selain itu SPR juga didukung dengan manajemen pemasaran, akses pasar dan
pembiayaan serta lembaga keuangan mikro yang lebih terkoordinir sehingga
dapat salah satu alternatif upaya pencegahan penjualan dan pemotongan ternak
sapi betina produktif. SPR juga menawarkan partisipasi banyak stakeholder baik
para pelaku dalam sistem agribisnis (peternak, pedagang, petugas IB dan
Keswan) maupun pihak eksternal pemilik modal dan bahkan mahasiswa dan para
peneliti baik perguruan tinggi maupun lembaga litbang lainnya.

Secara umum, SPR adalah suatu aksi kolektif (collective action) para pelaku
usaha peternakan rakyat dalam suatu sistem agribisnis yang terintegrasi dan
terkoordinasi untuk mencapai tujuan bersama. Individu masyarakat secara alami
cenderung memilih aksi bersama ketika ada kesamaan dalam hal tujuan yang
ingin dicapai dan ketika merasa adanya ketidakpastian dan resiko yang dihadapi
jika bergerak sendirian (Syamsuddin et al., 2007). Pada kawasan SPR tidak
hanya berbicara tentang bisnis tetapi juga koneksitas antar pihak, riset dan
pengembangan, transfer ilmu dan teknologi serta industri pendukung (investasi
dan lembaga keuangan). Pada tataran yang lebih luas, SPR memiliki kemiripan
dengan Sains and Techno Park (STP) sebagai suatu kawasan yang dikelola multi
stakeholder, berbasis Iptek dan mengedepankan R & D serta membuka ruang
partisipasi pihak eksternal dalam satu manajemen. , .

2.3. Reposisi Peran dan Kedudukan Peternakan Sapi Potong

Reposisi (repositioning) dalam strategi pemasaran menurut Lamb et. al (2003)
adalah merubah persepsi konsumen dari relasi brand menjadi kompetisi brand.
Reposisi dilakukan untuk menyangga pertumbuhan permintaan pada saat pasar
sedang melemah atau untuk mengoreksi kesalahan posisi. Sasaran utama

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-23

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

strategi reposisi adalah membentuk citra merek tertentu di benak konsumen
sehingga berhubungan erat dengan pengambilan keputusan. Memposisikan
produk tidak hanya sekedar konsumen mengetahui keberadaan produk tapi juga
dapat memberi kepuasan berarti bagi konsumen. Reposisi produk (repositioning)
yang dilakukan bertujuan untuk menempatkan suatu posisi yang unik di benak
konsumen, sehingga konsumen diharapkan akan memiliki kesan tertentu
terhadap merek tertentu atau dikenal dengan brand image.

Konsep reposisi dalam strategi pemasaran ini pada dasarnya dapat dijadikan
acuan dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan sub-sektor
peternakan termasuk peternakan sapi potong. Usaha peternakan sapi potong di
Indonesia mayoritas (98%) adalah usaha peternakan rakyat dengan karakteristik
skala usaha relatif kecil; merupakan usaha rumah tangga dan usaha sampingan;
menggunakan teknologi sederhana; dan bersifat padat karya berbasis organisasi
kekeluargaan (Aziz, 1993). Indikator keberhasilan industrialisasi ditentukan oleh
kinerja dari industri meskipun bukan menjadi tujuan akhir dari pembangunan
ekonomi, Industrialisasi menurut Robiani (2005) merupakan upaya mencapai
tingkat pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan, yang selanjutnya akan
menciptakan pendapatan per kapita yang tinggi. Kebijakan industrialisasi
peternakan telah mengubah mind set pejabat pemerintah dan meninggalkan
realita kondisi yang sesungguhnya yaitu meninggalkan peternakan rakyat skala
kecil/tradisional. Kesan bahwa pembangunan industri peternakan tidak lagi
pro-produsen atau peternak rakyat yang terlihat dari grand design pembangunan
sapi potong dan kerbau bahwa populasi peternakan rakyat di tahun 2045 hanya
tinggal 20% (Tawaf, 2019).

