The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Ardi Novra, 2022-12-30 17:10:49

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat: Sustainable Integrated Farming System (SIFAS) Approach

BUKU_SIFAS_Ardi Novra

Keywords: Integrasi,SIFAS,Sapi,Industri,Peternakan

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Perjalanan kelompok usaha pelaku integrasi sawit sapi berbasis limbah ini
sempat mengalami stagnasi akibat kekurangan bahan baku limbah ternak sapi
potong. Kemarau panjang akibat el-nino tahun 2015 menyebabkan banyak rumah
tangga yang menjual atau mengurangi populasi ternak sapi akibat kelangkaan
sumber pakan hijauan ternak sapi. Keterbatasan tenaga kerja keluarga untuk
meramban mendorong terjadinya rasionalisasi jumlah ternak anggota kelompok
dan masyarakat sekitar desa. Pada sisi lain, ternak yang dipelihara dalam
kandang kelompok sebagai sumber utama bahan baku masih terjaga populasinya
karena memanfaatkan pakan rajangan pelepah sawit yang difermentasi. Sentra
pengolahan limbah terpadu kelompok usaha Sumber Rezeki yang terletak di
Desa Baru Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi sampai saat ini masih
operasional tetapi pemanfaatan produk kompos lebih banyak digunakan untuk
kebutuhan budidaya tanaman hortikultura. Hal ini tak terlepas dari upaya rumah
tangga petani untuk bertahan menghadapi turunnya pendapatan akibat anjolknya
harga komoditas karet (crumb rubber) dan sawit (tandan buah kosong).

2.4.2. Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit Pasca Karhutla 2015

Sedikit berbeda dengan kelompok tani Sumber Rezeki, dampak kemarau panjang
dan kebakaran hutan dan lahan 2015 malah menjadi awal kebangkitan usaha
komposing kelompok tani Mekar Sari di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Program Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) Universitas Jambi dengan judul
“Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit Terkena Dampak Kebakaran
Hutan dan Lahan 2015, berhasil menginisiasi berkembangnya usaha kelompok
tani Mekar Sari. Kegiatan PPM di Desa Dataran Kempas selama enam bulan
bertujuan untuk pemulihan ekonomi rumah tangga pelaku integrasi sapi sawit
yang terkena dampak karhutla khususnya kelompok tani Mekar Jaya (PMJ). Desa
Dataran Kempas merupakan desa dengan mayoritas rumah tangga adalah petani
perkebunan sawit rakyat dengan luas areal sekitar 382 Ha dengan masa tanam
tahun 1995/1996 sehingga 1 - 3 tahun lagi memasuki masa peremajaan (umur
tanaman non-produktif 25 tahun). Pasca kejadian kebakaran lahan dan hutan
besar pada tahun 2015 perekonomian desa mengalami kemunduran drastis
akibat anjloknya produktsi tanaman sawit masyarakat. Pemulihan kembali
produktivitas tanaman sawit pasca karhutla besar 2015 diperkirakan berlangsung

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-37

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

2 - 3 tahun, sedangkan harga jual TBS pada saat yang hampir bersamaan
mencapai harga terendah yaitu Rp. 600/kg.

Metode pemberdayaan masyarakat guna

pemulihan ekonomi rumah tangga terkena

dampak kabakaran lahan dan hutan tahun 2015

menggunakan pendekatan partisipatif

(Participatory Rural Appraisal/PRA) yaitu suatu

metode pendekatan dalam proses

pemberdayaan dan peningkatan partisipasi

masyarakat yang ditekankan pada keterlibatan

masyarakat dalam keseluruhan kegiatan

pembangunan (Firmansyah, 2013). PRA

merupakan salah satu bentuk community-based

method yang berada dalam konteks

collaborative decision making dimana koleksi

dan analisis data dilakukan oleh masyarakat

lokal dan pihak luar lebih berperan sebagai

fasilitator dibanding pengontrol kebijakan

(Syahyuti, 2008). Pada sisi lain individu

masyarakat secara alami cenderung memilih

aksi bersama ketika ada kesamaan dalam hal

tujuan yang ingin dicapai dan ketika merasa

adanya ketidakpastian dan resiko yang dihadapi

jika bergerak sendirian (Syamsuddin et al.,

2007).

Program PPM mampu menjadi pemantik
partisipasi pihak dunia usaha melalui program
CD atau CSR. Program dan kegiatan dilakukan
secara terintegrasi dengan kontribusi
masing-masing pihak adalah tim PPM Unja
disamping melakukan pembinaan juga memberi
dukungan finansial pembangunan rumah dan
alat pengayak kompos, PT. WKS berkontribusi
dalam perbaikan jalan produksi dan menjadi

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-38

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

mitra utama penyerap produk kompos, dan Tim MP3EI UGM berkerjasama
dengan Puslit CSR UNJA berkontribusi dalam pengadaan timbangan dan alat
jahit karung produk kemasan.

Bank Indonesia berkomitmen memberikan bantuan modal perluasan rumah
kompos dan perbaikan kandang guna akselerasi target produksi sesuai perjanjian
kerjasama antara PMJ dan PT. WKS pada saat lounching perdana yaitu 200
ton/bulan dari capaian produksi 50-60 ton/bulan saat ini. Pemasok utama bahan
baku limbah usaha pupuk kompos adalah rumah tangga peternak sapi setempat
dan desa sekitar (Gambar 2.7).

Gambar 2.7.
Aliran Sumberdaya Pada Kelompok Mekar Jaya

Jaringan rantai pasok menunjukkan bahwa usaha komposing kelompok Mekar
Jaya berdampak ke belakang dan depan atau biasa disebut dengan bacward and
forward linkage. Kebelakang usaha kompos kelompok memberi manfaat bagi
pemasok bahan baku yaitu rumah tangga peternak sapi potong termasuk
perubahan sistem pemeliharaan menjadi pengembalaan terbatas dan intensif.
Limbah padat kandang yang memiliki harga jual mendorong peternak untuk
mengandangkan ternak sapi agar mudah untuk dikumpulkan dan dimasukkan
dalam karung-karung sebelum diambil oleh usaha komposing. Kebutuhan PT.
WKS yang besar mendorong berkembangnya usaha kelompok sejenis baik pada
Desa Dataran Kempas (3 kelompok) maupun desa tetangga Purwodadi dan
Delima. Limbah sawit yang awalnya hanya tertumpuk di areal PKS kini mulai
memiliki harga jual karena menjadi bahan baku campuran utama usaha kompos

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-39

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

2.4.3. Pengembangan Model Intercropping Sela Tanaman Karet Replanting

Peran lain yang dapat dijadikan
pembelajaran membangun industri
peternakan tanpa harus menjadi yang
utama adalah program peremajaan
karet rakyat. Penelitian selama 3 tahun
(2015 - 2017) skim MP3EI DPRM
Ristekdikti dengan judul “Model Aksi
Kolektif untuk Kemandirian Rumah
Tangga Menghadapi “Temporary Loss
Income” Program Replanting Karet”.
Produk Tyrchokompos Insitu (pupuk
organik padat) dan Biourine A Plus
(pupuk organik cair) yang diproduksi
kelompok digunakan untuk budidaya
beberapa jenis tanaman pangan sekitar
tegakan tanaman karet muda replanting.
Selama masa menunggu tanaman karet
kembali menghasilkan tingkat produksi
ekonomis bagi rumah tangga, lahan
sekitar tanaman karet dapat
dimanfaatkan untuk budidaya tanaman
pangan. Hasil dari budidaya ini
diharapkan dapat menjadi pengganti
pendapatan yang hilang pasca
penanaman kembali tanaman karet.
Pada kegiatan riset ini dilakukan uji
coba dengan membangun demplot
budidaya 4 jenis komoditas pangan
yaitu kedele, padi gogo, jagung dan
sorghum. Mekanisme yang dikembangkan dan disepakati dalam kegiatan pada
Gambar 2.8.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-40

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Gambar 2.8. Mekanisme Pengelolaan Program

Secara singkat, dapat dijelaskan bahwa tindakan kolektif dilakukan mulai dari
kandang sapi kolektif kelompok, pengolahan limbah di IWP, mekanisme
tumpangsari, dan pemasaran produk. Sumber bahan baku untuk IWP berasal dari
kandang pribadi anggota kelompok dan kandang kolektif kelompok, serta tidak
menutup peluang bersumber dari para peternak sapi sekitar. Untuk itu, kandang
pribadi maupun kolektif harus dilengkapi dengan tempat untuk penampung limbah
cair dan pengeringan limbah padat. Masing-masing limbah mentah diharga Rp
300/kg untuk limbah padat dan Rp 700/liter limbah cair yang dapat dibayar tunai
atau dihitung sebagai simpanan peternak pemasok. Terkait dengan pemanfaatan
hasil pengolahan limbah sebagai contoh untuk produk TCI dapat dijual atau
digunakan untuk program tumpang sari. Jika dijual, maka pendapatan bersih
(Rp340/kg) yaitu margin antara harga jual (Rp1.100/kg) dan biaya pokok produksi
(Rp760/kg) dikali kuantitas atau volume produksi. Pendapatan bersih kemudian

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-41

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

didistribusikan untuk pembayaran bahan baku pemasok, biaya produksi IWP, dan
setoran tunai bagi kelompok. Jika tidak dikomersialkan dan digunakan untuk
tumpangsari maka akan dihitung sebagai bagian dari biaya budidaya. Secara
khusus, mekanisme pembagian keuntungan dalam program tumpang sari di
sekitar tegakan karet muda hasil replanting diilustrasikan dalam Gambar 2.9.

Gambar 2.9.
Mekanisme Share Cropping antara Kelompok dan Pemilik Lahan

Demplot dikembangkan pada lahan karet replanting umur 3 tahun dengan luas
total 2 ha (0,5 ha setiap komoditas) dengan perlakuan pupuk sama yaitu
menggunakan TCI 5 ton/ha. Pupuk komersial (Urea, KCl, TSP, dan Dolomite)
masih digunakan sebagai pupuk awal saat penanaman, sedangkan pemanfaatan
Biourine A Plus hanya pada tanaman jagung dan sorgum (1: 10) setelah tanaman
berumur 2 minggu selama 2 bulan dengan frekuensi setiap dua minggu. Rataan
tingkat produktivitas dan analisis biaya manfaat untuk setiap tanaman pangan
disajikan pada Tabel 2.1.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-42

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Table 2.1.
Produktivitas Tanaman Pangan Intercropping dan Estimasi Biaya dan

Penerimaan

No Jenis Pangan Produksi Penerimaan Biaya Pendapatan
1 Kedele (ton/Ha) (Rp/Ha) (Rp/Ha) (Rp/Ha)
2 Padi Gogo 5.530.000 2.720.850 2.809.150
3 Jagung 2,044
4 Sorghum 5.522.000 2.487.050 3.034.950
3,028
5.947.200 2.740.310 3.206.890
2,832
5.440.000 2.661.650 2.778.350
2,624

Produktivitas tanaman pangan di demplot lebih rendah daripada beberapa hasil
penelitian tumpangsari seperti 2,12 ton/ha (Sopandie dan Trikoesoemaningtyas,
2011) untuk kedelai dan 3,80 ton/ha (Arifin dan Toha, 1996) untuk padi gogo,
4,246 ton/ha (Sahuri, 2017) untuk jagung, dan 2,69 ton/ha (Sahuri, 2017).
Perbanding produktivitas keempat tanaman pangan dengan hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa hanya produktivitas sorgum yang mendekati.
Pengamatan selama periode pemeliharaan menunjukkan bahwa perlakuan
Biourine A Plus (BA+) memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman
jagung dan sorgum. Tinggi rata-rata tanaman sorgum yang disiram dengan BA+
mencapai 277,5 cm, jauh lebih tinggi daripada tanpa penyiraman (185,0 cm) dan
hal yang sama untuk tanaman jagung mencapai 213,8 cm dibanding tanpa
penyiraman (171,3 cm). Secara statistik, capaian tinggi tanaman saat panen
antara sorgum dan jagung berbeda signifikan dengan perbedaan mencapai 53,45
cm. Tanaman yang diberi perlakuan BA+ menghasilkan ketinggian panen yang
berbeda sekitar 69,07 cm dibandingkan tanpa disiram. Setiap sentimeter
peningkatan tinggi tanaman secara signifikan meningkatkan bobot panen 4,31
gram. Budidaya tumpangsari juga berdampak positif bagi pertumbuhan tanaman
karet replanting seperti disajikan pada Tabel 2.2.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-43

