POLA KEKERASAN 139
D.1. Penangkapan, Penahanan, dan Penyiksaan
Pada masa konflik di Aceh, baik pada masa DOM maupun periode operasi terpadu
militer, pihak tentara Indonesia mendirikan pos-pos pemeriksaan di seantero Aceh.
Pos itu bertujuan untuk mempermudah pengawasan dan mempersempit ruang
gerak anggota GAM. Namun, seringkali pos ini menjadi tempat penyiksaan terhadap
warga yang ditangkap dengan pelbagai alasan yang digunakan militer. Pos-pos itu
dimanfaatkan pula oleh militer sebagai tempat pungutan liar untuk kendaraan yang
melalui pos. Pasukan keamanan Indonesia seringkali melakukan kekerasan
terhadap orang yang diberhentikan di pos jaga untuk ditanyai. Selama darurat
militer, banyak pos yang didirikan di desa-desa dan membuat kekerasan terhadap
penduduk desa meningkat tajam.187
Sebagai salah satu contoh kasus adalah kasus yang terjadi di Pos Brimob yang
terletak di PT. Wira Lanao, Aceh Timur.188 PT. Wira Lanao diresmikan pada tanggal 30
Juli 1991 oleh Presiden Suharto melalui Menteri Perindustrian RI, Hartarto. Pada 28
Januari 2000, PT. Wira Lanao dibakar oleh orang tidak dikenal. Separuh lebih
bangunan pabrik moulding (pengolahan/pembentukan kayu) Wira Lanao beserta
ratusan ton kayu olahan hangus terbakar. Akibat kebakaran tersebut, PT. Wira Lanao
terpaksa menghentikan usahanya dan mem-PHK 1.700 orang buruh tanpa
memenuhi hak para buruh. Tindakan ini mengundang reaksi keras dari buruh
dengan melakukan demonstrasi menuntut haknya dibayar penuh.
Aparat polisi dari brimob yang ditugaskan di Polres Aceh Timur lalu ditempatkan di
depan PT. Wira Lanao. Keberadaan Pos Brimob di PT. Wira Lanao dikenal sebagai
pos yang paling kejam di Kabupaten Aceh Timur pada saat itu. Mereka sering
melakukan razia-razia di depan pos dan patroli ke desa-desa di sekitarnya. Setiap
malam razia dilakukan. Seorang korban yang pernah ditangkap mengisahkan bahwa
dirinya ditangkap dan ditahan di pos. Selama tahanan, dia dirantai seperti binatang.
Dia juga mengalami penyiksaan dengan cara dipukul dan disetrum. Dia ditahan
selama 15 hari. Selama itu, dia sempat melihat empat orang tahanan lain yang
ditahan karena dituduh menggerakkan massa untuk menuntut referendum. Dalam
tahanan, Arifin mendengar dari tahanan lain ada tahanan yang dibakar dalam timber
(tempat pengawetan kayu). Seorang istri korban menceritakan: “Suami saya pernah
ditangkap dan ditahan disitu, dipukul sampai babak belur. Kondisinya parah. Aparat
sampai memasukkan moncong senjata ke dalam mulutnya. Tapi suami saya
dilepaskan.”189
187 Ibid, hlm. 24.
188 “Studi Kasus 123: Kekerasan di Dalam Pos Aparat Keamanan Saat Operasi Militer di Aceh”, Narasi Kasus
Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.
189 Lihat Laporan KontraS Aceh, Di Balik Penemuan Dugaan Kerangka Manusia di Bekas PT. Wira Lanao, Langsa,
dapat diakses di Website KontraS: www.kontras.org, http://kontras.org/data/-Dibalik%20Penemuan%20
Dugaan%20Kerangka%20Manusia-%282%29.pdf.
140 MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
Penahanan dan penyiksaan sering dialami oleh penduduk yang memiliki hubungan
keluarga dengan orang yang dicurigai sebagai GAM oleh tentara Indonesia. Selain
disiksa, tahanan seringkali dimintai uang tebusan agar mereka bisa dibebaskan.
Salah seorang korban di daerah Pidie menceritakan bahwa, pada tanggal 22 Juni
1990, dia didatangi tentara saat sedang berada di rumahnya. Dia dibawa
menggunakan kijang pick up hitam bersama 12 orang lainnya. Dia ditangkap karena
dituduh menyembunyikan kakaknya yang disebut sebagai pelaku perampokan atau
GPK. Dia bersama 12 orang lainnya dibawa ke pos jaga desa, kemudian dia dibawa ke
Polsek dan ditahan selama dua jam. Dia ditanyai tentang keberadaan kakaknya.
