The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Abdan, 2023-01-13 07:26:11

lingkar

PENOKOHAN stabilo

40 melakukan wawancara dengannya. Pada kesempatan itu Tohari pernah mengatakan bahwa ia menulis kejadian yang ada di sekitarnya. Baginya tugas seorang pengarang adalah memberi motivasi, menyadarkan mereka yang berbuat keliru dan hal-hal yang dirasa memiliki kronik pemikiran. Kekecewaan dan kekesalan hatinya tidak disembunyikan. Apalagi ia terkenal sebagai orang yang ‘panas’ bicara keras, selalu mengkritik segala kejadian yang menyimpang dengan hati nuraninya.13 Pada sebuah kesempatan, Tohari mengatakan bahwa sastra Indonesia periode 1990-an akan sepi dengan karya-karya yang berbobot. Ia telah menulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk pada 1982-1985 berharap akan banyak muncul karya yang lain pada dekade itu tetapi kenyataannya tidak ada. Justru yang muncul pada 1990-an kebanyakan novel pop. Bahkan orang menilai pada periode ini kemungkinan besar sastra Indonesia akan dikuasai oleh novel jenis pop. Ia sedih melihat kelesuan kreativitas di bidang penulisan novel serius. Mengenai novel terbarunya ketika itu yang berjudul Lingkar Tanah Lingkar Air (LTLA) yang dimuat bersambung dalam harian Republika, sesungguhnya lahir terlalu dipaksakan. “Dalam kondisi kelesuan seperti ini, sebetulnya saya tidak sanggup menulis novel. Tetapi kenapa saya akhirnya menulis juga, karena saya merasa punya “utang” moral seandainya saya menolak permintaan mereka. Sebenarnya misi novel LTLA memiliki gagasan besar, namun lahir secara tergesa-gesa. Saya bilang sebuah gagasan besar sebab ada satu proses di bawah permukaan yang tidak begitu tampak, namun sebetulnya sangat masif dan besar, yakni proses kesadaran nasionalisme di kalangan para santri. Ini merupakan proses yang besar, tetapi orang malu membicarakannya.”14 Tohari mengatakan dahulunya istilah pribumi itu tidak ada, istilah itu dibuat oleh Boedi Oetomo. Orang-orang sebelum itu seperti Inggris, Portugis dan Cina menyebut orang Indonesia dengan sebutan selam, yang maksudnya adalah Islam. Istilah selam menunjukkan bahwa antara kebangsaan dan keagamaan sesungguhnya sudah padu menyatu, inklusif. 13“Ahmad Tohari: Pengarang Kampung Menghindari keramaian dan Cinta”, Op. Cit., 14Arief Sentosa, “Bayi Prematur Ahmad Tohari”, Jawa Post, 21 Februari 1993, hlm. 8


41 Tidak seperti sekarang yang membedakan kaum abangan atau santri. Yang jelas agama itu sudah menjadi ciri, bagian integral dari bangsa Indonesia. Namun setelah muncul organisasi seperti NU, Muhammadiyah, dan sebagainya, mulai memudar keinklusifan tersebut. Organisasi pembaharu itu telah mengeksklusifkan kembali Islam. Sehingga kemudian agama hanya faktor dari kebangsaan, bukan bagian yang integral. Dalam novel LTLA itu gambaran orang selam tersebut dikemukakan lewat pergulatan politik seorang laskar Hisbullah.15 Ketika ditanya oleh wartawan mengenai target menulis novel, Tohari mengatakan sastra harus punya jejak. Baginya sastra harus bertujuan untuk kemaslahatan bersama, sastra harus mempertinggi tingkat peradaban manusia. Dalam lingkup negara, maka sastra harus dapat memperkaya batin orang Indonesia. Menurutnya orang Islam yang dominan di Indonesia telah melalukan suatu tindakan yang naif secara massal yaitu soal eksklusivisme. “Saya pikir, kita sudah benar seperti dulu, zaman selam itu. Jadi antara semangat kebangsaan dan keagamaan menjadi satu. Tujuan akhir dari kepentingan ini adalah tujuan nasional. Itu sebabnya sastra harus memiliki tujuan, karena saya ingin memberikan kontribusi kepada bangsa. Dan bila pemikiran saya diterima, menjadi esensi luar biasa untuk kemajuan bangsa ini.”16 Kalau diamati secara jeli, Tohari berterus terang bahwa sebenarnya terdapat benang merah antara novel Ronggeng Dukuh Paruk dengan novel Lingkar Tanah Lingkar Air, yakni semangat nasionalisme yang disembunyikan secara implisit. Tema yang diangkat tidak berubah dari masalah kebersamaan, keadilan, dan ketuhanan. Ia mengakui dirinya sangat teistik dan Indonesia pun negara teistik (ketuhanan).17 Pandangan Tohari yang lain terkait sastra masa kini terlihat saat menghadiri acara Penghargaan Achmad Bakrie 2015 di Djakarta Teater. Katanya, “Sudah sejak lama dunia sastra Indonesia dipinggirkan. Pemerintah mengabaikan sastra karena menganggap sastra tidak penting. Padahal sastra 15 Ibid, 16 Ibid, hlm. 9-10 17 Ibid, hlm. 10


42 itu dapat menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri. Sekarang itu yang kurang adalah orang perasa karena sastra tidak pernah diperhatikan. Kebanyakan sastrawan adalah kaum papa yang menulis dengan penderitaan.” Di lain hal, Tohari mengaku karya sastra belum terserap oleh masyarakat melihat dari jumlah eksemplar buku-buku sastra yang sedikit. Maka perlu dilakukan terobosan penyampaian sastra kepada masyarkat, terutama kalangan pelajar. Cara yang paling efektif adalah dengan memberi buku sastra kepada sekolah-sekolah secara gratis. Kemudian, dibarengi oleh sikap tegas pemerintah terhadap sistem yang tidak memberi ruang untuk kesusastraan.18 18“Ahmad Tohari: Dunia Sastra Indonesia Dipinggirkan”, Suara Karya, Th. 44, No. 14549, 29 Agustus 2015


BAB IV ANALISIS MASALAH A. Analisis Unsur Intrinsik 1. Tema Tema merupakan pokok pikiran yang mendasari sebuah cerita. Tema hadir secara implisit melalui berbagai motif. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air menghadirkan tema ketidakpastian situasi sosial politik Tanah Air pascaagresi militer Belanda yang menyeret kehidupan kaum santri ke dalam lingkaran yang sama sekali tak terduga. Kaum santri yang mau tidak mau terasosiasi langsung dengan apa yang disebut pemuda, oleh pemerintah diwajibkan untuk turut serta mengusir penjajah. Revolusi sedemikian cepat lajunya, sehingga pemuda yang tak dibekali dengan wawasan selayaknya terombang-ambing dalam kemelut saat itu. Pengarang mengemasnya melalui tokoh Aku dan para santri lain yang semula hanya bercita-cita membantu tentara republik mengusir penjajah, di kemudian hari justru dihadapkan pada kondisi yang sangat berlawanan, yakni menjadi musuh tentara republik. ...Tetapi di Somalangu saat itu pikiran pribadiku lenyap digulung oleh emosi massa yang bersenjata. Apalagi satu hari kemudian datang serbuan dari pasukan Republik. Ya Tuhan, kemarin aku hampir dilantik menjadi anggota pasukan resmi itu, namun sekarang aku harus menghadapinya. Sebenarnya aku sendiri tak rela menganggap mereka musuh. Tetapi di kancah pertempuran aku harus memilih satu di antara dua: menembak atau tertembak.1 Kutipan tersebut menunjukkan bahwa tokoh Aku yang mewakili kaum santri yang diikutkan perang, sebetulnya berada pada kondisi yang ia sendiri tak menduganya sama sekali. Itu terjadi setelah Belanda berhasil diusir kembali dari Bumi Pertiwi. Tentara Republik meminta secara resmi kepada Laskar Hizbullah untuk meleburkan diri. Hingga sampai pada titik ini, sebetulnya terjadi silang pendapat antara Kiai Ngumar, kiai dari santri-santri itu, dengan Kang Suyud terkait hal tersebut. 1 Ahmad Tohari, Lingkar Tanah Lingkar Air, (Jakarta: PT Gramedia, 2015), hlm. 83


44 “Jawab dengan jelas, Kiai!” kata Kang Suyud kasar. Aku mulai cemas. “Kiai memilih Islam atau Republik?” “Baik. Nah, Anak-anak, saksikanlah jawabanku ini: dalam rangka melaksanakan ajaran Islam sendiri, aku memilih Republik. Aku makmum kepada Hadratus Syekh!”2 Sejak itu, gerakan laskar Hizbullah yang menolak melebur dengan tentara republik dimulai. Mereka menamai dirinya dengan sebutan Angkaran Oemat Islam. Gerakan inilah yang sebetulnya menjadi musuh pemerintah. Akan tetapi, pada akhirnya sebagian laskar Hizbullah yang sudah siap untuk meleburkan diri itu pun menjadi bagian dari pasukan pemberontak. Melalui tokoh Aku, pengarang menampilkan gambaran sekelompok orang yang sebenarnya bukan pilihannya berada pada posisi menjadi pemberontak. Oleh sebab tindakan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mereka harus menempuh hidup sebagai buronan. Bersembunyi dari hutan ke hutan yang lain selama bertahuntahun. “Sebelum Amid bicara, aku sudah mengerti apa yang diinginkannya sekarang ini,” sela Jun. “Kamu ingin turun gunung dan menyerahkan diri. Iya, kan?” “Soal itu aku sudah tahu. Amid ingin hidup normal di kampung bersama istri dan anak yang kini dalam kandungan. Keinginan yang wajar. Jun, aku, dan kamu pun menginginkan hal itu. Iya apa tidak?”3 Kondisi sudah demikian keruh sehingga mereka tak bisa dengan mudah menyerahkan diri untuk hidup sebagaimana orang biasa. Tak ada jaminan selamat walau menyerahkan diri, justru gambaran mengerikan yang selalu muncul sehingga mereka terus bersembunyi dan tak berdaya dicap sebagai pemberontak. Terlebih, citra gerakan Darul Islam yang sudah buruk itu semakin diperparah dengan adanya pencatutan nama oleh kelompok yang mencari kesempatan di tengah kesempitan. Orang-orang OPR yang sudah disusupi Gerakan Siluman 2 Ibid, hlm. 76 3 Ibid, hlm. 96-97


45 merampok warga desa mengatasnamakan DI. Dengan begitu, mereka bisa dengan leluasa merampok apapun yang mereka mau. “Mid, semuanya menjadi jelas ketika polisi menangkap gerombolan perampok itu. Betul, mereka adalah pemuda-pemuda, satu di antaranya seorang guru, komunis. Ketika tertangkap mereka dalam seragam OPR, dan lampu baterai yang ada di antara mereka milik seorang lurah yang dikenal komunis juga.”4 Novel ini sekaligus memberi gambaran tentang kuatnya komunisme di Indonesia kala itu. Kutipan di atas menunjukkan sikap orang-orang komunis yang seringkali semaunya sendiri, bahkan turut memperkeruh suasana.Mereka berada di barisan pemerintah, sehingga meski tindakan-tindakannya acapkali tidak selaras dengan pikiran masyarakat secara umum, namun keberadaannya selalu disegani. Apalagi dengan adanya DI yang dinyatakan musuh pemerintah, orangorang komunis bisa leluasa mencuri panggung, mengagitasi masyarakat untuk bersama-sama memerangi DI. Namun, cerita ini berakhir dengan perubahan yang drastis pula. Setelah Kartosuwiryo, Khalifah DI, tertangkap dan menyerukan kepada seluruh laskar DI untuk setia kepada pemerintah, mereka mendapat pengampunan dari pemerintah dan dibolehkan untuk kembali ke dalam masyarakat.Beberapa tahun berselang, geger politik ulah komunis membuat mantan laskar DI kembali berjuang, namun kali ini berjuang di sisi pemerintah.Komunis yang sempat sangat kuat dan memusuhi DI, kini malah diburu oleh mantan laskar DI. Ya, sekarang aku berada dalam sebuah perjalanan menuju pertempuran yang lain, sangat lain. Kini aku akan berperang atas nama Republik, sesuatu yang pernah sangat kurindukan dan gagal terlaksana. Tetapi kini semuanya akan menjadi kenyataan, dan aku bersama Kiram dan Jun, meski hanya sementara, menjadi bagian dari Tentara Republik. Ya, tak pernah kuduga, akhirnya aku mendapat peluang bertempur atas nama negara. Keharuan kembali merebak dan air mataku jatuh lagi.5 Mereka dibutuhkan karena paham dengan medan tempat para komunis bersembunyi. Walau semula hanya ditugaskan untuk menjadi 4 Ibid, hlm. 107 5 Ibid, hlm. 162


