The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku Bunga Rampai Pemikiran Insan Pattimura Cares for Sustainability ini dibuat sebagai community reminder bahwa eksistensi Universitas Pattimura akan terus dilanjutkan demi memberi dampak yang lebih baik bagi masyarakat maluku.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by penerbit.bcs, 2022-09-14 04:32:45

Bunga Rampai Pemikiran Insan Pattimura Care for Sustainability

Buku Bunga Rampai Pemikiran Insan Pattimura Cares for Sustainability ini dibuat sebagai community reminder bahwa eksistensi Universitas Pattimura akan terus dilanjutkan demi memberi dampak yang lebih baik bagi masyarakat maluku.

Keywords: penelitian,universitas,sains,Ekonomi,Budaya

PERIKANAN DAN PERTAMBANGAN-PARADOKS
PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM DI
INDONESIA

Indonesia merupakan wilayah kepulauan (Nusantara) yang terdiri
dari kurang lebih 17.504 pulau yang kaya dengan bahan tambang yang
dieksploitasi dalam skala kecil maupun besar. Perairan di sekitar pulau-
pulau tersebut sangat kaya dengan hasil perikanan yang merupakan
komoditi ekspor serta mata pencaharian utama penduduk di wilayah
pesisir. Sektor perikanan dan pertambangan merupakan sumber utama
pendapatan penduduk di sebagian wilayah Indonesia sehingga
diperlukan manajemen pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan
(sustainable) untuk menjamin terciptanya kehidupan sosial-ekonomi,
budaya dan alam yang sehat dan lestari.

MANAJEMEN SEKTOR PERTAMBANGAN DI
INDONESIA

Sejak saat diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia Tahun
2001, terjadi perubahan paradigma pengelolaan sektor pertambangan di
Indonesia, dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh
untuk mengelola sektor pertambangan (Devi & Prayogo, 2013).
Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) Tahun 2009
memberikan kewenangan penuh kepada Bupati/Walikota untuk
mengeluarkan ijin pertambangan bagi individu atau koperasi sehingga
masyarakat lokal diberdayakan (Saija, 2018; MacDonald dkk., 2014).
Terdapat lebih dari satu juta orang terlibat dalam kegiatan PETI di
Indonesia. Belum adanya regulasi yang mengatur aktifitas PETI
memicu konflik sosial dan kerusakan lingkungan.

Pada Tahun 2015, Departemen Perdagangan RI melarang aktifitas
impor, perdagangan dan penggunaan merkuri di Indonesia tetapi
kondisi riil di lapangan sangat kontradiktif karena justru pada Tahun
2016, pertambangan merkuri/sinabar (HgS) berkembang dengan pesat

[43]

khususnya di Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan dan Pulau Seram
Provinsi Maluku, sehingga Indonesia menjadi Negara penghasil dan
pengekspor merkuri terbesar di dunia (Ismawati, 2018; Spiegel dkk,
2018). Pihak pabean (customs) Indonesia telah berupaya maksimal
mengurangi perdagangan merkuri tetapi menghadapi banyak kendala
karena umumnya perdagangan merkuri dan aktifitas PETI dilakukan
secara ilegal (Ismawati, 2018). Pedagang merkuri ilegal menetapkan
harga Rp. 1.7-2.2 juta/kg merkuri. Pada proses ekstraksi emas
menggunakan tromol, 10 g merkuri digunakan untuk setiap kilogram
material (ore) yang diolah.

Walaupun pemerintah telah memiliki perangkat perundang-
undangan dan sejumlah regulasi yang mengatur kegiatan pertambangan
di era otonomi daerah, fakta di lapangan menunjukkan kurangnya
pengawasan dan penegakan hukum oleh aparat setempat (Saija, 2018).
Presiden RI, Joko Widodo telah menetapkan kebijakan nasional untuk
mengurangi penggunaan merkuri sejalan dengan konvensi Minamata
(Spiegel dkk., 2018). Terdapat toleransi dalam konvensi tersebut yang
memungkinkan tambang sinabar yang telah beroperasi sebelum
konvensi tersebut untuk melanjutkan aktifitasnya selama 15 tahun
setelah konvensi ditetapkan pada tahun 2017 (Artikel 3 Konvensi
Minamata, disitasi Ismawati, 2018). Kelonggaran yang diberikan,
kurangnya regulasi yang mengatur penjualan merkuri secara online di
Indonesia serta lemahnya penegakan aturan perdagangan merkuri
menyebabkan PETI masih mudah memperoleh merkuri (Ismawati,
2018). Merkuri dilepas ke lingkungan oleh kegiatan PETI berdampak
pada sektor perikanan dimana beberapa negara seperti jepang, Amerika
Serikat dan Uni Eropa menolak impor ikan dari Indonesia (termasuk
tuna yang merupakan komoditas utama ekspor) karena konsentrasi
merkuri telah melampaui ambang batas yang ditetapkan (Alwy, 2018;
Quina, 2016).

[44]

MANAJEMEN SEKTOR PERIKANAN DI
INDONESIA

Secara geografis, Indonesia memiliki daratan seluas 1.922.570 km2
dan perairan 3.257.483 km2, yang merupakan pusat dari segitiga karang
dunia (Coral Triangle), dengan keanekaragaman hayati tertinggi (mega
biodiversity) karena menerima masukan (fed) arus laut dari Samudra
Pasifik dan Samudra Hindia (Ariansyach, 2017; Limmon dkk., 2017a;
O'Neill, Proctor & White, 2018). Posisi geografis ini menyebabkan
sektor perikanan memegang peranan penting bagi perekonomian
Indonesia karena menjadi sumber pendapatan bagi lebih dari 6,4 juta
orang, sumber utama protein bagi sebagian besar penduduk serta
menyumbang devisa sebesar 4,2 miliar dollar Amerika pada Tahun
2012 (Tran dkk, 2017). Suplai ikan dari tangkapan nelayan
diperkirakan sebesar 10,7 milyar ton pada Tahun 2014 tetapi menurut
para peneliti, terjadi over-eksploitasi karena illegal fishing (Waileruny
dkk., 2014). Sama halnya dengan sektor pertambangan, desentralisasi
pengelolaan perikanan dimulai sejak diberlakukannya Undang-Undang
Otonomi Daerah pada Tahun 1999 (UU No.22/1999 digantikan UU
No.32/2004) yang mengalihkan kewenangan kepada pemerintah
provinsi dan kabupaten.

KADAR PAPARAN DAN ANJURAN LEVEL AMAN
KONSUMSI IKAN

Makanan laut (seafood) merupakan sumber protein utama bagi
kurang lebih tiga milyar penduduk dunia (FAO, 2016). Konsumsi ikan
yang merupakan predator utama seperti tuna, ikan kembung dan hiu
merupakan sumber utama kontaminasi merkuri. Karena sifat lipofilik
(larut dalam lemak), metilmerkuri diserap dari saluran pencernaan,
melalui aliran darah akan terakumulasi di otak dan secara perlahan
diubah menjadi merkuri anorganik (Kuras dkk., 2017). Anjuran tentang
level aman konsumsi ikan berbeda antar organisasi/negara. Sebagai

[45]

contoh, komite ahli FAO/WHO menetapkan sajian per minggu yang
dapat ditolelir (Provisional Tolerable Weekly Intake-PTWI) untuk
metilmerkuri sebesar 1,6 mikrogram per kilogram (μg/kg) berat badan
berdasarkan kajian toksisitas (WHO, 2007) atau setara dengan 0,112
mg/minggu untuk berat badan 70 kg (Kuras dkk., 2017). Hal ini
berbeda dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang menetapkan
ambang batas 0,5 mg/kg untuk ikan dan produk ikan serta 1,0 mg/kg
untuk ikan predator (SNI 7387:2009, dikutip oleh in Quina, 2016).
FSANZ (Food Standards Australia New Zealand) juga menetapkan
standar berbeda berdasarkan “Saran Konsumsi Ikan” sesuai kategori;
yaitu kategori wanita hamil, anak-anak dan orang dewasa.

Perbedaan standar di atas menimbulkan pertanyaan tentang
ketersediaan saran penyajian untuk konsumen makanan laut. Resiko
paparan tergantung pada biomagnifikasi merkuri pada lokasi
terkontaminasi serta ketergantungan terhadap ikan dan makanan laut
lainnya sebagai sumber protein (Tran dkk., 2017). Perhatian lebih
ditujukan pada masyarakat Indonesia yang tingggal di daerah pesisir
karena mereka mengkonsumsi ikan/makanan laut 2-3 kali sehari
dihadapkan pada resiko terpapar merkuri akibat aktifitas pertambangan
emas yang marak belakangan ini (Ismawati, 2018; Reichelt-Brushett
dkk., 2017b).

DAMPAK EKONOMI DAN LINGKUNGAN AKIBAT
AKTIFITAS PETI DI PULAU BURU

Pulau Buru Sebelum adanya Tambang Emas

Sebelum emas ditemukan di Pulau Buru pada Tahun 2011
(Gambar 2. 1), secara tradisional masyarakatnya adalah petani dan
nelayan. Pangan lokal penduduk setempat adalah sagu tetapi
pembukaan lahan persawahan secara besar-besaran dimulai antara
tahun 1969 sampai 1979 oleh tahanan politik dan diikuti program
transmigrasi oleh pemerintah pusat tahun 1979-1981 yang
mendatangkan lebih dari 20.000 penduduk asal Pulau Jawa dan Bali

[46]

(Goss, 1992; Fearnside, 1997). Pada program transmigrasi, pendatang
baru diberikan lahan padi di daerah dataran rendah serta diberikan
subsidi selama dua tahun. Tahun 2011, sebelum tambang emas
ditemukan, penduduk Kabupaten Buru berjumlah 50.000 dengan luas
sawah 11.000 hektar yang menghasilkan 52.500 ton beras sehingga
Pulau Buru ditetapkan sebagai lumbung pangan nasional (BPS Buru,
2012). Meningkatnya produksi padi sekaligus menurunkan produksi
makanan lokal berupa sagu karena alih fungsi lahan. Pemberian subsidi
untuk pendatang baru serta kurangnya apresiasi terhadap tanaman
pangan tradisional menimbulkan kecemburuan sosial antara pendatang
dan penduduk lokal.

Penduduk wilayah pesisir di Pulau Buru bergantung pada hasil
perikanan sebagai sumber mata pencaharian sekaligus sumber protein.
Penduduk Teluk Kaiely menangkap ikan dan kerang di daerah
mangrove dan menjualnya ke pasar lokal. Penduduk lokal sepanjang
aliran sungai memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan domestik
bahkan pada beberapa lokasi, digunakan sebagai air minum.

Penemuan Emas di Pulau Buru dan Dampak Ekonominya

Secara tidak sengaja emas ditemukan di Gunung Botak pada
Tahun 2011, kemudian secara berturut-turut Tahun 2013 di Gogrea dan
Tahun 2017 di Gunung Nona. Penemuan emas mengundang arus ribuan
penambang illegal (PETI) datang ke Pulau Buru (Crispin, 2018; Male
dkk., 2013). Ketiadaan regulasi, tidak terdatanya jumlah orang yang
terlibat dalam aktifitas PETI, tidak dilaporkan jumlah merkuri yang
digunakan serta jumlah emas yang dihasilkan tentu saja menjadi
pertanyaan besar tetapi tidak dapat disangkal bahwa aktiftas PETI di
Pulau Buru telah memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian
regional dan nasional (Agrawal dkk., 2018).

Dengan arus penambang dan pemroses emas yang terus
berdatangan ke Pulau Buru beserta peluang kerja yang tercipta, terjadi
pergeseran nilai-nilai tradisional dengan cepat, yaitu transformasi
menjadi masyarakat berbasis sumber pendapatan dan pembiayaan untuk
barang, jasa dan khususnya makanan. Peluang kerja pada aktifitas

[47]

pertambangan adalah penggalian lubang, transportasi dan ekstraksi
mineral emas (Gambar 2. 6) serta aktifitas ikutan lainnya.

(a) (b)

Gambar 2. 6 (a) Lubang tambang dan (b) aktifitas transport material
(Dok.Pribadi).