2.3.1. Skala Makro: Spesialisasi Wilayah dan Fokus Prioritas

Langkah pertama dari aspek makro adalah reposisi dalam aspek kewilayahan
agar memiliki skala prioritas tertentu untuk wilayah dengan karakteristik potensi
sumberdaya alam dan pasar tertentu. Pemahaman terhadap ekonomi industri
menjadi sesuatu hal yang penting dalam membangun industri peternakan.
Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaan yang secara relatif
lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi
struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar. Beberapa alasan kenapa

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-24

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

ekonomi industri menjadi semakin penting untuk dipelajari, baik di negara-negara
maju maupun di negara yang sedang berkembang (Hasibuan, 1994), yaitu:

1. Praktek-praktek struktur pasar yang semakin terkonsentrasi dalam kegiatan
bisnis dan praktek-praktek perilakunya menimbulkan kerugian bagi
konsumen.

2. Semakin tinggi konsentrasi industri cenderung mengurangi persaingan antar
perusahaan sehingga menciptakan perilaku yang kurang efisien.

3. Konsentrasi industri yang tinggi membawa konsentrasi kekayaan yang
melemahkan usaha-usaha pemerataan, baik dilihat dari pemerataan
pendapatan, kesempatan kerja, maupun kesempatan berusaha.

4. Kaitan struktur industri dengan penyelesaian masalah-masalah ekonomi
membawa lebih jauh intervensi pemerintah.

5. Kajian-kajian tentang struktur-perilaku dan kinerja industri tidak terlepas dari
masalah-masalah produksi dan distribusi (Hasibuan, 1994).

Pada prinsipnya lokasi industri dapat dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi
meski pertimbangan non-ekonomi juga dapat mempengaruhi lokasi beberapa unit
industri. Menurut Setiawan (2017), terdapat 11 faktor yang dipertimbangkan
dalam menentukan lokasi sebuah industri, yaitu

1. Ketersediaan bahan baku yaitu kedekatan dengan sumber bahan baku
sangat penting guna meminimalisir biaya produksi.

2. Ketersediaan tenaga kerja yaitu kedukupan pasokan tenaga kerja murah dan
terampil diperlukan untuk perkembangan industri yang ditentukan
berdasarkan rasio biaya tenaga kerja terhadap total biaya produksi.

3. Jarak ke daerah pemasaran yaitu akses ke pasar seperti industri yang
menghasilkan komoditas mudah rusak atau besar yang tidak dapat diangkut
melalui jarak jauh umumnya terletak di dekat pasar.

4. Fasilitas transportasi baik menggunakan mode transportasi (air, jalan, dan rel
secara kolektif) dan kebijakan transportasi pemerintah.

5. Energi termasuk ketersediaan listrik, air, angin, batubara, gas dan minyak
bumi yang akan mempengaruhi fleksibelitas dan arah penyebaran atau
desentralisasi industri.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-25

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

6. Layanan yaitu keberadaan layanan penunjang publik bisa mempengaruhi
penempatan sebuah industri.

7. Keuangan diperlukan untuk mendirikan sebuah industri, untuk pengelolaan,
dan juga pada saat ekspansi.

8. Alam dan iklim seperti cuaca, curah hujan, kelembaban, topografi daerah,
fasilitas air dan drainase termasuk pembuangan produk limbah,

9. Instuisi “feeling” atau anggapan pribadi yang dimiliki oleh para pelaku industri
itu sendiri dan kadang berkaitan dengan budaya.

10. Pertimbangan strategi terutama pada era modern dimana strategi sangat
memainkan peran penting dalam penentuan lokasi industri.

11. Ekonomi eksternal timbul karena pertumbuhan anak perusahaan di berbagai
negara terutama saat persaingan industri mulai ketat.

Pada kontek reposisi pembangunan industri peternakan sapi potong nasional
dapat mempertimbangkan tiga point pertama yaitu kedekatan dengan bahan baku
terutama pakan, tenaga kerja (sumberdaya manusia) dan aksesibilitas pasar
(sentra konsumen). Membangun industri peternakan sapi potong bak
membangun sebuah rumah yang selalu memperhatikan kepentingan para
penghuninya. Setiap penghuni selalu ingin mendapat perlakuan kebijakan dan
ditempatkan pada lokasi yang sesuai dengan peran dan karakteristik mereka.
Membangun rumah industri peternakan sapi potong Indonesia dapat dimulai
dengan desain kamar-kamar yang akan ditempati oleh para pelaku usaha dengan
karakteristik dan tujuan tertentu. Peternakan sapi potong sebagai suatu industri
pada dasarnya dibangun diatas keterlibatan 5 komponen pelaku yaitu pengusaha
pembibitan (breeding), pemeliharaan (pengemukan dan pengembangbiakan),
pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan industri pendukung (Gambar 2.3).

