F I N A L F TJ LEBARAN T E AT E R ftj.or.id 23 OKT - 1 NOV 2023 20 - 29 NOVEMBER 2023
Buku Program 1 COLOPHON Editor Editor Selira Dian Penulis Writers Akbar Yumni E. Sumadiningrat Hidayat Adhiningrat Seno Joko Suyono Penerjemah Translator Tara Mecca Luna Perancang Grafis Graphic Designer Dwi Kurniawan Diterbitkan oleh Published by Cetakan Pertama, Jakarta, Oktober 2023 First Edition, Jakarta, October 2023 Festival Teater Jakarta/Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta Festival Teater Jakarta/Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta Alamat Address Jl. Cikini Raya 73 Jakarta 10330 Website ftj.or.id Halaman dan dimensi Page and dimensions 148 Hal./page A5 (148x210 mm)
Buku Program 2 SUSUNAN KERABAT KERJA Staff Directory Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Jakarta Tourism and Culture Office Komite Teater DKJ DKJ Theater Committee Adipati Lawe Akbar Yumni Bambang Prihadi Kris Aditya Yustiansyah Lesmana Panitia Pengarah Steering Committee Agus Sudjatmoko Akbar Yumni Budi Yasin Misbach E. Sumadiningrat Felencia Hutabarat H. Isnaeni Seno Joko Suyono Tamimi Rutjita Dewan Juri Judging Panel Prof. Dr. Yudiaryani Malhamang Zamzam Adinda Luthvianti Jose Rizal Manua Hanindawan Tim Manajemen Management Team Aryani Lydia Holifah Wira Trisfahilda Humas dan Publikasi PR and Publication Anindya Hasan Falaq Wahyu Septyani Perancang Grafis Graphic Designer Dwi Kurniawan Editor Editor Selira Dian Penyusun Naskah Authors Akbar Yumni Hidayat Adhiningrat Penerjemah Translator Tara Mecca Luna Pelaksana Program Program Coordinator Faber F. I. Lumban Gaol Iqbal Wakil Pelaksana Program Assistant Program Coordinator Stella AN Pelupessy Tiara Sasmita Pendamping Juri Judging Assistant Arif Hartono Koordinator Acara Event Coordinator Fajrin Yuristian Nurmala Videografer Videographer Joel Thaher
Buku Program 3 Fotografer Photographer Yose Riandi Yopi Anggara Kinasih Penata Panggung Stage Designer Dony Lazuardi Penata Cahaya Lighting Designer Agung Rivai Azis Indriyanto Egy Iskandar Penata Suara Sound Engineer Difie Sandya Giovanno Imam Maulana Muhamad Alif Fahrezi Sentanu Wiko Aldila Kru Panggung Stage Crew Bambang Hidayat Mochamad Fauzan Sukma Novi Djumilianto Okfianzi Rangga Gohan Yazid Alwi Pengatur Konsumsi F&B Coordinator Meita Rosmala Dewi Slamet Pelaksana Teknis Acara Technical Coordinator/Runner Dimas Hafidh Ipurwangsa Jery Yazid Yoko Cakrawala Pengatur Undangan Invitation Coordinator Rizka Aviani Pengantar Teknis Acara Usher Alvira Dion Wahyu Pertiwi Tim Pemimpin Teknis Lapangan Leader Organizer Azwandi Hanafi Christa Ansi Novensia Pramukantor Office Boy Dedi
Buku Program 4 SAMBUTAN PJ GUBERNUR DKI JAKARTA Assalamualaikum w.w Dalam perjalanan panjangnya, Jakarta telah menyimpan banyak cerita dan pengalaman berharga sebagai ibu kota Republik Indonesia. Jakarta telah mengalami banyak perubahan dan perbaikan yang luar biasa. Jakarta adalah kota yang majemuk, baik suku, agama, maupun budaya serta kota yang terbuka bagi warga dari daerah lain yang ingin berkunjung dan menetap. Pengalaman Jakarta merupakan pelajaran berharga dalam mengelola Nusantara di masa depan. Jakarta terus bertransformasi menjadi kota global yang layak huni dan berkelanjutan. Di antara perjalanan tersebut, Festival Teater Jakarta (FTJ) hadir mengisi ruang kreativitas warga Jakarta. Kehadirannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Terbukti, tahun ini FTJ memasuki tahunnya yang ke-50. Sebuah hal yang menunjukkan festival ini memiliki kekuatan besar dan adaptif dalam merespons perubahan dinamika warga Jakarta. Teater dan kota adalah dua entitas yang tidak terpisahkan. Keberadaannya tidak terbatas relasi antara cerita dan tempat di mana cerita itu terjadi. Teater dan kota adalah relasi hidup dalam sebuah kerangka ekosistem yang berkelindan dan saling menguatkan. Manusia panggung Jakarta adalah manusia yang sadar, jika tanpa refleksi dan kritik-kritik teater mereka, kehidupan urban Jakarta mungkin akan menjadi banal. Mereka sadar penuh kehadirannya tetap diperlukan untuk menyeimabangkan kehidupan kota. Pun dengan Pemerintah DKI Jakarta yang menyadari kritik merupakan hal penting untuk kemajuan Jakarta yang sama-sama kita cintai ini.
Buku Program 5 Perhelatan FTJ dalam setengah abad ini makin memperluas cakupannya melalui kegiatan puncak bertajuk Lebaran Teater. Ajang yang tak sekadar menjadi forum pertemuan bagi instan teater terbaik, pula menjadi momen yang dimaknai sebagai ajang kontemplasi untuk memikirkan peluang bagi perjalanan teater mendatang. Membaca keragaman dan kompleksitas ekosistem seni pertunjukan Indonesia dengan menyandingkan kelompokkelompok teater di Jakarta dengan luar Jakarta hingga internasional. Pengalaman ini akan membuka cakrawala berpikir dan jejaring kolaborasi untuk kemajuan dunia teater. Saya ucapkan selamat dan apresiasi sebesar-besarnya untuk penyelenggara dan panitia yang terlibat. Semoga kegiatan ini berjalan lancar dan sukses menggapai tujuan bersama yang kita cita-citakan. Wassalamualaikum w.w Heru Budi Hartono PJ Gubernur DKI Jakarta
Buku Program 6 Welcome Address from the Acting Governor of DKI Jakarta Assalamualaikum w.w In its long journey, Jakarta has stored many stories and valuable experiences as the capital of the Republic of Indonesia. Jakarta has undergone numerous remarkable changes and improvements. Jakarta is a diverse city, embracing various ethnicities, religions, and cultures. It is open to people from other regions who wish to visit and settle. The experiences in Jakarta provide valuable lessons in managing the archipelago in the future. Jakarta continues to transform into a livable and sustainable global city. Among these journeys, Festival Teater Jakarta (FTJ) is present to fill the creative space of Jakarta's residents. Its presence cannot be underestimated. This year FTJ is entering its 50th year. It demonstrates the festival's resilience and adaptability in responding to the changing dynamics of Jakarta's residents. Theater and the city are two inseparable entities. Their existence is not limited to the relationship between stories and the places where those stories unfold. Theater and the city are intertwined, living in an ecosystem framework that strengthens each other. The stage people of Jakarta are conscious that urban life in Jakarta might become mundane without reflection and theatrical criticism. They know that their presence is necessary to balance the city's life. The Jakarta government also acknowledges that complaints are essential for Jakarta's progress, a city we all love. The FTJ event over the past half-century has expanded its scope through the pinnacle activity titled Lebaran Teater. This event, which is not just a meeting forum for the best theater groups, is also a moment meant to be a
Buku Program 7 contemplative space for thinking about opportunities for the future journey of theater. It involves reading the diversity and complexity of the Indonesian performing arts ecosystem by bringing together theater groups from Jakarta, other parts of Indonesia, and even internationally. This experience will open up new horizons of thought and collaboration networks for advancing the world of theater. I extend my congratulations and heartfelt appreciation to the organizers and the committee involved. May this event run smoothly and successfully achieve the common goals we aspire to. Wassalamualaikum w.w Heru Budi Hartono Acting Governor of DKI Jakarta
Buku Program 8 SAMBUTAN KEPALA DINAS KEBUDAYAAN DKI JAKARTA Assalamualaikum w.w Festival Teater Jakarta (FTJ) adalah festival teater tertua di Asia Tenggara. Selama lima puluh tahun penyelenggaraannya, FTJ tak sekadar berkontribusi pada dunia teater pun pada sejarah estetika kota Jakarta. Selama usia setengah abad, FTJ memperlihatkan kehadirannya sebagai wadah bagi seniman teater untuk berkarya, berekspresi, dan berbagi ide-ide kreatifnya. Seperti yang kita ketahui, pada dasarnya teater adalah seni yang mempelajari proses kehidupan. Dalam proses tersebut, segala yang kita inginkan harus diupayakan dengan kesungguhan agar meraih hasil terbaik. Untuk itu, proses pembuatan karya teater seperti pula kehidupan, perlu proses panjang yang menuntut kedisiplinan. Mempertahankan eksistensi sebuah festival seni hingga puluhan tahun tentu tak mudah. Di dalamnya tak hanya terkandung kreativitas dan ekspresi, pula kesungguhan, niat, daya kreativitas, dan militansi segenap insan teater yang terlibat dalam ranah artistik pun manajemen pertunjukan. Dalam penyelenggaraannya, mereka harus berhadapan dengan berbagai tantangan zaman seperti pembatasan kegiatan selama Covid-19 misalnya, panggung terpaksa ditutup dan penonton dibatasi. Pada momen itu, pemerintah berupaya agar geliat seni teater di Jakarta tetap eksis dengan menghelat pertunjukan teater melalui platform digital. Kondisi berat itu telah kita lalu, teater tetap eksis di Jakarta hingga usia lima puluh tahun ini. Pada 2023, insan teater kembali bertemu dengan riuh tepuk tangan penonton yang memenuhi gedung pertunjukan. Suatu keadaan yang harus kita syukuri dengan cara meningkatkan kreativitas dan kerjasama dari semua pendukung yang bekerja secara kolektif sehingga menghasilkan karya yang bermakna bagi yang menampilkannya maupun penontonnya. Pada tahun ini, FTJ mengusung tema Homo Theatricus: Kota, Subsistensi, dan Imajinasi. Tema ini bisa membawa kita untuk melihat teater sebagai sebuah ruang yang merepresentasikan kehidupan kota dengan segala dinamika dan kompleksitasnya. Di samping itu, teater juga bisa menjadi ruang bagi manusia untuk bertahan hidup dan mengekspresikan imajinasinya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan terus mendukung dan menjaga agar