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Table 2.2.
Dampak Budidaya Intercropping Terhadap Tanaman Karet Replanting

No Variabel Satuan Performans
Intercropping Non-Intercropping
1 Lingkar Batang cm
a. Awal cm 4,68 5,05
b. Akhir cm 6,53 7,41
cm/hari 1,85 2,86
2 Perubahan (105 hari) % 0,02 0,02
3 Perubahan harian %/hari 0,42 0,46
4 Pertumbuhan (105 hari) 0,39 0,44
5 Pertumbuhan harian

Berdasarkan pendapatan bersih masing-masing tanaman pangan dan sistem
bagi hasil yang disepakati (60: 40), maka dapat diperoleh daya substitusi untuk
masing-masing komoditas. Survei rumah tangga petani yang memelihara karet
umur tua atau produktivitas rendah (2017) menunjukkan bahwa rata-rata
kepemilikan tanah 2,60 ha/rumah tangga, dan potensi kehilangan pendapatan
bulanan rata-rata jika dilakukan peremajaan karet adalah Rp1,85 juta/rumah
tangga atau Rp770,713/Ha. Menggunakan asumsi bahwa dalam satu tahun terdiri
dari 2 musim tanam, daya substitusi setiap komoditas pangan (Tabel 2.3).

Tabel 2.3.
Daya Substitusi Masing-masing Komoditas Tanaman Pangan

No Jenis Komoditas Revenue pemilik lahan (Rp) Daya Substitusi
(%)
Kedele Tahunan Bulanan
Padi Gogo 50,67
Jagung 4.686.000 390.500 40,32
Sorghum 55,83
Rataan 3.729.360 310.780 50,27
Sources: Novra et al, 2017 5.163.288 430.274
4.649.040 387.420 49,27

4.556.992 379.744

Secara umum, daya substitusi tanaman pangan masih belum penuh, yaitu
rata-rata 49,07% dengan kemampuan tertinggi pada tanaman jagung (55,83%).
aya substitusi yang rendah disebabkan oleh musim tanam yang maksimum hanya
2 kali dalam satu tahun. Kondisi tanah yang berada pada ketinggian sedang dan
cukup bergelombang, dan ketersediaan air sangat bergantung pada musim.
Faktor lain terkait dengan tingkat kesuburan tanah yang mulai menurun sehingga
produktivitas tanaman pangan juga tidak optimal.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-44

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Integrasi secara terminologi memiliki
makna lebih luas dibanding dengan
diversifikasi usaha karena dalam
integrasi ada hubungan saling
melengkapi dan saling menguntungkan
(symbiosis mutualism) antara berbagai
cabang usaha sehingga akan
membentuk sebuah sistem. Kesamaan
keduanya adalah dari aspek tujuan yaitu
untuk memperkuat daya tahan ekonomi
rumah tangga dari berbagai pengaruh
eksternal dengan tidak hanya
bergantung pada sumber tunggal atau
dalam pertanian dikenal dengan
usahatani monokultur. Pada sistem
integrasi yang baik, antara cabang usaha
akan saling mendukung dan
mempengaruhi satu sama lain sehingga
berbeda dengan diversifikasi dimana
seringkali antara cabang usaha memiliki
keterkaitan yang lemah dan bahkan
saling lepas (independen).

3.1. Integrasi: Warisan Budaya Melayu

Usaha integrasi tanaman dan ternak
sudah dikenal oleh masyarakat
perdesaan sejak zaman dahulu termasuk

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-45

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

di kalangan masyarakat Melayu Jambi. Hal ini dibuktikan dari petitih yang
berkembang di kalangan masyarakat adat Melayu Jambi yang berbunyi “Ado Padi
Sagalo Jadi, Ado Ternak Sagalo Enak dan Ado Parah Sagalo Murah”(ada padi
semuanya jadi, anak ternak semuanya akan terasa enak dan ada parah semua
yang akan dibeli terasa murah). Padi adalah tanaman yang diusahakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan beras untuk dikonsumsi sehari-sehari oleh rumah
tangga. Ternak (kerbau) adalah hewan yang dipelihara untuk memenuhi
kebutuhan insidental yang membutuhkan biaya besar seperti khitanan,
pernikahan, acara adat, naik haji, membangun rumah dan bahkan kebutuhan
pendidikan anggota keluarga,

Parah adalah sebutan tradisional untuk tanaman perkebunan karet rakyat
sehingga getah karet yang disadap disebut juga dengan getah parah. Selama
tanaman parah masih mengalirkan getah, maka hasil penjualan getah digunakan
untuk memenuhi kebutuhan belanja harian selain beras mulai dari sayuran dan
lauk pauk sampai kebutuhan sandang lainnya seperti baju, sepatu dan
perlengkapan rumah tangga dan sekolah. Harga getah karet yang memadai dan
kepemilikan perkebunan karet rakyat yang luas serta dapat dipanen setiap hari
menyebabkan dalam pembelian kebutuhan non-beras tersebut terasa murah.
Murah dalam kontek masyarakat perdesaan adalah terjangkau oleh daya beli
mereka dari hasil penjulan getah tanaman karet.

Petitih ini mengandung makna yang mendalam tentang bagaimana masyarakat
bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah dan
panjang. Ketiga komoditas usaha tani memiliki peran masing-masing dalam
kehidupan dan saling melengkapi sehingga bertahan lama dalam kehidupan
masyarakat Melayu Jambi. Seiring dengan semakin maraknya konversi kawasan
hutan dan sawah menjadi perkebunan yang menjadi tempat pengembalaan
ternak maka populasi ternak kerbau terus mengalami penurunan. Posisi daging
ternak kerbau sebagai barang pengganti sempurna (perfect substitution) daging
ternak sapi, maka kenaikan permintaan dan harga daging sapi telah
menyebabkan pengurasan populasi ternak kerbau. Populasi ternak kerbau terus
mengalami penurunan akibat pemotongan secara berlebihan guna memenuhi
kebutuhan daging konsumsi. Populasi ternak kerbau selama periode tahun 2000 -
2008 menurut Asriyani (2012) mengalami penurunan sekitar 8,85% atau
mengalami laju penurunan setiap tahun sekitar 1,03%. Hal yang sama juga

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-46

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

dinyatakan oleh Maira (2011) bahwa populasi ternak kerbau mengalami
penurunan sebesar 26% dari 3,3 juta ekor pada tahun 1985 menjadi hanya sekitar
2,4 juta ekor tahun 2001.

3.2. Usahatani Monokultur dan Kebangkitan Integrasi

Budaya usaha tani tradisional warisan nenek moyang masyarakat Melayu Jambi
ini mulai memudar seiring perkembangan zaman. Usahatani dengan diversifikasi
sumber pendapatan rumah yang telah menciptakan ekonomi rumah tangga
perdesaan yang stabil dan tahan terhadap goncangan eksternal mulai
menghilang seiring semakin berkembangnya budaya usahatani tunggal
(monokultur). Harga komoditas perkebunan (karet dan kelapa sawit) yang
semakin membaik dan mampu menunjang ekonomi rumah tangga mendorong
berkembangnya budaya usaha tani yang cenderung monokultur dengan hanya
mengandalkan satu komoditas untuk sumber pendapatan rumah tangga petani di
perdesaan.

Kecenderungan ini sangat terlihat pasca krisis ekonomi yang melanda Indonesia
pada tahun 1998 dimana komoditas perkebunan menjadi “komoditas idola” tujuan
ekspor. Pada sisi lain, kehadiran perkebunan swasta besar tidak hanya
mendorong konversi kawasan hutan tetapi juga semakin meluasnya konversi
lahan sawah menjadi perkebunan baik karet maupun kelapa sawit. Pembebasan
lahan untuk pembangunan perkebunan besar dengan “kedok” kemitraan
inti-plasma telah menyebabkan masyarakat perdesaan secara sadar dan
sukarela menyerahkan sebagian lahannya untuk dikonversi termasuk lahan
tanaman pangan (sawah). Besarnya kontribusi perkebunan terhadap ekonomi
rumah tangga menyebabkan rumah tangga lebih fokus pada komoditas komersial
ini dan mengabaikan cabang usahatani keluarga lain termasuk peternakan sapi
potong.

Fenomena terbentuknya pola pikir yang
berorientasi pada budidaya monokultur
masyarakat perdesaan ini berlangsung
cukup lama (± 10 tahun) sampai
terjadinya krisis ekonomi global pada
tahun 2008. Pada saat krisisnya situasi
berbalik, dimana harga komoditas

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-47

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

perkebunan mengalami penurunan drastis (anjlok) meskipun nilai tukar rupiah
kembali mengalami pelemahan. Terpuruknya harga kelapa sawit di tingkat petani
sudah berlangsung sejak Juni 2008, mengikuti anjloknya harga minyak kelapa
sawit (crude palm oil) dunia. Harga CPO sempat mencapai US$ 1.400 per ton,
tetapi resesi global perlahan-lahan menurunkan harga hingga menjadi US$
400-500/ton pada awal tahun 2009 (Iswara et al, 2009). Selanjutnya dikatakan
bahwa harga TBS hanya Rp 700/kg jauh di bawah harga keemasan yang sempat
mencapai Rp 2.100 - 3.500/kg awal tahun 2008. Persoalan menarik dari krisis ini
adalah bahwa kemerosoatn TBS jauh lebih cepat dibanding turunya harga produk
hilir sawit dan bahkan dikuwatirkan bahwa harga produk turunan tidak mengalami
penurunan, melainkan penurunan permintaan karena adanya penurunan daya
beli (Simatupang, 2009).

Krisis ekonomi global juga menyebabkan
harga komoditas perkebunan lainnya seperti
kopi, karet, kakao, dan teh mengalami
penurunan drastis. Para petani karet di
sejumlah sentra produksi panik karena
harga bahan olahan karet anjlok dari
Rp10.500 menjadi Rp 6.000/kg, sedangkan
harga di tingkat petani karet lebih parah lagi karena harga turun drastis menjadi
Rp 4.000 – 4.500/kg. Penurunan harga ini menurut Irwansyah (2008) disebabkan
harga karet di pasar dunia ambruk dari US$ 2,9 menjadi US$ 2,5 jenis TSR di
Singapura Commodity Exchange (Sicom).

Krisis ekonomi global ini menyebabkan gangguan besar pada ekonomi rumah
tangga, sementara biaya pemeliharaan tanaman perkebunan mengalami semakin
meningkat seiring naiknya harga input terutama pupuk. Anjloknya harga
komoditas (TBS dan Bokar) di tingkat petani telah menyebabkan gangguan tidak
hanya terhadap rumah tangga pertanian tetapi juga sektor ekonomi lainnya.
Aktivitas ekonomi daerah yang membaik pada saat harga TBS tinggi berbalik
setelah anjloknya harga TBS. Pendapatan rumah tangga petani sawit menurun
memperlemah daya beli, sehingga mempengaruhi sektor jasa dan transportasi.
Aktivitas perdagangan dan transportasi yang selama ini ramai menjadi menurun
berakibat pada rendahnya pendapatan rumah tangga yang menggantungkan
hidupnya kepada kedua sektor ini. Sektor jasa pembiayaan seperti perbankan

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-48

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

dan lembaga pembiayaan lainnya juga terganggu akibat banyaknya kredit macet
sektor perumahan dan otomotif.