Setelah itu, korban dibawa ke Kodim dan selama dua jam dia dibawa ke Satgas
Lamlo dengan mata ditutup dan tangan diborgol. Ia tiba pukul 23.00 dan menjalani
pemeriksaan dan penyiksaan. Dia mengalami pemukulan di perut, kaki, dan bahu
menggunakan balok. Dia juga dicambuk dengan kabel. Dia ditahan selama delapan
hari. Saat akan dibebaskan, aparat meminta tebusan sebanyak Rp. 10 juta. Dia hanya
menyanggupi Rp. 200 ribu. Akhirnya tebusan dibayarkan Rp. 750.000, -. Dia
dipulangkan tanggal 31 Juni 1991 menggunakan kendaraan umum.190
Selama operasi militer berlangsung, penduduk juga
Selain rentan mengalami penahanan dan penyiksaan
disiksa, tahanan berulang. Hal itu dialami oleh Tikamariah Usman, yang
seringkali dimintai lebih dari sekali ditangkap dan disiksa bersama
uang tebusan suaminya. Tikamariah menceritakan:
agar mereka bisa “Waktu itu [1990] hari senin aku ke pasar, belanja.
dibebaskan. Pulang ke rumah, tahu-tahu Kopassus sudah ada
di rumah. ‘Ibu ke sini dulu.’ Naiklah aku ke mobil.
Habis itu dibawa ke tanah lapang dekat sekolah.
Suami aku dijemput di rumah oleh orang lain. Tahu-tahu kami dibawa
sampai di tempat dekat sungai. Kami disepak, rambut ditarik. Laki saya
ditarik, disepak, dimasukkan ke gorong-gorong. Aku ditendang terus sampe
muntah dan tak bisa bicara lagi, dihantam senjata di kepala, anting putus
hilang semua. Aku dipegang, baju koyak. Abis itu diikat dibawa ke sungai,
dilempar ke sungai biar kedinginan. Biar ngaku, orang mau ngaku apa
orang tidak tahu salahnya. Kami dipendam di air [sampai] nggak bisa
berenang. Suami aku ditarik, dipukul-pukul. Aku pingsan. Lalu kami dibawa
ke Koramil dan Kodim. Laki saya entah ke mana dibawa. Pedih kita orang
perempuan selama 7 hari rasanya 7 tahun, makan tidak karena kita nggak
senang dikerjain seperti itu.
Tahun 2003, diambil lagi laki saya dari rumah di Bintang-Bintang, dibawa
entah ke mana. Saya cari hampir 2 bulan tak dapat. Saya ke Rudal [Denrudal
190 (Ed) Nashrudin Marzuki dan Adi Warsidi. Op.cit., hlm. 58.
POLA KEKERASAN 141
Arhanud 001 Pulo Rungkom], karena ada kabar 8 orang ditahan di tempat
itu. Pura-pura cari obat di rumah sakit. Aku bilang cari obat untuk orang tua
di rumah. Jam 5 [sore] dikeluarkan 8 orang itu. Aku terus pulang, jumpa
sama Pak Rusli [Danramil Bulo Brang Ara]. Aku bilang, ‘bagaimana itu laki
kita sudah di Rudal?’ Pak Rusli tanya, ‘siapa bilang?’ Saya jawab, ‘bukan
bilang Pak, saya lihat sendiri’. Dia menyuruh saya pergi ke Kopassus, minta
bantuan. Kita sendiri pergi ke Kopassus, nekat padahal takut sekali. Sampe
di Kopassus, aku ditanya, ‘ke mana Engkau?’ ‘Mau minta bantuan Bapak’,
jawabku. Mungkin karena aku sudah nangis di situ, Kopassus bilang, ‘kalau
ada di Rudal, kalau tidak ada kita minta ganti sama Ibu? Ini disuruh dengar,
katanya tidak ada’. Saya bilang, ‘ada karena sudah lihat sendiri’. Kopassus
telpon lagi, ‘kalau ada bilang ada kalau tidak ada bilang tidak ada karena
sudah lihat sendiri bininya’. Abis itu telpon lagi, ‘bisa jam 8 datang lagi
kemari jumpa sama lakinya’. Aku pulang ke rumah, besok Kopassus bilang
pergi saja ke Kodim, di tempat tahanan.
Lalu datang lagi aparat ke rumah. Sampe masuk dia ke dalam, yang lain di
luar, didempet aku ke dinding. Minta yang enak-enak katanya. Aku lawan
orang itu, kugigit tangan dia. Ditendang aku sampe gigi ompong, tidak takut
aku. Laki sudah diambil, masa ditanya-tanya lagi. Abis itu rumah saya
dibakar sama orang itu. ... Aku dibawa lagi ke pos dipukul, ditaruh di lubang,
disuruh ngucap biar mampus...”191
Kekerasan seksual juga kerap terjadi di dalam operasi militer. Banyak perempuan
mengalami penyiksaan dari tentara karena dianggap bekerja sama atau
menyembunyikan keberadaan suami, ayah, atau saudara laki-lakinya yang dituduh
sebagai anggota GAM. Ainon Mardiah menuturkan dalam dengar kesaksian:
“Pada April 2004, datang kesatuan 112 Komandan Edji Braka ke rumah,
saya dibawa ke Pos Simpang Lima 112. Jam 3 sore, mulai diinterogasi tanya
suami, saya jawab, ‘tidak tahu’, mereka tampar, lalu tanya teman suami,
saya bilang, ‘tidak tahu’. Saya ditampar berpuluh-puluh kali, sehingga pipi
saya bengkak. Mereka memukul di kepala dengan topi baja dan salah satu
menendang saya. Sampai jam 8 [malam] saya tidak berhenti dipukul dan
dihajar oleh mereka. Jam 8 malam mata ditutup dan tangan diikat dengan
kabel dan dibawa entah ke mana. Mereka tanya keberadaan suami di mana
dan teman suami di mana, mereka ancam bunuh saya. Mereka gali lobang
dan bilang itu lobang kuburan saya. Lalu tanya keberadaan suami, saya
bilang tidak tahu. Mereka lalu menancapkan senjata laras panjang di telinga
kiri dan kanan dan suruh saya mengucap, kemudian ada suara letusan.