Secara umum sistem pemeliharaan ternak sapi di Indonesia umumnya masih
bertujuan ganda karena masih belum begitu banyak pengusaha yang secara
khusus memproduksi anak sapi calon penggemukan. Hal ini berbeda dengan
negara-negara maju seperti Eropa, Amerika dan Australia dimana usaha
penggemukan dan pengembangbiakan untuk produksi sapi bakalan merupakan
usaha yang terpisah dan dikenal dengan istilah

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-26

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

a) Cattle Feeder (penggemukan) yaitu peternak yang khusus melakukan usaha
penggemukan dan tidak memproduksi anak sapi ataupun calon-calon sapi
pengganti yang akan digemukkan.

b) Feeder cattle (pengembangbiakan) yaitu pengusaha ternak sapi yang secara
khusus memproduksi anak sapi (bakalan) dan tidak membesarkan atau
melakukan usaha penggemukan.

Gambar 2.3.
Rumah Besar Industri Peternakan Sapi Potong

Pemeliharaan ternak sapi pada usaha penggemukan cenderung bersifat intensif
pada areal yang terbatas dengan dukungan teknologi yang dominan adalah
teknologi pakan karena tujuan utama mendapatkan pertambahan bobot badan.
Pakan menjadi komponen biaya produksi terbesar disamping bakalan yang
diberikan dalam bentuk konsentrat dan hijauan hanya sebagai pelengkap. Usaha
penggemukan ini umumnya dilakukan pada wilayah dengan areal lahan terbatas
dan cenderung menjadikan kedekatan dengan konsumen (akses pasar) sebagai
pertimbangan utama dalam menentukan lokasi usaha. Pada saat ini di Indonesia
untuk usaha skala besar lebih dikenal dengan nama “fedloter” dan berkembang di
sekitar wilayah Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten) serta
beberapa provinsi penyangga seperti Lampung. Pangsa pasar utama fedloter
adalah wilayah Jakarta dan sekitarnya atau dikenal dengan Jabodetabek dan saat
ini sumber utama bakalan adalah sapi impor yang tergolong dalam ras sapi
unggul (bobot badan besar).

Pada sisi lain, pemeliharaan ternak sapi untuk tujuan utama pengembangbiakan
lebih tersebar merata di seluruh Indonesia dan mayoritas dilakukan oleh usaha

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-27

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

peternakan rakyat. Produk utama yang diharapkan adalah berupa anakan baik
jantan maupun betina sehingga teknologi produksi yang paling dibutuhkan adalah
teknologi reproduksi seperti Inseminasi Buatan (IB), INKA (intensifikasi kawin
alami), sinkronisasi birahi, pemeriksaan kebuntingan sampai pada teknologi
embrio transfer (ET). Mayoritas sistem pemeliharaan ternak adalah semi-intensif
dan bahkan ekstensif (pengembalaan) sehingga membutuhkan lahan yang lebih
luas sehingga sebenarnya tidak begitu cocok dikembangkan di daerah padat
penduduk seperti Pulau Jawa dan Bali. .

Kedua jenis usaha pemeliharaan sapi tersebut perlu didukung dengan usaha
pembibitan ternak sapi guna menghasilkan ternak sapi unggul atau pemurnian
sapi lokal. Profil usaha pembibitan umumnya adalah investasi besar, bersifat
jangka panjang serta padat tekhnologi sehingga kurang diminati oleh sektor privat
atau swasta. Intervensi pemerintah dengan mengambil alih peran dalam usaha
pembibitan telah dilakukan selama sejak lama dengan berkembangnya berbagai
Balai Pembibitan Ternak Sapi Unggul (BPTU). Peran BPTU tidak hanya
menyedikan ternak unggul (pejantan dan induk) tetapi juga menyediakan material
dan layanan jasa teknologi reproduksi seperti bahan (semen beku) dan peralatan
Inseminasi Buatan (IB), sinkronisasi birahi dan embryo transfer (ET).

