The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Antologi Cerpen SMA Negeri 1 Prajekan tentang cerita masa-masa SMA byJrux Kuning dkk. Penerbit Bookies 2021

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Tiara Ayu Safitri, 2024-06-24 07:59:17

CERITA PUTIH ABU-ABU

Antologi Cerpen SMA Negeri 1 Prajekan tentang cerita masa-masa SMA byJrux Kuning dkk. Penerbit Bookies 2021

karena aku bukanlah anak kuliahan yang suka jalan-jalan, libur kuliah kumanfaatkan untuk nonton tv saja di tempat kost. tepat tahun 2000 aku segera menyelesaikan masa kuliahku. Praktik mengajar sebagai salah satu persyaratan untuk lulus, dilaksanakan pada salah satu sekolah di bagian utara kota dingin ini. Saat itulah petualanganku dimulai. Aku bertemu dengan seorang laki-laki, tampan tapi tidak banyak (aku malu mendeskripsikannya, karena bagiku dialah laki-laki paling tampan di dunia ini, setelah Bapakku tentunya) tapi menyenangkan. Sifatnya yang keras tapi lembut, seringkali membuatku bingung. Tapi seperti itulah sosok laki-laki yang kucintai hingga saat ini. Bersamanya, hari-hari begitu berwarna di kota dingin ini. Aisyah yang dulunya tidak mengerti sudut-sudut kota dingin ini, akhirnya menjelajahinya bersama dengan laki-laki itu. Hingga Aisyah dapat menyelesaikan studinya selama lima tahun dan kembali ke sekolahnya untuk mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar di sekolah itu hingga saat ini. Begitulah cerita kehidupanku, banyak hal sulit yang menempa hingga aku bisa menjadi seorang Aisyah seperti hari ini. Jika saat ini orang melihatku menjalani hidup dengan nayaman, maka aku ingin mereka tahu bahwa untuk sampai di titik ini aku telah berjuang dengan segenap jiwa dan ragaku untuk menjadi sukses dengan kehidupan yang lebih baik. Semoga TENTANG PENULIS : Anita Dian Sukardi, M.Pd, adalah seorang guru biologi di SMA Negeri 1 Prajekan, menulis adalah salah satu hobinya di sela-sela kesibukannya sebagai guru dan ibu rumah tangga. Sebagai Pembina dari ekstrakurikuler KPIR yang terbiasa menlis tulisan ilmiah. Menulis cerpen dalam buku ini adalah pengalaman barunya dalam dunia kepenulisan.


ABU-ABU SETELAH BIRU Oleh : Rika Aristifani Udara pagi terasa sejuk, mentari yang bersinar terasa hangat saat membelai kulit. Waktu baru menunjukkan pukul 05.00 pagi. Aku terbangun dari mimpi indahku. Terlintas di benakku seuntai kenangan masa putih biruku yang indah. Masa dimana aku mulai mengenal yang namanya arti persahabatan dan semuanya telah berlalu begitu cepat. Masa-masa putih biru itu telah selesai. Kini kehidupan yang telah aku lalui dalam beberapa episode telah terlampau jauh hingga aku dewasa. Mengawali kisah saat aku beranjak dewasa. Saat ini aku telah menginjak bangku SMA Namaku Rika Aristifani. Aku biasa dipanggil Icha oleh kedua orang tuaku. Aku seorang gadis kecil nan imut yang selalu ceria. Saat ini aku bersekolah di SMA Negeri 1 Prajekan. Masih tak menyangka ketika itu, dimana aku senang sekali karena namaku tercantum dalam deretan pengumuman penerimaan siswa baru di sekolah tersebut. Sekolah yang tidak jauh dari tempat tinggalku. Sekolah yang aku inginkan sejak aku lulus dari masa putih biruku. ~ Hari ini aku langkahkan kakiku dengan bersepatu dan berseragam menenteng tas. Ya, tas yang berisi buku-buku sumberku menggali ilmu. Mulai dari buku paket yang tebalnyanyaris 3 cm sampai buku catatan yang seabreg, hingga membuatku persis seperti kura-kura yang tengah membawa rumahnya ke sekolah. Sabtu pagi ini jam pertama akan diisi pelajaran matematika, salah satu pelajaran kesukaanku. Tak sabar aku untuk segera tiba di sekolah. Akhirnya kaki ini mampu menapakkan jejaknya di halaman sekolahku. Begitu sampai di kelas, bel tanda masuk berbunyi. Serentak siswa kelas X mipa 2 masuk kelas dan duduk di bangku masing-masing dengan teman sebangkunya. Aku duduk di samping Kunti teman lamaku sejak di bangku sekolah dasar. Dia ramah dan pintar. Beberapa menit kemudian, Bu Tatik, guru matematika kami menyusul masuk kelas. “Anak-anak, sekarang kita bahas bab sistem persamaan linear tiga variabel, ya!” seru Bu Tatik. “Ya, Bu!” anak-anak menjawab serentak sambil membuka buku mencari-cari bab yang disebutkan bu Tatik tadi. Bu Tatik menerangkan bab sistem persamaan linear tiga variabel sampai selesai. Peljaran hari itu dapat kuikuti dengan baik hingga akhir. *** Hari Senin kaili ini begitu cerah, seolah sinar matahari yang baru saja muncul tengah tersenyum ramah pada bumi dan seisinya. udara dingin sisa semalam masih terasa di kulitku. Aku bangun dan segera beranjak untuk menunsaikan salat subuh meminta keselamatan untuk hari ini dan seterusnya. Kupanjatkan doa-doa kepada-Nya. Tak kusangka satu tahun telah aku lewati bersama teman teman kelas sepuluhku. Kini aku naik kelas. Aku duduk di kelas XI Mipa 1. Murid di kelasku tidak sama dengan murid tahun lalu. Kali ini ada rollingan kelas dimana nilai siswa tertinggi akan di gabung menjadi satu kelas. Bisa dikatakan kelas unggulan. Aku


duduk sebangku dengan cewek pendiam dan pintar dalam semua mata pelajaran, tak lain dan tak bukan, dia adalah teman sebangku lamaku yang sering dipanggil Kuntel. Setelah selesai mengenal satu sama lain dengan siswa di kelas XI mipa 1, Bu Laras selaku wali kelasku menerangkan berbagai tata tertib yang harus ditaati kemudian menunjuk siapa saja siswa yang akan masuk dalam struktur kepengurusan kelas dan aku menjabat sebagai sekretaris. Jam istirahat pun tiba. Aku dan Kunti pergi ke kantin. Kami berbincang-bincang tentang banyak hal di sana, hingga tak sadar ada sekelompok perempuan yang lagi asik berghibah ria tentang kelas kami. Aku mengenal mereka semua. Kemudian aku dan Kunti mencoba mendengarkan dari jarak yang tidak terlalu dekat agar kami tidak sampai ketahuan. “Tau tidak XI Mipa 1 itu anaknya sombong-sombong.” Ucap salah satu dari mereka. “Iya nih, XI Mipa 1 juga sering kali dibicarakan di kelas kita anak-anaknya pintar pintar dan ngebandingin kita gitu.” Anna dengan raut wajah penuh kesal menjawab dengan sekenanya. Setelah aku mendengarkan ocehan dari mereka, aku dan Kunti pun kembali ke kelas dengan pikiran masing-masing. Dalam hati tersirat pikiran-pikiran buruk pada mereka yang tadi asik membicarakan kami. Padahal aku dan teman-teman kelasku tidak seperti apa yang mereka bicarakan, terkadang memang benar ada salah satu guru yang membandingin kami dengan kelas lain. Ada juga guru yang ingin kami membantu kelas lain agar teman-teman lain mendapat tutor sebaya, tapi malah mereka yang enggan dengan kami. Mereka enggan berteman dengan kami. Disitulah aku mulai merasakan ketidaknyamanan berada di kelas unggulan. Tidak semua hal yang dianggap nyaman itu nyaman. Banyak sekali disekitar kami orangorang yang membenci kami meskipun tidak secara langsung. Mereka sesekali membicarakan kami di belakang. Layaknya ada aku dipandang hadap, tiada aku pandang belakang. *** Sesampainya di rumah, terasa sekali kelelahan di tubuhku. Aku segera mandi dan wudlu untuk menunaikan salat ashar. Selesai salat, aku menata kembali bukuku di rak buku dua pintuku dan aku mengambil ponsel di meja belajar. Tiba-tiba ada sms masuk dari Kunti. Assalamualaikum Waalaikumsalam. Ada apa kun? Ketikku langsung menjawab Gimana kalo kita ngerjain PR matematika bareng-bareng? PR yang diberi bu Wahyu minggu kemarin? Tanyaku sambil mengingat-ingat kembali. Iyah betul. Gimana mau tidak? Oke aku tunggu dirumah ya. Jam menunjukkan jam 19.00 WIB, terdengar suara ketukan dari arah pintu luar. Aku sudah mengetahui siapa yang akan datang. Kemudian aku membuka kan pintu dan mempersilahkan Kunti masuk. Seperti biasa tanpa basa-basi kami pun langsung membuka lembaran-lembaran catatan kami.


“Kamu gak bisa yang nomor berapa Rik?” tanyanya. “Nomor delapan, Cha.” jawabku “Oh, kalau itu caranya disamakan dulu penyebutnya…” jawab Kunti sambil memberikan penjelasan tentang bab rumus jumlah dan selisih Sinus dan Cosinus. Lama kami mengerjakan semua tugas-tugas itu sampaisemua soal-soal dalam buku matematika itu selesai dikerjakan. *** Setiap hari aku dan Kunti melewati waktu bersama-sama. Bila ada jam kosong, kami manfaatkan waktu untuk belajar bersama. Sehingga tiba saat penerimaan raport kenaikan kelas, Aku dan Kunti pasrah dengan hasil usaha kami. Yang ada di pikiran kami sekarang hannya naik kelas. Wali murid yang menerima raport diminta menunggu di kelas. Satu persatu wali dipanggil oleh Bu Laras. Kini giliran ibuku yang dipanggil. Aku sangat gelisah kalau nilaiku jelek dan tidak memuaskan. Pasti orang tuaku kecewa karena aku. Akhirnya Ibuku menerima raportku dan ke luar ruangan. Ibu langsung menghampiriku dan tersenyum padaku dengan bahagia. Aku langsung disodorkan raport oleh Ibu. “Nilaimu bagus-bagus, Cha. Kamu dapat peringkat 3 paralel. Ibu bangga sama kamu, Cha.” “Aku juga senang sekali, Bu. Aku gak menyangka kalau hasilnya akan seperti ini.” Ucapan syukur, kuhadiratkan kepada Tuhan saat itu juga, yang telah memberiku anugerah indah ini. Akhirnya aku naik kelas dan bisa melanjutkan perjuanganku. *** Setahun berlalu, kini yang ada di pikiranku bahagia bercampur gundah. Bahagia karena sudah naik kelas XII, tetapi gundah karena di kelas XII ini aku dan teman-teman akan menghadapi banyak ujian, ujian praktek, try out, dan ujian yang paling mendebarkan yaitu Ujian Nasional. Aku dan Kunti yang sudah aku anggap sebagai sahabat memutuskan untuk tetap bersama. Kami berada dalam kelas yang sama selama tiga tahun ini. Malahan setiap hari kami mengerjakan PR bersama-sama dan tempatnya di rumah kami secara bergiliran. Sesekali kami mengerjakan soal-soal dan tugas dengan bergurau. Ada saja tingkah laku kami yang bisa dibilang masih kekanak-kanakan. Tapi walaupun begitu kami tetap santai menjalani hari-hari dengan sifat kekanak-kanakan kami. Kami istiqomah belajar bersama hingga Ujian Nasional akan tiba. Seminggu lagi Ujian Nasional akan membakar semangatku. Aku berusaha keras belajar. Tiap waktu senggang kugunakan untuk membaca dan menjawab soal-soal yang ada di buku. Kucari sumber-sumber soal tahun yang lalu. Biasanya soal Ujian Nasional yang disajikan ada kaitannya dengan soal-soal tahun lalu. Kupelajari semua dan kucoba mencari semua jawaban yang belum bisa kutemukan. Dibantu dengan sahabatku. Akhirnya, semua soal kami berhasil selesaikan. Aku sangat beruntung punya sahabat seperti Kunti. Dia suka membantu, bisa diajak kerjasama dan toleransi. Itulah gunanya punya sahabat. Akhirnya tibalah Ujian Nasional yang ditunggu-tunggu. Sebelum mengerjakan soal aku berdoa terlebih dahulu memohon kepada Allah agar memudahkan aku mengerjakan soal. Aku


mengerjakan soal dengan hati-hati. Soal yang mudah ku kerjakan dahulu. Tak terasa soal yang kukerjakan sudah selesai semua. Waktu hanya tersisa dua puluh menit. Kugunakan waktu yang cukup lama ini untuk mengoreksi jawabanku tadi. *** Tak lama berselang pada akhirnya pengumuman ujianpun tiba. Kubuka amplop putih bertuliskan namaku. Aku membukanya perlahan. Kulihat dua lembar kertas putih yang bertuliskan Rika Aristifani dinyatakan LULUS. Hatiku sangat bahagia melihat ini semua. Aku langsung memeluk Ibuku dan aku mengucapkan Alhamdulillah. Hampir semua orang mengatakan masa putih abu-abu adalaha masa terbaik dalam hidup mereka. Bagiku pun begitu. Ada banyak hal dan perjuangan yang kala itu kulalui bersama dengan sahabat dan teman-temanku. Aku mengingat semuanya dengan baik, sebaik aku mengingat segala keanangan indah kusejak kecil. Saat ini ketika aku telah mengabdi dan bekerja di sekolah itu kembali. Kerinduan itu sering kali, mengundang pertanyaan dimana kalian saat ini, teman-teman seperjuanganku. Dimanapun kalian saat ini, aku berdoa semoga kalian semua baikbaik saja dan dapat meraih segala impian yang kalian inginkan. Masa putih abu-abu kita, tidak akan pernah terlupakan. TENTANG PENULIS : Rika Aristifani, Lahir di Prajekan, Bondowoso - Jawa Timur, pada hari minggu tanggal 22 Juni 1997. Saat ini, saya bekerja sebagai PTT di SMA Negeri 1 Prajekan. saya adalah mahasiswa Universitas Terbuka Jember jurusan Ilmu perpustakaan. semoga kalian suka dengan karanganku. Salam kenal


TENTANG KITA Oleh : Dinda Maysaroh Hari ini tepatnya pada pukul 06.00 WIB siswa-siswi SMA Taruna Jaya termasuk aku sudah berkumpul di lapangan sekolah. Ya, hari ini adalah hari Senin. Teman-temanku mengikuti upacara bendera dengan raut wajah yang super malas. Pembina upacara hari ini Pak Diman, guru sejarah Indonesia yang terkenal dengan ceramahnya yang panjang. “Lama banget sih.” “Haus woi.” “Astagfirullah ini panas banget.” Begitulah seruan dari teman-teman sekelasku. Sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama karena sinar matahari pas sekali menyorot wajahku. Tapi rasa panas ini teralihkan karena jujur saja aku tidak memperhatikan amanat yang disampaikan oleh pembina upacara melainkan pandanganku terfokus pada objek di depan sana yang menjadi petugas upacara sebagai pengibar bendera. Dia adalah Dion Ardiansyah, kekasihku sejak satu tahun yang lalu. “Git, dari tadi kamu lihat apa sih?” tanya Diah bingung dengan apa yang kulihat sejak tadi. “Kayak yang gak tau aja kamu, si Gita lagi ngelihatin doinya.” jawab Santi mewakiliku. “Ha? Emangnya Gita punya gebetan? Siapa sih?” tanya Diah penasaran. “Bukan gebetan lagi, tapi pacar. Itu loh si Dion yang jadi pengibar bendera. Masa gak tahu sih?” ucap Santi sambil menunjuk-nunjuk ke arah Dion. “Dion pacaran sama kamu git? Loh aku kira dia pacarannya sama Putri. Putri yang anak OSIS itu,” kata Diah yang sontak membuatku membelalakkan mata karena terkejut dengan perkataannya. “Iya bener. Dion pacaran sama aku. Kenapa bisa kamu ngiranya Dion sama Putri?” tanyaku sambil mengerutkan kening karena bingung. “Hehe ya maaf Git. Habisnya Si Dion nempel terus sama Si Putri. Sekali lagi maaf ya Git.” ucap Diah dengan cengirannya. “Iya gak papa kok Di. Kamukan gak tau faktanya. Santai aja, jangan ngerasa bersalah,” ucapku sambil tersenyum. Setelah itu tidak ada lagi percakapan antara aku, Diah, dan Santi. Mungkin Diah merasa bersalah atas perkataannya padaku.