Hasil analisis situasi dampak krisis terhadap ekonomi rumah tangga perkebunan

karet dan sawit oleh Novra et, al (2009) menyimpulkan bahwa a) penurunan

harga komoditas tidak diikuti dengan penurunan biaya produksi dan bahkan

sebaliknya beban biaya meningkat akibat kenaikan harga input terutama pupuk

an-organik (komersial), b) kenaikan

harga pupuk yang diikuti turunnya harga

output direspon sebagian besar rumah

tangga dengan mengurangi dosis dan

komposisi penggunaan pupuk,

penundaan waktu pemupukan dan

pemanfaatan pupuk alam seperti abu,

dan c) guna menghindari resiko dampak

negatif jangka panjang berupa gangguan pertumbuhan dan produktivitas

tanaman sebagian rumah tangga meningkatkan penggunaan pupuk kandang

sebagai suplemen pupuk komersial.

3.3. Pembelajaran Kedua: Karhutla Besar tahun 2015

Ketidakberdayaan rumah tangga petani budidaya monokultur dalam menghadapi
goncangan faktor eksternal kembali terulang dengan kejadian kebakaran hutan
dan lahan (karhutla) besar pada tahun 2015. Paparan kabut asap dan kemarau
panjang mengakibatkan produktivitas beberapa jenis tanaman mengalami

penurunan produktifitas seperti duku,
durian dan tanaman perkebunan lain
termasuk kelapa sawit. Produktivitas
tanaman duku menurun drastis dari
normalnya 120 batang bisa panen 20 ton
namun pasca karhutla menurun drastis
menjadi 4 ton. Hal yang sama terjadi
pada tanaman durian yang seharusnya
bulan Februari 2016 sudah memasuki musim durian, namun faktanya banyak
pohon yang tak berbuah. Karhutla yang bertepatan dengan awal munculnya putik
buah durian membuat putik berguguran sehingga pohon tak berbuah dan jika

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-49

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

masih ada biasanya 10 buah/batang dan menurut warga ini persis seperti yang
terjadi di tahun 1997 silam.

Hal yang sama terjadi pada tanaman perkebunan berupa turun drastisnya
produktivitas sawit akibat kabut asap karena terganggunya proses fotosintesa
(Erwinsyah, 2014). Gangguan fotosintesis nutrisi menyebabkan klorofil daun
memasak makanan tidak maksimal karena tercemarnya karbondioksida yang
dibutuhkan tanaman (Biocond, 2016). Penanganan pasca karhutla adalah semua
usaha, tindakan atau kegiatan yang meliputi inventarisasi, monitoring dan
evaluasi serta koordinasi dalam rangka menangani suatu areal setelah terbakar.
Salah satu bentuk penanganan adalah rehabilitasi yaitu seluruh kegiatan dalam
rangka merehabilitasi kawasan bekas dan terdampak akibat kebakaran dengan
mempertimbangkan rekomendasi dan/atau masukan berdasarkan data dan
informasi yang diperoleh dari hasil identifikasi. Pemulihan produktivitas tanaman
kelapa sawit secara alami menurut Erwinsyah (2014) membutuhkan waktu cukup
lama bisa 2 - 3 tahun. Pemulihan menggunakan bahan kimia untuk memacu
pertumbuhan bunga disamping mahal juga belum tentu efektif sehingga tidak
direkomendasikan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah melalui penguatan
ekonomi rumah tangga petani dengan memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya
sekitar (insitu) seperti limbah tanaman pertanian dan peternakan. Menurut Novra
et al (2016) pemulihan ekonomi rumah tangga petani sawit terkena dampak
kabakaran hutan dan lahan tahun 2015 lebih krusial dibanding dengan rehabilitasi
tanaman karean membutuhkan waktu cukup lama.

Salah satu wilayah yang terkena dampak karhutla 2015 adalah Desa Dataran
Kempas di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi
Jambi. Mayoritas rumah tangga di desa ini merupakan rumah tangga perkebunan
sawit dengan luas areal sekitar 382 Ha dengan masa tanam tahun 1995/1996 dan
sekitar 1 - 3 tahun lagi harus dilakukan peremajaan (memasuki masa
non-produktif 25 tahun). Pasca kejadian kebakaran hutan dan lahan besar pada
tahun 2015 perekonomian desa mengalami kemunduran drastis akibat anjloknya
produksi tanaman sawit, sementara untuk pemulihan tanaman sawit tua tidak
efisien. Pada tahun 2016 melalui Tim PPM Universitas Jambi mulai diinisiasi
pengembangan pupuk kompos (padat) dan pupuk cair dengan memanfaatkan
sumberdaya limbah kandang ternak sapi dan pabrik kelapa sawit (PKS). Program
PPM dengan topik Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit Terkena

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-50

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan berhasil mendorong berkembangnya
usaha pupuk kompos kelompok tani Mekar Jaya.

Progam PPM program mampu memantik partisipasi pihak dunia usaha melalui
program CD atau CSR (Novra et al, 2016). Program dan kegiatan dilakukan
secara terintegrasi dengan kontribusi masing-masing pihak adalah tim PPM Unja
disamping melakukan pembinaan juga memberi dukungan finansial
pembangunan rumah dan alat pengayak kompos, PT. WKS berkontribusi dalam
perbaikan jalan produksi dan menjadi mitra utama penyerap produk kompos, dan
Tim MP3EI UGM berkerjasama dengan Puslit CSR UNJA berkontribusi dalam
pengadaan timbangan dan alat jahit karung produk kemasan. Bank Indonesia
berkomitmen memberikan bantuan modal perluasan rumah kompos dan
perbaikan kandang guna akselerasi target produksi sesuai perjanjian kerjasama
antara PMJ dan PT. WKS pada saat lounching perdana yaitu 200 ton/bulan dari
capaian produksi 50-60 ton/bulan saat ini.

Informasi terbaru, pada tahun 2019 tercatat 7 kelompok usaha yang sudah
berkembang melalui program DMPA dan menjadi mitra usaha BUMDes Gerbang
Nusantara. Produk unggulan utama adalah pupuk kompos (organik) dengan
bahan baku utama adalah limbah pabrik kelapa sawit (PKS), limbah padat
peternakan sapi potong serta daunan dan legume disekitar lokasi. Usaha pupuk
kompos dikembangkan oleh 3 kelompok tani yaitu Poktan Mekar Jaya, Karya
Trans Mandiri dan Sekawan Inti Sejahtera dengan kapasitas produksi pada tahun
2018 mencapai 12.000 ton/bulan yang dipasok sebagian besar ke PT. WKS
dengan nilai Rp 13,62 milyar. Tenaga kerja yang diserap mencapai 130 orang
yang berasal dari Desa Dataran Kempas sendiri dan desa-desa sekitar dengan
upah mencapai 3 - 4 juta/bulan. Selain sebagai pemasok utama ke PT. WKS
sebagian dari produk kompos sudah dikomersialkan dengan merk dagang “Raja
Kompos dan Ratu Kompos” serta sebagian mendukung budidaya pertanian
organik oleh kelompok usaha lainnya.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-51

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Sedangkan 4 kelompok lain bergerak di sektor budidaya yaitu 1) budidaya Ikan
Nila oleh Karang Taruna Laskar Nusa dengan penerima manfaat 30 orang,
kapasitas produksi 30.000 ekor nila atau 3,6 ton/periode panen, 2) budidaya
tanaman jahe merah, labu madu, labu sayur, terung, mentimun, kangkung serta
usaha ternak sapi, domba, kambing dan ikan nila dengan 65 orang pekerja oleh
Kelompok Tani Karya Trans Mandiri (KTM) pada lahan seluas 1.5 ha, 3) budidaya
tanaman hortikultura oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) Maju Bersama
beranggotakan 15 ibu rumah tangga dengan luas garapan 0,5 Ha dan estimasi
nilai produksi mencapai Rp 66,8 juta, dan 4) budidaya jahe merah oleh KWT
Mekar Wangi yang beranggotakan 130 ibu rumah tangga dari 13 RT dengan
kapasitas produksi mencapai mencapai lebih dari 7 ton dengan estimasi nilai
produksi Rp 180 juta.

Succes Story program PPM Unja tidak terlepas dari tindak lanjut yang dilakukan
PT. Wira Karya Sakti dalam dengan program DMPA sejak tahun 2017, Program
DMPA (Desa Makmur Peduli Api) yang diinisiasi oleh Asian Pulp and Paper Sinar
Mas bertujuan membangun hubungan harmonis dengan komunitas yang berada
sekitar konsesi dan sebagai solusi jangka panjang mencegah karhutla. Bukti
keberhasilan program terlihat dari berbagai penghargaan yang diperoleh Desa
Datran Kempas antara lain a) penghargaan Proklim bagi Kelompok Masyarakat
Peduli Api (MPA) pada Kategori Program Kampung Iklim Utama dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, b) penghargaan sebagai Kepala Desa
terbaik lomba Kades dan Lurah tingkat Provinsi Jambi (regional) tahun 2018 dari
Dirjend Bina Pemerintahan Desa Kemendari RI, c) penghargaan bagi TP PKK
atas partisipasi dan dukungan menjadi yang terbaik tingkat regional Provinsi
Jambi berupa tropi dan pandel dari Kemendari, dan d) perwakilan Jambi dalam
Pekan Inovasi Perkembangan Desa dan Kelurahan (Pindeskel), di Kompleks
Garuda Wisnu Kencana, Badung, Bali.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-52

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-53

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

3.4. Pembelajaran Apa yang Bisa Diambil?.

Berbagai fenomena yang menggambarkan fluktuasi perkembangan usahatani
terintegrasi memberi banyak pembelajaran bagi para pelaku (praktisi), akademisi
dan peneliti serta pengambil kebijakan pembangunan peternakan sapi potong.
Bagi rumah tangga petani, fenomena eksternal yang terjadi memberikan
pembelajaran antara lain a) daya tahan ekonomi rumah tangga akan rentan dan
mudah tergoncang jika usahatani bersifat monokultur dan b) usaha peternakan
sapi potong tidak hanya mampu memberi nilai tambah berupa pertambahan bobot
badan dan perkembangan populasi (kelahiran anak) tetapi juga menyediakan
kebutuhan pendukung ekonomi keluarga dan usahatani tanaman, dan c). nilai
pupuk organik, pestisida dan herbisida alami yang dihasilkan bahkan berpotensi
lebih besar dibanding produk utama.

Bagi para akademisi dan peneliti memberi
pembelajaran bahwa diversifikasi usaha
untuk memperkuat daya tahan dan
keberlanjuan ekonomi rumah tangga
petani belum cukup kuat jika tidak diiringi
dengan hubungan saling melengkapi dan
saling menguntungkan antar cabang
usaha seperti dalam sistem terintegrasi.
Makna integrasi juga harus dipahami lebih luas sebagai penggunaan sumberdaya
bersama secara kolektif dan bukan dimaknai terbatas sebagai kegiatan lebih dari
satu cabang usahatani pada lahan yang sama. Reposisi peran dan kedudukan
peternakan sapi potong tidak harus menjadi yang utama dengan mendorong
usaha ternak sapi menjadi sumber pendapatan (pekerjaan) utama, tetapi
biarkanlah tetap sebagai cabang usaha pendamping yang mampu berkontribusi
positif bagi usaha tani baik tanaman pangan maupun perkebunan dan
pendapatan rumah tangga petani.