Hanya dalam beberapa tahun, terjadi perubahan besar dalam
bidang ekonomi, sosial dan budaya pada masyarakat lokal. Warga
pendatang yang lebih gesit dan terampil mengubah pola hidup
masyarakat lokal yang gotong-royong menjadi masyarakat kompetitif.
Terjadi kompetisi ekonomi antar penduduk lokal maupun antar
penduduk lokal dan warga pendatang. Perubahan gaya hidup terlihat
dari pembelian mobil baru, yang merupakan simbol kemapanan
keluarga, walaupun terkadang pemiliknya tidak dapat mengendarai
mobil. Perubahan nyata juga terlihat jelas pada pemukiman. Sebelum
tahun 2011, kebanyakan rumah hanya berdinding beton sederhana,
bahkan banyak yang masih berdinding papan dan beratap rumbia, tetapi
dampak ekonomi tambang emas menyebabkan pemukiman penduduk
berubah drastis dengan rumah beratap modern dan lantai yang berlapis
ubin/marmer. Perubahan model bangunan tidak diikuti perencanaan
yang baik mengenai selokan atau saluran drainase serta daya listrik
yang tidak mencukupi sehingga banyak rumah memiliki
genset/generator listrik dan hal kontras lainnya adalah banyak rumah
memiliki perangkat elektronik dan antena parabola tetapi belum
memiliki jamban yang memadai. Emisi gas buang dari generator listrik
dan dari jumlah kendaraan yang meningkat menimbulkan kebisingan

[48]

dan polusi udara. Budaya mengemudi yang buruk, infrastruktur jalan
yang tidak memadai serta lemahnya penegakan disiplin berlalu lintas
menyebabkan pada periode tersebut, angka kecelakaan lalu lintas cukup
tinggi.

Meningkatnya pendapatan keluarga berpengaruh terhadap naiknya
harga bahan pokok dan bahan bakar. Terjadi kelangkaan minyak tanah,
bensin dan solar. Dimana-mana terlihat antrian panjang kendaraan
bermotor di SPBU. Harga bahan bakar dan bahan makanan di lokasi
tambang meningkat berkali-kali lipat karena tingginya permintaan
sedangkan suplai terbatas. Peningkatan dramatis harga-harga juga
terjadi di bidang material bangunan, perkakas, elektronik dan pakaian
atau tekstil. Pada periode tersebut, tingkat inflasi di kabupaten Buru
nyaris 100%. Situasi ini dimanfaatkan oleh para pedagang dan
distributor barang untuk memperoleh keuntungan berlipat ganda. Nasib
baik ini tidak dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat lokal yang tidak
terlibat aktifitas pertambangan. Meroketnya harga berbagai komoditas
menyebabkan daya beli menurun sehingga mereka kesulitan
memperoleh kebutuhan sandang dan pangan. Sekali lagi, keadaan ini
memicu kecemburuan sosial sehingga memicu tingginya angka
kriminalitas.

Kontaminasi Merkuri Akibat Kegiatan PETI di Pulau Buru

Proses ektraksi emas dari tanah dan batuan (ore) yang
mengandung emas menggunakan merkuri sebagian besar hilang dalam
limbah (tailing) atau melalui atmosfir. Tiga daerah yang dijadikan
lokasi tambang emas (Gn.Botak, Gogrea dan Gn.Nona) dialiri sejumlah
sungai yang bermuara di Teluk Kaiely. Limbah merkuri akan
terdistribusi ke sampai ke laut melalui aliran sungai (Sungai Waeapo,
Sungai Waelata dan Sungai Anahoni). Ribuan are bekas tromol saat ini
ditinggalkan begitu saja sehingga potensi kontaminasi akan tetap
berlangsung jika tidak ditangani dengan baik. Sungai Waeapo
digunakan untuk mengairi ribuan hektar sawah yang dijadikan lumbung
pangan nasional. Sungai-sungai yang telah tercemari merkuri mengalir
melalui beberapa desa/kampung sepanjang bantaran sungai dan
bermuara di Teluk Kaiely (Male dkk., 2013).

[49]

Saat kegiatan PETI marak di Pulau Buru (gold fever), banyak
petani sawah dan pekerja ketel minyak kayu putih meninggalkan
pekerjaannya dan beralih profesi menjadi penambang karena
penghasilan dari kegiatan tambang emas lebih menjanjikan dan
diperoleh dalam waktu yang relatif singkat (quick money). Kegiatan
PETI di Gunung Botak dan Gogrea secara resmi ditutup oleh
Pemerintah Provinsi Maluku Tahun 2015 setelah kunjungan Presiden
Joko Widodo ke daerah Waeapo dan memberikan instruksi penutupan
tambang (Hindersah dkk., 2018; Saija, 2018). Banyak penelitian yang
dilakukan telah membuktikan terjadinya kontaminasi merkuri pada
sedimen di Pulau Buru (Male dkk., 2013; Mariwy dkk., 2019), pada
makanan laut (Reichelt-Brushett dkkl., 2017b) dan pada tanaman
(Hindersah dkk., 2018).

Kontaminasi Merkuri pada Sedimen Akibat Aktifitas PETI di Pulau
Buru

Pada Tahun 2013, penelitian tentang kontaminasi merkuri pada
tanah dan sedimen sekitar area terdampak akibat aktifitas PETI di
Gunung Botak mulai dilakukan. Limbah (tailing) dari area tromol
berkisar antara 50-200 mg Hg/kg tanah dan konsentrasi tertinggi yang
dilaporkan 760 mk/Kg (Male dkk., 2013). Tailing tersebut terkadang
langsung dibuang ke aliran air dan lahan perkebunan warga. Merkuri
akan teroksidasi dan mengalami pengompleksan; suatu tahap awal
terjadinya transformasi logam merkuri menjadi bentuk yang lebih
beracun, metilmerkuri. Konsentrasi merkuri juga ditemukan cukup
tinggi pada sedimen pada jarak 20 meter dari muara Sungai Waelata.
Mikroorganisme di badan perairan semakin mempercepat proses
metilasi. Penelitian lanjutan yang dilakukan sepuluh bulan kemudian
menunjukkan terjadinya peningkatan konsentrasi merkuri pada muara
Sungai Waelata, yaitu dari 1,872 mg/Kg Tahun 2012 menjadi 47,13
mg/Kg pada Tahun 2013 (Reichelt-Brushett dkk., 2017b).

Konsentrasi merkuri pada sedimen Tahun 2013 telah melewati
ambang batas 1 mg/Kg menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) dan
Standar Australia dan New Zealand (ANZECC/ARMCANZ, 2000).
Kondisi ini sangat memprihatinkan karena penduduk setempat

[50]

mengkonsumsi makanan laut sebagai sumber utama protein.
Diperlukan penelitian dan monitoring lanjutan untuk meneliti kadar
merkuri pada spesis predator besar (high tropic level) yang dikonsumsi
manusia.

Kontaminasi Merkuri pada Makanan Laut (Seafood) di Pulau Buru

Untuk mengetahui dampak pencemaran akibat aktifitas PETI di
Pulau Buru, pada tahun 2014 dilakukan pengambilan sejumlah sampel
ikan, Kerang dan kelompok udang (crustaceans) untuk dianalisis
kandungan merkurinya. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan
konsentrasi merkuri secara signifikan pada spesis yang mengkonsumsi
udang-udangan, sedangkan konsentrasi tertinggi merkuri ditemukan
pada ikan predator besar. Hal ini membuktikan terjadinya akumulasi
merkuri melalui jalur bioakumulasi (Reichelt-Brushett dkk., 2017b).
Gambar hasil penelitian kandungan merkuri pada ikan, Kerang dan
udang-udangan di Pasar Namlea, Pulau Buru disajikan pada Gambar 2.
7.

Kontaminasi Merkuri pada Tanaman di Pulau Buru

Tujuan mulia menggenjot produksi beras untuk menjadikan Pulau
Buru sebagai salah satu lumbung padi nasional dihadapkan pada
persoalan serius pencemaran merkuri akibat kegiatan PETI di Pulau
Buru. Hindersah dkk (2018) meneliti kandungan merkuri pada tanaman
yang ditanam pada area terkontaminasi merkuri menunjukkan bahwa
tanaman palawija pada daerah terkontaminasi merkuri memiliki
kandungan merkuri di atas 50 μg/Kg menurut standar Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM). Tentu masih diperlukan kajian dan
penelitian lanjutan untuk mengetahui efek kontaminasi merkuri pada
bahan pangan lainnya tetapi fakta ini menyadarkan kita betapa
berbahayanya penggunaan merkuri untuk kehidupan yang lestari di
Pulau Buru.

[51]

Gambar 2. 7 Hasil analisis merkuri pada biota laut di P.Buru (Reichelt-
Brushett dkk., 2017b).

[52]

Dampak Sosial Akibat Aktifitas PETI di Pulau Buru

Dampak sosial yang timbul akibat aktifitas PETI di Pulau Buru
sangat terasa. Hanya dalam beberapa bulan sejak emas ditemukan di
daerah Gunung Botak pada tahun 2011, banyak petani sawah dan
pekerja ketel minyak kayu putih meninggalkan pekerjaannya dan
beralih profesi menjadi penambang karena penghasilan dari kegiatan
tambang emas lebih menjanjikan. Masyarakat yang dulunya suka
bergotong-royong kini berubah menjadi masyarakat konsumerisme dan
kompetitif, berupaya secara individual atau membentuk kelompok baru
dengan warga pendatang yang lebih agresif dan menguasai teknik
penambangan (Murphy, 2013; Siregar, 2015). Dampak ekonomi yang
ditimbulkan adalah tingginya tingkat inflasi pada kebutuhan sehari-hari
misalnya beras, ikan dan bahan bakar minyak yang tertekan
pertumbuhan ekonomi lokal sedangkan harga komoditas dari luar
daerah seperti bahan bangun-an, produk elektronik dan otomotif
meningkat tajam (Purwanto, 2010).

Pada skala rumah tangga juga terjadi goncangan sosial. Banyak
murid sekolah bolos sekolah bahkan para guru pun ikut tergiur
meninggalkan sekolah untuk memperoleh uang di lokasi tambang.
Perilaku mereka akan terpengaruh oleh kehidupan di daerah tambang
yang keras serta banyak akitifas judi dan minuman keras. Dampak
sosial lainnya adalah tingginya angka percerian serta timbulnya berbagi
penyakit, misalnya malaria, penyakit kulit dan meningkatnya resiko
penularan HIV. Jumlah penambang begitu memadati Pulau Buru
sehingga jumlah penduduk pada Tahun 2014 menjadi 125.000 jiwa atau
hampir dua kali lipat dari populasi sebenarnya (BPS, 2019).
Peningkatan jumlah penduduk dalam waktu singkat dan tidak terdata
dengan baik tentu saja menimbulkan banyak problem sosial, misalnya
konflik berdarah dan kriminalitas lainnya yang menimbulkan banyak
korban jiwa (Rasyid dkk., 2014). Berbagai dampak yang ditimbulkan
akibat PETI di Pulau Buru masih dirasakan hingga saat ini.

[53]

STATUS TERKINI PENAMBANGAN EMAS DI
PULAU BURU

Sesuai instruksi Presiden Joko Widodo, Pemerintah Provinsi
Maluku telah menutup tambang emas, melarang perdagangan dan
distribusi sianida dan merkuri serta melarang seluruh aktifitas PETI di
Pulau Buru (Gambar 2. 8). Setelah lokasi Gunung Botak dan Gogrea
ditutup, banyak penambang yang beralih untuk menambang di lokasi
baru, yaitu Gunung Nona tetapi kandungan emas di daerah tersebut
rendah (low grade) sehingga kegiatan di daerah ini tidak banyak
diminati penambang. Banyak penambang liar atau penduduk setempat
yang melanggar perintah penutupan tambang ditangkap oleh aparat
berwenang dan telah dilakukan penegakan hukum sebagaimana
mestinya. Foto baliho pelarangan aktifitas PETI di Pulau Buru
ditampilkan pada Gambar 2. 8.

