The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Abdan, 2023-01-13 07:26:11

lingkar

PENOKOHAN stabilo

FANATISME AGAMA DALAM NOVEL LINGKAR TANAH LINGKAR AIR KARYA AHMAD TOHARI SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DI SEKOLAH Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Disusun Oleh Dzikran Fahruzzaman 11140130000029 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020


ABSTRAK Dzikran Fahruzzaman (NIM: 11140130000029), “Fanatisme Agama dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020. Penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui perilaku dan bentuk-bentuk fanatisme agama yang terdapat dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif sedangkan tinjauannya menggunakan teori psikologi sastra dan fanatisme. Hasil penelitian yang didapat yaitu bentuk fanatisme agama berupa ciri-ciri fanatisme yang meliputi kurangnya berpikir rasional dengan tidak dapat diterimanya rasionalisasi Darul Islam yang mutlak diperlukan sebagai falsafah dan bentuk Negara ditambah pandangan sempit Kang Suyud. Lalu adanya semangat mengejar suatu cita-cita untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Selain itu, terlihat pula aspek-aspek fanatisme, ditandai dari besarnya minat dan kecintaan Kang Suyud terhadap Islam menurut asumsinya, sikap pribadi yang enggan bergabung dan ingkar terhadap Republik, lamanya individu menekuni ajaran-ajaran yang salah. Terakhir, adanya faktor-faktor yang mempengaruhi fanatisme, yakni faktor antusiasme berlebihan seolah menyampingkan kepentingan umum. Selanjutnya faktor pendidikan, tergambar dari Kiram yang terkesan mengedepankan emosi ketimbang nalar logis. Berdasarkan hal itu, perilaku fanatisme menyebabkan kerugian untuk diri sendiri dan orang lain. Penelitian ini juga dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah yaitu dengan cara menganalisis isi dan kebahasaan novel mengidentifikasi unsur intrinsik dan ekstrinsik serta mengambil fakta-fakta sosial yang terkandung di dalam novel tersebut. Kata Kunci: Novel Lingkar Tanah Lingkar Air, Ahmad Tohari, Fanatisme Agama, Pembelajaran Sastra


ABSTRACT Dzikran Fahruzzaman (NIM: 11140130000029), "Religious Fanaticism in a Lingkar Tanah Lingkar Air Novel by Ahmad Tohariand Implications for Language and Literature Learning in Schools”, Indonesian Language and Literature Education Department, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2020. This research aims to find out behavior and forms of religious fanaticism contained in the novel Lingkar Tanah Lingkar Air by Ahmad Tohari. The method used in this research is descriptive qualitative while the review uses the theory of literary psychology and fanaticism.The research results obtained are forms of religious fanaticism in the form of fanaticism which includes a lack of rational thinking with the inaccessibility of the rationalization of Darul Islam which is absolutely necessary as the philosophy and form of the State plus Kang Suyud's narrow view.Then the spirit of pursuing a goal to establish an Islamic State of Indonesia. In addition, aspects of fanaticism can also be seen, marked by the great interest and love of Kang Suyud for Islam according to his assumptions. Personal attitude that is reluctant to join and deny the Republic. The length of time the individual has pursued wrong teachings. Finally, there are factors that influence fanaticism, namely the factor of excessive enthusiasm as if putting aside the public interest.Next is the education factor, drawn from Kiram which seems to prioritize emotions rather than logical reasoning. Based on that, fanaticism causes harm to oneself and others. This research can also be implicated in the study of literature in schools by analyzing the content and language of the novel. Identifying intrinsic and extrinsic elements and taking social facts contained in the novel. Key Words : Lingkar Tanah Lingkar AirNovel, Ahmad Tohari, Religious Fanaticism, Literature Learning


KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas segala rahmat dan karuniaNya saya mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Fanatisme Agama dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari” tepat pada waktunya. Sholawat teriring salam tidak luput tercurah kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan, hingga zaman penuh pengetahuan. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi tugas dan syarat lulus mahasiswa S1 di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari tidak akan selesai sebagaimana mestinya tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik itu secara moril ataupun materil, individu ataupun secara umum. Hal terpenting adalah bimbingan dan arahan yang tulus sehingga terselesaikannya skripsi ini. Maka dari itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Sururin, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Makyun Subuki, M. Hum. Ketua Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ahmad Bahtiar, M. Hum. selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu membimbing dan mengarahkan dengan sabar selama pengerjaan skripsi berlangsung. 4. Seluruh dosen jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FITK, UIN Jakarta yang telah memberikan ilmu, bimbingan, arahan, dan motivasinya selama saya berkuliah sehingga hal tersebut mampu memberikan manfaat pada diri saya. 5. Kedua orang tua, yaitu Ayahanda Zuaini Muttaqien dan Ibunda Yayah Yulifah yang sudah menularkan semangat, memberikan dukungan, doa, kepercayaan, motivasi, nasihat, biaya, dan sebagainya.


6. Kawan-kawan seperjuangan yang terhimpun dalam grup Hamba Allah, yaitu Ahmad Subhan Ainurrofiq, Muhammad Viqi Rifai, Ari Ardiansyah, Khoirul Azhari, dan Alif firmansyah yang setia menemani dan memberikan motivasi selama perkuliahan. 7. Teman-teman sebimbingan skripsi, yakni Viqi, Sayu, dan Ajeng yang memberikan dukungan dan bantuan selama proses pembuatan skripsi. 8. Senior PBSI Buyung Firmansyah dan Dimas Albiyan Yuda Nurhakiki yang skripsinya dijadikan acuan dalam proses penulisan skripsi saya. 9. Teman-teman lingkungan rumah, yaitu Dendri, Adit, Veros, Basit, Sigit, dan lainnya yang kerap menjadi tempat berbagi dan bertukar pendapat. 10. Seluruh mahasiswa PBSI angkatan 2014 yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu. Berkat doa, dukungan, dan berbagai bantuan dari pihak-pihak yang disebutkan di atas, maka penulis mampu menyelesaikan perkuliahan dan penelitian skripsi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis mendoakan agar apa yang telah mereka lakukan akan dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai bentuk kebaikan. Penulis berharap agar skripsi ini diberikan kritik dan saran yang sifatnya membangun karena masih banyak kekurangan di dalamnya. Semoga penulisan ini juga dapat bermanfaat bagi para pembaca. Jakarta, 7 april 2020 Penulis, Dzikran Fahruzzaman


DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ............................................................................................. i ABSTRACT ........................................................................................... ii KATA PENGANTAR ........................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... v BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang .................................................................................. 1 B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 5 C. Pembatasan Masalah ......................................................................... 5 D. Rumusan Masalah ............................................................................. 5 E. Tujuan Masalah ................................................................................. 6 F. Manfaat Penelitian ............................................................................ 6 G. Metode Penelitian .............................................................................. 7 BAB II LANDASAN TEORITIS A. Pengertian Novel ............................................................................... 10 1. Unsur Intrinsik ............................................................................ 12 a. Tema ...................................................................................... 12 b. Tokoh dan Penokohan ........................................................... 13 c. Alur / Plot .............................................................................. 15 d. Latar ...................................................................................... 16 e. Sudut Pandang ....................................................................... 16 f. Amanat .................................................................................. 18 g. Gaya Bahasa .......................................................................... 18 B. Pembelajaran Sastra .......................................................................... 19 C. Psikologi Sastra ................................................................................. 21 D. Fanatisme .......................................................................................... 26 E. Penelitian Relevan ............................................................................. 31 BAB III BIOGRAFI PENGARANG A. Biografi Ahmad Tohari ..................................................................... 36


B. Pemikiran Ahmad Tohari .................................................................. 38 BAB IV ANALISIS MASALAH A. Analisis Unsur Intrinsik Novel .......................................................... 43 1. Tema ............................................................................................ 43 2. Tokoh dan Penokohan ................................................................. 46 3. Alur ............................................................................................. 60 4. Latar ............................................................................................ 65 5. Sudut Pandang ............................................................................. 71 6. Gaya Bahasa ................................................................................ 71 7. Amanat ........................................................................................ 74 B. Psikologi Perilaku.. ............................................................................ 76 C. Analisis Fanatisme Agama ................................................................ 81 1. Ciri-ciri Fanatisme ...................................................................... 81 2. Aspek-aspek Fanatisme ............................................................... 87 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fanatisme............................. 89 D. Implementasi Pembelajaran Sastra ................................................... 83 BAB V PENUTUP A. Simpulan ............................................................................................ 95 B. Saran .................................................................................................. 96 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN LEMBAR UJI REFERENSI PROFIL PENULIS


DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Lampiran 2 : Surat bimbingan Skripsi Lampiran 3 :Sinopsis


BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dahulu sastra didefinisikan sebagai suatu ciptaan, suatu kreasi yang merupakan luapan emosi yang spontan.1 Sastra lahir dari semangat menulis pengarang dengan mengusung berbagai gagasan di dalamnya. Gagasan yang terkandung di dalam karya sastra merupakan suatu hasil berpikir maupun hasil pengalaman pengarang yang kemudian dituangkan dalam bentuk kreasi tulis. Hal tersebut menjadikan sastra sebagai media yang tepat untuk menuangkan buah pikiran dan kegelisahan yang dibalut secara estetis dan memiliki manfaat. Karya sastra sesungguhnya merupakan jembatan komunikasi antara pengarang dengan para pembacanya. Oleh karena itu, membaca sastra berarti membaca gagasan berupa hasil pemikiran dan keresahan dari seorang pengarang. Ada tiga jenis karya sastra, yakni puisi, drama, dan prosa. Dunia kesastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra. Prosa diartikan sebagai karangan bebas yang tidak terikat oleh kaidah yang terdapat dalam puisi.2 Prosa dalam dunia kesastraan juga biasa disebut fiksi atau rekaan. Walaupun disebut fiksi, namun karya sastra tetap menggambarkan kehidupan nyata yang dibuat dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab.Abdul Rozak mengatakan Novel ialah sejenis prosa yang mengandung unsur tokoh, plot, dan latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan mengandung nilai kehidupan.3 Kreativitas pengarang yang tidak terbatas, menjadikan novel mampu memuat tema-tema yang menarik dan bersifat elastis, artinya gagasan yang dibawa pengarang dalam novel tidak melulu tentang masalah yang familiar dan kaku, melainkan juga membahas hal-hal yang 1Zainuddin Fananie, Telaah Sastra, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), hlm. 5-6 2Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2015), hlm. 1106 3Abdul Rozak Zaidan, dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 136


