The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan demi Memutus Rantai Impunitas.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by igodigital, 2017-02-09 22:12:34

Menemukan Kembali Indonesia

Memahami Empat Puluh Tahun Kekerasan demi Memutus Rantai Impunitas.

Keywords: Menemukan Kembali Indonesia

POLA KEKERASAN 339

perwira Angkatan Darat yang menurut pers adalah pelaku perkosaan tersebut.
Sampai hari ini, pemerkosa Sum Kuning masih gelap.407

Secara umum, terjadi intervensi negara yang sangat kuat terhadap pelaksanaan
kekuasaan kehakiman yang seharusnya independen. Intervensi negara dilakukan
baik melalui produk perundang-undangan seperti UU Nomor 14 Tahun 1970 maupun
intervensi terhadap proses peradilan. Intervensi di tingkat proses peradilan tampak
sekali dengan keterlibatan aparat intel militer, mulai dari proses penangkapan
sampai penempatan tersangka di rumah tahanan militer, sekalipun yang
bersangkutan adalah warga negara sipil yang tunduk pada hukum pidana umum,
bukan hukum pidana militer. Intervensi militer dalam mata rantai proses hukum
memberi bukti kuat pembelengguan kekuasaan kehakiman, karena militer memang
mesin politik represif yang ampuh bagi rezim Orde Baru di bawah Suharto.

C. Hukum pada Masa Transisi: 1998-2005

Reformasi tahun 1998 yang menandai komitmen baru dalam tataran kehidupan
ketatanegaraan di Indonesia, membuka sejumlah tuntutan perubahan. Berbagai
tuntutan tersebut di antaranya pergantian kepemimpinan nasional, tuntutan
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, reformasi politik dan ekonomi, dan
dihapuskannya dwi fungsi ABRI dan penyingkiran militer dari ruang sosial, ekonomi,
dan politik. Tuntutan lain adalah keadilan dari para korban pelanggaran HAM yang
terjadi selama pemerintah Orde Baru.

Sejak tahun 1998, sejalan dengan pergantian kepemimpinan, terbentuk kebijakan
untuk mendorong upaya-upaya pemenuhan keadilan dan arah pembangunan
demokrasi di Indonesia. Secara bertahap, terbentuk berbagai kebijakan yang
memberikan arah baru bagi masa depan Indonesia. Salah satu perubahan
fundamental adalah adanya amandeman UUD 1945, Ketetapan MPR, dan sejumlah
UU yang yang telah memperkuat landasan prinsip-prinsip demokrasi, negara
hukum, dan perhormatan terhadap HAM.

Komitmen kebangsaan tentang arah pembangunan Indonesia telah dituangkan
dalam 4 kali amandemen, di antaranya memberikan pemenuhan hak-hak asasi
manusia dalam UUD 1945, dan dalam berbagai Ketetapan MPR, antara lain
Ketetapan MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia, Ketetapan MPR No.
V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, serta Ketetapan
MPR No. VII Tahun 2011 tentang Visi Indonesia Masa Depan. Berbagai Ketetapan

407 “Studi Kasus 81: Pemerkosaan dan Pengadilan yang Tidak Adil terhadap Sumarijem (Sum Kuning), Yogyakarta”,
Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

340 MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

tersebut telah jelas menunjukkan arah dan agenda reformasi untuk menuju
Indonesia yang demokratis, menjunjung tinggi hukum, dan menghormati HAM.

Melihat paradigma hukum di masa reformasi, terdapat keinginan untuk mewujudkan
supremasi hukum dengan sasaran “terciptanya harmonisasi peraturan perundang-
undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan”.
Hal ini tertuang dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-
2004, yang dijabarkan dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan
Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM). Pada tahun 2000,
terbentuk UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
periode 2000-2004.