Dampak lain aktifitas PETI di daerah Gunung Botak adalah
penggunaan sianida dan sedimentasi yang tinggi menyebabkan
pendangkalan sungai sehingga mematikan ribuan pohon sagu (Gambar
2. 9). Pohon sagu adalah penyaring air untuk konsumsi masyarakat,
pohon sagu adalah atap rumah bagi masyarakat, pohon sagu adalah
dinding rumah bagi masyarakat, pohon sagu adalah makanan pokok
masyarakat. pohon sagu adalah ciri khas masyarakat Maluku. Pohon
sagu biasanya tumbuh secara alami di dalam vegetasi khusus nan luas
yang melingkari sungai atau rawa dan berujung di delta, sehingga
keberadaanya tentu memiliki maksud khusus dalam proses
keseimbangan alam. Akar Pohon Sagu membantu menyaring air supaya
tetap jernih ketika banjir di hulu. Di dalam vegetasi hutan sagu, ada
banyak keanekaragaman hayati yang menjadi rantai sebuah Ekosistim
dalam menjalankan fungsi masing-masing.

[54]

Gambar 2. 8 Baliho pelarangan aktifitas PETI di Pulau Buru (Dok.
Pribadi).

Gambar 2. 9 Pohon sagu mati akibat sedimentasi Sungai Anahoni (Dok.
Pribadi).

Di dalam hutan sagu sering terjadi transaksi sosial masyarakat
yang menjadikan hutan ini rumah kedua ketika mereka memproduksi
ruas batang sagu sebagai bahan pangan utama. Apabila identitas

[55]

tanaman ini hilang, maka sebenarnya terjadi kehilangan fungsi ekologi
dan sosial yang telah berlangsung lama.

Di kecamatan Teluk Kaiely, vegetasi hutan sagu yang tumbuh
melingkari urat sungai dari gunung menuju delta telah terpapar buangan
limbah bahan kimia beracun akibat penambangan emas dan sedimentasi
sungai. Reaksi yang ditimbulkan oleh paparan kimia bahan kimia
mengeringkan akar sampai ujung daun lalu akhirnya mengering dan
mati. Kematian vegetasi ini mungkin belum berdampak dalam waktu
dekat akan tetapi reaksi berantai kerusakan lingkungan pasti akan
terjadi, sebab fungsi utama vegetasi pohon sagu yang telah berevolusi
jutaan tahun tiba-tiba harus berubah dalam waktu beberapa tahun saja
(Sahuburua, 2019).

Upaya Rehabilitasi Dampak Sosial dan Peran Stakeholder

Bagi masyarakat terdampak, perlu dilakukan upaya eduksi dan
advokasi. Diperlukan kerjasama semua pemangku kepentingan
(stakeholder) untuk kembali memberdayakan masyarakat yang sudah
terlanjur mengamali transformasi sosial serta terdampak aktifitas PETI.
Salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terpanggil untuk
memberdayakan masyarakat Teluk Kaiely adalah Yayasan Kedai
Masyarakat (Kemas) melalui program Edukasi, Advokasi dan
Publikasi.

Edukasi memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengenal apa, mengapa dan bagaimana sebuah Ekosistim dan norma
sosial menjadi rapuh akibat pengelolaan usaha ekstraktif yang tidak
sesuai mekanisme dan akibat yang ditimbulkan terhadap kerusakan
lingkungan hidup, kesehatan Manusia dan nilai sosial di masyarakat
sedangkan advokasi mendorong masyarakat untuk kembali kepada akar
budaya dan kearifan lokal yang telah terbentuk jauh sebelum usaha
ekstraktif muncul. (Sahuburua, 2019). Publikasi memberikan data-data
aktual mengenai kondisi wilayah dengan melakukan penelitian ilmiah
guna mendukung aksi edukasi dan advokasi kepada Masyarakat
sekaligus memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait dalam
mengambil kebijakan dan langkah strategis dalam mengurangi resiko
ancaman dari buangan material beracun yang telah terjadi. Publikasi

[56]

juga dibicarakan pada ranah pertemuan akademik baik yang
disengajakan atau yang terjadi secara spontan.

Alternatif Teknologi Ramah Lingkungan untuk Ekstraksi Emas

Hasil analisis membuktikan bahwa material (bijih) di Kab.Buru
mengandung kadar emas yang cukup tinggi sehingga sangat ekonomis
untuk diekstraksi (Male dkk., 2013). Pada awalnya, para penambang
emas di Pulau Buru menggunakan cara manual untuk memisahkan
emas secara gravitasi (perbedaan berat) dengan hanya menggunakan
alat-alat dapur seperti, nyiru, panci dan wajan untuk mendulang emas
(panning). Karena tidak ekonomis, para penambang beralih
mengggunakan teknik dompeng. Teknik dompeng menggunakan air
bertekanan tinggi untuk menghancurkan material dan selanjutnya
dialirkan ke kotak (sluice box) yang dilapisi karpet untuk menangkap
butiran emas. Teknik ini berdampak pada erosi lahan dan pendangkalan
sungai, seperti yang terjadi di Sungai Anahoni, Pulau Buru. Teknik
dompeng juga dianggap tidak ekonomis sehingga para penambang
akhirnya menggunakan bahan kimia yang sangat berbahaya dan
beracun (B3), yaitu merkuri dan sianida. Penggunaan bahan kimia
memang sangat ekonomis tetapi dampak ekologis yang ditimbulkan
sangat fatal.

Daerah Gunung Botak, Gogrea dan Gunung Nona di Pulau Buru
masih mengandung emas. Endapan yang menutupi sungai Anahoni juga
mengandung limbah merkuri dan emas yang masih bernilai eknomis
untuk dikelola. Penataan lingkungan dapat dilakukan dengan
pengangkatan sedimen untuk mengambil kembali (recovery) merkuri
sehingga tidak berdampak negatif. Diperlukan teknologi ekstraksi emas
tanpa bahan kimia atau alternatif penggunaan material/bahan kimia
yang ramah lingkungan. Untuk hal ini, diperlukan kerjasama antar
pemangku kepentingan, yaitu pemerintah daerah dan perguruan tinggi.

[57]

PENUTUP

Penggunaan merkuri oleh para penambang atau PETI memberikan
dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan, tidak saja bersifat
lokal pada area penambangan tetapi juga berdampak pada skala
regional dan global. Hasil penelitian menunjukkan munculnya gejala
yang telah diprediksi sebelumnya akibat aktifitas PETI di Pulau Buru.
Dampak tersebut adalah kerusakan lingkungan, pencemaran dan
kontaminasi, faksi sosial serta pelanggaran atas hak hidup. Diperlukan
penelitian lanjutan dan aksi nyata di lapangan untuk mengurangi
dampak sosial dan ekologis yang ditimbulkan sehingga dampaknya
tidak diwariskan untuk generasi Maluku yang akan datang.

[58]

DAFTAR PUSTAKA

Alwy, F., 2018. Indonesian Fisheries Policy Reform: Compliance to

stringent food safety requirement of importing countries. Fiat

Justista. 11, 150-172.

Agrawal, S. 2016. Final report UNEP Mercury project. Project:

SSFA/2015/DTIE/ Chemicals.

ANZECC and ARMCANZ, 2000. Australian and New Zealand water

quality guidelines for fresh and marine waters. Environment

Australia. Australian and New Zealand Environment and

Conservation Council (ANZECC) and Agriculture and

Resource Management Council of Australia and New Zealand

(ARMCANZ). Canberra, Australia. https://www.waterquality.

gov.au/anz-guidelines/guideline-values/default/ sediment-

quality-toxicants (diakses 12 Mei 2019).

Appleton, J. D., Williams, T. M., Breward, N., Apostol, A., Miguel, J.,

dan Miranda, C., 1999. Mercury contamination associated with

artisanal gold mining onc the island of Mindanao, the

Philippines. The science of the total Environment, 228: 95-109.

Ariansyach, I., 2017. Southeast Asian Fisheries Development Centre.

Fisheries country profile: Indonesia.

http://www.seafdec.org/fisheries-country-profile-Indonesia

(diakses 5 Januari 2020).

Badan Pusat Statistik [BPS] Kabupaten, Buru Regency., 2019. Gross

regional Domestic Product of Buru Regency by industry 2014-

2018.

Branch/Yayasan Tambuhak Sinta. Project number: MC/4030-14-62.

Diunduh dari

https://wedocs.unep.org/bitstream/handle/20.500.11822/11717/

Final_Report.pdf?sequence=1 (diakses 10 November 2019).

Childs, J., 2008, Reforming small-scale mining in sub-Saharan Africa:

Political and ideological challenges to a Fair Trade gold
initiative, Resources Policy, 33, 203–209.

[59]

Cordy, P., Veiga, M. M., Salih, I., Al-Saadi, S., Console, S., Gracia, O.,

Mesa, L. A., Velasquez-lopez, P. C., dan Roeser, M. 2011.

Mercury contamination from artisanal gold mining in

Antioquia, Colombia: The world's highest per capita mercury

pollution. The science of the total Environment, 410-411: 154-

160.

Fearnside, P. M., 1997. Transmigration 587 in Indonesia: Lessons from

its environmental and social impacts. Environt. Manage. 21,

553-570. https://doi.org/10.1007/s002679900049.

Food and Agriculture Organisation [FAO], 2016. The State Of World

Fisheries And Aquaculture 2016. Contributing To Food

Security And Nutrition For All. FAO, Rome.

Food Standards Australia New Zealand [FSANZ], 2011. Mercury In

Fish. https:// www.food

standards.gov.au/consumer/chemicals/mercury/pages/default.as

px (diakses 5 Januari 2020).

Higueras, P., Oyarzun R., Lillo, J., Oyarzu, J., Maturana, H., 2005.

Atmospheric Mercury Data for The Coquimbo Region, Chile:

Influence of Mineral Deposits And Metal Recovery Practices,
Atmospheric Environment, 39, 7587–7596

Hindersah, R., Risamasu, R., Kalay, A.M., Dewi, T., and Makatita, I.,

2018. Mercury Contamination In Soil, Tailing And Plants On

Agricultural Fields Near Closed Gold Mine In Buru Island,

Maluku. J Degraded Mining Lands Manage. 5, 1027-1034.

https://doi. org/10.15243/jdmlm.2018.052.1027.

Hutubessy, B. G. and Mosse, J. W., 2016. Biology of Fisheries-

Techniques and Management. Penerbit Alfabeta, Bandung.

Ismawati, Y., 2018. Illegal and Illicit Mercury Trade in Indonesia.

Nexus3/Bali Fokus

Foundation.https://docs.wixstatic.com/ugd/13eb5b_f0dd64cbce

da413e8c3dbb3943e 1975f.pdf (diakses 25 Augutus 2019).

Kambey, J.L., Farrell, A.P., L.I. Bendell-Young, 2001, Influence of

Illegal Gold Mining on Mercury Levels in Fish of North

Sulawesi's Minahasa Peninsula, (Indonesia) Environmental
Pollution, 114, 299–302.

[60]

Kuras, R., Janasik, B., Stanislawska, M., Kozlowska, L., and
Wasowicz, W., 2017. Assessment of Mercury Intake From Fish
Meals Based on Intervention Research in The Polish
Subpopulation. Biol Trace Elem Res. 179, 23-31.

Limmon, G.V., Khouw, A.S., Loupatty, S.R., Rijoly, F., and Pattikawa,
J.A., 2017. Species richness of reef food fishes in Ambon
Island waters, Maluku Province, Indonesia. AACL Bioflux. 10,
507-511.

MacDonald, K. F., Lund, F, Blanchette, M. & McCullough, C., 2014.
Regulation of artisanal small scale gold mining (ASGM) in
Ghana and Indonesia as currently implemented fails to
adequately protect aquatic ecosystems, in: Sui, Sun, and Wang,
(Eds.), Proceedings of International Mine Water Association
Symposium. An Interdisciplinary Response to Mine Water
Challenges. China University of Mining and Technology Press,
Xuzhou, pp. 401-405.

Male, Y.T., Reichelt-Brushett, A.J., Pocock, M., and Nanlohy, A.,
2013. Recent mercury contamination from artisanal gold
mining on Buru Island, Indonesia – Potential future risks to
environmental health and food safety. Mar. Pollut Bull. 77,
428-433. https://doi.org/10.1016/j.marpolbul.2013.09.011.