2 tidak terpikirkan sebelumnya dalam kehidupan. Dengan demikian, memahami novel bermanfaat untuk membuka kesadaran serta membangun budi pekerti manusia. Sejak dahulu agama telah menjadi bagian terpenting dalam kehidupan. Agama dianggap sebagai kebutuhan rohani bagi manusia untuk menuntun ke arah kebaikan dan kedamaian. Bila melihat jumlah penganutnya di seluruh dunia, terdapat tiga agama paling populer, yakni Kristen, Islam, dan Yahudi. Ketiga agama tersebut dikategorikan sebagai agama-agama Ibrahim (Ibrahimic religions) kepercayaan kepada Tuhan yang Tunggal. Meskipun sampai sekarang agama semakin bermacammacam,namun hal itu justru berbanding terbalik dengan kedamaian dunia abad ini. Agama yang seharusnya membimbing manusia dalam kebaikan dan kedamaian, nampaknya gagal terwujud melihat dari banyaknya penindasan, kejahatan, dan konflik yang terjadi saat ini. Karen Armstrong dalam bukunya menyebut “ketiga agama ini tengah dalam sorotan sekarang ... karena ada anggapan-anggapan monotheisme paling rentan terhadap kekerasan dan intoleran.”4 Agama Islam saat ini sering dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa kejahatan yang terjadi di berbagai tempat di dunia. Tidak jarang ketika melihat berita di media cetak maupun televisi terdapat pernyataan orang tentang agama yang agresif dan kejam. Peristiwa 9/11 tahun 2001, konflik Palestina-Israel, dan peristiwa lainnya menjadi contoh dari peristiwa yang menyudutkan agama sebagai pihak paling bertanggung jawab dalam aksi keji tersebut. Masyarakat dunia seolah memiliki skeptis berlebihan kepada hal-hal asing, begitu pula terhadap hal-hal berbau Islam (Islamophobia) dan berpandangan stereotipikal tentang Islam dan penganutnya terasa semakin menjadi-jadi di sejumlah negara eropa. Azyumardi Azra berpendapat “berbagai bentuk kekerasan baik perang maupun struktural (masyarakat tertentu yang membuat orang lain hidup dalam kenestapaan) segera memasuki ranah agama yang tidak terpisahkan dari berbagai aspek 4Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2016), hlm. 4


3 kehidupan, khususnya politik.”5Bentuk-bentuk kekerasan dan terorisme yang dilakukan oleh sekelompok orang pada dasarnya dilakukan dengan berbagai alasan kompleks, termasuk alasan kepercayaan yang dianut. Indonesia adalah negara agraris dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Selain agama, Indonesia dikenal sebagai negara majemuk dari segi bahasa, suku, adat, dan budayanya yang sangat beragam. Namun pada kenyataannya, keberagaman sering diartikan sebagai suatu yang berbeda danmengakibatkan konflik antar kelompok. Hal ini disebabkan sikap fanatisme yang tinggi terhadap kelompok atau golongannya, sehingga memicu timbulnya kelompok-kelompok radikal yang intoleran. Perilaku fanatik secara sadar maupun tidak, telah menjadi semacam pembenaran suatu tindakan kearah negatif. Kasus yang menyangkut fanatisme di Indonesia di antaranya ialah kasus kekerasaan antar pendukung sepak bola, konflik pertentangan antar suku, konflik antar etnis pribumi dengan Tionghoa, dan konflik lainnya. Pada kasus fanatisme agama pun demikian. Sikap fundamentalis agama yang masih begitu kelihatan, terutama bagi golongan Islam dan Kristen di Ambon, Poso, dan beberapa wilayah lain yang berbuntut penghancuran rumah ibadah, bahkan pembunuhan yang terjadi secara terang-terangan. Selain itu, akhir-akhir ini telah terjadi perilaku fanatik dalam beragama seperti yang dimuat dalam berita IDN TIMES tanggal 19 Februari 2018 yakni, kasus perusakan pura di Lumajang, penyerangan terhadap ulama di Lamongan, perusakan masjid di Tuban, ancaman bom di kelenteng Karawang, serangan gereja Santa Lidwina Sleman, persekusi terhadap biksu di Yogjakarta dan lain-lain. Hal tersebut menandakan bahwa praktik fanatisme agama masih terjadi di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk, khususnya di Indonesia. Ahmad Tohari merupakan sastrawan yang terbilang aktif menulis sejak 1980. Novel-novelnya sarat akan pelukisan terperinci dan mendalam mengenai lingkungan desa. Ia menghadirkan pandangan orang desa yang alim, lugu, polos, jujur, dan apa adanya, yang berhadapan dengan 5Azyumardi Azra, Op. Cit., hlm. 6-7


4 ganasnya laju perubahan politik, sosial, dan ekonomi. Salah satu novel Ahmad Tohari yang menggambarkan kehidupan orang desa dengan perubahan politik adalah novel Lingkar Tanah Lingkar Air. Hal menarik dari novel terbitan tahun 1995 tersebut ialah tentang sikap sekelompok orang desa terhadap perubahan politik yang dianggap bertentangan dengan kepercayaan kelompoknya, sehingga timbul berbagai konflik dan permasalahan antara kelompok tersebut dengan pemerintah. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air mengadopsi tema masa awal kemerdekaan dengan pergolakan perang mempertahankan kedaulatan Indonesia antara tahun 1946-1950. Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan terkait novel ini cukup beragam, di antaranya tentang refleksi sejarah DI/TII, nilai sosial, dan sosiologi politik, namun khusus pada penelitian yang meneliti aspek psikologi sastra terbilang sedikit. Maka dari itu, peneliti akan mengkaji novel Lingkar Tanah Lingkar Air menggunakan pendekatan psikologi sastra dengan melihat perilaku fanatisme beragama yang sering dibawakan oleh tokoh di dalam cerita novel tersebut. Penerapannya dalam ruang pembelajaran di sekolah dapat berlangsung baik dengan merangsang nalar siswa. Maksudnya, siswa dibawa untuk mengenal sastra lebih akrab lagi dengan menyentuh sisi kepekaan jiwanya terhadap kondisi yang sedang terjadi di sekitar mereka. Mengupas makna-makna yang ditemui dalam novel dan menghubungkannya dengan peristiwa yang dialami oleh dirinya maupun orang banyak. Kemudian membentuk wadah diskusi kelas sebagai sarana bertukar pendapat, sekaligus mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan yang mengelilingi masyarakat selama ini. Jika menilik Ahmad Tohari selaku pengarang, karyanya banyak dipengaruhi dari lingkungan beliau yang mana sejak kecil tumbuh di tengah-tengah keluarga yang religious, khususnya dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air. Selain itu, peneliti juga melihat maraknya kasus fanatisme yang terjadi di tengah masyarakat sampai saat ini. Maka kemudian, peneliti akan melakukan penelitian dengan mengambil judul


5 “Perilaku Fanatisme Agama dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Belum ada yang menggunakan novel Lingkar Tanah Lingkar Air sebagai objek penelitian terkait hubungannya dengan fanatisme. 2. Kesulitan memahami isi novel Lingkar Tanah Lingkar Air. 3. Kesulitan menciptakan proses timbal balik antara pendidik dan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. 4. Fanatisme telah menjadi fenomena yang melekat di masyarakat sampai saat ini. 5. Kurangnya minat membaca sastra oleh siswa maupun masyarakat umum. C. Batasan Masalah Peneliti mengangkat masalah tersebut menjadi sebuah skripsi dengan judul “Fanatisme Agama dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah”. Berdasarkan identifikasi masalah yang diuraikan di atas, guna menghindari pembahasan yang terlalu meluas peneliti akan memfokuskan pembahasan tentang fanatisme agama yang terdapat dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah. D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan batasan masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perilaku fanatisme agama dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari?


6 2. Bagaimana implikasi perilaku fanatisme agama dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari terhadap pembelajaran sastra di sekolah? E. Tujuan Masalah Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan perilaku fanatisme agama dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari. 2. Mendeskripsikan implikasi perilaku fanatisme agama dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari terhadap pembelajaran sastra di sekolah. F. Manfaat Penelitian Secara teoretis penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan keilmuan bidang sastra, khususnya pada karya sastra jenis novel yang fokus pada kajian unsur-unsur pembangun novel. Adapun manfaat praktisnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai perilaku fanatisme agama dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra di Sekolah. 1. Bagi Peneliti Hasil dari penelitian ini bisa menjadi jawaban dari masalah yang sudah dirumuskan. Selain itu, dengan rampungnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi bagi peneliti agar semakin aktif menyumbangkan karya ilmiah bagi dunia sastra dan pendidikan. 2. Bagi Pembaca Hasil penelitian ini bagi pembaca diharapkan dapat lebih memahami isi dari novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dan mengambil pelajaran darinya. Selain itu, pembaca diharapkan semakin jeli memilih buku bacaan untuk dijadikan bahan pembelajaran.