Reposisi akan lebih bermakna dan berdaya guna jika usaha ternak sapi mampu
menjadi solusi pemecahan masalah yang dihadapi petani sebagaimana
kehadiran peternakan sapi potong mengatasi masalah dampak krisis ekonomi
(1997) dan krisis ekonomi global (2008), dampak negatif asap tebal kabakaran
hutan dan lahan (2015) yang menyebabkan turunnya produktivitas tanaman

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-54

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

perkebunan. Usaha peternakan juga potensial mengambil peran dalam berbagai
program seperti pengendalian kejadian karhutla, mempersiapkan rumah tangga
petani dalam menghadapi program peremajaan tanaman perkebunan seperti
kelapa, kelapa sawit dan karet terutama terkait masalah kehilangan pendapatan
sementara (temporary lost income) program peremajaan. Program peremajaan
atau replanting akan menyebabkan kehilangan pendapatan rumah tangga yang
berlangsung sejak awal dan selama proses peremajaan sampai tanaman
perkebunan dapat berproduksi ekonomis kembali. Usaha peternakan sapi potong
dan pemanfaatan limbah diharapkan dapat menjadi pengganti pendapatan yang
hilang dan diperkirakan akan dialami rumah tangga selama 4 - 5 tahun.

Bagi pengambil kebijakan bahwa
kebijakan antisipatif selayaknya lebih
diprioritaskan dibanding kebijakan
responsif yang terpikirkan setelah suatu
peristiwa terjadi. Pada masa akan datang,
kebijakan pembangunan peternakan
diharapkan lebih komprehensif, konsisten,
terintegrasi dan berkelanjutan serta dapat
diimplementasikan secara kolektif dan partisipatif dengan mulai meninggalkan
ego sektoral apalagi ego kekuasaan dan bidang keilmuan. Hindarilah kebijakan
pembangunan yang tidak hanya menimbulkan ketidak pastian pelaksana teknis
dan pelaku usaha di lapangan tetapi juga menyebabkan pemborosan
sumberdaya pembangunan.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-55

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-56

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Pembangunan merupakan suatu proses
perubahan dalam suatu negara seperti
struktur, kelembagaan dan lainnya untuk
mencapai suatu pertumbuhan, dimana
pertumbuhan itu sendiri dimaknai
sebagai peningkatan pendapatan
(income) perkapita atau kesejahteraan
(welfare) akibat pergeseran kemampuan
produksi. Persyaratan dasar dalam
pembangunan ekonomi adalah
a) atas dasar kekuatan sendiri yaitu

hasrat untuk memperbaiki diri harus
muncul dari diri sendiri dan tidak
dapat dicangkokkan dari negara lain,
b) menghilangkan imperfect market
yaitu ketidaksempurnaan pasar
penyebab “immobility factor” dan
menghambat ekspansi sektoral
dalam pembangunan,
c) perubahan struktural yaitu peralihan
dari masyarakat pertanian tradisionil
menuju industri modern yang
mencakup kelembagaan, sikap
sosial dan motivasi kerja, dan
d) pembentukan modal yang menjadi
faktor penting dan strategis dalam
proses pembangunan atau kunci
utama pembangunan ekonomi.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-57

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

4.1. Konsep Dasar Pengembangan Kawasan

Pengembangan wilayah mengandung arti luas, namun pada prinsipnya
merupakan berbagai upaya yang dilakukan untuk memperbaiki tingkat
kesejahteraan hidup di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan pertumbuhan,
dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Konsep-konsep sebelumnya
umumnya didominasi oleh ilmu ekonomi regional, walaupun dalam penerapannya
lebih banyak tergantung pada potensi pertumbuhan setiap wilayah yang akan
berbeda dengan wilayah lainnya, baik potensi SDA, kondisi sosial budaya dan
ekonomi masyarakat, ketersediaan infrastruktur, dan lainnya. beberapa konsep
konvensional pengembangan wilayah yang berkembang dan bagaimana
keterkaitan konsep-konsep tersebut dengan tantangan eksternal dan internal di
Indonesia.

1. Konsep wilayah berbasis karakter sumber daya yang dimiliki yang umumnya
didasari atas adanya masalah-masalah ketidakseimbangan demografi suatu
daerah, tingginya biaya, turunnya taraf hidup masyarakat, ketertinggalan
pembangunan suatu daerah dengan daerah lainnya, dan adanya kebutuhan
yang sangat mendesak di daerah tertentu.

2. Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang dengan 3
kebijakan berbasis tata ruang, yaitu

a. Pusat Pertumbuhan yang menekankan pada perlunya investasi pada
suatu wilayah yang memiliki infrastruktur baik GUNA menghemat investasi
prasarana dasar dengan harapan perkembangan sektor unggulan dapat
mengembalikan modal dengan cukup cepat. Pengembangan wilayah di
sekitarnya diharapkan diperoleh melalui proses tetesan (trickle down
effect) ke bawah dan salah satu contoh implementasi di Indonesia adalah
kawasan andalan. Kawasan Andalan meski istilah tersebut tidak
sepenuhnya sama dengan konsep pusat pertumbuhan namun penentuan
kawasan andalan dimaksudkan sebagai kawasan yang dapat
menggerakkan perekonomian daerah sekitarnya melalui pengembangan
sektor-sektor unggulan.

b. Integrasi fungsional pendekatan yang mengutamakan adanya integrasi
yang diciptakan secara sengaja di berbagai pusat pertumbuhan karena
adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini kemudian berkembang

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-58

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

dengan konsep integrasi center–periphery fungsional yang bertujuan agar
terjadi ikatan kuat ke depan maupun ke belakang dari suatu proses
produksi.

c. Desentralisasi yang dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran
keluar dari sumber daya modal dan sumber daya manusia.

3. Konsep Pengembangan Wilayah Terpadu yang pada awalnya merupakan
upaya pembangunan wilayah-wilayah khusus yang bersifat lintas sektoral
dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta
penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah yang relatif tertinggal. Konsep
ini berorientasi pada strategi pemerataan pembangunan, yang dapat
berorientasi pada a) sektoral apabila terkait dengan beragamnya kegiatan
sektoral dalam satu wilayah, dan b) regional apabila terkait dengan upaya
suatu wilayah untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan dari
suatu kawasan tertentu agar dapat memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih
meningkat. Sasaran utama dari program-program ini umumnya adalah
peningkatan kesejahteraan dan mutu sumber daya manusia, perbaikan mutu
lingkungan hidup kawasan, dan pembangunan wilayahnya.

4. Konsep pengembangan berdasarkan “cluster” yang terfokus pada keterkaitan
dan ketergantungan antara pelaku-pelaku (stakeholders) dalam suatu
jaringan kerja produksi, sampai kepada jasa pelayanan, dan upaya-upaya
inovasi pengembangannya.

Konsep pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu
dari semua kegiatan, yang didasarkan atas sumber daya alam yang ada dan
kontribusinya pada pembangunan suatu wilayah tertentu yang dapat dilakukan
melalui 4 pendekatan pengembangan wilayah berdasarkan karakter sumber daya
daerah, yaitu

1. Pendekatan pengembangan wilayah berbasis input yang dapat dikategorikan
atas beberapa kondisi antara lain:

a. Wilayah yang memiliki SDM banyak namun lahan dan SDA terbatas
maka “labor surplus strategy” cukup relevan untuk diterapkan dengan
tujuan utama menciptakan lapangan kerja yang bersifat padat karya dan
mengupayakan ekspor tenaga kerja ke wilayah lain.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-59

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

b. Wilayah berbasis input namun surplus sumber daya alam sebagai
upaya agar surplus sumberdaya alam dapat diekspor ke wilayah lain
baik dalam bentuk bahan mentah maupun bahan setengah jadi. Hasil
ekspor ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan impor
produk yang sangat terbatas di wilayah tersebut misalnya barang modal,
bahan baku, bahan penolong, dan barang konsumsi atau jasa.

c. Wilayah berbasis sumber daya modal dan manajemen yaitu strategi
yang berdasarkan pengembangan lembaga keuangan yang kuat
dengan sistem manajemen yang baik, yang dapat ditempuh oleh
wilayah yang memiliki keterbatasan dalam hal modal dan manajemen.

d. Wilayah berbasis seni budaya dan keindahan alam untuk wilayah
dengan potensi-potensi pantai dan pemandangan indah, seni budaya
menarik dan unik, dengan cara membangun transportasi, perhotelan
dan restoran, indutri-industri kerajinan, pelayanan travel, dan lainnya
yang terkait dengan pengembangan kepariwisataan.

2. Pendekatan pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan, yaitu
pendekatan yang menekankan pada pilihan komoditas unggulan suatu
wilayah sebagai motor penggerak pembangunan baik di tingkat domestik
maupun internasional. Peluang keberhasilan pembangunan dengan
mengarus utamakan pembangunan produk unggulan sebagai leading
commodity menjadi terbuka dengan semakin luasnya wewenang pemerintah
daerah dalam mengelola sumberdaya perekonomian. Peningkatan daya
saing wilayah difokuskan pada sektor-sektor ekonomi yang dapat berperan
sebagai penggerak ekonomi wilayah (regional economic prime mover), yang
diharapkan memberikan efek pengganda (mulitflier effects) terhadap
perekonomian daerah dan khususnya pada sektor basis (Rustiadi et al, 2009).
Sebuah produk (komoditas) dapat disebut unggulan dapat dilihat dari
beberapa perspektif, yaitu:

a. Perspektif Product Life-cycle disebut unggulan dengan melihat tahap
kematangan, apakah dalam tahap mature karena saat ini unggul
dibanding lain (meskipun kemungkinan besar akan mengalami decline
setelah melewati fase mature), atau saat ini tidak terlalu unggul namun
berpotensi besar unggul di masa depan (fase growth).

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-60

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

b. Perspektif Tujuan disebut unggulan dengan pertimbangan tindak lanjut
atau tujuan atau target yang ingin dicapai.

c. Perspektif Keberpihakan, disebut unggulan dengan melibatkan unsur
keberpihakan misalnya keperpihakan pada pengusaha lokal.

d. Perspektif Skenario Kebijakan, disebut unggulan apakah karena dilihat
dari kondisi saat ini (existing) tanpa melihat kontradiksi dengan skenario
normatif kebijakan pemerintah.

3. Pendekatan Pengembangan Wilayah Berbasis Efisiensi yang menekankan
pengembangan wilayah melalui pembangunan bidang ekonomi yang
porsinya lebih besar dibandingkan dengan bidang-bidang lain dalam
kerangka pasar bebas.

4. Pendekatan Pengembangan Wilayah Berbasis Pelaku Pembangunan.
Peranan setiap pelaku pembangunan menjadi fokus utama dalam
pengembangan wilayah konsep ini. Pelaku pembangunan ekonomi dapat
dipilah dalam 5 kelompok yaitu a) usaha kecil/rumah tangga (household),
lembaga sosial (non-profit institution), lembaga non keuangan (non-financial
institution), lembaga keuangan (financial institution), dan pemerintah
(government). Khusus di Indonesia, di samping ke-5 pelaku tersebut, juga
terdapat pelaku pembangunan ekonomi lain yaitu koperasi (UUD 1945).

4.2. Pengembangan Kawasan Peternakan

Arah pembangunan sub sektor peternakan adalah meningkatkan populasi
maupun produksi ternak dan hasil ikutannya. Target utama pembangunan
peternakan adalah mendongkrak pendapatan rumah tangga petani ternak melalui
diversifikasi pangan dan perbaikan mutu gizi masyarakat serta mengembangkan
pasar ekspor dalam kerangka mencapai kedaulatan pangan. Salah satu strategi
adalah pengembangan kawasan “cluster” peternakan guna menjamin
keberlanjutan pra-produksi, proses produksi, dan pasca produksi dalam sistem
agribisnis termasuk terhimpunnya SDM peternakan terampil dalam suatu
kawasan yang akan memudahkan pembinaan dan peningkatan keterampilan.
Klaster (cluster) adalah konsentrasi geografis berbagai kegiatan di kawasan
tertentu yang satu sama lain saling melengkapi, saling bergantung, dan saling
bersaing dalam melakukan aktivitas bisnis.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-61

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Pengembangan komoditas ternak sapi sebagai komoditas unggulan dilakukan
melalui pendekatan kawasan yang diklasifikasikan atas 3 kelompok, yaitu

a. Kawasan Nasional yang ditetapkan berdasarkan SK Mentan dalam memilih
komoditi dan lokasi yang dikembangkan secara nasional dengan fasilitas
APBN (dilengkapi dokumen SID dan Roadmap) didukung APBD dan swasta.

b. Kawasan Provinsi yang ditetapkan berdasarkan SK Gubernur dalam memilih
komoditas dan lokasi pengembangan potensial provinsi dengan fasilitas
APBD Provinsi didukung oleh APBN, APBD Kabupaten dan Swasta.

c. Kawasan Kabupaten yang ditetapkan berdasarkan SK Bupati dengan fasilitas
APBD Kabupaten didukung APBD Provinsi, APBN dan Swasta.