Mariwy, A., Male, Y.T., and Manuhutu, J.B., 2019. Mercury (Hg)
Contents analysis in sediments at some river estuaries in Kayeli
Bay Buru Island, in: IOP Conference Series: Materials Science
and Engineering, 546. IOP Publishing., pp. 022012.
doi:10.1088/1757- 899X/546/2/022012.

Metcalf, S. M., dan Veiga, M. M. 2012. Using Street Theatre To
Increase Awareness and Reduce Mercury Pollution in The
Artisanal Gold Mining Sector: A Case From Zimbabwe.
Journal of Cleaner Productio, 37: 179-184.

Murphy, D., 2013. A Gold Rush In Indonesia You've Never Heard Of.
In: The Christian Science
Monitor. https://www.csmonitor.com/layout/set/print/World/
Security-Watch/Backchannels/2013/0405/A-gold-rush-in-
Indonesia-you-ve-ever-heard-of (diakses 5 Januari 2020).

[61]

Purwanto, H., 2012. Gold Rush Triggers Local Inflation. In Antara
News. https: //en.antaranews. com/news/79788/gold-rush-
triggers-local-inflation (diakses 5 January 2020).

Quina, M., 2016. Towards Safer Seafood: What Indonesian Law
Should "Say" About Mercury Contaminated Fish. Indones Law
Rev. 6 (2). 207-224.

Rasyid, I., Asori, M.H., Sukandar, R., Peranto, S., Karib, F., Cholid, S.,
and Efendi, J., 2014. Map of Violence In Indonesia (September-
December 2013) and Intergroup-Related Violent Conflict In
Indonesia. Peace and Policy Review, The Habib Center.
Edition 6. http://snpk.kemenkopmk.go.id/Docs/ PB6_
SNPK_THC_ENG.pdf (diakses 5 Januari 2020).

Reichelt-Brushett, A.J., Stone, J., Howe, P., Thomas, B., Clark, M.,
Male, Y., Nanlohy, A., and Butcher, P., 2017a. Geochemistry
and Mercury Contamination in Receiving Environments of
Artisanal Mining Wastes and Identified Concerns For Food
Safety. Environ Res. 152, 407-418.

Reichelt-Brushett, A.J., Thomas, B., Howe, P., Male, Y., and Clark,
M.C., 2017b. Characterisation of Artisanal Mine Waste on
Buru Island, Indonesia and Toxicity To The Brittle Star.
Amphipholis squamata. Chemosphere. 189, 171-179.

Saija, V. J. E., 2018. The Role of Government In Destruction Actions
Under The Theme of Environmental Utilisation. 192. Adv Soc
Sci Ed Humanities Res -1st International Conference on
Indonesian Legal Studies, Atlantis Press.

Sahubura, L., 2019. Peningkatan kesadaran akan dampak negatif
penambangan emas skala kecil terhadap lingkungan dan
kesehatan, Newsletter, Yayasan Kedai Masyarakat.

Siregar, K., 2015. The Golden Dream. In BBC News. https://
www.bbc.co.uk/ news/resources/idt-27efd9d2-7932-44ac-ad0d-
6b3fee4c9515 (diakses 5 Januari 2020).

Spiegel, S.J., Agrawal, S., Mikha, D., Vitamerry, K., Le Billon, P.,
Veiga, M., Konolius, K., and Paul, B., 2018. Phasing Out
Mercury? Ecological Economics and Indonesia's Small-Scale
Gold Mining Sector. Ecol Econ. 144, 1-11.

[62]

Sudarsono, A. S., 2003. Pengantar Pengolahan dan Ekstraksi Bijih

Emas. Departemen Teknik Pertambangan, Institut Teknologi

Bandung

Telapak and Gekko Studio. (Producers), 2015. Beyond The Golden

Sheen and The Warmth of Cajuput Oil. [Short film]. Bogor,

West Java, Indonesia. Retrieved from: .https://vimeo

.com/155323870.

Tran, N., Rodriguez, U.P., Chan, C.Y., Phillips, M., Mohan, C.,

Henriksson, P., Koeshendrajana, S., Suri, S., and Hall, S., 2017.

Indonesian Aquaculture Futures: an Analysis Of Fish Supply

and Demand In Indonesia to 2030 and Role of Aquaculture

Using The Asia Fish Model. Mar Policy. 79, 25-32.

United Nations Environment Programme [UNEP], 2017. Global

mercury supply, trade and demand. United Nations

Environment Programme, Chemicals and Health Branch.

Geneva, Switzerland.

Veiga, M.M., Maxson, P.A., and Hylander, L.D., 2006. Origin and

Consumption Of Mercury in Small-Scale Gold Mining. J Clean

Prod. 14, 436-447.

Veiga, M.M., Nunes, D., Klein, B., Sandro, J.A., Velasquez, P.C., and

Sousa R.N., 2009. Mill leaching: A Viable Substitute for

Mercury Amalgamation In The Artisanal Gold Mining Sector?

J Clean Prod. 17(15), 1373-1381.

Waileruny, W., Wiyono, E.S., Wisudo, S.H., Purbayanto, A., and

Nurani, T.W., 2014. Bioeconomic Analysis of Skipjack
(Katsuwonus Pelamis) Fishery on Banda Sea–Maluku

Province. Simposium Nasional Pengelolaan Perikanan Tuna

Berkelanjutan, Bali. 1011, 474-483.

Widowati. W., Sastiono. A., dan Rumampuk. R. J., 2008. Efek Toksik

Logam. Edisi Pertama. Penerbit Andi Yogyakarta.

World Health Organisation [WHO], 2007. Exposure to Mercury: A

Major Public Health Concern. Geneva.

https://www.who.int/ipcs/features/mercury.pdf (diakses 5

Januari 2020).

[63]

World Health Organisation [WHO], 2013. Mercury and Health (Fact
sheet No. 361).
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs361/en/ (diakses 5
Januari 2020).

[64]

BAB III Strategi Penanggulangan Soil Transmitted
Helminths (Sth) Di Daerah Endemis Berbasis
Kearifan Lokal (Menggali Bahan Obat Yang
Menjanjikan Dari Bumi Pulau Ambon)

Salakory Melianus1, Risqa Novita2
1Guru Besar Bidang Geografi Medik FKIP Unpatti.,
2Peneliti Puslitbang Biomedis Dan Teknologi Dasar Kesehatan Kementerian

Kesehatan RI

PENDAHULUAN

Salah satu penyakit parasitik di Indonesia yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah infeksi usus
oleh nematoda usus, terutama yang penularannya dengan
perantaraan tanah. Sampai tahun 2019 ini, infeksi dengan kecacingan
masih merupakan penyakit rakyat dengan prevalensi yang cukup tinggi
di daerah tropik negara-negara berkembang, terutama pada masyarakat
dengan keadaan sosial ekonomi rendah di perdesaan tahun 2002. Di
wilayah pulau Ambon, data tentang Soil Transmitted Helminths yang
diperoleh dari laporan bulanan Puskesmas sejak tahun 2004, 2005,
2006, dan sampai 2018, 2019 menunjukkan angka yang bervariasi.
Nampak juga bahwa ada daerah dengan prevalensi tinggi, ada daerah
dengan prevalensi rendah, ada pula daerah dengan prevalensi di antara
keduanya.
Program pemberantasan yang telah dilaksanakan sejak tahun 1975
meliputi pengobatan terhadap para penderita kecacingan kurang
menampakan hasil, sebab dalam kurun waktu yang singkat pula (3
bulan) pengobatan harus diulangi lagi untuk mencapai hasil yang
memuaskan, sehingga terkesan sangat mahal. Dalam melakukan
pengobatan masal juga sukar sekali untuk mencakup seluruh penduduk,
sehingga masih ada sumber infeksi. Program pemberantasan cacing
usus selama ini juga masih terlalu terbatas pada daerah-daerah dan

[65]

golongan prioritas tertentu saja yang didasarkan pada tinggi rendahnya

prevalensi di daerah sasaran. Program pemberantasan melalui

pengobatan masal ini harus diikuti pula dengan tindakan pencegahan

untuk memutuskan mata rantai daur hidup dari Soil Transmitted

Helminths. Persoalan yang selama ini membelit adalah para perencana,

dan pengambil kebijakan tidak memiliki data yang akurat, cepat, dan

berkala. Data yang dimiliki juga lebih bertumpu pada kasus-kasus

penderita yang berobat ke tempat pelayanan kesehatan, kurang

didasarkan pada data-data prediksi yang memiliki tingkat signifikansi

tinggi.

Di lapangan, daur hidup Soil Transmitted Helminths mem-

butuhkan faktor-faktor sebagai berikut; faktor inang (manusia), faktor

agen (cacingnya), dan faktor lingkungan. Faktor inang disini berperan

adalah budaya dari masyarakat baik secara langsung mau pun tidak

langsung. Parameter lingkungan, merupakan kondisi ekoepidemiologi

yang dibutuhkan bagi proses pematangan telur cacing menjadi telur

yang infektif atau menjadi larva. Apabila kondisi ini terpenuhi, maka

telur-telur cacing akan cepat matang dan siap menginfeksi manusia.

Faktor cacing itu sendiri (agen), yang terpenting adalah daya tahan

cacing atau telur dan larva terhadap kondisi yang kurang baik bagi

kelangsungan hidupnya.

Dengan menggunakan pendekatan ekoepidemiologis, yang

didukung oleh data penginderaan jauh dan aplikasi Sistem Informasi

Geografi (SIG) diharapkan kejadian infeksi Soil Transmitted Helminths

yang bervariasi ini dapat diketahui komponen lingkungan risikonya,

dimonitor dinamika perubahannya, sehingga dapat dikontrol dan

dikendalikan kejadian infeksi Soil Transmitted Helminths yang

bervariasi dan berfluktuasi tersebut secara cepat, dan akurat.

Mardihusodo (1997) dalam Salakory (2011),

menyatakan bahwa untuk membuat suatu prediksi tentang kejadian

infeksi Soil Transmitted Helminths misalnya, harus memiliki data

secara akurat dan berkala, dan ini berarti harus dilakukan penelitian

atau surveilansi yang terus menerus. Hasil yang diperoleh melalui

kegiatan yang konvensional itu umumnya diperoleh dalam jangka lama,

sehingga sering terlambat dalam penangannya dan juga masih bersifat

[66]

subjektif. Akibat dari semua itu khususnya dalam mengestimasi
kemungkinan-kemungkinan terjadinya satu Kejadian Luar Biasa (KLB)
penyakit terkait lingkungan, maka penerapan teknologi maju seperti
penginderaan jauh (remote sensing), Sistem Informasi Geografi (SIG),
dan Global Positioning System (GPS), diharapkan dapat membantu
mengatasi faktor-faktor penghambat dan kendala tersebut di atas .

Ketegasan akan hal dimaksud disampaikan juga oleh Danoedoro
(1997), bahwa masalah kesehatan, di sisi lain selama ini dikenal
sebagai ranah (domain) ilmu-ilmu kesehatan. Kajian mengenai masalah
kesehatan pada aras individu hingga lingkungan telah banyak
dilakukan, akan tetapi pembuatan model spasial untuk kajian kesehatan
tetap merupakan tantangan tersendiri. Pemodelan spasial untuk kajian
kesehatan secara geografis diharapkan dapat menjawab pertanyaan (a)
di mana terdapat masalah kesehatan, (b) mengapa terdistribusi seperti
itu, dan (c) apa implikasinya.

Menurut Alfonso (2006), untuk penyusunan kebijakan kesehatan
masyarakat yang ada saat ini, seyogyanya mempertimbangkan
pentingnya visi-visi dan disiplin ilmu-ilmu baru yang dapat membantu
upaya memerangi dan mencegah penyakit ini.
Ekoepidemiologi menurut Alfonso (2006), adalah salah satu dari
disiplin ilmu tersebut. Studi epidemiologi dengan menitikberatkan pada
keterkaitan hubungan antara inang (host), agen (agent), dan lingkungan
(environment) yang terkondisikan atau membantu perkembangbiakan
suatu penyakit, perlu digunakan secara lebih luas pada kesehatan
masyarakat sebagai suatu kebijakan dalam melakukan pengontrolan
secara terintegrasi yang nyata terhadap masalah-masalah kesehatan
masyarakat. Pengontrolan dapat dilakukan secara terintegrasi yakni
dengan menggunakan jasa satelit bagi penginderaan epidemiologi,
Sistem Informasi Geografis (SIG), medical geography, biometeorologi,
kesehatan lingkungan, serta integrasi diantara kesemuanya itu (Broker,
2000).

