UCAPAN TERIMA KASIH Puji Syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang pada akhirnya memberi kami semua kesempatan untuk membuat buku pertama yang kami terbitkan bersama di SMA Negeri 1 Prajekan. Buku ini bermula dari keinginan saya pribadi untk menularkan pengalama menulis yang saya rasa menyenangkan. Menulis adalah sesuatu yang sangat universal dan sangat dekat dengan kita semua. Kita menulis segala hal hampir setiap jamnya. Hal itu adalah sebuah modal besar untuk mengarahkan kita semua pada potensi untuk berkarya dalam bentuk tulisan. Buku ini berisi cerita-ceita menarik dari 23 guru dan siswa di SMA Negeri 1 Prajekan berdasarkan pengalaman hidup mereka di SMA dan beberapa cerita fiksi dengan tema putih abu-abu. Banyak cerita-cerita cinta khas anak SMA yang diangkat. Tentang pertemua, cinta diam-diam, patah hati dan kekecewaa. Namun bukan hanya itu ada pula cerita-cerita motivasi, perjuangan dan persahabatan yang terangkum menjadi satu sehingga tidak berlebihan kiranya jika saya katakan, bahwa buku ini adalah sebuah tulisan sederhana yang akan membuat pembacanya mengingat masa-masa SMA yang tidak akan pernah terulang. Sebagai event yang dimulai untuk pertama kali, tentu saja ada banyak sekali kendala-kenda yang saya dan 22 penulis lain alami. Mulai dari banyaknya penulis yang pada akhirnya tidak bisa ikut serta pada event ini, para guru yang tidak punya waktu menulis, ibu muda yang disibukkan oleh anaknya, siswa yang tidak punya laptop, tidak punya ide cerita sampai pada kesulitan para penulis pemula yang baru menuliskan karyanya untuk pertama kali pada event ini. Itu kenapa tidak berlebihan kiranya jika saya katakana jika buku perdana kami ini adalah sebuah bentuk perjuangan dari semua penulisnya. Saya berharap, semoga nantinya seluruh penulis dalam event ini bisa lebih berkembang dan dapat membuat karya-karya baru agar bisa memotivasi orang lain untuk menulis bersama. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Kepala SMA Negeri 1 Prajekan, Bapak Sugeng Iswanto, S.Pd yang telah memberi saya kesempatan untuk mengadakan event ini dan melibatkan seluruh warga sekolah untuk berpartisipasi. Juga kepada Bapak Budiyono, S.Pd dan Ibu Mei Lusyana, S.Pd selaku guru Bahasa Indonesia yang sangat mendukung berjalannya event ini. Terima kasih
untuk segala diskusi dan saran yang telah memudahkan saya dalam penyelenggaraan event menulis ini. Saya berharap di event selanjutnya bapak ibu bisa bergabung dan menulis bersama kami. Kepada rekan-rekan tim web dan jurnalistik SMA 1 Prajekan; Mbak Anik, Mas Agung, Happy, Himah, Arifa dan anggota terbaru kami Mbak Tia. Dulu saat diklat pertama kita, membuat buku bersama adalah sebuah impian. Kali ini satu mimpi kita bersama telah terwujud. Kita doakan semoga Mas Agung segera mendapat hidayah, agar cerpennya tidak hanya berhenti pada judul dan bisa segera terselesaikan. Terima kasih juga saya ucapkan pada eksrta Jurnalistik dan 22 penulis yang telah tergabung dalam event ini. Saya berharap akan ada event-event lain setelah ini yang membuat kita bertemu kembali dalam satu buku yang sama. Tak lupa juga terima kasih sebesar-besarnya pada tim Bookies yang sudah mau bekerjasama dengan saya dan SMA Negeri 1 Prajekan, untuk menerbitkan buku perdana kami ini. Semoga penerbit Bookies bisa semakin maju dan meningkatkan kualitas kedepannya. Terakhir terima kasih saya ucapkan kepada semua pembeli dan pembaca buku Catatan Putih Abu-abu yang telah meluangkan uang dan waktu kalian untuk mengapresiasi karya kami. Selamat membaca dan mengenang masa putih abu-abu kalian. Salam dari kami, para penulis cerita putih abu-abu. Editor, Jrux Kuning
DAFTAR ISI Memori – Tia Dwi Putri Hari Nanda Titik – Dhipi Dara Laras Hati Beside You – Nur Aliva Jangan Benci, Nanti Jadi Jodoh – Rina Purwasanti Titik Perubahan – Emah Nada Ardiyani Kekaguman yang Terbongkar – Putri Maysita Rizka Zonasi Penghadir Luka – Bintang Nur Fadilah Petaka (Mereka) – Siti Nurkholisah The Star – Aina Farahima Aisyah – Anita Dian Sukardi Abu-Abu Setelah Biru – Rika Aristifani Tentang Kita – Dinda Maysaroh Zonasi – Regita Dini Aprilia Sepotong Kisah Putih Abu-Abu – Ariefatul Hafidah Garis – Dinda Yulisah Pelangi’s Secret Life – Pelangi Ananda Rurieanty Agar Kita Bertemu Kembali – Firman Mulia Ramadhan Cinta Dalam Diam – Umi Selsabila Anak SMA oh Anak SMA – Hikmah Firdausi Sisa Kemarin – Hapy Mulia Audina Sahabat Putih Abu-Abu – Nick Sepenggal Kisah – Merry Danik Swidiarni Namanya Ahmad – Jrux Kuning
MEMORI Oleh : Him@da “Ya Allah, gimana kalau aku tidak menikah?” Itu adalah pertanyaan yang sering aku ucapkan saat aku sedang termenung sendiri atau saat aku sedang duduk bersimpuh berbicara pada Tuhanku selesai melaksanakan perintah wajib dari Tuhanku. Kala itu aku masih duduk di bangku SMA. Aku termasuk anak yang kurang percaya diri dengan penampilanku. Sebenarnya bukan hanya itu alasan satu-satunya yang membuat aku khawatir tidak akan bisa menikah. Padahal aku adalah gadis yang cukup populer dan cantik, walau nggak cantik-cantik amat, sih. Namun, alasan lain yang membuat aku berpikir begitu adalah karena aku tidak bisa berkomunikasi baik dengan teman- temanku, terutama teman laki-laki yang paling sering menyumbangkan penderitaan pada masa awal remajaku. Setiap ada yang mendekat, aku berpikir mereka hanya akan mencoba mengorek kekuranganku atau membuat aku GR (gede rasa) saja. Pikiran seperti itu sudah melekat sejak aku mulai masuk SMP, masa awal remajaku yang begitu suram. Teman-teman sering membullyku. Mereka mendekatiku hanya untuk mengorek kekuranganku. Kemudian mereka menjelek-jelekkan aku di belakangku pada teman-teman yang lain. Well that’s so annoying. Mereka menertawakan aku yang datang dari desa, berpenampilan kampungan, tidak popular, tidak termasuk orang pandai, tidak cantik (masih belum kenal skin care), dan tentu saja tidak kaya. Apa yang bisa dibanggakan? Boro-boro punya pacar, punya teman saja sudah bersyukur. Berbeda dengan masa-masaku di bangku SMA. Masa itu aku sudah bertekad untuk membenahi penampilanku. Tentu saja, otak juga tak lupa menjadi bagian yang harus aku benahi. Itu semua aku lakukan untuk memperbaiki nasibku ketika di SMA. Well, semua berjalan mulus. Aku menjadi anak yang pintar dan punya banyak teman (beberapa cuma butuh buat nyontek doang). Aku juga termasuk salah satu artis sekolah golongan penyanyi yang juga membuat aku menjadi punya banyak teman (beberapa numpang tenar, oh God). Mereka ada yang tulus dan ada yang tidak tulus berteman denganku. Hal itulah yang membuat aku jadi sulit untuk percaya pada orang lain, apalagi dekat dengan orang lain. Trauma dibully masih melekat di pikiranku walaupun saat SMA aku sudah tidak lagi dibully. Sampai pada suatu saat ketika naik kelas dua SMA, aku berada di kelas yang sama dengan seorang anak laki-laki yang begitu polos. Jangan salah, walaupun dia polos, tapi dia adalah anak yang cerdas dan cukup tampan. Mulai dari sinilah keceprcayaanku pada orang lain mulai tumbuh. Dia anak yang begitu baik. Tidak pernah membeda-bedakan teman dan selalu ramah pada siapa pun. Setiap hari aku bertemu dan belajar dengannya. Berteman dengannya membuatku merasa nyaman. Seiring berjalannya waktu, hatiku merasakan sesuatu yang berbeda.
Setiap dia melihat ataupun berbicara denganku, membuat sekujur tubuhku menjadi panas. Jantung mulai berganti irama membuat aliran darah melaju lebih cepat dan memerahkan wajah yang harus segera kusembunyikan. Hal inilah yang membuat aku tidak bisa lagi dekat dengannya. Aku menyadari bahwa aku mulai menyukainya. Semakin aku menyukainya, semakin aku harus menghindarinya. Dia tidak boleh sampai mengetahui apa yang aku rasakan terhadapnya. Bukan hanya dia, tapi semua orang tidak boleh mengetahui perasaanku. Dia mulai merasa cemas dengan sikapku yang semakin menjauhinya. Setiap dia bertanya sesuatu atau mengajakku berbicara, aku pasti bersikap cuek dan langsung menghindar. Tsundere, mungkin ini istilah yang dikenal saat ini, orang yang bersikap berlawanan dengan apa yang dirasakannya untuk menutupi keadaan yang sebenarnya karena malu. Kebiasaan itu terus menerus aku lakukan sampai aku naik ke kelas tiga SMA hingga dia mengira mungkin aku membencinya. Sampai pada suatu ketika datang seorang adik kelas perempuan yang mulai mendekatinya. Tidak, bukan hanya mendekatinya, tapi terus menggodanya walaupun dia telah ditolak olehnya. Oh God, perempuan itu sungguh tidak tahu malu. Geram rasanya aku melihat sendiri ketika perempuan itu mulai menggoda dan merajuk. Pikiranku mulai kacau ketika aku tahu bahwa bukan hanya satu atau dua orang yang mulai menyukainya, tapi cukup banyak perempuan yang meliriknya. No! Aku bertambah panik. Anak laki-laki polos yang kukenal, ternyata sudah tidak sepolos dulu. Aku baru menyadari bahwa sekarang tubuhnya bertambah tinggi, rambutnya ditata keren, dan gayanya semakin percaya diri. Walaupun banyak perubahan yang terjadi pada dirinya, tapi tidak mengubah sifatnya sedikitpun. Dia tetap anak yang cerdas yang memiliki pribadi yang santun. Aku mulai menyesal telah mengabaikannya selama ini. Tidak, ini tidak benar. Aku membuat kesalahan besar. Harusnya dari dulu aku tidak pernah menjauh. Harusnya dari dulu aku bisa dekat dengannya. Detik itu juga, saat aku menyadari kebodohanku, aku berniat untuk mengubah sikapku dan berusaha untuk berlaku normal di depannya walaupun aku khawatir dia tidak akan menghiraukanku lagi setelah apa yang sudah aku lakukan terhadapnya. Well, semua harus dicoba, aku tidak mau mengulangi kesalahan yang sama dan menyesal untuk kedua kalinya. Keesokannya di sekolah, aku menyapanya terlebih dahulu dan sungguh sesuatu yang mengejutkan, dia membalas sapaanku dengan senyum seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Aku kegirangan nggak karuan karena merasa lega dia nggak membenciku. Kami mulai ngobrol lagi, dia merespon pertanyaan-pertanyaanku dengan santai dan seperti biasa, tidak ada hal yang berbeda. Pulang sekolah sesampai di rumah, aku tetap kegirangan dan merasa lega. Aku tidak menyangka bahwa dia adalah anak yang sebaik dan seramah itu, bahkan tidak tampak sedikitpun dendam di matanya. Namun, tiba-tiba aku terdiam. Aku jadi berpikir kenapa dia tidak marah walau aku cuekin. Kenapa dia nggak cuek juga buat balas sakit hatinya karena sudah aku abaikan. Apa jangan-jangan aku ini orang tidak penting yang tidak harus dia pusingkan mau
peduli atau nggak sama dia? Jadi, bisa aja kan dia nggak peduli kalau aku cuekin dia atau mungkin dia pikir bodo amat lah dengan sikapku padanya, apalagi sampai bisa buat dia sakit hati. Oh God, aku cuma ke-GR-an. *** Rinai hujan mulai bahasahi tanah panas dan mengepulkan asap debu tanah lapang di tengah sekolah. Kelulusan sudah diumumkan, semua siswa sudah melakukan perayaan dengan mencorat-coret seragam yang mereka pakai. Walaupun pihak sekolah telah melarang, tapi mereka tak urung melakukan hal tersebut. Aku berjalan ke arah kelas. Kupandangi kelas tempatku belajar. “Tak lama lagi aku akan segera meninggalkan ruangan ini, tempat belajar yang akan kurindukan”, gumamku. Aku duduk di salah satu bangku di pojok kelas sambil memandang ke luar jendela. “Hei, ternyata kamu di kelas.” Seseorang mengagetkanku dari belakang. Lebih kaget lagi ketika aku menoleh ternyata dia yang menepuk pundakku. Dia tersenyum sangat manis dan begitu ceria. Kemudian kami mengobrol panjang lebar dengan asik. Tak ada obrolan yang berarti, hanya obrolan ringan saja, tapi sudah membuatku sangat senang. Kupikir, begini sudah cukup. Aku bisa berteman dengannya, mengobrol, dan melihat senyumnya. Itulah akhir masa SMAku. *** Suatu ketika aku menemukan secarik kertas di dalam tas yang biasa aku gunakan ke sekolah. Tas itu sengaja aku simpan sebagai kenangan masa sekolahku waktu SMA. Aku menyimpannya dengan rapi di lemari sebelum akhirnya adik sepupuku melirik tas itu dan membuatku terpaksa harus merelakan untuknya. Namun, sebelum aku memberikannya pada adik sepupuku, aku mencoba untuk melihat ke dalam isi tasku. Mungkin saja masih ada barangbarangku yang tertinggal di dalamnya. Ternyata benar, aku menemukan secarik kertas berwarna putih yang sudah sedikit menguning. Surat itu telah kusam. Terlihat lamanya jejak waktu pada lipatan kertas yang tak jua dijamah. Menyimpan suara kalbu pada goresan untaian tinta dan membungkamnya hingga lebih dari lima tahun dalam tas itu. Dengan rasa penasaran yang memaksa, jari-jariku berlomba-lomba untuk segera membuka setiap lipatan kertas yang menyembunyikan rahasia di dalamnya. Betapa terkejutnya aku ketika tahu pengirim surat itu. Kubaca perlahan dengan nafas menderu. Kuperhatikan kata demi kata dengan seksama. Tulisan itu menyampaikan perasaan sang penulis. Perasaan yang tidak bisa diungkapkan penulis secara langsung. Perasaan yang sama sepertiku yang disimpan begitu lama. Namun, sekarang aku akan menikah. Akan menikah dengan calon suami yang kutemui di bangku kuliah. Calon suami yang sangat aku cintai.