Upacara telah selesai. Teman-temanku menghembuskan nafas lega dan langsung berjalan meninggalkan lapangan upacara. Lain halnya dengan aku yang mencari-cari keberadaan Dion. Aku ingin membicarakan sesuatu dengannya. Tenang saja, ini bukan tentang Dion dan Putri seperti apa yang Diah katakan. Jujur saja aku tidak ambil pusing dengan perkataan Diah karena yang kutahu Dion tidak mudah berdekatan dengan gadis lain kecuali diriku. “Gilang, kamu lihat Si Dion?” tanyaku pada Gilang, teman sekelas Dion. “Eh? Dion? Gak lihat Git. Mungkin langsung ke kantin dia.” Jawab Dion dengan nada tidak yakin. “Oke, makasih Gilang,” ucapku dan berlalu dari hadapan Dion. Aku hendak berjalan menuju kantin. Tapi aku menghentikan langkahku karena bel masuk berbunyi. Aku membalikkan badan dan berlari menuju kelas. Aku tidak ingin guru fisika paling killer yaitu Bu Endang masuk ke kelas lebih dulu mendahuluiku, bisa -bisa aku akan kena hukuman berdiri dengan satu kaki di depan kelas. *** Kring Kring Kring…. Bel pulang telah berbunyi. Murid-murid bersorak senang. Akhirnya mereka bisa mengistirahatkan otaknya dari mata pelajaran di hari senin ini yang membuat pusing. Jika digambarkan seperti film kartun, mungkin akan muncul asap dari kepala. “ Git, kamu pulang bareng siapa?” tanya Santi yang menggendong tasnya. “Aku pulang bareng Dion. Ini aku mau ke kelasnya” jawabku sambil tersenyum. “Kalau gitu aku pulang duluan ya. Bye Gita,” ucap Santi sambil memberikan flying kissnya padaku. “Najis banget San,” ucapku lalu tertawa. Saat Santi meninggalkan kelas, sosok yang kutunggu-tunggu lewat di depan kelasku. Ya, hanya lewat. Sepertinya dia tidak ada niatan untuk sekedar menolehkan kepalanya ke arah kelasku untuk melihat apakah aku sudah pulang atau belum. Mungkin dia lupa. Melihat tingkahnya yang terkesan cuek, aku memutuskan untuk memanggilnya. “Dion” panggilku. “ Iya? Ada apa?” jawabnya sambil mengerutkan keningnya. “ Aku pulang bareng kamukan?” tanyaku dengan penuh harap.


“ Maaf, tapi aku ada janji sama Putri untuk kerja kelompok,” jawabnya dengan nada santai seperti biasanya. “Yaudah kamu hati-hati,” kataku dengan senyum yang dipaksakan lalu ia balas dengan senyuman tipis dan pergi dari hadapanku. Alasan apa lagi ini batinku. Tanpa menunggu lagi aku pun langsunng bergegas pergi ke halte depan sekolah untuk menunggu angkutan umum. *** Saat ini aku sedang termenung di kamar. Entah kenapa aku teringat perkataan Diah saat upacara tadi pagi, ditambah lagi Dion yang mengerjakan tugas kelompok bersama Putri. Sungguh ini membuatku gelisah. Perasaan takut mulai menghantuiku. Tiba-tiba handphone ku berdering menampakkan nama Santi yang mengirimkan gambar melalui whatsapp. Aku membuka pesan itu dan betapa terkejudnya aku ketika gambar itu adalah foto Dion dan Putri yang tertawa bersama yang diambil secara candid dan di sertai pesan yang Santi kirimkan untukku. “ Aku gak sengaja ketemu mereka di pasar malam. Are you ok Git? Mereka masih disini. Berdua.” Aku tertawa miris. Tadi siang Dion seperti sedang berusaha untuk menghindariku. Ini terjadi berulang kali. Dion selalu mengabaikanku dengan berbagai macam alasan. Aku memang sabar, tapi tidak menutup kemungkinan jika suatu saat nanti aku akan muak dengan sikapnya yang seperti itu terus padaku, iya kan? Tanpa berlama-lama lagi aku mencari kontaknya dan mengirim pesan untuknya. “ Kamu dimana?” tanyaku. Lalu tak lama kemudian handphoneku berbunyi. “Di rumah. Memangnya kenapa?” Aku tersenyum miris melihat pesan balasannya. Kenapa dia harus berbohong. “Kamu bisa kerumahku sekarang? Ada hal yang harus aku omongin sama kamu. Ini penting.” “Iya, tapi aku mau anterin bunda arisan dulu gak papa? Sebentar kok.” “iya” jawabku. Dua puluh menit menunggu akhirnya Dion tiba juga dirumahku. Dia datang dengan wajah dinginnya. Aku mempersilahkannya masuk dan membuatkan minuman untuknya. Setelah membuat minuman, langsung saja aku bicara tentang apa yang aku rasakan saat ini. “Dion, entah kenapa aku merasa bahwa kamu berubah. Kamu bukan seperti Dion yangku kenal. Dulu kamu selalu cerewet padaku, tapi sekarang kamu seakan-akan memberi kode bahwa


ingin menjauh dariku. Apakah perasaanmu tak lagi sama? Apa rasa cintamu telah berubah? Bahkan kamu berbohong tadi padaku dengan alasan bundamu. Jika hubungan ini memberi beban bagimu, aku ingin kita berhenti sampai disini saja.” Mataku mulai berkaca-kaca, tak kuasa menahan emosi yang sedari tadi kupendam. “Maafin aku Git. Aku masih sayang kamu. Aku janji gak akan gini lagi.” Dion menjawab pertanyaanku sambil menetaskan air mata. Aku terkejut melihat dia menangis. Tapi aku tahu betul bahwa sebenarnya perasaannya telah berubah dan dia tidak menyadarinya. “Dion, kamu sayang aku tapi kamu gak cinta aku. Perasaanmu telah berubah. Aku tahu arti tatapan matamu saat menatap Putri dan itu melibihi tatapan rasa kagum,” “Jadi mulai sekarang kita teman saja. Aku melepasmu. Aku menyerah. Percuma jika aku yang berjuang sendiri. Sekarang kamu bisa pulang, aku yakin bundamu menunggu,” lanjutku dengan nada yang bergetar. Dia menatapku dengan matanya yang memerah dan berair mata. Dia berdiri dari sofa lalu mengelus kepalaku dan mencium keningku. Setelah itu dia menatapku dengan tatapan penyesalan dan keluar dari rumahku. Hari ini, cerita kami berdua selesai. Selesai sudah cerita tentang aku dan Dion. Tentang aku yang bertahan untuk mencintainya, tentang dia yang tetap bersamaku walau perasaannya tak lagi sama, dan tentang kami berdua yang menguatkan perasaan masing-masing agar tetap bersama sekalipun kami sama-sama tahu hati itu sudah tak lagi sama. TENTANG PENULIS : Dinda Maysaroh, lahir di Bondowoso 12 Mei 2003. Penulis yang tinggal disebuah Desa Klabang Kecamatam Klabang Kabupaten Bondowoso kini menuntut ilmu di SMAN 1 Prajekan jurusan MIPA. Bisa dihubungi lewat email [email protected]. IG : @dindamaysaroh22. WA : 085811632822. Terima kasih telah membaca karya penulis, semoga tulisan penulis bisa menjadi lebih baik lagi kedepannya.


ZONASI Oleh : Regita Dini Aprilia Waktu masih SMP aku berencana ingin bersekolah di SMA favoritku, akan tetapi di jaman sekarang ada sistem zonasi, sebenarnya aku kesal dengan sistem ini tetapi aku bertekad untuk terus mencapai cita-citaku. Tidak dapat bersekolah di tempa yang paling kuinginkan membuatku cukup terpukul. Namun tidak banyak yang dapat kulakukan untuk merubahnya. “Bagaimana ini aku bingung?” kataku kala itu pada sahabatku. “Kamu jangan putus asa hanya karena sekolah favoritmu sudah tidak bisa kamu masuki lagi. Anggaplah itu sebagai angan-angan yang kali ini belum bisa kamu gapai.” “Ehh tunggu kok aku jadi baper ngedengerin saranmu.” “Aku serius loh ya..” “Iya, jadi gimana ini, aku masih gak bisa lupain sekolah favoritku itu,” kataku lemas. “Engga kok, belum tentu juga. Kenapa kamu ga sekolah di SMAPRA aja?” Kala itu sahabatku memberiku saran dengan penuh semangat. “Emang kamu mau sekolah disana juga? Tanyaku. “Ya iyalah, SMAPRA itu sekolah dengan segudang prestasi, jika kamu ingin menggapai cita-citamu dan ingin menuangkan prestasi yang kamu miliki ayo kita sekolah di sini aja.” “Iyadeh aku ikut kamu, aku mau serius untuk terus mencapai cita-citaku.” “Ya udah tunggu apa lagi, ayo cepat daftar dong.” Hari itu sebuah keputusan untuk bersekolah di SMAPRA benar-benar kulakukan. Aku dan sahabatku pergi ke sekolah tersebut untuk mendaftar dan bersekolah disana. Sampai disana, untuk pertama kalinya aku melihat sekolah ini. Perasaan asing muncul di hatiku. Sekarang inilah sekolahku, aku harus serius bersekolah di sini dan melupakan sekolah favoritku, batinku. Pendaftaran siswa baru dilakukan di perpustakaan, aku berjalan menuju ruang perpustakaan dan menuliskan biodata di sana. Seorang guru yang sangat ramah menerimaku untuk bersekolah di sekolah ini dengan senang hati. Di juga mengajakku untuk memajukan sekolah agar menjadi sekolah yang kaya prestasi. Aku senang sekali disambut dengan ramah hari itu. Begitu pulang aku menceritakan pada orang tuaku jika aku telah menemukan sekolah terdekat dengan prestasi yang baik. Orang tuaku


sangat mendukung pilihanku ini, karna mereka tidak ingin aku kelelahan di jalan jika memilih sekolah dengan jarak yang terlalu jauh. Sebenarnya dulu akulah yang sering memaksa untuk bersekolah di sekolah favoritku, tapi kedua orang tuaku tidak merestuinya. Namun kala itu aku tetap memaksa karena ingin sekali berada disana. Pada akhirnya mereka menuruti kemauanku untuk mendaftar di sekolah favoritku. Namun, yah. Kadang kala apa yang sudah kita rencanakan tidak sebaik yang Tuhan inginkan. Mungkin karena restu orang tua yang tidak menginginkan aku bersekolah disana, pada akirnya aku mendapat jalan lain. Setelah proses pendaftaran selesai, kami dimasukkan ke dalam grup Whatsap SMAPRA. Dari sanalah aku mendapat pengumuman bahwa aku diterima di sekolah itu. Aku senang sekali karena teman-temanku ternyata juga banyak yang bersekolah di sana. Aku tidak perlu lagi repotrepot untuk mencari teman baru, karena sebagian dari mereka sudah ku kenal. Saat MPLS aku memasuki gugus Wayae-Wayae yang dibina oleh tiga kakak OSIS yang sangat baik dan ramah. Hari pertama kami melakukan pengenalan antar siswa dengan maju ke depan dan memperkenalkan diri masing-masing. Hari kedua latihan upacara antar gugus dan pengenalan ekstra yang dimiliki oleh sekolah. Ekstra yang dimiliki sekolah banyak sekali, diantaranya Volly, Pramuka, PMR, Futsal, Jurnalistik, KPIR dll. Hari itu sangat seru, karena semua senior anggota ekstra mengenalkan ekstra yang mereka ikuti. Jadi kami semua tidak bosan saat melihat penampilan mereka semua. Hari ketiga kami harus mengikuti tes matrikulasi yang diadakan oleh sekolah untuk peminatan siswa sebelum memasuki jurusan IPS/MIPA. Teman satu gugusku pada akhirnya tidak selamanya akan bersama dalam satu kelas setelah hasil tes tersebut keluar. Karena jurusan yang mereka pilih pasti berbeda, ada yang memilih jurusan IPS ada juga yang memilih jurusan MIPA. Setelah mengikuti tes tersebut akan ditentukan jurusan jurusan yang mereka pilih dan juga kelas-kelas yang akan mereka tempati. Pada hari ke empat kami melakukan tes psikologi yang menguji IQ kami, waktu pengerjaan juga diberi waktu yang sangat singkat, jadi kami harus benar-benar berkonsen untuk mengerjakan tes tersebut. Hari ke lima MPLS kami lalui dengan upacara penutupan serta pisah kenang dengan kakak-kakak OSIS yang telah mendampingi gugus kami. Hari itu cukup mengharukan. Kamipun akan terpisah dengan teman gugus kami menuju kelas-kelas baru. sebelum kami berpisah kami semua berfoto untuk mengabadikan kenangan yang tidak akan terlupakan. Bahagia juga sedih melebur menjadi satu. Setelah ini masa SMA benar-benar akan dimulai. *** Kebahagiaan kala itu belum selesai. Tepat hari sabtu seusai MPLS aku mendapat kabar jika aku masuk di kelas XI MIPA 1. Yang lebih menyenangkan karena beberapa teman yang


telah kukenal ternyata juga masuk di kelas tersebut. Aku senang sekali bisa memasuki kelas favorit ini. Sebenarnya aku cukup bertanya-tanya mengapa aku bisa masuk di kelas ini. Namun, aku berusaha untuk tidak ambil pusing. Yang terpenting bagiku saat ini adalah bagaimana aku dapat meraih cita-citaku. Senang sekali rasanya besok sudah mulai sekolah. Aku mempersiapkan seragam dan segala kebutuhan yang akan kugunakan esok hari dengan baik. Esoknya setelah bangun pagi, aku sholat subuh, mandi dan sarapan, segera kulangkahkan kakiku menuju ke sekolah dengan temanku menggunakan sepeda motor kesayangan. Saat berjalan ke kelas, malu sekali rasanya melihat kakak kelas yang ada di mana-mana. Ini seperti dunia baru untukku. Setibanya di keas aku memilih duduk di bangku belakang bersama salah seorang teman lama yang sudah kukenal sejak SMP namun, tidak terlalu akrab. Kami berdua sama-sama merasa senang berada di kelas favorit ini. Pelajaran pertama dalam masa SMAku dimulai. Aku mengeluarkan sebuah buku. Guru yang memasuki kelasku seorang laki laki dan dia guru matematika, dia juga menjadi wali kelas X MIPA 1. “Saya tidak pernah menjadi wali kelas favorit sebelumnya. Karenanya saya berharap agara kalian menjadi murid yang sopan, rajin dan bisa menjaga nama baik sekolah,” kata pak guru. Walaupun kami belum akrab satu sama lain dan masih canggung untuk memulai percakapan, kami berusaha membaur. Hari demi hari berlalu, membuat kami mulai akrab dan mulai berkumpul untuk berbicara dan saling melempar pertanyaan untuk memulai percakapan. Ada yang hanya mendengarkan, ada yang berbicara tanpa henti, begitulah suasana yang ada di kelas kami. Kami tiada hentinya mendapat banyak tugas yang diberikan oleh guru, tapi itu semua kami menerima dengan ikhlas, sebenarnya ada juga yang mengeluh untuk tidak mengerjakannya karena sulit. Tetapi dengan kekompakan yang dimilliki oleh kelas kami, kami mengerjakannya bersama, jika tidak ada yang bisa menegrjakan tugas-tugas itu, salah satu teman kami akan memberi tahu cara menegrjakannya agar kami semua mengerti dengan tugas tersebut. Kami juga belajar bersama, saat ada perlombaan antar kelas, kami tidak mau kalah dengan kelas lainnya. Dengan kekompakan yang kami miliki, kami banyak mendapatkan sertifikat lomba karena kerja keras yang kami kerahkan untuk memenangkan lomba-lomba yang ada di sekolah. kami akan terus seperti itu untuk membanggakan kelas, wali kelas dan juga sekolah. Karena kami bangga memasuki kelas ini. Begitulah pada akhirnya aku menemukan kehidupan baru yang senyatanya jauh lebih indah dari pada yang aku bayangkan. Memasuki sekolah ini, aku tidak pernah meyesalinya.