7 3. Bagi Peneliti Lain Penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi maupun menjadi bahan pijakan sebagai penelitian relevan untuk melakukan penelitian berikutnya yang lebih baik dan mendalam. G. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian diartikan sebagai tata cara yang diatur berdasarkan kaidah ilmiah dalam suatu penelitian dalam koridor keilmuan tertentu yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.6 Metode yang peneliti gunakan adalah metode kualitatif dengan cara penyajian deskriptif. Metode kualitatif adalah pendekatan yang penting untuk memahami suatu fenomena sosial dan perspektif individu yang diteliti. Tujuan pokoknya adalah menggambarkan, mempelajari, dan menjelaskan fenomena itu. Pemahaman fenomena ini dapat diperoleh dengan cara mendeskripsikan dan mengeksplorasikannya dalam sebuah narasi.7 Oleh karena menggunakan penyajian deskriptif, maka segala hal yang berupa kata-kata, kalimat, dan wacana menjadi penting dan saling berpengaruh satu dengan lainnya. Tujuan dari penelitian kualitatif dalam analisis ini adalah untuk membuat deskripsi analisis masalah pada perilaku fanatisme agama dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah. 1. Sumber Data Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lainlain.8 Dalam ilmu sastra sumber data adalah karya, naskah, data penelitian, sebagai data formal adalah kata, kalimat, dan wacana.9 Sumber data primer dalam penelitian ini adalah sebuah karya novel 6Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 3 7Syamsuddin dan Vismaia S. Damaianti,Metode Penelitian Pendidikan Bahasa,(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015),hlm. 74 8Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010),hlm. 157 9Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta, PustakaPelajar, 2004), hlm. 47


8 berjudul Lingkar Tanah Lingkar Air karangan Ahmad Tohari yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama di Jakarta tahun 2015 dengan tebal 165 halaman. Adapun data tambahan dalam penelitian ini adalah berupa buku, jurnal, artikel, dan lain-lain yang masih relevan dengan penelitian. 2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah sebagai cara yang digunakan untuk menghimpun, mengambil atau menjaring data penelitian.10 Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka dengan cara simak catat. Studi pustaka dalam penelitian kualitatif berisi teori dan konsep-konsep yang akan dipakai untuk menganalisis termasuk menginterpretasi data.11 Adapun teknik simak dilakukan oleh peneliti dengan menyerap penggunaan bahasa seseorang berupa pembicaraan atau penggunaan bahasa tulisan.12 Sementara itu, peneliti hanya dapat menggunakan teknik catat sebagai gandengan teknik simak karena karena dalam penelitian ini dihadapkan pada penggunaan bahasa tertulis. Peneliti mencatat berbagai informasi yang relevan dengan peneliti yang terdapat dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari. 3. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan suatu proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.13 Proses analisis data kualitatif diawali dengan kegiatan mencatat, mengumpulkan, mengklasifikasi, hingga membuat kategori data agar menemukan sebuah pola dan hubungan-hubungan yang mempunyai makna.14 Analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 10Suwartono, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi Offset, 2014), hlm. 41 11Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2015), hlm. 123 12Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Yogyakarta: Ar-Aruz Media, 2016), hlm. 20 13Ibid., hlm. 221 14Maleong, op. cit., hlm. 248


9 a. Menganalisis unsur-unsur intrinsik novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari. Hal ini dilakukan dengan membaca kembali dan mencatat bentuk-bentuk yang relevan dengan penelitian. Kemudian mengelompokkan teks-teks dalam novel tersebut yang mengandung unsur-unsur intrinsik novel berupa tema, tokoh dan penokohan, plot, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. b. Menganalisis masalah perilaku fanatisme agama dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air yang dilakukan dengan membaca serta memahami data kembali yang diperoleh. Selanjutnya mengelompokkan teks-teks yang mengandung bahasan tentang analisis perilaku fanatisme agama dalam novel tersebut. c. Mengimplikasikan analisis perilaku fanatisme agama dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari pada pembelajaran sastra di sekolah yang dilakukan dengan cara menghubungkannya dengan materi sastra di sekolah. Langkah terakhir yaitu membuat sebuah kesimpulan dan saran dari keseluruhan hasil penelitian.


BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Novel Novel secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.1 Kata prosa berasal dari bahasa latin prosa yang artinya “terus terang”. Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya. Prosa di belahan Eropa dianggap salah satu dari dua struktur sastra utama, yang lain dengan ayat (lirik syair puisi). Namun yang menjadi pembeda utama adalah prosa tidak memiliki struktur formal berirama seperti pada lirik puisi. Prosa berisi kalimat gramatikal, yang kemudian membentuk paragraf dan mengabaikan estetika langsung. Lirik syair dianggap lebih sistematis atau taat aturan, sedangkan prosa adalah mencerminkan percakapan biasa seperti pada pidato.2 Aminuddin mengemukakan bahwa prosa fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.3 Sebagai salah satu genre sastra, karya fiksi mengandung unsur-unsur meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi pencipta, (3) media penyampai isi berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi suatu wacana. Pada sisi lain, dalam rangka memaparkan isi tersebut, pengarang 1Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogjakarta: Gadjah Mada University Press,2013), hlm. 11-12 2 Prakoso Bhairawa Putera, Mengenal dan Memahami Ragam Karya Prosa lama, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hlm. 17-18 3Aminuddin, Pengantar Apresiasi Sastra, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2002), hlm. 66


11 akan memaparkannya lewat (1) penjelasan atau komentar, (2) dialog maupun monolog, dan (3) lewat lakuan atau action. 4 Dalam bahasa Inggris dua ragam fiksi naratif yang utama disebut romance (romansa) dan novel. Novel bersifat realistis sedang romansa puitis dan epik. Hal itu menunjukan bahwa keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Novel berkembang dari bentuk naratif nonfiksi, misalnya surat, biografi, kronik, atau sejarah. Jadi, novel berkembang dari dokumendokumen, dan secara stilistika menekankan pentingnya detil dan bersifat mimesis. Novel lebih mengacu kepada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam.5 Sedangkan menurut Kosasih novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang ataupun beberapa tokoh.6 Furqonul Aziz dan Abdul Hasim menjelaskan novel merupakan sebuah genre sastra yang memiliki bentuk utama prosa, dengan panjang yang kurang lebih bisa mengisi satu atau dua volume kecil, yang menggambarkan kehidupan nyata dalam suatu plot yang cukup kompleks. Novel dibedakan dengan puisi terutama dari bahasanya yang tidak berirama, bermeter, dan tidak memiliki irama yang teratur. Novel dibedakan dengan drama dari bentuknya yang bersifat naratif, yang tidak mengandalkan peragaan dan dialog. Selain itu, novel juga dibedakan dari cerpen atau novela karena novel cukup panjang untuk mengisi satu atau dua volume kecil, dan juga memberikan treatment yang mendalam terhadap kehidupan dan perkembangan sosial serta psikologis para tokohnya.7 Dari segi jumlah kata, biasanya novel mengandung kata-kata berkisar antara 35.000 buah sampai tak terhingga. Dengan kata lain, secara fisik dapat disebut jumlah minimal kata-kata dalam novel 35.000 buah. Berdasarkan jumlah kata tersebut diasumsikan sebuah novel terdiri atas 4 Ibid., 5Burhan Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 17-18 6E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2014), hlm 60 7Furqonul Aziez dan Abdul Hasyim, Menganalisis Fiksi: Sebuah Pengantar, (Bogor: Ghalia Indoneisa, 2010), hlm.7


12 100 halaman, dengan perhitungan tiap halaman memuat 350 kata (satu halaman 35 baris, tiap baris 10 kata).8 1. Unsur Intrinsik Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Unsur yang dimaksud, untuk menyebutkan sebagian saja misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang, penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan lain-lain.9 Unsur yang menyusun sebuah karya sastra yang sengaja dibuat untuk mempermudah menganalisis sebuah novel atau pun karya lain yang di dalamnya dibuat mirip dengan dunia nyata oleh pengarang dan lengkap dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Berikut merupakan unsur-unsur intrinsik dalam sebuah novel. a. Tema Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, sosial dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering, tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita.10 Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra.11Burhan berpendapat bahwa tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit.12 Dengan demikian tema berarti pokok pikiran yang mendasari sebuah cerita. 8Suminto A. Sayuti, Cerita RekaanEdisi 1, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), hlm. 34 9 Burhan Nurgiyantoro, Op.Cit.,hlm. 30 10Ibid, hlm. 32 11Zainuddin Fanannie, Telaah Sastra, (Surakarta: Anggota IKAPI Jateng, 2001), Cet.II, hlm.84 12Burhan Nurgiyantoro, Op.Cit.,hlm.115


13 b. Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah pelaku cerita lewat berbagai aksi yang dilakukan dan peristiwa serta aksi tokoh lain yang ditimpakan kepadanya.13 Panuti menjelaskan bahwa tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa.14 Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh novel itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah tokoh novel itu?”, dan sebagainya.15 Abrams mengatakan tokoh cerita adalah orang yang ditampilkan dalam karya sastra yang sifatnya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan tindakan.16 Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang segaja ingin disampaikan kepada pembaca.17 Berdasarkan beberapa pengertian tersebut maka tokoh adalah pelaku dalam sebuah cerita yang melakukan berbagai macam peristiwa baik berupa tindakan ataupun ucapan yang berfungsi sebagai penyampai pesan, amanat, moral, atau hal yang ingin pengarang sampaikan kepada para pembacanya. Berdasarkan fungsi tokoh di dalam cerita dapatlah dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh yang memegang peran pimpinan disebut tokoh utama atau protagonis. Protagonis selalu menjadi tokoh yang sentral di dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan di dalam kisahan.18 Adapun tokoh yang merupakan penentang utama dari protagonis disebut antagonis atau tokoh lawan. Antagonis termasuk tokoh sentral. Di dalam karya sastra tradisional seperti cerita rakyat, biasanya pertentangan di antara protagonis dan 13Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak, (Yogyakarta: UGM Press, 2013), hlm. 74 14Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1988), hlm. 16 15Burhan Nurgiyantoro,Teori Pengkajian Fiksi,Op.Cit.,hlm.247 16 M.H. Abrams, A Glosaary Literary Terms, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981), hlm. 20 17Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Op.Cit.,hlm. 249 18Panuti Sudjiman, Op.Cit., hlm.18