Mungkin tempatnya di hatiku sudah terganti oleh calon suamiku, tapi entah mengapa jantung ini tak mau berbohong untuk hanya sekadar menyeleraskan kesetiaanku pada calon suamiku. Dari surat itu aku tahu. Dia menunggu jawabanku kala itu. Dia menungguku mengatakan bahwa aku menerima cintanya, tepat saat pengumuman kelulusan sekolah. Aku jadi teringat waktu dia menepuk pundakku waktu itu di dalam kelas. Mungkinkah dia sedang menagih jawaban atas pertanyaan dalam surat yang ia berikan ini? Kapan dia meletakkan surat di dalam tasku? Itu adalah sebuah pertanyaan retoris yang tidak perlu kujawab saat ini. Semua sudah berlalu. Ini garis hidup yang telah Tuhan tentukan untukku. Mungkin dia mengira aku tak menerima cintanya. Mungkin saat itu dengan penuh harap dia menantikan sebuah jawaban. Mungkin dia berdebar dan gelisah, tapi dia begitu tegar melawan gejolak dalam dirinya dan dia tetap bisa tersenyum dalam gundahnya. Padahal, dia mencintaiku dan aku mencintainya. Namun, Tuhan tak ingin kami tahu perasaan kami masingmasing saat itu karena Tuhan telah menyiapkan pasangan lain untukku dan untuknya. Tuhan ingin aku dan dia menyimpan kisah ini sebagai kenangan. TENTANG PENULIS : Tia Dwi Putri Hari Nanda, seorang guru dengan dua orang puta. Saat ini kesibukannya mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Prajekan dan aktif menjadi youtuber. Memiliki dua orang anak dan tinggal bersama suami di Kabupaten Bondowoso.
TITIK Oleh : Dhipi Dara Laras Hati "Lagunya ganti dong, Ray" kata Najwa. Namaku Raya. Aku adalah penikmat musik KPOP, sedangkan Najwa pendengar lagulagu hits di Indonesia. Hari ini kami memutuskan untuk mengerjakan tugas bersama setelah bel pulang sekolah. "Lagu One Direction, boleh?" Tanyaku. Dia mengangguk. "Boleh lah. Asal jangan KPOP, aku gak paham." Beberapa lagu telah terputar dan tugas kami pun selesai. Najwa mengajakku pulang bersama, karena rumah kami tidak terlalu jauh dari sekolah. Ma SMAku kini penuh cerita. Pada awalnya aku menganggap saat itu aku terjebak di SMA ini. Ya, aku adalah korban dari sistem zonasi di daerahku. Aku memimpikan sekolah di kota. Tapi setelah kujalani, ini tidak seburuk yang aku kira. Lalu seiring berjalannya waktu, aku cinta mencintai sekolah ini. Seperti biasa, Najwa menjemputku untuk pergi ke sekolah bersama menggunakan motornya. "Ya ampun Najwa," ujarku ketika baru saja Najwa memarkir motornya. "Kenapa? Ada yang ketinggalan?" "Bukan. Liat Wa, ada Albin!" Kataku menunjuk anak laki-laki yang baru saja turun dari motornya. Dia terlihat merapikan rambutnya sambil berkaca pada spion motornya. Aku kembali histeris dan memukul Najwa. "Ya ampun Waaaa manis banget." Najwa terlihat kesal dengan tingkahku. "Sakit woy! Udah ayo ke kelas." Dia menarik tanganku ke kelas sesegera mungkin. Kami berjalan perlahan di belakang sosok Albin. Aku mungkin terlihat biasa saja, namun sebenarnya jantungku berdetak seperti ada orkes yang tengah bermain di dalamnya. Albin itu keren sekali! Di kelas, teman-teman terlihat sedang memperdebatkan siapa yang akan mengikuti setiap kategori lomba karena sebentar lagi sekolah kami mengadakan lomba antar kelas untuk akhir semester ini. "Kali ini kita harus lebih kompak!"
"Iya, jangan mau kalah sama adik kelas! "Bener, kita udah di tahun terakhir, kita harus buat kenangan!" Mendengar ucapan teman-teman, aku jadi optimis kalau kelasku bisa memenangkan setidaknya satu kategori lomba. "Semangat kita!" Ujarku. *** Minggu dimana perlombaan itu di adakan pun datang. Hari ini adalah saatnya lomba futsal karung. Kelasku akan melawan kelas 12 IPA C. Oh baiklah, itu kelas Albin. "Raya ingat, kelas kita yang pakai sarung warna biru." Ujar Najwa di sampingku. "Hai Rayakuuuu." Seseorang datang dan merangkul bahuku. "Oh Eca, aku kira siapa." Eca sahabatku, sama dekatnya dengan Najwa. Tapi kami berbeda kelas. Dia teman sekelas Albin, sekaligus tempatku menanyakan kabar Albin. "Ayo kita nonton bareng! Dukung kelasku, ya!" Ujar Eca. "Yeee, harus mengutamakan kelas sendiri dulu, dong!" Sahut Najwa. "Udah-udah. Kelas 12 IPS A dan 12 IPA C semangat!" "Yeee, dasar kamu Ray." Aku hanya tertawa. Perhatianku kembali pada teman-teman yang bersiap-siap di lapangan futsal. Selama pertandingan berlangsung, fokusku kacau. Padahal kelasku memakai sarung warna biru, tapi aku lebih suka memperhatikan seseorang dengan sarung hijau di sana. "Yeay, GOAL!!!" Teriak Najwa di sebelahku. Senyum di wajahku muncul. "Woooww GOAL!" Teriakku. "Telat ah, fokus kemana sih?" Tanya Najwa. Pertandingan terus berlanjut. Albin berhasil mencetak angka hingga Eca dan temanteman sekelasnya bersorak. Albin menoleh kearah kami dan memamerkan senyumnya. "Gila si Albin keren banget!" Ujar Eca. Iya Ca, aku setuju denganmu. "Jadi makin mirip Soonyoung oppa," ujarku. "Huh, kumat deh. Mirip dari mananya sih?" "Dari matanya." Jawabku masih terus memperhatikan Albin.
Di hari terakhir perlombaan antar kelas ini, wali kelas meminta kami untuk berkumpul untuk meberi semangat pad lomba yang akan kami ikuti selama lomba antar kelas. Sejujurnya perlombaan kali ini lebih menyenangkan dari tahun-tahun sebelumnya. Aku merasa teman-teman bisa lebih kompak. "Anak-anak, hari ini lomba estafet kan?" "Iya bu, kami sudah memilih siapa saja yang terlibat," jawab ketua kelas kami. "Bagus. Ibu senang kalian kompak, ayo semangat!" Semua teman sekelasku bersorak saling memberi semangat. Terkadang beberapa dari mereka memang cuek dan sulit untuk di arahkan, namun kali ini mereka bisa bekerja sama. Wali kelasku masih memberi beberapa nasihat pada kami, namun telingaku terganggu dengan suara dari luar kelas. Kran air di kelas seberang tidak di matikan sepenuhnya. Aku tidak tahan dan ingin mematikannya. Aku sering membaca tentang bagaimana air bersih sulit di dapatkan atau pencemaran yang terjadi di laut. Itu membuatku kadang kala memiliki sifat protektif terhadap air. Namun aku tidak enak untuk meminta izin karena wali kelasku terlihat sudah hampir menyelesaikan nasihatnya. "Najwa, aku greget pengen matiin kran air di luar," Najwa menoleh kearah pandangku. "Siapa sih yang ngidupin air, gak di matiin bener-bener." Aku mulai kesal hingga terlihat tiga orang siswa lewat di depan kelasku. Seseorang mematikan kran air itu dan dia adalah Albin. Aku refleks memukul Najwa. "Ya ampun Wa!" "Aduh, apaan sih Raya!?" Sambil berbisik Najwa terlihat sangat kesal. "Barusan Albin matiin kran airnya! Ah Najwa, aku gemes nih, gimana dong?" Wali kelasku menyelesaikan nasihatnya dan meminta kami berkumpul untuk memberikan semangat. Kami semua mengumpulkan tangan pada satu titik. Untuk sementara konsentrasiku kembali pada kelas. "12 IPS A!" "BISA!" Teriak kami semua. Setelah wali kelas pergi, teman-temanpun pergi menuju lapangan. Aku dan Najwa masih berdiam diri di dalam kelas menunggu Eca. Dia bilang ada yang ingin dia katakan padaku. "Raya!" Panggil Eca ketika sampai di kelasku. Dia menarik kursi lalu duduk di depanku dan Najwa. "Mau ngomong apa sih Ca, di lapangan kan bisa?" Tanyaku.
"Gak bisa Ray, ini masih rahasia." Aku dan Najwa saling menatap bingung. Eca ada-ada saja. "Mau ngomong apa sih?" Tanyaku. "Tapi Raya, jangan patah hati ya. Tapi, pasti bakalan patah hati sih. Tapi, semangatnya jangan patah, kan bentar lagi mau lawan kelasku." "Langsung ngomong aja sih Ca, bikin penasaran." Ujar Najwa. "Oke, jadi gini. Kayaknya Raya harus berhenti suka sama Albin deh." Mendengar itu aku jadi bingung. Benar kata Eca, rasa sesak menghantamku. Meskipun masih belum tau apa alasannya tapi aku yakin itu pasti menyakitkan. "Kenapa?" Hanya pertanyaan itu yang terucap. "Ternyata dia lagi dekat sama adik kelas, Ray. Dari pada nanti kamu makin kecewa, mending berhenti sekarang kan?" Aku diam. Aku harus memastikan pada diriku sendiri dulu bahwa aku tidak apa-apa melihat Albin hari ini. Aku harus memastikan kalau aku masih bisa tersenyum di depan temantemanku. Masalah sakit hati itu, bisa aku atasi di kamarku nanti malam. "Ayo ke lapangan." Aku menarik Najwa dan Eca. Setelah lomba estafet berlangsung, kelasku kalah dari kelas Eca. Tapi tidak masalah, setidaknya kami sudah berusaha dan tertawa bersama selama perlombaan. Semua itu akan tetap menjadi kenangan berharga. Aku pergi ke kantin bersama Najwa. Nasib sial menimpaku, aku melihat Albin dan mungkin itu adik kelas yang di maksud Eca tadi. Setelah membeli minuman, kami segera kembali ke kelas. "Udahlah Ray, dari awal juga udah aku suruh berhenti kan? Perasaan kamu itu gak tulus Ray, kamu suka sama dia cuma karena dia mirip sama oppa-oppa kamu itu, menurutku malah gak ada miripnya." "Ah, kamu gak akan paham Wa." Aku mulai resah. "Aku paham. Kamu itu cuma terobsesi sama oppa kamu itu, sampai kamu lihat orang lain sebagai dia. Berhenti Raya." Benar, Najwa tidak paham. Aku memang menyukainya karena dia terlihat mirip dengan Soonyoung oppa, idolaku. Tapi Najwa tidak tahu soal Albin sebanyak aku. Aku menyukainya lebih dari alasan itu, aku memperhatikannya sejak lama, apalagi cerita-cerita Eca tentangnya di kelas. Tentang bagaimana pintar dan serunya dia. Semua itu membuatku semakin kagum.
Namun, kata-kata Najwa tadi cukup menamparku. Jadi seperti ini titik dari ceritaku tentangnya. Kami belum pernah bertegur sapa dan ternyata dia memang bukan untukku. TENTANG PENULIS : Dhipi Dara Laras Hati, lahir di Bondowoso, pada 30 November tahun 2001. Saya bersekolah di SMA N 1 Prajekan. Menulis cerita fiksi adalah salah satu hal yang sudah saya lakukan sejak SD. Dan di masa depan saya ingin mendirikan agensi musik dan membuat Idol Group sendiri.
BESIDE YOU Oleh : Nur Aliva Suasana di dalam bus pagi ini begitu sesak dan pengap, seperti biasa. Para penumpang harus berdesak-desakan agar mendapat tempat di dalam bus. Setelah dua puluh menit, aku sampai di tujuan. Lalu, aku terburu-buru turun dari bus karena bel masuk sudah terdengar. Ini pagi yang mendebarkan. Malamnya, aku sedang menyelimuti diriku dan bersiap untuk tidur, sangat lelah rasanya. Hari ini berjalan seperti hari-hari sebelumnya, monoton. Di tengah lamunanku, aku teringat akan sebuah benda, aku lupa menaruhnya dimana. Aku panik, bagaimana bisa aku begitu ceroboh. Segera aku mencari di dalam tas, tumpukan buku, meja belajar, dan semua sudut yang ada di kamarku, tapi hasilnya nihil. *** "Va, ada yang nyari kamu tuh di luar." Ujar Seila, sahabatku sejak SMP. Saat tiba di luar, hanya terlihat seorang laki-laki yang melihatku sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. Berbeda denganku yang memperlihatkan ekspresi bertanyatanya. "Arga" ucapnya sembari mengulurkan tangan, seakan-akan menjawab pernyataan dalam otakku. "Maaf, ada perlu apa ya?" Bukannya menyambut uluran tangannya, aku malah melontarkan pertanyaan. Tanpa diduga, dia menarik tanganku untuk menerima uluran tangannya. "Kenalan dulu, baru aku mau jawab." "Ehh! Ngapain sih pegang-pegang." Aku berusaha menarik tanganku, tapi dia memegangnya lebih kuat. Aku menghela napas berat tak dapat melawan. "Ivana" Jawabku. Dia langsung melepaskan tanganku dan mengeluarkan sebuah benda dari dalam tasnya. Benda yang semalam aku cari hingga frustrasi rasanya. "Kok bisa ada sama kamu?" Tanyaku heran. "Kemarin pagi jatuh waktu kamu mau turun dari bus." "Kenapa baru dibalikin sekarang? Kemarinkan bisa." "Aku baca dulu isinya, habisnya penasaran banget." "Ihh gak sopan banget baca diary orang! Makasih udah dibalikin." Aku sangat kesal.
Bagaimana tidak, semua rahasia, hal-hal penting dan tiga keinginan terbesarku tertulis di dalamnya. Lalu, aku merebut buku diaryku dari tangannya dan langsung masuk ke kelas dengan wajah merengut. Kejadian itu berakhir begitu saja meskipun tetap saja membuat perasaanku jengkel. Siangnya, aku membaca novel di perpustakaan bersama Seila. “Nanti pulang sekolah Arga nunggu kamu di depan parkiran siswa. Katanya dia mau bicara.” Ucap Seila tiba-tiba. “Kok kamu bisa kenal sama Arga?” “Dia sepupu aku. Dateng ya, Va. Dia bilang mau nunggu sampe kamu dateng. Aku duluan, mau ke kamar mandi”. *** Sekarang, aku kembali bertemu dengan laki-laki menyebalkan itu. Meski awalnya aku tidak berniat datang, di sisi lain aku tidak tega. “Maaf ya, udah lancang baca buku diary kamu.” Aku hanya menjawab dengan anggukan setengah hati dan bibir cemberut. “Yuk!” “Eh? Mau kemana?” Dia tidak menjawab, malah memakaikan helm di kepalaku, lalu menyuruhku naik ke atas motor miliknya. Beberapa waktu kemudia akhirnya kami sampai ketempat yang ia tuju. Mataku berbinar dan tak henti-hentinya menatap sekeliling dengan perasaan membuncah. Disini juga ada Seila. Kemudian, dia menarik tanganku untuk menaiki berbagai wahana, seperti bianglala, komedi putar dan ombak banyu. Kami juga masuk ke rumah hantu. Meskipun aku sudah tahu bahwa hantu yang ada disini hanyalah rekayasa , tetap saja mereka terlihat menyeramkan. Kami berteriak berkali-kali karena terkejut, kecuali Arga tentunya. Setelah itu, kami membeli cotton candy yang berbentuk seperti guling bayi, sangat lucu. Malam ini, untuk pertama kalinya aku tertawa lepas tanpa beban. *** Suasana di kelas begitu panas siang ini. Ditambah sebentar lagi waktunya pelajaran fisika yang membuat otakku ikut menjadi panas. “Yuk! “ Aku terkesiap saat mendapati Arga berdiri di hadapanku. Tanpa kusadari dia semakin sering berada disekitarku, dan aku mulai terbiasa dengan dia yang datang tiba-tiba dan membawaku sesuka hatinya. Aku hanya pasrah saat dia menarik tanganku menuju ke rooftop sekolah, tempat para siswa saat ingin bolos dan bermalas-malasan saat pelajaran tengah berlangsung. Saat itulah aku tersadar, itulah tujuannya mengajakku kemari. Arga mengajakku bolos.