46 petunjuk jalan, namun berkat keberanian Kiram, mereka diizinkan untuk menjadi perintis untuk mendobrak pertahanan musuh. 2. Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah pelaku dalam sebuah cerita yang melakukan berbagai macam peristiwa baik berupa tindakan ataupun ucapan yang berfungsi sebagai penyampai pesan, amanat, moral, atau hal yang ingin pengarang sampaikan kepada para pembacanya. Adapun penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air menampilkan tokoh yang cukup banyak, namun dalam uraian ini yang dibahas hanya sejauh ia berpengaruh pada plot. Pertama ialah tokoh Aku yang bernama Amid sebagai tokoh utama. Dalam novel ini Amid mengaku sebagai santri dari Kiai Ngumar. Kehidupannya tidak jauh dari masjid yang dipimpin kiai kharismatik itu. Masa ketika Amid menjadi santri Kiai Ngumar tidak banyak dibicarakan, titik fokus novel ini memperlihatkan Amid ketika menjadi laskar Hizbullah dan selanjutnya laskar DI. Semula terjun membantu tentara Republik pada usia 18 tahunan. Hingga menjelang usia 30, tak dinyana hidup Amid ternyata masih dalam situasi memegang senjata. Ironisnya, Amid malah menjadi musuh pemerintah. Dalam usia hampir tiga puluh, aku tak punya apa-apa yang nyata dan pasti. Ya, sampai sejauh ini aku tak punya kepastian, apalagi sesuatu yang lebih nyata seperti rumah yang berisi anak dan istri. Memang, aku punya Umi, istriku. Tetapi aku tak punya kemapanan. Ya, kalau aku mau jujur, bahkan sesungguhnya aku tak punya harapan.6 Di medan pertempuran, Amid bukanlah sosok yang gagah berani. Mentalnya menghadapi musuh tidak sekuat Kiram, kawannya. Saat pertama kali ia berhadapan dengan tentara Belanda, dirinya malah tak berkutik manakala Kiram dengan gesit berhasil menumbangkan prajurit Belanda dan merampas senjatanya. 6 Ibid, hlm. 120-121


47 Apabila benar kemudian terjadi perang singkat, sebenarnya aku tak bisa menjadi saksi yang baik. Semuanya terjadi dalam ruang yang penuh kunang-kunang serta kesadaran yang kurang penuh. Ah, tetapi aku melihat Kiram melompat di atas tubuhku, melesat ke tengah jalan. Ya Tuhan. Kiram menyambar sebuah bedil yang tergeletak di sisi mayat pemiliknya, seorang serdadu Belanda. Kemudian semuanya baur kembali. Aku hanya mendengar perintah lari. Lari!7 Boleh dikatakan, Amid adalah orang yang berada dalam kondisi paling terjerumus. Hanya karena ia bekas Laskar Hizbullah, dan berada di kereta yang mengangkut ia dan bekas Laskar Hizbullah lainnya dalam tujuan menjadi pasukan resmi pemerintah, ia justru dicap sebagai pengkhianat manakala ia sendiri merasa dikhianati. Padahal sejak awal Amid bergabung bersama Laskar Hizbullah, ia adalah orang yang paling mendengarkan nasihat-nasihat Kiai Ngumar dan selalu menjadikan itu sebagai pedoman hidupnya. Amidlah orang yang pertama kali menyatakan sikap hendak bergabung dengan pasukan resmi pemerintah. “Ya, saya setuju,” jawabku. “Sebaiknya kita bergabung dengan mereka karena jumlah kita tak banyak.”8 Itu adalah jawaban Amid saat pertama kali ia dan kawan-kawannya yang diketuai oleh Kang Suyud hendak membentuk barisan sendiri bersama Laskar Hizbullah. Hanya dirinya yang menyatakan sikap demikian di antara kawan-kawannya yang sudah bulat tidak ingin bergabung bersama pasukan resmi pemerintah. Hampir Amid sendiri bergabung dan berjuang di sisi pemerintah, namun Kiai Ngumar menganjurkannya untuk tetap bersama-sama dengan Kang Suyud dan lainnya agar tidak timbul perpecahan. Jalan hidup yang dipilih Amid memang tidak pernah jauh dari pandangan-pandangan Kiai Ngumar. Amid merasa dirinya adalah santri Kiai Ngumar dan sebab itu perlu untuk mendengarkan petuahnya. Tak hanya itu, dalam kondisi yang tidak aman, hanya Amid yang merasa perlu untuk bertemu Kiai Ngumar. 7 Ibid, hlm. 34 8 Ibid, hlm. 47


48 Pada hari ketiga sejak kepulangan Kiai Ngumar, aku merasa tidak tahan lagi. Aku harus berbicara dengan orang tua itu. Kupilih saat muncul fajar untuk menemui Kiai Ngumar di suraunya, untuk mengurangi risiko terlihat oleh orang lain. Maka dini hari aku keluar rumah tempat aku menyembunyikan diri dan menunduknunduk ke arah surau Kiai Ngumar. Di bawah pohon serut aku berhenti, bahkan berjongkok, menunggu suara terompah Kiai Ngumar bila ia berjalan ke perigi.9 Dari sini boleh dikatakan bahwa ikatan antara Amid dengan Kiai Ngumar sangat erat. Amid bahkan dapat dibilang menjadi pengejawantahan Kiai Ngumar di tengah kawan-kawannya yang terlanjur menaruh dendam pada tentara Republik. Walaupun mau tidak mau ia berafiliasi langsung dengan laskar DI yang berposisi sebagai pemberontak, namun Amid berada di poros paling tengah guna menjadi pengingat dan penegur kawan-kawan terdekatnya saat terjadi perselisihan. Saat ia kembali ke masyarakat pun, Amid dengan cepat diterima oleh masyarakat karena kedekatannya itu. Bahkan di detikdetik terakhir hidupnya, Kiai Ngumar berada di sisi Amid untuk membimbingnya menyebut asma-Nya. Dapat dibayangkan betapa tidak menentunya suasana serbategang itu. Apalagi bertindak sebagai Amid yang pada dasarnya bukan golongan anti Republik. Ia hanya terseret arus. Suasana batinnya sendiri tak menghendaki demikian. Bagaimanapun, hanya Amid yang dengan telinga terbuka mendengarkan nasihat-nasihat Kiai Ngumar. Oleh sebab itu, tak jarang Amid merasa bimbang dengan apa yang dilakukannya bersama laskar DI. Keberadaannya di sana hanya karena sudah tak punya pilihan akibat kondisi yang mendesak, yakni dicap sebagai pengkhianat, yang berarti juga tertutupnya jalan untuk bergabung dengan tentara Republik yang sejak dulu diidamkan Amid. Kebimbangan Amid ini dapat dilihat dari kutipan berikut. Aku merasakan adanya dua kekuatan tarik-menarik, suatu pertentangan yang mulai mengambang dalam hatiku. Seorang lelaki, militer yang baru kubunuh itu, agaknya ingin selalu merasa dekat dengan Tuhan. Dan ia telah kuhabisi nyawanya. Sementara 9 Ibid, hlm. 92


49 itu aku harus percaya bahwa Tuhan yang selalu ingin diingatnya melalui tasbih dan Quran-nya itu pastilah Tuhan-ku juga, yakni Tuhan kepada siapa gerakan Darul Islam ini mengatasnamakan khidmahnya. Hatiku terasa terbelah oleh ironi yang terasa sulit kumengerti.10 Kebimbangan tersebut sangatlah beralasan. Sejak semula sikap Amid memang sudah jelas. Maka saat ia dihadapkan pada situasi demikian, tak perlu heran dengan respons Amid seperti itu. Demi menjaga sikapnya ini, Amid pernah nekat untuk mengunjungi sosok panutannya, Kiai Ngumar, tak lama setelah peristiwa bentrokan di kereta. Saat itu Amid berniat untuk meletakkan senjata demi menghindari perselisihan dengan tentara Republik. Sayangnya tentara Republik terlanjur termakan fitnah sehingga semua mantan laskar Hizbullah, termasuk Amid, menjadi buronan. “Kiai, saya tidak ingin mengikuti jejak Kiram dan Jun. Saya mau meletakkan senjata dan kembali ke masyarakat. Tetapi saya masih memerlukan perlindungan Kiai, sebab seperti sudah dikatakan Kiram, sangat mungkin tentara Republik akan menangkap saya.”11 Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa tokoh Amid dalam novel ini berfungsi sebagai tokoh sentral karena kehadirannya yang begitu dominan. Ia juga mewakili tokoh protagonis yang jika dilihat dari perwatakannya menunjukkan dirinya sebagaitokoh sederhana. Hal ini tergambar dari sikapnya dari awal hingga akhir cerita yang senantiasa berperilaku sebagaimana ajaran dan petuah Kiai Ngumar. Tokoh yang kedua adalah Kiram. Kawan baik Amid ini hampir sama dominannya dengan Amid sendiri, karena hampir di manapun Amid berada, Kiram ada di sana juga. Tokoh ini digambarkan sebagai sosok yang pemberani, namun sayang ia buta huruf. Sejak semula bergabung dengan tentara Republik, Kiram menanti datangnya saat di mana ia harus melawan prajurit-prajurit Belanda.Dan ketika saat yang ditunggu itu datang, Kiram membuktikan dirinya. 10Ibid., hlm. 19 11Ibid., hlm. 86


50 Apabila benar kemudian terjadi perang singkat, sebenarnya aku tak bisa menjadi saksi yang baik. Semuanya terjadi dalam ruang yang penuh kunang-kunang serta kesadaran yang kurang penuh. Ah, tetapi aku melihat Kiram melompat di atas tubuhku, melesat ke tengah jalan. Ya Tuhan. Kiram menyambar sebuah bedil yang tergeletak di sisi mayat pemiliknya, seorang serdadu Belanda. Kemudian semuanya baur kembali. Aku hanya mendengar perintah lari. Lari!12 Kiram menjadi pembeda di antara kawan-kawannya. Bahkan di kampungnya, ia orang pertama yang menyandang senjata. Amid sendiri selalu merasa kecil bila berada di sampingnya. Keberanian Kiram selalu tampak saat memerangi Belanda, termasuk kepada orang-orang Indonesia yang berada di pihaknya. Ia bahkan tidak segan-segan untuk membunuh para pengkhianat itu, seperti tergambar dalam kutipan berikut. ...Celakanya, ketika aku kembali melihat ke sana, dua kepala muncul bersama. Satu kepala Kiram, yang lain kepala Mantri Karsun yang sudah terlepas dari tubuhnya. Aku menjerit dan melompat, lalu jatuh terduduk di lantai perahu.13 Semangatnya dalam memerangi Belanda memang patut diapresiasi. Akan tetapi, berbeda dengan Amid, Kiram justru lebih mendengarkan Kang Suyud dibandingkan Kiai Ngumar. Oleh sebab itu, orientasi hidupnya kala itu sangat dipengaruhi oleh Kang Suyud. Pun saat mengeksekusi Mantri Karsun itu, berkat keberaniannya, tentara Republik menawari Kiram untuk menjadi bagian dari pasukan pemerintah. Namun Kiram lebih memilih bertahan menjadi laskar Hizbullah. Meski begitu, ada ruang dalam dirinya yang sebagaimana Amid juga, ingin hidup sebagai orang normal. Hal itu memang terbesit di antara pikiran semuanya dan menjadi sesuatu yang wajar mengingat DI sudah tidak ada harapan lagi. Sebagai kawan, Kiram adalah sosok yang setia kawan. Ini bisa dilihat terutama saat Amid membawa serta Umi, istrinya, ke dalam hutan. 12Ibid, hlm. 34 13Ibid, hlm. 63


51 ...Mungkin juga sikap mereka terhadap Umi benar-benar tulus. Buktinya, suatu hari Kiram menyerahkan setandan pisang yang telah masak, entah dari mana, kepadaku dengan pesan bahwa itu buat Umi.14 Memang bagaimanapun mereka sedang menghadapi kondisi hidup yang sulit. Maka hanya dengan tetap bersama dan saling membantulah cara agar setidaknya dapat meringankan tanggungan hidup satu sama lain. Menjelang Umi melahirkan pun, Kiram dan Jun yang mengambil inisiatif mencari dukun bayi, karena itulah kemudian bayi Umi terlahir dengan selamat. Namun, Kiram jugalah orang yang paling merasa kecewa dengan berakhirnya masa perjuangan dirinya menjadi gerilyawan. Sebagaimana diketahui, bahwa Kiram adalah sosok yang mempunyai semangat dan keberanian paling tinggi di antara sesama kawannya. Dengan demikian, ia merasa telah banyak berkorban dan menumpahkan darah. Bahkan junjungannya, Kang Suyud harus menghembuskan napas terakhirnya di hutan. Kutipan berikut menunjukkan Kiram yang mengamuk setelah mendapat kabar Khalifah DI, Kartosuwiryo, menyerukan kepada seluruh pengikutnya untuk meletakkan senjata dan menyerahkan diri pada pemerintah dengan jaminan pengampunan nasional. Kulihat wajah Kiram masih tegang. Matanya malah berubah merah. Gumpalan otot pada kedua pipinya makin jelas. Dan tibatiba ia bangkit lalu meraih senjatanya. Aku tak sadar betul apa yang kemudian terjadi, yang jelas aku melihat laras senjata Kiram sudah tertuju lurus ke arah perutku. Detik berikutnya aku melihat Toyib dan Jun menepiskan senjata itu kearah lain dan pada saat yang sama meledaklah rentetan tembakan. Terjadi pergulatan singkat. Toyib dan Jun berhasil melepaskan senjata dari tangan Kiram yang kemudian berteriak-teriak: Amuk. Ia begitu marah ketika menyadari perjuangan dan penderitaan kami selama bertahun-tahun hanya dipertaruhkan untuk sesuatu yang kosong. Hampa.15 Begitulah Kiram. Kutipan di atas membuat purna bagaimana sosok Kiram yang sesungguhnya. Sangat dapat dimaklumi mengapa respons Kiram sedemikian murka. Boleh dibilang hanya Kiram yang 14Ibid, hlm. 129 15Ibid, hlm. 147-148