Berdasarkan uraian di atas maka pada kesempatan ini akan
disampaikan sejumlah hasil penelitian dengan kajian: (1) Apa
saja parameter lingkungan Risiko Soil Transmitted Helminths di
satuan lahan aluvial Pulau Ambon, (2) Bagaimana peta distribusi Soil

[67]

Transmitted Helminths di Satuan Lahan Aluvial pulau Ambon
sehingga dapat memudahkan pengontrolan terhadap suatu kejadian
infeksi (penghematan waktu, tenaga, maupun biaya jika dibandingkan
dengan suatu kegiatan surveilance), (3) Bahan bahan obat apa saja yang
dapat diperoleh dari lingkungan, dan dipergunakan masyarakat untuk
mengobati kecacingan di keluarga mereka, (4) Bagaimana Produk
Fortifikasi Bahan Dasar Obat Terhadap Makanan Ringan Berbahan
Dasar Lokal, (5) Bagaimana Hasil Uji Toksisitas Makanan Ringan
Hasil Fortikasi, (6) Bagaimana membentuk persepsi sehat kelompok
risiko di daerah endemis Soil Transmitted Helminths.

Pulau Ambon sebagai satu ekosistem terdiri dari unsur fisik,
biologi, daya, dan sosial budaya. Secara geografis, pulau ini merupakan
salah satu dari gugusan Kepulauan Lease, dengan batas-batas sebelah
utara Laut Seram, sebelah selatan Laut Banda, sebelah timur Selat
Haruku, dan sebelah barat Laut Buru. Pulau Ambon memiliki luas 761
km2, yang terbagi atas wilayah Kabupaten Maluku Tengah seluas 384
km2 dan sisanya seluas 377 km2 masuk ke dalam wilayah Kota
Ambon (Biro Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tengah, 2004).
Morfologi daratan Pulau Ambon bervariasi dari dataran dengan
kemiringan 0-8%, landai dengan kemiringan 8-15%, miring dengan
kemiringannya 15-40%, dan terjal dengan kemiringan >40%
(Salakory, 2010).

PARAMETER LINGKUNGAN RISIKO

Aplikasi Remote Sensing dalam hal ini dimaksudkan untuk:
a. Diperoleh informasi atau data jenis tanah dan sebarannya secara

cepat, akurat, dan dapat meliputi daerah yang luas (Pulau Ambon).
Diperoleh informasi atau data air tanah, kelembaban tanah dan
sebarannya secara cepat, akurat, dan dapat meliputi daerah yang luas
(Pulau Ambon).
b. Diperoleh informasi atau data indeks vegetasi atau NDVI dan
sebarannya secara cepat, akurat, dan dapat meliputi daerah yang luas
(Pulau Ambon).

[68]

c. Diperoleh informasi atau data cuaca dan sebarannya secara cepat,
akurat, dan dapat meliputi daerah yang luas (Pulau Ambon).
Dari hasil perhitungan Regresi untuk mengetahui besarnya

kontribusi model regresi bisa dipakai untuk memprediksi variasi
populasi telur dan larva STH di tanah. Dengan konstanta -6,988, jika
tidak ada perakaran, rata-rata total indeks pertumbuhan telur Cacing
kait di tanah, kebiasaan defekasi, kelas tekstur tanah, pH.H2O,
porositas, kandungan bahan organik tanah, kadar air lapang,
permeabilitas, rata-rata total indeks pertumbuhan telur T. trichiura di
tanah dan, rata-rata total indeks pertumbuhan telur A. lumbricoides
ditanah maka variasi telur dan larva Geohelminths di tanah adalah -
6,988%. Koefisien regresi kebiasaan defekasi (x1) sebesar
0,631, sinkron dengan apa yang ditegaskan Saathoff et al (2005),
bahwa jika fasilitas sanitasi jelek, mungkin terjadi kontaminasi faeces
dari tanah kepada penduduk (endemic area). Gunawardena et al (2005)
melihat pengaruh kakus (tempat defakasi) dengan kemungkinan
seseorang terinfeksi Cacing kait, OR = 1,60 CI = 1,00-2,53.

Koefisien regresi kelas tekstur (x2) sebesar -0,053, juga dibuktikan
oleh peneliti seperti Pawlowski (1991), Soedarto (1992). Saathoff et al
(2005) menemukan dalam model fit regresi berganda, bahwa kadar liat
tanah memegang peranan penting dalam infeksi Cacing kait, yaitu 3-
43%. Koefisien regresi pH.H2O (x3) sebesar 0,035 sejalan dengan
Udonsi dan Atata (1987) yang dalam penelitian mereka menemukan
bahwa optimal pH untuk penetasan larva Necator americanus adalah
6,0. Koefisien regresi porositas (x4) sebesar -0,024, kadar air lapang
(x5) sebesar 0,105, sinkron dengan Saathoff et al. (2005)
yang menegaskan bahwa kelembaban tanah merupakan pra-syarat
penting bagi pertumbuhan dan infektifitas larva Cacing kait di tanah.
Chukwuma et al (2009) menegaskan juga bahwa kelembaban tanah dan
kelembaban udara, juga mempengaruhi perkembangan dan
kelangsungan hidup telur dan larva Geohelminths. Kelembaban rendah
dikaitkan dengan kematian telur A. lumbricoides dan T. trichiura
(Otto, 1928; Spindler, 1929 dalam Brooker, 2006).
Penegasan kembali dinyatakan oleh Nwosu dan Anya (1980), Undosi

[69]

et al (1980), dalam Brooker (2006), bahwa kelembaban tinggi
menghasilkan kelimpahan telur dan larva Cacing kait di tanah.

Koefisien regresi rata-rata total indeks pertumbuhan A.
lumbricoides di tanah (x7) sebesar 0,581 sejalan dengan yang
dilaporkan oleh Morishita (1992). Kobayashi (1953, 1954) dalam
Morishita (1992), menyebutkan bahwa pertumbuhan telur A.
lumbricoides di tanah lapangan menjadi embrio, dominan terjadi pada
musim gugur atau akhir musim panas. Nishimura (1957) melihat variasi
musim terhadap jumlah telur A. lumbricoides dalam tanah dari tanah
pertanian pada dua lokasi geografi yang berbeda. Koefisien regresi rata-
rata total indeks pertumbuhan T. trichiura di tanah (X8) sebesar 0.012,
sejalan dengan Anderson (1991) dalam Brooker, (2006) menyatakan
bahwa waktu yang dibutuhkan telur Geohelminths sampai mencapai
fase infektif untuk T. trichiura, sampai menjadi infektif adalah 10 hari
dengan masa hidup bebas di tanah 30 hari. Maksimum temperatur bagi
perkembangan telur dan larva Geohelminths di tanah, untuk T.
Trichiura menurut Beer (1976) dalam Brooker (2006) adalah 37-39oC.

Koefisien regresi rata-rata total indeks pertumbuhan telur dan larva
Cacing kait di tanah (X9) sebesar 0,340, juga sejalan dengan Anderson
(1991) dalam Brooker, (2006) menyatakan bahwa waktu yang
dibutuhkan telur Geohelminths sampai mencapai fase infektif untuk
cacing kait untuk menjadi larva filariform membutuhkan waktu 3 hari
dengan masa hidup bebas 10 hari. Maksimum temperatur bagi
perkembangan telur dan larva Geohelminths di tanah, untuk Cacing
kait, menurut Nwosu (1978) dan Smith (1989) dalam Brooker
(2006), adalah 40oC. Larva Cacing kait memiliki harapan hidup (3-4
tahun) di tanah lebih baik dari A. lumbricoides dan T. trichiura sebab
larva Cacing kait dapat bergerak mencari perlindungan dari paparan
temperatur eksternal.

Koefisien regresi kandungan bahan organik di tanah (x10) sebesar
0,529, sehingga turut berpengaruh terhadap sifat tanah seperti
meningkatkan pembutiran (granulasi), mengurangi plastisitas, kohesi,
dan lain-lain, dan menaikkan kemampuan mengikat H2O (Buckman
and Brady, 1982). Jumlah bahan organik dalam tanah memberikan
pengaruh secara tidak langsung. Ditegaskan juga oleh Rachman (2002)

[70]

bahwa semua organisme didalam tanah mempunyai pengaruh yang
cukup nyata pada sifat fisik, pembentukan humus, dan penghawaan
tanah. Dari hasil perhitungan Regresi untuk variabel populasi telur dan
larva Soil Transmitted Helminths di tanah, kebiasaan anak atau
penduduk menggunakan alas kaki ke sekolah atau beraktivitas ke
tempat lain, sewaktu berada di luar rumah, pada waktu bekerja
membersihkan halaman, kebiasaan anak atau penduduk mencuci
tangan sebelum menyentuh makanan, serta kebiasaan anak atau
penduduk makan dengan tangan, diperoleh nilai adjusted R Square
pada output Model Summaryb adalah 0,93, sejalan dengan Samad
(2009), yang menemukan bahwa intensitas infeksi Geohelminths ada
hubungannya dengan perilaku sehat anak.

PETA DISTRIBUSI RISIKO POPULASI TELUR
DAN LARVA STH, SERTA PREVALENSINYA

Dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG), pada peta
satuan lahan dimasukkan data-data ekoepidemiologi sebagai faktor
lingkungan risiko, data sanitasi dan personal hygiene, data dinamika
populasi telur dan larva Soil Transmitted Helminths di tanah lahan
permukiman, juga data prevalensinya. Tumpangsusun peta lingkungan
risiko, peta dinamika populasi telur dan larva Soil Transmitted
Helminths dengan peta satuan lahan akan meng-hasilkan peta risiko
populasi Soil Transmitted Helminths di satuan lahan permukiman Pulau
Ambon sebagaimana pada Gambar 3. 1. Berdasarkan peta tersebut
para perencana dan pembuat kebijakan dapat menemukan daerah
endemis populasi telur dan larva Soil Transmitted Helminths di satuan
lahan Pulau Ambon secara cepat, dan akurat, serta melakukan kontrol
terhadap dinamika populasi telur dan larvanya di tanah.

[71]

Gambar 3. 1 Distribusi Kelas Gambar 3. 2 Distribusi Kelas
Risiko Populasi Telur dan Risiko Infeksi Soil Transmitted

Larva Soil Transmitted Helminths Helminths Pada Penduduk
di Tanah Berdasarkan Satuan Perdesaan Pulau Ambon
Lahan. Berdasarkan Satuan Lahan.

Tumpang susun peta lingkungan risiko, peta dinamika populasi
telur dan larva Soil Transmitted Helminths, peta prevalensi Soil
Transmitted Helminths dengan peta satuan lahan akan menghasilkan
peta risiko prevalensi Soil Transmitted Helminths di satuan lahan
permukiman Pulau Ambon sebagaimana pada Gambar 3. 2.
Berdasarkan peta tersebut para perencana dan pembuat kebijakan
dapat menemukan daerah endemis Soil Transmitted Helminths di
satuan lahan permukiman Pulau Ambon secara cepat, dan akurat,
serta melakukan kontrol terhadap prevalensinya. Atas dua peta risiko
Soil Transmitted Helminths tersebut, para perencana dan pengambil
kebijakan penanggulangan masalah kecacingan di masyarakat dapat
menyusun rekomendasi-rekomendasi dan tindaklanjut kegiatan
berdasarkan perubahan parameter lingkungan yang ada di lapangan.

[72]

IDENTIFIKASI BAHAN OBAT CACING DENGAN
BAHAN DASAR DARI LINGKUNGAN (LOCAL
WISDOM)

Hasil studi lapangan ditemukan bahwa jika terdapat tanda-tanda
bahwa anggota keluarga responden ada yang menderita kecacingan
(infeksi cacing di usus) maka dilakukan pengobatan dengan cara
meramu obat yang diperoleh dari dari lingkungan sekitar tempat
tinggal mereka.
Responden 1: Biasa mengobati kecacingan pada anak dan cucu-

cucunya dengan menggunakan kerang laut dalam
bahasa setempat disebut “tiram” atau Oyster batu
(Rock oyster). Berasal dari:

Pilum : Molusca
Class : Bivalvia
Ordo : Ostreoida
Famili : Ostreoidae
Genus : Crassostrea

Sumber: Salakory (2013)

Kerang laut tersebut menempel pada bebatuan di zona pantai basah
(“meti” menurut bahasa setempat). Kerang diambil dengan cara
dicungkil dengan menggunakan “parang” sebutan lokal untuk alat

pemotong kayu supaya tidak mudah pecah atau hancur.