Berdasarkan uraian diatas maka skema dan model tata kelola serta keterkaitan
antar pelaku dan wilayah dalam industri peternakan sapi potong di Indonesia
secara ringkas disajikan pada Gambar 2.4. Segmentasi wilayah antara Jawa-Bali
dengan wilayah lainnya dalam industri peternakan sapi potong bukan berarti
bahwa untuk wilayah Jawa-Bali seluruh usaha adalah cattle feeder begitu juga
sebaliknya. Pada wilayah luar Jawa dan Bali masih terbuka lebar untuk
pengembangan cattle feeder karena juga banyak konsumen tetapi bukan menjadi
prioritas pembangunan, begitu juga sebaliknya pada wilayah Jawa dan Bali
feeder cattle masih terbuka tetapi bukan menjadi piroritas kebijakan dalam
anggaran. Segmentasi digunakan sebagai dasar dalam menentukan fokus
kebijakan pengembangan agar penganggaran lebih fokus sesuai kebutuhan
spesifik wilayah. Penggunaan sumberdaya akan dapat lebih dioptimalkan guna
mencapai tujuan serta saling ketergantungan antar wilayah yang kita harus kita
yakini akan mampu menciptakan kebersamaan. Hal inilah yang disebut dengan
clusterisasi dimana dalam suatu wilayah industri ada spesialisasi baik dalam
komoditas, pelaku dan kebijakan..

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-28

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Gambar 2.4.
Skema Pengembangan Industri Peternakan Sapi Potong

Terdapat 3 (tiga) peran penting pemerintah dalam menjaga keberlanjutan industri
peternakan yaitu sebagai regulator melalui berbagai kebijakan dan sebagai
fasilitaor dan motivator guna menjaga keberlanjutan industri. Peran sebagai
regulator adalah dengan memilih dan mendesain berbagai kebijakan yang sesuai
kebutuhan dan potensi sumberdaya wilayah. Peran sebagai fasilitator melalui
kebijakan yang mampu mengakselerasi pertumbuhan dunia usaha misalnya
melalui kebijakan subsidi bunga investasi dan menjadi penjamin dalam kredit
usaha peternakan. Peran pemerintah sebagai motivator melalui berbagai
kebijakan yang secara tidak langsung mampu mendorong terciptanya lingkungan
kondusif bagi dunia usaha. Lingkungan kondusif bagi dunia usaha jaminan
operasional usaha dengan tersedianya sarana dan prasarana produksi (hulu) dan
kepastian pasca produksi (pasar) termasuk industri pengolahan. Pada prinsipnya,
rumah besar industri peternakan akan berkelanjutan jika “kegembiraan” menjadi
menu keseharian dalam operasional dunia usaha tanpa ada kekuatiran dan
ketidakpastian dalam mendapatkan input dan memasarkan output.

2.3.2. Reposisi Skala Mikro: Berdaya Guna Tak Harus Jadi yang Utama

Usaha peternakan sapi potong di Indonesia umumnya masih dikelola secara
tradisional, yang bercirikan dengan usaha hanya sebagai usaha keluarga atau

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-29

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sebagai usaha sampingan. Menurut Santoso et al (2012) tipologi usaha
peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan kontirbusinya terhadap
pedapatan rumah tangga dapat diklasifikasikan atas a) usaha sambilan dimana
usaha ternak diusahakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsistence)
dengan kontribusi dari usaha ternak < 30%, b) cabang usaha dimana petani
peternakan mengusahakan pertanian campuran (mixed farming) dengan ternak
sebagai cabang usaha dengan kontribusi usaha ternak 30-70% (semi komersial
atau usaha terpadu), c) usaha pokok dimana peternak mengusahakan ternak
sebagai usaha pokok dan usaha komoditas lain sebagai usaha sambilan (single
commodity) dengan kontribusi usaha ternak 70-100%, dan d) usaha industri
dimana komoditas ternak diusahakan secara khusus (specialized farming)
sehingga kontribusi usaha ternak 100% (komoditas pilihan).