52 semangatnya di medan pertempuran amat menggebu-gebu. Terlebih keberanian menghadapi musuh pun tak ada duanya. Itu membuat Kiram pada akhirnya dengan sepenuh hati memihak laskar DI dan memusuhi pemerintah. Semata-mata karena empatinya terhadap orang-orang yang selalu berjuang di sisinya itu gugur satu per satu.Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut, Kiram termasuk tokoh utama tambahan.Tokoh ini mewakili tokoh protagonis yang menduduki peran sentral. Adapun jika dilihat dari perwatakannya, Kiram adalah tokoh sederhana karena hingga akhir cerita ia tidak menunjukkan perubahan sikap yang tak terduga sebelumnya. Tokoh berikutnya adalah Jun. Meski Jun selalu bersama Amid dan Kiram, namun gambaran tentang dirinya terbilang sedikit sekali dimunculkan oleh pengarang.Dari yang sedikit itu, setidaknya diperoleh gambaran bahwa Jun adalah sosok kawan yang baik dan peduli terhadap sesama. “Mid, kukira kamu perlu istirahat,” kata Jun. “Tengoklah istrimu, kamu sudah lama tidak bertemu dia, bukan?”16 Itu diucapkan Jun ketika Amid mudah terkejut karena tengah terlena dengan ingatan-ingatan masa lalu. Jun mengerti apa yang sedang mengusik pikiran Amid. Oleh sebab itu ia mengusulkan agar Amid menengok istrinya. Dengan begitu, kegundahan Amid bisa sedikit terobati.Jun mengusulkan begitu semata-mata karena kepeduliannya kepada kawan seperjuangan. Boleh jadi ia sendiri sebetulnya memendam kegundahan yang serupa. Dalam kehidupan yang serba rumit seperti itu, siapa saja dapat dengan mudah terbawa suasana masa silam.Kesetiakawanan Jun pada kawan seperjuangannya tidak hanya sebatas itu, sebagaimana Kiram, Jun juga peduli pada Umi, istri Amid. ...Lain kali Jun, yang sangat pintar berburu dengan ketapelnya, membawa tiga ekor burung balam, juga buat Umi.17 Jun dan Kiram memang menjadi kawan sejati buat Amid. Terasa sekali kesetiakawanan mereka terutama ketika Umi dibawa ke tempat 16Ibid, hlm. 112 17Ibid, hlm. 129


53 persembunyian oleh Amid. Semula Amid yakin bahwa keputusannya membawa Umi ke tempat persembunyian pasti menuai penolakan dari kedua kawannya itu. Akan tetapi tidak butuh waktu lama buat Jun dan Kiram menerima bahkan menyayangi Umi seperti adiknya sendiri. Selain itu, Jun digambarkan sebagai sosok yang kuat, seperti terlihat melalui kutipan berikut. “Kamu mimpi?” tanya Jun masih sambil tertawa. Ia seperti tak merasakan luka yang merobek kulit pahanya.18 Diceritakan Jun tertembak saat pertempuran malam hari melawan tentara. Ia berhasil kabur walau kulit pahanya tertembus peluru. Kemudian di sebuah pos rahasia milik DI, ketika Amid dan Kiram ingin istirahat di sana, rupanya sudah ada Jun yang terbaring dengan pahanya yang sudah diperban.Meski begitu, Jun terlihat tidak merasa kesakitan, karena dia malah menertawakan Amid yang kala itu kelihatan linglung.Jun, dengan demikian boleh dibilang sebagai sosok yang kuat. Ia juga tak pernah mengeluh soal kehidupannya di hutan yang tak tentu arah. Kesadarannya tentang masa-masa sulit itu membuat ia paham bahwa segala harapan ingin hidup selayaknya orang normal bukanlah keinginan yang sederhana. Namun ia bukan Kiram yang ketika mendapat seruan untuk meletakkan senjata itu mengamuk. Jun hanya tidak menyangka perjuangannya akan berakhir seperti itu, bahkan Amid pun mempunyai pikiran yang sama dengan Jun. Berdasarkan penjelasan mengenai tokoh Jun di atas, maka tokoh ini dapat digolongkan ke dalam tokoh tambahan. Adapun dilihat dari fungsi penampilan, tokoh ini mewakili tokoh protagonis. Sementara melihat perwatakannya maka termasuk tokoh sederhana. Selanjutnya adalah tokoh Kang Suyud. Tokoh ini digambarkan sebagai sosok yang teguh pendirian, bahkan tanpa canggung ia berani mendebat Kiai Ngumar yang sangat dihormati, seperti tergambar dalam kutipan berikut. 18Ibid, hlm. 64


54 “Jawab dengan jelas, Kiai!” kata Kang Suyud kasar. Aku mulai cemas. “Kiai memilih Islam atau Republik?” “Baik. Nah, Anak-anak, saksikanlah jawabanku ini: dalam rangka melaksanakan ajaran Islam sendiri, aku memilih Republik. Aku makmum kepada Hadratus Syekh!”19 Mendengar jawaban itu, Kang Suyud terlihat tidak puas dan pergi dengan menggebrak meja lebih dulu. Ia memang sudah punya sikap setelah Belanda terusir dari Tanah Air, yakni melanjutkan perjuangan bersama laskar Darul Islam. Dari sini bisa dilihat bahwa Kang Suyud berada di sisi yang berseberangan dengan Kiai Ngumar, yang dengan demikian berarti berseberangan juga dengan Amid. Oleh sebab itu, dilihat dari fungsi penampilannya yang demikian, Kang Suyud termasuk ke dalam tokoh antagonis. Sejak semula, pandangan Kang Suyud tentang arah perjuangannya memang sudah cukup jelas. Ia bulat memutuskan untuk membentuk barisan sendiri walaupun Kiai Ngumar menganjurkan bergabung dengan pasukan resmi pemerintah saja. Saat itu, Kiai Ngumar membolehkan asal begitu Belanda terusir, laskar Hizbullah segera membubarkan diri atau melebur dengan tentara Republik. Di kemudian hari, semakin terlihat sikap Kang Suyud terhadap gerakannya. Ia tidak semata-mata memerangi Belanda, namun fanatik dengan gerakannya yang murni berasaskan Islam. Hal ini berdampak pada perilakunya yang menutup diri terhadap segala yang berhubungan dengan pemerintah, terutama tentaranya. Sebagaimana saat komandan tentara Republik meminta kerja sama untuk menangkap Mantri Karsun, Kang Suyud tidak bersedia mengabulkannya. “Nanti dulu,” kata Kang Suyud. “Kita punya perhitungan sendiri dengan mantri itu. Tanpa surat inipun kita akan mengambil dia. Jadi…”20 Di antara Kiram, Jun, dan Amid sendiri, hanya Kang Suyud yang dengan sadar bercita-cita mendirikan negara Islam. Ia dengan segenap kekuatannya telah menerima sejak awal dianggap sebagai musuh 19Ibid, hlm. 76 20Ibid, hlm. 59


55 pemerintah. Meskipun Kang Suyud sudah punya istri dan anak, namun tetap bergerilya dari hutan ke hutan.Ia begitu teguh atas pendiriannya sehingga siapa saja yang tidak sependapat mengenai bentuk negara yang telah ia yakini bagaimana harusnya, seketika dianggap musuh. Hampir saja Kiai Ngumar menjadi target untuk diadili, namun berkat Amid dan Kiram itu tidak sempat terjadi. Bahkan pada awal tahun lima puluhan, Kang Suyud yang DI asli pernah bermaksud mengambil Kiai Ngumar untuk diadili di tengah hutan. Kalau bukan karena pembelaan Kiram dan aku, pasti Kang Suyud melaksanakan keinginannya.21 Meski begitu, di dalam kelompok persembunyian, Kang Suyud adalah orang yang dihormati. Maka, ketika ia mengembuskan nafas terakhirnya di hutan karena sakit-sakitan, Amid merasa kehilangan. Tidak pernah diceritakan dalam novel ini ada silang pendapat hingga bersungut-sungut antara Amid dengan Kang Suyud, sekalipun dari laku dan gagasan Amid terlihat bahwa sesungguhnya dirinya tidak sepenuh hati berada di barisan DI. Ini menandakan dalam diri Kang Suyud masih ada sifat tenggang rasa, walaupun hanya pada kelompoknya sendiri. Dari uraian tersebut, maka dapat diperoleh gambaran bahwa selain sebagai tokoh antagonis, Kang Suyud juga termasuk tokoh tambahan. Bila dilihat dari perwatakannya, hingga akhir hayat Kang Suyud tetap pada pendiriannya. Ini menandakan bahwa tokoh ini tergolong sebagai tokoh sederhana. Tokoh berikutnya adalah Kiai Ngumar. Tokoh ini digambarkan sebagai pemuka agama yang dihormati. Kehidupannya tidak jauh-jauh dari masjid. Kiai Ngumar yang pertama kali memberi tahu serta menasihati Amid dan Kiram sebelum mereka diberangkatkan ke Purwokerto. Oleh sebab sejak semula merasa melibatkan mereka itulah kemudian Kiai Ngumar merasa bertanggung jawab atas tindakan mereka yang berhubungan dengan ketentaraan. 21Ibid, hlm. 109


56 “Ya, bawalah aku kepada komandan sampean. Aku akan mempertanggungjawabkan perbuatan ketiga anak itu.” Kemudian kudengar langkah sepatu menjauh. Lalu tangis istri Kiai Ngumar dan cucunya. Aku bangkit dan melihat ke luar. Masih sempat kusaksikan Kiai Ngumar berjalan diiringi empat orang bersenjata.22 Di usianya yang sudah renta, Kiai Ngumar masih siap memasang badan. Hal ini semata-mata karena ia peduli terhadap santri-santrinya. Kepedulian ini terus ditunjukkan dengan senantiasa menjadi pemberi petunjuk bagi ketiga santrinya, yakni Amid, Kiram, dan Jun. Meskipun pada akhirnya ia tak kuasa melawan situasi di mana ketiga santrinya terpaksa menjadi musuh pemerintah, namun ia tetap berusaha menjadi jembatan yang menghubungkan mereka dengan tentara Republik. “Ya, aku mengerti,” kata Kiai Ngumar, mencoba meredam kemarahan Kiram. “Namun aku ingin berusaha menjadi perantara buat kalian dan mereka.” “Kiai percaya bisa memberi mereka pengertian?” “Bismillah, akan kucoba.”23 Setelah itu, hanya Amid yang masih mendengarkan petuah-petuah Kiai Ngumar. Ia percaya pada sekian nasihat kiai mantan anggota Sarekat Islam yang kaya pengalaman itu. Lagi pula, Kiai Ngumar sangat mencerminkan muslim yang moderat. Saat muncul golongan yang menyatakan diri hendak membentuk negara Islam, Kiai Ngumar menyatakan sikap memilih pemerintahan yang sah, namun tidak begitu saja menyatakan salah terhadap golongan yang mendukung berdirinya negara Islam. Kiai Ngumar menyampaikan pandangannya dengan sangat hati-hati. Membuka pikiran bahwa sudah ada pemerintahan yang dinyatakan sah, dan tidak boleh dalam satu negara yang sah berdiri negara lain yang dianggap sah pula. Ini menunjukkan sifat Kiai Ngumar yang walaupun kedudukannya di tengah masyarakat sebagai pemuka agama, tetapi tidak serta-merta seenaknya mengotak-kotakkan mana yang benar dan salah. Hal tersebut bisa dipahami sebagai cara untuk menghindari adanya perkataan yang dikhawatirkan tidak mengenakkan 22Ibid, hlm. 90 23Ibid, hlm. 84


57 hati lawan bicaranya.Dengan demikian, terlihatlah adab Kiai Ngumar dalam bertutur kata walau dengan lawan bicara yang usianya berbeda jauh sekalipun.Sebetulnya sikap ini bisa dipahami melalui ucapan Kiai Ngumar dalam kutipan berikut. “Ya. Sembahyang adalah kewajiban yang datang dari Tuhan untuk setiap pribadi yang percaya. Ya. Kewajiban sembahyang tidak dari seseorang untuk orang lainnya. Maka secara pribadi aku tak berani mewajibkan apa-apa kepada orang lain karena aku juga tak mungkin memberinya pahala, tak pula berhak menghukumnya. Lalu bagaimana dengan si Suyud yang seakan-akan mau mewajibkan sesuatu yang jadi hak Allah, yaitu sembahyang, kepada orang lain?”24 Ucapan ini bagaikan prinsip bila dilihat dari laku dan petuahpetuah Kiai Ngumar pada santri-santrinya.Ia selalu memosisikan diri sebagai pengamat yang memberi pertimbangan mana yang dirasa baik dan kurang baik.Saat Kang Suyud, Kiram, dan Jun ingin membentuk barisan sendiri, Kiai Ngumar hanya menganjurkan mereka untuk bergabung dengan pasukan resmi pemerintah. Ia sama sekali tidak memaksa meski mengerti dengan alasan yang diutarakan Kang Suyud, yang berarti Kang Suyud berangkat dari maksud yang kurang baik. Akan tetapi Kiai Ngumar tidak melarangnya, ia hanya memberi pandangan terhadap peluang mereka bila bergabung dengan laskar Hizbullah ataupun tentara Republik. Adapun sesungguhnya Kiai Ngumar amatlah sedih dengan situasi yang mengharuskan santri-santrinya berseberangan dengan tentara Republik. Kesedihan ini boleh dibilang sangatlah pahit yang harus dihadapi Kiai Ngumar, pasalnya sejak awal Kiai Ngumarlah yang melibatkan Amid dan Kiram untuk ikut berjuang di medan perang. Keterlibatan mereka berkembang seiring berjalannya waktu, dari membentuk barisan sendiri bernama Hizbullah, lalu hendak melebur bersama tentara Republik, hingga pada akhirnya justru menjadi musuh pemerintah akibat situasi yang sama sekali tidak terduga. Sejauh itu 24Ibid, hlm. 54