14 antagonis jelas sekali. Protagonis mewakili yang baik dan yang terpuji – karena itu biasanya menarik simpati pembaca, – sedang antagonis mewakili pihak yang jahat atau yang salah.19 Adapun yang dimaksud tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama.20 Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita.21Karakterisasi, atau dalam bahasa Inggris characterization, berarti pemeranan, pelukisan watak. Metode karakterisasi dalam telaah karya sastra adalah metode melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi. Cara menentukan karakter (tokoh) – dalam hal ini tokoh imajinatif – dan menentukan watak tokoh atau watak karakter sangat berbeda.22 Perwatakan (karakterisasi) dapat diperoleh dengan memberi gambaran mengenai tindak-tanduk, ucapan atau sejalan tidaknya antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Prilaku para tokoh dapat diukur melalui tindak-tanduk, ucapan, kebiasaan, dan sebagainya.23 Karakterisasi tidak terbatas pada metode langsung (telling) dan metode tidak langsung (showing) semata. Metode lain yang dapat digunakan adalah telaah karakterisasi melalui sudut pandang (point of view), melalui telaah arus kesadaran (stream of consciousness), bahkan melalui telaah gaya bahasa (figurative language). Pada umumnya telaah karakter tokoh dalam suatu karya sastra bertujuan akhir yakni, memahami tema karya tersebut. karakterisasi dapat pula dilakukan melalui telaah motivasi yang terdapat dalam teori sastra.24 19Ibid, hlm.19 20Ibid, 21E. Kosasih, Op.Cit., hlm. 67 22Albertine Minderop, Metode Karakterikasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), hlm. 2 23M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Sridharma, 1984), hlm. 37 24Albertine Minderop, Op.Cit., hlm. 2-3


15 c. Alur / Plot Abrams dalam Wahyudi Siswanto mengemukakan bahwa alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.25 Stanton mengemukakan plot adalah rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita.26 Menurut Aminuddin plot adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.27 Lukens dalam Burhan berpendapat bahwa alur merupakan urutan kejadian yang memperlihatkan tingkah laku tokoh dalam aksinya.28 Berdasarkan beberapa pengertian tersebut maka plot adalah rangkaian yang terdiri dari beberapa peristiwa yang membentuk suatu rangkaian cerita yang akan dilalui oleh tokoh-tokoh yang dihadirkan di dalamnya. Tasrif dalam Sugihastuti menyatakan bahwa struktur alur terdiri: (1) situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan), (2) generating circumtances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak), (3) rising action (keadaan mulai memuncak), (4) climax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya), (5) denouement (pemecahan persoalan-persoalan dari semua peristiwa).29 Loban dkk dalam Aminuddin menggambarkan gerak tahapan alur cerita seperti halnya gelombang. Gelombang itu berawal dari (1) eksposisi, (2) komplikasi atau intrik-intrik awal yang akan berkembang menjadi konflik hingga menjadi konflik, (3) klimaks, (4) revelasi atau penyingkatan tabir suatu problema, dan (5) denouement atau penyelesaian yang membahagiakan, yang dibedakan dengan catastrophe, yakni penyelesaian yang menyedihkan; dan solution, 25 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, ( Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm.159 26Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction to Ficton oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 26 27Aminuddin, Op.Cit., hlm. 83 28Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak, Op.Cit., hlm. 68 29 Sugihastuti, Teori dan Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 37


16 yakni penyelesaian yang masih bersifat terbuka karena pembaca sendirilah yang dipersilakan menyelesaikan lewat daya imajinasinya.30 d. Latar Stanton mengungkapkan latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteaksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun, cuaca atau satu periode sejarah.)31 Sebuah cerita memerlukan kejelasan kejadian mengenai di mana terjadi dan kapan waktu kejadiannya untuk memudahkan pengimajian dan pemahamannya. Hal itu berarti bahwa sebuah cerita memerlukan latar, latar tempat kejadian, latar waktu, latar sosial budaya masyarakat tempat kisah terjadi. Latar menjadi landas tumpu cerita, dan karenanya juga penting dalam rangka pengembangan cerita. Latar memberikan dasar berpijak secara konkret dan jelas.32 Latar ini biasanya diwujudkan dengan menciptakan kondisi-kondisi yang melengkapi cerita. Baik dalam dimensi waktu maupun tempatnya, suatu latar diciptakan dari tempat dan waktu imajiner ataupun faktual. Kemudian yang paling menentukan bagi suatu latar, selain deskripsinya, adalah bagaimana novelis memadukan tokoh-tokohnya dengan latar di mana melakoni perannya.33 Dengan demikian latar meliputi tempat, waktu, dan suasana dalam sebuah cerita. Selain itu, latar mendukung imajinasi dari para pembaca agar terlihat jelas dan konkret. e. Sudut Pandang Dalam menulis cerita, seorang pengarang pasti berada pada posisi pusat kesadaran tertentu. Dari posisi inilah cerita disampaikan kepada pembaca. Dengan begitu, pembaca diajak melihat cerita dari posisi pengarang melihat. Posisi pusat kesadaran pengarang dalam menyampaikan ceritanya disebut dengan sudut 30 Aminuddin, Op.Cit., hlm. 85 31 Robert Stanton, Op.Cit.,hlm. 35 32Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak, Op.Cit.,hlm. 85 33Furqonul Aziez dan Abdul Hasyim, Op.Cit., hlm. 74


17 pandang.34 Robert Stanton mengatakan sudut pandang adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita.35 Sementara itu, Aminuddin menjelaskan bahwa titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.36 Dengan demikian sudut pandang adalah posisi pengarang dalam menyampaikan sebuah cerita. Burhan membedakan sudut pandang yang telah umum dilakukan orang, yaitu bentuk persona tokoh cerita: persona ketiga dan persona utama, dan ditambah persona kedua.37 Berikut penjelasannya. 1. Sudut Persona Ketiga : “Dia” Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus menerus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak. 2. Sudut Pandang Persona Pertama : “Aku” Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang “aku” ialah narator terlibat dalam cerita. Berdasarkan perannya maka sudut pandang persona pertama “aku” dibedakan atas “aku” tokoh utama dan “aku” sebagai tokoh tambahan. Perbedaannya adalah jika persona pertama “aku” tokoh utama menjadi fokus, pusat kesadaran, dan pusat cerita maka persona pertama “aku” tambahan hanya membawakan cerita kepada pembaca sedangkan tokoh yang lainnya dibiarkan mengisahkan pengalamannya sendiri. 34Pujiharto, Pengantar Teori Fiksi, (Yogyakarta: Ombak (Anggota IKAPI), 2012), hlm. 66 35E. Kosasih, Op.Cit., hlm.69 36Aminuddin, Op.Cit., hlm. 90 37Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Op.Cit.,hlm. 347.


18 3. Sudut Pandang Persona Kedua : “Kau” Pengisahan sudut pandang persona kedua ini menggunakan kata “kau” sebagai variasi dari cara memandang tokoh aku dan dia. Penggunaan teknik ini juga dipakai untuk memposisikan diri sendiri sebagai orang lain. Keadaan seperti demikian ditemukan dalam sudut pandang “aku” dan “dia” sebagai variasi penyebutan. 4. Sudut Pandang Campuran Penggunaan sudut pandang campuran artinya pengarang menggunakan beberapa macam teknik dalam penceritaan. Pengarang bebas melakukan pergantian macam-macam teknik tersebut sesuai dengan keinginan dan kreativitasnya. f. Amanat Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu.38 Jika permasalahan yang diajukan dalam cerita juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, maka jalan keluarnya itulah yang disebut amanat. Amanat terdapat pada sebuah karya sastra secara implisit ataupun secara eksplisit. Implisit, jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan di dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit, jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan, dan sebagainya, berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita itu.39 Dengan demikian maka amanat merupakan salah satu ajaran atau pesan penting yang hendak disampaikan kepada pembaca. g. Gaya Bahasa Aminuddin menyatakan bahwa gaya bahasa mengandung pengertian keindahan dan keharmonian bahasa yang digunakan pengarang dalam menyampaikan cerita seihingga mampu menuansakan makna, menyentuh daya intelektual, dan mampu 38E. Kosasih, Op.Cit., hlm. 71. 39Panuti Sudjiman, Op.Cit., hlm. 57.


19 menggugah emosi pembaca.40 Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil kedua tulisannya sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan metafora.41 Persoalan gaya bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Malahan nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya bahasa.42 B. Pembelajaran Sastra Jacob Sumardjo dan Saini K.M. dalam Zulfahnur mendefinisikan sastra sebagai ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.43 Pengajaran apresiasi sastra adalah suatu proses interaksi antara guru dan murid. Di dalam interaksi tersebut terjadi proses yang memungkinkan terjadinya pengenalan, pemahaman penghayatan, penikmatan terhadap karya sastra hingga akhirnya siswa mampu menerapkan temuannya di dalam kehidupan nyata, dengan demikian, pembelajar apresiasi sastra akan memperoleh manfaat dari karya sastra yang diapresiasinya.44 Dengan pendidikan sastra, peserta didik tidak hanya diajak untuk memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada di dalam karya sastra dan kenyataan yang ada di luar sastra, tetapi juga diajak untuk mengembangkan sikap positif terhadap karya sastra. Pendidikan semacam ini mengembangkan kemampuan pikir, sikap, dan keterampilan peserta 40 Aminuddin, Op.Cit., hlm. 72. 41Robert Stanton, Op.Cit., hlm. 61. 42Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 112. 43Zulfah Nur Z.F., Teori Sastra, (Tangeran Selatan: Universitas Terbuka, 2016), hlm. 2.5. 44Mien Rumini, Pengajaran Apresiasi Sastra, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), hlm. 1.8-1.9.