Membangun industri peternakan sapi potong yang tangguh jangan dimaknai
sebagai upaya mentransformasi seluruh atau mayoritas usaha peternakan
sebagai usaha pokok apalagi sebagai industri. Membangun industri peternakan
dalam kontek ke-Indonesiaan sebaiknya lebih dimaknai sebagai upaya
mendorong usaha peternakan sapi untuk berperilaku dan beroperasi layaknya
sebagai sebuah industri. Industri yang berdaya saing adalah industri yang
berhasil mentransformasi keunggulan komparatif (comparative advantage) yang
dimiliki menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage) dengan cara
memperhatikan prinsip-prinsip dasar efisiensi ekonomis. Efisiensi ekonomis
merupakan produk efisiensi teknik dan harga, sehingga akan tercapai jika
efisiensi teknis dan harga sudah tercapai. Efisiensi ekonomis merupakan efisiensi
dari sudut pandang makro dan mempunyai jangkauan lebih luas dibanding
efisiensi teknis (mikro). Pengukuran efisiensi teknis cenderung terbatas pada
hubungan teknis dan operasional dalam proses konversi input menjadi output,
sehingga untuk meningkatkan efisiensi teknis hanya butuh kebijakan mikro yang
bersifat internal, yaitu dengan pengendalian dan alokasi sumberdaya yang
optimal.

Daya saing industri peternakan sapi potong nasional tidak hanya terbatas dengan
daya saing dengan komoditas sejenis produksi negara lain, tetapi lebih luas dari
itu adalah daya saing dalam komoditas usaha tani. Pelepasan ternak sapi potong
oleh rumah tangga yang dengan mudah dilakukan dan rendahnya minat usaha
dan invesasi pada usaha peternakan sapi potong selama ini tidak terlepas dari

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-30

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

daya saingnya yang lemah terhadap komoditas atau jenis usaha lainnya. Pada
rumah tangga perdesaan dengan usahatani terdisversifikasi akan lebih mudah
untuk mengurangi skala usaha ternak sapi dibanding usaha tani lainnya karena
tidak begitu signifikan mempengaruhi ekonomi rumah tangga. Para pelaku usaha
(pemilik modal), pilihan usaha (investasi) pada sektor pertanian lain seperti
perkebunan lebih menjanjikan dibanding usaha (investasi) pada sektor usaha
peternakan yang memberikan tingkat keuntungan atau pengembalian modal lebih
rendah. Hal yang sama juga terjadi pada penduduk usia produktif, berkerja pada
bidang atau sektor peternakan sapi potong belum menjadi pilihan prioritas karena
brand image yang sering muncul adalah kurangnya kepastian keuntungan usaha
yang dapat menjamin keberlangsungan pendapatan mereka.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa selama ini usaha peternakan sapi potong
belum memiliki “brand image” sebagai usaha yang dapat diandalkan sebagai
sumber pendapatan utama (usaha pokok dan industri), menjadi sektor usaha dan
investasi yang menarik karena menjanjikan keuntungan dan keberlanjutan
pendapatan. Hal inilah yang menjadi pertimbangan utama kenapa penegasan
kembali (reposisi) peran dan kedudukan usaha peternakan sapi potong dalam
kerangka membangun industri peternakan yang tangguh. Berdasarkan
permasalahan, kondisi eksisting, sebaran potensi sumberdaya alam dan manusia,
serta efektifitas kebijakan yang telah dilakukan, maka beberapa langkah strategis
dalam rangka reposisi peran dan kedudukan usaha peternakan sapi potong
antara lain adalah:

1. Proses industrialisasi selayaknya dipandang sebagai upaya pada sudut
pandang makro tetapi implementasinya dalam skala mikro (rumah tangga)
tidak terlalu memaksakan transformasi usaha peternakan rakyat menjadi
usaha pokok dan/atau industri tetapi cukup menjadi cabang usaha terutama
untuk tujuan pengembangbiakan (feeder cattle). .

2. Peternakan sapi potong sebagai cabang usaha terutama pada perdesaan
sebagai wilayah konsentrasi peternak dicirikan rumah tangga usahatani
campuran (mix farming) baik tanaman pangan maupun perkebunan.