Kawasan peternakan adalah suatu wilayah dengan batas-batas tertentu yang
didalamnya terdapat bangunan dan sarana produksi lain dengan berbagai
aktivitas kegiatan yang berkaitan dengan usaha peternakan mulai dari pengadaan
input, budidaya sampai kegiatan lain pasca panen (jual beli dan pemotongan).
Menurut Dirjend PKH (2014) bahwa pengembangan kawasan peternakan
menjadi penting (urgensi) untuk 1) menghindari tumpang tindih antar kegiatan dan
eksternalitas negatif, serta meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan jasa
penunjang, 2) menjamin keberlanjutan kegiatan pra-produksi, proses produksi,
pasca produksi dalam sistem agribisnis, 3) memudahkan keterkaitan antar
komoditas, 4) terhimpunnya SDM yang terampil dalam suatu kawasan
memudahkan dalam pembinaan dan peningkatan keterampilannya, dan 5)
memudahkan dalam monitoring, pengawasan dan publikasi. Selanjutnya
dinyatakan bahwa arah dan kebijakan pengembangan kawasan adalah

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-62

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

1. Efisiensi dan Efektivitas Pelayanan Teknis dan Ekonomis: Pelayanan teknis
(IB, Keswan, Pakan, Bibit) dan pelayanan ekonomis (pasar, RPH, perkreditan
dan permodalan) yang terbatas dana, sarana dan tenaga menjadi lebih
terfokus untuk satu kawasan.

2. Pemasaran Hasil Lebih Ekonomis/Pelayanan Pasar: pelayanan pemasaran
hasil dapat menjadi lebih ekonomis karena dengan cluster memungkinkan
terjadinya pemasaran hasil bersama.

3. Peningkatan Investasi: Melalui pengembangan kawasan dapat dikembangkan
investasi yang menarik bagi semua pihak karena sudah tersedia ternak dan
pelayanan‐pelayanan bersifat teknis dan ekonomis

4. Pusat Pertumbuhan Komoditas: Pengembangan kawasan pada akhirnya
dapat diarahkan menjadi sentra‐sentra produksi utama suatu komoditas yang
mengarah kepada keunggulan komparativ suatu wilayah (One Village One
Product)

Pada suatu kawasan peternakan sapi potong satu rumah tangga peternak
memiliki 2 - 3 ekor sapi potong dimana satu cluster terdiri dari Gapoktan dengan
jumlah minimal ternak 300 ekor (Gambar 4.1).

RTP RTP INDUSTRI
RTP INFRASTRUKTUR

KONSUMEN

RTP KOMODITAS RTP KELEMBAGAAN

RTP RTP PERMODALAN HOREKA
RTP DAN USAHA RT

TRANSPORTASI

Gambar 4.1. Halaman-63
Model Pengembangan Cluster

SIFAS (sustainable integrated farming system)

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Jumlah ternak ini sudah dianggap memenuhi syarat minimal untuk disebut
sebagai skala ekonomi sehingga memerlukan layanan teknis yaitu layanan
perbibitan, budidaya, pakan, layanan kesehatan hewan dan layanan kesehatan
masyarakat veteriner. Selain itu, satu clusternya masih diperlukan layanan
bersifat ekonomi dan kelembagaan yaitu layanan infrastruktur terpadu yang
mencakup pengolahan dan pemasaran, layanan permodalan, layanan
transprortasi yaitu untuk pengangkutan ternak dan jalan usaha tani serta layanan
pendampingan (kelembagaan). Bentuk-bentuk layanan ekonomis ini dapat
menangani beberapa cluster dalam satu kawasan. Apabila cluster atau kawasan
sapi potong sudah terbentuk maka akan berjalan secara alami atau dibentuk
jaringan pemasaran kedaerah konsumen yaitu konsumen, hotel, restoran,
katering dan industri. Beberapa kriteria kawasan peternakan adalah 1) tingkat
perkembangan kawasan, 2) type kawasan, 3) potensi dasar kawasan, 4) jumlah
fasilitas layanan peternakan, 5) nisbah lahan pangan terhadap populasi penduduk,
6) kapasitas tampung ternak, 7) Indeks Konsentrasi Ternak, 8) Jarak ke sentra
pengembangan, 9) pengetahuan peternak dan lainnya.

Sejak jaman dahulu sampai saat ini dan ke depan, pola pemeliharaan ternak di
Indonesia akan tetap didominasi oleh usaha peternakan berskala kecil dengan
karakteristik sebagai berikut: 1) rata-rata kepemilikan ternak rendah 2) ternak
sebagai tabungan hidup, 3) dipelihara dalam pemukiman padat penduduk dan
dikandangkan di belakang rumah, 4) terbatas lahan pemeliharaannya sehingga
pakan harus dicari di kawasan yang seringkali jauh dari rumahnya, 5) usaha
beternak dilakukan secara turun temurun dan 6) jika tidak ada modal untuk
membeli ternak, mereka menggaduh dengan pola bagi hasil. Peternak berskala
kecil yang berjumlah 4.204.213 orang pada tahun 2011 menguasai lebih dari 98%
ternak sapi di Indonesia dengan jumlah masing-masing ternak sapi pedaging 14.8
juta ekor, sapi perah 0.597 juta ekor, kerbau 1.305 juta ekor, kambing 16.946 juta
ekor, domba 11.791 juta ekor, kuda 0.409 juta ekor, babi 7.525 juta ekor, ayam
lokal 264.340 juta ekor, dan itik 43.488 juta ekor. Jutaan peternak dan ratusan juta
ternak tersebut merupakan aset penting dalam membantu program pemerintah
menyediakan produk ternak bagi bangsa Indonesia.

Sentra Peternakan Rakyat (SPR) diilhami dari Sekolah Peternakan Rakyat yang
bertujuan untuk memberi ilmu pengetahuan kepada peternak berskala kecil
tentang berbagai aspek teknis peternakan dan nonteknis yang melandasi

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-64

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

terwujudnya perusahaan kolektif dalam satu manajemen yang dikelola oleh satu
manajer dalam rangka meningkatkan daya saing usahanya untuk meningkatkan
pendapatannya serta kesejahteraannya. Hasil yang diharapkan dari Sekolah
Peternakan Rakyat ini adalah a) Berdirinya perusahaan kolektif peternakan
berbadan hukum milik peternak berskala kecil yang dikelola secara profesional
dan proporsional, b) Ternak pedaging atau ternak perah atau ternak unggas yang
berkualitas dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan bagi masyarakat
Indonesia, c) Ternak bibit bersertifikat (pedaging, perah, atau unggas) untuk
memenuhi kebutuhan peternak lainnya, dan d) Kedaulatan peternak berskala
kecil dan posisi tawar yang lebih tinggi.

SPR ini berangkat dari filosofi bahwa pembangunan peternakan dan kesehatan

hewan yang mensejahterakan peternak rakyat hanya dapat diperoleh apabila

pemerintah dan para pihak melakukan berbagai upaya yang memperhatikan

prinsip satu manajemen, pengorganisasian (konsolidasi) pelaku, dan

pemberdayaan peternak dalam rangka

terwujudnya populasi ternak

berencana. SPR adalah pusat

pertumbuhan komoditas peternakan

dalam suatu kawasan peternakan

sebagai media pembangunan

peternakan dan kesehatan hewan

yang di dalamnya terdapat satu

populasi ternak tertentu yang dimiliki oleh sebagian besar peternak yang

bermukim di satu desa atau lebih, dan sumber daya alam untuk kebutuhan hidup

ternak (air dan bahan pakan). SPR mengoptimalkan pelayanan (teknis, ekonomi,

pendampingan dan pemasaran), pemanfaatan sumber dana dan sumber daya

menuju bisnis kolektif yang diinisiasi melalui Sekolah-PR.

Sekolah-PR merupakan pengungkit dan agen perubahan dalam pengelolaan
kelembagaan dan SDM peternakan menuju terbentuknya usaha peternakan
kolektif yang mandiri dan berorientasi bisnis profit melalui pendampingan,
pengawalan, aplikasi teknologi dan informasi, transfer ilmu pengetahuan.
Konsepsi pengembangan SPR sebagaimana disajikan pada Gambar 4.2.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-65

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Gambar 4.2.
Konsepsi Pengembangan Sentra Peternakan Rakyat

Sesuai konsepsi tersebut diatas, pengembangan komoditas peternakan dan
kesehatan hewan akan menitikberatkan relasi antara lokus potensial, obyek
(ternak) dengan subyek (peternak). Secara garis besar prinsip pengembangan
SPR adalah sebagai berikut:

1. Satu manajemen: Pengelolaan usaha peternakan secara kolektif dalam satu
aturan menyangkut pelayanan teknis, pendampingan/ pengawalan, ekonomis,
dan pemasaran.

2. Penguatan pelayanan: Pemenuhan pelayanan teknis minimal dan kebutuhan
pelayanan lainnya untuk meningkatkan produksi ternak dan daya saing
peternakan. Contoh: Setiap SPR minimal harus ada Puskeswan dan Pos IB.

3. Penguatan kelembagaan: Membentuk organisasi SPR untuk mewujudkan
usaha peternakan yang berorientasi bisnis dan berbadan hukum.\

4. Peningkatan SDM: Meningkatkan kemampuan pengurus SPR (GPPT dan
Manajer) dalam pengelolaan organisasi dan kewirausahaan. Disamping itu,
juga meningkatkan kemampuan peternak dalam mengakses informasi, ilmu
pengetahuan, teknologi, serta penguatan kendali produksi dan pasca produksi
ternak.

5. Memenuhi Skala Usaha: Mengelola peternak skala kecil dengan kriteria
populasi tertentu sebagai produsen yang diorganisasi berorientasi bisnis.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-66

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

6. Kemandirian usaha: mendorong usaha peternakan menjadi usaha utama
sebagai usaha pokok untuk kesejahteraan peternak.

7. Integrasi kewenangan: membangun peternakan dan kesehatan hewan
diperlukan sinergi fungsi dan kewenangan pemangku kepentingan dalam hal
pengelolaan, diperlukan sinergi instansi pusat, daerah, perguruan tinggi/litbang,
sektor dan sub sektor lainnya. Sedangkan dalam hal penganggaran SPR
diperlukan sinergi antara APBN, APBD I, APBD II, Swasta, BUMN-D, dan
masyarakat.

8. Pendampingan dan pengawalan (Litbang dan PT): pendampingan dan
pengawalan diperlukan untuk transfer informasi dan teknologi secara efektif
dan efisien sesuai kondisi spesifik daerah baik oleh perguruan tinggi setempat
maupun instansi litbang (bagi daerah yang tidak ada perguruan tinggi).

9. Multi produk dan komoditas: produk yang dikembangkan dalam SPR tidak
hanya komoditas utama peternakan saja melainkan bisa juga produk di luar
peternakan.