“Gimana? Seneng gak? Keinginan kedua kamu udah terwujud.” Aku mengangguk dengan antusias. “Ada sensasi yang unik, jadi sekarang aku tahu kenapa banyak siswa yang milih bolos. Aku aneh ya?” “Lebih tepatnya kamu unik.” Ucapnya tersenyum. Setelah itu, Arga bercerita tentang banyak hal lucu yang membuat perutku sakit karena terlalu banyak tertawa. Sekarang aku tahu, dia tak hanya menyebalkan, tetapi juga humoris. Hari itu, satu keinginanku terkabul karenanya. *** Hari ini aku, Seila, dan Arga berkumpul di taman kota untuk merayakan Ujian Nasional yang baru saja usai. Tanpa disadari, kami bertiga menjadi sangat dekat. Seila meninggalkan aku dan Arga berdua untuk membeli minuman. “Udah aku duga.” Ucap Arga tiba-tiba. “Apanya?” “Dibalik sifat kamu yang jutek dan galak, kamu sebenernya orang yang hangat.” “Ini pujian atau hinaan ya?” Dia hanya tertawa menanggapiku. Baru aku sadari, Arga sangat tampan. “Ivana, kamu mau lanjutin kuliah dimana?” “Entahlah, aku masih bingung. Kalo kamu?” “Di Singapura. Besok aku berangkat.” “Apa?! Kok kamu baru bilang sekarang?! Jadi selama ini kamu gak anggap aku dan Seila temen?” Aku merasa marah, kecewa, semua bercampur menjadi satu. Aku langsung beranjak dan berlari meninggalkan Arga, mengabaikannya yang terus memanggil namaku. Sesuatu yang aneh berkecamuk dikepala dan hatiku. Mempertanyakan kemarahanku sendiri. Kenapa aku harus marah? Dia hanya tidak bercerita kepadaku. Bukankah tidak semua hal perlu dia ceritakan kepadaku sekalipun kami sudah cukup dekat saat ini. Kenapa aku malah lari, dan bukannya duduk diam sambil mendengarkannya menceritakan semua rencana kepergiannya. Ivana, kau bodoh sekali! Rasanya seperti mimpi buruk, tapi ini nyata. Hari ini, dengan amat berat, aku berada di bandara untuk mengantarkan kepergian Arga ke Singapura, begitupun Seila. Semalam Arga menelponku dan berhasil meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja, kami masih bisa berkomunikasi. Sebelum Arga memasuki pesawat, dia merangkulku dan Seila, menenangkan kami yang mulai menangis. Ia juga berpamitan pada Tante Retno dan Om Bagas, kemudian segera memasuki pesawat.
Saat Arga tidak besama kami, ada yang kosong dalam hidupku. Namun semua segera terobati jika dia menelfonku, dan kami saling bertanya kaba dan bertukar cerita. Arga menepati janjinya kala itu sebelum pergi ke Singapura. Setiap hari ia menghubungiku dan Seila, sudah satu bulan lamanya. Meskipun hanya sebentar, tapi itu cukup mengobati rasa rinduku. Ia membuatku merasa bahwa masa kehidupanku tidak pernah seindah ini sebelum ia datang. Kegundahan seolah datang tiba-tiba saat Arga tidak menghubungiku seperti biasanya. Ini hari keduanya tidak memberi kabar kepadaku. Aku teah berkali-kali menatap layar ponselku dan sesegera mungkin meraih ponselku jika ada sebuah notifikasi masuk. Namun semua sia-sia. Tidak pernha ada kabar apapun darinya. “Ivana, di luar ada pengantar paket. Kamu ambil ya, Ibu lagi masak.” ucap ibu membuka pintu kamarku sebentar lalu menutupnya lagi. Suara ibu memecah keheningan di kamarku. Kurir pengantar paket itu sungguh luar biasa mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan ini. Padahal sore ini hujan turun begitu deras. Setelah sedikit beramah taah dengan pengantar paketku, aku masuk dan membaca kertas secil di sudut paket itu. Ternyata paket itu ditujukan padaku. Tanpa menunggu lagi aku membuka paket itu. Sudut bibirku otomatis terangkat ke atas saat mengetahui isi di dalam paket itu adalah barang kenangan kami bertiga. Ada gelang dan topi yang kami beli di pasar malam kala itu. Ada juga barang kesayangan Arga, sweather berwarna abu-abu. Di bawah barangbarang itu, aku menemukan sepucuk surat. Tanpa ragu aku membuka danmembacanya. “Ivana, ada satu hal yang ga kamu tahu, tentang aku yang pengecut. Sebenernya, udah lama aku memperhatikan kamu dari jauh, bertanya diam-diam tentang kamu ke Seila. Kamu itu beda, Na. Dimataku, kamu nyaris sempurna. Itulah yang membuatku merasa tidak pantas untukmu. Tapi pada akhirnya, Tuhan memberiku keberanian dengan cara menemukan buku diary-mu. Keberanian itu juga datang karena aku tahu bahwa hidupku tidak lama lagi. Selama ini, aku mengidap kanker otak. Maaf telah membohongimu, aku di sini untuk berobat, bukan kuliah. Aku minta maaf lagi, karena saat kamu membaca surat ini, alam kita sudah berbeda. Aku meminta mama untuk mengirim paket ini padamu apabila jantungku sudah tak berdetak lagi. Tapi, jangan pernah berpikir bahwa aku meninggalkanmu, Na. Aku akan tetap hidup dalam kenanganmu. Aku tidak tahu apakah aku telah berhasil mewujudkan keinginan ketiga kamu, membuatmu tau bagaimana rasanya jatuh cinta. Satu hal yang harus kamu tahu, aku mencintaimu, Na.” Tanganku lemas, sekujur tubuku rasanya tak lagi bertenaga. Aku menangis sejadijadinya, berlari menembus derasnya hujan, berharap rasa sesak di dadaku luntur oleh tetesan air hujan. Duniaku serasa runtuh. Tuhan, apakah Kau begitu menyayangi Arga, hingga mengambilnya dariku begitu cepat. Jika iya, aku berjanji tidak akan menangis lagi. Tetapi, tolong jaga Arga, cinta pertamaku.
Aku terus mengingat hari itu sebagai hari yang paling melukaiku. Hari dimana aku kehilangan orang pertama yang mengajarkanku cinta dan memupuskannya sekaligus. Yah, Arga cinta pertamaku. Itu berarti segala keinginanku yang ia baca telah terkabul. Seharusnya aku merasa bahagia dan bersyukur. Namun kehilangan dia dengan begitu cepat bukan sesuatu yang mudah. Entah dengan cara apa suatu hari aku akan menemukan sebuah penerimaan. Menerima bahwa kau sudah jauh di sana dan mendapatiku baik-baik saja di sini. TENTANG PENULIS : Nur Aliva, seorang siswi SMA Negeri 1 Prajekan yang akrab disapa Aliva, Lahir pada tanggal 24 September 2001 di Kabupaten Situbondo. Menulis cerita sudah menjadi hobinya sejak masih SMP. Disamping menulis, penulis juga hobi memasak dan menonton. Impian dari penulis adalah bisa menerbitkan buku. Penulis bisa dihubungi melalui Email [email protected] dan Instagram @aliva.n
JANGAN BENCI, NANTI BISA JADI JODOH (Based on true story) Oleh : Rina Purwasanti Bondowoso, 27 tahun yang lalu.... Senin pagi, seharusnya aku berangkat sekolah lebih awal untuk mengikuti upacara bendera. Namun entah kenapa, rasa enggan itu kembali datang. Perasaan ini tidak datang setiap hari, hanya hari-hari tertentu saja. Membayangkan nanti ada pelajaran yang tidak kusukai. Fisika. Bukan karena tidak suka terhadap gurunya, tapi aku memang tidak punya minat belajar Fisika, betapa pun aku berusaha menyukainya. Pelajarannya sulit dipahami dan tidak menarik. Itu menurutku. Kulirik jam di pergelangan tangan, 07.05. Jelas terlambat sudah. Pintu gerbang sekolahku sudah ditutup. Peraturan di sekolahku, SMA Negeri 2 Bondowoso sangat ketat. Siswa yang terlambat harus tetap mengikuti upacara di luar pagar sekolah. Belum lagi sanksi lari lima putaran mengelilingi sekolah yang pasti akan kuterima. Kujalani saja dengan ikhlas, memang aku yang salah. Terbayang percakapanku beberapa bulan yang lalu dengan beberapa teman saat akan memilih penjurusan. Ketika itu penjurusan baru dilakukan mulai kelas dua SMA. Ada tiga jurusan yang ditawarkan, A1 (Ilmu Fisika), A2 (Ilmu Biologi) dan A3 (Ilmu Sosial). “Rin...mau milih jurusan apa nanti di kelas 2?” Tanya Ucik teman sebangkuku. “Apa ya? Aku masih bingung nih... Kamu milih apa Cik?” “Aku A2 saja Rin. Aku kan senang belajar Biologi. Lagi pula guru pengajarnya ramah, suka guyon. Kamu milih A2 juga kan?” Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. “Gimana ya? Sebenarnya secara minat aku lebih condong ke ilmu-ilmu sosial. Aku senang belajar Ekonomi, Geografi, Sejarah.” Ucik menatapku lama. “Berarti kamu milih A3? Yah...berarti kita pisah kelas dong. Kenapa sih nggak milih A2 saja?” “Hmmmm... aku takut ketemu pelajaran Fisika, Cik. Di jurusan A2 akan sering ketemu pelajaran itu walaupun jamnya lebih sedikit dibanding jurusan A1. Kan kamu tahu sendiri aku alergi sama pelajaran itu.” Jawabku sambil makan krupuk. “Ah kalau itu gampang, nanti kita kan bisa belajar bareng. Masuk A2 saja, Rin. Biar kita bisa sama-sama terus.” Begitu kata Ucik saat itu. Angket penjurusan sudah mulai dibagikan. Semula aku memilih A3. Namun ketika Ucik dan beberapa sahabatku memilih jurusan A2, pendirianku mulai goyah. Maklum, anak putih abuabu kan masih labil, mudah sekali dipengaruhi teman. Apalagi ketika kuperhatikan ternyata yang
memilih jurusan Ssosial kebanyakan anak-anak yang bandel. Setelah kupikir-pikir akhirnya aku memutuskan memilih A2. Mulailah aku disibukkan dengan rangkaian proses pembelajaran. Tugas-tugas menggunung, PR menumpuk. Tapi kupikir wajar jika siswa punya banyak PR. Karena jika banyak cucian, laundry namanya. Ada cerita unik saat aku belajar Biologi kala itu. Pembelajaran ketika itu sampai pada materi Anatomi dan Morfologi Hewan. Bapak Hari Hadi Wibowo sebagai pengajar Biologi menugaskan kami melakukan praktikum pembedahan katak dengan tujuan untuk mengetahui organ-organ penyusun sistem pernafasan dan sistem pencernaan katak. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok ditugaskan membawa seekor katak. Jangan ditanya bagaimana perjuangan kami untuk menangkap katak itu di sawah. Pokoknya sampai jatuh bangun berlepotan lumpur. Hari itu, kami pun mulai mengenakan jas putih khusus praktikum sebelum memasuki laboratorium Biologi. Di dalam lab, siswa duduk dengan kelompoknya masing-masing. Alat-alat praktikum disiapkan dengan seksama. Bapak Hari Hadi membagikan lembar kerja. Beliau menjelaskan beberapa hal penting sebelum praktikum yang mendebarkan ini dimulai. “Bagaimana anak-anak? Siap untuk melaksanakan praktikum ini?” Tanya pak Hari Hadi. “Siap Paaakk”, jawab anak-anak serentak. Masing-masing kelompok segera berancang-ancang mengeluarkan kataknya. Sebenarnya aku jijik memegang katak tersebut. Namun mau tidak mau aku harus tetap memegangnya. Kulit katak yang licin membuat katak terlepas dari tanganku, dan dengan sukses dia hinggap di bahu temanku Heni. “Aaaaaaaaa……..” Heni menjerit dan melompat-lompat. Katak pun ikut meloncat, berpindah-pindah dari satu teman ke teman lainnya. Seketika jeritan siswi terdengar di seantero lab, sedangkan para siswa lain tertawa terbahak-bahak. Mereka dengan gemas berlarian mencoba menangkap katak tersebut. Suasana menjadi heboh. Akhirnya katak pun berhasil ditangkap dan segera dieksekusi. Menjelang tengah hari praktikum Biologi yang tak terlupakan itu dapat diselesaikan dengan baik. Itu hanya sebagian cerita kecil yang membahagiakan kala itu. Begitulah masa-masa SMA kujalani dengan berbagai suka duka. Untung di kelasku ada sahabat-sahabatku yang kocak banget. Untung juga kelasku dekat dengan kantin, jadi sebagai tukang jajan terhiburlah hatiku. Tapi tetap saja setiap pelajaran Fisika rasanya tersiksa, badan lemas, perut mulas. Dalam hati aku berjanji, nanti saat kuliah aku akan memilih jurusan yang benar-benar kusenangi dan membuatku enjoy. Begitu lulus buku-buku Fisika ini akan aku „timbangkan‟ ke tempat yang lebih membutuhkan.