Buku Program 9 program FTJ ini tetap terselenggara. Kami menyadari, FTJ menjadi memiliki peran penting dalam pengembangan seni teater di Jakarta. Keberadaannya diharapkan bisa terus membaca kemungkinan keragaman dan kompleksitas ekosistem seni pertunjuka serta memperluas cakrawala realitas sosial untuk merangkul lebih banyak lagi pemangku kepentingan (stakeholders) dalam menjalankan kolaborasi untuk kemajuan dunia teater di Jakarta. Saya ucapkan terima kasih kepada seluruh panitia penyelenggara acara sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik. Semoga Festival Teater Jakarta 2023 dapat memberikan manfaat bagi para peserta yang hadir sekaligus menumbuhkan optimisme dan menjalin kebersamaan dalam rangka memajukan seni budaya. Wassalamualaikum w.w Salam Budaya Iwan Henry Wardhana (Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta)
Buku Program 10 Assalamualaikum w.w Festival Teater Jakarta (FTJ) is the oldest theater festival in Southeast Asia. Over its fifty years of existence, FTJ has not only contributed to the world of theater but also to the aesthetic history of the city of Jakarta. In its half-century existence, FTJ has demonstrated its presence as a platform for theater artists to create, express, and share their creative ideas. As we know, fundamentally, theater is an art that studies the process of life. In this process, everything we desire must be pursued with sincerity to achieve the best results. Therefore, creating a theater work, much like life, requires a lengthy process that demands discipline. Maintaining the existence of an art festival for decades is undoubtedly challenging. Within it, there is creativity and expression and the sincerity, intention, creativity, and militancy of all theater individuals involved in the artistic realm and performance management. In its organization, they have to face various contemporary challenges such as activity restrictions during COVID-19; for example, stages are forcibly closed, and audiences are limited. During such moments, the government strives to ensure the vibrancy of theater arts in Jakarta remains by organizing theater performances through digital platforms. We have overcome those challenging circumstances, and theater thrives in Jakarta as it reaches its fiftieth year. In 2023, theater people once again encounter the applause of a full audience in the performance venues. This situation is something to be grateful for, achieved through enhanced creativity and collaboration from all supporters working collectively to create meaningful works for performers and audiences alike. This year, FTJ adopts the theme "Homo Theatricus: City, Subsistence, and Imagination." This theme invites us to perceive theater as a space representing the city's life with all its dynamics and complexities. Additionally, theater can serve as a space for human survival and the expression of imagination. Welcome Address from the Head of the Jakarta Cultural Office
Buku Program 11 The Provincial Government of DKI Jakarta will continue to support and ensure the implementation of the FTJ program. We know that FTJ plays a crucial role in developing theater arts in Jakarta. Its presence is expected to continue exploring the possibilities of diversity and the complexity of the performing arts ecosystem, as well as expanding the social reality horizon to embrace more stakeholders collaborating to advance the theater world in Jakarta. I express my gratitude to the organizing committee for successfully conducting this event. May the Festival Teater Jakarta 2023 provide benefits to the participants and foster optimism and unity to advance cultural arts. Wassalamualaikum w.w Salam Budaya Iwan Henry Wardhana (Head of the DKI Jakarta Cultural Office)
Buku Program 12 Lima puluh tahun Festival Teater Jakarta adalah perjalanan panjang yang penuh jalan tikus. Setidaknya itulah yang saya rasakan selama 10 tahun mengikuti perjalanannya. Jalan tikus menjadi metafor dari siasat kultural untuk menghadapi realitas produksi teater yang tentu saja mengandaikan formalitas struktural pemerintahan sebagai penyelenggara festival. Secara perlahan, lima puluh tahun tak sekadar menjadi usia penyelenggaraan sebuah festival, melainkan FTJ selama usia matang itu telah membentuk tradisi masyarakat FTJ yang tumbuh secara organik. Cukup banyak grupgrup teater yang berproduksi semata untuk mengikuti ajang ini. Hal itu pula yang sebenarnya telah berlangsung semenjak Festival Teater Remaja (FTR) di awal 1970-an yang disebut teater musiman dalam ulasan media massa. Argumen itu beralasan karena motif berteater terlihat sebatas festival; menang kalah dan tidak ketinggalan dana subsidi. Namun, harus diakui itulah siasat FTJ untuk mempertahankan festival dan masyarakatnya hingga mampu menapaki lima dekade. Dapat dipastikan secara umum, peserta FTJ adalah teater amatir yang hanya berteater ketika momentum festival. Namun, pengertian amatir ini pula mengandaikan sebuah proses transformasi pengetahuan teater yang didapatkan dari pergaulan dan kultural. Mereka dengan membuat jalan tikus masing-masing; mengandalkan pengetahuan sendiri yang sering kali tipikal, meniru, turun menurun, dan tak berbasis teks kanonik. Pengetahuan jalan tikus itu kadang efektif, kadang pula dianggap sesat. Tapi pada dasarnya, apa yang disebut pengetahuan bisa jadi adalah hal yang menjembatani antara tindakan dan kenyataan. FTJ yang lahir dan tumbuh di kota metropolitan seperti Jakarta tentu tak sekadar bicara hal artistik, tetapi mencakup latar sosial dan politik Indonesia. Kelahiran FTJ pada FTR 1973 hingga 1980-an, disambut lebih dari 100 grup teater dari beragam latar belakang yang keranjingan berpentas atau mencari pengakuan menang kalah. Secara kuantitas, hal itu dapat dilihat sebagai keberhasilan FTR karena semula ini adalah program pembinaan untuk menghindari remaja dari kenalakan di kota besar. Pada tahun ini, setidaknya FTJ masih diikuti oleh lima puluh grup teater yang tentu saja SAMBUTAN KETUA KOMITE TEATER DEWAN KESENIAN JAKARTA
Buku Program 13 kuantitasnya lebih sedikit daripada awal kehadiran FTR. Menurut saya, hal ini bisa saja terjadi karena kini remaja atau anak muda punya banyak pilihan medium untuk berekspresi dibandingkan generasi sebelumnya. Untuk itu, perlu menempatkan kehidupan teater di Jakarta dalam konteks hari ini, kemudian masyarakat dapat memiliki ukuran sendiri dalam menilai kualitas teater Jakarta. Pada usia ini, FTJ justru merayakan pertanyaan sekaligus perayaan yang berusaha menghadirkan keragaman acara melalui pameran dan penghormatan (tribute) sebagai program sayap yang mengiringi program utama. Mungkin saja FTJ tahun ini menjadi titik balik untuk bekerja lebih giat lagi; merefleksikan, mengarsipkan, dan memproduksi pengetahuan dari jalan-jalan tikus. Selamat Berfestival, Kris Aditya Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta
Buku Program 14 Greetings from the Chairperson of the Jakarta Arts Council Theater Committee Fifty years of Festival Teater Jakarta has been a long and winding journey. At least, that's how I've felt during my ten years of following its path. The winding road serves as a metaphor for the cultural strategies employed to navigate the theatrical production realities, which inherently involve the structural formalities of the government as the festival's organizer. Slowly, 50 years have not just marked the age of hosting a festival, but during its mature years, FTJ has created a tradition within the FTJ community that has grown organically. Quite a few theater groups produce solely to participate in this event. This trend has been going on since the Youth Theater Festival (Festival Teater Remaja or FTR) in the early 1970s, referred to as seasonal theater in media reviews. This argument holds weight because the motivation for theater seemed limited to the festival aspect: winning, losing, and not missing out on subsidy funding. It must be acknowledged that this was FTJ's strategy to sustain the festival and its community to reach this mature age. It can be generally stated that FTJ participants are amateur theater practitioners who only engage in theater during the festival season. However, this understanding of amateurism also implies a transformative process of theater knowledge gained from social and cultural interactions. They each create hidden paths, relying on their knowledge, often typical, imitative, handed down through generations, and not based on canonical texts. This hidden knowledge is sometimes effective, sometimes considered misguided. But fundamentally, knowledge may be the bridge between action and reality. FTJ, born and grown in a metropolitan city like Jakarta, is not just about artistic matters, but it encompasses Indonesia's social and political backdrop. FTJ's inception during FTR from 1973 to the 1980s was greeted by over 100 theater groups from diverse backgrounds, all passionate about performing or seeking recognition. In terms of quantity, this could be seen as FTR's success because it was originally a developmental program to keep young people away from vices in the big city. This year, FTJ is still joined by at least 50 theater groups, which is fewer in quantity than the early days of FTR. I believe this may be because today's teenagers and young people have more choices for self-expression compared to previous generations. Therefore, placing the theater scene in Jakarta in today's context, especially the quality of FTJ today, can help society establish its standards for assessing the quality of Jakarta's theater.