20 didik45 Oleh karena itu, maka pengajaran sastra dalam dunia pendidikan memiliki peranan yang cukup penting dalam ranah pendidikan yakni koginitif, psikomotor, dan afektif. Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.46 Berikut penjelasannya. 1. Membantu Keterampilan Berbahasa Mempelajari sastra berarti siswa sekaligus melakukan empat pembelajaran bahasa yakni keterampilan membaca, keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, dan keterampilan menulis. Siswa dapat melatih keterampilan membaca melalui membaca suatu karya jenis prosa; melatih keterampilan berbicara melalui bermain peran dalam drama; melatih keterampilan menyimak lewat karya yang dibacakan oleh guru ataupun teman sekelasnya; dan melatih keterampilan menulis lewat diskusi-diskusi yang telah dilakukan oleh siswa. 2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya Manfaat pada bagian ini memiliki arti bahwasanya fungsi sastra berikutnya adalah selain media penghibur ia juga mengenalkan kepada siswa tentang fakta-fakta ataupun realitas kehidupan sebagaimana mestinya. Selain itu, mengetahui kebudayaan yang ditampilkan dalam masing-masing karya akan mengenalkan secara tidak langsung tentang menanamkan wawasan berbudaya sehingga menumbuhkan sifat bangga, rasa memiliki, dan percaya diri. 3. Mengembangkan Cipta Rasa Terkait pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat penalaran; yang bersifat afektif; dan yang bersifat sosial; serta yang bersifat religius sehingga menjadikan sastra sebagai tujuan dari pendidikan yang sesungguhnya. 45Wahyudi Siswanto, Op.Cit., hlm. 155. 46B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 16.


21 4. Menunjang Pembentukan Watak Nilai pengajaran sastra memiliki dua tuntunan yakni mampu membina perasaan menjadi lebih tajam seperti: kebahagiaan, putus asa, kebebasan, kesetiaan, kebencian, kematian, dan sebagainya. Nilai berikutnya adalah memberikan tunjangan terhadap kualitas kepribadian siswa yang meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan. C. Psikologi Perilaku Definisi popular psikologi adalah “ilmu tentang pikiran dan perilaku”.47 Gravetter dalam Laura mengatakan “Psikologi adalah disiplin yang menguji asumsi, dan menggunakan data ilmiah untuk menjawab pertanyaan yang menjadi ketertarikan atas diri manusia”.48 Menurut Laura A. King psikologi didefinisikan sebagai studi ilmiah mengenai perilaku dan proses mental.49 Terdapat tiga kata kunci dari definisi tersebut, yakni ilmu, perilaku, dan proses mental. Pengertian psikologi sebagai ilmu, karena menggunakan metode sistematis untuk mengamati serta meneliti perilaku manusia dan menarik kesimpulan dari hal tersebut. Kemudian psikologi sebagai perilaku adalah segala sesuatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia dan bisa diamati secara langsung. Sedangkan psikologi sebagai proses mental disebabkan pikiran, perasaan, dan motif yang dialami secara pribadi namun tidak dapat diamati secara langsung. Jarvis menambahkan jika psikologi perilaku dan semua cabangnya cenderung menjadi bagian paling ilmiah dari perspektif psikologi. Psikologi perilaku ditekankan pada bagaimana kita belajar berperilaku dengan cara tertentu. Kita senantiasa belajar perilaku baru dan memodifikasi perilaku yang sudah kita miliki. Psikologi perilaku adalah pendekatan psikologi yang memusatkan perhatian pada cara berlangsungnya pembelajaran.50 47 Matt Jarvis, Teori-teori Psikologi, (Bandung: Nusa Media, 2015), hlm. 1 48 Laura A. King, Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif , (Jakarta: Salemba Humanika, 2016), hlm. 5 49 Ibid, hlm. 4 50 Matt Jarvis, Op. Cit., hlm. 16


22 Mengapa perlunya dilakukan penelitian karya melalui pendekatan psikologi sastra? Albertine Minderop mengungkapkan jika karya sastra baik novel, puisi, dan drama di jaman modern ini sarat akan unsur-unsur psikologis sebagai manifestasi: kejiwaan pengarang, para tokoh fiksional dalam kisahan dan pembaca. Dengan begitu, akhir-akhir ini telaah sastra melalui pendekatan psikologi mendapat tempat di hati para peneliti, mahasiswa dan para dosen sastra. Ia menambahkan karya fiksi psikologis merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan suatu novel yang bergumul dengan spiritual, emosional, dan mental para tokoh dengan cara lebih banyak mengkaji perwatakan daripada mengkaji alur atau peristiwa. Selama 200 tahun terakhir novel-novel psikologis banyak ditulis oleh para novelis.51 Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi pengarang sebagai tipe atau pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi tipe dan hukumhukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).52 1. Dinamika Kepribadian Freud mengatakan bahwa energi manusia dapat dibedakan dari penggunaannya, yaitu aktivitas fisik disebut sebagai energi fisik dan aktivitas psikis disebut energi psikis. Energi fisik dapat diubah menjadi energi psikis, suatu yang terletak di bagian di bawah alam sadar dengan naluri-nalurinya merupakan media yang menjembatani dari energi fisik dengan kepribadian.53 a. Naluri Naluri atau insting merupakan representasi psikologis bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) akibat muncul suatu kebutuhan tubuh. Bentuk naluri menurut Freud adalah pengurangan tegangan (tension reduction), cirinya regresif 51 Albertine Minderop, Psikologi Sastra, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), hlm. 53 52 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hlm.90 53Albertine Minderop. Op. Cit., hlm. 23


23 dan bersifat konservatif (berupaya memelihara keseimbangan) dengan memperbaiki keadaan kekurangan.54 b. Macam-macam Naluri Naluri yang terdapat dalam diri manusia bisa dibedakan dalam: eros atau naluri kehidupan (life instinct) dan destructive instinct atau naluri kematian (death instinct-Thanatos). Naluri kehidupan adalah naluri yang ditujukan pada pemeliharaan ego. Instinct bagi orang Perancis memunculkan pengertian kemahiran atau semacam penyesuaian biologis bawaan. Misalnya, pada hewan yang memiliki naluri tertentu. Berhubung kata ini tidak mencangkup dunia manusia, maka Freud menggunakan istilah lain yang disebutnya Pulsi. Pulsi seksual disebutnya libido: sedangkan pulsi non-seksual disebut alimentasi yang berhubungan dengan hasrat, seperti makan dan minum.55 c. Naluri Kematian dan Keinginan Mati Jika naluri kehidupan dimanifestasikan dalam perilaku penunjang kehidupan serta pertumbuhan, lain hal dengan naluri kematian. Naluri kematian (death instinct) menjadi dasar tindakan agresif dan destruktif. Hilgard dalam Albertine berpendapat bahwa meskipun kedua naluri tersebut berada di alam bawah sadar, tetapi mampu menjadi kekuatan motivasi. Naluri kematian dapat menjurus pada tindakan bunuh diri atau perusakan diri (selfdestructive behavior) atau bersikap agresif terhadap orang lain.56 d. Kecemasan (Anxitas) Hilgard dalam Albertine mengungkapkan situasi apapun yang mengancam kenyamanan suatu organisme diasumsikan melahirkan suatu kondisi yang disebut anxitas. Berbagai konflik dan bentuk frustasi yang menghambat kemajuan individu untuk mencapai tujuan merupakan salah satu sumber anxitas. Kondisi ini diikuti oleh perasaan tidak nyaman yang dicirikan dengan istilah 54Ibid, hlm. 24-25 55Ibid, hlm. 26 56Ibid, hlm. 27


24 khawatir, takut, tidak bahagia yang dapat kita rasakan melalui berbagai level.57 2. Mekanisme Pertahanan dan Konflik Pertahanan paling kuno seseorang dari ancaman-ancaman eksternal yang mengganggu disebut dengan denial of reality atau penolakan terhadap realita. Hilgard dalam Albertine mengatakan mekanisme pertahanan mengacu pada proses alam bawah sadar yang mempertahankannya terhadap kecemasan/anxitas. Mekanisme ini melindunginya dari ancaman-ancaman eksternal atau adanya impulsimpuls yang timbul dari kecemasan internal dengan mendistorsi realita dengan berbagai cara.58 Pada teori kepribadian umumnya, “mekanisme pertahanan merupakan karakteristik yang cenderung kuat dalam diri setiap orang.”59 Albertine mengungkapkan setidaknya ada sembilan jenis bentuk mekanisme pertahanan dan konflik yang mengacu pada Sigmund Freud, yakni represi, sublimasi, proyeksi, pengalihan, rasionalitas, reaksi formasi, regresi, agresi-apatis, dan fantasistereotype. a. Represi Salah satu mekanisme pertahanan yang kuat dan paling luas yaitu represi. Represi adalah suatu aktivitas mental di alam bawah sadar yang menjadi dasar dari cara kerja semua mekanisme pertahanan ego. Regresi berperan menolak impuls-impuls untuk keluar dari alam sadar yang dianggap mengancam dan tidak dapat diterima. b. Sublimasi Sublimasi sesungguhnya merupakan bentuk pengolahan diri dari suatu yang negatif ke arah yang cenderung lebih positif. Hal tersebut terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial (positif) mengganti perasaan tidak nyaman. c. Proyeksi 57Ibid, hlm. 28 58Ibid, hlm. 29 59Ibid, hlm. 31


25 Situasi yang memaksa seseorang melakukan penolakan dengan sikap,semisal bersikap kasar dan kritis kepada orang lain dengan dalih bahwa orang tersebut dirasa pantas menerimanya. Mekanisme yang tidak disadari melindungi kita dari pengakuan terhadap kondisi orang lain yang dianggap salah dinamakan proyeksi. d. Pengalihan Pengalihan perasaan tidak senang terhadap suatu objek ke objek lainnya yang lebih memungkinkan. Bentuk mekanisme pertahanan ini dengan cara mengkambing-hitamkan seseorang (atau objek lain) yang mana objek-objek tersebut bukan sebagai sumber frustasi, namun lebih aman untuk dijadikan sasaran. e. Rasionalisasi Hilgard dalam Albertine mengatakan bahwa rasionalisasi memiliki dua tujuan: pertama, untuk mengurangi kekecewaan ketika seseorang gagal mencapai suatu tujuan: kedua, memberikan seseorang motif yang dapat diterima atas perilaku yang dilakukannya. f. Reaksi Formasi Represi akibat impuls anxitas kerap kali diikuti oleh kecenderungan yang berlawanan, yang bertolak belakang dengan tendesi yang ditekankan, maka hal itu dinamakan reaksi formasi. g. Regresi Regresi mempunyai dua interpretasi. Pertama, regresi yang disebut retrogressive behavior yaitu perilaku seseorang yang mirip anak kecil, menangis dan amat manja agar memperoleh rasa aman dan perhatian orang lain. Kedua, regresi yang disebut primitivation ketika seorang dewasa bersikap sebagai orang yang tidak berbudaya dan kehilangan kontrol sehingga tidak sungkan berkelahi. h. Agresi dan Apatis Perasaan marah terkait erat dengan ketegangan dan kegelisahan yang dapat menjurus pada perusakan dan penyerangan. Agresi dapat berbentuk langsung (direct agression) dan pengalihan (displaced agression). Agresi langsung adalah agresi yang diungkapkan secara