58 Kiai Ngumar mengawal mereka. Kesedihan tersebut nampak pada kutipan berikut. Kiai Ngumar masih duduk dan kelihatan makin sedih. Lalu bergumam hampir kepada dirinya sendiri. “Wah, aku sudah berhasil membujuk Kiram dan Jun untuk mau dilebur ke dalam tentara Republik dan hal itu adalah seruan pemerintah sendiri. Kalau bukan karena tangan-tangan kotor telah mengacaukan kebaikan ini, takkan mungkin terjadi pertempuran antara anak-anak yang mau dilantik melawan tentara Republik. Tak mungkin. Dan tangan kotor itu, aku yakin, memang anak-anak komunis.”25 Jauh di lubuk hatinya, Kiai Ngumar sangat menginginkan santrisantrinya bergabung dengan tentara Republik. Ia adalah sosok yang anti perselisihan. Dengan lawan bicara seperti Kang Suyud pun Kiai Ngumar tak pernah bersikeras. Tentu saja dengan menyaksikan keadaan di mana santri-santrinya harus menjadi musuh pemerintah adalah musibah baginya. Walau begitu, Kiai Ngumar tak sampai menanggung beban pikiran di sisa hidupnya, sebab Darul Islam akhirnya bubar. Anggota dan simpatisannya dibolehkan kembali ke masyarakat dengan damai, termasuk santri-santri Kiai Ngumar. Bahkan Kiai Ngumar sempat menjadi saksi gugurnya Amid sebagai bagian dari tentara Republik. Berdasarkan penjelasan di atas, peran Kiai Ngumar adalah sebagai tokoh tambahan. Ia mewakili tokoh protagonis yang bila dilihat dari perwatakannya tergolong sebagai tokoh sederhana. Hal ini bisa dibuktikan dengan melihat pengaruhnya terhadap Amid sebagai tokoh utama. Kematangan berpikir serta kedalaman ilmu Kiai Ngumar yang menempatkan dirinya sebagai penerang terutama bagi Amid. Hingga akhir cerita, tokoh ini konsisten menunjukkan itu semua. Terakhir, tokoh Umi. Istri Amid ini pertama kali muncul dalam novel pada suatu hari Amid dan kawan-kawan menemukan dia di sebuah hutan sedang menunggui jenazah ayahnya sambil terisak.Kala 25Ibid., hlm. 86


59 itu, sebagaimana boleh jadi gadis kebanyakan, Umi menangis tiada henti.Bermula dari situ kemudian Umi dinikahi Amid. ...Dan betul kata Kiram, Umi tetap diam, bahkan menangis ketika kutanya kesediaannya untuk menjadi istriku. Ah, dia belum dewasa. Tetapi dua hari kemudian, dalam sebuah gubuk di tepi hutan, aku dan Umi menikah. Kang Suyud yang waktu itu masih hidup, menjadi wali hakim. Jun dan Kiram jadi saksi. Ya, pernikahan itu terjadi tiga tahun berselang. Kini Umi sudah hamil dan tinggal di Dayeuh Luhur. Aku rindu kepadanya.26 Setelah berselang tiga tahun itulah baru dapat dilihat gambaran sosok Umi yang sesungguhnya. Ia merupakan sosok istri yang setia dan penyabar. Selain itu, rasa cinta terhadap suaminya, Amid, amat besar sehingga ia ingin selalu berada di sisi belahan jiwanya. Apalagi dengan kondisi yang sebentar lagi melahirkan, tentu adalah keinginan yang wajar bila ia ingin ditemani saat proses persalinannya nanti. Meski itu berarti ia harus ikut hidup di hutan. ...Untunglah Umi tak pernah mengeluh. Ia bisa tidur nyenyak di atas kasur rumput kering yang kulapisi sehelai kain. Siang hari Umi boleh tinggal di pos untuk menanak nasi dan menyiapkan minuman kami.27 Umi menjadi pembeda di tengah-tengah kehidupan persembunyian Amid dan kawan-kawan. Kehadirannya semakin terasa menghidupkan suasana. Ia mengerti apa yang harus dilakukan sementara para pria harus selalu waspada terhadap situasi yang selalu tak terduga.Kondisi kehamilan Umi tidak kemudian membuatnya bermalas-malasan. Bahkan di saat menjelang kelahiran, Umi tetap tegar demi membuat suaminya tidak merasa panik. Dengan demikian, karena tokoh ini berada di pihak Amid, maka tergolong sebagai tokoh protagonis. Perannya sudah jelas, yaitu sebagai tokoh tambahan. Adapun dari sisi perwatakannya menunjukkan dirinya sebagai tokoh sederhana. 26Ibid, hlm. 116-117 27Ibid, hlm. 129


60 3. Alur/Plot Alur ialah rangkaian peristiwa berdasarkan urutan waktu, sementara plot melihat rangkaian peristiwa berdasarkan hubungan sebab-akibat. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air menampilkan alur campuran. Cerita dimulai ketika para tokohnya sudah berada pada masa di mana mereka menjadi laskar DI. Lalu alur kilas balik ditunjukkan melalui tokoh Amid yang terseret ingatan-ingatan masa silam. ...Akhirnya aku merebahkan diri di lantai gua, beralaskan dedaunan. Aku sungguh letih. Anehnya, mataku tetap terbuka. Bahkan lamunanku melayang, mula-mula pada kematian Kang Suyud, kematian orang-orang Cigobang, lalu melompat jauh ke belakang, ketika aku masih remaja dan hidup biasa bersama orang tua.28 Dengan terbawa ingatan-ingatan masa silam itu, Amid jadi mudah terkejut. Kawan-kawannya akhirnya mengerti apa yang menjadi kegelisahan Amid. Kemudian diberilah kesempatan untuk Amid menemui istrinya. Dimulai dari sini alur cerita maju kembali. “Mid, kukira kamu perlu istirahat,” kata Jun. “Tengoklah istrimu. Kamu sudah lama tidak bertemu dia, bukan?” Aku tersenyum. Ternyata Kiram dan Jun bisa mengerti perasaanku. Ya. Selain tentang masa depan DI sendiri, aku memang sangat ingin menjenguk istriku. Diam-diam aku mulai mengkhawatirkan kesehatannya.29 Adapun plot novel ini akan dianalisis menggunakan bentuk pemlotan yang dikemukakan oleh Tasrif, yakni dimulai dari tahap penyituasian sampai tahap penyelesaian. a. Tahap Penyituasian (situation) Tahap ini berisi gambaran awal mengenai cerita yang menjadi tumpuan untuk peristiwa-peristiwa berikutnya. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air dimulai dengan menampilkan latar hutan sebagai latar yang dominan pada kisahan berikutnya. Kondisi yang tak karuan setelah semalam dibombardir tentara dalam novel ini berada sebelum kilas balik Amid. 28Ibid, hlm. 23 29Ibid, hlm. 112


61 Kini lokasi hunian itu sudah tampak. Kelima rumah ilalang yang mereka bakar tadi malam sudah jadi abu. Kiram melewati aku, bergegas menuju tempat Kang Suyud kami sembunyikan. Aku, entahlah, tidak pergi mengikuti Kiram. Aku menyimpang dan berjalan lurus menuju bekas hunian itu dan aku tertegun di sana.30 Gambaran tentang kacaunya situasi Tanah Air setelah agresi militer Belanda kala itu membuka cerita ini. Sejak awal, pandangan dan orientasi tokoh utama sudah muncul. Nuraninya mempertanyakan semua yang telah terjadi. Bahkan saat kematian Kang Suyud, tokoh utama menilai sia-sia saja apa yang telah Kang Suyud lalui hingga sejauh itu. Di sisi lain, Kiram mengingatkan bahwa persoalannya sudah sedemikian rumit, karena itu tidak mudah untuk begitu saja mengakhirinya. Ketiga tokoh tersebut turut dikenalkan dalam tahap penyituasian ini. Sebagai tahap yang paling awal, dihadirkannya tiga tokoh ini cukup merepresentasikan suasana kisah yang menegangkan hingga akhir. Karakter yang mereka lakoni turut didukung dengan penggambaran latar hutan yang mendebarkan. Latar hutan ini yang juga dibangun gambarannya sejak awal cerita. Dengan demikian, informasi awal ini sangat kokoh menjadi landas tumpu untuk peristiwa-peristiwa berikutnya. b. Tahap Pemunculan Konflik (generating circumtances) Pada tahap ini, konflik mulai muncul. Pemunculan konflik ini memicu meletusnya konflik-konflik berikutnya yang lebih besar.Dalam novel ini kemunculan konflik mulai terlihat pada perdebatan kecil antara Kang Suyud dan Kiram di satu pihak dengan Kiai Ngumar di pihak lain soal laskar Hizbullah atau tentara Republik. Aku merasa pertemuan itu berakhir dengan suasana agak kaku. Mungkin karena Kiai Ngumar, di luar dugaan, tidak serta-merta mendukung keinginan Kiram dan Kang Suyud, malah mengaku lebih suka jika kami bergabung dengan tentara resmi.31 30Ibid, hlm. 11 31Ibid, hlm. 49


62 Kutipan tersebut menunjukkan titik awal Amid dan kawan-kawan berada di barisan laskar Hizbullah.Sebelum itu, terjadi perdebatan lebih dulu. Pandangan-pandangan Kiai Ngumar dimentahkan dengan alasan Kang Suyud yang tidak mau bekerjasama dengan orang-orang yang tidak sembahyang. Baginya menjalin kerja sama mutlak harus dengan sesama Islam. Alasan ini sesungguhnya ingin dipatahkan kembali oleh Kiai Ngumar, namun akhirnya ia membolehkan mereka mewujudkan pilihan itu. Di kemudian hari, terbuktilah sesungguhnya ada maksud tersendiri dari pilihan Kang Suyud memilih laskar Hizbullah sebagai panji perjuangannya.Amid sendiri sebetulnya berkeinginan untuk bergabungan dengan tentara Republik, tetapi atas nasihat Kiai Ngumar demi menjaga pertemanan, Amid rela bergabung dengan laskar Hizbullah. c. Tahap Peningkatan Konflik (rising action) Tahap ini menghadirkan konflik yang tensinya semakin naik. Peningkatan konflik ditandai dengan perdebatan antara Kang Suyud dengan Kiai Ngumar untuk yang kedua kalinya. Bahkan kali ini Kang Suyud lebih berani mempersoalkan bahkan membantah pandangan-pandangan Kiai Ngumar. “Jawab dengan jelas, Kiai!” kata Kang Suyud kasar. Aku mulai cemas. “Kiai memilih Islam atau Republik?” “Baik. Nah, Anak-anak, saksikanlah jawabanku ini: dalam rangka melaksanakan ajaran Islam sendiri, aku memilih Republik. Aku makmum kepada Hadratus Syekh!” Kulihat wajah Kang Suyud berubah menjadi merah. Urat pada kedua pipinya menegang. Lalu ia bangkit sambil memukul meja dengan tinjunya dan pergi tanpa pamit. Membuatku terperangah terkejut...32 Dengan begitu menegaskan bahwa telah timbul jarak yang demikian nyata antara Kang Suyud dengan Kiai Ngumar. Ini bukan persoalan yang sederhana, karena dengan munculnya golongan yang mencita-citakan berdirinya negara baru, berarti membuka kemelut baru pula di saat kemelut lama baru saja terselesaikan. 32Ibid, hlm. 76


63 Selain itu, peningkatan konflik juga terjadi saat kereta yang mengangkut bekas laskar Hizbullah diberondong peluru secara brutal, seperti tergambar dalam kutipan berikut. ...Ketika kereta api mulai melambat, kami bersiap. Namun kami mendadak tertegun karena tiba-tiba terdengar rentetan tembakan. Naluriku berkata, ada bahaya datang. Maka aku, Kiram, dan Jun lari dan menjatuhkan diri dala sebuah parit. Ya Tuhan, detik berikutnya aku menyadari bahwa tembakan itu diarahkan kepada kami. Aku melihat kelebat senjata berat dari salah satu gerbong kereta. Lalu, apakah arti semua ini? Pengkhianatan? Bila benar, pengkhianat mana yang bisa berbuat sekotor itu?33 Peristiwa inilah yang menyebabkan Amid dan kawan-kawan terpaksa dicap sebagai musuh pemerintah. Sebuah titik balik yang mengejutkan.Meski mereka dengan jiwa yang tulus sudah siap bergabung bersama tentara Republik. Tentu ini menjadi persoalan yang rumit berikutnya. d. Tahap Klimaks (climax) Pada tahap ini konflik dalam cerita berada di titik puncak tensinya.Tahap klimaks dalam novel ini terdapat pada peristiwa mengamuknya Kiram setelah diberi tahu bahwa laskar DI harus meletakkan senjata dan mendapat pengampunan nasional. Kulihat wajah Kiram masih tegang. Matanya malah berubah merah. Gumpalan otot pada kedua pipinya makin jelas. Dan tibatiba ia bangkit lalu meraih senjatanya. Aku tak sadar betul apa yang kemudian terjadi, yang jelas aku melihat laras senjata Kiram sudah tertuju lurus ke arah perutku. Detik berikutnya aku melihat Toyib dan Jun menepiskan senjata itu ke arah lain dan pada saat yang sama meledaklah rentetan tembakan. Terjadi pergulatan singkat. Toyib dan Jun berhasil melepaskan senjata dari tangan Kiram yang kemudian berteriak-teriak: Amuk. Ia begitu marah ketika menyadari perjuangan dan penderitaan kami selama bertahun-tahun hanya dipertaruhkan untuk sesuatu yang kosong. Hampa.34 Konflik yang memuncak itu lebih tertumpu pada konflik batin, sehingga Kiram sedemikian tak terkendali ketika mendengarnya.Hal 33Ibid, hlm. 79 34Ibid, hlm. 147-148