Responden 2: Biasa mengobati kecacingan pada anak dan cucu-

cucunya dengan menggunakan dedaunan tertentu
yang dalam bahasa setempat disebut “daun kontu-
kontu sebab baunya busuk seperti orang kentut”.

Berasal dari:

[73]

Kingdom : Plantae Sumber: Salakory (2013)
Sub Kingdom : Tracheobionta
Superdivisio : Spermatophyta
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Rublaceace
Genus : Paederia
Spesies : Paederia scandes

Dari hasil perlakuan tersebut, terungkap bahwa ada perubahan ke
arah penurunan atau kerusakan atau degradasi telur dan larva Soil
Transmitted Helminths, terutama pada telur dan larva Hookworm dan A.
lumbricoides secara signifikan. Terjadi juga resistensi terutama oleh
telur T. trichiura pada beberapa perlakuan dilihat dari jenis bahan
dasar obat, konsentrasi obat (prosentase), maupun waktu pemaparan.
Hasil uji aktivasi tersebut juga menunjukkan bahwa daun Paederia
scandes (kentut-kentut) memiliki spektrum luas dalam mengatasi
kecacingan (infeksi oleh STH), disusul oleh Crassostrea (Rock oyster),
kulit pohon Plumeria acuminate (kamboja) dan biji Leucaena
leucocephala (Lam-torogung). Hal mana ditandai dengan besar
kecilnya nilai Indeks DGR baik untuk telur dan larva Hookworm, telur
Ascaris lumbricoides, maupun Trichuris trichiura.

HASIL UJI TOKSIK

Mengacu pada Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan
Makanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pedoman
Uji Toksisitas Non klinik Cara In Vivo, disebutkan bahwa uji toksisitas
akut oral adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang
muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang
diberikan secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis berulang yang
diberikan dalam waktu 24 jam (Badan Pengawas Obat dan Makanan

[74]

Republik Indonesia. 2014). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan uji toksisitas akut oral adalah uji yang
dilakukan untuk mengukur derajat efek suatu senyawa yang diberikan
pada hewan coba tertentu, dan pengamatannya dilakukan pada 24 jam
pertama setelah perlakuan dan dilakukan dalam satu kesempatan saja
(Loomis TA. 1999,. Jacobson-Kram. 2006).

Hasil Tosisitas Akut (LD50) Oral untuk Ekstrak Rock Oyster

Hasil uji menunjukkan, semua hewan uji menunjukkan gejala
normal baik untuk hewan uji di kelompok perlakuan P1 yang diberi 5
mg/kgBB ekstrak Rock Oyster, P2 yang diberi 50 mg/kgBB ekstrak
Rock Oyster, P3 yang diberi 500 mg/kgBB Rock Oyster, P4 yang diberi
2000 mg/kgBB ekstrak Rock Oyster, maupun pada kelompok ”K” tidak
diberi perlakuan (ekstrak), hanya diberi aquadest per oral. Tidak
terdapat hewan uji yang menunjukkan gejala klinis yang abnormal
selama 13 hari pengamatan baik untuk kelompok perlakuan maupun
kelompok kontrol. Tidak terdapat hewan uji yang mati baik untuk
kelompok perlakuan maupun untuk kelompok kontrol. Secara umum
hewan uji menunjukkan kenaikan berat badan, walaupun ada
yang stabil, turun, kemudian di hari ke 2 dan selanjutnya naik kembali
untuk sejumlah kecil hewan uji, dan ada juga yang turun di hari ke 3
dan ke 4 untuk kemudian stabil di hari hari selanjutnya.

Berdasarkan kesepakatan yang diambil oleh para ahli, apabila
tidak menimbulkan kematian hewan uji pada dosis maksimal yang
dalam penelitian ini dipergunakan dosis 2000 mg/kgBB ekstrak Rock
Oyster, maka LD50 dinyatakan dengan LD50 semu karena LD50 yang
didapat bukan merupakan LD50 yang sesungguhnya. Hasil ini tidak
dapat digolongkan sebagai bahan yang toksik menurut kriteria Loomis
(1996), karena dalam kriteria Loomis disebutkan bahwa apabila pada
dosis maksimal tidak menimbulkan kematian pada hewan coba, maka
senyawa tersebut praktis tidak toksik.

[75]

Hasil Toksisitas Akut (LD50) Oral untuk Camilan Berbahan Dasar
Plumeria Acuminate

Dosis yang diuji, 300, 2.000, 4.000 dan 6.000 mg/kg bb.
Pengamatan selama 30 menit, 4 jam selama 24 jam setelah pemberian
bahan obat terhadap tingkah laku.

Tabel 3. 1 Pengamatan Tingkah Laku Hewan Coba (Gejala Klinis)

Dosis Tingkah laku

Dosis 300 Setelah pemberian bahan uji, tikus terlihat aktivitas

mg/kg bb normal. Peka terhadap sentuhan dan rasa nyeri. Bulu,

mata, membran mukosa dan pernafasan dalam

keadaan normal. Kondisi hewan : tidak terjadi

keadaan gemetar, kejang, salivasi, diare, lemas, tidur

dan koma.

Pengamatan setelah 24 jam hewan terlihat sehat dan

tidak terjadi kematian

Dosis 2.000 Setelah pemberian bahan uji, tikus terlihat aktivitas

mg/kg bb normal. Peka terhadap sentuhan dan rasa nyeri. Bulu,

mata, membran mukosa dan pernafasan dalam

keadaan normal. Kondisi hewan : tidak terjadi

keadaan gemetar, kejang, salivasi, diare, lemas, tidur

dan koma.

Pengamatan setelah 24 jam hewan terlihat sehat dan

tidak terjadi kematian

Dosis 5.000 Setelah pemberian bahan uji, tikus terlihat lemas.

mg/kg bb Peka terhadap sentuhan dan rasa nyeri. Bulu, mata,

membran mukosa dan pernafasan dalam keadaan

normal. Kondisi hewan : tidak terjadi keadaan

gemetar, kejang, salivasi, diare, lemas, tidur dan

koma.

Pengamatan setelah 24 jam hewan terlihat sehat

kembali dan tidak terjadi kematian

[76]

Dosis 6.000 Setelah pemberian bahan uji, tikus terlihat lemas.
mg/kg bb Peka terhadap sentuhan dan rasa nyeri. Bulu, mata,
membran mukosa dan pernafasan dalam keadaan
normal. Kondisi hewan : tidak terjadi keadaan
gemetar, kejang, salivasi, diare, lemas, tidur dan
koma.
Pengamatan setelah 24 jam hewan terlihat sehat
kembali dan tidak terjadi kematian

Tabel 3. 2 Pengamatan Kematian Hewan Uji Pada 24 Jam

Kelompok Jumlah Hewan %
hewan hidup kematian

Dosis 300 mg/kg bb

Dosis 2.000 mg/kg bb ( 1 ) + 4 ekor 5 0

Dosis 4.000 mg/kg bb ( 1 ) + 4 ekor 5 0

Dosis 6.000 mg/kg bb ( 1 ) + 4 ekor 5 0

Pemberian bahan yang mengandung Plumeria acuminate sampai
dengan dosis 6.000 mg/kg bb. tidak menimbulkan kematian pada tikus,
sehingga didapatkan nilai LD50 lebih besar dari 6.000 mg/kg bb. Bahan
yang mengandung Plumeria acuminate tersebut digolongkan sebagai
bahan Praktis tidak toksik.

Hasil Toksisitas Akut (LD50) Oral untuk Camilan Berbahan Dasar
Paederia scandes Dosis yang Diuji, 300, 2.000, 4.000 dan 6.000
mg/kg bb

Pengamatan selama 30 menit, 4 jam selama 24 jam setelah
pemberian bahan obat terhadap tingkah laku.

[77]

Tabel 3. 3 Pengamatan Tingkah Laku Hewan Coba (Gejala Klinis)

Dosis Tingkah laku

Dosis 300 Setelah pemberian bahan uji, tikus terlihat aktivitas

mg/kg bb normal. Peka terhadap sentuhan dan rasa nyeri.

Bulu, mata, membran mukosa dan pernafasan

dalam keadaan normal. Kondisi hewan : tidak

terjadi keadaan gemetar, kejang, salivasi, diare,

lemas, tidur dan koma.

Pengamatan setelah 24 jam hewan terlihat sehat dan

tidak terjadi kematian

Dosis 2.000 Setelah pemberian bahan uji, tikus terlihat aktivitas

mg/kg bb normal. Peka terhadap sentuhan dan rasa nyeri.

Bulu, mata, membran mukosa dan pernafasan

dalam keadaan normal. Kondisi hewan : tidak

terjadi keadaan gemetar, kejang, salivasi, diare,

lemas, tidur dan koma.

Pengamatan setelah 24 jam hewan terlihat sehat dan

tidak terjadi kematian

Dosis 5.000 Setelah pemberian bahan uji, tikus terlihat lemas.

mg/kg bb Peka terhadap sentuhan dan rasa nyeri. Bulu, mata,

membran mukosa dan pernafasan dalam keadaan

normal. Kondisi hewan : tidak terjadi keadaan

gemetar, kejang, salivasi, diare, lemas, tidur dan

koma.

Pengamatan setelah 24 jam hewan terlihat sehat

kembali dan tidak terjadi kematian

Dosis 6.000 Setelah pemberian bahan uji, tikus terlihat lemas.

mg/kg bb Peka terhadap sentuhan dan rasa nyeri. Bulu, mata,

membran mukosa dan pernafasan dalam keadaan

normal. Kondisi hewan : tidak terjadi keadaan

gemetar, kejang, salivasi, diare, lemas, tidur dan

koma.

Pengamatan setelah 24 jam hewan terlihat sehat

kembali dan tidak terjadi kematian

[78]

Tabel 3. 4 Pengamatan Kematian Hewan Uji Pada 24 Jam

Kelompok Jumlah Hewan %
hewan
hidup kematian

Dosis 300 mg/kg bb

Dosis 2.000 mg/kg bb ( 1 ) + 4 ekor 5 0

Dosis 4.000 mg/kg bb ( 1 ) + 4 ekor 5 0

Dosis 6.000 mg/kg bb ( 1 ) + 4 ekor 5 0

Pemberian bahan yang mengandung Paederia scandes sampai
dengan dosis 6.000 mg/kg bb. tidak menimbulkan kematian pada tikus,
sehingga didapatkan nilai LD50 lebih besar dari 6.000 mg/kg bb. Bahan
yang mengandung Paederia scandes tersebut digolongkan sebagai
bahan Praktis tidak toksik. Hasil pengujian toksisitas ekstrak Rock
oyster yang di campurkan ke dalam pakan pakan standar untuk hewan
uji, yang tidak memberikan efek toksik terhadap hewan uji hampir
sama dengan hasil penelitian Mutaqin (2009) yang melakukan
pengujian toksisitas kerang Mas Ngur dengan analisis sidik ragam
antar kelompok perlakuan menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (p >
0.05), akan tetapi cenderung ditemukan gejala klinis pada perlakuan
dosis tinggi (D/4), yaitu terjadi penurunan berat badan pada minggu ke-
6 masa pemeliharaan dan di saat panen capaian berat badan tikus paling
rendah di bawah kontrol dan kedua perlakuan lainnya. Gejala klinis
perubahan berat badan tikus yang tidak normal pada dosis tersebut
harus menjadi satu perhatian khusus.