Ketika kuliah kemudian aku memilih Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi. Rasanya merdeka sekali, menyenangkan sekali belajar sesuatu yang memang diminati. Empat tahun masa kuliah kujalani dengan semangat 45, hingga aku lulus dengan predikat Cumlaude. *** Kini aku telah bekerja sebagai guru Ekonomi di SMA Negeri 1 Prajekan. Ternyata doa ibuku dikabulkan Allah. Ibuku selalu menginginkan aku bekerja sebagai guru, seperti dirinya dahulu. Menurut beliau anak perempuan paling pas menjadi guru. Setelah menjadi guru Ekonomi, apakah aku bisa menyingkirkan buku-buku Fisika dari rumahku? Oh...ternyata tidak semudah itu, buku-buku itu bahkan semakin banyak memenuhi rumahku, lebih banyak dari buku Ekonomi yang kumiliki. Alasannya? Karena suamiku seorang guru Fisika! Diwaktu senggang aku pernah bertanya kepadanya mengapa ia menyukai Fisika. Sebelum menjawab dia malah balik bertanya. “Kalau adik nggak seneng Fisika itu karena apa?” “Ya karena sulit, ribet, nggak bisa dibayangkan, terlalu banyak rumus. Terus aku sering berpikir kira-kira rumus-rumus ini kepakai nggak ya dalam kehidupan nyata?” Jawabku sambil makan kripik. Suamiku tersenyum lebar mendengar alasanku. “Kalau menurutku justru Fisika itu sangat menarik. Tidak hanya sekedar rumus. Banyak peristiwa dalam kehidupan kita yang melibatkan ilmu Fisika baik kita sadari maupun tidak. Konsep dan prinsip Fisika dibutuhkan dan diaplikasikan dalam banyak hal.” “Oh ya, masak sih? Apa saja misalnya?” Tanyaku keheranan. “Ponsel contohnya. Prinsip Fisika yang digunakan dalam ponsel adalah prinsip listrik dan spektrum elektromagnetik. Ponsel bekerja dengan memanfaatkan pola bergelombang yang dimiliki oleh listrik dan magnet. Mau contoh yang lain?” Aku mengangguk. “Kamera, prinsip yang digunakan adalah prinsip optikal. Sebuah set yang terdiri atas lensa cembung pada kamera akan memberikan gambar di luar kamera ke dalam kamera itu sendiri. Bahkan pulpen yang setiap hari kita gunakan juga menggunakan konsep Fisika yaitu gaya gravitasi. Penggunaan pembangkit listrik tenaga air menerapkan konsep perubahan energi kinetik menjadi energi listrik. Belum lagi penggunaan sel surya sebagai energi alternatif. Ilmu Fisika juga bermanfaat untuk mendukung perkembangan ilmu kedokteran. Contohnya sinar X atau sinar Rontgen yang berguna dalam pendeteksian patah tulang. Sinar X ini merupakan salah satu bentuk radiasi gelombang elektromagnetik yang memiliki frekuensi tertentu.” Suamiku menjelaskan panjang lebar. “Intinya, ternyata Fisika itu dekat dengan kehidupan sehari-hari. Pengaplikasian ilmu Fisika mendukung perkembangan teknologi, industri, dan komunikasi.” Lanjutnya kemudian.
“Ooooo jadi begitu, baru sadar aku ternyata banyak ya manfaatnya.” Komentarku sambil menepuk jidat “Makanya jangan berlebihan dalam membenci sesuatu. Siapa tahu malah jadi jodoh nantinya. Benci pelajaran Fisika malah akhirnya jadi istri guru Fisika. Iya kan?” Katanya sambil mengelus kepalaku. Ehm...ehm... So sweet. Jika dipikirkan kembali semua memang benar. Kadang takdir memang tidak bisa ditebak. Ilmu Ekonomi yang kupelajari sewaktu kuliah dulu juga banyak sekali manfaatnya. Manajemen kebutuhan sehari-hari menjadi lebih baik karena berdasarkan skala prioritas. Aku jadi bisa berpikir lebih rasional dalam mengambil keputusan-keputusan penting, tidak kalah hebatnya dengan penerapan ilmu fisika. Sampai sekarang sudah tujuh belas tahun aku bekerja sebagai guru Ekonomi di SMA Negeri 1 Prajekan. Walaupun aku tidak pernah bercita-cita menjadi guru, tapi ternyata menjadi guru sangat menyenangkan. Memang gaji guru tidak besar, tapi aku merasakan keberkahannya. Tak henti juga aku berdoa semoga ilmu yang kuajarkan pada siswa dapat menjadi ilmu yang bermanfaat, serta berguna bagi masa depa mereka semua kelak. (Aamiin). TENTANG PENULIS Rina Purwasanti, lahir di Sleman 3 Mei 1975. Masa kecilnya dihabiskan di Blawan, desa kecil nan asri di kawasan pegunungan Ijen. Pendidikan terakhirnya Magister Ilmu Ekonomi Universitas Jember. Kegiatan mengajar dimulai tahun 2002 di SMA Negeri 1 Prajekan. Saat ini tinggal di sebuah rumah mungil di kawasan Situbondo bersama suami serta kedua putra-putrinya.
TITIK PERUBAHAN Oleh : Emah Nada Ardiyani Tas kesayangan yang penuh buku telah kugendong. Dengan sekuat tenaga, aku berlari menyusuri jalan menuju ke sekolah. Terburu-buru masuk kelas karena waktu menunjukkan saatnya bel berbunyi. Aku takut sekali. Jika telat, aku harus mendapatkan hukuman dari para senior. Untungnya, para senior belum datang. Iya, hari ini adalah hari pertama aku masuk jenjang sekolah baru. Orang-orang sering menyebutnya masa paling indah, masa putih abu-abu. Katanya indah, jujur saja, aku tidak percaya tentang hal itu. Hari pertama saja bagiku terasa biasa. Mulai dari datang pagi, menerima materi, mengerjakan tugas hingga pulang malam. Halhal seperti ini akan dilakukan berulang-ulang setiap harinya. Keesokannya. Begitu aku masuk kelas, tiba-tiba salah satu temanku, Rani memberi tahu bahwa ada salah satu senior yang menyukaiku. “Ha? Suka padaku? Yang benar saja, baru juga sekolah di sini kemarin,” ujarku. “Lah kagak percaya ini anak. Gosipnya udah nyebar kali, Ray. Tahu Kak Bagas gak?” “Gak tau.” “Apa? Kamu gak tahu? Dia tu cowok terkenal di sekolah kita, Raya.” Jawab Rani sambil membentakku. Aku tidak menjawabnya, seakan tidak peduli dengan hal itu. Meskipun terkenal, meski apapun itu, dari dulu aku tidak tertarik sama sekali pada menyukai seseorang. Bel pelajaranpun berbunyi, itu tandanya materi dari para senior akan segera dimulai. Selang beberapa menit menunggu, salah satu senior masuk ke kelas ku dan memperkenalkan diri. Betapa kagetnya aku, dia adalah Kak Bagas yang diceritakan Rani tadi, sosok Ketua OSIS SMA Nusa Bangsa. Tunggu, aku seorang Raya Aristasya disukai oleh Bagas Purnama, seseorang yang belum pernah aku kenal sebelumnya, bagaimana bisa? Kak Bagas sering menatapku, sering juga dia sengaja menerangkan materi sambari lewat di depan kursiku, aku risi dibuatnya. Ingin rasanya aku pindah kelas. Hal ini membuatku tidak fokus menerima materi. Pikiranku buyar ketika bel istirahat berbunyi. Teman-temanku langsung keluar menuju kantin, sementara aku memilih tetap di kelas. Seperti biasanya, aku tidak suka suasana ramai. Aku lebih suka menyendiri agar bisa menikmati sepi. Aku memalingkan wajah ke arah jendela, menikmati setiap hembusan angin yang menerpa. Hingga suara seseorang menyadarkan lamunanku. “Boleh kenalan?” Katanya.
Aku melihat wajah pria itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari. Derap langkahku semakin cepat dan kakiku pada akhirnya menuntunku ke perpustakaan. Aku langsung mencari tempat duduk di ruangan penuh buku ini. Menarik nafas dengan pelan. Ada yang aneh dengan detak jantungku. Baru pertama kali ini ada seorang pria yang mengajakku berkenalan. Dari dulu, tidak ada satupun pria yang berani mengajak ku berkenalan. Biasanya aku berinteraksi dengan mereka hanya ketika ada kepentingan. Tapi orang ini, Kak Bagas dengan sangat percaya diri mengajakku berkenalan. Sudahlah, aku juga akan lupa kejadian seperti itu seiring waktu. Selagi aku di perpustakaan, lebih baik aku mencari buku bacaan yang menarik. Aku melihat ada sebuah novel yang sangat ingin aku baca, tapi letaknya di rak buku atas. Aku tidak sampai untuk mengambilnya meskipun berjinjit. Tiba-tiba ada tangan yang membantuku mengambil novel itu. Aku menoleh dan melihat pria itu lagi. Kali ini aku tidak berlari. Aku memberanikan diri mengucapkan terima kasih padanya hingga percakapan hangat antara kamipun dimulai. *** Hari demi hari kami lalui bersama, kehangatan antara aku dan Kak Bagas semakin bertambah. Dia seperti sosok motivator dalam hidupku. Mulai dari pikiran, perkataan, dan perbuatannya membuat diri ku selalu terkagum. Hubungan kami hanya sebatas teman, tapi mengapa aku merasa ada yang berbeda setiap kali dengannya? mengapa terasa nyaman dan aman setiap kali di sisinya? Saat ini saja aku bisa berada di atas panggung perlombaan karena sosok pria itu. Kak Bagas tahu bahwa aku sangat menyukai sastra, jadi dia memaksaku untuk mengikuti perlombaan baca puisi. Ini pertama kalinya untukku, pertama kali berbicara di depan banyak orang, pertama kali mencoba beradaptasi dengan keramaian. Aku berdiri di sini karena seseorang, tidak akan kubiarkan dia kecewa dengan penampilan ku. Semua orang bertepuk tangan dengan meriah setelah penampilanku selesai. Rasanya sangat lega dan bahagia, ada kebanggaan tersendiri setelah berhasil menampilkan yang terbaik. Namun, yang paling membahagiakan adalah melihat senyum bangga Kak Bagas saat ini. “Kamu terlihat sangat cantik ketika tampil di atas tadi,” ucap Kak Bagas dengan senyum manisnya. Pipiku terasa panas, mungkin telah berwarna merah saat ini. Bibirku langsung mengembang membentuk bulan sabit. Dengan senyum yang tidak pernah aku lihatkan kepada orang lain, aku mengucapkan terima kasih kepada Kak Bagas. *** Sebuah hadiah berada di tanganku. Iya, aku memenangkan perlombaan kemarin. Hadiah ini akan ku berikan kepada Kak Bagas karena telah mendukungku. Ini pertama kalinya, pertama
kali aku merasa sangat berterima kasih kepada seorang pria. Entah mengapa, dia selalu menjadi hal-hal pertama dalam hidupku. Mungkin benar kata orang-orang, masa putih abu-abu adalah masa paling indah. Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang menyebutnya seperti itu, mengerti karena seseorang yang berhasil menarik perhatianku. Sedari dulu aku merasakan hal beda, perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya tiba-tiba hadir dalam hidupku. Hari ini aku berniat untuk mengutarakannya pada Kak Bagas. Bruk! Tiba-tiba seseorang membentur bahuku, membuat hadiah yang aku pegang terjatuh. Orang itu mengambilnya, meminta maaf sembari menyerahkannya padaku. Ternyata orang itu adalah Rani. Tetapi, mataku tidak fokus pada Rani, fokus kepada seseorang yang berada di sampingnya. Seseorang itu menggenggam tangan Rani. Aku tidak percaya, berkali-kali aku mengedipkan mata, tapi memang benar, orang itu adalah Kak Bagas. “Oh, Raya. Kenalin, ini pacarku, namanya Rani,” ucap Kak Bagas dengan santainya. Seketika aku terdiam, lidahku seperti keluh untuk mengucapkan sepatah katapun. Aku hanya membalasnya dengan seutas senyum yang terpaksa. “Itu hadiah untuk siapa?” Tanya Kak Bagas. “Eh, bukan untuk siapa-siapa,” jawabku. Aku memalingkan wajah. Kakiku spontan berlari, berlari secepatnya meninggalkan mereka berdua. Dadaku terasa semakin sesak seiring derap langkah. Ingin rasanya aku berteriak saat ini juga. Aku tidak bisa menahannya lagi, tangisanku pecah di taman ini. Harapan yang aku gantung padanya hancur begitu saja. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa temanku diam-diam mengincar seseorang yang sudah jelas dekat dengan ku? *** Hari-hariku berjalan seperti biasa, tanpa sosok seorang pria yang berhasil membuatku terbang dan dijatuhkan begitu saja. Bukan, mungkin aku juga bersalah. Aku salah karena telah berharap lebih pada Kak Bagas. Aku lupa bahwa kami hanya sebatas teman. Namun, hingga saat ini kenangan indah yang dia berikan tetap selalu menghantui pikiranku. Kamu terlihat sangat cantik ketika tampil di atas tadi, kalimat yang pernah dilontarkan dari mulut Kak Bagas padaku. Kalimat itu selalu terngiang dalam telingaku. Seolah dari kalimat itu juga aku menemukan titik. Titik awal aku menghadapi dunia dengan pandangan baru, titik perubahan dalam hidupku. Aku sadar, masa putih abu-abu bisa indah namun juga bisa sebaliknya hanya kebahagiaan dan kepedihan. Dalam hati, sesungguhnya aku sangat berterima kasih kepada Kak Bagas yang
telah memberiku luka. Berkat luka ini aku berani maju, maju membuat perubahan. Mungkin saat ini masih terlewati sebuah kesedihan. Namun masa putih abu-abuku ini masih panjang. Banyak hal dapat berubah dan aku menantikannya dengan penuh semangat. Biodata Penulis Emah Nada Ardiyani, Aku lahir di Desa Suling Wetan, Bondowoso. Saat ini aku berusia 16 tahun. Aku menyukai sastra sejak menduduki bangku sekolah dasar. Keindahan sastra yang membuat ku ingin menulis. Semoga kalian bisa menikmati tulisanku.
KEKAGUMAN YANG TERBONGKAR Karya : Putri Maysinta Rizka Gelap gulita dipenuhi bintang-bintang, terdengar suara jangkrik memecahkan malam. Sesekali suara burung malam terdengar ricuh. Kesunyian dan keheninganpun tiba. Pancaran sinar-sinar bintang mulai semakin terang. Tubuh yang sudah mulai lelah terlelap dalam tidur. Jiwa yang penuh kesedihan dan kebahagiaan ikut hilang dalam pulasnya tidur malam. Seorang anak SMA yang sedang memikirkan indahnya malampun sudah terlelap dalam tidurnya. Dia Keysa, seorang murid teladan di sekolah. Ia pun banyak disukai oleh teman-teman di sekolahnya. Kesehariannya yang penuh kebagiaan dan pujian. Keysa yang tidak pernah sekalipun berbuat kesalahan yang besar. Dia tunduk dan patuh terhadap peraturan yang ada. Pagi itu Matahari telah menunjukkan sinarnya ayampun berkokok. Pagi yang cerah terlihat indah. Pancaran sinar matahari terlihat semakin cerah, Keysapun terbangun dari tidurnya yang pulas. Setelah itu ia mulai bersiap-siap untuk berangkat sekolah. “Ibu, Ayah, aku berangkat dulu ya,” kata Keysa sambil bersalaman. “Iya nak hati hati,” jawab kedua orang tuanya. Hari itu seperti hari-hari biasanya yang penuh tanda tanya. Sahabatnya yang bernama Laila tiba bersamaan saat dia sampai di sekolah. Mereka berdua tidak sengaja berpapasan di gerbang sekolah. “Laila tunggu aku dong,” panggil Keysa. “Iyaiya,” ujar Laila. “Tadi malam Dito tanya tugas sama aku,” kata Keysa. “Terus mau diapain?” ucap Laila. “Yah dak ada, aku cuma bilang kok, walaupun dia cuma nanya itu aku udah seneng.” ujar Keysa. Dengan muka berbinar-binar Keysa membayangkan wajah Dito sepanjang perjalanan. Keduanya melanjutkan langkahnya ke kelas. Pagi itu suasana kelas sangat damai dan tenteram. Telinganya langsung siaga saat mendengar nama Dito disebut dalam perbincangan teman-teman di sekitar bangkunya. Pagi itu beberapa teman tengah membicarakan Dito. Tidak heran jika Dito menjadi pusat pembicaraan anak-anak seantero sekolah. Dito anak yang baik, ramah dan aktif di sekolah itu. Sebenarnya Dito juga sahabat karib Keysa dan Laila. Sudah lama mereka bertiga bersahabat. Namun segala hal tentang Dito menjadi hal yang tidak biasa seiring berjalannya waktu. Perbincangan anak-anak seputar Dito terus berlanjut sambil menunggu bel masuk berbunyi, banyak yang bingung apakah Dito sudah memiliki girl friend. Namun, perbincangan mereka berhenti karena Dito tiba-tiba sudah datang sambil meyapa semua teman-temannya.