Buku Program 15 At its 50th anniversary, FTJ celebrates questions and festivities that aim to present a variety of events, including exhibitions and tributes as supporting programs for the main event. Perhaps FTJ this year marks the starting point for working even more diligently: reflecting, archiving, and producing knowledge from the various pathways of FTJ. Have a Happy Festival, Kris Aditya Chairperson of the Jakarta Arts Council's Theater Committee
Buku Program 16 SAMBUTAN KETUA PENGURUS HARIAN DKJ Tatapan pada FTJ Dalam perjalanan penuh rekam historis selama lima dekade, Festival Teater Jakarta (FTJ) menjadi medium persemaian bibit teater di Jakarta. Geliat yang semula tumbuh secara organik itu terus berupaya terselenggara lebih terencana, sistematis, dan terukur dalam penyelenggaraan saban tahunnya. FTJ adalah program berwatak top down yang digagas Komite Teater, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sejak 1973 yang kemudian penyelenggaraannya diserahkan kepada Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Menimbang keterlibatan dan kontribusi para pelaku teater yang beragam di berbagai kategori, DKJ merumuskan FTJ sebagai rumah besar pembinaan teater Jakarta. Di sisi lain, festival atau perhelatan lomba teater lainnya dapat bekerja sama sembari saling menguatkan dan mendorong perkembangan masing-masing. DKJ melalui Komite Teater bertanggung jawab sebagai platform yang merumuskan ketersediaan anggaran dan merumuskan sistem perkembangan FTJ. Dalam hal ini, DKJ dibantu APBD dan Sudin Kebudayaan di tiap wilayah DKI Jakarta sebagai perpanjangan tangan. Pada titik ini, DKJ berperan hanya sebagai perumus konsep, pengawal, dan supervisi pelaksana. Sementara kontribusi dari perkumpulan atau asosiasi di tiap wilayah berperan dalam membantu kelancaran penyelenggaraan mulai dari teknis administratif calon peserta FTJ sebagai anggota perkumpulan, merekomendasi pelaku teater di wilayahnya sebagai panitia pelaksana untuk tingkat wilayah maupun final, mengusulkan calon panitia pengarah hingga calon juri penyisihan/final. Selanjutnya, Komite Teater dan panitia pengarah menghimpun untuk kemudian memilih berdasarkan estafet aspirasi perhimpunan yang tersebar di lima wilayah tersebut. Perkumpulan atau asosiasi memiliki peluang untuk mendorong dan mempersiapkan anggotanya dengan berbagai program pembinaan kreatif. Bahkan dapat menyelenggarakan program pengembangan khas wilayah masing-masing yang dapat memberi warna tersendiri dalam dinamika teater Jakarta. Dalam hal ini, DKJ dapat memosisikan diri sebagai salah satu mitra asosiasi untuk melaksanakan program kesenian strategis berbasis kewilayahan dalam skala provinsi, nasional bahkan internasional. Kesempatan itu sangat terbuka terhadap berbagai kemungkinan bentuk
Buku Program 17 kerja sama dengan pemangku kepentingan seperti pusat kebudayaan asing, lembaga donor, pula pemerintah dan swasta. FTJ adalah wadah pembinaan atau sekolah non formal yang menjadi jembatan awal menuju profesional. Karena itu, FTJ tak dapat menjadi tujuan berkarya bagi pelaku teater Jakarta, apalagi menjadikan sandaran pengembangan karir. Jika salah dalam menentukan tujuan, maka dampaknya akan menghambat pencapaian teater di Jakarta. Bentuk dari hambatan yang terjadi misalnya, mandegnya proses regenerasi dan pembacaan teater yang mutakhir di Jakarta. Hal yang lebih buruk lagi, ketidakmampuan kelompok teater berkarya secara mandiri, beberapa kesulitan yang mungkin terjadi; menjalin komunikasi, kerja sama dengan pihak lain, menguji kapasitas individu kelompok/pembagian kerja yang berkelanjutan hingga meluaskan jejaring penonton. Agar menghindari berbagai hambatan tersebut, mari kita belajar dari para lulusan FTJ yang berjumlah 24 grup sejak 1973. Mereka tak hanya sukses di ranah artistik pun mampu mengidentifikasi keberlanjutan atau tidaknya setelah meraih kelulusan. Mereka yang telah meraih gelar lulusan, umumnya punya perencanaan yang matang mulai dari menetapkan target, membangun disiplin latihan, membuat diskusi, mendorong anggota beraktualisasi ke berbagai forum kesenian, berguru dengan para maestro sambil meningkatkan kapasitas diri melalui lokakarya dan pengelolaan organisasinya. Hal tersebut tentu sangat bermanfaat saat grup teater berniat mendaftar sebagai peserta hingga menjadi lulusan. Maka, perencanaan produksi untuk lomba seperti memilih naskah atau ide karya, menyiapkan waktu latihan, proses finalisasi karya hingga teknis produksi lainnya dapat disiapkan jauh hari. Artinya, bila peserta FTJ bersungguh-sungguh untuk tak berlama-lama dalam ajang ini, maka akan segera terbuka jalan pengembangan karir sebagai pelaku teater di masa mendatang. Pengembangan yang dimaksud adalah kegiatan penguatan kapasitas pelaku teater melalui persiapan mengungkap gagasan (pitching) sebagai bagian dari jalur kurasi, mendorong kerja sama dengan berbagai pihak, menguatkan grup hingga mengapresiasi peserta teater dari aspek produksi seperti penghargaan Manajer Produksi Terbaik dan Manajer Panggung Terbaik. Khusus untuk jalur lomba tingkat umum diharapkan peserta siap secara manajemen grup setelah meraih gelar lulusan FTJ.
Buku Program 18 Penguatan konkret pada grup-grup teater dalam kategori pembinaan di Jakarta ini akan diuji coba dalam semangat festival. Puncak apresiasi FTJ yang bernama Lebaran Teater dimaksudkan sebagai etalase yang memperlihatkan peta teater Jakarta beserta pencapaian pembinaan teater Jakarta di tahun yang berjalan. Momentum itu akan ditandai dengan presentasi karya grup-grup teater terbaik FTJ yang dipilih melalui jalur kurasi dan jalur tradisi. Ditambah undangan pertunjukan terpilih dari seniman dalam dan luar negeri. Serangkaian acara itu diharapkan dapat mendorong peningkatan dan perluasan apresiasi publik, membuka ruang keterlibatan berbagai pemangku kepentingan sehingga publik teater akan semakin menjangkau luas. Akhir kalam, usia FTJ yang matang ini tak sekadar dimaknai sebagai perayaan tetapi mendorong upaya perbaikan tata kelola sebagai penguatan kapasitas pelaku teater di luar perlombaan. Mari kita bekerja sama untuk menguatkan rumah besar kita ini sebagai bagian dari kontribusi seniman teater kepada masyarakat, nusa, dan bangsa. Hidup Teater!!! Bambang Prihadi Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta
Buku Program 19 Greeting from DKJ's Chairperson A Gaze at FTJ In its historically recorded journey spanning five decades, Festival Teater Jakarta (FTJ) has become a platform for nurturing theatrical talent in Jakarta. The initial organic growth has consistently strived for more planned, systematic, and measured execution in each annual event. FTJ is a top-down program initiated by the Jakarta Arts Council Theater Committee in 1973, and its organization has since been entrusted to the DKI Jakarta Cultural Department (Dinas Kebudayaan DKI Jakarta). Considering the involvement and contributions of various theater practitioners across different categories, the Jakarta Arts Council (DKJ) has formulated FTJ as a major hub for nurturing Jakarta's theater scene. On the other hand, other theater festivals and competitions can collaborate, mutually strengthen, and encourage individual development. Through its Theater Committee, DKJ is responsible for providing the platform, budget allocation, and developmental framework for FTJ. In this regard, DKJ is assisted by the Regional Budget (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah or APBD) and the Jakarta Culture Office (Sudin Kebudayaan) in each region of DKI Jakarta as their extended arms. At this point, DKJ plays a role solely as a concept formulator, overseer, and supervisor of the execution. Meanwhile, the contributions from associations or organizations in each region play a role in assisting the smooth organization, starting from the administrative and technical aspects of prospective FTJ participants as members of the association, recommending theater practitioners in their region as organizing committees for regional and final levels, proposing candidates for steering committees and potential judges for preliminary and final rounds. Subsequently, the Theater and steering committees collect and then make selections based on the relayed aspirations of the associations spread across the five regions. Associations or organizations have the opportunity to encourage and prepare their members through various creative development programs. They can even organize region-specific development programs that add their unique touch to Jakarta's theater scene dynamics. In this regard, DKJ can position itself as one of the association's partners to implement region-based strategic art programs on a provincial, national, or even international scale. This opportunity is open to various forms of collaboration with stakeholders such as foreign cultural centers, donor institutions, and government and private sectors. FTJ is a platform for non-formal education, serving as an initial bridge towards professionalism. Therefore, FTJ cannot be the ultimate goal for theater practitioners in Jakarta, let alone a cornerstone for career development.
Buku Program 20 If the objectives are wrongly defined, the consequences could hinder the advancement of Theater in Jakarta. Some obstacles may include the stagnation of the regeneration process and the understanding of contemporary Theater in Jakarta. Even worse, the inability of theater groups to work independently may lead to difficulties such as establishing communication, collaborating with other parties, assessing the group's capacities, sustaining work division, and expanding the audience network. To avoid these various obstacles, let's learn from the FTJ graduates, a total of 24 groups since 1973. They have not only succeeded in the artistic field but have also been able to identify sustainability after achieving their graduation. Those who have attained graduate status generally have well-thought-out plans, starting from setting targets, building training discipline, conducting discussions, encouraging members to actualize themselves in various artistic forums, learning from masters while enhancing their capabilities through workshops, and managing their organization. These practices can be highly beneficial when a theater group intends to apply as participants until they become graduates. Therefore, production planning for competitions, such as selecting scripts or creative ideas, preparing rehearsal time, finalizing the work, and other technical production aspects, can be prepared well in advance. In other words, if FTJ participants are truly committed to not lingering in this event, it will immediately open up a path for their future career development as theater practitioners. This development includes activities to strengthen the capacities of theater practitioners, such as preparing to present ideas (pitching) as part of the curation process, fostering collaborations with various parties, strengthening their group, and appreciating theater participants from a production perspective, such as awards for the Best Production Manager and Best Stage Manager. Specifically, participants in the general competition category are expected to be prepared for group management after achieving the FTJ graduate status. The concrete strengthening of theater groups in the developmental category in Jakarta will be tested in the festival's spirit. The culmination of FTJ's appreciation, known as "Lebaran Teater," is intended to serve as a showcase that displays the theater landscape of Jakarta along with the achievements in theater development in the current year. This moment will be marked by presentations of the best works from FTJ theater groups selected through the curation and traditional tracks, along with invitations to selected performances from domestic and international artists. These events are expected to drive increased public appreciation and engagement, open up opportunities for various stakeholders' involvement, and make Theater more accessible to the general public.