191 Kesaksian Tikamariah Usman dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan dalam Operasi Militer”,
Jakarta, 26 November 2013.
142 M E N E M U K A N K E M B A L I I N D O N E S I A
Saya tidak tahu suara letusan apa, saya pingsan. Jam 4 pagi, saya sadar dan
mereka tanya makan saur atau tidak. Saya bilang bagaimana saya makan
kalau mata ditutup, lalu mereka buka penutup mata. Mereka kemudian ajak
saya, mereka cari markas GAM, saya bilang tidak tahu karena GAM
bergerilya. Di dalam pos, anak buah mereka menarik saya, memeluk dan
baju saya koyak, mereka mau perkosa saya. Saya berteriak sekuatnya, ‘Pak
Edji Barka anak buah Bapak mau perkosa saya’, Pak Edji Barka menjawab,
“alah kamu mau dikasih enak aja menjerit’, lalu saya katakan, “Bapak orang
berpendidikan tapi harga dirinya nol, saya tidak punya pendidikan tapi saya
punya harga diri’. Lalu Pak Edji memukul anak buahnya yang mengganggu
saya. Pak Edji Barka kemudian berangkat operasi. Lalu anak buahnya Daud
ancam mau bunuh saya dan mengeluarkan kata kotor karena melaporkan
mereka. Setelah 7 hari di Pos 112, saya di bawa ke SGI [di Buloh Blang Ara],
di situ saya disetrum, lalu seorang di antara mereka meramas payudara
saya sekuat-kuatnya. Tiga hari di SGI, saya dibawa ke Kuala Simpang dan
tidak boleh kembali ke kampung. Saya di Kuala Simpang disuruh tetap
komunikasi dengan mereka, berpindah dari satu rumah saudara ke rumah
saudara lain karena tidak punya apa-apa.”192
D.2. Pembunuhan dan Penghilangan Paksa
Setelah DOM dicabut, kekerasan tidak surut. Bahkan terjadi sejumlah tragedi
kemanusiaan di Aceh. Pertama, kerusuhan Lhokseumawe, 31 Agustus 1998, dengan
latar belakang tindakan penghalauan masyarakat umum oleh aparat militer yang
sedang melindungi proses penarikan pasukan. Kedua, tragedi berdarah di simpang
Kertas Kraft Aceh (KKA) 3 Mei 1999 yang melibatkan warga masyarakat dan tentara.
Pemicunya adalah pemukulan yang dilakukan oleh tentara terhadap warga setempat
yang sedang melakukan kenduri. Ketiga, insiden penembakan di Mapolres Aceh
Selatan pada 11 September 1999, ketika sekelompok rakyat Aceh Selatan
berdemonstrasi menuntut pelepasan seorang warga sipil yang ditangkap dan ditahan
aparat Polres Aceh Selatan sehari sebelumnya. Keempat, tragedi Beutong
(pembunuhan Teungku Bantaqiah, 23 Juli 1999 yang terjadi akibat laporan intelijen
yang menyatakan bahwa Dayah Babul Mukaramah, Beutong Ateuh, Aceh Barat,
pimpinan Teungku Bantaqiah telah menyimpan 100 pucuk senjata). Dalam operasi
penggeledahan, laporan itu ternyata tidak terbukti. Terakhir, operasi militer tentara
Indonesia di Takengon Mei – Juni 2001 yang meningkatkan aksi kekerasan dan
menimbulkan kekacauan sosial antara masyarakat dan suku Aceh dan orang
pendatang, dan lain sebagainya.193
192 Kesaksian Ainon Mardiah dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan terhadap Perempuan”, Jakarta, 25
November 2013.
193 (Ed) Moch. Nurhasim, Op.cit., hlm. 116.
POLA KEKERASAN 143
Di Simpang KKA, Aceh Utara, terjadi pembunuhan dan pembantaian warga sipil.194
Berawal dari isu yang dihembuskan oleh TNI Detasemen Rudal 001/Pulo Rungkom
bahwa ada anggotanya Sersan Kepala Adityawarman hilang diculik saat menyusup
pada acara peringatan 1 Muharram yang diperingati oleh warga Desa Cot Murong
pada malam Jumat, 30 April 1999. Adityawarman diisukan diculik saat mengikuti
ceramah agama. Tapi sampai hari ini tidak jelas, apakah Adityawarman benar diculik
atau hanya skenario militer untuk mengganggu acara yang dicurigai oleh aparat
keamanan sebagai acara ceramah GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Yang pasti, pada
malam itu tidak ada satupun warga yang melihat ada kejadian ataupun ada orang
yang diculik, apalagi mengetahui keberadaan anggota yang diculik.