26 langsung kepada seseorang atau objek yang merupakan sumber frustasi. Agresi peralihan ialah bila seseorang mengalami frustasi namun tidak dapat mengungkapkan secara puas kepada sumber frustasi karena tidak tau kemana ia harus menyerang, sehingga mencari “kambing hitam”. Sedangkan apatis merupakan bentuk lain dari reaksi terhadap frustasi, yaitu dengan menarik diri dan bersikap seakan-akan pasrah. D. Fanatisme 1. Definisi Fanatisme Hull dalam penelitian Tri Aryadi mengatakan bahwa kata fanatik berasal dari bahasa latin “fanum” yang berarti kuil atau daerah sekitar tempat suci, kuil Fortune dikenal dengan Fortunae Fanum dan orang-orang yang setia memuja kepada kuil tersebut disebut fanaticus.60 Bahasa latin “fanaticus” yang dalam bahasa Inggrisnya diartikan frantic atau frenzied adalah suatu kegilagilaan, kalut, mabuk, atau hingar bingar. Fanatik adalah sebuah pandangan kelompok yang membela tentang sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat akan keyakinannya, seperti yang pernah diungkapkan dalam Achmad Mubarok, salah satu guru besar Psikologi Universitas Indonesia terkait fanatisme. Dikemukakan bahwa seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak paham masalah kelompok lain, tidak mengerti paham selain yang mereka yakini. Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidakmampuan memahami individu orang lain yang berada di luar kelompoknya. Juga dapat diartikan dengan perasaan cinta berlebihan terhadap diri sendiri dan terlalu membanggakan kelebihan dirinya maupun kelompoknya kemudian berkembang 60 Tri Aryadi, “Pengaruh Fanatisme dan Tipe Kepribadian terhadap Perilaku Agresi pada Supporter Sepakbola”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2016, hlm. 38


27 menjadi rasa tidak suka serta benci kepada orang atau kelompok lainnya.61 Orang fanatik kadang-kadang sangat mengagumkan dalam menjalankan ibadah. Mereka sangat aktif dan setia. Sangat tekun dalam mendalami kitab suci. Dalam hal bersaksi mereka tidak pernah ketinggalan. Begitu juga saat memberi persembahan, mereka tidak tanggung-tanggung. Namun, kita sering dikejutkan oleh tindakan orang-orang fanatik, karena mereka dapat tiba-tiba berubah wajah menjadi garang, menuduh dan menghukum orang yang tidak setuju dengan pendapat mereka.62 Fanatisme merupakan fenomena yang sangat penting dalam budaya modern, pemasaran, serta pribadi sosial di masyarakat. Hal ini disebabkan karena budaya sekarang sangat berpengaruh besar terhadap individu dan hubungan yang terjadi di diri individu menciptakan suatu keyakinan maupun pemahaman berupa hubungan, kesetiaan, pengabdian, kecintaan, dan sebagainya.63 Sejalan dengan pendapat di atas, Emily Chung yang mengartikan fanatisme sebagai pengabdian luar biasa untuk sebuah objek, di mana pengabdian terdiri dari gairah, keintiman, dan dedikasi terhadap suatu objek yang mengacu pada merek, produk, orang (misalnya selebriti), acara televisi, atau kegiatan konsumsi lainya. Fanatik cenderung bersikeras terhadap ide-ide mereka yang menganggap diri sendiri atau kelompok mereka benar dan mengabaikan semua fakta atau argumen yang mungkin bertentangan dengan pikiran atau keyakinan.64 Achmalia dalam Boby Herlambang mengatakan bahwa fanatisme adalah salah satu bentuk dari rasa cinta yang diyakini telah memberikan kontribusi yang besar dalam hidup. Fanatisme 61 Aditya Rizky Gunanto, Jurnal Visi Komunikasi. Representasi Fanatisme Supporter dalam Film Romeo dan Juliet. Publikasi Mercubuana, 2015 62 Yahya Wijaya, Iman atau Fanatisme, (Jakarta: Gunung Mulia, 2012), hlm. 1 63 Seregina, Koivisto, dan Mattila., Fanaticism its Development and Meanings in Costumers Lives, Journal of Aalto University School of Economics, 2011 64 Emily Chung, dkk., Exploring Costumer Fanaticism: Extraordinary Devotion in the Consumption Context,Journal of Advance in Consumer Research, volume 35, 2008


28 juga berarti sebagai semangat untuk mengejar suatu tujuan tertentu, disertai manifestasi emosional yang sangat kuat tanpa dasar rasional objektif dan akseptual yang cukup. Pada artikel yang sama, mengutip dari pemikiran Wolman bahwa fanatisme merupakan suatu antusiasme pada suatu pandangan tertentu yang diwujudkan dalam intensitas emosi dan sifatnya ekstrim.65 Kata fanatik sering digunakan dalam kombinasi dengan kata lain, seperti dalam “fanatik agama”. Sebenarnya ada banyak kesamaan antara pendukung agama, sepakbola, musik, dan lainlain, yaitu adanya kecenderungan untuk memandang rendah mereka yang bukan anggotanya, selain dari mencemooh dan intoleransi. Hull dalam Tri Aryadi mengatakan pada abad ke-19 kata fanatik sering digunakan dengan cara yang lebih ringan untuk menggambarkan siapa saja yang menyibukkan diri dengan sesuatu atau aktivitas tertentu, misalnya seseorang yang fanatik tentang musik atau olahraga.66 Berdasarkan penjelasan mengenai fanatisme, maka dapat disimpulkan bahwa fanatisme adalah suatu antusiasme (termasuk menyangkut keyakinan) yang menjurus pada pandangan tertentu, lalu diwujudkan dalam intensitas emosi dan bersifat ekstrim. 2. Ciri-ciri Fanatisme Mukti Ali dalam tulisannya tentang ideologi jihadis di Indonesia mengungkapkan beberapa ciri-ciri fanatisme agama, di antaranya: a. Anti Thaghut, maksudnya anti terhadap siapapun yang tidak menyembah Allah dan melampaui batas terhadap-Nya; b. Takfir, merupakan pandangan takfir (pengkafiran) kepada individu, kelompok, dan paham lain yang menurutnya tidak sesuai dengan ketentuan Allah; c. NKRI negara kafir, bagi orang-orang 65 Boby Herlambang, ”Hubungan Antara Kesepian (Loneliness) dengan Kecenderungan Fanatik terhadap Hewan pada Komunitas Pecinta Hewan”,Skripsi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya: 2018, hlm. 8 66 Tri Aryadi, Op. Cit., hlm. 39


29 fanatik NKRI dan pemerintahannya adalah kafir dari berbagai sisinya.67 Wolman dalam Herlambang mengatakan fanatisme adalah antusiasme yang diwujudkan melalui taraf emosi yang sifatnya ekstrim. Ciri-ciri fanatisme yakni: a. Kurang rasional, seseorang dalam bertindak atau mengambil keputusan tidak disertai pemikiran-pemikiran yang rasional dan cenderung bertindak dengan mengedepankan emosi; b. Pandangan yang sempit, seseorang lebih mementingkan kelompoknya dan menganggap apapun yang ada dalam kelompoknya sebagai sesuatu yang paling benar, akibatnya cenderung menyalahkan kelompok lain; c. Bersemangat untuk mengejar tujuan tertentu, adanya tujuan-tujuan yang sangat ingin diraih, sehingga mempunyai perasaan menggebu-gebu guna mencapai tujuan tersebut.68 Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan ciriciri fanatisme adalah sebagai berikut: a. Kurang Rasional; b. Pandangan yang sempit; c. Bersemangat untuk mengejar tujuan tertentu. 3. Aspek-aspek Fanatisme Goddard dalam Herlambang menjabarkan aspek-aspek yang mempengaruhi fanatisme yaitu: a. Besarnya minat dan kecintaan pada satu jenis kegiatan. Fanatisme terhadap satu jenis aktivitas tertentu merupakan hal yang wajar. Dengan fanatisme, seseorang akan mudah memotivasi dirinya untuk lebih meningkatkan usahanya dalam aktivitas yang diminati; b. Sikap pribadi maupun kelompok terhadap kegiatan tersebut. Hal ini adalah suatu esensi yang sangat penting, mengingat ini merupakan penjiwaan untuk memulai kegiatan yang akan dilakukan; c. Lamanya individu menekuni satu jenis kegiatan tertentu. Ketika 67 Mukti Ali, Ustadz Aman Abdurrahman Ideolog Islamisme Jihadis Indonesia, makalah dipresentasikan pada Seminar Keislaman tanggal 10 November di Jakarta 2016, hlm. 7- 11 68 Herlambang, Op. Cit., hlm. 9-10