Buku Program 21 In conclusion, this mature age of FTJ should not only be seen as a celebration. However, it should also drive efforts to improve governance and enhance the capacity of theater practitioners beyond the competition. Let's work together to strengthen this large home of ours as part of our contribution as theater artists to society, the nation, and the world. Long live Theater!!! Bambang Prihadi Head of the Jakarta Arts Council
Buku Program 22 CATATAN KURATORIAL LIMA PULUH TAHUN FTJ Homo Theatricus: Kota, Subsistensi, dan Imajinasi Homo Theatricus: Kota, Substensi, dan Imajinasi menjadi tema yang dipilih untuk merayakan lima puluh tahun Festival Teater Jakarta (FTJ). Secara keseluruhan tema ini mengandung pesan daya lenting FTJ yang kukuh bertahan meski digempur berbagai tantangan zaman. Kini, pada usia setengah abad, FTJ menjadi festival teater tertua di Indonesia dan Asia Tenggara. Lebih dari sekadar laboratorium kekaryaan, FTJ secara konsisten turut berkontribusi dalam sejarah estetika kota. Jika Homo Sapiens bermakna makhluk berpikir dan Homo Erectus makhluk yang berdiri tegak, maka Homo Theatricus adalah makhluk yang secara sadar atau tidak melakukan aksi teatrikal dalam kehidupan sehari-hari. Tesis ini diambil dari buku kompilasi artikel teater karya Radhar Panca Dahana yang berjudul Homo Theatricus. Dalam buku tersebut Radhar menyatakan, teatrikalitas menjadi watak alami manusia di luar kodratnya sebagai insan yang gemar berpolitik, bermain, dan yang estetik. Dari segi etimologi, theatrecus atau theatralis adalah bentuk ajektif dari kata theatrum yang bermakna segala hal yang terkait dengan teater. Penggunaan kata homo telah dicetuskan oleh berbagai pemikir cum filsuf untuk menyebut ragam karakteristik khas, ciri esensial, dan kodrat manusia. Johan Huizinga filsuf asal Belanda misalnya, menerbitkan buku Homo Ludens (1938) yang bermakna manusia sebagai makhluk yang senantiasa bermain dan terlibat dalam permainan. Menurutnya, bermain-main menjadi lelaku manusia untuk menjiwai kebudayaan. Senada dengan Johan Huizinga, Gabriel Marcel menerbitkan buku Homo Viator: Introduction to the Metaphysics of Hope (1945) dalam pernyataannya, ia merujuk manusia sebagai makhluk penziarah yang selalu mencari makna atas jati diri, asal usul, dan tujuan hidup. Selain argumen dua pemikir tersebut, kata homo lainnya seperti Homo Faber (makhluk pekerja), Homo Mensura (makhluk penilai), Homo Recentis (makhluk berpeka rasa), Homo Volens (makhluk inovatif), Homo Concord (makhluk adaptif cum transformatif), Homo Creator (makhluk pencipta), Homo Socius (makhluk sosial), Homo Economicus (makhluk ekonomi), Homo Religius (makhluk pembelajar), dan Homo Mechanicus (makhluk berlingkungan) meruah sepanjang khazanah pemikiran manusia. Dalam konteks perhelatan FTJ, makna definisi Homo Theatricus ditegaskan sebagai manusia panggung Jakarta. Manusia merujuk pada para pelaku teater yang setia menggunakan daya karsa dan ciptanya untuk menjaga kelangsungan FTJ selama berpuluh tahun lamanya. Dedikasi para seniman
Buku Program 23 itulah yang membuat FTJ menjadi rumah bersama yang hangat untuk disinggahi dari generasi ke generasi. Namun kesetiaan yang organik itu tentu tak mudah dipertahankan, mengingat Jakarta sebagai kota urban tak lepas dari logika industrial. Pada titik ini, istilah Homo Theatricus pula mencerminkan daya hidup manusia panggung di Jakarta yang memilih untuk tetap berpentas meski dihadapkan pada beragam kondisi sulit. Jargon kota merujuk pada Jakarta sebagai ibu kota negara (setidaknya hingga 16 Agustus 2024), yang memiliki watak yang kompetitif dan transaksional dalam memaknai relasi kemanusiaan. Pembangunan dan perilaku konsumtif makin memompa Jakarta menjadi maximum city atau kota dengan kapasitas yang tak lagi sanggup menampung perkembangan. Hal itulah yang acapkali membuat konflik horizontal tak terelakkan. Sengkarut persoalan urban dari penggusuran tanah, lemahnya sistem transportasi, intrik taktik politik, korupsi hingga fanatisme agama membuat tensi kota ini terus memanas. Dus, di tengah kondisi serba tak ideal itu, manusia panggung Jakarta masih mampu bernegosiasi, merancang strategi pentas, dan memelihara gairah estetika. Sementara subsistensi bertalian dengan situasi kota yang demikian keras justru menjadi medan tangguh yang menguji stamina dan ketahanan manusia panggung Jakarta. Antropolog James C. Sott dalam buku Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Dalam buku itu, ia menjelaskan kondisi petani di Asia Tenggara yang meski lemah secara ekonomi, namun bisa bertahan bahkan mampu menjaga martabat diri dan profesinya. Keterbatasan menjadi api yang membakar semangat mereka untuk membuat perlawanan atas ketidakadilan. Di dalam malam-malam yang senyap, mereka bersecepat menghimpun gerakan. Kata subsistensi dalam konteks FTJ disematkan untuk mendeskripsikan betapa manusia panggung Jakarta adalah manusia tangguh yang mampu menghadapi berbagai kesulitan di kota besar. Mereka sadar akan kewajiban manusia sebagai pencipta harus tetap berjalan meski situasi amat terjal. Bagi mereka teater tak sekadar hal artistik, pula menjadi medium yang mampu menampung gagasan reflektif atas kehidupan urban Jakarta yang kian banal. Sebagai manusia dan pelaku panggung, teater diperlukan untuk mengontrol kota dan menyeimbangkan kehidupan kota yang serba material semata. Dalam penghayatan tertentu, teater menjadi laku imaterial, sebuah aktivitas rohani. Subsistensi dapat dimaknai juga sebagai daya lenting atau kemampuan mental dan emosional untuk bertahan dalam krisis. Kemampuan ini membuat manusia panggung Jakarta terampil dalam menyesuaikan diri dengan keadaan dan penuh stamina hingga kondisi kembali normal sebelum kondisi
Buku Program 24 pulih. Hal ini terbukti saat pandemi Covid-19 mewabah, manusia panggung Jakarta tak putus harap untuk menjaga spiritualitas panggungnya, di tengah kondisi genting, mereka tetap tak membiarkan panggung kosong. Kreasi yang berpadu teknologi melahirkan karya pertunjukan virtual. Sikap adaptif juga mereka tunjukan saat FTJ tak terselenggara di Taman Ismail Marzuki semasa renovasi. Kemampuan menyesuaikan diri dengan beragam situasi ini tak mungkin terjadi tanpa kecerdasan psikologis manusia teater Jakarta pun para panita FTJ yang sama-sama militan. Imajinasi – kata terakhir dalam jargon FTJ tahun ini melambangkan daya kreatif manusia teater Jakarta yang tak pernah surut di panggung teater. Selama 5 dekade FTJ berlangsung, imajinasi yang berkait kelindan dengan estetika itu tak pernah lekang membawa mereka untuk berupaya keluar dari gagasan-gagasan klise. Mereka terus terpantik dan memantik bentuk pemanggungan yang baru. Sebagai laboratorium, tentu ada yang berhasil dan tidak. Tapi niatan untuk tetap berupaya mengolah dan merespons isu-isu sosial kiwari atau menafsir ulang naskah-naskah babon menjadi lebih kontekstual terus bergelora. Pun imajinasi menjadi kata kunci untuk melakukan adaptasi. Aktivitas panggung yang penuh imaji diinsyafi bukan sebagai aktivitas pelarian, melainkan cara menepi diri tuk menyegarkan kembali seluruh panca Indera. Hasilnya tentu berkontribusi bagi equilibrium kota Kata imajinasi juga merujuk pada prestasi yang diraih oleh manusia panggung Jakarta. Dengan bekal pengalaman personal maupun kolektif di FTJ mereka sukses merambah industri kreatif dan pengajar seni. Naskah lakon yang dipentaskan di panggung FTJ juga semakin mempopulerkan nama penulisnya hingga dikenal luas ke pelosok kampung Jakarta, sebut saja Arifin C. Noer, Ikranegara, Danarto, N. Riantiarno, Akhudiat, Motinggo Busye, Utuy Tatang Sontani, dan lainnya. Para dramawan tersebut menjadi bagian dari pencarian artistik manusia panggung Jakarta atas munculnya teater Indonesia yang tak menduplikasi secara mentah naskah lakon teater barat. Dengan memilih tema Homo Theatricus: Kota, Subsistensi, dan Imajinasi, perayaan lima puluh tahun FTJ ini menjadi peringatan dan penghormatan atas kontribusi manusia panggung Jakarta. Sebuah sumbangsih untuk kehidupan kesenian yang sehat dan bernalar kritis.