64 ini bisa dipahami karena sekian tahun hidup terlunta bersama orangorang seperjuangan, dan telah melihat begitu banyak korban berjatuhan, nyatanya berakhir seperti itu.Persoalannya adalah meski diampuni, penerimaan masyarakat terhadap mereka yang terlanjur dicap bertahun-tahun sebagai pemberontak, pasti tidak baik. Artinya, mereka harus beradaptasi memperbaiki citra mereka di tengah masyarakat. e. Tahap Penyelesaian (denoument) Pada tahap ini konflik menemukan solusinya dan setelah itu cerita berakhir.Berselang beberapa tahun setelah mendapat pengampunan itu, terjadi kegaduhan politik karena ulah orang-orang komunis. Di sinilah letak tahap penyelesaian itu.Amid dan kawan-kawan dilibatkan bersama tentara Republik untuk memburu orang-orang komunis yang bersembunyi di hutan tempat mereka berlindung dulu. Ya, sekarang aku berada dalam sebuah perjalanan menuju pertempuran yang lain, sangat lain. Kini aku berperang atas nama Republik, sesuatu yang pernah sangat kurindukan dan gagal terlaksana. Tetapi kini semuanya akan menjadi kenyataan, dan aku bersama Kiram dan Jun, meski hanya sementara, menjadi bagian tentara Republik. Ya, tak pernah kuduga, akhirnya aku mendapat peluang bertempur atas nama negara. Keharuan kembali merebak dan air mataku jatuh lagi.35 Kutipan tersebut menunjukkan sebuah titik balik yang sangat mengharukan, terutama buat Amid.Cita-cita dirinya untuk bergabung bersama tentara Republik akhirnya terwujud, meski untuk itu ia harus lebih dulu hidup dalam pelarian selama bertahun-tahun. Ia membawa semangat yang tinggi dalam pertempuran itu. Sampai akhirnya, di bawah panji Republik, Amid berkorban nyawa demi Tanah Air yang sejak dulu ia yakini keabsahannya. 35Ibid, hlm. 162


65 4. Latar Latar merupakan landas tumpu cerita, karenanya penting dalam rangka pengembangan cerita. Latar memberikan dasar berpijak secara konkret dan jelas. Latar dibagi tiga, yakni latar tempat, waktu, dan sosial budaya. a. Latar Tempat Novel ini berisi tentang pergolakan bersenjata yang terjadi setelah Indonesia merdeka. Cerita menyoroti tokoh utama sebaga laskar DI. Maka latar tempat yang dihadirkan berkutat pada tempat di mana dia beredar selama pelarian. Pertama, latar hutan menjadi latar yang dominan. Sejak awal, cerita berlatar di tengah hutan, seperti tergambar dalam kutipan berikut. Pagi hari musim kemarau di tengah belantara hutan jati adalah kelengangan yang tetap terasa purba.36 Hutan memang menjadi tempat persembunyian para laskar DI. Hutan ini disebut juga Hutan Cigobang, letaknya berada di kaki Gunung Slamet, Jawa Tengah. Dialah yang akan memimpin kami turun gunung bersama beberapa belas teman yang berpangkalan di kaki Gunung Slamet. Malam itu kami meninggalkan belantara hutan jati Cigobang, berjalan ke utara dan terus ke utara.37 Banyak peristiwa terjadi di dalam hutan ini. Bahkan pengarang menampilkan latar hutan ini sebagai pembuka serta penutup cerita sekaligus. Kedua, latar kampungpara tokoh seperti Kiai Ngumar, Kang Suyud, serta Amid dan kawan-kawan.Di kampung, tempat yang lebih sering menjadi latar adalah surau yang diasuh Kiai Ngumar. Bahkan terdapat peristiwa magis juga di sana, seperti terlihat dalam kutipan berikut. ...Mataku yang memejam masih melihat ribuan bintang berhamburan. Dan aku tersentak ketika mendengar suara keras: 36Ibid, hlm. 7 37Ibid, hlm. 149


66 pintu surau ditutup lagi. Tentara itu pergi, padahal tak ada sesuatu mengalingi pandangan mereka terhadap diriku karena surau itu adalah ruang tunggal yang tak seberapa luas.38 Tentara yang kala itu datang untuk menjemput Amid, tidak melihat orang yang dicarinya sedang sembahyang. Boleh jadi, karena berkah memakai kopyah Kiai Ngumarlah Amid menjadi tidak terlihat. Yang jelas, Amid sendiri memasrahkan kondisinya pada Tuhan. Di latar kampung ini, tokoh Kiai Ngumar yang dapat dikatakan paling dominan. Tokoh ini memang menjadi tokoh masyarakat di sana, serta merupakan guru bagi Amid, Kiram, dan Jun. Oleh sebab itu, tiap kali cerita berlatar di kampung, maka Kiai Ngumar selalu menyertainya. Adapun letak kampung tidak disebutkan secara persis. Hanya disebutkan bahwa perlu perjalanan sejauh 30 kilometer dari kampung tersebut menuju Purwokerto. Ketiga, latar Purwokerto, sebagaimana bisa dilihat dari kutipan berikut. Sampai di Purwokerto kami dihimpun di sebuah gedung madrasah milik Al Irsyad. Kulihat kira ada sekitar dua ratus pemuda berkumpul di sana.39 Di Purwokerto, Amid dan Kiram memperoleh pelatihan dasar ketentaraan untuk pertama kalinya. Bisa dibilang, Purwokerto adalah salah satu pangkalan militer Indonesia kala itu. Keempat, latar Bumiayu, tepatnya di sebelah utara kota kecil Bumiayu. Jam delapan pagi kami sampai ke tujuan, suatu wilayah perbukitan di sebelah utara kota kecil Bumiayo. Kulihat ratusan tentara bersiaga di atas bukit di kiri-kanan jalan.40 Bumiayu merupakan tempat pertama yang dituju Amid dan Kiram saat semula dilibatkan dengan tentara Republik.Telah 38Ibid, hlm. 89-90 39Ibid, hlm. 26 40Ibid, hlm. 27


67 direncanakan bahwa mereka akan melakukan pencegatan terhadap pasukan Belanda yang datang dari arah Tegal. Namun sia-sia, pasukan Belanda berputar arah karena ditengarai ada yang membocorkan rencana pencegatan itu. Pengalaman pertama ini tidak memberi kesan yang diharapkan Kiram. Ia tampak kecewa. Kelima, latar jalan besar di sebelah selatan desa yang berada di seberang bukit. Pagi sekali kami bergerak meninggalkan desa di seberang bukit, menuju jalan besar di sebelah selatan. Keempat tentara bersembunyi di balik rumpun pandan yang tumbuh di sepanjang tepi jalan.41 Peristiwa yang terjadi di tempat ini sangat berpengaruh terutama untuk Kiram, karena di sanalah terjadi pertempuran yang diharapkan olehnya. Bahkan setelah itu ia memperoleh senjata milik musuh. Dengan modal ini Kiram menjadi lebih percaya diri. Hingga seterusnya Kiramlah yang mempunyai semangat dan keberanian paling besar di antara kawan-kawannya. Keenam, latar Dayeuh Luhur, seperti tergambar dalam kutipan berikut. Maka setelah meneguk air the kelaras jagung dari cerek Madiksan, aku segera pamit dan meneruskan perjalanan. Dayeuh Luhur, tepatnya, tepian hutan jati di wilayah itu yang akan kutuju, masih amat jauh.42 Dayeuh Luhur adalah tempat tinggal sementara Umi. Ia dititipkan pada salah satu kerabat Amid. Di sana Amid bermaksud menjenguk Umi yang tengah hamil besar.Setelah itu, Umi ingin proses persalinannya ditunggui Amid. Pilihannya hanya Amid yang tinggal, atau Umi yang ikut pergi ke hutan bersamanya.Keduanya sama-sama berisiko. Amid pun memutuskan untuk memilih pilihan kedua. b. Latar Waktu Latar waktu dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air mengacu pada sejarah Indonesia pesca kemerdekaan, tetapi tidak berlangsung 41Ibid, hlm. 32 42Ibid, hlm. 121


68 secara kronologis karena penyampaian alur yang campuran.Masa di mana Amid sebagai tokoh utama saat terbawa ingatan masa silam sendiri bisa disimpulkan terjadi di kisaran tahun 1957-an. Hal ini ditandai dengan penyebutan tahun dan usia Amid saat pertama kali diberitahu Kiai Ngumar soal keharusan pemuda ikut andil mengusir penjajah. Maret 1946. Ketika itu usiaku 18 atau 19, sudah empat tahun tampat Vervolk School.43 Kemudian di hari-hari perenungan Amid, ia menyebut usianya hampir tiga puluh, sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut. ...Dalam usia yang hampir tiga puluh, aku tidak punya apa-apa yang nyata dan pasti.44 Amid menyebut itu saat ia dalam perjalanan menuju tempat tinggal istrinya di Dayeuh Luhur.Artinya, Amid sudah sekitar 11 tahun terjun menjadi kelompok bersenjata, dan 11 tahun dari 1946 berarti tahun 1957. Di tahun-tahun itu, laskar DI masih bergerilya dari hutan ke hutan. Latar waktu berikutnya ialah tahun 1946, sebagaimana telah disebutkan pada kutipan di atas. Di kurun waktu itu adalah masamasa awal Amid dan kawan-kawan mengenal pertempuran. Semangat dan visi mereka masih sama, yaitu memerangi Belanda.Kemudian latar waktu berpindah ke tahun1949, di tahun itu Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dan berhasil diusir untuk yang kedua kalinya. Ini menjadi tahun penting bagi Amid dan kawan-kawan, karena di sini letak titik balik pertama di mana secara tak terduga mereka harus menjadi musuh pemerintah. Dalam novel tidak disebutkan tahun ini, tapi bisa dipahami lewat apa yang mereka diskusikan seperti tergambar dalam kutipan berikut. “Kiai, sekarang ini kami harus bagaimana?” aku bertanya. “Kalau tak salah, terhadap pertanyaan ini pun aku dulu sudah memberikan jalan keluar. Kalian meletakkan senjata dan kembali 43Ibid, hlm. 23 44Ibid, hlm. 120


69 ke tengah masyarakat, atau kalian bergabung dengan tentara resmi pemerintah. Sebetulnya kalian memilih yang mana?”45 Kutipan tersebut menunjukkan Amid dan kawan-kawan kala menghadap Kiai Ngumar untuk berkonsultasi perihal bagaimana sebaiknya langkah mereka ke depan. Belanda berhasil mereka kalahkan, dan konsultasi itu terjadi begitu tugas mereka purna sebagai laskar Hizbullah. Selanjutnya latar waktu berlangsung di tahun 1962, sebagaimana ditunjukkan melalui kutipan berikut. Akhir Juni 1962, seorang rekan laskar yang berpangkalan di wilayah hutan Gunung Slamet lereng barat, datang ke tempat kami.46 Tahun ini bukan tahun yang mudah bagi kebanyakan laskar DI, meski mendapat pengampunan dan dibolehkan kembali ke masyarakat, tetapi tidak serta merta langsung diterima dengan baik. Citra mereka yang terlanjur buruk membuatnya harus beradaptasi untuk bisa membaur dengan masyarakat tanpa sekat. Tentu saja itu membutuhkan waktu, apalagi kaum komunis yang dikenal tidak menyukai bekas laskar DI sedang berada di puncak kejayaannya. Maka adalah sebuah titik balik yang membanggakan sekaligus mengharukan bagi Amid dan kawan-kawan ketika di tahun 1965 komunis dianggap bertanggung jawab atas terbunuhnya para jenderal di Ibu Kota. Ini menjadi latar waktu yang menutup cerita. ...Dan puncak kekisruhan terjadi pada tahun 1965, ketika aku mendengar berita yang simpang siur bahwa ada makar di Jakarta.47 Di tahun ini, Amid berhasil mewujudkan cita-citanya menjadi bagian dari tentara Republik dan berperang atas nama negara.Amid menghadapi orang-orang komunis yang sedang diburu. Mereka bersembunyi di hutan yang dulu menjadi tempat persembunyian 45Ibid, hlm. 72 46Ibid, hlm. 143 47Ibid, hlm. 156


70 Amid. Oleh sebab itu, Amid dan kawan-kawan sangat dibutuhkan karena mereka sangat menguasai medan itu. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa latar waktu dalam novel ini berkisar di tahun 1946 hingga 1965. Pada kisaran tahun itu memang terjadi sekian banyak pergolakan baik sosial, politik, maupun ekonomi. Sebagai bangsa yang baru merdeka, pergolakan semacam itu sulit dihindari. c. Latar Sosial Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat dalam karya fiksi. Latar ini dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, cara berpikir mayarakat, dan status sosial tokohnya. Adapun latar sosial dalam novel ini adalah pelarian laskar DI sebagai musuh pemerintah yang terus dicari keberadaannya. Aku tersenyum seorang diri karena merasa pasti akan berhasil berbicara dengan Kiai Ngumar. Aku bangkit. Tapi tiba-tiba naluriku bilang ada bahaya. Aku mendengar sesuatu yang patah karena terinjak. Dan di bawah remang sinar gemintang aku melihat sosok yang bergerak mengendap-endap. Sejenak aku bertahan hingga kupastikan sosok itu memang menginginkan diriku. Ya, aku yakin orang yang mengendap-endap itu memang mau menangkap aku. Kalau mau, aku bisa mendahuluinya menembak, namun aku memilih lari. Sedetik kemudian terdengar letusan senjata di belakangku. Aku terus lari.48 Kutipan tersebut menjadi awal Amid dimusuhi pemerintah. Ia terlanjur dicap sebagai laskar DI, karena itu harus lari dan bersembunyi.Bila tidak, nyawalah taruhannya. Persoalannya kian diperkeruh dengan pencatutan nama DI oleh orang-orang komunis sebagai kedok agar mereka leluasa merampok kekayaan milik masyarakat. Maka DI dimusuhi oleh setiap kalangan, sehingga membuat mereka harus serba hati-hati saat berada di tempat yang belum dikenalnya dengan baik.Gambaran tentang perburuan terhadap laskar DI juga dimunculkan dalam kutipan berikut. 48Ibid, hlm. 92-93