Hasil ini juga dikuatkan oleh Pratama (2017) bahwa dengan
pengujian LD50 dan tidak terdapat perubahan gejala klinis yang
signifikan serta tidak terdapat kematian terhadap hewan uji, maka
ekstrak Rock oyster tidak mengandung toksik. Dalam pengujiannya
Pratama (2017) menemukan bahwa hasil uji toksisitas ekstrak dari
ekstrak dua jenis Gastropoda, yaitu L.scabra dan T.sulcata
menunjukkan bahwa ekstrak L.scabra memiliki nilai 415,58 μg/mL dan
nilai dari ekstrak T.sulcata bernilai 565,52 μg/mL. Hal ini menunjukkan
konsentrasi ekstrak dari L.scabra sebesar 415,58 μg/mL akan
menyebabkan kematian larva A.salina sebesar 50% dan ekstak dari
T.sulcata sebesar 565,52 μg/mL akan menyebabkan kematian larva

[79]

A.salina sebanyak 50%. Sehingga dapat diketahui bahwa ekstrak dari
L.scabra memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak
dari T.sulcata.

PENUTUP

Sebagai bagian akhir dari tulisan ini beberapa kesimpulan dapat
dibuat sebagai berikut: (1) Melalui aplikasi remote sensing dapat
diperoleh parameter lingkungan risiko Geohelminths secara cepat dan
akurat. Melalui aplikasi SIG dapat dihasilkan Peta Risiko Populasi
Telur dan larva STH dan Peta Risiko Prevalensi Infeksi STH pada
penduduk di satuan lahan permukiman perdesaan Pulau ambon.
Populasi telur dan larva STH di satuan lahan aluvial berbeda dengan
brunisem, gleisol, kambisol, litosol, podsolik dan rensina. Perbedaan
dipengaruhi oleh perakaran, rata-rata total indeks pertumbuhan telur
Cacing kait di tanah, kebiasaan defekasi, kelas tekstur tanah, pH.H2O,
porositas, kandungan bahan organik tanah, kadar air lapang,
permeabilitas, rata-rata total indeks pertumbuhan telur T. trichiura di
tanah dan, rata-rata total indeks pertumbuhan telur A. Lumbricoides.
(2) Hasil sharing peneliti dengan ibu-ibu responden di negeri negeri
yang ada di Pulau Ambon dusun Hurnala Negeri Tulehu Kecamatan
Salahutu dan ibu-ibu negeri Wakal Kecamatan Leihitu Kabupaten
Maluku Tengah berhasil teridentifikasi 4 bahan obat cacing lokal yang
diperoleh dari lingkungan sekitar. Obat-obat cacing tradisional tersebut
selama ini sudah dipergunakan sejak lama secara turun temurun dari
orang tua mereka. (3) Hasil uji aktivasi Laboratorium terhadap 4 bahan
dasar obat yang secara turun temurun sering dipergunakan masyarakat
pesisir dalam mengobati kecacingan anggota keluarga mereka,
menunjukkan bahwa daun Paederia scandes (kentut-kentut) memiliki
spektrum luas dalam mengatasi kecacingan (infeksi oleh
Geohelminths), disusul oleh Crassostrea (Rock oyster), kulit pohon
Plumeria acuminate (kamboja) dan biji Leucaena leucocephala
(Lamtorogung). Hal mana ditandai dengan besar kecilnya nilai Indeks
DGR baik untuk telur dan larva Hookworm, telur Ascaris lumbricoides,

[80]

maupun Trichuris trichiura. (4) Hasil Uji toksisitas, tidak terdapat
hewan uji yang menunjukkan gejala klinis yang abnormal selama 13
hari pengamatan baik untuk kelompok perlakuan maupun kelompok
kontrol. Tidak terdapat hewan uji yang mati baik untuk kelompok
perlakuan maupun untuk kelompok kontrol. Apabila tidak
menimbulkan kematian hewan uji pada dosis maksimal yang dalam
penelitian ini dipergunakan dosis 2000 mg/kgBB ekstrak Paederia
scandes, Plumeria acuminate, Leucaena leucocephala, maka LD50
dinyatakan dengan LD50 semu karena LD50 yang didapat bukan
merupakan LD50 yang sesungguhnya. Hasil ini tidak dapat digolongkan
sebagai bahan yang toksik menurut kriteria Loomis (1996), karena
dalam kriteria Loomis disebutkan bahwa apabila pada dosis maksimal
tidak menimbulkan kematian pada hewan coba, maka senyawa tersebut
praktis tidak toksik.

[81]

DAFTAR PUSTAKA

Achmad H, Mardihusodo S J, Sutanto, Hartono, dan Kusnanto H.,

2003. Estimasi Tingkat Intensitas Penularan Malaria Dengan

Dukungan Penginderaan Jauh (Studi Kasus di Daerah Endemis

Malaria Pegunungan Manoreh Wilayah Perbatasan Provinsi

Jawa Tengah dan Istimewa Yogyakarta), The Indonesian

Journal of Health Ecology, 2(1) April 2003.

Alfonso J, and Morales R., 2006. Link between Public Health Policy

and Ecoepidemiology in the Integrated Control of Publicc

Health Problems: the Example of Malaria in Venezuela,

Sociedad Cientifica de Estudianted de Mediciana de la UCV,

Google, http://www.geocities.com/

actacientificaestudiantil2/39_2006.pdf, download 16/05/ 2006

Andrew C. Kotze, Peter Steinmann, Hui Zhou, Zun-Wei Du, and Xiao-

Nong Zhou. 2011. The Effect of Egg Embryonation on Field-

Use of a Hookworm Benzimidazole-Sensitivity Egg Hatch
Assay in Yunnan Province, People‟s Republic of China, PLOS

Neglected Tropical Diseases 5(6), e1203.

Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia., 2014.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pedoman

Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo, Download 22/02/2018

Barbosa C S, Pieri O S, da Silva C B, and Barbosa F S., 2000.

Ecoepidemiology Of Urban Schistosomiasis in Itamaraca

Island Pernamboco Brazil, Rev Saude Publica, PIMD:
10973151 [PubMed–indexed for MEDLINE], Download

16/09/2006

Bhisma M., 1997. Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi, Gadjah

Mada University Press, Yogyakarta

Brooker S, Simon I, Hay, Tchuente L A, and Ratard R., 2002. Using
NOAA – AVHRR, Data To Model Human Helminth

Distributions in Planning Disease Control In Cameroon, West

[82]

Africa, Photogrammetric Engineering and Remote Sensing
.68(2),175-179
Brooker S, and Michael E., 2004. Spatial Analysis Of The Distribution
Of Intestinal Nematode Infections In Uganda, Epidemiol Infect.
132(6): 1065–1071.
Brooker S, Alexander N, Geiger S, Moyeed R A, Stander J, Fleming F,
Hotez P J, Oliviera R C, and Bethony J., 2006. Contrasting
patterns in the small-scale heterogeneity of human helminth
infections in urban and rural environments in Brazil,
International Journal for Parasitology. 36 (2006) 1143-1151.
Brooker S., 2006. Spatial Epidemiology of Human Schistosomiasis In
Afrika: Risk Model, Transmission Dynamic and Control,
Transactions of The Royal Society of Tropical Medicine and
Hygiene, 101(1). 1–8.
Brooker S, Clements A C A, and Bundy D A P., 2006. Global
Epidemiolgy, Ecology, and Control of Soil Transmitted
Helminth Infections, Advances In Parasitology, 62, 221-261
Baro-Rasmussen F, and Lokke H., 1984. Ecoepidemiology a Casuistic
Discipline Describing Ecological Disturbances and Damages
In Relation to Their Specific Cauces: Exemplified By
Clorinated phenols an Chlorophenoxy acid, Regul. Toxicol.
Pharmacol. 4(4),391.
Buckman H O, dan Brady N C., Terjemahan Soegiman, 1982. Ilmu
Tanah, Bharatara Karya Aksara, Jakarta
Danoedoro P., 1997. Spatial Modeling For Health Studies Contribution
Of Remote Sensing And Geographic Information Systems In
Hendling Health Problems, Makalah, Disampaikan Pada
Seminar Nasional Penginderaan Jauh Untuk Kesehatan
Pemantauan Dan Pengendalian Penyakit Terkait Lingkungan,
Fakultas Kedokteran. UGM, Yogyakarta
Darelanko, Michael J, Hollinger, and Mannfred A., 1995. Handbook of
Toxicology. 2nd edition. CRC Press.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 2006. Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 424/MENKES/SK/VI/2006 Tanggal 19 Juni
2006, Pedoman Pengendalian Cacingan, Jakarta, Indonesia

[83]

Doyle, A., and Griffiths J.B., 2000. Cell and Tissue Culture for Medical
Research, Chichester: John Wiley & Sons.

Dulbahri, 1997. Pemanfaatan Foto Udara Untuk Diteksi Potensi
Sumber Penyebaran Penyakit Di Dalam Kota, Makalah,
Disampaikan Pada Seminar Nasional Penginderaan Jauh Untuk
Kesehatan Pemantauan Dan Pengendalian Penyakit Terkait
Lingkungan, Fakultas Kedokteran. UGM, Yogyakarta

Ehler, V., M, and Ernest W S., 1958. Municipal and Rural Sanitation.
5th edition, Tokyo: Mc Graw-Hill Book Company-Inc

Etewa SE, Abdel-Rahman SA, Abd El-Aal NF, Fathy GM, El-Shafey
MA, and Ewis AM., 2006. Geohelminths Distribution as
Affected by Soil Properties, Physicochemical Factors and
Climate In Sharkyia Governorate Egypt, Journal Parasit
Dis. 40(2):496-504.

Hugo C. Turner, James E. Truscott, Alison A. Bettis, Kathryn V.
Shuford, Julia C. Dunn, T. Déirdre Hollingsworth, Simon J.
Brooker and Roy M. Anderson, 2015. An economic evaluation
of expanding hookworm control strategies to target the whole
community, Parasites & Vectors, 5(8), 570

Jacobson-Kram, and Keller K. A., 2006. Toxicological Testing
Handbook: Principles, Aplication, and Data Interpretation, 2nd
Edition, CRC Press, Washington DC.

Kumar R., 1996. Research Methodology A Step-By-Step Guide For
Beginners, Sage Publication, New Delhy

Lauren Steinbaum, Sammy M. Njenga, Jimmy Kihara, Alexandria B.
Boehm, Jennifer Davis, Clair Null, and Amy J. Pickering.
2016. Soil-Transmitted Helminth Eggs Are Present in Soil at
Multiple Locations within Households in Rural Kenya, PLoS
ONE, 11(6): e0157780.

Liya M. Assefa, Thomas Crellen, Stella Kepha, Jimmy H. Kihara,
Sammy M. Njenga, Rachel L. Pullan, and Simon J. Brooker.
2014. Diagnostic Accuracy and Cost-Effectiveness of
Alternative Methods for Detection of Soil-Transmitted
Helminths in a Post-Treatment Setting in Western Kenya,
PLOS Neglected Tropical Diseases, 8(5), e2843.

[84]

Loomis TA., 1996. Essential of toxicology. 4rd edition, The Gillette
Company, Boston, Massachusetts Philadelpia: Lea & Febiger,
USA.

Mardihusodo S J., 1997. Sambutan Ketua Panitia Seminar Nasional
Penginderaan Jauh Untuk Kesehatan Pemantauan Dan
Pengendalian Penyakit Terkait Lingkungan, Fakultas
Kedokteran UGM, Yogyakarta

Mulyadi K., 1997. Teknologi Satelit Penginderaan Jauh Di Indonesia,
Makalah, Disampaikan Pada Seminar Nasional Penginderaan
Jauh Untuk Kesehatan Pemantauan Dan Pengendalian Penyakit
Terkait Lingkungan, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta

Mustaqim A.M., 2006. Pengujian Toksisitas Kerang Mas Ngur
(Atactodea striata), Tesis, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Pratama D.A. 2017. Uji Koksisitas Ekstrak Gastropoda Spesies
Littorina scabra Dan Terebralia sulcuta Dari Pulau Payung
Muara Sungai Musi Sumatera Selatan, Skripsi, Program Studi
Ilmu Kelautan Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Sriwijaya, Palembang Sumatera Selatan

Purobi Nath, Arun K Yadav., 2016. Anthelmintic Activity Of A
Standardized Extract From The Rhizomes of Acorus Calamus
Linn. (Acoraceae) Against Experimentally Induced Cestodiasis
In Rats. Journal of Intercultural Ethnopharmacology, 5(4), 1-6.