Buku Program 25 Homo Theatricus: City, Subsistence, and Imagination Homo Theatricus: City, Subsistence, and Imagination is the chosen theme to celebrate the 50th anniversary of Festival Teater Jakarta (FTJ). Overall, this theme conveys the resilient spirit of FTJ, which has endured despite the challenges of the times. At the quarter-century mark, FTJ is the oldest theater festival in Southeast Asia. Beyond being a creative laboratory, FTJ has consistently contributed to the city's aesthetic history. Suppose Homo Sapiens means a thinking being and Homo Erectus is an uprightstanding being. In that case, Homo Theatricus is a being that, consciously or unconsciously, engages in theatrical actions in everyday life. This thesis is taken from a compilation of theater articles by Radhar Panca Dahana titled "Homo Theatricus." In this book, Radhar states that theatricality is the natural disposition of humans beyond their nature as beings who enjoy politics, play, and aesthetics. Etymologically, "theatricus" or "theatralis" is the adjective form of the word "theatrum," meaning everything related to the theater. Various thinkers and philosophers have employed the term "homo" to refer to diverse characteristic features, essential traits, and the nature of human beings. For example, Dutch philosopher Johan Huizinga published the book "Homo Ludens" (1938), which suggests that humans always play and engage in games. According to him, playfulness is a human behavior that enlivens culture. Similarly, Gabriel Marcel published the book "Homo Viator: Introduction to the Metaphysics of Hope" (1945), in which he refers to humans as pilgrim beings who constantly seek meaning in their identity, origins, and life's purpose. Apart from the arguments of these two thinkers, other terms like Homo Faber (working being), Homo Mensura (evaluative being), Homo Recentis (sensitive being), Homo Volens (innovative being), Homo Concord (adaptive and transformative being), Homo Creator (creative being), Homo Socius (social being), Homo Economicus (economic being), Homo Religious (learning being), and Homo Mechanicus (environmental being) abound throughout the annals of human thought. In the context of FTJ's celebration, the definition of Homo Theatricus is affirmed as the stage people of Jakarta. "People" refers to theater practitioners who faithfully utilize their creativity and imagination to sustain FTJ for decades. The dedication of these artists has made FTJ a warm, shared home to be visited from generation to generation. However, maintaining this organic loyalty is not easy, given that Jakarta, as an urban city, is not exempt from industrial logic. Curatorial Notes for the 50th Anniversary of FTJ
Buku Program 26 At this point, the term Homo Theatricus also reflects the resilience of the stage people in Jakarta who choose to continue performing despite facing various challenging conditions. The "city" jargon refers to Jakarta as the country's capital (at least until August 16, 2024), which is competitive and transactional in interpreting human relations. The development and consumptive behavior are increasingly pushing Jakarta to become a "maximum city" that can no longer accommodate its growth. Often, it leads to unavoidable horizontal conflicts. The urban problem of land evictions, a weak transportation system, political maneuvering, corruption, and religious fanaticism continuously escalates the tension in this city. Therefore, amidst these far-from-ideal conditions, the stage people of Jakarta can still negotiate, devise performance strategies, and nurture their aesthetic passion. While subsistence is connected to such a challenging urban situation, it becomes a testing ground for the stamina and resilience of the stage people of Jakarta. Anthropologist James C. Scott, in his book "The Moral Economy of Peasants: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia," explains the conditions of farmers in Southeast Asia who, despite their economic weakness, can endure and maintain their dignity and profession. Limitations become the fire that fuels their spirit to resist injustice. In the quiet nights, they quickly gather their movements. The term "subsistence" in the context of FTJ is used to describe how the stage people of Jakarta are resilient individuals who can confront various difficulties in a big city. They are aware of the human responsibility as creators and that it must persist even in very challenging situations. For them, theater is not just an artistic endeavor; it is also a medium capable of accommodating reflective insights into the increasingly mundane urban life of Jakarta. As humans and theater practitioners, theater is needed to influence the city and balance a life that is overly materialistic. In a certain sense, theater becomes an immaterial act, a spiritual activity. Subsistence can also be understood as resilience or the mental and emotional ability to endure crises. This ability makes the stage people of Jakarta adept at adapting to circumstances and enduring with full stamina until conditions return to normal. This was evident during the Covid-19 pandemic, as the stage people of Jakarta remained hopeful and didn't leave their empty stages amidst the dire circumstances. The combination of creativity and technology gave birth to virtual performances. Their adaptive attitude was also demonstrated when FTJ couldn't take place at Taman Ismail Marzuki during renovations. The
Buku Program 27 ability to adapt to various situations like this wouldn't be possible without the psychological intelligence of Jakarta's theater practitioners and the dedicated FTJ committee. Imagination – the final word in this year's FTJ jargon symbolizes the creative power of Jakarta's theater people, which never wanes on the theater stage. For five decades, imagination intertwined with aesthetics has never faded, leading them to strive to break free from clichéd ideas. They continue to inspire and spark new forms of performance. As a laboratory, some attempts are successful, while others are not. But the intention to keep trying to explore and respond to contemporary social issues or reinterpret classic scripts more contextually remains fervent. Imagination also becomes the keyword for adaptation. Stage activities filled with imagination are realized not as a means of escape but as a way to retreat and refresh all the senses. The results certainly contribute to the equilibrium of the city. The word "imagination" also refers to the achievements of Jakarta's stage people. With their personal and collective experiences at FTJ, they have successfully ventured into the creative industry and become art educators. The scripts performed on FTJ's stage have also popularized the names of the playwrights known far and wide in every corner of Jakarta, such as Arifin C. Noer, Ikranegara, Danarto, N. Riantiarno, Akhudiat, Motinggo Busye, Utuy Tatang Sontani, and others. These playwrights are part of Jakarta's stage people's artistic quest for the emergence of Indonesian theater that doesn't merely replicate Western theater scripts. By choosing the theme Homo Theatricus: City, Subsistence, and Imagination, the celebration of FTJ's 50th year serves as a commemoration and tribute to appreciate the contributions of Jakarta's stage people. It contributes to a thriving artistic life and the cultivation of critical thinking in Jakarta's society.
Buku Program 28 PROFIL VENUE Description of FTJ Venues Gedung Teater Luwes berada di area Taman Ismail Marzuki, tepatnya di kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Sesuai penamaan, Teater Luwes menjadi ruang pertunjukan yang luwes atau leluasa untuk dieksplorasi kelompok teater dengan beragam format, dari prosenium hingga arena. Selain terbuka untuk masyarakat luas, gedung teater yang menjadi saksi berbagai peristiwa seni bersejarah ini, digunakan untuk laboratorium praktik mahasiswa IKJ. Teater Luwes is located within the Taman Ismail Marzuki area, precisely on the Jakarta Institute of Arts (Institut Kesenian Jakarta or IKJ). As the name suggests, Teater Luwes provides a versatile and spacious performance space that can be explored by theater groups in various formats, from proscenium to arena. In addition to being open to the general public, this theater building, which has witnessed numerous historic artistic events, is also used as a practical laboratory for IKJ students. In the Taman Ismail Marzuki area, Teater Kecil is a performance venue with a seating capacity of 240 audience members. This versatile proscenium-style theater hosts a wide range of artistic activities, including theater performances, dance, music, poetry, and even non-artistic events such as seminars. With a stage size of 10m x 10m x 6m, the building is equipped with soundproof walls, lighting systems, and air conditioning. Located on the first floor of the Trisno Soemardjo Building at Taman Ismail Marzuki, this space is named after the renowned Indonesian theater and film director Wahyu Sihombing. In 1973, he founded the Jakarta Youth Theater Festival (Festival Teater Remaja or FTR), which eventually evolved into the Jakarta Theater Festival (Festival Teater Jakarta or FTJ). With its arena-style setup, Teater Wahyu Sihombing deliberately positions audience seats on three sides of the stage: front, right, and left. Berada di kawasan Taman Ismail Marzuki, Teater Kecil merupakan gedung pertunjukan berkapasitas 240 penonton. Gedung berformat prosenium ini memiliki terbuka untuk berbagai kegiatan seni di antaranya pertunjukan teater, tari, musik, dan puisi hingga non seni seperti seminar. Dengan ukuran panggung 10m x 10m x 6m, gedung ini dilengkapi dinding kedap suara, tata cahaya, dan pendingin ruangan. Terletak di lantai satu Gedung Trisno Soemardjo, Teater Ismail Marzuki, penamaan ruang ini terinspirasi dari sutradara teater cum film Indonesia, Wahyu Sihombing. Pada 1973, ia mendirikan Festival Teater Remaja yang menjadi cikal bakal Festival Teater Jakarta. Dengan format arena, Teater Wahyu Sihombing sengaja menaruh kursi penonton pada tiga sisi panggung pertunjukan: depan, kanan, dan kiri. 01 02 Teater Luwes Teater Kecil 03 Teater Wahyu Sihombing
Buku Program 29 01 02 03 04 JADWAL PERTUNJUKAN Show Schedule Senin, 23 Oktober 2023 Monday, October 23, 2023 • 16.00 WIB Pembukaan/Opening Teater Kecil • 20.00 WIB Sun Community Teater Kecil Selasa, 24 Oktober 2023 Tuesday, October 24, 2023 • 16.00 WIB Teater Ciliwung Teater Wahyu Sihombing • 20.00 WIB Teater Kafha Teater Kecil Rabu, 25 Oktober 2023 Wednesday, October 25, 2023 • 16.00 WIB Mata Art Community Teater Wahyu Sihombing • 20.00 WIB Teater Asa Jakarta Teater Kecil Kamis, 26 Oktober 2023 Thursday, October 26, 2023 • 16.00 WIB Teater Anala Teater Luwes • 20.00 WIB Sanggar Bambu Teater Kecil
Buku Program 30 JADWAL PERTUNJUKAN Show Schedule Jumat, 27 Oktober 2023 Friday, October 27, 2023 • 16.00 WIB Sumber Drama Manusia Teater Luwes • 20.00 WIB Salindia Teater Teater Kecil Sabtu, 28 Oktober 2023 Saturday, October 28, 2023 • 16.00 WIB Teater diRI Teater Luwes • 20.00 WIB Teater Cahaya Teater Kecil Minggu, 29 Oktober 2023 Sunday, October 29, 2023 • 16.00 WIB D’lakon Aktor Panggung Teater Luwes • 20.00 WIB Kelompok Sandiwara Mantaka Teater Kecil Senin, 30 Oktober 2023 Monday, October 30, 2023 • 16.00 WIB Teater Sapta Teater Luwes • 20.00 WIB Labo eL Aktor Teater Kecil 05 06 07 08
Buku Program 31 PROFIL PERTUNJUKAN & GRUP Performance & Group Profile 01
Buku Program 32 JAKARTA SELATAN South Jakarta 01 Teater Kafha Sutradara/Director : : : : Penulis Naskah/Scriptwriters Tempat/Venue Waktu/Time Afridho Azizi Cahaya Muhammad dan/and Afridho Azizi Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki 24 Oktober/October 2023, 20.00 WIB LAMAFA: Perburuan Garis Tangan LAMAFA: The Hunt for the Handlines Sinopsis LAMAFA: Perburuan Garis Tangan bercerita tentang kenyataan hidup yang tak luput dari dinamika dan konflik antarmanusia. Pertunjukan dengan pendekatan realis ini dibalut tradisi dan budaya pesisir masyarakat Lamalera, Nusa Tenggara Timur. Tata artistik panggung sengaja dikreasikan dengan metaforik; kapal laut, garasi kapal, rumah, dan kekhasan pesisir lainnya agar penonton mengalami secara dekat kehidupan masyarakat Lamalera yang guyub nan hangat. Synopsis LAMAFA: The Hunt for the Handlines tells the story of the realities of life that are filled with dynamics and conflicts among individuals. This performance, approached with a realist perspective, is woven with the traditions and coastal culture of the Lamalera community in East Nusa Tenggara. The artistic stage design is intentionally created with metaphoric elements such as fishing boats, boat garages, houses, and the uniqueness of the coastal life, allowing the audience to closely experience the warm and communal life of the Lamalera community.