Dalam periode 1999- 2003 terbentuk 175 UU (tahun 1999 ada 66 UU, tahun 2000 ada
38 UU, tahun 2001 ada 22 UU, tahun 2002 ada 33 UU dan 2003 [sampai Oktober] ada
26 UU). Pada periode ini, terbentuk sejumlah regulasi yang signifikan, terkait dengan
HAM, di antaranya UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 26/2000 tentang Pengadilan
HAM, dan ratifikasi instrumen internasional HAM, yakni Kovensi Anti Penyiksaan
(CAT) tahun 1998 dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) tahun 1999.
Demikian pula pada periode 2004-2005, terbentuk UU No. 27/2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, perubahan UU
Kekuasaan Kehakiman yan memisahkan tegas kekuasaan eksekuti dan yudikatif
untuk memastikan kemandirian peradilan, dan ratifikasi 2 kovenan HAM, yakni
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Namun, dalam proses tersebut juga terjadi tarik-menarik dalam menentukan arah
dan paradigma pembangunan hukum nasional. Pada awal reformasi, tidak terjadi
perubahan berarti dalam praktik politik dan orientasi kekuasaan di masa Orde Baru
maupun sesudahnya, karena orientasi utama masih pada usaha memperebutkan
kekuasaan dan bukannya efektivitas penggunaan kekuasaan. Juga secara substantif
praktik politik di era reformasi masih berorientasi kepada kepentingan negara dan
belum bergerak ke arah kepentingan masyarakat sipil. Dalam menentukan skala
kepentingan misalnya, keutuhan teritorial negara jauh lebih penting ketimbangan
keutuhan sosial masyarakat sipil, yang tecermin dalam penentuan masalah
separatisme GAM di Aceh dinilai jauh lebih gawat dan berbahaya bagi negara
dibandingkan dengan masalah disintegrasi sosial yang terjadi di Maluku, Poso, dan
Kalimantan Barat yang mengakibatkan terjadinya konflik komunal dan menimbulkan
korban jiwa yang cukup banyak.

Oleh karena itu, kekerasan di Aceh terus terjadi, misalnya penyerangan terhadap
pesantren yang dikelola oleh Tengku Bantaqiah di Beutong Ateuh pada tahun 1999.
Kasus ini dibawa ke pengadilan koneksitas yang digelar di Banda Aceh yang
menjatuhkan hukuman terhadap 24 anggota TNI dan seorang warga sipil dengan

POLA KEKERASAN 341

dengan tuduhan melakukan penembakan “dalam keadaan terpaksa”. Kejahatan yang
dilakukan dikategorikan sebagai kejahatan biasa dan bukannya kejahatan HAM yang
berat. Proses peradilan yang hanya berakhir dengan divonisnya para pelaku
lapangan yang melakukan pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah dan para
santrinya, tanpa terbongkarnya motif peristiwa, dan pelaku yang paling bertanggung
jawab atas peristiwa tersebut.408 Pada tahun 2003, terjadi penetapan status Darurat
Militer di Aceh melalui Keppres No 28/2003 yang mulai berlaku pada 19 Mei 2003
yang didasarkan pada UU No 23/1959 tentang Negara dalam Keadaan Darurat.
Demikian juga terjadi berbagai peristiwa kekerasan di Papua, di antaranya
pembunuhan tokoh politik di Papua, Theys H. Eluay.

Masih Tuntutan untuk dihapuskannya dwi fungsi ABRI secara
ada berbagai formal telah terjadi, dengan adanya kebijakan

instrumen hukum pemisahan Kepolisian dan TNI yang diwujudkan dalam

UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dan UU No.

yang memberikan 34 Tahun 2004 tentang TNI. Namun, masih ada

kekuatan lain berbagai instrumen hukum yang memberikan

kepada militer kekuatan lain kepada militer Indonesia untuk tetap

Indonesia untuk bertindak dan terbebas dari tanggung jawab hukum,

tetap bertindak misalnya belum ada perubahan dalam konsep

dan terbebas dari peradilan militer untuk mengadili kasus-kasus

tanggung jawab kejahatan yang dilakukan oleh para anggota militer.
hukum. Dengan kekhususan dalam sistem peradilan ini,
mereka bisa terbebaskan dari tuntutan peradilan sipil/

umum, mendapatkan sanksi hukum yang sering kali

jauh lebih ringan, dan dengan sistem peradilan yang sepenuhnya dikontrol oleh

militer. Militer masih meletakkan dirinya sebagai golongan istimewa di Indonesia

dengan dominasi yang hingga kini terus dipertahankan, dan hal ini juga menjadi

salah satu dasar langgengnya impunitas.