71 ...Tapi entahlah, baru sebulan Umi bergabung, datang cobaan yang demikian dahsyat. Ada operasi massal. Aparat keamanan, dengan mengerahkan ratusan penduduk kampung, menyisir hutan jati Cigobang untuk menangkap kami. Beruntung Jun, yang sedang berburu balam, melihat gelagat mereka dan lari memberi tahu kami. 49 Sampai pada titik ini, Amid merasa ajalnya sudah sangat dekat. Begitulah mereka, setiap saat harus selalu siaga karena nyawa adalah taruhannya bila lengah sedikit saja. Tak ada keraguan sedikit pun bagi pihak yang berseberangan dengan DI untuk menghabisi mereka, terutama bagi orang-orang komunis. 5. Sudut Pandang Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam menyampaikan sebuah cerita. Novel Lingkar Tanah Lingkar Air menggunakan sudut pandang persona pertama yaitu Aku. Amid adalah tokoh yang di-akukan oleh pengarang, sehingga Aku dalam novel ini adalah Aku tokoh utama yang dengan demikian menjadi fokus, pusat kesadaran, dan pusat cerita. “Mid! Amid!” Karena diulang aku segera mengenali siapa pemilik suara itu: Kiram.50 Melalui Aku, gambaran tentang situasi saat pertempuran, tentang Kiram, Kiai Ngumar, dan lainnya tampak terang. Itu pun sejauh pandangan dirinya. Artinya, Aku bukan tokoh yang tahu hingga ke dalam inti perasaan tokoh lain. Aku hanya melihat apa yang tampak dari luar. Meski begitu, Aku adalah tokoh dengan segenap pengertian dan perasaan, sehingga apa yang ia lihat, ia tafsirkan dengan penuh perasaan pula. 6. Gaya Bahasa Kategori gaya bahasa menurut Gorys Keraf ada empat, yakni gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.Berikut ini akan dibahas keempat kategori itu yang muncul dalam novel ini. 49Ibid, hlm. 130 50Ibid, hlm. 9


72 Pertama, gaya bahasa perbandingan diwakili oleh majas simile. Padahal ibarat ikan, hutan jati dan semak belukar yang mengitarinya sudah bertahun-tahun menjadi lubuk tempat aku dan teman-temanku hidup dan bertahan.51 Simile merupakan majas yang membandingkan dua hal yang secara hakiki berbeda, tetapi dianggap memiliki kesamaan. Majas simile pada kutipan di atas ditandai dengan kata ibarat. Kemudian kata ikan menjadi pembanding makna Amid dan kawannya yang hidup seperti ikan di dalam air. Kedua, gaya bahasa pertentangan diwakili oleh majas sarkasme. “Jangan bodoh kamu! Karena kami tak tega, kami harus pergi untuk mencari dukun bayi. Jun, ayo berangkat.”52 Sarkasme adalah majas yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas. Kata bodoh yang dilontarkan Kiram semata-mata agar dia yakin dengan kondisi yang butuh segera ditangani. Amid pun sadar dengan kebenaran ucapan kawannya itu. Ketiga, gaya bahasa pertautan diwakili oleh majas metonimia. ...Tetapi Cina itu ditemukan oleh aparat keamanan dalam keadaan hidup dan bisa menunjukkan siapa perampok sebenarnya.”53 Metonimia adalah majas yang menggunakan kata untuk menyatakan hal lain, karena dianggap memiliki pertalian yang sangat dekat. Kata Cina merujuk pada para pengangkut rokok yang suatu hari dirampok sekelompok orang tak dikenal. Keempat, gaya bahasa perulangan diwakili oleh majas repetisi. “Jangan, Kang. Aku takut melahirkan seorang diri. Atau aku ikut kamu, Kang. Ikut!”54 Repetisi adalah majas yang memuat perulangan kata, frasa, atau klausa yang masih berhubungan satu sama lain. Tujuannya untuk menegaskan makna dari yang diulang itu. Kutipan di atas menunjukkan 51Ibid, hlm. 7 52Ibid, hlm. 136 53Ibid, hlm. 107 54Ibid, hlm. 128


73 perulangan kata ikut. Umi mengulang kata itu sebagai penegasan bahwa dirinya ingin benar-benar pergi bersama Amid. Selain majas, gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini terbilang mudah dipahami. Ciri khas pengarang menggunakan kosakata bahasa Jawa juga muncul cukup dominan dalam teks. Ini karena cerita berlatar di Jawa serta para tokohnya berasal dari Jawa. Setidaknya beberapa kosakata bahasa Jawa yang muncul adalah ngelmu, mangsa kapat, sebul, andum slamet, sampean, wong alasan, brayan urip, nebah, pocong, paraji, dan jenganten. Lalu aku ingat ngelmu pemberian Kiai Ngumar: bila sedang diburu bahaya seperti itu, segala pakaian yang melekat harus dibuang agar para pengejar terkecoh.55 Ngelmu dalam bahasa lain sering disebut juga amalan. Biasanya berkaitan dengan sesuatu yang ajaib dan dilakukan dengan cara yang berhubungan dengan hal-hal spiritual. Para petani tahu, kicau srigunting adalah pertanda datangnya mangsa kapat, masa keempat dalam pranata mangsa atau kalender pertanian tradisional.56 Bedil-bedil, senjata tajam, dan bambu runcing dimintakan sebul kepada Kiai agar bertuah.57 Kata sebul ini berkaitan pula dengan sesuatu yang magis, tak jauh berbeda dengan kata ngelmu. Kebiasaan sebul untuk suatu barang tertentu ini sepertinya masih berlaku hingga sekarang. Apalagi di lingkungan masyarakat Jawa dengan ciri khas kejawen-nya yang identik dengan hal-hal semacam itu. ...Dengan demikian, Mid, aku tak bisa bilang apa-apa kecuali andum slamet, mudah-mudahan Tuhan menjaga keselamatanku dan keselamatanmu.”58 Andum slamet kurang lebih berarti saling mendoakan keselamatan. Frasa tersebut biasanya diucapkan saat seseorang hendak berpisah dan tak tahu kapan akan bertemu kembali. 55Ibid., hlm. 36 56Ibid., hlm. 43 57Ibid., hlm. 69 58Ibid., hlm. 110


74 Brayan urip, atau sama-sama cari hidup, demikian Madiksan sering berkata padaku. Brayan urip, sepanjang ingatanku, adalah kata-kata sakti yang sangat mudah mengundang rasa kebersamaan.59 Frasa tersebut diucapkan oleh Madiksan kepada Amid. Pengarang menggunakannya untuk menggambarkan situasi saling bantu antara kedua tokoh tadi di tengah kondisi zaman yang sedang bergolak. Beberapa pocong jagung kering tergantung di bubungan.60 Kata pocong memang sudah tercatat dalam kamus besar bahasa Indonesia. Tentu bukan hanya berarti hantu sebagaimana di film-film horor. Akan tetapi, kamus mencatatnya hanya sejauh berhubungan dengan padi. Sementara kutipan di atas menyebut jagung kering. Pocong dalam bahasa Jawa tidak hanya berhubungan dengan padi. Apa saja yang diikat seperti ikatan kain kafan memang disebut pocong. Tak hanya kosakata bahasa Jawa, novel ini juga menggunakan gaya bahasa islami yang cukup sering, karena konteks cerita yang diangkat berkaitan dengan agama Islam. Selain itu, hal ini juga bisa dipahami dengan melihat latar belakang pengarangnya, yakni berasal dari kalangan santri.Beberapa kosakata islami yang muncul di antaranya, lillahi taala, innallaha ma’as shabirin, innalillahi, nawaitu, sami’na waatha’na, dan ghafurur rahim. 7. Amanat Amanat merupakan ajaran atau pesan penting yang hendak disampaikan kepada pembaca.Sebelum beranjak pada penentuan amanat apa yang terkandung dalam novel ini, lebih dulu perlu dipahami bagaimanaperistiwa demi peristiwa dibangun dalam novel ini.Dengan melihat tokoh utama, Amid, serta peristiwa-peristiwa yang kemudian ia temui, diperoleh gambaran bahwa sejak semula Amid sangat ingin bergabung dengan tentara Republik. Di sisi lain, Kiram, kawan dekatnya, sempat dengan sadar memilih laskar Hizbullah ketika Kiai Ngumar justru mengajurkannya untuk berjuang atas nama tentara 59Ibid., hlm. 119 60Ibid., hlm. 120


75 Republik. Maka kemudian tidak heran bila Kiram segera bersimpati terhadap laskar DI setelah dirinya merasa telah dikhianati oleh orangorang dari tentara Republik. Adapun Kang Suyud dan Kiai Ngumar berada dalam posisi yang sudah jelas. Keduanya pernah silang pendapat soal bentuk negara yang sah. Dapat dikatakan, akar dari apa yang menimpa para tokoh bermula dari sini. Dengan begitu, barulah bisa diambil beberapa kesimpulan. Pertama, pesan agar ketika hidup berbangsa dan bernegara, janganlah terlalu berat ke kanan atau ke kiri. Hendaknya berada di tengah-tengah atau dengan kata lain, moderat. Gambaran tentang orang yang kekanankananan ditunjukkan melalui laskar DI, sementara yang kekiri-kirian melalui kaum komunis. Keduanya terbukti tidak berumur panjang bertahan di Tanah Air. DI gagal dengan khalifahnya, Kartosuwiryo, yang berakhir dieksekusi oleh pemerintah. Komunis pun berakhir mengerikan. Sementara itu, orang yang berlaku moderat bisa hidup berdampingan dengan siapa saja. Ini ditunjukkan melalui tokoh Kiai Ngumar. Meskipun ia orang Islam, tapi tidak sepaham dengan gerakan DI. Pun sebagai orang yang pro-Republik, ia tidak begitu saja bersimpati dengan komunis, sekaligus tidak pula memusuhi DI. Kedua, novel ini mengajarkan bahwa bagaimanapun bentuknya, permusuhan adalah sesuatu yang harus dihindari. Kepergian Belanda adalah harapan bersama orang Indonesia. Dengan begitu, harapan untuk bisa hidup tenang tanpa dibayang-bayangi perang bisa terwujud. Namun pada nyatanya kepergian Belanda tidak lantas memberi angin segar bagi masyarakat Indonesia, karena setelah itu datang kemelut berikutnya yang tak kalah menegangkan.Kang Suyud menjadi representasi dari orang yang membuka permusuhan. Ia tidak ingin bekerja sama dengan orang-orang yang tidak sembahyang. Di bawah panji DI, ia memperjuangkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Dengan perjuangan itu, sesungguhnya ia menghadapi mudharat yang amat besar. Ini yang digarisbawahi Kiai Ngumar, bahwa segala sesuatu harus dilihat dari lebih besar mana antara mudharat atau mashlahat-


76 nya. Terbukti, sekian banyak nyawa berguguran termasuk nyawanya. Perpecahan terjadi di mana-mana. Kehidupan jadi tak tentu arah. Ketiga, selalu berpegang teguh pada kebenaran. Hal ini ditunjukkan melalui tokoh Amid. Keyakinan Amid tidak luntur meskipun sudah berada dalam lingkaran DI. Ia yang selalu menjadi penengah di antara kawan-kawannya. Kiai Ngumar menjadi sosok panutan yang nasihatnya selalu ia pegang teguh kemana pun ia melangkah. Sebagai orang yang memahami kapasitas dirinya, Kiram merasa hanya perlu sami’na wa atho’na pada Kiai Ngumar. Terlebih, ia sendiri adalah santri Kiai Ngumar. Di akhir cerita, ia berhasil mewujudkan mimpinya untuk bertempur mengatasnamakan negara. B. Psikologi Perilaku Setiap orang berlaku sehari-hari tentu berangkat dari faktor yang melatarbelakanginya. Bahkan untuk urusan makan dan minum misalnya, ada alasan yang mengharuskan seseorang melakukan itu, yakni lapar dan haus. Sementara tak terhitung tingkah laku manusia di muka bumi ini di mana semuanya memiliki alasan. Untuk mempelajari itu, psikologi perilaku tepat digunakan sebagai pisau analisis. Salah satu peristiwa bersejarah di masa revolusi terabadikan dalam novel Lingkar Tanah Lingkar Air, yakni pemberontakan DI/TII. Pengarang mengemasnya ke dalam cerita yang diperankan oleh beberapa tokoh. Tokoh-tokoh tersebut tak ubahnya seperti manusia di kehidupan nyata, yakni makan, minum, menikah, dan sebagainya. Adapun yang menjadi penting adalah keseharian tokoh-tokoh tersebut berada di zaman pergolakan. Tak hanya itu, bahkan mereka terlibat langsung di medan pertempuran. Berikut adalah uraian mengenai psikologi perilaku para tokoh. 1. Dinamika Kepribadian Naluri atau insting merupakan representasi psikologis bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) akibat muncul suatu kebutuhan tubuh. Naluri terbagi dua, yakni naluri kehidupan dan naluri kematian. Naluri kehidupan mencakup naluri seksual atau libido dan