Prosedur pembentukan SPR sangat ditentukan berbagai pihak, tidak hanya Ditjen
PKH. Partisipasi dalam bentuk usulan calon lokasi SPR dari masyarakat menjadi
penting dalam keberlanjutan SPR. Persetujuan dari Pemerintah Daerah menjadi
pondasi dan dukungan atas pembentukan SPR daerah. Keterlibatan Perguruan
Tinggi dan lembaga penelitian pertanian atau lembaga sejenisnya menjadi
penting untuk mendampingi SPR dalam melakukan transfer pengetahuan dan
teknologi, serta penguatan kapasitas peternak berskala kecil. Demikian halnya
dengan keberadaan GPPT sangat menentukan dalam hal membangun
kesadaran untuk bertindak secara kolektif dari peternak rakyat yang menjadi
sasaran dalam pelaksanaan SPR.Sebagai “perpanjangan tangan” Dirjen PKH,
keberadaan manajer penting untuk menyampaikan laporan terkait segala hal
yang terjadi di lapangan.

4.3. Kawasan Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi

Pembangunan peternakan terutama sapi potong sangat terkait dengan
sumberdaya lahan meskipun dalam pemeliharaannya tidak membutuhkan lahan
yang luas. Pada usaha peternakan sapi potong yang intensif sekalipun, meski
dalam pemeliharaan tidak membutuhkan lahan luas tetapi dalam memenuhi

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-67

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

kebutuhan hijauan pakan ternak tetap tergantung pada sumberdaya lahan. Pada
sisi lain, ketersediaan lahan secara khusus untuk peternakan sapi potong seperti
padang rumput atau pengembalaan sudah semakin sempit seiring dengan
perkembangan penduduk dan kebutuhan manusia terhadap lahan. Upaya-upaya
pemenuhan kebutuhan hijauan pakan ternak ini mendorong berbagai inovasi dan
alternatif pilihan termasuk dalam pemanfaatan limbah baik limbah tanaman
maupun industri pengolahan produk pertanian.

Pola pemikiran ini menjadi pertimbangan utama kebijakan pembangunan
peternakan sapi potong seperti di Provinsi Jambi, dimana pengembangan
kawasan selayaknya mengikuti sebaran komoditas sektor pertanian tanaman.
Jenis tanaman pertanian yang dipilih selain karena merupakan tanaman unggulan
daerah juga memiliki hamparan yang luas pada suatu kawasan sehingga limbah
yang dihasilkan mampu memenuhi kebutuhan sumber pakan ternak sapi potong
dalam jumlah (skala) yang cukup besar. Beberapa komoditas pertanian yang
memiliki hamparan luas pada suatu wilayah di Provinsi Jambi adalah kelapa sawit,
karet, kopi, teh, tebu, kelapa dalam, pinang, dan jenis tanaman pangan lahan
basah (sawah). Tidak semua jenis komoditas tanaman tersebut memiliki limbah
tanaman dan indstri pengolahan yang memadai untuk pemenuhan kebutuhan
pakan ternak dalam jumlah besar seperti;

a. Tanaman Teh memiliki potensi limbah tanaman relatif kecil karena daun teh
adalah produk utama sehingga limbah hijauan relatif kecil dan lokasi terbatas
hanya di Kabupaten Kerinci dan milik BUMN Perkebunan.

b. Tanaman Kopi meskipun tersebar di beberapa wilayah seperti Kerinci,
Merangin, Tanjab Barat dan Tanjab Timur tetapi helai daun yang menjadi
limbah sangat sedikit (merusak tanaman jika langsung diambil) sedangkan
limbah kulit kopi jumlahnya relatif kecil.

c. Tanaman Pinang dan Kelapa Dalam merupakan tanaman yang banyak
tumbuh di kawasan pesisir timur Provinsi Jambi yaitu Kabupaten Tanjab
Barat dan Tanjab Timur. Daun dan pelepah pinang sebagai sumber utama
hijauan pakan volumenya relatif sedikit dan jika dimanfaatkan daun dan
pelepah jatuh membutuhkan sumberdaya (tenaga, waktu dan teknologi)
cukup besar untuk mengolahnya. Pada sisi lain, luasan tanam kedua jenis

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-68

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

komoditas ini mulai mengalami penurunan terutama akibat ekspansi
perkebunan kelapa sawit.

Pada sisi lain, beberapa komoditas potensial untuk menjadi sasaran
pengembangan kawasan adalah kelapa sawit, karet dan padi sawah dengan
pertimbangan untuk masing-masing komoditas sebagai berikut:

a. Tanaman Kelapa Sawit merupakan komoditas unggulan Provinsi Jambi
dengan luasan terbesar (657,93 ribu Ha) diantara komoditas perkebunan
lainnya. Potensi terbesar perkebunan sawit sebagai sumber pakan ternak
adalah pelepah sawit yang diperoleh dari pemotongan pelepah setiap habis
panen buah sawit. Potensi lainnya adalah tandan buah kosong dan limbah
industri pengolahan seperti bungkil dan lumpur sawit.

b. Tanaman Karet juga merupakan komoditas unggulan dan bahkan disebut
sebagai tanaman tradisonal masyarakat Provinsi Jambi dengan luasan
sekitar 384,78 ribu Ha. Meskipun luas arealnya lebih rendah dibanding sawit
tetapi jumlah rumah tangga petani karet (255.66 KK) adalah yang terbesar.
Potensi sumber bahan pakan dari tanaman karet tidak terlalu besar seperti
dari daun dan biji karet yang jatuh (butuh proses dan teknologi pengolahan),
tetapi memilik komoditas ini lebih pada pertimbangan sosial budaya. Selain
jumlah rumah tangga serta menjadi komoditas perkebunan tradisional, juga
pola diversifikasi seakan sudah melekat pada rumah tangga petani karet.
Petitih Jambi yang berbunyi “Ado Padi Segalo Jadi, Ado Ternak Segalo Enak
dan Ado Parah Segalo Murah” mengandung makna diversifikasi usaha dalam
rumah tangga. Petitih itu mengandung arti bahwa jika padi (humo) sudah ada
maka hidup akan aman (life security), jika ada ternak maka apapun yang
dilakukan termasuk untuk keperluan dengan kebutuhan biaya besar seperti
perkawinan, sekolah dan bahkan ibadah haji maka ternak akan menjadi
andalan. Terakhir, ada parah (getah) yang mengalir terus maka berapapun
harga kebutuhan harian akan terasa murah (uang tersedia sepanjang waktu).

c. Tanaman Padi Sawah luas areal sawah 113,55 ribu Ha dan luas panen
125,67 ribu Ha adalah tulang punggung ketahanan pangan daerah dan
menjadi kewajiban semua pihak untuk mempertahankannya. Perlunya
insentif bagi rumah tangga petani padi sawah merupakan syarat mutlak bagi
menjaga kelestarian lahan pangan seperti yang diamantkan Undang-undang

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-69

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Potensi limbah tanaman padi sawah (jerami) dan industri
pengolahan (dedak dan bekatul) merupakan sumber pakan ternak sapi yang
potensial, sedangkan pemanfaatan pupuk kompos asal ternak sapi
diharapkan mampu memberikan insentif keuntungan yang lebih tinggi
(efisiensi biaya) bagi RT petani sawah.

d. Tanaman Tebu pada dasarnya memiliki potensi besar untuk mendukung
perkembangan peternakan sapi potong karena memiliki potensi limbah
tanaman dan pengolahan yang cukup besar. Pohon tebu yang tidak
digunakan (batang bagian atas dan daun) serta limbah pengolahan
merupakan sumber pakan ternak sapi yang baik tetapi pola panen yang
bersifat musiman (sekali panen) menyebabkan volume ketersediaannya juga
bersifat musiman dan luas hamparan tanaman tebu masih sangat terbatas
sehingga belum menjadi prioritas utama untuk sementara waktu.

4.4. Interaksi Antar Komoditas Pada Sistem Integrasi

Menurut FAO secara garis besar sistem produksi ternak di dunia dapat dibagi
menjadi 1) sistem produksi berbasis ternak (solely livestock production system),
dimana 90% bahan pakan dihasilkan "on farm" dan penghasilan kurang dari 10%
dari kegiatan non peternakan, dan 2) sistem campuran (mix farming system),
dimana pakan ternak memanfaatkan hasil sampingan tanaman. Berbasis
klasifikasi tersebut diatas, maka sesuai strategi pengembangan kawasan
diharapkan akan tercipta sentra-sentra pertumbuhan peternakan baru, dimana
komoditas ternak menjadi unggulan (solely livestock production system) atau
komoditas ternak hanya sebagai penunjang dan atau menyatu dengan usaha tani
lainnya (mix farming system).

4.4.1. Kawasan Integrasi Sapi Sawit

Pengembangan kawasan integrasi sapi-sawit meskipun belum tertata dengan
baik tetapi sudah mulai berkembang di Provinsi Jambi baik oleh peternakan
rakyat secara individual maupun kelompok maupun oleh swasta atau dunia usaha.
Sumber potensi pakan terbesar (utama) dalam integrasi sapi sawit adalah
pelepah sawit sedangkan untuk limbah tanaman lain seperti tandan buah kosong
dan serat sawit akan lebih efektif dan efisien digunakan sebagai bahan baku

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-70

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

campuran limbah padat kandang untuk pembuatan pupuk kompos. Konsep dasar
integrasi sapi sawit lebih pada pemanfaatan sumberdaya bersama (Gambar 4.3)
dibanding dengan sekedar pemanfaatan SD lahan bersama (Gambar 4.4). Pola
Integrasi sapi sawit yang dilakukan para buruh kebun dan masyarakat sekitar
areal perkebunan kelapa sawit PTPN VI di Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten
Bungo. Pemeliharaan ternak sapi hampir mendekati sistem pemeliharaan
ekstensif, dimana ternak sapi dipelihara dalam kandang koloni milik kelompok dan
pada jam tertentu dilepas atau digembalakan pada areal perkebunan sawit.

PEMELIHARAAN
TANAMAN

PEMELIHARAAN
TANAMAN

Gambar 4.3.
Pola Interaksi Tinggi Wilayah Integrasi Sapi Sawit

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-71

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Gambar 4.4.
Pola Interaksi Rendah Wilayah Integrasi Sapi Sawit

Sistem integrasi seperti ini memiliki keunggulan antara lain efisien dalam tenaga
kerja sehingga seorang peternak dapat memelihara puluhan ternak sapi. Pada
sisi lain, sistem ini potensial menimbulkan konflik antara pemilik kebun
(perusahaan) dengan peternak karena adanya kekuatiran akan menurunkan
produktifitas tanaman sawit. Over grazing (pengembalaan berlebihan) tidak hanya
potensial menimbulkan kerusakan pada tanaman tetapi juga pada lahan karena
adanya injakan ternak sapi menyebabkan terganggunya akar tanaman
permukaan tanaman sawit dan pemadatan akibat injakan ternak sapi dalam
jumlah besar. Potensi kematian pada ternak sapi akibat keracunan dapat saja
terjadi karena tercemarnya rumput dari sisa pestisida dan herbisida yang
digunakan pemilik kebun untuk pengendalian gulma dan hama penyakit tanaman.
Pola ini pada dasarnya memiliki sifat keterkaitan antara tanaman dan ternak
lemah karena hanya memanfaatkan hijauan antar tanaman (HAT) sawit.

4.4.2. Kawasan Integrasi Sapi Karet

Tanaman karet tidak memiliki potensi besar dalam penyediaan pakan ternak sapi
seperti halnya perkebunan kelapa sawit karena terbatas hanya daun dan biji karet
yang jatuh. Pada sisi lain, teknologi pengolahan kedua sumber pakan potensial itu
sampai saat sekarang belum begitu efisien dan aplikatif di lapangan (masyarakat).
Untuk itu upaya pengayaan sumberdaya pakan dari areal perkebunan karet

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-72

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sangat dibutuhkan baik melalui tanaman hijuan sela (tutupan areal perkebunan
tidak serapat tanaman sawit), tanaman pagar (pembatas) dan areal
pengembalaan sekitar kebun. Sebagaimana sebelumnya dijelaskan bahwa
pemilihan integrasi sapi karet lebih pada pertimbangan sosial, ekonomi dan
budaya. Pada aspek sosial ekonomi, tanaman karet merupakan komoditas
perkebunan rakyat terluas dan rumah tangga terlibat terbesar. Pada aspek sosial
budaya upaya mempertahankan pola diversifikasi tradisional (karet, kerbau dan
sawah) guna meningkatkan daya tahan ekonomi rumah tangga tetapi dengan
perubahan komoditas kerbau menjadi sapi potong. Interaksi antara komoditas
karet dan sapi masih potensial ditingkatkan dengan pola seperti Gambar 4.5.