3. Upaya peningkatan status sebagai cabang usaha tidaklah cukup dengan
peningkatan kepemilikan atau skala usaha ternak sapi tetapi perlu juga upaya

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-31

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

lain guna mendorong peningkatan nilai tambah (value added) usaha ternak
sapi potong.

4. Peningkatan nilai tambah tersebut dilakukan melalui diversifikasi
sumber-sumber pendapatan asal usaha ternak dengan karakteristik sebagai
berikut:

a. Mampu mengotimalkan pemanfaatan sumberdaya ternak sapi yang
dimiliki tanpa menambah beban kerja yang melebihi kapasitas dan
ketersediaan sumberdaya itu sendiri.

b. Mampu mengubah karakteristik pendapatan usaha ternak sapi dari
sekedar pendapatan jangka panjang (tahunan atau semesteran)
menjadi pendapatan jangka pendek (bulanan atau harian).

c. Mampu mendorong transformasi sistem pemeliharaan dari ekstensif
(pengembalaan) dan semi-intensif (pengembalaan terbatas) menjadi
intensif.

d. Mampu meningkatkan kontribusi usaha ternak sapi terhadap
pendapatan rumah tangga serta mempu mendorong efisiensi usahatani
lainnya (perkebunan atau tanaman pangan).

5. Produk yang dihasilkan bersifat komersial dan memiliki pangsa pasar yang
masih terbuka luas serta potensial mendukung pertanian ramah lingkungan
atau pertanian ekologis terpadu.

6. Pengelolaan sumberdaya non-produk utama ternak sapi potong (anakan dan
pertambahan bobot badan) sebaiknya dilakukan secara kolektif melalui
pengembangan sentra-sentra produksi kelompok.

Konsep dasar “Berdaya Guna Tanpa Harus Menjadi Utama” merupakan upaya
untuk menciotakan “brand image” usaha peternakan sapi potong sebagai suatu
cabang usaha yang memiliki kemampuan berkontribusi bagi ekonomi rumah
tangga. Peningkatan kontribusi usaha ternak sapi potong dilakukan melalui
diversifikasi sumber-sumber pendapatan sehingga upaya peningkatan skala
ternak dapat berjalan seiring dengan peningkatan nilai tambah produk sampingan
(langsung) dan produktivitas (tidak langsung). Peningkatan kontribusi terhadap
usahatani lain melalui pemanfaatan produk olahan industri atau usaha kelompok

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-32

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sebagai substitusi input komersil tidak hanya mendorong efisiensi (keuntungan)
usaha tetapi juga ramah lingkungan (Gambar 2.5).

Gambar 2.5.
Membangun Peternakan Sapi Potong Rakyat

Pendekatan pembangunan industri peternakan sapi potong rakyat seperti ini akan
efektif menciptakan “brand image” positif dan potensial diintegrasikan dengan
berbagai program prioritas pembangunan lainnya. Jaminan profitabilitas dan
keberlanjutan usaha diharapkan mampu mengubah paradigma penduduk usia
produktif untuk menjadikan usaha ternak sapi potong sebagai pilihan alternatif
kesempatan berusaha. Para pemilik modal akan lebih tertarik dan investasi dalam

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-33

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

mendukung berbagai program pemberdayaan peternak akan mengalir termasuk
investasi sosial perusahaan dalam bentuk program tanggung jawab sosial
perusahaan atau CSR (corporate social responsibilty) dan pemberdayaan
masyarakat atau CD (community development) lainnya.

2.4. Implementasi: Beberapa Contoh Pogram dan Kegiatan

Implementasi upayas untuk mendorong industrialisasi usaha peternakan sapi
potong rakyat sebenarnya sudah mulai dilakukan dan berikut beberapa program
yang telah dilakukan sebagai gambaran awal aplikasi limplementasi lapangan.