77 naluri non-seksual atau alimentasi yang berhubungan dengan hasrat, seperti makan dan minum. Adapun naluri kematian dan keinginan mati dapat menjurus pada tindakan bunuh diri atau perusakan diri atau bisa juga bersikap agresif terhadap orang lain. Hal ini terjadi dalam novel ketika persitiwa penyisiran hutan tempat persembunyian laskar DI oleh pasukan keamanan. Saat itu sempat muncul ide untuk melawan dan mati sebagai syahid. Ide itu muncul dari Kiram. Sosok ini memang sudah menyerahkan jiwa dan raganya untuk laskar DI. Ia sudah siap mati demi DI. “Bersiaplah. Kita akan melawan atau syahid di sini,” jawab Kiram. “Mid, sembunyikan Umi di tempatmu.”61 Lain waktu, Kiram juga pernah ingin melakukan operasi bunuh diri. Ia merasa kematiannya akan sangat berharga dengan membawa serta musuh. Satu ditukar sekian, pikirnya. ...Aku hampir mengucapkan peringatan itu, namun batal pada saat terakhir karena aku melihat kemurkaan pada wajah Kiram. Temanku itu kemudian bahkan mengusulkan operasi bunuh diri, menyerang sebuah tangsi militer di Cilacap. Sampai titik ini aku merasa wajib berbicara.62 Kala itu DI sedang dalam kondisi yang terhimpit. Gerakannya sudah tak mempunyai harapan. Hari demi hari anggota berguguran. Ada pula yang memilih hidup sebagaimana orang biasa dengan menyeberang pulau, ke Sumatera atau Kalimantan. Kiram tak ingin seperti itu. Baginya lebih baik mati daripada harus menanggung malu. Oleh sebab itu operasi bunuh diri pernah menjadi gagasannya. Kemudian selain naluri, ada pula kecemasan atau anxitas. Salah satu sumber kecemasan adalah menghadapai berbagai konflik dan bentuk frustasi yang menghambat kemajuan individu untuk mencapai tujuan. Kondisi ini diikuti oleh perasaan tidak nyaman yang dicirikan dengan istilah khawatir, takut, tidak bahagia yang dapat kita rasakan melalui berbagai level. Salah satu tokoh yang mengalami kecemasan ini 61Ibid., hlm. 130 62Ibid., hlm. 145-146


78 adalah Amid. Ia berkeinginan untuk bergabung dengan tentara Republik, namun tak tercapai dan justru sebaliknya, menjadi musuhnya. Walhasil, masa ketika Amid menjadi laskar DI merupakan masa-masa penuh kecemasan. Banyak peristiwa yang bersinggungan dengan sikap Amid, salah satunya saat Amid membunuh seorang militer. Amid menemukan tasbih dan Al-Quran di saku celana militer itu. Diam-diam ia menyesal telah membunuhnya. Celakanya, melalui benda-benda itu bayangan letnan yang kubunuh sering muncul dalam rongga mataku. Tasbih dan Quran itu juga selalu mengingatkan aku bahwa pemiliknya, letnan yang sudah kubunuh itu, adalah orang yang tak seharusnya kuhabisi nyawanya.63 Lamunan-lamunan Amid pun secara tak langsung menggambarkan suasana hatinya yang tidak bahagia. Walaupun ia mencoba untuk terbiasa dengan zaman, akan tetapi keadaan yang dihadapi DI tak kunjung membaik, bahkan terus memburuk. Itulah yang membuat Amid menderita kecemasan berkepanjangan. 2. Mekanisme Pertahanan dan Konflik Dari sembilan jenis bentuk mekanisme pertahanan dan konflik menurut Albertine, setidaknya tiga di antaranya cukup menonjol terepresentasi oleh beberapa tokoh dalam novel ini. Pertama, rasionalisasi. Rasionalisasi memiliki dua tujuan, yakni untuk mengurangi kekecewaan ketika seseorang gagal mencapai suatu tujuan dan memberikan seseorang motif yang dapat diterima atas perilaku yang dilakukannya. Dalam novel, Kang Suyud pernah mengutarakan rasionalisasi untuk tujuan yang kedua, yakni saat ia silang pendapat dengan Kiai Ngumar. Silang pendapat ini terjadi dua kali, yaitu ketika Kang Suyud ingin membentuk barisan sendiri dan ketika ia memilih berseberangan dengan pemerintahan yang sah. “Ya, kami tidak ingin bergabung dengan tentara Republik,” jawab Kang Suyud. “Kami ingin membentuk pasukan sendiri dengan anggota yang semuanya mau sembahyang. Kiai, saya melihat banyak tentara tak melakukannya. Malah saya tahu dengan 63Ibid., hlm. 19-20


79 jelas, beberapa anak buah Siswo Wuyung ada dalam barisan tentara Republik. Jangan lupa Siswo Wuyung adalah pendiri persatuan komunis di wilayah ini sejak 1938.”64 “Bung Karno-Bung Hatta menyusun pemerintahan bersama segala macam orang, sementara Kartosuwiryo hanya bekerja sama dengan orang Islam untuk mendirikan sebuah negara Islam.”65 Kutipan tersebut berisi rasionalisasi Kang Suyud atas pilihannya. Ia meyakini bahwa hanya dengan sesama orang Islam saja kerjasama dapat dijalin. Ia merasa rasionalisasinya absolut dan tak terbantahkan. Oleh sebab itu, apa yang ia lakukan kemudian bersama laskar Hizbullah dan seterusnya laskar DI, dirasa telah sesuai dengan jalan hidup yang seharusnya sehingga ia menjalaninya dengan sepenuh hati. Justru pihak yang salah menurutnya adalah pihak yang mendukung pemerintahan Bung Karno. Kemudian yang kedua adalah regresi. Regresi mempunyai dua interpretasi. Pertama, regresi yang disebut retrogressive behavior yaitu perilaku seseorang yang mirip anak kecil, menangis dan amat manja agar memperoleh rasa aman dan perhatian orang lain. Kedua, regresi yang disebut primitivation ketika seorang dewasa bersikap sebagai orang yang tidak berbudaya dan kehilangan kontrol sehingga tidak sungkan berkelahi. Peristiwa Kiram lepas kontrol menunjukkan regresi pada tokoh tersebut. Kiram mengamuk setelah tersiar kabar Kartosuwiryo tertangkap dan seluruh laskar DI diminta untuk meletakkan senjata. Sebelumnya Kiram tak pernah lepas kontrol seperti itu. Meskipun dikenal garang terhadap musuh di medan perang, namun ia setia kawan terhadap orang-orang dekatnya. Apalagi terhadap Amid, sahabatnya sejak di kampung. Regresi pada diri Kiram disebabkan ia tak siap mendengar kabar tersebut. Terlebih Kiram adalah sosok yang paling bersemangat. Di luar dari DI dimusuhi pemerintah dan masyarakat umum, telah banyak yang ia lalui bersama laskar DI itu. Tak sedikit kawannya gugur, termasuk Kang Suyud. Maka respons 64Ibid., hlm. 48 65Ibid., hlm. 75


80 Kiram setelah kabar tersebut sampai di telinganya sangat dapat dipahami. Kulihat wajah Kiram masih tegang. Matanya malah berubah merah. Gumpalan otot pada kedua pipinya makin jelas. Dan tibatiba ia bangkit lalu meraih senjatanya. Aku tak sadar betul apa yang kemudian terjadi, yang jelas aku melihat laras senjata Kiram sudah tertuju lurus ke arah perutku. Detik berikutnya aku melihat Toyib dan Jun menepiskan senjata itu ke arah lain dan pada saat yang sama meledaklah rentetan tembakan. Terjadi pergulatan singkat. Toyib dan Jun berhasil melepaskan senjata dari tangan Kiram yang kemudian berteriak-teriak: Amuk. Ia begitu marah ketika menyadari perjuangan dan penderitaan kami selama bertahun-tahun hanya dipertaruhkan untuk sesuatu yang kosong. Hampa.66 Selanjutnya, yang ketiga adalah agresi. Agresi merupakan perasaan marah yang terkait erat dengan ketegangan dan kegelisahan yang dapat menjurus pada perusakan dan penyerangan. Agresi muncul dalam novel ketika peristiwa penyerangan terhadap seorang kiai di sebuah desa. Pelakunya adalah sekelompok laskar DI, termasuk Amid dan kawankawan. Saat itu DI menyisir ke kampung-kampung untuk mengetahui sikap orang-orang di sana. Siapa saja yang tidak sepaham dan melawan DI maka nyawa taruhannya. Kiai itu kurang lebih bersikap sama dengan Kiai Ngumar, yakni mengakui pemerintahan Bung Karno. Dengan begitu ia tidak mendukung gerakan DI. Ya. Maka kiai itulah yang pertama kali kami tembak dalam penyerbuan kami bulan-bulan berikutnya.67 Bila menilik kembali perdebatan antara Kang Suyud dengan Kiai Ngumar, di sana terlihat Kang Suyud meninggalkan ruangan tanpa permisi sambil meninju meja. Boleh dibilang tindakan tersebut menandakan bahwa Kang Suyud marah. Ia tak senang dengan pandangan dan sikap Kiai Ngumar. Saat itu, belum ada garis tegas yang memisahkan antara DI dan Republik. Di kemudian hari terbukti, Kang Suyud merencanakan persidangan untuk Kiai Ngumar. Bukan tidak mungkin bila itu terjadi, Kiai Ngumar bakal bernasib sama dengan seorang kiai yang mereka bunuh karena tidak mendukung DI. Hal ini 66Ibid., hlm. 147-148 67Ibid., hlm. 17


81 berarti marah mereka, laskar Di, berujung pada tindakan agresi terhadap orang-orang yang berseberangan. C. Analisis Fanatisme Agama dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Tohari Isu agama tampaknya tak pernah lapuk digerogoti zaman. Pengarang, dalam hal ini, Ahmad Tohari merekam peristiwa terkait itu ke dalam karyanya. Berpuluh tahun sejak novel ini diterbitkan, peristiwa serupa terjadi lagi di zaman yang sudah semodern ini. Berangkat dari peristiwaperistiwa itu, peneliti bermaksud menganalisis sisi fanatisme agama dalam novel ini. Barangkali analisis ini juga bisa berguna untuk memahami peta fanatisme agama yang tengah melingkupi kehidupan berbangsa dan bernegara belakangan ini. 1. Ciri-ciri Fanatisme Demi melihat fanatisme agama dalam Novel Lingkar Tanah Lingkar Air, peneliti mengidentifikasi ciri-ciri dilakukan sebagai langkah awal. Sebagaimana pendapat Wolman, ciri-ciri fanatisme terdiri dari tiga hal, yakni kurang rasional, pandangan yang sempit, dan bersemangat untuk mengejar tujuan tertentu dengan menggebu-gebu. Ketiga hal tersebut bisa dijumpai dalam novel ini, berikut uraian dan kaitannya dengan ciri-ciri fanatisme yang diungkapkan Mukti Ali (Anti Thaghut, Takfir, dan NKRI Negara Kafir). Ciri pertama, yakni kurang rasional, dapat dilihat dari adanya upaya pembentukan negara Islam Indonesia oleh laskar Darul Islam. “Tunggu mereka di sini. Malah Jalal juga sudah bergabung. Kita sudah resmi menjadi anggota laskar Darul Islam. Kira sudah punya negara sendiri, Negara Islam Indonesia.”68 Berdasarkan kutipan tersebut, setidaknya diperoleh gambaran bahwa dengan mengupayakan berdirinya Negara Islam Indonesia, laskar Darul Islam (DI) telah menafikan keberadaan agama lain yang ada di Indonesia. Padahal, tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran agama selain Islam tidaklah 68Ibid, hlm. 95


82 sedikit, bahkan para pejuang kemerdekaan berasal dari agama yang berbeda-beda. Dengan demikian, upaya tersebut sama halnya dengan tidak menghargai pengorbanan pejuang-pejuang terdahulu. Rasionalisasi DI yang menganggap Islam mutlak diperlukan sebagai falsafah dan bentuk negara tak bisa diterima untuk bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Mereka beranggapan bahwa hanya dengan didirikannya negara Islam maka ritual ibadah mereka bisa terlaksana dengan baik. Padahal di saat yang bersamaan, diupayakannya hal tersebut sekaligus mengorbankan kepentingan umum, yakni ketentraman. Terjadi perpecahan begitu DI menyatakan tidak setia terhadap Republik Indonesia yang berdaulat. Hal ini tentu telah diperkirakan oleh laskarDI, dengan menyadari bahwa sikapnya akan menimbulkan perang. Ciri kedua, yakni pandangan yang sempit, dibuktikan melalui kutipan berikut. “Ya, kami tidak ingin bergabung dengan tentara Republik,” jawab Kang Suyud.“Kami ingin membentuk barisan sendiri dengan anggota yang semuanya mau sembahyang.Kiai, saya melihat banyak tentara tak melakukannya.Malah saya tahu dengan jelas, beberapa anak buah Siswo Wuyung ada dalam barisan tentara Republik.Jangan lupa Siswo Wuyung adalah pendiri persatuan komunis di wilayah ini sejak 1938.”69 Kutipan tersebut setidaknya menyiratkan beberapa hal. Pertama, Kang Suyud sebagai muslim merasa dirinya purna keislamannya dengan menunaikan sembahyang, dan sembahyang yang ia lakukan adalah sembahyang yang menempatkan dirinya sebagai orang yang taat – sekaligus benar, karena itu ia sampai pada kesimpulan tidak ingin bekerja sama dengan orang yang tidak sembahyang. Kedua, sembahyang sebagai simbol seseorang muslim atau bukan, menjadi parameter untuk menentukan seseorang berhak ditemani atau tidak. Artinya, Kang Suyud telah menutup pintu pertemanannya bagi mereka yang bukan Islamdan tidak beribadah kepada Allah (anti Thagut), dan ini merupakan perilaku intoleransi. Ketiga, kaum komunis serta-merta dicap sebagai golongan yang tak bertuhan, sebab itu mereka termasuk yang perlu dijauhi. Tiga hal 69Ibid, hlm. 48