Kenangan tentang Anak. Seorang ibu
memperlihatkan baju yang dikenakan anaknya
yang tewas tertembak dalam peristiwa kekerasan
di Simpang KKA, Aceh Utara. (Foto: AJAR)
Dengan dalih itu, sejak malam Sabtu, 1 Mei 1999, pasukan TNI Den Rudal menyisir
tempat acara dan rumah warga. Pada hari Minggunya, 20 warga dipukul, ditendang,
dan tiga orang sempat ditangkap karena dituduh terlibat penculikan Adityawarman.
Tentara juga mengancam warga dengan mengatakan, “akan kami tembak semua
orang Aceh apabila seorang anggota kami tidak ditemukan”. Masyarakat yang resah
dengan operasi militer tersebut berkumpul. Tapi tentara terus bertindak represif.
Bahkan jumlah pasukan ditambah untuk memasuki desa tersebut. Warga
memberanikan diri menghadang truk tentara yang memasuki desa. Mereka
memprotes tindakan tentara. Pagi, 3 Mei 1999, ribuan warga (laki-laki dan
perempuan) telah memadati jalan Simpang KKA dan menutup akses jalan nasional
194 “Studi Kasus 91: Pembantaian Warga Sipil di Simpang KKA, Aceh Utara”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM
1965-2005, Database KKPK.
144 MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
Banda Aceh – Medan. Ratusan anggota TNI dari Den Rudal dan Yonif 113/Jaya Sakti
juga bersiaga di Simpang KKA.
Tiba-tiba sebuah truk militer berjalan, sambil melaju dari atas truk, para tentara
melempari warga dengan batu. Tiba-tiba dari arah semak-semak terdengar suara
letusan senjata. Tentara dengan posisi berdiri, jongkok, dan yang di atas truk militer
menghujani tembakan ke arah warga. Ribuan warga tiarap dan berlarian
menyelamatkan diri. Tentara terus mengejar dan menembaki. Tentara juga
menembak ke rumah-rumah penduduk sehingga tidak sedikit orang yang berada di
rumah menjadi korban tembakan. Seorang saksi, Murtala, menuturkan:
“Saya lihat truk militer [Yonif] 113 di sebelah barat dan ada kios-kios kecil,
saya melihat Camat Dewantara, Drs. Marzuki dan juga Koramil Dewantara,
Kapten Muhammad Jafar. Pak Camat naik ke truk untuk bicara, warga
menolak membubarkan diri dan menuntut Muspika Dewantara untuk
menghadirkan Bupati, Kapolres, Danrem Lhokseumawe. Pada jam 12 siang
lewat dikit azan berkumandang, lalu saya turun pergi shalat ke rumah Pak
Jusuf. Setelah shalat orang semakin berjubel, lantas saya bergabung lagi
dengan Pak Camat. Saya lihat tentara pake baret hijau lari ke semak, seiring
itu dari arah selatan mobil datang dan pas di persimpangan mobil berhenti,
lalu militer di dalam mobil ke samping sambil mengendap dan mendekat.
Kemudian datang batu ke arah kerumunan massa, massa membalas lalu
terdengar dua kali tembakan, lalu tembakan berikut tak berhenti. Tentara
[Yonif] 113 ada yang duduk, jongkok, dan tiarap katanya. Saya berusaha
merangkak di bawah truk militer, mau lari, dipukul di dada dengan senjata
sampai terjatuh, lalu bangun dan dipukul lagi di punggung. Saya sempat
lihat beberapa orang terjatuh mengeluarkan darah di depan saya. Saya lihat
kios perabot, saya masuk ke situ.”195
Ditemukan 39 orang tewas (termasuk seorang anak berusia tujuh tahun), 156 luka-
luka, dan 10 orang hilang. Tim juga menyebutkan dalam laporannya bahwa pihak
yang diduga sebagai pelaku penembakan adalah Kol. Inf. Jhoni Wahab (mantan
Danrem Lilawangsa), komandan Yonif 113/Jaya Sakti Letkol Inf. Bambang Haryana,
Komandan Den Rudal Mayor Art. Santun Pakpahan, Danki Den Rudal Letnan Art.
Ismail, dan Danru masing-masing.
Salah seorang korban Simpang KKA bernama Rosmiati mengatakan:
“Yang paling pahit saya rasakan saat ini adalah menjadi seorang ibu,
seorang perempuan yang cacat. Kaki telah menjadi cacat, belum sembuh
total, yang pada saat tententu merasa sakit bahkan teramat sakit.
195 Kesaksian Murtala dalam “Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan dalam Operasi Militer”, Jakarta, 26
November 2013.
POLA KEKERASAN 145
Terkadang saya tidak bisa berjalan dan lebih menyedihkan lagi masih ada
serpihan peluru di dalamnya. Selama ini saya menyusui anak saya tiga
orang dengan darah yang masih mengandung racun.”196
Di Aceh Selatan pada 11 September 1999 telah terjadi insiden penembakan terhadap
rakyat Aceh Selatan yang dilakukan oleh Satuan Brimob Aceh Selatan197, Gegana,
dan satuan aparat militer. Penembakan itu terjadi di depan Mapolres Aceh Selatan
ketika sekelompok rakyat Aceh Selatan berdemonstrasi menuntut pelepasan salah
seorang warga sipil yang ditangkap dan ditahan aparat Polres Aceh Selatan sehari
sebelumnya. Diketahui korban 3 orang warga sipil tewas, 336 orang terluka dalam
peristiwa tersebut, 5 di antaranya dalam kondisi kritis. Di samping ada indikasi
korban yang hilang dan belum kembali.