Sampai saat ini tidak ada yang benar-benar tahu dan bisa menjawab pertanyaan itu. Termasuk aku. Datangnya Dito membuat semua wanita dikelas tercengang kecuali Keysa yang hanya bisa mengaguminya diam-diam. Dia tidak ingin Dito mengetahuinya. Keysa hanya bisa tersenyum ramah layaknya seorang sahabat karib dan meyapanya dengan santai sambil menahan detak jantung yang menghebat. Tiba-tiba bel masuk berbunyi. “ Eh duduk yang rapi udah masuk! Bentar lagi Bu Lia datang,” ucap Laila Semuanya duduk rapi di tempatnya masing-masing. Tak lama setelah itu Bu Lia datang. Kegiatan belajar berjalan seperti biasanya. Bahagia dan keceriaan selalu terpancar di kelas itu. Saat pembelajaran berjalan, mereka semua diminta untuk membuat kelompok yang beranggotakan empat orang. Namun, anggota perkelompok itu ditentukan oleh Bu Lia. Tak disangka terdengar sesuatu mengejutkan di telinga Keysa. “ Kelompok satu anggotanya Keysa, Dito, Laila, Rayn.” Ucap Bu Lia Kalimat itu membuat Keysa tercengang sejenak, antara bahagia dan takut yang dirasakannya. Walaupun Dito sahabat karibnya, Keysa tetap takut jika nanti ia semakin dekat dengan Dito emosinya tidak bisa terkontrol. Namun, apa yang harus ia perbuat, itu sudah ketentuannya. Setelah selesai penentuan kelompok mereka berdiskusi untuk tugas kelompok yang diberikan Bu Lia. Akhirnya mereka semua sudah menemukan bahan untuk tugas kelompoknya. Diskusi panjang itu berkahir ketik bel istirahat berbunyi. “ Bu, sudah bel. kita boleh istirahat ya Bu?” ucap Rayn. “ Iya tunggu sebentar,”saut Bu Lia. “Baiklah anak-anak tugas kelompoknya lanjutkan di rumah ya. Kita akhiri pelajaran kita hari ini sampai di sini” ujar Bu Lia sembai merapikan barang-barang pribadinya di meja. Kelompok Keysa akhirnya memutuskan untuk melanjutkan mengerjakan tugas mereka di rumah Laila. Jam istirahat mereka gunakan untuk membahas rencana mengerjakan tugas mereka. Tak lama setelah itu bel masuk berbunyi. Mereka berhenti membahas tugas kelompok yang nantinya akan mereka lanjutkan di rumah Laila. *** Tak terasa kegiatan belajar mengajar mereka selesai, bel pulangpun berbunyi, teettttttt. Terdengar bunyi itu mereka semua berkemas-kemas untuk pulang. Keysa dan Laila berjalan bersama menuju gerbang sekolah. Sampainya di gerbang ternyata sudah ada Dito yang ingin mengajak Keysa pulang bersama. Namun, ajakan itu ditolak oleh Keysa. “Maaf ya, aku mau pulang sama Laila aja,” kata Keysa. “Oh, ya udah gak papa,” jawab Dito. Akhirnya Dito pun pulang sendiri menggunakan sepedanya. Keysa menyesal karena sudah menolak ajakan Dito tetapi ia menolak ajakannya karena malu dan tidak tahu harus bagaimana jika nanti dia dan Dito berdua. Sebenarnya Keysa ingin sekali pulang bersama Dito. Akhirnya, Keysa dan Laila pulang bersama menggunakan angkutan umum. *** “ Mana sih Dito?” ujar Laila.
“ Mungkin masih di jalan” sahut Rayn. Tak lama kemudian Dito sampai di rumah Laila. Dito meminta maaf pada mereka semua lantaran ada sebuah kecelakaan di jalan yang membuat jalan menuju rumah Laila macet dan dialihkan. Pembahasan tugas saat itu berjalan dengan santai. Saat dikelas Dito dan teman-teman telah mengerjakan hampir sebagian besar tugas tersebut. Mereka lebih banyak bercanda dan membahas hal-hal tidak penting sambil menghabiskan camilan yang ibu Laila buatkan untuk menemani mereka belajar. Saat Keysa san Laila pergi ke toilet. Dito yang mulai bosan dengan pekerjaan mereka tidak sengaja melihat sebuah buku berwarna merah jambu di bawah meja. Awalnya dia mengira buku itu milik salah satu temannya yang terjatuh. Diambilnya buku itu sambil membukanya. Dito terus membalik lembar demi lembar halaman buku itu dan membacanya dengan cepat. Buku itu bukann buku tugas biasa, melainkan buku diary Keysa. Dia begitu terkejut, namun jarinya tidak bisa berhenti untuk membalik lembar demi lembar buku itu untuk mengetahui lebih juah isinya. Rasa penasaran itu tidak adapt dihentikan. Segala hal dalam buku itu hanya tentang dirinya seorang. Kekaguman-kekaguman Keysa pada Dito, perhatian diamdiam. Kebahagiaan yang ditahan-tahan serta rasa cinta yang tiba-tiba muncul dihati Keysa padanya. Sebuah rahasia besar yang sudah lama Keysa sembunyikan sekarang terbongkar. Dito hanya bisa terdiam dan terkejut, dia tidak benar-benar tahu harus memposisikan diri seperti apa setelah mengetahui semua kenyataan itu. Sejak lama ia juga menyukai Keys. Namun, Dito juga memilih untuk menyembunyikannya, karena mereka telah bersahabat sejak kecil. Dito pun takut jika perasaannya itu akan merubah persahabatan dan kedekatan mereka saat ini.saat Keysa kembali Dito segera menutup buku itu kembali dan meletakkannya di bawah meja. “Eh sudah sampai mana?” kata Keysa. “Udah hampir selesai kok.” Dito menjawab sambil menuliskan sesuatu di bukunya yang kosong. Satu jam kemudian semua tugas mereka selesai. Tak dapat menahan perutnya yang kelaparan akhirnya Ryan mengusulkan untuk membeli Bakso Cak Man untuk mereka semua. “Key, ikut aku dulu sebentar ke taman depan yuk.” Dito mendatangi Keysa yang kala itu di dalapue untuk menyiapkan beberapa mangkuk yang akan mereka gunakan. “Mau ngapain sih?” sahut Keysa. “Udah, ikut dulu, sebentar kok.” ucap Dito sambil menarik tangan Keysa. Sesampainya di taman Dito tidak langsung dapat menyampaikan apa yang yang ingin dia katakana kepada Keysa. Butuh waktu untuk memberanikan diri membahas sesuatu yang sudah
lama dia tahan. Namun Keysa mulai tidak sabar menunggu. Diam berdua dengan Dito juga bukan sesuatu yang mudah baginya. “ Maaf jika selama ini aku tidak peka pada segala perhatianmu selama ini. Tetapi, kamu harus tahu bahwa persahabatan kita selama ini, kupikir lebih baik dan berharga dari pada segalanya.” Dito menatap wajah Keysa lekat-lekat. Dia tahu Keysa terkejut mendengar ucapannya. Air mata Keysa tak lagi dapat dibendung. Perlahan tubuhnya bergetar hebat, seperti seorang pencuri kecil yang tiba-tiba ketahuan majikannya setelah mencuri sisa makanan selama bertahun-tahun. Dia tidak berdaya. Namun dia menyadari, inilah saatnya untuk menegaskan segalanya. Mengatakan segala kejujuran yang telah lama dia pendam meskipun sebenarnya bukan keadaan seperti ini yang dia inginkan. “Aku juga tidak mau hal ini terjadi. Semua mengalir begitu saja. Tapi, mau bagaimana lagi kamu sudah terlanjur mengetahui semuanya saat ini. Aku menyimpan ini diam-diam, agar persahabatan kita tetap terjalin baik seperti biasanya. Akupun berpikiran sama denganmu.” Seperti tersambar petir dihari yang cerah, mendengar orang yang Dito cintai mengatakan hal itu sambil berlinang air mata bukan hal yang menyenangkan. Namun inilah keputusan Dito. Dia terlalu menyayangi Keysa. Terlalu takut jika keputusan mereka pada akhirnya tidak lagi membuat mereka menjadi seperti hari ini. Keysa mengerti maksud Dito. Setidaknya dia telah mengetahui bagaimana persaan Dito kepadanya. Mereka mengambil keputusan sulit yang samasama bisa mereka pahami. Memilih untuk tidak bersama saat tahu sama-sama saling mencintai bukan hal yang mudah. Setelah hari itu semua tidak serta merta kembali seperti sediakala. Keyla dan Dito butuh jarak dan waktu untuk menahan perasaan mereka yang pernah jebol tak terkendali. hal itulah yang pada akhirnya membuat keadaan kaku diantara mereka tercipta. Dito tidak lagi selalu menyapa Dito dan Keyla tak lagi sering menerima ajakan Dito dan teman-teman untuk berkumpul. Tanpa disadari keputusan mereka menciptakan sebuah jarak yang senyatanya ingin mereka hindari. Namun keputusan telah diambil dan semua telah terjadi. Tidak ada lagi kisahkisah manis bersama sekalipun Dito dan Keyla sudah menahan perasaan mereka untuk mempertahankan persahabatan yang mereka miliki. Merekapun tidak lagi dapat membuka diri dan saling memulai sebuah keadaan baru. Semua sudah terlanjur dan waktulah yang akan menjawab kisah mereka kelak. TENTANG PENULIS : Putri Maysinta Rizka, saat ini menempuh pendidikan kelas 11 di SMAN 1 Prajekan. Saya lahir di desa Cermee RT 24, Bondowoso, Jawa Timur. Saya sangat menyukai berbagai jenis barang unik seperti kerajinan. Saya juga suka keindahan alam seperti gunung. Saya menulis karya ini
berharap pembaca dapat menikmatinya. Semoga karya yang saya buat ini dapat diterima oelh kalian semua. Jangan lupa cek Igku putrimaysinta_
ZONASI PENGHADIR LUKA Oleh : Bintang Nur Fadilah Aku adalah salah satu siswi yang menjadi korban zonasi dari salah satu SMA favorit di kotaku. Sekarang aku harus sekolah di SMA yang dekat dengan rumahku. Aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika aku sekolah disini. Yang ada di fikiranku hanyalah, aku tidak suka sekolah itu. Sebenarnya, alasanku tidak suka sekolah ini hanya karena hal sepele. Aku tidak ingin bertemu lagi dengan salah satu lelaki yang dulu pernah kukenal di banku SMP, kakak kelasku kala itu. Namanya Hyuga. Aku pernah menjalin hubungan yang cukup lama dengan Hyuga. Sampai akhirnya, aku dan Hyuga harus berpisah. Sayangnya, sampai detik ini kenangan Hyuga tetap melekat dihatiku. Padahal aku telah memiliki kekasih baru yang sangat mencintaiku. Tetapi, tetap saja hatiku memilih Hyuga. Aku telah berusaha dengan berbagai cara untuk melupakan Hyuga. Salah satu usahaku untuk memilih sekolah yang jauh dengan sekolah Hyuga nyatanya tidak membuahkan hasil. Usaha itu menjadi sia-sia karena adanya sistem zonasi. Akhirnya aku harus menerima kenyataan, bahwa aku harus kembali satu sekolah dengan Hyuga. Aku sangat marah dengan adanya sistem zonasi ini. Jika aku kembali satu sekolah dengan Hyuga, bagaimana caraku untuk melupakan Hyuga. Ini akan selalu menjadi PR terbesar di hatiku. Jika keinginanku melupakan Hyuga tidak terwujud, aku akan merasa sangat bersalah pada kekasih saat ini. Aku tidak ingin dia mengatahui perasaanku kepada Hyuga. Aku tidak ingin menyakiti dan menghancurkan hatinya. Kami telah menjalani hubungan dengan cukup baik selama ini. Oleh karena itu, aku selalu berusaha untuk melupakan Hyuga. Meskipun aku tahu, butuh waktu yang lama untuk melupakan semua kenanganku bersama Hyuga. Hari pertamaku di sekolah ini, mempertemukanku dengan Hyuga. Hatiku mulai bergemuruh, jantungku berdetak kuat. Tetapi aku berusaha tetap terlihat tenang. Namun yang tidak pernah kuduga sebelumnya adalah bagaimana reaksinya saat bertemu dengnaku. Degan sengaja Hyuga menundukkan kepalanya saat bertemu denganku. Ada apa ini? Apakah Hyuga tidak ingin melihatku juga. Atau dia malu saat bertatapan denganku? Reaksi itu membuat luka dihatiku menjadi lebih besar. Mengapa Hyuga bersikap seperti ini kepadaku? Padahal seharusnya akulah yang bersikap begitu kepadanya. Padahal aku telah berusaha untuk berlaku sebiasa mungkin jika kami berpapasan. Aku dan Hyuga tidak pernah bermusuhan sebelum ini, kami berpisah dengan sangat baik kala itu. Seharusnya dia tidak perlu memperlakukanku dengan cara seperti itu. Ini menjadi tanda tanya besar di hatiku. Hari selanjutnya, aku bertemu lagi dengan Hyuga. Aku sempat berharap semoga kali ini Hyuga tidak akan seperti kemarin. Namun dugaanku salah, Hyuga tetap saja menundukkan kepalanya saat bertemu denganku. Saat kami berpapasan denganku hanya temannya yang menatapku sekilas sambil berbiara dengannya. Apakah Hyuga menceritakan semua hal
tentangku kepada teman-temannya?. Mungkinkah Hyuga tetap memiliki perasaan yang sama denganku? Sejenak, hanya sejenak saja, pikiran jahat itu terlintas dibenakku untuk kemudia kubuang jauh-jauh. Aku dan dia telah berkahir. Pikiran-pikiran yang ingin kubuang jauh-jauh itu semakin bercokol dikepalaku tiapkali aku ingin mengenyahkannya. Mungkin bukan sistem zonasi ini yang salah, tapi akulah yang belum bisa menerima kenyataan bahwa sampai saat ini hatiku tidak pernah berbah padanya. Satu sekolah dan di area kelas yang berdekatan membuatku bertemu dengan Hyuga setiap hari sekalipun aku telah berusaha keras untuk menjauh. Sata aku mulai lelah untuk menahan diri aku mulai berfikir apakah ini sebuah kesempatan, sebuah pertanda jika aku tidak bisa lagi terus menahan perasaanku padanya. Aku tidak dapat terus bersembunyi pada cinta yang lain. Sementara hatiku tidak di sana. Hari-hariku kuhabiskan dengan memikirkannya tanpa sadar. Aku terlalu mengharapkan kehadiran Hyuga di hidupku. Hyuga hanyalah masalaluku, namun perasaan itu begitu nyata. Saat ini aku tidak tahu bagaimana kehidupan Hyuga. Akupun tidak tahu untuk siapa hati Hyuga saat ini. Mungkin saja, hati Hyuga telah di simpan untuk kekasih barunya. Tetapi, apakah benar Hyuga telah memiliki kekasih baru? Aah sudahlah, aku tidak pantas mengetahuinya. Ini adalah urusan Hyuga. Biarkan Hyuga melanjutkan hidupnya sendiri. Tugasku saat ini adalah melupakan Hyuga dan membuka hati untuk kekasihku. Aku tidak ingin hatiku tersimpan sia-sia untuk orang yang tidak mungkin kembali denganku. Dengan segala cara, aku harus melakukan sesuatu. Setelah sebulan berlalu, aku mendapat sebuah informasi mengenai Hyuga. Hyuga memposting foto seorang wanita di status whatsappnya. Wajah wanita itu ditutup menggunakan sebuah emoticon. Apakah wanita itu kekasih Hyuga? atau sekedar teman dekat, atau malah seorang sahabat? Pertanyaan-pertanyaan itu memborbardir pikiranku. Tetapi aku berusaha tidak terlalu memikirkan foto itu. Hari berikutnya, Hyuga kembali memposting foto dan lukisan wajah seorang wanita. Rasa penasaranku mulai timbul. Aku ingin mengetahi wajah asli wanita tersebut. Tetapi aku tidak tahu bagaimana cara mengetahuinya. Aku tidak tahu siapa wanita itu dan dimana tempat tinggalnya. Sampai akhrinya, aku bertekad untuk menanyakan hal tersebut kepada Hyuga melalui pesan whatsapp. Kekasih baru? Tulisku mengomentari postingannya. Hanya teman dekat. Hyuga membalas singkat pesanku. Aku boleh tahu wajah wanita itu? Dia itu tidak sekolah di sini. Lalu, dimana dia itu bersekolah? tanyaku merespon jawaban Hyuga. Jakarta. Jawaban singkat itu meyisakan lebih banyak pertanyaan dibenakku.