Redbook FDA, 2000. Chapter IV.C.9.b: Guidelines for Developmental
Toxicity Studies, FDA, Download 22/02/2018

Salakory M., 1996. Pengaruh Bentang Alam Dan Budaya Penduduk Di
Pegunungan Dan Di Pantai Terhadap Prevalensi Infeksi
Penyakit Cacing Yang Penularannya Melalui Tanah, Tesis,
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya

Salakory M., 2010. Dinamika Populasi Telur Dan Larva Soil
Transmitted Helminths Di Tujuh Jenis Tanah Dalam Kondisi
Kering, Lembab, Basah, Disertasi, Program Doktor FK. UGM,
Yogyakarta

Salakory M., 2011. Kontrol Dinamika Populasi Soil Transmitted
Helminths Di Satuan Lahan Endemis Pulau Ambon Melalui

[85]

Penggunaan Teknologi Remote Sensing dan SIG Serta
Pengembangan Sistem Informasi Lingkungan Risiko, Laporan
Penelitian Hibah Bersaing, LPPM Dikti
Salakory M., Tetelepta E., Riry R, 2013. Strategi Penanggulangan
Geohelminths Di Satuan Lahan Endemis Pesisir Perdesaan
Pulau Ambon, Laporan Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi,
Universitas Pattimura, Ambon.
Salakory M., 2017. Pemetaan Risiko Endemis Soil Transmitted
Heliminths (STH) Di Satuan Lahan Daerah Perbatasan Pulau
Ambon Serta Upaya Penanggulangan Berbasis Local Wisdom,
Laporan Penelitian Fundamental Tahun I, DIPA FKIP Unpatti
Tahun 2017, Unpatti Ambon
Sutanto, 1997. Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis
Perkembangan Mutakhir Dan Terapannya, Makalah,
Disampaikan Pada Seminar Nasional Penginderaan Jauh Untuk
Kesehatan Pemantauan Dan Pengendalian Penyakit Terkait
Lingkungan, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta
Swanson, R. A., and Holton III E F., 2005. Research In Organizations
(Foundation and Methods of Inquiry), Berrett-Koehler
Publishers, Inc, San Francisco
U.S. Environmental Protection Agency, 1996. Health Effects Test
Guidelines OPPTS 870.3100.90-Day Oral Toxicity, EPA,
Download 22/02/2018
Wikantika, K., Y.P. Utama, and A. Riqqi, 2005, Detection of
vegetation changes using spectral mixture analisis from
multitemporal data of Landsat-TM and ETM, Journal of
Infrastructure and Built environment, 1(2), 11-21.
World Health Organization, 2000. Principle of Testing of Dug of
Teratogenecity, WHO Tech. Rep. 364, Geneva, WHO,
Download 22/02/2018
World Health Organization, 1998. Teratogenicity Study. Geneva;
http://ecb.jrg.it/Document/testing-method/annexv B31, diakses
tanggal 14 Mei 2009, Download 22/02/2018.
-------., 2005. Panduan Dan Buku Kerja Parktikum Parasitologi
Kedokteran I (Prozoologi Kedikteran dan Helmintologi

[86]

Kedokteran), Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran UGM,
Yogyakarta.

[87]

[88]

BAB IV Pemanfaatan Daging Pala Pada
Usaha Kecil Menengah (Ukm)
Hunilai Di Dusun Toisapu Desa
Hutumuri

Marcy Lolita Pattiapon1, Esther Kembauw2
1Fakultas Teknik Jurusan Teknik Industri Program Studi Teknik Industri,

Universitas Pattimura
2Fakultas Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Program Studi Agribisnis,

Universitas Pattimura

PENDAHULUAN

Pohon pala (Myristica fragrans) merupakan pohon penghasil
rempah-rempah dengan nilai ekonomi yang tinggi. Sejak
dahulu komoditi pala sudah terkenal sampai manca-
negara. Bagian dari komoditi ini yang dimanfaatkan adalah buahnya
yang terdiri dari daging buah, kulit biji dan bijinya. Pohon pala
produktif pada umur 7–9 tahun dan dapat tumbuh hingga ketinggian 20
meter. Pala merupakan salah satu komoditas ekspor yang penting
karena Indonesia merupakan negara pengekspor biji pala terbesar
(sekitar 60%) ke pasar dunia.
Pala juga merupakan komoditas ekspor yang mempunyai prospek
yang baik karena akan selalu dibutuhkan secara kontinyu baik dalam
industri makanan, minuman, obat-obatan dan lain-lain. Kebutuhan pala
dalam negeri sampai saat ini cukup tinggi. Bubuk pala biasanya dipakai
sebagai penyedap untuk roti atau kue, puding, saus, sayuran dan
minuman penyegar, selain itu pala juga mengandung minyak atsiri yang
biasanya dipakai sebagai campuran parfum atau sabun (Nurdjannah,
2007). Pohon pala merupakan salah satu jenis tanaman yang dari
sosoknya terlihat sebagai tanaman toleran yang dapat tumbuh baik
dibawah naungan pohon lain.

[89]

Pala merupakan tanaman rempah asli kepulauan Maluku yang
telah diperdagangkan dan dibudidayakan secara turun temurun dalam
bentuk perkebunan rakyat disebagian besar kepulauan Maluku. Produk
pala Indonesia termasuk unggul di pasar dunia karena memiliki aroma
yang khas dan rendemen minyak yang tinggi. Tanaman pala
mempunyai nilai historis yang melekat dengan masyarakat Maluku.
Rumphius ada tahun 1743 menyatakan bahwa Tuhan yang bijaksana
dalam memberikan kekayaan telah memperuntukan tanaman pala dan
cengkeh bagi Maluku. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dunia mengenal
Maluku dari hasil pala dan cengkeh. Sistem tata niaga pala dan cengkeh
telah tertata dengan baik pada zaman V.O.C, sehingga pala bisa
memberikan kontribusi terhadap pendapatan yang signifikan bagi
negeri Belanda. Dalam kurun waktu 5 tahun (1633-1638), total ekspor
pala dan fuli dari pulau Banda saja, dapat mencapai angka yang
fantastis yakni sebanyak 3.097.209 pounds biji pala dan 890.754
pounds fuli.

Berdasarkan data BPS Maluku tahun 2006, pertanaman pala rakyat
di Maluku ada 9948 ha, yang diusahakan 15.056 KK dengan produksi
1998 ton. Komposisi tanaman pala rakyat ini terdiri dari 2771 ha
(27,85%) tanaman belum menghasilkan (TBM); tanaman sudah
menghasilkan (TM) 4451 ha (44,74%), dan 2726 ha (27,40%) tanaman
tua atau rusak (TTR). Pemasaran pala rakyat di Maluku belum tertata
dalam satu sistem pemasaran karena belum ada lembaga yang
menangani pemasaran pala secara khusus. Petani masih bebas menjual
hasil pala pada pedagang pengumpul di desa atau di kota kecamatan
dan pedagang pengumpul kecamatan menjual di Kabupaten atau di kota
Provinsi. Sistem pemasaran seperti ini, menyebabkan harga pala di
tingkat petani menjadi rendah. Transportasi masih merupakan kendala
utama dalam pemasaran hasil pala. Umumnya prasarana jalan dan
jembatan menghubungkan sentra-sentra produksi pala sebagian besar
belum terbangun, sehingga biaya usahatani menjadi tinggi dan harga
jual kurang bersaing. Kondisi ini yang mengakibatkan pemasaran
cenderung monopoli dan pembelian di dominasi sistem ijon yang
merugikan petani. Kendala lain pengembangan agribisnis pala di

[90]

Maluku yakni belum adanya pelabuhan kapal pada tititk sentra
produksi.

Pertanian pala baik di masyarakat maupun perusahaan perkebunan,
merupakan hasil perbanyakan asal biji (generatif) sehingga masalah sex
ratio tidak dapat diatur dari awal pertanaman dan bibit yang digunakan
adalah yang terdiri dari daging buah, biji pala (22,5 kg) dan fuli (3 kg).
Hasil proksimat analisis kimia dari buah pala adalah kadar air (83%),
protein (0,28%), lemak (0,28%), pektin (6,87%) dan minyak pala (7-
15%). Menurut Marzuki (2007) bila dari minyak pala tersebut diproses
kimia lebih lanjut, akan di hasilkan lemak/mentega (8,05%), 16
komponen terpenoid (73,91%) dan 8 komponen aromatik (18,04 %).
Komponen utama dari senyawa aromatik tersebut adalah Miristin. Nilai
ekonomi pala saat ini pada pedagang di Maluku untuk biji pala kering
Rp.30.000-40.000/kg, fuli kering Rp.50.000/kg dan minyak pala (Crude
Nutmeg Oil) Rp. 300.000/kg.

Potensi lahan yang masih tersedia untuk pengembangan tanaman
perkebunan termasuk pala berdasarkan pendekatan AEZ (Agro Ekologi
Zona) di Provinsi Maluku, mencapai 871.656 ha yang tersebar di
beberapa kabupaten seperti; Maluku Tengah (531.671 ha), Buru
(32.283 ha), Maluku Tenggara (62.019 ha), Aru (253.337 ha), dan
Maluku Tenggara Barat mencapai 10.346 ha (Irianto et al., 1998;
Riewpassa et al., 1998). Indonesia memiliki sumberdaya genetik pala
yang besar dengan pusat keragaman tanaman berada di Kepulauan
Maluku. Keragaman tanaman tertinggi ditemukan di Pulau Banda, Siau,
dan Papua (Hadad dkk, 1990). Dari enam jenis pala di Maluku (yaitu
Myristica fragranst, argentea Ware, fattua Houtt, specioga Ware,
Sucedona BL, dan malabarica Lam) yang memiliki arti ekonomis
penting adalah fragrans. Populasi dan penyebaran menurut masing-
masing varietas tersebut belum terdokumentasi dengan baik dan dapat
diketahui dengan pasti, Keragaman varietas tersebut merupakan
jaminan sumber genetik pala yang sangat berharga untuk
pengembangan ke depan. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur
Jenderal Perkebunan No. KB. 010/42/SK/DJ.BUN/ Prospek dan
Strategi Pengembangan Pala di Maluku (SJAHRUL BUSTAMAN,
2008) 719/1984, Tanggal 22 September 1984, telah ditunjuk dan

[91]

ditetapkan PT. Perkebunan Pala Banda (di Kepulauan Banda) dan
Perkebun-an Pala Rakyat (di Desa Mamala dan Hila Maluku Tengah),
sebagai pengelola sumber benih unggul pala di Maluku dengan
kapasitas pohon induk masing-masing sebanyak 4.800 pohon dan 115
pohon.

JENIS-JENIS TANAMAN PALA

Di Indonesia dikenal beberapa jenis pala, yaitu:
1. Myristica fragrans, yang merupakan jenis utama dan mendominasi

jenis lain dalam segi mutu maupun produktivitas. Tanaman ini
merupakan tanaman asli pulau Banda.
2. M. argenta Warb, lebih dikenal dengan nama Papuanoot asli dari
Papua, khususnya di daerah kepala burung. Tumbuh di hutan-
hutan, mutunya dibawah pala Banda.
3. M. scheffert Warb. terdapat di hutan-hutan Papua.
4. M. speciosa, Terdapat di pulau Bacan. Jenis ini tidak mempunyai
nilai ekonomi.
5. M. succeanea, terdapat di pulau Halmahera. Jenis ini tidak
mempunyai nilai ekonomi.
Tanaman pala (Myristica fragrans) adalah tanaman daerah tropik
yang memiliki 200 spesies, dan seluruhnya tersebar di daerah tropis,
dalam keadaan pertumbuhan yang normal, tanaman pala memiliki
mahkota yang rindang, dengan tinggi batang 10-18 m. Mahkota
pohonnya meruncing ke atas dengan bagian paling atasnya agak bulat
serta ditumbuhi daunan yang rapat. Daunnya berwarna hijau mengkilat,
panjangnya 5-15 cm, lebar 3-7 cm dengan panjang tangkai daun 0,7-1,5
cm (Departemen Pertanian, 1986). Klasifikasi tanaman adalah sebagai
berikut (Departemen Pertanian, 1986).

[92]


Click to View FlipBook Version