Kejadian ini bermula, ketika Tengku Raja Faisal, warga desa Jambo Manyang,
Kecamatan Kluet Utara ditangkap dalam razia senjata yang dilakukan aparat
kemanan. Faisal ditangkap karena di tubuhnya ditemukan sepucuk rencong kecil
saat ia digeledah, rencong kecil itu diakui Faisal sebagai jimat. Faisal dibawa ke
Mapolres Aceh Selatan di Tapak Tuan dan ditahan. Razia senjata itu dilakukan
dengan alasan pencarian terhadap pelaku penganiayaan dan pembunuhan terhadap
Kopka Solihin, anggota Polsek Kluet Utara. Warga sipil berdatangan dengan
kendaraan roda empat dan menggelar aksi protes di jalanan di depan Mapolres Aceh
Selatan. Wakapolres menawarkan dialog yang kemudian setelah bernegosiasi
diterima oleh warga dengan mengirimkan 6 orang wakilnya, namun orang tua
Tengku Raja Faisal yang meminta bertemu ditolak oleh aparat.
Saat dialog masih berlangsung, dari bagian belakang barisan warga terjadi
pelemparan batu yang diarahkan kepada petugas yang dilakukan oleh orang-orang
yang tidak dikenal. Massa tidak terprovokasi dan bahkan memperingatkan untuk
menghentikan pelemparan batu tersebut. Namun peringatan tersebut tidak berhasil,
pelemparan batu masih terus berlanjut. Petugas melepaskan tembakan peringatan
ke udara yang mengakibatkan massa membubarkan diri. Namun penembakan
masih terus berlangsung dan bahkan mulai diarahkan langsung kepada pengunjuk
rasa. Akibatnya Abu Bakar dan Yusuf tewas tertembak.
Aparat masih terus mengejar massa yang berlarian memencar ke berbagai arah.
Aparat mengejar dan memukuli massa yang bersembunyi di dalam rumah-rumah
penduduk sekitar Mapolres yang digunakan sebagian massa untuk berlindung,
sebagian dikejar sampai ke pantai dan kebun-kebun. Sebagian warga Tapaktuan
yang tidak terlibat aksi itu turut menjadi korban. Penembakan dan pengejaran baru
196 Wawancara dengan Rosmiati, 29 April 2012, Arsip KKPK/AJAR.
197 “Studi Kasus 121: Insiden Penembakan di Depan Mapolres Aceh Selatan”, Narasi Kasus Pelanggaran HAM
1965-2005, Database KKPK.
146 MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA
berakhir setelah satu jam kemudian. Rakyat mulai membantu mengangkut korban-
korban yang tewas ke RSU Dr. Yuliddin Away, Tapaktuan, RSU Cut Nja’ Dhien
Meulaboh, Puskesmas Kluet Utara, dan sebagian di antaranya dipulangkan.
Di beberapa tempat di Kluet Utara terjadi sweeping yang dilakukan oleh orang-orang
yang berpakaian sipil yang tidak dikenal dan bukan penduduk setempat. Dalam
sweeping ini, 9 orang hilang, 3 di antaranya kemudian ditemukan telah tewas, 1
orang warga Aceh Selatan sudah kembali, sedangkan 5 orang lainnya sampai saat ini
masih belum diketemukan, 4 orang di antara korban hilang dan belum kembali
adalah anggota masing-masing bernama Yus, Budi, Atin, dan Dian, sedangkan 1
orang korban hilang lainnya adalah warga sipil Aceh Selatan. Salah satu korban
dalam sweeping tersebut adalah seorang aparat bernama Praka Dasmo (anggota
batalyon Yonif 112, Meulaboh). Dua lainnya warga sipil.
Pada tahun 2001, di lokasi yang tidak jauh dari Mapolres Aceh Selatan, yaitu di Desa
Jambo Keupok, juga menjadi salah satu daerah target operasi militer dan polisi
(Brimob) karena sering dijadikan tempat persembunyian anggota GAM.198 Tahun
2002, dalam sebuah operasi, pasukan TNI menembak mati seorang anggota GAM
Abdul Saleh. Pada bulan Maret 2003, sekitar pukul 10 malam, Sidar Landoe
membalas kematian ayahnya dengan menembak Guntur hingga tewas di Simpang
Seunebok Kare, Desa Jambo Keupok. Setelah insiden itu, aparat melancarkan
operasi rutin yang dibantu oleh tenaga operasi sebagai informan, Abdul Jalil (warga
Jambo Keupok). Sekitar April 2003, Abdul Jalil ditangkap GAM dan ditahan selama
satu minggu. Akan tetapi, Abdul Jalil berhasil meloloskan diri dan lari ke pos TNI
Simpang Raja, Bakongan. Pada 17 Mei 2003, sekitar pukul 07.00 WIB, warga melihat
tiga truk reo militer masuk dan berhenti; satu truk berhenti di jalan dekat dengan
Gunung Batu, satu di depan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Jambo Keupok, dan satu
lagi di Simpang Irigasi. Jumlah pasukan yang turun dari truk diperkirakan mencapai
ratusan orang, memakai seragam militer lengkap, membawa senjata laras panjang,
dan bersama tentara ikut Abdul Jalil. Tentara yang melakukan operasi hari itu adalah
pasukan gabungan dari PARAKO (Para Komando) dan SGI (Satuan Gabungan
Intelijen) yang menempati Pos di Simpang Raja, Bakongan.