PEMELIHARAAN
TANAMAN

Gambar 4.5.
Pola Interaksi Wilayah Integrasi Sapi Karet

Pola interaksi antara komoditas dalam integrasi sapi karet relatif rendah dan
kurang seimbang dimana kontribusi peternakan dalam mendukung usaha tani

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-73

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

karet relatif lebih besar dibanding dengan sebaliknya. Kapasitas perkebunan
karet yang rendah dalam penyediaan sumber pakan ternak sapi membutuhkan
dukungan sumber pakan lainnya. Jika usahatani pada wilayah perkebunan karet
rakyat masih terdisversifikasi dengan tanaman pangan lainnya baik ladang
maupun sawah maka limbah tanaman pangan dapat menjadi alternatif pilihan.
Sebaliknya, jika tidak terdiversifikasi dengan tanaman pangan maka program
budidaya rumput unggul menjadi pilihan baik melalui pengembangan kebun
rumput, tanaman hijauan pakan sela tanaman karet muda maupun tanaman
pagar dan pekarangan.

4.4.3. Kawasan Integrasi Sapi Tanaman Pangan

Pola interaksi antara tanaman pangan terutama padi sawah dengan ternak sapi
sebagaimana pada integrasi sapi sawit akan lebih erat dibanding dengan interaksi
antara sapi dan karet. Limbah tanaman dan industri pengolahan produk pangan
menyediakan sumber pakan bagi ternak sapi dan sebaliknya ternak sapi mampu
menyediakan sumber unsur hara (pupuk organik) bagi tanaman pangan.
Komoditas tanaman pangan berdasarkan kondisi lahan budidaya dapat
diklasifikasikan dalam 2 kelompok besar yaitu tanaman pangan lahan basah
dengan komoditas tunggal padi sawah, dan tanaman pangan lahan kering
dengan komoditas lebih bervariasi seperti jagung, kedele, padi ladang, ubi-ubian
dan bahkan sorghum. Secara umum pola interaksi antar komoditas pada kedua
kelompok hampir sama tetapi dalam penanganannya akan sedikit berbeda satu
sama lainnya.

Pada integrasi sapi sawah limbah industri pengolahan dapat dioptimalkan karena
merupakan bagian dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat. Hal ini
berbeda dengan limbah industri pengolahan kelapa sawit yang umumnya adalah
milik perusahaan swasta sehingga membutuhkan suatu ikatan perjanjian dalam
pemanfaatannya. Artinya, terdapat 2 kelompok limbah pertanian yang dapat

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-74

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

dioptimalkan manfaatnya untuk mendukung pengembangan kawasan integrasi
sapi sawah, yaitu:

a. Limbah tanaman yaitu jerami padi yang dapat dilakukan proses pengolahan
baik basah (silase) maupun kering (hay). Kedua metode pengolahan
bertujuan untuk meningkatkan stock pakan ternak sapi yang dipelihara oleh
rumah tangga peternak. Penggunaan lain dari jerami padi adalah sebagai
bahan baku dalam pengembangan pupuk organik melalui proses komposing
yang dapat dilakukan langsung pada areal persawahan maupun pada unit
pengolahan limbah terpadu milik kelompok. Pilihan dan cara pemanfaatan
jerami sangat tergantung pada ketersediaan teknologi meskipun dalam
prakteknya jerami padi yang diolah sebagai pakan ternak tetap akan berujung
pada pemanfaatan sebagai pupuk organik padat (biokompos) dan cair
(biourine).

b. Limbah industri pengolahan padi dapat berupa bekatul dan dedak yang
potensi menjadi sumber pakan konsentrat untuk ternak sapi, serta sekam
padi yang potensial sebagai bahan baku pupuk organik padat.

Pola interaksi antar komoditas dalam kawasan integrasi sapi sawah (Gambar 4.6)
menunjukkan suatu pola pemanfaatan limbah yang saling terkait satu sama
lainnya.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-75

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Gambar 4.6.
Pola Interaksi Wilayah Integrasi Sapi Padi

Pola interaksi yang sama juga terjadi dalam integrasi sapi dan pangan lahan
kering tetapi tidak semua komoditas pangan dapat dimanfaatkan limbah industri
pengolahan. Beberapa pola pemanfaatan limbah tanaman yang potensial dalam
integrasi sapi pangan lahan kering adalah jagung, sorghum, kedele, dan
holtikultura (sayuran).

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-76

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Gambar 4.7.
Potensial Integrasi Sapi Pangan Lahan Kering

4.4.4. Kawasan Integrasi Sapi Tebu

Model integrasi sapi dengan tebu saling
mendukung satu sama lain karena
produk ikutan tebu dapat dimanfaatkan
secara optimal sebagai bahan baku
pakan alternatif ternak sapi potong.
Pada sisi lain, limbah ternak sapi
berupa feses, urin dan sisa-sisa
makanan dapat dimanfaatkan sebagai
sumber bahan baku pupuk organik, yang sangat berguna bagi kesuburan
tanaman tebu. produk ikutan dapat dihasilkan dari industri gula tebu (atau
pengolahan tanaman tebu adalah

a. Pucuk tebu merupakan ujung atas batang tebu berikut 5 - 7 helai daun yang
dipotong dari tebu yang dipanen (13 - 15% bobot panen atau ±3,8 ton/ha
bahan kering) dengan daya tampung ±1,4 ST sapi/Ha/tahun.

b. Daun kletekan adalah daun tebu yang diperoleh dengan cara melepaskan 3-4
daun tebu sebelum dipanen, pada saat tebu berumur 4, 6 dan 8 bulan yang
masing-masing disebut kletekan 1, 2 dan 3.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-77

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

c. Sogolan adalah tunas-tunas tebu yang diafkir yang bersama daun kletekan
merupakan sumber pakan ternak potensial didayagunakan baik secara
langsung maupun diolah dahulu.

d. Ampas Tebu adalah salah satu sisa produksi pembuatan gula, yang
merupakan hasil limbah kasar setelah tebu digiling (Serat kasar cukup tinggi
yang terdiri dari sellulosa, pentosan dan lignin sehingga dapat digunakan
sebagai sumber serat kasar ternak ruminansia dengan batas penggunaan
maksimum 25% total pakan).

e. Empulur Ampas Tebu (baggase pith) merupakan hasil samping dari
pengolahan ampas tebu (bagasse) yang telah diambil seratnya untuk
keperluan serat kertas.

f. Tetes adalah cairan kental hasil ikutan pemurnian gula yang merupakan sisa
nira yang telah mengalami proses kristalisasi.

g. Blotong adalah kotoran yang dapat dipisahkan dengan proses penapisan
dalam proses klarifikasi nira dan mengandung bahan organik, mineral, protein
kasar dan gula yang masih terserap di dalam kotoran tersebut.

Berdasarkan kondisi eksisting industri tebu Provinsi Jambi yang masih berupa

pengolahan tebu rakyat untuk produksi gula merah, maka hanya beberapa produk

ikutan yang tersedia yaitu ampas

tebu dan tetes. Sebagaimana

halnya kelapa sawit, maka

penyediaan sumber pakan dari

limbah tanaman tebu dapat

berlangsung sepanjang musim

tanam yaitu daun kletekan dan

sogokan sepanjang masa

pemeliharaan, pucuk tebu pada saat pasca panen dan ampas tebu dan tetes

pada pengolahan hasil (Gambar 4.8).

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-78

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

KEBUTUHAN PUPUK
TANAMAN

Gambar 4.8.
Pola Interaksi Wilayah Integrasi Sapi Tebu

4.5. Profil Investasi Tanaman dan Ternak Sapi

Sistem integrasi tanaman dan ternak sapi pada skala usaha tani rakyat lebih
efektif jika dilakukan melalui aksi kolektif dengan dukungan pemerintah. Pada
bagian ini akan dibahas 2 contoh model kelayakan program pemerintah yaitu IFS
Pangan Sapi dan IFS Sawit Sapi (ISS PT. Perkebunan Nusantara VI). Salah satu
program prioritas Pemperintah Provinsi Jambi adalah pengembangan wilayah
integrasi sapi potong dengan komoditas pertanian lain. Pogram pembangunan
agribisnis ternak sapi potong dengan pendekatan Spesialisasi Terintegrasi
Agribisnis Sapi Potong (SPINTAS). SPINTAS merupakan integrasi antara
spesialisasi usaha dengan divisi tugas dan wewenang tertentu masing-masing

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-79

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

pihak pada suatu lokasi sentra pengembangan ternak sapi potong, dengan uraian
definsi sebagai berikut:

1. Spesialisasi menunjukkan bahwa setiap kegiatan dilakukan oleh kelompok
tertentu yang terdiri dari pengolahan limbah perkebunan/pangan menjadi
pakan ternak, usaha pembibitan (breeding), penggemukan (fattening), dan
pengolahan produk sampingan (by product).

2. Terintegrasi menunjukan bahwa usaha-usaha tersebut dilakukan pada lokasi
sentra pengembangan (cluster industries) dalam bentuk integrasi antara;

a. Integrasi usaha yaitu usaha pengolahan pakan ternak dari limbah
pertanian, usaha pembibitan dan penggemukan, dan usaha pengolahan
produk utama dan sampingan

b. Integrasi konsep pembangunan yaitu pemberdayaan masyarakat sebagai
implementasi tanggung jawab sosial perusahaan (Coorporate Social
Responsibilities), sentra pembibitan perdesaan (Village Breeding Center),
peningkatan nilai tambah (value added) melalui manajemen usaha tanpa
limbah (Zero Waste Management), dan perlindungan betina produktif atau
Unit Reproduction Control (URC), serta konsep percepatan diffusi dan
pemanfaatan IPTEK.

c. Integrasi tugas dan wewenang masing-masing pihak yaitu pemerintah
daerah melalui SKPD terkait, perusahaan swasta baik perkebunan
maupun no-perkebunan, perguruan tinggi serta masyarakat peternak.

3. Agribisnis sapi potong menunjukkan bahwa cakupan kegiatan adalah dari
hulu sampai hilir yang terdiri dari;

a. Penyediaan faktor produksi seperti bibit, dan pakan ternak, dan sumber
pembiayaan investasi dan modal kerja,

b. Budidaya ternak yang tercakup dalam usaha pembibitan (breeding) dan
penggemukan (fattening) dengan hubungan dan aturan kelembagaan
yang disepakati secara bersama.

c. Penyediaan sarana dan prasarana pendukung serta faktor pendukung lain
berupa penyediaan Pos Pelayanan Terpadu (PPT) untuk pelayanan IB
dan Keswan.

d. Pemasaran dan pengolahan hasil baik langsung ke pasar (ternak hidup)
maupun melalui Rumah Potong Hewan (daging) serta langsung

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-80

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

konsumen (rumah tangga atau perusahaan) untuk produk sampingan
berupa bio-gass dan pupuk organik.
Berdasarkan kepada hal tersebut dalam rangka menindak lanjuti program dalam
roadmap komoditas unggulan daerah Provinsi Jambi maka dirasa perlu untuk
melakukan suatu kajian untuk menilai kelayakan pengembangan wilayah integrasi.
Tujuan kegiatan adalah untuk mengevaluasi tingkat kelayakan pengembangan
wilayah integrasi ternak sapi potong dengan tanaman pangan (padi sawah) dan
perkebunan (sawit).