Aku menjadi semakin bingung, bagaimana Hyuga dan wanita itu saling mengenal? Padahal, jarak antara Kotaku dengan Jakarta sangat jauh. Apakah Hyuga membohongiku?. Chat itu terus berlanjut sampai aku tahu saat ini mereka tengah menjalani hubungan jarak jauh. *** Hyuga anak yang menyenangkan, dia baik, ramah dan cukup popular di sekolah. Dengan alsan itulah banyak sekali anak-anak di kelas sepuluh yang mengaguminya dan sempat meyatakan perasaan padanya. Kdang kala itu membuatku tak nyaman. Namun aku selalu berusaha memahami posisiku. Kami berada dijalur yang tidak lagi sejalan. Suatu hari Hyuga pergi ke Jakarta untuk mengikuti lomba mewakili sekolah kami. Kebetulan, temanku juga ikut dalam perlombaan itu. Saat di Jakarta, temanku menceritakan padaku jika dia sempat melihat Hyuga sedang jalan berdua dengan seorang wanita. Mereka bercanda dan tertawa bersama seperti selayaknya teman dekat. Mengetahui itu, hatiku serasa tergores kembali. Aku merasa cemburu saat mendengar cerita itu. Padahal aku juga memiliki kekasih baru. Lalu, untuk apa aku cemburu dengan hal itu? Terkadang aku merasa bingung dengan hatiku. Kadangkala Hyuga seolah-olah memberiku sebuah harapan hanya dengan membalas chatku dan kami membahas ringan bersama. Itu membuatku melambung. Aku juga tetap mendengarkan ceritanya jika dia menceritakan kekasih barunya itu. Kami tidak kembali dekat, hanya sesekali saja kaminpunya kesempatan untuk berbicara bersama dengan normal. Semakin lama disekolah ini aku semakin tahu bagaimana Hyuga yang sebenanrya. Perubahan sikap Hyuga sangat besar. Saat ini Hyuga tidak seperti dulu. Sewaktu aku dan Hyuga SMP, Hyuga lelaki yang sangat pemalu. Tetapi, sekarang Hyuga menjadi lelaki yang bisa saja menyakiti hati perempuan manapun karena patah hati. Dia memberi harapan secara tidak sengaja kepada orang-orang disekitarnya dengan segala bentuk perhatiannya dan itu juga terjadi padaku. Semakin aku mengetahui banyak hal mengenai Hyuga, hatiku mulai memberontak. Rasa kecewa di hatiku kembali menguat. Aku kembali menyalahkan sistem zonasi yang telah di atur oleh pemerintah. Jika tidak ada sistem tersebut, aku tidak akan mengalami kebingungan semacam ini dan aku tidak akan bertemu lagi dengan Hyuga. Usahaku untuk melupakan Hyuga akan berjalan dengan lancar. Aku juga tidak akan merasakan sakit hati sendiri karena cemburu dan kecewa bersamaan karena meyalahkan diri sendiri, merasa menjadi wanita tak tahu diri karena menduakan orang yang benar-benar mencintaiku. Padahal aku tahu, membangun kepercayaan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Aku menghabiskan waktu untuk memikirkan dan terluka karena orang lain. Aku benar-benar bodoh. Setelah benar-benar menyadari kesalahanku selama ini aku berusaha keras memperbaiki diriku dan membangun hubungan yang lebih baik dengan kekasihku. Aku tidak ingin meyesal dikemudian hari. Aku tidak ingin kehilangan hal baik karena terlalu berharap pada hal-hal yang sudahbseharunya menjadi masa lalu.
Mungkin Hyuga bukan jodohku. Jodoh telah di atur oleh Tuhan. Aku tidak dapat menentukan siapa yang akan menjadi jodohku kelak. Siapapun jodoh yang telah Tuhan siapkan untukku, aku akan menerimanya. Aku berharap, orang tersebut dapat membimbingku menuju jalan yang benar. Semoga orang tersebut dapat mencintaiku sepenuh hati dan menerima seluruh kekuranganku, serta dapat menjaga seluruh kepercayaanku. Aku juga berharap, semoga cerita cintaku selanjutnya menjadi cerita yang harmonis. Menjadi cerita yang lebih baik dan lebih berkesan dari ceritaku sebelumnya. TENTANG PENULIS : Bintang Nur Fadilah, atau yang akrab di sapa Bintang. Lahir pada tanggal 9 Juli di Kabupaten Bondowoso. Memiliki kegemaran dalam bidang seni. Berprofesi sebagai pelajar di SMAN 1 Prajekan. Menempati kelas X MIPA 1. Tinggal di Desa Botolinggo, Kabupaten Bondowoso. Cek instagram penulis di @bintangg_n.
PETAKA (MEREKA) Oleh : Siti Nurkholisah Wajah sempurna itu menjadikannya daya tarik semua lawan jenis. Jika dilihat dari penampilannya, dia sosok yang baik. Tapi siapa sangka. Dibalik sikap polosnya, terdapat masalah kelam yang akhirnya membuka masalah baru. Dia pindah untuk merubah jalan hidup. Akan tetapi, semuanya berubah semenjak seseorang datang di hidupnya. Hidup kelam dengan masalah baru yang jauh lebih buruk. Siapa yang akan tahu jalan hidup. "Perkenalkan nama saya Ningrum, alamat Widuri, asal sekolah SMP swasta , alasan saya bersekolah di sini karena permintaan Ibu." Begitu Ningrum memperkenalkan dirinya malu-malu. Sontak banyak pasang mata yang tertuju padanya. Bagaimana tidak. Wajah cantik, tatapan sayu, tutur kata yang lemah lembut menjadikannya sosok anak perempuan yang tergolong sempurna. "Baiklah, silahkan duduk kembali." Perintah Kakak pendamping di gugus pahlawan Tettttttt bel tanda istirahat pertama pun berbunyi. Sontak seisi ruangan berhamburan menuju kantin. Tapi lain halnya dengan Ningrum. Dia memilih membawa bekal dari rumahnya. Karena neneknya tak ingin Ningrum jajan sembarangan di sekolah. "Hai Ningrum!!!" Sapa anak lelaki itu. Ningrum menghentikan makan siangnya sambil terdiam. "Boleh aku duduk di sini?" Tanya anak lelaki itu. "Ya, silahkan." Dengan persetujuan Ningrum, Rendra pun duduk di sebelah Ningrum dan menyantap makan siangnya dengan lahap. Sedang Ningrum masih terpaku dan Bertanya tanya siapa lelaki di sampingnya itu. Rendra membuka percakapan ringan dan mulai memperkenalkan diri. Tak lupa candaan ringan yang mengundang tawa Ningrum. Sikap Rendra yang hambwl dan mudah akrab membuat Ningrum nyaman dan tidak lagi takut kepadanya. Selama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) itu, Rendra selalu menemani makan siang Ningrum. Tak ada satu hari pun yang terlewatkan. Hari demi hari berlalu, mereka mulai mengenal jauh satu sama lain. Entah takdir atau kebetulan semata, mereka mendapat kelas yang sama di kelas 10. Karena sedari awal mereka dekat, mereka memilih duduk di bangku yang sama. Setiap harinya Rendra antar jemput Ningrum ke sekolah karenakan rumah Ningrum berada di jalur yang sama dengan Rendra.
Makin hari mereka seperti dua murid yang tak dapat terpisahkan. Pergi ke kantin bersama, sholat bersama dan saat Ningrum ingin pergi ke kamar mandi, Rendra pasti mengikutinya. Bukan tanpa alasan dia mengikutinya. Sejak pertama hari sekolah, Ningrum menjadi incaran di sekolahnya. Banyak yang menggodanya. Bahkan kakak kelas pun sering ke area kelas sepuluh tanpa alasan, hanya ingin melihat dan jika beruntung mereka bisa bertemu dengan Ningrum. Sejak saat itulah Rendra menemani Ningrum kemana pun dia pergi. Tanpa terasa setahun telah berlalu, Ningrum dan Rendra menjadi murid teladan nan famous di sekolahnya. Di kelas berikutnya mereka mendapat kelas yang sama kembali. Sungguh takdir berada di pihak mereka. Tetttt Tettttt Pertanda pelajaran hari itu telah usai. Rendra dan Ningrum bergegas meninggalkan kelas menuju parkiran. Telah banyak pasang mata yang mengikuti mereka sejak mereka keluar dari kelas. Dengan raut yang beragam. Ada yang suka dengan kedekatan mereka, ada pula yang sangat tak senang karena mereka iri. "Aku ingin kerumahmu, boleh tidak?" Pertanyaan Rendra saat di parkiran membuat Ningrum terpaku sejenak. Karena sejak awal, Ningrum tidak pernah mengajak siapapun kerumahnya termasuk Rendra tanpa alasan apapun. "Iya silahkan" Jawab Ningrum. Mungkin karena mereka telah kenal lama, Ningrum tidak bisa menolak permintaannya. Rumah yang minimalis, udara sejuk, bermacam macam bunga ada di sana. Membuat siapapun akan betah berlama lama disana. Ya, itu rumah Ningrum. Rumah yang hanya dihuni dua orang, Ningrum dan Neneknya. Saat itu Nenek sedang tidak ada dirumah. Orang tua ningrum berada di luar kota asal Ningrum dilahirkan. Ningrum dipindah ke rumah ibunya dulu karena ibu dan ayahnya takut kurang perhatian kepada Ningrum. Mereka terlalu sibuk bekerja. Tetapi setiap bulannya, mereka selalu menjenguk Ningrum. Ningrum pun tak mempermasalahkan hal itu. "Silahkan masuk!" Ajak Ningrum. Dengan santai Rendra mengikuti Ningrum. Di ruang tamu, Rendra duduk di sofa putih dan meja hitam dengan segelas minuman buatan Ningrum yang baru saja dia suguhkan. Candaan ringan Rendra dan diskusi pelajaran hari ini menemamani sore mereka berdua. Karena telah petang, Rendra pamit pulang dan tak lupa menitipkan salam untuk sang nenek. Tanpak disadari, hampir setiap hari Rendra mampir ke rumah Ningrum sepulang sekolah. Bahkan Ningrum pernah diajak ke rumah Rendra. Hal itulah yang membuat Rendra sangat akrab dengan nenek, begitupun dengan Ningrum. Di mata nenek, Rendra adalah teman yang bertanggung jawab yang dapat menjaga Ningrum. Nenek sangat suka kepada Rendra. Terkadang Rendra diajak makan malam oleh sang nenek.
Siapa sangka, pertemanan yang cukup lama itu mengundang rasa lebih dari sekedar teman. Ya, Rendra suka pada Ningrum. Di rumah Ningrum, pada Sabtu pagi, Rendra telah mengungkapkan perasaannya pada Ningrum. Karena Rendra tak banyak basa basi, sontak Ningrum kaget. Tapi dalam hati, Ningrum senang. Cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Ningrum sudah sejak lama menyukai Rendra, tetapi tak berani untuk mengungkapnya karena takut merusak pertemanan baik itu. Setelah perbincangan cukup panjang, mereka memutuskan untuk menjalin hubungan lebih dari teman. Mereka berpacaran. Sejak saat itulah, mulai terjadi kejanggalan pada mereka. Semua sikap Rendra terungkap. Ternyata Rendra anak broken home yang ditinggal ayahnya sejak duduk di bangku SMP, ibunyapun juga menelantarkan Rendra karena benci kepada semua lelaki. Hidupnya hancur. Namun tak pernah ada satupun yang Ningrum ketahui selama ini. Waktu SMP, Rendra menjadi anak nakal sampai beberapa kali pindah karena dikeluarkan oleh sekolahnya. Bagaimana tidak, di usia yang masih remaja, Rendra telah memukul beberapa teman dan gurunya. Dan saat menginjak bangku SMA, Warni, ibu Rendra sadar akan tanggung jawabnya untuk menyayangi dan membimbing anaknya menjadi lebih baik. Saat itu juga Warni pindah tempat tinggal untuk memulai hidup baru dengan Rendra. Tapi usaha itu percuma. Kenakalan Rendara kini semakin menjadi dan tidak dapat lagi ditutup-tutupi. Bukan disekolah memang, melainkan di rumah Ningrum. Rendrapun berhasil membawa Ningrum yang lugu menjadi teramat percaya kepadanya, sehingga dia rela memberikan segalanya pada Rendra. Pada akhirnya makin hari, mereka berdua berhubungan kian berani dan tidak sehat. Awalnya hanya Rendra yang mengonsumsi morfin, salah satu narkoba tingkat rendah, untuk menghilangkan mimpi buruk yang sering mampir di tidurnya tiap malam akhir-akhir ini. Tapi kebiasaan itu membuat Rendra kecanduan. Yang awalnya hanya morfin, kini LDS, koplat, heroin dan semacamnya telah di konsumsi olehnya. Ningrum sudah tau apa yang terjadi pada Rendra, dan Ningrum pun telah melarang Rendra. Tapi apa daya, kini Ningrum juga telah ikut mengonsumsi obat-obatan terlarang itu. Seperti jatuh tercebur pada air, kini Ningrum tidak lagi bisa lari dari jerat Rendra. Dia yang begitu mencintai Rendra tidak bisa membiarkannya sendiri sehingga tanpa sadar dialah yang telah masuk dalam lubang perangkap itu. Perbuatan mereka tak diketahui siapapun termasuk sang nenek. Mereka terlalu pintar menyembunyikan perilaku kurang baik itu. Tapi pepatah mengatakan 'Sepandai-pandainya bangkai ditutupi, pasti akan tercium juga'. Pepatah itupun berlaku pada mereka. Jelang UKK, mereka terciduk salah seorang guru sedang bertransaksi obat-obatan terlarang. Sontak satu sekolah geger mendengar berita itu. Mereka yang terkenal baik ternyata menyimpan banyak rahasia di dalamnya. Karena sekolah tak berani mengambil resiko lebih jauh tentang obat terlarang itu, pihak sekolah menyerahkannya kepada pihak berwajib. Masalah itupun ditindak lanjuti oleh pihak berwajib.