Dalam bidang ekonomi, pembentukan hukum nasional masih tidak bisa lepas dari
pengaruh lembaga-lembaga keuangan internasional, misalnya IMF dan Bank Dunia.
Perubahan dan pembentukan kebijakan dilakukan dengan dipengaruhi atau
berdasarkan pada kesepakatan yang tertuang dalam berbagai Letter of Intent (LoI)
Indonesia ke International Financial Institutions (IFIs), lembaga semacam IMF.
Kebijakan-kebijakan tersebut di antaranya kebijakan privatisasi dengan adanya
‘perubahan struktural’ untuk mempromosikan transparansi dan kompetisi yang
meningkatkan pertumbuhan, privatisasi perusahaan-perusahaan Negara dengan
target penjualan berbagai BUMN, mereformasi fiskal, termasuk pembenahan sistem

408 “Studi Kasus 92: Pembantaian Tengku Bantaqiah dan Murid-Muridnya di Beutong Ateuh, Aceh Barat”, Narasi
Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.

342 MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

pajak, sistem perbankan, termasuk penyusunan rencana pemerintah untuk
mengakselerasi privatisasi bank-bank milik negara. Di samping itu, pemerintah juga
merancang program pengurangan subsidi produk minyak bumi dan listrik, termasuk
pengurangan subsidi bagi para petani.

Pembangunan hukum yang terlihat adalah produk dari seperangkat sistem yang
mempromosikan liberalisasi ekonomi, privatisasi, dan ide-ide dasar perdagangan
bebas yang dimotori lembaga keuangan internasional. Negara telah mengemban
peran politik-ekonomi yang besar untuk mengatur segala urusan masyarakat agar
berkesesuaian dengan kebijakan IFIs. Hal inilah yang lebih dominan mewarnai
pembentukan hukum selama peridoe awal reformasi daripada perumusan kembali
gagasan-gagasan untuk menyejahterakan dan memberikan rasa aman kepada
masyarakat.

Beberapa UU sudah diperbaharui dengan tetap memelihara semangat memfasilitasi
eksploitasi dengan investasi skala besar, ketimbang membela rakyat banyak dan
lingkungan hidup. Hal ini terlihat dalam pengesahan sejumlah UU di antaranya, UU
Perkebunan, UU Sumber Daya Air, dan UU Pertambangan di Kawasan Lindung, UU
Perikanan, dan sebagainya. Baik substansi maupun praktik implementasinya di
lapangan telah menjadi alat pembenaran bagi upaya “pembangunan” yang memeras
kekayaan alam.409

D. Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu dan
Masalah Impunitas

Sebagaimana disinggung sebelumnya, pada awal reformasi dan hingga hari ini,
tuntutan keadilan terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu terus
mengemuka. Publik dan para korban menuntut adanya pertanggungjawaban atas
sejumlah kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di era Orde Baru, misalnya
Peristiwa 1965 dan sesudahnya, kasus kekerasan di Aceh dan Papua, Tanjung Priok
1984, Talangsari, Lampung 1989, penghilangan paksa 1997-1998, kasus Semanggi I
dan II, pembunuhan Marsinah dan Muhammas Safruddin (Udin), kasus Timor Timur,
kasus Kedung Ombo, sederet kasus pertanahan, perburuhan, dan lain-lain.