Tentara bergerak cepat menyebar ke setiap rumah warga. Perempuan serta anak-
anak dan laki-laki dipaksa keluar dari rumah di bawah todongan senjata, dipukul,
dan ditendang. Lina dipukul karena lupa membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Demikian pula, anak angkat Lina bernama Eni Trisnawati juga dipukul. Warga yang
telah dikeluarkan dari rumah, dikumpulkan di depan rumah warga bernama Suma.
198 “Studi Kasus 131: Operasi Kilat: Pembunuhan terhadap 16 Warga Sipil di Desa Jambo Keupok, Aceh Selatan”,
Narasi Kasus Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.
POLA KEKERASAN 147
Laki-laki dibariskan sambil diinterogasi satu per satu. Tentara menanyakan
keberadaan beberapa anggota GAM.
Asri Bin Makmuha dipukul dengan popor senjata hingga darah mengalir dari kepala.
Para perempuan dan anak-anak melihat Asri dipukul berteriak histeris. Setelah itu,
para perempuan dikurung di dalam rumah Suma. Sementara itu, para lelaki terus
diinterogasi dan disiksa. Khalidi Bin Lipah Linggam yang baru pulang mandi di
sungai dihentikan di depan rumah sekolah. Dia diturunkan dari motornya sambil
dipukul, ditendang, dan dibawa ke depan rumah Suma. Kemudian, Khalidi
diinterogasi sambil disiksa, dan dibacok oleh Abdul Jalil dengan parang di bagian
kepala, setelah itu ditembak di kepala oleh tentara. Tentara yang menembak Khalidi
mengatakan, “inilah contoh bagi orang yang kasih makan GAM”.
Monumen Jambo Keupok. Salah seorang Setelah pembunuhan Khalidi, para
anak korban berdiri di samping monumen perempuan dikeluarkan dari
Jambo Keupok yang memuat nama-nama rumah Suma sambil diperiksa satu
korban pembantaian di Jambo Keupok, Aceh per satu identitas, lalu dibawa ke
Selatan. (Foto: AJAR) rumah sekolah, dan dikurung di
dalam sebuah ruangan (kelas)
enam. Rumah sekolah terletak 300
meter dari rumah Suma.
Sementara itu, Kasturi yang
sedang makan diseret keluar dari
dalam rumahnya. Zulekha (istri)
dan Nurhayati (anak) berusaha
merangkul Kasturi agar tidak
dibawa. Tapi tentara memukul
Nurhayati di leher belakang
dengan popor senjata, setelah itu
memukul Kasturi hingga
tersungkur ke tanah bersama
dengan Zulekha. Tentara
menembak di dekat kaki Zulekha
hingga serpihan peluru melukai
kaki, tangan, dan lebam dari lutut
sampai ujung kakinya. Zulekha
tidak sadarkan diri. Kemudian,
tentara menembak kaki kiri Kasturi
dan kepalanya hingga tewas.
Tentara juga membakar rumah
POLA KEKERASAN 185
lebih dahulu menembak, sementara masyarakat tidak melawan. Polisi menembak
terus hingga pukul 17.00 WITA. Sesampai di kampung tetangga, Lindung melihat ada
dua orang terluka tetapi ia tidak mengenali mereka. Dia lari ke perkebunan ubi di
Bonto Mangiring dan bersembunyi di hutan karena takut. Hingga sekarang, dia tidak
pernah lagi bekerja seperti biasa dan terus bersembunyi di hutan.
Kekerasan Bulukumba. Protes Aksi Solidaritas Perjuangan Petani Bulukumba di
Mabes Polri pada 4 Agustus 2003 untuk menuntut Kapolri agar memecat Kapolda
Sulawesi Selatan sebagai bentuk tanggung jawab atas tindakan anggota kepolisian
yang melakukan penyerbuan dan penembakan secara brutal terhadap masyarakat
petani adat Kajang. (Foto: TEMPO/ Imam Sukamto)
Kasus kekerasan juga terjadi terhadap masyarakat transmigran di Desa Rawa Indah,
Kecamatan Ilir Talo Kabupaten Seluma, Bengkulu. Sebagai kelompok masyarakat
yang menjadi bagian program transmigrasi Orde Baru, mereka justru mendapat
diskriminasi baru: ketiadaan akses jalan yang memadai bagi warga. Desa mereka
terisolasi, berlumpur. Untuk mencapai ibu kota kebupaten yang jaraknya 17 km,
harus menempuh waktu 2 jam. Mereka juga harus menghadapi diskriminasi dari
penduduk lokal. Hal ini terjadi setelah mereka menolak pengambilalihan lahan
mereka oleh PT Agri Andalas.