Satu bulan telah berlalu sejak kejadian itu. Segala bentuk penyelidikan telah dilakukan. Rendra dan Ningrum telah ditetapkan sebagai oembeli sekaligus pemakai. Mereka positif mengonsumsi narkoba dan siding mereka akan segera dilakukan. Sebelum siding kasus tersebut dilangsungkan, Rendra dan Ningrum telah dikeluarkan oleh pihak sekolah akibat perbuatn tidak terpuji dan pidana mereka. Dalam tata tertib sekolah juga sudah terpampang jelas sanksi untuk perilaku seperti itu. Nenek yang juga baru mengetahui kejadian itu langsung menghubungi orang tua Ningrum yang ada di luar kota. Tapi semuanya sudah terlambat. Orang tua Ningrum juga tak bisa berbuat lebih. Mereka lebih memilih pasrah kepada yang Maha Kuasa atas kejadian itu. Sedang ibu Rendra hanya bisa meratapi kejadian yang terjadi pada anak lelakinya itu. Pandangan tak wajar terjadi di pengadilan, Ibu Rendra datang bersama seorang lelaki paruh baya. Dia adalah ayah Rendra. Ayah Rendra mendapat kabar itu dari pihak sekolah Rendra. Hari itu pula sebuah kebenaran yang tidak disangka-sangka terungkap. Sebenarnya selama ini ayah Rendra tidak pernah meninggalkan Rendra, dia tetap memantau keadaan Rendra dari salah satu guru yang pernah menjadi teman kuliahnya. Namun hari itu kebenaran hanya akan menjadi sekedar kebenarana. Ayah dan ibu Rendra tidak dapat berbuat banyak untuknya. Ayah Rendra lebih memilih menenangkan Warni yang terduduk lemas di kursi paling depan. "Bukti yang sangat kuat menunjukkan bahwa kalian berdua bersalah. Untuk Rendra, Rendra dikenai pasal 1 no. 6 ayat 111, 112, 129 sebagai pihak yang melakukan peredaran gelap narkotika dan preskusor, dan pasal 1 no. 13 dan pasal 54 ayat 127 sebagai pecandu narkotika. Sedang untuk Ningrum sendiri, Ningrum dikenai pasal 1 no. 13 dan pasal 54 ayat 127 sebagai pecandu narkotika.“ Suasana ruang siding itu sunyi seketika setelah hakim mambacakan pelanggaran pasal yang telah mereka lakukan. Hakim menghela nafas, “Tapi karena kalian masih duduk dibangku sekolah, hukuman kalian lebih ringan. Kalian hanya dikenakan hukuman rehabilitasi di pusat, yakni Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong, Lido, Kab. Bogor. Jadi kalian akan dikirim kesana dengan waktu yang tidak ditentukan atau sampai kalian sembuh dan denda sebanyak 100 juta.” Tok tok tok begitu hakim mengetuk palu, tangis semua orang pecah di dalam pengadilan mendengar vonis sang hakin kepada dua anak belia yang masih punya hidup yang sangat panjang itu. Rendra dan Ningrum hanya bisa tertunduk lesu dalam kebingungan dan penyesalan yang terlambat. Begitulah pada akhirnya cerita cinta indah mereka berakhir dengan sebuah penyesalan kelam yang akan terus menorehkan bekas sepanjang dalam hidup mereka. TENTANG PENULIS :
Siti Nurkholisah, penulis yang kini masih duduk di bangku menengah sekolah atas -SMAN 1 Prajekan- ini lahir di Bondowoso, tanggal 08 diakhir penghujung 2001. Pendidikan SD ditempuhnya di Ramban Kulon 2 Cermee, Bondowoso. Selanjutnya, sekolah menengah pertama - MtsN 1 Situbondo- Ia menempuh di kota tetangga. Setelah lulus SMA tahun ini ia berkeinginan melanjutkan studynya di kota pendidikan Yokyakarta. Universitas Veteran Yogyakarta dengan Fakultas pertambangan. Organisasi yang ia tekuni di sekolahanya hanyalah OSIS SMART. Pernah menulis artikel tentang organisasinya di majalah ZENITH. Penilis bisa dihubungi melalui :Twitter : @SitiNur56224839 IG : sitinurkholisah12 Email : [email protected]
THE STAR Oleh : Aina Farahima Berseragam putih abu abu terasa paling menyenangkan dari masa yang lainnya. Masa remaja, menuju masa dewasa. Disana kita menemukan teman baru, suasana baru, kisah cinta, patah hati, perjuangan dan persahabatan Awal memasuki masa ini selalu dihantui ketakutan yang luar biasa. Ya, ketakutan yang luar biasa karena ada pada tahapan dimana kita melewati beberapa hal untuk pertama kalinya. Namaku Aina Farahima, biasa dipanngil Aina. Aku memiliki tubuh dan wajah yang proposional. Kulitku putih, hidungku cukup mancung dengan mata yang belo. Aku tidak tinggi, namun tidak juga pendek. Seperti tinggi gadis pada umumnya. Menurut pendapat orang setiap bertemu denganku untuk pertama kalinya, mereka akan mengira aku orang arab. Hal itu menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian orang. Aku pendiam? Yaa bagi mereka yang belum lama mengenalku. Namun berbeda dengan orang terdekatku. Sebenarnya aku orangnya asyik dan pandai membuat orang lain tertawa Sebelum aku memutuskan pindah ke daerah yang terkenal dengan tape Bondowosonya ini, aku tinggal di kota Banyuwangi. Kota besar dan termasuk salah satu kota berkembang yang maju di Indonesia. Kontras sekali dengan kota yang aku tinggali sekarang. Ditambah lagi rumahku yang terletak di pelosok desa membuatku sangat tidak nyaman pada awalnya. Pastinya kalian bertanya tanya apa sebenarnya yang terjadi hingga aku harus pindah? Jawabannya adalah karena adanya beberapa faktor yang mengharuskanku untuk pindah dari kota indah yang telah aku tingali sejak kecil. Namun yang paling utama karena aku salah satu anak korban broken home Sejak saat itu aku tinggal bersama nenek. Itu telah lama sejak aku duduk di bangku taman kanak-kanak. Waktu demi waktu kerutan diwajah nenekku semakin terlihat, memperlihatkan bagaiamana waktu telah memakan kecantikannya. la semakin tua. Pada akhirnya aku memutuskan untuk pindah agar tidak terlalu merepotkannya lagi dengan sangat berat hati ahirnya nenek memberiku restu. Tidak mudah memang menjalani kehidupan seperti ini, hari demi hari ku lewati tanpa kasih sayang kedua orang tuaku. Namun aku percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku pasti memiliki hikmah yang telah Tuhan siapkan untukku. Keadaan mengharuskanku untuk menjadi pribadi yang mandiri, kuat dan pandai mengatur waktu, antara kewajiban dirumah dan disekolah dengan mandiri. Disisi lain aku bersyukur karena dilahirkan sebagai wanita kuat, tidak seperti korban broken home lainnya.
Saat itu umurku 16 tahun. Aku menempuh pendidikan di SMK Unggulan Habibulloh Giri Banyuwangi. Sekalipun aku hanya inggal bersama nenek kala itu, nenek memberikanku segala yang terbaik, termasuk pendidikan. Keadaan berlangsung seperti biasa hingga pertengahan semester, aku memutuskan berhenti karena sekali lagi beberapa hal sulit kembali muncul dalam hidupku. Ini merupakan keadaan terberat dalam hidupku. Aku harus berpisah dengan nenek yang telah merawatku sejak aku kecil. Berpisah dengan teman-temanku dan berpisah dengan segala sesuatu termasuk kenangan yang berada di sana. Sekali lagi keadaan menguji seberapa kuatnya aku. Dengan bermodal mental yang kuat kuputuskan umtuk menguatkan tekad untuk berangkat ke Bondowoso. Kudekap erat tubuh nenekku, seraya mengucap terimakasih karena selama belasan tahun ialah yang berperan menjadi dua sosok sekaligus. Ia menjadi ayah sekaligus ibu dalam hidupku membesarkanku dengan penuh kasih sayang hingga aku lupa jika aku tidak lagi memiliki orang tua di sisiku. Air mataku jatuh tak terbendung hari itu. Didetik terakhir mobil beranjak menjauhi rumahku kulihat diujung mata nenekku sebutir air mata yang berontak ingin keluar. Aku dapat merasakan betapa besar kasih sayang nenek kepadaku. Hanya aku yang menemaninya selama ini. Dan hanya dialah matahari dalam hidupku sampai detik ini. Sungguh untuk pertama kalinya hari itu aku merasa sangat gelisah. Setelah perjalanan melelahkan yang kutempuh kurang lebih tiga jam, sampailah aku di sebuah desa bernama Gayam. Aku menghela nafas sambil mengucap bismillah. Ini adalah tempat tinggalku untuk tiga tahun kedepan, aku harus membiasakan diri di sini. Setelah beberapa waktu berlalu, kini saatnya aku kembali mendaftar di salah satu sekolah, sekolah yang saat ini telah menjadi bagian dari hidup dan hari hariku, SMA Negeri 1 Prajekan. Saat itu hanya sekolah ini yang kutahu memiliki banyak prestasi gemilang dan cukup dekat dengan rumah baruku. Dengan dibantu oleh saudara dari kakak iparku aku mendaftar di sana. Kebetulan dia adalah salah satu guru bahasa Indonesia di sekolah tersebut. Beberapa hari berlalu sampai akhirnya MOS pun tiba. Dengan semangat membara aku bangun pagi dan mempersiapkan segala sesuatu yang aku butuhkan. Pagi itu, aku tiba di sekolah, dengan mengendarai scoopyku. Siswa yang lain terlihat bingung dengan kehadiranku yang tentunya tidak pernah merka lihat sebelumnya, apalagi para cowok modus. Ada saja kelakuan mereka untuk mencari perhatian. Mereka melihatku dengan tak biasa sambil sesekali berbisik dengan teman lainya. lalu teman yang lainnya pun iku-ikutan menggodaku. Namun aku tidak begitu menghiraukannya, aku berjalan di depan mereka dengan santai dan tentunya tetap percaya diri. Aku melewati lobby kemudian koridor sekolah dengan suasana aneh. Bagaimana tidak aneh tempat ini belum pernah kudatangi sebelumnya. Aku langsung menuju ruang gugusku, gugus lima. Keadaan didalam kelas masih cukup sepi, hanya ada
beberapa anak yang sedang duduk dan saling mengobrol di dalam. Aku masuk dan tersenyum pada mereka. Aku memberanikan diri berkenalan dengan dua teman baruku kala itu. “Haii, salam kenal ya. Namaku Aina.” Sapaku dengan ceria. ”Hallo, salam kenal juga, aku Elisa,” jawabnya sambil meraih tanganku. “Kenalin juga dong, aku Meli.” “Oh iya. Senang bertemu kalian, aku harap kalian bisa menjadi temanku disini.” Kedua teman baruku itu terlihat sangat antusias membalas salam perkenalanku. Itu membuatku bersyukur, aku data diterima dengan baik disini. Beberapa menit kemudian saat bel masuk berbunyi, semua siswa pun beranjak masuk ruangan karena kakak OSIS telah datang. Aku sadar bahwa mereka semua termasuk kakak OSIS bertanya tanya tentangku. Hari pertama MOS menjadi moment perkenalan bagi kami. Siswa gugus lima. Aku ditunjuk menjadi ketua gugus. Difikiranku kala itu terbesit pertanyaan, mengapa aku yang dipercaya menjadi ketua gugus padahal aku asing bagi mereka? Tentunya fisik dan wibawa masih menjadi penentu utama dimata mereka. Itiu artinya aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Seminggu kemudian MOS pun berlalu, tentunya banyak cerita unik dan indah disana. Yang paling tidak bisa aku lupakan ialah pada hari pertama MOS, ada yang menyukaiku dengan cara tak biasa, ia mengirimkan surat untukku setiap hari tanpa menuliskan nama. Ia mengaku ia adalah pengagum rahasiaku. Sampai saat ini aku tidak tahu siapa orang yang menuliskan suratsurat tak bernama itu. Seiring berjalannya waktu, aku menjadi salah satu anak yang aktif disekolah. karena aku mengikuti ekstra pramuka dan telah mengikuti beberapa kegiatan lain yang membuatku lebih dikenal banyak orang. Aku juga sering dipilih untuk mengikuti ajang fashion untuk mewakili kelas bahkan sekolah, selain itu aku juga adalah salah satu snggota BP OSIS di sekolah. Aku berusaha memacu hidupku untuk lebih berkembang dan menjadi lebih baik dari pada sebelumnya dengan banyak prestasi. Untuk masalah percintaan aku tidak begitu menghiraukannnya, karena disamping aku tipe orang yang tidak mudah tertarik dengan lawan jenis, aku tau kebanyakan dari mereka hanya menyukaiku karena fisik. Sudah menjadi hukum alam, bahwa semakin banyak yang menyukai maka semakin banyak pula yang membenci. Terkadang aku masih tak habis pikir dengan orangorang yang membenciku tanpa alasan yang jelas. Kini aku memasuki kelas sebelas, semakin banyak teman yang aku kenal. Aku pun mencari lebih banyak pengalaman dengan mengikuti dan mencoba segala hal baru yang bisa kulakukan. Disamping ajang lomba fashion yang kuikuti dan tanggung jawab sebagai seorang
ketua kelas, baru-baru ini aku dan tim videografi sekolah mendapat predikat juara 1 dalam lomba vlog se Jawa Timur dalam kegiatan kemah hijau dan wirausahawan muda. Seiring popularitas dan nama yang kumiliki, tanggung jawab besar untuk mempertahankan semua prestsi juga menjadi semakin tinggi. Aku menyadari menjadi bintang sekolah bukan hanya karena perihal paras cantik, bakat dan otak yang encer. Namun akhlak dan keperibadian juga sangat mendukung semua itu. Segala prestasi yang kumiliki saat ini tidak membuatku besar kepala. Aku tetaplah aku, seorang anak korban broken home yang ingin memiliki masa depan cerah. Sebagai penutup dari cerita singkat ini aku ingin menunjukkan sisi hidupku yang lain, seorang Aina Farahima yang mungkin tidak kalian ketahui sebelumnya. Seperti korban broken home yang lainnya, aku percaya kita dapat merubah kehidupan kita sendiri. Jika kita memilih untuk terus terpuruk, maka segala keburukan akan terus mengikuti kita. Kalian yang saat ini tengah membaca kisah ini dan mungkin memiliki cerita yang sama deganku, namun tidak lebih beruntung dariku, aku berharap kalian selalu mendapat jalan yang terbaik. Mendapati orang-orang baik di sekitar kalian untuk bisa membantu kalian bangun dari lubang keterpurukan itu. Kita memang korban. Namun kita bisa merubah predikat itu menjadi pemenang. Ridak ada kata terlambat. So, mari jadikan hidup kita menjadi lebih baik. TENTANG PENULIS : Aina Farahima, saat ini tengah menempuh pendidikan di SMA Negeri 1 Prajekan kelas 11. Salah satu bakat yang ia miliki adalah tampil didepan umum. Beberapa kali meraih juara dibidang fashion. Saat ini tinggal di kabupaten Bondowoso.