TENTANG PENULIS : Regita Dini Aprilia, sering dipanggil Rere oleh hampir semua orang. Usia 15 tahun lalu tepat tanggal 19 April 2004 di kota Situbondo, yang sekarang tinggal di kota Bondowoso ,punya Hobi membaca komix dan suka sekali dengan film Anime,kadang juga meluangkan waktu untuk bermain game online. Saat ini menjadi siswa di SMAN 1 PRAJEKAN yang mengambil jurusan MIPA ,si cuek tukang marah-marah , si kantong tipis yang suka jajan kalian bisa mengikuti jejaknya di akun ig miliknya @regitadiniaprilia. Si cuek tidak terlalu menyukai media sosial namun anehnya mempunyai banyak akun. Postinganpun jarang di posting. SEPOTONG KISAH PUTIH ABU-ABU Oleh : Ariefatul Hafidah Masa-masa sekolah bisa dibilang istimewa, karena kita tak lagi hanya mendapat pendidikan di keluarga saja, namun juga di sekolahan. Jika dirumah kita diajarkan oleh orang tua kita, maka di sekolah kita akan diajarkan oleh guru-guru kita. Dengan memasuki masa sekolah, kita mengenal lebih luas tentang dunia dan banyak hal yang perlu kita pelajari. Ada suatu masa dimana masa tersebut bisa dikatakan sebagai masa paling indah, masa penuh dengan cerita dan masa yang tak akan terlupakan, masa yang akan terus terkenang adalah masa-masa kita disaat masih berseragam putih abu-abu (Masa SMA). Putih abu-abu adalah warna seragam untuk sekolah menengah atas dan sederajatnya. Dulu ketika masih berseragam tersebut, rasanya biasa saja. Seperti biasa berangkat pagi, bertemu teman-teman, belajar di kelas, kegiatan, dan pulang.. begitu seterusnya. Masa itu sudah berlalu 5 tahun yang lalu. Sekarang aku sudah tidak bisa mengulang kembali harianku dimasa itu. Kadang kalau teringat masa itu berkesan juga Aku sangat beruntung bisa bersekolah di SMA favorit di Situbondo tepatnya di SMAN 2 Situbondo. Bisa dibilang, lingkungan yang baik untuk mendukung prestasi ada di sekolahku. Siswa-siswi yang masuk menjadi siswa SMADA sudah terfilter dulu, tentunya yang masuk SMADA sebagian besar adalah siswa-siswi yang cukup berprestasi dari sejak SMP. Dengan begitu, daya pacu seorang siswa akan menyesuaikan dengan berbagai siswa yang kompeten. Banyak hal yang bisa menjadikan sekolahku menjadi julukan sekolah favorit. Mulai dari guru-guru yang kompeten, prestasi akademik dan nonakademik karena seringnya juara olimpiade tingkat provinsi maupun nasional, prestasi olah raga, dan fasilitas sekolah yang bagus, banyaknya lulusan yang tembus ke PTN ternama, banyak alumni Perwira, dan terbukti banyak alumni-alumni sukses lainnya. Saat pembagian kelas, aku mendapat kelas X-5. Meskipun bukan kelas favorit, tapi aku menjalani hari-hari dengan giat belajar. Tak disangka di semester satu aku mendapat peringkat pertama dan di semester dua aku dipindah ke kelas favorit. Di kelas X-2 aku mendapat sahabat baru namanya Tita. Setiap hari aku dan Tita mengerjakan PR, belajar bersama, sampai ke kantin bersama. Awalnya aku merasa minder masuk di kelas favorit. Akhir semester dua pun selesai


sekaligus menentukan apakah naik kelas atau tidak dan ingin masuk di jurusan IPA atau IPS. Kebanyakan siswa baru SMA banyak yang berpikir bahwa jurusan IPA tampak elit karena memang orang-orang jenius ada disana. dan IPS tambah buruk karena di dominasi pelajar-pelajar yang memang sulit diatur. Cara pandang tentang IPA dan IPS seperti itu yang sudah menjadi paradok secara turun temurun di lingkungan sekolah membuatku memilih di jurusan IPA. Tetapi di sekolahku tidak ada bedanya kelas IPA atau kelas IPS karena sama-sama bersaing antar siswa. Dari sistem pengacakan kelas yang dilakukan sekolah, aku masuk di kelas Sebelas IPA 4 (XI IPA 4), aku punya teman-teman kelas baru dan cerita baru sedangkan Tita dia masuk di kelas XI IPA 3. Meskipun berbeda kelas, kami tetap saling bertemu dan belajar bersama. Setelah masuk IPA, pelajaran IPS ditinggalkan dan mulai membiasakan dengan pelajaran-pelajaran IPA yang memusingkan tapi menyenangkan. Hampir setiap hari ada tugas berbau IPA kami lewati, teori-praktikum kimia, teori-praktikum fisika, dan teori-praktikum biologi. Tugas yang kami temui berupa soal-soal untuk pekerjaan rumah, ujian-ujian harian, laporan praktikum harian, dan ujian praktikum, begitu seterusnya. Itu baru mata pelajaran IPA, belum mata pelajaran yang wajib dan mata pelajaran lokal seperti matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan lain-lainnya. Boleh dibilang waktu yang tersita tidak terlalu tersita, namun pikiran terlalu terporsir. porsi pelajaran waktu SMA itu cukup menguras pikiran. Karena setiap harinya harus menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru-guru kami. Yang paling ribet menurutku adalah laporan praktikum. Ya karena guru-guru kami menuntut kesempurnaan dari hasil laporan kami. Setelah satu semester dijalani di XI IPA 4, tak disangka lagi-lagi aku bisa mendapat peringkat 1. Semester 2 aku dan Tita masuk dikelas yang sama di kelas XI IPA 2. Meskipun kami berada dalam 1 kelas yang sama, aku dan Tita tetap bersaing untuk memperoleh peringkat dikelas. Sama di semester sebelumnya, hari-hariku dilalui dengan belajar, mengerjakan tugas, dan lain-lain seperti siswa pada umumnya. Di kelas XI IPA 2 aku tak menyangka aku bisa mendapat peringkat 2 di kelas. Padahal teman-temanku di kelas banyak yang lebih pintar. Di sekolah kami mempunyai acara rutin yaitu study campus. Acara itu dilaksanakan di akhir semester 2 kelas XI. Study campus yang diadakan sekolah bertempat di daerah Jogjakarta. Aku sangat senang bisa belajar sambil berlibur bersama teman-teman serta guru-guru sekolahku. Kami mengunjungi perguruan Tinggi UGM (Universitas Gajah Mada), Candi Borobudur, Candi Prambanan, Malioboro, Museum di Jogja, Pasar Beringharjo, dan lain-lain. Selain dapat ilmu, aku juga mendapat pengalaman dari kegiatan study campus ini. Saat kelas XII aku dan Tita masuk di kelas XII IPA 2. Aku dan teman-temanku semakin giat belajar karena kami ingin lulus dan bisa melanjutkan ke perguruan tinggi yang kami inginkan. Selama kelas XII, kami mengikuti serangkaian kegiatan seperti bimbel di siang hari setelah pulang sekolah, mengikuti tryout bersama, latihan senam untuk penilaian ujian praktek olahraga, membuat gravity di tembok sekolah bersama, dan banyak lagi keseruan kami selama kelas XII.


Di semester 2 kelas XII, mulailah perjuanganku agar bisa lulus dan bisa masuk perguruan tinggi. Saat itu, hanya mengikuti bimbel yang diadakan di sekolahku. Karena rumahku cukup jauh dari sekolah. Kebanyakan temanku ada yang sampai daftar di bimbel di luar sekolah seperti primagama, ganesha operation, dan lain-lain. Sebelum UAS di mulai, ada pendaftaran masuk perguruan tinggi melalui jalur SNMPTN. Pendaftaran dilakukan secara online. Tetapi pada saat itu aku masih belum punya pandangan untuk masuk ke perguruan tinggi mana dan mengambil jurusan apa. Akhirnya aku berkonsultasi ke guru BK ku saat itu yaitu Ibu Ary Nurhayati. Beliau menyarankan aku untuk memilih mata pelajaran yang aku suka. Pada saat itu aku sangat suka pelajaran Bahasa Jerman. Karena jalur SNMPTN dapat mengajukan 2 jurusan yang diinginkan, pilihan pertama aku memilih jurusan Fisika tepatnya Program Studi Pendidikan Fisika dan pilihan kedua aku memilih Bahasa Jerman. Kedua jurusan itu aku memilih Universitas Negeri Malang. Saat pengumuman SNMPTN, aku sudah harap-harap cemas karena takut tidak lolos. Ternyata di web SNMPTN namaku berwarna hijau yang artinya aku lolos SNMPTN tepatnya di pilihan pertama yaitu jurusan Fisika program studi S1 Pendidikan Fisika. Sebenarnya bukan aku yang ingin memilih masuk di jurusan fisika, tetapi ini kemauan orang tuaku. Tetapi berkat doa dan dukungan orang tua, keluarga dan terutama suamiku aku bisa lulus kuliah dan bisa bekerja menjadi guru saat ini. Setelah pendaftaran masuk perguruan tinggi, aku mengikuti UAS, Ujian Praktek, dan UN. Hingga pengumuman kelulusanpun tiba. Akhirnya aku dinyatakan lulus SMA. Betapa bahagianya aku dan keluargaku. Tetapi masa selanjutnya akan datang dan aku harus menjalaninya yaitu masa kuliah. Setelah pengumuman kelulusan, sekolahku mengadakan perpisahan untuk kelas XII. Sekolah juga mengundang orang tua siswa. Acara perpisahan ini sangat berkesan bagiku, karena setelah acara perpisahan ini, aku dan teman-temanku memiliki jalan sendiri untuk menuju masa depan mereka masing-masing. Pada saat perpisahan semua siswa mendapat buku album kenangan kita saat di SMA. Masa SMA memang sangat indah. Masa SMAku bukan hanya berkutat pada belajar, tugas, dan kegiatan lainnya. Tetapi juga ada masa dimana mulai merasakan hadirnya cinta. Beruntungnya aku bertemu dengan seorang laki-laki yang usianya terpaut 5 tahun dari usiaku yang terus mendukung aku bersekolah dan kegiatan-kegiatan sekolahku. Lakilaki itu yang saat ini menjadi pendamping hidupku. Terimakasih suamiku yang setia dan mendukungku dari awal kita bertemu sampai saat ini dan seterusnya. TENTANG PENULIS: Ariefatul Hafidah, lahir di Bondowoso 29 Juni 1995. Penulis tinggal di di sebuah desa di kecamatan Prajekan, kabupaten Bondowoso. Penulis berprofesi sebagai guru Fisika di SMA Negeri 1 Prajekan dan merupakan lulusan dari Universitas Negeri Malang jurusan Fisika Program Studi Pendidikan


Fisika. Penulis bisa dapat dihubungi melalui email [email protected] dan FB Ariefatul Hafidah. GARIS Oleh : Dina Yulisah Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, padahal aku merasa bahwa baru kemarin aku menjadi siswa SMP. Kini masa putih biru sudah berlalu, ini saatnya aku melalui masa putih abu-abu. Dimana aku akan mendapatkan hal baru, teman baru, bahkan suasana yang baru. Di situlah aku merasa bahagia karena teman dari SMP selalu bersamaku kini menjadi teman dekatku, dia adalah Cyntia. Kami selalu bersama ketika SMP bahkan sampai saat ini. Aku dan dia sering berbagi cerita bahkan cerita yang menurut kami tidak masuk akal. Ketika jam kosong di kelas kami selalu bercerita tentang masa depan, impian, bahkan kisah asmara. "Din, gimana ya kalau foto kita ada di bener depan?" ujar Cyntia. "Pasti bahagia dong, bisa sombong dulu.” Kami berdua tersenyum bersama. Kami selalu menghayalkan sesuatu yang tidak dan belum kami lakukan. Tapi aku senang mempunyai teman sepertinya, ketika kelas sepuluh kami selalu bersama dan melakukan apa pun baik tugas sekolah, kelompok, kegiatan sekolah dan lainnya. Aku dan dia mempunyai keinginan untuk mengikuti OSN (Olimpiade Sains Nasional) sejak kelas sepuluh. "Cyn, nanti kalau ada lomba OSN ikut yuk!" Aku ingat, kala itu aku mengajaknya untuk mengikuti lomba OSN bersama. "Sip sip, tapi lombanya kita ikuti yang beregu aja ya." jawab Cyntia . Aku selalu mengajaknya untuk mengikuti OSN sejak itu, sampai saat ini ketika kami sudah berada di kelas sebelas. Karena bagiku pintar di dalam kelas saja tidak cukup untuk bekal bermasyarakat dan melatih diri agar bisa memberanikan diri berkompetisi di muka umum. Saat itu sedang diadakan kompetisi OSN SINAPS 2019 dan kebetulan sekali, saat itu kami sedang banyak sekali tugas dan aku pun sadar bahwa pengetahuan kami pada saat itu masih belum cukup untuk bisa berlaga di lomba dalam skala nasioanal itu. Namun dengan berbekal semangat, pada akhirnya aku dan Cyntia memutuskan untuk mengikut OSN SINAPS 2019. Hari-hari kami lewati bersama dengan persiapan kami masing-masing hingga akhirnya kenaikan kelas tiba. Aku dan Cyntia kembali di kelas yang sama, akhirnya kami memilih untuk duduk sebangku lagi di kelas 11 MIPA 1. "Cyn jadi Ikut SINAPS? "tanyaku kepadanya saat di kelas. "Sibuk nih Din, gimana ya, sekarangkan kita lagi banyak tugas"jawab Cyntia.


Aku selalu berusaha memahaminya karena memang benar kelas kami selalu mempunyai banyak tugas setiap harinya. Tetapi hal itu tidak menggoyahkanku untuk selalu mangajaknya walaupun dia selalu menolaknya dengan jawaban yang sama, karena bagiku saat itu, aku ingin kami sama-sama bisa mencari pengalaman baru pada ajang kompetisi ini. Selain itu, kupikir, seorang teman harus bisa mengajak kepada kebaikan. Tetapi pada hari jumat berikutnya, aku merasa sangat sedih karena aku merasa teman yang selama ini sudah aku anggap seperti keluarga, kini dia sudah bersama yang lain. Dia melupakan semua kebersamaan yang kami lewati bersama. Cyntia mengikuti lomba SINAPS bersama teman lain yang juga sekelas dengan kami. Namanya Mey. Aku merasa sangat tidak dihargai karena selama ini yang mengajaknya mengikuti lomba tersebut aku. Kami bahkan sudah berkeinginan mengikuti lomba itu bersama sejak di kelas sepuluh. Namun setelah dia memberi alasan sibuk, ternyata dia malah mengajak teman lain untuk mengikuti lomba itu bersamanya. Saat itu aku hanya bisa terdiam dan menerima keadaan, namun tanpa merasa bersalah sedikitpun, Cyntia tidak menjelaskan apapun padaku. Bahkan dia tidak merasa perlu untuk menceritakan padaku, jika dia akan mengikuti kompetisi itu bersama orang lain, bukannya denganku yang sudah sejak lama mengajaknya untuk ikut bersama. Setiap hari aku menunggu penjelasan darinya, hanya itu yang kubutuhkan. Aku tidak akan mempermasalahkan lagi dengan siapa dia akan mengikuti kompetisi itu. Tapi seharusnya ada sebuah penjelasan, karena aku sahabatnya dan dia sangat tahu bahwa aku begitu menginginkan kesempatan mengikuti kompetisi ini bersamanya. Semenjak mengetahui kenyataan itu, dia menjauh tanpa alasan. Bukan tidak pernah aku mencoba mencairkan kekakuan dalam persahabatan kami ini. Beberapa kali aku mencoba mengajaknya berkomunikasi. Namun semua tidak lagi sama. "Cyn kamu jadi ikut SINAPS nih ceritanya?" tanya kupadanya suatu ketika untuk memancingnya menjelaskan semuaya. "Iya nih Din, sama Mey." jawab Cyntia dengan santai. Setelah itu semua selesai, tidak ada penjelasan dan permintaan maaf. Dia benar-benar tidak memahami apa yang kuinginkan. Hatiku serasa tergores karena orang yang selama ini aku kira adalah teman baik, ternyata melukai perasaanku. Tanpa merasa bersalah, sedikitpun dia tidak meminta maaf. Entah karena dia merasa tidak nayaman padaku, butuh waktu lebih banyak lagi, atau mungkin dia sudah tidak lagi peduli padaku. Dia sudah berubah. Bukan Cyntia yang dulu kukenal lagi. Aku dan Cyntia mulai menjauh, hubungan kami merenggang. Bahkan ketika ada tugas ataupun kerja kelompok, dia enggan menanyakannya padaku lagi, dia lebih memilih bertanya kepada Mey atau bahkan teman yang tempat duduknya berseberangan. Padahala aku ada di sebelahnya. Aku sahabatnya. Sejak itulah aku sadar, dia hanya datang saat dia membutuhkanku, namun ketika aku tidak mempunyai sesuatu yang dia inginkan atau sesuatu yang lebih unggul dari yang lain, dia meninggalkanku dan memilih teman yang menurutnya mempunyai segalanya dibandingkan denganku. Kami sama-sama berada di kelas favorit, dimana segala bentuk persaingan benar-benar