83 ini bermula dari sikap fanatisme Kang Suyud terhadap agama yang ia anut, yaitu Islam. Di kemudian hari, Kang Suyud adalah orang pertama yang menyatakan dirinya tidak sepaham dengan bentuk negara yang dipimpin Soekarno. Maka meski Kang Suyud muslim, akan tetapi konsep beragamanya tidak sama dengan Kiai Ngumar. Ketidakrasionalan yang ditunjukkan oleh sikap Kang Suyud ini memberi gambaran awal bagaimana ia begitu anti terhadap orang-orang yang dianggapnya Thaghut yakni tidak menyembah Tuhan yang ia yakini. Terkait sikap Kang Suyud demikian, Kiai Ngumar punya pandangan sendiri yang menyangkut prinsip mendasar untuk seorang muslim. “Mid, kamu keliru. Para ulama seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan sebagainya, bahkan aku sendiri misalnya, tak pernah lupa mengajari orang untuk bersembahyang. Bukan hanya untuk mengajarkan bacaan dan tata caranya, melainkan juga, dan ini yang paling penting, mengajari jiwa agar setiap orang bisa mewajibkan diri mereka sendiri untuk bersembahyang. “Ya.Sembahyang adalah kewajiban yang datang dari Tuhan untuk setiap pribadi yang percaya.Ya.Kewajiban sembahyang tidak datang dari seseorang untuk orang lainnya. Maka secara pribadi aku tak berani mewajibkan apa-apa kepada orang lain karena aku juga tak mungkin memberinya pahala, tak pula berhak menghukumnya. Lalu bagaimana dengan si Suyud yang seakan-akan mau mewajibkan suatu yang jadi hak Allah, yaitu sembahyang, kepada orang lain?”70 Pandangan demikian sekaligus mendudukkan posisi Kiai Ngumar sebagai sosok yang luwes dan tidak memaksakan kehendak dalam beragama, karena itu Kiai Ngumar pantas disebut sebagai tokoh agama yang moderat. Ia sangat lain dengan Kang Suyud. Sebagaimana kutipan di atas, Kiai Ngumar memercayai bahwa sembahyang adalah perintah dari Yang Maha Esa kepada setiap makhluk-Nya. Adapun mereka yang melaksanakan dan tidak adalah urusan pribadi mereka sendiri terhadap Tuhan-Nya. Lagi pula, walaupun sembahyang adalah tiang agama, kehendak Tuhan siapa yang tahu. Kiai Ngumar menganggap Kang Suyud telah melampaui apa yang seharusnya menjadi kewajiban seorang muslim. Jadi, sembahyang yang dijadikan parameter Kang Suyud tidaklah tepat 70Ibid, hlm. 54


84 dalam konteks kebangsaan. Ada yang lebih utama daripada itu, yakni kemanusiaan. Selain itu, pandangan sempit kembali ditunjukkan melalui sikap Kang Suyud yang berniat menolak permohonan bantuan dari tentara Republik untuk menangkap Mantri Karsun. “Buat kerja sama. Aku percaya, suatu saat kita akan memerlukan bantuan mereka, obat-obatan misalnya. Atau siapa tahu, malah senjata. Kita hanya punya empat bedil, bukan?” kataku. “Tetapi di sana banyak anak Pesindo, anak buah Siswo Wuyung yang komunis.Kamu mau bekerja sama dengan kafir komunis?”71 Kutipan tersebut memperlihatkan betapa Kang Suyud telah dibutakan oleh anggapannya sendiri mengenai kerjasama dengan kaum komunis. Padahal komandan yang meminta bantuan itu bukanlah seorang komunis. Ia komandan baru yang dianggap lebih ramah terhadap laskar Hizbullah ketimbang komandan sebelumnya yang tak pernah sekalipun menyapa laskar Hizbullah. Kang Suyud hanya mengganggap dalam tubuh tentara Republik bersarang juga orang-orang komunis, karena itu tak layak dibantu. Ia tak melihat itu sebagai peluang kerja sama yang menguntungkan, sebagaimana dipikirkan Amid. Di saat laskar Hizbullah minim amunisi, tentara Republik mestinya bisa sangat menjanjikan untuk mereka. Kedua peristiwa tersebut terjadi saat Belanda belum terusir dari Tanah Air. Kala itu DI belum ada, namun sekelompok orang yang bersikap fanatik sudah muncul dan merapatkan barisan dengan laskar Hizbullah. Fanatisme inilah yang menuntun mereka ke barisan DI, untuk kemudian berseberangan dengan pemerintah yang sah. Menilik kutipan di atas terlihat jelas bahwa sikap Kang Suyud yang demikian merupakan bentuk dari pandangan takfir (pengkafiran) secara menyeluruh kepada orang-orang dari golongan komunis yang dalam dialog ia sebut sebagai anak buah Siswo Wuyung (Pimpinan Komunis). Selanjutnya, kutipan di atas sekaligus menunjukkan bahwa NKRI yang secara sah dianggapnya sebagai negara kafir karena sistem yang 71Ibid, hlm. 59


85 menyamaratakan orang Islam dengan orang di luar Islam untuk bergabung bersama dalam naungan tentara Republik. Ciri ketiga, yakni bersemangat untuk mengejar sesuatu, terlihat dari cita-cita DI untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Semangat mereka sedemikian besar sehingga tak gentar untuk berperang dengan tentara Republik. Tak hanya itu, mereka juga memerangi siapa saja yang tidak mendukung bentuk negara Islam. Islam, sebagaimana juga agama lain, adalah benar menurut pemeluknya. Bukan rahasia lagi bahwa semua agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian. Adapun di Indonesia, Islam tak bisa dipaksakan menjadi hukum negara yang absolut sekalipun Islam adalah agama mayoritas. Apalagi jika yang dikehendaki adalah berdirinya negara Islam. Tentu ini akan menimbulkan perpecahan karena Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk. Atas nama apapun, apabila menimbulkan perpecahan dan kerugian untuk banyak orang, maka tak bisa dibenarkan. Di zaman yang seperti itu, tak sedikit orang Islam yang tak mau dihubung-hubungkan dengan kelompok radikal macam DI, karena merasa DI bukan representasi Islam menurutnya. Tak heran bila mereka kemudian menyebut DI sebagai oknum yang mengatasnamakan agama. Terkait hal ini, peneliti tertarik mengutip tulisan berikut. Kembali ke Indonesia, penganut NII, DI/TII, JI, JAT, MMI, FPI, dan sebagainya percaya bahwa kemaksiatan dan kemungkaran harus diselesaikan dengan cara agama, karena itulah harus didirikan negara Islam, atau minimal polisi Islam. Golongan ini marah kalau disebut oknum. Mereka bukan oknum, mereka merasa dirinya mujahidin yang membela agamanya, kalau perlu mati syahid untuk agama. Jadi, mereka sendiri menyatakan diri sebagai representasi agama, padahal kita menafikannya sebagai bukan masalah agama.72 Melalui keterangan tersebut, duduk persoalannya menjadi jelas. Sebagai mujahidin, berjihad di jalan agama agaknya mengokohkan semangat mereka dalam menghadapi musuh-musuhnya. Oleh sebab itu, pada dasarnya mereka sadar dan boleh jadi dengan penuh kesadaran, siap 72 Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi, (Tangerang: PT Pustaka Alvabet, 2012) hlm. 127-128


86 menerima konsekuensi yang kelak ditemui, termasuk bila harus mengorbankan nyawanya sekalipun.


87 2. Aspek-aspek Fanatisme Goddard mengemukakan bahwa aspek-aspek fanatisme ada empat, yakni besarnya minat dan kecintaan pada satu jenis kegiatan, sikap pribadi maupun kelompok terhadap kegiatan tersebut, lamanya individu menekuni satu jenis kegiatan tertentu, dan motivasi dari keluarga atau orang terdekat. Aspek pertama tergambar dari kecintaan Kang Suyud terhadap Islam menurut asumsinya. Dikatakan demikian karena asumsi Kang Suyud tentang Islam menganggap semua orang yang bukan Islam tak layak ditemani, apalagi dijadikan mitra kerja sama, di mana asumsi tersebut tidak berlaku bagi Kiai Ngumar. Kang Suyud menganggap asumsi itu mutlak kebenarannya, sehingga ia dengan sepenuh hati memperjuangkan apa yang ia anggap benar, yakni dengan berupaya mendirikan Negara Islam Indonesia. Minat dan kecintaan pada suatu kegiatan juga muncul dalam diri tokoh Kiram. Berbeda dengan Kang Suyud yang cenderung memiliki sikap fanatik yang negatif, Kiram justru sangat antusias dalam menjalani tanggung jawab militer yang diembannya. Dapat dilihat dari semangatnya ketika ditugaskan untuk menangkap Mantri Karsun seorang antek-antek musuh (Belanda). Bisa dikatakan fanatik yang dimiliki Kiram pada peristiwa ini menunjukkan sikap fanatik yang positif. Secara tidak sadar kefanatikan Kiram terhadap pemerintah Republik dan DI ketika masih terjalin kerjasama antarkeduanya, menjadikan Kiram sebagai tokoh berjiwa patriotik dalam memberangus musuh-musuh NKRI. Aspek kedua tercermin dari kutipan berikut. “Bahkan aku mendengar selentingan lain bahwa Kang Suyud tidak ingin setia kepada Republik karena diam-diam dia menyimpan citacita sendiri.”73 Tidak mau bergabung dengan tentara Republik dan dengan sadar ingkar terhadap Republik adalah sikap pribadi Kang Suyud. Sejak awal sikap ini memang sudah terlihat. Hal ini yang kemudian membuat Kang Suyud paling tampak fanatik ketimbang Kiram, Jun, atau Jalal. Ia memilih 73 Tohari, Op. Cit., hlm. 71


88 jalan perjuangannya itu atas dasar kemauan sendiri. Walaupun dikisahkan bahwa Kang Suyud telah berkeluarga dan banyak anak, namun ia rela berkorban demi menjadi gerilyawan DI. Sikap pribadi ini menjadi salah satu landasan paling kuat bagi Kang Suyud selama masa gerilya. Di kemudian hari, sikap Kang Suyud ini semakin kokoh manakala ia mendengar kabar tentang Kartosuwiryo dan pengikutnya yang juga punya cita-cita serupa. Dari situ, Kang Suyud punya modal yang kuat untuk menyatakan sikapnya. Kemudian, aspek ketiga sebetulnya tidak begitu ditampakkan dalam novel. Satu hal yang mungkin bisa dipastikan hanyalah Kang Suyud memang terlahir sebagai orang Islam. Di mana itu berarti selama hidupnya, ia berpedoman pada ajaran-ajaran Islam. Segala hal yang ia lakukan, semuanya berdasarkan tuntunan agama. Sampai sini, ada yang perlu dipahami terlebih dahulu, yakni posisi Kiai Ngumar dan Kang Suyud di kampung tempat tinggal mereka. Kang Suyud, sebagaimana Kiai Ngumar, adalah tokoh yang dihormati di kampungnya. Ia juga memimpin masjid sama seperti Kiai Ngumar. “Aku segera teringat, di desa asalnya Kang Suyud meninggalkan istri dan beberapa anak, juga sebuah masjid yang besar. Dulu, sebelum lari ke hutan bersama kami, Kang Suyud sudah menjadi imam di masjid itu. Jamaahnya banyak dan ia dihormati.”74 Akan tetapi, lebih dari itu tak dikisahkan secara lebih terperinci seperti apa kegiatan sehari-hari Kang Suyud sebagai tokoh yang dihormati di masjid itu. Tak ada keterangan pula jamaah Kang Suyud turut serta bergabung dengan laskar DI. Bahkan justru cenderung mengindikasikan bahwa hanya Kang Suyud seorang yang terang-terangan menjadi bagian DI. Hal ini terlihat dari narasi tokoh utama, Amid, yang tak pernah sekalipun menyebut jamaah Kang Suyud ikut bergerilya bersama laskar DI. Berdasarkan cerita, Amid hanya menyebut kelompok kecil, di mana itu termasuk dirinya, Kang Suyud, Kiram, dan Jun. Sementara itu, di pihak Kiai Ngumar, kita bisa melihat aktivitas Kiai Ngumar saat berada di masjid. Tak hanya itu, pola pikir Kiai Ngumar juga 74Ibid, hlm. 13


89 cukup tergambar jelas melalui dialog-dialognya dengan Amid. Ia pernah mengatakan bahwa dirinya makmum pada Hadratusy Syaikh. Dari sini terlihat sikap beragama Kiai Ngumar yang berafiliasi dengan ormas Islam Nahdlatul Ulama. Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari adalah tokoh agama yang dikenal moderat, karena itu Kiai Ngumar bersikap sama. Satu hal yang ingin peneliti katakan melalui gambaran tersebut adalah ajaran agama seperti apa yang diterima Kang Suyud selama hidupnya itu masih belum jelas karena tidak disebutkan dalam novel. Gambaran ini perlu untuk melihat orientasi beragama Kang Suyud hingga sampai pada keinginan mendirikan Negara Islam Indonesia. Peneliti menganggap apa yang dilakukan Kang Suyud berdasarkan keyakinan agamanya bermula dari ajaran-ajaran yang ia terima. Dengan demikian, ada proses spiritual Kang Suyud yang belum kita ketahui. Peneliti cukup mengatakan bahwa aspek ketiga fanatisme ini demikian adanya. Aspek keempat, yakni motivasi keluarga atau orang terdekat, tidak ditemukan dalam novel ini. Kang Suyud memang punya keluarga, namun tidak disebutkan bahwa keluarganya memotivasi Kang Suyud sehingga ia bersikap fanatik terhadap agamanya. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fanatisme Andar Ismail dalam Herlambang mengutarakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi fanatisme yaitu faktor antusias berlebihan dan faktor pendidikan. Faktor pertama berarti seseorang yang mempunyai semangat berlebihan kemudian tidak berdasar pada akal sehat melainkan hanya berdasar pada emosi yang tidak terkendali. Ketiadaan akal sehat ini mudah membuat orang melakukan apapun untuk mencapai keinginannya, sehingga orang tersebut dapat bertindak negatif yang cenderung merugikan diri sendiri dan orang lain. Faktor ini tercermin dari perilaku tokoh Kang Suyud. Semangatnya yang menggelora bersama DI seolah menyampingkan banyak hal berkaitan dengan kepentingan umum. Ini karena Kang Suyud, dan juga DI, terlampau memiliki antusiasme yang berlebihan dalam berupaya mendirikan Negara Islam Indonesia.


Click to View FlipBook Version