Buku Program 33 Tentang Grup Teater Kafha adalah kelompok seni yang diinisiasi secara independen oleh mahasiswa Universitas Paramadina pada 2020. Dalam laku artistiknya, Kafha senang berkolaborasi dengan berbagai kelompok teater, khususnya dalam proyek pertunjukan berbasis riset isu sosial. Pada ajang Festival Teater Jakarta Selatan (FTJS) 2023, Kafha meyabet Grup Terbaik. About the Group Teater Kafha is an independent art group initiated by students of Paramadina University in 2020. In their artistic endeavors, Kafha enjoys collaborating with various theater groups, particularly in research projects on social issues. At Festival Teater Jakarta Selatan (FTJS) in 2023, Kafha was awarded the Best Group. Pertama kali berteater bersama Teater Kafha, Universitas Paramadina, Jakarta. Bersama kelompoknya, sutradara kelahiran Jakarta ini meraih Grup Terbaik Festival Teater Jakarta Selatan (2023). He began his theater journey with Teater Kafha at Paramadina University, Jakarta. This Jakarta-born director and his group won the Best Group award at Festival Teater Jakarta Selatan (2023). Afridho Azizi
Buku Program 34 02 Teater Ciliwung : : : : Bagus Ade Saputra Nano Riantiarno Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki 24 Oktober/October 2023, 16.00 WIB Sutradara/Director Penulis Naskah/Scriptwriters Tempat/Venue Waktu/Time Sinopsis Lakon Jam Dinding yang Berdetak bercerita tentang Thomas Pattiwael yang menempati sebuah rumah di kompleks perumahan yang sumpek. Rumahnya dibagi menjadi tiga bagian dengan ruang yang saling terhubung. Sebuah jam dinding antik terpaku di atas sofa megah di antara foto tua yang membeku pula tampak berbagai perabotan kayu yang semakin menguatkan rumah ini adalah milik orang gedongan pada masanya. Namun karena kemiskinan, Thomas tak lagi mampu merawat rumah warisan yang kini terlihat kusam; perabotan berceceran di berbagai sudut rumah, tekstur tembok yang rompal dengan warna yang tak lagi berkelir prima. Synopsis "The Ticking Clock" tells the story of Thomas Pattiwael, who resides in a gloomy house within a housing complex. His house is divided into three parts with interconnected rooms. An antique wall clock is affixed above a luxurious sofa. There are also various wooden furnishings among frozen old photos, which further confirm that this house belonged to a prominent person in its time. However, due to poverty, Thomas can no longer maintain the inherited house, which now looks dull; furniture is scattered in various corners of the house, the texture of the walls is crumbling, and the colors are no longer in their prime. Jam Dinding yang Berdetak The Ticking Clock JAKARTA SELATAN South Jakarta
Buku Program 35 Tentang Grup Didirikan pada 1984, Teater Ciliwung semula bernama Teater Lingkar Minggu. Hampir 4 dekade eksis di panggung pertunjukan, Teater Ciliwung adalah salah satu kelompok tertua asal Jakarta Selatan yang menjadi peserta Festival Teater Jakarta. Kelompok teater yang pernah membawakan lakon “Selamat Jalan Anak Kufur” karya Utuy Tatang Sontani ini tercatat pernah meraih beberapa penghargaan di antaranya, Grup Terbaik Festival Teater Jakarta (2019), Grup Terbaik Festival Teater Jakarta Selatan (2022), serta Grup dan Sutradara Terbaik Festival Teater Jakarta Selatan (2023). About the Group Established in 1984, Teater Ciliwung was originally known as Teater Lingkar Minggu. With nearly four decades of existence on the stage, Teater Ciliwung is one of the oldest theater groups from South Jakarta that participates in Festival Teater Jakarta. The theater group, which once performed the play "Selamat Jalan Anak Kufur" by Utuy Tatang Sontani, has received several awards, including Best Group at Festival Teater Jakarta (2019), Best Group at Festival Teater Jakarta Selatan (2022), and Best Group and Director at Festival Teater Jakarta Selatan (2023). Aktor dan sutradara alumni Universitas Indonesia ini aktif berteater sejak SMA dan bergabung dengan Teater Pandora sejak 2016. Bersama kelompoknya, ia terlibat sebagai aktor maupun sutradara dalam lebih dari 20 judul pementasan di antaranya, The Crucible (Arthur Miller), The Rainmaker (Richard Nash), Tuan Kondektur (Anton Chekov), Sekda (Rendra), Three Penny Opera (Bertolt Brecht), The Lover (Harold Pinter), August: Osage County (Tracy Letts), God of Carnage (Yasmina Reza), Domba-Domba Revolusi (B. Sularto), dan Jam Dinding Yang Berdetak (N. Riantiarno). Ia meraih Aktor Terbaik Festival Teater Jakarta Selatan dan Festival Teater Jakarta (2019), Manajemen Produksi Terbaik Festival Teater Jakarta (2022), serta Sutradara dan Grup terbaik Festival Teater Jakarta Selatan (2023). An actor and director, an alumnus of the University of Indonesia, Bagus Ade Saputra has been actively involved in theater since high school and joined Teater Pandora in 2016. With his group, he has participated as both an actor and director in over 20 productions, including "The Crucible" (Arthur Miller), "The Rainmaker" (Richard Nash), "Tuan Kondektur" (Anton Chekov), "Sekda" (Rendra), "Three Penny Opera" (Bertolt Brecht), "The Lover" (Harold Pinter), "August: Osage County" (Tracy Letts), "God of Carnage" (Yasmina Reza), "Domba-Domba Revolusi" (B. Sularto), and "Jam Dinding Yang Berdetak" (N. Riantiarno). He won the Best Actor award at Festival Teater Jakarta Selatan and Festival Teater Jakarta (2019), Best Production Management at Festival Teater Jakarta (2022), and Best Director and Best Group at Festival Teater Jakarta Selatan (2023). Bagus Ade Saputra
Buku Program 36 : : : : Tio Zulfan Amri Tio Zulfan Amri Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki 30 Oktober/October 2023, 20.00 WIB Sutradara/Director Penulis Naskah/Scriptwriters Tempat/Venue Waktu/Time Sinopsis Lakon yang mengambil latar pemakaman umum di pinggiran kota Jakarta ini bercerita tentang dinamika warga kelas menengah dan miskin kota yang tengah berjibaku demi bertahan hidup. Tokoh yang dihadirkan beragam, dari tukang gali kubur yang jenaka, sosialita yang hobi memamerkan barang hingga pedagang dan pengamen yang ceria. Semua tokoh tampak bersiasat untuk mendapatkan uang dengan berbagai cara. Melalui para tokoh, Labo el Aktor menampilkan raut realitas urban Jakarta yang kerap terjebak dan termanipulasi dalam lingkaran keinginan. Jurang kelas ekonomi dan sengkarut isu sosial lainnya tak jarang ditimbulkan dari percepatan teknologi yang membuat batas liminal antara yang publik dan privat menjadi bias. Synopsis The play, set in a public cemetery on the outskirts of Jakarta, tells the story of the dynamics among middle-class and impoverished city dwellers struggling to survive. The characters include a humorous gravedigger, a socialite who loves flexing her possessions, and cheerful street vendors and buskers. All the characters appear to be devising various ways to earn money. Through these characters, Labo el Aktor portrays the urban reality of Jakarta, where people often find themselves trapped and manipulated in the circle of desires. Technological advancements that blur the line between the public and private spheres frequently exacerbate economic disparities and social issues. 03 Labo el Aktor Pengennya… I want to... JAKARTA SELATAN South Jakarta
Buku Program 37 Tentang Grup Kelompok teater yang berada di bawah naungan Komunitas Teater eL Na’ma Indonesia ini adalah wadah kreatif untuk mengeksplorasi keaktoran, ide, dan gagasan teater. Selain menghelat pentas tunggal, Labo el Aktor acapkali terlibat dalam berbagai forum dan festival. Beberapa prestasi seperti Grup Terbaik Festival Teater Jakarta Selatan (2019 dan 2023) serta Grup Terbaik 5 Festival Teater Jakarta (2019) berhasil Labo el Aktor capai sepanjang kiprahnya di atas pentas. About the Group Under the umbrella of the eL Na'ma Indonesia Theater Community, this theater group serves as a creative platform for exploring acting, ideas, and theatrical concepts. In addition to staging solo performances, Labo el Aktor is frequently involved in various forums and festivals. They have achieved several accolades, including the Best Group award at the Festival Teater Jakarta Selatan (2019 and 2023) and ranking among the Top 5 Best Groups at the Festival Teater Jakarta (2019), throughout their journey on the stage. Pria kelahiran 17 Juli 1985 ini adalah sutradara teater dan pengajar di Universitas Indraprasta Jakarta. Sejak 2009, ia terlibat dalam beberapa pertunjukan el-Na’ma seperti Rohman (2009), Kisah Malam dari 1001 Malam (2010), Kocak-Kacik (2014), Hamlet (2015), Opera Wayang Betawi Dawala dan Hilangnya Jimat Kalimasada (2016), Perjalanan Hang Juro Bagian 2 di Pulau Iblis (2017), dan Inti Bumi Menuju Magma bagian Pertama. Ia menjadi aktor dalam lakon Ruang Tunggu atawa Peninjauan Kembali terhadap Nyai Dasima, Festival Teater Jakarta Selatan. Sejak 2019 hingga kini, ia bergiat bersama Labo el Aktor. Born on July 17, 1985, he is a theater director and lecturer at the University of Indraprastha Jakarta. Since 2009, he has been involved in several elNa'ma productions, including "Rohman" (2009), "Kisah Malam dari 1001 Malam" (2010), "Kocak-Kacik" (2014), "Hamlet" (2015), "Opera Wayang Betawi Dawala dan Hilangnya Jimat Kalimasada" (2016), "Perjalanan Hang Juro Bagian 2 di Pulau Iblis" (2017), and "Inti Bumi Menuju Magma bagian Pertama." He also acted in the play "Ruang Tunggu atawa Peninjauan Kembali terhadap Nyai Dasima" at Festival Teater Jakarta Selatan. From 2019 until now, he has been working with Labo el Aktor. Tio Zulfan Amri