4.5.1. Integrasi Tanaman Pangan dan Ternak Sapi

Pola integrasi yang dikembangkan adalah usaha peternakan sapi potong untuk
tujuan ganda (multi objective) yaitu produksi ternak bibit dan penggemukan.
Pengembangan dilakukan pada kawasan sentra tanaman pangan dan hortikultura
dengan luas hamparan 25 Ha yang diusahakan oleh 50 rumah tangga petani atau
rata-rata setiap RTP mengusahakan 0,5 Ha tanaman pangan. Sasaran awal
kegiatan adalah 25 KK yang dibagi dalam 5 kelompok petani peternak sapi. Pada
tahap awal akan didistribusikan 105 ekor ternak sapi yang terdiri dari 50 ekor
betina, 5 ekor pejantan dan 50 ekor bakalan. Ternak betina dewasa (induk)
merupakan ternak gaduhan dan harus dikembalikan kepada pemerintah (pemilik
modal) dalam bentuk 2 ekor ternak sapi remaja Pemeliharaan untuk betina
dilakukan secara semi intensif (digembalakan pada siang hari dan dikandangkan
pada malam hari secara berkelompok). Tujuan pengandangan induk dan
dicampur pejantan secara berkelompok adalah untuk meningkatkan efektifitas
perkawinan alami, dengan tingkat kelahiran mencapai 70%.

Teknologi yang diaplikasikan adalah fermentasi jerami padi dengan
menggunakan mikroorganisme (EM4), serta pengembangan stok hijauan pakan
ternak berupa budidaya rumput unggul pematang sawah dan pekarangan serta
pembangunan kebun hijauan pakan kelompok. Pupuk organik yang dihasilkan
akan digunakan sebagai substitusi pupuk an-organik untuk tanaman pangan
sendiri dan pemeliharaan tanaman hijauan pakan ternak sehingga biaya pupuk
hanya untuk pupuk dasar tanaman pangan (hasil wawancara dengan petani
pangan peternak di Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung). Pupuk
kandang atau kompos yang dihasilkan digunakan sendiri dan tidak untuk dijual,
sehingga nilai manfaat dihitung dari perubahan produktivitas tanaman padi.

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-81

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)
Perhitungan biogas berdasarkan interview peternak gaduhan PT. Petrochina di
Desa Geragai Kabupaten Tanjabtim, dimana setiap 3 - 4 ekor ternak sapi yang
dipelihara mampu menghemat penggunaan bahan bakar fosil (minyak tanah)
untuk memasak. Pemakaian minyak tanah untuk memasak setiap keluarga
adalah 2 liter/hari atau setara dengan Rp. 5.000 (harga Rp. 2.500/liter). Dedak
padi dimanfaatkan sebagai sumber konsentrat yang pemberiannya dapat
dicampur dengan rumput hasil rambanan dan rumput unggul budidaya untuk
ternak sapi penggemukan.

KONSENTRAT

FERMENTASI/ HAY

Gambar 4.9.
Aliran Sumberdaya dalam Integrasi Tanaman Pangan dan Sapi

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-82

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Pembiayaan integrasi bersumber dari bantuan pemerintah, kredit perbankan
dengan fasilitasi pemerintah dan pendanaan mandiri rumah tangga sasaran.
Sumberdana pemerintah bersumber dari APBN dan/atau APBD Provinsi dan/atau
APBD Kabupaten, yang dapat digunakan untuk;

1. Bantuan modal kerja dalam bentuk ternak induk sebanyak 2 ekor/RT yang
didistribusikan dalam bentuk gaduhan dengan pengembalian 2 ekor ternak
remaja (umur 1 tahun) dan untuk menjaga keberlanjutan usaha penggemukan
maka yang diserahkan hanya ternak betina..

2. Bantuan sarana pendukung berupa pejantan kelompok (1 ekor/kelompok)
yang dipelihara oleh kelompok atau orang yang ditunjuk, alat pencacah
rumput/jerami (chooper), sarana pelayanan kesehatan dan IB serta biaya
pembelian bibit rumput unggul dan pembangunan kebun rumput.

3. Bantuan pembinaan berupa petugas pendamping (Penyuluh Lapangan) yang
operasionalnya ditanggung pemerintah termasuk gaji dan biaya operasional.

Setiap rumah tangga sasaran kegiatan akan difasilitasi untuk mendapat kredit
melalui program kredit revitalisasi (suku bunga 7%) atau kredit UMKM (suku
bunga 14%), dengan jangka waktu pengembalian 10 tahun. Besarnya angsuran
pertahun yang diberikan tergantung besarnya fasilitas kredit, yang terdiri dari;

1. Pengadaan bakalan penggemukan 2 (dua) ekor/RT dengan harga Rp. 5
juta/ekor.

2. Instalasi pengolahan limbah biogas 1 unit/rumah tangga dengan harga subsisi
perunit Rp. 4,5 juta.

3. Sarana dan prasarana pengeringan ampas biogas dan kotoran dengan nilai
investasi Rp. 2 juta/KK.

Sumberdana mandiri merupakan fasilitas utama yang dibiayai sendiri oleh rumah
tangga sasaran, antara lain;

1. Pembuatan kandang dan perlengkapan dengan biaya Rp. 500 ribu/unit atau
sekitar 1 juta/RT.

2. Biaya pemeliharaan ternak dan penanaman serta pemeliharaan hijauan
pematang dan pekarangan.

Asumsi yang digunakan sebagai koefisien teknis dalam kajian kelayakan dalam
kajian kelayakan integrasi tanaman pangan dan ternak sapi adalah:

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-83

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

1. Harga ternak sapi induk (betina dewasa) adalah Rp. 7 juta/ekor, bakalan Rp. 5
juta/ekor, dan pejantan Rp. 10 juta/ekor.

2. PBB penggemukan 0,5 kg/hari, harga sapi hidup Rp. 20.000/kg, lama
penggemukan 240 hari, sehingga diperoleh selisih bobot 120 kg atau senilai
2,4 juta (nilai jual penggemukan 7,4 juta/ekor).

3. Angka kelahiran adalah 80% dengan imbangan jantan dan betina (1 : 1)
sehingga dari 50 ekor sapi induk pada tahun pertama akan menghasilkan
masing-masing 20 ekor anak jantan dan betina.

4. Produktivitas tanaman pangan meningkat minimal 10% dengan adanya
pemupukan lebih teratur, sehingga rataan produksi meningkat sebesar 0,5
ton/ha (dari 5 ton/ha menjadi 5,5 ton/ha).

5. Perhitungan nilai biogas menggunakan pendekatan biaya pengganti
(replacement cost) yaitu nilai substitusi penggunaan biogas untuk kebutuhan
memasak yaitu 2 liter/hari/rumah tangga.

Sumberdana dari peternak berupa kredit investasi senilai Rp. 398.750.000
(30,16%) akan dibayar melalui cicilan kredit oleh peternak. Menggunakan suku
bunga pinjaman 14% dan jangka waktu pengembalian 10 tahun, maka setiap
tahun jumlah angsuran kredit adalah Rp. 76.445.774 atau setiap rumah tangga
Rp. 3.057.831 atau Rp. 254.819/bulan. Biaya operasional ditentukan oleh skala
usaha (jumlah ternak yang dipelihara masyarakat sasaran) yang dapat diprediksi
menggunakan dinamika populasi berdasarkan koefisien teknis usaha ternak.
Investasi yang dikeluarkan pemerintah untuk pengadaan ternak sapi sebanyak 55
ekor (5 pejantan dan 50 induk) dengan sistem gaduhan 1 kembali 2. Melalui
sistem ini kewajiban peternak sasaran untuk mengembalikan ternak mencapai
110 ekor dan berdasarkan dinamika populasi maka jangka waktu pengembalian
ternak adalah 7 tahun. Setelah tahun ini seluruh ternak yang berasal dari gaduhan
pemerintah sepenuhnya menjadi hak rumah tangga sasaran. Pada tahun
kesepuluh setelah kredit lunas maka seluruh hasil dari usaha ternak termasuk
penggemukan bakalan sepenuhnya akan dinikmati oleh rumah tangga sasaran.

Secara ringkas profil investasi pengembangan wilayah integrasi sapi potong dan
pangan adalah;

a. Skala Usaha Awal : 105 ekor (5 pejantan, 50 ekor induk dan 50 ekor
bakalan)

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-84

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

b. Skala Akhir (10 tahun) : Sepenuhnya asset peternak (5 ekor pejantan, 66
ekor induk, 18 ekor betina remaja, 38 ekor anak
c. Sasaran jantan dan betina serta 67 ekor bakalan)
d. Wilayah integrasi
e. Total nilai investasi : 5 kelompok atau 25 rumah tangga
f. Nilai kredit
g. Bunga/jangka waktu/cicilan : 25 Ha lahan pangan
h. Kelayakan tanpa olah limbah
: Rp. 1.322.045.000
i. Kelayakan dengan olah limbah
: Rp. 15.950.000 per RT sasaran

: 14%/10 thn (Rp. 3.057.831)

: NPV = Rp. 468,37 jt, Net BCR = 1,96 dan IRR =
23,11%

: NPV = Rp. 654,96 jt, Net BCR = 2,43 dan IRR =
27,33%

Tingkat kelayakan usaha semakin meningkat dengan memasukkan nilai-nilai
output hasil pengolahan kotoran ternak menjadi biogas dan pupuk organik.
Perbandingan antara kedua pendekatan analisis ini penting agar dapat
mengubah paradigma selama ini bahwa usaha peternakan sapi potong hanya
mampu menghasilkan produk akhir berupa daging, tetapi juga dapat memberi
manfaat bagi pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan usaha tani pangan.
Tingkat kelayakan akan meningkat apabila dengan sentuhan pembinaan, pupuk
kandang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan tambahan atau memiliki
nilai komersial. Secara umum pengembangan wilayah integrasi ternak sapi
potong dan pangan layak secara ekonomi maupun finansial ditinjau dari nilai NPV
dan Net BCR pada suku bunga 14%. Tingkat pengembalian modal (internal rate
of return) baik secara finansial maupun ekonomi lebih tinggi dibanding suku
bunga tabungan yang berlaku saat ini, sehingga akan lebih baik menggunakan
dana potensial dan menganggur untuk berinvestasi di bidang peternakan sapi
potong.

4.5.2. Intergrasi Tanaman Sawit dan Ternak Sapi

Pola integrasi yang dikembangkan adalah uaha peternakan sapi potong untuk
tujuan ganda (multi objective) yaitu produksi ternak bibit dan penggemukan.
Pengembangan dilakukan pada areal sekitar perkebunan sawit baik perkebunan
rakyat maupun perusahaan. Sesuai konteks peningkatan partisipasi dunia usaha
(swasta) dalam pembangunan daerah dan pengembangan ekonomi produktif
dalam implementasi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), maka dalam profil
investasi dilakukan analisis pada perkebunan swasta plasma. Pengembangan

SIFAS (sustainable integrated farming system) Halaman-85

Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

integrasi pada perkebunan berpotensi sebagai sarana pemberdayaan internal
(buruh tani atau buruh panen) dan eksternal (masyarakat sekitar). Pembangunan
perkebunan kelapa sawit biasanya dilakukan perblok dengan luas setiap blok
bervariasi antara 25 – 30 Ha, sehingga dengan skala mendekati skala integrasi
sapi dan pangan. Integrasi ternak sapi dengan sawit dengan skala 100 ekor
dilakukan pada areal seluas 50 Ha atau 2 blok dengan jumlah rumah tangga
sasaran 24 KK (terbagi dalam 2 kelompok atau 12 KK/kelompok). Jumlah ternak
awal untuk masing-masing kelompok adalah 52 ekor yang terdiri dari 24 ekor
induk (2 ekor/KK) dan 24 ekor bakalan (2 ekor/KK), serta 2 ekor pejantan.

Teknologi
Fermentasi

ampas

Gambar 4.10. Halaman-86
Aliran Sumberdaya dalam Integrasi Sawit Sapi

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Click to View FlipBook Version