2.4.1. Penguatan Usaha Kelompok Pelaku Integrasi Sawit-Sapi

Program penguatan kelompok usaha
pelaku integrasi sawit sapi ini
merupakan kegiatan pengembangan
KIAT (Kelompok Intermediasi Alih
Teknologi) yang didanai melalui
program IPTEKDA-LIPI tahun anggaran
2013 dan 2015. Pada awal kegiatan
pemberdayaan kelompok direncanakan
3 (tiga) jenis produk berbasis limbah
yang dikembangkan yaitu kompos
(pupuk padat), bio-urine (pupuk cair)
dan wafer ransum komplit (WRC)
pelepah sawit. Hasil kegiatan selama
satu tahun berjalan menunjukkan jenis
produk berbasis limbah yang telah
dikembangkan dan siap memasuki
pasar komersial adalah pupuk organik
padat (kompos) dan pupuk cair
(bio-urine), sedangkan untuk WRC
masih sebatas pada pemanfaatan
limbah pelepah kelapa sawit untuk fermentasi sebagai bahan pakan ternak sapi
kelompok.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-34

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Produksi dan penerimaan usaha kelompok Sumber Rezeki berfluktuasi karena
sangat terkait dengan ketersediaan bahan baku (pelepah sawit, urine dan feses)
dan kondisi cuaca terutama untuk pengeringan bahan baku feses dan perajangan
pelepah sawit. Guna mengurangi fluktuasi produksi yang akan berimplikasi pada
penerimaan kelompok maka telah diatasi dengan pembangunan lantai jemur dan
pembuatan ruang chooper yang terlindung dari hujan. Kegiatan secara finansial
mampu meningkatkan kas tunai usaha kelompok sekitar Rp. 12,76 juta
sedangkan dana bagi hasil KIAT
sebesar Rp. 418.250 digunakan untuk
perbaikan kandang. Program penguatan
tahun 2015 sebagai lanjutan program
pengembangan usaha kelompok pelaku
integrasi sawit sapi berbasis limbah
tahun 2013. Berbagai kendala yang
dihadapi pada masa pengembangan
mampu dicarikan solusi pemecahan
masalahnya pada masa penguatan
termasuk perbaikan teknologi proses,
fokus produksi berbasis market demand
dan perluasan sarana dan prasarana
produksi. Kegiatan ditujukan untuk
peningkatan kapasitas produksi sentra
pengolahan limbah terpadu yang
dikelola kelompok Sumber Rezeki
sebagai mitra KIAT Produk Unggulan
Daerah Fakultas Peternakan UNJA .

Program penguatan yang dilakukan
sebagai upaya akselerasi dan
peningkatan kapasitas produksi melalui
perbaikan teknologi proses, yaitu a)
pengembangan teknologi proses
produksi Biourine “Aerasi” Plus dengan membangun instalasi pengolahan limbah
cair (IPLC) yang mampu mempercepat jangka waktu produksi dari 21 - 28 hari
menjadi 16 hari dengan kualitas biourine yang dihasilkan lebih bersih dari material

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-35

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

butiran dan bau menyengat jauh berkurang, dan perbaikan teknologi proses
produksi dari biokompos menjadi Trychokompos Insitu yang diikuti dengan
peningkatan fasilitas Instalasi Pengolahan Limbah Padat (IPLP). Teknologi ini
mampu memperpendek waktu komposing dari awalnya 2 minggu (14 hari)
menjadi 1 minggu (7 hari) dan seiring meningkatkan fasilitas IPLP maka kapasitas
produksi persatuan waktu akan mengalami peningkatan. Hasil kegiatan dilihat
dari kondisi eksisting perkembangan usaha pengolahan limbah terpadu kelompok
sudah berkembang baik dengan kapasitas “terpasang” masing-masing jenis
produk adalah Biourine “A” Plus 4.800 liter/bulan dan Trychokompos Insitu 10
ton/bulan. Peningkatan produksi baru dapat dicapai pada bulan Agustus untuk
Biourine Aerasi Plus sedangkan untuk Trychokompos Insitu pada bulan
September. Kendala yang dihadapi adalah dari kontinuitas bahan baku karena
adanya fluktuasi pasokan limbah cair dan padat kandang seiring perubahan
populasi ternak sapi. Untuk itu dikembangkan kemitraan input bahan baku
dengan peternak sapi potong non-anggota kelompok baik dalam desa maupun
luar kawasan desa, dengan pola rantai pasok seperti Gambar 2.6.

Gambar 2.6.
Model Tatakelola Usaha Kelompok KIAT Membangun Industri Peternakan Sapi Potong

Rakyat

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-36


Click to View FlipBook Version