Buku Program 38 JAKARTA PUSAT Central Jakarta Sutradara/Director : : : : Penulis Naskah/Scriptwriters Tempat/Venue Waktu/Time Nadine Nadilla Jean Genet terjemahan Asrul Sani, diadaptasi oleh Iswadi Pratama Jean Genet, translated by Asrul Sani, adapted by Iswadi Pratama Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki 27 Oktober/October 2023, 20.00 WIB Sinopsis Premis dari lakon ini bercerita tentang kakak beradik yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga (babu). Di sela pekerjaan rumah, mereka senang bermain peran sebagai nyonya dan babu. Permainan peran sedemikian penuh penghayatan hingga mereka tak dapat mengontrol hasrat. Satu di antara mereka tewas. Naskah dengan pendekatan surealis ini bertumpu pada kedalaman pemeranan para aktor yang merepresentasikan psikologis manusia dalam merespons sengkarut isu sosial, ketidaksetaraan, kekuasaan, dan identitas. Synopsis The premise of this play revolves around two siblings who work as domestic servants (babu). Amid their household chores, they enjoy roleplaying as the mistress and the servant. Their role-playing is so immersive that they lose control of their desires. Tragedy strikes, leading to the death of one of them. With its surrealist approach, this script delves into the depth of the actors' performances as they represent the psychological aspects of human responses to the complexities of social issues, inequality, power, and identity. 01 Salindia Teater Babu-babu "Babu-babu"
Buku Program 39 Tentang Grup Kelompok teater yang lahir pada ajang Festival Teater Jakarta 2023 ini digagas oleh beberapa perempuan pelaku teater di Jakarta. Dari segi nama, Salindia bermakna potongan gambar yang memproyeksikan ide dan gagasan dalam ragam bentuk untuk dipertunjukan. Beberapa prestasi yang diraih kelompok ini di antaranya, Pemeran Pembantu Wanita Terbaik dan Grup Terbaik 2 Festival Teater Jakarta Pusat (FTJP) 2023. About the Group This theater group, born during the 2023 Festival Teater Jakarta, was initiated by several female theater practitioners in Jakarta. In terms of its name, Salindia signifies image fragments projecting ideas and concepts in various forms for presentation. Some of the achievements of this group include Best Supporting Actress and 2nd Best Group at the 2023 Festival Teater Jakarta Pusat (FTJP). Bermula sebagai aktor di Teater Poros dan Stage Corner Community, kini ia membentuk dan menyutradarai Salindia Teater. Perempuan yang gemar menggunakan pendekatan realis ini mendalami studi keaktoran bersama Iswadi Pratama di Titimangsa. Beberapa prestasi seperti, Aktris dan Grup Terbaik II Festival Teater Jakarta Pusat (2023), serta Medali Emas Lomba Baca Puisi tingkat regional dan nasional berhasil ia sabet sepanjang karirnya. She began her journey as an actor with Teater Poros and Stage Corner Community. Today, she has founded and directed Salindia Teater. A woman who favors a realistic approach, she delved into acting studies alongside Iswadi Pratama at Titimangsa. Some of her achievements include winning 2nd place for Best Actress and Best Group at Festival Teater Jakarta Pusat (2023) and securing Gold Medals in regional and national poetry reading competitions throughout her career. Nadine Nadila
Buku Program 40 Sutradara/Director : : : : Penulis Naskah/Scriptwriter Tempat/Venue Waktu/Time Muhamad Habib Koesnady Muhamad Habib Koesnady Teater Luwes, Taman Ismail Marzuki 26 Oktober/October 2023, 16.00 WIB Sinopsis Gugiatno seorang penyandang disabilitas tuli yang berprofesi sebagai pengemudi ojol tak sengaja membunuh seekor anjing bernama Spartan Phoenix saat mengantar pakan hewan ke rumah kliennya. Sebelumnya, Juniper Phoenix si pemilik anjing sekaligus klien Gugiatno, memintanya untuk membeli dan memberikan pesanannya kepada Spartan Phoenix. Sprartan yang beberapa hari ditinggal sendiri di rumah, sangat lapar dan bertindak agresif pada Gugiatno. Ia yang juga seorang marbot masjid, tak terbiasa berdekatan dengan anjing memakai pisau untuk melindungi diri. Sebilah pisau milik Gugiatno yang merobek tubuh anjing malang itu menjadi bukti kuat bagi Juniper untuk menyeret kasus pidana ini ke pengadilan. Synopsis Gugiatno, a deaf person working as an online motorcycle taxi driver, accidentally kills a dog named Spartan Phoenix while delivering pet food to his client's house. Before this, Juniper Phoenix, the dog's owner and Gugiatno's client, had asked him to buy and deliver the ordered food for Spartan Phoenix, who had been left alone at home for a few days. Spartan, very hungry, acted aggressively towards Gugiatno. He, also a mosque caretaker, is not accustomed to being close to dogs and uses a knife to protect himself. A knife tearing the unfortunate dog's body apart is strong evidence for Juniper to bring this criminal case to court. JAKARTA PUSAT Central Jakarta 02 Teater Anala Spartan Phoenix Spartan Phoenix
Buku Program 41 Tentang Grup Kelompok teater yang beranggotakan seniman muda FTJ ini diinisiasi oleh para senior Teater Indonesia pada 2020. Teater yang berbasis di Johar Baru, Jakarta Pusat ini bertumpu pada kemahiran keaktoran para anggotanya. Grup Terbaik 3, Grup Terbaik 1, dan Sutradara Terbaik Festival Teater Jakarta Pusat (FTJP) menjadi beberapa prestasi yang berhasil diraih sepanjang 2023. About the Group The theater group, consisting of young artists from FTJ, was initiated by senior figures in the Teater Indonesia in 2020. This theater group, based in Johar Baru, Central Jakarta, focuses on the acting skills of its members. They achieved several accolades 2023, including 3rd Best Group, 1st Best Group, and Best Director at the Festival Teater Jakarta Pusat (FTJP). Alumni jurusan Teater, Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini adalah sutradara, penulis lakon, dan pengajar jurusan Teater di SMKN 13 Jakarta. Sebelum menyutradarai Teater Anala (2022-sekarang), ia pernah terlibat sebagai aktor Laskar Panggung, Bandung (2015) dan Teater Kami, Jakarta (2018-2019) serta menjadi salah seorang penulis terpilih dalam buku kompilasi lakon bertajuk Protozoa dari Mulut Ergi (2021). Pada 2023, ia mengikuti lokakarya Menulis Kritik Teater, Dewan Kesenian Jakarta dan menyabet Sutradara Terbaik Festival Teater Jakarta Pusat (FTJP). An alumnus of the Theater Department at the Indonesian Arts and Culture Institute (Institut Seni Budaya Indonesia Bandung or ISBI), he is a director, playwright, and theater department teacher at SMKN 13 Jakarta. Before directing Teater Anala (2022-present), he was involved as an actor in Laskar Panggung, Bandung (2015), and Teater Kami, Jakarta (2018- 2019). He was also selected as one of the writers for the play compilation book "Protozoa dari Mulut Ergi" (2021). In 2023, he participated in the Jakarta Arts Council's theater criticism writing workshop and received the Best Director award at Festival Teater Jakarta Pusat (FTJP). Muhamad Habib Koesnady
Buku Program 42 Sutradara/Director : : : : Penulis Naskah/Scriptwriter Tempat/Vanue Waktu/Time Muhammad Akbar Safari Arifin C. Noer ditulis ulang oleh Afrizal–azi Jasman Arifin C. Noer, rewritten by Afrizal-azi Jasman Teater Luwes, Taman Ismail Marzuki 30 Oktober/October 2023, 16.00 WIB Sinopsis Tokoh Abu berusaha mencari kebahagiaan dengan segala cara. Ia teringat, emaknya sering mendongeng tentang kisah pangeran dan putri yang hidup bahagia karena memiliki cermin tipu daya. Konon, cermin itu dapat mengabulkan permintaan dan membuat pemiliknya berbahagia. Teater Sapta akan membawakan lakon Kapai-kapai dalam lima babak dengan konsep teater rakyat. Synopsis The character Abu tries to find happiness by any means. He recalls that his mother often told stories about the prince and princess who lived happily because they had a magical mirror. Allegedly, the mirror could grant wishes and make its owner happy. Teater Sapta will perform the play Kapai-Kapai in five acts with a concept of folk theater. : : JAKARTA PUSAT Central Jakarta 03 Teater Sapta Kapai-Kapai Kapai-Kapai
Buku Program 43 Tentang Grup Lahir dari basis kelompok teater warga Kelurahan Galur, Jakarta Pusat, Teater Sapta menjadi wadah kreativitas bagi muda mudi setempat. Sapta yang bermakna angka 7 diambil dari nama RW tempat mereka bermukim sekaligus menjadi representasi atas spasialitas Galur dan sekitarnya sebagai inspirasi kekaryaan. Beberapa prestasi Teater Sapta di antaranya, Grup Terbaik 3 Festival Drama Pendek LSPR 2019 dan Grup Terbaik 1 Festival Teater Jakarta Pusat (FTJP). About Group Born from the grassroots theater group in the Galur sub-district, Central Jakarta, Teater Sapta has become a creative hub for the local youth. "Sapta," which means the number 7, is taken from the name of the neighborhood where they reside and represents the spatiality of Galur and its surroundings, inspiring their artistic work. Some of Teater Sapta's achievements include being awarded 3rd Best Group at the LSPR Short Drama Festival in 2019 and 1st Best Group at Festival Teater Jakarta Pusat (FTJP). Sutradara dan akademisi lulusan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini aktif bersama Teater Sapta sejak 2019. Dalam praktik artistiknya, ia terinspirasi dari karya Arifin C. Noer yang peka menangkap isu lingkungan dan sosial ke atas panggung. Ia menjuarai Sutradara Terbaik Festival Drama Pendek, London School of Public Relation (LSPR) dan Sutradara Terbaik Festival Teater Jakarta Pusat (2022). A director and an academic graduate of the Indonesian Arts and Culture Institute (Institut Seni Budaya Indonesia or ISBI, Bandung), he has been active with Teater Sapta since 2019. In his artistic practice, he draws inspiration from the works of Arifin C. Noer, who is sensitive to environmental and social issues on stage. He won the Best Director award at the London School of Public Relations (LSPR) Short Drama Festival and the Best Director award at Festival Teater Jakarta Pusat (2022). Muhamad Akbar Safari