bisa kami rasakan untuk menjadi yang terbaik. Namun seharusnya bukan ini yang terjadi pada kami. Aku masih berharap semua ini hanyalah pemikiran negatifku saja. Pada akhirnya kami berpisah tempat duduk, karena ketentuan dari wali kelas kami untuk meroling tempat duduk tiap dua bulan sekali. Dia duduk bersama Ahmad sedangkan aku bersana Ana. Ketika itulah dia semakin enggan menanyakan sesuatu kepadaku dia lebih memilih bertanya kepada Ana yang mungkin menurutnya mempunyai kemampuan yang lebih dariku. "Din, sabar ya. Nanti dia akan sadar jika saat ini dia tengah menyia-nyiakan orang yang selalu ada dan membantunya bahkan disaat dia tidak mempunyai cukup banyak teman." ujar Ana kala itu menenangkanku. Aku bercerita kegudahan hatiku padanya. "Iya Na, aku pasrah dengan keadaan kami saat ini." jawab aku sambil menghela nafas. Cyntia semakin menjauh, bahkan ketika dia berangkat sekolah dia tidak bersamaku lagi. Jangankan mengajakku untuk berangkat bersama menjawab pesanku di Whatsapp saja dia enggan menjawabnya. Tetapi dalam hati kecilku, aku masih berharap agar dia dapat kembali seperti dahulu kala. Hari demi hari aku lewati dengan suasana yang baru, pada akhirnya aku mencoba berdamai dengan keadaan kami dan mencoba hidup dengan normal tanpa memikirkannya lagi. Dari situlah pada akhirnya aku mendapatkan teman dekat baru, cerita baru, bahkan kehidupan yang baru. Aku berharap, semoga kisah pertemanan yang terlalu rumit ini tidak terulang kembali. Karena bagiku teman yang saat ini bersamaku sudah kuanggap seperti sahabatku. Inilah garis pertemanan antara aku dan Cyntia. Aku tidak tahu apakah dilain waktu keadaan kami akan berubah. Aku juga tidak tahu apa alasan sebenarnya sehingga kami bisa menjauh tanpa alasan. Kuharap suatu hari nanti aka nada sebuah jawaban. Akan ada sebuahwaktu dimana kami dipertemukan dalam keadaan yang biasa saja seperti dulu, saat kami masih bersahabatl. Ini ceritaku dimasa putih abu-abu. Memang, tidak selamanya persahabatan berjalan sesuai keinginan kita, kadang kala terdapat beberapa rintangan yang dapat merusam ikatan persahabatn yang sudah lama kita jalin. Dimasa ini memang waktunya kita mencari dan menemukan hal baru. Mencoba mencocokkan puzzle yang satu dengan yang lain untuk mencari kenyamanan. Namun saat kita bisa lebih menghargai persahabatan, ikatan dan kisah itu akan kita bawa sampai tua. TENTANG PENULIS : @Garis, adalah nama pena dari seorang perempuan bernama Dina Yulisah. Perempuan 17 tahun Ini baru belajar menulis cerpen sejak 31 oktober 2019.Ia lahir di Bondowoso, 09 Juli 2002


PELANGI’S SECRET LIFE Oleh: Pelangi Ananda Rurieanty Namanya pelangi, seorang anak yang merasa kecewa dengan nasibnya. Impiannya untuk bersekolah di kota orang pupus karena system zonasi. Nasibnya berbeda dengan saudaranya yang lain kala itu. Saat itu mereka msdih bisa bebas memilih sekolah yang mereka inginkan. Satu malam dia memikirkan tentang hidupnya setelah ini. Jika aku tetap disini, bagaimana dengan impianku? Bukankah ini jauh dari ekspektasi? rasanya memikirkan ini seperti tidak ada habisnya. Apakah aku harus menahannya selama tiga tahun? Ini sangat berat, batinnya Saat berfikir seperti itu, pintu kamarnya terketuk. “Masukkkk!” Terbukalah pintu itu, dari balik pintu hadir sosok yang menyejukkan hatinya bahkan meredam amarahnya. “Bunda, ada apa?” kata Pelangi seraya menggeser posisi duduknya. Sang bunda yang tahu kegundahan anaknya, tersenyum kecil untuk menguatkannya. “Bunda tau ini bukan harapanmu. Tapi jika sudah seperti, ini kita bisa apa? Terimalah Nak, mungkin disini waktumu diuji.” “Jika aku tak bisa terima inipun Bun, tidak akan ada yang berubah. Sekarang disanalah tempatku, disanalah hidupku, jadi tak ada alasan untuk aku menolak takdir.” pasrahnya sambil melihat keluar jendela kamar. “Tidurlah, besok semua akan lebih baik.” “Ya Bunda. Terima kasih.” suaranya lemas Kini sudah seminggu dia bersekolah. Namun tetap saja tidak ada semangat yang dirasakannya sejak awal. Sekolah hanya sebuah formalitas, pikirnya. Sampai suatu hari dia bertemu orang yang memang bisa menguatkannya itu. Dia seorang teman, yang ditemukan Pelangi pada saat semua semangatnya mulai terkuras habis. Namun saat itu perasaan marah tiba-tiba muncul dihatinya. Kemana saja dia selama ini? “Hey, kemana saja kamu? Jangan bilang kau sengaja menghindar agar tidak kucari?” katanya kala itu membuka pembicaraan dengan cemberut. “Aku sedang mendapat musibah, tapi kau tidak memperdulikanku. Dasar jahat. Apa kau masih temanku?” Pelangi menerka-nerka karena kesal. Orang itu hanya tersenyum di depan pelangi, “Masih tidak berdamai dengan keadaan? Itu akan membuatmu lebih sulit. Aku sengaja hilang supaya kamu tak perlu mencariku. Juga agar kau tak bergantung denganku. Pelangi, disini kau bersekolah untuk mencari ilmu. Bukan seenaknya menuruti hatimu. Cuma karena hal sepele seperti itu, lalu kau merasa semua hal menjadi buruk.”


Orang itu mendekat pada Pelangi “Aku tau kamu kesal, tapi apa gunanya itu saat ini? Kesalmu takkan merubah keputusan pemerintah dalam sistem ini. Sudahlah, terima saja. Disinipun tidak ada bedanya dengan sekolah impianmu di sana. Sama-sama sekolah, sama-sama memiliki guru yang baik, begitupun muridnya.” Mendengar itu, Pelangi hampir disulut amarah. Bukannya mendapat dukungan, tapi baginya dia malah terkesan mengejek dan menyepelekan impian Pelangi. “Sudahlah terserah apa katamu, aku tidak peduli. Memang tidak pernah ada yang mengerti keinginanku” Kesal keinginannya disepelekan, Pelangi pergi meninggalkannya sendiri. *** Kring.. Kring… Kring… Bel pulang sekolah berbunyi, suara yang paling murid tunggu-tunggu. Semua teman Pelangi sudah keluar dari ruang kelas. Namun tidak dengan dia, bahkan dia baru ingin merapikan bukunya saat kelas sudah sepi. Dengan tangan yang malas, serta langkah yang gontai, dia memacu lagkahnya keluar dari kelas. Di tengah jalan dia berpapasan dengan seseorang. Seseorang yang pernah mengisi hidupnya dulu. Seorang yang pernah ia kecewakan karena alasan yang tidak jelas. “Permisi, saya mau lewat.Tapi kalau kamu mau lewat dulu silahkan.” ucap Pelangi sambil menggeserkan badannya sedikit ke pinggir. “Tidak, kamu duluan saja. Bukannya wanita tidak bisa disalahkan? Mereka selalu benar bukan?” ucap sang pria sambil meniru wajah genit bak pria-pria buaya. “Cihh dasar genit! Sudah aku duluan saja yang lewat! Minggir.” Pelangi berjalan sambil menekukkan waja. Keadaan itu sangat menjengkelkan disaat keadaan hatinya sedang buruk. *** Sesampainya di rumah, Pelangi melemparkan tubuhnya ke Kasur. Mengabaikan seragam yang masih dia pakai. fyuhh, lelah sekali! Tak lama kemudian ponselnya bordering, sebuah pesan masuk. Dirogohnya saku kiri dan membaca pesan itu. hmmm kenapa sih dia? Ganggu aja. Pelangi melempar ponsel itu dan melanjutkan tidurnya. Rasanya baru sebentar dia merebahkan badannya, ketika membuka mata hari sudah gelap. Dari ruang tamu, bapak berterik berbicara padanya. “Pelangi, kenapa ponselmu sangat berisik? Coba angkat telfon itu. Dia sudah bordering sejak tadi.” Dengan malas, Pelangi mengambil ponselnya. Saat mengetahui siapa yang menghubunginya, dia cukup terkejut. Dia Aslan. Orang yang tadi berpapasan dengannya di koridor sekolah. Seseorang yang sempat dia kecewakan dulu. Untuk apa dia menghubungiku? Bukannya kami sudah tidak ada urusan lagi? ***


Pagi menyapa lagi, namun Pelangi tak pernah menyambutnya dengan antusias. Diambilnya tas sekolah yang sempat tergantung di pojokan kamar. Dengan langkah yang sedikit terburu-buru, dia pergi ke seklah. Hari ini dia bangun sedikit kesiangan. Kenapa bisa telat bangun sih, nyusahin aja. Sesampainya di sekolah, dia semakin kecewa, bagaimana tidak, pintu sudah hampir ditutup dan salah seorang guru piket telah menunggu di luar. Gawat!! Pelangi melangkah dengan langkah yang lebih cepat. Berharap agar dia tidak diberi hukuman karena terlambat. Namun sial, kakinya terpeleset hingga membuatnya terjatuh. Pelangi meringis kesakitan. “Kalau jalan hati-hati kali. Pak Sugeng gak makan murid kok.” Pelangi menolah kearah asal suara. Dibelakangnya Aslan sedang berdiri gagah bak model menertawakan kejadian itu. “Sok tau banget sih kamu!” Sahut Pelangi sewot, bangun dari posisi jatuhnya sambil membersihkan roknya yang kotor. “Kalau kamu takut telat, kita lewat sana aja gimana?” tanya Aslan pada Pelangi. “Lewat mana?” Pelangi sempat ragu sebelum pada akhirnya menjawan “Emmm boleh deh.” Pelangi segera berbegas mengikuti Aslan yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya. Baginya dan Aslan, inilah hari permulaan mereka memperbaiki hubungan renggang yang terjadi diantara mereka setelah berpisah. Sejak hari itu mereka berdua cukup dekat. Pelangi perlahan mulai menerima keberadaannya di sekolah baru itu. Aslan yang selalu ada disekitarnya membuatnya terhibur dan membutnya membuka pikiran, jika sekolah inipun ternyata juga sangat bagus dan menyenangkan. Kini semua telah Pelangi jalani. Dia tak pernah mengeluh tentang hidupnya. Hadirnya Aslan kembali di hidupnya, memberi alasan tersendiri dalam meraih cita-citanya. Pelangi sudah berdamai keadaan, Aslanlah yang kini selalu menguatkannya. Dia tak pernah berfikir Aslan dapat menerimanya kembali di hidupnya setelah segala hal yang telah terjadi dan kesalahannya di masa lalu. TENTANG PENULIS Pelangi Ananda Rurieanty, atau sangat senang dipanggil Pelangi. Lahir 15 tahun lalu tepat tanggal 7 November 2004 di Kabupaten Bondowoso. Gadis yang meimiliki cita-cita menjadi seorang Analis handal. Hobinya hanya suka mengkhayal, menurutnya mengkhayal adalah hal yang menyenangkan, karena kita bisa memiliki peluang untuk menjadi siapa saja. Saat ini dia duduk di bangku SMA, tepatnya di SMAN 1 Prajekan.


AGAR KITA BERTEMU KEMBALI Oleh : Firman Mulia Ramadhan Putih abu-abu, masa dengan sejuta kenangan, masa yang paling indah, juga masa yang tak akan pernah bisa terulang kembali. Saat inilah di SMA ini, aku merasakan masa yang begitu penuh dengan warna, namun semua itu kini akan segera berakhir. Seorang laki-laki pendiam, pemalu, lugu nan polos (kata guru dan teman-temannya), ia tengah duduk termenung di sebuah gubuk sawah. Sedang menatapi langit yang kali ini cukup cerah. Jika saja asap barik tidak menampakkan wujudnya, maka hari ini akan sempurna. Muhammad Yogi Dwi Al Fadil. Lelaki yang memiliki banyak sekali cita-cita, suka kepada halhal yang dianggapnya menarik. Dia orang yang mudah terkesan, orang yng tidak bisa berbohong Dan suka sekali menggambar, mendengarkan musik dan membaca. Terlalu banyak hal yang menarik, sehingga banyak hal yang dia sukai di dunia ini. Dia bahkan juga suka sesuatu yang berbau horor. Dia menyukai breakdance dan amat sangat ingin bisa melakukannya. Tapi baginya itu adalah hal paling sulit yang bisa dia pelajari dari dulu. Dalam pikirannya ketika dia melihat orang-orang yang menari breakdance adalah I want to glide, and spin, and fly like they did, but it isn’t come easy. Namun dia tetap belum mampu melakukannya dengan sempurna. Sekarang, dia sedang memikirkan akan kemanakah setelah sekolah ini berakhir dan dia lulus dari sana. Saking bingungnya, Yogi tidak ingin cepat cepat lulus. Apa gunanya lulus tapi jadi pengannguran, mau bekerja belum siap, ahh dia benar-benar bingung kali ini. Hal itu terus menghantui pikirannya. Di hari-hari terakhirnya di sekolah, dia dan keenam temannya, yaitu Bagus, Yadi, Ari, Evan, Alif, dan Haris lebih sering menghabiskan wakt bersama-sama. Mereka adalah teman dekat sekaligus sahabat Yogi. Hari itu mereka berkumpul di sawah disamping sekolahnya, menikmati angin sepoi-sepoi, mencoba membuat kenangan sebanyak mungkin untuk diingat. “Hei Ari, setelah ini kau punya rencana mau kemana ka?” tanya Bagus. “Ke warung, laper.” jawab Ari. “Astagaa..., Beta punya maksud, setelah lulus, kau jadi ikutan tes polisi ka?” “Iya jelaslah aku mau ikutan tes polisi, kalo kamu Gus?” tanya Ari pada agus yang sejak tadi duduk melongo. “Beta masih tidak tau, mungkin Beta bakalan kerja keluar kota, ikut Beta punya kakak” kata Ari.