Berdasarkan data yang ada di Kanwil Badan Pertanahan Nasional, lahan hak guna
usaha (HGU) PT Agri Andalas dimulai pada tahun 1987 dan berakhir tahun 2018,
186 M E N E M U K A N K E M B A L I I N D O N E S I A
hanya di wilayah Kecamatan Sukaraja dan Seluma. Sedangkan untuk wilayah
Kecamatan Ilir Talo yang berada berdekatan dengan Desa Rawah Indah dan Penago
Baru, tidak ada dokumen. Sedangkan berdasarkan data yang didapat, HGU PT Agri
Andalas hanya mencapai angka 7.000 hektare, namun realitas yang terjadi di lapangan,
luas wilayah lahan kebun PT Agri Andalas mencapai anggka 17.000 hektare. Kelebihan
lahan tersebut diambil secara paksa dan ilegal, termasuk kawasan transmigrasi
Desa Rawa Indah seluas 174 hektare. Jaya, salah seorang transmigram, bercerita,
“Dalam konflik ini PT Agri Andalas melakukan bermacam provokasi dan
propaganda mendekati Pemda sehingga lahannya menjadi seluas 17 ribu
hektare, di luar HGU yang dimilikinya. Masyarakat tetap berjuang,
mempertahankan lahan milik warga yang sudah ditanami oleh warga. Ketika
kami mengambil tanaman atau mencabut tanaman yang menindih tanaman
kami, PT Agri Andalas melaporkan kami ke aparat hukum, sebaliknya ketika
masyarakat ambil satu berondol kelapa sawit, Brimob datang dan Pemda
diam saja. Saya diintimidasi oleh preman. Para preman dan polisi datang ke
rumah, mendesak harus meminta maaf. Pada bulan Desember 2012,
bermacam intimidasi dan kekerasan dilakukan terhadap kami. Anak gadis
saya sedang menghadiri pernikahan di kampung lain, dia dihadang dan dihajar
oleh preman sampai babak belur dan tidak ada yang berani melawan. Dia lari
ke kamar Pak Azwar, seorang warga desa setempat. Anak saya dan temannya,
serta Pak Azwar, lari ke hutan, dan selama setengah hari bersembunyi di
hutan. Kemudian dijemput warga, polisi, dan camat lalu dibawa di rumah
sakit untuk divisum. Selanjutnya setelah di-BAP oleh pihak kepolisian sampai
sekarang tidak ditindaklanjuti sama sekali. Masih kurang puas mereka
mengadakan berbagai tindakan untuk membuat hati saya luntur untuk
berhenti berjuang. 15 hari kemudian, anak saya kedua lagi bermain dengan
pacarnya sekitar 500 meter dari desa di pinggir pantai, dia dihampiri 4 preman
tak dikenal, tanpa basa-basi diikat pacarnya dan dibuang ke hutan, ketika
melihat anak saya, langsung diinjak lehernya.Tidak puas memperlakukan
anak saya seperti itu, pacar anak saya diikat kakinya tangannya, baju disobek
anak saya pun begitu. Seluruh baju anak saya dilucuti dan alat kelamin anak
saya diraba pelaku, anting emas dilucuti, motor diambil dan ditinggalkan begitu
saja. Pacarnya kemudian berhasil melepaskan diri dan mengambil baju di
rumah lalu membawa anak saya ke rumahnya. Besoknya saya dan anak ke
Polres dan di-BAP. Tadi saya dengar informasi dari polisi mengatakan, ‘Sabar
nanti kami tindaklanjuti.’ Di daerah saya ada 28 motor hilang, 5 kasus peram
pokan, dan belum diungkap. Satu nenek dirampok, mulutnya disumpel dengan
kain untuk sholat dan meninggal. Ini semua modus perusahaan untuk membuat
kami tidak betah di sana setelah kami tinggalkan mereka berpesta ria.” 236
236 Kesaksian Jaya dalam Dengar Kesaksian KKPK tema Kekerasan Atas Nama Sumber Daya Alam, Jakarta, 28
November 2013.
POLA KEKERASAN 187
C.2. Kriminalisasi Penduduk Lokal
Seperti yang terjadi di Desa Bohotokong, Sulawesi Tengah, kriminalisasi terhadap
petani desa telah berlangsung puluhan tahun. Tindakan kriminalisasi tersebut
dilakukan oleh aparat kepolisian Polsek Bunta bekerja sama dengan pengusaha
bernama Thoe Nayoan, pemilik PT Anugerah Saritama Abadi.237 Hal ini bermula dari
sengketa agraria antara petani Bohotokong dan PT Anugerah Saritama Abadi atas
perkebunan kelapa onderneming bekas peninggalan Belanda. Setelah Belanda pergi
dari Indonesia, hak pengelolaan perkebunan kelapa ini diserahkan kepada para
kuasa kelola. Para kuasa kelola menelantarkan perkebunan ini. Setelah masa hak
kuasa kelola berakhir, perkebunan itu dengan sendirinya kembali dalam penguasaan
negara. Sebagian areal perkebunan kelapa kemudian menjadi pemukiman
penduduk. Pada tahun 1982, beberapa petani Desa Bohotokong mulai mengolah
perkebunan kelapa yang terlantar itu. Mereka menebang pohon-pohon besar yang
ada di lokasi bekas onderneming. Tindakan para petani ini mendapat dukungan
Badan Pertanahan Nasional Banggai.