Buku Program 44 JAKARTA BARAT West Jakarta 01 Teater Asa Jakarta Sutradara/Director : : : : Penulis Naskah/Scriptwriter Tempat/Venue Waktu/Time Stanislaus Daryl Stanislaus Daryl Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki 25 Oktober/October 2023, 20.00 WIB Sinopsis Keadaan kahar menimpa sebuah grup teater muda yang tengah mempersiapkan pertunjukan terbaru dengan naskah whodunnit berjudul Petak Enigma. Konflik dan dinamika persiapan pentas memuncak saat produser eksekutif meminta penulis naskah mengubah bagian akhir lakon pada H-2 pertunjukan. Di tengah kondisi genting itu, sang penulis naskah ditemukan tewas. Bersecepat seorang detektif dikerahkan untuk menguak teka-teki tindak pidana ini. Apakah kru atau justru pemain yang menjadi dalang pembunuhan ini? Pertunjukan yang mungkin tak sepenuhnya berbasis realisme beserta mise-en-scenenya disusun menjadi sebuah bentuk yang erat dengan model seni gambar bergerak. Elemen multimedia menjadi alegori gempuran informasi. Synopsis A crisis strikes a young theater group while preparing for their latest show with a whodunnit script titled "Petak Enigma." Conflicts and dynamics during the preparations peak when the executive producer requests the scriptwriter to change the play's ending just two days before the performance. In this urgent situation, the scriptwriter is found dead. A detective is quickly summoned to unravel the mystery of this crime. Is it a crew member, or could it be one of the actors who is the mastermind behind this murder? The performance, which may not be entirely based on realism, along with its mise-en-scene, is arranged into a form closely related to the art of moving images. Multimedia elements serve as an allegory for the bombardment of information. : : : : Murder by Stage: A Killing Enigma
Buku Program 45 Tentang Grup Teater Asa adalah kelompok teater yang digagas oleh beberapa alumni Teater Anak Sakura pada 2015. Kelompok yang berbasis di Mangga Besar, Jakarta Barat ini awalnya hanya beranggotakan 3 orang, namun seiring berjalannya waktu terus berkembang hingga memberikan kesempatan bagi kalangan umum untuk bergabung. Kini Teater Asa memiliki 15 orang anggota aktif yang mengikuti berbagai forum teater, budaya, dan menghelat pentas tunggal sebagai wadah eksplorasi artistiknya. About the Group Teater Asa is a theater group initiated by several alumni of Teater Anak Sakura in 2015. The group, based in Mangga Besar, West Jakarta, initially had only three members, but over time, it continued to grow and provide opportunities for the general public to join. Today, Teater Asa has 15 active members who participate in various theater and cultural forums and stage solo performances as a platform for their artistic exploration. Stanislaus Daryl adalah seorang pencerita yang aktif menulis dan menyutradarai teater. Pria asal Glodok ini mulai kepincut dengan dunia seni setelah dipinjami sebuah majalah resensi film. Di usia remaja ia mulai aktif bergabung dengan Teater Sakura (SMPK Bala Keselamatan) dan Sanggar Seni Bintang (SMAN 2 Jakarta). Selepas lulus sekolah, ia turut mendirikan Teater Asa Jakarta (2015). Beberapa naskah karyanya adalah Him, The Exhibit, dan Murder by The Stage: A Killing Enigma. Pada Festival Teater Jakarta (2021), ia meraih kategori Naskah Asli Terbaik. Stanislaus Daryl is an active playwright and theater director. Hailing from Glodok, he became interested in art after being lent a film review magazine. He actively joined Teater Sakura (SMPK Bala Keselamatan) and Sanggar Seni Bintang (SMAN 2 Jakarta) during his teenage years. After graduating from school, he co-founded Teater Asa Jakarta (2015). Some of his written works include "Him," "The Exhibit," and "Murder by The Stage: A Killing Enigma". At Festival Teater Jakarta (2021), he won the award for Best Original Script. Stanislaus Daryl
Buku Program 46 Sutradara/Director : : : : Penulis Naskah/Scriptwriter Tempat/Vanue Waktu/Time Febriawan Bachtiar Febriawan Bachtiar Teater Luwes, Taman Ismail Marzuki 29 Oktober/October 2023, 16.00 WIB Sinopsis Nouskardia menjadi nama virus mematikan akal (nous) dan hati nurani (kardia) manusia. Matinya akal dan hati nurani dipercaya sebagai dalang atas kehancuran dan kesengsaraan hidup umat manusia. Untuk mencegah penularan, Ubay meracik sebuah penawar yang ampuh membuat dirinya dan tiga orang asing yang menumpang di tempatnya, Pagay, Moray, dan Waray mampu bertahan hidup. Sementara waktu selamat dari virus, konflik antara mereka justru terjadi karena persediaan makanan kian menipis. Lantas, mampukah mereka bertahan? Synopsis Nouskardia is the name of a deadly virus that is believed to kill human intellect (nous) and conscience (kardia). The death of intellect and conscience is seen as the mastermind behind the destruction and suffering in human life. To prevent the spread of the virus, Ubay concocts a potent antidote that allows him and three strangers who have taken refuge with him, Pagay, Moray, and Waray, to survive. However, while they are safe from the virus, conflicts arise among them as their food supplies dwindle. Can they survive this ordeal? JAKARTA BARAT West Jakarta 02 D’Lakon Aktor Panggung : : : : Nouskardia Nouskardia
Buku Program 47 Tentang Grup Pada 7 Juli 2022, Bachtiar, Halim, Sidiq, dan A.R menginisiasi D’lakon Aktor Panggung di Kelurahan Keagungan, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Dus, keempatnya membuka kesempatan kepada kawan-kawan yang ingin bergabung untuk menyalurkan bakat di bidang teater. Selain fokus dalam ranah artistik, D’lakon Aktor Panggung aktif berkolaborasi dengan pemerintah, komunitas, dan organisasi. Pada Festival Teater Jakarta Barat (2023) mereka meraih Grup Tebaik II, serta Penata Kostum, Penata Rias, dan Manajemen Terbaik. About the Group On July 7, 2022, Bachtiar, Halim, Sidiq, and A.R initiated D'lakon Aktor Panggung in Keagungan Subdistrict, Taman Sari District, West Jakarta. They opened the opportunity for anyone interested in joining to express their talents in theater. Besides focusing on artistic endeavors, D'lakon Aktor Panggung actively collaborates with the government, communities, and organizations. At Festival Teater Jakarta Barat (2023), they received the 2nd Best Group award and Best Costume, Makeup, and Management awards. Sutradara D’Lakon Aktor Panggung kelahiran 14 Februari 1997 ini menamatkan pendidikan sarjana Ilmu Pendidikan Sejarah di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten. Selain berkesenian, ia aktif sebagai pengajar di SMK Islam Pluit Raya dan mengurus Rumah Baca Bak. Semula ia berguru di Teater Nusantara sebelum akhirnya mendirikan D’Lakon Aktor Panggung. Selama karirnya, ia berhasil meraih beberapa penghargaan di antaranya, Aktor Terbaik Festival Teater Pelajar Jakarta Barat (2015-2016), Juara Menulis Media Indonesia Jenjang SMA se-JABODETABEK (2015), Monolog Terbaik K-1 (2019) serta Penulis Naskah dan Sutradara Terbaik Festival Teater Jakarta Barat (2023). Director of D'Lakon Aktor Panggung, born on February 14, 1997, completed his bachelor's degree in History Education at Sultan Ageng Tirtayasa University, Banten. In addition to his artistic pursuits, he is actively involved as a teacher at SMK Islam Pluit Raya and manages Rumah Baca Bak. He initially trained at Teater Nusantara before establishing D'Lakon Aktor Panggung. Throughout his career, he has achieved several awards, including Best Actor at Festival Teater Pelajar Jakarta Barat (2015-2016), 1st place in the Media Indonesia Writing Competition for High Schools in the JABODETABEK area (2015), Best Monologue in K-1 (2019), as well as Best Scriptwriter and Best Director at Festival Teater Jakarta Barat (2023). Febriawan Bachtiar
Buku Program 48 Sutradara/Director : : : : Penulis Naskah/Scriptwriters Tempat/Vanue Waktu/Time Robert Mugabest Robert Mugabest dan/and Nakka Sumtu Teater Luwes, Taman Ismail Marzuki 27 Oktober/October 2023, 16.00 WIB Sinopsis Lakon Arsip mengajak penonton masuk ke alam pikiran salah satu tokoh yang tengah mengikuti sebuah residensi. Dalam tiap adegan, aktor berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya untuk memberitahu latar waktu dan peristiwa. Unsur teknis seperti tata lampu dan artistik akan membantu penonton merasakan tiap perjalanan. Synopsis The play "Archives" invites the audience into the mind of one character participating in a residency program. In each scene, the actor moves from one place to another to convey the background and events. Technical elements such as lighting and artistry will help the audience feel each journey. JAKARTA BARAT West Jakarta 03 Sumber Drama Manusia Arsip Archives