“Kalau kau Evan, mau lanjut kemana kau ini ha?” tanya Ari ke Evan. “Kalo gue, pengennya mau ikutan tes akedemi militer, tapi kejauhan dan tinggi Gue masih kurang.” kata Evan. “Makanya atuh, Anjeun teh musti loncat-loncat, sering olahraga, tong dahar weh, Eta liat, badan Anjeun ka samping” Haris menyambung. “Diem lu, terserah Gue, huu....!” jawab Evan sambil cemberut. “Kumaha Anjeun teh, dibilangin malah ngan kieu, ah kumaha Anjeun the.” sambung Haris. “Sampeyan mau kemana setelah lulus Ris? Tanya Alif “Saya teh mau pulang ke kampung, mungkin kuliah juga di sakitaran sana” jawab Haris. “Saya pingin ikutan tes di akmil, ikutan tes polisi, ikutan tes TNI AD, AL. semua kalau bisa.” kata Alif. “Wuih keinginanmu banyak sekali Lif?” sambung Yadi. “Enya atuh, banyak pisan.” sambung Haris. “Nah Yadi, kamu sendiri teh, hoyong kamana setelah lulus? Lanjutnya. “Saya pengen pulang ke rumah Ibu di kota, sambil kuliah.” jawab Yadi. Sambil mendengarkan perkataan teman-temannya yang bingung akan kemana setelah ini, dia terus menggambar. Dia tersenyum, menghela napas panjang dan menatap jauh ke arah sawah-sawah yang terbentang di hadapannya. “Wooii Yogiii, kau dengar tidak??? Dari tadi kita panggil panggil kau punya nama.” teriak Bagus ke telinga Yogi. “Hehehehe, maaf maaf, iya ada apa?” jawab Yogi sambil memegang telinganya. “Dari tadi kita bertanya, setelah lulus kau punya rencana mau kemana ?” kata Bagus. “Hihihihihihihi....” Yogi tersenyum. “Lah macem mana pula Kau ini, ditanya malah tertawa seperi kuntilanak punya suara.” kata Bagus. “Hihi..., saya masih mikir,bingung mau kemana” jawab Yogi.” “Eleuh eleuh kumaha Anjeun teh, Ieu teh sudah hampir lulus, naha baru mikir sekarang?” Tiba tiba datanglah Buu (nama dari tokoh animanga Dragon Ball), Wahdi. Laki-laki


imut, gemes, lucu, berbadan besar nan bulat. Persis seperti tokoh dari animanga Dragon Ball, karena itulah, Yogi memanggilnya Buu. “Yoyo Ale semua sedang apa disini ha?” katanya. “Lah kenapa Ale punya muka begitu?” tanya Buu ke Yogi. “Tidak ada apa-apa.” jawab Yogi. “Menurut gue sih, mending Lo kuliah aja, ngambil jurusan seni, kan Lo pinter gambar tuh.” kata Salman. “Iya bener atau enggak, masuk jurusan DKV.” sambung Alif. “DKV? DKV itu apa?” tanya Yogi. “Itu, bikingambar dan desain-desain pake media digital, benar tidak Alif?” tanya Wahdi. Mendengar penjelasan Alif tentang DKV, Yogi terlihat tetarik. Pulang dari sekolah, Yogi kembali pergi ke tempat biasanya dia merenung, sawah dekat rumahnya. Kali ini dia membawa handphonenya. Dia mulai mencari tahu tentang jurusan DKV melalui internet. Dia membaca seluruh hal tentang DKV dan dia semakin tertariklah dia pada jurusan tersebut. Saat itu juga dia memantapkan hatinya untuk kuliah di jurusan DKV. *** Empat hari sebelum hari kelulusan, Yogi dan teman kelasnya berkumpul kembali di sawah samping sekolah. Mereka saling berbincang merka saling becanda. Yogi mengingat kembali hari pertama dia masuk ke SMA. Saat itu temannya hanya beberapa orang dan itupun hanya teman dari SMPnya saja yang bisa akrab dengannya. Tahun pertama di SMA, saat penentuan kelas, dia sedih sekali karena tidak ada satupun teman yang ia kenal sekelas dengannya. Yogi makin pendiam, dan tidak berbicara dengan siapapun di dalam kelas, kerjaannya hanya tidur, duduk diam dan tidak pernah keluar kelas meskipun saat istirahat. Yogi hanya keluar kelas saat ingin pergi ke toilet. Sejak saat itulah imej pendiamnya semakin dikenal. Beberapa hari kemudian, dia mulai mencoba ngobrol dengan teman sebangkunya Alif. Mendapat respon positif, setiap hari Yogi mulai bersama dengan Alif, kecuali jika Alif keluar kelas. Saat itu Yogi masih enggan. Namun lama-kelamaan Alif sering sering mengajak Yogi pergi bersama. Mereka menjadi lebih akrab dan dekat semenjak itu. Di tahun pertama itu pula, pada akhrinya dia mulai berkenalan dengan Haris dan Wahdi, meskipun Yogi belum bisa akrab denga keduanya. Setengah semester pada akhirnya berhasil Yogi lewati, perlahan dia mulai terpesona pada seorang perempuan di kelasnya. Namanya Risa, perempuan yang cantik, senyumnya manis, ditambah lesung pipi di pipinya benar-benar membuat wanita itu bertambah cantik. Hampir setiap hari Yogi memandanginya dari belakang. Disaat Risa menoleh kearahnya, Yogi langsung menunduk sambil tersenyum.


Berbulan bulan kemudian, Yogi semakin penasaran dengan Risa, kelihatannya Dia suka dengan perempuan berlesung pipi itu. Dia mulai mendekatinya, tapi tidak secara langsung, melainkan melalui sebuah pesan di handphone, meski si pemilik lesung pipi ini cuek kepadanya. Tapi Yogi tetap berusaha mendekatinya, hingga berminggu-minggu kemudian meskipun tidak ada hasil. Perasaan bertekuk sebelah tangan itu berlanjut berbulan-bulan kemudian. Namun Risa tetap saja dengan kecuekannya pada Yogi. Hingga suatu ketika dua sahabar Risa mulai mendekati Yogi. Awalnya Yogi tidak ingin menenggapi mereka, karena baginya, pemilik lesung pipi itu telah menawan ketertarikannya. Namun perlahan usaha yang tak bersambut itu kala dengan perhatian dan kenyamanan dari salah satu sahabat Risa. Namanya Lisa. Pada akhirnya Yogi menjadi lebih dekat degan Lisa dan perlahan melupakan ketertarikannya pada Risa, hingga ditahun keduanya. Hubungan mereka pada akhirnya harus berakhir di semester dua. Saat itu mungkin saja Lisa merasa bosan pada Yogi, atau mungkin ada sebab lain yang tak ingin dia ketahui. Yogi juga ingat bagaimana dia sempat kecewa dengan ekskulnya di sekolahya, karena dia baru saja bergabung beberapa minggu di sana, namun ekskul tersebut malah bubar. Padahal alasan utama dia bersemangat bersekolah di sekolah ini karena ingin menjadi bagian dari ekskul itu. Yogi sangat kecewa sekali kala itu, bahkan sempat merasa menyesal masuk di sekolah ini. Ditahun keduanya, Yogi bertemu dengan Bagus, Ari, Haris, Yadi. Tapi terpisah dengan si imut Wahdi. Tapi dia senang masih bisa satu kelas dengan Alif teman akrabnya, juga Risa. Sifat pendiamnya masih berlaku di tahun keduanya, tapi di tahun ini, dia mulai belajar untuk lebih terbuka. Di tahun kedua ini, dia mulai akrab dengan Ari, Haris, dan Yadi. Dikelas sebelaslah pada akhirnya dia mulai bisa membuka diri dan perlahan mengembangkan bakat-bakatnya. Saat itu dia banyak mendapat kesempatan untuk mengikuti beberapa perlombaan yang membuautnya terus dipercaya untuk bisa mengeikuti lomba-lomba lainya. Yogi memulai debut pertamana dengan mengikuti lomba menggambar karakter, namun pada saat itu, dia masih belum bisa mendapatkan kejuaraan. Yogi sempat merasa sedih, namun hal itu terobati setelah dia sekali lagi diberi kesempatan untuk mengikuti lomba LKTI bersama dua teman lainnya dalam satu tim. Awalnya, Yogi sempat menolaknya. Namun kala itu temannya Alif tetap memaksanya untuk terus ikut. Sampai akhirnya diapun tidak bisa menolaknya. Saat perlombaan itu berlangsung, rasa tidak percaya diri dan gugup saat melihat penampilan dari regu lain seperti menyelubungi Yogi dan timnya. Namun Bu Santi sebagai pembina selalu memberikan motivasi agar mereka tetap percaya dir denga apa yang sudah mereka persentasikan.


Pada saat akan pengumuman hasil perlombaan, wajah Yogi dan timnya pucat menahan gugup. Lama menunggu, mereka bertiga, juga Bu Santi tidak bisa diam, karena penasaran . Alif mulai berpindah-pindah tempat. Yanti menggigiti kuku tangannya, Ibu Santi fokus mendengarkan apa yang disampaikan pantia. Sementara Yogi, dia tertidur. Meskipun hanya sebentar, hal itu mampu mengurangi rasa gugupnya menunggu pengumuman juara. Beberapa menit kemudian, pengumamn juara di bacakan. Melihat juara ke 2, 3, juara harapan adalah mereka yang penampilannya sangat bagus, Yogi lansung menunduk seakan tidak ada harapan bahwa teamnya akan menjadi juara dalam lomba. Namun seperti sebuah keajaiban, Pada saat juara satu diumumkan, ternyata nama Alif yang dipanggil. Itu artinya mereka berhasil menjuarai lomba bertingkat nasional ini.Rasanya Yogi ingin menangis bahagia, tangis Yanti dan Bu Santi langsung pecah seketika dan mereka saling berpelukan. Alif yang juga syok mengajak Yogi untuk sujud syukur. Itu adalah keajaiban terbesar dari Tuhan yang diberikan kepada mereka berempat. Mereka sangat senang sekali karena telah berhasil membawa pulang piala tingkat national untuk sekolahnya. Yogi mulai benar-benar bisa menikmati hidupnya saat ini. Dia mulai percaya diri dan tidak lagi hanya menjadi lelaki pemalu yang duduk diam. Yogi juga sempat mengisi acara Gempita bersama timnya dan menampilkan dance jepang. Di tahun ketiganya, Yogi kembali satu kelas dengan Alif, Bagus, Evan, Haris, Yadi, Ari, Wahdi, dan teman teman di kelas sebelasnya. Dikelas ini Yogi lebih berbaur dengan teman temannya. Dia lebih sering sering berinteraksi dengan teman temannya dan hampir tiap hari keluar keluar kelas dengan berbagai kepentingan. Setiap hari, dia dibuat tertawa oleh teman temannya, bahkan ditahun ketiganya di SMA ini, dia mulai berguau dengan perempuan dikelasnya. Bahkan, dia juga beinteraksi dengan teman lain di kelas yang berbeda. Meski ada satu hal yang tidak berubah darinya,dia masih pemalu. *** Hari kelulusan telah tiba, semua siswa siswi kelas dua belas SMAN 1 Prajekan merayakan hari kelulusan mereka. Setelah melewati sesi untuk saling meminta maaf pada semua warga sekolah, mereka bebas merayakan kelulusan dimana saja, asalkan tetap damai, sopan, dan tidak menggangngu orang lain. Yogi dan teman-temannya merayakan kelulusan mereka di sawah tempat biasa mereka nongkrong. Kali ini dia bersama dengan seluruh teman temannya dan juga mengajak wali kelas mereka. Hal yang tidak biasa dilakukan saat kelulusan memang. Namun hari itu, mereka erda berkumpul disana. Saat itu wali kelas Yogi memberi kesmepatan pada semua siswa untuk menyampaiakn segala hal yang ingin mereka sampaikan pada teman. Tiap anakanak bercerita mengungkapkan apa yang ada didalam hatinya, hal itu memicu tawa, kesedihan dan keharuan diantara mereka.


Yogi juga memberitahu alasan mengapa dia dulu selalu diam dan jarang berinteraksi dengan teman temannya. Hari itu juga Yogi meyampaikan betapa dia bersyukur karena telah dipertemukan dengan teman-temannya. Dia juga merasa bersedih karena hari ini adalah hari terahir mereka bisa bekumpul bersama-sama dan menghabiskan waktu bersama di hari terakhirnya. Terlebih ketika harus berpisah dengan orang yang dia suka sejak dulu. Setelah ini, Yogi dan mereka semua akan menempuh jalan mereka masing-masing dan menggapai cita-cita mereka masing masing. Yogi akan sangat merindukan momen-momen yang telah ia buat bersama teman-temannya. *** Satu persatu pada akhirnya mereka pulang. Tinggal Yogi dan sahabatnya yang masih duduk tenang disana. Mencoba menikamati kebersamaan terakhir yang mungkin akan berbeda saat mereka melakukannnya lagi dilain waktu. “teman-teman, apakah kita akan tetap seperti ini sampai nanti, sekalipun kita sudah berada ditempat yang sama-sama jauh dan lama tidak bertemu? Apakah kalian tetap sahabatsahabat terbaikku?” “Tentu saja!” kata Alif “Meski berhari-hari berbulan bulan bertahun tahun kita tidak akan bersama sama lagi, kita kan terus mengingat momen-momen yang telah kita buat selama ini. Selama kita masih bernafas, selama kita masih menginjak tanah yang sama, kita tetap sahabat sampai kapanpun. Dan ingat, kita telah melalui masa putih abu-abu kita bersama-sama, jadi hubungi kita apabila kamu merindukan kami atau bahkan sedang dalam kesususahan. Dan hubungilah kita, saat kau sedang kesusahan. Baik itu sesah maupun duka. Kita akan tetap selalu bersama.” Mendengar perkataan Alif, mata mereka semua berkaca-kaca dan meneteskan air mata. “Yah tidak terasa katong sudah lulus ya.” kata Wahdi. “Iya, saya akan merindukan kalian semua.” Jawab Yogi. “Saya berpikir, bertemu dengan kalian setelah masuk sekolah ini adalah hal yang terbaik yang yang pernah saya alami. Kalian selalu membantu saya, terimakaih banyak.” “Ajeun teh bicara naon, tong tiba-tiba merubah suasana atuh” sambung Haris. “Bodoh...” kata Alif. “Ka..kau mencuri kata-kataku tau..” sambungnya sambil menangis. “Ahhh ketua kelas jangan menangis atuh, nanti kita juga ikutan tau.” kata Evan. “Ah baiklah, semoga kita sukses, semoga kita bahagia suatu hari nanti, sampai akhirnya punya kesempatan bertemu lagi, kalian jaga diri baik-baik” kata Yogi.


“Pasti...!” TENTANG PENULIS : Firman Mulia Ramadhan, lelaki pemalu yang memiliki hobi menggambar, breakdance dan segala sesuatu yang berbau horror. Saat ini dia sedang menikmati masa-masa terakhirnya di bangku SMA. Saat ini dia tengah berusaha keras untuk bisa masuk ke jurusan impiannya DKV.


CINTA DALAM DIAM Oleh: Umi Selsabila Langit terlihat mendung kala itu seperti ingin menumpahkan kesedihannya. Sang mentari enggan menampakkan keindahannya. Senja menangis tersedu-sedu di bawah langit mendung yNg perlahan meneteskan hujan. Senja tidak bisa menerima apa yang Fajar katakan saat memutuskan sambungan teleponnya. Fajar mengakhiri hubungannya dengan Senja melalui telepon. “Kenapa nangis?” Sontak Senja terkejut dengan suara laki-laki yang ternyata kakak kelasnya. Denga cepat Senja menghapus air matanya. “Eh enggak, gak papa kok Kak,” jawab Senja dengan gugup dan terbata-bata. “Cuma kelilipan.” Kemudian laki-laki itu hanya menganggukkan kepalanya dan pergi meninggalkan Senja yang masih terpaku di tengah lapangan. *** 1 tahun kemudian “Hoyyyy! Ngelamun aja, masih belum move on nih ceritanya?” ucap Lala sambil menepuk bahu Senja. “Apaan sih, udah move on kali,” jawab Senja sambil mengerlingkan bola matanya. “Udah jangan bohong, nanti hidungnya kayak Pinokio,” tambah Mei. Lala dan Mei adalah sahabat Senja. Lala sahabatnya sejak masuk SMA, sedangkan Mei sahabatnya sejak SMP. Mereka sangat kompak sejak saling mengenal dan kemanapun selalu bertiga. “Bisa gak sih kalian gak bahas masa lalu gue itu, gue udah move on sumpah,” ujar Senja sembari pergi meninggalkan mereka berdua di kamar mandi. Brukkk “Aduh maaf, maaf gak sengaja” ujar Senja yang kemudian membisu seketika, ketika melihat sosok laki-laki dihadapannya. “Gak papa, Gue yang salah gak liat jalan.”


Lelaki itu manatap Senja dengan tatapan yang aneh dan pergi meninggalkannya. Senja seperti pernah melihat wajah lelaki itu. Ia sempat mencoba mengingat-ingat kapan dia melihat lelaki itu. “Senjaaaa!!” Panggil Lala. “Apaan?” jawab Senja datar dengan tetap mengingat-ingat siapa lelaki itu. “Kok kita ditinggal sih?” tanya Mei. “Iya tuh, kebia...,” tiba-tiba Senja memotong perkataan Lala. “Aha Gue inget, siapa dia!” pangkas Senja. “Dia siapa?” tanya Mei. “Kakak kelas yang pernah gue ceritain ke kalian itu loh,” jawab Senja dengan senyum yang mengembang. Sejak Senja putus dengan Fajar, ia kembali menjadi sosok yang tertutup dan tak ingin dekat dengan lelaki manapun. Meski banyak cinta yang menghampirinya, Senja tetap teguh pada pendiriannya. Namun, saat mengingat kembali kejadian barusan membuat Senja senyum-senyum sendiri, membayangkan wajah lelaki itu. Beberapa hari ini, Senja mencari tahu tentang lelaki itu. Lelaki yang diam-diam Senja kagumi saat ini. Senja sangat menyukai lesung pipi kakak kelasnya itu, yang membuat lelaki dengan kulit sawo matang tersebut terlihat manis. Mari kita bahas sedikit tentangnya. Namanya Bintang. Bintang lumayan banyak dikenal orang karena sikapnya murah senyum pada siapapun, walaupun terlihat cuek. Ia juga aktif di salah satu ekstrakulikuler yaitu Kelompok Peneliti Ilmiah Remaja(KPIR). Menurut Senja, Bintang itu tak begitu tampan, tapi manis dan juga pintar. Bel pulang telah berbunyi, Senja dan kedua sahabatnya pergi meninggalkan kelas. Saat di gerbang sekolah, mereka bertiga berpisah karena arah rumah mereka berbeda. Senja yang kala itu masih tak ingin pulang, memilih duduk di bangku taman depan sekolahnya. Fajar gue kangen banget sama Lo, biasanya Lo duduk-duduk disini nungguin gue. Gue kangen saat saat kita bersama. Ngabisin waktu dari pagi sampe sore buat jalan-jalan gak jelas. Kenapa Lo berubah Jar? Kayaknya baru kemarin kita bahagia bersama, gue kangen sama Lo. Batin Senja “Hei Dek, ngapain disini sendirian?” tanya Bintang tiba-tiba, sapaan itu sontak membuat Senja terkejut. “Eh iya, enak disini adem,” jawab Senja singkat, ia masih sedikit terkejut sekaligus senang lelaki yang ia kagumi sedang menghampirinya. “Lo lagi sedih ya? Ingin sendiri? ya udah deh gue pergi aja takut ganggu.”