30 melakukan sesuatu haruslah ada perasaan senang dan bangga terhadap apa yang dikerjakan. Kegiatan tersebut lebih bermakna bila pelakunya memiliki kadar kecintaan terhadap apa yang dilakukan; d. Motivasi yang datang dari keluarga cukup berpengaruh pada seseorang dalam menjalani kegiatannya. Dukungan keluarga atau orang terdekat turut andil besar mempengaruhi munculnya fanatisme.69 Berdasarkan beberapa penjelasan di atas disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam fanatisme terdiri dari: a. Besarnya minat dan kecintaan pada satu jenis kegiatan; b. Sikap pribadi maupun kelompok terhadap kegiatan yang dilakukan; c. Lamanya individu menekuni kegiatan tersebut; d. Motivasi keluarga dan orang terdekat. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fanatisme Mengutip perkataan Andar Ismail dalam Herlambang faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan fanatik yaitu: a. Antusiasme berlebihan, maksudnya seseorang yang mempunyai semangat berlebihan kemudian tidak berdasar kepada akal sehat melainkan berdasar hanya kepada emosi yang tidak terkendali. Ketiadaan akal sehat mudah membuat orang melakukan apapun untuk mencapai keinginannya, sehingga orang tersebut dapat melakukan hal negatif yang cenderung merugikan diri sendiri dan orang lain; b. Faktor pendidikan, jika seseorang dibekali pendidikan dan wawasan luas maka akan menimbulkan benihbenih sikap dan simpati atau fanatisme yang positif. Sebaliknya, pengajaran yang sempit menciptakan benih-benih fanatisme ke arah fanatisme negatif. Ketika seseorang memiliki pendidikan yang kurang akan sulit baginya untuk memahami serta menempatkan sesuatu sesuai porsi dan tempatnya.70 Pendapat lain dikemukakan Haryatmoko tentang faktor penyebab fanatik. Ia membaginya ke dalam empat hal, yakni: a. 69Ibid., hlm. 9 70Ibid., hlm. 10


31 Memperlakukan kelompok tertentu sebagai ideologi. Hal ini terjadi jika ada kelompok yang menggunakan pemaknaan eksklusif dalam memaknai hubungan-hubungan sosial; b. Sikap standar ganda. Satu kelompok dengan kelompok lainnya selalu memakai standar yang berbeda untuk anggotanya masing-masing; c. Komunitas dijadikan legitimasi etis hubungan sosial. Sikap tersebut merupakan klaim terhadap tatanan sosial yang mendapat dukungan dari kelompok tertentu; d. Klaim kepemilikan organisasi oleh kelompok tertentu. Pada sikap demikian, seseorang seringkali mengidentikkan kelompok sosialnya dengan organisasi tertentu yang berperan aktif di masyarakat.71 Wolman berpendapat bahwa fanatisme disebabkan oleh tiga faktor utama, di antaranya: faktor kebodohan, cinta golongan atau daerah tertentu, dan figur atau tokoh kharismatik. a. Kebodohan: fanatisme ini dipengaruhi oleh kebodohan dalam diri individu, sebab individu tersebut tanpa mengerti benar, tanpa pengetahuan cukup dalam mengikuti suatu pilihan dan hanya mengendalikan keyakinannya saja. b. Cinta golongan atau daerah tertentu: sikap fanatisme dipengaruhi rasa cinta yang berlebihan pada satu golongan atau daerah tertentu tanpa pikir panjang. Hati dan pikirannya tertutup sehingga tidak rasional dan tidak objektif dalam menilai kelompok atau daerah lain. c. Figur yang kharismatik: fanatisme turut dipengaruhi oleh figur atau tokohtokoh yang memiliki kharisma karena faktor keturunan, kesukaan, daerah, dan rasa kagum yang berlebihan terhadap tokoh tersebut.72 E. Penelitian Relevan Penelitian relevan merupakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan mengangkat tema, subjek, pendekatan dan sebagainya yang hampir serupa. Penelitian ini digunakan untuk membandingkan antara penelitian orang lain dengan penelitian yang 71Ibid., hlm. 11-12 72Ibid., hlm. 12


32 peneliti lakukan. Berikut ini akan dipaparkan beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian relevan pertama adalah skripsi milik Windari Dewi tahun 2018 yang merupakan mahasiswa STKIP PGRI Sumatera Barat. Penelitiannya berjudul “Nilai-nilai Sosial dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari” menggunakan metode deskriptif analisis. Berdasarkan data yang telah ditemukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Pertama, bentuk-bentuk nilai sosial yang terdiri dari nilai kasih sayang berupa pengabdian, tolong menolong, kekeluargaan, kesetiaan dan kepedulian. Nilai tanggung jawab berupa nilai rasa memiliki, disiplin, dan empati. Nilai keserasian hidup berupa keadilan, toleransi, kerja sama, dan demokrasi. Kedua, fungsi nilainilai sosial yang terdiri dari faktor pendorong cita-cita atau harapan bagi kehidupan sosial, petunjuk arah, dan alat perekat solidaritas sosial di dalam kehidupan kelompok. Penelitian ini mengungkapkan permasalahan seputar gejala nilainilai dalam kehidupan sosial tokoh-tokoh dalam novel Lingkar Air Lingkar Tanah. Kemudian dikelompokkan menjadi tiga poin utama, yakni nilai kasih sayang, tanggung jawab, dan nilai keserasian hidup. Dengan metode deskriptif, maka analisis yang dilakukannya berupa penjabaran-penjabaran lebih mendalam tentang nilai-nilai sosial yang secara alami muncul sebagai perilaku tokoh Amid, Kiram, Kang Suyud, Kyai Ngumar dan lainnya saat masa perang melawan penjajah dan pemberontakan orang-orang DI terhadap pemerintah resmi. Penelitian relevan selanjutnya berjudul “Gambaran Masalah Sosial Masyarakat dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah”. Diteliti oleh Marcita Fajarwati mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2018. Marcita Memakai metode sosiologi sastra untuk melihat refleksi kondisi masyarakat di masa revolusi Indonesia dengan berbagai perubahan sosial politik yang ada di dalamnya. Berdasarkan hasil penelitiannya realitas sosial dalam


33 teks Lingkar Tanah Lingkar Air meliputi lima hal; konflik IndonesiaBelanda, kemiskinan, kesenjangan sosial, masalah generasi muda, dan konflik antargolongan masyarakat. Penelitian berikutnya dilakukan oleh mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta bernama Agung Dwi Prasetyo pada tahun 2006. Skripsinya berjudul “Proses Aktualisasi Diri Tokoh Amid dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari” menitikberatkan pembahasan terhadap dua hal: 1) deskripsi kepribadian tokoh Amid pada novel Lingkar Tanah Lingkar Air, dan 2) deskripsi masalah serta pemecahan masalah yang dialami tokoh Amid dalam proses aktualisasi diri. Kepribadian tokoh Amid dipengaruhi oleh ego, id, dan super ego. Ketiga sistem kepribadian itu saling bekerja dengan prinsip yang saling berbeda namun ketiganya berfungsi sebagai satu kesatuan dalam kepribadian manusia. Selain itu terdapat beberapa pemenuhan kebutuhan dalam proses aktualisasi, seperti kebutuhan rasa aman, kebutuhan fisiologis, dan kebutuhan harga diri. Fokus kajian peneliti dalam skripsi ini menyangkut proses aktualisasi diri tokoh utama novel Lingkar Tanah Lingkar Air. Mendeskripsikan dengan rinci bentuk kepribadian Amid dalam berinteraksi terhadap komunitas maupun lingkungan di luar komunitasnya. Secara umum penelitian ini menggambarkan sikap dan tindakan tokoh Amid berdasarkan sistem kepribadiannya dalam usaha memenuhi kebutuhan batin pada masa-masa gerilya dan konflik di awal kemerdekaan Indonesia.Persamaan penelitian di atas dengan penelitian yang akan peneliti lakukan terletak pada metode penyajian yaitu deskriptif analisis. Sedangkan perbedaannya terlihat dari tema yang diangkat, sebab penelitian di atas membahas proses aktualilasi salah satu tokoh (Amid), berbeda dengan tema fanatisme tokoh-tokoh di dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air yang peneliti akan kaji. Penelitian selanjutnya mengenai kontruksi moralitas yang ada di dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air. Diteliti oleh Asih Nurjanah


34 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto pada tahun 2017 dengan judul “Moralitas Tokoh Utama pada Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari dalam Perspektif Dekontruksi”. Peneliti mendeskripsikan moralitas tokoh utama dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari dengan menggunakan teori moralitas tiga jenis ajaran moral yaitu, (1) Hubungan manusia dengan diri sendiri, (2) Hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial dan lingkungan alam, (3) Hubungan manusia dengan Tuhannya. Kesimpulan dari hasil penelitian ini terkait dengan Moralitas Tokoh Utama dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air karya Ahmad Tohari, bahwa moralitas tokoh utama pada dasarnya buruk berdasarkan tiga jenis ajaran moral menurut Nurgiyantoro. Namun, dekonstruksi membalikkan fakta mengenai moralitas tokoh utama yang pada dasarnya buruk ternyata masih memiliki sisi baik. Sisi baik tokoh utama dapat terlihat dari sikap yang dirinya lakukan. Namun dekonstruksi tetap kembali pada tatanan awal bahwa memang pada dasarnya moralitas dari tokoh utama adalah buruk. Penelitian relevan terakhir mengenai fanatisme pernah dilakukan pada tahun 2016 oleh Ahmad Darmawan Hasibuan yang merupakan mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Penelitiannya berjudul “Fanatisme terhadap Sepak Bola pada Tokoh Bayu dan Heri dalam Novel Garuda di Dadaku karya Salman Aristo: Tinjauan Psikologi Sastra”. Skripsi yang sama-sama membahas fanatisme ini menampilkan peristiwa psikologi yang cukup kompleks, terlihat dari batin dan tindakan yang muncul pada diri tokoh Bayu dan Heri, sehingga memberi gambaran secara umum tentang perilaku fanatik seseorang, meskipun novel yang diteliti berbeda. Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra dengan memfokuskan penelitiannya pada dua tokoh di dalam novel tersebut, yakni Bayu dan Heri. Menurutnya struktur kepribadian yang dikemukakan Freud, fanatisme termasuk ke dalam lapis id karena id berkaitan dengan insting agresif manusia yang membutuhkan pemenuhan dengan


35 segera, tanpa memperhatikan lingkungan dan realitas yang ada.Ahmad Darmawan meneliti perilaku kejiwaan tokoh-tokoh yang dimaksud dengan kesimpulan fenomena fanatisme menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Berdasarkan beberapa penelitian relevan di atas, maka dapat diketahui adanya persamaan dan perbedaan dalam hasil analisis yang dilakukan. Perbedaan tersebut terletak pada subjek penelitian dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, sedangkan persamaannya yakni menganalisis novel yang sama serta metode dan teori yang digunakan dalam penelitian.


BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN AHMAD TOHARI A. Biografi Ahmad Tohari Ahmad Tohari dikenal sebagai pengarang trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dinihari (1985), dan Jantera Bianglala (1986). Dia lahir 13 Juni 1948 di Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah dari keluarga santri. Ayahnya adalah seorang kiai (pegawai KUA) dan ibunya pedagang kain. Ahmad Tohari menikah tahun 1970 dengan Siti Syamsiah yang bekerja sebagai guru SD. Dari perkawinannya itu, ia dikaruniai lima orang anak.1 Ahmad Tohari mengantongi ijazah SMAN II Purwokerto, kemudian ia kuliah di Fakultas Ekonomi, Unversitas Jenderal Sudirman (UNSOED), Purwokerto, 1974—1975. Selanjutnya, ia pindah ke Fakultas Sosial Politik (1975—1976) juga hanya dijalaninya selama satu tahun, lalu pindah ke Fakultas Kedokteran YARSI, Jakarta, tahun 1967—1970, tetapi tidak tamat. Akhirnya, ia memilih tetap tinggal di desanya, Tinggarjaya, mengasuh Pondok Pesantren NU Al Falah. Ahmad Tohari pernah bekerja di BNI 1946, sebagai tenaga honorer, yang mengurusi majalah perbankan tahun 1966—1967. Dia juga bekerja di majalah Keluarga tahun 1979— 1981 dan menjadi redaktur pada harian Merdeka, majalah Amanah, dan majalah Kartini. 2 Tohari menikah pada usia 22 tahun dengan menyunting gadis desanya yang ketika itu merupakan guru sekolah dasar. Tohari terus memproses dirinya sebagai pengarang yang setia tinggal di kampung. Ia mengaku tidak menyukai dunia kota. Menurutnya kampung memiliki suasana bersahaja dan dekat nilai religi. Selain itu, di kampung halamannya ia bisa mengurus Pondok Pesantren Al Falah yang didirikan orang tuanya sejak tahun 1975. 1 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Ahmad Tohari (1948 - …), 2019, (http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Ahmad_Tohari ) diakses 14 Januari 2020 2 Ibid.,


37 Lelaki kelahiran 1948 itu, memulai dunia tulis menulis sejak 1971. Sebelumnya sama sekali tidak pernah memikirkan bakal terjun ke dunia itu. Berbagai jenis tulisan mulai menghiasi media massa, mengungkapkan kejelian pengamatan serta sedikit keras. “Saya menulis kejadian sekitar saya kok. Tugas saya sebagai pengarang, ya memberi motivasi, menyadarkan mereka yang berbuat keliru. Pokoknya yang ada kronik pemikiran”. Kekecewaan dan kekesalan hatinya tidak disembunyikan. Apalagi Tohari terkenal orang panas, bicara keras, selalu mengkritik segala kejadian yang menyimpang dengan hati nuraninya. Itulah makanya kala jadi wartawan dan redaktur harian Merdeka, sejenak kemudian dilepas.3 Persis tahun 1981 Tohari mengundurkan diri dari jabatannya itu. Ia terpaksa melakukannya karena ingin berkumpul bersama anak-anaknya di desa. Sebab di Jakarta ia berjauhan dengan anak dan istrinya. Untuk dibawa ke Jakarta ia mengalami kesulitan karena harus memiliki tempat tinggal untuk keluarga, yang berarti pengeluarannya semakin bertambah. Pernah suatu ketika Tohari membawa anak-anaknya ke Jakarta ternyata tidak betah. “Yah, meskipun amat berat melepaskan jabatan tersebut, namun demi cinta saya kepada keluarga saya terpaksa pulang ke desa jadi orang biasa lagi.” Kata Tohari sambil menghela napas panjang.4 Sebenarnya, saat masih belajar di SMA, ia telah menulis, tetapi tulisannya hanya disimpan di laci meja belajarnya. Selepas SMA, barulah ia mengirimkan karyanya itu ke berbagai media massa, salah satunya ke Kompas. Momen yang membuat semangat menulisnya menggebu-gebu adalah saat cerpennya "Jasa-Jasa buat Sanwirya" memenangi Hadiah Harapan Sayembara Cerpen ”Kincir Emas” Radio Nederland Wereldomroep (1977). Novel “Di Kaki Bukit Cibalak” memperoleh salah satu hadiah Sayembara Penulisan Roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tahun 1979. “Kubah” yang diterbitkan oleh 3 “Ahmad Tohari pengarang kampung menghindari keramaian dan cinta”.Kedaulatan Rakyat, 3 Oktober 1984, hlm.7 4 “Ahmad Tohari, Novelis dari Desa Tinggarjaya”, Yudha Minggu, 9 Desember 1984, hlm. 4


38 Pustaka Jaya, mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai bacaan terbaik dalam bidang fiksi tahun 1980. Novel “Jantera Bianglala” dinyatakan sebagai fiksi terbaik (1986). Hadiah berupa uang Rp1.000.000,00 diserahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan. Melalui novelnya yang berjudul “Bekisar Merah”, Ahmad Tohari meraih Hadiah Sastra ASEAN tahun 1995.5 B. Pemikiran Ahmad Tohari Kegemaran menulis cerpen dan artikel sudah muncul ketika masih mengenyam bangku sekolah, namun Tohari baru mulai mengirim karyanya selepas lulus SMA. Beberapa cerpennya lolos sensor redaksi Harian Kompas dan artikelnya juga muncul di berbagai penerbitan ibukota. Dari menulis cerpen dan artikel itulah Tohari mulai belajar menulis novel. Dasar punya bakat yang hebat dan belajar otodidak meskipun tanpa pembimbing, ia tanpa kesulitan berhasil merampungkan novel pertamanya tahun 1977 berjudul “Di Kaki Bukit Cibalak”.6 Sastrawan Ahmad Tohari terkenal sebagai sastrawan bernafas religi dengan hampir semua karyanya menyuarakan nilai-nilai atau pesan-pesan moral dan pandangan hidup Islami. Pesan-pesan moral tersebut disampaikannya dengan cara yang implisit melalui simbol-simbol yang lebih halus sehingga terasa lebih sublimatis. Hal ini berbeda dengan kecenderungan cara penyampaian sastrawan lain, seperti AA Navis, Hamka, dan Jamil Suherman yang sering mengungkapkan nilai-nilai tersebut secara formal, eksplisit, bahkan seringkali berkesan verbal.7 Pengungkapan gagasan dalam karya fiksi ini seharusnya bisa dianggap kelebihan dan kejelian Tohari di balik kesederhanaan bahasa yang diungkapkan.8 Kehidupan Ahmad Tohari sebagai orang Jawa dilatarbelakangi unsur-unsur budaya Jawa dan kehidupan yang sejak kecil telah akrab dengan surau dan masjid. Lingkungan seperti itulah yang ternyata banyak 5 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Op.Cit., 6 “Ahmad Tohari, Novelis dari Desa Tinggarjaya”, Op. Cit., 7Nur Sahid, ”Pesan Moral Islami Novel dan Cerpen Ahmad Tohari”, Suara Karya,edisi XXV No. 7661, 25 Februari 1996, hlm. 6 8 Ibid, hlm. 7


39 mempengaruhi karya-karyanya. Disadari atau tidak, tradisi budaya dan ideologi yang mengelilinginya menjadi inspirasi tersendiri dalam menciptakan novel yang berkualitas. Wawasan imajinasi serta pengalamannya tidak terlepas dari aspek sosial budaya yang sudah dianutnya sejak masih anak-anak. Namun dari itu semua, ada hal yang dijadikan patokan agar tidak salah dalam memahami maksud adanya hubungan latar belakang dan karya sastra, yaitu bahwa karya sastra bukan merupakan “salinan” biografi Ahamd Tohari.9 Tohari pernah berkata bahwa dalam menyampaikan pesan Islami kepada pembaca, hendaknya kita hanya membimbing sehingga tak boleh berkhotbah dan menggurui. Menurutnya cara-cara seperti itulah sesungguhnya yang dahulu dilakukan oleh wali songo, sehingga tampaknya cara-cara tersebut dijadikan pijakan Tohari dalam menyisipkan pesan dalam karya-karyanya.10 Sejalan dengan hal demikian, Tohari mengatakan banyak cara yang dilakukan untuk berdakwah, salah satu cara yang ditempuhnya adalah menulis karya sastra yang menyuarakan pesan Illahi. Karya-karyanya mencerminkan Kekaffahan pengarang dalam menyuntuki Islam, sekaligus menunjukkan komitmen Tohari terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarahat.11 Kang Tohari, begitu ia senang dipanggil, mengaku cukup akrab dengan masyarakat pedesaan. Tumbuh dan besar dalam lingkungan desa yang jauh dari kesan ramai dan hingar-bingar serta terdidik dari keluarga yang islami, membuat penghayatan hatinya terus terlatih. Selain itu, posisinya di pesantren juga memudahkan pergaulannya dengan berbagai lapisan, termasuk masyarakat bawah. Dari sini ia menyerap berbagai problematika dan warna kehidupan untuk diolah ke dalam novel-novelnya.12 Wartawan koran Kedaulatan rakyat pada tahun 1984 pernah mengunjungi kediaman Tohari di daerah Jatilawang, Purwokerto untuk 9 Restoe Prawironegoro, “Sastra Religius Ahmad Tohari”, Republika, 26 Oktober 2003, hlm. 8 10 Nur Sahid,Op. Cit.,hlm. 7-8 11 Ibid, hlm. 8 12 Indra Wisnu W., “Ahmad Tohari: Punokawan Saja!”, Republika, Th. 3 No. 246, 17 September 1995, hlm. 13


Click to View FlipBook Version