Delapan belas tahun kemudian, Badan Pertanahan
“Memang Nasional Provinsi Sulawesi Tengah memberikan izin
siksa, siksa hak guna usaha (HGU) kepada PT Anugerah Saritama
betul waktu itu. Abadi seluas 110 hektare. HGU inilah yang menjadi
Cuma kita tetap awal munculnya persoalan sengketa agraria antara PT
hadapi karena Anugerah Saritama Abadi dan petani Bohotokong.
inilah salah satu Berulang-ulang, petani di Desa Bohotokong
perjuangan. Jadi, mengalami tindakan kekerasan oleh polisi dan kaki
saya tidak pernah tangan pemegang HGU. Usaha mereka menanam,
memelihara, dan memetik hasil kebun dianggap
menyerah.” sebagai tindakan kriminal oleh aparat kepolisian
setempat. Para petani Bohotong telah menempuh
berbagai cara untuk mendapatkan kuasa atas tanah yang telah mereka kelola. Salah
seorang korban, Arham Busura bersaksi,
“Pada waktu itu, awal kekerasan yang dilakukan kepada saya [terjadi] pada
tanggal 03 April 1992. [Saya] dianiaya di kantor polisi dengan alasan
pencurian tanah. Jadi, disuruh saya itu melepaskan tanah itu atau
menyerahkan tanah itu kepada pemiliknya, yaitu pengusaha. Tetapi, saat itu
juga saya tidak mau lepaskan, bahkan saya dianiaya itu di muka sama orang
tua saya, bersama bapak saya, bahwa sekalian dengan bapak saya itu
dituduh mencuri tanah onderneming. Itupun saya tidak semudah itu
melepaskan itu tanah atau menyerahkan saya punya tanaman cokelat dan
237 “Studi Kasus 47: Konflik Agraria dan Kriminalisasi Petani Bohotokong, Sulawesi Tengah”, Narasi Kasus
Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.
188 M E N E M U K A N K E M B A L I I N D O N E S I A
pohon kelapa. Saya tetap bertahan terus walaupun saya sudah dianiaya,
sudah disakiti, sudah diteror, tetap saya tidak mau menyerahkan. Sampai-
sampai pada waktu itu tahun 1995, saya lupa tanggalnya waktu itu,
Desember 1995, saya ditangkap [dan] dipenjarakan. Waktu itu, saya dituduh
itu pencurian tanah. Saya ada tiga berkas. Ada satu berkas yang tidak
dinaikkan karena tidak cukup bukti; cuman dua berkas yang dinaikkan, yaitu
hal yang sama: pencurian dan penyerobotan. Itu yang dituduhkan kepada
saya, dan saya setelah itu ditahan selama 11 bulan 16 hari. [Pada tahun]
2011 saya ditangkap lagi, dimasukkan lagi di dalam penjara. Di situ juga
tidak diantarkan makanan, tidak dikasih minum, tidak pernah apa, bahkan
waktu itu kita tengah malam itu tinggal minta bantuan sama Banpol
[Bantuan Polisi] itu suruh ambe manga satu ember. Itu yang kita makan
malam, baru minum air; minum air keran, bukan air masak; air Aqua atau
apa. Dibuka keran ambil air minum. Aru bakincing, bakincing di botol. Itu
zat kapur itu di air keran itu barangkali bagitu itu kalau tiap pagi kitorang
mo buang itu kincing di botol. Memang siksa, siksa betul waktu itu. Cuma
kita tetap hadapi karena inilah salah satu perjuangan. Jadi, saya tidak
pernah menyerah walaupun sampai sekarang.” 238
Berdasarkan catatan Front Perjuangan dan Pembaruan Agraria Sulawesi (FPPAS),
kriminalisasi telah berlangsung sebanyak puluhan kali. Hal ini meliputi pengancaman,
penahanan warga, dan upaya menuntut warga ke jalur hukum. Model penyelesaian
masalah yang dilakukan oleh kepolisian adalah dengan mengedepankan penegakan
hukum melalui upaya kriminalisasi terhadap warga hingga saat ini masih digunakan.
Akibatnya, banyak masyarakat yang menjadi korban.
C.3. Pemusnahan Usaha Perkebunan Rakyat dan Tindakan Kekerasan
oleh Aparat Negara
Pemusnahan usaha perkebunan rakyat terjadi di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Aksi ini bermula dari adanya gelar operasi pemusnahan ribuan hektare tanaman kopi
dan pertanian milik petani dan masyarakat adat setempat dan diikuti dengan
penangkapan, penahanan serta penyiksaan massal warga di dalam tahanan
kepolisian oleh Tim Terpadu Pemerintah Kabupaten (PEMKAB) Manggarai. Kasus ini
merupakan puncak dari akumulasi kekecewaan warga terhadap tindakan Bupati
Anton Bagul Dagur yang membabat ribuan hektare tanaman kopi milik warga Colol.
Pada 10 Maret 2004, sekitar 400 petani Colol, Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten
Manggarai, melakukan aksi damai di Mapolres Manggarai.239 Aksi damai ini
238 Kesaksian Arham Busura dalam Dengar Kesaksian KKPK di Palu, 27 Desember 2012.
239 “Studi Kasus 49: Penembakan Petani Dusun Colol, Manggarai, Nusa Tenggara Timur”, Narasi Kasus
Pelanggaran HAM 1965-2005, Database KKPK.