“Eh enggak kok, gak ganggu. Sini duduk aja Kak,” ujar Senja. “Oh iya, kenalin nama gue Bintang. Lo Senja kan?” tanya Bintang. “Iya gue tau kali nama kakak. Tapi, kak Bintang tau dari mana nama Gue?” Senja balik bertanya. “Ada deh, l]Lo kepo banget sih. Mau pulang bareng gue?” tanya Bintang setelah meledek Senja yang cerewet. Senja hanya diam, ia tak percaya bahwa bintang mengajaknya untuk pulang bersama. Ia masih terpaku dan masih mencoba mencerna perkataan Bintang. Sesaat kemudian, Bintang melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Senja, yang kala itu yang tanpa sadar melamun. “Malah bengong, ayok!” ajak Bintang seraya menarik tangan Senja dan menggenggamnya. Senja senang sekali atas perlakuan Bintang terhadapnya. Sepanjang jalan mereka berdua bercerita panjang lebar. Mereka juga membahas pertemuan pertama mereka di lapangan setahun yang lalau yang terus Senja ingat. Entah kenapa Senja mengatakan semua yang terjadi padanya dan Fajar, tentang hubungannya yang kandas ditengah jalan tanpa alasan yang jelas. Sesampainya di depan rumah Senja, Bintang langsung pamit pulang. Tak lupa berterima kasih kepada Bintang. Senja pun langsuk masuk ke rumahnya. Di dalam kamarnya Senja hanya menggeliat, berguling ke kanan dan ke kiri sambil senyum senyum sendiri. Ia teringat ucapan Bintang, saat ia menceritakan tentang hubungannya dengan Fajar dan tak sengaja meneteskan air matanya tepat di bahu Bintang. “Kalo kata Gue sih, udah lupain dia, lupakan semua tentang dia dan lihat ke depan. Masih banyak yang mau mencintai Lo dengan tulus dan pengen liat Lo bangkit. Lo pasti bisa, Senja!” ucap Bintang penuh keyakinan. Disisi lain, ternyata Bintang diam-diam memperhatikan Senja saat di sekolah. Senja termasuk orang yang ceria dan cerewet. Tetapi, setelah kejadian setahun lalu Senja menjadi pribadi yang cuek dan tertutup. Namun, saat ia pulang bersama Senja ia benar-benar melihat Senja yang sebenarnya. Sejak saat itu Senja dan Bintang semakin dekat. Seperti halnya saat ini, Bintang mengajak Senja untuk jalan-jalan, menghabiskan waktu libur. Mereka berniat pergi ke gunung Kawah Ijen. “Hai kak, maaf udah nunggu lama,” ujar Senja yang baru saja keluar dari rumahnya. “It‟s okay, yuk berangkat,” ajak Bintang. “Ayo,” jawab Senja sembari duduk di jok belakang.


“Pegangan yang kenceng, biar gak jatuh dan gue gak kedinginan,” ucap Bintang sambil tersenyum dan dibalas tawa lucu oleh Senja. Sesampainya di sana, mereka langsung mendaki gunung Kawah Ijen. Senja sedikit kesulitan mendaki, namun Bintang selalu sigap membantunya. Bahkan, Bintang sesekali menggendong Senja karena kecapean. Bintang hanya tertawa kecil ketika melihat Senja komat kamit ngedumel karena jalan yang mereka lalui membuatnya sedikit kesulitan mengatur laju napasnya dan yang pasti melelahkan. Ketika melihat wajah Senja yang memerah, rasanya Bintang ingin mencubitnya dan membawanya pulang kerumahnya. Wajahnya sangat lucu. Sesampainya di puncak Kawah Ijen, mereka langsung takjup melihat keindahan disekitar mereka. Senja tak percaya bahwa ia dapat memenuhi keinginannya untuk mendaki gunung, apalagi bersama Bintang. Disudut berbeda, Bintang hanya memandangi tingkah laku Senja yang sedang kegirangan. “Gimana bagus gak?” tanya Bintang “Bagus banget, makasih ya kak udah ngajak aku kesini.” Kemudian Bintang mengajak Senja melihat lebih dekat kawah di gunung Ijen itu. Lalu, Bintang menggenggan kedua tangan Senja dan menatapnya dengan tatapan dengan tatapan serius. “Senja gue tau Lo mungkin belum bisa ngelupain mantan Lo itu. Gue ngerti itu gak mudah buat Lo. Tapi ijinin Gue buat ngebahagian Lo dan ngelindungi Lo. Gue sayang sama Lo Senja. Gue ingin Lo bahagia sama Gue dan lupain mantan Lo yang udah buat Lo sakit hati. Gue akan selalu ada buat Lo dan pastinya buat Lo lupa gimana caranya menangis. Maukan Lo jadi pacar gue?” tanya Bintang sambil membungkukkan badannya dan masih memegang tangan Senja. Spontan Senja kaget, ia tak percaya bahwa Bintang menyayanginya dan ia bahagia karena perasaannya tak bertepuk sebelah tangan. Lalu Bintang berdiri ingin mencari jawaban dari pertanyaannya. “Apa Lo seris? Jujur aja saat gue bareng Lo, gue gak pernah sedikitpun mengingat mantan gue itu. Gue seneng banget Kak, karena Lo satu-satunya orang yang bisa buat Gue sebahagia ini, Gue mau jadi pacar Lo,” jawab Senja dengan menitikan air mata bahagianya. “Makasih,” ucap Bintang memeluk Senja dengan erat, dan Senja membalas pelukan Bintang. Seperti sang Senja yang akan menyingsing dengan begitu indahnya, seola-olah ia mengetahui ada kebahagian baru disana. Senja adalah awal dari cerita mereka. Di senja kala itu, sebelum bintang menampakkan kelokannya. Dua manusia bersatu, Senja dan Bintang.


Senja merupakan manifestasi dari kehidupan manusia, senja yang menutupi cahaya merupakan perwujudan dari kenyataan atas sebuah mimpi. Kehadiran senja yang sekejap tidak pernah membuatnya mengeluh, kehadiran malam tidak pernah membuatnya merasa kehilangan. Inilah cerita putih abu-abu yang akan selalu menjadi kenangan untuk selamanya. TENTANG PENULIS : Umi Selsabila, atau yang akrab dipanggil Bila. Ia lahir di Bondowoso, 17 Desember 2002. Wanita penyuka gunung, senja, dan menulis ini tinggal di Tapen, Kabupaten Bondowoso. Ia adalah salah satu murid di SMA Negeri 1 Prajekan. Kini ia duduk di kelas XI MIPA 4. Hobinya membaca, khususnya novel. Temukan curhatan-curhatan Bila di instagram @selsa_byla17. Jangan lupa follow ya.


ANAK SMA OH ANAK SMA Oleh : Hikmah firdasi “Bun belajar sejarah itu nggak asik, nggak keren!” Anifa harus berangkat melanjutkan pendidikannya setelah lulus masa putih abu-abu-nya. Namun, dia masih belum juga ikhlas jika jurusan yang akan ditempuh nantinya bukanlah yang diidam-idamkan. Bunda Anifa menghela napas panjang, lama-lama melihat putrinya selalu mengeluh tentang jurusan yang akan ia tempuh menjadi lelah juga melihatnya. “Sampai kapan kak? Kamu masih belum juga ikhlas, padahal ini juga pilihanmu sendiri. Bunda bingun deh sama kamu.” Anifa diam saja. Dia mulai berpikir ingin fokus dengan dunianya sekarang. Fokus dengan apa yang sudah menjadi pilihannya tanpa melibatkan ketidak sukaannya. Dia berpikir mungkin saat ini yang paling tepat adalah menjalani semuanya sesuai pilihan yang telah dipilihnya. Mungkin nantinya akan ada hal yang menarik dan mengagumkan. Takdir tak pernah ada yang tau. *** Siapa sangka, dulunya yang merengek mengatakan bahwa sejarah itu nggak asik, nggak keren, malah menjadi sosok yang sangat menyukai hal-hal yang berbau masa lampau yang bahkan dia pun belum pernah ada di masa itu. Bahkan, berkat hal yang dia anggap nggak asik, nggak keren bias membawanya dating ke berbagai daerah di pulau Jawa. Tidak hanya itu, karena sejarah itu juga membawanya bisa menjadi pendidik di beberapa sekolah. Anifa gadis yang dulunya sangat tidak menyukai sejarah, yang menganggap sejarah itu tidak menarik, tidak keren, kini menjadi seorang pengajar sejarah di beberapa sekolah. Misinya hanya satu, dia ingin pemuda-pemuda milineal saat ini tidak lupa akan sejarah, terlebih sejarah bangsanya sendiri. Tidak mudah untuk membuat para siswa-siswanya tertarik akan mata pelajaran yang dia ajarkan. Banyak tantangan yang harus ia lalui. Tantangan yang harus ia pecahkan satu-persatu. Di mulai dari dirinya sendiri hingga siswa-siswanya yang sangat luar biasa. Tapi ini tidak menjadikan ia untuk mundur tetapi menjadikan motivasi untuk terus maju dan mencari solusi terbaik. *** “Anak-anak yang baik, saya senang sekali bisa mengajar kalian disini. Harapan saya, kita bisa sama-sama melaksanakan pembelajaran dengan baik selama satu tahun kedepan. Maka dari itu, mulai dari sekarang jangan lagi ada yang terlambat. Saya juga berharap kita dapat bekerja sama dengan baik dalam proses pembelajaran ini. Selain itu, saya harap kalian bisa


menjalankan kewajiban-kewajiban kalian dengan sangat baik. Misalnya mengerjakan tugas tepat waktu, mengikuti aturan-aturan yang ada, tidak bolos di jam pelajaran. saya harap kalian memahami dan menjalankan peraturan ini dengan disiplin. Bagaimana anak-anak bisa kan?” “Siap bisa Bu.” “Baiklah, kita mulai pembelajaran hari ini. Silahkan di buka bukunya halaman lima.” Selama pembelajaran berlangsung siswa-siswi mengikuti dengan baik. Mereka berusaha untuk belajar dengan disiplin. Tidak berbuat gaduh di kelas. Mendengarkan penjelasan Bu Anifah. Mencatatat semua penjelasan guru mereka. Berdiskusi dengan masing-masing kelompok dengan baik. Hal itu yang terjadi dikelas selama pembelajaran berlangsung hinggga bel pergantian pelajaran bordering. Kring… Krng… Kring… *** Pada pertemuan berikutnya, Anifa meminta masing-masing kelompok untuk menyerahkan hasil dari diskusi kelompoknya tidak ada satupun yang menyerahkan hasil diskusi. Anifa bingung, ada apa dengan siswanya. Dia merasa pada pertemuan lalu mereka baik-baik saja dan terlihat antusias. Tapi mengapa hari ini berbeda. “Ada apa dengan kalian semua? Mana hasil diskusi yang kalian kerjakan pada pertemuan kemarin?” Tak ada satupun siswa yang menjawab pertanyaan Anifa. Dia semakin bingung, ada apa dengan semua siswanya? Anifah bertanya sekali lagi, tetapi tidak ada jawaban yang siswanya berikan. Anifa berpikir sepertinya dia harus bertindak sekarang. “Kenapa semuanya diam. Saya sedang berhadapan dengan anak-anak manis tau patung berwujud boneka lucu ya?” akhirnya siswanya bereaksi dengan tawa lepas. “Ada apa dengan kalian? Mengapa tiba-tiba semuanya menjadi boneka-boneka lucu yang tidak mampu berkata-kata?” lagi-lagi mereka hanya tersenyum. “Ok. Mana tugas kalian? Atau belum selesai kalian kerjakan? Ataukah belum bisa memahami permasalahan yang harus kalian selesaikan? Jika iya ayo kita cari solusinya bersamasama. Tidak usah takut. Jika tidak bisa bertanya. Jika tidak paham juga bertanya. Jika kalian hanya diam saja, bagaimana saya bisa tahu apa masalah yang kalian hadapi. Ayo kita pecahkan bersama-sama.” Barulah mereka semua mengangkat tangan dan mulai mengakatakan masalahnya. “Bu saya tidak bisa menyelesaikan pekerjaan ini.” Kata Riza “Bu saya tidak paham bagaimana menyelesaikannya. Dan lagi saya tidak suka sejarah bu. Membosankan.” Kata Arifin sang ketua kelas . “Bu saya sudah berusaha keras, tetapi tetap saja saya tidak suka dan bosan ketika harus membaca buku-buku yang saya saja belum lahir pada masa itu.” Kata Aryan. “Belajar sejarah juga hanya menghafal tanggal, bulan, tahun peristiwa sejarah dan juga menghafal nama-nama tokoh sejarah.” Kata Ruly. “Benar itu bu” jawab semua siswa dikelas. “Baiklah. Jadi itu masalah kalian. Saya paham masalah kalian. Belajar sejarah itu membosankan, nggak menarik, nggak keren. Saya dulu juga berpikiran sama dengan kalian.


Tetapi eksistensi dari kita belajar sejarah bukan hanya untuk menghafal nama tokoh, tanggal, bulan, tahuan sebuah peristiwa. Tetapi bagaimana kita menyikapi peristiwa tersebut. Disamping itu, saat kita belajar sejarah kita bisa mengambil manfaat dari peristiwa itu. Saya tidak akan pernah meminta kalian menghafal semua itu, tapi ayo kita coba belajar sejarah dengan cara yang berbeda. Jika di ibaratkan seperti kita sedang nonton sepak bola.” “Apakah bisa, Bu?” Tanya Ruly. “Bisa dong. Gini deh. Kalau kalian nonton sepak bola apa yang kalian lihat?” Tanya Anifa. “Pertandingannya dong bu” seru Arifin. “Benar, jika kita nonton pertandingan sepak bola, yang kita lihat adalah pertandingannya. Dari sana kita akan tau itu club apa? Siapa pemainnya? Serasal darimana? Bahkan kita akan tau kapan setiap anggotanya dilahirkan. Begitu juga ketika kita belajar sejarah. Kita cari tau dulu peristiwanya, kita pahami dulu alur ceritanya, makna peristiwanya dari sana nanti dengan sendirinya kita akan tau siapa saja tokohnya, kapan terjadi, mengapa terjadi, bagaimana bisa terjadi, tanpa kita harus menghafal semuanya. Selain itu kita bisa merancang bersama-sama agar belajar sejarahnya lebih menarik. Bagaimana? Mau?” “Memang boleh belajarnya sesuai dengan keinginan kita bu?” tanya Arifin “Boleh dong. Jadi dari sekarang kita rangcang pembelajaran sejarah agar lebih menarik dan mudah kalian pahami. Misalnya dengan belajar sambil bermain, dating ke tempat-tempat bersejarah, belajar di ruangan terbuka, dan banyak cara lainnya.” “Hore!! Ibu memang terbaik deh.” Semenjak saat itu mereka, anifa bersama siswa-siswinya berusaha untuk menjadikan pelajaran sejarah lebih menarik dan menyenangkan. *** Bagi Anifa menjalani profesi sebagai guru bukanlah hal yang mudah. Guru bukanlah seorang memahat patung yang dengan mudah membentuk kayu menjadi mahakarya indah. Dalam menjalani profesinya, Anifa beranggapan tidak sedang berhadapan dengan sebuah benda kosong yang dengan sesuka hati diisi dengan semau dia. Tetapi ia sedang berhadapan dengan anak manusia yang memiliki emosi, perasaan dan pengalaman yang berbeda. Dari mereka, Anifa belajar untuk tidak egosi, bersabar, rendah hati, dan ikhlas. TENTANG PENULIS : Hikmah Firdausi, lahir di Blitar dan dibesarkan di Bondowoso. Menyelesaikan gelar sarjana strata satu di Universitas Jember, lalu menjadi pengajar di SMAN 1 Prajekan dan MAS Nurul Jadid Bondowoso hingga sekarang.