Sampai hari ini belum banyak yang terungkap sejauh mana negara maupun pelaku
pelanggaran HAM masa lalu dapat dimintai pertanggungjawabannya atas sejumlah
kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di era Orde Baru maupun sesudahnya.

409 Usep Setiawan, “Warisan Otoritarianisme di Lapangan Agraria: Praktik-Praktik Penguasaan dan Pengelolaan
Agraria di Indonesia”, makalah disampaikan dalam Konferensi Warisan Otoritarianisme
bertema“Mempertanyakan Transisi: Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia”, diselenggarakan oleh
ELSAM, PUSDEP Universitas Sanata Dharma, dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), 17-19 November
2005, di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

POLA KEKERASAN 343

D.1. Kemandekan Mekanisme Hukum

Di luar kebijakan strategis yang bersifat jangka panjang, pemerintah periode awal
reformasi mengambil langkah untuk mendorong akuntabilitas hukum bagi kasus-
kasus pelanggaran HAM masa lalu. Langkah ini diawali dengan membentuk Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki peristiwa kerusuhan 13-15 Mei
1998, oleh pemerintahan Habibie di tahun 1998. Dalam laporannya, TGPF
menyimpulkan adanya tindakan kejahatan HAM dalam peristiwa kerusuhan Mei
1998. Presiden Habibie juga mengeluarkan Keputusan Presidan (Keppres) No. 88
Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Indepeden Pengusutan tindak kekerasan
di Aceh, untuk melakukan penyelidikan atas dugaan telah terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia selama penerapan daerah operasi militer (DOM) dan
pembunuhan Tengku Bantaqiah.410 Tercatat, selama periode 1999-2004 terdapat 13
penyelidikan resmi terhadap pelanggaran HAM berat. Sepuluh penyelidikan
dilakukan oleh Komnas HAM, dan lainnya melalui komisi-komisi yang ditunjuk oleh
presiden maupun parlemen.411

Dari serangkaian peristiwa yang diselidiki, salah satunya yang akhirnya diajukan ke
pengadilan adalah kasus penyerangan di Beutong Ateuh tahun 1999 melalui
peradilan koneksitas. Peradilan ini mempunyai kecatatan serius karena penyerangan
tersebut merupakan bagian dari strategi operasi militer di Aceh dengan tujuan
mengintimidasi dan meneror penduduk sipil sehingga seharusnya ditempatkan
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan diadili di pengadilan militer.
Persidangan koneksitas digelar pada April 2000 dengan menghadirkan dua pejabat
militer dan tiga warga sipil, serta 24 terdakwa berpangkat rendah, dan gagal
menghadirkan komandan dalam penyerangan tersebut.412

Penggunaan peradilan koneksitas juga terjadi dalam kasus penyerangan kantor PDI
pada tahun 1997. Para terdakwa yang diajukan ke pengadilan adalah sejumlah warga
sipil dan perwira rendah dari militer dan kepolisian, meski dalam penyelidikan
sebelumnya terdapat nama-nama perwira militer dan polisi yang harus bertanggung
jawab. Pengadilan ini menghukum ringan para terdakwa, tanpa sanggup menyentuh
komandan militer dan polisi sebagaimana yang disebutkan dalam laporan
penyelidikan sebelumnya.

410 Lihat ELSAM, 2005, Tutup Buku dengan Transisional Justice? Menutup Lembaran HAM 1999-2004 dan
Membuka Lembaran Baru 2005, Jakarta: Institute for Policy Research and Advocacy.

411 Suzannah Linton, 2007, Accounting for Atricities in Indonesia, Singapore Year Book of International Law, Vol. 11.
Lihat juga Laporan KontraS dan ICTJ, 2011, “Keluar Jalur: Keadilan Transisi di Indonesia Setelah Jatuhnya
Suharto”.

412 “Studi Kasus 92: Pembantaian Tengku Bantaqiah dan Murid-Muridnya di Beutong Ateuh, Aceh Barat”, Narasi
Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.




























































Click to View FlipBook Version