AISYAH Oleh : Anita Dian Sukardi Aku adalah Aisyah, seorang gadis sederhana yang bertempat tinggal di suatu desa kecil di bagian timur pulau Jawa Timur. Aku memiliki masa kecil yang sama seperti anak kecil pada umumnya di desaku. Permainan anak jaman dulu, seperti bermain sodor, bermain karet dan melempar kayu kecil dengan kayu lain yang diletakkan di sebuah lubang kecil. Berlari mengejar layang-layang putuspun kerap kulakukan kala itu, serta banyak sekali permainan masa kecil jaman dulu yang sudah mulai tergerus oleh teknologi jaman sekarang. Bapak dan ibuku adalah seorang guru, bapak mengajar di sekolah dasar desa sebelah, sedangkan ibu mengajar di desa tetangga pada kabupaten yang berbeda. Bapak merupakan lakilaki yang sangat sabar sedangkan ibu adalah wanita kuat yang mendidikku dengan sedikit keras. Ibu sedikit mengekang pergaulanku dengan teman-teman karena alasan aku adalah anak gadis. Ya, begitulah ibu, semua orang sudah tahu bagaimana ibu mendidikku dengan keras, dibandingkan dengan dua orang saudaraku yang lain. Aku memiliki dua orang saudara perempuan yang cantik dan manis. Keduanya memiliki sifat yang berbeda, saudara perempuanku yang pertama bernama Mia dan yang kedua adalah Riri. Mia memiliki sifat yang sedikit pendiam, sabar, sedangkan Riri memiliki sifat yang agak keras, blak-blakan tapi baik hatinya. Jika ditanya, diantara keduanya siapa yang paling dekat denganku, maka aku jawab aku dekat dengan keduanya. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan yang harus aku padukan agar kami dapat selalu rukun dan saling memahami. Aisyah adalah aku, semasa Taman Kanak-Kanak (TK) bersekolah di sebuah TK satusatunya di desaku, pada tahun 1984 aku menyelesaikan pendidikan TKku. Jika bercerita semasa TK, kala itu aku anak kecil yang cengeng. Awal sekolah di TK, aku diantar oleh ibu sebelum beliau pergi ke sekolahnya, biasanya setelah ibu akan meninggalkan sekolahku, aku selalu menangis karena tidak mau ditinggalkan oleh ibu, kdang kala aku takut pada guruku sendiri. Tapi tidak lama kemudian aku sudah dapat menyesuaikan diri dengan sekolah itu. Karena aku sudah tidak rewel lagi maka aku kemudian dititipkan pada tetangga orang tuaku untuk mengantar dan menjemputku sekolah. Setelah menyelesaikan TKku, aku melanjutkan ke sekolah dasar di dekat TKku sebelumnya. Masa di sekolah dasar tidak ada yang istimewa bagiku, karena aku memang anak biasa-biasa saja. Berasal dari keluarga yang perekonomiannya pas-pasan menyebabkan aku kurang mendapat respon dari guru. Aku berfikir waktu itu hanya anak-anak yang kaya saja yang akan mendapatkan perhatian yang luar biasa. Bahkan pernah salah seorang guru senior waktu itu mencaci makiku karena aku tidak dapat mengerjakan tugas mata pelajaran matematika, beliau mengataiku dengan sebutan Si Bodoh ini tidak bisa mengerjakan soal ini. Kata-kata Si Bodoh sampai saat ini menjadi prasasti dalam hatiku dan tidak dapat kulupakan sampai kapanpun. Kata-kata itu tidak serta merta membuat aku sakit hati, tapi lantas aku jadikan cambuk untuk belajar dan belajar giat agar aku dapat meraih prestasi.
Benar juga, usahaku membuahkan hasil yang baik, menginjak kelas VI di sekolah dasar, aku mulai menunjukkan tanda-tanda peningkatan dalam belajar. Masuk sepuluh besar dalam peroleh DANEM (Daftar Nilai Ebtanas Murni) merupakan kebanggaan tersendiri buatku yang notabene sebelumnya sering kali disebut Si Bodoh. Setelah lulus sekolah dasar, aku melanjutkan ke sekolah menengah pertama di daerahku. Salah satu sekolah menengah pertama yang sangat bonafit kala itu hingga saat ini. Masa dimana aku memulai sesuatu yang baru di sekolah ini. Aku yang pemalu, mulai menggusur rasa itu. Pelajaran baru, guru baru, teman baru, seragam baru dan cerita baru tentunya. Semasa SMP, aku mulai memunculkan namaku di permukaan. Aisyah yang dulu bukan Aisyah yang sekarang. Aku belajar keras untuk menggapai semua mimpi-mimpiku. Sederhana saja, aku hanya ingin rangking 1 di kelasku. Tahun demi tahun berlalu hingga tiga tahun kemudian aku menyelesaikan masa SMPku. Lalu aku melanjutkan sekolah ke jenjang SMA pada pertengahan tahun 1993. Di sekolah ini, aku merajut impian menggapai cita-citaku untuk menjadi insinyur pertanian. Hari demi hari aku lalui dengan semangat. Perlahan aku beranjak remaja dan memasuki masa dewasa. Disini Aku mulai mendapatkan kepercayaan untuk menjadi yang terdepan karena prestasiku menjadi ranking 1 DANEM tertinggi dari SMP. Kebanggaan tersendiri buat aku kala itu, karena tiba-tiba aku jadi cukup terkenal karena prestasiku itu. Aku tidak akan menyianyiakan kesempatan ini. Mendapat predikat DANEM tertinggi membuat aku harus lebih banyak belajar lagi. Di kelas kala itu ada 22 orang siswa. Beberapa diantaranya adalah perempuan cantik, Memey, Arti dan Lisa salah satunya. Tapi aku bukanlah apa-apa bagi mereka, aku adalah aku. Aku tidaklah memiliki kelebihan apa-apa pada fisikku, tapi aku memiliki yang mungkin tidak banyak yang mereka miliki knowledge is the power itu prinsipku. Seseorang yang memiliki pengetahuan lebih itu akan dihargai dan dihormati atau bahkan dielu-elukan bukan karena kecantikan dan ketampanannya melainkan karena pengetahuannya yang luas atau dalam bahasa sederhananya di kala itu adalah pintar. Aku disukai oleh teman-temanku waktu itu karena aku ranking dan banyak diantara mereka yang selalu ingin berkelompok belajar denganku. Keberhasilanku dalam belajar tentu saja tidak lepas dari peran orang tuaku terutama ibu. Ibu yang keras mendidikku, tapi aku yakin bahwa ibu menginginkan aku menjadi orang sukses nantinya. Aku memiliki kebiasaan belajar di tengah malam, pukul 12 malam hingga pukul 04.00 pagi. Setelah itu aku mandi lalu menunaikan sholat subuh, kemudian membantu pekerjaan ibu di dapur, tugasku adalah mencuci piring sampai menyapu bagian dalam dan halaman dapur. Aku menyelesaikan semuanya hingga pukul 06.00 pagi. Kebiasaan itu rutin aku lakukan setiap hari. Setelah sarapan pagi aku berangkat ke sekolah menggunakan kendaraan umum, dan aku pastikan bahwa selama duduk di bangku SMA aku tidak pernah terlambat datang ke sekolah. Bahkan hampir setiap hari, akulah siswa yang pertama kali datang. Sampai di sekolah aku selalu melewatkan waktu sambil menunggu kedatangan teman-teman sekelasku dengan membaca buku. Buku yang dibeli oleh ibuku dengan
menjual beras jatah pemerintah yang diberikan kepada pegawai negeri sipil kala itu. Dan ini terpaksa ibu lakukan karena perekonomian keluarga kami sangatlah pas-pasan. Pernah suatu hari aku terlibat pembicaraan dengan ibu, aku mengatakan pada ibu bahwa jika ingin memiliki anak yang pandai, ibu harus membelikan buku, bagaimana anaknya akan jadi pandai kalau tidak dibelikan buku. Kalimat sederhana yang cukup menghantam hati ibuku waktu itu, maafkan aku ibu. Tapi memang benar adanya, belajar tanpa buku seperti kita tinggal di rumah tanpa jendela dan pintu, tertutup semuanya. Waktu berlalu, kelas satu di bangku SMA telah aku lalui. Kini aku telah duduk di kelas dua, Alhamdulillah peringkat satu tetap dipihakku. Penjurusan waktu itu pada kurikulum 1984 dilakukan di kelas dua. Aku masuk IPA dan disinilah persaingan dimulai, bersaing dengan teman-temanku semasa SMP, namanya Ogi. Si anak gunung yang pandai dan beruntung. Selama dua tahun sekelas dengan Ogi, aku tidak pernah bisa mengalahkannya. Selama duduk di bangku SMA, aku juga aktif di beberapa organisasi di sekolah antara lain OSIS dan Pramuka. Aku merupakan aktifis di sekolah ini, banyak prestasi yang telah diukir selama dalam organisasi Pramuka. Namun yang paling berkesan adalah aku menjadi salah satu peserta pilihan mengikuti Raimuna Daerah yang diselenggarakan di salah satu kabupaten di ujung utara pulau Jawa Timur waktu itu tahun 1994. Perjalanan yang melelahkan sekaligus menyenangkan waktu itu dilalui selama seminggu lebih. Banyak pengalaman berharga yang aku dapatkan selama mengikuti kegiatan ini, kegiatan kepramukaan tentunya. Itu menjadi hal yang membanggakan bagiku, karena tidak semua anak terseleksi menjadi peserta. Ini adalah masa keemasanku selama duduk di bangku SMA. Masa kelas II kulewati dengan penuh perjuangan karena selain tugas di kelas, aku juga memiliki banyak kegiatan ekstrakurikuler yang juga menyita banyak waktuku, Alhamdulillah peringkat 2 masih dipihakku. Jika ditanya, mengapa aku bisa melaluinya tanpa mengorbankan keduanya? Aku jawab, karena setiap ada kegiatan diluar pelajaran, aku selalu membawa serta tugas-tugasku agar aku dapat belajar sambil berkegiatan, selain itu aku juga memanfaatkan momen kebersamaan dengan kakak kelas dengan bertanya, dan satu lagi aku dapat langsung berkonsultasi dengan guru yang memberikan tugas padaku jika itu adalah tugas mata pelajaran biologi, salah satu guru favoritku kala itu bernama Bapak Aka. Kelas tiga SMA, aku mulai mengurangi kegiatan ekstraku. Sampai masa SMA kulewati dengan baik, aku berfikir cita-cita menjadi insinyur pertanian berjalan dengan mulus, tapi ternyata tidak. Semua ini berawal dari pendaftaran kuliah tanpa tes (PMDK). Ada formulir dari salah satu institut pertanian favorit di Indonesia datang ke sekolahku. Antuasias aku menunggu kedatangannya, hingga waktunya tiba aku mendaftar ke Institut tersebut. Aku bahagia sekali mendapat formulir dari Institut ternama itu, bapak dan ibu juga sangat antusias melihat semangatku. Pembayaran pendaftarannya sebesar tiga puluh ribu rupiah pun tidak mudah aku dapatkan, karena bapak harus menggadaikan televisi hitam putih kami, satu-satunya alat menghibur dalam keluarga kami. Waktu itu memasuki bulan ramadhan, ketika aku harus mendaftarkan diri. Masih lekat dalam ingatanku waktu itu, sore hari menjelang berbuka puasa,
aku mendatangi rumah guru bimbingan konseling yang mengurusi semua pendaftaran menuju perguruan tinggi, namanya Bapak Afif. Sesampai di rumah Bapak Afif, aku menyerahkan formulir berikut uang pendaftarannya. Bapak Afif menjelaskan beberapa hal tentang perkuliahan di institute tersebut berikut dengan konsekuensinya jika kita sampai keluar sebelum kita lulus. Ujung-ujungnya, Bapak Afif menjelaskan bahwa Aku tidak dapat mendaftar ke institute tersebut karena alasan perekonimian keluargaku yang kurang bagus. “Aisyah, kamu tidak bisa mendaftar kuliah di institute yang kamu mau ini.” “Kenapa Pak? apa karena nilai saya tidak mencukupi untuk masuk kesana Pak?” “Bukan,” jawab Pak Afif “Lalu apa alasannya Pak?” Aku balik bertanya, “Karena perekonomian orang tuamu kurang bagus sehingga sekolah takut kamu putus kuliah di tengah jalan.” itu jawaban Pak Afif kala itu. Seperti disambar petir di siang bolong, semuanya meluluhlantahkan perasaan dan hatiku, hancur sudah harapanku menjadi insinyur pertanian, cita-cita masa kecilku. Suaraku bergetar saat menjawab alasan itu tak masuk akal itu. Aku benar-benar tidak bisa menerima semua itu setelah apa yang aku perjuangkan selama tiga tahun lamanay dan perjuangan kedua orang tuaku untuk mendukungku. “Pak Afif kalau alasannya masalah nilai mungkin saya masih bisa menerima, tapi jika alasannya karena perekonomian orang tua Saya, Saya tidak bisa menerima semua ini Pak, karena orang tua Saya pasti akan berupaya dalam memperjuangkan masa depan anak-anaknya.” Hanya itu yang kukatakan pada Pak Afif, lalu aku pulang sambil bercucuran air mata. Sepanajng perjalanan dalam kendaraan umum yang aku tumpangi menuju ke rumah, air mataku tidak bisa berhenti mengalir. Sampai di rumah, aku tumpahkan semua perasaanku semuanya pada orang tuaku, semuanya. Semua tentang perkataan Pak Afif di rumahnya dan segala kekecewaanku saat itu. Semoga Allah memaafkan orang-orang yang telah menzolimiku kala itu. Seketika itu, aku sudah tidak memiliki minat lagi untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi, karena aku beranggapan bahwa cita-citaku telah pupus waktu itu. Namun takdir berkata lain. Ternyata Allah membuka cakrawala berfikirku melalui Bapak Aka, guru favoritku. Dari beliaulah, aku mulai membuka diri untuk melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi yang bagus di Jawa Timur. Dari Bapak Aka juga, aku memilih jurusan yang saat ini aku tekuni yaitu pendidikan biologi. Jangan ditanya waktu awal-awal kuliah dulu. Pastinya aku sangat bersusah payah membangun kepercayaan diri menekuni jurusan yag aku pilih itu karena pada dasarnya aku kurang begitu menyukainya. Seiring berjalannya waktu, aku mulai menyenangi jurusan itu. Tahun demi tahun kumerajut mimpi di kota dingin ini. Melawan kerasnya kehidupan yang kujalani disini, sendiri. Aku, bukanlah anak kuliahan dengan uang saku yang berlebihan saat itu, cukup bagiku setoran kost, uang makan dan uang ongkos pulang. Kalau dibilang irit, iya irit tapi Alhamdulillah aku masih cukup makan. Empat tahun di kota ini, belum cukup bagiku mengenal sudut-sudutnya,