SISA KEMARIN Oleh : Happy Mulia Audina (Kisah nyata masa indah putih abu-abu) Tok tok tok "Assalamualaikum." "Walaikumsalam, sebentar." Jawabku dari dalam rumah, sembari membuka pintu rumah. "Cari siapa ya Pak?” sambungku lagi. "Oh, ini saya diminta mengantarkan surat untuk Mbak Audy, sekalian saya mau langsung pamit." Orang itu menyodorkan sepucuk surat yang dipegangnya kemudian bergegas untuk pamit pulang. "Oh gitu, baik terimakasih ya Pak.” Segera kututup pintu setelah orang itu pergi. Rasa penasaran membuatku ingin segera membuka surat itu. Saat itu sabtu pagi, dalam surat itu tertulis bahwa aku mendapat panggilan kerja di sekolahku dulu. Tepatnya di SMA Negeri 1 Prajekan. Berawal dari surat itulah, terekam kembali sisa-sisa kenangan di masa putih abu-abu. Menjadi guru dan bekerja sambil mengabdi di sekolah almamater mungkin memang bukanlah sebuah pekerjaan impian,namunbagiku, itu adlah salah satu hal yang membahagiakan yang pernah kualami. Pada akhirnya, hari itupun tiba. Hari dimana aku mendapat panggilan kerja sekaligus hari pertamaku bekerja di sana. Sepasang siswa dan siswi berjalan melewatiku, mereka tampak asyik berbincang, sambil berjlan kearah kantin sekolah. Membuatku semakin mengingat masa putih abu-abuku, saat aku masih menggunakan rok yang sama dengan mereka, keluguan yang sama, wajah-wajah muda penuh kepatuhan dan bagaimana aku belajar tetang apa itu cinta dan persahabatan kala itu. Sekolah ini sudah banyak berubah. Banyak tempat-tempat yang telah beralih fungsi, namun kenangan yang ada di sana tetap tertinggal. Semua kenangan kemarin masih terekam dengan jelas dan kini semua terputar kembali. Dikepalaku. Aku menghentikan langkahku, kemudian memilih untuk duduk berdiam diri. Untuk sedikit bernostalgia. Tiba-tiba dia muncul dalam potongan-potongan kenangan itu. Membuatku tersenyum sekilas. Dulu saat pagi datang, aku bergegas untuk pergi sekolah tepat saat sirine pabrik gula berbunyi. Kami sering berpapasan di jalan dan saling berbalas tatapan. Sesampainya di sekolah, sudah ada yang menantiku dengan setia, tepat di bangku depan pintu kelasnya. Tiap pagi aku berjalan melewati kelasnya, dan tiap pagi juga dia dengan setia menunggu untuk menemaniku sampai ke depan pintu kelas.


Kami bukan teman sekelas. Aku kelas XI dan dia kelas XII. Jika dipikir sekarang, betapa sederhananya apa yang kami lakukan kala itu. Ketika bel istirahat berbunyi akulah yang akan menunggunya di depan pintu kelasku, kemudian kami berdua akan bersama-sama berdua menuju kantin sekolah, makan bersama ditemani dengan obrolan santai nan hangat. Saat bel masuk berbunyi, kami langsung menuju kelas masing-masing. Dan ketika waktu pulang, dia akan kembali menungguku seperti biasa, menunggu di bangku depan pintu kelas untuk pulang bersama-sama. Seolah waktu yang kami habiskan berdua masih saja kurang dan kami terus saja ingin bersama. Jarak rumah dan sekolahku tergolong dekat, kurang lebih 500 meter, kami menghabiskan waktu bersama dengan berjalan santai sampai depan gang rumah. Setelah mengantarku, dia akan pulang sambil menunggu jemputan. Rutinitas-rutinitas itu kami lakukan terus menerus, sampai akhirnya secara tidak langsung mengajarkanku tentang arti kesetiaan. Setia dalam arti, kami selalu ada dalam kondisi apapun. Hari-hari yang kami lalui sangatlah indah. Sama seperti anggapan semua pasangan yang sedang menjalin kasih. Karena dari dia, aku pun mengerti bagaimana memiliki partner yang perhatian dan sabar. Namun semua tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Pada akhirnya kami menemukan satu perbedaan. Dibalik semua perhatian serta kesabarannya, ada rasa ketidaknyamanan darinya saat aku melewati hari bersama dengan teman di masa laluku. Perbedaan ini berlangsung terus-menerus. Tanpa adanya rasa mengalah diantara kami berdua. Dan kami pun memutuskan untuk berjalan di jalan kami masing-masing. "Bu, ayo barengan ke kelasnya!" ajak salah satu rekan guru. Memotong memoriku tibatiba. "Eh, iya-iya Bu. Sudah ganti jam ya. Ok yuk bareng jalannya." Jawabku sambil berusaha sebiasa mungkin. Aku melangkah dengan pasti, kutarik ujung-ujung bibirku dan memberi senyum terbaikku pada para siswa yang kutemui sepanjang jalan menuju kelas. Sejak aku diterima di sekolah ini, aku tahu inilah awal baru dalam hidupku. Aku berjanji pada diriku sendiri akan melakukan yang terbaik. Begitu sampai di depan kelas yang akan kuajar, rasa mulas dan tidak percaya diri tibatiba saja datang tanpa permisi. Sejenak membuatku ragu untuk melangkah memasuki pintu itu. Dari tempatku berdiri, aku sudah bisa merasakan tatapn dari mata-mata siswa yang akan segera menjadi muridku. Kutarik napasdalam-dalam dan mengembuskannya. Kugenganggam tangan kananku dan kulangkahkan kai dengan pasti. “Assalamualaikum anak-anak, selamat pagi semua. Perkenalkan nama saya Bu Audy. Mulani sekang saya akan membantu kalian untuk belajar matematika.” Anak-anak riuh


menjawab sapaanku. Seperti murid-murid baru yang tahu ada guru baru dan masih muda pula, mereka bersiap denga pertanyaan-pertanyaan menggoda. Pada akhirnya kelas hari itu kulakui dengan baik dan lancar. Segala hal berjalan seperti yang sudah kurencanakan sebelumnya. Dan aku mensyukurinya. Selesaps pelajaran berakhir aku keluar kelas untuk kembali keruang guru. Seperti sebuah fil documenter, semua memori it uterus berputar kembali di kepalaku. Saat aku melihat toilet, taman didepan kelas, lorong-lorong kelas yang ramai. Dudut-sudut ruangan antar kelas, aku mengingat semuanya dengan jelas, ada kami disana dahulu. Ada cerita yang sempat kurajut di sekolah ini bersamanya. Dan saat itulah kebahagian sekaligus kesedihankutercipta. Mengajarkanku tentang apa artinya mencintai dan dicintai. Juga tentang bagaimana aku bangkit dan berlalu dari sebuah kesedihan. Hingga aku menjadi seperti saat ini. Entah dimana dia sekarang, apakah dia masih mnegingat cerita-cerita yang telah kami lalui atau malah sebaliknya. Kini aku tekah hidup dengan ceritaku, dan kuyakin diapun telah hidup dengan ceritanya sendiri. Teruntuk kamu, terimakasih sudah memberikan kenangan indah di masa putih abuabuku. Kenangan-kenangan kemarin, yang masih tersisa, di sekolah ini. TENTANG PENULIS : Happy Mulia Audina, saat ini menjadi guru matematika di bangku SMA, Happy begitu sapaan akrabnya, memiliki seorang anak, suka makan namun juga masih suka mengeluh tentang berat badan. Disela-sela ksibukannya mengajar dan mengasuh putri kesayangannya, dia selalu mengisi waktu luangnya dengan menonton berbagai macam drama korea.


SAHABAT PUTIH ABU-ABU Oleh : Nick Hari ini adalah hari pertama aku menginjakkan kaki di sekolah baru. Karena baru saja lulus dari Sekolah Menengah Pertama. aku memilih dan memutuskan untuk melanjutkan sekolah ditempat kelahiranku, selain dekat juga karena sekolah tersebut sudah terkenal pada kala itu. Mengingat keadaan ekonomi keluargaku, sangat tidak memungkinkan bagiku untuk berfikir pergi ke bersekolah di kota. Oh iya, panggil saja aku AI, aku adalah anak pertama dari dua bersaudara, adik saya perempuan, ayah saya bekerja sebagai pengayuh becak sedangkan ibu saya tidak bekerja. Hari ini aku mendaftar di sekolah menengah atas seorang diri, selain pemalu, temanku juga sedikit. Aku tidak bisa bersosialisasi dengan teman-teman ketika berada di bangku sekolah menengah pertama. Meski begitu dengan keberanian yang diupayakan, aku melangkahkan kaki untuk mendaftar sebagai siswa baru. Segala hal masih sangat baru bagiku, namun untungnya ada banyak kakak OSIS yang brsedia untuk membantuku, sehingga aku bisa mendaftar dan pulang setelahnya. Tiga hari berlalu, tibalah hari pengumuman penerimaan siswa baru. Aku datang ke sekolah sambil berharap hari ini aku bisa di terima di sekolah ini. Tepat pukul 08.00 pengumuman siswa yang diterima di tempelkan di papan pengumuman oleh panitia. Aku berlari mendekatinya dan bersyukur sekali karena namaku ada dalam daftar itu. Setelah memastikan namaku tercantum di di papan pengumuman tersebut, aku menemui panitia penerimaan siswa baru dan melakukan pendaftaran ulang. Kemudian aku pulang kerumah dengan membawa kabar gembira untuk ayah ibuku tercinta. Setelah satu minggu berlalu, dengan segala persiapan yang matang. Hari ini aku kembali ke sekolah untuk mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS). Selama kegiatan masa orientasi berlangsung aku punya tiga orang teman. Mereka adalah Hesti, Hasanah dan Astutik. Semakin hari kedekatan kami semakin terjalin, akhirnya kami berempat memilih ikut ekstrakurikuler yang sama yaitu ekstrakurikuler Pramuka. Kegiatan pertama yang kami ikuti adalah dalam ekstra tesebut adalah kegiatan Penerimaan Tamu Ambalan. Kami berkemah di hutan pinus dengan cuaca yang sangat dingin. Meskipun ini pengalaman berkemah ke sekian kalinya untukku sejak di sekolah dasar, perkemahan kali ini sungguh berbeda, karena cuacanya yang sangat ekstrim. Kami berangkat menuju bumi perkemahan dengan menggunakan truk. Kala itu kami berempat berada dalam satu sangga yang sama, untuk mempersiapkan hari itu kami berempat telah berlatih bersama. Selama perjalan ke bumi perkemahan kami bernyanyi dan bercanda di atas truk dengan teman-teman sekelas kami.


Kegiatan Kemah Pelantikan Tamu Ambalan berjalan dengan baik dan lancar. Banyak pengalaman baru yang kudapatkan dalam kegiatan ini. Ada beberapa perbedaan antara Pramuka Penggalang dan Pramuka Penegak yang kuikuti saat ini. Setelah kegiatan kemah selesai kami pulang kerumah masing-masing. Sekalipun lelah, perkemahan itu begitu menyenangkan bagiku. Berbagai kegiatan di sekolah kami ikuti bersama-sama sehingga tanpa kami sadari kami menjadi semakin dekat, hingga pada akhirnya menjadi sahabat. Empat orang sahabat yang sangat solid dan selalu bergembira di msnspun. Aku sangat bahagia bisa mengenal mereka, karena pada waktu itu hanya merekalah yang kupunya. Kami saling berbagi segala hal, baik suka maupun duka. Dikelas kami selalu membuat kehebohan sendiri. Kami adalah geng yang paling menonjol di kelas. Kemana-mana kami selalu bersama, entah itu ke kopsis, ke kamar mandi, ganti baju ketika jam pelajaran olahraga dan sebagainya. Tanpa terasa saat itu kami sudah berada berada di penghujung kelas X, dimana sebentar lagi kami akan mengikuti ulangan akhir semester. Ulangan tersebut akan mempengaruhi nilai kami, entah kami akan naik kelas atau terpisah di kelas yang berbeda. Akhirnya hari pembagian raport kenaikan kelas pun tiba. Ibu datang ke sekolah untuk mengambil raportku. Aku dan ketiga sahabatku menunggu di luar kelas dengan perasaan dag dig dug. Bersyukur pada hari itu kami semua bisa naik kelas. Saat itu masa liburan kami habiskan dengan acara perkemahan untuk menempuh SKHU. Sampai saat itu semua masih berjalan sangat baik. Sebelum kelas XI dimulai kami melakukan daftar ulang, saat itulah kami tahu jika salah satu temanku berada di kelas yang berbeda. Namun itupun bukan ,asalah bagi kami. Pagi itu aku pergi kesekolah seperti biasa dengan menaiki sepeda ontel bututku. Hari ini adalah hari pertama aku memulai hari dikelas XI. Hari itu aku dengan teman sebangku baru bernama Eka. Keesokan harinya keadaan dikelas gaduh seperti biasa. Rani dan Dita pun mulai akrab dengan geng kami. Kami bermain kartu remi di kelas. Dan ditengah-tengah permainan itu Dita mengajakkuke toilet. “Ai, ikut ke toilet yuk!” Tanpa berpikir panjang aku langsung menjawab iya. Begitulah setiap hari. Kalau Dita ingin kemana-mana pasti dia mengajakku. Sebenarnya bukan hanya Dita sih, siapapun yang mengajak, aku pasti ikut. Namun tak terasa, perlahan Rani semakin dekat dengan sahabat-sahabatku dan persahabatannya dengan Dita sahabatnya sejak kelas X, malah semakin hari semakin memburuk. Aku tidak tidak terlalu tahu tentang hal itu. Ketika bel jam istirahat berbunyi Dita kembali mengajakku ke toilet. “Ai ke toilet yuk!” “Sana jalan, tuh temenmu minta antar.” Jawab ketiga sahabatku saat itu.


Entar mereka tengah menyindir atau bagaimana, tapi saat itu aku mencoba mengabaikannya, karena Dita juga temanku. Kupikir itulah hal-hal kecil yang mengawali memburuknya hubunganku dengan sahabatku. Hal-hal kecil yang tidak kusadari. Hari-hari berlalu begitu cepat, tak terasa persahabatanku dengan keempat sahabatku mulai merenggang karena kehadiran Rani di dalam geng kami. Tanpa kusadari juga saat itu aku semakin dekat dengan Dita. Itu membuat persahabatan Rani dan Dita juga merenggang. Banyak sekali perubahan yang terjadi tanpa kami sadari. Semua berjalan begitu saja. Kami menemukan kenyamanan pada masing-masing teman. Orang tua dita juga menerimaku dengan sangat baik. Mereka tidak membedakanku hanya karena aku anak seorang tukang becak, sedangkan Dita anak orang yang berada. Suatu ketika aku dan teman-teman yang lain diundang ke acara ulang tahunnya Dita. aku datang sendiri dengan sepeda ontelku. AKU membawa kado semampu yang bisa kubeli. Acara berlangsung sangat meriah. Selepas acara orang tua Dita memintaku untuk menginap. Aku menemani Dita membuka kado-kado yang sudah dia peroleh hari ini. Dita mendapat banyak kado. Sejak kecil aku tidak pernah merayakan ulang tahun. Jadi aku tidak tahu bagaiaman rasanya. Namun melihat Dita, rasanya aku tahu bagaiamana rasanya. Melihat Dita tersenyum membuatku bahagia. Kadang kala dia menyayangkan rengganganya persahabaannya dengan Rani. Sebagai teman, aku hanya bisa menghiburnya. Ketika pertengahan kelas 11 aku terpilih menjadi ketua Ekstrakurikuler Pecinta Alam, sedangkan Dita dan Rani bersaing untuk menjadi ketua PMR. Dan akhirnya Dita terpilih menjadi ketua PMR. Akhirnya persahabatannya dengan Rani pun musnah. Karena Rani berhenti dari ekstra PMR dan lebih memilih Ekstra Pramuka untuk berkumpul dengan sahabat-sahabatku dulu. Tentu saja itu membuat Dita merasa sangat tidak nyaman. Meskipun pemilihan ketua itu melalui beberapa tahap dan dilakukan secara adil, Ditat ahu jika rani memilih keluar karena dia. Hal itu tentu saja membuat Dita merasa sedih. Seminggu kemudian ketika jam olahraga, aku dan Dita berganti pakaian, saat menuju lapangan, aku merasa kurang enak badan. Khawatir padaku, akhirnya Dita memaksaku untuk beristirahat ke UKS. Awalnya aku menolak, namun bukan Dita namanya jika tak bisa membujukku. Akhirnya aku memilih untuk beristirahat di UKS dan meminta Dita untuk terus mengikuti pelajaran olahraga. Sepertinya saat itu aku tertidur begitu saja dan ketika terbangun, aku melihat Dita telah duduk di sampingku. Enggan masuk kelas, akhirnya hari itu Dita bercerita padaku tentang apa yang terjadi padanya dan Rani. “Ai, sebenarnya aku sedih.” “Sedih kenapa Dit?


“Aku sedih tiap mengingat persahabatanku dan Rani hancur.” “Sabar ya Dit, mungkin ini semua adalah cobaan.” “Aku tidak tau kenapa Rani mulai menjauh dariku. Apa karena organisasi atau yang lain. Sampai sekarang aku masih bingung karena memang tidak tau apa masalahnya.” “Mungkin Rani sudah menemukan teman baru yang lebih cocok buatnya Dit, jangan sedih. Diluar sana masih banyak kok orang yang sayang padamu.” “Iya Ai, aku sudah berusaha untuk ikhlas. Untung sekarang ada kamu Ai. Jadi aku gak sendiri lagi.” “Hehe... kamu bisa saja Dit. kita kan teman, ya wajarlah kalo kita saling membantu.” “Ai, kamu sahabatkukan?” “Iya Dit kita sahabat.” “Makasih ya Ai sudah mau menjadi sahabatku.” Saking bahagianya hari itu Dita menciumku, dan berlalu setelah pamit untuk kembali ke kelas. Persahabatan kami setelah itu semakin dekat dan erat. Aku memahaminya begitupun dia. Perlahan aku mulai melupakan gengku yang lama. Bebrapa teman suatu ketika juga pernah bercerita kepadaku jika sejujurnya banyak anak yang tidak terlalu suka pada gengku itu. Karena dulunya kami suka membuat gaduh dan mengganggu kenyamanan beberapa anak. Sejujurnya tidak pernah terpikir dibenakku ada orang yang merasa terganggu karena keberadaan kami. Syukurlah karena pada akhirnya aku sudah tidak bersama mereka lagi. Persahabatanku dengan Dita bukan tidak pernah goyah. Aku mengalami banyak hal sedih dan bahagia bersamanya. Saat itu kami kelas XII. Aku, Dita dan geng ubur-ubur kembali duduk di kelas yang sama, dua tahun sudah kami bersama ada di kelas unggulan. Pada saat itu Dita memilih duduk sebangku dengan Mita. Sedangkan aku duduk sebangku dengan Dani. Dita datang padaku untuk meminta maaf kepadaku. “Ai, maaf ya.” “Maaf buat apa Dit?” “Maaf ya, aku gak duduk denganmu.” “Kenapa kamu minta maaf segala saya Dit?” “Iya maaf karena aku gak duduk sebangku denganmu lagi, padahal kitakan sahabatan.” “Kenapa harus minta maaf Dit? itu hak kamu, kamu mau duduk dengan siapapun itu terserah kamu. Kamu tidak usah memikirkanku, aku baik-baik saja kok. Tidak haruskan kamu duduk denganku meskipun kita sahabat?”


“Iya Ai, tapi teman-teman ngomongin aku, katanya aku yang jahat karena membiarkanmu duduk sama Dani.” “Udahlah Dit, jangan dipikirkan. Aku benar-benar tidak mempermasalahkan masalah ini, jadi tolong dilupakan ya.” Saat kami tidak lagi duduk sebangku secara otomatis aku dan Dita mulai berjarak. Sekalipun sebenarnya kami sama-sama baik. Namun ada hal-hal yang tidak bisa kami lakukan seperti saat sebangku dulu. Satu minggu kemudian ada salah satu teman yang menemuiku di perpustakaan. Hari itu apa yang dia katakana sangat mengganggu pikiranku. “Hei Ai, lagi ngapain?” “Emmmm, ini lagi baca-baca. Kamu ngapain?” “Aku mau pinjam buku. Oh ya Ai, Apa kamu tidak merasa dimanfaatin sama Dita?” “Kenapa kamu bilang seperti itu?” Mendengar pertanyaannya aku merasa kurang suka dan penasaran. “Coba kamu pikir lagi, selama ini kamu ngerasa gak kalo dia hanya bersama kamu waktu dia lagi butuh saja? Selebihnya kamu ditinggalkan sendirian.” “Aku sih tidak merasa seperti itu dan sepertinya Dita selalu baik pada semua temannya. Termasuk aku.” Sekalipun aku berkata begitu, pikiran negatifku tetap saja muncul. Apakah Dita memang benar-benar hanya memanfaatkanku saja. “Ya udah kalau memang kamu berpikir seperti itu, maaf kalo aku salah menyampaikan informasi ini.” Meski tahu semua itu belum tentu benar, tapi pada akhirnya aku mulai menjaga jarak dengan Dita. Pikiran dan perasaanku tidak bisa singkron, rasa cinta dan kecurigaan bertarung dalam diriku. Apa iya Dita seperti itu? Semua itu terus berlanjut selama beberapa hari hingga Dita mulai merasakan perubahanku. Pada akhirnya Dita datang dan mempertanyaakan keadaan kami. Kuceritakan padanya bagaimana perasaan dan kecurigaanku. Karena jika itu memang benar, maka kupikir persahabatan kami tidak lagi ada artinya. “Jadi kamu tidak percaya padaku Ai? Kamu lebih percaya sama omongan mereka yang belum tentu benar kenyataannya? aku kecewa padamu.” “Maaf Dit, mungkin saat itu pikiranku sedang tidak baik. Aku menaruh rasa curiga padamu karena bagiku persahabatan kita tulus. Aku merasa kecewa tanpa sebab. Mulai sekarang aku tidak akan mendengarkan perkataan orang lain jika belum mendengar langsung darimu.” “jadi sekarang kita baikankan lagi kan?”


“iya Dit, maafin aku juga ya kalau aku salah.” Setelah kejadian itu persahabatan kami semakin akrab, aku kembali sering bermain ke rumah Dita. Tak lama setelah itu setelah Idul Fitri keluargaku mendapat musibah kemalingan. Aku sedih sekali,. Kami yang tidak punya apa-apa, masih saja menjadi korban pencurian. Beberapa barang kami hilang, beraspun sudah tidak tersisa dicuri. Beberapa tetangga ikut prihatin pada musibah yang menimpa kami, sehingga mereka membantu kami dengan memberi beras. Termasuk sepeda ontel butut yang tiap hari kubawa ke sekolahpun raib, hingga ayah harus repot mengantarku ke sekolah. Namun aku ingat saat itu Dita dan orang tuanya benar-benar perhatian dan membantuku. Mereka bahkan meminjamiku sepeda Dita dan menyuruhku memakainya hingga lulus. Sejak saat itu aku pergi bersekolah dengan menggunakan sepeda yang dipinjamkan oleh keluarga Dita padaku. Aku bersyukur bisa kenal dan bersahabat dengan Dita. Keluarganya sangat baik dan sangat memperhatikanku. Walaupun aku orang tidak punya, keluarga Dita tetap baik padaku. Aku merasa berhutang budi pada Dita dan keluarganya. Karena saat aku terpuruk mereka selalu ada untukku. Aku berdoa agar persahabatan kami bisa bertahan selamanya, tidak hanya di dunia bahkan di akhirat pun kami bisa tetap menjadi sahabat baik. Dita adalah sahabat putih abu-abu terbaik yang pernah kutemukan dan kumiliki hingga saat ini. Aku tidak pernah menyesal bertemu dengannya. Karena Dita dan keluarganya selalu memberi dukungan dan support kepadaku untuk menjadi manusia yang memiliki pribadi yang baik. Terimakasih sahabatku, semua kenangan indah dan kesedihan yang pernah kita lalui bersama tidak akan pernah terlupakan. Semoga kamu tetap menjadi yang terbaik untukku, selamanya. TENTANG PENULIS : Anik Irawati, atau yang akrab disapa Nick atau Ai adalah salah satu orang yang punya kegemaran traveling dan melakukan petualangan kemanapun selama masih di bumi. Suka berkemah dan menghadapi tantangan. Dia bercita-cita ingin menjadi pengusaha yang sukses, mesipun sampai saat ini belum sukses. Menulis adalah saat satu impiannya ang semoat terpendam karena kesibukan yang dia miliki baik pekerjaan maupun kegiatan. Perempuan Bondowoso ini penyuka warna biru dan berzodiak Capricorn.


SEPENGGAL KISAH Oleh : Merry Danik Swidiani Alhamdulillah. Tak henti kuucapkan rasa syukur kepada Allah Swt. atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya kepadaku. Tak pernah terlintas sedikit pun bahwa aku akan mampu melanjutkan pendidikanku hingga tingkat SMA, apalagi belajar di sekolah favorit di daerahku, SMAN 1 Prajekan. Aku yang sejak kecil sudah ditinggal bapak, sudah terbiasa dengan kesederhanaan atau lebih tepatnya kekurangan. Aku tinggal berdua dengan emak di rumah peninggalan bapak. Kami sudah terbiasa makan seadanya. Kadang hanya dengan nasi dan krupuk atau hanya dengan tumis kangkung buatan emak, yang dipetik dari sawah. “Sabar ya, Nif,” kata emak di suatu pagi. Kita hanya makan dengan tumis kangkung lagi,” lanjut emak. “Gak apa-apa, mak. Alhamdulillah. Kita masih bisa makan.” Jawabku menghibur emak. Aku tak ingin emak bersedih dengan keadaan kami. “Hari Sabtu, Pak Adi menyuruhku membersihkan rumput di halaman rumahnya. Alhamdulillah kita akan dapat uang nanti, Mak.” “Alhamdulillah, kerja yang baik Nak, yang jujur. Menjaga nama baik itu sulit. Sekali saja kita ketahuan berbuat tidak jujur, selamanya orang tidak akan percaya.” “Iya, mak. InsyaAllah aku tak akan lupa tentang itu.” Jawabku sambil tersenyum dan bergegas pergi mandi dan berangkat ke sekolah. Di hari sabtu, aku bangun pagi. Seperti biasa sebelum subuh. Membayangkan uang yang akan diterima dari Pak Adi nanti memberikan semangat tersendiri buatku. Kutengok emak masih terlelap di kamarnya. Tak biasanya begitu, mungkin karena kecapekan, pikirku. Aku segera mandi dan shalat karena adzan subuh sudah terdengar dari Mushallah disebelah rumah. Sepulang dari shalat berjamaah, kulihat emak masih di tempat tidur. Tiba-tiba rasa cemas menyergapku. Tergesa aku masuk ke kamar dan kugoncangkan badannya. “ Mak, bangun, sudah subuh.” Tak ada respon, emak tetap diam membisu. Rasa takut mulai menderaku. Sekali lagi kucoba membangunkannya tetapi emak tak lagi mampu membuka mata dan membisu selamanya. Aku tak bisa lagi membendung air mataku. Kupeluk tubuh emak yang mulai dingin. Aku menangis, menangis dan menangis.


Ya Allah aku belum siap untuk kehilangan ini, bisikku dalam hati. Aku tak sanggup, sungguh rasanya tak sanggup. “Sabar ya, Nif, kamu pasti bisa menghadapi cobaan ini.” Kata Pak Adi sambil menepuk bahuku. Aku hanya bisa menganggukkan kepala tanpa berkata apa-apa. Semua pelayat berusaha menghiburku tapi taka ada satu kata pun yang mampu menghapus rasa sedih kala itu. Upacara pemakaman berjalan lancar. Satu demi satu meninggalkan tempat peristirahatan terakhir emak. Sejenak aku enggan meningggalkan, diam diatas pusara. Hanya air mata yang masih mengalir membasahi pipi. Aku tak tahu, apakah aku mampu hidup tanpa emak. “Nif, ayo pulang.” kata pak Adi memecahkan hening, membuyarkan percakapan antara aku dan diriku. Emakmu hanya butuh doamu. Jangan terlalu lama bersedih, emakmu ikut sedih nantinya.” Lanjut Pak Adi. Aku diam, tak sanggup menjawab. Tertunduk, kupanjatkan doa semoga Allah menempatkan Emak di Syurga-Nya yang terindah. Lalu Pak Adi meraih tanganku, mengajakku pulang. Sebulan sudah kepergian emak, aku mulai terbiasa. Semua guru dan teman-teman di sekolah tetap memberi semangat, mendukungku untuk melanjutkan pendidikan, mengejar impian mewujudkan masa depan. Alhamdulillah, Allah menunjukkan padaku bahwa memang masih banyak orang baik di dunia yang peduli pada sesama. Aku tak ingin mengecewakan mereka. Dengan tekat yang kuat aku akan terus berusaha mengejar cita-cita. Aku yakin, seperti kata Pak Adi, saat aku berhasil nanti emak disana pasti juga akan bahagia. TENTANG PENULIS : Merry danik Swidiarni, Biasa disapa Merry, seorang yang mencinta Fotografi, sunset dan warna biru.


AHMAD (Sebuah kisah nyata dari kehidupan yang tidak mudah dan berharap dapat diubah) Oleh : Jrux Kuning Namanya Ahmad, sebuah doa yang disematkan kedua orang tuanya agar kelak anaknya mulia dan terpuji, semulia Kanjeng Nabi Muhammad. Kedua orang tuanya tak berpangkat, hanya orang biasa. Lelaki kurus dengan pekerjaan serabutan sedang ibunya penjual kue titipan orang di pasar. Tak perlu pendidikan terlalu tinggi untuk menekuni perkerjaan mereka. Keduanya pun hanya sebatas lulusan SD. Mereka bekerja hanya berbekal kerajinan dan tenaga. Selebihnya mereka mengasah kesabaran, bilamana dalam sehari ayam-ayam yang dijual ibunya tidak laku dan tak ada orang yang kunjung mencari ayahnya untuk memberinya pekerjaan baru. Pada awalnya, Ahmad tumbuh dalam lingkungan yang baik. Semua orang mengatakan betapa lucu dan tampannya dia. Anak kecil yang sangat menggemaskan, hingga banyak orang ingin menimangnya. Jika tetangga datang untuk bermain dengannya, ibunya akan bercerita jika kelak dia ingin anaknya yang tampan ini menjadi seorang penyanyi. Meski tidak tahu pasti, semua orang mengamininya dengan masygul. Sama seperti keluarga-kelurga lain yang memiliki pasang surut dalam rumah tangga, orang tua Ahmad pada akhirnya diterpa ganasnya masalah perut dan panasnya telinga karena bisiskan tetangga. Selarut apapun Ibu Ahmad pulang dari pasar demi menghabiskan kue-kue yang dijualnya, tetap saja tidak mampu mencukupi kebutuhan mereka. Pendapatan Ayah Ahmad yang serabutan pun tak lantas mampu menutup hutang yang mereka buat saat dia tidak mendapat pekerjaan. Melihat Ayah Ahmad yang lebih sering duduk termenung di rumah, membuat mertuanya ayahnya murka. Dimulailah kemalangan dalam hidup Ahmad, anak yang dulunya ditimang penuh kasih sayang, kini diperebutkan ayah dan ibunya, hingga berakhir ditangan Sang Nenek. “Kamu ini anak bodoh, sudah bodoh nakal lagi. Mau jadi apa?” dilain waktu, “Sudah, berhenti saja sekolah. Anak tidak bisa diatur kamu itu!” Bukan pertama kalinya Pak Ramzi memarahi Ahmad karena kelakuannya. Sudah kesekian kalinya Ahmad keluar masuk ruang BK karena kenakalan dan kelakuannya. Tumbuh tanpa didikan kedua orang tua bukan hal yang mudah. Sedang kasih sayang dan perhatian neneknya sudah tak lagi cukup bagi Ahmad. Dia mendambakan keutuhan keluarganya. *** Ahmad remaja kini mulai mencari teman dan ketenangan di luar rumah. Di masa SMAnya ini, dia mulai melihat dunia dengan lebih luas. Dia mencoba mengisi hatinya yang kosong dengan melakukan banyak hal bersama teman-temannya. Tak ada orang tua dan


Click to View FlipBook Version